12.22.2010

Cinta Seorang Copellia

Mama meramal masa depanku dengan baik. Kini dia mulai membuktikan bahwa aku adalah bonekanya? Taliku ditarik-tarik sesuai keinginannya.

Putri berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan ke arah taksi-taksi yang melaju sombong. Jam sibuk begini hampir semua taksi ada penumpangnya. Dimasukkannya tangan dalam-dalam ke saku mantel untuk mengusir dingin. Ini hari terakhir, aku harus sedikit memanjakan diri. Setiap hari mengejar-ngejar bus, hari ini sedikit boros tak apa. Begitu pikirnya.

Walaupun sudah menunggu lama dan kakinya mulai sakit, Putri tetap bertahan. Sementara, orang-orang di sekitarnya bergerak cepat, ingin buru-buru pulang ke rumah, kantor, kafe, atau ke tempat apa pun, yang suhunya lebih hangat daripada udara luar yang menusuk tulang.

Matanya bergerak cepat mengamati benda kuning lemon yang meluncur ke arahnya. Itu ada satu, dan yang terakhir, pikirnya. Seandainya sudah berpenumpang, dia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Barang-barang di rumah belum dimasukkan ke koper, masih banyak yang akan dikerjakan. Dan lagi, jika lebih lama, dia pasti terkena radang paru-paru. Putri sangat yakin, biaya pengobatan akan menghabiskan uangnya.

Dia melambaikan tangan dengan harapan tipis dan agak kaget ketika taksi berhenti di dekatnya. Putri masuk ke dalam taksi, separuh senang, separuh prihatin. Sopir ini mungkin orang yang nasibnya sial. Hari begini taksinya kosong. Atau, mungkin, sudah jodohnya.

Dia membenamkan diri dengan senang di jok kursi penumpang, menyebutkan tujuan, dan merasakan kehangatan yang berembus dari pemanas mobil. Dia menoleh ke samping, merekam setiap detail pemandangan yang dilalui, lalu memutuskan untuk berhenti agak jauh dari apartemen tempat tinggalnya.

Ia menghentikan taksi dan membayar ongkos. Dia merasa si sopir agak kecewa. Mungkin, dia berharap, Putri naik lebih jauh, sehingga ongkosnya lebih mahal.

Digelengkannya kepala. Ia merasa heran, kenapa bisa kasihan pada pria separuh baya itu. Padahal, setahunya, kebaikannya sudah hilang ditelan kota ini. Gedung-gedung tinggi, pencakar langit, asap kendaraan, orang-orang bergerak cepat, berpacu mengejar uang. Citra itulah yang terbentuk di benaknya, jauh sebelum menyelami kehidupan kota ini secara langsung. Citra yang sebenarnya tetap terpatri sampai sekarang, hanya dengan tambahan manusia-manusia individualis, pelacur, obat-obat terlarang, dan kekerasan.

Setelah dua belas tahun tenggelam di kota ini, Putri merasa akarnya semakin tercabut semakin jauh dengan kampung halaman. Dan, kota ini dalam sekejap jadi kampung halaman kedua, yang berat ditinggalkan. Meski Putri tahu bahwa dia akan kembali lagi ke kampung halamannya, tetap saja dia tak rela pergi.

Sambil tersenyum, dilewatinya penjaga apartemen, yang mengangguk hormat padanya. Satu kebiasaan baik yang masih tersisa, meski banyak penghuni lain yang tak peduli pada orang-orang yang membantu mereka membukakan pintu dengan penuh hormat, menekan tombol lift. Yah, sebagai seorang yang nyaris menjadi gelandangan, di dalam hatinya tentulah masih tersisa nurani.

Putri berhenti di lantai tujuh belas. Berjalan menuju pintu berlabel B, lalu masuk ke dalam sebuah apartemen besar yang cantik. Dia berjalan melewati ruang tamu, yang berperabotan minimalis namun mengesankan. Sebuah sofa bergaya modern, dihiasi bantal-bantal krem dan cokelat, meja kayu persegi yang besar, sebuah lukisan modern, dan permadani tebal berwarna cokelat kemerahan yang mendominasi ruangan. Di satu sudut dinding terdapat home theater paling lengkap, yang bisa membuat iri tamu-tamu yang datang. Sarah, pemilik apartemen ini, memang menyukai ruangan yang luas. Dia paling tidak suka dengan gaya etnik penuh pernak-pernik, yang menurutnya membuat sumpek.

Putri menuju kamar tidur. Tumpukan-tumpukan baju dalam, celana-celana panjang, kaus-kaus, rok, dan beberapa gaun bertebaran di mana-mana. Tadi pagi sebelum berangkat kerja, dia menyempatkan diri untuk mengatur kopernya. Namun, setelah mendekati waktu kerja, koper itu belum juga rapi. Putri membiarkan pakaian-pakaiannya tetap pada posisi berantakan ketika berangkat ke kantor. Sesuatu yang sangat jarang terjadi karena dia orang yang menyukai kerapian.

Pada kepulangan kali ini, Putri berpikir untuk sedikit mengubah penampilan. Sudah hampir sembilan tahun tidak bertemu saudara-saudaranya. Hanya Mama atau Papa yang tiga tahun lalu pernah berkunjung. Saat-saat terbaiknya sudah hilang. Meski umurnya baru 29 tahun, dia merasa sudah tua. Untuk ukuran kota besar di negara maju, dia terbilang masih muda. Dan, karena untuk ukuran tanah air dia sudah perawan tua, wanita malang yang patut dikasihani, dia memutuskan perlu membawa banyak pakaian bagus, sekotak besar perlengkapan make up, dan pernak-pernik perhiasan, yang sangat diperlukan dalam rangka menaikkan harga dirinya.

Sembilan tahun lalu, saat pulang ke Indonesia, hatinya tidak seberat ini. Malah, dia begitu gembira. Waktu itu dia mahasiswa yang baru tamat kuliah, tak ada beban, penuh kegembiraan untuk kembali ke pelukan Mama. Namun, setelah pandangannya berubah, setelah menjadi manusia pekerja, setelah sekian lama orang-orang tentu ingin melihat perubahannya. Kematangannya? Atau, lebih tepat, kekayaannya? Sesuatu yang mereka pikir merupakan alasannya tidak mau pulang. Bukankah semua orang berpikir gaji pekerja di luar negeri lebih besar daripada di tanah air, sehingga mereka berbondong-bondong menjadi pembantu di luar negeri? Cerita miring tentang pemerkosaan, penyiksaan, bahkan kematian sekalipun, tidak menyurutkan minat untuk menjadi pembantu, demi uang.

Putri melemparkan sepatu berhak lima senti. Dia mengambil sebuah stiletto merah tua, yang sejak dibeli belum pernah dipakai, karena tali pengikat yang mengiris kaki, membuatnya berjalan bak balerina dengan betis besar, dan setiap sepuluh menit mencari tempat duduk untuk mengistirahatkan kaki. Sepatu itu hanya indah untuk dipandang, namun menyiksa bila dipakai. Dia berpikir, wanita-wanita keren yang memakainya, tentulah sudah mengganti kaki mereka dengan kaki besi atau mungkin menyuntiknya agar mati rasa.

Beberapa waktu lalu Putri sempat membaca majalah yang menyebutkan bahwa stiletto runcing dan tinggi tidak jadi tren lagi. Dia sudah bersorak tiga kali untuk artikel itu, namun masa-masa sepatu datar zaman Romawi atau Yunani tidak juga datang. Para pencinta fashion tetap saja memakainya. Dia merasa dibohongi. Untuk pertama kalinya, dia memerhatikan nama penulis artikel tersebut dan berjanji tidak akan memercayai lagi omong kosong penulis itu.

“Princess, I’m home.”

Seperti angin puyuh, Sarah masuk kamar dan memeluk Putri kuat-kuat. Ia berseru dengan penuh kegembiraan.

Putri menyahut, “Ada apa?”

Sarah melepas pelukannya dengan gaya dramatis, “Aku memenangkan perkara. Suami Audrey bersedia membayar tuntutan. Berarti, banyak uang dan liburan.”

“Hebat,” kata Putri, tulus.

Mama meramal masa depanku dengan baik. Kini dia mulai membuktikan bahwa aku adalah bonekanya? Taliku ditarik-tarik sesuai keinginannya.

Sarah adalah pengacara perceraian paling dicari di kota ini. Kliennya orang-orang terkenal, yang bersedia membayar mahal untuk mempertahankan kekayaan mereka atau untuk mendapatkan kekayaan itu. Dulu, Putri pernah bertanya, kenapa Sarah lebih suka menjadi pengacara perceraian. Bukankah menyedihkan melihat dua orang yang semula saling cinta, kemudian bertikai memperebutkan harta dan kadang-kadang anak. Menurut Sarah, perceraian itu suatu jalan untuk membuka lembar kehidupan baru yang mungkin lebih baik. Daripada bertengkar, saling menyakiti, terluka, dan tertekan, lebih baik berpisah. Kadang-kadang, ada satu pihak yang masih mencintai, tapi apakah kita boleh memaksa orang untuk menerima kita, jika orang tersebut sudah tak punya rasa apa-apa, selain keinginan untuk pergi?

“Bagaimana dengan anak-anak? tanya Putri, ketika itu.

“Itu yang paling sulit dan menyedihkan,” jawab Sarah. “Tapi, mereka akan belajar untuk kuat, daripada setiap hari melihat orang tua mereka bertengkar. Orang-orang dewasa itu sering kali lupa, pada saat marah mereka cenderung membiarkan pertunjukan kekerasan yang tidak pantas ditonton.” Jawaban itu membuat hati Putri sedikit lebih bertoleransi pada perceraian.

“Thank you,” jawab Sarah. “Ada lagi berita baiknya. Aku mengambil cuti dan bisa pergi ke Indonesia bersamamu. Bagaimana?”

Mata Putri membesar, tidak percaya, “Benarkah?”

Sarah mengangguk mantap. Semangat Putri kini bangkit lagi. Asal bersama Sarah ke kutub utara pun akan menyenangkan.

“Berapa hari rencana liburanmu?” tanya Putri.

“Tiga minggu kukira cukup. Seminggu di rumahmu dan dua minggu lagi kita bisa ke Bali.”

Putri membayangkan Mama yang histeris, Papa yang mencabut keris pusaka, dan kakak-kakak yang mengutuknya anak durhaka karena setelah sembilan tahun tidak pulang, dia akhirnya memilih bersenang-senang di Bali, menyia-nyiakan segala persiapan Mama dan saudara-saudaranya untuk menyambut kepulangannya.

“Sangat mengasyikkan. Tapi, tidak bisa. Aku siap mengantarmu berkeliling kotaku, tapi kamu harus pergi sendiri ke Bali. Mama akan membunuhku jika aku ikut ke sana. Kamu mengerti kan bahwa ada suatu misi penting di balik kepulangan ini?”

“Ya. Bukankah kamu selalu mengeluh, mamamu sangat ingin kamu segera menikah, punya anak, dan hidup tenang seperti saudara-saudaramu yang lain?”

“Exactly.”

“Tapi, kamu tidak punya calon, tidak berpikir tentang pernikahan dan tidak tertarik punya anak.” Sarah meneruskan dengan penuh kemenangan, sementara Putri mengangguk-angguk dengan hikmad. “Lalu, mamamu berkata, kamu sudah tua, umur mulai menggerogoti hari-harimu, dan sekarang kamu tidak punya banyak pilihan. Kamu akan memilih pria mana saja, yang penting baik, ada pekerjaan tetap, tidak merokok, mabuk-mabukan atau memakai obat-obatan, dan hormat pada orang tua.”

“Begitulah,” Putri menelungkup pura-pura sedih. “Bahkan, Mama lebih mementingkan dirinya dengan memasukkan kriteria hormat pada orang tua. Perasaanku malah tidak dibahas sama sekali. Sepertinya, aku ini hewan ternak saja. Bahkan, ukuran wajah pun tidak disebut-sebut. Seharusnya, pria itu tampan sedikit sehingga saat pertama bertemu aku akan jatuh cinta pada wajahnya, cinta pada yang lain-lain bisa menyusul. Atau, mungkin, ada kriteria harta kekayaan. Bahkan, Beauty pun lebih beruntung. Meski, Beast awalnya mengerikan, setidaknya dia kaya raya dan punya istana.”

Sarah memerhatikan dengan geli.

“Hei,” Putri berkata dengan sebal, “Kenapa kamu tidak pernah direcoki ibumu seperti ini?”

Sarah mengangkat bahu, “Mungkin, Jackie tidak peduli pada hal-hal begitu. Selama aku tidak sakit, tidak terlibat utang, tidak ketagihan narkoba, punya uang, dan tidak mengganggunya, itu sudah cukup. Mungkin juga, dia berpikir bahwa aku tipe yang tidak menikah. Entahlah. Aku tidak pernah bertanya dan tidak mau repot-repot bertanya.”

Putri berdiri berjalan ke sudut batas antara dinding dan kaca, menarik tali tirai. Di balik tirai yang sekarang terbuka, tampak pemandangan kota Manhattan yang luar biasa. Ribuan lampu bersinar kemilau sejauh mata memadang. Seperti kunang-kunang atau bintang-bintang yang turun ke bumi. Persis seperti di film-film romantis yang sering ditontonnya. Sering kali, jika Sarah tidak di rumah, harus lembur, berkencan, atau menikmati sosialisasi malam, Putri akan duduk berjam-jam, memandangi keindahan yang telah mencuri hatinya.

Pemandangan yang sungguh menakjubkan setidaknya itu menjadi salah satu alasan kenapa apartemen tempatnya sekarang berdiri begitu mahal. Sehingga, orang yang jujur, pekerja keras, namun berpenghasilan kecil seperti dia, hanya bisa memimpikannya. Putri berbisik dalam hati, seandainya tidak ada Sarah, pastilah dia masih tinggal di lubang tikus. Dia menarik napas panjang untuk mengusir rasa nyeri yang menusuk-nusuk di dada. Hidupnya ini, semua karena Sarah.

“Princess, menurutmu, apakah tidak apa-apa jika aku tidak membawakan sesuatu untuk keluargamu?”

Yah, sejak Sarah tahu arti namanya, dia pun memanggilnya Princess. Meski lain ucapan, artinya sama dan mudah diucapkan.

“Tidak perlu,” kata Putri. “Kamu sudah begitu baik saat Mama dan Papa ke sini. Tanpa apa-apa pun, mereka pasti gembira menyambutmu. Bisa membalas sedikit kebaikanmu pada anak mereka tentu sangat menggembirakan.”
Sarah mengambil tiket Putri di meja.

“Copellia Putri,” katanya, membaca nama itu, sambil nyengir jahil. “Nama yang aneh.”

“Kukira, saat hamil Mama membaca cerita itu dan memutuskan menamai bayinya Copellia bila perempuan. Sebetulnya, jika boleh memilih, aku lebih suka jadi lelaki. Nama Frans lebih enak didengar.”

“Copellia itu bukan putri. Dia boneka yang dibuat Copellius si ahli sihir.” Sarah menggerak-gerakkan tangannya, seakan-akan menyihir sesuatu. Lalu, berkata dengan suara dibuat-buat, “Frans memandangi Copellia yang duduk di depan jendela. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama dan lupa pada pertunangannya dengan Swanilda. Setiap hari dia melewati rumah itu, hanya untuk memandang wajah cantik Copellia dari bawah jendela.”

“Yah, sepertinya, Mama meramal masa depan dengan baik. Bukankah sekarang dia sudah mulai membuktikan bahwa aku adalah bonekanya? Taliku mulai ditarik-tarik sesuai keinginannya. Aku harus memikat Frans-Frans yang dipilihkan Mama.”

“Sepertinya, usaha Copellius harus benar-benar kuat karena kau bukan jenis boneka penurut. Setidaknya, kau harus bersyukur menjadi Copellia, yang pastilah begitu cantiknya, sehingga bisa memikat hati Frans. Pasti dia tipe perayu. Sekarang, yang menarik adalah apakah kau juga akan jadi wanita kedua di antara kisah cinta orang?”

Putri menggeleng kuat-kuat, “Kupastikan tidak.” Lalu, dia menghela napas, “Kamu tahu, di Indonesia nama itu sangat penting. Nama adalah doa dari orang tua kepada anaknya. Apa namaku juga doa untukku? Kelihatannya, Mama berharap, jika dewasa aku akan menjadi wanita cantik, yang hanya dengan wajahnya saja dapat merusak pertunangan orang. Coba kamu pikir, harapan macam apa itu?”

Sarah tertawa. Putri mendelik, “Apa yang lucu?”

“Kamu. Kenapa hal begitu saja jadi masalah? Shakespeare saja bilang, apalah arti sebuah nama. Mungkin, mamamu tidak peduli komedi percintaan Copellia. Dia hanya tertarik dan berpikir bahwa nama itu kedengaran bagus. Bukankah dia juga memberikan nama Putri bagimu. Bukankah keduanya orang-orang yang cantik?”

Putri menopang dagunya dengan tangan. Sebetulnya, dia tidak ingin pulang. Bukan karena dia tidak kangen keluarganya, tapi dia tahu kepulangannya itu akan membawa banyak masalah. Dipandanginya lagi kegelapan malam dengan ribuan kilau bertaburan. Dia memang boneka, tapi bukan si cantik Copellia yang berdansa dengan Frans di pesta desa, tapi boneka badut dengan mulut besar merah yang tertarik ke bawah. Dia mungkin lebih mirip Frans, yang jatuh cinta pada orang yang salah. Putri berharap, seandainya saja waktu bisa dipercepat, sehingga dia tak harus melewati hari-hari yang akan datang dengan cepat.

“Kupikir, mungkin Coppelia lebih tertarik pada Swanilda yang pintar dan berani, ketimbang Frans yang bodoh,” gumamnya pelan.

Perjodohan yang dirancang mamanya membuat Putri teringat perjodohan panda yang pernah ditontonnya di televisi. Dengan kamera di setiap sudut dan perhatian 24 jam, tak ada tempat untuk berlari.

You have new mail! Kata-kata itu langsung muncul ketika Putri membuka notebook-nya.
Hai, Princess! Bali memang surga. Kemarin aku berkenalan dengan Nick, pria Inggris. Dia tampan, tinggi, rambut cokelat, mata biru. Kami menginap di hotel yang sama, dan siang ini akan melancong berdua. Karena setiap tahun selalu ke Bali, Nick sangat mengenal jalan-jalan di sini. Dia bersedia memanduku. Bagaimana perjodohanmu? Bukankah kemarin kamu menemuinya?

Putri benar-benar putus asa. Sarah sepertinya sedang bersenang-senang, sementara dia harus menghadapi misi mamanya. Dua hari yang lalu seluruh anggota keluarganya mengantar Sarah ke Bandara. Sekali lagi Sarah menunjukkan bahwa dia dicintai banyak orang. Setelah menginap empat hari di rumah, menjelajah banyak tempat, dan mengumpulkan banyak souvenir, Sarah memutuskan untuk lebih cepat berangkat ke Bali, sebelum pulang ke New York.

Hari-hari liburan bersama Sarah sungguh menyenangkan. Mereka sudah menjelajahi Wedoro dan membeli banyak sandal murah, namun cantik. Ke Tanggul Angin dan pulang membawa jaket kulit, dompet, dan tali pinggang. Sarah juga membeli tas dari jalinan eceng gondok, yang dihias bunga-bunga kering untuk mamanya. Mereka mengunjungi argowisata, naik kuda, memetik apel, jeruk, dan strawberry. Berenang di air pegunungan yang membuat bibir-bibir kebiruan dan berendam di air panas berbelerang. Mereka juga berwisata arung jeram dan makan seafood pedas di tepi pantai. Terakhir, Putri mengajak Sarah menginap di Bromo, menikmati keindahan gunung berapi, lautan pasir yang terbentang luas, dan menakut-nakutinya dengan cerita-cerita orang yang dijahili penunggu Gunung Bromo. Liburan yang betul-betul menyenangkan.

Tapi, ketika pesawat Sarah lepas landas ke Bali, Mama langsung menggeret Putri, “Ayo, kita pulang dan bongkar kopermu. Kita pilih pakaian apa yang akan kamu kenakan besok.”

“Besok ada apa?” tanya Putri, yang terseret-seret.

“Arisan kantor. Mama ingin mengenalkan kamu pada putra teman Mama,” Mama bicara blakblakan.

“Apa maksudnya?” Putri menanyakan pertanyaan yang tidak perlu. Dia sudah tahu jawabannya.

Mama sepertinya tidak ingin panjang lebar menjelaskan. Dengan gayanya yang tegas, seperti sedang menghadapi mahasiswa yang ngeyel, dia berkata, “Lihat dulu. Jika tidak suka, katakan besok. Tidak perlu ribut sekarang.”

Putri berhenti berjalan. Akibatnya, dia hampir jatuh ditabrak kakaknya dari belakang. Gawat, pikirnya. Pria bagaimana yang bisa membuat Mama begitu yakin bahwa dia tidak akan menolak pilihannya. Dan lagi, apa pria itu sudah menyatakan bersedia? Mungkinkah Mama sudah memberikan fotonya? Dan, pria itu, tanpa bertemu langsung, sudah langsung setuju. Aduh, benar-benar karakter Copellia, yang tanpa perlu bergerak atau berbicara, sudah bisa memikat hati pria.

Dengan dandanan sopan dan feminin, berupa gaun sutra biru bertali yang harus dikenakan dengan blazer yang sudah kuno, Mama membawanya ke neraka dunia bernama arisan. Betapa mengerikan, karena ternyata semua orang yang datang sudah tahu tentang perjodohan itu. Mereka mengawasinya dengan ketat, yang membuatnya tidak nyaman. Apalagi, ketika calon jatung hati pilihan mamanya datang, semua memandangnya tanpa malu-malu, seakan berharap bisa melihat matanya bersinar, membentuk hati yang berkedip-kedip.

Saat itu Putri teringat perjodohan panda yang pernah ditontonnya di televisi. Dengan kamera di setiap sudut dan perhatian 24 jam, tak ada tempat untuk berlari. Lalu, ketika panda-panda itu menunjukkan tanda-tanda untuk saling mengenal, setiap pasang mata mengamati dengan tajam. Saat lagu cinta berkumandang, tepuk tangan membahana di mana-mana untuk pasangan kasih tahun ini. Orang-orang di seluruh dunia ikut gembira merayakannya.

Sekarang dia pun seperti panda yang langka itu. Putri ingin berlari pulang, tapi harga diri melarangnya berbuat sebodoh itu. Begitulah jika harus menjunjung tinggi nama keluarga.

Pemuda itu berjalan separuh diseret mamanya menghampiri Putri. Kelihatannya dia tidak ikhlas seratus persen dengan perjodohan itu. Timbul perasaan senasib di hatinya. Awal yang baik. Setidaknya, pemuda itu bukan tipe pria yang sudah sangat putus asa dan menerima apa pun yang disodorkan mamanya, asalkan bernyawa.

Ketika mereka berjabat tangan, para pengamat merespon dengan saling berbisik dan segera meninggalkan mereka berdua, sepertinya sepakat untuk membiarkan pasangan baru ini saling mengenal lebih dekat. Jadilah Putri dan pemuda bernama Hari itu berdiri diam di pojokan, sambil memandangi orang-orang di sekitarnya.

Setelah sepuluh menit yang panjang, Hari berdeham, membuat Putri menoleh, berharap pemuda itu melontarkan topik bagus, yang dengan senang hati akan dibahasnya untuk memecah kesunyian ini.

“Apa kamu mau minum?” tanyanya. Putri mengangguk.

Bukan topik yang bagus. Tapi, tak apalah. “Gin juga boleh.”

“Di sini tidak ada minuman seperti itu,” jawab Hari, kaku.

“Bukan, maksudku sirop saja. Aku suka sirop,” Putri terbata-bata. Ya ampun, pasti pemuda ini berpikir dia tukang mabuk. Padahal, seumur hidupnya, meski tinggal di luar negeri, dia tidak pernah minum minuman keras. Hanya gara-gara stres perjodohan, semua makcomblang di sini akan tahu ketika pemuda ini mengadu pada ibunya, bahwa calonnya tukang mabuk. Meski tidak menyukai perjodohan ini, Putri tidak ingin dicap tukang mabuk.

Aku harus tabah, Putri membatin. Bridget Jones pun mengalaminya dan dia bahagia. Ketika Hari dan sirop merah jambunya datang dengan wajah yang sewarna sirop itu, Putri terbata-bata berkata, “Terima kasih. Anu… maaf, sebenarnya aku tidak pernah minum-minuman beralkohol, tetapi karena sering memesan untuk bos jadi keceplosan.” Saat itu juga batinnya memprotes, kenapa harus menjelaskan segala.

Sambil tersenyum Hari berkata, “Tidak apa-apa.”

Lalu, dimulailah lagi permainan adu bisu. Tapi, Putri tidak tahan dengan keheningan itu. Sepertinya, hal ini cukup menjelaskan kenapa pria ini belum juga menikah. Dia tipe yang menganut prinsip diam itu emas. Dari ujung matanya dia meneliti makhluk yang berdiri di sampingnya. Tubuhnya lebih tinggi dari ukuran pria Indonesia biasa, dengan wajah lumayan, hidung mancung, bibir tipis, dan kulit sawo matang, Putri yakin, Sarah pasti tertarik mengenalnya. Tapi, kebisuan itu pastilah membuat wanita normal mana pun segera mengambil langkah seribu.

Putri melirik jam tangannya. Sudah dua puluh menit mereka saling diam. Itu hal biasa jika sedang bekerja. Tapi, dalam situasi ini menunjukkan bahwa pria ini kurang waras. Atau, dia juga mungkin kurang waras, karena dia juga bertanggung jawab dalam permainan paling lama menjadi patung. Karena, toh, dia juga tidak melempar topik pembicaran.

Aku sudah tidak tahan, pikir Putri. Lalu, seperti wanita normal lainnya, dia akhirnya buru-buru berkata, “Maaf, aku keluar sebentar.” Separuh berlari, Putri keluar ruangan dan langsung ke jalan dan menyetop taksi pertama yang lewat.

Kedatangan kakaknya, Nani, membuyarkan rekaman memori yang sedang diputar di kepalanya. Dilihatnya Nani membawa bungkusan besar.

“Apa itu?” tanya Putri, heran.

“Pakaian yang akan kamu kenakan nanti malam.” Nani membanting buntelan itu ke ranjang, tempat Putri sedari tadi berbaring menelungkup.

Putri menghela napas. Setelah kejadian paling memalukan kemarin, dia tidak menduga, ketika pulang, Mama berkata dengan santai, “Besok malam kan malam Minggu, Hari ingin mengajakmu keluar.”

Tanpa pembukaan yang manis, tanpa pertanyan tentang kesediaannya, itu berarti sebuah ultimatum.

Putri menggeleng dan mendongak melihat kakaknya, “Aku sudah lupa. Coba ceritakan, apakah dulu Kakak mendapatkan Mas Agung sendiri atau juga dicarikan Mama.”

Kakaknya tersenyum. “Tentu kucari sendiri. Hal yang begitu penting sehingga Mama tidak bisa ikut campur. Ini sebenarnya agak aneh. Kukira, Mama tidak akan bisa menancapkan cakarnya kepadamu, tapi kamu ternyata tetap anak baik dan penurut, ya. Tidak seperti seorang lajang yang hidup mandiri di negeri orang.”

“Apakah Kakak berharap aku marah-marah dan melarikan diri dari rumah.”

“Yah… begitulah perkiraan kami semua.”

Kami semua? Hmm… ternyata Mama telah membicarakan masalahnya pada semua keluarga, teman-teman, bahkan mungkin seluruh kenalan, seperti tukang sayur langganan atau pegawai salon tempat Mama biasa mewarnai rambut untuk menutupi ubannya.

Putri menerawang, “Dia wanita yang melahirkan aku. Nyawanya dipertaruhkan ketika aku lahir ke dunia. Aku sudah pergi begitu lama dan sekarang baru pulang. Alangkah buruknya aku jika kepulangan ini diisi dengan pertengkaran.”

“Wah, ternyata New York membuatmu menjadi lebih baik.”

“Kukira, tidak. Kota itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Tapi, kota itu membuatku menjadi lebih menghargai apa yang kumiliki di sini.”

“Begitu juga bagus. Meski agak memaksa, Mama berniat baik dan keputusan tetap ada di tanganmu. Jika kamu berkata tidak, semua akan mendukung keputusan itu. Nah, sekarang mari kita cari pakaian apa yang akan kamu pakai malam ini karena Mama telah menugaskan aku untuk mengawasi cara berpakaianmu. Mama mengeluh, baju-bajumu banyak yang terlalu terbuka. Sangat tidak cocok dipakai wanita berumur.”

“Gila!” teriak Putri. “Aku masih muda! Dan, di New York pakaian seperti itu dipakai bahkan oleh nenek-nenek sekalipun.”

Nani terkikik-kikik lama, sambil membongkar barang bawaannya. Mau tak mau, Putri ikut-ikutan duduk untuk melihat koleksi pakaian kakaknya yang akan dipinjamnya malam ini.

Perjodohan yang dirancang mamanya membuat Putri teringat perjodohan panda yang pernah ditontonnya di televisi. Dengan kamera di setiap sudut dan perhatian 24 jam, tak ada tempat untuk berlari.

Setelah berpamitan dengan Papa, yang sedang duduk di teras belakang, Mama mengantar Putri dan Hari keluar dengan wajah berseri-seri, seakan-akan malam itu mereka telah resmi menjadi pasangan.

Putri tidak habis pikir, setelah perkenalan yang mengerikan kemarin, pemuda ini masih mau menemuinya. Mungkin, dia termasuk anak yang sangat patuh pada orang tuanya. Tipe seperti itu biasanya membosankan dan akan lebih mementingkan orang tua daripada istrinya. Jika dilihat sepintas, pastilah kelihatan seperti anak yang berbakti. Tapi, kalau ditelusuri lebih jauh, ternyata anak yang tidak mandiri. Atau, mungkin benar, dia tipe yang putus asa dikejar waktu dan harapan keluarga, terutama mama dan papanya, yang ingin segera menimang cucu. Atau, seperti manusia berdarah biru, yang diburu-buru untuk menyediakan ahli waris agar gelar mereka tetap terjaga. Atau, yang paling mengerikan, tipe manusia yang tidak punya pikiran apa-apa. Semuanya sama tidak menyenangkan.

“Mau ke mana kita?” tanya Hari.

“Terserah,” jawabnya. Dan, dia bersungguh-sungguh.

Hari tampak berpikir sebentar, “Bagaimana kalau nonton? Kamu suka film apa? Tapi, mungkin banyak film yang sudah kamu tonton di sana baru diputar di sini.”

Putri takjub, orang ini bisa ngomong juga. “Begini saja,” kata Putri, “Ayo, kita ke Kya-Kya.”

“Oke. Kalau begitu kita putar di sini.”

Mereka terdiam lagi. Tapi, Putri sekarang tidak begitu ambil pusing. Dia sedang menikmati pemandangan kota di waktu malam. Entah kenapa, setelah tiba di sini dia baru merasa bahwa dia merindukan semua ini, bagian dari masa lalunya yang tidak mungkin terlupakan.

“Aku minta maaf, kemarin sikapku sangat tidak pantas.” Suara Hari memecah kesunyian.

“Apa?” Putri tidak begitu mendengar.

“Kemarin di tempat arisan itu. Aku yakin, kamu berpikir bahwa aku sebangsa idiot,” kata Hari, sambil terus berkonsentrasi menyetir. “Menjadi seorang pria di sarang ibu-ibu begitu sangat tidak menyenangkan. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kita, terutama aku. Tapi, aku merasa seperti makhluk percobaan yang sedang diamati.”

Putri sekali lagi terkejut karena Hari ternyata bisa bicara lumayan panjang dan jujur. Dia juga merasakan hal yang sama.

“Tidak apa,” balasnya, “Aku juga sama sepertimu. Malah, aku berpikir, kita berdua seperti panda di kebun binatang, didatangkan untuk menjadi tontonan, tanpa memperhatikan perasaan hewan tersebut.”

Hari tampak heran, “Begitulah perasaanku.”

Putri memandangi Hari agak lama berusaha menyelami perasaannya lalu berkata, “Begini, kupikir, kita berdua sama-sama tahu apa yang dipikirkan dan diharapkan mama-mama kita. Jadi, untuk itu sebaiknya kita menjalin persahabatan dulu untuk saling mengenal diri masing-masing.”

Dia memandang reaksi Hari yang terpantul dari raut wajahnya dan meneruskan, “Karenanya, kita saling bicara jujur dan menjadi diri sendiri. Tidak ada kepura-puraan, bukan?”

Putri memaki dirinya. Mungkin, Hari akan berpikir bahwa dia terlalu berterus-terang. Tapi, Putri ingin menjalani sisa liburannya dengan tenang. Karenanya, dia perlu kerja sama orang ini.

“Aku setuju sekali.” Hari mengangguk, tetap memandang ke depan.

Di malam Minggu, jalanan di Surabaya masih macet sehingga memerlukan konsentrasi tinggi. Motor-motor melewati gang-gang kecil di antara badan-badan mobil. Menyalip sana-sini, baik motor atau mobil. Lengah sedikit saja, kendaraan lain akan menyerobot.

“Boleh aku menyetel kaset?” tanya Putri, setelah lama berdiam diri.

“Silakan, tapi koleksiku agak terbatas.”

Putri membolak-balik kaset-kaset itu. Memang tidak banyak pilihan. Hanya ada tiga dan semuanya lagu Indonesia. “Kelihatannya, kamu tidak menyukai musik? Pasti kamu bukan tipe romantis.”

Hari tersenyum, “Apakah kamu selalu berkata terus terang?”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Hanya, untuk ukuran orang Indonesia, kamu agak di luar kebiasaan.”

“Begitukah? Hanya karena aku mengatakan bahwa kamu bukan tipe romantis? Baik, aku akan lebih berterus terang. Sebetulnya, aku orang yang paling pintar menjaga sikap. Aku selalu berhati-hati agar tidak menyakiti hati orang karena tidak ingin punya musuh. Aku juga pintar menjilat agar pekerjaan lancar. Setiap hari aku memuji bos, juga teman-teman yang berhubungan denganku, mendengarkan omongan mereka, meski kadang-kadang aku ingin menyumpalkan kaus kaki ke mulut orang-orang itu. Aku juga pintar menjalin hubungan baik. Contohnya, aku sering membawakan makanan untuk Sandy, asisten bos besar, sehingga dia selalu mendahulukan kepentinganku.”

Hari tertawa, meski Putri tidak tahu apa yang lucu.

“Gaya bahasamu sinis dan kasar.”

“Begitukah menurutmu? Aku hanya bicara apa adanya.”

Putri mengawasi Hari, yang menyetir pelan-pelan, melewati mobil-mobil yang tersusun mencari tempat parkir. Setelah memarkir mobil, Putri dan Hari berjalan memasuki area Kya-Kya yang terang benderang.

“Seperti pecinan, ya?” kata Putri, mengamati lampion-lampion yang bergantungan di sepanjang area itu.
Mereka lalu memesan dua porsi kepiting asam manis dan dua gelas jeruk manis hangat sebagai makanan pembuka.

“Apa pekerjaanmu?” Putri merasa pertanyaannya terkesan menyelidik, tapi dia tidak peduli.

Hari tersenyum. Malam ini dia banyak tersenyum dan kelihatan sangat manis. “Apa mamamu belum mengatakannya? Kalau begitu, coba tebak?”

“Kalau melihat mobilmu yang masih baru dan mahal, sepertinya kamu pialang saham, atau pengacara, atau manajer pemasaran. Tapi, karena ini Surabaya, tebakanku bukan itu. Kamu terlalu santai untuk menjadi ketiganya. Jadi, kuputuskan kamu pasti dokter.”

“Wow, kamu hebat,” kata Hari, “Bagaimana bisa? Atau, jangan-jangan, mamamu telah memberitahu.”

“Tidak,” kata Putri, menggeleng, “Di sini dokter masih memiliki nilai ukur yang tinggi di mata masyarakat. Mengingat Mama sangat terkesan denganmu, pastilah kamu patut dibanggakan. Kalau pegawai negeri, kamu juga cocok. Karena, seperti aku bilang tadi, kamu kelihatan santai. Bukankah pegawai negeri selalu santai?”

“Tidak juga,” balas Hari.

“Begitukah? Sekarang tebakanku adalah kamu seorang dokter pegawai negeri, yang juga buka praktek sendiri.”

“Kenapa begitu?

“Karena, kamu menyanggah sewaktu kubilang pegawai negeri itu santai. Berarti, kamu membelanya. Dan, mobil itu tentu tidak didapat dari gaji pegawai negerimu ‘kan?”

“Kamu pintar sekali,” puji Hari. “Aku memang dokter rumah sakit umum dan juga dosen dan juga buka praktek. Yah… penerus ayahku. Bahkan, tempat prakteknya pun aku yang meneruskan.”

“Dokter apa?” tanya Putri. Dalam hati ia berkata, tipe beginikah yang dipikir Mama bisa mencuri hatinya dan membuatnya kembali tinggal di sini? Mama salah besar, orang ini terlalu sempurna.

“Spesialis kandungan.”

“Wow…. Dengan ini semua, kenapa sampai sekarang kau belum menikah? Pastilah banyak ibu yang bermimpi menjadikan kamu menantu. Kalau kemarin, sih, kupikir wajar para wanita melarikan diri darimu karena kamu begitu pendiam, begitu seram. Tapi, sekarang kukira kamu oke juga.”

Hari terbahak. “Selama ini yang berani bertanya seperti itu hanya keluargaku saja, misalnya tante-tante yang cerewet. Tapi, wanita lajang yang baru kukenal ini ternyata berani juga.”

Putri mengamatinya lebih seksama. Kemarin dia mendapat kesan, Hari sangat matang. Mungkin, 40 tahun. Tapi, hari ini dia menyadari sesuatu. Hari pastilah belum empat puluh. Mungkin, tiga puluh delapan.

“Mengapa aku belum menikah?” Hari berpikir, sambil mengulangi pertanyaan Putri, lalu berkata pelan, “Mungkin, aku terlalu sibuk belajar dan bekerja.”

“Maksudnya? Kamu bekerja untuk membiayai sekolah?”

“Bukan. Maksudku, sewaktu kuliah aku sibuk sekali belajar sehingga tidak punya perhatian khusus terhadap lawan jenis. Pelajaranku begitu menarik. Dan, setelah bekerja, ternyata pekerjaanku juga menarik. Kadang aku berpikir untuk meneruskan sekolah ke luar negeri. Sebenarnya, Papa bersedia membayari separuhnya. Tapi, kupikir, lebih baik menunggu beasiswa. Aku ini tipe workaholic. Atau, barangkali juga, aku belum menemukan wanita yang tepat.”

Pesanan mereka datang. Kepiting besar dengan saus merah kental itu membuat Putri mengeluarkan kembali kebiasaan makan cara lamanya. Dia mengisap, menggigiti cangkang kepiting, dan menjilati jari-jari tangannya yang berlumuran saus.

“Enak sekali,” desahnya, di sela-sela kegiatan itu.

Hari tersenyum dan membalas, “Memang enak. Dan, melihatmu makan, kepiting ini jadi terlihat seribu kali lebih enak. Kamu wanita pertama yang tidak berpura-pura anggun di depanku. Kebanyakan wanita makan dengan posisi duduk tegak lurus, menyuap sejumput kecil dengan sendok mereka, dan mengunyah dengan mulut rapat.”

“Untuk apa? Aku, toh, tidak sedang makan di depan klien penting atau pemasang iklan terbesar di majalah tempatku bekerja.”

“Jadi, aku bukan orang penting?” tanya Hari, memancing.

“Begitulah,” jawab Putri, yang buru-buru nyengir ketika melihat ekspresi wajah Hari yang tampak terpukul.

Menurut Hari, Putri seperti lukisan yang penuh misteri. Tapi, karena itulah ia selalu memikirkan Putri. Apakah ini berarti perjodohan mereka berhasil?

Tante, ada Om Hari!” Ranti, keponakan Putri, menjerit dari ruang tamu.

Putri yang sedang mematut-matut diri di cermin, segera keluar kamar. Sejak dari Kya-Kya, Hari jadi sering bertandang ke rumah Putri. Bahkan, hampir setiap hari dia menyempatkan diri datang. Kadang-kadang sepulang dari mengajar atau dari rumah sakit, terkadang sebelum ke tempat praktiknya. Sore ini adalah malam Minggu kedua mereka pergi bersama.

Dibelainya kepala Ranti, ketika melewati gadis kecil yang sedang menyusun puzzle bersama kakaknya. “Thanks, Honey. Teriakanmu terdengar sampai ke ujung jalan.”

Hari, yang sedang duduk di ruang tamu, tersenyum memandangnya.

“Ayo, kita pergi,” kata Putri, sambil membalas senyum Hari. “Ranti ingin dibawakan apa, nih?”

“Tidak usah. Terima kasih, Tante. Soalnya, Tante Sarah akan datang besok. Katanya, dia mau membawakan hadiah buat Ranti.” Gadis kecil itu berkata penuh keyakinan, sambil menggeser potongan puzzle yang tidak cocok.

“Apakah kamu yang menerima teleponnya kemarin?” Sekarang, mamanya menatap penuh curiga. Ketika gadis kecilnya mengangguk, Nani berkata, “Apa kamu meminta sesuatu?”

“Enggak, kok, Ma. Mama kan sudah bilang supaya aku tidak minta apa-apa pada orang lain.”

“Bagus,” kata Putri. “Aku yakin, Sarah memang berjanji membawakan hadiah karena dia memang baik. Ayo, kita pergi.” Putri mencium pipi keponakannya, lalu melambai pada kakaknya.

Sambil berjalan ke mobil, Hari bertanya, “Sarah itu teman satu apartemenmu, ya?”

“Ya,” jawab Putri, lalu membuka pintu mobil.

“Dia bekerja di mana?” tanya Hari, setelah menjalankan mobil ke luar dari halaman rumah Putri, yang kecil tapi asri, penuh tanaman hijau dan bunga-bunga.

“Dia pengacara,” sahut Putri cepat. “Kita mau ke mana?”

“Kamu ingin ke mana?” Hari balik bertanya. “Bagaimana kalau kita ke mal saja? Nanti di sana baru kita tentukan mau nonton, makan, sekadar jalan-jalan, atau melihat-lihat buku. Mama kamu bilang kamu sangat suka membaca.”

“Kalau begitu, kita cari mal yang ada tempat biliarnya. Aku pintar main biliar, lho.”

“Betulkah?” tanya Hari, heran.

“Tentu. Karena, aku pernah menjadi penjaga meja biliar.”

“Wow! Pasti itu untuk riset tulisanmu, ‘kan? Kukira, pengalamanmu tinggal di New York pasti sangat mengasyikkan bila dibuat buku.”

“Mungkin benar, tapi mungkin juga tidak,” kata Putri, melamun. “Di sana cerita hidupku merupakan hal biasa dan tidak ada istimewanya.”

“Kalau kuingat-ingat, kamu jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah bercerita tentang kehidupanmu di sana,” kata Hari, sambil mengulurkan uang untuk membayar tol.

“Yah, karena menurutku tidak ada yang istimewa. Jadi, buat apa diceritakan.”

“Betulkah tidak ada yang istimewa? Atau, justru karena ada yang sangat istimewa, sehingga ingin dirahasiakan?” goda Hari. “Mungkin, kamu sudah punya kekasih?”

Putri tertawa. “Khayalan yang bagus sekali, tapi kurang kreatif. Bagaimana kalau kau kembangkan khayalan itu dan jadikan sebuah cerita yang lebih seru. Misalnya, kekasihku itu tampan, tinggi, postur tubuhnya indah bak Hercules, dan punya uang segudang. Sang multijutawan dengan seorang istri yang cantik, namun dingin.”

“Wah, pantas saja kamu masih lajang. Si pria idaman ternyata tak bisa didapat karena dia telah beristri dan punya anak banyak,” sambung Hari.

“Terdengar seperti karakter Copellia, sang penggoda. Tapi, dalam versi Indonesia yang sopan. Karena pria itu punya banyak anak dan karena di sini moral tetap diperhitungkan, maka aku dan playboy itu tidak bisa bersatu. Tetapi, dalam versi aslinya, pernikahan itu tidak harus berarti ada anak-anak. Wanita Manhattan tidak seperti keluarga Braddy Bunch, yang punya tim voli. Lagi pula, para pengejar harta tidak peduli pada perkawinan karena setiap pria akan selalu tampak lajang di mata mereka.”

“Wah, kamu membuatku terkejut. Tapi, itu tidak nyata, ‘kan?”

“Apakah kamu tahu namaku Copellia?” tanya Putri.

Hari mengangguk.

“Kalau begitu, cobalah cari kisah tentang Copellia. Dengan demikian, kamu akan tahu apa yang diharapkan orang tuaku. Meskipun, untungnya, aku tidak seperti itu.”

”Aku pasti akan mencari kisah itu,” kata Hari, lalu memindahkan persneling mobil. Mobil melaju sangat kencang. “Bersiaplah. Karena aku ingin menguji keandalan mobil ini.”

Mobil menderu halus, meskipun kecepatannya sudah melebihi 100 km/jam. Seperti peluru yang bermata, melaju kencang, namun dengan enaknya berkelit menyalib sana-sini. Seharusnya, dia menjadi pembalap, pikir Putri, yang agak takut kalau nyawanya akan melayang di jalan bebas hambatan ini. Dia tak rela kalau itu terjadi.

Mobil melambat dan kembali pada kecepatan normal, ketika mendekati mulut keluar tol.

“Asyik, bukan?” Hari memandang Putri, yang tampak agak pucat.

“Betul, sangat asyik,” jawab Putri, yang merasa agak mual.

Hari tertawa. “Kamu berbohong. Kelihatan sekali bahwa jantungmu akan copot.”

“Apa kamu selalu seperti ini?” Putri bertanya.

“Ya, aku sering melakukan hal ini. Ini untuk menguji mobilku, apakah mobil ini memang hebat, sesuai dengan apa yang sudah kubayar. Kamu tahu, aku suka barang bagus. Jika ada yang ingin kumiliki, tapi belum kesampaian, aku selalu ingat sampai kapan pun dan berusaha agar suatu saat bisa kumiliki. Semua milikku barang bagus.”

“Kamu terdengar sombong,” cela Putri.

“Bukan begitu. Aku hanya menjelaskan bahwa aku menyukai barang yang bermutu. Benda-benda itu kubeli tidak sekaligus, tapi kukumpulkan satu per satu. Dan, biasanya, lama baru kuganti. Aku tidak suka barang murah yang cepat rusak, tapi aku suka yang baik dan tahan lama. Kamu tahu, baru-baru ini aku mengganti ponsel yang sudah lima tahun kumiliki. Teman-temanku sering tertawa melihatnya dan mengejek bahwa ponselku keluaran zaman batu. Namun, aku tetap suka. Hanya, sekarang aku perlu yang lebih canggih dengan banyak fasilitas. Bukan untuk mengikuti mode, namun karena kebutuhan. Kamu tahu, banyak orang di Indonesia yang punya ponsel canggih, tapi tidak bisa atau tidak pernah menggunakan kecanggihannya. Mereka itu membeli dan gonta-ganti ponsel hanya demi gengsi.”

“Kalau begitu, apakah semua benda-benda milikmu betul-betul nomor satu?”

“Ya, tapi untuk ukuranku,” Hari menegaskan.

“Bagaimana dengan calon istrimu?” pancing Putri. “Apa dia juga harus nomor satu?”

“Begitulah.” Hari tersenyum. Entah dia serius atau main-main.

“Kalau begitu, seharusnya kamu memilih yang cantik, pintar, kaya, dan baik. Pokoknya, sempurna. Apakah tidak ada ibu dokter yang punya spesifikasi begitu?”

“Aku lebih suka yang lulusan Amerika, lebih bergengsi,” Hari kembali merayu.

“Dokter yang dari Amerika? Wah, itu susah,” balas Putri.

“Jurnalis dari sana pun tak apa.”

Putri tidak menanggapi ucapan Hari, dia hanya tersenyum dan membatin. Apakah dia barang yang bagus? Jika tidak bagus, bagaimana? Apakah akan dibuang? Enak saja, pikirnya sebal. Dan, mobil terus melaju, menelusuri kegelapan malam.

“kamu cukup gaya untuk kebanyakan wanita indonesia. tapi, seperti ada kesedihan yang muncul lewat kata-kata sinismu.”

Apakah Nick harus ikut hari ini?” Putri bertanya merajuk.

Sarah sudah dua hari menginap di rumahnya dan Putri merasa sebal karena Sarah membawa pria itu. Meski Nick menginap di hotel, selama dua hari ini dia dan Sarah seperti prangko yang menempel lengket. Putri tahu, hanya rasa hormat dan persahabatan saja yang mampu menahan Sarah untuk tidak ikut tinggal dengan Nick di hotel.
Putri sebal pada Sarah, yang selalu bercerita tentang Nick, dari bangun pagi sampai detik-detik menjelang tidur. Nick begini, Nick begitu, aku merasa begini, aku merasa begitu. Topik itu tidak berubah. Hanya seputar Nick dan perasaan Sarah. Membosankan sekali.

Putri mengamati, Sarah yang selama ini kebal terhadap cinta itu, sekarang jatuh hati pada pria Inggris. Sepertinya, panah cupid kali ini mengarah ke tengah jantung Sarah, tepat di tempat mematikan. Padahal, menurut Putri, Nick tidak terlalu menarik jika dibandingkan pria-pria yang pernah singgah dalam hidup Sarah.

Jenggotnya tampak ketinggalan zaman. Dia juga kelihatannya bukan pencinta tempat kebugaran, jika dilihat dari badannya yang agak loyo. Sama sekali bukan tipe Sarah. Jika makhluk yang dicintai Sarah itu datang dari tempat yang sama dengan Putri, pasti saat ini Putri mengira bahwa Sarah telah kena guna-guna. Sayangnya, mereka berdua berasal dari abad 21, sehingga apa pun yang tidak dapat diterangkan dengan pengetahuan, bukan hal yang tepat untuk mereka.

“Oh, tentu dia harus ikut. Masa dia dibiarkan jalan-jalan sendiri. Kasihan, ‘kan?”

Putri sama sekali tidak kasihan. Apa yang harus dikasihani dari pria berumur kepala empat, matang, mandiri, dan punya banyak uang itu? Dia kan bukan bayi atau anak kecil yang tersesat.

“Hari ini mau ke mana?” tanya Putri.

“Karena besok aku pulang, lebih baik hari ini kita mencari oleh-oleh saja. Coba kulihat catatanku dulu…. Aku sudah punya tas, jaket kulit, sandal, dua kalung perak dan mutiara, satu patung kayu ganesha, jadi…,” Sarah berpikir-pikir, “aku mau membeli beberapa kain batik dan baju kebaya seperti kepunyaanmu. Aku suka memakai kebaya. Di Bali, Nick membelikan aku pakaian tradisional itu dan aku berdandan seperti wanita-wanita Bali. Kami pergi ke Tanah Lot dan ikut berdoa di sana. Senang sekali. Nick bahkan….”

“Ya, ya, ya, aku akan mengantarmu membeli semua itu, yang sebentar lagi pasti akan kamu buang, setelah Nick tinggal sejarah,” Putri buru-buru memotong karena tidak tahan mendengar topik Nick diangkat lagi. “Kau tahu, kau jadi menyebalkan.”

“Kenapa?” tanya Sarah, tak peduli, “aku sudah memberi tahu Nick untuk bersiap karena kita harus segera berangkat.”

Dia memasukkan barang-barang lain yang berserakan. Lipstik, tabir surya, pelembap, ikat rambut, dan kamus. “Kamu tahu, Princess, kupikir, Nicklah orangnya. Orang yang tepat dan kutunggu-tunggu selama ini.”

Putri tidak memandang ke arah Sarah. Dia merasa hatinya nyeri. Tidak terbayang bahwa Sarah ternyata akan meninggalkannya. Selama ini dia mengira hidupnya akan sama seperti dulu, hanya bersama Sarah dan pekerjaan yang dicintainya. Sekarang, ketika Sarah memiliki seseorang, dia akan ditinggalkan. Dan, Putri tidak rela.

“Jika kalian bersama, kamu pasti akan melupakan aku,” Putri berkata pelan.

“Kenapa?” tanya Sarah, yang sedang merapikan bedaknya. “Bukankah kamu juga sekarang bersama Hari? Bukankah hubungan kalian baik? Kalian berpacaran, bukan?”

“Kata siapa?” tanya Putri, ketus.

“Lho, mamamu bilang, kalian akan segera meresmikan hubungan.”

“Itu kan keinginan Mama.”

“Jadi, itu bukan maumu?” tanya Sarah. Wajahnya kini lebih serius. “Sekarang aku mengerti kenapa kamu kelihatan tidak suka pada Nick. Tenang saja, jika aku menjalin hubungan dengan Nick, tentu aku tidak akan melupakan adik kecilku ini.” Sarah sekarang sudah duduk di samping Putri, mengambil tangannya, lalu menepuk-nepuk tangan itu.

Jelas bagi Putri, Sarah tidak mengerti apa-apa. Saat itu dia ingin berteriak, mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya. Tapi, otaknya memaksa mulutnya terkatup rapat, mencegahnya melakukan suatu kesalahan yang akan disesalinya.

“Aku akan pulang tiga hari lagi.”

“Yah,” jawab Hari, lalu menggigit apel malang yang mereka beli di pinggir jalan, “cepat sekali waktu berjalan.”

“Sangat cepat.” Putri mengangguk, setuju. Dia memerhatikan pemandangan di bawah yang penuh lampu, persis dengan yang sering dilihatnya dari jendela rumah Sarah. Hanya, di sana minus pohon-pohon dan suara jangkrik. Ini malam Minggu terakhir sebelum dia berangkat. Keluarganya mengajak dia menginap di Batu. Mas Andri meminjam vila kepunyaan temannya. Mama, Papa, kakak-kakak, keponakannya, dan Hari, malam ini dapat menikmati hawa sejuk pegunungan.

“Kamu kedinginan?” tanya Hari.

Putri menggeleng. Dia dan Hari duduk-duduk di pelataran rumah yang sangat luas. Di sudut lain keluarganya sedang berbagi jagung gosong, hasil bakaran Papa dan Mas Agung. Putri menoleh, melihat Hari yang masih asyik menggigiti apelnya.

“Apa kamu tidak sakit perut makan apel malam-malam?”

Hari tertawa, sambil memandangi apel yang dipegangnya, mencari daging buah yang belum digigit. Dia berkata, “Aku ini kan dokter. Jadi, tidak pernah sakit. Kalaupun sakit, aku tahu obatnya. Lagi pula, apel kan baik untuk kesehatan.”

“Tapi, kalau dimakan malam hari dengan jumlah yang banyak, pasti juga tidak baik untuk kesehatan,” Putri membantah, mengangkat kantong plastik tempat buah apel, untuk menunjukkan bahwa isinya sudah berkurang banyak.

Hari tertawa lagi. “Betul juga. Tapi, karena aku sangat menyukai apel, biarlah risikonya kutanggung sendiri.”

Putri mengambil sebuah apel dan memutar-mutarnya, meneliti dari berbagai sudut. “Mengapa apel ini kecil sekali, ya? Penampilannya juga tidak seindah apel dari luar negeri. Apa mereka tidak dirawat?”

“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi, yang penampilan luarnya tidak baik belum tentu bagian dalamnya juga tidak baik, ‘kan? Seperti kamu, misalnya, penampilanmu juga tidak bagus. Apa kamu kurang perawatan?”

“Sembarangan! Kamu ngomong seenaknya saja!”

“Aku ngomong apa adanya. Dibandingkan dengan temanmu, Sarah, kamu kalah jauh.” Sekarang, Hari menatap Putri dengan sungguh-sungguh. “Penampilan kamu menyedihkan.”

“Apa?” Putri separuh berteriak. Pria ini kurang ajar sekali. Padahal, mereka baru beberapa minggu berkenalan. Kok, dia sudah berani bicara macam-macam? Bahkan, untuk ukuran orang New York yang suka bicara seenaknya, ucapan pria ini sudah kelewat batas.

“Aku hanya menirumu, yang selalu bicara terus terang.” Mata Hari berkilauan, lalu buru-buru melanjutkan, ketika Putri mulai membuka mulut untuk memprotes, “Sebentar, dengar dulu penjelasanku, jangan marah dulu. Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan penampilanmu. Kamu tampak cukup gaya untuk kebanyakan wanita Indonesia. Tapi, setelah aku mengenalmu, sering bertemu dan ngobrol, aku melihat sesuatu yang lain. Seperti suatu kesedihan yang membekas dalam, yang kadang-kadang muncul lewat kata-kata sinismu. Tapi, mungkin, itu hanya khayalanku saja. Penampilanmu sangat suram jika dibandingkan Sarah. Kalian berdua seperti lukisan yang sangat kontras. Dia lukisan bunga warna-warni yang sangat memikat sehingga membuat semua mata terpesona memandangnya. Kamu seperti lukisan kapal kecil di tengah badai di laut. Gelap, kusam, dan menimbulkan banyak pertanyaan. Mungkin, perumpamaanku tidak benar, tapi kesan itulah yang kutangkap.”

“Begitukah?” Putri menelengkan kepalanya ke arah Hari. “Kukira, itu wajar. Karena Sarah seperti lukisan Sunflowers karya Vincent Van Gogh, yang dipuja sepanjang masa, sedangkan perahu kecil di tengah laut itu cuma lukisan pinggir jalan, yang dibuat seniman tidak terkenal, yang tak ada artinya.”

“Lihatlah, aku benar, ‘kan? Kamu baru saja membuktikan kata-kataku.” Hari tampak gembira. “Yah, aku ini tidak pandai bicara. Tapi, sejak bertemu denganmu, aku merasa ada sesuatu yang lain di hatiku. Sejak pertama bertemu denganmu, kamu membuatku sering memikirkanmu.”

“Mungkin, benda ini bisa menjelaskan maksudku dengan lebih tepat, kata Hari, sambil menyelipkan sesuatu ke tangan Putri, yang sedang digenggamnya. “Kuharap, kamu mau menerimanya.

Putri membuka telapak tangannya dan di atas telapak tangan itu tergeletak sebentuk cincin emas putih dengan satu berlian berkilau di tengahnya. Berlian itu berkilau seperti bintang di langit gelap, namun terikat erat pada cincin, sehingga hilang kebebasannya.

“Apakah… apakah…,” Putri tidak bisa menyelesaikan kata-katanya.

“Ya, aku meminangmu sebelum kembali ke New York. Maukah kamu bertunangan denganku?”

Cincin itu terasa panas di telapak Putri. Diulurkannya cincin itu kembali ke tangan Hari, lalu menggeleng kuat-kuat. “Tidak, tidak bisa. Aku tidak bisa bertunangan denganmu.”

Hari seperti disambar petir. Wajahnya yang tadi bersinar, sekarang menjadi pias. Sambil masih menggenggam tangan Putri erat-erat, dia bertanya, “Kenapa tidak bisa?”

“Pokoknya, tidak bisa,” jawab Putri, tegas. “Begini, kita ini bukan lagi hidup di zaman Siti Nurbaya atau Romeo dan Juliet, yang meski dipisahkan jarak antara Padang dan Inggris, ternyata sama-sama punya orang tua yang suka seenaknya menjodoh-jodohkan anaknya. Ini zaman milenium. Kita berhak menentukan jalan hidup kita sendiri. Kamu tidak boleh menikah tanpa cinta. Dan, aku jelas-jelas juga tidak mau.”

Hari sekarang tampak lega. “Jika itu masalahnya, kukira kita hanya salah pengertian. Aku tidak pernah melamar seseorang yang dipilihkan mamaku, tanpa memikirkan perasaanku. Jika itu yang ingin kamu dengar, baiklah. Sebetulnya, sejak bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta padamu.”

“Itu gila!” bantah Putri.

“Apa yang gila? Sejak dulu orang sudah mengenal cinta pada pandangan pertama. Ketika kita bertemu di tempat arisan, meski tidak bicara, aku selalu mengamatimu. Saat itulah aku merasa kamu seperti lukisan perahu kecil di tengah laut. Begitu kecil, namun kuat. Lukisan yang suram, tapi untukku tampak memesona. Aku tertarik oleh pikiran itu dan ingin lebih mengenalmu. Ketika kamu kabur, aku mengatakan pada ibumu bahwa aku ingin mengajakmu keluar keesokan harinya. Dan, ketika kita sering bertemu, aku makin tertarik. Sungguh, ini jujur.” Hari mengguncang tangan Putri, ketika melihat ekspresi tak percaya di wajah itu.

“Aku mencintaimu, Putri. Aku sungguh-sungguh mencintaimu.”

Putri ketakutan. “Aku tidak bisa menerimanya.” Lalu, dia merenggut tangannya dari genggaman Hari dan berlari masuk ke rumah.

Putri gelisah di tempat tidur. Dia tidak mengantuk, tapi juga merasa letih. Keponakan-keponakannya sudah terbang ke alam mimpi sejak tadi, namun matanya tidak juga mau terpejam. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Malam yang sungguh sepi. Bahkan jangkrik pun sepertinya enggan bernyanyi.

Putri berdiri mengambil notebook-nya. Jam berapa sekarang di Amerika? Mungkin, dia bisa chatting dengan Sarah. Sedang apa dia, ya? Putri menyalakan notebook dan memikirkan apa yang akan ditulisnya. Kepalanya buntu. Tidak! Putri menggigit bibir kuat-kuat. Aku tidak boleh melarikan diri seperti anak kecil. Meski tidak baik, aku harus memberi penjelasan. Diketiknya alamat tujuan dan mulai menulis kalimat pendek, “Bisakah kita bicara sekarang?”

Setelah mengirim e-mail, Putri kembali ke tempat tidur. Menunggu detik demi detik yang berlalu sangat lambat. Mungkin dia tak ingin bicara? Beribu pertanyaan dan kemungkinan bermain di kepalanya. Sepuluh menit kemudian, ketika jawaban yang ditunggunya tak juga datang, Putri membuka pintu, lalu berjalan ke luar. Di luar terasa lebih sepi lagi. Kakinya melangkah ragu-ragu menuju ruang tamu. Tidak seyakin ketika tadi mengambil keputusan.

Di ruang itu tampak Hari duduk di sofa, sambil menonton televisi. Hari tidak menoleh ketika mendengar dia datang. Matanya lurus ke arah televisi, walaupun Putri yakin, sesungguhnya pikirannya tidak di situ. Wajahnya muram. Dia tetap diam saat Putri duduk tidak begitu jauh dari sisinya. Mereka bisa bicara lebih pelan, karena malam begitu sunyi, sehingga suara sekecil apa pun bisa terdengar keras seperti jika memakai speaker.

Mereka tetap diam. Putri tak tahu bagaimana harus memulai. Ini semakin sulit karena dia harus membuka cerita yang tidak ingin diingatnya kembali.

“Ehm,” Putri melicinkan tenggorokannya, mungkin dia harus minta maaf dulu. “Maafkan aku karena memanggilmu malam-malam begini.” Aduh, apa yang harus kukatakan, desahnya dalam hati.

Karena Hari tetap diam, Putri melanjutkan kata-katanya, “Aku harus menjelaskan semuanya. Aku tidak ingin kita berpisah dengan menyimpan amarah.” Apa dia marah, ya? Jika melihat wajahnya, pasti dia marah. Putri terus membatin.

“Aku tidak ingin semua menjadi buruk, mengingat ibumu dan ibuku berteman baik. Aku tidak ingin hubungan mereka yang sudah terjalin baik jadi rusak karena perbuatan anak-anaknya.” Putri menggigit-gigit bibirnya lagi.
Kenapa aku jadi berputar-putar? Seharusnya aku kan bisa langsung ke pokok persoalan. Please, bicaralah. Putri berdoa dalam hati. Tanyakan sesuatu agar dia bisa memberi penjelasan. Jangan berpura-pura nonton televisi saja. Aku tidak bisa begini, tidak bisa bicara dengan orang yang tidak memberi respons.

“Baik,” suara Hari terdengar, “kenapa kamu mempermainkan aku?”

Sekarang Hari memandangnya. Wajah tampan itu berselimut kabut.

“Apa?” Putri bertanya, tak yakin.

Hari memandangnya tajam. Matanya gelap, segelap malam berhujan badai. “Jika kamu tidak menyukaiku, kenapa kamu mempermainkanku? Memberi harapan dengan pertemuan-pertemuan itu, membuatku berpikir bahwa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Jika kamu tidak menyukaiku, seharusnya berterus terang dari awal.”

“Aku tidak pernah berkata bahwa aku tidak menyukaimu. Tapi, hubungan ini tidak bisa berlanjut. Kita berdua sangat berbeda. Aku orang yang biasa mandiri. Hidupku adalah milikku sendiri dan kuperjuangkan sendiri. Sementara, hidupmu adalah milik keluargamu. Kamu punya orang-orang yang selalu ada di sisimu, membantumu, menolongmu. Pola pikiran kita berbeda. Kita tidak akan bisa cocok.”

“Maksudmu, aku ini tipe anak mama? Orang yang tidak bisa apa-apa jika tidak diurus oleh keluarganya? Orang yang bahkan dalam berkarier pun hanya karena mendompleng nama besar orang tua? Menurutmu, aku ini manusia manja yang tidak perlu berusaha apa-apa?” Hari menyahut dengan nada getir. “Jadi, aku tidak setara dengan superwoman, yang mandiri dan sukses?”

“Maksudku, bukan begitu,” bantah Putri.

“Sudahlah, tidak perlu berbaik hati karena aku sudah biasa. Selama ini orang-orang selalu mengatakan hal yang sama tentang aku. Jika mereka melihatku, mereka selalu berkata, ‘Ah, dia, sih, wajar bisa begitu. Kan dibantu bapaknya.’ Tapi, apakah kamu pernah berpikir, aku bisa menjadi seperti ini hanya dengan bermalas-malasan dan pengaruh orang tua? Aku juga harus berusaha, bahkan lebih keras daripada mereka semua. Lalu, jika aku berhasil, apakah itu juga karena orang tuaku? Yah… mungkin, mereka memang membantu, tapi selebihnya itu usahaku sendiri.”

Putri menarik napas. “Bukan maksudku membuatmu marah seperti ini. Aku percaya bahwa kamu berhak mendapatkan pengakuan atas kerja keras itu. Tetapi, aku sudah terbiasa tinggal di sana dan tak ingin meninggalkannya.”

“Apakah hidupmu di sana begitu menyenangkan sehingga tak ingin kau tukar dengan yang lain?”

“Aku tak bisa menjawabnya, namun separuh hatiku tertinggal di sana.” Putri menerawang lurus ke depan, seakan dia bisa melihat apartemen dan kebahagiaannya.

“Ketika pertama menginjakkan kaki di sana, aku baru berumur tujuh belas tahun, baru tamat sekolah dan sangat bangga bisa mendapat beasiswa. Remaja yang mengejar mimpi yang indah dan hidup dalam dunia kecil yang bahagia. Sampai menyelesaikan kuliah, aku tetap tak berubah. Keberangkatan yang kedua kali, untuk melanjutkan ke jenjang sarjana. Namun, sekali ini atas kemauanku sendiri dan beasiswa sudah tidak ada lagi. Aku masih bermimpi bahwa semua seindah dalam cerita. Meski sadar bahwa aku tak bisa bersantai-santai lagi, semua tetap kelihatan memesona. Dan, kota itu sekali lagi tersenyum menyambutku.

Senyum itu hanya sebentar, lalu berubah menjadi seringai jahat. Aku harus pontang-panting ke sana kemari, mencari uang untuk makan dan tempat tinggal. Aku tak bisa meminta uang lebih dari biaya sekolah. Karena, meski Mama dan Papa sama-sama bekerja, pendapatan mereka tidak begitu besar, sehingga tidak mampu menyekolahkan anak ke luar negeri. Lagi pula, kakak-kakakku juga masih kuliah. Semua jadi tak indah lagi ketika aku harus melakukan apa saja untuk menggapai mimpiku.”

Putri tersenyum, lalu melanjutkan, “Kau tahu, aku pernah jadi pembantu, pengasuh anak, penjaga tempat biliar, tukang cuci piring di restoran. Pokoknya, jadi apa saja yang ada uangnya. Aku tak ingat, apa lagi yang pernah kukerjakan. Karena, waktuku ketika itu kuhabiskan untuk bekerja dan kuliah. Tak ada waktu untuk bersenang, tak ada waktu untuk bermain. Bahkan, aku tak ingat apakah aku pernah tertawa lagi saat itu. Aku nyaris tak punya kawan. Ini bukan sesuatu yang membanggakan untuk diceritakan. Bayangkan, berapa banyak orang yang mau anaknya diasuh orang asing, juga kesalahan-kesalahan yang kau buat akibat perbedaan budaya dan kesenjangan teknologi, belum lagi kemarahan dan makian yang harus kutanggung sendiri. Tak bisa dibagi karena kamu tak punya siapa-siapa.

“Di sini orang tuaku tak pernah tahu apa yang kulakukan di sana. Mereka hanya berpikir bahwa aku belajar dan sedikit-sedikit bekerja untuk menambah uang saku. Aku tinggal di apartemen kecil yang jorok, nyaris kosong. Hanya ada koper, buku-buku, tempat tidur, dan kompor untuk memasak. Untungnya, aku tak perlu berlama-lama di tempat sumpek itu, karena hampir seluruh waktuku kuhabiskan di luar.”

Putri menerawang makin jauh ke masa lalunya. Dia seperti bisa melihat seorang gadis dengan rambut dikucir kuda, celana jeans lusuh, T-shirt, dan kemeja kotak-kotak yang warnanya sudah pudar, berlari mengejar bus atau berdesakan di kereta bawah tanah.

Hari hanya diam, memandang ke layar televisi yang sudah dimatikan.

“Kota itu seperti tertawa dan menungguku untuk jatuh. Yah, aku hanya sebagian kecil dari mereka yang terseok-seok berjalan ke arah impian mereka di kota itu. Yang membuatku tetap bertahan hanyalah rasa malu akan dihina orang jika aku pulang tanpa hasil. Sampai suatu hari aku sakit. Aku berusaha bertahan terus untuk kuliah sambil bekerja.

Malam itu, sepulang kerja, aku yang sedang sangat pusing, berjalan tanpa sadar. Semestinya sampai di rumah dalam beberapa menit, tapi malah berputar-putar dan tersesat. Kulihat, jalan-jalan gelap dan kotor, juga beberapa pelacur yang melenggang, mungkin menuju tempat mereka biasa mangkal. Beberapa orang bergerombol, seperti sedang bertransaksi ganja. Tempat itu menyeramkan, bahkan di siang hari aku tak pernah bermimpi berada di sana. Aku tidak ingat bagaimana ceritanya, tapi kemudian aku berlari, berlari dari kejaran beberapa lelaki yang tak kukenal. Aku pun tidak tahu mengapa mereka mengejarku. Sekeliling tampak gelap dan aku hanya tahu bahwa aku harus berlari sekuat tenaga, karena di belakangku tangan-tangan kematian tengah mengejar. Tenagaku mulai berkurang, sampai akhirnya semua menjadi benar-benar gelap dan aku terjatuh.”

Putri merasa tubuhnya menggigil, tenggorokannya gatal, dan matanya pedas. “Sungguh sebuah pengalaman yang sampai sekarang pun masih menjadi mimpi buruk.”

Hari menunduk, menatap lantai kosong.

Putri tersenyum pahit. “Mungkin, harus seperti itu dululah ceritanya, baru hidupku bisa berubah. Karena, hari itu aku menyadari benar bahwa di balik awan mendung selalu ada sinar. Saat itu aku pertama kali berjumpa dengan Sarah. Dia yang menemukan aku pingsan di jalan dan menolongku. Badanku sakit, hatiku sakit, dan kupikir semuanya sudah hancur. Orang-orang itu telah mengambil hal yang paling berharga dalam hidupku. Namun, berkat Sarah, aku dapat menyusuri jalan yang lebih baik dan sedikit demi sedikit mulai melupakan kejadian mengerikan itu. Aku tidak mengerti, mengapa dia mau menolong dan peduli padaku. Yang kumengerti, Sarah adalah bidadari cantik yang berhati emas.”

Putri mengambil napas lagi. Dia sudah bicara terlalu panjang dan terbuka, dan sekarang ia merasa lelah. “Jadi, kumohon, kamu mengerti. Aku orang yang terjatuh, tidak suci, yang tidak bisa kau pilih sebagai istri. Aku sungguh-sungguh minta maaf.”

Lama mereka terdiam dalam pikiran masing-masing.

Lalu, Hari berkata mantap. “Baik, aku mengerti. Tapi, jika aku tidak peduli pada masa lalumu, apakah kamu mau mempertimbangkannya?”

Putri memandang Hari dengan heran, lalu menjawab, “Maaf, jawabannya tetap sama. Cobalah pahami, hidupku ada di sana dan tak bisa kulepas semua yang telah diraih dengan banyak pengorbanan.”

“Itu berarti, alasan sesungguhnya adalah kamu tak cukup mencintaiku atau tak pernah mencintaiku. Dulu aku juga tak mengerti tentang ini, tapi aku sekarang sangat paham, hanya sesuatu atau seseorang yang kita cintailah yang bisa membuat kita mengambil keputusan.”

“Itu benar sekali,” balas Putri, “dan, kamu harus tahu alasan lainnya, yaitu aku juga menyukai Sarah dan ingin tetap berada di sisinya.”

Hari menoleh terkejut.

“Kau tahu cerita Copellia? Apa kau sudah membacanya? Copellia sebuah boneka yang dibuat oleh Copellius, yang selalu duduk di depan jendela lantai atas, membuat Frans yang sudah bertunangan dengan Swanilda, jatuh cinta kepadanya. Kukira, aku lebih suka tokoh Pinokio atau Barbie, yang dicintai banyak orang. Tapi, Copellia sangat malang. Dia merebut cinta orang, meski dia cuma boneka yang tak mengerti apa-apa. Kadang-kadang, aku berpikir, seandainya Copellia diberi kehidupan, apa dia juga akan jatuh cinta pada Frans yang tampan. Mungkin tidak, mungkin dia lebih memilih Swanilda yang baik dan berani. Swanilda, meski kesal karena cintanya direbut orang, tetap berusaha berteman dengan Copellia, sebelum dia sadar bahwa Copellia hanya boneka.

Atau, Copellia lebih memilih Copellius, karena dia berutang kehidupan darinya. Sarah sudah membuka jalan kedua untukku. Membawa kegembiraan yang telah lama hilang. Membagi semuanya denganku. Dia seperti pahlawan dan aku memujanya. Aku tak bisa memandang yang lain karena mataku hanya terarah padanya.”
“Apa dia tahu perasaanmu? Apa kau mengatakannya?” Hari bertanya dengan heran.

“Tidak, tak pernah sekali pun. Buat apa? Karena, aku tahu, jika kukatakan, aku akan kehilangan dirinya,” Putri tersenyum getir. “Jadi, kau tahu sekarang bahwa hidupku sangat kompleks.”

“Kalau begitu, kau tidak betul-betul mencintainya karena cinta membutuhkan pengakuan. Itu juga membuktikan kau tidak menyukai sesama jenis. Perasaanmu terhadapnya lebih seperti sister complex. Perasaan sangat memuja seorang adik kepada kakak yang menjadi pahlawan baginya,” kata Hari, dengan tegas.

Putri menoleh karena terkejut dengan analisis Hari. Matanya terbeliak lebar ketika Hari mendekatinya. “Kamu mau apa?”

“Akan kubuktikan perkiraanku,” jawab Hari.

Dan, ketika tangan Hari meraih tangannya, jantung Putri berdetak keras. Ketika pria itu memeluk dan mencium bibirnya, Putri merasa sesak. Ada yang menusuk-nusuk hatinya.

“Maaf,” bisik Hari.

Air mata mengalir di pipi Putri. Dia tak pernah dicium dan ciuman Hari seperti membawanya ke sebuah dunia lain.
“Maaf, maafkan aku. Tolong, jangan menangis.” Hari menggenggam tangan Putri erat-erat. “Aku hanya ingin memastikan, apa yang akan kulakukan nanti tidak akan sia-sia.”

Putri mendongak dengan mata yang berlinangan. “Apa? Apa yang akan kaulakukan nanti?”

Lalu, Hari berkata sungguh-sungguh, “Aku akan mengejarmu. Ke mana pun kau pergi, aku akan berlari mengejarmu. Selama ini aku selalu berusaha keras mendapatkan apa yang kuimpikan dan sekarang impianku adalah bersamamu. Aku tidak peduli pada masa lalu atau kesucian. Jadi, izinkan aku mengejarmu. Beri aku kesempatan sampai kau mengatakan ya atau sampai aku merasa lelah dan tak mampu lagi berlari.” Tangan itu terlepas, Hari menghapus air mata Putri.

“Kak, kenapa bagasiku jadi begitu banyak?” keluh Putri. “Untung Mama mau membayari kelebihannya. Jika tidak, aku terpaksa pulang dengan membawa banyak utang.”

“Jangan tanya aku. Tanya Mama, apa saja yang dikemaskannya untukmu. Bahkan, kau dapat sambal pecel jatah setahun,” kata kakaknya, tertawa.

“Apa?” Putri kaget. “Buat apa bumbu pecel sebanyak itu? Aku kan tak sempat memasak. Di sana aku tidak sarapan pecel pincuk.”

“Bukan hanya itu, kamu juga dapat terasi dan petis jatah berbulan-bulan.”

Kakaknya tertawa makin seru, sampai Mama berkata, ”Berhenti mengganggu adikmu.”

Pengumuman memberitahukan bahwa pesawat Putri akan segera berangkat. Putri memeluk Mama dan mencium pipinya.

“Kabari Mama begitu kamu sampai di sana. Jaga kesehatan, jangan kerja terlalu berat,” Mama memeluk Putri lama, seolah enggan melepaskannya.

“Baik, Mama. Mama juga jaga kesehatan.”

Putri berpamitan pada kakak-kakaknya, juga Papa, yang memeluknya sambil berpesan agar sering-sering menelepon ke rumah.

Putri melangkah mendekati Hari, yang sedari tadi mengobrol dengan Papa. Dia mengulurkan tangan dan menjabat tangan Hari yang hangat.

“Tunggulah aku,” kata Hari, pelan.

Putri tersenyum dan mengangguk, lalu berbisik, “Ya, aku akan menunggumu. Jadi, datanglah.” Meski tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Putri merasa pasti hidupnya akan lebih indah.

No comments: