12.22.2010

Dalam 2x24 jam

Masa kecil Alia sungguh mengerikan dan meninggalkan luka, sehingga ia selalu takut menerima lamaran Edwin!

Menikahlah denganku, Alia.”
“Kapan?”

“Kapan maumu?”

“Sekarang.”

“Ayo! Kalau kamu siap, sekarang kita berangkat ke Kantor Urusan Agama.”

“Lalu aku dikutuk oleh tanteku karena tak memberi tahu dia?”

“Bukannya dia sangat suka padaku? Bahkan memujaku sepenuh hati?”

Alia meleletkan lidahnya dan meninju pundak Edwin. “Ge-er kamu, Win!”

Ia mengikik pelan. Lalu tertawa lepas hingga tubuhnya yang ramping terguncang-guncang.

“Aku serius, Sayang….”

“Tidakkah pernah terlintas dalam benakmu hubungan kita sudah terlalu lama? Sudah lima tahun!”

“Bukankah seharusnya aku — sebagai wanita— yang menanyakan itu padamu?”

“Lalu kenapa tidak kau tanyakan padaku? Aku menunggu pertanyaanmu itu sejak empat tahun lalu,” kata Edwin, sedikit gemas.

“Sebab aku tidak merasa hubungan yang lama merupakan ancaman bagiku.”

“Mengapa?” Edwin menoleh heran. “Bukankah seharusnya kamu takut jika aku tidak kunjung melamarmu? Jangan lupa, usiamu makin bertambah!” Edwin memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya. Ia sama sekali tak tersenyum. Berarti ia serius. Sangat serius.

“So what?” balas Alia, nyaris tanpa ekspresi.

Edwin menoleh. Terkejut.

“Bukankah kau wanita, Alia?”

Alia tertawa. “Selama ini kamu pikir aku apa? Monyet?”

“Jangan bercanda begitu. Aku serius, ah!”

“Aku juga serius. Usia yang bertambah, hubungan yang sudah lima tahun, bukan ancaman buatku,” Alia menghentikan tawanya dan menatap Edwin serius. “Aku bahkan sejak lama sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, hidup sendiri seperti tanteku.”

Mereka berdua diam. Jelas Edwin terlihat bingung. Sebenarnya ini bukan kali pertama Alia tidak memberikan jawaban serius setiap kali diajak menikah. Edwin sudah ingin melamarnya sejak empat tahun lalu. Tapi, selalu ada saja alasan Alia!

Yang membuat Edwin gusar bukanlah penolakannya. Ia bisa memahami, Alia belum mau menikah ketika usianya baru dua puluh empat tahun (itu empat tahun yang lalu!), atau karena tantenya ingin mereka berdua —terutama Edwin — lebih siap berumah tangga seperti ketika dua tahun lalu ia melamarnya, atau karena ia baru saja diterima bekerja di sebuah kantor swasta seperti tahun lalu. Tapi, alasan yang ‘tak pernah jelas’ dan ‘tak masuk akal’ seperti pembicaraan tadi, benar-benar membuat Edwin bingung. Lagi pula, sekarang rasanya tak ada alasan bagi Alia menolak. Ia sudah punya karier yang bagus dan usianya menjelang dua puluh sembilan tahun. Penolakan itu sepertinya terlalu dipaksakan!

Alia memang biasa cuek. Orang dengan mudah bisa menebaknya dari penampilannya yang cenderung maskulin. Rambut dipotong pendek, baju kaus tanpa kerah, dan celana jeans belel jadi pakaian kebangsaannya. Lagi pula, ia hanya memoles wajahnya ketika berangkat ke kantor. Syukur Alia dilahirkan dengan wajah cantik, sehingga tanpa berhias pun ia terlihat memikat.

Alia cenderung tak pedulian, terutama pada hal-hal yang dianggapnya hanya memperumit kesehariannya. Katanya, jangan memaksa diri untuk menyelesaikan suatu masalah, kalau memang sudah kepentok. Itu karena dia yakin, ada kalanya suatu masalah memang tak ada jawabnya dan tak harus dijawab. Jadi, diterima saja apa adanya. Dalam hal itu Edwin setuju dan memahaminya dengan baik.

Tapi, cuek dalam masalah pernikahan? Dan pada usia seperti sekarang ini? Rasanya ini tidak biasa, bahkan sangat keterlaluan. Lagi pula, pernikahan bukanlah sebuah masalah, tapi sebuah solusi. Jangan-jangan….

“Kenapa kau bicara seperti itu?” Edwin bertanya, penasaran.

Alia mengangkat bahu. “Aku hanya ingin bicara jujur.”

“Bukan karena kamu memang tidak ada niat menikah denganku?”

“Kenapa bicara begitu?”

“Entahlah, menurutku kau agak sedikit tidak normal dalam hal ini.”

“Agak sedikit?” Alia melotot, tapi sinar matanya ramah.

“Ya, kau tidak normal!”

“Apanya yang tidak normal, Win? Eh, tunggu dulu! Biar aku menjawabnya!” sergahnya. Ia diam sebentar dan menatap Edwin dengan kemarahan yang dibuat-buat. “Karena aku tidak takut pada hal-hal yang membuat wanita lain takut? Jangan naif begitu, Sayang….”

“Sekarang aku yang takut,” kata Edwin, setengah berbisik.

Alia memeluk pundaknya lembut. “Kenapa?”

“Karena aku pacaran bukan dengan seorang wanita, tapi dengan alien.”

Alia tergelak dan mengacak-acak rambut ikal Edwin.

“Ayo, hentikan, Alia!” Edwin mendudukkan Alia dengan paksa di hadapannya. Ia memegang kedua tangan Alia erat dan menatapnya lekat-lekat. “Dengarlah. Aku serius ingin menikahimu. Aku butuh jawaban segera. Kalau tidak….”

“Kalau tidak kenapa?”

“Aku akan terpaksa meninggalkanmu!” kata-kata Edwin mengalir tajam. “Usiaku sudah tiga puluh dua tahun. Ibuku ingin segera punya cucu. Aku anak tunggal, kau tahu itu,” Edwin menurunkan nada suaranya dan menatap Alia dengan pandangan memelas. Ia mendesah pelan. “Aku memegang kunci kebahagiaan ibuku dan kau memegang kunci kebahagiaanku.”

Alia terdiam. Ia bisa merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Makin berat setiap ia menarik napas sambil mendengarkan setiap kata yang diucapkan Edwin.

“Tapi, di luar semua alasan itu, Alia, aku terlalu mencintaimu, dan aku ingin kau jadi istriku. Bukan orang lain. Aku tak mau terpaksa menikah dengan orang lain hanya karena penolakanmu yang tak mendasar dan tak masuk akal. Tidakkah kau mengerti?”

Alia masih diam.

“Aku ingin kisah kita ini berakhir happy ending. Aku, kau, ibuku, tantemu, atau mungkin keluargamu yang lain, kalau ada, semua berbahagia.” Edwin menunggu reaksi Alia. Tapi, gadis itu tetap diam dan menunduk.

“Bukankah kau mencintaiku, Alia?” suara Edwin memelas. Ia tidak sedang main-main.

Angin bulan November bertiup pelan. Hawa sejuk tidak membuat persoalan kedua anak manusia itu menjadi lebih sederhana. Edwin merasa otaknya tak mampu lagi berpikir. Ia benar-benar bingung akan penolakan Alia.

Alia sendiri merasa, kali ini ia terjerat dalam sarang laba-laba. Tidak ada jalan keluar. Ia terperangkap. “Ya,” akhirnya ia berkata pelan. Sikap cueknya mendadak tak lagi tersisa.

“Kalau begitu, adakah sesuatu yang tak kuketahui?” Edwin memecah kesunyian yang panjang.

“Setelah lima tahun bersamamu? Jangan mengada-ada, ah!” Alia mencoba memasang tampang lucu, tapi ia tak berhasil. Hingga yang muncul adalah wajah seorang gadis yang penuh keresahan dan dalam kondisi terjebak.

“Aku merasa ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku. Sebab penolakanmu untuk menikah, itu pun kalau aku boleh mengatakannya sebagai penolakan, rasanya sama sekali tidak klop dengan karaktermu yang kukenal. Kau jadi aneh dan tidak masuk akal. Entahlah….”

Alia tak menjawab. Ia hanya mencabuti rumput di dekatnya.

“Ayolah, beri aku alasan yang masuk akal, Alia. Aku akan mendengarkannya.” Edwin menyipitkan matanya dan menatap Alia yang segera melengos menghindari tatapan itu.

“Biar kujelaskan padamu sesuatu, Alia. Aku sama sekali tidak main-main. Kau dengar? Aku tidak main-main!” Edwin memegang dagu Alia dan mengarahkan wajah cantik itu ke wajahnya. Kini wajah mereka saling berhadapan tak lebih dari lima sentimeter, dengan tatapan Edwin yang tak mau beralih dari kedua mata Alia. Alia bahkan bisa merasakah hangat napasnya.

“Situasinya sekarang adalah Now or Never - sekarang atau tidak sama sekali. Take it or leave it, Alia. Kau mengerti, ’kan?” Edwin berhenti sebentar, mencari reaksi di mata Alia.

“Jadi, pilihannya adalah ya atau tidak. Ibuku sangat gusar pada situasi kita sekarang.”

Alia tahu, kata ‘gusar’ yang digunakan Edwin sebenarnya berarti ‘marah’. Jadi, ibunya marah! Begitu yang ingin dikatakannya.

“Dan, aku bisa memahaminya. Aku tak lagi punya alasan berargumentasi soal penundaan yang berkali-kali. Aku benar-benar tak punya pembelaan kali ini.” Edwin melepaskan wajah Alia dan menunduk. Ia mulai ikut mencabuti rumput di sekitar kakinya.

“Kalau mau jujur, aku sendiri mulai gusar. Aku tak mengerti kenapa kau selalu menolak. Aku tak bisa terlalu lama melawan ibuku, apalagi kalau sebenarnya akulah yang berada di pihak yang salah,” Edwin menatap Alia lurus.

Tak pernah Alia mendengar Edwin bicara demikian. Melihat wajah Edwin yang biasanya penuh senyum berubah menjadi putus asa, membuatnya kehilangan selera humor sama sekali. Alia merasakan matanya mulai panas.

“Aku diajari Ibu untuk menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Dan, menikah adalah manifestasi dari sebuah tanggung jawab. Kata ibuku, itu adalah sebuah penghargaan tertinggi dan kemuliaan bagi seorang wanita. Aku memuliakan kamu dan ibuku, dua wanita yang menjadi alasan aku hidup. Aku tak ingin kehilangan salah satu di antara kalian.”

Alia merasa tenggorokannya tersekat. Ia bisa menangkap dengan jelas nada kesedihan dalam suara Edwin. Matanya makin panas dan berair. Tapi, ditahannya sekuat tenaga. Ia tak terbiasa menangis.

“Aku ingin memberi ibuku cucu yang berkualitas dari seorang wanita yang berkualitas pula, dan yang aku cintai,” Edwin tertawa getir. Tak urung, Alia tersenyum juga mendengar kata-katanya. Membayangkan wajah-wajah kecil yang menyerupai dirinya dan Edwin terasa menyiramkan kesejukan dalam hatinya.

 
Alia menebarkan pandangannya ke sekitar taman yang sepi itu. Tak banyak yang dilihatnya selain pepohonan yang ditata rapi dan bunga-bunga pukul sembilan, atau, entah apa namanya yang bermekaran. Beranjak siang, bunga-bunga aneka warna itu akan layu dan beristirahat menuruti kodratnya, untuk kemudian mekar lagi keesokan harinya pada jam yang sama.

“Aku mencintaimu. Aku bohong kalau tadi mengatakan tak takut kau tinggalkan. Tapi, yang terakhir itu… soal aku siap hidup sendiri, itu benar,” katanya, nyaris bergumam sendiri. Ditatapnya Edwin sejenak. Mata gadis itu murung dan gelisah.

“Aku punya masalah dengan diriku, Win, dan aku terlalu malu untuk mengatakannya padamu. Terus terang, aku juga tak tahu bagaimana aku harus mengatakannya,” katanya, datar.

“Apakah kau tak bisa punya anak, atau kau mengidap penyakit tertentu? Seperti kelainan seksual?” Edwin bertanya hati-hati. Bagaimanapun, ia tak ingin menyakiti perasaan Alia.

Alia tergelak mendengar nada suara Edwin yang sangat jelas menunjukkan keraguan dan kehati-hatian. Laki-laki terkasih itu berpikir terlalu panjang!

“Tidak, Win, bukan itu! Hmm, kalau soal kelainan seksual, sih, aku tidak tahu! Aku kan belum menikah, jadi belum pernah mencobanya,” seloroh Alia. Sesaat kemudian gadis itu terlihat serius. Ia memperbaiki posisi tubuhnya dan melipat kakinya, duduk bersila. “Aku mencintaimu, itu pasti. Tapi, terus terang, Win, aku… takut menikah!”

Alia mengembuskan napas, seolah melepas beban berat yang telah lama dipendamnya. Tiba-tiba ia mendapat keberanian untuk mengutarakannya. Ia merasa memperoleh kekuatan. “Aku takut tak bisa membahagiakanmu. Aku takut menyakitimu, dan aku takut disakiti.”

Alia menatap Edwin sekejap, kemudian menjatuhkan pandangannya pada rerumputan di sekitar kakinya.

“Kau mencintaiku, kau takut kehilanganku, tapi kau juga takut menikah. Dan kau bilang, kau juga siap untuk hidup sendiri. Ha, apa sebenarnya yang kau bicarakan, Alia?” Edwin bertanya tak sabar. Ia sangat gusar. “Bukankah dengan tidak mau menikah denganku, kamu akan kehilangan aku? Aku tak mengerti…,” Edwin menggeleng-geleng putus asa.

“Kalau aku memberitahukan padamu, Win, aku pasti akan kehilangan kamu,” suara Alia terdengar sangat perlahan.

Edwin menatap Alia tak berkedip. Ia tak dapat menyembunyikan keterkejutan dan rasa penasarannya. Tadi ia hanya asal bicara soal ‘rahasia’ itu. Ia hanya mengira-ngira. Tapi, ternyata ‘sesuatu’ itu memang ada. Maka Edwin pun menunggu.

“Ya, aku punya sebuah rahasia. Aku punya masa lalu yang tidak biasa, kalau tidak mau dibilang mengerikan. Barangkali memang sudah waktunya untuk mengatakannya padamu,” Alia mendesah pelan. Ia merasa tenggorokannya tiba-tiba kering. “Aku akan mengatakannya, Win. Setelah itu, kamu bebas mengambil keputusan dan aku akan terima apa pun itu!”

“Apa maksudmu?”

“Sshh! Dengarkan saja dan jangan potong ceritaku.” Alia menyisir rambutnya dengan jemari. Tiba-tiba ia memeluk Edwin beberapa saat sebelum kemudian melepaskannya dan memperbaiki duduknya. “Siapa tahu ini akan menjadi pelukan terakhir kita,” katanya, sambil tersenyum dipaksakan.

Kemudian, satu demi satu cerita itu pun mengalir dari mulutnya….

CERITA ALIA
Aku diasuh oleh tanteku, Tante Refa, sejak usiaku sepuluh tahun. Tadinya memang hanya untuk sementara waktu, menunggu ibuku sembuh dari sakitnya, atau bapakku keluar dari penjara. Tapi, belakangan aku tak mengharapkan lagi keduanya. Aku tak mau berjumpa dengan mereka, apalagi tinggal serumah! Aku sudah telanjur kecewa dan kehilangan rasa hormatku pada mereka.

Jadi, aku tinggal dengan tanteku bukan lantaran aku tak punya orang tua, tapi semata-mata karena aku kecewa pada orang tuaku. Jangan dikira kekecewaan ‘biasa’ saja yang aku rasakan, tapi kekecewaan dalam pengertian tertinggi. Ambang batas kekecewaan! Bisa kupahami kalau orang lain terheran-heran dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin hanya karena kecewa, orang sampai bisa menolak untuk tinggal serumah, bahkan pada titik tertentu menolak untuk bertemu dengan orang tuanya?

Justru di situlah letak perbedaannya! Kekecewaanku bukan yang seperti itu, kau tahu? Bukan seperti perasaan kecewa yang timbul ketika kita tidak berhasil membeli sepatu yang sudah lama kita idam-idamkan atau karena sebuah acara yang sudah kita rencanakan dengan matang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bukan! Bukan seperti itu! Hal ini jauh lebih rumit! Rasanya aku tak bisa mendefinisikannya dengan baik.

Tapi, baiklah. Begini saja. Dulu. Duluuu… sekali, sejauh yang bisa kuingat, bapakku seorang direktur di sebuah perusahaan. Ia tampan, rambutnya hitam dan ikal, matanya agak sipit, hidungnya lumayan mancung. Penampilannya selalu necis dan pembawaannya tenang. Ia seorang usahawan yang sukses. Hanya itu. Tak banyak yang kuingat tentang dia.

Sementara ibuku? Dia cantik. Rambutnya ikal sebahu. Matanya yang belok selalu tampak sendu, tapi justru menjadi daya tarik luar biasa dan dominan pada wajahnya yang bulat telur. Dia seorang manajer di sebuah perusahaan tambang yang mempekerjakan ribuan orang. Ibuku seorang ahli fisika kelautan. Dia satu-satunya manajer wanita di perusahaan besar itu. Jelas, dia sangat cerdas. Seingatku, ia berpembawaan lembut dan lebih sering merenungi kertas-kertas yang memenuhi meja kerjanya ketimbang bekerja di dapur.

Sampai di situ gambaran tentang bapak dan ibuku sangat sempurna. Seharusnya hanya sampai di situ. Ya, aku pun inginnya sampai di situ saja. Tapi, nyatanya tidak! Dan, dari sinilah kekecewaanku bermula. Persis pada titik ini. Dan, mulai pada bagian ini, aku hanya menyebut nama-nama mereka berdua — Rahardi dan Pinkan— dalam seluruh ceritaku.

Kedengarannya keterlaluan. Tapi, apa boleh buat, sebenarnya sudah sejak lama aku menghapus kata ‘Bapak’ dan ‘Ibu’ dari daftar kosakataku. Sebab, aku ingin menghapus semua kenangan buruk yang mengikuti kedua kata itu! Rahardi jahat! Benar-benar jahat! Dia suka memukul, menempeleng, menendang, bahkan menusuk, dan melukai dengan benda apa saja dalam genggamannya, sampai korbannya berdarah-darah. Tapi, ia hanya jahat seperti itu pada Pinkan. Jadi, korbannya itu selalu… Pinkan.

Tidak pernah orang lain. Tidak juga aku. Sementara Pinkan, di balik kepintarannya dan kemandirian yang ia tampakkan, ia sebetulnya wanita lemah. Berkali-kali Rahardi memukuli dan melukainya, tapi ia tak pernah melawan. Ia hanya menangis sendirian, diam-diam. Menderita diam-diam. Lalu berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa sambil selalu menutupi dengan sebaik-baiknya bekas luka baret, bekas luka tusukan kecil, dan bercak-bercak kecokelatan bekas sundutan rokok.

Ya, sangat sering aku melihatnya memulai pagi dengan menangis diam-diam di kamar mandi dengan tubuh berbalut seprai atau selimut penuh noda darah! Ketika itu, dengan keterbatasan pemahaman seorang anak kecil, aku tak pernah bisa menebak apa yang telah Rahardi lakukan terhadap Pinkan pada malam harinya hingga ia menangis dan berdarah-darah begitu.

Tapi, sebenarnya itu belum seberapa! Yang lebih mengerikan, akhirnya Pinkan harus kehilangan mata kanannya. Bayangkan! Matanya dicongkel keluar oleh Rahardi, suaminya sendiri!

Di situlah semua cerita ini berawal. Meskipun hidupku sudah tak dapat dikatakan ‘sehat’ lagi jauh sebelum kejadian itu, tepatnya sejak aku mengerti arti kekerasan, tapi pagi itulah yang sesungguhnya menandai kehancuran hidupku. Ketika saat itu umurku baru sepuluh tahun!

Entah kenapa sejak pagi Rahardi uring-uringan. Ia kelihatan marah sejak ia terbangun membuka mata. Pagi-pagi yang dicarinya buku agenda kerja milik Pinkan, dan bukan meminta secangkir kopi dan sepiring kecil kue kering sebagaimana kebiasaannya selama ini.

Pinkan tak begitu menanggapi kemarahannya, ia sibuk membenahi kertas-kertas catatan yang harus dibawanya ke kantor. Sedangkan aku siap untuk berangkat ke sekolah. Rahardi memang sudah biasa seperti itu. Rasanya tak berlebihan kalau kukatakan ia sarapan dengan mengunyah kemarahan. Terkadang kupikir, barangkali ia memang menjadi kenyang setelah marah. Jadi, aku dan Pinkan tak menanggapinya. Buat apa? Ya, buat apa?

Rahardi memang selalu seperti itu. ‘Selalu’ dalam arti harfiah. Selalu, tidak pernah tidak. Jadi, setiap hari dia marah. Ada saja hal-hal yang membuatnya marah. Mulai dari soal makanan, rokok habis, kenakalanku, pekerjaan, dan lain-lain, hal-hal kecil.

Dan pagi itu, ia marah karena ada pesan nyasar di mesin penjawab telepon. Setidaknya itu yang aku pahami dari pertengkaran kedua orang tuaku. Pesan nyasar itu sepertinya untuk Pinkan, atau… untuk wanita lain yang nyasar ke mesin penjawab telepon di rumahku. Entahlah. Mana aku tahu?

“Sayang, mengapa kamu tidak bekerja hari ini? Kamu telepon ke nomor 5059721, ya?” Rahardi mengulang pesan itu keras-keras, nyaris berteriak. Pinkan hanya menatapnya sekilas sambil tetap memilah-milah setumpuk kertas dan memasukkan sebagian ke dalam tas kerjanya. Ia sudah biasa melihat Rahardi seperti itu. Percuma kalau ditanggapi dengan kemarahan. Ia tahu, urusannya tak akan selesai sampai di situ saja.

“Itu bukan siapa-siapa. Lihat saja, nomor yang ditinggalkannya tidak ada dalam catatan relasi kerjaku di agenda,” Pinkan mencoba menjelaskan dengan sabar tanpa memandang Rahardi.

“Ya, kamu kan bisa saja sengaja tidak mencatatnya di situ. Tapi, di otakmu nomor itu menempel terus!” Rahardi menyahut sinis sementara Pinkan tak terlalu menanggapi.
Aku sendiri hanya menunggu mereka selesai bertengkar dan berharap salah seorang ingat, bahwa pagi ini hari Senin, dan aku harus masuk sekolah lebih awal untuk mengikuti upacara bendera. Tapi, instingku mengatakan, urusan ini masih jauh dari selesai. Jadi, lebih baik aku bersiap mengarang segudang alasan untuk kukatakan pada wali kelasku bila aku terlambat… lagi.

“Kalau memang tidak percaya, telepon saja sendiri ke nomor itu. Itu jelas-jelas orang salah sambung.”

“Ah, alasan!” Tiba-tiba saja Rahardi menggebrak meja makan di depan kami. Aku terkejut dan Pinkan mendongak menatap Rahardi. “Aku tahu, selama ini kamu ada main dengan teman sekantormu. Yang tinggi kurus itu, yang berkacamata, dan selalu berpakaian necis ke kantor!”

“Siapa? Ada banyak orang di kantor dengan kriteria seperti itu. Ada lima ribu pekerja di perusahaan tambang itu. Ada orang kantoran dan ada ribuan orang lapangan!” Pinkan mengelak, kali ini tidak sesabar tadi.

“Pura-pura tidak tahu. Itu… Sugeng. Ya, aku ingat sekarang. Namanya Sugeng. Iya, ’kan? Ngaku kamu!” Rahardi berdiri dan mencondongkan tubuhnya yang jangkung itu ke arah Pinkan. Ditatapnya Pinkan dengan pandangan merendahkan. Ia mulai tak terkendali. Wajahnya memerah.

“Pelacur kamu!” Dia mendesis kasar. Dalam benakku, laki-laki itu seperti seekor ular di film-film horor. Matanya mendelik tajam, suaranya berdesis, seolah mengintai mangsanya dan mencari titik lemahnya sebelum akhirnya menerkamnya dengan kedua rahangnya yang tak bertulang itu!

Aku menunggu adegan berikutnya. Paling tidak, tak ada benda tajam di situ. Rahardi hanya akan memukul Pinkan dengan tangan kosong. Itu biasa dan hampir selalu terjadi. Paling tidak itu membuatku sedikit lega. Tak ada rokok yang tengah menyala, pisau lipat, atau bahkan, sebatang tusuk gigi. Ia tak akan membuat Pinkan berdarah seperti yang sering dilakukannya sejak bertahun-tahun lalu.

“Mas! Kamu ini keterlaluan! Ada banyak nama Sugeng di kantorku. Sugeng yang mana?” Pinkan mulai berteriak sengit. Ia merasa sangat tersinggung. Rahardi boleh menuduhnya apa saja, mengatainya apa saja, tapi tidak berselingkuh. Itu hanyalah pekerjaan wanita yang tidak bermartabat dan penipu! Menuduh Pinkan berselingkuh, sama saja dengan mengatakan bahwa ia adalah wanita yang tidak punya harga diri, tidak punya kejujuran. Dan, ia sama sekali bukan wanita seperti itu! Sama sekali bukan! (Itu yang selalu dikatakan Pinkan padaku!).

“Jangan-jangan kamu tidak tahu Sugeng yang mana, karena memang bukan Sugeng yang mana-mana. Kamu cuma ingin marah dan menjadikan pesan konyol itu sebagai bahan untuk memarahi saya. Iya, ’kan, Mas? Kamu cuma butuh alasan, dan itu mengada-ada!”

Hening. Ketenangan telah lama menyelinap pergi, menyisakan udara yang berat oleh bergumpal-gumpal kebencian dan kemarahan. Aku ingin tubuhku tiba-tiba mengerut, lalu lenyap seketika dari pandangan mereka. Aku benar-benar bosan pada pertengkaran yang tak berkesudahan ini!

Kuperhatikan napas Pinkan sedikit memburu. Ia tak lagi duduk. Sementara Rahardi berdiri tegak dan memandangnya sengit. Aku duduk diam-diam di kursiku sendiri sambil berharap semoga Rahardi hanya memandangnya. Hanya itu, dan tidak menyentuh kulitnya.

Kami saling berdiam diri. Kami sudah lama melupakan setangkup roti tawar dan segelas jus jeruk yang ada di hadapan kami masing-masing. Lama seperti itu. Tubuhku mulai mengendur. Sepertinya pertengkaran itu akan segera berakhir. Seperti biasa, pasti Pinkan memilih mengalah. Tiba-tiba kudengar Pinkan berbisik lirih. “Cara-caramu itu sudah sangat kukenal, Mas. Sudah tidak mempan lagi untukku!

Tiba-tiba saja terbentang jurang yang sangat dalam antara dia dan Edwin. Padahal, mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama lima tahun.

Pinkan mulai menyadari hadirnya kesunyian yang aneh. Ia tenggelam cukup lama dalam pikirannya sendiri untuk meredakan amarahnya. Tapi, sejak tadi Rahardi tak membalas setiap perkataannya. Itu adalah sesuatu yang tidak biasa.

Aku sendiri sejak tadi menunggu dengan membuang pandang ke luar jendela. Rasanya lebih enak dan menenangkan melihat rerangan rumah kami yang luas. Mendengar kicau burung kolibri pengisap madu atau burung kacamata yang bertubuh kecil, dengan bulu berwarna hijau muda kekuningan. Burung kacamata yang berkelompok empat atau lima ekor itu melompat-lompat riang di dahan-dahan pohon kemuning, persis di depan jendela itu. Mungkinkah mereka sebuah keluarga? Kalau jawabannya ‘ya’, alangkah berbahagianya mereka!

Kesunyian yang lama ini agak tak biasa bagiku. Sepertinya Pinkan juga merasakan bahwa diamnya Rahardi yang cukup lama terasa aneh. Tapi, sebelum ia sempat benar-benar menyadari apa yang terjadi pada Rahardi, tiba-tiba sebuah kilatan logam berada begitu dekat dengan mata kanannya. Crap! Ada sesuatu yang menusuk langsung ke bola matanya. Pinkan lalu menjerit histeris dan secara spontan dengan cepat memegang matanya. Ada cairan berwarna merah pekat yang menyembur deras. Bau anyir darah mulai tercium oleh hidungnya. Juga hidungku. Pinkan melolong. Melengking.

Aku melompat dan beringsut di pojok ruangan. Hanya di situ aku merasa aman. Tubuhku menegang, tapi entah kenapa, aku tak bisa bersuara. Suaraku sepertinya menguap begitu saja sebelum sempat keluar dari tenggorokanku. Keringat membasahi tubuhku. Tapi, aku tidak menangis, tidak bersuara, tidak bergerak. Aku lumpuh. Semua sarafku mendadak tak berfungsi. Hanya mataku yang nyalang memandang peristiwa yang terjadi di depan mataku.

Malangnya, kedua mataku mengikuti dengan baik gerakan tangan Rahardi dan setiap reaksi Pinkan. Aku ingin mengalihkan pandanganku ke luar jendela, tapi otakku tak mau menurut perintahku. Aku benar-benar mati rasa!

Crap! Crap! Beberapa tusukan lainnya menyusul, masih pada mata yang sama, sebelum Pinkan sempat melihat dengan benar benda apa yang telah menusuk matanya itu. Begitu berulang-ulang. Hingga pada tusukan kesekian kulihat ia memegang sebuah benda bulat dan kenyal, sedemikian rupa dalam genggamannya. Ia menyangga benda itu dengan tangannya, persis di depan pipi kanannya. Itu adalah… sebuah bola mata! Ya, Tuhan! Itu adalah bola mata Pinkan!

Tiba-tiba aku merasa perutku bergejolak hebat. Aku benar-benar mual! Roti yang baru saja kumakan berhamburan di lantai, bercampur dengan jus jeruk dan semua vitamin yang kumakan pagi ini. Tapi, mataku tak mau berhenti menatap semua adegan yang mirip film horor itu! Aku melihat mata kiri Pinkan terkena beberapa sabetan benda, yang entah apa, hingga mengeluarkan darah.

Pinkan terus melolong. Suaranya melengking. Lengkingan yang memilukan sekaligus membawa kengerian pada setiap telinga yang mendengarnya. Ia berlari panik ke sana kemari. Menerabas setiap benda yang kini tak dapat dikenalinya lagi untuk mencari jalan keluar sambil terus memegangi bola mata kanannya yang turut bergerak dan bergoyang seperti seonggok agar-agar setiap kali ia bergerak. Pinkan menubruk benda-benda yang ada di ruangan itu seperti seekor banteng yang terluka!

Ya, ya, Pinkan memang terluka. Dan, aku, entah dengan cara bagaimana, bisa merasakan setiap tusukan yang menancap di tubuh Pinkan. Hanya, aku tak kuasa bergerak. Aku merasa seperti seonggok mayat yang membusuk, tak bisa lagi merasakan udara di sekelilingku. Aku beku dan kelu!

Hanya, mataku tak bisa dilarang untuk terus mengikuti gerakan Pinkan yang mengamuk tak ubahnya singa lapar. Tapi, tidak! Dia lebih tepat dikatakan singa yang terjebak, mengaum, menabrak apa saja untuk mencari jalan ke luar. Lalu, kualihkan pandanganku pada Rahardi. Laki-laki itu terpaku di depan pintu, berusaha menghalangi Pinkan ke luar ruangan. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Bagiku, detik itu ia terlihat sangat mirip dengan tokoh Penguin yang diperankan Jack Nicholson dalam cerita Batman. Seringainya terlihat sangat licik dan jahat!

Tangan kanan Rahardi memegang sesuatu. Sesaat kukira itu sebilah pisau dapur. Tapi, ternyata bukan. Sesuatu itu tak memiliki gagang. Semua bagiannya berupa baja mengilat. Itu sesuatu yang ‘berjemari’! Ya, Tuhan, bukankah itu sebuah garpu? Rahardi menusuk mata Pinkan dengan sebuah garpu yang diambilnya begitu saja dari meja makan!

Aku terpaku ketika kudengar teriakan Pinkan menyuruhku melompat ke luar lewat jendela yang ada di depanku. “Cepat lari, Aliaaa!”

Aku melihat sekilas Rahardi masih tegak berdiri dengan garpu di tangannya. “Alia! Lari! Melompatlah lewat jendela! Sekarang, Nak! Sekarang!” Raung Pinkan.

Aku masih diam tak mampu bergerak. Sampai akhirnya kulihat Rahardi bergerak ke arah Pinkan yang terbatuk-batuk karena kehabisan suara, membuat bola matanya bergoyang seperti agar-agar.

Crap! Rahardi kembali mengayunkan garpu yang penuh darah itu ke kepala Pinkan. Kulihat Pinkan limbung dan ambruk di dekat pintu. Mata kanan yang tadi disangganya hati-hati, terlepas dari genggamannya. Dan kini, dengan jelas kulihat tergeletak di lantai, di dekat wajahnya yang penuh darah.

Aku merasa seperti mayat yang membusuk. Kulihat sekelompok burung kacamata masih melompat riang di dahan-dahan kemuning. Tapi, nyanyian mereka tak lagi terdengar. Ada suara-suara gaduh di luar rumah. Orang-orang ramai berteriak dan menggedor-gedor pintu. Karena tak kunjung dibuka, pintu lalu didobrak dan orang-orang menyerbu masuk!

Aku sendiri bergerak meninggalkan mereka. Aku terbang. Terbang tinggi meninggalkan orang-orang itu. Meninggalkan bumi. Jauh di dalam hati, aku merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang luar biasa. Sepertinya, ini adalah sesuatu yang telah lama kuidam-idamkan. Seperti burung-burung kacamata itu….

Sayang, aku tak melihat jalan yang kulalui. Di manakah jalan setapak, di antara pepohonan dan petak-petak sawah yang menghijau itu? Bukankah seharusnya mereka seperti batang-batang korek api terlihat dari ketinggian? Barangkali, seluruh jalan setapak, pepohonan dan bukit yang mengitarinya, serta awan dan langit yang menaunginya memang berwarna hitam! Hitam pekat! Teramat gelap.

Angin masih bertiup pelan, mempermainkan pepohonan dan setiap lembar daun kelapa yang meliuk-liuk menyerupai jemari perempuan penari. Hari bergerak sore. Taman itu sepi. Hanya ada suara-suara alam yang menyiramkan ketenangan di sekitarnya.

Alia menyisir rambutnya dengan tangannya. Dipungutnya bebatuan kecil di sekitar kakinya, lalu dilemparkannya sekenanya, untuk sekadar mengurangi gundah yang tanpa ragu menyesaki dirinya dan Edwin. Sepertinya ia tak punya cukup keberanian untuk mendongakkan wajahnya yang sembap dan kucel karena air mata yang terus-menerus berusaha diusapnya. Celakanya, air mata itu sepertinya tak juga mau kering.

Ia merasa seperti berada di tabir jurang yang dasarnya tak terlihat. Hanya ada ruang kosong yang gelap. Ia siap terjatuh ke lubang itu. Perasaan itu begitu kuatnya hingga tak sadar ia mencengkeram rerumputan di sekitar kedua tangannya. Air mata tak juga mau berhenti mengalir. Ada rasa sakit yang sama seperti yang dirasakannya waktu itu. Ada bau perpisahan yang persis sama seperti yang dirasakannya waktu itu. Dan, ini sungguh menakutkan. Ia tahu, sebentar lagi ia akan kehilangan Edwin!

“Ceritakan padaku. Apa yang terjadi setelah itu,” kata Edwin. Sejak tadi pemuda itu larut dalam ketegangan cerita Alia. Sesekali wajahnya terlihat mengeras, sesekali mulutnya tanpa sadar sedikit terbuka karena tak percaya pada apa yang didengarnya.

Dalam hati ia bertanya-tanya tak yakin, benarkah ini Alia? Gadis yang selama lima tahun ini menjadi kekasihnya, bahkan calon istrinya? Benarkah cerita itu terjadi pada Alia yang sehari-hari terlihat berpembawaan tenang dan sangat terkendali? Rasanya Edwin ingin menolak semua cerita itu karena tak pernah terbayangkan semua itu sungguh-sungguh terjadi pada ga-dis terkasih di hadapannya. Alia, gadis periang dan maskulin, yang dalam kesehariannya seperti tak pernah punya masalah, apalagi rasa takut!

Sementara itu, Alia menunggu Edwin menyentuh dan menggenggam tangannya seperti yang biasa ia lakukan untuk menguatkannya, jika ia merasa sedih atau putus asa. Kali ini, sekecil apa pun, sentuhan itu akan berarti banyak. Paling tidak, itu bisa jadi suatu isyarat, bahwa Edwin tak sepenuhnya menolak Alia. Tapi, Edwin tak melakukannya. Ia duduk tegak di tempatnya semula. Posisi duduknya terlalu rapi dan canggung. Alia dapat merasakan ketegangan Edwin dan keresahan yang tiba-tiba hadir.

“Sepertinya sekarang aku sudah lebih siap untuk mendengar cerita selanjutnya,” katanya, datar dan tawar. Namun, Alia masih dapat membaca keterkejutan dalam nada suara Edwin. Alia mengangkat wajahnya. Ia tak yakin dengan reaksi Edwin. Namun, suasana yang menjadi serba salah itu, telah memupuskan harapannya sama sekali untuk mendapat pengertian dan simpati Edwin.

Dalam hati gadis itu mulai muncul keraguan. Tepatkah jika ia menceritakan semuanya sekarang? Tapi, buat apa ia bercerita lebih jauh kalau, toh, Edwin meninggalkannya juga pada akhirnya? Tapi, adakah ia punya pilihan lain untuk saat ini? Edwin tak memberinya kesempatan lagi untuk mengulur pernikahan.

Membiarkan Edwin menikahi wanita lain begitu saja, meski dengan sangat terpaksa, tanpa mengatakan apa pun padanya, rasanya bukan ending yang diinginkannya. Alia menelan ludah. Tapi, semuanya sudah telanjur. Ia harus menyelesaikan cerita ini, apa pun risikonya. Rasanya itu lebih kesatria ketimbang menyerah begitu saja. Ia lebih baik kehilangan Edwin karena suatu alasan yang jelas, daripada membiarkannya pergi bersama teka-teki yang akan menghantui hidup mereka berdua!

Tapi, sikap Edwin yang hanya diam dan tak memandangnya, tak urung membuat gadis itu ragu. Ditatapnya Edwin dan dengan hati-hati ia bertanya, “Apakah masih ada gunanya untuk kuteruskan? Atau, kau ingin aku menghentikannya saja sampai di sini? Kisah selanjutnya hanya membuatku makin merasa tak pantas dan tak berharga buatmu. Lagi pula, itu akan terlalu menyakitkan buatmu juga.”

“Alia, biarkan aku yang memutuskan apakah itu akan menyakitkan buatku atau tidak,” kata Edwin, tajam. “Kau berutang lima tahun padaku, Alia. Bagaimana bisa kau merahasiakan sebuah ‘rahasia besar’ seperti ini dariku selama itu?” Edwin menggeleng-gelengkan kepalanya dengan geram. Tangan kanannya terkepal erat, seolah berusaha menyalurkan kemarahannya agar jangan sampai meledak lepas tak terkendali.

“Aku tak pernah mengkhianatimu. Bahkan, aku dengan sabar menunggumu selama lima tahun ini agar bisa menikah denganmu. Tak seharusnya kau ragu padaku. Rasanya benar-benar tak adil kau menyembunyikan sebagian kisah hidupmu dariku, “Edwin menghela napas panjang dan membuangnya dengan keras. “My God, Alia! Cerita setragis ini kau sembunyikan dariku!” katanya, tajam.

Alia diam. Rasanya ia ingin menghentikan embusan napasnya yang sejak beberapa menit lalu dirasakan membuatnya gugup. Pembelaan apa lagi yang harus dikatakannya? Meminta maaf kepada Edwin? Menangis untuk menunjukkan rasa bersalah? Atau, mungkin menghibur Edwin agar ia tak terlalu kecewa dengan kenyataan ini?

Entahlah. Alia merasa seperti seekor tikus rumah yang terpe-rangkap di pojok ruangan. Tak ada lagi celah untuk berlari dari perasaan tak pantas yang mengungkungnya. Tiba-tiba saja ia merasa antara dirinya dan Edwin terbentang jurang yang sangat lebar. Ia dengan segala kelemahan dan masa lalu yang buruk dan Edwin dengan semua cerita indah dalam hidupnya yang tanpa cacat cela.

Gadis itu memilih diam. Ia sangat membutuhkan seseorang untuk menenangkan dan menghiburnya dari perasaan terpuruk dan terhina. Jelas, orang itu bukan Edwin. Paling tidak untuk saat ini.

“Aku kecewa, Alia. Sangat kecewa,” desah Edwin. Tak jelas apa yang dimaksudnya, kecewa pada Alia atau cerita Alia.

“Maafkan aku, Win.”

“Sudahlah. Barangkali sebaiknya kau teruskan ceritamu. Kali ini semuanya. Jangan lagi ada yang kau sembunyikan….”

“Entahlah, Win!”

“Bukankah tadi kau berkata akan tetap bercerita, apa pun risikonya dan apa pun keputusanku nantinya?” sergah Edwin. Suaranya meninggi dan penuh tuntutan. Tak sedikit pun ia berniat menunjukkan simpatinya pada Alia. “Nah, ceritakanlah,” desaknya.

“Cerita berikutnya… lebih buruk dari yang tadi, Win. Kau akan takut mendengarnya,” kata Alia, terbata. Sesaat ia terdiam, berusaha mengatur suaranya. Ia merasa sangat malu dan tak berharga. “Cerita ini begitu buruknya, jadi dari sekarang sepertinya aku sudah tahu kau akan meninggalkanku.”

Edwin tidak bergerak dari duduknya. “Biarkan aku yang memutuskan kali ini, Alia. Dan, biarkan pula aku yang menilai apa yang akan terjadi pada diriku. Apa pun yang nantinya terjadi, paling tidak kau harus mulai belajar memercayaiku. Sesuatu yang seharusnya kau lakukan sejak dulu!” katanya, tajam.

Alia tersenyum getir. “Tapi, itu takkan ada gunanya jika pada a-khirnya kita tak jadi menikah, bukan?”

“Bukankah itu termasuk risiko yang harus kau tanggung?” gumam Edwin, tak peduli. “Bukannya tadi kau bilang siap hidup sendiri? Atau, sekarang kau sudah berubah pikiran?” Edwin seolah mengejek.

“Atau, barangkali ini juga salah satu sifatmu yang kau rahasiakan selama ini dariku?” kata Edwin, tersenyum sinis.

Alia mengangkat wajahnya yang seketika dirasakannya panas setelah mendengar kata-kata Edwin. Ia menatap Edwin jengah. Ejekan Edwin menohok harga diri gadis itu. Ia telah menghadapi begitu banyak masalah dan menanggung sekian banyak beban sendirian selama hidupnya. Ia membenci sifat pengecut dan mengalah. Lalu, sekarang tiba-tiba Edwin menuduhnya pengecut?

Alia merasakan kemarahan mulai bangkit dalam dirinya. Ditegakkannya tubuhnya dan diusapnya matanya yang terasa panas dengan gerakan kasar. “Baik, kalau itu maumu!” katanya, kesal. “Jangan pernah mengatakan aku tak berani menghadapi kenyataan! Dengarkan baik-baik dan jangan kehilangan satu kata pun!”

Alia melanjutkan, “aku menemukan diriku di rumah sakit….”

Cerita Alia
Tubuhku basah oleh keringat. Bajuku sudah bukan seragam sekolah lagi, tapi baju tidur batik oleh-oleh Pinkan ketika ia ke Yogya beberapa bulan lalu. Di sebelahku ada seorang wanita berumur sekitar empat puluhan yang menatapku lembut sambil tersenyum manis. Ia berpakaian putih-putih. Rambutnya yang hitam disanggul rapi. Kacamata dengan gagang terbuat dari bahan tanduk menghiasi matanya yang bersinar ramah dan seperti selalu tersenyum. Bahkan, ketika perempuan itu dalam keadaan diam, matanya selalu menyiratkan bahwa ia sedang tersenyum. Sekilas kubaca kartu nama yang diselipkan di dada kanannya. Refa Aningtyas, Psikiater. Tapi, ke mana Pinkan? Sontak ingatan itu membuatku gemetar hebat. Sarafku serasa membeku. Bibirku gemetar. Lidahku kelu. Bola mata itu! Bola mata Pinkan yang menggelantung seperti agar-agar…. Ruangan yang penuh darah…. Tiba-tiba kulihat tangan Rahardi yang memegang garpu, mengayunkannya menuju mataku.

“Aaahhhhh… aaagghhhh!” Aku berteriak histeris, berontak ingin lari. Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Lidahku seperti dibebani oleh besi berani. Perempuan itu segera memelukku.

“Ssshh, sshhh, jangan takut, Alia sayang. Kau aman di sini bersama Ibu.” Dibelai-belainya kepalaku lembut sambil terus membisikkan kata-kata hiburan di telingaku. Pelan-pelan napasku mulai teratur dan tubuhku mengendur. Perempuan itu melepaskan pelukannya perlahan-lahan sambil terus mengamati reaksiku.

“Kau aman di sini. Ibu yang mengurusimu. Hmmm, Alia mau minum susu?” dia bertanya sambil tersenyum.

Aku diam saja. Aku tak ingin bicara pada siapa pun.

“Nama Ibu, Refa. Ibu yang akan menjaga Alia di sini.”

Aku masih tak menjawab. Kuikuti langkah Dokter Refa ke arah meja kecil di sudut ruangan. Ia membuat segelas susu untukku. Ia sepertinya baik, tapi aku tak ingin bicara padanya.

“Minumlah, Sayang,” katanya, sambil menyorongkan segelas susu.

Prang! Kutepis gelas itu hingga pecah berantakan. Baju putih Dokter Refa basah terkena percikan susu. Bergegas ia memanggil suster yang segera membersihkan serpihan-serpihan gelas di lantai.

Sudah kubilang, aku tak mau bicara pada siapa pun! Tidak juga pada Dokter Refa yang baru kukenal beberapa saat lalu! Aku menatap perempuan itu tanpa perasaan apa pun. Dia hanyalah orang lain. Bagaimana mungkin dia sebaik itu padaku? Orang tuaku saja tega berbuat begini padaku!

Rahardi tega menusuk mata Pinkan tanpa pernah berpikir apa yang akan terjadi padaku setelah itu. Bahkan, aku tak tahu di mana sekarang Pinkan berada! Hah! Lalu ada seorang perempuan asing yang akan melayani dan menjagaku dengan baik. Mana mungkin!

Dan, hari itu tidak berakhir sampai di situ saja, dan dengan begitu saja. Memecahkan gelas baru sebuah permulaan. Siang dan sore harinya aku memecahkan sebuah gelas lagi dan sebuah mangkuk berisi sup daging. Di malam harinya aku menggigit lengan Dokter Refa yang masih saja ‘sok akrab’ mengajakku bicara. Aku tak makan sama sekali dan tak bicara sama sekali. Aku hanya merasa sendirian dalam sebuah kubangan yang penuh darah.

“Kamu sudah baikan hari ini, Sayang?” Dokter Refa bertanya lembut. Diciumnya pipiku sekilas. Aku tak menjawab dan hanya mengikuti setiap gerakannya dengan pandangan.

“Ibu membawa sebuah buku cerita yang pasti kamu suka,” katanya.

Ibu! Ibu! Ibu! Aku tak suka kata itu. Aku tak punya ibu. Dan, aku tak ingin ibu! Aku menjerit dalam hati.

Dokter Refa menyorongkan sebuah buku cerita bergambar. Kubaca judulnya sekilas tanpa berminat untuk menyentuhnya. Rumpeltiltskin. Huh! Sudah pernah kubaca dulu. Aku bahkan punya koleksi seri cerita klasik di rumah, termasuk cerita itu.

Seperti hari kemarin, kuhabiskan hari itu dengan memecahkan gelas-gelas dan piring-piring lagi, serta merobek buku cerita yang dibawakan Dokter Refa. Hari itu, aku masih selalu membayangkan garpu dan bola mata Pinkan yang seperti agar-agar.

Rasanya ada sesuatu dalam diriku yang tak lagi bisa kukendalikan. Rasanya aku membenci, sangat benci pada orang tuaku dan siapa saja. Tapi, yang paling kubenci adalah Pinkan. Sebab, karena dialah semuanya jadi begini. Ia tak pernah berusaha melawan Rahardi! Andai ia berusaha untuk melawan sejak dulu, tentu tak akan begini jadinya!

Pagi itu, entah hari keberapa aku berada di rumah sakit, Pinkan datang menjengukku. Mata kanannya diperban, sedang mata kirinya terlihat lebam dengan bagian matanya yang seharusnya berwarna putih terlihat merah darah. Ia tersenyum dan duduk di pinggir tempat tidurku. Aku muak melihatnya.

“Kamu sudah baikan, Sayang?” Suaranya bergetar menahan tangis. Aku memandangnya dengan muak. Aku benci padanya!

Lama setelah itu ia terdiam dan hanya mengelus-elus tanganku, kemudian rambutku. Tapi, aku diam saja. Aku tak ingin bicara pada siapa saja, apalagi dia!

Pinkan terlihat kebingungan melihatku diam dan sama sekali tak memandangnya.

“Ajak bicara, mungkin pada Anda ia mau bicara. Sudah enam hari dia tak mau bicara. Cobalah terus,” kata Dokter Refa.

“Sayang, kamu ingat apa yang terjadi?” Pinkan bicara lagi. “Kamu melihat semuanya, bukan?” Ia menunggu reaksiku. “Ayolah, ceritakan apa yang kamu rasakan pada Ibu atau Dokter Refa. Jangan diam saja….”

Melihatku diam saja, ia mengambil sebuah buku cerita yang baru dibawakan lagi oleh Dokter Refa. Dia membaca dengan susah-payah sambil sesekali berusaha tersenyum memandangku. Alangkah konyolnya! Matanya yang satu ditambal dan yang satu lagi tak dapat melihat dengan jelas, tapi ia memaksa dirinya membaca untukku. Sementara aku sama sekali tak suka melihatnya!

Sejenak Pinkan menatapku putus asa. Perlahan air mata meleleh di pipinya yang lebam-lebam dan penuh luka. Digenggamnya tanganku pelan dan didekap di dadanya. “Alia, anakku, mengapa jadi begini,” katanya pelan, di antara isaknya.

  Mengingat wajah Ibu, seperti mengumpulkan potongan puzzle yang bertaburan. Sulit, dan membutuhkan konsentrasi tinggi.

Kengerian itu sering kali datang. Dalam mimpi-mimpiku, dalam khayalanku, bahkan dalam kesendirianku. Bayangan garpu yang menghujam langsung ke mata kanan Pinkan, lalu bola mata kanannya yang menggelantung di pipinya, selalu saja tampak nyata.

Hanya Dokter Refa tempatku berlindung. Dan, entah pada hari keberapa, aku mulai menjalin komunikasi dengan Dokter Refa sedikit demi sedikit, meskipun aku tak pernah mau berbicara. Ia sering membacakan cerita untukku. Ia juga sering mengarang sendiri cerita untukku. Yang paling kusuka adalah kisah seekor induk rusa yang menyelamatkan anaknya dari terkaman harimau.

Aku menyukai induk rusa itu. Karena, selain menyelamatkan anaknya, ia juga tak membiarkan dirinya dilukai si harimau. Induk rusa itu akhirnya bisa membesarkan anaknya hingga siap dilepas sendirian di hutan. Aku mulai menyukai Dokter Refa. Tampaknya ia pun menyukaiku, bahkan sangat menyayangiku.

Kata Dokter Refa, aku tak mau bicara selama lebih dari dua bulan. Hanya kesabarannya mendekatiku, membuatku mau berbicara sepatah demi sepatah. Meskipun, dalam keadaan tertentu, aku masih sering kembali mogok bicara. Tapi, menurutnya, aku sudah jauh lebih baik ketimbang keadaanku sebelumnya.

Sementara itu, Pinkan mulai jarang datang. Bahkan, tanpa kusadari ia tak pernah lagi menjengukku. Mungkin, ia kecewa karena aku tak pernah mau berbicara padanya, bahkan tak mau menatap wajahnya sama sekali. Ada sesuatu dalam diriku, seperti sebuah fungsi yang tiba-tiba berhenti setiap kali melihat wajahnya!

Mendadak tubuhku akan menegang. Lidahku kelu. Aku dirundung kegelisahan yang tak dapat kupahami, yang mendorongku untuk menutup diri darinya, jika bertemu dengannya. Bahkan, pernah pada suatu waktu, aku berlari dan bersembunyi di bawah tempat tidurku begitu melihat sebelah kakinya memasuki ruangan tempatku dirawat.

Aku tak pernah tahu apa yang terjadi padanya kemudian. Aku pun tak pernah tahu dan tak pernah memikirkan apa yang akan terjadi padaku nanti. Yang kutahu, Dokter Refa sangat menyayangiku dan aku menikmati setiap detik bersamanya. Dia telah menjadi tempatku bergantung. Aku tak bisa hidup tanpa dirinya.

Maka, ketika suatu hari, setelah sekian bulan dirawat, Dokter Refa mengajakku pulang ke rumahnya, aku sangat senang. Aku tak lagi dan tak mau lagi mengingat kejadian itu, Rahardi, dan juga Pinkan. Hidupku selanjutnya hanya akan terdiri dari aku dan Dokter Refa. Kami berdua.

“Apakah… Dokter mau mengajak… Alia pulang? Ke rumah… Dokter?”aku terbata-bata bertanya, nyaris berbisik.

Dokter Refa tersenyum. Ia membelai rambutku lembut. “Mengapa tidak, Alia?”

“Alia kan galak dan sering... mengamuk. Alia memecahkan barang-barang….”

“Alia anak baik. Dokter percaya, Alia mau menceritakan apa saja yang Alia rasakan. Ya, ’kan?” katanya menegaskan, menenteramkan hatiku. Jadi, sejak itu aku tinggal dengan Dokter Refa, yang kemudian mengadopsiku dan menyuruhku memanggilnya Tante Refa. Aku memulai sebuah hidup baru, di rumah dan lingkungan baru, dengan seorang keluarga baru.

Aku masih sering mengamuk dan memecahkan barang. Bukan hanya itu, aku juga mudah memukul siapa saja yang kuanggap menyinggung perasaanku. Aku sering kali pulang sekolah dengan tubuh kotor dan berdarah karena berkelahi. Kadang-kadang, kalau aku marah atau ngambek, aku masih sering diam membisu selama beberapa waktu. Tak jarang, sampai aku sakit karena tak bisa melampiaskan kemarahanku.

Seringnya aku membuat masalah, membuat Tante Refa menerima banyak keluhan. Entah itu dari para orang tua yang anaknya berkelahi denganku atau guru-guru sekolahku. Aku pernah memukuli seorang anak di sekolahku dengan ikat pinggang hingga tubuhnya penuh bilur. Aku juga pernah menendang perut kakak kelasku, perempuan, hingga ia terpaksa dibawa ke UGD. Katanya, tulang rusuknya sedikit bergeser karena kerasnya tendanganku!

Semua itu kulakukan karena aku tak mau orang menggangguku atau meremehkanku. Aku tak pernah mau mengalah pada apa yang kuanggap sebagai upaya orang untuk menginjak harga diriku. Tak ada orang yang boleh mengalahkanku!

Aku bahkan hampir tak pernah menangis seperti yang biasa dilakukan anak perempuan jika mendapat masalah. Aku memang tak lagi bisa menangis sejak melihat Pinkan dicongkel matanya. Aku melihat bagaimana Pinkan menangis meraung-raung dan menjerit-jerit, tapi Rahardi makin kalap dan mencongkel matanya.

Bukan hanya pada kejadian itu saja. Pinkan sering menangis dan memohon agar Rahardi berhenti menyakitinya, tapi itu tak pernah berhasil. Rahardi selalu saja bertambah galak dan buas. Ia makin senang menyakiti. Jadi aku pikir, menangis adalah perlambang kelemahan yang paling hakiki. Memohon adalah teman setia kelemahan. Andai ketika disakiti, Pinkan balik menyerang atau paling sedikit melakukan pembelaan, bukannya memohon dan menangis, mungkin kejadiannya akan lain. Jadi, aku tak mau dan tak akan pernah mengulangi kesalahan yang dibuat Pinkan! Aku tak ingin seperti dia!

Dari semua kenakalan yang pernah kulakukan, ada satu yang paling kuingat hingga kini. Ketika itu, usiaku menginjak enam belas tahun. Ada seorang anak lelaki, kakak kelasku yang lebih tua beberapa tahun dariku, merampas uang jajanku. Waktu itu aku pulang dengan tubuh gemetar menahan marah karena aku tak berhasil merebut uangku kembali.

“Kamu kenapa, Sayang? Kamu tidak mau makan, tidak mau bicara pada Tante? Badanmu gemetar seperti ini. Ada apa?” Tante Refa memegang keningku. Ia duduk di sisi tempat tidurku, menatapku, dan menunggu reaksiku. Sudah seharian aku tutup mulut. Aku memang tak ingin membicarakan masalah itu padanya, karena aku tahu tak lama lagi ia akan mendapat masalah. Jadi, lebih baik aku diam saja.

“Katakan, Sayang, kenapa kamu seperti ini. Ayolah, jangan membuat Tante takut.”

Hening. Aku tetap tak mau bicara. Lama aku berbuat begitu. Aku tahu Tante Refa mulai takut, apalagi ketika menjelang malam badanku mulai panas.

“Katakan Alia, apa yang terjadi. Apakah Tante membuatmu marah?” Ia membujukku dengan lembut.

“Razak merebut uang jajanku,” kataku akhirnya.

“Itu saja, Nak?” Tante Refa mendesah pelan. “Hanya karena uangmu direbut lantas kamu diam saja seharian ini? Atau, ada yang lainnya?”

Ketika itu pintu ruang tamu diketuk. Dalam hati, aku tahu masalah untuk Tante Refa telah datang! Itu orang tua Razak dan Razak. Kepala dan jari kelingking tangan kanan anak laki-laki itu diperban!

“Ada apa, ya, Bu?” Kudengar suara halus Tante Refa menyapa sang tamu setelah mempersilakan mereka masuk dan duduk.

Hening sesaat. Orang tua Razak saling pandang, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk membuka pembicaraan. “Anak kami tadi siang dibawa ke rumah sakit. Kepalanya bocor dan mendapat tujuh jahitan, jari kelingkingnya patah. Katanya, ia berkelahi dengan Alia.”

Aku berjingkat membuka pintu kamarku sedikit sehingga aku bisa mengintip ke ruang tamu. Tampak wajah Tante sedikit pias. Ia terlihat malu.

“Tapi, kata Alia, Razak telah mengambil uang jajannya. Ia mengaku begitu pada saya.” Tante Refa berbicara tenang dan terkendali, berusaha untuk tidak memberi perhatian lebih pada kedua bagian tubuh Razak yang diperban itu.

“Oh, begitukah? Razak tidak menceritakannya pada kami. Tapi, kalaupun benar, rasanya Alia tak perlu sampai membuat kepalanya bocor dan mematahkan jari kelingkingnya, bukan?”

Hening lagi.

“Rasanya ini sudah keterlaluan untuk anak berusia enam belas tahun dan perempuan pula! Kami bisa saja melaporkan kejadian ini pada polisi. Apalagi kami dengar, bukan sekali ini saja Alia melakukan tindak kekerasan seperti ini. Kelakuan anak itu sudah cenderung pada tindakan kriminal. Atau, jangan-jangan Anda belum tahu?” Ibu Razak melanjutkan kata-katanya.

“Maaf, ya, Bu. Tolong kemenakan Anda itu dikontrol sedikit. Saya tak ingin Razak mengalami patah tangan, gigi tanggal, atau yang lebih buruk karena berkelahi dengan Alia. Jadi, mulai sekarang, saya larang Alia mendekati anak saya! Kemenakan Anda adalah sebuah ancaman. Bukan hanya bagi anak saya, tapi juga semua anak di sekolahnya!” Ia berhenti sebentar dan mengaduk-aduk isi tas tangannya.

“Dan, ini! Uang yang katanya diambil Razak dari Alia,” katanya tajam, sambil meletakkan sebuah uang logam lima ratusan di atas meja dengan keras.

Huh! Padahal, tadi ia bilang Razak tak cerita!

Aku melihat wajah Tante Refa memerah, bukan memucat seperti tadi. Ia marah. “Terima kasih kalian telah datang dan mengembalikan uang ini. Bukan soal jumlahnya yang penting. Tapi, seharusnya kalian sadar, anak kalianlah yang memulai masalah. Apa pun reaksi Alia kemudian, kalian harus ingat bahwa tindakan mengambil dan merebut sesuatu yang bukan miliknya, apa pun bentuknya dan seberapa pun nilainya, adalah perbuatan tercela. Kalau saja Razak tidak mengambil uang Alia, saya rasa kemenakan saya itu tak akan menyerangnya,” kata Tante Refa, marah.

Ia berhenti sebentar dan mengambil napas sambil memandangi anak beranak itu bergantian. Razak terlihat menunduk dalam-dalam. Ia seperti berada di dunia lain. Dunianya sendiri. Ia seolah tak mendengarkan perdebatan para orang tua itu. Melihat tak ada reaksi apa pun, Tante Refa melanjutkan, “Selain itu, saya tak yakin Razak tidak melakukan hal-hal lain selain merebut uang Alia.” Kali ini ia menatap Razak dengan tajam. Pandangan penuh tuntutan dan tuduhan.

“Bukankah begitu, Razak? Apa lagi yang kamu lakukan selain merebut uang Alia?” Ia bertanya sekali lagi, memberi penekanan sedemikian rupa pada kalimatnya yang sarat tuduhan. Caranya mengucapkan kalimat itu dengan sangat yakin membuat kedua orang tua Razak saling menatap. Razak tampak terkejut. Wajahnya memucat. Ia meremas-remas tangannya yang berkeringat.

“Katakan saja, Nak. Toh, kamu tidak melakukan apa-apa,” bujuk ibunya.

“Razak, tidak akan ada yang memarahimu. Ayo, katakan. Sebab, Tante yakin, Alia tidak akan begitu hanya karena kamu merebut uangnya.”

Razak masih diam.

“Percayalah, Tante tidak akan marah. Kamu dan Alia sudah lama berteman, dan kalian sering bertengkar. Tapi, Alia tidak pernah memukulmu seperti ini. Adakah hal lainnya yang belum kamu ceritakan? Katakanlah, Tante tak akan marah,” desak Tante Refa.

Aku sebenarnya agak heran dengan reaksi Tante Refa yang sepertinya sangat yakin ada sesuatu yang disembunyikan Razak. Memang ada, sesuatu yang tidak kuceritakan karena aku malu. Tapi, bagaimana dia bisa begitu yakin pada sesuatu yang tersembunyi itu? Ah, aku melupakan profesinya! Ia seorang psikiater!

“Saya… saya… memegang… anu, eh, payudaranya,” akhirnya Razak berkata gemetar. Ia menunduk makin dalam. Seperti ingin menenggelamkan wajahnya di antara kedua pahanya.

Aku melihat Tante Refa tersenyum penuh kemenangan. “Benar bukan apa yang saya katakan? Kemenakan saya tidak seperti yang Anda duga.”

“Tapi, Anda tetap saja tidak bisa menghilangkan fakta bahwa kemenakan Anda melakukan kekerasan yang sangat berbahaya yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak perempuan seusianya,” kata ibu Razak, jengah.

“Anda juga harus sadar, bahwa kelakuan Razak pun tidak bisa diterima. Kebetulan saja Alia tidak berdarah. Bagaimana kalau Razak melakukan hal yang lebih jauh?”

“Ah, sebaiknya kita pulang. Mari kita akhiri urusan ini sampai di sini saja,” kata ayah Razak yang sejak tadi kulihat lebih banyak berdiam diri. Ia kelihatan tak enak hati dengan kelakuan putranya. Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya, ketika pulang, ibu Razak membanting pintu dengan keras. Blaaam!

Setelah itu, Tante Refa mencariku di kamar. Ia menatapku lama, hingga membuatku salah tingkah dan tiba-tiba jadi ingin kencing.

“Mengapa kamu melakukan itu, Alia? Kamu sudah besar sekarang. Usiamu sudah enam belas tahun. Mematahkan kelingking Razak dan membuat kepalanya bocor? Ya, ampun, Alia! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiranmu?” Nada suaranya terdengar kesal.

“Tapi, dia memegang payudara saya, Tante. Memang yang diambilnya hanya uang lima ratus perak di saku kanan saya. Tapi, dia melakukan itu karena ingin menyentuh payudara saya!”

  “Tante tak mempersoalkan itu. Kamu memang berhak marah. Tapi, mematahkan kelingkingnya? Itu tetap tidak dapat diterima, Alia! Tidakkah kamu bisa melawan dengan cara lain?” Tante Refa tampak gemas. “Tante tidak menyalahkanmu karena kamu melawan. Tapi, kapan kamu akan menghentikan semua ini? Berkelahi dan memukuli orang? Kamu sekarang sudah enam belas tahun. Tak pantas berkelahi seperti lelaki!” Suara Tante Refa meninggi. Aku diam saja.

“Ayo, ceritakan pada Tante, dengan apa kamu memukulnya tadi?”

“Dengan… kayu dan batu! Soalnya, cuma kayu dan batu itu yang ada di sekitar situ. Kepalanya saya pukul dengan batu dan kelingkingnya saya pukul dengan kayu!” Aku menjawab lemah, tak yakin dengan reaksi Tante Refa. Aku takut dia makin marah.

“Tapi, kenapa, Sayang? Tidak bisakah kamu lari saja kalau tak mampu melawannya?” Tante Refa berkata putus asa. Ia menatapku sendu sambil menggeleng-geleng lemah. “Ada kalanya Tante tidak tahu, apa yang harus Tante lakukan untuk membantu kamu melupakan semua dendam itu. Agar semua kekerasan mengelupas seperti kulit ari dari dirimu. Dengan begitu, kamu bisa menjadi gadis yang ceria. Tidak melulu merasa diri terkalahkan….”

Aku diam. Menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan-pelan. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Tante Refa? Seharusnya dia mengerti. Justru, lari dan menghindar adalah sesuatu yang paling tak ingin kulakukan! Aku bukan penakut seperti Pinkan! Dan, Razak tidak harus selalu menang seperti Rahardi dulu!

“Kalau saya tidak melawan, Razak pasti akan melakukannya lagi.”

Hening. Kami saling berdiam diri. Aku dapat merasakan pandangan Tante Refa menyapu seluruh tubuhku.

“Tante tahu. Tapi, bukankah sudah berkali-kali Tante katakan, kalau kamu merasa ingin memukul orang, segeralah menyingkir. Sejauh-jauhnya…. Tenangkan perasaanmu. Mengalah tak selalu berarti kalah, Alia.”

“Bukankah itu yang terjadi padanya? Dia tak pernah melawan? Saya tidak mau seperti dia!” Aku mulai menangis. Lama-lama makin keras. Aku teringat pada Pinkan.

Sebenarnya aku tak pernah melupakannya. Barangkali setelah sekian tahun berlalu, aku sebenarnya merindukannya. Aku tak tahu ke mana ia pergi. Jauh di alam bawah sadarku, aku ingin tahu mengapa tak ada kabar mengenai dirinya. Mengapa ia tak kunjung menjemputku? Memang aku membencinya, tapi tidakkah seharusnya ia tetap menjemputku bagaimanapun reaksiku nantinya?

Jauh dalam lubuk hatiku, terus-terang aku merasa kecewa karena ia tak kunjung datang menjemputku. Rasanya lengkap sudah. Ia dan Rahardi, mereka berdua, sejak awal tak pernah memperhitungkan keberadaanku!

“Kau merindukan ibumu, Sayang?” Tante Refa bertanya lirih. Dibawanya aku ke dalam pelukannya. Aku merasa hangat.

“Ke mana ia pergi, Tante? Mengapa ia tak pernah datang menjengukku?” Aku terisak, sesuatu hal yang sebenarnya pantang aku lakukan. Tapi, sudah bertahun-tahun pertanyaan itu kugantung begitu saja!

Tante Refa menarik napas panjang. “Akhirnya kamu menanyakannya juga,” katanya, sambil menepuk pundakku pelan. “Tunggu di sini. Tante akan mengambilkan sesuatu untukmu. Rasanya, sudah saatnya kamu tahu.” Dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar ruangan menuju kamarnya sendiri yang bersebelahan dengan kamarku. Tak lama, ia datang dengan sepucuk surat di tangannya.

“Bacalah ini,” katanya sambil menyodorkan surat itu padaku.

“Ini dari….”

Tante Refa mengangguk tegas. “Ya, surat itu dari ibumu.”


Aku menarik napas dalam-dalam. Ada perasaan aneh menyusuri hatiku. Antara gembira dan ingin tahu. Kutimang-timang sebentar surat itu sebelum akhirnya kubuka pelan-pelan. Tulisan di atas kertas itu kecil-kecil dan sangat rapi. Surat itu diawali dengan tanggal dan tahun, saat ia menuliskannya untukku. Enam tahun yang lalu….

Anakku, Alia….

Bila suatu saat kau baca surat ini, Ibu mungkin sudah pergi jauh atau bahkan mungkin sudah tak lagi ada di dunia ini. Ibu terpaksa meninggalkanmu. Bukan karena Ibu tak menyayangimu, tapi karena Ibu merasa, ketidakhadiran Ibu lebih baik bagimu.

Makin Ibu memikirkan semua yang terjadi, makin Ibu mengerti bahwa Ibulah yang menyebabkan semua ini. Ibu tak ingin membuatmu lebih sengsara lagi nantinya, Nak. Karena itu, Ibu menitipkanmu pada orang yang bisa membantumu pulih kembali dan menghadapi masa depan yang wajar dan ceria. Dan, yang terpenting, ia mengasihimu seperti anaknya sendiri.

Ayahmu dipenjara. Kami tak lagi bersama. Ia menderita sakit yang sulit disembuhkan. Ia berbuat begitu semata-mata karena ia tak mampu melawan penyakitnya. Karena itu, jangan kau benci dia. Bagaimanapun, dia ayahmu. Semua ini terjadi karena kesalahan kami berdua. Kau tak seharusnya ikut menanggung sakit hati yang timbul dari setiap pertengkaran kami.

Bila kau sering melihat Ibu lebih banyak mengalah, semata-mata karena Ibu ingin melindungimu. Ayahmu sering kali mengancam akan menyakitimu, bila Ibu tak menuruti kemauannya. Karena itulah, Ibu tak pernah mau melawannya. Mungkin, satu-satunya kesalahan Ibu adalah tetap bertahan di sisinya. Tadinya Ibu pikir, itu demi kau. Agar kau tetap memiliki orang tua yang utuh. Nyatanya, Ibu salah. Andai Ibu meninggalkan ayahmu jauh sebelum kau telanjur mengerti dan melihat semuanya, tentu kejadiannya berbeda. Tapi, tak ada yang perlu kita sesali dari semua yang telah terjadi.

Semoga dengan kepergian Ibu, kau dapat sembuh tanpa sepotong kenangan buruk pun tertinggal dalam benakmu, yang hanya akan membebanimu seumur hidup.

Semua uang dan harta yang Ibu miliki, sudah ibu titipkan pada Dokter Refa untuk bekalmu di masa depan. Semoga bisa sedikit mengurangi bebanmu, Alia. Hiduplah dengan tenang dan wajar. Kejarlah kebahagiaanmu. Doa Ibu selalu menyertaimu. Semoga kau bisa memahami keputusan Ibu.

Peluk Cium,

Ibu

Aku melipat surat itu. Oh, Ibu… Ibu… Ibu! Aku berteriak keras dalam hati. Air mataku luruh seiring dengan lumatnya serpihan dendam yang selama ini menjadi pembatas antara aku dan ibuku. Kupeluk Tante Refa tanpa berkata sepatah kata pun.

Jauh di lubuk hatiku, aku mengakui kerinduan yang selama ini kerap mendera dan selalu saja kutolak mentah-mentah. Aku merindukan dia, ibuku. Kali ini kubiarkan perasaan itu mengalir begitu saja. Aku membangun bayangan wajah ibuku sedikit demi sedikit, seperti menyusun sekian keping puzzle di tempat yang semestinya.

Dan, wajah itu pun akhirnya terbangun utuh. Sepasang mata belok yang sendu dan selalu murung, bibirnya yang penuh dan wajahnya yang bulat telur, dimahkotai oleh rambut ikal sebahu. Aku melihat pantulan wajah diriku di sana!

“Ada banyak hal yang tidak saya mengerti, Tante. Mengapa saya tak pernah bisa membayangkan wajah Ibu, lalu mengapa tiba-tiba saja hari ini saya bisa melakukannya? Saya bahkan mampu mengingat setiap detail di wajahnya!” Mataku menerawang menatap langit-langit kamarku.

“Itu karena baru sekarang kamu mengerti dan mengetahui jawabnya, Alia. Sebuah pertanyaan yang menghantui kehidupanmu selama ini,” Tante Refa memelukku erat. Ia kelihatan terharu.

“Dan juga, karena baru sekarang kamu bisa memaafkannya dan menerima semua kejadian ini!” Tante Refa menatap manik mataku. Kelopak matanya yang dipenuhi gurat-gurat ketuaan menyipit ketika ia tersenyum. Sorot matanya penuh kasih sayang, melindungiku dari rasa sedih yang menggenangiku.

“Tante telah lama menunggu hari ini, Alia.” Ia diam sebentar. “Menunggu kesiapanmu untuk menerima semua ini dengan lapang dada. Menghilangkan dendam dan kemarahanmu yang menumpuk, terutama pada ibumu.”

Aku mengangguk samar sambil mengusap hidungku dengan sapu tangan.

“Tak ada gunanya kamu menyalahkan dirimu, membenci ibumu dan semua orang, bahkan bersikap tak terkendali. Itu tak mengubah apa pun. Hidupmu bukanlah gulungan film yang bisa kamu potong, bila tak suka pada jalan ceritanya. Semuanya tergantung pada kepasrahan dan keikhlasanmu.” Tante Refa membawa kepalaku ke dalam pelukannya. “Itulah modal utamamu untuk bangkit dan hidup wajar. Dan, semua itu, harus datang dari dirimu sendiri, Alia.”

Oh, Tante Refa! Hampir enam tahun aku hidup bersamanya, seperti layaknya anaknya sendiri. Ia dengan sabar menghadapi kelakuanku dan selalu mencoba mengarahkanku pada perilaku yang benar. Ia selalu tahu bagaimana cara menarik hatiku dan menghentikan semua kemarahan dan dendam yang menggelegak dalam diriku.

Nyaris tak ada yang dapat membuat Tante Refa menyerah menghadapiku. Kesabaran dan kelembutannya seolah memagari dan melindungiku dari kemarahanku sendiri. Kilasan wajahnya menjadi obat penenang yang paling ampuh setiap kali aku marah dan berniat memecahkan barang, atau melempari orang.

Ya, sedikit demi sedikit ia menumbuhkan kelembutan dalam hatiku dan mengasah kepekaan nuraniku. Sering kali hal ini membuatku heran, terutama pada keputusannya untuk tak menikah dan tak mempunyai anak dari darah dagingnya sendiri. Toh, ia seorang perempuan yang baik dan berkualitas!

Hari ini dan detik ini, ia memadamkan semua dendam yang menderaku bertahun-tahun. Ia membimbingku menerima semuanya, dan bahkan mengakui tanpa malu-malu kerinduanku pada Pinkan, ibuku.

“Tahukah Tante, di mana Ibu sekarang berada?” Ah, akhirnya aku bisa menyebut kata ‘ibu’ dengan tanpa beban!

Tante Refa menggeleng pelan. “Dulu ia pernah memberi kabar beberapa kali. Ia menelepon dari Sulawesi, katanya ia bekerja di sebuah perusahaan pertambangan kapur di sana. Tapi, sekitar dua tahun lalu, ia menelepon dari Irian Jaya, katanya ia bekerja di tambang emas besar. Setelah itu… tak pernah lagi ia menelepon Tente, Alia.”

“Apakah ia menanyakan kabar saya?”

“Ya, tentu. Hanya kamu yang dia tanyakan, Alia. Tak ada yang lain.”

Aku terdiam. Tiba-tiba aku ingin melihat seperti apa ia sekarang.

“Pernahkah ia mengirim foto atau selembar surat?” aku bergairah bertanya.

“Sayangnya, tidak! Ia pernah bilang, tak ingin membuatmu teringat pada semua kejadian mengerikan yang telah menimpamu, hanya dengan mengirimkan selembar foto dirinya.”

Tenggorokanku terasa kering. Ada sebagian beban hidupku yang berhasil kusingkirkan saat itu. Tapi, keinginanku untuk bertemu dengan ibuku, yang entah berada di mana, mengambil tempat tersendiri di hatiku. Dan, terus membebaniku hingga saat ini!

Sore merangkak mendekati malam. Warna jingga kemerahan terlukis indah di kaki langit. Taman itu terlihat lengang. Angin berembus makin kencang dan menebarkan hawa dingin yang membuat tubuh Alia sedikit menggigil. Ia merasa tubuhnya letih. Menceritakan sebuah rahasia yang bertahun-tahun disimpannya sendiri (berdua dengan Tante Refa) seperti mengisap habis seluruh tenaganya. Ia merasa sangat lelah dan pasrah, dan sangat tak berarti. Seperti seorang terdakwa, ia menunggu. Menunggu keputusan dari Edwin yang hanya diam dengan pandangan menerawang.

“Win,” kata Alia, memecah kebisuan, “sekarang kau sudah mengerti mengapa aku takut menikah. Kau juga sudah tahu semua rahasia masa laluku. Aku tak terlalu berharap kau mau menerimaku.”

Ia memberanikan diri menggenggam tangan Edwin sambil berkata lagi, “Tapi, kau juga harus tahu, aku sangat mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu, meskipun barangkali kau menganggapku tak pantas mendampingimu.” Ditatapnya Edwin yang masih diam.

“Kau juga harus tahu, aku sangat ingin menghilangkan rasa takutku entah dengan cara apa. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku tak pernah sengaja menipumu. Setidaknya, aku telah mengatakan ini padamu.”

Edwin menatap Alia sekilas dan melepaskan tangannya dari genggaman gadis itu. Ia menarik napas panjang.

“Aku harus menemukan ibuku agar bisa membayar impas semua penderitaannya selama ini. Paling tidak, dengan adanya ibuku, aku tak perlu hidup sendiri untuk beberapa lama,” kata Alia, mencoba berseloroh.

Edwin mendongak dan menatap manik mata Alia. Tapi, ia tak mengatakan sepatah kata pun. Raut wajahnya sedih dan sangat tertekan. Tiba-tiba saja ia bangkit dan membersihkan rerumputan kering yang menempel di pakaiannya. Ia tak memandang Alia. Sambil lalu ia berkata, “Sudah Sore. Sepertinya kita harus pulang.”

Mengingat wajah Ibu, seperti mengumpulkan potongan puzzle yang bertaburan. Sulit, dan membutuhkan konsentrasi tinggi.

Malam itu, Alia tak dapat memejamkan matanya. Beberapa kali ia memutar nomor telepon genggam Edwin. Ia rindu padanya. Lebih dari itu, ia ingin segera tahu, apa keputusan Edwin. Tapi, belum lagi lengkap ia menekan deretan nomor telepon itu, ia segera menutupnya.

Betapa inginnya Alia bicara seperti biasa. Betapa inginnya ia meniadakan ‘hari itu’ dari hidupnya. Biarlah semua berjalan seperti biasa, ia dan Edwin bisa saling bercerita dan menumpahkan kerinduan. Tapi, hidup bukanlah seperti gulungan film, yang bisa dipotong begitu saja, jika kita tak menyukai jalan ceritanya. Alia tersenyum pedih teringat kata-kata Tante Refa beberapa tahun lalu.

Hatinya terasa perih, namun sepertinya peristiwa siang tadi tak menyisakan air mata lagi. Diambilnya secarik kertas dan ia mulai menulis, sesuatu yang telah lama dipelajarinya dari Tante Refa untuk menyalurkan kemarahan atau kesedihan yang dirasakannya agar menjadi energi yang positif.

Aku adalah budak angin
Ayahku kejahatan
Ibuku kekalahan
Suatu hari, ‘kan kubangun rumah kami
dengan fondasi yang mengakar ke bumi
yang semua jendelanya dijaga ibu yang pemberani dan ayah yang baik hati
hingga angin tak lagi dapat membawaku pergi.
Kalau begitu, Kekasihku, maukah kau datang kemari?

Ketika akhirnya tertidur, Alia memimpikan sebuah pernikahan yang sangat indah, dan ibunya yang tersenyum bahagia berdiri di sisinya.

Pagi terasa bergerak cepat. Alia bangkit dengan malas dari tempat tidur. Ia bermimpi indah semalam. Tapi sekarang, mimpi itu membuatnya takut. Itu bisa jadi sebuah pertanda yang sangat dekat dengan kenyataan, bahwa Edwin tak sanggup mendampinginya. Bukankah ketika kita bermimpi, yang terjadi justru kebalikannya?

Alia melangkah ke dapur. Tante Refa telah berangkat ke tempatnya bekerja. Ia sendiri telah menelepon sekretarisnya semalam, mengatakan bahwa ia sakit dan mungkin pagi ini tak bisa ke kantor.

Pikirannya tak bisa lepas dari Edwin. Ia ingin menelepon dan menanyakan kabarnya pagi ini. Tapi, entah kenapa, ia merasa tak pantas melakukannya. Ah, sudahlah, pikirnya. Cepat atau lambat, semua ini pasti terjadi. Apa pun kenyataannya, harus ia hadapi.

Ayolah, Alia, tenangkan dirimu, katanya pada diri sendiri. Setiap perubahan pasti menyebabkan guncangan. Hidup kita selanjutnya tergantung dari cara kita menghadapi guncangan itu. Alia berusaha mengingat-ingat dari mana ia mendapatkan kata-kata indah itu. Tapi, otaknya terasa tumpul.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi.

“Siapa, sih, bertamu pagi-pagi begini?” gerutunya. Ketika pintu terbuka, ia tertegun.

“Sudah siang begini masih pakai daster. Ayo, cepat mandi!” Edwin melangkah masuk. Alia masih berdiri melongo di depan pintu.

“Sudah pukul sembilan, nih!” Edwin melemparkan tubuhnya begitu saja di kursi tamu. “Semalaman aku browsing di internet. Aku juga mengirim e-mail ke teman-temanku yang bekerja di tambang. Ke Freeport di Irian Jaya, ke Soroako di Sulawesi, ke Kaltim Prima Coal di Kalimantan, dan banyak lagi. Hasilnya?” Ia diam sejenak, sambil tersenyum menggoda.

“Bingo! Aku menemukan nama Pinkan Witarini di beberapa perusahaan tambang di beberapa daerah. Dan, terakhir, itu sekitar setahun lalu, ia bekerja sebagai konsultan bidang pengelolaan lingkungan hidup di sebuah tambang tembaga besar di Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat.”

Alia tiba-tiba merasakan seluruh sarafnya menegang.

“Lalu?” tanyanya tak sabar, memandang Edwin dengan jantung berdebar.

“Itu catatan terakhirnya di tambang itu.”

Alia berlari mendekati Edwin. “Hanya itu, Win?” tanyanya.

“Tidak. Dengar! Aku sudah mendapatkan nama kantor konsultan tempatnya bekerja. Kantor pusatnya di sini. Nah, segeralah mandi dan berpakaian. Mungkin sebentar lagi kau akan menemukan ending dari semua ceritamu kemarin,” kata Edwin.

“Ayo, segeralah mandi!” kata Edwin datar, tanpa menatapnya.

Dengan canggung, Alia tersenyum. Ingin rasanya ia memeluk Edwin. Tak apalah, katanya dalam hati. Paling tidak Edwin mau membantunya menemukan ibunya. Ia merasakan sekian persen bebannya semalam luruh. Barangkali sebentar lagi, di kantor konsultan itu, ia akan bertemu dan memeluk ibunya, yang telah hampir delapan belas tahun tak lagi di sisinya.

Kantor konsultan yang bergerak di bidang pengelolaan lingkungan itu berdiri kokoh di antara deretan kantor pemerintah di jalan protokol itu. Alia sering melewati jalan itu. Rasanya sungguh ironis, jawaban dari pencariannya yang panjang selama bertahun-tahun ternyata berada tak jauh dari rumahnya selama ini!

“Mari kita masuk,” ajak Edwin.

“Tunggu, Win.” Alia mengatur napas. “Aku gemetaran….”

“Kau pikir, aku tidak?” Edwin tersenyum.

Sesaat mereka berdiri saja sambil menatap kantor itu.

“Ah, ayolah! Tak ada gunanya berdiri seperti orang tolol begini,” kata Edwin, sambil melangkah mendahului. Alia menjejeri langkahnya. Ingin rasanya ia menggenggam tangan Edwin, tapi keinginannya itu cuma dipendam dalam hati.

Seorang resepsionis yang sepertinya masih berumur belasan mempersilakan mereka masuk. “Ada yang bisa saya bantu?” katanya, tersenyum ramah.

“Kami ingin bertemu Ibu Pinkan Witarini,” Edwin yang menjawab, sementara Alia seperti kehilangan kata-kata. Gadis itu terdiam sejenak. “Oh, tunggu sebentar, ya. Silakan menunggu dulu di sana,” katanya, sambil menunjuk dua buah kursi tak jauh dari meja kerjanya.

Gadis itu menekan sebuah nomor telepon dan berbicara dengan seseorang. Sesekali ia melirik ke arah Edwin dan Alia. Ketika ia akhirnya meletakkan gagang teleponnya, ia pun mendekati Edwin dan Alia.

“Silakan, Anda berdua ditunggu oleh Pak Wicaksono, di pintu pertama,” kata gadis itu, sambil menunjukkan jalan yang harus mereka lalui.

“Terima kasih,” kata Edwin dan Alia hampir bersamaan.

Kantor itu sungguh besar. Ada banyak ruangan di sana. Tapi, sepertinya tak sulit mencari orang di kantor itu. Terdapat sebuah peta ruangan yang juga berisi nama-nama karyawan dan ruangan kantor yang mereka tempati. Selain itu, di setiap pintu ruangan terdapat nama orang atau orang-orang yang berkantor di dalamnya. Edwin dan Alia menuju pintu seperti yang dikatakan gadis resepsionis tadi. Di situ tertulis nama Dr. Wicaksono A. Subrata.

Edwin mengetuk pintu itu pelan.

“Silakan masuk,” sebuah suara menyahut. Seorang pria setengah baya duduk di belakang meja besar. Wajahnya tampan. Rambutnya yang hampir seluruhnya memutih terasa sangat kontras berpadu dengan jas dan pantalonnya yang berwarna hitam. Kacamata baca frameless-nya mempertegas kesan cerdas pada dirinya. Wajahnya mengingatkan Alia pada pengacara terkenal Adnan Buyung Nasution dan almarhumah sutradara Teguh Karya.

“Silakan duduk.” Lelaki itu menatap tamunya dan tersenyum.

“Terima kasih,” kata Edwin, mewakili Alia yang masih terpaku.

Sesaat lelaki itu tak berkata apa-apa. Lalu pandangannya jatuh pada Alia. “Aha, wajahmu mirip sekali dengan Pinkan! Tentu kaulah… Alia, anak yang sudah lama dirindukannya!”

Alia terkejut. Lelaki itu tahu tentang keberadaan dirinya! Perlahan ia mengangguk. Ia terlalu tegang untuk tersenyum.

“Mengapa baru sekarang kau datang kemari, Nak?” tanya lelaki itu. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah bar kecil yang ada di seberang meja kerjanya. “Sudah lama aku menunggu kedatangan keluarga Pinkan,” katanya, sambil membuka kulkas kecil dan mengeluarkan dua buah softdrink dingin.

“Bu Pinkan di mana, Pak?” Edwin bertanya.

“Bisakah kami segera bertemu dengannya?” Alia menyambung

Lelaki itu tak menjawab. Ia kembali duduk setelah menyuguhkan minuman dingin kepada kedua tamunya. Ia menyeruput minumannya dan lama berdiam tanpa sepatah kata pun. Hingga akhirnya terbata-bata ia bercerita bahwa Pinkan sudah meninggal dunia hampir setahun yang lalu.

“Ia meninggal dalam kecelakaan helikopter di Sumbawa, ketika ia ditugaskan di sana….” Lelaki itu membiarkan suaranya mengambang di udara.

“Sebenarnya,” katanya, melanjutkan, “kami berniat menikah sepulang ia dari Sumbawa. Pinkan juga bilang, ia mau menemui anaknya yang lama dititipkan pengasuhannya pada seorang dokter.” Suara lelaki itu serak.

Alia menelan ludah berkali-kali. Tangisnya hampir mendesak keluar. Harapan yang membubung tinggi, yang tadi dibawanya ketika meninggalkan rumah, luluh-lantak diterjang kenyataan yang sekarang harus dihadapinya. Ia tak pernah bisa mencium tangan ibunya. Ia tak pernah bisa memohon ampun pada perempuan yang sudah melahirkannya ke dunia ini. Semua kekalahan, kekecewaan, sakit hati, dan beban penderitaan itu telah dibawa ibunya pulang ke… pusara.

Tak sadar, digenggamnya tangan Edwin erat untuk mencari dukungan dan kekuatan. Ia tak mengenal Wicaksono A. Subrata sebelumnya. Tapi, entah mengapa, ia merasa dekat dengan lelaki itu. Sepertinya keadaan membuat mereka saling berbagi kesedihan. Ya, kesedihan karena kehilangan seseorang yang sama-sama mereka sayangi. Ah, alangkah ajaibnya! Bagaimana tangan Tuhan diam-diam mengatur dan bermain dengan semua rahasia yang penuh dengan kejutan-kejutan, bahkan hanya dalam hitungan jam dan menit!

Baru tadi pagi Alia masih harap-harap cemas pada penerimaan Edwin atas ceritanya kemarin. Dan, ia dikagetkan oleh kenyataan, bahwa Edwin -meskipun tak memberikan janji apa-apa, tak menampik dirinya. Baru tadi pagi pula, ia merasa sangat gembira karena akan bertemu ibunya, bahkan hingga ia melangkah memasuki kantor ini, dan berhadapan dengan lelaki bernama Wicaksono yang dikenalnya kemudian sebagai calon suami dari ibunya.

Tapi, kini, semua itu luruh berkeping-keping karena ternyata kenyataan manis tak memihak dirinya. Alia tercenung memikirkan semua proses yang ajaib itu. Ditekannya kesedihan dan kekecewaan yang menyeruak dengan cepat begitu ia menerima kabar buruk itu. Ia tak kuasa berkata-kata lagi. Seluruh sendinya lemas, seolah tak bertulang. Edwin juga hanya duduk diam, mematung di sebelahnya. Agaknya ia tak menyangka cerita Alia berakhir tragis.

“Pinkan banyak bercerita tentangmu, Alia.” Suara berat Pak Wicaksono membuatnya mendongak dan memandang lelaki itu. “Rasanya, sepanjang yang kuingat dari hubungan kami yang berjalan satu tahun itu, hanya ketika membicarakanmulah ia baru kelihatan gembira. Walaupun di lain sisi, ia juga tampak sangat sedih dan putus asa, mengingat penderitaan yang mungkin kau tanggung karena sesuatu yang selalu dianggapnya sebagai buah dari kesalahannya.”

Pak Wicaksono bangkit dari duduknya dan menyalakan sebatang rokok. Ruangan itu ber-AC, tapi sepertinya ia sangat membutuhkan rokok itu untuk menenangkan dirinya. “Berkali-kali kukatakan padanya, kehidupannya yang mengerikan dulu itu, bukan semata-mata hasil kesalahannya. Itu adalah nasib. Barangkali… ah, aku lebih sreg menyebutnya sebagai ujian.”

Ia menatap Alia lembut. “Ia juga tak bersalah padamu, Alia. Semua kejadian itu di luar kendali dan kemauannya….”

  Alia merasakan air mata membasahi pipinya. Setiap episode bayangan masa lalu yang diingatnya, muncul seperti potongan film yang diputar di bioskop. Hanya, kali ini semua itu tak lagi menimbulkan kemarahan dan dendam. Alia tak lagi menganggap ibunya sebagai terdakwa mati yang patut dipersalahkan. Sebaliknya, ia melihat semua sebatas kenangan buruk yang harus diterimanya dengan pasrah, lalu dilupakannya. Bagaimanapun, ibunya adalah orang yang paling pantas untuk dikasihani dan dicintainya! Perempuan itu sudah begitu besar berkorban bagi kebahagiaan dirinya.

“Kau tahu, Alia? Tak ada orang yang sepenuhnya benar atau salah. Selalu saja ada celah di mana orang bisa saling mengerti dan memaafkan. Itulah yang selalu kukatakan padanya.” Lelaki itu bangkit dari duduknya dan mendekati Alia, lalu memegang pundaknya dengan sentuhan kebapakan.

“Ibumu seorang perempuan luar biasa. Penderitaannya di masa lalu dan keputusannya untuk tetap bertahan hidup dengan ayahmu, demi kau, justru membuatku sangat mengagumi dan memujanya. Tak banyak perempuan seperti dia. Walaupun cerdas dan berpendidikan tinggi, dia sangat sabar dan penuh pengorbanan. Ia juga sangat kuat karena rela meninggalkanmu dalam asuhan dokter itu, semata-mata karena ia pikir semuanya lebih baik untukmu, agar kau tumbuh dan hidup dengan wajar, meskipun ia sendiri harus menderita….”

Alia terisak-isak, tanpa sadar begitu saja ia memeluk lelaki tua itu.

“Kau tahu, Alia, hampir saja aku menjadi ayahmu,” katanya berseloroh, sambil tertawa kecil. Ia menepuk-nepuk punggung Alia dan kemudian melepaskannya. “Bagaimanapun, kau adalah putriku, Alia. Dan pemuda ini… aku yakin, apakah dia calon suamimu?”

Ketegangan sedikit mengendur. Edwin yang sejak tadi hanya diam, menggerak-gerakkan kakinya sedikit. Sedari tadi ia terbawa suasana tegang hingga tubuhnya menjadi pegal karena lama tak bergerak.

“Adakah Pinkan, eh, ibu saya, menitipkan sesuatu?” Alia mencoba tersenyum. Ia berharap ada sepotong kenangan lagi yang ditinggalkan Pinkan untuk dirinya.

“Ya. Ada.” Pak Wicaksono melangkah ke lemari arsip besar di belakang mejanya. Ia membuka sebuah laci dan mengambil sebuah koper kecil. Dari dalamnya ia mengeluarkan beberapa buah amplop dan beberapa lembar foto.

“Lihatlah, ini ibumu. Foto ini diambil beberapa hari sebelum kematiannya. Katanya, ia mengirimkan ini untukmu.”

Alia memandangi wajah di foto itu. Tak banyak yang berubah dari wajah yang terakhir dilihatnya delapan belas tahun lalu. Hanya, rambutnya sebagian telah memutih. Dan…ah, mata itu! Mata kanannya sepertinya tak buta?

“Pinkan memakai mata palsu,” kata Pak Wicaksono, seolah mengerti keheranan Alia ketika mengamati mata ibunya. “Kau tahu, itu sama sekali tak mengurangi kualitasnya sebagai seorang perempuan yang mengagumkan,” Pak Wicaksono berkata pelan. “Ambillah! Ini semua milikmu, Alia. Aku yakin dia menghendaki begitu.”

Alia memandangi beberapa foto lainnya. Ada fotonya semasa kanak-kanak. Ada juga foto rumah mereka dulu. Ada fotonya yang sedang tertawa lebar di pelukan Pinkan yang juga tertawa. Ah, nyaris tak bisa dibayangkannya betapa dulu mereka pernah begitu dekat dan bahagia. Paling tidak mereka berdua, tanpa Rahardi sang ayah.

Ada juga sebuah buku agenda yang berisi catatan perjalanan dinasnya dan beberapa hasil penelitiannya. Alia tersenyum sendu. Masih bisa diingatnya dengan baik bagaimana ibunya selalu bergelut dengan tumpukan kertas, grafik, dan berbagai instrumen penelitian. Dibukanya halaman demi halaman sambil ditemani Pak Wicaksono yang sesekali menjelaskan proyek-proyek yang selama ini sudah dikerjakan ibunya. Hingga tiba-tiba sehelai kertas lusuh terjatuh ke lantai. Alia memungutnya dan membaca isinya.

MERINDU

Engkau jauh di kaki langit, di ujung savana
di tengah padang pasir
di tengah hutan hujan tropis

Namun, kutangkap mayamu di mana saja
dalam liarnya inspirasiku, bebas, lepas
Merajut impian benang demi benang, serat demi serat
Membangun konstruksi dan wujud
dalam berbagai bentuk dan rupa
Tak apa, engkau tak datang dalam pelukan
Pencarian mengantarku ke mana saja
Melesat bagai anak panah arjuna

Ke kaki langit
ke ujung savana
ke tengah padang pasir
merambah hutan hujan tropis.

Sumbawa, 23 Oktober
dalam kenanganku padamu seorang, Alia, putriku tercinta

Alia tak mampu menahan isaknya. Sekarang disadarinya, betapa ibunya menderita sepanjang hidupnya karena berpisah darinya. Dikumpulkannya semua benda itu dan dimasukkannya kembali ke dalam koper kecil itu. Ia memberi isyarat pada Edwin untuk segera pergi.

“Datanglah sekali-sekali mengunjungiku kemari. Atau ke rumahku,” kata Pak Wicaksono, sambil menyodorkan selembar kartu nama pada Alia. “Anak muda, maukah kau mengantarnya sesekali menemuiku? Aku memang tak jadi menikah dengan ibunya, tapi aku ingin Alia tetap jadi anakku.” Ia tersenyum sambil menjabat tangan Edwin. Ketika Alia menyodorkan tangannya untuk disalami, lelaki itu menggenggamnya erat dan menariknya ke dalam pelukannya.

“Aku mencintai ibumu, Nak. Meskipun kini hanya dalam kenangan, aku tak pernah melupakannya,” bisiknya, pelan.

Alia mengangguk lemah. Edwin mengambil koper kecil itu dari tangan Alia. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan Alia, lalu mereka pun berpamitan pulang.

Matahari telah meninggi. Kendaraan yang hilir-mudik di jalan protokol itu menambah panas suasana. Beberapa kendaraan melaju dengan mengeluarkan asap kehitaman dari knalpot-nya, menyebabkan beberapa pejalan kaki terbatuk-batuk. Alia dan Edwin tak terlalu menghiraukan suasana sumpek dan panas itu. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata apa-apa. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Mereka, terutama Alia, merasa seperti baru saja menyelesaikan syuting sebuah sinetron. Semua kejadian ini terasa begitu cepat. Berbagai peristiwa yang mengejutkan datang silih-berganti, hanya dalam hitungan waktu… dua kali dua puluh empat jam! Rasanya benar-benar seperti bermain dalam sebuah sinetron saja!

Setelah beberapa menit berjalan kaki, mereka berhenti, dan duduk di bawah pohon beringin besar di tengah lapangan. Alia melayangkan pandangannya ke jalan yang sibuk dan berdebu. Ia tak tahu perasaan yang mendominasi hatinya. Ia merasa gamang.

“Win, dalam dua hari ini tiba-tiba potongan demi potongan dalam hidupku lengkap sudah. Aku ini anak dari keluarga yang hancur-lebur. Ayahku di penjara, atau, ah… entah di mana dia sekarang! Ibuku? Dia sudah meninggal. Dan, hidupnya sarat dengan cerita tragis yang menyedihkan. Lalu, aku baru saja kehilangan seorang kekasih!” Alia nyaris menangis. Pandangannya tak lepas dari orang-orang dan kendaraan yang hilir-mudik di jalan raya dekat lapangan. “Aku ini berasal dari bibit yang tidak baik, Win,” Alia mendesah, lalu tersenyum sedih.

“Bagaimana mungkin sejak lima tahun lalu aku membiarkan diriku terlibat denganmu, lalu berharap suatu hari kau mau mengerti kisah hidupku dan kemudian menikahiku. Sementara terlalu banyak rahasia hidupku yang tak pantas didengar orang!” Air mata Alia deras membasahi pipinya.

“Ah, maafkan kata-kataku barusan, Win. Seharusnya tak perlu kuucapkan. Tentu kau sudah memutuskan sejak kemarin untuk membatalkan saja lamaranmu. Bodohnya, aku masih berharap. Hanya karena kebaikanmu saja kau mau menemaniku pagi ini. Terima kasih untuk itu,” bisik Alia dalam isaknya. Ia menggeleng-geleng putus asa.

“Bayangkan, Win, begitu gembiranya aku tadi pagi. Tapi ternyata, ia telah lama meninggal! Ughh, rasanya aku memang harus menyiapkan diriku untuk hidup sendiri,” Alia tertawa pelan dalam isaknya.

“Hei, kau salah! Kau tak perlu hidup merana sendirian, Alia!” Edwin sangat iba melihat Alia. Belum pernah ia melihat Alia bersikap seperti sekarang. Ia bukan lagi gadis tegar yang maskulin.

Alia tertawa pedih, “Oh, ya! Tentu saja, aku tak melupakan Tante Refa. Kalau itu maksudmu.”

“Maafkan sikapku kemarin, Alia. Aku memang sempat sangat kecewa, bukan pada ceritamu, tapi lebih pada ketidakpercayaanmu padaku selama lima tahun ini,” Edwin bertutur lembut, sembari mengambil tangan Alia untuk dibawa dalam genggamannya.

“Aku sudah berpikir banyak semalam. Makin kupikirkan, aku makin menyadari, bahwa tak ada yang salah denganmu. Sebaliknya, semua ceritamu membuatku makin mengagumi perjuangan dan kemampuanmu untuk terus hidup dengan cara yang wajar,” kata Edwin, sambil menggenggam erat tangan Alia.

“Kau hebat! Sekian tahun berjuang untuk mengalahkan perasaan dendam dan kehilanganmu. Kau seorang perempuan luar biasa yang pernah kukenal.” Edwin menatap lembut Alia. “Ayolah, Alia. Kau seorang yang kuat. Hargailah dirimu sendiri. Tak seharusnya kau merasa rendah diri karena masa lalumu.” Edwin membawa Alia ke dalam pelukannya yang hangat.

“Kau tahu, rasanya sejak tadi malam aku makin tergila-gila padamu,” gurau Edwin, sambil memasang mimik lucu. “Selain itu, sesekali melihatmu menangis seperti ini membuatku senang. Ternyata, eh, kau sangat feminin dan cantik kalau menangis,” seloroh Edwin lagi.

“Win!” teriak Alia, sembari meninju pundak Edwin. Ia mengusap air matanya dan tertawa pelan. “Jadi, kau tetap mau menikah denganku?” tanyanya malu-malu.

Edwin tersenyum dan mengangguk. Ia mengusap pelan rambut pendek Alia.

“Apa kata ibumu nanti?”

“Kita tak akan mengatakan apa-apa padanya, juga pada siapa saja, termasuk anak-anak kita nanti. Bukan karena aku malu, tapi karena cerita itu terlalu mengerikan untuk mereka dengar.”

“Bagaimana kalau ibumu tahu masa laluku dan….”

“Sudah kubilang, kita, kau dan aku, tak akan mengatakan apa pun kepadanya. Itu akan jadi rahasia kita berdua,” katanya.

“Kau yakin?” Alia bertanya ragu.

“Bukankah kau pernah berkata, bahwa terkadang suatu masalah tak bisa dicari jawabnya dan harus kita terima saja apa adanya?” Edwin mengangguk pelan sambil menatap Alia lembut. Ia menggeser duduknya lebih dekat. Digenggamnya tangan Alia dan ditatapnya lekat-lekat manik matanya.

“Dengar, ibumu adalah seorang ilmuwan dan dia seorang yang kuat. Itu sudah cukup menjadi sebuah cerita indah untuk kita ceritakan pada ibuku atau anak-anak kita nanti. Bukankah kita tak berbohong?”

“Bagaimana kalau nanti ternyata aku menyakitimu?”

“Kau tak akan menyakitiku. Kalau kau tak yakin, nanti kita berkonsultasi pada tantemu, atau barangkali ke psikiater lain. Kalau tidak, ya, mungkin aku harus belajar karate mulai sekarang,” gurau Edwin.

Alia tertawa keras. Semua beban yang selama ini memberatinya, mendadak menguap entah ke mana.

Edwin bangkit seraya mengibas-ngibas celananya dan menarik tangan Alia hingga gadis itu berdiri. “Tolong segera jadwalkan cuti tahunanmu. Cari waktu yang bagus mulai nanti malam. Kita akan segera menikah.”

“Tapi, Win, bagaimana kalau….”

“Dan, tolong, kali ini jangan ada penolakan lagi. Setelah sekian banyak kejutan kuterima darimu dalam dua kali dua puluh empat jam ini, rasanya aku tak sanggup menerima kejutan lain.”

Alia tertawa tergelak dan memukul pundak Edwin berkali-kali dengan gemas.

“Sekarang, ayo, kita pulang! Aku lelah dan ingin tidur. Aku merindukan tempat tidurku lebih dari apa pun!”

No comments: