12.22.2010

Dengarkan Kisahku, Hasian

Saat tamu bulanannya masih rajin berkunjung dengan teratur selama tahun pertama perkawinannya dengan Togi, Jojor tidak ambil pusing. Namun, memasuki tahun kedua, ia mulai terganggu oleh kehadiran tamu itu. Ia mulai tak mengharapkannya. Namun, ia tak kuasa mengusirnya. Ia hanya berharap bahwa setiap menjelang tanggal yang dilingkarinya dengan spidol bertinta merah di kalender yang tergantung di kamar tidurnya, tamu itu akan datang telat. Atau tidak datang sama sekali. Lalu ia akan pergi dengan hati berdebar menjumpai dokter langganannya, dan ia akan mendapat jawaban yang sangat dinantinya.

“Selamat, Mbak. Positif!”

Dan ia masih akan shock mendengarnya hingga tak bisa bernapas beberapa detik.

Lalu ia akan pulang cepat-cepat, menyiapkan satu kejutan kecil untuk suaminya. Ia akan menyuruh Togi pulang sedikit lebih cepat dari kantor, dan memintanya disuapi ikan mas arsik, masakan khas Batak kesukaannya. Tentunya ia akan membuat pria itu sedikit kebingungan dengan tingkah polahnya. Dan, akhirnya, ia akan berkata, “Bang… kamu akan menjadi ayah!” Ia akan melihat muka Togi makin bingung, tetapi hanya untuk sekejap. Karena berikutnya, ia akan melihat binar-binar bahagia bersemi di sana. Kemudian, Togi akan menciumnya mesra, memeluknya lembut, lalu mengelus perutnya yang masih terasa datar itu.

Ah…! Jojor tersenyum pahit. Semua kebahagiaan itu hanya ada dalam khayalnya. Andai saja…! bisik hatinya.
Menjelang tahun ketiga perkawinan mereka, semua orang mulai kasak-kusuk karena mereka belum memiliki tanda-tanda akan mempunyai momongan.

“Nggak bagus nunda-nunda terlalu lama!” rekan yang satu protes.

“Sudah ke dokter?” tanya yang lain.

“Eh, si Anu bisa mengobati pasangan yang susah dapat keturunan!” usul yang lainnya lagi.

Tapi, Jojor hanya tersenyum. Ia menganggap semua seperti angin lalu. Sejak dahulu, kala anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Ia mengartikan semua pendapat itu sebagai wujud perhatian mereka kepadanya, seperti aksi solidaritas yang bangkit dengan sendirinya ketika harapan yang dinanti tak kunjung tiba.

Ia bukan orang bodoh. Ia bukan produk zaman batu yang gagap dengan kecanggihan abad ini. Ia tahu apa yang perlu dan harus dilakukannya. Menjelang setahun pernikahannya, ia sudah beberapa kali mengajak suaminya untuk check up ke dokter kandungan. Pemeriksaan dokter menyatakan bahwa mereka berdua tidak ada masalah. “Berdoalah! Ini hanya masalah waktu!” hibur dokter itu, menguatkan mereka.

Tetapi, suara-suara itu makin nyaring saja terdengar.

“Jangan-jangan, suamimu yang tidak bisa memberimu anak!” komentar teman yang satu.

“Adopsi anak saja sebagai pancingan. Sudah banyak yang berhasil, kok!” tawar yang lain, sambil menyebut beberapa artis yang sering muncul di acara gosip layar kaca.

“Hati-hati, Jor. Jangan-jangan suamimu mulai berpikir soal poligami! Atau mulai mencari WIL, wanita idaman lain,” sembur yang lain, sadis.

Dan, kuping Jojor makin panas saja manakala mertuanya juga mulai ikut-ikutan meneror melalui telepon. “Kapan kami akan menggendong cucu?” Seolah mereka saja yang mengidam harapan yang menggebu itu. Mereka tidak tahu bahwa Jojor dan Togi juga mulai resah. Walau kuping mereka sudah mulai menebal, toh, masih sering memerah dengan ucapan-ucapan itu.

“Bang, katanya, si Betti dan suaminya berobat ke orang pintar yang di daerah anu itu. Ia sudah hamil tiga bulan sekarang,” pancing Jojor, sambil membalikkan badannya ke arah Togi, ketika mereka hendak tidur di suatu malam.

“Ke dukun maksudmu?” Togi mendelik ke arahnya.

“Bukan… dia bukan dukun, tetapi orang pintar yang melakukan pengobatan alternatif, dengan ramuan-ramuan gitu!”

“Yah… sama saja. Itu kan hanya aliasnya saja. Setelah itu, paling-paling kita disuruh minum secangkir air putih yang sudah dijampi-jampi, ‘kan? Atau… disuruh mandi kembang tengah malam.”

“Alaah… Abang sok tahu. Kayak sudah pengalaman saja dengan urusan begituan,” kata Jojor, cemberut.

“Bukannya begitu, Hasian (Sayang)! Kita sudah ke dokter dan katanya tidak ada masalah. Ini hanya masalah waktu. Kita hanya perlu berdoa dan berusaha. Mungkin Tuhan sengaja lama memberi kita anak, supaya kita bisa menikmati keberduaan kita lebih lama,” hibur Togi, sambil mengecup jemarinya lembut.

“Tetapi, aku sudah pengen punya anak!” rengeknya.

“Sayangnya aku bukan Tuhan, Hasian! Memberimu anak itu di luar kekuasaanku. Aku hanya bisa menanam benihnya. Untuk pertumbuhan selanjutnya sudah melampaui wewenangku sebagai manusia. Kita hanya bisa berdoa.” Togi tampak menyembunyikan keresahannya. Pasrah!

“Bang…!” suara Jojor terdengar sedikit meragu.

“Hmm?”

“Ah, nggak,” Jojor menggeleng.

“Jangan gitu, dong. Mau bilang apa, sih?”

“Mmm… gimana kalau misalnya kita mengadopsi anak saja?”

“Apa?” Spontan suara Togi menguat dan ia membalikkan badan ke arah Jojor sambil menatap istrinya dengan sangat serius. Namun, Jojor tidak ingin mengulangnya. Sepertinya, kalimat itu terlalu sakral baginya. Dan, ia sadar bahwa suaminya mendengarkannya. Ia hanya balik menatap Togi. Keduanya terlihat berbaring dengan badan miring, saling berhadapan. “Kenapa tiba-tiba?” lanjut Togi.

“Aku juga nggak tahu,” lirih suara Jojor.

“Jangan langsung berpikir yang aneh-aneh dulu. Kita hanya perlu waktu. Sudah belasan dokter yang meyakinkan kita akan hal itu, ‘kan? Lagian, kalau kita mau adopsi anak, itu artinya kita menabuh genderang perang dengan orang tuaku!”

“Kenapa?”

“Karena mereka hanya punya satu anak. Dan, itu adalah suami tercintamu ini,” setengah menggoda, Togi masih terlihat begitu tenang. Tangannya mengelus rambut istrinya itu, seolah ingin meninabobokannya dalam peluknya.

Memasuki tahun kelima pernikahan mereka, suara-suara itu pun membadai. Seolah merekalah yang paling kepingin mendapatkan anak dari pernikahan mereka. Padahal, beberapa ahli kandungan yang mereka kunjungi memberi vonis sama: “Kalian berdua sehat, hanya menunggu waktu. Namun, setiap kali Jojor berjumpa dengan teman atau kerabat yang begitu perhatian, selalu saja mereka menyuruhnya mengunjungi si ini atau si itu. Seolah semua orang yang kenal dengan mereka sudah berubah profesi menjadi calo orang pintar.

“Mungkin aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sebaiknya aku menjadi ibu rumah tangga saja, ya!” Jojor mengejutkan Togi di suatu malam, usai bersantap bersama.

Tangan Togi yang sedang mengelapkan tisu ke mulutnya, terhenti. Ia menatap istrinya dengan dahi mengernyit. “Serius, nih?”

“Bang… tadi Inang (ibu mertua) meneleponku lagi!”

“Dengan pertanyaan yang sama?”

Jojor mengangguk.

“Jadi, gara-gara itu kamu mau berhenti kerja?”

“Nggak, sih. Tetapi, setelah dipikir-pikir, mungkin ada baiknya saya lebih konsentrasi mengurus keluarga saja.”

“Tetapi, selama ini kan tidak ada masalah. Semua baik-baik saja. Apa aku telantar sebagai suami, walaupun kamu juga kerja? Nggak, ‘kan? Sudah, deh, jangan diambil hati apa kata Mamak tadi.” Togi meraih pundak istrinya dan menyandarkannya ke pundaknya sambil menepuknya lembut. Betapa ia berlaku seperti ayah yang menenangkan putrinya yang galau. Jojor merasa seperti berteduh di bawah pohon rindang setelah lelah terpanggang panas matahari. Ia bersyukur mendapat tempat bersandar yang kokoh.

“Inang memang nggak ada singgung-singgung soal saya bekerja. Hanya, saya merasa perlu lebih banyak istirahat, mungkin dengan begitu kita bisa lebih cepat punya momongan.”

“Nanti kamu sendiri yang bosan kalau tak ada kegiatan. Seharian di rumah itu malah bisa bikin kamu uring-uringan. Coba pikir masak-masak dulu, deh, entar menyesal,” saran Togi. Lagi-lagi Jojor hanya mengangguk sambil bersandar di bahu bidang suaminya.

Sejak hari ia menambatkan hatinya pada pria yang sekarang sudah menjadi suaminya itu, Jojor tahu, ia memiliki tanggung jawab berat. Togi adalah anak tunggal. Anak semata wayang yang mendapat limpahan kasih sayang keluarganya tanpa membuatnya menjadi seorang lelaki yang manja. Ia mengenalnya di tahun ketiga kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kotanya. Mereka berbeda jurusan. Pertemuan yang tak terencana di sebuah simposium kampuslah yang menjembatani hubungan mereka.

“Boleh saya tebak kenapa namamu Jojor?” kata pemuda keren itu sambil tersenyum, tanpa melepas jabatan tangannya.

“Silakan,” jawabnya. Bibirnya berhias senyum.

“Pasti kakak-kakaknya semua perempuan!” tebaknya, jitu.

Senyum Jojor melebar mengiyakan. Semua orang yang ngerti bahasa Batak pasti bisa memakluminya. Jojor merupakan kata dalam bahasa Batak yang artinya ‘berderet’ atau ‘berurutan’. Nggak jauh beda dengan kata ‘berbaris’. Nama itu menjadi nama yang netral dan umum dipakai di kalangan Batak, baik untuk lelaki maupun perempuan.

“Memangnya berapa kakak kamu?”

“Empat,” sahutnya, sambil mengacungkan jari tangan kanannya, kecuali jempol. “Dan satu adik... perempuan juga!”

“Waw… pasti menyenangkan kalau punya keluarga besar. Kenapa tidak minta satu adik perempuan lagi biar menjadi tujuh bidadari seperti cerita dongeng?”

“Lalu kamu mau menjadi pemuda yang mencuri selendang salah satu dari kami, begitu?” sambungnya, cerdas.

“Nggak usah dicuri, diminta saja kan gampang!” jawabnya, sambil tertawa. “Lagian, mana mungkin gadis kuliahan seperti kamu masih suka mandi bareng di sungai?” godanya.
Jojor menatapnya tersenyum.

“Memangnya kamu nggak pengin na­nya kenapa aku bernama Togi?”

“Karena orang tuamu memberimu na­ma itu!” Jojor membuatnya geregetan.

“Maksud saya, kenapa orang tua saya memberiku nama itu?” jelasnya.

“Ya, harusnya kamu nanyanya ke orang tuamu, dong, bukan ke aku!”

“Dasar...,” Togi menjadi gemas.

“Makanya ceritain saja kalau memang ada sejarahnya!”

“Nggak ingin nebak?”

Jojor menggeleng. Bibirnya tetap berhias senyum.

“Karena aku anak paling besar!” jelasnya. Jojor mengerti sekarang. Togi juga merupakan kata dalam bahasa Batak yang artinya ‘mengajak’, dengan demikian diharapkan kelahirannya akan mengajak keturunan lain hadir dalam keluarganya.

“Berapa bersaudara?” tanya Jojor.

“Satu.”

“Anak tunggal?”

“Ya, sekaligus menjadi anak bungsu!” Togi tertawa. Jojor juga.

“Waw… kasihan, dong,” tukas Jojor.

“Kasihan kenapa?”

“Tidak ada kawan main, nggak bisa jitak kepala adik, nggak bisa merengek minta gendong sama kakak, dan… terancam punah!” Entah bagaimana kata-kata mengerikan itu meluncur dari bibirnya. Namun, pria muda di hadapannya hanya tersenyum.

Sebuah perkenalan yang aneh.

Dan, itu terjadi sembilan tahun lalu.

Rupanya, perkenalan yang aneh itu berbuah cinta. Hubungan itu berlanjut hingga mereka tamat kuliah. Bahkan, ketika Jojor diterima bekerja di bagian pemasaran sebuah produk kosmetik kenamaan dan Togi bekerja di sebuah perusahaan Jepang yang baru buka cabang di Indonesia, hubungan mereka tetap berjalan. Hingga di suatu sore, sepulang Jojor bekerja, ia mendapati Togi sedang menunggu di teras rumah kontrakannya.

“Orang tuaku sudah mendesakku lagi untuk menikah,” katanya, setelah cukup lama ngobrol ngalor-ngidul.

“Kan dari kemarin-kemarin juga sudah,” sahut Jojor.

“Tetapi, kali ini beda,” tukasnya. “Mamak sampai datang ke sini dari kampung dan membawa beberapa foto anak gadis orang. Apa maksudnya coba?” Togi seperti protes.

“Pasti gadisnya cantik-cantik, ‘kan?” goda Jojor.

“Jor… kali ini tolong serius dikitlah!” suara Togi memelas.

“Oke, sori!” Jojor mengiyakan.

“Saya ingin kita menikah akhir tahun ini!”

Jojor mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Ia masih saja terkejut dengan apa yang didengarnya, padahal ini bukan kali pertama Togi meminta ia menikah dengannya. Ia selalu beralasan, dirinya belum siap terikat dalam sebuah pernikahan. Ia masih ingin fokus pada kariernya yang cukup menjanjikan. Tetapi, kali ini ia berada dalam posisi sulit. Ditinjau dari adat ketimurannya, umurnya sudah sangat cocok untuk menikah. Dua puluh lima tahun. Bahkan, di beberapa suku –yang sebagian orang dengan teganya memberi cap ‘kolot’– ia sudah dianggap perawan tua. Dan Togi, lelaki dua puluh tujuh tahun yang sedang ada di hadapannya saat ini, sedang meminta kepastian darinya. Keduanya sudah sama-sama mapan dan saling mencintai, apa lagi?

“Apakah itu pilihan terbaik?” tanya Jojor.

“Mungkin kamu ada usul lain?” Togi balik bertanya.

Hening sesaat.

“Mungkin memang sudah saatnya kita harus menikah,” suara Jojor mendesah. “Apalagi karena kamu anak tunggal, jadi saya bisa mengerti alasan orang tuamu.”

“Jadi kamu setuju?”

Jojor tersenyum. Lalu mengangguk.

“Terima kasih, Tuhan!” Togi memekik girang. Lalu ia bangkit dari duduknya dan menyalami Jojor kuat-kuat, seolah ia baru saja membuat deal hebat dan memenangkan sebuah tender proyek besar. “Kalau begitu, dalam tiga bulan ini kita harus mempersiapkan semuanya,” lanjutnya. Saat itu langit senja September sedang memerah saga, memancarkan siluet indah di tengah lebat pepohonan beton kota metropolitan. “Makasih, ya, Hasian,” katanya.

Jojor juga tersenyum. Ia juga sama bahagianya. Hanya, cara mengekspresikan kebahagiaan itu berbeda. Siapa yang tidak berbahagia bisa bersanding dengan Togi, pemuda tampan pujaan hati yang penuh perhatian dan sudah mapan itu?

“Sekarang kita ke rumahku, yuk!” ajak Togi, tiba-tiba.

“Ngapain?” Jojor bingung.

“Mamak masih di rumah. Ia pasti senang melihat calon menantu.”

“Ah… jangan sekarang, Bang! Masa saya menghadap calon mertua dengan pakaian kerja begini? Lagi pula, saya belum mandi. Nanti saya dikira perempuan ‘manja’, mandi jarang,” elak Jojor.

“Kalau begitu, silakan mandi dan berkemas. Saya akan menunggu. Setengah jam cukup?”

“Empat puluh lima menit!”

“Deal!”

Pertemuan pertamanya dengan wanita yang akan menjadi mertuanya itu terbilang cukup unik. Saat Togi mengenalkannya kepada ibunya, wanita itu mengamati wajahnya lama, seolah ia makhluk asing yang berasal dari planet lain. Sejenak Jojor terpaku, seperti patung-patung pajangan di etalase toko-toko busana.

“Kenapa, Mak?” tanya Togi, ikut bingung.

“Kau bilang sama Mamak bahwa calon istrimu boru–wanita–Batak!” gumamnya, dalam bahasa Batak tulen, sambil menatap tajam pada anaknya.

“Saya boru Manurung, Inang!” kilah Jojor, dengan bahasa Batak yang fasih.

“Kau…? Kau…?” wanita itu tak bisa melanjutkan kalimat yang tertahan di tenggorokannya saking terkejutnya.

“Kenapa, Mak? Nggak nyangka ada wanita Batak secantik dia?” goda Togi, membuat ranum muka Jojor.
Ibunya belum bisa bersuara.

“Nanti Mamak bisa didemo semua wanita Batak, karena secara tidak langsung sudah memvonis bahwa wanita Batak itu tidak ada yang cantik!” guyon Togi berlanjut.

“Ah, Abang ini ada-ada saja!” Jojor merasa grogi. Lalu dia mengajak wanita paruh baya di depannya itu berbicara dalam bahasa daerah tanpa terlihat janggal sama sekali. Dari pengamatannya, calon ibu mertuanya itu sangat terkagum-kagum padanya. Beberapa kali ia memuji Jojor karena, sekalipun sudah menjadi wanita metropolitan, tidak melupakan akar budaya yang membungkusnya.

“Anak-anak gadis di kampung saja sekarang sudah tak suka pa­kai bahasa daerah. Seolah mereka malu menjadi orang kampung. Padahal, bahasa Indonesia-nya juga marpasir-pasir, campur-campur!” kritiknya. “Makanya, senang kali aku punya calon menantu yang cantik, tetapi juga bisa diajak ngomong dalam bahasa yang dimengerti para orang tua,” tandasnya.

Jojor tersipu mendapat pujian itu. Hatinya mekar sumringah.

“Jadi Mak, bagaimana dengan gadis-gadis yang di foto itu?” tanya Togi.

“Kau ini ada-ada saja. Jangan dipersoalkan lagi itu!” sahut ibunya.

“Padahal, Mamak ini mau menjodohkan aku dengan gadis-gadis pilihannya, Jor. Ada bidan desa, dokter kabupaten, dan… siapa lagi, Mak?”

“Hush…!” Muka ibunya mutung sambil menaruh telunjuknya vertikal di depan bibirnya, sementara  tawa Togi  makin melebar..

“Mamak-nya yang berpikir aku tak pintar cari istri,” belanya.

Ibunya tak lagi menggubris ocehan putra semata wayangnya itu. Ia mulai sibuk martarombo dengan Jojor, menanyakan asal-usul keluarga sebagai sebuah proses penelusuran silsilah keluarga, yang berfungsi menentukan dasar hubungan kekerabatan.

Bagi setiap orang Batak yang belum saling mengenal, ini menjadi ritual wajib di awal pertemuan, yang biasanya dimulai dengan menanyakan marga seseorang. Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan, kata orang Batak! Tanyakan marga dahulu, barulah tahu hubungan kekerabatan. Namun sebenarnya, bagi Jojor dan wanita yang sangat antusias di hadapannya, hubungan itu sudah ditetapkan. Sebagai calon menantu dan calon mertua. Mereka kelihatan seperti sudah akrab bertahun-tahun. Akur, ceria, dan nyambung.

Desember tiba. Terlihat suasana ceria di mana-mana. Seisi kota berhias menyambut Santa Claus. Natal telah berubah menjadi momen hura-hura. Cerita tentang kelahiran bayi suci yang terbaring dalam palungan nun jauh di Betlehem sana hanya terbingkai dalam foto-foto usang. Sekarang semua sudah berubah.

Rasanya, baru kemarin semua pusat perbelanjaan kota ini berhias ketupat Lebaran. Namun, hari ini sudah berganti busana dengan rumbai-rumbai hiasan Natal. Sebentar lagi, pohon-pohon Natal itu juga akan masuk gudang, diganti lampion merah menyambut tahun baru Cina. Ah, betapa cepatnya waktu berlalu.

Dan, kesibukan Desember kali ini menjadi berlipat-lipat bagi Jojor. Ia dengan sukarela mengikatkan dirinya seumur hidupnya dengan seorang pria yang dicintainya. Ia mempersiapkan segalanya demi upacara sakral yang hanya akan dijalaninya sekali seumur hidup itu. Ia pun pulang kampung setelah tiga tahun tak menginjak tanah kelahirannya. Sejak ia tamat kuliah dan merintis karier di kota, inilah kali kedua ia pulang kampung. Sekaligus untuk acara pernikahannya.

Syukurnya, ia masih mempunyai dua orang tua yang dengan rela hati bersusah-susah mengurusi pernikahannya. Para raja adat berembuk mengenai adat yang sudah tak begitu akrab lagi dengan generasi muda, apalagi bagi mereka yang tinggal di rantau. Ia hanya manut seperti kerbau dicucuk hidungnya, mengikuti instruksi yang diberikan padanya. Apalagi ia adalah mempelai wanita. Dalam adat Batak, pihak mempelai prialah yang bertanggung jawab dengan pelaksanaan semua upacara adat.

Rombongan keluarga mempelai pria menjemputnya dengan iringan ogung sabangunan –gendang tradisional Batak, yang sudah jarang diperdengarkan– menciptakan keriuhan dan decak kagum warga sekampung. Jangankan di milenium ini, zaman dahulu saja hal itu sudah merupakan keistimewaan yang cukup langka. Semua gadis berharap dijemput dengan iringan gendang atau musik yang meriah di hari perkawinannya, namun bagi kebanyakan gadis, itu hanya impian yang teramat jauh dijangkau. Maka, tak heran bila semua mata memandang kepergiannya dengan harapan ingin ketiban rezeki seperti dirinya. Tetapi, seberuntung itukah dirinya?

Togi menggamit tangannya dan membawanya ke altar sebuah gereja tua di atas bukit indah yang dikelilingi hutan pinus. Sepertinya lebih indah dari cerita-cerita perkawinan pangeran dan sang putri dalam kisah dongeng. Pangeran gagah itu menuntunnya ke hadapan Tuhan untuk memohon pasu-pasu parsaripeon, berkat suami-istri. Di sana, di hadapan ratusan jemaat yang memadati upacara pemberkatannya, Togi melingkarkan cincin di jemarinya. Namun, ia juga bisa merasakan bahwa pria itu melingkarkan cinta pada hatinya.

Lalu mereka mengikuti ritual adat yang cukup menguras tenaga. Ia masih ingat beberapa petuah dan umpasa, pantun Batak yang disampaikan oleh para kerabat kepada mereka berdua.

Bintang na rumiris, ombun na sumorop
Maranak pe riris marboru pe torop
(Bintang bertaburan, embun bergumpal menutup padang)
(Anak laki-laki berbaris-baris, anak perempuan pun tak kurang)

Lalu tiba-tiba terdengar seruan ‘emma tutu!’ –semogalah demikian– laksana sebuah koor yang sudah terlatih. Ungkapan itu merupakan sahutan spontan yang diberikan setiap orang tiap kali sebuah umpasa selesai diucapkan. Itu sebagai ungkapan persetujuan bersama untuk mengaminkan maksud baik di balik isi umpasa itu. Ketika sebuah umpasa diberikan, secara serentak semua orang akan menyahut ‘emma tutu!’ tanpa dikomando. Dan sepertinya, sahutan koor itu masih terngiang di telinganya hingga saat ini. Memantul-mantul laksana gaung yang terbentur pada sebuah tebing curam.

Giringgiring ma tu gostagosta
Sai tibu ma hamu mangiringiring, tibu mangompaompa
(Lonceng kecil, lonceng besar pula)
(Cepatlah punya anak dan menggendongnya)

Umpasa itu diucapkan seseorang –entah siapa persisnya, ia lupa– sambil menyerahkan sehelai kain gendong bayi setelah melingkarkan ulos ke pundaknya bersama mempelainya. Lagi-lagi koor ‘emma tutu!’ terdengar riuh.

Laklak di ginjang pintu, singkoru ginolomgolom
Maranak ma hamu sampulu pitu, marboru sampulu onom
(Kulit pohon di atas pintu, saga-saga dalam genggaman tidak lepas)
(Milikilah anak laki-laki tujuh belas, anak perempuan enam belas)

Umpasa yang ini betul-betul diingatnya. “Punya 17 putra dan 16 putri? Mana ada wanita yang sanggup melahirkan 33 anak,” pikirnya geli saat itu. Ketika pantun ini diucapkan, ia ingat, tangan kirinya mencubit pinggang Togi dengan gemas. Dan, suami terkasihnya itu masih sempat-sempatnya berbisik nakal, “Kamu kuat nggak ngelahir­in 33 anak, Hasian?”

Dan koor ‘emma tutu!’ meronai rasa geli mereka.

Sahatsahat ni solu, sahat ma tu bontean
Sahatma hamu leleng mangolu, sahat tu panggabean
(Berlayarlah perahu sampai ke pelabuhan)
(Kiranya hidup kalian panjang dan memiliki keturunan)

“Emma tutu!”

Ia baru menyadari bahwa hampir semua umpasa itu merupakan kata-kata berkat dan pengharapan yang sangat menjunjung tinggi arti pentingnya memiliki keturunan. Apalagi Togi, suaminya itu adalah satu-satunya penerus marga dalam keluarganya. ‘Kebatakannya’ kini memosisikan dirinya dalam situasi sulit. Dan, kesadaran itu makin menghunjam ulu hatinya, saat lima tahun mengarungi mahligai perkawinan tanpa anak.

“Bang, saya sudah putuskan untuk berhenti kerja. Mulai bulan depan, saya tidak akan ngantor lagi!” Jojor memberitahukan putusan bulatnya pada suaminya.

“Prosedur kantormu?”

“Sudah beres!”

Togi menatapnya serius. Keputusan telah dibuat. Apa lagi yang bisa dikatakannya? Apalagi, ia sudah tahu betul watak istrinya, berpendirian teguh dan konsisten dengan sesuatu yang sudah dipilihnya. Apalagi, secara finansial mereka memang nggak ada masalah. Tak sampai separuh dari penghasilan Togi saja sudah lebih dari cukup menutupi semua kebutuhan bulanan mereka.

“Abang takut kau tak kerasan di rumah,” ia terlihat khawatir.

“Kita lihat saja,” jawabnya pasti.

Dan, Jojor pun memulai kehidupan barunya sebagai wanita rumahan. Istri yang setia menunggui suaminya pulang di sore hari dengan masakan yang lezat sudah terhidang di meja. Wanita dengan bibir selalu berhias senyum selebar Danau Toba dan dengan sigap menyimpankan tas dan dasi suaminya sepulang dari kantor.

“Kau nggak bosan?” Entah sudah yang keberapa kalinya Togi melontarkan pertanyaan itu.

“Apa tak ada pertanyaan lain?” balasnya.

“Beri contoh!”

“Kayak anak kecil saja harus diajari bertanya,” sungutnya.

“Apakah kamu menyesal menikah denganku?”

“Pertanyaan macam apa itu?”

“Apakah kamu menyesal menikah denganku?” Togi mengulanginya.

“Seperti itukah kau mengartikan apa yang telah kulakukan untukmu?” suara Jojor lirih, seperti nyaris tersumbat oleh sesuatu.

“Aku nggak pernah meragukan hatimu, Hasian. Tetapi, terkadang pengakuan yang jujur dapat memompakan semangat yang goyah!”

“Kalau begitu Abang yang sudah bosan denganku. Abang yang sudah menyesal menikah denganku karena kita belum punya anak.”

Togi tersenyum pahit. “Maaf, aku tak bermaksud begitu.” Lengannya memeluk pundak istrinya erat, memberi perasaan nyaman di hatinya.

“Hmm… enak! Sangat enak!” Togi memuji kue buatan istrinya.

“Serius?” tanya Jojor.

Ia baru saja selesai mencoba salah satu resep masakan dari sebuah majalah wanita edisi terbaru. Sejak dulu, dia memang suka bereksperimen dengan segala masakan. Hanya, karena keterbatasan waktunya, maka hobi itu harus mengendap menunggu ada waktu senggang. Namun, sejak ia mundur dari pekerjaannya, ia dengan leluasa meneruskan minat itu. Dan, suami terkasihnya selalu menjadi tukang cicip pertama, yang lalu diikuti dengan semburan pujian.

Beberapa kali Jojor malah merasa tidak puas dengan pujian itu. “Abang pasti hanya ingin membuatku senang,” katanya.

“Abang hanya menjawab melalui rasa yang dikatakan oleh lidah Abang. Kalau memang enak, kenapa harus bilang tidak?”

“Tetapi, masa nggak pernah ada komplain sama sekali?”

“Kalau kita sudah merasa puas, apa yang harus dikeluhkan?” bela Togi. “Atau, gini saja… Coba kamu kasih ke beberapa tetangga. Minta pendapat mereka biar lebih objektif. Siapa tahu kamu beranggapan karena aku suamimu, maka aku hanya pantas melihat hal-hal baik yang ada dalam dirimu,” usul suaminya.

Jojor pun mengiyakan. Dan, ia mulai menerima banjir pujian bertubi-tubi se­perti air bah atas kue-kue buatannya. Malah beberapa tetangga minta diajari cara membuatnya. Sementara tetangga lain ngotot memesan kue buatannya.

“Mungkin itu cara yang bagus untuk mengisi waktumu di rumah. Kamu nggak perlu merasa harus membunuh waktu dengan bengong seharian. Abang keberatan jika harus punya istri yang akhirnya hanya ngobrol dengan dirinya sendiri sepanjang hari, dukung Togi, saat Jojor menceritakan pesanan kue-kue yang mengalir itu.

Maka, ia pun mulai menekuni hobinya membuat kue-kue dan menyanggupi pesanan beberapa tetangga. Menurutnya, hobi itu tidak akan menyita banyak tenaganya. Dan, ketika beberapa tetangga sudah kecantol pada kue-kue buatannya, iklan gratis dari mulut ke mulut pun beredar. Kontan pesanan naik. Umumnya untuk skala kecil dan sedang. Proyek besar yang pernah disanggupinya hanyalah untuk sunatan cucu Haji Abdullah, itu pun karena pertimbangan khusus, karena mereka hidup bertetangga, sebelah menyebelah.

Dengan segera ia dikenal sebagai tetangga cantik yang pintar bikin kue. Namun, ia hanya berhasil membunuh waktu. Ia sama sekali tidak berhasil membunuh suara-suara yang menanyainya tentang apa yang tidak ingin dia dengar. Sesekali, tetangga yang memesan kue juga mulai menyinggung-nyinggung itu. Kupingnya pun makin sensitif, seolah bahkan dapat mendengar suara-suara yang tidak terucap. Mampu menyerap bisik-bisik yang bernada kasihan terhadapnya.

“Apakah Nak Jojor punya parpadanan –perjanjian dengan seorang pria– sebelum menikah dengan Togi?”

Jojor menatap pria tua di hadapannya lekat-lekat. Semua rambutnya sudah memutih. Lipatan-lipatan wajahnya menunjukkan usianya yang sudah sepuh. Namun, wajah itu bersinar-sinar, seolah memiliki aura positif yang kuat yang membuatnya makin berwibawa. Pria tua itu bernama Ompu Jonggi, salah satu kerabat mereka yang tiba-tiba datang berkunjung ke rumahnya.

“Nggak ada Ompung –Kakek,” Jojor menggeleng. “Emangnya kenapa?”

“Coba kamu ingat-ingat dulu!” Ompu Jonggi mendesak.

Jojor pura-pura berpikir keras. Lalu menggeleng dengan perlahan. Ia tahu, ke mana percakapan ini akan bermuara. Pria tua di hadapannya menduga bahwa ia terkena sapata –karma atau kutukan– akibat perjanjian yang tidak ditepatinya dengan seorang pria. Itu lagu lama. Hampir semua orang di kampungnya masih memercayai mitos-mitos semacam itu. Walau memang harus diakuinya ada beberapa pasangan yang akhirnya mendapat keturunan setelah bertahun-tahun menikah, setelah massigabean –saling membereskan hubungan dengan ikhlas sehingga tidak ada lagi sakit hati yang dipendam–dengan seseorang dari masa lalunya. Tetapi, itu mungkin bagi banyak orang, namun tidak untuknya. Karena, ia memang tidak memiliki hubungan yang khusus dengan seorang pria, selain Togi.

“Saya turut prihatin dengan keadaan keluarga kalian. Saya cuma bisa berdoa agar rumah ini segera dihiasi tangisan bayi yang lahir dari rahimmu sendiri, Cucuku! Saya permisi dulu.” Dan, pria tua itu pun memeluknya haru. Jojor sesak. Perasaannya tak keruan. Ia tak tahu bagaimana bersikap dengan pria tua itu.

“Pasti Inang yang menyuruh Ompung itu,” lapor Jojor pada Togi. Togi yang baru selesai makan tidak segera merespons. “Apa maksudnya coba nanya-nanya apakah aku punya janji dengan pria lain sebelum menikah sama Abang?” ucapnya, ketus.

“Itu kan nggak perlu diambil hati, Hasian. Biasalah… orang-orang tua.”

“Secara nggak langsung dia udah beranggapan bahwa akulah penyebab semua ini. Kesalahan ada samaku sehingga kita belum punya anak sampai saat ini. Begitu kan, Bang?”

“Beberapa hari lalu Ompu Jonggi juga sudah menemui aku dan menanyakan hal yang sama.” Kata-kata Togi mengejutkan Jojor.

“Di mana? Kok, aku nggak diberi tahu?” Jojor protes.

“Ompung itu menelepon Abang dan menyuruhku singgah ke rumahnya sepulang kerja sebentar. Ia juga menanyaiku hal yang sama. Tetapi, karena Abang anggap itu nggak ada artinya sama sekali, maka Abang tak kasih tahu sama kamu,” jelasnya, membuat wanita cantik di hadapannya bernapas sedikit lebih lega.

“Aku jadi takut, Bang!” tiba-tiba suara Jojor bergetar.

“Kenapa?”

“Jangan-jangan kita tidak akan pernah punya anak.”

“Hush!” sergah Togi cepat.

Lalu hening.

“Bang…!”

“Hmm?”

“Apakah Abang masih mencintaiku?”

“Pertanyaan macam apa pula itu? Kau sudah tahu tanpa kujawab.”

“Tetapi, aku ingin mendengarnya lagi dari mulutmu, Bang!”

“Iya!” jawab Togi, singkat.

“Iya apa?”

“Memangnya kamu tadi tanya apa?”

“Apakah Abang masih mencintaiku?” ulang Jojor.

“Iya!”

“Jawabnya jangan cuma ‘iya’, dong! Jawab yang lengkap,” suara Jojor terdengar manja dan sedikit merajuk.

“Iya, Abang masih mencintaimu, Hasian!” Togi menatap Jojor gemas, sambil mempermainkan ujung hidungnya. Lalu keduanya larut dalam kemesraan yang direnda dengan pijar-pijar cinta.


Betapapun bahagianya pasangan yang menikah, pasti belum lengkap bila rumah tangganya belum dikaruniai bayi mungil yang seolah berfungsi sebagai lem atau perekat antara suami-istri. Itu adalah pandangan yang dipegang oleh hampir semua orang. Terlebih bagi kelompok masyarakat yang menjadikannya sebagai suatu keharusan. Tanpa anak, perkawinan seolah tiada arti.

Di kampungnya, Jojor sudah pernah menyaksikan sendiri bagaimana seorang kerabatnya dipaksa bercerai, setelah beberapa tahun menikah tanpa anak. Bahkan, ada beberapa suami yang terang-terangan ingin menikah lagi, hanya karena semua anak yang dilahirkan istrinya berkelamin perempuan. Ironisnya, masyarakat adat dapat menerimanya. Terlalu tak berhargakah wanita dibanding dengan kehadiran seorang pria? pikirnya kala itu.

Jojor benar-benar makin tertekan dan mengkhawatirkan kemungkinan yang bisa saja menimpanya. Ayahnya juga dulu mendapat desakan kuat dari beberapa keluarganya untuk menikah lagi, karena semua anaknya adalah perempuan. Ibunya benar-benar tak berdaya kala itu. Jojor yang masih kanak-kanak itu pun belum mengerti sama sekali. Hanya, seiring bertambahnya usia, ia makin maklum. Malah, ayahnya yang berkisah tentang desakan itu.

“Bagiku, kalian itu sangat berharga. Kalianlah hartaku. Saya bangga pada kalian. Jangan pernah merasa dirimu tak berharga hanya karena kamu seorang wanita!” petuah ayahnya suatu kali saat mereka semua berkumpul di jabu gorga, rumah ukir milik mereka.

Kata-kata itu sangat membekas di benak Jojor. Saat itu, kakaknya yang tertua akan berangkat untuk kuliah di kota provinsi, meninggalkan kampung halamannya yang warganya belum bisa mengerti kenapa harus bersusah-susah menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi. Bagi mereka, fungsi wanita itu masih hanya sebatas dapur, sumur dan kasur. Maka selayaknyalah ia akrab dengan pupur, bukan bangku kuliah.

Untungnya, ayahnya–yang hanya sempat mengenyam sekolah menengah pertama tapi tidak tamat itu, memiliki pengertian yang melampaui zamannya. Ia selalu berprinsip bahwa wanita juga bisa dibanggakan. Maka, ia rela menjual berbagai hasil sawah dan ladangnya untuk menyekolahkan putri-putrinya. Bahkan, beberapa petak sawah sempat digadaikannya. Untungnya, setelah dua kakaknya bekerja dan mampu menopang perekonomian keluarga, sawah-sawah itu dapat ditebus kembali.

Maka mata orang-orang desa pun terbuka. Suara-suara miring berubah menjadi pujian tanda salut. Pamor ayah pun melangit setelah keenam putrinya berhasil menamatkan kuliahnya masing-masing dan memiliki pekerjaan yang bisa dibanggakan. Mereka menjadi icon kesuksesan yang selalu disebut-sebut, manakala orang-orang desa berbicara mengenai pendidikan.

Tapi… andai pendidikan dan kesuksesan karier bisa membuat seseorang punya anak, alangkah bahagianya, pikir Jojor. Sayangnya, banyak hal yang memang berada di luar kendalinya. Tak satu hal pun dapat dilakukannya untuk mengubahnya, selain berharap ada kekuatan lain bermurah hati melakukan untuknya. Bahkan, andai hanya akan ada satu permintaan yang boleh dinaikkannya sepanjang hidupnya, maka ia akan minta anak. Tak ada yang lain.

Dalam doa-doa yang dilumuri kemilau air mata, permohonan itu dinaikkannya saban waktu, terlebih saat kesunyian merasuk hatinya. Terkadang ia terbangun tengah malam, memandang wajah teduh suaminya yang lelap di sampingnya, lalu memejamkan mata dan menaikkan doa-doa dengan sikap tetap telentang. Hanya bibirnya yang terkadang tampak komat-kamit, lalu kilau kristal itu menderas dari matanya. Dan kau pasti tahu apa yang sedang dipintanya!

Tanpa pemberitahuan, tiba-tiba kedua mertuanya datang siang ini. Sungguh mengejutkan bagi Jojor.

“Kenapa Amang dan Inang nggak kasih kabar sebelumnya? Kan bisa kami jemput ke bandara?” protesnya.

“Ah, kadang-kadang orang tua juga perlu mendapat pengalaman baru!” sahut ayah mertuanya yang dipanggilnya Amang itu, “Semacam petualangan ringan,” lanjutnya.

“Iya… tapi kan setidaknya kami bisa mempersiapkan sesuatu,” nada suara Jojor masih protes.

“Kayak pejabat negara yang berkunjung ke daerah saja, harus ada sambutan-sambutan segala,” kali ibu mertuanya yang menanggapi.

“Tadi ada kesulitan di jalan, Inang? Langsung bisa menuju ke rumah ini kan?”

“Di hutan rimba kita bisa tersesat. Tapi, kalau di hutan beton seperti ini, yang penting kan ada alamat lengkap. Sopir taksinya saja tadi langsung tahu. Lagi pula, kami kan sudah beberapa kali dari sini, masa lupa lagi?” sahut ayah mertuanya.

Protes yang sama juga dilontarkan Togi, ketika ia sudah tiba di rumah sepulang kerja. Menurutnya, kedua orang tuanya nekat. “Syukurlah, tidak ada rintangan apa-apa,” ucapnya, menyerah.

Acara makan malam sedikit kaku. Jojor menangkap sesuatu maksud tersembunyi dengan kedatangan tiba-tiba mertuanya. Togi juga berfirasat sama. Sekalipun mereka sudah berusaha setenang mungkin, tetap saja terasa dibuat-buat. Mereka merasa sesuatu akan terjadi, tetapi tidak tahu apa itu. Hanya bisa pasrah dan menduga-duga.

“Kami datang khusus untuk membicarakan keluarga kalian,” ayah Togi memulai pembicaraan seusai makan malam.

Situlluk mata ni horbo, begitu to the point!

“Maksud Bapak?” tanya Togi.

“Ya… seperti yang sudah kalian bisa pikirkanlah. Kalian kan sudah menikah selama lima tahun…,” suara ayahnya menggantung, terdengar berat. Jojor tetap diam. Danau di hatinya berombak tak beraturan. Togi juga terdiam. Keduanya bagai sepasang terdakwa yang sudah tak bisa mengajukan pembelaan lagi. Pun, apa yang bisa mereka katakan?

“Kami sudah tidak tahan lagi menunggu cucu dari kalian,” gumam ibu mertuanya seolah ditujukan pada dirinya sendiri. Ayah­nya mengangguk perlahan. Keduanya memandangi anak dan menantunya itu secara bergantian.

“Sebenarnya Bapak sama Mamak juga harus memahami bahwa kami juga sangat menginginkan anak dalam keluarga kami,” desah Togi sambil menegakkan duduknya. “Kami sudah melakukan banyak usaha untuk mendapatkan momongan. Hanya, sampai saat ini Tuhan belum memberi. Padahal, kalau dari segi medis, tidak ada yang salah pada kami berdua. Dokter bilang ini hanya masalah waktu.”

“Hanya masalah waktu bagaimana? Sampai kapan? Sampai kami berdua mati tanpa pengharapan bahwa keluarga kita tidak memiliki seorang pun penerus? Sampai kiamat?” ayah Togi mulai tersulut emosi.

“Jadi Bapak sama Mamak mau apa? Ini juga bukan kemauan kami. Pasangan mana, sih, yang tidak menginginkan anak dalam keluarganya?” suara Togi juga meninggi. Jojor menenangkan suaminya dengan menekan pahanya sedikit keras.

“Mungkin kalian tidak marrokkap, tidak berjodoh!” jawab ibunya tenang.

Jojor menatap wajah ibu mertuanya. Mimik wajah itu terlihat datar tanpa ekspresi. Sepertinya baru kemarin wajah cantik itu berseri-seri memujinya sebagai menantu terbaik yang bisa dimiliki seorang mertua. Namun, kali ini ia pula yang hendak merobohkan mahligai yang dibangunnya dengan seluruh cinta dan hidupnya.

“Jadi mau kalian apa?” suara Togi terde­ngar gemuruh.

“Bang…!” Jojor menyikutkan pinggang suaminya, memintanya tetap tenang dan jangan terpancing emosi.

“Bapak sama Mamak mau kami bercerai?”

Jojor tegang. Tak berani ditatapnya wajah-wajah di sekelilingnya. Ia seperti menanti pembacaan vonis mati di sebuah persidangan, setelah semua pengacara dan pembelanya tak lagi berdaya menghadapi tuntutan lawan.

“Tolong mengerti keadaan kami!” suara ayah mertuanya memberat, ada nada kepasrahan di sana. Walau perkataan itu ditujukan kepada anak dan menantunya itu, matanya lebih sering mengarah kepada Jojor. “Togi itu anak tunggal. Anak satu-satunya. Hanya dialah harapan keluarga untuk meneruskan marga. Sepertinya harapan itu tidak bisa dipenuhi lewat pernikahan kalian. Kami sudah cukup sabar menunggu. Lima tahun! Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu kepastian bahwa akan ada generasi yang menyambung garis hidup kami. Kami sudah tua, dan kami tidak ingin mati lalu lenyap selamanya dari ingatan semua orang.”

Sepi merajut malam. Memintal luka. Menenun perih.

Ibu mertuanya bangkit dari duduknya, lalu memeluk Jojor erat. Kewanitaannya dapat memahami perasaan menantunya itu, tetapi sesuatu yang jauh melebihi itu sebenarnya sedang dipertaruhkannya. Ini bukan sekadar perasaan suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, tetapi masalah lenyap atau lestarinya sebuah garis keturunan. Dan Jojor benci menanggung beban itu, beban yang begitu saja ditimpakan ke pundaknya yang ringkih sementara ia tak punya cukup kekuatan untuk menanggungnya.

Ia menjadi serba salah dalam pelukan ibu mertuanya. Dapat dirasakannya kehancuran yang merapuh, remuk menghantam sanubarinya. Dekapan itu mengempaskannya, seperti sebuah isyarat permohonan agar dengan rela hati melepaskan ikatan yang menautkannya dengan keluarga Togi. Elusan lembut di punggungnya dirasa sebagai sebuah sayatan sembilu yang memerihkan. Aroma pengkhianatan yang dibungkus dengan cinta menguap ke udara. Dingin. Beku. Menghunjam ulu hati.

Ia bergeming. Hanya air mata yang meruah, bergulir perlahan dan berlomba mencapai dagunya, seperti anak-anak penyu mungil berkejaran di pasir pantai hendak merasai air laut untuk pertama kalinya.

Togi mematung. Ia tersekat dengan pemandangan tak terduga yang tak ingin disaksikannya itu. Matanya hanya terpaku ke meja, menahan napas, kesulitan berpikir. Ayahnya juga menunduk. Seolah ia sedang tafakur merenungi sesuatu. Mereka sedang diperhadapkan dengan sebuah situasi tanpa kesempatan untuk memilih.

Jojor tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menyerah secepat itu. Ia merasa dikalahkan dengan begitu mudah dalam sebuah pertarungan tidak berimbang yang sebelumnya tak pernah dikiranya. Andai keluarga Togi menyerangnya, menyudutkannya, bahkan memaksanya agar rela melepaskan diri dari mereka, ia jauh lebih siap menghadapinya. Ia dapat bertahan, membela diri bahkan menyerang balik. Tapi ini? Dengan sebuah pelukan dan sepasang mata memelas seorang ibu mohon pengertiannya? Ah…!

“Aku bisa memahami mereka, Bang! katanya terisak di pelukan suaminya saat mereka sudah berada di kamar tidur, berdua.

“Maafkan Abang…! Abang tidak tahu harus berbuat apa, bisik Togi pelan di telinga Jojor, menampakkan ketidakberdayaannya atas kenyataan yang mempecundangi mereka.

Padahal, sebenarnya betapa ingin Jojor mendengar bantahan dari suaminya atas pendiriannya itu. Betapa inginnya ia mendengar kata-kata tidak rela berpisah dari Togi. Ia mengharap Togi akan memohon dengan seluruh jiwanya agar ia tetap berada di sampingnya setiap saat, menemaninya melalui hidup sepanjang usia. Tapi, ia tak mendapatnya. Telinganya tak mendengarnya. Pun hatinya.

Ia kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri. Pada Togi. Pada mertuanya. Pada sekelilingnya. Pada Tuhan. Kenapa semua ini harus menimpanya seolah-olah seluruh dunia sedang bersekongkol ingin menghancurkannya? Seolah semua kekuatan sedang berhimpun untuk menjatuhkannya ke dalam jurang nestapa yang sangat dalam, sementara ia sudah berdiri gamang di bibir tebingnya yang curam. Apa salahnya? Kenapa dia sendiri yang harus menanggungnya?

Jojor benar-benar merasa diperlakukan tidak adil oleh kenyataan. Ah, apakah dia tidak termasuk orang pilihan yang digariskan meneruskan sebuah generasi baru?

Ia gelisah. Tiba-tiba saja ia merasa diserupakan dengan sebidang ladang tandus yang tidak bisa ditanami apa-apa. Tidak berguna. Maka si pemilik berhak meninggalkannya atau malah menjualnya kepada pihak lain untuk dipergunakan sesukanya. Ia merasa dilecehkan. Harkatnya dianggap menjadi tak berharga sama sekali. Apakah itu semua salahnya? Ia menggugat entah siapa.

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.

Lamat-lamat didengarnya ultimatum yang ditegaskan pendeta seusai ikrar seia-setia di depan altar itu, ketika ia dan Togi berjanji akan saling mengasihi, menghormati, dan menerima dalam susah atau senang, kaya atau miskin, sakit atau sehat. Janji suci yang mengikat simpul hatinya, yang sekarang ditarik secara paksa, meninggalkan ruang kosong gelap serupa lorong gulita yang memerihkan seluruh indra.

Jojor memejamkam mata… menangis tanpa suara.

“Karena kami dulu menjemputmu dengan baik-baik dan terhormat, maka kami juga wajib mengantarkanmu dengan baik-baik dan terhormat pula!

Demikianlah tokoh adat dari pihak keluarga suaminya menyim-pulkan percakapan, dikelilingi beberapa kerabat dan tokoh adat yang sengaja diundang menghadiri acara itu di rumah mereka sendiri. “Kami sudah mengirim utusan untuk berbicara dengan pihak hula-hula – keluarga pengambilan istri – di Toba mengenai hal ini. Sebenarnya kita semua tidak menginginkan hal ini, tetapi… tidak ada lagi pilihan lain! ucapnya dengan nada pasrah.

Semua orang terdiam. Mulut-mulut terkunci. Sepi menari di-iringi alunan bernada lara. Beberapa pasang mata sesekali melihat Jojor dengan mencuri-curi, memerhatikan mimik datar tanpa ekspresi yang tergurat dalam raut wajahnya. Tak ada yang dapat membaca hatinya lagi. Dalam waktu singkat, Jojor memang telah belajar mengubur perasaannya secara sempurna.

Ia berhasil untuk tidak menampakkan apa yang dirasakannya. Dari luar, ia terlihat dingin dan berusaha tegar. Tetapi, menyibak ke relung terdalam jiwanya, ia sedang meronta. Begitukah yang namanya ‘terhormat’? Dikembalikan kepada keluarganya sendiri secara adat, ketika setelah beberapa tahun perkawinannya tidak berhasil menunjukkan bahwa ia bisa menjadi mesin pembuat anak? Dirasanya betapa dangkalnya arti sebuah perkawinan. Demi anak! Tak ubahnya seperti binatang yang bercinta di musim kawin seturut naluri, melepaskan hasrat sekadar mempertahankan garis keturunan.

Jojor memejamkan mata. Dikhayalkannya bayi montok sedang tergelung nyaman dalam pelukannya. Bayinya sendiri. Bayi merah yang pasti tidak akan mengalami penolakan sepanjang hidupnya, seperti bayi yang dibuang ibunya sendiri di tempat sampah, di salur-an air, dalam kardus lusuh yang tergeletak di pinggir jalan.

Jojor membuka mata. Kembali ia dihadapkan dengan kenyataan. Semua sedang berkumpul membicarakan nasibnya. Seolah semua orang peduli untuk kebaikannya. Padahal, ia sedang merasa seolah berlari tanpa tujuan di sebuah gurun gersang tak bertepi dengan membawa segumpal hati yang teriris berdarah-darah. Ia meraung dan melolong berharap akan bertemu seorang tabib yang dapat menyembuhkan lukanya. Tetapi sekelilingnya bisu. Semuanya tuli. Semuanya mati rasa.

Jojor tidak mengetahui rincian pembicaraan yang dilakukan oleh raja-raja adat dari pihak suaminya dengan raja adat dari pihak keluarganya sendiri. Dia tidak dilibatkan dalam kesepakatan yang diambil kedua belah pihak. Bukankah ia telah diposisikan sebagai sebuah barang–sepetak ladang–yang sedang mengalami proses jual-beli? Barang mana yang pernah protes, ketika ia dihargai dengan sebaris angka-angka di kertas persegi panjang yang bisa ditukarkan secara sah di seluruh mayapada?

Yang Jojor tahu hanyalah bahwa ia akan dikembalikan ke rumah dari tempatnya dijemput dulu, lima tahun lalu. Hubungannya dengan Togi juga sudah mendingin. Suaminya itu, meski terlihat sangat berat hati, tidak melakukan terobosan atau perlawanan apa pun untuk menyelamatkan bahtera perkawinan mereka yang nyaris karam. Jojor juga tidak berusaha melakukan sesuatu lagi.

Rupanya, Togi serta keluarganya salah membaca hatinya. Mereka berpikir bahwa ia sungguh dapat menerima keputusan itu dengan berbesar hati dan berlapang dada. Padahal, jauh di dasar hatinya, ia berharap sebuah kekuatan mahadahsyat melakukan keajaiban di detik-detik genting hidupnya, seperti para superhero yang tiba-tiba muncul dan menyelamatkan orang-orang yang tak berdaya.

Diimpikannya seorang ksatria datang mempertontonkan jurus pamungkas atau ajian sakti mandraguna di hadapannya, lalu membereskan masalah yang nyaris menjerat lehernya. Namun, disadari-nya bahwa itu hanya terdapat di film-film, bukan dalam realita. Harapan semu, bukan fakta!

Rumah gorga beratap ijuk itu berdiri tegak dan gagah di antara beberapa rumah beratap seng menyilaukan. Rumah antik itu menandakan sisa-sisa sebuah peradaban yang nyaris luntur. Arsitekturnya yang indah, rumit, dan tiang-tiangnya yang melintang, hanya dihubungkan pahatan-pahatan kayu pilihan dan simpul-simpul rotan yang kokoh, membuatnya tak membutuhkan sebutir paku pun. Lagi pula, dari mana masyarakat gunung memperoleh paku di zaman dulu?

Alam memang membuat para leluhur itu cerdas mengelola sumber daya sejak dulu. Bergantung sepenuhnya pada alam membuat mereka berusaha selalu hidup harmonis dengannya. Berbeda dengan apa yang dilakukan manusia-manusia rakus di zaman edan ini, yang berusaha menggerogoti segala yang ada demi kepentingan sendiri. Menumpuk-numpuk harta serupa timbunan dosa, membuncitkan perut-perut mereka dengan serapah dan menabung nyawa mereka hanya untuk menjadi tempat bersarangnya sederet penyakit.

Tapi, rumah gorga itu pun sudah mendapat sentuhan modernitas. Bagian belakang rumah itu sudah tampak menyatu dengan sebuah bangunan lain, sebuah rumah beton beratapkan seng mengilat. Sebuah perpaduan antara dua zaman yang dapat ditemukan bersanding di sebuah kampung kecil di kaki bukit penuh pinus.

Dari kejauhan, dari salah satu sisi hutan pinus itu, terdengar raungan mesin-mesin pemotong kayu menderu seperti suara naga marah. Para pembalak itu sudah mulai merambah ke daerah ini rupanya. Walaupun beberapa kelompok masyarakat menentangnya, sebagian lagi mendukungnya. Terjadi pertentangan di kalangan bawah, membuat operasi pengrusakan hutan itu berjalan mulus. Lagi pula, sudah bukan rahasia bahwa justru kepala desa merekalah yang mengepalai proyek itu. Dengan dalih akan dibangunkan jalan beraspal hingga ke desa terujung, warga tidak mempersoalkannya lagi.

Beberapa hari ini, perhatian warga makin teralih lagi dengan kedatangan beberapa orang mengawal pengembalian salah satu putri kebanggaan mereka. Jojor! Ladang gersang yang tak bisa menghasilkan itu dikembalikan kepada keluarganya setelah serangkaian adat dan pembicaraan rumit antar dua keluarga besar.

Kepada Jojor, keluarga mantan mertuanya itu memberikan sehelai ulos, sambil mengucapkan kata-kata berkat, semoga menemukan jodoh yang tepat dan memiliki banyak anak. Mereka juga memohon agar Jojor mendoakan jodoh yang tepat bagi Togi, mantan suaminya itu, dan memiliki banyak anak juga!

Dan sepeninggal mereka, ruang hampa nan sepi mengisi seluruh bilik rumah gorga itu.

Pria tua itu, ayah Jojor, hanya terdiam di sudut rumah, duduk mencangkung. Tentulah kepulangan salah satu putri terkasihnya itu yang membuat hatinya resah dan gundah. Tak pernah dibayangkannya di masa tuanya ini, setelah ia berhasil mengantarkan semua putrinya menamatkan bangku kuliah dan memiliki pekerjaan yang mapan, ia masih akan menghadapi badai ini.

Sebuah aib, kalau bisa disebut demikian. Entah siapa yang pertama berpendapat bahwa perkawinan tanpa anak adalah sebuah perkawinan yang tidak layak dihidupi. Bukankah ada begitu banyak anak yang dapat diadopsi di seluruh jagat ini? Pun, bukankah sebenarnya putrinya itu masih menyimpan harapan untuk dapat punya anak? Bukankah Jojor dan Togi, yang sekarang menjadi mantan menantunya itu, seharusnya masih punya peluang untuk memiliki anak sendiri? Bodohkah dokter-dokter yang menyimpulkan bahwa ini hanya masalah waktu?

Ah…! Pria itu menarik napas panjang. Bayang-bayang pemberontakannya di masa silam datang menjelma. Mula-mula terlihat sesamar pekat hutan berselimut halimun, lalu seberkas cahaya surya mengusir kelamnya. Dia ingat, sesungguhnya dia bisa saja dianggap hendak meruntuhkan tiang-tiang adat dengan tindakannya saat itu. Hanya, dia bersyukur, tak seorang pun tahu kisah rahasia itu. Ia pun tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun.

Dulu, ketika ia mulai beranjak dewasa, kesenangannya sejak kecil bermain ketapel dan memburu burung-burung tidak hilang begitu saja. Sebuah keahlian yang dimilikinya ketika di masa kanaknya ia bertugas sebagai gembala kerbau, sampai kemudian tugas itu diwariskan kepada adiknya, dan ia mulai membantu orang tuanya mengerjakan tugas-tugas orang dewasa: mengolah sawah, dan mencari kayu ke hutan untuk renovasi rumah.

Suatu sore, sepulang membajak dari sawah, saat rombongan burung-burung melintasi desa mereka, ia membawa ketapelnya ke pancuran. Di situ ia berhasil menggeleparkan tiga ekor tekukur.

Tapi, yang membuat dadanya gemetar dahsyat adalah saat ia melihat tubuh halus seorang wanita beranjak dewasa sedang menyunggi sebuah bejana tanah liat berisi air. Hanya tertutup sarung sebatas dada, membuat imajinasinya dapat membayangkan bagian tubuh tertutup wanita muda itu. Mereka berpapasan di jalanan menurun ke arah pancuran. Dikenalinya bahwa itu adalah Saudur, teman sepermainannya yang sudah lama tak dilihatnya.

Sejak wanita itu menginjak usia remaja, ia tidak lagi bertugas sebagai gembala, melainkan sudah dibimbing mengerjakan tugas-tugas seorang wanita dewasa: menenun ulos, mengelola sawah dan sejumlah tugas rumah tangga lainnya. Sepertinya, sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Dan pertemuan itu begitu istimewa. Mampu menggetarkan ujung-ujung saraf yang lama terkubur tak tersentuh, seperti hewan yang selesai berhibernasi, saat menyadari ia sudah berada di ujung musim dingin.

Ia bisa melihat wajah Saudur merona, tersipu. Ia juga mematung, seolah pusat gravitasi berada tepat di bawah kedua kakinya berpijak. Mereka bersitatap, saling terpesona. Sebuah perasaan asing yang tak terdefinisikan mengalir di rongga kedua hati mereka. Teduh dan syahdu. Seolah-olah seluruh alam menembangkan sebuah kidung indah dan menggemakannya hingga ke sudut-sudut tebing hati.

Yang lebih membahagiakan lagi, degup itu berbalas dari wanita itu. Kemudian pancuran air itu menjadi tempat mereka biasa saling melepas rindu, walau hanya saling pandang dan melempar senyum serta berbicara secukupnya, ketika hari sore-sore.

Namun, pria itu segera menyadari adanya sebuah tembok kokoh yang berdiri menghalangi mereka. Ayah Saudur adalah seorang datu–dukun sakti–yang sangat disegani seluruh negeri. Meminang putrinya tentulah bukan perkara mudah. Ia pasti akan meminta sinamot–mahar–yang tinggi, mungkin beberapa ekor kerbau atau sebidang tanah. Bila itu tidak dipenuhi, ia bisa saja memakai cara-cara supranatural secara manipulatif, atas nama adat dan pesan leluhur. Untunglah keluarganya cukup berada, setidaknya memiliki beberapa puluh ekor kerbau tambun.

Tapi, setelah para tua-tua adat membicarakan rencana perkawinan mereka, tiba-tiba saja kampung mereka gempar. Ada tanda tak bersahabat dari alam hendak menghancurkan impiannya bersanding dengan gadis pujaannya. Bersebab dari seekor burung yang dipercaya menjadi corong penghubung dengan dunia leluhur, sipahut. Burung hantu itu hinggap di bubungan jabu gorga milik datu itu menjelang tengah malam dan menyanyikan sebuah lagu sedih menyeramkan.

Sebuah pertanda buruk!

Pada malam berikutnya, burung itu datang lagi dan bernyanyi sedih. Bila dalam tiga hari berturut-turut burung itu terus seperti itu, maka semua rencana pesta harus dibatalkan. Bila sudah dua malam berturut-turut burung itu hinggap dan bernyanyi di sana, bisa dipastikan bahwa ia pasti akan datang di malam yang ketiga. Itu artinya, burung sialan itu akan memupus habis harapannya. Dan ia tidak akan pernah merelakan hal itu terjadi.

Maka, ketika malam ketiga itu menetaskan fajar indah merekah di ufuk timur, sinar cerah matahari yang menyembul dari sela-sela daun bambu yang mengelilingi desa itu terasa jauh lebih indah. Malam kelam itu telah berlalu tanpa nyanyian sedih sipahut itu. Sebuah peristiwa langka dalam pengalaman penduduk desa. Itu berarti bahwa di desa mereka akan ada keriuhan pesta. Pria muda itu akan bersanding dengan putri datu itu. Pria muda itu tersenyum sumringah, akalnya telah menyelamatkan masa depannya.

Pada malam itu, ketika sipahut itu masih hinggap di salah satu dahan pohon bintatar di samping jabu gorga milik datu itu, ia mengetapelnya dengan jitu. Burung itu tidak sempat hinggap dan menembangkan kidung laranya di bubungan rumah datu itu. Hanya ia yang mengetahui rahasia itu.

Tapi, saat ini, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menyatukan keping-keping mimpi Jojor, putrinya itu, yang sudah pecah dan berserak.

Jojor berbaring di kamarnya, sebuah ruangan berdinding kayu yang sudah mulai termakan usia. Di kamar itu, ia dan beberapa kakak serta adiknya dulu selalu menghabiskan malam bersama. Sekarang, mereka semua sudah mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Rumah itu tak ubahnya hanya sebuah sarang yang ditinggalkan, ketika anak-anak burung sudah belajar terbang dan bersiap membangun sarangnya sendiri. Adiknya yang bungsu sudah menikah tiga tahun lalu dengan seorang manajer di salah satu perkebunan negara di Pekanbaru dan sudah mempunyai seorang bayi perempuan yang sudah mulai belajar berjalan.

Sebentar-sebentar Jojor membalikkan badannya di pembaringan. Ia tak bisa memejamkan matanya barang sekejap. Hatinya masih terlalu kacau dengan semua yang baru saja menimpanya. Semua itu seperti kepingan-kepingan puzzle yang tidak tahu harus dibentuk menjadi apa. Kacau. Kusut. Rumit.

Diam-diam dia merindukan Togi. Saat dia memejamkan mata dan mencoba bernapas dengan perlahan, ia seperti dapat mencium bau tubuh pria itu. Namun, menyadari realita, hatinya merasa tertusuk. Seonggok benci yang bertunas di salah satu relung hatinya mulai berkecambah. Pada suatu masa ia merasa diinginkan, dan itu membuatnya tersanjung. Tetapi, di suatu masa yang lain ia benar-benar dicampakkan, dan itu membuatnya terhina.

Memikirkan hal itu, ia merasa sesuatu memilin-milin perutnya. Tiba-tiba saja ia merasa mulas dan ingin muntah. Pastilah tidurnya yang tak lelap beberapa malam ini yang menjadi penyebabnya. Terlebih lagi ia sudah cukup bergumul dengan iklim gunung menggigilkan yang sudah lama tidak digaulinya, walau ia sudah membungkus diri dengan pakaian tidur dan sebuah jaket, sehelai sarung, selimut tebal, serta kelambu.

Mual itu makin melilit, membuatnya menahan napas sejenak untuk berusaha meredakannya. Namun, tidak berhasil. Perlahan ia berusaha bangkit. Dikatupkannya mulutnya keras-keras, menahan sesuatu tak mengenakkan yang sudah mencapai garis atas kerongkongannya. Setengah berlari ia menuju kamar mandi dan rasa mualnya mendapat pelepasan di sana. Ia tidak memedulikan kegelapan di sekelilingnya, karena tadi tak sempat menyalakan lampu.

Walau kampung mereka tergolong terpencil, layanan listrik sudah lama mereka nikmati, karena salah satu anak asli kampung itu telah menempati posisi cukup penting di perusahaan negara ini. Dialah yang mengajari penduduk desanya membuat proposal agar mendapat sarana penerangan yang dianggap mewah itu. Sementara untuk pelayanan air bersih, penduduk desa dibantu oleh sebuah pabrik pengolahan kayu dengan membuat jaringan pipanisasi, menyalurkannya langsung dari mata air pegunungan ke desa-desa. Sejak itu kerja keras mengangkat air dari pancuran menjadi cerita, tinggal sejarah.

Tapi, bantuan-bantuan itu meminta tumbal. Perusahaan pengolah kayu itu dengan bebas membabat hutan-hutan mereka. Debit air sungai yang menjadi sumber pengairan sawah-sawah mereka cepat menurun, bila musim kering mulai datang. Sebagian orang mulai menunjukkan protes, tetapi gaung suara mereka sudah diredam bantuan yang mereka terima. Mungkin mereka baru benar-benar berani berteriak bila sungai-sungai itu mulai kering. Dan itu hanya menunggu waktu!

Tiba-tiba lampu menyala. Jojor sedikit terkejut, tetapi pikir­annya masih terfokus pada mulas berkepanjangan di perutnya. Bisa dipastikan wajahnya pucat. Ia mendengar suara langkah perlahan mendekat.

“Kamu kenapa, Boru?” ibunya datang sedikit tergopoh.

Jojor tak menyahut, memejamkan mata menahan rasa mual itu.

“Kamu pasti masuk angin.” Ibunya mulai mengurut kepalanya dengan kedua tangannya. “Ibu akan ambilkan balsem,” gumamnya, lalu pergi.

Jojor sudah bisa menguasai diri. Rasa mualnya sudah berhenti. Sekarang ia sudah berbaring di tempat tidurnya. Di sampingnya, ibunya yang renta masih setia memijat-mijat kepalanya. Malam itu, ibunya akhirnya tidur di kamarnya. Jojor merasa seperti anak kecil lagi yang merasa nyaman dengan kehadiran sang ibu di sisinya. Hatinya hangat.

“Sebaiknya kita pergi periksa ke bindes (bidan desa) besok,” saran ibunya sebelum mereka berdua terlelap.

Ibu bindes itu memeriksa Jojor dengan teliti. Keramahannya menenangkan hati setiap pasien yang dihadapinya. Ia sudah puluhan tahun berpengalaman menghadapi orang-orang di desa itu. Dan keramahannya itu bisa mengatasi banyak hal. Namun, Jojor dan ibunya benar-benar tidak menyangka ketika bindes berumur empat puluhan tahun itu meminta untuk memeriksa urinnya.

“Untuk apa? Jojor pucat.

“Hanya untuk memastikan. Sebaiknya kita jangan hanya menebak-nebak! jawabnya, berat.

Bindes itu juga pasti sudah mengetahui riwayat Jojor. Di desa seperti ini, kejadian kecil yang dialami seseorang bisa tersebar dengan begitu cepatnya sampai ke kaki-kaki gunung yang masih berpenghuni. Apalagi, yang dialaminya ini, dipulangkan keluarga suami ke rumah orang tua sendiri, karena tidak kunjung mempunyai anak.

Hati Jojor berdentam-dentam, seperti sebuah genta besar bertalu-talu di lembah sunyi. Ia seperti digodam palu raksasa. Ibunya memucat memandangi wajahnya yang juga memucat. Bagaimana bila bindes itu benar? Bagaimana…? Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa siklus bulanannya sudah terlambat beberapa minggu.

Bila itu terjadi beberapa minggu lalu, berita itu bisa mengakhiri semua gundahnya. Ia akan merasa bahwa seluruh langit kebaikan bergulung menyelimuti dirinya, menudunginya dari semua aib dan nestapa. Namun kini? Bukankah itu malah akan menjadi bencana besar baginya? Mengapakah Tuhan terlambat menjawab doanya?

“Kamu memang positif hamil! bindes itu menunjukkan sebuah alat tes kehamilan. Ia tak tahu apakah harus bergembira atau bersedih menyampaikan kabar itu. Bindes itu hanya memberinya tatapan ‘aku tidak tahu harus bersikap bagaimana.’

Jojor terpaku. Ibunya memeluknya sambil menangis. Jojor mematung lalu menyurukkan badannya ke dada tua ibunya.

Ingatan Jojor menerawang, melintasi lapisan-lapisan kenangan yang sebenarnya hendak dikuburnya. Diingatnya waktu terakhir kalinya ia berseranjang dan memadu kasih dengan Togi. Ya, dua hari sebelum kedatangan kedua mertuanya yang kemudian memberi vonis tergetir dalam hidupnya. Itu sudah sekitar tiga minggu lalu. Berarti, sebuah kehidupan lain sudah bersemayam di rahimnya selama itu tanpa disadarinya. Inikah jawaban doanya? Telah ingatkah Tuhan dengan kandungannya? Tetapi… mengapa selambat ini?


“Kita harus segera memberi tahu keluarga suamimu, simpul ayahnya tegar dan tegas.

“Ya, Ibu pikir juga begitu!

“Tidak! sahut Jojor tegas.

Kedua orang tuanya membelalak, tidak menyangka jawaban putri mereka.

“Tidak boleh begitu, Boru! Biar bagaimanapun, itu adalah anak Togi. Anak itu punya ayah. Ketidakhadirannyalah yang membuat rumah tangga kalian jadi seperti sekarang. Jadi, kehadirannya pasti dapat memperbaiki semua ini, dengan berusaha tenang, ayahnya memberi wejangan.

“Sekarang kita tak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan mereka! Mereka tak berhak apa-apa atas kita! suara Jojor dingin.

“Setidaknya, mereka harus tahu bahwa kesalahan bukan sama kamu. Bukan kamu yang tak bisa memberi anak. Mereka saja yang tidak sabar menantikannya, ujar ibunya.

“Apa gunanya lagi? Jojor menyeringai sinis.

“Kalian bisa membangun keluarga kalian lagi, suara ibunya terdengar lagi.

Jojor menatap kedua orang tuanya. Tak tega ia menentang mereka, tapi dirasanya ada yang lebih kuat berbicara dalam hatinya.

“Mereka sudah mencampakkan saya, Ibu. Lalu, ketika pada akhirnya mereka sadar bahwa ternyata saya masih bisa berguna, mereka akan memungut saya lagi. Apa gunanya bagi saya? Itu hanya akan membuat saya merasa bahwa saya memang tidak berarti apa-apa. Seolah-olah saya tidak bisa hidup tanpa mereka. Saya tidak mau menjadi manusia seperti itu.

“Kamu masih mencintai Togi? suara ibunya menohoknya.

Jojor terenyak dengan pertanyaan itu. Seolah ia digiring ke satu pojok sempit dan dipaksa membuat pengakuan. Tapi, disingkirkannya perasaannya. Sekarang bukan saatnya bicara cinta. Pun sudah terbukti bahwa cintanya tak bisa mempertahankan mahligai yang sudah dibangunnya bertahun-tahun. Jadi untuk apa segala kepentingan harus dilabur dengan hiasan renda cinta di tepinya?

“Jangan membicarakan itu lagi, Bu. Tidak ada gunanya lagi.

“Itu artinya kamu masih cinta pada dia.

“Tapi, itu bukan berarti saya harus bersedia menjadi keset yang harus diinjak-injaknya setiap kali dia keluar masuk rumah.

“Jor… cinta itu pengorbanan. Dan tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk seseorang yang kita kasihi.
Jojor mengeraskan hati. Baginya itu bukan berkorban, tapi ditumbalkan.

“Kami datang untuk menjemputmu lagi!

Jojor menatap wajah-wajah di hadapannya yang berselimut cemas dan bersaput rasa bersalah. Beberapa wajah itu sangat dihafalnya. Ada ayah dan ibu mertuanya, ups… bekas mertuanya, serta beberapa tokoh adat yang mendampingi mereka. Dan… ada Togi, bekas suaminya, yang tak henti-hentinya menatapnya dengan pandangan ‘aku telah salah, bersedialah kembali ke pelukanku’.

Jojor tak membiarkan seorang pun membaca isi hatinya. Ia ber-usaha terlihat setenang mungkin. Sekarang ia mempunyai posisi tawar yang sangat tinggi, semua keputusan ada di tangannya. Akhirnya, roda hidup itu berputar dan kini gilirannya berada di atas.

Ditatapnya Togi, pergi yang di matanya telah berubah menjadi pecundang yang tak berjuang cukup keras untuk mempertahankan apa yang dimilikinya. Namun, ia masih belum bisa menakar besarnya rasa cinta dan benci yang tersisa di ruang yang sama di hatinya. Masih bisa dirasakannya sakit, karena tercampakkan itu. Sebuah pengkhianatan yang manis!

Cinta itu pengorbanan, Boru! Sekelebat petuah ibunya juga ter-ngiang di telinganya.

Saat ini mereka masih diliputi rasa tegang yang sama. Akankah putri mereka cukup berbesar hati untuk melupakan semua kepahitan yang telah direguknya dan menawarkan telaga pengampunan untuk membasuh kesalahan itu? Atau ia akan berdiri di menara gading keangkuhan dan membiarkan tiap mata memandangnya dengan rasa bersalah karena perbuatannya sendiri?

Jojor membuka mulutnya.

Semua menantikan jawabannya.

No comments: