12.22.2010

DENSEMINA

Harjoyo sangat menikmati saat-saat datangnya kapal. Kapal yang berangkat dari wilayah antar-berantah bernama Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku. Seperti halnya saat ini. Kapal di depan matanya itu bergerak pelan, anggun, indah, membelah ujung paling selatan Samudra Pasifik. Laut tak berombak.

Tidak seperti yang termuat dalam buku ilmu pengetahuan alam, kapal awalnya digambarkan sebagai satu titik hitam di kejauhan yang makin lama menjadi garis vertikal sebelum wujud kapal sesungguhnya terlihat. Bukan. Bukan seperti itu yang ia lihat. Kapal itu terlihat benar-benar seperti kapal pada umumnya. Kapal itu berlayar pelan, sangat pelan, melintasi ujung Tanjung Kayu Batu, sebelum merapat di pelabuhan yang berada di dekat pusat kota. Bahkan, ia bisa melihat orang-orang, para penumpang kapal, yang tampak seperti liliput, bergerak ke sana kemari di anjungan. Sebagian dari liliput itu malah melambai-lambaikan tangan ke arahnya.

Kapal itu besar, kuat, dengan jendela-jendela bundar dan persegi yang berjajar rapi di sisi kiri dan kanan lambung kapal. Ia ingat, bukan kapal semacam itu yang dinaikinya, ketika bertolak ke kampung halamannya di Jawa dulu. Kapal yang dilihatnya kini adalah kapal penumpang yang terbilang baru dan bagus kualitasnya. Sementara kapal yang dinaikinya dulu lebih cocok bila disebut kapal barang, meski ada beberapa buah kabin untuk tempat tidur para penumpang.

Harjoyo membalas lambaian tangan seseorang di atas kapal. Entah siapa. Ada sensasi tersendiri saat melakukan itu. Sepertinya ia tengah menjalin kontak dengan sesosok makhluk luar angkasa.

Tepat pada saat itu telinganya menangkap gelak canda sekelompok wanita. Cepat ia menoleh. Benar saja. Di kejauhan ia melihat serombongan wanita berjalan beriring-iringan menaiki bukit. Para wanita itu membawa masing-masing sebuah keranjang dari anyaman pandan yang mereka kaitkan di atas kepala.

Tiba-tiba ada dorongan spontan bergejolak di dalam dadanya. Minggu lalu ia pernah melihat rombongan yang sama itu melintas di depan rumahnya. Ia tahu persis ke mana tujuan para wanita itu. Mereka akan pergi ke hutan kecil di atas Pantai Base-G untuk mencari kayu bakar. Kini, saat melihat rombongan itu lewat lagi, dorongan-dorongan kuat itu kembali muncul. Dorongan-dorongan kuat untuk bergabung dengan para wanita itu, ke mana pun mereka pergi.

“Itu Mama dan saudari-saudarimu, bukan?” tanya Harjoyo kepada Albert, sambil matanya terus mengawasi rombongan para pencari kayu bakar itu.

“Iyo,” balas Albert, si putra Papua, sahabat masa kecilnya.

Albert bahkan tidak merasa perlu menengok ke arah rombongan wanita itu. Gelak canda mereka yang begitu akrab di telinganya sudah menunjukkan jati diri rombongan itu.

“Dorang mo (mereka mau) cari kayu bakar, ’kan? Apakah menurut-ko (kamu) dorang tidak keberatan kalau sa (saya) ikuti?” tegas Harjoyo.

Albert merasa permohonan sahabatnya itu sangat aneh. Sangat tidak biasa. Tapi, melihat kesungguhan yang terpancar dari wajah sahabatnya, akhirnya ia hanya bisa mengangguk. Meski begitu, ia berusaha keras menutupi rasa herannya. Mencari kayu bakar itu urusan kaum wanita. Selama ini tidak tidak pernah ada dalam kamus sukunya kaum pria pergi ke hutan-hutan menebangi pohon untuk diambil kayunya sebagai kayu bakar. Pria hanya pergi ke hutan untuk berburu, bukan untuk mencari kayu bakar.
Albert hanya mengangguk pelan dan berkata pendek, “Pergilah.”

Harjoyo segera melompat dan berlari, setelah mendapat persetujuan itu. Beberapa saat kemudian ia menghentikan larinya. Ia baru sadar Albert tak ikut bersicepat dengannya. Teriaknya, “Ko tidak ikut?”

Albert menggeleng. Ikut dengan para wanita itu? Mencari kayu bakar? Tidak mungkin. Bisa-bisa kaum lelaki sesukunya akan menertawakannya. Hanya banci yang bersedia ikut. Dan, ia bukan banci.

Meski merasa heran dengan keengganan yang ditunjukkan sahabatnya, Harjoyo tidak menyurutkan langkah. Ia berlari kembali mengejar rombongan wanita pencari kayu bakar itu. Di depannya para wanita yang tengah mendaki wilayah perbukitan itu masih asyik bercanda ria.

Rasanya, hampir seabad lamanya ia tak pernah lari naik dan turun bukit. Dulu, saat masih kecil, ia sering berlari naik dan turun bukit seperti saat ini. Menaiki bukit, kemudian berlari turun membuatnya merasa seperti kijang liar. Kijang liar di hutan raya yang bebas menentukan langkah ke mana pun pergi. Tapi, menapaki bukit kini seolah menjadi pengalaman baru baginya. Dalam sekejap napasnya memburu. Sehingga, ia terpaksa memelankan langkahnya, sebelum dadanya sesak karena kehabisan napas.

Napasnya benar-benar hampir putus, kala ia berhasil melangkah di belakang gadis cilik yang berada di ekor iring-iringan. Si gadis cilik merasa ada sesuatu yang aneh di belakangnya. Ia menoleh ke belakang. Sesaat gadis cilik itu merasa heran dengan sosok asing di belakangnya. Pada saat yang lain diamatinya keringat yang menetes deras dari dahi, hidung dan seluruh tubuh orang asing itu. Si gadis cilik tersenyum malu-malu. Sesaat kemudian, masih dengan senyum malu-malu di wajahnya, ia memalingkan wajah ke arah depan.

Tapi, tak lama. Setelah itu dicondongkannya tubuhnya ke arah depan dan berbisik ke gadis cilik sebayanya yang melangkah satu tindak di depannya. Gadis cilik kedua itu kemudian menoleh ke belakang, melihat si pemuda yang masih sibuk mengatur napasnya, dan kembali lagi menoleh ke arah depan dengan menyimpan senyum di wajahnya.

Dalam sekejap kehadiran orang asing di ekor barisan sudah diketahui seluruh rombongan. Hampir setiap wanita di rombongan itu telah menolehkan kepalanya ke belakang, mencari tahu siapakah si penyusup itu. Tapi, rombongan itu tidak lantas berhenti hanya sekadar untuk menyelidiki kehadiran pemuda itu. Mereka meneruskan langkah dengan tetap bercanda ria. Seolah sosok asing di ekor barisan bukanlah sesuatu yang penting untuk diributkan.

Rasanya, hanya seorang wanita yang memerhatikannya lebih cermat. Orang itu adalah wanita setengah baya yang menyunggi tas anyaman besar di kepalanya. Awalnya wanita itu hanya melihat sepintas ke belakang. Tapi, sesaat kemudian ia sengaja keluar dari iring-iringan untuk memastikan penglihatannya. Setelah melihat ke arah si pemuda dan menyakinkan bahwa dugaannya benar baru lah ia menyapa ramah, “Yoyo?”

Yang disapa melihat ke arah penyapanya. Harjoyo mengamati wanita setengah baya itu dengan lebih cermat. Wanita itu sudah tua betul sekarang. Rambutnya yang dulu hitam dan ikal tebal telah memutih di sana-sini. Dan saat ia tertawa hampir seluruh gigi depannya yang menghitam karena sering menyirih, telah tanggal. Tapi, Harjoyo tak akan pernah melupakan wajah itu, tawa itu. Wajah dan tawa ramah dari ibu kandung Albert.

“Selamat siang, Tanta (tante).”

“Kapan datang dari Jawa?” sapa wanita paruh baya itu.

“Minggu lalu, Tanta.”

“Mau tinggal lagi di sinikah?”

“Ah, tidak mo. Cuma liburan saja.”

Setelah jeda sejenak wanita paruh baya itu bertanya lagi, lebih karena rasa herannya, mengapa pemuda sahabat anaknya itu berada di ekor rombongan. “Ko mau ke mana?”

“Mau ikut Tanta mencari kayu. Bolehkah?”

Wanita paruh baya itu mengangguk kecil sebagai jawabannya. Tentu keikut sertaan pria muda untuk mencari kayu bakar dirasakan aneh oleh seluruh rombongan. Tapi, tak ada alasan untuk menolak kehadirannya. Sementara ada satu-dua wanita di tengah barisan yang berusaha menahan cekikikan. Karena, baru pertama kali inilah ada seorang pria mencari kayu bakar.

Setelah percakapan singkat itu, wanita setengah baya itu kembali ke iring-iringan dan melanjutkan langkahnya. Sementara rombongan sudah sampai di balik bukit. Tapi, masih ada satu bukit kecil lagi untuk didaki. Akhirnya, saat rombongan itu tiba di tempat yang dituju, Harjoyo benar-benar sudah kehabisan tenaga.

Saat itu barulah ia sadar mengikuti dorongan hati begitu saja --bergabung dengan rombongan wanita pencari kayu bakar-- adalah perbuatan konyol. Bayangkan, barusan tadi ia telah berlari menaiki bukit, menuruninya, dan berjalan terengah-engah menaiki bukit yang lain lagi. Kalau dihitung ia sudah menempuh jarak sejauh empat setengah kilometer di lahan terjal berbatu di siang hari bolong pula.

Betapa lelahnya. Betapa hausnya. Betapa menderitanya. Sekaligus betapa malunya jika ia harus mengemis air kepada rombongan wanita itu. Itulah kini yang ia rasakan.

Saat itu pandangan matanya liar mencari-cari sesuatu untuk melepaskan dahaga. Tapi, di hutan kecil itu ia tak menemukan air. Setetes pun tidak. Ia tak putus asa. Ia sengaja berjalan menuruni jalan setapak ke arah pantai. Sekali lagi matanya mencari-cari sumber air yang lain seperti tadahan air hujan di bekas belahan batang pisang atau buah-buah kelapa liar di pohonnya. Tapi, sialnya, ia tak menemukan sumber air, juga buah kelapa liar. Ternyata, tak ada satu pun pohon kelapa yang tumbuh di tempat itu.

Matanya nyalang memandangi sekitar. Hutan itu ternyata terdiri dari deretan pohon-pohon pinang, sagu, juga beberapa pohon matoa dan beraneka macam tanaman rambat. Tapi, tak ada pohon pisang juga pohon kelapa yang tumbuh di sana. Celaka dua belas. Pemuda itu mengumpat dalam hati.

Sementara itu para wanita yang tadi berjalan bersamanya tengah sibuk mengerumuni batang pohon matoa yang tergeletak di atas tanah. Minggu lalu para wanita yang sama itu sepakat menebang sebuah pohon matoa yang telah berusia lanjut. Setelah menebangi seluruh ranting-ranting dan membawanya pulang, mereka meninggalkan satu pokok batang matoa yang lumayan besar di sana. Batang matoa yang sama inilah yang kini mereka kerumuni. Batang matoa itu perlu dibelah-belah terlebih dahulu, sebelum bisa dimasukkan ke keranjang anyaman pandan, sehingga gampang untuk dibawa pulang.

Para wanita itu ternyata sudah terbiasa dengan parang dan, luar biasanya, terampil betul menggunakannya. Parang yang besar dan panjang itu maksudnya. Parang yang umumnya hanya dipakai oleh kaum pria. Beramai-ramai mereka membelah bonggol matoa dengan parang menjadi potongan-potongan kecil, sebelum memasukkannya ke dalam keranjang anyaman yang mereka bawa.

Tak jauh dari sana, dua gadis cilik yang tadi berjalan di ekor barisan sibuk bermain-main. Permainan yang paling mereka sukai adalah bergulingan di hamparan rumput liar sambil memandangi puluhan kupu-kupu. Sementara para ibu mereka telah memasukkan masing-masing lima sampai tujuh potongan kecil kayu matoa ke dalam keranjang-keranjang kecil milik mereka. Nantinya keranjang-keranjang kecil berisi potongan-potongan kayu itu akan mereka angkut dan bawa pulang. Sungguh. Benar-benar tak ada tenaga yang dibiarkan menganggur di tempat itu.

Tapi, itu masih nanti. Saat menunggu, keduanya sibuk mengejar kupu-kupu yang beterbangan di sekeliling hutan. Ada puluhan kupu-kupu hutan yang bagus bentuknya. Kupu-kupu hutan yang menambah keindahan hutan Papua yang sudah kaya dan indah itu.

Secara tak sengaja kedua gadis cilik itu berlari ke tempat Harjoyo berada. Pemuda kota ini tengah duduk di atas rerumputan dengan lidah setengah menjulur keluar. Saat itu tak terlintas dalam benaknya untuk membantu para wanita menebangi kayu. Kalaupun ingin membantu, hal itu tak mungkin dilakukannya. Rasa haus dan letih membuatnya hanya bisa bersandar di sepokok pohon sagu, sambil bernapas panjang pendek.

Kedua gadis cilik itu tertawa cekikikan, mengamati Harjoyo yang tengah sibuk mengatur napas. Tapi, tunggu dulu. Rasanya ada yang aneh. Harjoyo cepat melihat ke arah para wanita yang tengah sibuk menebangi kayu. Ia tak melihat tanda-tanda adanya botol minum atau tabung berisi air. Tidak ada. Jadi? Mereka ternyata tak membawa bekal minuman. Ini gila. Pikirnya. Ini benar-benar gila.

Kedua gadis cilik itu memandang ke arah Harjoyo dengan senyum malu-malu. Sebelum beranjak pergi, keduanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda heran. Kemudian, keduanya berlari mendapati ibu mereka yang tengah sibuk bekerja di dekat bonggol matoa. Keduanya saling berbisik, menyampaikan sesuatu, entah apa, kepada para wanita di sana.

Sejak tadi ada seorang gadis muda yang terus mengawasi Harjoyo. Ia tahu pemuda itu kehausan. Tapi, ia tak mungkin meninggalkan parangnya begitu saja. Setelah membelah-belah pokok pohon matoa sebanyak yang bisa diangkutnya, segera diletakkannya parangnya di atas rerumputan. Dan dengan langkah pasti, didekati­nya pemuda itu.

Harjoyo mendapati seorang gadis muda berjalan di dekatnya. Gadis itu begitu muda. Tubuhnya tinggi dan kuat. Umurnya mungkin enam belas tahun. Matanya yang besar dan jernih memandang lurus ke arahnya.

Harjoyo belum mengucapkan sepatah kata pun. Belum sempat. Saat gadis muda itu membungkuk ke tanah. Ia sibuk mengamati ilalang yang banyak tumbuh di sana dengan cermat dan teliti. Ilalang itu ilalang biasa. Bentuk daunnya lurus, kecil dan panjang.

Dengan cekatan gadis muda itu menarik satu daun ilalang di bagian tengah, bagian yang paling muda. Warna daun muda itu hijau kekuningan. Lantas, dibawanya batang ilalang muda itu ke arah Harjoyo. Harjoyo terpana. Ia tak mampu menduga apa pun atas perbuatan yang tengah dilakukan gadis muda itu.

“Isap di sini,” kata gadis muda itu, sambil menjulurkan batang ilalang muda kepada Harjoyo.

Harjoyo hanya bisa melongo. Ia tak siap dengan yang baru terjadi di depan matanya. “Apa?”

“Ada air di sini,” kata si gadis, sambil meyakinkan pemuda itu.

Mata gadis itu mengarah persis ke pangkal batang ilalang muda. Di situlah letak tetes air itu tersimpan.

Spontan diambilnya helai daun yang diulurkan gadis muda itu. Dibawanya pangkal daun ilalang itu ke mulutnya dan segera diisapnya dengan rasa ingin tahu yang sangat. Ajaib. Ternyata ada setetes air di sana, persis seperti yang dikatakan gadis muda itu.

Oh, air kehidupan. Pemuda itu segera bangkit dari duduknya dengan harapan baru memenuhi dadanya. Sementara si gadis sudah kembali ke pokok pohon matoa, pemuda itu sibuk mencabuti helai-helai daun ilalang muda dan mengisap tetes demi tetes air dari sana.

Bau laut yang begitu segar menerpa hidungnya. Bau laut yang sama yang selalu hadir dalam kesehariannya di masa kecil dulu. Bau itu membangkitkan kerinduannya untuk menikmati pantai, berjalan-jalan, berenang, bergulingan di sana. Apa saja. Dan Harjoyo tahu. satu-satunya tempat yang bisa memuaskan kerinduannya. Pantai Base-G. Meski lebih dari satu dekade tak menjejakkan kaki ke tempat ini, ia bisa membayangkan setiap jengkal pantai ini. Betapa pasir yang putih bersih, begitu lembut ketika dijejak. Juga airnya. Airnya putih transparan dan perlahan berubah kebiruan di sisi luarnya. Meski pantai ini merupakan bagian dari lautan teduh tapi ombaknya tidaklah ganas.

Harjoyo cepat-cepat menutup buku besar milik ibunya. Diliriknya jam dinding. Masih pukul sepuluh pagi. Selama seminggu penuh sejak kepulangannya, ibunya telah memintanya membereskan administrasi perusahaan. Ibunya adalah pemborong besar. Beliau sering mendapatkan proyek dari pemerintah untuk merenovasi jalan, jembatan, atau pengaspalan jalan. Sebagai pengusaha, ibunya tahu betul memanfaatkan siapa saja. Karenanya, tak heran saat putranya pulang, ia melihat sang putra sebagai tenaga tambahan yang perlu segera dikaryakan.

Harjoyo menggeliat. Capek juga sepagian menghitung ulang perencanaan pembangunan rumah sakit militer di Dosai. “Besoklah kuteruskan urusan hitung-menghitung ini. Sebaiknya aku pergi ke rumah Albert sekarang. Siapa tahu, dia mau kuajak berenang ke Pantai Bes-Ji.”

Harjoyo melihat keluar, menembus jendela kaca ke arah permukiman nelayan di belakang rumah ibunya. Kampung, baru, wilayah kediamannya, sudah banyak berubah. Di belakang rumah ibunya, telah berdiri puluhan rumah panggung milik para pendatang. Rumah-rumah panggung itu dibangun berimpitan satu sama lain.

Diamatinya puluhan rumah pangung yang belum sebanyak itu, saat ia pergi dulu. Begitu padat. Begitu kumuh. Tapi, ia tak akan pernah lupa jembatan kecil yang menuju rumah Albert. Jembatan itu ada di sana. Rumah itu pun tetap ada di sana.

Rumah sahabatnya berada di luar impitan perumahan para pendatang. Setelah sekian tahun berlalu, rumah tua itu masih tetap seperti saat Harjoyo pergi. Dinding-dinding rumahnya yang hanya separuh masih tetap seperti itu. Berandanya juga sama saja. Masih seperti dulu, separuh kayunya telah lepas-lepas. Demikian juga perabotan yang ada di dalamnya. Masih sama. Tungku masaknya yang hanya dialasi selembar seng tua, masih berada di sudut yang sama pula.

Saat melongokkan kepalanya ke dalam rumah yang hampir tak memiliki perabotan itu, pandangan matanya tertuju pada potongan-potongan kayu matoa yang ditumpuk di dekat tungku. Itu adalah tumpukan potongan kayu matoa yang baru diambil oleh para wanita tempo hari. Di depan tungku, membelakangi pintu, seorang wanita tengah memasak. Entah siapa.

Ia baru berada di tempat ini selama seminggu. Tak mungkin menghafal atau menebak jati diri seseorang, hanya dengan melihat sosoknya dari belakang. Karenanya, ia sengaja batuk-batuk beberapa kali untuk menunjukkan kehadirannya. Batuknya mengundang perhatian wanita di depan tungku itu. Wanita itu menoleh.

Harjoyo langsung menangkap tatapan mata besar dan jernih dari seorang gadis muda. Ingatannya berputar cepat ke hutan kecil di atas bukit. Gadis ini adalah gadis yang memberinya sebatang ilalang muda di hutan kecil tempo hari.

Gadis muda itu terkesiap. Sepertinya ia tidak siap bersua dengan orang asing yang dulu ditolongnya. Segera ia memalingkan pandang ke arah tungku kembali. Ada rona merah terpancar di wajahnya sebelum ia berpaling itu.
Harjoyo tidak membuang-buang kesempatan.

“Nona, Albert ada di rumahkah?”

Gadis muda kembali menoleh ke arah Harjoyo. Bukannya menjawab langsung pertanyaannya, ia justru menunjuk ke suatu arah, arah laut. Katanya singkat, “Kaka di sana.”

Harjoyo mengangguk, sambil mengikuti arah yang ditunjukkan gadis tersebut. Sesaat kemudian gadis muda itu sudah kembali menekur di depan tungku. Apa boleh buat. Tak ada yang bisa diperbuat pemuda ini, kecuali melangkah perlahan melewati ruang dalam yang tembus langsung ke beranda belakang. Di bagian paling belakang ini –seperti umumnya rumah para nelayan di sana- ada sebuah teras kecil atau semacam itulah. Teras ini punya beragam fungsi, bisa difungsikan sebagai tempat nongkrong di sore hari menikmati senja, juga sebagai tempat menambatkan kapal.

Saat sampai di sana Harjoyo baru sadar, tak ada siapa-siapa selain dirinya. Apakah gadis muda tadi berbohong? Rasanya, tidak juga. Karena, gadis itu dengan jelas menunjuk ke arah sini. Lantas, di manakah Albert?

Saat itu mentari bersinar dengan garang, seolah hendak menghanguskan apa saja. Laut meti (surut) sehingga menyingkap kekayaan dasar laut yang kini terbuka untuk dijelajahi. Sejauh mata memandang hanya dasar laut yang tampak. Dasar laut yang diawali dengan hamparan lumpur lembek kecokelatan di bagian pinggirnya dan berubah menjadi kelompok-kelompok karang di bagian tengahnya. Lumpur itu tampak menjijikkan, karena membuat air laut menjadi berwarna coklat muda. Tapi, sesungguhnya di dalamnya tersimpan kekayaan tersendiri.

Dulu ia pernah melihat seorang nelayan, seorang pendatang dari Buton, asyik mencangkul di tengah lumpur cokelat, saat laut meti. Rasa ingin tahunya bangkit. Apa yang dicari nelayan di tengah lumpur menjijikkan itu? Tapi, rasa penasarannya segera terjawab, saat nelayan tersebut menarik sejenis makhluk laut berwarna kemerah-merahan ke permukaan.

Uh, betapa menjijikkannya. Sekaligus betapa memesonanya. Baru pertama kali dalam hidupnya ia menyaksikan cacing laut. Cacing laut yang panjang dan kemerahan itu menggeliat-geliat di tangan si nelayan.

Laut benar-benar meti. Sehingga, kalau mau, seseorang bisa berjalan kaki melewati dasar laut yang terbuka sampai ke kantor gubernur yang berada di sisi pantai yang satunya.

Saat sedang asyik menyusuri dasar laut dengan matanya, Harjoyo menangkap sosok yang tidak asing lagi baginya. Albert. Sahabatnya itu sedang mengaduk-aduk sesuatu di dasar laut. Apa yang sedang dikerjakan Albert di sana? Apakah ia sedang mencari cacing laut?

Apa boleh buat. Ia tak mungkin menunggu sahabatnya di teras belakang sendirian. Sesaat kemudian digulungnya celananya dan ditanggalkannya sandalnya sebelum masuk ke dasar laut berlumpur. Segera saja kakinya terbenam ke dalam lumpur sampai ke atas mata kaki. Betapa menjijikkan. Sekaligus, betapa anehnya. Lumpur itu sangat lembek, persis seperti adonan roti kebanyakan air.

Pantai Base-G sebenarnya hanya berada di balik bukit itu. Tapi, betapa bedanya Pantai Base-G dari pantai di wilayah Kampung Baru ini. Dasar pantai ini benar-benar terdiri dari lumpur lembek yang penuh dengan cacing laut. Pantai yang benar-benar jorok. Cocok dengan sebagian besar penghuninya yang memilih hidup dengan jorok pula.

Albert sedang asyik memeriksa setiap jengkal dasar laut dengan ketelitian seperti yang dimiliki seorang ilmuwan di laboratoriumnya. Ia melongok ke setiap sudut karang, juga ke ceruk-ceruk kecil yang terdapat di sana. Tapi, benda, atau lebih tepatnya hewan laut, yang dicari belum diperolehnya.

“Sedang apa, Sobat?”

Albert mendongak ke arah datangnya suara. Senyum lebar meng­hiasi wajahnya. “Ho… ho…, Anak Jawa. Berani juga ko kemari, ya?”

Harjoyo menyahut riang, seriang sapaan sahabatnya. “Apa yang harus ditakuti? Dulu juga setiap minggu kitorang kamari. Masih ingat?”

Albert tertawa ngikik mengingat masa kecilnya bersama pemuda pendatang ini. Dulu tak ada hari terlewat tanpa bergumul, berenang, menyelam, mengaduk-aduk laut, bagi keduanya. Herannya, dulu itu laut tidak sejorok dan semenjijikkan seperti saat ini.

“Ha…ha…ha.... Betul juga.”

Setelah benar-benar berada di sebelah sehabatnya, Harjoyo mengu­langi lagi pertanyaannya, “Sedang cari apa?”

“Ko masih ingat ikan lembek yang ko pegang dulu?”

Harjoyo berusaha keras memutar ingatannya ke masa kecilnya. Seingatnya, ia sering sekali ke tempat ini. Jauh di masa lalu, lebih dari dua belas tahun lalu. Saat sedang asyik mengamati ikan-ikan kecil yang terperangkap di ceruk karang-karang, tangannya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang terasa lembek, berwarna cokelat kehitaman, berdenyut-denyut dan menempel di dasar karang.

“Ih, ikan apa ini?” teriak Harjoyo spontan, melihat hewan laut yang baru pertama kali ditemuinya.

Albert mengamati ikan itu. ”Ini ikan lembek. Tak bisa dimakan.”

Maka, hewan lembek itu selamat dari jangkauan tangan kedua bocah cilik yang saat itu juga segera berlalu dari sana. Tapi, kesejahteraan ikan lembek itu akan segera berubah, seiring dengan permintaan yang datang dengan deras dari wilayah barat Indonesia. Saat ini ikan lembek yang tidak enak dimakan itu justru dicari-cari orang. Karena, ikan-ikan lembek ini merupakan salah satu bahan makanan utama di restoran-restoran Cina terkemuka di dunia.

Beberapa tahun terakhir para nelayan tradisional seperti Albert bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan mencari ikan lembek alias teripang. Ada seorang pengepul, pendatang dari Pulau Buton, yang biasa membeli teripang-teripang hasil tangkapan para nelayan. Harga jual teripang sangat mahal, terlebih dalam keadaan kering.
Bila sedang beruntung, ia bisa mengumpulkan teripang-teripang kelas satu yang harga per kilonya saja dua ratus lima puluh ribu. Sayangnya, jalan satu-satunya untuk mengumpulkan teripang adalah dengan mencarinya di habitat aslinya. Karena, teripang belum bisa dibudidayakan. Terutama, teripang-teripang kelas satu yang habitat aslinya jauh di wilayah-wilayah terpencil.

“Ikan lembek yang dulu itu? Teripang maksud ko?”

“Itulah. Itulah yang sa sedang cari.”

Albert kembali asyik dengan pencariannya. Saat sedang asyik-asyiknya membalik karang-karang, ia memaki sendiri, “Gila benar kamorang pendatang. Kamorang makan apa saja.”

Harjoyo meringis saat Albert menyebutnya sebagai pendatang. Memang penduduk asli seperti Albert biasa menyebut para perantauan yang tinggal di Pulau Papua sebagai pendatang. Tidak peduli apakan para perantau itu orang-orang dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, atau Maluku. Semuanya disebut sebagai kaum pendatang. Para warga keturunan Cina yang bermukim di wilayah ini pun masuk ke dalam kelompok ini.

Harjoyo tergelitik geli dengan istilah yang dilontarkan Albert tadi. Karena, sebenarnya Albert sendiri bukanlah penduduk asli daerah ini. Ia dan keluarga besarnya adalah para perantau yang datang dari Pulau Yapen. Bila dilihat dari kacamata suku Kayu Batu yang adalah penduduk asli wilayah ini, Albert sebenarnya bisa dikategorikan sebagai pendatang pula.

Tapi, bukan soal pendatang dan bukan pendatang yang memenuhi benak Harjoyo. Saat ini ia tengah mengukur jarak antara tempat Albert mencari ikan lembek dan permukiman penduduk. Jarak kedua tempat itu tak sampai dua ratus meter. Ia berpikir keras. Apakah di dekat permukiman padat penduduk seperti ini, masih bisa ditemui hewan mahal seperti teripang?

Meski begitu, ia tak segera memberitahukan perhitungannya. Bukannya memberi tahu, ia justru ikut-ikutan mengintip ke balik batu karang, siapa tahu masih ada sisa-sisa ikan lembek yang hidup di sana. Kenyataannya? Persis seperti yang diperkirakannya. Sesiangan ini keduanya tak menemukan seekor pun teripang. Gila apa? Apa para pendatang di sana itu rela membiarkan harta karun tergeletak begitu saja di depan matanya?

Saat mentari condong ke arah barat air mulai mengisi dasar laut yang terbuka. Permukaan laut perlahan-lahan meninggi dan terus meninggi. Tanpa dikomando dua pemuda itu kembali menapaki lumpur menuju beranda belakang rumah Albert.

Saat itu hampir seluruh keluarga besar Albert berada di rumah. Ia menyempatkan diri bertegur sapa dengan kedua orang tua Albert. Tapi, matanya terus mencari-cari gadis muda yang tadi ditemuinya sedang duduk di depan tungku. Siapakah gadis itu? Mengapa ia memanggil ’kaka’ kepada Albert? Setahunya Albert itu anak bungsu. Sayangnya, saat itu ia tak menemukan sosok gadis muda itu di sana. Dan merupakan suatu usaha yang berlebihan untuk menanyakannya kepada Albert. Tidak saat ini.

Hari masih pagi ketika rombongan kecil itu sampai ke Pantai Base-G. Air laut sedang penuh-penuhnya, sehingga merendam hampir separuh pantai. Harjoyo berkacak pinggang tidak percaya. Bayangkan, lebih dari dua belas tahun ia meninggalkan Jayapura. Kini, sepenggal surga bernama Pantai Base-G itu seolah tak tergerus oleh waktu. Pantai ini masih tetap seperti dulu, bersih dan asri. Bahkan, airnya yang putih jernih itu tetap sama. Tetap putih dan jernih. Sehingga, seseorang bisa melihat dengan jelas ikan-ikan yang tengah berenang-renang dengan lincah di sana.

Harjoyo memandangi pantai sepuas matanya bisa melahap. Dengan rakus dijelajahinya setiap jengkal pantai dan merekam semuanya sepenuh ingatannya bisa menyerap.

Dipandangnya ujung pantai yang satu ke ujung yang lain. Ujung pantai di sisi kiri adalah batas awal tempat terlihatnya kapal-kapal yang datang dari wilayah barat Indonesia. Kata orang, ombak di wilayah ini lebih kecil. Tapi, arus airnya jauh lebih kuat. Di bagian ini pulalah biasanya wisatawan-wisatawan lokal yang tidak waspada hanyut berbawa arus. Sehingga, tahu-tahu mereka sudah berada di tengah laut dan hilang digulung ombak. Sementara sisi satunya yang ombaknya lebih besar justru arusnya tidaklah deras. Bagian sisi kanan ini diakhiri oleh batu karang besar.

Sebenarnya, di balik batu karang besar masih ada sepenggal pantai lagi. Karena letaknya yang tersembunyi dan sedikit gelap, hanya sedikit pelancong yang mengunjungi tempat ini.

Harjoyo tidak tahan lagi. Ia langsung menceburkan diri ke dalam air. Uh, sejuknya. Ingatannya kembali mengingat ke kota tempatnya menuntut ilmu, Surabaya. Kalau dibandingkan dengan Pantai Kenjeran yang ada di kotanya yang begitu banyak sampah, maka pantai ini benar-benar seperti sepotong surga di bumi.

“Hei… mau main gulung ombak?” tiba-tiba saja Albert sudah mengapung di sebelahnya.

“Apa bisa? Airnya penuh begini.”

“Kitorang coba, to.”

Kedua pemuda itu sudah menginjak usia dewasa kini. Harjoyo sudah tumbuh sebagai seorang pemuda dua puluh dua tahun dengan tubuh tinggi besar. Sementara Albert yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya terlihat tumbuh kekar dan berotot. Persoal­annya, apakah mungkin keduanya bermain permainan yang hanya cocok dengan tubuh kanak-kanak?

Hanya saja tawaran untuk bermain gulung ombak membuat jiwa kanak-kanak keduanya muncul lagi. Sebenarnya, permainannya sederhana saja. Setiap anak bersiap di pinggir pantai, mengawasi datangnya ombak terbesar yang bakal datang. Ombak itu biasa muncul di antara kemunculan ombak-ombak kecil. Saat raja ombak itu datang, anak-anak yang telah bersiap di pinggir pantai berlari sekencang-kencangnya dan terjun ke ombak besar itu, sebelum ombak menyentuh bibir pantai. Kemudian? Betapa asyiknya berada di dalam ayunan gelombang dengan tubuh bergelung seperti bola. Ombak ini akan mengayunkan anak-anak tersebut dan melemparkannya ke tepi pantai. Sungguh permainan yang menyenangkan dan menantang.

Tanpa pikir panjang keduanya berdiri berjajar di bibir pantai menanti kedatangan raja ombak. Saat ombak besar itu muncul, keduanya berlari sekencang-kencangnya dan terjun ke dalam perut ombak persis seperti yang mereka lakukan saat kecil dulu.

Hanya, ada satu hal yang dilupakan keduanya. Tubuh dua pemuda ini sudah tumbuh tinggi dan besar. Sehingga, ombak dengan kekuatan yang sama itu tak mampu melontarkan keduanya, sekuat seperti ketika mereka masih kanak-kanak.

Saat telah terdampar di pantai keduanya tertawa terbahak-bahak. Benar-benar permainan yang tidak asyik lagi. Maklum saja, ombak besar itu hanya mampu melempar mereka dengan gerakan lemah lembut. Persis seperti penari Jawa yang tengah melemparkan selendangnya ke udara dalam suatu pergelaran tari.

Albert menggerutu keras-keras. “Ombak loyo. Ha...ha...ha....”

“Bukan ombaknya yang loyo. Kitorang saja yang sudah terlalu besar untuk ombak ini,” Harjoyo mengoreksi Albert.

Tak jauh dari dua pemuda itu bermain ombak seorang gadis remaja sedang asyik bermain dengan dirinya sendiri. Gadis muda itu sibuk mencari-cari sesuatu di pantai. Saat mentari makin tinggi dan laut makin surut, sehingga dasar laut makin terbuka, gadis itu dengan leluasa menikmati kekayaan dasar laut yang tersaji di hadap­annya. Inilah saat yang tepat untuk berburu.

Gadis remaja itu sibuk mencari-cari keong untuk menambah koleksi pribadinya. Sudah lama ia mengumpulkan berbagai macam keong yang indah-indah bentuknya. Matanya awas mengamati dasar laut, menembus air yang begitu jernih. Lama ia menyelidik ke sana kemari, membalik karang-karang, juga menyingkirkan karang dengan kakinya.

Penyelidikannya berhasil. Di suatu ceruk, jauh tersembunyi di balik batu karang, gadis bermata jernih ini menemukan benda yang menarik hatinya. Segera ia menunduk dan meraih benda yang dimaksud. Dengan sekali hentak benda itu terenggut dari sana. Segera setelah itu ia kembali ke pantai. Diamat-amatinya benda yang baru diperolehnya.

“Oh, keong yang besar dan indah. Ini adalah keong paling indah yang pernah sa dapat.”

Keong di tangan gadis itu berwarna hitam dengan ukiran cokelat muda di punggungnya. Bila diperhatikan lebih seksama ukir-ukiran itu berpola sedemikian rupa, sehingga tampak seperti sepotong kain batik.

Harjoyo menoleh ke tempat gadis remaja itu berada. Dilihatnya gadis itu tengah melompat-lompak kegirangan. Entah oleh sebab apa. Kembali rasa ingin tahu mengusik hatinya. Siapakah gadis muda itu? Sejak kali pertama melihatnya ada keinginan yang sangat besar di hatinya untuk menguak jati diri gadis itu. Tapi, selama ini kesempatan itu belum terbuka baginya. Kali ini kesempatan itu datang begitu saja. Kesempatan yang tak ingin dibuangnya begitu saja.

“Siapa anak perempuan yang di sana itu? Yang berangkat dengan kitorang tadi?”

Pandangan matanya melihat lurus ke arah gadis muda itu.

Albert mengikuti arah pandangan Harjoyo. Kemudian ia menyahut singkat, “Sa pu ade (adik saya).”

“Ko pu ade? Ade kandung? Bukankah ko anak bungsu?”

Harjoyo tidak percaya dengan yang baru didengarnya barusan. Karena, saat ia berangkat ke Jawa, setahunya Albert tak punya adik seorang pun.

Albert maklum dengan keterkejutan sahabatnya. Katanya lagi, lebih untuk menjernihkan kebingungan sahabatnya. “Ade lahir waktu ko sudah di Jawa.”

“Oh, pantas sa tidak pernah ketemu.”

Sesaat kemudian Albert berteriak-teriak memanggil gadis muda itu. Air laut mulai meti lagi. Sebagian dasar laut mulai terbuka. Sudah waktunya pulang.

Gadis itu segera mendekat. Setelah adiknya berada di dekatnya Albert langsung memerkenalkannya kepada sahabatnya. “Ini Densemina.”

Hanya itu. Tapi, sebelum Harjoyo sempat menyebutkan namanya, Albert malah mengakhiri perkenalan singkat itu dengan menunjuk benda asing di tangan adiknya. Benda itu berbentuk oval dan sedikit lebih besar dari kepalan tangan. Yang menarik adalah motifnya. Di matanya, motifnya berkelok-kelok, persis seperti Teluk Yotefa.

Sebelum Albert menyuarakan kekagumannya, gadis muda itu sudah menunjukkan benda aneh itu kepada sang kakak. “Lihat, Kaka. Ini keong bagus.”

Dibukanya telapak tangannya. Dipamerkannya keong bermotif ukiran itu kepada kakaknya. Terlihat benar betapa gadis muda itu bangga dengan keong cantik yang baru didapatnya. Keong itu dibolak-baliknya untuk menunjukkan keelokannya. Tatapannya kepada si kakak begitu manja. Dan betapa elok melihat perhatian si kakak yang begitu penuh kepada adik semata wayangnya.

“Simpan bae-bae, A.”

“Bae, kaka.”

Ditangkupkannya kedua telapak tangannya sebagai gerakan menyimpan benda berharga itu.

Mentari mulai memancarkan cahayanya dengan ganas. Laut teramat meti kini. Tanpa dikomando rombongan kecil itu beranjak pulang.

Harjoyo menyadari satu hal, ketertarikannya yang sangat terhadap gadis itu. Ketertarikan itulah yang mendorongnya untuk selalu ingin pergi ke rumah panggung tempat Albert dan keluarganya tinggal. Sore itu ia memutuskan untuk sekali lagi menemui Albert. Maksudnya melalui Albert, siapa tahu, ia bisa bersua Densemina di sana.

Waktu itu mentari telah lama condong ke arah barat. Cahaya mentari yang lembut berwarna keperakan jatuh ke permukaan laut, membentuk bintang-gemintang persis seperti pendar nyala kembang api. Sementara permukaan air laut makin lama makin tinggi dan perlahan-lahan menelan bibir pantai.

Harjoyo menyadari satu hal, ketertarikannya terhadap gadis itu. Ketertarikan itulah yang mendorongnya untuk selalu ingin pergi ke rumah panggung tempat Albert dan keluarganya tinggal. Sore itu ia memutuskan untuk sekali lagi menemui Albert. Maksudnya melalui Albert, siapa tahu, ia bisa bersua Densemina di sana.

Waktu itu mentari telah lama condong ke arah barat. Cahaya mentari yang lembut berwarna keperakan jatuh ke permukaan laut, membentuk bintang-gemintang persis seperti pendar nyala kembang api. Sementara permukaan air laut makin lama makin tinggi dan perlahan-lahan menelan bibir pantai.

Saat menjejakkan kaki ke rumah Albert, ia langsung memperoleh yang diidam-idamkannya. Densemina ada di sana. Gadis itu berada di beranda depan tengah mengerjakan sesuatu.

Gadis itu menurunkan sesuatu, sesuatu yang diangin-anginkan dan bergelantungan seperti tali, dari bawah atap rumah. Entah mengapa, Harjoyo merasakan hatinya bersorak saat melihat gadis itu. Serasa ada gelombang hangat bergejolak di dalam sana.

Ia tertegun sejenak. Setelah gadis itu berada di depan matanya, apa yang akan dilakukannya kini? Tapi, sesaat kemudian ia memilih untuk duduk di depan gadis yang tengah asyik berjongkok dan sibuk dengan tali-temalinya.

Mereka belum lama berkenalan. Meski beberapa kali ia mengunjungi rumah ini, waktunya selama berada di sini selalu dihabiskannya bersama Albert. Karenanya, ia berusaha bersikap sesantai mungkin, agar gadis itu tidak takut akan kehadirannya. Pada saat yang sama ia berusaha keras mencari cara untuk mencairkan kebekuan di antara mereka.

Untunglah Densemina bukanlah gadis pendiam. Setidaknya, saat melihat sahabat kakaknya duduk di depannya, ia mempersembahkan senyum manisnya. Harjoyo tercekat menyambut kehangatan yang terpancar dari gadis itu. Senyum manis itu melumerkan kebekuan di antara mereka.

“Bikin apakah?” sapa Harjoyo, membuka kata.

“Bikin keranjang,” jawabnya.

Dengan cekatan jari-jemarinya mengatur sulur-sulur panjang dari pandan hutan yang telah beberapa hari ia angin-anginkan. Setelah sulur-sulur itu terjajar rapi, ia mulai menganyam. Mulanya anyaman itu berbentuk jajaran-genjang sederhana. Kemudian, jajaran-genjang itu makin lama makin melebar dan terus melebar.

Dengan leluasa Harjoyo memerhatikan gadis muda yang tengah sibuk menganyam keranjang. Ingatannya berkeliaran jauh, ke kampusnya di Surabaya dan berhenti pada satu sosok, Nastiti.

Diperhatikannya gadis yang duduk di depannya sekali lagi. Gadis ini jauh berbeda dari Nastiti, kembang kampus yang banyak dikagumi mahasiswa. Nastiti bertubuh tinggi semampai dengan rambut hitam kelam lurus sebahu. Sementara Densemina justru kebalikannya. Rambut gadis ini keriting. Sedemikian keriting­nya sehingga helai-helai rambutnya seolah menempel di kepalanya seperti helm.

Sekali ia pernah melihat Dense menyisir rambutnya. Rasanya, untuk rambut yang terlampau ikal semacam itu, tak ada satu pun sisir buatan pabrik yang cocok. Dilihatnya gadis itu memakai sisir buatan sendiri. Itu sejenis sisir dari bambu berjari lima. Albert pun memakai sisir yang sama. Tentu saja dengan sisir semacam itu, dan rambut seikal itu, yang bisa dilakukan adalah hanya mencungkil-cungkil rambut sehingga kelihatan seperti gundukan yang lebih besar dari gundukan sebelumnya. Itu saja.

Tapi, herannya, di mata Harjoyo, rambut Dense yang seperti helm itu justru menambah kecantikan wajahnya.
Apa lagi perbedaan gadis ini dengan Nastiti? Warna kulit tentu. Warna kulit Nastiti kuning cemerlang, persis seperti kulit buah duku. Maksudnya, kuning langsat. Diam-diam diperhatikannya kulit gadis di depannya. Kulitnya gelap. Ya, gelap. Bukan gelap seperti lokomotif kereta zaman dulu. Kulitnya gelap seperti kulit buah salak yang terlampau matang.

Selebihnya? Yang terlihat di hadapannya justru kelebihan gadis itu. Kelebihan gadis ini banyak sekali. Hidungnya mancung, bulu matanya melengkung indah. Sementara kehangatan yang terpancar dari mata, tawa serta senyumnya, benar-benar menyimpan kecantikan tersendiri. Kecantikan misterius yang justru tak disadari pemiliknya.

Hal-hal mendasar inilah yang membedakannya dari Nastiti. Nastiti sadar betul dirinya cantik. Ia sadar betul dirinya pintar. Gabungan antara kecantikan dan kepintaran yang dimilikinya membuat dirinya terlalu sadar diri, sehingga justru terkesan angkuh.

Sehingga, bagi Harjoyo, lebih baik menghindar berdekatan dengan gadis yang terlampau angkuh seperti Nastiti. Meskipun, beberapa teman mengatakan, satu-satunya pria yang membuat Nastiti tak terlampau menonjolkan diri bila berdekatan, hanya dirinya. Tapi, sejauh ini ia lebih suka menghindari gadis itu.

Sekali lagi ia mencuri pandang kepada gadis yang tengah mengerjakan anyaman di depannya. Berbeda dari Nastiti yang ingin dijauhinya, kehangatan dan keluguan gadis ini justru menjadi magnet tersendiri, sehingga membuatnya selalu ingin mendekat.

“Boleh sa bantu?”

Harjoyo tergelitik melibatkan diri dalam proses anyam-menganyam, setelah melihat Dense membuat silangan di sana-sini. Kelihatannya mudah.

Gadis itu tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meski begitu, diulurkannya juga pekerjaannya kepada pria muda di depannya. Setelah itu Dense memberinya petunjuk membuat silangan-silangan yang benar kepadanya.

“Yang ini masuk ke sini. Lalu, yang ini keluar dari sini. Gampang, Kaka.”

Saat proses belajar-mengajar tengah berlangsung, tanpa sengaja tangan keduanya bersentuhan. Hati Harjoyo bergetar lagi. Tangan gadis ini, pikir Harjoyo, begitu kasar. Tipe tangan pekerja. Pikirnya lagi, berarti telah banyak kali ia pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Telah banyak kali ia menjelajah pinggiran pantai untuk mendapatkan pandan hutan. Telah banyak kali pula tangan-tangan kasar ini menghasilkan keranjang anyaman.

Di teras belakang Albert dan beberapa sepupunya tengah menyiapkan perlengkapan untuk melaut. Ia telah menyiapkan jaring dan pancing serta menaruh sebuah lampu petromaks ke dasar perahu. Kini ia tinggal mengatur bahan-bahan makanan ke dalam keranjang dan kompor kecil yang akan diisinya dengan minyak tanah. Bahan makanan adalah amunisi utama yang tak boleh ketinggalan. Karena, seperti biasa, mereka akan melaut sampai ke perbatasan dengan negeri tetangga, Papua Nugini. Untuk itu awak perahu perlu asupan makanan yang cukup, karena mereka baru akan kembali esok sore.

Saat tengah asyik mempersiapkan segala sesuatu, ia menyempatkan diri melihat ke beranda depan. Sahabat dan adik perempuannya sedang berada di situ. Ia menarik napas panjang untuk dua hal yang melintas dalam pikirannya. Ada dua bentuk pikiran, yang sama sekali tak berhubungan, berlompatan dan saling menunjukkan diri untuk mengada. Sekembalinya dari Jawa, di matanya, sahabatnya itu terkesan terlalu lembut.

Bayangkan, pada minggu pertama saja ia sudah sibuk mengikuti para wanita mencari kayu bakar. Seminggu kemudian ia asyik berkutat dengan adik bungsunya membuat cakalang bakar dan sambal terasi di atas tungku sederhana rumah mereka.

Meski cakalang bakar dan sambal terasi buatan sahabatnya itu luar biasa enak, di matanya, aneh saja melihat pria seterampil itu berurusan dengan dapur. Seingatnya, tak ada satu pun pria sesukunya yang berani menyentuh wajan dan belanga. Apalagi seperti itu, terampil memasak.

Wuih, membayangkan dirinya menyentuh belanga saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri.

Sekarang? Dilihatnya sahabatnya itu sekali lagi. Apa yang kini dikerjakannya? Menganyam keranjang? Uh, sungguh-sungguh bisa membuat pria seperkasa dirinya menjadi banci.

Di sisi lain pikiran jernihnya melintas. Di samping sifat sahabatnya yang terlampau lembut itu, sesungguhnya pemuda Jawa itu tak ada bedanya dari pria lain. Artinya, ia tumbuh normal sebagai pria muda, lengkap dengan kumis dan jenggot, meski selalu dicukurnya. Suaranya pun sama seperti pria lain, besar, khas pria.

Lantas apa yang membedakan dari dirinya?

Banyak. Salah satunya adalah keberuntungannya. Karena pemuda itu punya peluang, dibanding dirinya, untuk mengumpulkan banyak uang.

Albert teringat akan cita-citanya semula. Ia dulu juga bermimpi untuk bisa mengumpulkan banyak uang. Itu sebabnya, setelah lulus SMA, ia melamar untuk menjadi Bintara Polisi. Karena, seingatnya, para pemuda yang berhasil menjadi polisi bisa hidup makmur dan punya banyak uang. Yang lebih penting dari itu semua adalah para gadis lebih menyukai mereka.

Tapi, impiannya hanya tinggal impian. Ia terjegal saat menjalani tes kesehatan. Dokter yang memeriksa hasil tesnya mendapati cacat di hatinya, akibat minuman beralkohol yang biasa ditenggaknya.

Albert mengakui itu. Kebiasaannya menenggak bir --sebagaimana sering dilakukan banyak pemuda di daerahnya-- benar-benar telah mengandaskan cita-citanya. Akhirnya, sekali lagi, setelah gagal menjadi PNS --juga karena nyangkut di tes kesehatan-- ia kembali menekuni pekerjaan nenek moyangnya, yakni melaut dan mencari ikan.

Padahal, menjadi nelayan itu berisiko tinggi. Selain harus bertarung melawan ganasnya gelombang, ada saat-saat tertentu –saat rembulan bersinar terang di atas sana-- ikan-ikan menjadi malas mendekati umpan mereka. Apalagi, saat ini. Saat harga solar melonjak lebih dari seratus persen. Bisa melaut seminggu sekali saja sudah untung. Albert menarik napas panjang mengingat nasibnya yang kurang beruntung.

“Dorang mahasiswakah?” tanya Yan, sepupunya, menyadarkannya dari penyesalan sesaatnya.

Yang dimaksud dorang oleh Yan adalah Harjoyo.

Albert menggeragap, sebelum akhirnya mampu menjawab pertanyaan Yan. “Iyo. Hampir lulus katanya.”

“Kuliah apa?”

Albert tak mampu menjawab pertanyaan ini. Pernah memang Harjoyo bercerita tentang jurusan yang dipilihnya, yakni seputar unsur-unsur kimia atau semacam itulah. Tapi, ia tak bisa memahami sepenuhnya perjelasan sahabatnya. “Oh, itu pelajaran kimia.”

“Dorang mo jadi dokter kalau begitu?” tanya mamanya dengan tatapan serius.

“Bukan Mama. Jadi ahli kimia apa atau apa kimia, begitu.”

“Kalau begitu dorang mo jadi insinyur?” selidik mamanya lagi.

“Ah, betul, insinyur.”

“Pasti banyak uang dorang nanti,” sahut Yan lagi.

“Sekarang saja dorang su banyak uang. Dorang pu ibu kaya, toh. Dorang pu ibu kontraktor besar itu,” sahut mamanya lagi.

Saat itu yang dibicarakan sedang tertawa tergelak-gelak sambil terus menyelesaikan anyamannya.

Minggu berikutnya pada sore yang sama, kedua sahabat, sekali lagi, tengah asyik menikmati laut. Perahu kecil mereka mengapung tenang di permukaan laut di wilayah permukiman suku Kayu Batu. Entah mengapa, dengan sengaja keduanya membiarkan perahu kecil itu hanyut mengikuti arus air. Permukaan laut terlihat berwarna hijau jernih. Ini akibat tanaman rumput laut yang tumbuh bebas di sana.

Setelah cukup lama mengalir mengikuti arus barulah Albert menurunkan jangkarnya. Sementara Harjoyo sibuk memandangi sepotong pantai lengkap dengan mata air yang memancar abadi dari perut bukit. Ketika kecil dulu, keduanya sering ke tempat ini untuk mencuri rumput laut yang akarnya enak untuk dimakan atau mandi di pancuran di pantai ini.

Harjoyo memandang berkali-kali pantai di depan matanya. Pantai yang juga tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia kemari. Lantas dipandanginya air yang memancar dari perut bukit. Pancuran itu adalah satu-satunya sumber air bagi suku Kayu Batu. Di tempat inilah biasanya suku ini mandi, mencuci, dan mengambil air untuk minum. Sementara di dekat keduanya mengapung, terdapat deretan rumah panggung tempat kediaman suku Kayu Batu.

Suku Kayu Batu memiliki kebiasaan khas yang berbeda dari suku-suku Papua lainnya. Misalnya, kediaman mereka. Rumah panggung-rumah panggung yang berdiri kokoh di belakang mereka merupakan satu kesatuan tersendiri. Antara satu rumah dengan lainnya tak memiliki penghubung apa pun. Artinya, tidak ada jembatan atau apalah, untuk menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lain.

Tak terlihat pula satu jembatan pun yang menghubungkan rumah mereka dengan daratan. Ke mana pun pergi, warga Kayu Batu lebih suka menggunakan sampan kecil yang terbuat dari kayu bulat. Bahkan, untuk mandi, mencuci dan mengambil air di pantai di depan sana, harus dilakukan dengan menggunakan perahu.

Benar-benar tidak praktis. Tapi, itulah realitas yang tersaji abadi di depan matanya.

Berbeda dari tetangga kampungnya, Kampung Baru, yang padat, kumuh dan semrawut, kediaman suku Kayu batu terlihat tenang dan bersih. Bahkan, waktu lebih dari satu dekade tak membuat tempat ini menjadi hiruk pikuk. Waktu seolah berhenti di sini.

Harjoyo menajamkan matanya mencari-cari, sesuatu yang dulu teronggok di pantai ini. Tapi, ia tak menemukan yang dicarinya, yakni rongsokan tank tentara sekutu yang pernah mendarat dan terdampar di sini waktu Perang Pasifik dulu.

Setelah berkarat termakan waktu, tank itu akhirnya berfungsi sebagai tempat bertelur bagi ikan-ikan. Dulu ia paling suka mengapungkan perahunya di atas tank, menikmati ikan-ikan kecil aneka warna yang berenang lincah di dalam perut tank. Biasanya tank itu ada di sekitar sini.

“Di mana tank itu, Albert?”

“Tank apa?”

“Tank yang di sini dulu. Masih ingat?”

Albert melihat ke arah sahabatnya dengan senyum dikulum. Ia tahu yang dimaksud Harjoyo.

Ujarnya kemudian dengan nada sinis, “Sudah lama diangkut kamorang pendatang. Katanya mo dilego jadi besi tua. Yah, kitorang mau bilang apa. Sudah sa bilang kamorang pendatang suka makan apa saja. Sampai-sampai besi bakarat juga dimakan.”

Harjoyo tercekat mendengar pernyataan Albert yang begitu sinis, terus terang dan apa adanya. Di matanya, Albert sebenarnya tidak banyak berubah. Ia tetap merupakan pribadi yang periang, hangat, dan penolong, seperti Albert kecil yang dikenalnya dulu. Yang membedakannya kini hanya satu. Kini ia menjadi sedikit sinis. Sinis kepada orang-orang seperti Harjoyo dan kelompoknya.

Tapi, ia sudah lama berhenti sakit hati dengan perlakuan semena-mena orang lain. Terutama, terhadap Albert. Apalagi, melihat senyum Albert yang lebar saat mengucapkan kalimat-kalimat sinis itu. Benar-benar suatu perpaduan yang absurd, tersenyum lebar sambil menyindir.

Harjoyo tercenung melihat senyum itu. Senyum Albert yang hangat mengingatkannya pada Dense. Rupanya, dua kakak beradik ini memiliki senyum hangat yang sama.

“Ko masih ingat kapal tua di pelabuhan a-pe-o?”

“Kapal Korea itu?” jawab Harjoyo, sambil mengingat-ingat sebuah kapal berbendera Korea yang disita pemerintah, karena kedapatan mencuri ikan.

Seingatnya kapal itu telah lama teronggok di sana. Karena, tak ada satu pun pihak yang merasa berkepentingan untuk menebus sang kapal. Sementara para awaknya yang sempat ditahan di penjara kota, sudah lama pulang ke negerinya.

“Yo. Kapal itu.”

“Kenapa? Su jadi bakarat toh kapalnya. Su lama juga di sana.”

“Bukan itu yang sa mau bilang. Kapal itu juga sudah dilego jadi besi tua.”

“Oleh pendatang pasti,” jawab Harjoyo, mengikuti arus sinisme yang tengah diikuti Albert.

“Su pasti.”

Saat memutuskan pulang dan mengayuh perahu ke hulu, ke arah kampung mereka, keduanya harus berjuang keras menentang arus air yang begitu deras menuju laut lepas. Laut sedang penuh-penuhnya. Mentari sore memancarkan sinarnya dengan lembut. Saat ini sungguh saat yang ideal untuk menikmati hangatnya air laut.

Saat itulah ia melihat gadis itu tengah berenang bersama dua gadis cilik keponakannya. Tampaknya mereka benar-benar menikmati laut. Terlihat dari gelak tawa ketiganya yang lepas bebas.

Gadis itu berenang menyusuri kolong rumah meninggalkan dua keponakannya yang sedang asyik berlompatan di laut di dekat beranda belakang. Setelah satu dua kayuhan ia berhasil mendekati salah satu tiang rumah. Sesampainya di sana, dicabutnya sebuah siput yang menempel pada tiang. Dibawanya dalam genggaman tangannya dan berenang kembali ke teras belakang. Sambil duduk menantang mentari, diisapnya siput itu melalui bagian cangkang yang terbuka. Sekali isap, daging siput itu berhasil masuk ke mulutnya.

Harjoyo terkesima. Gadis itu adalah gambaran kebebasan sekaligus keluguan. Dinikmatinya sekali lagi kemudaan, keluguan, dan sikap apa adanya yang terpancar dari gadis muda itu.

Sepertinya, saat pertama kali melihatnya, gadis itu terlihat dewasa betul. Waktu di hutan dulu, ia menebak umur gadis itu adalah enam belas atau tujuh belas tahun. Tapi, saat ini, melihatnya berenang dengan masih berpakaian lengkap dan mengisap daging siput dengan tawa yang begitu segar, membuat gadis itu terlihat sangat muda. Bahkan, dadanya tampak rata. Benar-benar belum tampak tonjolan-tonjolan berarti yang menunjukkan awal keremajaan seorang gadis.

Harjoyo terkesima. Gadis itu adalah gambaran kebebasan sekaligus keluguan. Dinikmatinya sekali lagi kemudaan, keluguan, dan sikap apa adanya yang terpancar dari gadis muda itu.

Sepertinya, saat pertama kali melihatnya, gadis itu terlihat dewasa betul. Waktu di hutan dulu, ia menebak umur gadis itu adalah enam belas atau tujuh belas tahun. Tapi, saat ini, melihatnya berenang dengan masih berpakaian lengkap dan mengisap daging siput dengan tawa yang begitu segar, membuat gadis itu terlihat sangat muda. Bahkan, dadanya tampak rata. Benar-benar belum tampak tonjolan-tonjolan berarti yang menunjukkan awal keremajaan seorang gadis.

Harjoyo menoleh ke arah Albert, yang sedang mengarahkan kemudi perahunya menyamping. “Dense itu berapa umurnya?”

“Tiga belas. Oh, belum. Nanti Januari tahun depan baru tiga belas.”

Meski sudah memperkirakan sebelumnya, ia tetap kaget juga mendengar penjelasan Albert. Betapa mudanya gadis itu.

Gadis itu kembali terjun ke air dan menghilang di kedalaman sana. Harjoyo terpana. Ke manakah gadis itu? Ditelusurinya permukaan air dengan matanya. Tapi, ia tak menemukan jejaknya. Muncul rasa cemas di dadanya. Jangan-jangan dia tenggelam di dasar laut sana.

Saat rasa cemas mulai memenuhi dadanya, tiba-tiba Dense muncul tepat di samping tiang di sisi selatan rumah mereka. Rupanya, ia kembali ke sana untuk mencabuti siput-siput yang menempel di sana. Dikumpulkannya sejumlah siput sebanyak yang bisa digenggam oleh tangannya. Setelah dirasakannya cukup, ia kembali berenang menuju beranda belakang dengan hanya menggunakan satu tangan.

Dense kembali berjongkok di beranda seperti tadi. Diperlihatkannya siput-siput mungil dalam genggaman tangannya kepada kakak laki-lakinya.

“Kaka mau coba?”

Albert hanya melihat sekilas. Saat itu ia tengah sibuk menarik perahunya ke atas beranda belakang. “Ah, nanti saja.”

Setelah gagal menawari kakaknya, dengan malu-malu ia menyodorkan siput-siput dalam genggaman tangannya ke hadapan Harjoyo.

“Kaka Yoyo mau coba?”

Pemuda itu serasa tersihir. Seolah tak percaya dengan penglihatannya. Sudah dua kali dalam satu minggu ini ia berada begitu dekat dengan gadis ini. Pertama, saat ia membantu gadis cilik ini menganyam keranjang. Ini kali yang kedua. Kesempatan yang langka.

Diamatinya gadis itu lebih cermat, seolah mengamati buangan solar dari Laut Kenjeran yang tengah ditelitinya di bawah mikroskop. Seluruh tubuh si gadis basah. Rambutnya juga basah. Tetes-tetes air mengalir dari ujung rambutnya yang keriting turun sampai ke pundaknya. Sementara setetes air yang lain mengalir turun melalui alisnya dan jatuh persis ke kelopak matanya. Dengan gerak refleks gadis itu mengerjapkan mata. Sehingga, bulu matanya yang panjang dan lentik itu menutup dan membuka dengan cepat. Sungguh pemandangan yang memesona.

Pemuda itu masih lelap dalam pesona sihir gadis muda di depannya, saat sekali lagi si gadis menyodorkan siput-siput di tangannya lebih dekat ke arah wajahnya. “Kaka..?”

Kesadaran pemuda itu kembali pulih. Dipandangnya Dense. Ia menangkap sorot mata lembut dari gadis muda yang belum lagi mencecap duka kehidupan. Sorot mata itu menawarkan kehangatan sekaligus rasa malu yang sangat, yang coba ia tahan.

Harjoyo cepat menurunkan matanya dan memusatkan perhatiannya pada siput-siput di tangan Dense. Uh, siput. Siput yang benar-benar hidup. Ingatannya melayang ke Surabaya, kota tempatnya menuntut ilmu. Sekali waktu ia dan Hendra, teman satu kampusnya, berkesempatan menikmati santap malam yang lezat di sebuah restoran Jepang. Waktu itu mereka hadir untuk merayakan ulang tahun salah satu paman Hendra yang memiliki sebuah showroom mobil mewah. Perayaan ulang tahun yang terbilang sederhana untuk orang sesukses itu. Karena, paman temannya hanya memesan tiga meja untuk santap malam keluarga besarnya.

Hidangan yang dipesan bermacam-macam. Hanya, ketika itu, sang paman memaksa keponakannya dan teman yang diajaknya untuk bertualang mencicipi hidangan yang begitu segar: sashimi. Oh, betapa girangnya saat sashimi itu datang. Tampak berbagai iris­an daging aneka warna tertata rapi di sebuah piring lonjong lengkap dengan hiasan dedaunan entah apa.

Penataan yang eksotis. Penataan yang artistik. Penataan yang menggugah selera makan. Dengan antusias Harjoyo mengangkat sumpitnya dan menyorongkannya ke depan untuk mengambil seiris daging sashimi di piringnya.

Tepat pada saat itu Hendra berbisik, “Har… itu daging mentah. Tidak apa-apa kalau kamu suka.”

Dor. Seperti ada peluru yang menghantam kepalanya. Daging mentah? Uh, perutnya terasa mual saat membayangkan daging-daging mentah itu menggelontor melewati kerongkongannya dan turun ke ususnya. Tidaklah. Masih banyak makanan Jepang lain yang enak di atas meja. Maka, dengan menyerah kalah disingkirkannya piring sashimi dari hadapannya, tanpa sekali pun menyentuh isinya. Meski, sebagai akibatnya, yang berulang tahun tertawa terbahak-bahak sebagai tanda kemenangan. Tawa itu seolah-olah berarti, betapa e­naknya mengalahkan anak sekolah yang sok intelek tapi kampungan.

Sementara kini? Sekali lagi daging mentah itu disodorkan di hadapannya. Bahkah, kini lengkap dengan cangkangnya. Apakah ia akan mengalami kekalahan untuk kedua kali? Diliriknya Dense sekali lagi. Senyumnya begitu segar. Sorot matanya yang hangat menawarkan ketulusan. Berbeda dari paman temannya di Jawa, yang suka mempermainkan orang, gadis di hadapannya ini hanya ingin menyajikan sesuatu yang dianggapnya pantas untuk disajikan.

“Enakkah?” Harjoyo coba mengulur-ulur waktu, sambil mencari akal untuk berkelit.

“Enak, tentu. Kaka mau coba?”

Dense menyilangkan kakinya dan duduk bersila di hadapannya. Roknya yang basah mencetak celana dalam berwarna hitam yang tengah dikenakannya. Tapi, gadis ini tampak tidak peduli. Diletakkannya siput-siput di permukaan kayu di depannya. Melihat Dense duduk, Harjoyo ikut duduk pula.

Dense memperlihatkan seekor siput kecil ke hadapan Harjoyo. Ditunjukkan celah terbuka di ujung rumah siput yang berbentuk limas. Setelah itu, dibawanya siput itu ke mulutnya dan diisapnya daging lezat di dalam sana, melalui celah terbuka di ujungnya dengan sebuah isapan yang kuat. Sudah. Daging siput itu bahkan tidak sempat dikunyahnya. Sesaat kemudian, Dense tertawa-tawa, sambil memperlihatkan rumah siput yang isinya telah kosong.

Harjoyo, sekali lagi, terkesima. Beranikah ia? Kenapa tak dicoba. Dengan ragu, diambilnya seekor siput dan diangkatnya ke mulutnya. Tapi, gerakannya terhenti saat itu juga. Bau amis menyerang hidungnya. Perutnya mual. Pengalamannya dengan sashimi dulu muncul lagi, membuat rasa mualnya menjadi dua kali lebih hebat.

Sebelum jatuh pingsan akibat serangan amis, Harjoyo menyerah kalah. “Ah, Kaka tidak biasa makan ini.”

Dense mengerti. Dikembangkannya senyum manisnya sekali lagi, sebelum menyingkirkan siput-siput itu.

Hari beranjak malam. Tapi, keduanya belum ingin pergi. Masih asyik membahas siput-siput yang berkembang biak dengan subur di tiang-tiang rumah panggung.

Di belakang rumah Harjoyo ada sepetak tanah lapang. Dulu taah lapang itu adalah tanah terbuka, yang pinggirnya banyak ditumbuhi pohon sagu. Saat malam tiba, anak-anak suka berkumpul di tempat itu dan mengisi waktu dengan mendendangkan berbagai jenis lagu, khususnya lagu-lagu gereja.

Tentu tanah lapang itu tidak seluas dulu lagi. Maklum, para pendatang yang datang belakangan berusaha mencari sisa-sisa tanah untuk mendirikan rumah. Maka, tanah lapang itu mulai tergerus sedikit demi sedikit. Tapi, sepenggal tanah terbuka yang tersisa di sana masih difungsikan seperti dulu, masih dipakai sebagai tempat bermain anak-anak di siang dan malam hari.

Sore itu ada beberapa pemuda sedang duduk-duduk di pinggir tanah lapang. Badan mereka tinggi, kekar, dengan kulit gelap dan rambut keriting, yang menunjukkan jati diri sebagai pemuda asli Papua. Mereka sedang asyik ngobrol dan tertawa-tawa. Asap rokok tak henti mengepul dari mulut mereka.

Harjoyo tidak mengenal mereka. Maka, saat kembali dari rumah Albert, ia hanya melintasi mereka, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba seorang pemuda berdiri dan dengan gerakan mengancam berkata kepadanya, “Kalau mo cari pacar, cari di ko pu orang. Jangan sampai kitorang lihat ko rebut kitorang pu gadis e.” Masih belum cukup, pemuda itu mengentakkan kakinya ke tanah keras-keras sebagai tanda ancamannya serius.

Harjoyo merasa hatinya beku, tubuhnya dingin. Ia tak siap dengan yang terjadi barusan. Pikirannya cepat bekerja untuk segera memerintahkan tubuhnya terbang dari sana. Tapi, tubuhnya tak mengikuti perintah pikirannya. Kakinya berjalan dengan langkah-langkah normal, meninggalkan tanah lapang dan kelompok pemuda itu.

Ia sebenarnya pemegang sabuk hitam karate. Tapi, seumur-umur tak pernah ia melayangkan tangannya, kecuali di lantai dojo. Sampai di pintu belakang rumah, ia berhenti melangkah. Dirasakannya kakinya gemetaran. Saat itu magrib menjelang. Suara azan bergema dari masjid kecil di lingkungan Dinas Pendidikan di depan rumahnya.

Saat tengah mengatur napasnya, pikirannya kembali melayang ke Jawa. Saat itu Kejagung tengah gencar-gencarnya memburu para pengemplang dana BLBI (bahkan sampai kini) yang banyak lari ke luar negeri. Tema inilah yang tengah mereka bahas.

“Mereka. Mereka itu kelompok minoritas yang benar-benar tidak memiliki jiwa nasionalis. Bahwa mereka dibesarkan, artinya menjadi kaya, dari negeri ini,” kata salah satu peserta diskusi, saat tiba giliran memberi tanggapan dan sanggahan.

Peserta yang lain tidak sepenuhnya setuju. “Tidak jujur, kalau kita hanya menyalahkan para pengemplang utang. Sebenarnya kita tidak boleh menyalahkan mereka sepenuhnya. Mengapa pemerintah tidak selektif ketika mengucurkan dana?”

Saat itu diskusi berlangsung panas. Sementara moderator yang aktivis kemarin sore itu sungguh menikmati simpang siurnya diskusi. Sehingga, tak terlintas dalam pikirannya untuk menjadi penengah.

Kata ’mereka’ dan kaum ’minoritas’ disebut berkali-kali menjadi dua kata yang mengandung makna tersendiri. Makna sakral yang terkesan negatif. Saat diskusi sedang gencar-gencarnya, Harjoyo tidak sepenuhnya mengikuti pembicaraan simpang siur itu. Ia malah sibuk melirik Hendra yang duduk di sebelahnya. Hendra, sahabatnya, biasa dipanggil Aheng di rumah.

Memang benar selama ini tak ada seorang pun yang mengelompokkan Hendra masuk ke dalam kelompok ’mereka’. Karena, Hendra, akibat pergaulannya yang luwes, sudah dianggap sebagai bagian dari kelompok ’kami’ atau ’kita’. Maklum, selain pandai bergaul, Hendra itu berpenampilan seperti teman lain. Artinya, ia memotong rambut dengan potongan klasik tanpa dicat warna-warni. Gaya berpakaiannya pun biasa, cukup dengan celana jeans dan kemeja kaus berkerah. Pokoknya, penampilan luarnya jauh berbeda dari gaya ala Aaron Kwok. Bahkan, Hendra inilah anak yang sering turun tangan membuat aneka poster sebagai perangkat demo.

Tapi, Harjoyo menangkap semburat merah di pipi Hendra, saat diskusi berubah menjadi caci-maki terhadap kelompok ’mereka’. Saat itu Harjoyo tersadar, sebagian dari diri Hendra masih termasuk kelompok ’mereka’.

Harjoyo menengadahkan wajah. Gelap menyelimuti bumi. Bau angin laut yang khas tercium olehnya. Ia menarik napas panjang. Batinnya kelu. Saat ini sepertinya ia bisa merasakan apa yang dirasakan Hendra ketika diskusi dulu itu. Ia bisa merasakan berada di kelompok ’mereka’. Ia sungguh mengerti kini.

Albert benar-benar tidak percaya pada cerita Yan. Bagaimana mungkin sahabatnya yang lembut itu bisa diancam demikian kasar.

“Kenapa ko tidak tolong?”

Pemuda pendatang lain mungkin berbahaya. Tapi, Harjoyo? Harjoyo itu terlalu lembut untuk jadi perampok. Harjoyo itu tidak sepenuhnya laki-laki. Ia tidak tega menyebut Harjoyo sebagai banci, meski hanya dalam hati.

Yan menunduk. Menunjukkan ketidakberdayaannya. Ia sering mendengar para gadis pribumi berprestasi, yang pintar, yang cantik jelita, justru banyak yang menjatuhkan pilihannya kepada pemuda pendatang. Pemuda pendatang dianggapnya lebih pantas, lebih sederajat sebagai teman hidup. Tapi, dalam hatinya, setelah mengenal Harjoyo lebih jauh, diam-diam muncul rasa syukur bahwa pemuda itu menyukai Densemina.

Alam menyajikan realitas sebagaimana adanya. Alam hanya menawarkan hujan, panas, badai, kemarau, saat seharusnya realitas itu terjadi tanpa keberpihakan.

Pesawat yang ditumpangi Harjoyo melayang pelan di atas udara Pulau Biak. Sebulan lalu dalam perjalanan liburan ke rumah ibunya, ia menanti-nantikan saat ini. Saat ia bisa menikmati pulau ini dari ketinggian. Bagaimana tidak, pulau ini menawarkan pemandangan yang membuat hatinya terharu-biru.

Pulau kecil di utara Pulau Papua ini sebenarnya tak jauh beda dari pulau-pulau lain di wilayah yang sama. Hanya, bila dilihat dari udara, pulau ini seperti dikelilingi sejenis cincin beraneka warna. Lingkaran paling dalam dari cincin itu, berwarna putih transparan. Lingkar kedua berwarna putih kekuningan. Di lapis berikutnya berwarna biru jernih. Tapi, masih belum cukup. Bagian paling luar cincinnya berubah menjadi biru cerah dan perlahan menjadi biru gelap.

Di bagian dalam yang berwarna putih transparan itu seperti ada bercak-bercak kecokelatan. Cuma, bedanya, kalau bercak-bercak kecokelatan itu ada di wajah anak gadis, bisa membuat seorang gadis terlihat seperti hantu. Padahal, bercak-bercak cokelat di bawah sana justru menambah keeksotisan Pantai Biak yang memang sudah eksotis itu. Inilah bentang alam yang tersaji di depan matanya, taman koral.

Sebulan lalu ia sangat mengagumi kekayaan alam ini. Ternyata, menurut jurnal internasional, wilayah indah di bawah sana merupakan satu dari tiga taman koral tercantik di dunia.

Tapi, saat pesawatnya sekali lagi melayang pelan menjelang transit di pulau yang sama, keindahan itu seolah memudar. Keindahan itu hanya tampak seperti hamparan pantai berwarna abu-abu gelap.

Disorongkannya tubuhnya mendekati jendela, agar ia bisa melihat pemandangan di bawah sana dengan lebih jelas. Saat itu ia merasakan sesuatu yang keras dari dalam ranselnya, menganjal perut­nya. Rasanya jadi sedikit kurang nyaman. Sehingga, dengan gerak refleks dibukanya ransel di atas pangkuannya dan dirogohnya sesuatu yang keras itu.

Benda keras yang menganjal perutnya adalah sebuah keong sebesar telapak tangan. Hati Harjoyo tercekat. Ingatannya berputar cepat ke rumah ibunya yang baru ditinggalkannya dua jam lalu.

Saat itu, saat mobil yang dikendarainya mulai meluncur perlahan menuju Bandara Sentani, ia mendengar suara sayup-sayup yang begitu diakrabinya. Suara Densemina. Dengan segera dihentikannya laju mobilnya.

Densemina, gadis itu, berlari-lari kecil mengejar mobilnya sambil meneriakkan sesuatu yang tak jelas tertangkap oleh kupingnya. “Kaka Yoyo….”

Harjoyo keluar dari mobil. Disongsongnya gadis itu. “Dense?”

“Kaka mau pulang? Pulang ke Jawa?”

”Ya.”

Gadis itu berdiri ragu. Sesaat kemudian diulurkannya tangannya. Di sana, di balik telapak tangannya ada seekor keong besar berukir indah. Keong indah bermotif batik. Keong terindah yang dimilikinya. “Ini hadiah dari sa. Mudah-mudahan Kaka suka.”

Sesaat kemudian, mobil yang disopirinya meluncur kembali menuju bandara. Dari kaca spion ia melihat gadis itu melambai-lambaikan tangan dengan wajah murung.

Harjoyo mengamati benda yang ada di tangannya. Itu benar-benar seekor keong besar nan cantik. Dielusnya keong itu dengan elusan sayang. Sambil menempelkan keong itu di pipinya, dijelajahinya pemandangan menakjubkan di bawah sana. Taman koral nan indah itu menjadi buram terlihat tertutupi oleh derai air matanya yang mengalir dengan deras.

No comments: