12.22.2010

Dongeng Kunang-Kunang

Kunang-Kunang Cahaya
Senja beranjak pergi, membawa serta langit sore yang bercahaya. Semburat jingga memudar perlahan, samar-samar beralih warna menjadi kelabu yang merona. Lalu langit malam datang, menebarkan gelap. Cahaya memercik dari beberapa titik. Entah dari pijar lampu, bara api, atau nyala lilin, juga dari cahaya kunang-kunang.

Kuurungkan niat menutup daun jendela. Ada cahaya yang melintas pelan-pelan, berasal dari rumpun bambu di kebun belakang. Kecil pijar itu, melayang-layang lembut di seputar tanaman.

Kuamati gerak pijar itu dengan takjub. Sayap-sayap yang bercahaya.

Aku selalu menyukai kunang-kunang. Kuingat di masa kecilku, sering kali kubujuk Ayah untuk membantuku menangkap serangga kecil itu. Kujanjikan banyak hal dalam upaya pembujukan itu, antara lain bahwa aku akan menjadi anak penurut, terutama pada petuah Bunda. Janji-janji manis yang hanya kutaati satu dua hari, karena sesudah itu aku akan kembali pada diriku yang pembantah, berseteru dengan Bunda, terlambat tidur dan esok pagi harus dibangunkan dengan susah payah.

Kuingat, keluhan terbesar Bunda bukanlah urusan tetek-bengek rumah tangga atau rumitnya mengatur keuangan antara keterbatasan penghasilan dan tingginya pengeluaran ongkos kebutuhan hidup. Melainkan, betapa sulitnya harus membangunkan aku setiap pagi supaya tidak terlambat berangkat ke sekolah. Rupanya, sedemikian malasnya aku sehingga diperlukan perjuangan luar biasa untuk membujukku bangun pagi tepat waktu.

Lalu, begitu saja kenangan tentang Bunda mendatangiku.

Aku ingat ritual pagi itu. Kenangan tentang Bunda yang senantiasa melekat dalam ingatan.

Hal pertama yang dilakukannya untuk membangunkanku adalah menyingkap selimutku, melipat rapi dan meletakkannya di ujung tilam. Sesungguhnya mataku sudah terbuka ketika itu, tapi aku selalu berpura-pura masih terlelap. Lalu Bunda akan memijat kakiku perlahan-lahan. Pijatan yang sangat kusuka dan kunantikan setiap pagi. Jemari itu begitu lunak menekan telapak kaki dan betisku. Memunculkan perasaan nyaman nan menyenangkan. Dilengkapi dengan senandung Bunda, lagu tentang awal hari yang menyenangkan.

Matahari bersinar terang
Burung berkicaulah senang
Harum semerbaklah bunga di padang…

Dengan paduan hal-hal seindah itu, siapa yang tak hendak menikmatinya berlama-lama? Sangat masuk akal, bila aku selalu berpura-pura untuk tetap pulas demi bisa menikmati semua itu lebih lama.

Tapi, dentang lonceng sekolah tidak bisa ditunda dan Bunda tentu tidak ingin anak perempuan semata wayangnya terlambat. Maka, Bunda akan mengubah pijatannya menjadi gelitik yang mengganggu dan aku akan merengut, mencoba mempertahankan kenyamanan. Demikianlah ‘bentrok’ kecil itu terjadi setiap pagi.

Bentrok rutin itu berakhir pada suatu hari.

Sebuah hari yang tidak pernah kulupakan. Hari itu, dengan menahan sakit di perutnya yang telah membesar selama sembilan bulan, Bunda pamit padaku.

“Baik-baiklah di rumah,” Bunda memeluk erat. Diletakkan tanganku pada perutnya yang mengencang. Ada gerakan di sana.

“Bunda akan pergi beberapa hari untuk melahirkan adikmu. Tunggulah, Bunda akan pulang bersama seseorang yang akan memanggilmu kakak.”

“Ya, Bunda,” lalu kupeluk Bunda erat-erat.

Kutahan tangisku ketika itu, karena jauh di dalam diriku muncul rasa kehilangan yang sedemikian dalam. Ada semacam naluri, yang entah dari mana datangnya, menyergap dan membuatku merasa ditinggalkan. Samar kurasakan bahwa Bunda akan pergi pada suatu tempat yang jauh.

Naluri yang tidak keliru, karena kemudian Bunda tidak pernah kembali. Keracunan kehamilan. Adikku meninggal di dalam kandungan dan upaya melahirkannya justru membuat Bunda pergi bersamanya.
Aku menangis dan menolak mengucapkan salam pertama sekaligus salam perpisahan untuk bayi kecil berwarna kelabu itu.

“Aku tak mau menjadi kakaknya,” kataku, sembari berpaling.

”Mengapa dia tak pergi sendirian, membiarkan Bunda tetap bersamaku? Mengapa dia sejahat itu, Ayah?”

Ayah tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan gugatanku. Atau barangkali dimilikinya pertanyaan yang sama? Entahlah. Ketika itu Ayah mendekapku sedemikian erat. Tak diucapkannya apa pun. Dan kami dua orang yang saling kehilangan, berpelukan, seakan saling menguatkan.

Saat itu juga kuyakinkan dengan kuat di dalam diriku, tidak akan kubiarkan orang lain merenggut satu-satunya ayah yang kumiliki. Tidak akan kubiarkan terulang pengalaman buruk kehilangan Bunda, dibawa seseorang yang lain. Ayah akan menjadi milikku, satu-satunya, selamanya.

Kuseka genangan yang mendadak menghangat di sudut mata. Selalu begitu, kenangan tentang Bunda senantiasa memunculkan rasa kehilangan yang sedemikian dalam, sama persis dengan perasaan saat memeluk Bunda terakhir kali ketika pamit. Rasa kehilangan yang tak pernah padam. Ah, Bunda, kepergianmu sungguh tidak pernah kurelakan.

“Apa yang kau lihat, Nak? Lama sekali kau berdiri di situ,” mendadak sebuah suara menge­jutkanku.

Kenangan tentang Bunda me­mudar perlahan. Seakan genangan yang terseka sebuah tangan. Aku menoleh dan Ayah mendatangiku, senyumnya yang lunak selalu menebarkan ketenangan.

“Kunang-kunang, Ayah. Lihatlah!” seruku, menunjuk pijar cahaya yang melayang-layang.

“Ah, serangga itu, kau tidak pernah berhenti mencintai cahayanya,” gumam Ayah mengikuti tatap mataku.
“Kau mau Ayah menangkap cahaya itu dan menyimpannya dalam stoples?”

“Tentu tidak,” aku tersipu, kugamit lengan Ayah. “Kini aku lebih lincah daripada Ayah, jadi hasil tangkapanku pasti lebih banyak.”

“Hei, berani betul kau meremehkan ayahmu,” seru Ayah, merengut. “Bisa saja kau lebih lincah karena kemudaanmu, tapi ayahmu ini pasti lebih berpengalaman. Kumiliki strategi khusus untuk menangkap serangga cahaya itu.”

“O, ya, apakah itu?”

“Tentu tidak, itu rahasia terbesarku,” seru Ayah.

Kumanyunkan bibirku, seakan mencibir rasa kemenangan Ayah. Kutinju lengannya perlahan dan kusandarkan diri pada bahunya.

Ayahku, yang senantiasa menjadi sahabat terbaikku, sejak masa kanak-kanak hingga saat ini. Tidak hanya sahabat, melainkan sekaligus pembela, pelindung, dan guru yang luar biasa bagiku.

Kuingat Ayah selalu menjadi perisai terkuat yang melindungiku dari kemarahan Bunda, yang sering kali tak tertahankan karena kebengalan ulahku. Dalam situasi genting itu, pastilah Ayah datang dengan segera dan menenangkan Bunda dengan cara sedemikian rupa, sehingga Bunda menjadi lembut kembali. Lalu aku akan terbujuk untuk minta maaf dan berjanji menjadi anak baik. Sebuah janji yang sering kali tidak kutepati.

Namun, Ayah adalah seorang yang tidak pernah jera menerima janjiku. Tidak pernah pudar dari ingatanku betapa ayahku berlarian di lapangan rumput demi menangkap kunang-kunang untukku. Serangga yang kusimpan dalam stoples, yang akan kutatap tanpa berkedip sepanjang malam. Serangga yang kemudian kulepaskan dengan berat hati, ketika waktu tidurku tiba dan Bunda tak terbujuk untuk memundurkannya lebih lama lagi. Maka Ayah membantu membuka stoplesku, lalu menuangkannya sedemikian rupa sehingga serangga-serangga kecil itu beterbangan seakan-akan melalui telapak tanganku. Aku berseru-seru kegirangan setiap kali merasakan seolah cahaya-cahaya itu berpijaran di genggamanku. Pijar cahaya yang melayang-layang dan memercikkan sensasi tak terjelaskan di dalam diriku.

Kenangan masa kecil yang tak pernah memudar dari ingatan.

Kini makin tidak mudah menemukan pijar cahaya kunang-kunang. Entah ke mana serangga bercahaya itu berkelana membawa sarangnya. Kadangkala saja kutemukan cahaya itu melayang di seputar rumpun bambu di kebun.

Ayah sedang berpikir, mungkinkah mengikat serangga itu sehingga membentuk bola kecil, lalu menggantungnya di dahan cemara yang akan menjadi pohon Natal kita nanti?

Wow, akan menjadikan pohon Natal yang ajaib! seruku, takjub. Tapi, tak boleh, itu akan menyiksa dan merampas kebebasan mereka.

“Apa kau tahu, selalu menyenangkan melihatmu begitu gembira kala bermain-main dengan serangga cahaya itu. Rasanya Ayah ingin kau menjadi anak kecil lagi.

Aku tertawa, setuju dengan keinginan Ayah. Ya, kalau aku menjadi anak kecil kembali, maka hari-hariku bersama Bunda juga akan kembali. Akan kumiliki lagi ayah-bundaku seutuhnya.

Sebuah keinginan yang mustahil. Waktu adalah sesuatu yang tak terhentikan dan tak terlawan oleh upaya apa pun juga. Segala sesuatu akan terhanyut dalam arus waktu, dengan atau tanpa keinginan.

Lalu kususupkan diri lebih dalam pada pelukan Ayah. Pelukan Ayah tetap hangat, meski tak terhindarkan ada yang merapuh dalam pelukan itu. Lengan dan punggungnya tak lagi setegap dahulu. Namun, di atas semua itu, Ayah tetap menjadi Ayah terbaik bagiku. Seseorang yang akan kumiliki selamanya.

“Besok Ayah berangkat, kata Ayah, perlahan.

“Besok? kulepaskan pelukan, lalu beralih meneliti kalender. Bulan genap, tanggal pertengahan. Itu jadwal rutin Ayah mengunjungi sebuah kota di perbatasan provinsi. Bagian dari pekerjaan, tugas kantor yang telah dilakukannya bertahun-tahun.

“Mengapa Ayah masih melakukan tugas itu? aku merajuk. Ini hari-hari menjelang Natal, tidakkah sebaiknya berada di rumah?

Ah, Ayah sudah akan kembali sebelum Natal itu. Tak mungkin membiarkanmu sendirian di malam kudus.

Sudah saatnya tugas itu didelegasikan pada staf yang lebih muda.

“Tidak mudah memilih seseorang yang tepat. Ayah mengusap-usap punggungku, gerakan yang selalu mengalirkan rasa hangat di dalam diriku. Hangat yang menenangkan.

“Tapi, bukan berarti tidak ada. Kurasa Ayah terlalu memaksakan diri untuk melakuan tugas itu. Bunda pasti akan setuju denganku tentang hal ini.

“Belum tentu. Barangkali justru Bunda akan senang, dan segera membantu Ayah mengemas pakaian.

“Mustahil! bantahku. “Bunda adalah seseorang yang penuh dengan kekhawatiran tentang orang lain. Dulu, kalau aku bermain di kebun, Bunda cemas nyamuk-nyamuk akan menggigitku. Nah, dengan usia Ayah sekarang ini, kupastikan Bunda tidak akan setuju Ayah masih melakukan tugas kunjungan ke kota itu.

“Kau yakin? Ayah negosiator yang baik, kumiliki banyak strategi untuk memadukan beberapa keinginan yang berlawanan.

“Tapi, Ayah, ini sesuatu yang berkaitan dengan usia, sebuah faktor yang mengisyaratkan keterbatasan yang tidak bisa dinegosiasi.

“Benar, Nak, kita tidak bisa melawan usia. Tetapi kukira, ayahmu ini belumlah terlalu uzur, belum 60 tahun usiaku. Masih banyak hal bisa kulakukan. Kukira aku masih tegap, sehat dan… gagah. Apakah aku tampak terlalu tua bagimu? Atau kau ingin buru-buru memasukkan ayahmu ini ke panti jompo?

“Ih, Ayah! Kuberikan cubitan lunak pada lengannya. “Tentu bukan itu maksudku. Aku hanya mau Ayah lebih banyak beristirahat. Perusahaan kita itu sudah beroperasi sejak lama, tata pelaksanaan tiap bagian sudah mapan. Ayah cukup melakukan tugas-tugas pengawasan saja, tanpa perlu mengampu tugas kunjungan ke pelanggan, apalagi luar kota.

“Tapi, Nak….

“Kota itu jauh, Ayah. Di perbatasan provinsi. Jalan menuju ke sana juga tidak bagus, banyak yang rusak. Bukan karena berbahaya, melainkan akan sangat melelahkan dan itu pengaruh buruk untuk kesehatan, bantahku panjang.

Ayah menatapku. “Kau mewarisi kekhawatiran bundamu.

“Lagi pula, apa menariknya kota itu? Sudah kecil, jauh pula.

“Kau keliru. Kota itu justru sangat potensial. Dia adalah sebuah sentra. Produktivitasnya sangat tinggi, meskipun sistem pengelolaannya cenderung tradisional. Nah, para pemilik perusahaan itu mengelola usahanya turun- temurun, dari generasi ke generasi berikutnya terjun langsung pada pabrik masing-masing. Mereka adalah pelanggan lama perusahaan kita. Hubungan antara kami lebih dari sekadar bisnis belaka, lebih berunsur kekeluargaan.

“Justru karena hubungan baik itu, maka mereka akan tetap menjadi pelanggan, meskipun bukan Ayah petugas penjualnya.

“Kau kira kita tidak punya pesaing di sana? Salah besar, Nak. Banyak perusahaan ibu kota mengirim tenaga penjualannya ke kota itu, berbekal berbagai fasilitas dan strategi pemasaran mutakhir. Sungguh tak mudah menghadapi pesaing kuat semacam itu. Tapi, setiap perdagangan atau bisnis memiliki seni dan tantangan tersendiri. Maka, di situlah kupergunakan hubungan baik sebagai sebuah seni untuk menjaga supaya usaha dagang antara kami terjalin, tanpa saling merugikan, apalagi melukai. Bagi mereka, kunjungan Ayah bukanlah kunjungan dagang semata-mata, melainkan demi terjalinnya persahabatan dan hubungan baik. Karena itulah, mereka tetap menjadi pelanggan kita, meski tawaran perusahaan lain lebih menguntungkan. Itu semua adalah demi rasa saling menghargai, maka demikianlah sebuah relasi bisa terus dipertahankan.”

Aku tercenung. Penjelasan Ayah membawaku pada sesuatu pemahaman yang selama ini tidak kumengerti.

“Kau masih muda. Masih sangat pemula menjalani sebuah bidang usaha. Hal-hal semacam itu barangkali tidak mudah kau mengerti. Tapi bersabarlah, makin jauh kau melangkah, akan makin banyak yang kau pahami nanti.”

“Sebuah proses belajar sembari berjalan?”

“Begitulah.”

“Selama Ayah mendampingi dan mengarahkan, tentu akan kupelajari banyak hal. Aku tidak akan khawatir.”

“Ya, semoga bisa kulakukan pendampingan itu untukmu. Kau tahu, kau selalu menjadi yang terutama bagiku. Mutiaraku selalu.”

“Ya, Ayah, terima kasih,” dan kupeluk Ayah erat-erat. Satu-satunya seseorang yang kumiliki. Ayahku, sekaligus ibu, guru dan sahabat bagiku. Begitu pula aku bagi ayahku. Akulah mutiara tunggalnya, selamanya.

Keberangkatan Ayah
Pagi yang bercahaya.
Aku terlambat bangun pagi itu. Saat mataku terbuka, cahaya telah benderang menerangi seluruh kamar. Matahari telah tinggi.

Aku segera melompat, memburu sesuatu yang barangkali telah meninggalkan aku. Itu adalah keberangkatan Ayah.

Setiap kali menuju ke kota di perbatasan itu, Ayah selalu berangkat pagi-pagi sekali, didampingi seorang sopir. Demikianlah yang terjadi berulang selama bertahun-tahun.

Kubuka pintu dengan cepat, sembari cemas memenuhi benak, khawatir Ayah telah berangkat. Aku tidak ingin melewatkan keberangkatan Ayah, ke mana pun beliau pergi. Aku selalu mengantarkan setiap keberangkatannya, meski setiap kali harus menahan ada yang berat di hati. Sesuatu yang sedih, sesuatu yang memunculkan rasa jauh, rasa khas sebuah kehilangan, perasaan ditinggalkan. Itu semua adalah perasaan-perasaan yang tak terhindarkan dalam setiap perpisahan.

Selama ini aku tidak pernah terlambat. Selalu kupersiapkan keberangkatan ayahku dengan rapi. Entah apa yang terjadi padaku semalam sehingga sedemikian pulas tidurku.

Pintu terbuka. Kulihat Ayah di beranda samping membaca koran.

“Ayah, aku terlambat bangun,” seruku lega, menepis cemas yang menguasai.

Ayah tersenyum dan meraihku duduk di pangkuannya.

“Tidak apa-apa, Ayah bisa menunggu.”

“Mengapa tidak membangunkanku?”

“Ha, siapa sanggup mengusik tidur sepulas itu? Ayah lebih memilih untuk menunggu.”

“Bunda selalu sanggup melakukannya,” kataku, tersipu.

“Itu karena dia tidak ingin kau melewatkan masa sekolahmu yang berharga,” gumam Ayah, lembut.

Lalu kami terdiam. Seakan terdatangi oleh sebuah kenangan yang serupa, kenangan tentang Bunda, tentang hari-hari yang pernah kami jalani bertiga, tidak hanya berdua seperti sekarang ini.

“Ayo, sarapan, Ayah telah membuat sarapan kesukaanmu,” kata Ayah kemudian, mencairkan suasana senyap.

“Sungguh?” aku berseru girang.

“Sudah lama Ayah tidak memasak sarapan untukmu.” Ayah menggandeng tanganku menuju ruang makan. “Pagi ini Ayah ingin melakukannya. Kebetulan kau terlambat bangun, sehingga aku bisa memasak dengan tenang tanpa harus terburu-buru.”

Aku selalu ingat sarapan buatan Ayah. Masakan pertama yang dibuatnya sesudah Bunda berpulang. Scramble egg. Telur orak-arik bertabur parutan keju, dilengkapi setangkup roti tawar beraroma mentega dan segelas susu cokelat hangat.

“Ayah tidak pandai memasak,” kata Ayah ketika itu. Pada suatu pagi pertama tanpa Bunda.

“Sejak dulu yang bisa kulakukan hanya merebus air, menggoreng telur dan memasak mi instan. Itu bukan paduan menu yang baik untuk anak di usia pertumbuhan sepertimu. Tapi, kau tetap harus sarapan supaya tidak kelaparan di sekolah dan terganggu konsentrasi belajarmu. Kau juga tidak suka minum susu, sementara tubuhmu memerlukan gizinya, sehingga kau bisa tumbuh dengan sehat. Tapi, kau suka keju dan cokelat, meski cokelat tidak terlalu baik untuk gigimu.”

Aku mengangguk dengan diam ketika itu.

“Kini Bunda tidak bisa lagi memaksamu untuk menghabiskan jatah susu. Ayah juga tidak bisa melakukan pemaksaan itu. Tapi, itu tidak berarti bahwa kau bebas dari kewajiban minum susu,” kata Ayah melanjutkan.
Lagi aku mengangguk.

“Maka marilah kita bersepakat. Kucampurkan susu dan orak-arik telur, dan kutambahkan keju. Kutambahkan pula cokelat pada segelas susu. Artinya, kau dapatkan yang kau suka, tapi kau santap pula yang kau perlukan. Bagaimana?”

“Sarapan ini tidak akan selezat masakan Bunda, tapi sejauh ini, hanya itu yang bisa kulakukan.” Suara Ayah melirih, ada nada sengau yang terdengar. Lalu kulihat ayahku menyusut sesuatu di sudut mata. Itu adalah air mata.

Itu adalah kali pertama aku melihat Ayah menangis.

Setelah ketabahan sedemikian rupa yang terlihat sejak Bunda meninggal dan proses pemakamannya ketika itu. Ayah dengan ketabahan luar biasa bahkan menenangkan setiap orang. Sama sekali tidak terlihat kedukaan yang mendalam. Namun, pagi itu ayahku menangis. Demi kepergian Bunda, atau demi kesediaanku menyantap zat-zat yang kuperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatanku?

Di dunia ini Ayah hanya memiliki aku dan Bunda. Maka kutahu air mata itu tentulah untuk kami berdua. Bunda sudah pergi, maka kini akulah pemilik tunggal air mata itu. Air mata ayahku, mutiara terindah seorang ayah.
Maka, pagi itu kusantap habis sarapanku. Sesudah itu kupeluk Ayah erat-erat. Lalu kujanjikan padanya bahwa akan kumakan apa pun yang dimasaknya untukku, bahwa aku akan bangun pagi tepat waktu, dan aku akan belajar di sekolah dengan segala kecerdasanku.

Sebuah janji yang kutepati, setelah sekian janji yang kuingkari.

Kini sarapan yang sama menyambutku. Tapi tentu, rasa menu itu jauh lebih baik daripada yang pertama kali kusantap di pagi pertama itu. Ketika itu sungguh sebuah rasa yang kacau, tak jelas rasanya, serupa dengan bentuk orak-arik yang berantakan.

Kini, setelah sekian lama memasak menu yang sama, Ayah telah menjadi koki yang ahli. Orak-arik itu tidak lagi polos, melainkan berganti-ganti paduan kombinasi. Terkadang kacang polong, daging cincang, sosis, bawang bombay, jagung.

Kini sepiring telur orak-arik dengan paduan hijau kacang kapri dan irisan sosis tersaji di atas meja, dilengkapi secangkir susu cokelat yang masih hangat.

“Makanlah, tidak setiap hari Ayah memasak untukmu.”

“Tak perlu piring tambahan, Ayah,” kataku, menepikan piring yang diulurkan ayah. “Mari kita makan bersama, dari piring yang sama.”

“Ide yang bagus, sudah lama kita tidak melakukannya.”

Lalu bersama kami menandaskan orak-arik telur yang enak itu. Sarapan terlezat yang tidak pernah kutemukan lagi di manapun.

Ayahku berangkat pagi itu, menuju ke sebuah kota kecil di perbatasan yang tidak pernah kukunjungi.

Ayah mengecup keningku, mengacaukan rambutku perlahan sebelum kemudian melambaikan tangan dan melangkah menjauh. Sesaat kemudian mobil meluncur, membawanya pergi dan menghilang di tikungan.

Aku termangu sendirian di tempat aku berdiri. Menyimpan dan mengendapkan perasaan sedih di dalam diriku. Perasaan ditinggalkan yang muram.

Beberapa hari kemudian datanglah kabar itu.
Baru saja kuselesaikan sebuah negosiasi, pembelian barang dagangan dalam jumlah besar dengan harga khusus. Semalam telah kukonsultasikan hal itu dengan Ayah melalui telepon dan Ayah setuju. Maka kuhirup napas lega ketika negosiasi berhasil dengan baik.

Seketika itu juga kelegaanku terhenti demi melihat wajah pias Woro, sekretaris kantor, menerobos masuk ke ruanganku tanpa permisi. Aku terkejut, bukan karena ketidaksopanannya, melainkan lebih karena raut wajahnya yang sedemikian pias. Sangat pucat.

“Ada apa?” tanyaku.

“Bapak… Bapak,” jawabnya kacau, dengan kegugupan luar biasa.

“Maksudmu Bapak siapa, Woro? Tenanglah dulu, ambil napas, lalu katakan dengan tenang apa yang terjadi,” kataku, menenangkannya.

“Anu… di sana, Bapak…,” seru Woro tetap kacau.

“Atau kau perlu minum?”

Woro menggeleng, lalu tanpa terduga dia terduduk lemas di lantai dan menangis.

“Bapak kecelakaan, beliau meninggal.”

Lalu waktu terhenti bagiku. Mendadak segala sesuatu senyap. Aku berada pada sebuah dunia yang berhenti. Dunia yang tidak memiliki suara apa pun. Dunia tanpa bunyi. Dunia yang tidak memiliki gerak. Dunia tanpa irama. Dunia yang tak berwarna, tidak juga cahaya. Dunia yang gelap, diam dan hening semata-mata.

Sepasang Kehilangan
Malam sudah larut ketika aku tiba di kota itu. Sebuah kota kecil yang sederhana. Tidak ada bangunan bertingkat tinggi lebih dari dua susun di kota itu. Tidak ada bangunan yang bisa disebut plaza, mal, apalagi apartemen. Yang disebut pusat perbelanjaan lebih berupa sebuah jalan dengan rumah-rumah biasa yang dipergunakan sebagai toko-toko sederhana. Rumah-rumah itu banyak yang bergaya art deco, dengan dinding-dinding tebal, berlapis batu dengan paduan garis tiang yang khas.

Sebuah tempat yang sesungguhnya menyenangkan untuk dikunjungi. Mendadak aku mengerti mengapa ayah terus bertekad menjadikan tempat ini sebagai agenda tetap dalam jadwal kunjungan luar kotanya. Sesungguhnya sebuah kota yang bersahabat. Sesungguhnya. Tetapi, kenyataannya, kota ini tak hendak menjadikan aku sebagai sahabat, yang akan berkunjung dengan sukacita. Tetapi sebaliknya, aku justru datang untuk menjemput sebuah kehilangan yang akan memberikan duka paling sempurna. Kota yang telah merenggut milikku yang paling berharga. Ayahku.

Mobilku memasuki halaman rumah sakit.

Aku tercekat sesaat. Pedih menekan ulu hati. Mobil tak berhenti di pelataran itu, bukan karena tak ada lokasi parkir, melainkan karena….

“Terus saja, ruangan jenazah ada di bagian belakang,” kata petugas dari kepolisian yang mendampingiku untuk melakukan identifikasi, memberikan petunjuk arah ke mana kami harus menuju.

Pak Danu, sopir perusahaan kami, mengangguk tanpa suara. Aku juga tidak bersuara, sementara benakku bergemuruh dalam kecamuk yang tak ternarasikan.

Lalu kami melangkah menuju ruangan dingin itu. Kakiku bergerak begitu saja, seakan tanpa kendali, namun tahu ke mana harus menuju. Tentu tanpa kendaliku karena sungguh tidak kuinginkan perjalanan ini. Sungguh tidak.

“Sungguh Nona siap melakukannya sekarang?” petugas kepolisian menatapku dengan mata menyiratkan simpati. “Atau mungkin ingin beristirahat dulu? Kami bisa menunggu.”

Aku menggeleng perlahan. “Sekarang saja.”

Petugas itu mengangguk. “Maaf, kami terpaksa harus meminta Nona melakukan identifikasi ini, karena anggota keluarga korban yang lain masih di bawah umur sehingga tidak memenuhi syarat untuk melakukannya.”

Aku tidak mengerti apa maksud kalimat itu. Anggota keluarga korban masih di bawah umur? Apa maksudnya? Ayahku adalah korban musibah itu. Aku anak tunggal dan tahun ini genap 25 tahun usiaku. Itu adalah ukuran umur dewasa.

Jadi, apa maksud petugas kepolisian itu?

Tapi, tak ada kesempatan mempertanyakan hal itu. Langkah kami telah tiba di tujuan. Sebuah tempat yang hening, dengan suasana senyap yang tak nyaman. Dengan udara dingin yang menebar miris.

Pintu terbuka. Gemuruh di benakku menghebat, dadaku berde­bar dengan dentuman yang sedemikian rupa. Ada dua tubuh berselubung selimut di ruangan itu. Salah satunya akan dibuka untukku.

“Ayah,” panggilku, refleks. Begitu saja tercetus suara itu.

Perlahan petugas membuka selubung selimut. Ayahku terbaring dengan tenang. Matanya menutup, bibir mengatup. Wajah pucat, nyaris memutih, wajah yang bersih, tidak ada luka berarti, hanya beberapa memar di dahi. Lalu kulihat tetes darah itu, merembes dari hidung dan liang telinga.

“Luka dalam,” petugas menjelaskan. “Agaknya benturan keras mengenai beberapa organ vital. Beliau meninggal di perjalanan, sebelum petugas medis sempat memberikan pertolongan.”

Ayahku.

Gerangan apa yang terjadi sehingga musibah ini menyergap? Ayah adalah seseorang yang selalu bersikap hati-hati, dalam hal apa pun juga, juga ketika mengendarai kendaraan. Selama ini tidak pernah ditimbulkannya goresan apa pun pada mobil yang dikemudikannya. Jadi, bagaimana mungkin terjadi hal separah ini padanya?

Kucari jemari Ayah, kugenggam erat. Dingin jemari itu, tiada kehangatan, meski samar. Tiada jiwa yang bersemayam di sana.

“Ayah, aku datang,” bisikku perlahan. Ayah bergeming, tak hirau pada bisikanku.

Ayah tidak pernah melakukan hal serupa itu padaku. Selalu disimaknya aku dengan seksama. Semua ceritaku, keluhan dan luapan gembiraku. Semua yang ada padaku senantiasa mendapatkan perhatiannya. Tidak ada yang terabaikan satu pun.

Tetapi kini, diabaikannya diriku. Tak didengarnya panggilanku, tidak dibalasnya sentuhanku, tidak disambutnya kedatanganku. Ke manakah perginya semua itu darimu, Ayah?

Ayah tidak menjawab, tetap bergeming dalam kebekuannya. Kuraih saputangan dan kuseka tetes darah di hidung dan telinga. Warna merah bebercak di helaian kain itu.

Seberapa dalam lukamu, Ayah, sehingga mengalir darah itu daripadamu? Pasti keras benturan itu menghantammu, sehingga membentuk luka yang sedemikian rupa. Pasti sakit ketika itu, kesakitan yang tak akan terjelaskan.

Tatap mataku mengabur, genangan air hangat memenuhi kelopak mataku. Aku menangis. Tak mampu kubendung segala kepedihan di dalam diriku. Kepedihan yang utuh penuh, oleh sebuah kehilangan yang sempurna.

Pernah kumiliki sebuah kehilangan, ketika Bunda tiada kembali pada kami. Kehilangan yang rapi tersimpan di dalam diriku, tanpa pernah memudar. Sekarang Ayah meninggalkanku, pergi menuju pada sesuatu. Tanpa pamit apalagi meminta persetujuanku. Kepergian yang melekatkan rasa ditinggalkan yang pedih memenuhi dinding-dinding benakku.

Dan, terlengkapilah kehilangan itu di dalam diriku. Sepasang kehilangan yang sempurna.

Pernahkah melihat sesuatu yang rapuh meretak, lalu berkeping hancur? Umpamakanlah ada sesu­atu yang terbuat dari keramik, entah vas, piring, mangkuk atau gelas. Sebuah benturan menyentuh keramik rapuh itu, mengguratkan retak pada beberapa sudutnya. Namun, keramik itu bertahan, meski menyimpan retak itu di dalam dirinya sebagai jejak peristiwa yang tak terhapus, retak yang bertahan dan tersimpan rapi dalam ingatan. Lalu sebuah benturan lain datang, mengentak sedemikian rupa dalam gerak yang tak terdeteksi, apalagi menyisakan waktu untuk mengelak, apalagi menangkis. Sebuah gerak yang sempurna, tidak hanya sekadar memudarkan retak, melainkan menggenapinya, menyusupkannya sebagai keping yang berserakan. Maka, sempurnalah kehancuran itu. Tiada lagi retak, sekaligus tiada lagi wujud keramik itu. Kehancuran yang sempurna.

Akulah keramik itu.

Kepergian Bunda dan Ayah adalah kehilangan dan kehancuran yang sempurna bagiku.

Butir air menetes dari mataku. Mutiara air mata. Setiap orang akan selalu menyimpan mutiara air mata terindah untuk seseorang yang dikasihinya. Tidak pernah kusangka bahwa begitu dini harus kupersembahkan mutiara air mata terindah kepada orang-orang yang kukasihi.

“Maaf, Nona,” kata petugas kepolisian, menyela kesedihanku. Pelan suara itu, dengan nada memohon yang sangat hati-hati. “Masih ada seorang lagi yang harus diidentifikasi.”

Aku tersentak kaget, menoleh seketika pada polisi itu. Seorang lagi? Siapa pula? Hanya Ayah, milikku seorang di dunia ini.

Petugas kepolisian menjawab pertanyaanku dengan mengarahkan pandang pada sesuatu berselimut yang terbaring di sebelah ayahku. Seorang petugas membuka tabir selimut, menampakkan sosok jenazah seseorang. Wanita paruh baya. Ada banyak luka di tubuhnya. Tidak kukenali.

“Bukannya dia ibu Nona?”

Aku menggeleng. “Tidak. Ibuku meninggal 20 tahun yang lalu.”

Petugas kepolisian mengeluarkan sesuatu. Sebuah tas. Dua buah dompet, model dompet laki-laki dan satunya perempuan. Beberapa kartu tanda pengenal, dan sepasang cincin emas sederhana.

“Ini cincin kawin.”

Aku tercengang. Kuteliti sepasang cincin itu dengan segera. Benar, pada cincin yang lebih kecil tergrafir nama ayahku.

“Mengapa begini? Ini tidak mungkin,” desisku.

“Mereka juga tinggal pada rumah yang sama. Ada seseorang di sana, tapi masih di bawah umur untuk melakukan identifikasi. Beruntung kami menemukan kartu nama korban beralamat perusahaan sehingga kami bisa melacak Anda.”

“Tidak mungkin. Aku anak tunggal, kami hidup berdua. Tidak mungkin ayahku melakukan sesuatu yang tidak kutahu.”

“Tetapi …”

“Berada pada mobil yang sama, tidak berarti ada hubungan khusus, apalagi suami-istri. Pun andai mereka memiliki cincin yang mirip, ini tuduhan yang gegabah.”

“Hmm, mereka….”

“Wanita itu sungguh bukan anggota keluarga kami. Aku tidak bisa melakukan identifikasi untuknya. Maaf,” tukasku tegas.  “Anda harus segera menemukan orang lain untuk melakukannya.”

Petugas polisi itu sesaat menghela napas.

“Baiklah, kami akan melakukan penelusuran lebih lanjut,” katanya dengan kesabaran penuh. “Mungkin Anda bisa membantu?”

“Entahlah,” aku ragu.

“Ada baiknya Nona menyertai kami mengunjungi rumah tempat tinggal korban selama ini.”

Aku mengangguk setuju. Itu rumah ayahku tentu. Kuingat Ayah pernah bercerita bahwa dia menyewa sebuah rumah untuk tinggal selama masa kunjungan di kota ini. Kota ini begitu kecil sehingga hotel yang ada memiliki fasilitas sangat terbatas. Tidak banyak alternatif penginapan. Maka, kulangkahkan kaki mengikuti langkah petugas itu.

Rumah Ayah.
Sederhana rumah itu, dengan luas bangunan yang mungil. Ada kebun dengan berbagai jenis pohon mengitari rumah ini. Berpagar tanaman dengan daun yang rimbun, dan memunculkan kuntum-kuntum kecil bunga berwarna merah jambu. Berpintu pagar kayu yang rendah, tak terkunci dan menghamparkan jalan setapak berupa tumpukan batu kali.

Aku tahu, sebagian dari diri Ayah ada di dalam rumah ini. Setiap sudut rumah pastilah merekam jejak kenangan yang ditinggalkannya. Jejak kenangan yang tak kukenali. Jejak kenangan tanpa melibatkan aku di dalamnya.

Di sisi lain mengalir sebuah perasaan yang asing. Perasaan tidak mengenal, tidak akrab, semacam rasa tidak terlibat. Aku tidak pernah tahu tentang rumah ini. Tidak ada gerak kenangan yang kumiliki darinya. Pun rumah ini juga tidak menyimpan jejakku di dalam segala sejarahnya, meski selintas.

Polisi itu mengetuk pintu.

Aku mendadak berdebar. Entah mengapa. Seakan-akan berada dalam suatu situasi untuk membuka kotak pandora. Kotak yang senantiasa menyimpan hal tak terduga.

Pintu terbuka. Seorang wanita muda muncul dari belahan pintu terbuka, menyambut kami dengan santun. Sesaat petugas kepolisian mengatakan sesuatu padanya. Lalu disalaminya aku dan dipersilakannya masuk.

Kuedarkan pandangan. Tatap mataku menjelajah beberapa sudut rumah. Rumah yang menyimpan sesuatu untukku. Beberapa foto yang tergantung di dinding menghadapkan aku pada sesuatu. Beberapa foto berbingkai yang menghias meja dan lemari buku, merupakan data pelengkap yang menggiringku untuk menemukan yang tak terduga itu.

Di depan sebuah foto besar, aku terenyak. Menyimpan keterkejutan yang mencekam.

“Itu ayah dan ibuku,” sebuah suara anak-anak.

Seorang anak laki-laki tiba-tiba berdiri di sampingku. Barangkali berusia lima tahun. Rambut bergelombang, mata bulat. Dia pemilik suara itu. Dia juga pemilik sebuah telunjuk yang mengarah pada foto di dinding. Dia juga pemilik sebuah pernyataan tentang sosok di foto itu. Salah satu sosok di sana itu adalah ayahku.

Aku tercekam. Gemetar tubuhku, berdebar keras hati dan berkecamuk perasaanku. Kami mengklaim memiliki hak milik yang sama atas sosok seseorang. Hak milik yang seharusnya kumiliki secara tunggal.

“Siapa dia?” tanyaku, entah pada siapa.

Pertanyaan yang naif, atau bodoh? Tepatnya pertanyaan yang tidak perlu diajukan. Foto besar di dinding itu sejak awal telah menyatakan jawaban. Di dalam foto itu figur ayahku tercetak dengan jelas, bersanding dengan seorang wanita, dan seorang anak laki-laki duduk di antara keduanya.

“Namanya Tenggara, murid yang cerdas dan jenaka di kelas saya,” kata wanita muda, yang rupanya seorang guru, menjawab.

Kutatap anak laki-laki itu dengan seksama. Tidak bisa kuingkari, dia memiliki garis wajah ayahku. Mata, alis, hidung dan lekuk rahangnya bukanlah sesuatu yang asing. Aku merasa mati langkah.

“Apakah engkau Kak Seroja?” Anak itu ganti mengamatiku. Aku terkejut. Dia menyebutkan namaku.

“Bagaimana kau tahu?” tanyaku, tajam.

Diraihnya tanganku, digandengnya aku menuju pada sebuah ruangan. Pada salah satu dinding ada sebuah bingkai. Ada diriku di dalam bingkai itu, sedang bersandar pada bahu Ayah. Di sana kami sedang tertawa bersama.

“Kata Ayah, aku harus memanggilmu Kak Seroja, karena kau adalah kakakku,” kata anak kecil itu.
Aku tercenung.

Tidak kutahu apa yang sedang terjadi di dalam diriku kini. Aku tidak kehilangan kesadaran, aku hanya tidak paham apa yang sedang kuhadapi sekarang ini. Serupa menemukan rangkaian puzzle yang berserak. Pada mulanya kukira telah kurangkai dengan sempurna susunan puzzle hidupku. Tetapi ternyata, susunan puzzle itu kini berserak porak-poranda.

”Kami tidak menemukan kerabat lain di kota ini,” petugas kepolisian itu berkata perlahan. “Para tetangga juga tidak bisa memberikan informasi yang mendukung. Jadi, Nona adalah satu-satunya kerabat Tenggara.”

“Tetapi, saya tidak mungkin membawanya pulang,” tolakku, bertahan.

“Meskipun telah menemukan semua dokumen pendukung bahwa anak itu adalah benar-benar putra Pak Lesmana?”

Aku berpaling. Aku tidak menduga keadaan ini, apalagi menginginkannya. Bila kemudian kutemukan seorang ’adik tiri’, maka itu adalah keterkejutan lain yang sesungguhnya tidak kuperlukan. Aku telah cukup terpukul dengan musibah yang merenggut Ayah, sehingga tidak kuperlukan ‘tambahan’ musibah lainnya.

“Tetapi, siapa yang akan memelihara dan menjaganya?” Ibu guru Tenggara menatapku dengan cemas. “Dia baru menjelang 5 tahun, belum cukup mandiri untuk melakukan banyak hal.”

“Panti asuhan barangkali?” kataku, mengajukan alternatif.

“Nona sampai hati melakukannya?”

Mengapa tidak? jawabku dalam hati. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tidak kumiliki keterkaitan perasaan apa pun dengan anak itu. Jadi, mengapa aku harus tidak sampai hati?

“Tidak masalah dengan biaya, saya akan melunasi segala ongkos yang diperlukan,” kataku, lugas.

Ibu guru itu menatapku dengan terkejut.

“Tetapi...,” gumamnya, mengambang. Tampak bimbang dan khawatir. Petugas kepolisian menghela napas sesaat.

“Ini kota kecil, segala fasilitas yang ada cenderung terbatas, bahkan barangkali tidak memadai untuk kebutuhan tertentu. Ada panti asuhan, tetapi akan terasa sangat tidak layak untuk Tenggara.”

“Dia anak yang baik, dia layak mendapatkan pengasuhan yang terbaik,” kata guru muda itu, tanpa menyamarkan nada memohon dalam kalimatnya. “Bawalah dia bersamamu, Nona. Hanya dirimu yang dimilikinya sekarang.”

Aku menggeleng.

“Setidaknya bersamamu akan diperolehnya kesempatan untuk meraih masa depan yang selayaknya menjadi haknya.”

“Selain itu, secara hukum, Andalah yang harus menerima tanggung jawab itu. Kita tidak mungkin memaksa para tetangga untuk sudi menampungnya, juga pihak sekolah. Atau, Anda akan dituduh tidak bertanggung jawab atas kewajib­an pengasuhan ini?” lanjut petugas polisi itu bernada tegas.

Fait accomply. Itu yang kurasakan dari ketegasan kalimat itu. Alangkah tidak nyaman berada dalam situasi ini.
Sering kulakukan beragam negosiasi dalam menjalankan perusahaan. Kadangkala demi tujuan tertentu kulakukan strategi menyudutkan pihak lawan. Kadangkala pula aku berada dalam situasi yang tersudut. Tetapi, selama ini tidak pernah kualami situasi dengan tekanan serupa ini. Ini situasi yang tidak bisa kunegosiasikan. Seharusnya aku tidak berada dalam situasi ini.

Seorang Kakak dan Adiknya
“Saya sungguh tidak tahu,” kata Pak Danu, sopir kami, menunduk dengan sedih di hadapanku. “Setiap mengantar ke kota itu, yang pertama kali dilakukan juragan adalah mengajak saya makan, lalu mengantar ke stasiun hingga saya bisa segera pulang. Sepuluh hari kemudian, juragan menelepon saya untuk menjemputnya. Kami bertemu di stasiun, makan bersama, lalu ganti saya yang mengendarai mobil pulang.”

“Sekian tahun mengantar dan menjemput Bapak ke kota itu, tidak pernah satu kali pun saya ikut menginap. Saya juga tidak pernah melihat Bapak bersama wanita lain, hanya sesekali kami berjumpa dengan pelanggan atau relasi sesama pedagang lainnya.”

Aku mengangguk, tidak lagi memaksakan pertanyaan selanjutnya. Begitulah, keping kehidupan Ayah tetap menyimpan sesuatu yang samar.

”Tidak terlalu berguna juga membongkar masa lalu, apalagi bila mereka yang terlibat sudah meninggal,” kata Jade, sahabatku.

Kalimatnya tersusun hati-hati, meski tetap menampakkan kelugasan yang menjadi tipikal khasnya.

”Hanya menuntaskan rasa ingin tahu, sebuah penasaran belaka.”

”Lebih dari itu. Ini adalah sebuah pertanyaan besar, bagaimana mungkin Ayah melakukan hal semacam ini padaku dan menyembunyikannya sedemikian rapi?”

”Bukan klise kalau kukatakan tidak ada hal yang sempurna. Apalagi manusia adalah sumber segala kesalahan. Ayahmu adalah seorang manusia belaka, laki-laki normal. Kalau selama ini beliau tampak sempurna bagimu, itu adalah karena kau melihatnya dengan kacamata kanak-kanakmu, dengan kerangka pikir kepolosanmu, dan begitulah dia menempatkan diri di dalam duniamu. Tetapi, di luar semua itu, beliau adalah laki-laki normal yang kesepian, yang secara biologis memiliki libido yang memerlukan penyaluran.”

“Ayah sudah lebih dari lima puluh tahun, pasti bukan karena itu,” bantahku, sengit.

“Ya, sekarang, tetapi beliau masih muda ketika bundamu meninggal. Bahwa kemudian pernikahan keduanya ini baru dilakukannya sekitar 6 tahun terakhir ini, pastilah diperlukan ketabahan yang luar biasa untuk membendung hasrat-hasrat semacam itu.”

”Mengapa harus menyembunyikannya dariku? Ini tidak adil.”

Jade menatapku dalam-dalam.

”Jangan salah mengartikannya, itu sama sekali bukan pengkhianatan, melainkan lebih sebagai sebuah upaya untuk melindungi dan menjaga perasaanmu.”

”Aku tidak paham.”

”Lihatlah dirimu. Kau seorang anak dengan rasa kehilangan yang dalam terhadap figur ibu. Waktu tidak memudarkan ingatanmu, namun justru makin menguatkan kenangan bundamu dalam ingatanmu. Sedemikian kuat kenangan itu sehingga kau senantiasa masih melibatkan keberadaannya dalam kehidupan kalian.”

Aku tidak membantah. Memang begitulah adanya. Kenanganku tentang Bunda tidak serupa foto yang makin memudar melawan masa, atau seperti besi yang berkarat melawan alam, atau tanah longsor yang tergerus arus air. Justru makin menguat ingatan itu, serupa pohon yang mencengkeram tanah bumi dengan akarnya.

”Ayahmu pasti tahu bahwa kau akan menolak kehadiran wanita lain. Kau tak ingin posisi Bunda tergeser, juga posisimu dalam diri ayahmu. Wanita itu akan lebih menjadi sosok asing yang mengganggu bagimu. Sementara pada sisi yang lain, ayahmu menginginkannya.”

”Jadi begitulah, ayahmu kurasa lebih memilih melakukan dusta putih. Dusta yang kadangkala perlu dilakukan demi menjaga perasaan satu sama lain, supaya segala sesuatu tetap berjalan seperti biasa, tanpa memicu gejolak. Falsafah Jawa mengatakan, momong siji lan sijine. Begitulah ayahmu memilih dusta itu, demi menjaga perasaanmu. Demikianlah penafsiranku. Jadi bagiku, itu sama sekali bukan pengkhianatan.”

Aku tercenung.

Benar bahwa aku tidak bisa menerima kehadiran wanita lain itu, bagi ayahku juga bagiku.

Itu berarti aku juga tidak menghendaki kenangan tentangnya, sekecil apa pun kenangan itu, apalagi bila itu berupa seorang anak sebagai generasi penerus. Meski separuh di dalam diri anak itu mengalir darah ayahku. Kuyakini dan kupastikan, aku tak menghendaki Tenggara. Dan kuambil keputusan itu.

”Carilah informasi tentang panti asuhan untuk anak laki-laki,” kataku pada Woro,  di kantor.

”Panti asuhan, dengan fasilitas yang memadai, lebih bagus bila sekaligus memiliki sekolah atau asrama untuk murid-muridnya. Tentang biaya, sama sekali tidak masalah.”

”Untuk siapa?” matanya bertanya.

”Berikan informasi selengkapnya. ASAP,” kataku, mengabaikan pertanyaannya dan mengisyaratkan untuk segera menyingkir dari ruang kerjaku.

Ternyata, tidak mudah mendapatkan sebuah panti asuhan sekaligus lembaga pendidikan seperti yang kuinginkan. Mendatangi beberapa di antaranya, tapi tak satu pun membuatku terkesan dan yakin untuk menempatkan Tenggara di sana.

Sebenarnya, bisa saja aku tidak perlu terlalu mempertimbangkan banyak hal. Toh, sesungguhnya aku tidak mengenal Tenggara, bahwa ternyata dia ’ada’. Bukankah aku dikondisikan untuk tidak mengetahui keberadaannya? Jadi, sesungguhnya aku bisa mengabaikannya.

Tapi, jauh di dalam hati kecilku, tak mampu kupungkiri bahwa sebagian diri ayahku ada di dalam dirinya. Dan aku tidak mampu mengabaikan Ayah. Maka, kutabahkan diriku untuk menjaganya beberapa waktu, sebelum menemukan panti asuhan terbaik itu.

”Mengapa aku tidak pergi ke sekolah? Apakah sekolahku masih libur?” tanya Tenggara pada suatu pagi.
Aku berpikir sesaat, mereka-reka jawaban yang selayaknya kuberikan padanya

”Belum kutemukan sekolah yang baik untukmu,” jawabku.

”Tapi, mereka berangkat ke sekolah,” katanya, sembari menunjuk serombongan anak berseragam merah putih, yang kebetulan melintas di depan rumah. ”Sekolah mereka tidak mau menerimaku?”

Aku menghela napas. Bagaimana mengatakan kepadanya bahwa sekolah yang diperlukannya bukanlah sekolah biasa yang ada di dekat rumah, sekolah ke mana anak-anak itu menuju? Bahwa yang diperlukannya bukan sekolah biasa semacam itu, melainkan sebuah sekolah berasrama tempat dia akan tinggal. Bahwa tidak selamanya dia akan tinggal bersamaku?

”Antarlah aku ke sekolah itu, akan kukatakan kepada ibu guru bahwa aku bukan anak yang nakal,” pinta Tenggara. Ia berusaha meyakinkan sembari menarik ujung bajuku.

Baju kerjaku telah tersetrika rapi, ditarik semacam itu bisa membuat baju itu kusut. Maka, dengan segera kutepis tangan kecil itu.

”Sabarlah, tunggu beberapa hari lagi,” kataku, pendek.

Bola mata bulat itu meredup, menampakkan harapan yang pupus.

”Anggap saja ini masa liburan, bukankah lebih menyenangkan? Kau bisa bermain sepuasmu sepanjang hari tanpa harus belajar.”

”Tetapi tidak ada teman, bosan bermain sendirian.”

”Bukannya Dayu selalu menemanimu?” sergahku, menyebut pembantuku yang kualihfungsikan menjadi pengasuhnya.

”Mbak Dayu tidak gesit, selalu kalah adu lari, sembunyi dalam petak umpet pun tak pandai, selalu mudah menemukannya.”

”Mungkin yang dilakukannya itu untuk membuatmu senang, daripada kau menangis karena kalah.”

”Aku tidak seperti itu,” bantah Tenggara, menatapku lurus. ”Kata Ayah, menangis tidak baik untuk anak laki-laki sepertiku. Lututku terantuk batu pun aku tidak menangis.”

Anak yang baik, gumamku diam. Anak yang mengingat petuah ayahnya. Ataukah karena dimilikinya Ayah yang baik, yang selalu memiliki cara yang sedemikian rupa sehingga setiap petuahnya senantiasa tersimpan di kedalaman benak anak-anaknya?

Tergenang Kesendirian
Sore itu aku baru saja pulang dari kantor ketika Dayu tergopoh menghampiriku. Gerak tubuhnya tampak sangat tergesa berpadu kegugupan.

”Ada apa?” tanyaku, menatap heran.

”Saya pamit, Bu, harus pulang ke desa sore ini juga!” serunya, cemas. ”Bapak saya jatuh dari atap rumah waktu membetulkan genteng bocor.”

”Sudah dibawa ke rumah sakit?” tanyaku, terbawa rasa cemas.

”Sudah, sekarang opname di rumah sakit kabupaten, saya harus pulang, satu minggu saja, minggu depan saya pasti kembali.”

Aku menghela napas. Aku berpikir tentang sebuah rentang waktu berjarak satu minggu. Sesungguhnya bukan sebuah masalah besar untukku. Aku bukan seseorang yang memiliki kadar ketergantungan tinggi pada orang lain. Namun, kini aku tidak sendirian. Ada Tenggara, seorang anak yang memerlukan pengasuhan tersendiri.

Kutatap Dayu yang cemas menunggu jawabanku.

”Bisa, ya, Bu?”

Aku masih berpikir. Tidak manusiawi bila tidak kuberikan izin itu. Selama menjadi pembantu kami selama lima tahun ini, Dayu telah menjalankan tugasnya dengan baik. Seseorang yang bisa dipercaya merawat rumah dan membantu kami dalam banyak hal. Bukan pula tipe seseorang yang sering meleng dari tugas. Dia hanya mengambil hak cutinya 3 kali dalam setahun. Sekarang, ketika orang tuanya mengalami musibah, sangat mustahil bila kuhalangi kepulang­annya. Di sisi lain, tak terelakkan, absen 7 harinya Dayu akan menghadapkanku pada suatu masalah besar. Mengasuh Tenggara!

”Ibu, maaf, saya harus pamit sekarang, sudah ditunggu paman,” kata Dayu, memohon dengan sangat. Mengisyaratkan bahwa tidak bisa terlalu lama menunggu persetujuanku.

Aku masih berpikir, tetapi Dayu telah menyudahi batas waktu yang tersedia. Aku tak berdaya untuk menolaknya.

”Baiklah,” aku mengangguk lemah. Kuambil sejumlah uang dari dalam tas.

”Untuk biaya rumah sakit, cari obat terbaik supaya bapakmu cepat sembuh.”

Dayu menerima pemberianku dengan hati-hati dan menyimpannya sungguh-sungguh.

Hari Minggu.
”Ini hari Minggu, antarkanlah aku ke sekolah Minggu,” pintanya.

Sekolah Minggu, sebuah acara kebaktian yang diadakan pada hari Minggu untuk anak-anak. Sebuah acara yang mengisi hari Minggu-ku pada masa kanak-kanakku. Sebuah acara yang kunantikan dan kulalui dengan sukacita.

”Mengapa harus sepagi ini? Nanti sore saja,” jawabku, malas.

”Tapi, aku ke sekolah Minggu setiap pagi, bersama Ibu,” tukasnya.

”Itu aturan ibumu,” kuangkat bahu dengan tak acuh. ”Di sini rumahku, aturan ibumu tidak berlaku.”

Tenggara terkejut sesaat. Agaknya tidak menyangka jawabanku akan setajam itu.

”Tapi, aku harus berdoa, juga mendengarkan kisah nabi,” gumamnya, pelan.

Berdoa bisa kau lakukan di mana saja, tidak hanya di gereja,” kataku, tetap tak peduli. ”Dan, mendengarkan cerita, nanti kuputarkan cerita melalui VCD, bisa kau lihat di televisi. Cerita apa yang ingin kau lihat? Tentang perahu Nabi Nuh, Keajaiban Natal, atau kartun Tom and Jerry?”

Tenggara menatapku tak mengerti. Tapi, aku tidak menjelaskannya lebih lanjut. Bukan hal mudah menjelaskan sesuatu kepada anak-anak dan aku tak memiliki keahlian semacam itu.

Kuhidupkan pesawat televisi, kupilih sebuah film kartun dan kuputarkan melalui mesin pemutar cakram. Lalu kurebus mi instan sebagai makan paginya. Sesudah itu aku kembali masuk ke kamarku, kututup rapat pintunya dan melanjutkan tidurku yang terpenggal.

Seharian itu kunikmati me time di dalam kamar. Membaca, tidur sesuka hati, bermain game luxor di komputer. Menjelang sore, barulah aku keluar kamar.

Dengan terkejut kudapati mi instan yang kurebus tadi pagi, masih utuh tak tersentuh di atas meja, dan kutemukan Tenggara duduk melamun di kebun belakang. Raut wajahnya kacau, tampak seperti baru saja bangun tidur.

”Mengapa tidak makan mi itu?” tanyaku.

Tenggara menggeleng.

”Ibu melarangku makan mi seperti itu,” katanya.

”Ibumu sudah mati, dia tidak bisa lagi me­larang-larangmu.”

”Tapi...,” kata Tenggara, tak selesai.

”Sudah kukatakan, ini rumahku, maka aturan ibumu tidak berlaku di sini, melainkan aturanku. Aku tidak bisa meladenimu dengan segala kerewelanmu. Apa yang ada, itulah yang tersedia bagimu. Paham?” hardik­ku, tanpa belas kasihan.

Tenggara tertunduk, tampak jelas menyimpan rasa takut.

”Sekarang mandilah, kita akan pergi ke gereja. Pulangnya, baru kita cari makan. Jadi terserah, kau makan mi itu atau menahan lapar sampai nanti malam.”

Tampaknya Tenggara memilih untuk menahan lapar. Sungguh anak yang patuh, kataku tanpa suara. Meski tiada lagi ibu yang menciptakan larangan itu, yang akan bisa memberinya hukuman bagi pelanggaran yang terjadi, tetap disimpannya rasa takut untuk mematuhi segala petuah.

Tengah malam aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Barangkali karena tidur siangku terlalu berlebihan sepanjang hari tadi. Saat melangkah menuju ruang baca, mendadak kudengar suara itu. Suara tangisan yang lirih, berasal dari kamar Tenggara.

Perlahan kubuka pintu kamar itu. Cahaya redup, namun cukup bagi penglihatanku untuk menemukan sosok kecil yang bersimpuh di bawah jendela. Sosok dengan bahu berguncang oleh tangisan. Kunyalakan lampu.

”Mengapa menangis?” tanyaku, heran.

Tenggara terkejut, lalu dengan cepat menghapus air mata dengan lengannya, tampak berusaha menghentikan tangisannya. Usaha yang tidak berhasil karena air matanya tetap mengalir.

”Katamu kau bukan anak yang mudah menangis?”

”Aku ingin bertemu Ibu,” isaknya.

”Ibumu tak akan mendengar tangisanmu, percuma menangisinya.”

”Aku mau Ibu,” Tenggara masih menangis.

Aku tahu perasaan itu. Sebuah rasa ditinggalkan. Kesendirian yang senyap, seakan jauh dari segala sesuatu. Dulu, setiap kali perasaan itu datang, akan kucari Ayah, kubenamkan isakku dalam pelukannya. Rengkuhan Ayah membantuku membenamkan rasa sendiri itu, yang perlahan berganti damai yang menenangkan. Seakan menemukan sebuah tempat aman dari sergapan kesendirian. Tempat aman nan hangat itu adalah pelukan Ayah.

Kini, tak ada lagi pelukan Ayah untukku. Juga bagi Tenggara. Kini hanya ada kami berdua. Haruskah kurengkuh dia demi membantunya membenamkan rasa kesendiriannya? Apakah pelukanku memberikan rasa aman baginya, sama seperti yang kutemukan dalam pelukan Ayah?

Aku berpaling. Kutepiskan rasa belas kasihan yang menghampiri. Kutekankan pada diriku bahwa dia, Tenggara, adalah seseorang yang selama ini tersembunyi dariku, seseorang yang seharusnya tidak kukenal, tidak kutahu keberadaannya, maka akan tetap kupertahankan seperti itu.

Aku Bukan Kakakmu
Aku bangun lebih dini pagi itu. Kumasak nasi goreng omelet. Kutambahkan irisan sosis dan butiran jagung manis. Kusiapkan pula 2 gelas susu cokelat. Satu untukku, segelas yang lain untuk Tenggara.

Kakiku melangkah memasuki kamar tidur Tenggara. Oh, bukan. Sama sekali bukan kamarnya, ralatku cepat. Hanya kamar yang ditempatinya sementara, sebelum nanti kutemukan kamar lain yang tepat untuknya, pada sebuah asrama.

Kubuka tirai jendela, membiarkan cahaya matahari menerobos masuk dan menerangi segala sudut ruang. Tampak olehku Tenggara sudah membuka mata, tampaknya termenung sembari berbaring. Seakan tak dihiraukannya kehadiranku.

Aku duduk di ujung dipan, dekat dengan kaki kecilnya yang tertutup selimut.

”Bangunlah, kuantar kau ke sekolah,” kataku, sembari menyentuh kakinya.

Tenggara bangkit seketika.

”Sekolah? Sekarang?” Matanya membulat terkejut.

Aku mengangguk. Sesaat ada kelegaan dalam diriku melihat mata bulatnya menyimpan cahaya. Cahaya yang tidak kusangka, setelah dia ’tergenang’ semalam.

Aku telah berbicara dengan Jade semalam. Dia bekerja menjadi pembimbing pada sebuah kelompok bermain. Kukira akan lebih baik menitipkan Tenggara pada sekolah kecil itu untuk sementara, ketimbang aku harus menjaganya sepanjang hari dalam satu pekan ini.

”Bukan sekolah sebetulnya, melainkan sebuah kelompok bermain. Jadi barangkali kau akan satu kelas dengan anak-anak yang lebih kecil,” kataku, menjelaskan. ”Untuk sementara, hanya sekolah itu yang kutemukan untukmu. Kau mau?”

”Tentu mau!” seru Tenggara cepat, sembari turun dari dipan, bergegas menuju kamar mandi.

Lalu kupilihkan baju yang akan dipakainya hari ini.

Tenggara menyuap lahap nasi gorengnya. Sangat bersemangat.

”Jangan tergesa, nanti tersedak. Masih banyak waktu, kau tidak akan terlambat,” kataku, sembari  menaruh setangkup roti tawar berlapis selai kacang dalam kotak makanan.

”Ini untuk bekalmu,” kuserahkan kotak itu pada Tenggara.

Pagi itu kuserahkan Tenggara pada Jade. Ada kelegaan besar di dalam diriku mendapatkan solusi terbaik untuk mengatasi pekan berat ini. Setidaknya aku terbebas dari beban tugas untuk menjaga Tenggara sepanjang hari.

Baru saja kucapai halaman luar sekolah itu, ketika kudengar langkah kaki Tenggara mengejarku.

”Ada apa?” tanyaku, menghentikan langkah.

”Kakak belum menciumku,” katanya, menunjuk pipinya.

Aku tertegun. Mataku lurus menatap padanya. Pada mata yang bulat bercahaya, pada pipi yang gembil ranum. Paduan yang sungguh memunculkan rasa sayang. Cium adalah sentuhan terindah untuk mengungkapkan rasa itu. Tetapi, aku tidak hendak memiliki rasa itu di dalam diriku. Sungguh tidak! Tidak boleh terjadi!

Ayah telah menyembunyikan keberadaannya dariku. Karena sesungguhnya Tenggara adalah seorang ’pencuri’ bagiku. Dia mencuri ayahku. Pencuri kasih yang seharusnya kumiliki secara tunggal. Aku tidak ingin menjadi kakak baginya. Tidak akan pula kujadikan dia sebagai adikku. Sungguh tidak.

Pekan itu berjalan dengan baik. Tenggara menyukai kelompok bermainnya, alias sekolah sementaranya, dan tidak bermasalah dengan teman-teman barunya yang relatif lebih muda usia.

”Tenggara justru bisa menjadi kakak yang baik bagi anak-anak itu,” lapor Jade suatu kali. ”Aku serasa memiliki asisten kecil.”

”Begitukah?” responsku, tak acuh.

”Kurasa dia juga akan menjadi adik yang baik bagimu.”

”Tidak,” tolakku pendek, dan segera kualihkan percakapan kami pada arah yang lain.

Aku bergeming dengan keputusanku. Bagiku, dia tetap pencuri ayahku, tidak lebih.

KONSEP BERBAGI
Akhirnya kutemukan juga sekolah berasrama itu. Sekolah internasional berfasilitas lengkap. Dari rekomendasi berbagai pihak, kusetujui Tenggara akan mendapatkan pendidikan dan lingkungan sosial serta penjagaan yang baik di sekolah itu. Maka, kulengkapi dengan cepat syarat-syaratnya, sehingga dengan segera Tenggara bisa pindah ke sekolah baru itu.

”Kau yang menentukan keputusan itu, maka kau sendiri yang harus menyampaikan dan menghadapinya,” kata Jade.

”Sekolah itu memiliki kurikulum dan sistem yang bisa dipercaya. Tenggara akan mendapatkan pendidikan terbaik di sana. Sesuatu yang tidak bisa kulakukan untuknya,” kataku, mencoba berdalih.

”Anak tidak hanya memerlukan pendidikan, melainkan juga kasih sayang dari orang-orang yang dekat dengannya.”

”Itu juga tidak kupunya. Tenggara adalah orang asing bagiku, seseorang yang seharusnya tidak kuketahui keberadaannya, apalagi mengenalnya. Kalau kami dianggap dekat, itu hanyalah faktor genetis belaka, karena kami memiliki ayah biologis yang sama. Tetapi, secara emosional, tidak kumiliki ikatan apa pun dengannya!”

”Meski kalian memiliki kehilangan yang sama?”

”Ya!” jawabku, bergeming.

Tibalah hari itu.

Entah mengapa, aku memulai hari itu dengan berdebar. Seperti ada sesuatu yang tidak nyaman mengikutiku, kegelisahan yang entah dari mana datangnya. Padahal, seharusnya ini merupakan hari pembebasan bagiku. Hari pelepasan dari sebuah beban bernama Tenggara. Kebebasan yang seharusnya dirayakan.

Tetapi, mengapa aku justru gelisah? Mungkinkah karena kulakukan sebuah muslihat untuk mengelabui Tenggara?

Muslihat. Sebuah kata yang menjelaskan tentang tipu daya. Sebuah kata yang mengesankan adanya sesuatu yang tersamar, yang tersembunyi dengan maksud untuk mengelabui. Kulakukan strategi tipu daya itu untuk seorang anak berumur 5 tahun.

Tenggara sangat bahagia dan takjub melihat betapa luas dan gagahnya bangunan sekolah barunya. Tetapi, tidak pernah kukatakan bahwa bangunan itu, tidak sekadar terdiri dari kelas-kelas, melainkan juga terdiri dari kamar-kamar untuk para murid menjalani segala aktivitas kesehariannya. Bahwa itu adalah asrama, yang akan menjadi rumahnya. Bahwa dia tidak akan kembali pada rumah yang dihuninya beberapa pekan ini, karena rumah itu bukanlah rumahnya, melainkan rumahku. Kali ini aku hanya mengantar. Satu arah, satu tiket, tanpa arah untuk kembali padaku.

Sekolah itu berada di pinggiran kota. Diperlukan waktu lebih dari satu jam untuk menempuh perjalanan mencapai sekolah itu. Kutempuh perjalanan itu dengan diam. Bukan karena berkonsentrasi penuh pada kemudi di tanganku, melainkan lebih karena tercengkeram oleh kegelisahan yang tidak kupahami.

Pada kursi di sampingku, Tenggara tepekur diam. Entah apa yang berkecamuk di benaknya, aku tak hendak peduli.

”Ini sekolahmu,” kataku, sembari membuka tali pengaman dari kursi mobil. ”Ayo, kuantar ke ruang kelas dan guru barumu.”

Tenggara mengangguk patuh. Lalu menyandang tas sekolahnya. Tangan yang lain menenteng kotak bekal dan termos kecil berisi air minum. Sementara aku sendiri mendorong sebuah koper berisi pakaian dan ’harta benda’ Tenggara.

Tenggara menatap heran koper itu.

”Mengapa Kakak membawa koper? Apa isinya?”

Aku berpaling. Bukan karena hendak mengabaikan pertanyaan itu, melainkan lebih karena tidak kutahu cara menjawabnya. Tidak kutemukan kalimat terbaik sebagai jawaban pertanyaan itu.

Guru baru Tenggara menyambut kami di ambang pintu. Berbincang sesaat dengan Tenggara, sebelum kemudian menerima koper yang kuserahkan padanya.

Kuhela napas panjang, lalu berjongkok di depan Tenggara.

”Kau suka sekolah baru ini?”

Tenggara mengangguk.

”Kau akan rajin belajar?”

Tenggara mengangguk lagi.

Mata bulatnya menatapku polos, tulus tanpa prasangka. Tanpa tahu bahwa telah kususun sebuah muslihat untuknya. Aku tercekat. Ada sesuatu yang menggumpal di dalam diriku dan nyaris tidak kukuasai. Suatu rasa yang tidak ingin kumiliki, khususnya dalam kaitannya dengan Tenggara.

Rasa itu, janganlah mendatangiku. Enyahlah, pergilah, jadikanlah dia tetap sebagai orang asing yang tidak perlu kukenal. Bahwa hanya faktor kebetulan belaka yang membuat kami terkait secara biologis.

Namun, tanpa kukehendaki, begitu saja aku mendekatkan diri, mencium kedua belah pipinya. Kulakukan dengan sentuhan yang sangat sekilas. Tetapi, kemudian tanpa terduga, kedua belah tangan Tenggara bergerak memelukku. Kecil lengan itu, namun merengkuhku dengan sempurna. Erat melingkariku.

Aku tak punya pilihan lain selain membalas pelukan itu. Lalu rasa itu mendatangiku. Rasa tidak asing, yang dulu kala mendatangiku pada masa kanak-kanakku, kala kali terakhir kupeluk Bunda.

Sebuah rasa kehilangan. Sebuah rasa ditinggalkan.

Segera kuhentikan rasa itu. Kulepaskan pelukan anak itu, bangkit berdiri sembari berpaling, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Aku tahu rasanya ditinggalkan. Dulu sekali.

Kini, aku tahu rasanya meninggalkan.

Aku ingin merayakan kebebasanku. Maka, kuajak Jade makan malam. Sudah lama kami tidak melakukannya, setelah begitu banyak peristiwa tak terduga yang menimpaku.

Jade belum selesai merapikan diri, ketika aku menjemputnya petang itu. Seperti biasa, aku menunggunya di ruang belakang. Ada taman kecil di situ, dengan kolam berisi ikan koi aneka warna. Juga kandang burung berisi parkit-parkit berwarna pastel. Di sudut halaman kulihat penghuni baru itu. Seekor anjing kecil, berbulu serupa kapas warna abu-abu. Kecil makhluk itu, seakan bisa dipeluk dengan genggaman jemari.

Aku melangkah mendekat. Makhluk mungil itu sedang asyik menyantap ransum dari mangkuknya.

”Hai, siapa namamu?” tanyaku, menyentuh ujung telinganya yang berwarna semburat. Sesaat makhluk itu berhenti menyantap, menatapku sebentar, lalu mengendus ujung kakiku. Agaknya dia sedang mengenaliku.

”Hus, habiskan dulu makanmu!” seruku, bergerak mundur.

Tetapi, makhluk kecil itu terus saja mengikutiku.

”Sudah kenyang?” tanyaku lagi. Kugerak-gerakkan kaki menggoda makhluk itu, yang ikut bergerak seirama gerak kakiku.

Sesaat kemudian Jade muncul di ambang pintu.

”Hai,” sapanya, melihatku bercanda dengan anjingnya. ”Namanya Grey.”

”Lucu makhluk ini, dapat dari mana?”

”Dari seorang murid. Hadiah Natal yang diberikan sebelum dia liburan.”

”Oh,” aku manggut-manggut. ”Tapi, makanan yang kau berikan terlalu banyak, lihat, tersisa separuh.”

”Bukan begitu. Meski kukurangi ransumnya, akan tetap ia sisakan separuh.”

”Mengapa begitu?” aku tidak mengerti.

”Konsep berbagi,” Jade menjelaskan sembari membersihkan mangkuk makan Grey. ”Umumnya terjadi pada makhluk yang tumbuh bersama dan terbiasa makan dari satu tempat. Induk anjing ini pastilah melahirkan beberapa ekor anak pada saat yang sama. Masa awal mereka terpisahkan, belum disadari bahwa mereka tidak lagi berbagi makanan, sehingga disisakannya sebagian, mengira bahwa saudaranya masih memerlukan bagian makanan itu.”

”Begitu, ya?”

Jade mengangguk. ”Hal semacam ini akan berlangsung beberapa lama. Semacam proses adaptasi, sampai mereka terbiasa dan sadar bahwa saudaranya tidak pernah datang kembali.”

Mendadak aku terdiam. Seakan aku berhadapan dengan sebuah perumpamaan, semacam gambaran yang serupa. Kutinggalkan seorang anak pada suatu tempat, tanpa pamit, ucapan selamat tinggal, apalagi penjelasan. Anak itu, Tenggara, apakah akan mengalami proses adaptasi yang sama seperti Grey? Menjalani masa penantian, mengira bahwa aku akan menjemputnya? Berapa lama dia akan memelihara harapan itu? Apakah dia akhirnya akan sadar suatu hari nanti, bahwa sesungguhnya dia telah ditinggalkan?

Aku tercekat. Gumpalan rasa itu memenuhi diriku. Menyesakkan benak, seakan memberikan tindihan mahaberat yang nyaris tak tertanggungkan.

Konsep berbagi. Bahkan seekor anjing, makhluk yang sering kali dianggap hina, memahami tentang konsep berbagi. Tidak hanya berbagi makanan dari wadah mangkuk yang sama, melainkan lebih dari itu, mereka sesungguhnya saling berbagi kasih sayang.

Mengapa aku tidak?

Apa yang kupahami tentang konsep berbagi selama ini? Kumiliki dan kupimpin sebuah perusahaan. Setiap tahun kubagi keuntungan perusahaanku pada setiap karyawan, karena bagiku merekalah tiang-tiang perusahaan. Kusedekahkan pula sebagian penghasilanku, sesuai ajaran agamaku, karena demikianlah Tuhan mengajarkan kepada umatnya, supaya tidak terikat pada harta dunia. Karena, ada harta surgawi yang melebihi segala harta.

Di atas semua itu, ternyata tidak kupahami konsep berbagi yang sesungguhnya. Ternyata, seekor anak anjing bahkan lebih memahami konsep berbagi yang sejati, daripada aku seorang manusia yang merasa bermoral dan berpendidikan.

Aku mencoba mengingkari suatu kenyataan bahwa sesungguhnya Ayah tidak lagi kumiliki secara tunggal. Kutolak keberadaan Tenggara. Kuingkari segala bukti. Kuvonis dia sebagai pencuri kepemilikan tunggalku. Meski sesungguhnya dia adalah seseorang yang memiliki hak serupa dan sebangun denganku. Hak untuk memiliki kasih sayang dari seorang ayah yang satu, seorang ayah yang sama. Ayahku yang adalah ayahnya.
Sesungguhnya, siapakah pencuri itu? Tenggarakah?

Jawabnya: bukan Tenggara, melainkan aku.

Rasa itu menghampiriku. Sebuah rasa yang kusimpan dengan pedih sekian lama. Duka yang menggigit sehingga tidak pernah kuikhlaskan kepergian Bunda, meski bertahun-tahun sesudah itu. Sebuah rasa yang setiap kenangannya membersitkan kepedihan, seakan sebuah luka menganga lebar yang tak tertambal. Luka oleh karena rasa ditinggalkan.

Kini, kuberikan rasa luka itu pada seorang anak. Bahkan kubenamkan dia jauh ke dasar, dengan tega hati, tanpa rasa haru, apalagi belas kasihan. Kupejamkan mata. Sesuatu yang tajam, entah apa, seakan menusuk ulu hatiku. Mataku menghangat kemudian.

Jade menepuk punggung tanganku, diulurkannya saputangan.

”Natal tak lama lagi. Tidak setiap orang berkesempatan memilih hadiah Natal bagi dirinya sendiri. Kali ini peluang memilih itu ada padamu, entah menerima atau mengabaikan seseorang, yang kepadanyalah kau akan berbagi kehilangan sekaligus belas kasihmu.”

Aku menangis.

SAYAP CAHAYA
Bangunan sekolah itu masih sama seperti ketika kutinggalkan tadi pagi. Bedanya, bangunan itu berselimut gelap malam. Cahaya benderang hanya tampak di sisi kanan halaman itu. Di sanalah bangunan asrama berada. Ibu pengasuh asrama mengantarku pada sebuah kamar. Tertutup pintu kamar itu.

”Tenggara ada di dalam, tidak keluar kamar sejak usai pelajaran sekolah siang tadi. Baru saja saya menawarinya makan malam, tetapi ditolaknya.”

Aku mengiakan dan memintanya menungguku di ruang tamu.

Kuketuk pintu dan membukanya perlahan. Di dalam ruangan kecil itu seorang anak berdiri termenung di depan jendela. Begitu diam anak itu mematung di tempatnya berdiri. Gerangan apa yang ada di benak kecil itu? Merenungi gelap malam, atau merenungi sebuah rasa ditinggalkan?

Tatap mataku mengabur.

”Tenggara,” panggilku kemudian, dengan suara tercekat.

Kepala kecil itu menoleh dengan terkejut, menatapku sesaat, sekilas ada bimbang tersirat pada mata itu. Sangat sekilas untuk kemudian dengan gerak cepat kakinya berlari ke arahku.

”Kakak...!” serunya, ekspresif. Lengan kecilnya terulur dan melingkariku dengan pelukan. Erat pelukan itu mengunci gerakku.

”Mengapa aku harus tinggal di sini? Mengapa harus kubawa semua bajuku? Kakak marah padaku?”

Tenggara menangis tersedu, tangisnya membasah di bajuku.

Kumiliki tangis yang sama. Kupeluk tubuh kecil itu dan kubenamkan tangisku di bahu mungilnya.

”Maafkanlah aku,” isakku, tanpa suara.

Untuk semua pengingkaran yang kulakukan. Untuk semua yang kucuri daripadamu. Untuk rasa pedih dan luka yang kugoreskan padamu. Maafkanlah.

”Kakak menjemputmu sekarang, tidak akan pernah lagi kau kutinggalkan,” janjiku, bersungguh hati.

”Aku juga sungguh tidak akan nakal lagi.”

Aku makin terisak, tak mampu menghentikan tangisku.

Anak malang, gumam benakku. Maafkanlah aku. Kakakmu. Saudara sedarahmu.

Lalu kami berjalan menuju pulang. Jemari kecil Tenggara tidak lagi mencengkeram ujung bajuku seperti yang biasa dilakukannya, karena jemari itu kini berada di dalam genggamanku. Kami melewati halaman luas sekolah itu. Di sisi kanan dan kiri terhampar padang rumput. Malam terasa redup karena hanya ada beberapa lampu taman dengan sinar yang terbatas.

Entah dari mana datangnya melintas beberapa cahaya. Melayang-layang di atas rerumputan.

”Kak, lihat,” Tenggara menunjuk cahaya-cahaya itu.

”Itu kunang-kunang. Dulu Ayah sering menangkap kunang-kunang untukku, kusimpan di stoples, kemudian melepasnya satu per satu melalui telapak tangan.”

” Kakak menyentuh sayap-sayap bercahaya itu?” seru Tenggara.

”Bukan sayapnya yang bercahaya, melainkan perutnya. Kunang-kunang memiliki zat tertentu di dalam tubuhnya, yang menghasilkan energi pemancar cahaya.”

”Tetapi, dari jauh, seperti sayapnya yang bercahaya.”

Sayap bercahaya. Ah, benar juga. Dari jauh seakan-akan kunang-kunang itu melayang dengan sayap-sayap cahayanya.

”Ada sebuah dongeng tentang kunang-kunang. Kau mau de­ngar?” tanyaku.

Tenggara menatapku seakan tak percaya.

”Ada seekor kunang-kunang. Suatu hari dia mendapati cahaya sayapnya meredup oleh suatu sebab yang tidak diketahuinya. Kunang-kunang itu sedih karena keredupan cahaya itu menyulitkannya menemukan arah yang akan dilaluinya. Cahaya yang tak cukup benderang akan membuatnya mudah tersesat kala menempuh perjalanan. Maka, kunang-kunang itu berupaya menyempurnakan kembali cahayanya. Namun, segala usahanya sia-sia dan cahayanya bahkan makin meredup.”

Tenggara menyimak dongengku.

”Suatu hari datang seekor kunang-kunang kecil yang terbang mengikutinya. Kunang-kunang kecil itu ingin berteman dengannya. Namun, kunang-kunang besar tak peduli, karena sibuk memulihkan cahayanya. Maka ditinggalkannya kunang-kunang kecil itu. Hingga beberapa saat kemudian dilihatnya betapa malangnya kunang-kunang kecil itu. Rupanya dia adalah anak kunang-kunang yang tersesat, kehilangan jejak ibu dan kelompoknya yang terbang entah ke mana. Kunang-kunang kecil yang sendirian. Muncullah belas kasihan di dalam dirinya terhadap kunang-kunang kecil itu.”

”Apa yang terjadi?” sela Tenggara.

”Kemudian ditemaninya kunang-kunang itu dan diajaknya bermain, bahkan dibantunya si kunang-kunang kecil itu menemukan kembali jejak ibunya yang hilang. Maka kunang-kunang kecil dan ibunya sangat bersuka-cita bisa bertemu kembali, mereka sangat berterima kasih pada kunang-kunang yang pudar cahaya itu. Sesudah itu, kunang-kunang itu menyadari, cahaya di dalam dirinya tidak lagi meredup.

Tenggara mendengarkan tanpa berkedip.

”Didapatinya bahwa sayap-sayapnya mengepak dengan cahaya benderang, menerangi segala arah. Kunang-kunang itu takjub melihat cahayanya sendiri, karena tidak pernah ditemukannya cahaya sebenderang itu di dalam dirinya selama ini. Lalu sadarlah dia dari mana cahaya terang itu berasal. Sesungguhnya kunang-kunang kecil itulah yang membantunya menemukan kembali cahaya yang pernah dimilikinya.”

”Apa yang dilakukan kunang-kunang kecil itu?” tanya Tenggara, amat penasaran.

”Memunculkan rasa kasih. Karena kasihnya kepada kunang-kunang kecil itu, maka cahaya di dalam dirinya tidak lagi memudar, bahkan terbit kembali membuat benderang sayap-sayapnya. Kunang-kunang kecil yang berjasa.”

”Aku ingin menjadi seperti kunang-kunang kecil itu. Suatu hari nanti bila Kakak sedih, aku akan membuat kakak kembali gembira,” katanya, lugu.

Kuulurkan lengan memeluk anak itu. Kusandarkan diri pada bahu kecilnya. Bukan suatu hari nanti, melainkan hari ini kau telah menjadi kunang-kunang kecil itu bagiku. Kau telah menuntunku menemukan kembali sayap-sayap cahayaku.

Kau adalah kunang-kunang kecil dengan cahaya yang belum sempurna, namun dengan ketidaksempurnaan itu justru kau sempurnakan sayap cahayaku yang sempat memudar. Kini, dengan sayapku akan kulindungi dirimu sepenuh hatiku. Maka marilah kita senantiasa terbang bersama, saling mendukung dan menjaga agar cahaya sayap-sayap kita senantiasa benderang.

Karena, begitulah yang dikehendaki Ayah atas kita. Ayahku. Ayahmu. Ayah kita berdua.

Dulu kumiliki sayap yang bercahaya. Suatu kali meredup karena kepergian Bunda. Namun, Ayah dengan segala kasihnya, menjadi energi pemancar bagiku sehingga sayapku tetap bercahaya.

Cahayaku meredup, bahkan padam karena Ayah tiada lagi.

Namun kini, datang bagiku sayap-sayap kecil, dengan sayap yang belum sempurna merengkuhku dan memberikan cahaya baru bagi sayap-sayapku. Dia adalah seseorang yang Ayah simpan untuk menjadi penjagaku suatu hari nanti.

Tidak setiap Natal membekas di hati. Kali ini kudapati anugerah Natal tak terduga, yang akan terus menyertai malam demi malam kudusku selanjutnya. Seorang adik bernama Tenggara.

Dengannyalah aku akan terus terbang, berbagi cahaya.

No comments: