12.22.2010

Dua Ibu

  Alangkah indahnya hidup bila satu botol vitamin bisa membuat kita bahagia.

Ellis tidak tahu berapa lama dia tertidur. Atau kehilangan kesadaran. Waktu dia membuka matanya, rasa sakit itu sudah tidak ada lagi. Gelombang-gelombang itu sudah pergi. Bahkan riaknya yang halus juga surut, kembali ke laut. Tidak ada air masuk dalam paru-parunya, dia bisa bernapas seperti biasa.

Barangkali dia tidak jadi tenggelam. Barangkali gelombang-gelombang yang mencakar-cakar itu Cuma mimpi buruk yang datang karena kebanyakan tidur siang.

Suara suara orang berlarian juga sudah tidak ada. Barangkali para perawat itu sudah kembali ke meja mereka atau melayani yang lain. Bagus juga pelayanan di rumah sakit ini. Cepat dan efisien. Ellis merasa tenang. Dan kamarnya terasa hangat.

Hei, ini bukan di kamarnya di rumah sakit. Tidak ada langit-langit putih dengan lampu neon putih panjang di atas kepalanya. Tidak ada apa-apa di atas kepalanya.

Ellis berusaha melihat sekeliling. Dibawa ke mana, dia? Di sampingnya juga tidak ada dinding warna krem dengan lukisan abstrak bercoret merah hitam. Tangannya meraba, tidak ada seprei kaku sebagai alas tidurnya. Dia bahkan tidak berbaring di ranjangnya. Dia seperti tergeletak entah di mana, dengan alas yang lembut. Lembut dan hangat. Ruangan itu tidak gelap. Tapi dia tidak melihat apa-apa. Rasanya seperti berada dalam inkubator. Sinar biru keunguan datang entah dari mana. Hangat. Nyaman.

Di mana Irwan? Di mana bayinya?

Ellis tidak tahu. Barangkali dia harus memanggil perawat. Tapi dia enggan bergerak. Berusaha untuk tidak bergerak, jangan sampai kehangatan yang aneh ini terusir darinya.

Entah berapa lama dia berdiam. Lantas mendengar suara-suara. Ellis merasa terganggu. Ada apa lagi, ribut-ribut begitu?

Ellis tersentak. Seperti suara ibunya. Bukan suara ibu yang lembut – suara ibu selalu lembut biarpun Ellis baru berbuat salah. Belum pernah dia mendengar Ibu marah-marah seperti ini. Atau meraung-raung?

Ellis berusaha mendekat. Dilihatnya Ibu duduk di kaki ranjang, menangis keras. Di sebelahnya Ayah bicara lembut, seperti membujuk. Di sudut ruangan ada Irwan. Dahinya berkerut kerut. Apa pun yang sedang dia pikirkan, itu pasti urusan besar. Kalau melihat air mukanya, ini lebih dari sekadar salah hitung konstruksi proyek pabrik atau bendungan yang pernah dikerjakannya.

Kenapa bisa begini? Tadi pagi dia tidak apa apa. Didengarnya Irwan bertanya. Yang ditanya berusaha menjelaskan. Perdarahan bisa terjadi karena…… Pada Ellis tampaknya …….

Ibunya tidak mau mendengarkan. Terus menangis. Dan ayahnya terus mengusap-usap punggung ibu.

Ellis tercekat. Ada apa ini? Apakah dia sudah …?

Tidak berani dia meneruskan pikiran itu. Tadi siang dia masih menyusui bayinya. Tidak mungkin.

Di tengah ruangan, akhirnya Ellis melihat. Angin dingin serasa lewat menyapu punggungnya. Itu dia, berbaring di ranjang. Apakah dia betul sudah mati? Ellis bisa melihat wajahnya sendiri, tidak tertutup selimut.

Selang-selang bersambungan, keluar masuk tubuhnya. Satu yang besar di mulut, tersambung ke mesin yang mendengung halus, dan mendesis. Teratur, mendengung halus, lantas mendesis lagi. Seperti napasnya, sementara dadanya terlihat turun naik perlahan mengikuti iramanya.

Selang kecil di hidung. Barangkali oksigen. Transfusi darah lewat ke bawah selimut. Ke lengan kanannya. Satu selang lagi di sampingnya, barangkali infus. Dia kelihatan sedang tidur nyenyak. Ellis belum pernah melihat dirinya tidur. Dia tidak tahu dia kelihatan begitu tenang dan nyaman dalam tidurnya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Dia tidak mati. Dia belum mati. Barangkali kehilangan kesadaran sebentar, karena kesakitan yang tadi tidak tertahankan itu? Apa kata dokter tadi, perdarahan? Dia pingsan atau apa istilah ilmiahnya, karena perdarahan. Kelihatannya semua sudah beres. Dia sudah dapat transfusi. Pasti semua akan beres.

Barangkali tubuhnya sedang membereskan diri, rahimnya dan sebagainya. Sakit yang bagai gelombang bergulung-gulung itu barangkali cuma permulaannya. Dan sementara tubuhnya belum siap untuk bangun, di sinilah dia. Berkelana keluar.

Badannya terasa ringan seperti bayang-bayang. Ini sensasi yang aneh, luar biasa. Dia bebas bergerak sementara tubuhnya masih terbaring di sana. Bagus juga, paling tidak dia bisa memonitor keadaan dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Dokter dan pihak keluarga terlalu sibuk untuk menjelaskan semua pada si pasien yang dipikir toh sedang tidur diam-diam.

Dilihatnya lagi Irwan, masih duduk di sudut. Rahangnya mengeras, mukanya seperti orang sedang menahan sakit. Dokter yang diajaknya bicara sudah pergi. Barangkali dia harus memberi tahu Irwan, dia tidak apa-apa. Tubuhnya akan segera pulih, dan dia akan kembali ke sana lantas bangun, sehat dan segar seperti yang dilihatnya kemarin malam waktu membesuk.

Hm, tapi bagaimana caranya?

Dan ibunya juga. Kasihan. Begitu sedih. Tidak ada yang perlu ditangisi. Ibu, aku masih hidup. Dilihatnya dahi Ayah, kerutnya rasanya makin banyak. Ellis bertanya-tanya, apa dia kurang memperhatikan dan terlalu sibuk dengan dirinya sendiri selama ini. Ayah kelihatan amat tua.

Ellis menggelengkan kepala. Ini cuma salah paham, Ayah. Dokter seharusnya bisa menjelaskan dengan lebih baik. Tubuhnya sedang mengumpulkan kekuatan. Dia akan segera kembali ke sana dan bangun. Tidak ada yang perlu ditangisi.

Keterlaluan juga ini. Ellis tidak tahu badannya begitu lemah. Padahal dia pikir dia sudah dengan gagah perkasa melahirkan bayinya. Secara normal lagi.

Bayinya. Ellis ingat. Sudah hampir waktu menyusu. Di mana Reina?

Kalau dia tidak terikat oleh badannya, tentu dia juga tidak terikat oleh ruangan ini. Barangkali dia bisa pergi ke kamar bayi dan melihat sendiri.

Ellis menyelinap keluar. Dia tahu di mana bayinya tidur. Barangkali akan diberi susu botol sementara ini. Cuma sedikit interupsi, Sayang. Reina toh harus belajar kenal dot dan susu botol. Kalau Ellis kembali bekerja, dia toh tidak lagi bisa menyusui sepanjang hari.

Dilihatnya perawat datang membawa susu dan menghampiri Reina. Diangkatnya, dibawanya ke sudut lalu dipangku. Diulurkannya botol ke mulut Reina. Mulut Reina bergerak sedikit, kepalanya berpaling ke arah lain.

Ellis tersenyum. Barangkali Reina masih mengantuk. Ellis ingat ibunya bilang, waktu kecil dia amat penidur. Saat bayi-bayi lain menangis kelaparan, Ellis cuma terus tidur. Kalau dibangunkan untuk menyusu dia malah menangis. Sulit membuatnya mengisap kalau dia baru bangun. Barangkali sedikit marah karena tidurnya terganggu.

Perawat menyentuh bibir Reina dengan dot yang siap meneteskan susu. Reina berpaling lagi. Matanya terbuka sedikit. Barangkali dia melihat wajah ini bukan wajah ibunya yang biasa memberi minum. Barangkali dia belum kenal wajah siapa-siapa, tapi merasa cairan putih itu lain dengan yang biasa diminumnya. Yang jelas dia lantas menangis. Mula-mula pelan, lama-lama makin keras. Barangkali mulai jengkel, dia tidak mau minum, kenapa dipaksa?

Ellis menggeleng kepala. Tidak beres ini. Akhirnya perawat meletakkan Reina kembali ke tempatnya. Lalu kembali ke ruangannya di sebelah kamar bayi. “Bayi Nyonya Irwan menolak botolnya,” begitu didengarnya perawat bicara kepada rekannya.

Bagaimana ini? Barangkali Ellis harus kembali ke kamar dan melihat kondisinya. Mungkin sudah membaik, jadi bayinya tidak perlu menunggu terlalu lama.

Tapi dilihatnya dirinya masih berbaring seperti tadi. Mesin pernapasan masih berdengung dan mendesis, memompa secara teratur. Transfusi dan infusnya masih menetes satu satu. Dadanya turun naik, mengikuti irama mesin. Paling tidak dia masih bernapas.

Ellis merasa lagi angin dingin menyapu punggungnya. Jangan-jangan dia sudah tidak bernapas. Jangan jangan, tanpa mesin itu dia sudah …

Seandainya semua berjalan lancar, sebentar lagi dia akan menyusui Reina. Lantas, kalau bayinya sudah dibawa kembali ke kamar bayi, dia akan berkemas. Besok mereka boleh pulang, dia dan Reina.

Nyonya di kamar sebelah kemarin pulang tanpa bayinya. Ada komplikasi atau apa, begitu, sehingga bayinya harus tinggal lebih lama. Ellis melihatnya berjalan keluar dituntun suaminya. Ellis tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya. Ibu muda itu tidak menangis tetapi dia berjalan sambil menunduk, seperti prajurit kalah perang. Di tangan suaminya ada koper kecil. Itu satu-satunya yang dibawa pulang.

Sungguh-sungguh Ellis berdoa supaya Reina tidak mengalami masalah apa-apa. Tidak kuning atau entah apa lagi masalah bayi-bayi yang baru lahir. Supaya mereka boleh pulang berdua. Ke kamar biru yang sudah menunggu. Tempat tidur putih kecil dan seprei bergambar kelinci kuning. Boneka gajah putih, dengan kunci kecil di samping badannya untuk memutar musik. Lullaby. Telinganya merah jambu, ekornya juga.

Itu dari sepupu Ellis yang bayinya tanpa terasa tahu-tahu sudah berumur tiga tahun. (Cepat amat, kamu bilang? Kau datang tidak sampai dua bulan sekali, sepuluh kali ketemu dia sudah dua tahun lebih! Coba diam di sini barang seminggu, paling dia tambah dua senti, begitu sepupunya protes.)

Ellis melihatnya di kamar Luisa dan memekik kecil karena gajah itu begitu lucu. Hilda mengambilnya dan memberikannya kepada Ellis. Bawa saja, katanya. “Dulu aku putar tiap kali Luisa menangis. Entah mengerti entah dia suka lagunya, tidak lama pasti tangisnya reda.”

Ellis tentu menolak. Bukan kebiasaannya mengagumi barang milik orang lain. Dia malah merasa agak bersalah karena musik itu begitu spesial buat Luisa.

Tidak apa, Hilda mendesak, sekarang dia punya hiburan lain kalau menangis.” Hilda menunjuk televisi yang sedang memainkan kartun Puteri Salju dan Luisa kecil duduk ternganga di depannya.

Yang satu ini Ellis tidak tahu. Dia tidak mau anaknya terpaku di depan televisi sepanjang hari. Tapi Puteri Salju memang kartun yang bagus benar. Digarap dengan teliti dan gerakannya begitu hidup. Dan musiknya bagus. Tidak seperti kartun Jepang yang kesannya buru-buru diselesaikan supaya bisa segera dijual. Hmm, lain kali dia harus tanya Hilda, darimana dia mendapat kartun-kartun Disney itu.

Dan sekarang, jangan jangan bayinya yang pulang tanpa ibunya. Tidur di kamar biru sendirian sementara Ellis masih terbaring di sini. Bagaimana kalau dia menangis malam- malam?

Sebelum melahirkan Ellis sudah menghubungi yayasan, mencari pengasuh bayi. Tapi tidak perlu buru-buru, dia mau orang yang betul-betul dia suka. Toh dia akan diam di rumah selama tiga bulan sepanjang cutinya. Cukup waktu untuk mempersiapkan pengasuh, buat nanti kalau dia sudah kembali bekerja.

Kalau Reina pulang besok, pengasuh itu tentu belum ada. Ibunya pasti tidak keberatan menginap barang seminggu. Mengurusi Reina sementara dia berbaring di sini menunggu kekuatannya pulih. Tapi Irwan mungkin lebih suka ibunya yang di rumah. Lagipula ibu Irwan tinggal sendirian setelah ayahnya meninggal tiga tahun lalu. Sedang ibunya, masih ada Ayah yang harus diurus. Dan Ayah sebetulnya tidak suka tidur di tempat lain selain kamarnya sendiri.

Dilihatnya wajah orang orang di sekitarnya masih muram. Kalau itu bisa dijadikan ukuran, artinya keadaannya masih belum membaik. Berapa hari lagi dia harus dirawat di sini? Apa keadaannya akan membaik?

Ellis tiba-tiba muram. Dia tidak tahan melihat dirinya jadi sumber kesusahan buat orang lain. Dan melihat dirinya berbaring tanpa bisa berbuat apa apa. Dia keluar lagi, kembali ke tempat Reina.

Nah, anaknya sedang menangis sekarang. Barangkali akhirnya lapar juga. Perawat kembali menghampiri, membawa botol. Mengangkat Reina dan memangkunya. Barangkali sekarang dia mau minum.

Mulutnya bergerak mencari waktu pipinya disentuh lembut. Ellis menahan napas. Dot itu masuk dalam mulut anaknya, dan … syukurlah, akhirnya dia mulai menghisap.

Tapi baru satu dua teguk, kepalanya lantas berpaling menjauh. Dan mulai menangis lagi. Aduh, bagaimana ini? Bagaimana membujuk bayi umur tiga hari supaya mau minum dari botol karena ibunya terlalu lemah untuk menyusui?

Ellis mendekat, memandangi bayinya. Entah kebetulan, entah Reina merasa sesuatu yang dikenalnya berada di depannya. Sekejap dia berhenti menangis. Matanya membuka, melihat ke arah Ellis. Ayo dong… minum botolmu, ya, Sayang? Satu dua hari ini saja. Nanti kamu minum susu sama Ibu lagi. Please…

Mata Reina berkejap kejap. Lalu dia mulai menangis lagi. Susu menetes dari dotnya, jatuh ke lantai.

Ellis tidak tahan lagi. Bersandar ke dinding, dia menangis sesenggukan. Dia tidak bisa mati. Dadanya masih penuh susu, melimpah. Sementara di sini, bayinya menangis karena tidak suka minuman dari dalam botol itu!

Dia tidak boleh mati. Tidak sekarang. Anaknya memerlukan dia. Lima tahun dia menunggu. Bersiap siap luar dalam, dia tahu suatu hari saat itu akan tiba. Sekarang yang ditunggu sudah datang. Kenapa dia harus pergi? Anaknya, siapa yang akan mengurus anaknya? Menyusui, menemani hingga tidur waktu malam? Siapa yang akan memilihkan musik untuk tidurnya? Siapa yang akan membacakan cerita malamnya? Siapa yang akan mengajarinya berdoa? Memilihkan baju-bajunya, membelikan hiasan rambutnya? Siapa yang akan mendengar ceritanya tentang sekolah, tentang ibu guru, tentang teman-temannya? Kalau dia membuat gambar yang bagus, siapa yang akan memuji dengan mata bersinar tulus, lantas mencium kepalanya yang pintar? Kalau dia nakal dan berbuat salah, siapa yang akan memeluk memberi ampun, dan memberi dia kesempatan untuk mencoba jadi anak baik lagi?

Ellis ingat ibunya. Matanya yang ramah, Suaranya yang tidak pernah marah biarpun Ellis tahu dia sama sekali bukan anak malaikat. Dia terlalu bahagia jadi anak ibunya, dia sungguh-sungguh berjanji akan berusaha jadi seperti ibu.

Dia tahu dia kurang sabaran. Dia tumbuh sendirian dalam keluarga, mendapat semua perhatian dan barangkali kurang kesempatan belajar mengenal anak-anak kecil, karena tidak punya adik. Dia juga keras kepala, barangkali, dan tidak mudah mengalah kalau sudah sampai ke soal prinsip.

Mungkin dia harus belajar menghitung sampai dua puluh kalau anaknya nakal, atau menggigit bibir keras-keras supaya tidak mengeluarkan kata-kata keras. Atau belajar melihat sesuatu dari sudut pandang kanak-kanak dan bukan melulu sudut pandangnya sendiri. Tapi dia berjanji akan sungguh-sungguh berusaha. Reina begitu mungil, begitu cantik. Begitu polos, begitu lemah.

Ellis menangis makin keras. Kasihani dia, Tuhan. Apapun salahnya di masa lalu. Enggan ke gereja atau lupa berdoa atau malas mengaku dosa. Kasihani dia, jangan biarkan dia mati. Jangan sekarang…

Langit makin gelap. Lampu-lampu jalan sudah menyala. Papan iklan di jembatan berkelap kelip. Gambarnya pasangan muda memegang botol vitamin. Tulisannya terang menyala: Agar hidup Anda bahagia.

Maria membuang muka. Bahagia. Bodoh benar yang membuat iklan itu. Bodoh benar yang mau percaya. Apa arti bahagia? Kalau kita punya segala yang diinginkan dalam genggaman? Bagaimana kalau satu menit kemudian kita tergelincir dan lepaslah semua? Mungkin tidak lepas semua, tapi tiba-tiba kita punya sudut pandang baru, sehingga yang tadinya kita pikir berharga ternyata tidak begitu tinggi amat nilainya?

Lampu iklan terus berkedip-kedip. Alangkah indahnya hidup kalau satu botol vitamin bisa membuat kita bahagia. Bagaimana cara kerjanya? Mengubah kerja mata sehingga kita bisa melihat sisi baik dari semua yang kita miliki? Merubah kerja otak sehingga kita berhenti mencari yang belum kita punya dan berpuas diri atas semua yang kita punya?

Tetapi, bagaimana menemukan apa yang sebetulnya belum kita punya, yang terus kita cari itu? Bagaimana menginventaris apa yang kita sudah punya, bukan cuma ‘apa’ tapi ‘berapa nilainya’?

Apa arti bahagia?

Maria menarik napas panjang. Apa dia harus tetap mencari yang kemarin ingin dia cari? Sekarang dia punya sesuatu yang lain, apakah dia harus bersyukur dan berhenti mencari?
Dia tidak tahu.

 
Alangkah indahnya hidup bila satu botol vitamin bisa membuat kita bahagia.

Alangkah enaknya bisa bilang tidak tahu. Seumur umur dia selalu berusaha mencari tahu. Kenapa langit biru bukannya hijau atau ungu? Kenapa pohon-pohon ikut berlari di sebelah kereta api yang kita tumpangi, tapi tidak pernah berhasil menyusul? Apakah bulan sebenarnya tinggal di atas rumah kita, sehingga dia ikut terus dalam perjalanan pulang, dan baru berhenti kalau kita sudah sampai?

Kenapa kita lupa? Kenapa kita ingat? Kenapa suatu hal membuat kita sedih padahal buat banyak orang itu membawa kegembiraan? Kenapa kadang kita mau sesuatu yang banyak orang tidak mau, dan sebaliknya menolak sesuatu yang diinginkan banyak orang?

Bagaimana kita belajar membedakan baik dan buruk? Apa bedanya baik dan buruk? Siapa yang menentukan?

Apa arti kebahagiaan?

Apa bedanya sekarang?

Apakah dia bahagia tadi siang, waktu baru mengambil tiketnya? Apakah dia bahagia kalau dia tidak mendengar dokter itu mengucapkan selamat? Apakah dia bahagia kalau dia tidak punya beasiswa itu dan cuma punya sebutir biji kacang hijau dalam perutnya? Apakah dia akan kembali bahagia kalau dia tetap memilih pergi dan melupakan percakapan dengan dokter itu?

Maria menggigit bibirnya. Dia lupa bertanya pada dokter yang baik itu, bagaimana seandainya dia belum ingin punya bayi? Dokter itu mungkin tidak bisa menjawab karena mungkin dia tidak bisa membayangkan kenapa seorang wanita menolak menjadi ibu. Sepanjang pendidikannya mungkin malah tidak pernah belajar bagaimana menyingkirkan sebuah kehidupan. Dokter itu mungkin ternganga, pertanyaan macam apa itu?

Beradabkah kalau kita meneruskan kehamilan padahal tidak menginginkannya?

Maria ingat kasusnya di bagian anak dulu. Anak lelaki, empat tahun, belum bisa bicara. Atau barangkali enggan bicara. Ibunya masih muda, hamil waktu masih kelas dua SMU. Entah bagaimana dia menyembunyikan perutnya. Ketika orang tuanya tahu, sudah terlambat untuk memilih dan mengambil keputusan lain selain meneruskan kehamilan.

Anak itu, entah untung entah malang, lahir normal lantas diurus kakek-neneknya. Karena ibunya kembali ke sekolah, pulang malam bersama teman-teman ‘untuk berusaha mengejar ketinggalan pelajarannya’. Paling tidak, begitu ceritanya.

Sesekali dia ingat kalau dia punya anak. Digendongnya, diajaknya bermain. Tapi, banyak kali, dia marah kalau anak itu masuk ke kamarnya. Dia marah kalau anak itu menarik-narik bajunya. Dia marah karena anak itu mengingatkan dia bahwa dia sudah punya anak. Dan, kalaupun dia dulu membiarkan perutnya terus membesar, itu bukan karena dia ingin punya anak, tapi karena tidak tahu mesti berbuat apa.

Sekali, entah setan apa yang merasuknya, didorongnya anak umur dua tahun itu karena dia terus mengikuti ibunya di dalam rumah.

Anak itu terjatuh, kepalanya berdarah. Dan menangis keras. Sejak itu tidak lagi berani mendekat. Dan tiba-tiba, bicaranya yang mulai sepatah dua patah itu hilang. Sampai empat tahun umurnya.

Semua diceritakan oleh kakek dan neneknya, yang selama ini praktis menjadi ayah dan ibu buat anak lelaki itu. Ibunya tidak sekali pun muncul. Barangkali tidak tahu kalau anaknya tidak bisa bicara. Toh, dia tidak pernah ingin mendengar. Kakeknya sampai menahan tangis, “Bagaimana membuat dia mengerti, lupakan ibunya, kami mencintai dia seperti anak kami sendiri. Apa itu tidak cukup?”

Untung ibu muda itu tidak pernah datang konsultasi. Kalau dia sampai muncul, jangan-jangan Maria malah bisa mendapat masalah dan kena tindakan disipliner, karena dia pasti tidak bisa menahan diri untuk tidak meninju muka ibu keparat itu.

Apakah beradab meneruskan kehamilan kalau kemudian kita bakal menyia-nyiakannya?

Ada lagi wanita peminta-minta yang duduk di jembatan. Anak bayinya tertidur kelelahan karena kepanasan dan dibiarkan menangis supaya orang yang lewat jatuh kasihan dan memberi barang seratus dua ratus rupiah.

Beradabkah kalau kita meneruskan kehamilan, padahal belum sanggup menanggung hidupnya?

Barangkali wanita peminta-minta itu memang ingin punya bayi.

Adakah ibu yang tidak menginginkan bayinya?

Apakah beradab kalau seorang wanita tidak menginginkan anaknya sendiri?

Maria merasa dirinya lelah. Mungkin sudah lama dia merasa lelah tetapi ditahannya. Mungkin sudah lama dia belari terlalu cepat, bekerja terlalu keras, ingin terlalu banyak. Sekarang, perahunya sudah terlalu sarat. Tambahkan sebatang jerami lagi, perahunya bakal tenggelam. Dan urusan ini, bukan sebatang jerami, tapi sepikul. Apa yang harus dilakukannya supaya perahunya tidak tenggelam? Mulai membuangi jerami muatannya? Tapi yang mana? Berapa banyak?

Bagaimana dia tahu dia tidak akan menyesal telah membuang potongan yang ini dan bukannya yang itu?

Maria merasa kepalanya berkunang-kunang. Badannya lemas seperti mau jatuh. Cepat-cepat tangannya mencari pegangan. Menarik napas dalam-dalam supaya lebih banyak oksigen mengalir di kepalanya.

Buru-buru dia melambai saat taksi lewat. Malam itu ditelannya panadol supaya bisa tidur cepat. Dua butir. Sudah cukup berpikir hari ini.

Besoknya dia bangun dengan kepala makin berat. Sembilan hari lagi. Mau jadi master atau mau jadi ibu? Bahkan, sekali ini pun dia tidak bisa dapat dua-duanya. Programnya dua tahun, selesai atau tidak. Di tahun kedua dia bisa cuti sampai enam bulan. Tapi, selama cuti biaya hidupnya harus ditanggungnya sendiri. Kopernya tergeletak di lantai, terbuka lebar. Di atasnya tergeletak onggokan pakaian, buku-buku, dan segala macam yang lain, siap untuk dirapikan.

Sembilan hari lagi.

Apakah dia harus menghubungi Imam? Mau bilang apa? Memberi tahu kalau benihnya sekarang sudah sebesar kacang hijau dalam perutnya? Dia pasti akan melarang Maria pergi. Pertama naik pesawat dengan gaya gravitasi dan segala macam. Mungkin bisa keguguran. Lantas sendirian di tempat orang. Imam mungkin lega, tidak ada mahasiswa asing yang tertarik pada mahasiswi hamil. Tapi, segala macam tugas kuliah, mengurus rumah, wara-wiri ke sana kemari mengumpulkan data? Sambil melahirkan dan mengurus bayi, sendirian? Mana pakai musim dingin pula. Mungkin sebaiknya dia tidak bilang Imam. Masih sembilan hari lagi. Pasti dia sudah menemukan jawabnya dalam sembilan hari ini. Toh, ini badannya sendiri. Ini beasiswanya sendiri. Dan ujung-ujungnya, kebanggaan buat orang tuanya sendiri.

Ayahnya yatim piatu sejak umur lima belas. Ikut orang ke sana kemari, mengerjakan apa saja untuk dapat sekadar upah dan tempat bermalam. Begitu bisa mulai menabung, Ayah mengumpulkan uang buat sekolah malam. Pembukuan atau apa, yang bisa membantunya mencari kerja yang lebih baik, dan dapat uang lebih banyak. Soalnya waktu itu Ayah sudah berkenalan dengan Ibu dan berpikir ke depan tentang rumah, anak-anak, uang sekolah, dan masa depan.

Waktu anak-anak masih kecil ibunya membantu dengan menjahitkan baju. Makin lama makin banyak, lumayan untuk memastikan, anak-anak mereka harus lebih dari sekadar SMU. Biarpun paginya dia harus menahan kantuk sambil merapikan rumah dan mencuci dan memasak dan mengurus anak-anak.

Ayah juga sudah mengerjakan pembukuan, dan makin dipercaya mengendalikan yang lebih besar. Orang tidak perlu melihat dua kali. Dari sinar matanya dan baju putihnya yang sederhana sudah jelas sekali: Ayah bukan orang yang sampai hati makan uang perusahaan.

Imam tidak tahu apa-apa soal kebanggaan orang tua. Ayahnya pengusaha kelas menengah. Hidupnya tidak pernah kekurangan. Dia tidak perlu repot-repot naik tangga karena sudah cukup tinggi di atas sana. Dia tidak mengerti hubungan antara gelar master Maria dengan kerja keras ayahnya sejak muda.

Sembilan hari lagi.

Mungkin dia bisa minum jamu-jamuan, terlambat bulan atau apalah namanya itu. Yang iklannya wanita-wanita yang merindukan bulan (kok seperti pungguk saja?). Dia kan memang terlambat bulan.

Secara teoritis biji kacang hijau itu juga masih dalam perjalanan menuju rahimnya. Belum lagi melekat di sana. Belum bisa dibilang anak. Malah belum berbentuk apa-apa kecuali sekumpulan sel yang kalau diberi kondisi yang ideal baru bisa menjadi janin.

Biji kacang hijau itu bahkan belum tahu akan jadi lelaki atau perempuan.

 
Secara teoritis, jamu-jamu ini setahunya sama saja dengan ber KB pakai spiral. Telur sudah dibuahi karena ada sperma nakal yang tidak takut biarpun sudah digoyang-goyang keluar oleh pegas spiral. Sekarang dalam perjalanan menuju rahim. Tentu tidak bisa melekat karena digoyang-goyang oleh spiral. Akhirnya lepas dan keluar.

Yang ber-KB, toh, tenang-tenang saja, tidak bakal ada kehamilan. Keluarga tetap terencana. Apa pun artinya itu.

Lebih beradab dan masuk di akal daripada punya lima anak, padahal makanan cuma cukup buat dua anak saja.

Dan dua butir panadol yang ditelannya kemarin? , bodoh benar? Apa tidak ada pengaruh terhadap janinnya? Dan kenapa pula dia peduli seperti pasti akan meneruskan kehamilannya?

Dia harus cari jamu-jamu itu hari ini. Mungkin perlu satu dua hari sebelum khasiatnya mulai bekerja. Dia tidak punya banyak waktu.

Seharian berikut Maria mondar-mandir ke kamar mandi. Dua bungkus diminumnya sudah. Lebih beradab daripada mendorong anak sampai kepalanya berdarah cuma karena anak itu mengikuti ibunya terus. Lebih beradab daripada melahirkan anak supaya ada yang bisa diajak meminta minta.

Tapi yang ditunggu-tunggu belum datang juga.

Delapan hari lagi.

Imam sudah bertanya-tanya apakah dia tidak apa-apa. (Memangnya kenapa?). Dia kelihatan pucat, katanya.

Pucat, katanya! Bagus masih ada darah mengalir dalam tubuhnya. Kalau dia selemah wanita-wanita lain, dia sudah pecah kepala dari kemarin-kemarin. Dengan buku tulis tipis daftar barang bawaannya. Dengan konfirmasi ke sana kemari soal penginapannya. Penjemputannya. Koper-kopernya. Dan biji kacang hijau di dalam perutnya.

Tujuh hari lagi.

Masih belum apa-apa. Barangkali dia terlalu stres sehingga hormonnya kurang bekerja benar. Barangkali dia terlalu lelah, tubuhnya sudah tidak bisa mengeluarkan apa-apa.

Imam makin bertanya-tanya apakah dia tidak apa-apa (memangnya kenapa?). “Kamu makin pendiam,” katanya.

Pendiam, katanya! Apa dia harus meminta-minta orang di rumah membantu merapikan kopernya? Apa dia harus menelepon sepuluh kali lagi untuk dapat kepastian soal akomodasinya? Apa dia harus teriak-teriak pada seisi dunia kalau jamu-jamu itu ternyata tidak seampuh iklannya?

Apa dia harus bilang pada Imam, berhentilah bertanya-tanya, kamu tidak tahu apa-apa?

Tujuh hari lagi.

Sudah terlambat sekarang. Dia harus berangkat, apa pun risikonya. Barangkali dia tidak betul-betul hamil. Barangkali dokter itu salah. Barangkali mensnya akan kembali teratur kalau dia sudah berangkat, dan memulai kehidupan rutin di sana. Barangkali semua akan kembali normal kalau roller coaster ini sudah berhenti naik- turun mengguncang ke kanan-kiri.

Diam-diam Maria bersumpah, ini terakhir kalinya dia cari tantangan dalam hidup. Habis ini dia akan jadi orang biasa-biasa saja. Yang senang kalau dapat nilai tujuh, tapi dapat lima juga tidak apa-apa. Yang bersyukur kalau masuk universitas negeri, tapi di swasta, toh, tidak terlalu jelek. Yang bangga kalau bisa kerja dan mengamalkan pengetahuannya, tapi kalau terpaksa jadi ibu rumah tangga juga bukan berarti hidupnya tidak punya arti apa-apa. Yang akan menjalani hidupnya sendiri apa adanya, berhenti menyenangkan Ayah yang seumur-umur bekerja keras atau Ibu yang belasan tahun jadi penjahit supaya anaknya bisa masuk kuliah.

Enam hari lagi.

Dia harus melakukan sesuatu. Sekarang juga. Kalau jamu-jamu itu sudah masuk tapi tidak bekerja dengan benar, dia harus cari cara lain untuk menyelesaikannya. Dia ingat wajah anak-anak yang cacat, terbelakang mental, atau tanpa lengan atau tanpa kaki karena diganggu selama pertumbuhannya sebagai janin. Sudah telanjur sekarang. Dia sudah memulainya. Dia yang harus selesaikan semuanya.

Satu tindakan lagi. Habis ini dia akan melanjutkan hidupnya dan bisa melupakan kalau ini pernah terjadi.

Maria ingat jalan Z. Konon, di sana ada sebuah klinik yang bisa membantu kasus-kasus seperti ini. Mirip klinik keluarga berencana, mengembalikan kehidupan keluarga atau wanita kembali pada rencana semula. Dengan menangani apa-apa yang tidak atau belum direncanakan. Maria menggigit bibirnya. Siapa yang tahu di mana alamat persisnya? Barangkali tidak ada waktu untuk bertanya-tanya lagi.

Hari itu juga dia pergi ke sana. Jalan Z sebetulnya panjang. Dia memutuskan turun dari bus di ujung jalan, menyusuri pelan-pelan. Mencari bangunan yang mirip klinik atau apa pun namanya itu. Pasti ketemu. Ditemukannya bangunan itu, diapit gedung baru di kanan-kiri. Putih, cat luarnya mulai mengelupas. Seorang wanita muda keluar dari sana, setengah dipapah pria setengah baya. Wajahnya agak lemas, dan dia harus dibantu masuk ke mobil. Klinik Keluarga Berencana, begitu tulisan yang ada di dinding depan. Maria menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Menghitung kancing baju sebelum bicara dengan wanita yang duduk di meja resepsionis. Menggigit bibirnya sampai terasa perih. Apa ini yang sedang dia lakukan. Terus atau jangan, terus atau jangan? Lantas ingat dua bungkus jamu yang sudah diminumnya.

Lima hari lagi.

Koper-kopernya sudah berdiri, berbaris siap diangkat. Buku tulis tempat daftarnya sudah tidak ada lagi.

Semua sudah beres sekarang.

Jaket tebal akhirnya sudah dibeli. Mumpung ada diskon di toko sisa ekspor. Dan Maria sudah tidak memeriksa ke kamar mandi lagi. Tidak perlu lagi. Semua sudah beres. Sebentar lagi dia akan lupa ini pernah terjadi.

Badannya masih terasa ringan. Mungkin pengaruh obat. Mungkin hormon di dalam tubuhnya sedang kembali ke keadaan semula. Dari persiapan untuk calon ibu menjadi wanita biasa (yang cuma ingin pergi ke Australia untuk gelar master-nya, diam-diam Maria menambahkan).

Tapi masalahnya sudah selesai.

Kemarin dia pulang sendiri dengan taksi. Untung pasien diwajibkan tinggal tiga jam setelah ‘prosedur’, sebelum diizinkan pulang. Prosedur. Kedengarannya profesional sekali. Tapi, mereka memang cukup profesional. Dia tidak merasa sakit atau apa, tidak demam atau apa. Malah merasa lebih baik. Sakit kepalanya sudah hilang. Mungkin karena masalahnya sudah selesai. Surat pernyataan sudah ditandatangani, menyatakan dirinya tidak cukup sehat untuk meneruskan kehamilan.

Diam-diam Maria berpikir. Heran, kenapa ‘prosedur’ itu mesti dilakukan sembunyi-sembunyi? Bukankah wanita berhak memilih apa yang terbaik buat hidupnya? Apa pun yang diinginkan suami, atau pasangan, atau orang tua, atau masyarakat? Pada akhirnya, toh, ini tubuhnya sendiri. Dan anak itu, kalau lahir, juga tanggungannya sendiri?

Orang-orang yang bilang itu salah atau terkutuk, apa mereka mau membantu membesarkan bayi kalau, toh, kehamilan diteruskan? Membantu membelikan susu atau makanan sehat buat anak yang ketiga dan keempat dan kelima, supaya yang dua pertama tidak harus berbagi piring makannya dengan adik-adik yang terus datang?

Masyarakat yang bilang itu tidak beradab, apakah uang pajak mereka cukup untuk mendanai rumah penampungan buat gadis-gadis remaja yang hamil tanpa suami? Membiayai konselor untuk membantu mereka belajar menjadi ibu yang baik, yang tanggap terhadap kebutuhan anak, atau paling tidak bisa menahan diri selama sepuluh detik sebelum berteriak marah atau menggunakan tangan untuk mendidik anak?

Hm, Maria menutup mulut rapat-rapat. Dia tidak boleh tiba-tiba kelihatan terlalu bersemangat pro-aborsi. Imam bisa curiga. Maria tidak bisa bilang sepatah kata pun. Lagi pula, apa yang mesti dia bilang pada Imam? Omong-omong, benih yang kamu tanam itu, dia sudah jadi sebesar kacang hijau. Tapi, aku lebih pilih gelar master daripada jadi ibu. Begitu?

Imam mungkin marah. Atau ngamuk. Dia tidak pernah melihat Imam ngamuk. Tapi, siapa tahu? Pria suka supersensitif soal beginian, apalagi kalau dia tahu benihnya sekarang sudah sebesar biji kacang hijau. Pasti dia ribut soal haknya sebagai ayah dan pemegang lima puluh persen saham.

Alangkah indahnya hidup bila satu botol vitamin bisa membuat kita bahagia.

Dua hari lagi. Kelihatannya semua berjalan lancar. Badannya masih terasa ringan. Mungkin dia harus berhenti makan obat yang diberikan. Dia sempat bertanya, obat apa itu. Penenang, kata wanita di resepsionis yang juga bertugas menyiapkan pasien pulang. Penenang? Maria hampir terkikik geli. Buat apa? Dia sudah tenang, sekarang. Dia cuma capek mendengar pertanyaan Imam apakah dia tidak apa-apa. Kalau dirasanya ada apa-apa dengan Maria, kenapa dia tidak berbuat apa-apa? Cuma bertanya dan khawatir, toh, tidak banyak menolong. Pernah dia bertanya: apa yang aku bisa bantu?

Satu hari lagi.

Dipandangnya kamar tidurnya. Meja tulisnya di sudut. Adiknya perempuan gembira karena kamar itu akan dipakainya sendiri. Adiknya yang lelaki iri karena mereka masih harus berbagi ruangan. Maria belum pernah meninggalkan rumah begitu lama. Semua yang mengelilinginya, sampai hari itu, terasa sudah ada sejak dia bisa mengingatnya. Sekarang dia akan meninggalkan mereka. Ayah-ibu, adik-adik. Imam. Kampus. Mahasiswa-mahasiswa asistensi. Dosen-dosen yang selalu menawarkan kesempatan asistensi padanya. Tiba-tiba dia merasa memiliki begitu banyak. Tidak salahkah dia, melepaskan semua demi mengejar yang satu ini, yang belum tentu akan membuatnya lebih bahagia?

Tetapi, apa arti bahagia? Bagaimana kita mengukurnya?

Dua puluh empat Mei. Pukul delapan malam Maria tiba di bandara. Bersama ibu dan ayahnya yang susah payah menelan ludah karena haru. Kursus malam dan jahitan yang bertumpuk, tidak sia-sia rupanya. Seorang anaknya terbang begitu tinggi, jauh melampaui cita-cita sederhana harus lebih dari SMU.

Bersama adik-adiknya yang memandang kagum pada koper-kopernya yang mengilat, dan tiket yang bertulis Sydney. Dan visa yang berlaku hingga dua tahun. Dan kakak yang bukan cuma berhasil masuk universitas negeri tapi lulus dengan memuaskan dan sekarang dapat kesempatan meneruskan ke pascasarjana.

Bersama Imam yang sibuk membantu check in dan mengangkat koper. Yang memintanya supaya dia hati-hati dan menjaga diri, apa pun maksud di belakangnya. Yang mengingatkan kalau dua tahun lagi dia akan menjemput di bandara, membawanya pulang ke rumah mereka. Yang sekali lagi bertanya, apa betul dia tidak apa-apa.

Setengah mati Maria berusaha menelan kata-katanya.

Selamat tinggal, Sayang. Omong-omong, kamu ingat benih yang kamu tanam?

Suara koor terdengar muram dan dalam. Seperti awan yang berat menggantung saat hari akan hujan. Padahal, di luar langit begitu cerah. Mobil-mobil berderet di depan gereja, kelihatan sedih dengan karangan bunga terpasang di depannya. Burung gereja yang ramai mencicit tidak berhasil mengusir kesedihan.

Ellis bersandar di sebelah mobil mereka. Mobil Irwan, sekarang. Akhirnya, dia kalah. Sepuluh hari lewat tanpa banyak perubahan. Masih perdarahan terus. Masih transfusi terus. Masih dengan mesin pernapasan membantu meniupkan udara ke dalam paru-parunya yang sudah tidak mampu bergerak dengan tenaganya sendiri.

Malam-malam di rumah sakit, Ellis berdiri di samping tempat tidurnya. Bagaimana caranya masuk lagi ke dalam sana? Aneh, badan kita ternyata bagai bungkus belaka. Tidak ada gunanya kalau isinya sudah tidak ada lagi. Seperti bungkus kado Natal yang sudah dirobek.Tergolek sia-sia, tidak bisa apa-apa. Tidak ingin apa-apa.

Keinginan itu ternyata cuma milik roh.

Bolak balik Ellis ke kamar Reina, sampai akhirnya bayinya dibawa pulang. Ia ingin berteriak, “Mari, biar aku yang gendong!” Lima tahun dia menunggu kesempatan itu. Ia ingin merebut Reina dari tangan ibu mertuanya. Biar dia yang menaruh kepala kecil itu di ranjang putihnya. Dan nanti mengganti popoknya kalau basah. Memutar gajah kecilnya supaya menyanyi.

Keinginan itu ternyata milik roh. Badannya tergeletak diam-diam, tidak berbuat apa-apa. Tidak bergerak barang sedikit pun ketika sebelum meninggalkan rumah sakit Reina dibawa ke kamarnya.

Entah ide siapa itu. Barangkali ide salah seorang dokter. Mereka berpikir, siapa tahu naluri keibuan Ellis bangkit begitu merasakan ada bayinya di atas dadanya. Barangkali Irwan, dia tahu betapa Ellis menginginkan kesempatan memeluk bayinya. Hanya ibu mertuanya yang agak keberatan dengan tindakan itu. “Anak itu nanti tidak bisa tidur, ingat terus sama ibunya,” begitu kata mertuanya. Apa salahnya kalau Reina ingat pada ibunya? Karena Ellis tidak akan ada di rumah? Sehingga ia harus mendiamkannya kalau Reina menangis terus malam nanti?

Reina bersuara sedikit waktu dibaringkan telungkup di atas dada ibunya. Tapi, Ellis melihat dirinya yang terbaring diam-diam tanpa berusaha mengangkat tangan dan memeluknya. Ia ingin sekali mencium wangi rambut bayinya. Ellis melihat dirinya hanya terbaring kaku di atas tempat tidur. Di sudut ruangan Ellis menangis sesenggukan. Ibu ada di sini, Reina, bukan di situ. Bilang pada Ayah, bilang pada orang-orang itu. Ibu melihat, Ibu mendengar. Tapi, tidak bisa datang memeluk atau mencium harum rambutmu.

Akhirnya Reina diangkat, dibungkus selimut. Tidak menangis, tidak berontak. Dia mungkin tidak mengerti, barangkali itu terakhir kali dia berbaring di sebelah ibunya.

Ellis menangis lagi. Apakah itu terakhir kalinya Reina berbaring di sebelah dirinya? Dia mesti berbuat apa supaya tubuhnya berhenti berdarah? Dia mesti berbuat apa supaya tubuhnya bangun dan melanjutkan kehidupan? Karena, kini ia punya bayi yang harus diurus?

Akhirnya Reina berangkat pulang. Bersama ayahnya dan neneknya. Meninggalkan ibunya yang masih berbaring diam-diam, di sebelah mesin yang terus berdengung, mendesis, memompa. Tidur tenang-tenang.

Tidak ada yang melihat, di sudut mata Ellis yang berbaring itu menggenang air mata yang hangat.

Irwan masih datang setiap sore. Membawa buket mawar merah. Barangkali masih berharap Ellis terbangun dari tidurnya karena melihat bunga kesayangannya? Dia duduk di sebelah ranjang Ellis, memegang tangannya yang penuh jarum bersambung selang. Entah apa yang ada di pikirannya. Entah apa yang diam-diam dibisikkannya.

Ellis tidak pernah melihat Irwan menangis. Tidak pernah barang sekali pun setelah lebih sepuluh tahun dia mengenalnya. Tapi, kali ini, alangkah baiknya kalau dia bisa menangis. Ellis tidak tahan melihatnya duduk diam-diam, mukanya begitu muram. Rahangnya mengeras. Matanya memandang ke mesin yang memberi napas, tapi tidak memberi hidup.

Seandainya semua berjalan lancar, malam-malam setelah Reina pulang, Irwan yang akan berjaga. Dia akan ambil cuti barang seminggu, supaya Ellis bisa beristirahat. Ibunya dan ibu Ellis tentu bersedia menemani. Tapi, mereka sudah sepakat, akan di rumah bertiga saja, ayah, ibu, dan anak. Sekarang mereka benar sebuah ‘keluarga’.

Aneh, Ellis juga baru sadar, tanpa anak mereka cuma dikenal sebagai pasangan muda. Tanpa anak, berapa tahun pun lamanya menikah, mereka bukan ‘keluarga’.

Barangkali bayinya bisa tidur di tengah-tengah, supaya kalau dia bangun aku tidak usah pontang-panting melompat ke kamar sebelah, begitu rencana Irwan. Tapi, Ellis tertawa geli, dan nanti malam, bayinya bisa sesak napas tertindih lengan ayahnya yang lebih besar dari gulingnya!

Ellis tidak berkata apa-apa. Dia sedang diam-diam berbaring, berusaha tidak bergerak. Karena di dalam bayinya sedang menendang-nendang. Pertama kali dirasanya sensasi yang ajaib ini, dia buru-buru memanggil Irwan. Dituntunnya tangan Irwan ke sisi perut di mana ada tonjolan kecil, bergerak gerak seperti menggeliat. Tapi, bukannya terharu, Irwan malah menarik tangannya. Rasanya seperti di film-film sci-fi, dengan makhluk luar angkasa merasuk dalam tubuh tokoh utama. Ellis merengut, dasar laki-laki. Jelek betul imajinasinya. Masa bayi disamakan dengan alien?

Koor selesai menyanyi. Waktu aku bangun dari tidur, di situ pun Tuhan ada dekat….

Ellis menggelengkan kepala. Kalau dia bangun dari tidurnya, dia ingin anaknya ada di dekatnya. Bukan dia tidak mau Tuhan, tapi…. Barangkali dia memang tidak mau, Tuhan. Dia tidak mau apa-apa. Dia cuma mau Reina!

Keinginan ternyata cuma milik roh. Badannya terus terbaring diam-diam dalam gaun putih. Tangannya tidak menggapai keluar, patuh memegang karangan mawar merah yang entah diletakkan oleh siapa. Bibirnya pucat, biarpun sudah dipulas lipstik warna muda.

Dia cuma tidur tenang-tenang sementara ibunya duduk di bangku depan, menangis terus. Keinginan ternyata cuma milik roh. Ellis yang tidur di situ tidak tergerak oleh air mata ibunya, tidak sedikit pun ingin bergerak menghampiri ibunya, memeluk atau menghibur.

Pastor mulai berbicara. Dengan kematian, hidup tidak dimusnahkan tetapi diubah.

Omong kosong macam apa itu, Ellis ingin berteriak. Hidupnya sudah musnah sekarang, semusnah-musnahnya. Susah payah dia berusaha hamil dan melahirkan, cuma untuk meninggalkan anaknya jadi piatu, tidak kenal siapa ibunya. Bahkan, tanpa bilang selamat tinggal atau sampai bertemu lagi.

Ellis ingat tantenya yang kena kanker payudara. Sudah pamit kemana-mana, ternyata malah sembuh setelah sepuluh kali kemoterapi. Segala macam yang bisa disiapkan, sudah disiapkannya. Dipesannya perangkat perhiasan untuk persediaan kalau anak sulungnya yang perempuan menikah. Surat wasiat diganti, ditambah, dikurangi, diperbarui sekali lagi.

Kalau waktu kita tinggal sedikit, alangkah banyak yang mesti dikerjakan.

Kalau dia tahu waktunya tinggal sedikit, apa yang akan dikerjakannya? Ellis tidak punya barang apa-apa untuk diwariskan. Dia tidak suka perhiasan. Satu-satunya yang dipakai hanya cincin kawin bermata berlian kecil, dan kalung pemberian ibunya, juga bermata berlian tunggal. Mungkin Irwan ingin dia terus memakainya sampai dikubur, jadi tidak perlu dia wariskan kepada Reina. Lagi pula, tiga puluh tahun lagi, entah apa pula model cincin kawin yang bakal in!

Dia tidak punya pakaian atau aksesori yang berharga. Malah isi lemarinya jeans melulu. Baru dikenakannya gaun saat hamil, karena ternyata enak juga jatuh longgar di atas perutnya yang membesar. Dia malah tidak punya tanah atau rumah selain yang ditempatinya bersama Irwan. Tampaknya urusan duniawi biar ditangani Irwan saja, yang lebih ahli, atau tepatnya lebih peduli soal-soal seperti itu.

Kalau dia tahu dia harus pergi tidak lama setelah Reina datang, paling tidak dia bisa bersiap-siap. Mungkin menulis surat panjang-panjang. Minta maaf karena tidak bisa menemaninya tumbuh, dan berada di samping Reina kalau diperlukan. Dia tentu tidak perlu bilang kalau ini kehendak Tuhan dan sama sekali bukan kehendaknya. Anak itu bisa jadi ateis nantinya, bagaimana bisa menyembah Tuhan kalau Dia dengan begitu kejam telah memisahkan dia dari ibunya?

Entah bagaimana meyakinkan Reina bahwa dia sayang betul pada anaknya dan ingin terus bersama dia. Dan Reina perlu tahu kalau dia sungguh-sungguh berusaha dengan segala macam cara, supaya rohnya kembali ke dalam tubuhnya, yang berbaring diam-diam dan bukannya gentayangan begini tanpa tujuan.

Mungkin dia bisa minta supaya Reina melihat semua ini dari sisi baiknya. Kalau Reina sudah remaja, mungkin dia senang juga tidak ada ibu yang merecoki seleranya berpakaian. Atau memarahinya karena telepon berlama-lama dengan teman sekelasnya. Tidak ada ibu yang memprotes musiknya yang gedambrungan tanpa melodi.

Seandainya dia punya waktu barang setahun, mungkin dia akan menulis buku pintar buat Reina. Macam buku-buku Sepuluh Langkah Menuju Hidup Bahagia atau Chicken Soup for the Soul. Berisi nasihat dan saran-saran untuk berbagai situasi yang mungkin dihadapi Reina. Supaya anak itu tahu, kalau ibunya masih ada, mungkin akan begitulah yang akan dikatakannya. Supaya anaknya bisa merasa, Ellis hadir pada saat diperlukan.

Daftar buku yang sebaiknya dibaca Reina sebab isinya begitu indah atau maknanya begitu mendalam. Seri Rumah Kecil kegemarannya, misalnya, atau Little Women, yang dibacanya entah berapa puluh kali sampai dia hafal setiap patah komentar Laura Ingalls waktu pertama kali berkereta bugi dengan Almanzo Wilder yang kelak akan jadi suaminya.

Dan Buku Harian Anne Frank, supaya Reina bisa belajar apa arti kebebasan yang sesungguhnya – jiwa dan semangat tidak bisa dikurung, bahkan kalau tubuh kita terkurung dalam ruangan loteng sempit bersama tiga keluarga, dua puluh empat jam sehari selama bertahun-tahun.

Mungkin dia juga perlu mewariskan beberapa resep kue kesayangannya. Bolu keju dari Tante Henny misalnya, yang sudah dicobanya berkali-kali, dengan bolu yang halus dan krem yang tidak terlalu manis, pas melengkapi rasa kejunya. Atau lapis legit yang lezat, tapi tidak terlalu berminyak seperti buatan toko-toko.

Ellis suka memasak. Dan membuat kue. Sayang, Irwan tidak terlalu suka makan, jadi makin lama makin jarang dia duduk menekuni buku resepnya. Kalau Reina menuruni kesukaan itu dari dia, mungkin nanti dia mau membuatkan kue keju itu buat ayahnya, biarpun paling akan dimakan satu dua potong.

Kalau dia cuma punya tiga bulan, barangkali dia akan pakai tape recorder saja supaya tidak usah terbirit-birit mengetik dan mengedit. Kalau rekaman langsung, salah-salah sedikit bukankah malah jadi tambah autentik? Dan serasa mendengar dari ibunya sendiri?

Kalau dia punya satu bulan, mungkin cuma daftar panjang dengan poin-poin. Macam buku saku tentang bagaimana jadi ibu yang bijaksana atau apa arti teman sejati yang dipajang dekat kasir di toko-toko buku.

Tapi, dia tidak punya barang satu hari pun untuk bersiap-siap.

Misa sudah selesai. Yang hadir berjalan keluar setelah selesai berdoa, menuju mobil masing-masing. Sebagian besar akan mengantar ke pemakaman. Sengaja Irwan memilih hari Minggu supaya semua bisa datang mengucapkan selamat jalan kepada Ellis.

Ternyata begitu saja akhir sebuah kehidupan. Dia berusaha membaca dari wajah orang-orang yang hadir. Banyak yang mengusap mata dengan saputangan. Apakah mereka menangis karena hidupnya pernah berguna? Atau cuma kasihan melihat akhir yang menyedihkan ini?

Akhir kehidupannya bahkan datang lebih cepat dari yang disangka Ellis.

Minggu kedua dia tidur dalam koma, dokter sudah memberi isyarat bahwa kemungkinan dia untuk sadar amat kecil. Sebetulnya secara fisik dia sudah tidak kuat. Keinginannya untuk terus hidup tidak cukup untuk membangunkan tubuhnya. Diam-diam ibu mertuanya sudah membisikkan, supaya Ellis tidak usah khawatir meninggalkan Reina, sebab anak itu akan dirawat baik-baik.

Ibunya sendiri juga akhirnya menyerah: kalau Ellis sudah tidak kuat, Ibu rela Ellis pergi. Ibu sedih tapi tidak akan menangis, kalau itu membuat jalan Ellis jadi berat. Ibu akan bantu Irwan supaya Reina tumbuh seperti keinginan kita.

Ellis ingat, waktu dia masih kecil, Ibu sering duduk di sebelahnya sambil menyisiri rambut Ellis yang hitam lebat. “Rambut kamu bagus sekali. Tapi yang bikin kamu cantik sebetulnya ini, mata kamu yang selalu bersinar gembira. Dan wajah kamu yang selalu terang, sebab buat kamu setiap hari baik adanya. Juga senyum kamu yang selalu sama manisnya buat semua orang, dari tukang parkir di jalan sampai Romo di gereja. Buat Ibu atau Mbok Nah di dapur atau ibu guru di sekolah.”

Ketika Ellis sudah makin besar, ibunya tidak lagi menyisiri, sebab rambutnya sudah dipotong pendek. Tapi, pesan Ibu tetap sama. “Kamu akan kelihatan cantik kalau matamu selalu bersinar gembira, dan matamu bersinar gembira kalau bangun setiap pagi dengan gembira, karena punya satu lagi hari yang indah untuk diisi dengan hal-hal berguna.”

Ingin benar Ellis memeluk Ibu erat-erat, bilang maaf karena sudah membuat Ibu susah dengan kepergiannya. Dan minta supaya Ibu mau sesekali datang menyisiri rambut Reina, sambil mengulang pesan yang indah itu. Pesan yang sampai dia besar selalu membuatnya merasa cantik dan karena itu tidak perlu bersembunyi di balik dandanan tebal.

Paling tidak Ibu masih punya Ayah dan karena itu bisa saling menguatkan. Bagaimana dengan Irwan? Bukan cuma Ellis, Irwan juga akan sendirian malam-malam berikutnya. Alangkah kejamnya kematian, karena dia berdiri di tengah-tengah dua orang yang saling mengasihi!

Mereka tidak bisa lagi saling menguatkan dalam kesusahan kali ini.

Dulu, kalau Irwan ada masalah dalam pekerjaannya, Ellis cuma duduk di sebelahnya. Diam-diam, tidak berkata apa-apa. Dia tahu itu tidak perlu. Dan sesungguhnya, tidak ada satu pun kata-kata mujarab yang bisa menghentikan orang dari kesusahannya. Irwan cuma perlu tahu, ada yang mengerti. Menerima.

Sekarang, tahukah Irwan kalau Ellis masih setia duduk diam-diam di sebelahnya? Mengerti kesusahannya?

Malam sebelumnya, Irwan duduk di depan televisi. Entah kenapa acaranya bukan siaran berita atau musik tetapi cerita komedi, yang tidak bisa ditonton sambil duduk diam-diam seperti batu. Siapa pun yang melihat pasti tahu, Irwan tidak ada di sana, di depan televisinya. Hatinya tidak ada di sana, barangkali juga tidak ada dalam tubuhnya. Separuh jiwanya ada di rumah sakit, di sebelah Ellis yang terus berbaring diam-diam. Barangkali Irwan juga bertanya-tanya, apa Ellis masih bisa mengerti kesusahannya? Barangkali dia merasa, Ellis mungkin sedang duduk diam-diam di sebelahnya, seperti biasa?

Tidak perlu ada kata-kata. Dan kali ini karena mereka sudah terpisah, satu dari yang lainnya.

Seandainya semua berjalan lancar, mestinya mereka sedang duduk berdua, memandangi Reina. Mungkin Reina tidur terus, mungkin sesekali dia akan membuka mata, melihat orang-orang yang mengasihinya, yang begitu menikmati kedatangannya.

Mereka akan mengagumi rambutnya yang hitam ikal, dan alis matanya yang begitu lebat. Irwan mungkin akan mengganggu Ellis, dan bilang kalau itu pasti gen dari dia karena Ellis hampir tidak punya alis. Reina mungkin akan menangis karena basah, dan Ellis akan menohok pinggang Irwan agar dia berhenti bicara dan pergi mengambil popok Reina saja.

Sekarang, bagaimana merayakan kehadiran anak yang kedatangannya telah membuat ayahnya terpisah dari ibunya? Mungkin sebaiknya tidak usah diperpanjang lagi. Kali ini, berdiri sendiri-sendiri dalam kesusahan, mereka cuma terbenam makin dalam. Sakit hati Ellis melihat Irwan duduk diam seperti batu di depan acara komedi. Dan apa yang ada dalam kepala Irwan, melihat Ellis berbaring diam-diam, tanpa dia bisa berbuat apa-apa?

Pagi itu, Irwan mendatangi dokter di ruangannya. Dia tidak bilang apa-apa. Cuma mengangguk pelan, lalu keluar. Dokter yang ditemuinya menarik napas panjang. Dia mengerti. Mengerti kalau pilihan untuk mengakhiri semua ini bukan pilihan yang terbaik buat anggota keluarga. Dan mengerti bahwa membiarkan yang koma berbaring terus juga bukan pilihan yang baik. Mengerti bahwa sesungguhnya ini bukan soal pilih-memilih.

Dokter itu tersenyum pahit, juga tidak bisa memilih. Bermain sebagai Tuhan, apa enaknya? Apalagi melakukan pekerjaanNya dengan mata tertutup!

Dokter itu menarik napas panjang sekali lagi.

Maka tubuh yang membungkus jiwa itu akhirnya dilepaskan dari mesin yang terus mendesis. Memompa oksigen, tapi tidak mampu memompakan kehidupan. Transfusinya dicabut. Darah yang datang dari luar itu, tidak juga membawa hidup. Dan infusnya, apa gunanya memberi makan tubuh yang sudah tidak berjiwa?

Ellis menyaksikan dari sudur ruangan. Dia bisa berbuat apa? Dia, toh, sudah berhari-hari terusir dari dalam sana. Bungkus itu, bukan lagi miliknya. Anaknya, satu-satu miliknya, juga sudah diambil darinya. Sekarang dia bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa.

Alangkah singkatnya kehidupan. Dan alangkah panjangnya hari-hari yang datang sesudahnya.

Akhirnya, pesawat berangkat juga.
Maria menarik selimutnya ke atas. Penerbangan yang ideal. Sebentar lagi waktu tidur. Barangkali dia bisa istirahat dengan tenang, sekarang. Semua urusannya sudah selesai. Besok pagi, bangun tidur, dia sudah akan ada di Sydney.

Kelihatannya semua berjalan lancar.

Maria menengok lewat jendela pesawat. Dia sengaja minta duduk di situ. Tidak setiap hari dia naik pesawat dan bisa memandang dunia dari sudut yang lain. Tidak setiap tahun, malah. Landasan tempat pesawat tadi berpacu kelihatan bagai jalur-jalur saling simpang siur. Tiap jalur dibatasi kiri kanannya oleh garis-garis yang menyala dari lampu sorot yang sekarang kelihatan bagai titik-titik kecil. Membentuk jalan-jalan yang teratur dan bermakna, paling tidak buat pilot dan pekerja kontrol di bandara.

Bangunan bandara kelihatan jauh di bawah. Hati Maria terasa tenggelam. Dia tidak suka sensasi ini, saat tubuhnya terangkat makin tinggi melawan gaya tarik bumi. Tapi bukan cuma karena itu. Samar-samar dibayangkannya ayah dan ibu berjalan meninggalkan bandara. Dia tidak pernah meninggalkan rumah lebih dari tiga minggu. Dan di rumah, sejak kecil dia jadi tangan kanan ibunya. Adik-adiknya mungkin tidak terlalu merasa kehilangan. Atau belum. Dan Imam, malam ini dia tidak perlu mendengar pertanyaan Imam apakah dia tidak apa-apa. Maria menggelengkan kepala. Dia baru saja meninggalkan kekasihnya, ehm, maksudnya suaminya, di bawah sana dan tidak akan melihat wajahnya lagi selama dua tahun. Kenapa dia justru merasa lega? Bukan pertanda bagus.

Atau barangkali dia cuma ingin menghindar dari pertanyaan-pertanyaan Imam, karena dia tidak punya jawaban yang tepat? Atau terpaksa menyembunyikan jawabannya, tepatnya? Apakah dia lega telah meninggalkan Imam karena akhirnya dia bisa duduk tenang dengan rahasianya sendiri, tanpa takut tertangkap basah?

Rahasia. Alangkah anehnya kata itu. Macam intel saja. Seumur-umur dia tidak pernah punya rahasia. Atau paling tidak, bukan yang macam begini. Dia punya buku harian waktu masih di SMP, dan setengah mati mencari tempat yang aman untuk menyimpannya. Maria tidak ingat apa yang ditulisnya dulu. Rasanya cuma kejadian-kejadian biasa di kelas. Urusan dengan guru, kenapa suka yang satu, tapi tidak suka yang lain. Dan perasaan istimewa, kalau tidak mau disebut cinta monyet, terhadap salah seorang teman sekelasnya.

Dia ingat, dia pernah marah betul ketika suatu hari dilihatnya adik perempuannya tengah memegang buku itu. Anak itu ternganga ketika tiba-tiba melihat kakaknya muncul di pintu. Mungkin adiknya belum sempat membaca apa-apa. Anak sembilan tahun itu mungkin cuma kebetulan memegangnya, karena tertarik pada sampulnya. Maria tidak bisa membayangkan seperti apa wajah marahnya itu. Pasti luar biasa, karena sejak itu dia tidak pernah melihat adiknya mendekat ke tempat Maria menyimpan barang-barangnya. Entah kenapa dia bisa begitu marah, padahal tidak ada rahasia apa-apa di dalam bukunya. Kalaupun ada, tidak ada apa-apanya dibanding yang sekarang ini.

Mungkin rahasia bukan kata yang tepat. Ini sesuatu yang dia ingin sembunyikan. Tapi kenapa? Karena dia merasa ini sesuatu yang tidak benar? Yang mestinya tidak dia lakukan? Seingatnya, dia tidak pernah menyembunyikan apa-apa. Karena memang tidak ada yang harus disembunyikan.

Pernah sekali dia pulang kemalaman dari pesta. Pada Ibu yang menunggu dengan wajah marah, dia bilang apa adanya. Habis, mau apa? Toh, itu sudah terjadi dan tidak bisa diapa-apakan lagi. Dia, toh, harus ikut pulang dengan Regina, sahabatnya. Dan Regina dijemput Thomas, pacarnya. Dan Thomas mengajak mereka mampir sebentar makan es krim di hotel besar di Jalan Sudirman. Dan bukan salah Maria kalau di mobilnya ada Rudi, teman Thomas yang pernah dikenalkan Regina padanya. Dan mata Rudi begitu bagus, Maria tidak tahan kalau dipandangi lama-lama (bagian yang ini tentu dia tidak bilang pada Ibu - lebih karena malu, sebetulnya).

Ada penjelasan yang masuk di akal kenapa itu terjadi, dan.… Aha! Itu dia yang tidak ada dengan urusan kali ini, barangkali. Tidak ada penjelasan yang masuk di akal kenapa itu terjadi.

Maria merasa sedikit lega. Paling tidak, ini bukan urusan benar atau salah. O, kalau soal penjelasan, dia bisa bilang bahwa beasiswanya cuma untuk dua tahun, dan dia tidak bisa cuti selama tahun pertama. Kalaupun dia ambil cuti di tahun kedua, biaya hidupnya selama cuti harus ditanggungnya sendiri. Dan, berapa tahun sekali kita dapat tawaran beasiswa?

Itu penjelasan yang bisa diterima akal sehat. Akal sehat siapa? Akal sehat Maria? Akal sehat Imam? Akal sehat Ibu? Akal sehat masyarakat?

Hei, kenapa pula dia mesti membawa-bawa masyarakat? Apa urusan mereka? Ini tubuhnya sendiri, ini hidupnya sendiri. Ini beasiswanya sendiri! Dan kapan dia mau punya anak, itu juga urusannya sendiri.

Bahkan, ibu ayahnya tahu, mereka tidak bisa mengatur-atur hidupnya. Tidak perlu, tepatnya. Karena dia sudah memikirkan semua langkah dengan matang, dan menimbang semua pilihan dengan cukup bijaksana. Dan Imam, dia setuju untuk menikah dengan Imam, tapi tidak berarti dia menyerahkan hak otonomi itu begitu saja.

Maria menghela napas panjang. Nah, ternyata ribuan meter di atas sini dia masih juga tidak bisa melepaskan diri dari urusan yang satu itu. Bagaimana mau tidur nyenyak? Di kursi sempit begini pula, yang cuma bisa direbahkan seadanya. Heran, bagaimana penumpang di sebelahnya bisa tidur mendengkur dalam waktu kurang dari setengah jam!

Duduk di sini tanpa mengerjakan apa-apa, ternyata malah makin parah. Maria tidak bisa berbuat lain kecuali berpikir, dan melamun. Kemarin-kemarin dia terlalu sibuk dengan koper-kopernya. Tidak ada waktu untuk merenung. Bahkan, pengambilan keputusan juga dilakukan dalam hitungan jam, kalau tidak mau dibilang menit. Dan sekarang, semua yang terjadi dalam satu dua bulan terakhir ini berputar-putar di dalam kepalanya.

Sialnya, ujungnya selalu berakhir di situ. Di jalan Z. Di ruang kecil berdinding putih yang terang benderang. Di mana ‘prosedur’ itu dilakukan. Bagaimana meyakinkan ini pada dirinya sendiri: kasus sudah selesai. Keputusan sudah diambil. Eksekusi sudah dijalankan. Dan berkas-berkas perkara harus dimusnahkan, karena tidak perlu disimpan dalam file.

  Alangkah indahnya hidup bila satu botol vitamin bisa membuat kita bahagia.

Pramugari sudah bangkit dari tempat duduk mereka, begitu sabuk pengaman boleh dilepaskan. Mereka lantas sibuk mondar-mandir. Sebagian membagikan handuk hangat dan minuman. Yang lain masuk ke dapur, mungkin menyiapkan makan malam.

“Ayam atau ikan?” Maria ditanya oleh seorang pramugari. “Apa saja,” sahutnya tanpa selera. Dia memang sedang tidak ingin makan. Waktu makanannya datang, Maria sedikit terhibur. Well, paling tidak dia punya sedikit kesibukan sekarang. Barangkali setengah jam bisa dihabiskan tanpa berpikir kalau dia bisa konsentrasi pada makanannya.

Setelah menghabiskan makanannya, Maria merasa lebih baik. Diambilnya seiris buah dan puding, atau appun namanya itu. Diperhatikannya makanan itu sejenak, rupanya, kok, mirip makanan bayi. Ah, bayi lagi?

Diambilnya buku dari dalam ranselnya. Mungkin dia bisa coba membaca. Universitas XYZ, Buku Panduan untuk Mahasiswa Baru.

Akomodasi – hm, tempatnya di asrama sudah dipastikan minggu lalu. Lewat. Transpor. Karcis bus untuk mahasiswa. Biaya hidup – nah ini menarik. Lengkap dengan tabel harga untuk beberapa macam bahan pokok. Telur, satu dolar delapan puluh selusin. Susu satu dolar dua puluh. Roti, daging… Maria mulai deg-degan membacanya. Bagaimana kalau ternyata beasiswanya tidak cukup? Masih berani membawa anak pula?

Perpustakaan – betul kan buka dua puluh empat jam? Oh, tapi akses dua puluh empat jam hanya untuk mahasiswa S2.

Hiburan – hm, bioskop delapan dolar, hari Selasa harga khusus enam setengah dolar.

Tempat penitipan anak. Jalan … . Telepon … Buka mulai pukul tujuh hingga... Hei, ini menarik juga. Tidak pernah terpikir olehnya mahasiswa juga perlu fasilitas penitipan anak. Dua puluh empat dolar per hari, termasuk makan dan popok sekali pakai. Mahal amat? Dia pasti tidak mampu membayar begitu banyak. Berapa jadinya sebulan? Setahun?

Hmm, dia sudah mengambil pilihan yang bijaksana. Lihat mahalnya ongkos memelihara anak di sana. Ini baru penitipan. Dan dia pasti harus menitipkan anak kalau sudah sibuk dengan kuliahnya. Memangnya di Jakarta, ada pembantu atau ada nenek?

Maria menarik napas. Sejak dulu dia percaya, hidup sebetulnya semata mata soal menentukan pilihan. Terus menerus, setiap saat. Mulai dari bangun pagi, mau bangun sekarang atau lima menit lagi. Sarapan atau tidak. Pakai rok atau celana panjang. Hitam atau biru.

Lantas, mau pergi kuliah atau membolos. Mau mencatat atau pinjam saja. Mau berusaha mendengarkan dan mencari yang menarik dari omongan dosen, atau menguap dan memandang ke luar jendela?

Kalau pilihan sudah ditentukan, kita bisa pindah ke pilihan berikut. Yang sudah lewat tidak perlu dipikirkan lagi, karena, toh, masih banyak yang lain. Setiap kali harus memilih, dia sudah menentukan pilihannya. Dan sekarang, ia harus merasa puas dan siap menanggung konsekuensinya.

Kesibukan makan sudah reda. Kopi dan teh sudah dihidangkan. Pramugari sudah hampir selesai mengumpulkan nampan berisi kotak makanan dan gelas-gelas minuman. Maria menggeser duduknya, menengok ke belakang untuk memastikan penumpang di belakangnya sudah selesai makan. Jadi, dia bisa kembali merebahkan sandaran kursinya.

Tapi, baru dia berusaha memejamkan mata, anak kecil yang duduk di bangku depannya mulai merengek-rengek. Maria melihat anak itu tadi waktu baru tiba di tempat duduknya. Lucu, dengan rambut ikal diikat kiri-kanan. Pipinya bulat. Umurnya barangkali baru dua tahunan. Tapi, dia terus berceloteh dalam bahasa yang barangkali cuma dimengerti oleh ibunya. Lantas makan dengan manis.

Waktu sudah bosan duduk, anak itu bangun, berdiri di tempat duduknya. Berbalik menghadap ke belakang, berpegangan pada sandaran kursinya. Dengan polos dia memandangi Maria. Lalu tersenyum. Begitu lucu, Maria mau tak mau tersenyum balik dan melambai sedikit.

Sekarang, saatnya orang tidur, kenapa tiba-tiba dia merengek-rengek macam begitu? Mana anak yang lucu dan menggemaskan tadi? Sudah mengantuk dan karena itu uring-uringan? Ibunya sibuk mengambil botol susu dan mengeluarkan boneka kecil dari tas. Membujuk, membacakan buku cerita. Tapi, dengan kejam anak itu terus merengek-rengek, dan mulai menangis.

Penumpang di sebelah kirinya sudah mulai menengok-nengok, dahinya berkerut, terang- terangan memandangi ibu dan anak itu. Mungkin dia kurang toleran. Tapi, mana bisa bicara soal toleransi saat mata mulai mengantuk, badan mulai pegal dijejal di tempat sempit, dan kita harus berbagi ruangan barang lima jam lagi, salah satunya dengan anak yang terus merengek-rengek entah sampai kapan?

Mungkin sebetulnya anak itu mengantuk dan cuma ingin tidur. Tapi tidak bisa, di tempat asing yang begitu berbeda dengan kamar tidurnya yang nyaman dan cantik penuh boneka, Maria mulai berteori.

Atau, anak itu mengasosiasikan tidur dengan perpisahan dengan ibunya – terutama kalau dia tidur di kamar terpisah – dan karena itu menjadi cemas dan gelisah menjelang saat tidur tiba. Atau itu caranya mencari perhatian, merengek terus karena dengan begitu dia mendapat ‘hadiah’ berupa bujukan ibunya, susu botol dan cerita malam. Mungkin ia sudah ‘belajar’ bahwa dengan merengek dia bisa mendapat apa yang dia inginkan.

Tapi, apa pun penjelasan psikologisnya, anak itu terus merengek dan menangis. Maria merasa keji dengan segala analisisnya. Dia berdiri, bersandar ke depan, dan tersenyum lebar pada ibu yang kerepotan itu, supaya kelihatan jelas kalau dia berusaha membantu dan bukan mau protes. “Dia tidak bisa tidur? Barangkali gelisah di tempat asing yang beda dari kamarnya?” ucap Maria berbisik.

Ibu yang malang itu menoleh ke arah Maria dengan pandangan minta maaf. “Oh, dia memang selalu begini setiap waktu tidur,” bisiknya. “Setiap malam. Entah kenapa.”

Ops, Maria menyesali kelancangannya. Dia tidak berniat jadi psikolog dalam pesawat terbang. Tidak tengah malam begini, tidak bila pasiennya anak dua tahun yang merengek terus, sementara penumpang di sekitar mulai gelisah.

Dia duduk lagi, kali ini dengan senyum minta maaf, tidak bisa membantu. Alangkah enaknya, bisa kembali duduk diam-diam, ini bukan urusannya. Dia merasa lega karena anak ini, lucu atau perengekan, untunglah bukan anaknya.

Entah bagaimana akhirnya ibu itu membuat anaknya tertidur. Maria berusaha membaca, dan jatuh tertidur tanpa sempat menunggu bagaimana akhir drama kecil ini. Dia terlelap bahkan tanpa sempat memadamkan lampu bacanya.

Tetapi, tidurnya gelisah. Punggungnya pegal, kakinya kesemutan. Dan dalam tidur yang tidak nyenyak itu dia bermimpi. Anaknya sudah lahir, umur dua tahun. Dan menangis terus tiap malam, entah apa yang dimauinya. Hei, anak yang duduk di depannya dalam pesawat, ternyata itu anaknya. Anak itu merengek dan menangis terus. Dan sekarang, dialah ibunya. Penumpang mulai berdiri dan menghampiri dia dan anaknya, wajah mereka tampak garang. Seorang penumpang berusaha membuka pintu. Yang lain meraih anaknya, dan melemparkannya ke luar dari pesawat.

Tetapi, bukannya berusaha merebut anaknya kembali, dia malah merasa lega.Terima kasih, terima kasih, berulang-ulang Maria berbisik dalam mimpinya. Penumpang- penumpang itu kembali ke tempat duduk mereka, dan meneruskan tidur. Dari jendela dilihatnya anaknya melayang-layang di antara awan-awan. Belum pernah dia merasa hatinya begitu ringan. Bebannya sudah diambil darinya. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Bukan dia yang membuang anaknya. Tepatnya, salah anak itu sendiri sehingga dia dibuang ke luar.

Dalam mimpinya Maria tersenyum. Sementara anaknya terus melayang-layang di antara awan-awan.

Dari tempatnya berdiri di kejauhan Ellis melihat peti diturunkan ke dalam tanah. Inilah akhirnya. Ceritanya sudah sampai halaman paling belakang. Bukunya sudah akan ditutup. Perlahan tanah ditaburkan ke atasnya. Sebentar lagi fisik dari dirinya akan lenyap untuk selamanya. Itukah yang ditangisi orang-orang yang berkerumun di sekitarnya? Ataukah kenyataan bahwa bukunya ternyata begitu tipis, ceritanya begitu singkat?

Tirai sudah diturunkan. Apa yang telah dipentaskan tidak dapat diubah. Ada tepuk tangan atau tidak, penonton puas atau tidak, apalah bedanya? Semua sudah selesai.

Satu per satu orang berangkat pulang. Ellis mendekat ke tanah makamnya. Dilihatnya namanya tertulis di sana. Lahir…. Meninggal…. Aneh, pikirnya. Dia tidak merasa mati.

Agamanya mengajarkan ada hidup sesudah kematian. Tapi, dia baru mengerti sesudah mengalaminya sendiri. Dia sungguh-sungguh masih hidup. Dalam pengertian tertentu. Tidak seperti lilin yang menyala sampai tetes terakhir, lalu padam dan habis. Dia tidak menguap seperti air yang dimasak habis dalam panci. Atau jadi debu menyatu dengan angin seperti kertas yang hit.am terbakar. Tidak menghilang seperti awan gelap diusir matahari.

Apa kata pastor tadi? Dengan kematian hidup tidak dimusnahkan, hanya diubah.

Ellis memandangi tanah kubur yang masih basah. Merah tertutup oleh helai-helai kelopak mawar yang ditaburkan di atasnya. Dia mengerti sekarang, orang yang sudah meninggal tidak terkurung di dalam sana selamanya. Jiwanya sesungguhnya adalah dia, yang sama seperti kemarin atau tahun lalu. Masih merasa, berpikir, berkehendak. Hidup.

Lantas, apa yang akan terjadi sehabis ini?

Ellis percaya ada surga. Dia bahkan bisa membayangkan, ada tempat di mana musik senantiasa mengalun merdu, dan kita dipenuhi rasa hangat dan nyaman. Semua sudah tersedia, atau barangkali kita sudah tidak perlu apa-apa, sehingga berhenti mencari dan mengumpulkan, dan berhenti khawatir dan berkesusahan seperti waktu di dunia. Dia tidak takut mati - meskipun mestinya tidak sekarang - karena dia percaya ada kebahagiaan abadi. Tapi sekarang dia takut – dia takut dia akan diangkat ke surga atau ke tempat untuk arwah-arwah, betapapun indahnya.

Dia tidak mau pergi ke mana-mana karena di sini tempatnya, di dekat anaknya.

Anaknya. Ellis kembali muram. Mungkin memang dia belum akan masuk surga, atau belum layak masuk surga. Karena kesedihan masih memberati hatinya. Tidak ada air mata di surga. Tidak ada susah. Tidak ada marah. Mungkin dia masih sedang dalam api pencucian. Harus bergumul melawan kehendaknya untuk tetap tinggal. Harus memerangi amarahnya karena dipanggil Tuhan begitu cepat. Harus belajar melupakan kekecewaan karena terpaksa melepaskan sesuatu yang sudah begitu lama dia inginkan.

Mungkin ini bagian dari hukumannya. Atau mungkin, Tuhan Maha Mengerti. Yang jelas dia masih dibiarkan terus di sini. Di tempat yang bisa ditentukannya sendiri. Bersama orang-orang yang dipilihnya sendiri.

Di rumahnya sendiri, rasanya tidak seperti mati. Dia hadir di sana. Ada di tengah-tengah mereka seperti biasa. Cuma rasanya seperti penonton yang diajak naik panggung. Dikelilingi pemain, tapi tidak ikut bermain.

Pagi hari Ellis melihat kesibukan seperti biasa. Pembantu membuka jendela, menyapu dan membersihkan lantai. Irwan masuk kamar mandi, memilih kemeja dan dasi, bersiap berangkat kerja. Mesin mobil dipanaskan selagi Irwan duduk sarapan. Wangi telur dadar dan roti panggang mestinya sudah memenuhi dapur.

Anaknya akan dimandikan. Air hangat sudah disiapkan di ember. Kakinya menendang nendang kegirangan begitu badannya masuk dalam air. Cipratannya membasahi lantai dan baju pengasuhnya. Selesai mandi dia dibedaki. Dipakaikan baju bersih, dan dibawa keluar pada ayahnya. Irwan menciumnya, mengelus kepalanya, dan melambai. Lalu berangkat kerja.

Seandainya semua berjalan lancar, dia juga akan berangkat kerja. Melambai pada Reina. Besar sedikit mungkin anak itu akan menangis ingin ikut.

Ellis ingat tetangga di sebelah rumah ibunya dulu. Keluarga muda dengan anak umur tiga tahun. Tiap pagi ikut naik ke mobil kalau ibunya berangkat kerja. Putar-putar keliling kompleks, lalu turun dekat taman sementara ibunya meneruskan perjalanan. Bagus juga dia tidak harus berangkat kerja dan meninggalkan anaknya sekarang.

Siang sedikit ibunya atau ibu mertuanya biasanya datang. Ibunya bisa masuk diam-diam, meletakkan makanan yang dibawanya untuk Irwan di meja dapur. Lalu mencari Reina. Ibu mertuanya lain lagi, ‘mengumumkan’ kedatangan dengan tawanya yang khas, memanggil-manggil Reina. “Mana cucu yang manis, ini Eyang datang…. Sudah mandi apa belum?”

Reina dipeluk, diayun-ayun. Sementara matanya yang bulat mengamati gerak mulut neneknya yang dipoles lipstik merah. Dan giwang besar yang bergerak-gerak kalau ia sedang berbicara. Saat waktu makan Reina tiba, ibunya atau ibu mertuanya kadang-kadang menyuapi. Reina makan dengan mudah, kecuali beberapa suap terakhir. Mungkin sudah bosan. Atau sudah kenyang. Jadi suap-suap terakhir harus disertai segala macam bunyi-bunyian dan cerita. Seperti,”… dan pesawat terbang masuk mulut….”

Mungkin porsinya kebanyakan, pikir Ellis. Tapi, kelihatannya semua orang yang terlibat tidak ada yang berpendapat demikian. Dan, toh, biasanya habis juga makannya. Kalaupun Ellis satu satunya yang keberatan, maaf saja. Dia, toh, tidak bisa protes dan mulai besok mengurangi barang dua tiga sendok.

Sesudah Reina selesai makan, baru neneknya berangkat pulang. Dia akan dibersihkan dan siap untuk tidur siang. Anak itu selalu mengantuk sehabis makan siang. Dia bahkan mulai menguap sebelum makannya selesai. Setelah itu rumah terasa tenang. Ellis tidak menyangka dia bakal punya kesempatan mewah ini, diam-diam memandangi rumput di halaman belakang, mendengarkan angin mengayun pepohonan. Suara daun-daunnya bersentuhan halus berbisik. Seperti berusaha jangan sampai membangunkan yang sedang tidur.

Tidak ada deadline, tidak ada meeting. Tidak ada debat dengan art directornya. Tidak ada malam-malam melotot di ruang editing: apakah warna kulit sudah betul alami, apakah warna rambut sudah betul hitam mengilat dari segala sudut, sesuai dengan yang dijanjikan kalau memakai sampoo ini. Ibunya tidak akan pernah mengerti, kenapa begitu banyak bulan dihabiskan untuk menyelesaikan sebuah iklan yang muncul hanya tiga puluh detik di layar televisi.

Tidak terlalu buruk, ternyata, diam di rumah seharian. Tidak seburuk yang dibayangkannya. Barangkali karena di dalam dirinya sudah tidak ada lagi kebutuhan untuk menghasilkan sesuatu. Tidak ada hasrat untuk membuat dirinya berguna.

Daun-daun bergerak lagi disapu angin. Mengangguk-angguk. Berdesir halus. Satu dua helai jatuh ke tanah, tidak bersuara. Ke mana dicarinya kedamaian selama ini? Sepuluh hari menyewa pondok di desa kecil dekat Ubud, mencari ketenangan. Atau dua ratus ribu semalam di Kepulauan Seribu. Ternyata ada di rumahnya sendiri!

Sesudah Reina tidur, pengasuhnya duduk di depan televisi. Stasiun- stasiun televisi itu sepertinya mengerti, ini waktunya buat telenovela dan sebangsanya. Berganti-ganti ceritanya. Sejak dulu Ellis tidak pernah tertarik untuk menonton. Barangkali juga karena tidak punya waktu, lebih baik diisi buat yang lain yang lebih disukainya.

Tapi, baru sekarang dia mengerti, barangkali ini salah satu alasan kenapa banyak perempuan muda dari desa pergi ke kota. Dan mereka memilih jadi pembantu rumah tangga, daripada diam di desa mengurus kebunnya. Ada waktu istirahat siang, duduk di depan televisi, kemungkinan bersama rekan sekerja, yang waktu memasaknya masih dua tiga jam lagi.

Untung telenovela akhirnya selesai juga. Pasti stasiun-stasiun televisi itu mengerti. Saatnya bersiap-siap buat makan malam. Pembantu pergi ke dapur dan menanak nasi. Mengupas, mengiris, menyiangi buat masak makan malam nanti.

Satunya lagi ke taman, menyalakan selang air. Mulai menyiram dari sudut yang paling jauh. Air segar menyembur, membersihkan daun-daun yang seharian ditimpa debu dari jalan. Pelan-pelan mengusir hawa panas yang lantas ditelan masuk ke dalam tanah.

Pengasuh Reina masuk ke kamar. Pelan-pelan membangunkan, sudah wakunya minum air jeruk atau jus buah lain. Lantas biskuit atau bubur manis dari tepung siap pakai. Ellis tidak tahu dari mana mereka dapat merek itu. Sekarang dia tidak tahu apa-apa soal produk baru atau merek baru - sekali waktu mungkin dia harus melihat lihat apa yang sekarang ada di pasaran.

Habis itu baru dia mandi, pakai bedak lagi. Ganti baju bersih, rambut disisir rapi. Ingin benar Ellis mencium wanginya, tapi tidak bisa, entah kenapa. Tidak tahu kenapa dia bisa melihat dan mendengar, tapi tidak bisa menggunakan indra yang lain. Ingin benar dia mencubit pipi Reina atau mengelus tangannya yang gemuk, halus kulit bayi yang rajin dibedaki. Juga tidak bisa, sayang sekali.

Dia seperti pengunjung di museum. Semua boleh dilihat, diamati, dan dinikmati. Tapi, karena begitu berharga, semua tersimpan di dalam kaca. Entah halus atau menyengat wanginya. Entah kasar atau halus permukaannya.

Dia boleh bolak-balik sebanyak dia suka, atau berdiri selama mungkin di depan satu eksibisi. Tapi, tidak bisa menyentuh atau meraba, bahkan sekadar untuk bisa menghayati dengan lebih mendalam.

Ellis ingat percakapannya dengan sahabatnya dulu, soal hidup dan kehidupan. Nana merasa kita seperti ikan dalam akuarium, bergerak kesana-kemari, sibuk sendiri-sendiri. Dan Tuhan berada di luar, asyik mengamati.

Waktu itu dia geli sendiri, membayangkan dirinya berenang kesana-kemari, dengan mulut membuka dan mengatup. Alangkah jeleknya. Sahabatnya suka cemberut, dia dituduh tidak punya imajinasi.

Sekarang, dia justru merasa dirinya berada di luar akuarium itu, sedang asyik mengamati. Tidak tahu airnya dingin atau hangat, tidak khawatir ada makanan atau tidak.

Kalau Nana tahu, dia mungkin malah iri. Hmm, jangan-jangan karena dia tidak punya imajinasi, kini diberi kesempatan mengalami sendiri. Barangkali sekali-sekali dia juga bisa melihat Nana berenang di dalam sana.

Barangkali Tuhan juga ada di sebelahnya, ikut mengamati.

Ellis menarik napas. Apa sebenarnya hidup dan kehidupan? Siapa yang berada di dalam, siapa berada di luar? Siapa mengamati siapa?

Di luar langit sudah mulai gelap, lampu-lampu mulai dinyalakan. Di taman ada arca kecil berbentuk bangunan persegi dengan atap melengkung. Dulu Ellis suka meletakkan lilin di dalamnya. Sinarnya kecil, tapi kelihatan mantap dan percaya diri, memancar keluar dari jendela-jendela kecil di keempat sisi dindingnya. Sekarang entah siapa yang memutuskan untuk meneruskan, lilin malah dinyalakan hampir setiap malam. Sinarnya menari-nari, apalagi kalau angin bertiup kencang. Bayangan pohon di sebelahnya melengkung naik turun, ke kanan ke kiri. Tapi, apinya tidak padam, sampai semua orang pergi tidur dan lilinnya meleleh terbakar habis, dan besok diganti yang baru lagi.

Satu lagi, lampu tinggi di sebelah kursi kesayangan Ellis. Entah kenapa juga selalu dinyalakan setiap malam. Kadang-kadang Irwan duduk di sana dengan korannya. Sekarang tidak ada lagi Ellis yang bakal mengusirnya. Dulu dia suka berusaha menempati sebelum Ellis sempat. Pernah diusulkannya supaya membeli satu lagi, biar Irwan tidak usah mengusik Ellis dari kesukaannya. Tapi Irwan menolak dan bilang tidak perlu.

Kadang-kadang Irwan membawa Reina. Dibaringkannya Reina telungkup di atas pangkuannya, sementara Irwan menyandarkan pundaknya di sandaran yang tinggi. Berdua mereka berdiam diri sampai pengasuh Reina bolak-balik mengintip sedikit khawatir.

Pukul enam Irwan pulang, mobilnya menderu masuk garasi. Makin besar Reina makin mengerti, kakinya melonjak-lonjak mendengar suara mobil ayahnya. Kalau Irwan masuk rumah, Reina sudah disodorkan. Siap untuk diangkat tinggi tinggi sampai anak itu mengikik geli dan sedikit ngeri karena kepalanya bisa menyentuh lampu di atas kepala ayahnya.

Ini saat-saat paling baik buat Ellis, saat Irwan kembali seperti dulu sewaktu dia masih ada. Senyum Irwan lebar menyambut tawa Reina. Rahangnya yang keras kaku jadi melunak, siap untuk tertawa bersama Reina yang terus terkikik geli.

Alangkah indahnya hidup bila satu botol vitamin bisa membuat kita bahagia.

Maria berdiri di depan kaca. Ini baru agen real estate ke empat yang didatanya. Masih banyak lagi berderet di kanan kiri jalan. Dia tidak pernah tahu begitu banyak orang ingin menyewakan flat atau rumah mereka di sini. Setiap minggu pasti ada yang baru dalam daftar. Dan bukan cuma diiklankan di koran seperti di Jakarta, di sini penyewaan rumah dan flat menjadi bisnis besar yang mesti ditangani agen.

Agen yang mencari penyewa, menerima atau menagih pembayaran, dan meneruskannya pada pemilik tempat setelah dipotong komisi. Lebih dari itu, beberapa bulan sekali agen memeriksa keadaan rumah apakah dirawat dengan baik oleh penyewa. Dan kalau ada masalah seperti kran bocor, mengurus perbaikan lantas menagihkan biaya kepada pemilik rumah.

Disewakan. Flat satu kamar tidur. Dapur bersih, terawat, kompor gas. Ada tempat parkir. Seratus empat puluh dolar seminggu.

Mahal amat?

Dua kamar tidur. Dua ratus dolar per minggu. Dekat transport dan universitas.

Ini lebih menarik. Dan lebih murah, kalau dia bisa mencari teman untuk berbagi sewa. Tapi selama yang dicari belum ketemu, dia harus menanggung resiko membayar untuk dua kamar. Dan bagaimana kalau teman sharing ini ternyata tidak rapi, meletakkan pakaian sembarangan, atau malas membersihkan dapur sehabis memasak?

Maria garuk-garuk kepala. Sebetulnya dia tidak perlu buru-buru.

Sampai saat ini kelihatannya semua berjalan lancar.

Di tempatnya yang sekarang dia bisa tinggal sampai satu semester. Ini sebetulnya asrama milik universitas. Namanya asrama, bangunannya besar berlantai empat. Di setiap lantai kamar berderet-deret di kiri kanan, dengan satu lorong panjang di tengahnya. Bagusnya, dia hidup sendiri dalam kamarnya, sendirian, mau bersih atau berantakan.

Tapi masalahnya sebenarnya, Maria merasa hidupnya terlalu soliter di sini. Ada ruang rekreasi tapi kalau punya waktu luang dia lebih suka diam di kamar dan mendengarkan musik atau membaca. Dan biarpun sewanya termasuk murah, kamarnya di sini lengkap dengan perabot, furnished istilahnya. Dan kamar furnished pasti lebih mahal daripada yang unfurnished. Itu yang sekarang sedang dicarinya. Sewa tanpa perabot. Perabot sederhana bisa dibelinya second hand. Nanti dijual lagi kalau saatnya pulang.

Maria menarik napas. Inilah Sydney. Minta ampun biaya akomodasinya. Sebagian besar ongkos hidup dari beasiswanya memang habis untuk bayar sewa. Karena itu dia berniat pindah ke flat biasa, dan cari teman untuk sharing.

Ini ada lagi yang menarik.

Dua ratus sepuluh. Dua kamar. Satu garasi (hm, ini bisa disewakan lagi. Dia toh tidak punya mobil dan tidak perlu garasi.)

Mari berpikir keras. Kenapa harganya bisa berselisih tiga puluh dolar? Kondisinya lebih baik? Dia harus masuk ke dalam dan minta alamatnya. Mungkin yang lebih murah lokasinya jauh kemana-mana.

Baru dia akan mendorong pintu dan melangkah masuk, tiba-tiba Maria merasa tasnya di tarik. Darah serasa naik ke kepalanya. Tanpa sadar dia sigap menarik, seperti akan merebutnya kembali. Mungkin refleksnya karena terbiasa naik bus di Jakarta.

Tapi waktu dia menoleh, ternyata seorang anak perempuan kecil. Umurnya barangkali dua tahunan, mungkin bosan duduk di kereta dorongnya. Maria melihat di sebelahnya berdiri seorang wanita muda, kemungkinan besar ibunya.

Maria tidak bisa menahan senyum. Anak itu begitu lucu. Matanya biru hampir kehijauan, seperti boneka di toko-toko waktu dia masih kecil. Sebenarnya dia bukan tertarik pada tas Maria, tapi pada boneka yang tergantung di kepala risletingnya. Kepala Big Bird, tokoh boneka di Sesame Street, hadiah dari outlet fast food minggu lalu.

Maria sebetulnya tidak begitu peduli aksesori. Disimpannya dan digantungnya di situ si big bird, cuma karena dia tidak tahu mau dikemanakan. Maria melihat anak itu lagi. Di keretanya tergantung dua buah buku dari karton tebal dan sebuah boneka badut dengan kaki dan tangan warna-warni. Tapi anak-anak memang cepat bosan dan lebih tertarik pada yang bukan miliknya karena kelihatan baru dan berbeda dengan yang ada padanya.

Anak itu memandang Maria lagi dengan matanya yang biru kehijauan, lalu tertawa. Ditatapnya Maria tanpa malu atau takut. Pangkal hidungnya berkerut kerut waktu dia tertawa. Maria tidak akan tahan untuk tidak ikut tertawa.

Akhirnya dilepaskannya big bird itu dari gantungannya, diulurkannya kepada anak perempuan itu. Ibunya, yang tadinya asyik melihat-lihat daftar iklan iklan properti, baru sadar kalau anaknya tengah berinteraksi dengan orang asing. Dia melihat boneka yang dipegang Maria, dan buru-buru menahan tangan anaknya yang sudah terulur menyambut big bird yang disodorkan Maria.

Maria tersenyum manis dan memaksa. Ibunya terpaksa menyerah, Mengucapkan terima kasih lantas menyuruh anaknya melambai sebelum pergi. Tapi Maria tidak bisa melepas pandangannya, terus mengamati kereta itu didorong menjauh.

Kereta dorong anak itu kelihatan nyaman, tapi agak terlalu besar buat badannya. Sebenarnya kereta dorong yang bisa dilipat seperti payung jauh lebih praktis, apalagi kalau harus dibawa naik turun bus. Jadi bisa dilipat dan diletakkan di tempat bagasi di dalam bus.

Hei, dia mau cari flat atau mau beli kereta dorong bayi?

Anak itu menoleh sekali lagi sebelum menghilang di belokan jalan. Tersenyum lagi dengan boneka di tangannya. Anak-anak memang selalu lucu. Entah matanya yang bulat, pipinya yang tembem dan kulitnya yang kemerahan tersengat matahari.

Apa-apaan ini? Dia harus cari flat, bukan sedang memilih bayi mana yang paling lucu. Dia harus ketemu agen di dalam sana, bukannya melamun berlama-lama memandangi anak orang.

Maria menggigit bibirnya. Jauh-jauh dia datang ke sini untuk mengejar sesuatu yang lain. Kenapa masih mengingat apa yang sudah tidak dimilikinya lagi? Yang sudah dia putuskan tidak bisa menerimanya?

Dia berjalan meninggalkan kantor agen properti itu, mencari yang lain. Di sebelahnya ada satu lagi. Yang ini kelihatannya agak eksklusif. Kaca depannya hitam gelap, tidak dipenuhi bingkai bingkai berisi detil properti yang disewakan atau dijual.

Selintas Maria melihat bayang-bayangnya terpantul di depan kaca yang gelap itu. Pinggangnya yang ramping, perutnya yang tipis. Imam suka mengganggu, dia terlalu tipis untuk jadi wanita. Hm, mungkin Imam lebih suka melihat perutnya agak menggelembung sedikit? Kalau masih ada, sudah tiga bulan sekarang…

Sshh! Sudah cukup! Itu lagi! Dokter yang menangani prosedur di jalan Z itu agaknya lupa mengingatkan bagian yang paling penting: mereka cuma mengeluarkan ‘biji kacang hijau’ itu dari rahimnya, bukan dari kepalanya atau ingatannya. Mereka menghentikan kehamilan, tetapi tidak ingatan akan kehamilan itu. Tidak ada jaminan bahwa wanita-wanita itu lantas akan lupa kalau mereka pernah hamil!

Maria menggelengkan kepala. Dia sudah menghabiskan terlalu banyak waktu. Cepat dia masuk ke dalam, meminta kunci flat yang diminatinya, dan meninggalkan uang jaminan dua puluh dolar. Dia punya setengah jam untuk pergi ke flat itu, melihat-lihat, dan mengembalikan kuncinya. Kalau suka dia harus memasukkan formulir permohonan sewa. Kalau cuma dia yang beminat, baguslah, dia mungkin bisa langsung mendapatkannya. Kalau ada beberapa formulir yang masuk, agen menyerahkan kepada pemilik untuk memilih dan memutuskan. Fitzgerald Street. Dia tahu tempatnya, dua halte dari kampus. Flat nomor lima, bangunan nomor dua puluh tiga. Bangunannya agak tua. Tapi di sini memang kebanyakan bangunan tua dengan interior yang sudah diperbaharui.

Maria melihat sekeliling, lumayan bersih dan rapi. Deretan kotak surat di dekat pagar menunjukkan ini bangunan kecil dengan delapan flat saja. Dia naik ke lantai dua, mencari nomor flat yang dimaksud. Memasukkan kunci, dan membuka pintu. Karpetnya masih kelihatan baru. Dindingnya masih bersih. Ruang terbuka pas untuk sofa dan meja kecil, dan televisi di sudut. Terang, cahaya masuk dari satu sisinya, lewat jendela besar dan pintu yang membuka ke balkon.

Dia melangkah masuk. Di sebelah dapur ada kamar mandi dengan shower dan bath tub. Kelihatannya juga masih baru dan bersih. Lantas ada dua kamar tidur. Satu lengkap lemari yang terpasang mati di dinding. Berarti dia tidak perlu beli lemari.

Kamar satunya lebih kecil, tapi juga terang benderang karena ada jendela besar di sepanjang satu dindingnya. Kalau dia berdiri di depannya, dia bisa melihat gedung kampusnya menjulang di kejauhan. Mungkin tidak sulit mencari teman sharing yang bersedia membayar seratus dua puluh.

Turun ke basement ada ruang cuci. Sepertinya ia tidak perlu beli mesin cuci. Sepuluh menit dia berpikir, mau lihat yang lain lagi atau ambil yang ini saja? Minggu lalu dia sudah keliling empat tempat, tidak ada yang menarik seperti ini. Maria bergegas kembali ke agen, meminta formulir dan mengisinya. Sekarang dia tinggal berdoa.

Dua hari kemudian dia ditelepon. Selamat, kata agen, pemiliknya memutuskan memberikan tempat kepada Anda. Dia bisa datang besok, menanda tangani perjanjian sewa dan menyerahkan uang jaminan sebulan sewa, yang bisa diambil kembali kalau kelak meninggalkan tempat dalam keadaan bersih seperti semula. Dan tentu, membayar sewa dua minggu di muka.

Tiga hari sesudahnya, dia sudah masuk di kamarnya yang baru. Telepon sudah terpasang, jadi dia bisa pasang iklan cari penghuni kedua. Sabtu dan Minggu dia sudah didatangi peminat yang ingin melihat flatnya.

Seorang mahasiswa asal datang – bagaimana bisa, jelas-jelas dia menulis khusus wanita.

Yang datang kemudian adalah seorang wanita muda. Sayangnya, ia perokok. Datang lagi mahasiswi baru. Kalau melihat caranya berpakaian, entah bagaimana pula selera musiknya. Capai juga. Ia tidak tahu bakal banyak peminat dengan berbagai variasi budaya, karakter dan kebangsaan.

Untunglah sebelum Maria mulai putus asa, datang Amy asal Korea, dan sedang ambil master pula, sehingga usianya tidak terlalu muda. Amy ternyata juga menerima beasiswa dari pemerintahnya. Dia pegawai negeri di departemen pertanian, dan kini dapat kesempatan belajar tentang manajemen lingkungan. Menarik juga, dan menarik sekali bahwa ada orang yang lebih berminat pada tanaman daripada perilaku manusia. Baguslah, jadi dunia dikelola oleh orang dengan berbagai profesi dan keahlian.

Dan karena Amy juga menerima beasiswa, mungkin gaya hidup mereka tidak terlalu banyak beda dalam soal pengeluaran dan penghematan biaya hidup, misalnya: jangan lupa matikan lampu atau musik kalau keluar kamar, kompor listrik bisa dimatikan sebelum masak selesai, karena sisa panasnya masih cukup untuk menggoreng telur kalau perlu.

Kelihatannya semua berjalan lancar.

Kuliah Maria mulai minggu depan, dia sudah selesai dengan kursus bahasa inggrisnya. Dia pilih dua saja sebagai permulaan, tidak tahu seperti apa mengatur jadwal kuliah, praktikum, laporan, tugas pribadi, dan tugas kelompok.

Yang paling penting, di tengah kesibukan ini Maria sudah mulai lupa akan ‘biji kacang hijau’ nya. Ini kalau diukur dari seberapa sering pikiran itu datang dan seberapa sering dia menimbang-nimbang benar salahnya. Dan yang paling jelas, dari seberapa lama dia mengikuti bayi-bayi di jalan dengan pandangan matanya.

Sampai suatu hari, kala dia sedang duduk menonton televisi dan Amy masuk dengan kegembiraan yang belum pernah dilihatnya. Kabar baik dari kampus atau dari Seoul, Amy? Tidak biasanya Maria bertanya-tanya kalau yang dimaksud memang tidak ingin cerita. Tapi tampaknya Amy memang ingin cerita. Dilambai-lambaikannya amplop di tangannya, masih dengan tersenyum cerah. “Aku baru dapat ini. Foto-foto terbaru dari Seoul. Foto Min Jee,” katanya ceria.

Dahi Maria berkerut. Dilihatnya tumpukan foto, dan close-up wajah bayi di lembar paling atas. Siapa Min Jee?

Dia tidak perlu bertanya, Amy sukarela meneruskan. Anaknya. Baru umur dua bulan waktu dia berangkat ke Sydney. Dia hamil tidak lama setelah menerima kabar soal beasiswanya.

Pasti dia salah dengar, tanpa sadar Maria memiringkan kepala.

Amy? Juga? Ada hubungan apa antara beasiswa dan kehamilan? Dua kasus yang sama dalam satu rumah, apakah tidak terlalu banyak?

Dipandanginya wajah Amy yang terus bercerita tanpa merasa kalau teman bicaranya tidak mendengarkan tetapi mengamati dengan wajah ngeri. Ini sebetulnya bukan pilihan terbaik. MinJee ditinggalkannya di rumah ibunya. Suaminya datang dua hari sekali karena rumah mereka berjauhan.

Ah, tidak persis sama, sebetulnya. Sebutir biji kacang hijau juga awalnya. Tetapi yang satu ini ceritanya berlanjut, tidak langsung tamat seperti biji kacang hijau miliknya.

Maria menggigit bibirnya keras-keras. Dia ingat Imam. Dia ingat biji kacang hijaunya. Sudah hampir enam bulan sekarang. Perutnya pasti sudah membuncit. Mungkin sudah bisa bergerak-gerak di dalam.

Amy menyodorkan foto-foto bayinya kepada Maria. Minta persetujuan Maria kalau anaknya betul mirip dengan dia, meskipun sebetulnya tidak perlu. “Semua orang bilang begitu,” katanya bangga. Bibirnya yang tipis sungguh sungguh bibir Amy.

Maria berusaha keras memusatkan perhatian pada fotonya dan bukan pada imajinasinya. Bayi dan ayahnya. Bayi dibungkus rapat dalam mantel tebal musim dingin, dengan tumpukan salju di ranting ranting pohon di belakang rumah. Bayi dengan neneknya yang sekarang merawatnya sebab sang ayah tidak tahu apa apa soal bayi umur dua bulan. Lagi, bayi dengan neneknya yang menyuapi. Bayi telungkup di boks kayu, berusaha keras mengangkat bokongnya yang kelihatan masih terlalu berat.

Tapi Maria selalu kembali ke situ. Janin enam bulan, seperti apa rupanya?

Seperti apa wajahnya kalau dia dibiarkan lahir?

Dilihatnya sekali lagi wajah Min Jee, tersenyum lebar dalam foto, sampai matanya hilang menjadi setarik garis. Pipinya yang bulat kemerahan – sempat Maria berpikir, betul ‘kan, tidak cuma anak kulit putih yang pipinya kemerahan seperti tomat. Barangkali cuaca yang dingin penyebabnya. Barangkali pipi anaknya juga bakal kemerahan kena angin musim dingin di Sydney.

Maria tidak tahu harus bilang apa. Dia berusaha tersenyum waktu menyerahkan kembali foto yang amat berharga itu kepada ibu yang berbahagia. Hati-hati Amy memasukkannya ke dalam amplop yang kelihatan terlalu sempit buat foto-foto sebanyak itu. Dia terlalu gembira untuk bisa merasa udara dalam rumah jadi berubah.

Alangkah tidak adilnya!

Kenapa dia selalu harus memilih sementara ada orang yang dibiarkan mendapat semuanya?

Malam itu Maria bermimpi buruk lagi. Amy meminjamkan bayinya. Buat Maria kalau dia mau, katanya sambil menyerahkan Min Jee. Maria mengulurkan tangan untuk mengambilnya ke dalam pelukannya. Tetapi pegangannya terlepas. Bayinya tergelincir ke bawah. Maria menjerit, namun suaranya tidak keluar. Dalam hitungan persepuluh detik dia menunduk, berusaha menangkap. Tetapi lantai di bawahnya terbuka. Dilihatnya langit biru di bawah sana. Bayinya meluncur terus. Melayang layang di antara awan- awan.

No comments: