12.22.2010

Dua Pelaminan

Ray bukan pengecut. Bukan. Jika ia tahu bahwa aku hamil, ia pasti akan bertanggung jawab. Ia tidak akan lari.

Tiwi, kamu harapanku satu-satunya. Bisa, ‘kan?” Itu bunyi SMS dari Dina, dua minggu lalu. Tiwi sangat hafal kalimat khas Dina untuk memaksa orang mengiyakan permintaannya. Tiwi tersenyum. Permintaan Dina sebenarnya tidak sulit. Tiwi hanya diminta untuk mensurvei potensi sumber daya alam di Maluku Tenggara. Tiwi sudah sering melakukan pekerjaan semacam itu, ketika dia bekerja paruh waktu sebagai konsultan untuk beberapa yayasan asing yang berkantor di Indonesia.

“Wi, kujamin, kamu tidak akan menyesal. Alam bawah lautnya terindah di dunia.” Itu rayuan Dina yang gencar mempromosikan Indonesia Timur. Tanpa itu pun, Tiwi tahu persis, Dina tidak bohong. Dua tahun lalu Tiwi pergi ke Sulawesi Utara, menikmati Bunaken. Sekarang, Tiwi ditawari pergi ke Maluku Tenggara, yang menurut Dina, memiliki alam bawah laut terindah di dunia.

Tawaran yang tidak boleh ditolak. Lagi pula, Dina keukeuh meminta pertolongan Tiwi karena Tiwi memiliki latar belakang praktisi sekaligus peneliti. Dan, nama Tiwi telah direkomendasikan oleh beberapa yayasan.

Tiwi akan menganggapnya sebagai acara pelesir, bukan kerja. Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Tiwi membayangkan daftar pekerjaan yang harus disusun ulang. Penelitian enzim, program pelatihan teknis, dan konsultasi mahasiswa bimbingannya. Yang agak sulit dijadwal ulang adalah acara nyadran dan ruwahan yang selalu dilaksanakan Eyang Suwito. Tiwi membayangkan suatu prosesi panjang, yang menurutnya, sudah kurang relevan lagi diikuti oleh generasi muda Jawa.

Ruwahan (dari kata Ruwah) atau ngapem adalah nama salah satu bulan dalam penanggalan Jawa. Ruwah sering diartikan dekat dengan arwah-arwah sehingga memerlukan banyak bunga dan doa. Sedangkan ritual mengunjungi makam kerabat dan nenek moyang di bulan Ruwah, yaitu satu bulan menjelang puasa Ramadan, disebut nyadran. Umumnya, tradisi nyadran dimulai dengan membersihkan makam leluhur, beramai-ramai oleh hampir seluruh warga desa. Lalu, muncullah iring-iringan orang tua yang membawa besek (kotak segi empat bertutup dari anyaman bambu), berisi nasi, lauk-pauk lengkap, dan jajan pasar, persis acara selamatan. Pak kaum atau modin bertugas mengumpulkan semua besek, berdoa, dan memimpin acara tabur bunga ke pusara para leluhur. Akhir kegiatan ini adalah kunjungan masyarakat ke kerabat yang tinggal di desa sekitar makam.

Kalau Eyang Suwito saja tidak berani melanggar tradisi itu, apalagi aku. Cah wingi sore, anak kemarin sore. Tiwi paham sekali. Karena, selama dia ikut Eyang Suwito, berarti sudah lebih dari 20 tahun, belum pernah keluarga itu absen melaksanakan tradisi tersebut.

Orang-orang muda, terutama yang tinggal di perkotaan, umumnya sudah menyederhanakan tradisi ngapem dengan cara memesannya langsung pada katering. Lebih praktis, karena sebagian besar para wanita sibuk bekerja di luar rumah. Yang penting tidak mengurangi makna. Tiwi mencoba memahami perbedaan dua generasi ini. Masing-masing memiliki argumentasi. Sebenarnya, Tiwi melihat banyak sekali tradisi Jawa yang sudah disederhanakan, bahkan sampai kehilangan makna sama sekali. Misalnya, acara selapanan, selamatan menandai 35 hari kelahiran bayi.

Setiap kali menerima besek dari tetangga yang sudah diganti dus berisi kue, Eyang Kakung selalu berkomentar, “Kalau begini sudah tidak ada maknanya lagi.” Lebih praktis, tapi kehilangan makna. Karena, nasi gurih, potongan ayam, urap, dan lauk lain, serta jajan pasar itu masing-masing memiliki arti berbeda.

Untuk upacara ruwahan, orang-orang biasanya memulai kesibukan dua-tiga hari sebelum acara. Beras, beras ketan, singkong, pisang, gula jawa, daun pisang, dan kelapa dipilih dari kualitas terbaik. Sebenarnya, bisa saja langsung membeli tepung beras di supermarket untuk membuat apem. Tapi, untuk kalangan masyarakat pemegang tradisi, mereka memilih merendam beras terlebih dahulu, kemudian menumbuknya dengan lesung untuk diambil tepungnya.

Pada malam hari tepung beras diadon, dicampur dengan larutan gula jawa, lalu diuleni (diaduk sambil dipukul-pukul) hingga rata. Singkong dan pisang yang sudah dipotong-potong direndam dalam air kapur selama setengah hari agar menghasilkan kolak yang bagus.

Keesokan harinya, ritual ngapem pun dimulai. Seluruh anggota keluarga, terutama kaum wanita, serentak menyelesaikan prosesi pembuatan apem, kolak, dan ketan. Siangnya, selepas azan zuhur, semua ketan dan kolak diletakkan di dalam sudhi (wadah kecil dari daun pisang). Apem diletakkan di atas samir (lembaran daun pisang yang digunting bulat sebesar piring). Sebelum dibagi-bagikan ke tetangga, kenalan, besan, bahkan atasan, paket-paket apem kolak dan ketan itu didoakan oleh kepala keluarga.

Yang dibutuhkan Tiwi adalah tanggal kepastian penyelenggaraan tradisi tersebut. Tiwi tidak mungkin membiarkan eyang putrinya, yang berusia 77 tahun itu hanya bekerja bersama Mbok Jum, Pak Mo, dan dibantu beberapa tetangga. Selama ini Tiwilah yang selalu dipasrahi untuk mengawasi seluruh prosesi itu. Tiwi suda biasa berkejaran dengan waktu, membagi energi dan pikirannya untuk kuliah, sambil mengelola jahitan dan membesarkan Lintang. Mbok Jum senang dengan cara kerja Tiwi yang cekatan.

“Wik, kok, pagi-pagi sudah datang. Cari apa?” Tiwi dikejutkan oleh sebuah teguran.

Ternyata Pak Win, sosiolog humoris, yang rajin ke perpustakaan. Sekilas Tiwi menjelaskan maksud kepergiannya.

Pukul sembilan, ketika kantor kependudukan mulai ramai oleh pegawai dan pengunjung, Tiwi sudah membawa setumpuk referensi tentang Maluku Tenggara. Tiwi hanya perlu menemui beberapa ahli ekonomi dan sosiolog untuk mendapat masukan.
Sambil berjalan ke tempat parkir, ia mengambil ponsel dan menelepon Baskoro, sepupunya. “Mas, aku sudah selesai. Mas Bas ada di mana? Setengah sebelas? Kalau begitu, aku tunggu di rumah saja,“ kata Tiwi, sambil melirik jam tangannya. Dia masih punya waktu untuk mampir di Pasar Colombo, membeli bahan jamu.

Nenek Baskoro dan nenek Tiwi adalah kakak-adik. Jadi, Baskoro dan Tiwi adalah sepupu. Eyang Suwito adalah adik bungsu kedua nenek itu. Sejak kecil Tiwi sudah akrab dengan keluarga Bude Murti, ibu dari Pras, Bim, Janges, Ton, dan Baskoro. Tiwi kecil adalah kesayangan keluarga Bude Murti. Tidak heran, masa kecil yang mereka lewatkan manis, penuh warna, dan sarat kenangan. Dari semua putra Bude, Tiwi merasa paling dekat dengan Janges. Padahal, beda usia mereka cukup jauh, 7 tahun. Dengan Baskoro, Tiwi sering dipaksa mengalah bila berebut mainan.

Suwito Wiryo Hutomo adalah anak bungsu seorang lurah di desa di lereng Gunung Merapi. Suwito kecil sudah sering ikut bapaknya bila ada keperluan di Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat. Ada seorang kerabat keraton yang tertarik pada Suwito kecil, yang dinilainya berbeda dari anak-anak sebayanya. Anak desa biasanya takut bila bertemu punggawa keraton.

Dengan berat hati ayah Suwito melepas putra bungsunya, anak laki-laki satu-satunya, ketika kerabat keraton itu memintanya. Bagi ayah Suwito, itu bukan permintaan, melainkan perintah dari atasan. Bagi orang-orang desanya, kepergian Suwito kecil untuk tinggal di Keraton Yogyakarta itu menggegerkan, sekaligus membanggakan. Masyarakat di lereng Merapi beranggapan, menjadi abdi dalem, bekerja melayani keraton, merupakan pekerjaan mulia. Tapi, Suwito tidak dijadikan abdi dalem, melainkan disekolahkan di SD Belanda, bersama anak-anak para kerabat keraton lainnya. Bahkan, setelah itu dia disekolahkan di HBS sampai lulus.

Setelah besar, Suwito muda ikut berjuang dan berbaur dengan tentara bergerilya sebagai mata-mata. Ketika ibu kota pemerintahan pindah ke Yogyakarta, tugas dan pekerjaan Suwito makin penting. Dia menjadi penghubung, kurir pembawa pesan, dan pengamat antara pi-hak pemerintah RI dan pasukan yang bergerilya. Ketika perang berakhir, Suwito menikah dengan seorang putri kerabat keraton, Rr. Supadmi Hanum. Karena jasa besarnya, Suwito diberi rumah gedhong di daerah Kaliurang. Ia juga diangkat sebagai pamong praja hingga pensiun.

Perkawinan antara pemuda Suwito dengan Rr. Supadmi Hanum adalah perkawinan bahagia, didasari oleh perasaan cinta, yang disertai perjuangan. Namun, oleh seluruh keluarga, kebahagiaan itu dipandang tidak lengkap, tanpa kehadiran anak-anak. Adalah hal yang sangat lumrah pada zaman itu, bila seorang pamong praja mempunyai istri lebih dari satu. Apalagi, bila si istri tidak mampu menghadirkan keturunan. Tapi, Suwito tetap bergeming, meski keluarga dari pihak mertua mendesaknya untuk menikah lagi.

Jangan mengukur kebahagiaan orang lain dengan dirinya sendiri. Begitu komentar Eyang Suwito. Pepatah itu masih sering didengar Tiwi hingga sekarang. Tiwi sangat bangga pada kakeknya, terutama terhadap kesetiaannya pada perempuan yang dicintainya.

Tiwi baru membuat jus tomat ketika mendengar mobil Baskoro diparkir di garasi depan. Di meja makan Eyang Kakung dan Eyang Putri sedang menikmati makan siang.

“Bas, ayo, sini, makan siang sekalian,“ kata Eyang Kakung.

“Inggih, Eyang,“ balas Baskoro, beranjak untuk mencuci tangan.

Tiwi melangkah di belakang Baskoro, membawa nampan penuh jus.

“Janges jadi pulang, Bas?“ tanya Eyang Kakung tiba-tiba.

”Rencananya, minggu ini, Eyang. Mau nyunatin Erlangga, mumpung libur,“ sahut Baskoro.

Percakapan dengan Eyang Kakung dan Putri selalu menggunakan bahasa Jawa kromo inggil (paling halus). Kadang-kadang terselip satu dua kata berbahasa Indonesia. Itu pun hanya untuk istilah khusus yang tidak ada padanannya dalam bahasa Jawa. Eyang Kakung selalu menekankan pentingnya bahasa Jawa sebagai bagian dari unggah-ungguh (tata karma). Karena, bahasa Jawa secara otomatis menerapkan prinsip penghormatan kepada orang tua, orang yang lebih tua, dan sesamanya.

Bude Murti dan ibunya mengikuti jejak Eyang Kakung. Kini, sebagai ibu, Tiwi mengharuskan Lintang, putri semata wayangnya, berbuat sama. Dada Tiwi berdesir keras ketika ingatannya melayang pada Ray. Ray adalah orang seberang, yang kesulitan setengah mati untuk belajar bahasa Jawa, apalagi yang paling halus. Tapi, Ray lancar berbahasa Belanda. Jadi, sebenarnya Ray bisa belajar bahasa Jawa dengan menggunakan pengantar bahasa Belanda, langsung pada Eyang Kakung dan Putri.

“Setelah nyadran saja ya, Bu, kita ke Magelang,” kata Eyang Kakung.

“Nanti saya yang mengantar, Eyang,“ sahut Baskoro. “Kamu ikut kan, Wik? “ Baskoro mengerling pada Tiwi.

“Tergantung Mas Bas, dapat tiket untuk kapan. Kalau tidak sempat datang, aku titip kado saja buat Erlangga,” sahut Tiwi.
“Sudah lama kamu tidak bertemu Janges, ‘kan? Berapa lama, ya, Wik?“ tanya Eyang Putri.

“Mungkin, sekitar dua tahun, Eyang,” sahut Tiwi, lirih. Tiwi masih duduk di meja makan, tapi pikirannya melayang ke peristiwa 25 tahun silam.

Tiwi ragu memasuki halaman rumah yang tampak sepi itu. Pintu depan terbuka lebar. Seingatnya, sejak dulu pintu depan rumah Bude Murti memang terbuka setiap hari hingga pukul sembilan malam. Tiwi tidak pernah masuk lewat pintu depan. Dia lebih suka lewat samping, langsung masuk ke kebun kecil keluarga yang ada di tengah rumah. 

Dia dikejutkan oleh munculnya laki-laki yang hanya berbalut handuk, baru keluar dari kamar mandi. “Hei, Tiwi, kapan datang?“ tegur Janges riang, sambil mengibaskan rambutnya yang basah.

Tiwi masih mematung sejenak. “Mas Janges sedang libur?“ tanya Tiwi.

“Bu, ada Tiwi, Bu!“ teriak Janges, sambil bergegas ke kamarnya. Tiwi meletakkan oleh-olehnya di meja, lalu ke dapur untuk mengambil air minum. Dia sudah duduk di meja makan ketika Janges keluar dari kamar dengan jeans pudar dan kaus oblong. Rambutnya yang gondrong disisir rapi.

“Bude ke pasar barangkali, Mas,“ kata Tiwi, sambil celingukan.

“Kamu ada perlu sama Ibu atau cuma main?” Janges duduk di seberangnya. Keduanya mengobrol akrab, tentang Janges yang sudah lulus kuliah, tentang keinginan ibunya agar Janges langsung bekerja, tapi bapaknya mendorongnya untuk sekolah lagi.

“Kamu mau kuliah di mana?” tanya Janges.

Tiwi menggeleng lemah.

“Kenapa tidak kuliah? Kamu ingin kerja?“ desak Janges.

“Nggak tahu,” sahut Tiwi, sambil memalingkan muka.

“Lho, kok, nggak tahu? Kamu ada masalah, Wik? Kamu dimarahi bapakmu? Bertengkar dengan ibu tirimu? Atau, apa?“ tanya Janges, pelan. Dia menggeser kursinya ke dekat Tiwi. Janges merasa, adik sepupunya sedang memiliki masalah dan dia harus membantunya.

Tiwi merasa, Janges benar-benar menyayanginya, siap melindungi, dan penuh pengertian. Jadi, Tiwi sering berbagi rahasia pada Janges.

“Kamu pasti punya masalah. Ngomong saja,” kata Janges, sambil merengkuh bahu Tiwi.

Tiwi masih diam, tapi kedua matanya basah.

“Ada apa, Wik? Bicaralah, aku pasti akan membantumu,” bisik Janges,pelan. Dia tahu, Tiwi pasti akan bicara setelah tangisnya reda. Jadi, dia harus sabar. Janges ingat, sejak kecil Tiwi jarang menangis. Bahkan, ketika berkelahi dengan anak laki-laki pun dan pulang dengan kepala benjol, dia tidak menangis. Jika sekarang Tiwi menangis, tentu masalahnya sudah tak tertanggungkan lagi.

“Mas Janges tidak marah kalau aku ngomong yang sebenarnya? Tidak merendahkan aku?“ tanya Tiwi, sambil menyusut air mata.

Janges tidak menjawab, tapi memandang lurus ke mata Tiwi. Itu sudah cukup mengatakan bahwa dirinya sanggup mendengar apa saja.

“Mas, aku hamil,” kata Tiwi, pelan. Bahunya berguncang, menahan isak. Sedetik Janges seakan disambar petir mendengar pengakuan Tiwi.

“Siapa yang melakukan ini, Wik?“ Suara janges mengandung kemarahan.

“Apakah Ray? Pacarmu yang anak ekonomi itu?“ tanya Janges lagi.

Tiwi mengangguk.

“Bapakmu tahu masalah ini?” desak Janges.

“Tidak, kalau tahu, aku pasti sudah dibunuhnya. Aku minggat dari rumah,” kata Tiwi.

“Apakah Ray sudah tahu tentang hal ini?“ tanya Janges.

Tiwi menggeleng.

“Lalu? Ray lari dan tidak mau bertanggung jawab? Begitu maksudmu?” desak Janges lagi.

“Ray tidak lari dan dia pasti bertanggung jawab. Dia bukan laki-laki pengecut,” sembur Tiwi.

Janges masih ingin mencecar Tiwi untuk mendapatkan semua data, tapi suara ibunya di halaman depan sudah terdengar dari ruang makan.

“Jangan ngomong pada Ibu dulu. Nanti coba kita selesaikan sendiri,“ kata Janges. Tiwi setuju. Siang itu Bude Murti membuat selamatan sederhana, syukuran karena Janges sudah selesai kuliah. Sore hingga menjelang magrib, Tiwi dan Janges sibuk membantu Bude Murti mengantarkan besek kepada tetangga dan sanak famili. Pakde Dibyo, suaminya, baru pulang dari Semarang menjelang sore.

Pukul delapan pagi Janges berpamitan pada kedua orang tuanya. “Bu, aku mau ke rumah Endro. Biar Tiwi ikut, daripada sendirian di rumah.”

Tiwi sudah mengikuti di belakang vespanya.

“Pulangnya jangan sore-sore, lho,” pesan Pakde Dibyo.

“Wik, pakai baju hangat, nanti masuk angin,” Bude Murti mengingatkan.

Tiwi mengangguk. Tiwi tahu, Janges tidak mengajaknya ke rumah temannya, tapi ke suatu tempat untuk menyelesaikan pembicaraan mereka kemarin. Ketika vespa sudah melalui daerah Jagoan, Tiwi baru bertanya, “Mas Janges, sebenarnya aku mau diajak ke mana?”

Janges tidak menjawab. “Wik, pegangan, ya….”

Dengan takut-takut Tiwi memegangi ikat pinggang Janges. Tapi, tangannya ditarik Janges, lalu dilingkarkan ke depan perutnya.

“Masa pegangan begitu saja malu, Wik,” kata Janges, di tengah deru motor yang lalu-lalang. Muka Tiwi merah dadu, tapi Janges tidak melihatnya.

“Ke Borobudur saja, ya, Wik? Mumpung bukan hari Minggu, jadi tidak ramai,” kata Janges.

Setelah membeli dua tiket masuk, mereka berjalan melalui pintu selatan. Janges dan Tiwi berjalan melalui jalan kecil, jalan setapak, lalu melewati pohon-pohon kepel yang sedang berbuah lebat, menuju bangunan besar yang dikelilingi tanaman langka. Tiwi hampir menyenggol buah maja sebesar kelapa kalau Janges tidak memegangi kepalanya. Tiwi sudah ingin protes ketika Janges menghentikan langkahnya, sambil menunjuk bangku panjang di bawah pohon sawo kecik yang rindang. Janges melesat ke arah bangunan berbentuk bulat yang menyerupai pendopo itu. Tidak lama ia kembali membawa dua botol soft drink dingin dan sebungkus kacang bawang. Tiwi menerima sebotol dan segera meneguknya.

“Wik, jika keadaannya sudah begini, apa rencanamu?“ Janges membuka kembali percakapan.

“Yang penting, Bapak tidak tahu bahwa aku hamil. Aku bilang, aku pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.“

“Kamu berniat aborsi, Wik?“ tanya Janges.

“Tentu saja, tidak. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menggugurkan kandunganku,“ balas Tiwi, sambil menatap mata Janges lekat-lekat. Janges khawatir dengan kekukuhan tekad sepupunya ini. Tekad yang disertai rasa putus asa bisa berakhir dengan tindakan nekat, yang terkadang tidak rasional.

“Bagaimana kalau Ray tidak datang, Wik?“ tanya Janges lagi. Dia tahu, pertanyaan itu sangat menyakitkan. Tapi, dia sangat ingin tahu, apa yang akan dilakukan gadis itu tanpa Ray.

“Mas Janges, Ray pasti mencariku karena Ray mencintaiku dan dia bukan pengecut.“

Jawaban Tiwi membuat Janges kasihan. Janges dapat merasakan Tiwi sudah ada di ambang batas keputusasaan.

“Tapi, kalau dia tidak menemukanku, ya, sudah,” kata Tiwi.

Janges sudah tahu, inilah klimaksnya. Seorang gadis kelas tiga SMA tentu belum punya rencana apa-apa, bila tiba-tiba hamil dan kekasihnya pergi meninggalkannya begitu saja. Semua kejadian yang dialami itu tentu di luar kerangka pikirannya sebagai remaja, yang belum membayangkan untuk jadi ibu. Darah Janges mendidih membayangkan sosok Ray.

“Kamu tahu alamat orang tua Ray?“ tanya Janges, sambil meraih Tiwi, lalu merengkuhnya.

Tangis Tiwi langsung pecah.

“Atau, alamat kerabatnya? Nanti biar aku yang mencarinya,“ bisik Janges lagi.

Tiwi menggeleng lemah. Janges menghela napas panjang. Menurut Janges, Tiwi adalah gadis yang serius, tidak genit, atau suka menggoda lelaki. Dan, yang jelas, Tiwi juga tidak bodoh. Jadi, kalau sampai kecolongan begitu, Ray pasti seorang bajingan dan perayu ulung. Janges geram pada pikirannya sendiri. Rasanya, ingin sekali ia membunuh laki-laki itu bila ada di hadapannya.

“Wik, siapa saja yang sudah tahu kehamilanmu?“ tanya Janges.

“Hanya Mas Janges,“ sahut Tiwi.

Keduanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing. “Wik, bagaimana kalau kamu ikut aku ke Kalimantan? Aku bisa menikahimu, untuk menyelamatkan bayi dalam perutmu. Setelah dia lahir, kamu boleh membuat keputusan apa saja.“ Kalimat itu diucapkan Janges dengan tenang.

“Mas Janges gila!“ pekik Tiwi, “aku tidak mau membohongi Bude dan Pakde, Mas.“

Rintihan Tiwi makin pilu di telinga Janges. “Atau, aku bilang pada Bapak dan Ibu bahwa aku yang menghamili kamu. Bagaimana? Ibu tidak akan marah. Paling-paling, kita akan segera dinikahkan,” desak Janges.

Tiwi menggeleng kuat-kuat. “Tidak, Mas. Aku hanya perlu bersembunyi dari bapakku sampai bayi ini lahir. Aku tidak ingin membohongi siapa-siapa, terlebih mengorbankan siapa-siapa. Aku tahu, Mas Janges berkata begitu karena Mas Janges menyayangi aku, ingin melindungi aku. Terima kasih, Mas. Tapi, aku tidak bisa menerima kebaikan hati sebesar itu.“

Janges tertegun dengan jawaban Tiwi. Ia tahu kenapa ia menyukai sepupunya itu. Tiwi jujur dan apa adanya. Dan, Janges respek padanya. Orang bisa berbuat salah. Itu manusiawi. Tapi, tidak semua orang berani jujur mengakui kesalahannya, lalu bertanggung jawab.

Ray bukan pengecut. Bukan. Jika ia tahu bahwa aku hamil, ia pasti akan bertanggung jawab. Ia tidak akan lari.

Kapan dari Australia, Mas?“ sapa Tiwi, sambil mengulurkan tangan.
“Ibunya Lintang baru pulang kuliah, ya,” sambut Janges.

“Pulang kuliah tadi aku langsung ke pabrik. Soalnya, order yang baru sudah datang jadi bisa aku ambil,“ kata Tiwi, menerangkan.

Eyang Putri dan Eyang Kakung yang kebetulan masuk ke ruang tamu mengangguk paham. “Ya, itu risikonya bila sekolah sambil bekerja. Tiwi kan baru belajar hidup. Biarkan saja…,” kata Eyang Putri.

Janges menangkap bahwa mereka mendukung apa yang dilakukan Tiwi. Dan, hal itu membuatnya tenteram. Tiwi berada di tangan yang aman, yang melindungi dan merengkuhnya.

Janges dan Tiwi menikmati makan malam berdua saja karena Eyang Kakung dan Putri menghadiri resepsi.

“Mas Janges menginap, ‘kan?” tanya Tiwi, sambil menggigit kerupuknya.

Janges mengangguk. “Besok kamu ada kuliah?“ tanyanya.

Tiwi menggeleng.

“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan,” kata Janges, tanpa mengalihkan mata dari piring di depannya.

“Aku punya waktu kosong setelah pukul sembilan,” sahut Tiwi.

Mereka mengobrol di teras depan sampai kedua eyangnya pulang. Tiwi minta diri untuk menemani Lintang tidur.

Pukul setengah lima pagi Tiwi sudah bangun, tanpa dibangunkan dering weker. Sejak bayi Lintang sudah biasa membangunkan Tiwi pagi-pagi. Sangat menguntungkan. Karena, setelah popok basahnya diganti dan kemudian disusui, Lintang akan bermain, berceloteh, atau tertawa-tawa sendiri, sambil menggapai segala mainan yang tergantung di atas boksnya.

Sambil menjaga Lintang, Tiwi biasanya membersihkan ruang tidur, belajar, bahkan bekerja. Pagi itu, ketika Lintang bermain-main dengan boneka anjing dan mainan kayu yang tersebar di seluruh kamar, Tiwi mulai membuat pola baju di atas koran bekas. Mbok Jum muncul di depan pintu sambil membawa sebotol susu hangat. Melihat botol susu itu, Lintang menjatuhkan mainan yang dipegangnya, lalu menghambur ke arah Mbok Jum.

“Hei, Nona Cantik, sikat gigi dulu, ya,“ kata Tiwi, sambil menyambar handuk kecil basah di atas gantungan. Gadis kecil itu sedikit meronta di pangkuan ibunya ketika lap basah itu digosokan ke giginya yang kecil-kecil.

“Guguknya juga nanti sikat gigi, ‘kan,“ bujuk Tiwi, sambil pura-pura menggosok mulut boneka anjingnya.

Gadis kecil itu tiba-tiba membuka mulutnya lebar-lebar sehingga Tiwi bisa segera menyelesaikan tugasnya. Semua orang berkonsentrasi pada si kecil sehingga tak ada yang menyadari kehadiran Janges di depan pintu.

“Ibu yang hebat,“ katanya, sambil mengulurkan tangan ke arah Lintang.

Lintang mulai berceloteh, “Babab… babab… maem… maem….”

Mbok Jum berkomentar, “Wah, Lintang pantas, ya, jadi anaknya Mas Janges. Baru ketemu sekali sudah lengket begitu.“

Janges menyeringai, sambil mengedipkan sebelah mata. Tiwi pura-pura tidak melihat.

“Mbok Jum tidak usah membuat sarapan. aku mau beli gudeg,” kata Tiwi. Mbok Jum mengangguk, lalu keluar mengikuti momongannya.

Dari ruang tengah terdengar lagu anak-anak, diseling gelak tawa Lintang, yang berdansa dalam gendongan Janges.

“Mau ke mana, Wik?“ Janges mencegat motor Tiwi yang sudah masuk halaman samping.

“Mau beli gudeg,“ sahutnya.

“Aku antar saja biar Lintang bisa ikut,“ kata Janges, sambil mengambil kunci mobil. Tiwi membalikkan motor masuk garasi.

“Lintang dipangku Ibu, ya,“ kata Janges.

Lintang mengangguk kuat-kuat. Janges tertawa. Polah gadis kecil itu selalu menggelitik hatinya. Lintang tidak mau duduk di pangkuan ibunya. Dia ingin berdiri sambil melihat ke luar lewat kaca depan. Kentara sekali bahwa dia sangat senang diajak naik mobil.

Sampai di tempat yang dituju, mereka ternyata harus mengantre. Ada delapan orang yang berdiri di seputar meja bambu yang digunakan untuk meletakkan panci gudeg dan lauk-pauknya. Janges ikut melongok ke arah gudeg dari balik punggung ibu-ibu yang sedang antre. Lintang menunjuk-nunjuk wadah gudeg. Sepertinya ia lapar.

Tiwi berusaha menenangkan anaknya. Namun, kali ini Lintang tidak mau dibujuk ibunya. Teriakannya makin keras. Matanya berkaca-kaca.

“Barangkali dia sudah lapar, Wik,“ kata Janges.

Melihat Lintang, si penjual gudeg melambai ke arah Tiwi. “Sini, Jeng, saya ambilkan dulu. Nasi atau bubur?“ tanyanya.

Janges geli mendengar sebutan ‘jeng’ itu. Ia yakin, usia Tiwi sepantar dengan cucu si penjual gudeg itu.

Tiwi mengulurkan mangkuk plastik. “Bubur areh saja, Mbah. Telurnya separuh saja,“ sahut Tiwi.

Dia merasa tidak enak dengan pandangan mata di sekitarnya. Herannya, Lintang langsung diam. Matanya sudah jernih kembali.

Janges tersenyum geli, sambil mengusap-usap kepalanya. “Kamu pintar, ya. Jadi kita tidak usah antre.“

“Wah, Lintang sekarang nakal, ya. Belum mandi, kok, sudah makan,“ kata Tiwi, sambil mengulurkan sendok penuh bubur ke mulut Lintang, yang menyambutnya dengan lahap.

Janges mengambil dompet untuk membayar. Tiwi menolak, tapi Janges memaksa. Ketika Janges membuka dompet, dadanya berdesir. Ada foto dirinya di situ. Selama perjalanan pulang, Tiwi lebih banyak diam sambil memangku Lintang.

Keesokan harinya, Janges dan Tiwi menikmati nasi goreng di sebuah rumah makan, setelah Janges membelikan mesin obras untuk Tiwi.

“Mas, tadi malam Eyang bercerita apa saja, sih?” tanya Tiwi.

“Banyak sekali. Mulai dari kebun vanili yang dekat lereng Merapi sampai masalah kamu,” sahut Janges, tanpa menoleh.

Tiwi agak kaget. Selama ini Eyang tidak pernah menegur atau marah. Dia pikir, semua baik-baik saja. “Cerita, dong, Mas, biar aku lega,” pinta Tiwi.

Janges menoleh. Dia tidak mengiyakan, sepertinya dia sedang menimbang-nimbang. Janges menatap Tiwi. Dia yakin, dia tidak sedang berhadapan dengan gadis kemarin sore.

“Begini, sebenarnya Eyang tidak bicara banyak tentang kamu. Secara garis besar, Eyang mendukung semua yang kamu lakukan. Eyang cuma prihatin kenapa sampai saat ini seolah kamu tidak berniat untuk menikah,“ kata Janges, sambil mengembuskan napas panjang.

Tiwi bernapas lega.

“Wik, kamu tidak ingin menikah? Atau, kamu masih menunggu Ray?” tanya Janges, pelan.

Tiwi termangu. Pertanyaan itu menyodok harga dirinya.

“Mas Janges pernah membayangkan jadi orang tua tunggal? Tekanan sosial dari masyarakat pada perempuan seperti aku ini sangat tinggi. Untung saja aku ikut Eyang Putri. Semua orang di lingkungan sekitar berpikir suamiku gugur dalam tugas. Mbok Jum juga begitu. Stigma yang kusandang ini sulit sekali dihapus,” Tiwi berhenti sebentar untuk menarik napas.

Dia berharap ucapannya itu dipikirkan oleh Janges.

“Kalau kamu menikah, stigma itu akan hilang,” kata Janges, pelan.

“Jika aku menikah, banyak orang akan menjadi nyaman dan tenteram. Orang-orang tua di keluarga kita tentu merasa lega, tidak perlu mencemaskan aku lagi. Para tetangga, terutama ibu-ibu yang takut suaminya aku gaet, akan jadi tenteram karena di lingkungannya tidak ada lagi janda muda. Statusku dan Lintang akan jadi terhormat,“ tutur Tiwi.

Janges tidak percaya Tiwi mampu berpikir kritis seperti itu. Lingkungan dan keadaan yang membentuknya.

”Mas Janges, semua yang tampak tadi memang terlihat manis. Semuanya beres dan masyarakat hidup harmonis karena tidak ada warganya yang hidup melenceng. Tapi, sebenarnya, itu hanya tampak di permukaan saja. Stigma itu tidak hilang, Mas, cuma bergeser. Aku mungkin tampak terhormat karena statusnya jelas, istri seseorang. Tapi, sebenarnya, masyarakat tidak pernah lupa siapa aku. Mereka tetap akan bersikap berdasar stigma itu. Sisanya, jelas basa-basi. Di belakang aku, mereka akan ngomongin aku,” kata Tiwi, lagi.

Janges tertegun. “Wik, kamu berprasangka terlalu jauh. Kamu salah paham,” kata Janges.

Tiwi menggeleng yakin. “Tidak, Mas. Itulah yang saya lihat di masyarakat. Dan, itu akan terjadi pada saya bila saya berbuat sama. Jadi, saya tidak akan menikah. Saya akan berusaha membangun hidup, sambil tetap membawa stigma itu,” lanjut Tiwi.

Janges melihat, pandangan Tiwi tidak seluruhnya benar. Tapi, dia tidak berniat mengkritiknya. Tatapan mata Tiwi yang berapi-api dan kalimat-kalimat yang diucapkan dengan suara bergetar adalah bukti bahwa itu merupakan gambaran dari kebulatan tekad Tiwi. Janges berharap, waktu akan membuat Tiwi matang dan mengubah sendiri pendiriannya yang keliru.

Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir sebelum perpisahan panjang mereka. Janges pergi untuk mengambil gelar doktor. Tiwi tetap di Yogya menekuni kuliah dan usahanya, sambil membesarkan Lintang.

Ketika Janges menikah di Magelang, Lintang sudah duduk di kelas dua SD dan Tiwi sudah menjadi dosen. Lima tahun kemudian istri Janges melahirkan anak pertama, Erlangga. Suatu berkah sekaligus tragedi karena kelahiran bayi itu meminta nyawa ibunya, Nin. Erlangga pun kemudian dirawat oleh neneknya, Bude Murti, di Magelang.

Berita duka itu membuat Tiwi sangat pilu. Dia bisa ikut merasakan duka mendalam yang dialami Janges. Duka bercampur kekalutan dan panik, sama seperti yang dialaminya saat Ray tiba-tiba menghilang dan Tiwi ditinggalkan dalam keadaan hamil.
Tiwi jadi sering berkunjung ke Magelang. Ketika Erlangga berusia tiga tahun, Tiwi membelikan sepeda roda tiga model terbaru. Anak laki-laki kecil itu senang bukan main. Ia jadi teringat ketika Lintang mendapat oleh-oleh boneka beruang dari Janges. Tiwi merasa kehilangan ketika Janges menjemput Erlangga untuk masuk TK di Bandung. Tiwi tidak pernah berani bertanya mengapa Janges tidak menikah lagi.

Tanpa terasa Lintang sudah harus kuliah. Ia memilih kuliah di Semarang. Baskoro, adik Janges yang saat itu tinggal di rumah eyangnya dan bekerja di universitas yang sama dengan Tiwi, diminta oleh Bude Murti untuk kos saja. Tiwi paham, budenya itu pasti memikirkan Tiwi dan Baskoro. Tinggal dalam satu rumah dan masih sama-sama lajang.

Dua bulan berlalu. Suatu pagi, ketika itu belum pukul sepuluh, Baskoro datang bersama seorang wanita asing setengah baya, Ms. Renatte Stressner. Wanita itu adalah profesornya saat mengambil master di Belanda. Kunjungannya di Indonesia adalah kunjungan sosial, khusus ke Yogyakarta dan Ambarawa untuk napak tilas nenek moyangnya yang dulu pernah tinggal di Indonesia. Baskoro mempertemukannya dengan Eyang Kakung-Putri yang paham betul masa-masa pendudukan Belanda.

Ms. Stressner menginap di rumah selama 4 hari. Ia begitu terkesan ketika melihat Tiwi memberikan kursus menjahit gratis untuk para remaja putri dan pengangguran yang ada di sekitar desa. Pembicaraan Ms. Stressner dan Tiwi menelurkan sebuah proposal yang dibawanya pulang untuk dicarikan dana di negaranya. Itulah awal Tiwi berurusan dengan yayasan sosial.

Meski pekerjaan Tiwi bertambah, dia tetap meluangkan waktu untuk menelepon Janges. Tiwi mengikuti perkembangan Erlangga.

Tiwi sudah berada di pesawat yang terbang menuju Ambon. Dari Ambon dia harus terbang lagi ke Tual, kota kabupaten yang cukup besar di samping Dobo, kota mutiara di Kepulauan Maluku Tenggara.

“Berapa hari kamu di sana, Wik?” tanya Janges, dua hari sebelumnya.

“Kalau lancar, hanya seminggu,” kata Tiwi.

Janges mulai memberinya banyak wejangan agar Tiwi menjaga diri. “Kapan Lintang pulang?” tanya Janges.

“Katanya, sih, pertengahan puasa, bersama Yan, calon suaminya. Tapi, sebelum itu akan ada wakil dari keluarga Yan yang akan datang melamar. Itu saja katanya,“ sahut Tiwi.

Janges mengangguk. Dia sudah mengetahui kabar itu dari Lintang sendiri. Berarti, belum ada kabar terbaru. Lintang sangat dekat dengan Janges. Kebutuhan akan sosok ayah membuat hubungan batin antara Lintang dan Janges menjadi erat. Dan, diam-diam Tiwi mengamati semua itu.

Janges sempat merasa cemas, asal calon suami Lintang sama dengan tempat kelahiran Ray. Bagaimanapun, pengalaman pahit Tiwi 25 tahun lalu itu sulit terhapus dari benaknya. Namun, kecemasan itu berusaha ditepisnya.

“Wik, apakah kamu masih berharap Ray akan datang? Apakah kamu tidak pernah merasa bahwa ada orang yang lebih membutuhkanmu daripada dia? Apakah kamu lebih suka menyia-nyiakan orang yang mencintaimu hanya demi sebuah monumen atas nama cinta yang agung tapi kosong karena telah kehilangan rohnya?” tanya Janges.

Tiwi ternganga.

“Wik, berhentilah menunggu Ray. Aku dan Angga mencintaimu, membutuhkanmu. Jadilah ibu untuk Angga. Aku juga berjanji akan menjadi ayah yang baik bagi Lintang. Asal kamu mencintaiku sedikit saja, itu sudah cukup. Kamu tidak perlu mencintaiku sebesar cintamu pada Ray. Aku cukup realistis, kok, Wik,” lanjut Janges.

Tiwi membeku. Dia tidak menyangka Janges akan sejauh itu. Dia bertanya pada diri sendiri, mencoba melakukan sebuah refleksi diri. Betulkah selama ini aku terlalu egois? Hanya memikirkan diri sendiri? Semua kegiatanku selalu dipusatkan untuk pencapaian cita-cita pribadi? Benarkah semua keputusanku telah mengurangi makna hidupku sendiri?

”Mas Janges, aku tidak bisa mengambil keputusan sekarang. Aku bingung,” kata Tiwi, lirih.

“Tidak usah sekarang. Kami akan menunggu sampai kamu siap,” bisik Janges, sambil melingkarkan lengannya ke bahu Tiwi. Itulah percakapan terakhir Tiwi dengan Janges sebelum dia pergi ke Maluku Tenggara.

Pesawat Tiwi yang berikutnya ditunda 24 jam. Malam itu, dalam tidurnya Tiwi bermimpi memeluk Angga di lengan kiri dan Lintang kecil di lengan kanan. Ray menatap ketiganya dari kejauhan.

Sepekan lalu untuk pertama kalinya Tiwi menginjakkan kaki di tanah Kei. Sebuah pulau yang dikelilingi ratusan pulau kecil. Tiwi ditemani John, anggota LSM di Ambon. Dari luar pagar Bandara Langgur, seseorang melambai. John mengenalinya. Ia salah satu tuan rumah dari Desa Evu yang bertugas menjemput mereka.

Tiwi merasa, kerusuhan Ambon beberapa waktu lalu masih menyisakan suasana lain yang cukup mencekam. Setiap pojok bangunan, pintu masuk, dan pintu keluar bandara dijaga oleh orang-orang berseragam bersenapan laras panjang. Berarti, suasana belum benar-benar pulih.

“Ibu Tiwi, ini Fritz dari LSM di Evu. Dia akan mendampingi Ibu selama di sini,“ John memperkenalkan mereka. Tiwi mengangsurkan tangan pada pemuda berusia awal tiga puluhan, yang berkulit gelap, berambut keriting, dan berwajah simpatik itu.

“Ibu sudah ditunggu teman-teman di balai kami,“ sapanya ramah, sambil menawarkan diri membawakan tas Tiwi.

Yang disebut balai pertemuan adalah bangunan setengah tembok yang luas, berada di tengah-tengah bangunan-bangunan serupa yang lebih kecil. Balai itu kosong. Kehadiran satu set pesawat televisi di pojok ruangan cukup menarik perhatian Tiwi.
Ketika melewati pintu masuk, 12 pria tampak menunggunya.

Wajah-wajah yang serius, pikir Tiwi.

“Selamat pagi, Val be he, apa kabar?“ sapaan Tiwi dalam bahasa setempat mengendurkan wajah-wajah tegang mereka. Beberapa orang spontan menjawab, “Bok bok ket, baik-baik.”

Suasana mencair. Tiwi mengeluarkan oleh-oleh yang dibawanya dari Yogya. Semua mata menanti dengan penuh ingin tahu. Tiwi merasa diterima dengan baik. Sebuah awal yang bagus, catatnya dalam hati. Setelah berbasa-basi seperlunya, setiap orang mengemukakan masalah mereka. Tiwi bertindak sebagai pendengar yang baik.

Diskusi malam itu dilakukan sambil makan malam. Makin seru dan mulai panas ketika pokok bahasan sudah menyangkut solusi alternatif. Di ruang depan balai pertemuan riuh oleh suara dan gelak orang-orang yang sedang menonton televisi. Tiwi baru mengetahui, itu adalah satu-satunya pesawat televisi di desa ini. Hiburan yang murah meriah.

Malam merangkak pelan. Langit pekat karena bulan dan bintang tidak menampakkan rona peraknya yang gemerlap. Tiwi pun tertidur lelap.

Esoknya Tiwi bangun kesiangan. Pasti karena perbedaan waktu antara Maluku dan Yogya. Tiwi segera mandi dan berganti pakaian. Kini aku siap menjelajah, pikir Tiwi, sambil menyandang tas menuju ruang makan. Ia menyantap sagu kering, sekilas mirip kue wafel, dan menikmati segelas kopi.

Pukul sembilan mereka menuju ke arah barat desa. Ada tiga perahu kecil bermesin tunggal tertambat di akar-akar pohon bakau. Empat pria sibuk menaikkan jerigen-jerigen berisi air tawar. Dua pria lain membawa panci, dandang, dan peralatan masak sederhana. Mas’il, satu-satunya nelayan wanita yang ikut dalam perjalanan ini, membawa keranjang berisi sagu, botol-botol kecap, bumbu-bumbu, kopi, dan cabai untuk membuat sambal colo-colo.

Tiwi tidak bisa berenang, tapi ia tidak ingin menampakkan ketakutannya di depan semua orang.

“Usi Tiwi aman. Ini perahu paling bagus kita orang punya,” teriak Ulis, seolah bisa membaca kecemasan Tiwi.

“Kita singgah dulu di Dulah Laut. Bapa Soa ingin berjumpa Ibu Tiwi,“ kata Fritz pada Don, yang segera memutar kemudinya ke kanan. Fritz adalah ketua rombongan. Dia juga ketua Soa, Nen Mas’il.

Ketika tiba di tempat tujuan, Tiwi, Fritz, dan Ulis pergi ke rumah ketua adat yang ada di tengah-tengah rumah penduduk. Anak-anak kecil mulai berdatangan, merubung, lalu membentuk arak-arakan di belakang mereka bertiga. Tiwi mengangguk pada setiap ibu-ibu yang menatapnya malu-malu dari depan pintu rumah mereka.

Sebagian besar rumah berdinding gaba-gaba (batang pohon sagu yang dijajar rapat, lalu dianyam dengan tali) dan beratap rumbia. Rumah Bapa Soa adalah satu-satunya rumah yang berdinding tembok dan beratap asbes. Pintu rumah terbuka lebar, menandakan tuan rumah sedang menanti tamu. Beberapa pria muncul, tergopoh menyilakan tamu-tamunya untuk masuk, lalu melesat untuk memberi tahu tuan rumah.

Seorang pria berusia sekitar 70 tahun masuk ke ruangan, diiringi 12 pria. Ia gagah. Tatapan matanya jernih. Tiwi menyambut uluran tangannya yang hangat ketika Fritz memperkenalkan mereka berdua. Tiwi bisa merasakan kewibawaan dan kearifan seorang pemimpin dalam diri ketua adat itu.

Bapa Soa memperkenalkan para pengiringnya itu satu per satu. Tiwi menyambut uluran tangan setiap orang dengan formal. Ketika pria terakhir berdiri tepat di depannya, Tiwi hampir saja berteriak. Untung dia segera mendekap mulut. Pemuda sekitar 25 tahun itu diam menatapnya, membuat seluruh sendinya tiba-tiba ngilu. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-porinya.

“Dody,” kata pemuda itu, pelan.

Tiwi tak menyahut, tapi dia menyambut uluran tangannya. Dia menatap wajah pemuda itu dalam-dalam. Apakah dia Ray? Mengapa dia mirip sekali dengan kekasihku sewaktu muda dulu? Bibir Tiwi kelu.

Ray bukan pengecut. Bukan. Jika ia tahu bahwa aku hamil, ia pasti akan bertanggung jawab. Ia tidak akan lari.

Menurut Fritz, Dody adalah putra bungsu Bapa Soa. Tiwi tak bisa berhenti melirik ke arah tempat duduk Dody. Entah kenapa, hatinya berdebar.

Ketika mereka akhirnya berpamitan, Bapa Soa mengikutsertakan dua wakilnya, Ale dan Dody, untuk mengikuti ekspedisi ini.

Tiba di tempat tujuan, yaitu bale pertemuan di Pulau Tarwa, semua orang duduk mengelilingi meja panjang. Ulis dan Mas’il membantu dua ibu mengangkat panci yang masih mengepul dari atas tungku. Ibu-ibu mempersilakan tamunya untuk mengambil makanan sendiri.

Setelah selesai makan siang, Tiwi mendekati ibu-ibu istri nelayan itu. “Enak sekali masakannya, Ibu-Ibu. Terima kasih banyak. Kalau Ibu mau untuk datang ke Evu, saya akan memberi resep masakan Jawa. Kita harus bertukar resep,” kata Tiwi, yang menangkap sorot mata berbinar-binar.

Mereka mengangguk setuju, sambil bertepuk tangan.

Ketika kembali ke perahu, Fritz menunjukkan pada Tiwi bahwa nelayan-nelayan ini punya penangkaran kimah mutiara, yaitu kerang besar yang dipelihara untuk diambil mutiaranya, tapi dengan cara tradisional. Tiwi diperbolehkan mengambil satu kerang. Mereka bilang, siapa tahu dia beruntung menemukan mutiara di dalam kerang itu.

“Ayo, Usi pilih yang mana? Nanti saya ambilkan,” kata Dody. Sedetik kemudian tubuhnya sudah ada jauh di bawah perahu. Dengan gesit pemuda itu segera mengangkat kimah yang berdiameter sekitar 50 cm. Semenit kemudian kimah raksasa itu sudah dibawa oleh Dody. Namun, perlu diperiksa lebih lanjut apakah di dalamnya terdapat mutiara atau tidak.

“Usi, sekarang kita pergi ke Pulau Ngaf. Malam ini kita menginap di sana,” kata Fritz.

Tak ada satu pun yang memberitahu Tiwi bahwa pulau kosong itu terletak di dekat tanjung dan berhadapan langsung dengan laut lepas. Tiwi merasa perahu yang ditumpanginya tidak berjalan mendatar. Don dan Fritz jadi tampak seperti anak-anak yang sedang bermain timbangan kayu, saat mengendalikan kemudi. Kecemasan mulai merambati hatinya. Ale terdiam. Tiba-tiba semua mesin dimatikan. Tiwi mulai panik, tapi tetap bungkam. Mereka semua hanya terlihat sedang menunggu sesuatu, diam dan waspada.

Perahan-lahan, dari arah haluan, terdengar suara gemuruh air. Lalu Don bersama bagian ujung perahu terangkat setinggi tiga meter. Tiwi menjerit, sambil memejamkan mata. Perutnya yang kejang tertekuk dan dia merasa akan terjengkang ke belakang. Ada lengan yang merengkuh tubuhnya dari belakang. Dody menyangga tubuh Tiwi dengan badannya.

Serangan ombak itu terjadi sampai lima kali, hampir setiap lima menit sekali. Yang terakhir paling mengerikan karena gulungan air itu sampai mengempaskan perahu. Kedua tangan Tiwi mencengkeram pinggiran perahu kuat-kuat. Semua orang basah kuyup, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lima menit kemudian muncul tiga kepala.

Menurut Fritz, perahu menabrak penyu, tapi tidak ada yang rusak. Mesin mulai meraung dan melaju cepat menuju pantai yang sudah mulai tampak. Tiwi melihat Dody sedang memeras bajunya. Anak muda itu berdiri bertelanjang dada. Tiwi segera memalingkan mukanya yang terasa panas. Untung tidak ada yang memperhatikan dirinya.

“Usi, mau minum kopi?” sebuah suara menegurnya. Tiwi sudah hafal betul pemilik suara itu. Namun, tak urung hatinya berdebar juga. Ray seolah sedang mengulurkan segelas kopi.

Setiap kali Tiwi mengungkapkan kekagumannya pada Maluku Tenggara, Dody hanya menoleh sekilas. Seperti Ray.
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan cukup keras. Secara refleks Tiwi memeluk lengan Dody, sambil memejamkan mata. Ketika diberi tahu bahwa itu adalah bunyi sotong yang sudah matang, Tiwi segera menarik tangannya. Dengan wajah memerah ia menatap Dody. “Maaf,” katanya.

Dody tersenyum. ”Tidak apa-apa, Usi,“ bisiknya.

Lewat tengah malam, Tiwi masih telentang memandangi langit. Bulan tinggal sepotong dengan sinarnya yang suram, tapi bintang-bintang hampir memenuhi seluruh langit. Tiwi tidak ingin cepat-cepat tidur, dia masih ingin menikmati malam yang istimewa ini dengan kesendiriannya.

Rasanya, tidak ada yang salah dengan program-program yang selama ini diterapkannya di sini. Tapi, ia merasa gelisah dan tidak tenteram. Apa yang salah? Selama ini Tiwi memang selalu ingat pada Ray, walaupun tidak setiap hari. Tapi, Ray seolah sedang berada di suatu tempat, sedang menyelesaikan suatu urusan. Tiwi yakin, Ray akan kembali bila semua urusannya telah selesai. Karena keyakinannya itu, Tiwi tidak pernah merasa kehilangan Ray.

Sosok Ray memang sedikit mengabur dari benaknya, tapi tempat Ray di dalam hatinya tidak pernah bergeser. Kini, ketika Tiwi berhadapan dengan anak muda yang mirip Ray, Tiwi jadi jengah. Dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak sedang jatuh cinta pada Dody, meski Dody seolah adalah jelmaan Ray 25 tahun silam.

Sepekan di Maluku, Tiwi banyak memberikan bekal berharga bagi warga di sana. Ia mencarikan solusi untuk masalah-masalah yang dihadapi para nelayan. Ia juga mengajari ibu-ibu membuat es buah, minyak goreng, gula merah, abon ikan. Tiwi senang, mereka sudah belajar berbagai macam resep. Ia berharap, ilmu itu akan mereka gunakan untuk mencari nafkah.

Sebelum pulang, Bapa Soa sempat mengucapkan terima kasih pada Tiwi. Ia memberi kenang-kenangan berupa tanduk ikan berwarna legam. Semua mata terbuka lebar. Dan, semua orang tahu, Usi Tiwi sudah menjadi anak angkat Bapa Soa Dulah laut.

Bandara Langgur sudah tinggal sebuah titik di bawah sana. Namun, bayangan orang-orang yang mengantar Tiwi masih lekat di pelupuk mata. Senyum dan genggaman hangat mereka menorehkan haru yang menggumpal dan menyelimuti hati. Dada Tiwi sesak, matanya yang terasa panas mulai berkaca-kaca. Dia merasakan perasaan hampa yang aneh.

Tiwi tidak bisa menyembunyikan kenangan manis yang dikecapnya selama sepekan itu. Ia bersyukur wanita di sebelahnya tidur lelap karena dia memang tidak ingin mengobrol. Dia sedang ingin menikmati kesendiriannya, bercakap-cakap dengan diri sendiri.

Pikirannya kembali berkelana.

Enam perahu motor melaju ke arah matahari yang baru mengintip di batas cakrawala. Air laut yang berwarna gelap dan dingin pelan-pelan menampakkan kejernihannya. Wajah-wajah nelayan dengan kulit terbakar matahari tampak gembira dan penuh semangat. Tiwi baru menyadari sesuatu. Fritz menghilang. Ulis juga tidak ada. Yang ada hanya seorang lelaki, Dody.

“Dody, mana yang lain?” tanya Tiwi.

Pria muda di belakangnya tidak menyahut, hanya menunjuk pada satu titik kabur sambil tersenyum jenaka. Tiwi terduduk lemas.

Apakah Dody titisan Ray? Apakah itu berarti Ray sudah mati? Tiwi tidak mendapatkan keyakinan. Dari kejauhan Tiwi melihat munculnya sirip-sirip hitam di seputar perahu.

“Ray, ada hiu banyak sekali,” jerit Tiwi, panik. Ia gemetar, lalu pasrah.

Ketika Tiwi sudah sampai pada batas keputusasaan, sebuah lengan yang kokoh merengkuh tubuhnya. “Nana, tidak usah takut. Ada aku di sini. Ini Ray,” bisik suara itu berulang-ulang. “Itu bukan hiu. Itu lumba-lumba. Ayo, buka matamu. Lihat, ada yang ingin berkenalan denganmu,” lanjutnya.

Tiwi mulai berani membuka mata, bahkan berani mengulurkan tangannya untuk menyentuh hidung lumba-lumba.

Ray, kenapa baru sekarang kamu muncul? Ke mana saja kamu selama ini? Tahukah kamu, aku mencarimu sepanjang hidupku? Pertanyaan itu berhamburan dari benak Tiwi. Tapi, tak satu pun keluar dari mulutnya.

Tiwi membiarkan dirinya dipeluk laki-laki yang mengaku diri Ray. Rasa nyaman mengalir hangat ke seluruh tubuhnya, bercampur dengan aroma laut yang menciptakan ketenteraman abadi. Barangkali, sebentar lagi aku mati di tengah laut. Karena itu, Tuhan berbaik hati mengirimkan Ray untuk menjemputku. Batinnya tenang.

Tiwi terbangun kaget ketika pramugari mengguncang bahunya dan memintanya duduk tegak karena sebentar lagi akan mendarat. Pesawatnya transit di Bali selama 8 jam. Ia menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan di daerah Kuta. Tapi, berada di tengah ratusan orang yang tak dikenalnya, Tiwi jadi sangat rindu rumahnya. Ia rindu jalan-jalan tanah di muka rumah yang memanjang ke arah ujung kampung dan berakhir di pinggir sawah.

Bu, awal puasa nanti, wakil dari keluarga Mas Yan yang di Jakarta akan datang melamar. Lintang akan pulang bersama Mas Yan sebelum Lebaran, ya. Tiwi membaca e-mail dari Lintang itu berkali-kali.

Jumat siang itu laboratorium mikrobiologi sudah sepi. Hanya tinggal beberapa orang yang masih ada untuk membereskan peralatan yang habis dipakai.

Tiwi merasa lelah sekali sejak pagi tadi. Tapi, dia masih bersikeras melakukan penelitiannya sendiri. Lama-kelamaan ia merasa badannya menghangat, seperti akan masuk angin. Tiwi pun memutuskan untuk pulang. Jalan Kaliurang padat luar biasa. Mobil dan sepeda motor beriringan dengan sepeda. Bus kota ikut menyesaki lalu lintas dengan asap hitamnya. Tiwi ingin segera tiba di rumah dan terbebas dari belenggu keruwetan jalan. Tapi, itu tak mungkin. Semua kendaraan merambat 20 km per jam, lebih lambat daripada becak. Ah, tapi, seramai apa pun Yogya, tetap saja ia merasa sangat nyaman berada di kota ini.

“Mbok Jum, kok, sepi. Eyang pergi?“ tanya Tiwi.

“Ada di belakang, sedang leyeh-leyeh,“ sahut Mbok Jum.

Tiwi mengangguk, lalu menuju kamarnya di sayap timur rumah utama. Tiwi baru rebahan di tempat tidur ketika pintu kamarnya diketuk. Mbok Jum bilang, Eyang Kakung ingin menemuinya. Ada apa, ya? pikirnya.

Ia bergegas menuju samping rumah utama. Eyang Suwito sudah siap bepergian. Tiwi mendekat.

“Kapan keluarga calon besanmu itu datang?“ tanya Eyang Kakung.

“Belum tahu, Eyang. Lintang bilang, mungkin minggu ini,“ sahut Tiwi.

“Kalau begitu, kalau nanti calon besanmu datang, tolong diperhatikan. Minta mereka menunggu Eyang,“ pesan Eyang Kakung. Perintahnya khas kepala rumah tangga yang biasa menjadi panutan dan pengambil keputusan.

Dua hari lalu Eyang Putri sempat bercerita bahwa Eyang Kakung diminta mewakili Eyang Wiratmo yang tinggal di Ngadisuryan untuk menentukan tanggal pernikahan putri bungsu mereka.

Sore musim kemarau ini membuat pohon-pohon di sekitar rumah meranggas. Petang terasa kian dingin. Pohon-pohon yang nyaris tak berdaun gemerisik ditiup angin. Awan-awan kelabu bergerak cepat, berlomba dengan malam yang mulai merangkak turun. Sebentar lagi hawa dingin akan memekat. Orang Jawa menamai mongso bedhidhing, musim kemarau yang ditandai dengan siang panas menyengat dan malam dingin menggigit tulang.

Matahari sore masih menyisakan semburat merah di balik pohon sawo kecik di barat rumah. Tiwi baru saja keluar dari kamar mandi. Badannya yang tadi siang panas dingin agak berkurang setelah diguyur air dingin. Ia harus segera menyelesaikan laporannya untuk Dina. Iseng-iseng Tiwi membuka e-mail, siapa tahu ada kabar baru dari Lintang. Di jajaran paling atas tertera e-mail dari Dina.

Tiwi, ada teman dari Maluku Tenggara ingin menjumpaimu. Dia ikut mensponsori Indonesia Timur. Namanya Bang Oce. Siapa tahu kamu akan mendapat kontrak. Begitu bunyi e-mail dari Dina.

Tiwi hanya menggedikkan bahu. Tiba-tiba ia merasa tungkai kirinya ngilu. Ia mengira itu karena kelelahan. Maklum, sepulang dari Maluku, Tiwi langsung masuk pada agenda rutinnya tanpa istirahat.

Tiwi membuka datanya. Ketika baru menulis beberapa baris, rasa nyeri itu menyerang lagi. Dia meringis sambil memijit-mijit tungkai kirinya. Ketika rasa sakit itu berkurang, Tiwi kembali menulis. Belum lima belas menit, rasa ngilu itu muncul lagi. Kali ini bahkan lebih hebat karena merambat sampai ke seluruh jari-jari kaki. Kepalanya ikut berdenyut-denyut. Ketika jari-jarinya menyentuh kulit kepala, sentuhan itu terasa amat menyakitkan. Tanpa terasa peluh bercucuran di sekujur tubuhnya. Daster yang dipakainya basah kuyup.

“Tiwi, kok, sepi? Eyang ke mana?“ suara Baskoro.

“Masuk, Mas. Tidak dikunci,“ jawab Tiwi, sambil menahan sakit.

Pintu terkuak. Baskoro masuk ke kamar Tiwi. Dilihatnya sepupunya itu sedang meregang, tubuhnya melengkung dengan kedua tangan mencengkeram kaki.

“Kamu pucat sekali,” kata Baskoro. Lengan Tiwi sudah sedingin es. “Kamu sakit? Ayo, kita ke rumah sakit.“ Baskoro mengusap butir-butir peluh di dahi Tiwi sebelum melesat ke belakang untuk memberi tahu Mbok Jum.

Mobil sudah keluar dari gang dan mulai memasuki bahu Jalan Kaliurang. Mata Tiwi terpejam, menahan sakit. Satu tangannya mendekap mulut. Rasa pening yang hebat membuat lambung terasa diremas-remas. Rasa mual merambat sampai ke ulu hati.

Baskoro segera melarikan mobilnya. Ia berkonsentrasi penuh pada jalan. Dia ingin segera tiba di rumah sakit. Tiwi menyandarkan punggungnya. Baskoro tidak menyangka rumah sakit begitu penuh. Setelah berputar-putar dan akhirnya mendapatkan tempat parkir, Baskoro memapah Tiwi yang tertatih-tatih.

Dokter yang ditemui Baskoro segera memeriksa Tiwi. Tensinya rendah. Tapi, dia belum bisa menjelaskan diagnosis penyakit Tiwi. Karena itu, Tiwi disarankan menginap di rumah sakit karena malam itu akan dilakukan berbagai pemeriksaan. Hasilnya baru diketahui keesokan paginya.

Baskoro memegangi lengan Tiwi. “Kamu opname saja, ya.”

Tiwi mengangguk pelan.

Setelah mengurus administrasi, Baskoro menawari untuk menungguinya, tapi Tiwi menolak dengan halus. Takut merepotkan, begitu kata Tiwi. Tapi, Baskoro merasa bahwa Tiwi menjaga jarak. Ia sendiri sebenarnya senang bila Tiwi sering meminta bantuannya karena itu akan lebih mendekatkan mereka.

“Kamu ingin dibawakan apa? Besok pagi aku akan ke sini lagi,” kata Baskoro, setelah Tiwi betul-betul tidak mau ditemani.
Tiwi menggeleng.

“Ya, sudah. Aku sudah memberi tahu Mbok Jum. Dia bilang ada tamu dari Jakarta yang mencarimu. Namanya Pak Oce. Katanya, besok akan kembali lagi,” kata Baskoro lagi.

Tiwi cuma mengangguk. Ketika Baskoro menutup pintu, Tiwi memejamkan matanya. Matanya berat. Dia ingin segera melepaskan seluruh kelelahan yang menyusupi setiap sel-sel tubuhnya. Tidak perlu waktu lama bagi Tiwi untuk langsung tertidur pulas.
 
Laki-laki berusia awal 50-an itu tidak perlu berdesak-desakan dengan penumpang lainnya ketika menunggu bagasi karena tak membawa banyak barang. Dia melenggang ke gerai pemesanan taksi. Ia menyebutkan tempat tujuannya. Si petugas segera melihat daftar, lalu menuliskan angka rupiah pada semacam kuitansi.

Dia mencari taksi yang disebutkan si petugas, lalu membuka pintu belakang. Sekali lagi ia menyebutkan tempat tujuannya. Sopir taksi segera memutar kemudi, keluar dari halaman parkir dan mulai menorobos padatnya lalu lintas Yogya di akhir pekan, meninggalkan Bandara Adisucipto.

“Apakah setiap hari memang padat begini, Pak?“ tanya si penumpang.

“Cuma ketika akhir pekan dan masa liburan sekolah saja. Bapak dari Jakarta?“ balas si sopir, basa-basi.

“Ya,“ jawab laki-laki itu singkat. Tampaknya ia menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Ketika taksi berhenti di lampu merah, ia melihat sebuah gedung yang tampak angker dan lusuh.

Tidak banyak berubah, gumamnya dalam hati.

Laki-laki itu sempat memutar leher agak lama saat melewati sisi kanan Rumah Sakit Panti Rapih. Dia senang, bangunan kuno rumah sakit yang berjendela besar masih tetap dipertahankan. Dia masih ingat beberapa suster di rumah sakit yang pernah dikenalnya.

Taksi berhenti di depan wisma. “Sudah sampai, Pak. Silakan,” sopir taksi mempersilakan tamunya untuk turun.

Laki-laki itu disambut hangat oleh petugas wisma itu. Dan, ia sangat terkesan pada sikap sopan khas Yogya. Sejak turun dari pesawat, laki-laki itu sudah merasakan kentalnya suasana Yogya ketika mendengar gending Jawa yang mengiringi kesibukan bandara. Kini, di wisma tersebut, ia juga mendengar musik yang sama.

Sesaat dia merasakan kesejukan merambati tubuhnya. Laki-laki itu sebenarnya amat penat. Dia ingin mengubur masa lalunya. Tapi, bagian lain dari dirinya selalu ingin menikmati kenangan manisnya. Kejadian 25 tahun lalu itu….

Ruangan itu tidak terlalu luas. Hanya 150 meter per segi. Sepertiganya penuh oleh seperangkat gamelan Jawa. Ray sudah tahu nama beberapa di antaranya. Kenong, kempul, kendang, dan gong. Nana, gadis Jawa yang menjadi kekasihnya itu, dengan sabar menerangkan tentang alat musik itu.

Suatu saat aku ingin mempelajarinya. Kalau istriku seorang gadis Jawa, aku harus mengenal budayanya dengan baik. Begitu pikir pemuda itu.

Ray ingat, teman-temannya di kampus sering berbicara dalam bahasa Jawa. Mereka pun dengan senang hati mengajari Ray. Tapi, ternyata Ray dikerjain karena yang mereka ajarkan kebanyakan adalah kata-kata saru. Nana sampai melotot marah mendengar perbendaharaan kata yang diucapkan Ray.

Akhirnya, Ray kapok. Dia memilih belajar bahasa Jawa dari Nana, dari tingkatan yang paling kasar hingga yang paling halus. Sebagai balasannya, setiap Selasa dan Jumat sore Ray menunggui gadis itu berlatih tari Jawa. Ray tentu saja tidak keberatan menunggui gadis pujaannya, meski dia harus berlari dari kampusnya ke tempat Nana latihan menari.

Ray sudah menyelesaikan sarjana mudanya ketika mulai mengenal gadis manis berambut panjang yang duduk di kelas dua SMA itu. Melalui jendela kamarnya, Ray sering melihat Nana mengayuh sepedanya pergi ke sekolah. Setiap hari pasti lewat di depan asramanya.

Teman-teman Ray sering iseng menggoda gadis-gadis yang lewat, termasuk Nana. Tapi, Ray tidak pernah iseng seperti mereka. Meski sudah berpacaran, belum sekali pun Ray menginjak rumah Nana. Tidak juga ketika malam Minggu. Ayah Nana seorang tentara yang tidak suka pada mahasiswa, terutama yang berambut panjang sampai ke pundak.

Bagi Nana, ayahnya adalah satu-satunya orang yang dicintainya. Dengan ibu tiri dan beberapa adik tirinya, Nana tidak banyak bicara. Sejak pertama wanita bermata licik itu datang dan menggantikan posisi ibunya, yang meninggal 5 tahun silam, Nana tidak pernah bicara padanya.

Nana tidak ingin Ray disakiti atau dikasari oleh ayahnya. Mereka memilih berpacaran yang sederhana, yaitu mengobrol sambil naik sepeda setiap Selasa dan Jumat sore. Kadang-kadang Nana datang ke warung Bu Nonong, tempat makan sebagian besar mahasiswa di sekitar itu. Warung itu hanya berjarak tiga rumah dari rumah Nana. Toh, keterbatasan ruang dan waktu itu tidak menghambat cinta keduanya yang tumbuh subur.

“Mengapa aku tidak pernah bisa menghilangkan bayangan Nana, bahkan setelah lebih dari 25 tahun?” keluhnya, sedih.

Dan, sekarang, ketika sudah berada di Yogya, di dekat tempat-tempat yang dipenuhi kenangan, perasaan itu makin kuat dan kental. Sepertinya peristiwa itu baru terjadi kemarin sore. Perjalanan ini jadi seperti perjalanan napak tilas. Ray tidak tahu di mana Nana berada dan bagaimana kehidupannya saat ini. Memikirkan hal itu, jantungnya berdebar, adrenalinnya naik ke kepala, membuatnya sangat bergairah dan siap untuk bertualang.

Tak ada yang lebih buruk daripada hidup tanpa harapan. Itu pegangan hidup Ray selama ini. Dia selalu berharap, suatu saat nanti ia akan menemukan Nana. Tapi, ia sudah menyiapkan diri untuk menerima keadaan.

Magrib sudah tiba ketika laki-laki itu menghirup udara Kaliurang dari dalam taksi yang ditumpanginya. Dagunya yang licin kehijauan dan rambut abu-abunya yang tebal sudah terpangkas rapi. Ia menyodorkan denah buatan Dina kepada si sopir taksi yang segera tancap gas setelah membaca denah dengan cepat.

Taksi berhenti di depan sebuah rumah.

“Tunggu sebentar, ya, Pak. Saya cek dulu. Jangan-jangan bukan ini rumahnya,” kata Ray, sambil memakai jaketnya, lalu bergegas turun.

Pagar depan rumah itu tidak terkunci. Tapi, pintu rumahnya berjarak 10 meter lebih dari depan pagar. Ada halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon. Pintu depan tertutup, tapi ada kliningan sapi tergantung di sana.

“Apakah ini rumah Ibu Tiwi?” tanya Ray, ketika pintu depan terbuka.

Seorang perempuan setengah baya menjawab tamunya, “Benar. Maaf, Bapak siapa, ya?”

“Saya Oce dari Jakarta. Apakah Ibu Tiwi ada?“

“Oh, Ibu Tiwi sedang ke rumah sakit, diantar Pak Bas,” jawabnya, sambil memegangi daun pintu.

Ray langsung tanggap, ia tahu bahwa ia tidak dipersilakan masuk untuk menunggu majikannya. “Baik, Bu, saya akan ke sini lagi besok. Sebelumnya saya akan menelepon dahulu,“ kata Ray.

Wanita tua itu mengangguk hormat, lalu cepat-cepat menutup pintu.

Ray menghabiskan waktu berjalan-jalan menyusuri Malioboro. Sore itu Pasar Beringharjo sudah sepi, tapi trotoar depannya dipenuhi pedagang minuman dan makanan tradisional. Orang-orang tampak duduk-duduk di bangku panjang sambil menikmati wedang ronde atau kopi tubruk, ditemani tape uli goreng dan tahu isi.

Ray terus melangkah menapaki tegel kuno bermotif bunga di sepanjang emperan Malioboro. Dia menyeberangi palang jalan kereta api untuk masuk ke Jalan Mangkubumi. Lalu, dia duduk sambil menikmati gudeg di warung lesehan, di depan sebuah toko buku.

Kala itu, sebagai mahasiswa miskin, dia tidak mampu membeli buku-buku bagus di situ. Untung saja, sebagian besar pramuniaga cukup baik dan mengizinkannya membaca di tempat, tanpa harus membeli. Ia tersenyum mengingat belasan buku bagus yang sempat dilalapnya. Di toko buku itulah Ray dan Nana berkenalan untuk pertama kalinya.

Bayangan seorang gadis berseragam melintas cepat di depan matanya. Rambutnya yang lurus panjang diikat di belakang kepala, membentuk ekor kuda yang tebal dan indah. Gadis itu berdiri di dekat rak buku, tempat Ray membaca sebuah referensi. Caranya menimang buku, membuka bagian daftar isi, lalu meneliti sampul belakang, menunjukkan bahwa gadis itu ragu-ragu memutuskan membeli atau tidak.

Ray mendekat. “Buku bagus itu, Dik,“ sapanya, mencoba membantu.

Si gadis menatap Ray sekilas. Ray pun menjelaskan isi buku yang sudah pernah dibacanya itu.

Mereka pun berkenalan.

“Rumah Nana di belakang wihara, ya?”

Gadis itu melirik, sambil tangannya sibuk memilih buku lain. Siang itu mereka pulang bersama dengan sepeda masing-masing.

Pukul tujuh pagi Ray sudah rapi, siap bepergian. Tidak terlalu pagi untuk menelepon Ibu Tiwi sekarang, pikirnya. Menurut pengalamannya, orang Yogya terbiasa bangun pagi.

Suara berat di ujung sana mengabarkan bahwa Ibu Tiwi sedang diopname di rumah sakit.

“Pak Oce, kalau Anda mau bertemu Bu Tiwi, nanti saja pas jam besuk bersama saya,” kata Baskoro.

Ray terdengar sungkan karena pria yang baru dikenalnya menawari untuk menjemputnya. Tapi, Baskoro dengan senang hati mengantarnya.

“Untung suami Ibu Tiwi baik sekali,” gumam Ray.

Ray melangkah ke kampusnya dulu. Tampak sepi. Kampus itu masih sama seperti dulu. Dia menatap pucuk-pucuk pepohonan yang ada di seberang halaman rumput, lalu tenggelam dalam masa lalu.

“Ray, pernahkah kamu ingin menjadi orang lain?“ tanya Nana.

Ray tertegun mendengar pertanyaan aneh itu.

“Seingatku belum pernah,“ jawab Ray, sambil menatap gadis itu.

“Benar? Dalam mimpi pun belum pernah?“ desak Nana.

Ray mengangguk. “Apakah kamu pernah?”

“Ya, aku sering ingin menjadi orang lain, siapa pun itu.“

Jawaban polos gadis itu mengagetkan Ray. Ia tahu, gadis itu pasti sedang memiliki masalah. Wajahnya selalu tampak murung, seolah hidupnya dipenuhi banyak duka. Tapi, Nana hampir tidak pernah mengeluh. Itulah yang membuat Ray makin menyayangi Nana dan bertekad untuk selalu membahagiakannya. Ray ingin melihat binar-binar bahagia itu lebih sering, bahkan setiap hari. Binar-binar yang dia lihat setiap kali mereka bertemu.

  Pria yang ditunggunya lebih 20 tahun, kini menawarkan kehidupan penuh cinta. Namun, bagaimana dengan hati seorang pria lain, yang dengan sabar mendampinginya selama ini?

Ketika bangun, Tiwi merasa tungkainya masih ngilu dan kesemutan. Jarum infus belum dicabut, kateter masih terpasang. Tiwi menatap langit-langit kamarnya ketika suster masuk. Suster itu menyeka badan Tiwi. Cekatan, hati-hati, tapi tetap ramah. Tiwi masih asyik melamun ketika Baskoro datang dan membawakan barang-barang keperluannya. Hanya sebentar, Baskoro pergi lagi dan berjanji akan menjenguk siang nanti.

Seusai melakukan berbagai tes kesehatan, Tiwi memanfaatkan waktu untuk tidur, sebelum Baskoro kembali datang. Dalam tidurnya Tiwi bermimpi Baskoro mengajaknya pergi.

“Cepat, Tiwi, nanti ketinggalan!“ teriak Baskoro, tidak sabar, sambil menggandeng Tiwi. Jalan Kaliurang sudah dipenuhi salju, barangkali sampai ke lereng Merapi. Tiang listrik dan pohon-pohon hanya tampak ujungnya saja. Semua tertutup salju. Semua orang berjalan ke satu arah, naik ke gunung, dengan terburu-buru dan wajah dicekam ketakutan.

Tiwi berpegangan erat pada lengan Baskoro karena jalan yang mereka lewati licin dan berbahaya. Samar-samar Tiwi mendengar namanya dipanggil. “Nana... Nana... tunggu, Na….”

Ray, yang masih jauh di belakang, melambai ke arahnya.

“Mas Bas, tunggu Ray sebentar, Mas. Kasihan,“ kata Tiwi.

Tapi, Baskoro tetap menyeretnya. “Cepat, gerbangnya akan segera ditutup oleh Ngarso Dalem. Yogya akan segera ditenggelamkan,“ jawab Baskoro, gusar.

Awan dan kabut menutupi jalan. Tiwi berjalan terseok-seok, sambil menangis. Lamat-lamat dia melihat Gunung Merapi telah berubah wujud menjadi kapal raksasa. Dia melihat kedua eyangnya sedang melambaikan tangan. Ketika gerbang benar-benar ditutup, Tiwi telah berada di dalam kapal dengan hati pilu. Perasaannya hampa. Apakah Ray masih di bawah sana? Apakah Ray akan dibawa ombak?

“Tiwi, bangun… ada tamu, tuh,“ bisik Baskoro, sambil mengguncang-guncang lengan Tiwi.

Tiwi membuka mata dengan malas.

“Di luar ada Pak Oce yang ingin menemui kamu. Aku pamit dulu, ya. Nanti sore Eyang akan ke sini,” kata Baskoro.

Tiwi sedang mengatur bantal untuk bersandar, ketika laki-laki tinggi semampai itu menutup pintu. Laki-laki itu membalikkan badan dan mengucapkan salam, “Ibu Tiwi, apa kab...,“ kalimatnya menggantung.

Senyum Tiwi hilang. Jantungnya melompat. Seluruh sendinya ngilu. Matanya panas. Badannya menggigil kedinginan. Lidahnya kelu, ia hanya bisa berbisik, “Ray, apakah aku sedang mimpi?“

Ia segera bersandar pada tumpukan bantal. Wajahnya menatap langit-langit. Napasnya terengah. Ia menggigit bibir kuat-kuat agar tangisnya tidak meledak.

“Silakan, Pak Oce,” Tiwi mencoba mengembalikan kontrol dirinya. Keringatnya membanjir.

“Ratna Dria Pertiwi... Nana, sungguh tidak terduga,“ sahut Pak Oce.

Gelombang bawah sadarnya muncul kembali. Hanya ada dua orang yang memanggilnya Nana, almarhum ayahnya dan Ray.

“Pak Oce, terima kasih telah datang menjenguk. Apa yang ingin Anda bicarakan?“ tanya Tiwi, berusaha tenang.

“Nana, aku Ray. Aku Reihan...,“ kata laki-laki itu, pelan. Tangannya yang gemetar menyentuh tangan Tiwi, lalu menggenggam erat jari-jarinya. Sebenarnya, ia ingin mencium tangan Tiwi dan memeluknya, tapi Ray teringat pada Baskoro. Dia tidak ingin dituduh kurang sopan oleh suami Ibu Tiwi yang sudah berbaik hati menjemput, lalu mempertemukan keduanya.

Tubuh Ray bergetar hebat karena menahan emosi, menahan kerinduan dan luapan rasa cinta pada wanita yang kini ada di hadapannya. Tiwi masih diam. Ray tidak berubah. Setidaknya secara fisik. Penampilannya makin matang. Ribuan pertanyaan berjejalan di kepala Tiwi.

Ray menerangkan maksud kedatangannya. Ia menyampaikan ucapan terima kasih karena Tiwi telah memberikan banyak ilmu pada masyarakat Maluku Tenggara.

Tiwi mulai berani menatap mata laki-laki itu. Dari dulu Ray sudah memiliki sikap tenang. Ia mulai merasa santai. Pikirannya berputar ke mana-mana. Saat ini Ray berada di hadapannya. Itu membuat Tiwi sangat senang dan bahagia. Dia sudah menantikan pertemuan ini hampir separuh hidupnya. Dia yakin, dia bisa menjalin hubungan lagi dengan Ray, tapi bagaimana dengan Ray?

Ray juga sedang galau. Selama ini bayangannya tentang Tiwi belum beranjak jauh dari bayangan seorang gadis yang memikat karena kesederhanaan dan kepolosannya. Ray menegakkan punggungnya, masih sedang memikirkan kata-kata yang tepat.

“Nana, pertemuan kita ini nyaris mustahil. Terus terang, aku sempat menyesali, mengapa baru sekarang kita dipertemukan. Tapi, pertemuan ini sepertinya sudah digariskan Tuhan. Na, aku ingat, saat itu tiba-tiba aku harus ke Jakarta. Maaf, aku tidak sempat memberi tahu karena tidak ada waktu lagi. Aku dipanggil untuk tes oleh sebuah biro konsultan finansial yang cukup bergengsi. Aku lolos. Ketika itu aku mengurus surat-surat kepindahanku ke Jakarta dan berniat mengabarimu, tapi kamu dan teman-teman sekolahmu sedang tur ke Bandung. Lalu, kamu sepertinya sibuk akan masuk perguruan tinggi. Aku cuma mendapat selembar surat yang kau titipkan lewat Bu Nonong. Saat itulah aku merasa kehilangan. Aku berusaha mencarimu, tapi hasilnya nol besar. Setiap kali aku ke Yogya, aku pasti mencari kamu, Na,” tutur Ray, sedih.

“Anakmu sudah berapa, Na?“ lanjut Ray.

Tiwi tersedak, “Hanya satu.”

“Tampaknya, kamu bahagia. Punya suami yang baik dan kehidupan yang mapan. Aku ikut bahagia, Na,“ tambah Ray.

Tiwi menatap Ray sekilas. Wajah laki-laki itu membeku. Sorot matanya tampak begitu terluka. Bagi Tiwi, itu sudah menjelaskan semuanya. Pasti Baskoro dianggap suaminya. Keluarga bahagia dengan satu anak. Sekaranglah saatnya untuk bicara. Hanya dengan bicara, semuanya akan selesai. Tiwi menarik napas panjang sebelum mulai membuka mulut.

“Ray, sebenarnya, aku juga mencarimu, dengan caraku sendiri. Sangat berat menjalani masa pencarian itu. Selepas SMA, aku tidak kuliah. Aku bekerja di perusahaan garmen Bu Handoyo. Mulanya, aku tinggal di rumah Eyang di Magelang, tapi kemudian Eyang di Yogya minta aku tinggal di sini. Aku pun kuliah sambil bekerja. Setelah lulus, aku sering diundang ke berbagai kota untuk mengadakan pelatihan. Di sanalah aku mencarimu, mulai dari mengamati buku telepon hingga mencari tahu lewat relasi. Hasilnya, nol besar. Jadi, kemunculanmu yang tiba-tiba ini tentu membuatku percaya bahwa ini cuma mimpi,“ Tiwi mengakhiri ceritanya dengan mata basah.

“Nana, jadi kamu tidak menikah dengan Baskoro?“ tanya Ray.

Tiwi menggeleng dan menceritakan sekilas tentang sepupunya itu.

“Tadi kamu bilang, kalian punya satu anak,“ desak Ray.

“Aku hanya bilang, itu anakku. Anak kandungku,“ sahut Tiwi, hampir berteriak di antara isaknya.

“Nana, sekarang katakan, apakah berarti anak itu anakku?” Ray menggenggam tangan Tiwi dengan kedua tangannya yang gemetar.

“Tentu saja itu anakmu! Anak siapa lagi?“ teriak Tiwi, sambil menarik tangannya, lalu memukul Ray sejadi-jadinya.

“Ya, Tuhan, ampunilah aku,“ bisik Ray, sambil memejamkan mata.

Kamu jahat, Ray. Kejam, tidak bertanggung jawab. Laki-laki pengecut, meninggalkan aku sendiri. Kamu tidak pantas jadi bapak untuk anakku,” Tiwi melontarkan semua perasaannya.

Ray rela seandainya Nana ingin membunuhnya sekalipun. Itu belum seberapa dibandingkan penderitaan gadis itu selama ini.
Tiba-tiba Tiwi berteriak kesakitan. Jarum infusnya berubah posisi. Ray segera mengangkat wajahnya. Ray memanggil suster. Dalam hitungan detik suster datang dan membetulkan posisi jarum infus. Setelah tenang, Tiwi kembali duduk dan tiba-tiba teringat pada Dody.

“Ray, saat aku di Maluku tempo hari, aku bertemu anak muda yang persis kamu. Tepatnya, persis kamu saat muda,“ kata Tiwi.

“Kamu sampai ke Dulah Laut?“ tanya Ray, sekilas.

“Tidak hanya ke sana, aku juga dijadikan anak angkat Bapa Soa di sana,“ sahut Tiwi, bangga.

“Hah? Kamu jadi anak angkat bapakku?“ Ray seperti disengat lebah.

Ray membungkuk di depan Tiwi sambil memegangi lututnya. “Nana, kamu sudah lupa pada nama dan alamat yang pernah kuberikan padamu dulu? Sebelum ke Jakarta, aku menitipkan 2 alamat yang bisa kau hubungi. Satu alamat familiku di Jakarta, satu lagi rumah Bapak Rahman Rahadet di Maluku Tenggara. Namaku Reihan Rahadet. Anak muda yang kamu lihat itu pasti Dody, adik bungsuku.”

Tiwi merasa lantai kamar tiba-tiba bergoyang. Tubuhnya siap melayang. Ia memegang lengan Ray, sambil memejamkan mata. Napasnya turun-naik dengan cepat. Dia terengah-engah karena hari ini dia mendapat banyak kejutan besar yang mengguncangkan batinnya.

“Ray, aku belum pernah menerima alamat apa pun dari kamu. Kamu kirim lewat pos?“ tanya Tiwi.

“Kutitipkan Aditya, teman kosku,” kata Ray.

Tiwi menggeleng. “Ray, kamu tahu, aku tidak mungkin lalai untuk hal sepenting itu. Aku tidak pernah menerima alamat itu dari siapa pun.“

Ray percaya itu. Barangkali memang jalan hidupku harus seperti ini, keluh Ray dalam hati. Dia harus menelan kenyataan pahit itu.

Suara lonceng besar di menara rumah sakit itu berdentang dua kali. Tiwi ingat janji Dokter Hendarto pagi tadi, diagnosis tentang penyakitnya sudah siap siang ini. Aneh, kemarin dia merasa takut untuk mengetahui penyakitnya. Kini, dia merasa lebih punya keberanian. Sebegitu besarkah arti kehadiran Ray di sampingnya?

Dokter Hendarto masuk kamarnya dan memberi tahu hasil diagnosis. Rupanya, gula darah Tiwi cukup tinggi. Itulah yang membuatnya sering pusing dan lemas. Namun, vonis diabetes itu tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang akan dihadapi setelah pertemuan ini.

Setelah dokter pergi, Tiwi melanjutkan ceritanya. “Ray, selama ini aku telah belajar seribu cara untuk bersabar, menenangkan hati, dan mengubur kecemasan selama bertahun-tahun menunggumu. Hanya satu yang tetap kupelihara, harapan.Jadi, ketika hari yang kutunggu ini benar-benar terjadi, aku bahagia.”

Ray memeluk Tiwi dengan hati-hati. Ditatapnya wajah gadis itu dengan penuh kerinduan. Gejolak kegairahan terlihat jelas dari rona merah di pipinya. Ray memandang wajah di depannya tanpa berkedip, lalu mencium bibir itu dengan lembut.

“Nana, kita harus segera menikah,“ bisik Ray, parau. Tatapan matanya hangat, tanpa gejolak yang menggelora.

Tiwi menangis tanpa suara. Dia tak mampu berkata apa-apa. Dia sudah terjebak dalam sedu sedan yang pilu.

“Ssst, sudah, Na. Aku tahu apa yang akan kau ucapkan. Aku masih belum kehilangan gadisku tercinta, ‘kan?“ bisik Ray.

Tiwi tidak mampu mengangguk. Ray menghapus air matanya dengan saputangan. Ia mengecup pipi Tiwi, yang teringat puluhan tahun silam.

Ray pernah bertanya, “Nana, kenapa kamu mencintai Ray?” Mata hitam itu kini bersinar jenaka.

Tiwi gelagapan. Dia memang tidak pernah memikirkan apa yang membuat dia mencintai Ray. Tiwi hanya merasa nyaman, senang, dan bahagia bila sedang bersama laki-laki itu. Ray tidak pernah menganggapnya anak kecil. Ray juga tidak pernah sok tahu. Ray adalah laki-laki dewasa yang baik hati, seperti Janges.

Tiwi sering berkhayal, andaikata ayahnya sebaik Ray atau Janges, pasti hidupnya akan sangat indah.

“Nana, sebenarnya aku ke Yogya untuk dua urusan. Mengunjungi Bu Tiwi itu dan melamar seorang gadis Yogya untuk keponakanku,” katanya.

Ray mengambil kartu nama dari dompetnya danmenyodorkannya kepada Tiwi, yang harus membaca tulisan itu sampai tiga kali untuk meyakinkan dirinya. RM Soewito Wiryohutomo, Rumah Joglo Jalan Kaliurang Km 8,3, Gang Nusa Indah No. 100 Yogyakarta.

“Ray, siapa nama gadis yang akan kau lamar?” tanya Tiwi. Kedua tangannya dingin. Tiwi masih berharap penglihatannya keliru.

  Laki-laki itu mengambil secarik kertas lagi, lalu mengeja nama yang tertera di situ. “Lintang Sari Margawani. Nama yang cantik. Pasti artinya dalam sekali. Kamu pernah bertemu gadis ini? Aku pernah melihatnya lewat foto yang disimpan keponakanku. Cantik sekali,” jawab Ray, polos.

Tiwi menatap Ray. Apakah laki-laki ditakdirkan tidak peka terhadap hal-hal seperti ini? Apakah batin mereka demikian tumpulnya hingga tak ada seutas benang rasa yang mampu mengaitkan mereka dengan darah dagingnya sendiri?

“Ray, Lintang Sari Margawani itu anakku,” jawab Tiwi, agak ketus.

Tiwi percaya, di dunia ini tak ada sesuatu yang kebetulan. Semua hal yang terjadi pasti sudah menjadi rencanaNya. Tiwi tidak tahu skenario Tuhan di balik kejadian beruntun ini. Tapi, dia yakin, semua yang diberikan Tuhan padanya, sudah dipilihkan yang terbaik.

“Kalau begitu aku harus segera menghadap kakekmu,“ kata Ray.

“Sebaiknya, kamu ngobrol dulu dengan Mas Bas. Soalnya, Mas Bas dekat dengan Eyang Putri. Dia akan mencarikan solusinya.“

Sambil mengelus Tiwi dengan sayang, Ray mohon diri. Tangan Tiwi mengacak-acak rambut tebal abu-abu Ray.

Sore itu Tiwi dikunjungi keluarga besar Eyang Suwito. Mereka gembira mengetahui Tiwi besok boleh pulang. Sebelum pamit pulang, Baskoro berbisik, “Wi, tadi aku dihubungi Pak Oce. Nanti malam mau ngobrol.”

Tiwi cuma mengangguk sekilas. Malam itu Tiwi meringkuk, sambil memeluk bantal. Ada seulas senyum di sudut bibirnya. Apakah kebahagiaan masih akan menyapanya besok pagi? Tiwi menyerahkan semuanya pada malam yang penuh bintang.
Minggu masih amat pagi, tapi Tiwi sudah membuka mata dengan perasaan segar. Dia ingin keluar kamar, berjalan-jalan sambil melemaskan kaki. Matahari belum mengintip dari celah tembok timur rumah sakit, tapi suasana hangat sudah merambati seluruh paviliun. Tanpa terasa Tiwi melangkah mendekati ruang bayi. Makhluk-makhluk yang sempurna, pikir Tiwi. Jari-jarinya yang menempel di kaca bergerak, seakan hendak membelai seorang bayi berpipi merah yang sedang nyenyak.
Saking asyiknya, dia tidak sadar Ray sudah ada di sampingnya dan tersenyum hangat.

“Aku tidak suka mengganggu kesenangan orang,” kata Ray, sambil membimbing Tiwi ke kamar. Ray mengeluarkan berbagai macam buah untuk Tiwi, yang langsung memeluk Ray dan mencium pipinya.

Sesudah Tiwi sarapan, Ray memberi tahu Tiwi tentang pertemuannya dengan Baskoro semalam. Mas Bas sependapat dengan Tiwi agar membicarakan masalah ini dengan Eyang Putri terlebih dahulu. Dan, Ray diberi tahu tentang prosedur meminang anak perempuan dalam adat Jawa.

“Lalu, bagaimana komentar Mas Bas tentang kita?“ tanya Tiwi.

“Setahu Mas Bas, dalam budaya Jawa tidak boleh ada dua pelaminan dalam satu waktu atau waktu yang berdekatan. Jadi, inilah masalah terbesarnya,“ kata Ray.

“Menurut orang-orang tua, memang ora ilok, tidak bagus di kemudian hari,“ sambung Tiwi, lirih.

Tiwi dan Ray tidak tahu, Baskoro juga meminta pendapat orang tuanya tentang hubungan antara Tiwi dan Ray. Baskoro sadar, bukan dia yang berhak menyelesaikan masalah itu. Baskoro tahu persis, saat ini diperlukan jembatan dan di situlah dia harus berdiri.

Sebelum pulang, Ray berjanji, “Nana, aku akan mengikuti aturan main keluarga besarmu,“ bisik Ray di telinganya.

Masalahnya, Ray, kamu sudah nerak paugeran, melanggar aturan main itu 25 tahun lalu, gumam Tiwi. Dan, aku tidak tahu, jenis hukuman macam apa yang akan dijatuhkan keluargaku padamu.

Iseng-iseng Tiwi membuka laptop. Ada e-mail dari Angga. Erlangga memang memerlukan seorang ibu. Tiwi memikirkan Janges, laki-laki yang disayanginya sejak masih kecil. Masa kecilnya bersama kakak-kakak sepupunya sangat indah, terutama bersama Janges. Tiwi masih ingat tulisan dalam buku hariannya.

Rumah putih di atas bukit hijau itu mungil dan cantik.

Cita-citaku adalah menikah dengan laki-laki idamanku.

Kami berdua akan bahagia tinggal di sana.

Dia akan jadi ayah yang hebat dan aku ibu yang baik.

Laki-laki itu pasti datang, laki-laki yang selalu kuimpikan.

Dia menyerupai Mas Janges.

Siang itu, untuk pertama kalinya Tiwi berani bertanya pada diri sendiri. Apakah aku mencintai Mas Janges sejak kanak-kanak, tanpa kusadari? Tiwi mulai membongkar, memunguti, dan memilah satu demi satu memori yang sudah lama tertimbun di benaknya. Sisi lain kebenaran sering kali memang membutuhkan waktu yang panjang untuk ditemukan.

Ia memejamkan mata. Aku akan membicarakan dengan Ray secara baik-baik. Itu rencana Tiwi.

Untuk mewakili keluarga Yan melamar Lintang, Ray akan meminta bantuan pamannya di Surabaya. Baskoro memberi tahu bahwa Ray tidak bisa melakukannya karena Ray adalah ayahnya.

Besok pagi Tiwi akan dijemput pulang. Tiwi membayangkan beberapa skenario dalam benaknya, sambil berkemas-kemas. Saking sibuknya, Tiwi tidak menyadari ada seseorang berdiri di belakangnya.

“Ya, ampun, kaget aku, Mas,” pekik Tiwi.

Janges merengkuhnya erat dalam pelukan. Dari Bandara Adisucipto, Janges rupanya langsung menuju rumah sakit.

“Duduk sini, Wi, aku mau cerita,“ kata Janges. “Aku kaget ketika Baskoro memberi tahu bahwa kamu sudah bertemu dengan Ray dan kalian akan menikah. Aku mengecek kebenaran identitas dirinya. Aku tidak mau kamu dan Lintang tertipu olehnya. Peristiwa 25 tahun lalu itu tidak mungkin kulupakan.“ Janges menarik napas berat .

Tiwi tampak tenang. Jangan-jangan Tiwi memang sudah membuat keputusan. Jadi, informasi apa pun yang kudapat tentang Ray tidak akan mengubah keputusannya, batin Janges, getir.

“Wi, bapaknya Lintang itu orang baik. Dia disegani teman-teman. Reputasinya tidak tercela,” kata Janges.

Tiwi menyadari sepenuhnya, Ray adalah pejuang yang bekerja total bagi masyarakat tertinggal. Jadi, Tiwi harus peka. Bila Ray menikah, pola hidupnya akan berubah. Ray mungkin akan mencari pekerjaan lain dan meninggalkan orang-orang yang sedang berjuang memperbaiki kemiskinan. Namun, Ray harus bertanggung jawab terhadap kesalahan masa lalu karena dia bukan pengecut. Caranya adalah dengan menikahi Tiwi. Pilihan sulit.

Menurut orang bijak, di dunia ini ada 3 jenis keserakahan. Keserakahan pada kekuasaan, harta, dan pengabdian. Ray masuk golongan ketiga. Orang seperti Ray sebaiknya tidak menikah. Karena, menikah akan membuat pengabdiannya tidak total. Perjuangannya bisa menyurut karena dipengaruhi keluarga. Tiwi tahu, Ray tidak akan membatalkan rencana pernikahannya. Berarti, Tiwi yang harus mengambil inisiatif.

”Nana, apakah keputusanmu itu sudah final?” tanya Ray, lirih.

”Ya,” sahut Tiwi, pendek.

“Kamu tidak memberi kesempatan padaku untuk membuktikan bahwa ki...,” kalimat Ray sudah dipotong Tiwi.

”Ray, saat ini aku bahagia sekali menemukanmu. Kamu tidak perlu membuktikan apa-apa lagi. Kita berdua tidak membutuhkannya. Aku lega, Lintang tidak kehilangan ayahnya, aku juga tidak kehilanganmu. Ray, mari kita jujur pada diri sendiri. Ray, percayalah, aku akan tetap membantumu sekuat tenagaku. Kamu tahu aku bersungguh-sungguh,” tambah Tiwi.
Dia ingat, Fritz menyimpan harapan besar untuk menyejahterakan masyarakatnya. Tatapan orang-orang Maluku Tenggara yang polos membuat Tiwi bertambah pedih. Ray adalah jembatan mereka, orang yang bersedia mengabdikan seluruh jiwa raganya untuk mereka. Tegakah Tiwi merebutnya, mengambilnya hanya untuk memenuhi egonya?

”Apakah kamu mencintai orang lain, Nana?” tanya Ray.

Tiwi tahu, Ray pasti akan menanyakan hal itu. ”Ya, Ray. Tapi, itu baru kusadari setelah pertemuan kita. Selama ini aku tidak goyah menjalani hidupku sendirian, menunggumu. Dan, dia memahami dan menghormati jalan yang kupilih. Orang itu Mas Janges, kakak Mas Bas. Tapi, Mas Janges belum mengetahui keputusanku ini,“ sahut Tiwi. Perasaan lega menyelimuti Tiwi.

“Wi, kamu masih mendengarkan aku?“ tanya Mas Janges, sambil memegang bahunya.

Tiwi kembali lagi ke alam nyata. “Ya, ya... kita akan menikah, Mas,” sahut Tiwi, gelagapan.

“Hus, yang mau menikah itu kamu dan Ray, Wi,” tukas Janges, sambil menepuk-nepuk pipi Tiwi.

“Tidak, yang mau menikah itu aku dan Mas Janges,” bantah Tiwi, sambil menatap mata Janges.

“Wi, kamu gendheng, edan, opo ngawur?” tanya Janges, bingung.

“Tidak, Mas. Aku sungguh-sungguh. Aku bersedia menjadi ibu untuk Angga,“ sahut Tiwi.

”Wi, Ray memberi tahu Baskoro akan menikahimu. Itu diucapkannya hari Sabtu. Ini hari Rabu dan kamu mengatakan akan menikah dengan aku. Mana yang benar? Apakah Ray telah membatalkannya?” tanya Janges.

“Tidak, Mas. Aku yang membatalkannya,” kata Tiwi.

”Kenapa? Kalian sudah menunggunya lebih dari 20 tahun. Kenapa batal?” desak Janges.

”Karena aku tidak mencintainya,” kata Tiwi.

“Tidak mungkin! Kamu tidak akan kuat bertahan selama itu kalau tidak didasari cinta,” bantah Janges.

“Ya, aku memang kuat karena cinta. Tapi, cinta pada bayang-bayang. Sesungguhnya, kami berdua telah terjebak oleh apa yang kami kira cinta. Kami terobsesi pada pertemuan romantis. Untung saja kami berdua sadar, tujuan kami hanya sampai pertemuan itu saja. Obsesi kami adalah membuktikan bahwa kami bukan orang yang ingkar janji. Kami orang yang konsisten dengan ikrar yang pernah kami ucapkan dulu. Justru setelah pertemuan itu, aku sadar bahwa aku mencintai Mas Janges,” kata Tiwi, mengakhiri kalimatnya.

Janges menatap Tiwi dalam-dalam. Mata elangnya dipenuhi cinta. Mata yang selalu menawarkan seluruh hatinya sebagai tempat berlabuh. Tiba-tiba Tiwi dicekam ketakutan hidup sendirian. Ia memerlukan orang di sisinya, yang dapat dicintai dan dihormatinya. Dia lelah mengatur segalanya sendirian. Ia ingin menyerahkan segalanya kepada seseorang.

Tiwi yakin, orang inilah yang sengaja dikirim Tuhan padanya. Janges tahu, Tiwi tidak akan membuat keputusan bulat dan ikhlas sebelum bertemu Ray. Tuhan memang punya cara yang unik untuk menyatukan cinta manusia atau memisahkannya. Hidup memang selalu penuh warna dan dinamika.

“Jadi, tidak akan ada dua pelaminan. Aku dan kamu akan menikah di rumah Ibu,” bisik Janges, sambil merengkuh Tiwi ke dalam pelukannya.

No comments: