12.22.2010

Hitam Merah Cinta

ANITA
Bekerja sebagai kepala bagian personalia di perusahaan minyak asing, Anita punya kesempatan bertemu banyak ekspatriat. Meski sebelumnya ia tak pernah berminat ikut ‘berburu’ pria asing, suatu saat ia tersadar bahwa pepatah Jawa ‘witing tresno jalaran soko kulino’ ternyata benar adanya.

Dibesarkan di lingkungan keluarga besar dengan tujuh saudara, kedua orang tuanya mungkin sulit membagi kasih dengan adil, sehingga akhirnya perhatian dan kasih sayang mereka hanya tercurah pada adik bungsunya. Lagi pula, keluarga Anita sering berpindah kota, karena ayahnya seorang pegawai BUMN yang sering dipindah-tugaskan.

Anita bertubuh mungil. Rambutnya ikal sebahu. Pekerja keras dan mempunyai kasih yang tak ada habisnya di hatinya. Anita bersedia mengulurkan tangan, tanpa pamrih. Temannya tak terhitung. Tapi, dalam cinta, ia tak seberuntung wanita lain. Menjelang tiga puluh lima, Anita sudah tiga kali jatuh cinta pada pria yang keliru. Semua pria yang dicintainya, hanya memanfaatkannya, lalu menikah dengan wanita lain.

Saat inilah ia sekarang, hidup bersama, berbagi hari dengan kekasihnya seorang berkebangsaan Inggris. Hidupnya terasa lengkap. Hampir lengkap, hanya kurang status sebagai istri dan ibu.

Duncan berusia 50 tahun. Istrinya tinggal di London, bersama kedua anaknya yang telah menikah dan cucunya. Ia pendiam dan kaku. Tubuhnya gempal dan rambut mulai menipis, jauh dari kesatria berbaju zirah impian Anita semasa remaja. Ketika pertama kali bertemu, Anita bahkan tak pernah berpikir akan jatuh cinta padanya. Ia tahu Duncan sudah berkeluarga. Ia pun tak pernah mengincar pria asing. Tapi, nasib bicara lain.

Hari itu hujan lebat turun di Jakarta. Deras sekali, seolah langit sedang kebanjiran. Seperti biasanya, curahan air sebesar itu akan membuat Jakarta macet. Anita berpikir menunggu sampai agak larut di kantor, daripada menambah panjang deretan mobil. Duncan bolak-balik di depan ruangannya, sesekali melongok ke dalam. Kelihatan sekali bahwa ia gelisah.

Anita sadar, sudah beberapa bulan ini Duncan lebih sering menyapanya, bahkan sering menatapnya diam-diam. Anita tahu, tapi tak berani terlalu bereaksi. Ia sadar, membalas perhatian pria itu, berarti mengundang sejuta masalah. Tapi, Anita juga sadar, degup jantungnya lebih kencang jika mereka berpapasan. Anita sangat sadar, aliran kimia di darahnya kian ditahan malah kian menggelegak. Dan, ia yakin telah jatuh cinta. Pada orang yang salah….

Malam ini, nyata sekali Duncan sengaja menunggunya. Kantor sangat sepi. Seluruh rekan kerjanya sudah lama bergabung di kemacetan kota. Anita mulai ketakutan. Takut akan perasaannya sendiri. Takut ia tak bisa menahan gejolak yang selama ini ditahannya.

Tiba-tiba Duncan sudah berdiri di depan mejanya. Anita kaget setengah mati dan jeritan kecil keluar dari mulutnya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Duncan, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

“Ya. Hanya, saya pikir, kamu sudah pulang,” kata Anita.

“Tadinya begitu. Tapi, hujan sederas ini pasti Jakarta macet. Ini sudah malam sekali. Kamu tidak takut pulang sendiri?”

“Sudah biasa,” jawab Anita, sambil tersenyum, menutupi debar jantung yang rasanya hendak mendobrak dada. Ia mendongak. Mata mereka beradu.

Duncan tersenyum. “Ayo, saya temani pulang. Kalau masih macet, kita bisa mampir makan malam.”

Anita mengangguk dan mulai berbenah.

Jalan setapak berkerikil menuju rumah kontrakan Anita terasa licin karena basah. Anita gugup, karena terlalu keras berusaha menahan diri. Ia tergelincir. Duncan memeluknya. Di sanalah mereka, tengah malam di bawah langit Jakarta yang masih gerimis, berpelukan lama sekali, tak ada yang berinisiatif melepaskannya lebih dahulu.
Keesokan harinya dan hari berikutnya lagi, terus dan terus, mereka berusaha mencari peluang bersama, tersembunyi dari mata rekan kerja.

Saat Anita berulang tahun, Duncan menyentuhnya pertama kali. Anita sebenarnya konservatif, tapi tak bisa teguh lagi memegang keyakinannya. Meleleh oleh keinginan akan kedekatan yang lebih, Anita menyerah. Mereka menghabiskan hari-hari bersama di Bali.

Mereka berhasil merahasiakan hubungan terlarang itu dari semua mata. Tapi, Anita tidak sanggup jika tidak membagi hitam merah cintanya dengan ketiga sahabatnya Saras, Fiona, dan Dara. Hanya mereka temannya berbagi, meskipun sekarang mereka terpencar di belahan lain dunia. Hanya ia dan Dara yang masih sama-sama di Jakarta.

Asa yang ada kian menyesakkan. Anita tak mau lagi berbagi. Ia ingin memiliki Duncan, seutuhnya, hanya untuk dirinya. Cintanya sekali ini ternyata lebih keliru dibanding cintanya yang lalu-lalu. Cintanya sekali ini telah membutakan mata dan hatinya….

SARAS
Ketika memutuskan nekat pergi ke negeri orang, Saras tidak pernah berpikir hidupnya akan terasa sesempurna ini. Suaminya pria Belanda tampan yang dicintainya setengah mati, yang dikejarnya hampir separuh bumi, dan akhirnya jatuh ke pelukannya, jadi miliknya selamanya.

Tidak seperti ketiga sahabatnya yang lain, pria Indonesia tak pernah memasuki hatinya, seindah apa pun paras pria itu. Tapi, dengan mudah ia terjerat pada lelaki asing, bagai besi menempel di magnet. Meskipun, penampilan pria asing itu biasa-biasa saja.

Saras berkulit sawo matang . Rambut ikalnya tergerai melewati bahu, yang tetap dipertahankan berwarna hitam, meskipun seluruh dunia, pria dan wanita, ramai-ramai mengubah warna rambutnya. Ia dibesarkan di keluarga Jawa, yang berpegang teguh pada adat. Hampir semua kerabat dari garis ayahnya menjadi perwira militer. Karena itu, kenekatannya berjuang mendapatkan cinta pria asing adalah perjalanan panjang yang melelahkan.

Hampir dipastikan, Saras berangkat ke Belanda setiap tahun. Di sana ada Bibi Tutik, adik ibunya, dan suaminya, Oom Denis, yang tidak dikaruniai anak, sehingga Saras dilimpahi kasih sayang lebih daripada anak sendiri.
Sudah kesekian kalinya Saras berkunjung ke Belanda, ketika ia bertemu seorang nenek di kereta dari Leiden menuju Amsterdam. Entah karena sangat terkesan oleh pembicaraan mereka, entah nenek itu berperan sebagai tenaga pemasaran bagi cucunya, ia menunjukkan foto pria berparas elok pada Saras. Katanya, pria itu adalah cucunya yang sedang mencari jodoh.

Pria di foto itu tinggi dan langsing. Rambut dan matanya abu-abu. Konon, usianya 41 tahun. Usia sempurna, menurut Saras. Saras, dengan jiwa petualangan dan minatnya pada pria berambut tidak hitam, berjanji pada nenek itu akan menelepon cucunya. Dan, janji Saras bukan cuma basa basi.

Ia menelepon pria itu keesokan harinya. Nama lelaki itu Bart. Rupanya, sang nenek juga telah memberi tahu Bart, karena ia tidak terkejut menerima telepon Saras. Mereka berjanji bertemu di akhir minggu, hanya untuk minum kopi. Awal yang bagus.

Ketika mereka bertemu, Saras agak kecewa. Karena, kata awal pria itu adalah no commitment. Bart selalu berjalan sendiri di depan, meninggalkannya beberapa langkah di belakang. Saras agak tersinggung, karena Bart seolah tak mau terlihat berjalan bersamanya. Dipanggilnya pria itu dengan enggan.

“Hei, kamu sedang berjalan bersama seseorang.”

Bart menoleh, tersenyum malu-malu. Saras terkesima, senyumnya polos sekali. Saras merasa sudah jatuh cinta padanya. Lalu, Bart menunggunya dan berusaha berjalan dengan langkah lebih kecil, supaya mereka berdampingan. Mereka berjalan menuju barat, saat matahari sedang tenggelam, meninggalkan warna jingga di sepanjang garis langit. Saras ingin menangis. Baginya, saat itu romantis sekali.

Dua minggu liburannya, diperpanjangnya menjadi satu bulan penuh. Saras menelepon perusahaannya untuk mengambil habis cutinya tahun itu, ditambah utang cuti tahun depan. Waktunya terlalu berharga di sini. Saras tak mau kehilangan kesempatan untuk dekat dengan Bart.

Bart seorang pencinta seni. Profesinya adalah arsitek. Waktu satu bulan itu dipenuhi dengan acara ngobrol dan jalan-jalan sore di hampir setiap akhir pekan. Bart memang menawan. Bahkan, sewaktu Bart menjemputnya di rumah, paman dan bibinya langsung jatuh cinta juga padanya. Bart pandai membawa diri. Saras yakin, kali ini kisah cintanya akan berjalan mulus.

FIONA
Hidup di ujung selatan bumi, terasa damai bagi Fiona. Semua bermula dari keputusasaan saat sang ayah mendadak meninggalkannya selamanya. Kenangan akan kedekatannya dengan sang ayah membuatnya tak mampu menahan kepedihan. Ia berpikir, ia tak bisa membuat bangga siapa pun lagi, karena ayah yang sangat mencintai dan selalu mendorongnya telah tiada. Lalu, Fiona merantau ke negara paling selatan di bola dunia.

Fiona berpostur tinggi, tertinggi di antara keempat sahabat itu, berkaca mata minus, tipe kutu buku sejati. Orang akan tertipu sebelum bicara dengannya, karena sesungguhnya ia sangat supel dan suka mengumpulkan teman, mengelompokkannya menurut minat, dan sering mengatur pertemuan dengan kelompok itu. Banyak yang akhirnya bertemu jodoh dari pertemuan-pertemuan yang diaturnya. Fiona senang membuat orang-orang bahagia.

Kakak-kakaknya menikah dengan beragam suku. Hanya Fiona yang belum menikah, meski temannya ada di setiap belokan jalan. Fiona keturunan Cina, tetapi ayahnya sangat moderat, tak pernah mempermasalahkan perbedaan ras dan agama, bahkan aktif di organisasi pembauran. Fiona tidak dekat dengan ibunya, melainkan dengan sang ayah. Mereka biasa mengobrol lama dari hati ke hati tentang berbagai topik.

Ketika Fiona pertama kali masuk sekolah, ayahnya yang mengantar dan menungguinya. Ayahnya punya toko hasil bumi. Setiap pukul lima sore Fiona menunggui ayahnya pulang di halaman rumah. Ketika ayahnya muncul di ujung gang, ia berlari menuju ayahnya, kemudian ayahnya akan memanggulnya di bahu. Jika kiriman hasil bumi sedang datang dari para petani daerah, ayahnya pulang terlambat. Fiona terkadang ketiduran di ruang tamu, dan ayahnya akan menggendongnya, memindahkannya ke kamar tidur. Esok harinya Fiona mendapati oleh-oleh. Entah boneka, sekotak cokelat, atau jalan-jalan berdua untuk minum es krim. Atau, ayahnya akan menceritakan dongeng tentang peri baik hati sampai ia tertidur.

Dalam hati Fiona berpikir, tak ada peri baik hati. Yang ada hanya ayah baik hati.

Operator menyampaikan telepon untuknya. Fiona lang­sung mengenali suara kakaknya yang sengau. Ayahnya meninggal! Bagaimana mungkin? Ayahnya tak pernah mengidap sakit apa pun. Tadi malam mereka masih ngobrol sampai larut, sampai Fiona memutuskan tidur di sofa ruang tamu karena malas pindah ke kamar tidur. Ayahnya juga memutuskan menemaninya, dan tidur di karpet. Tadi pagi waktu berangkat kerja, Fiona melihat ayahnya masih bernapas tenang.

Fiona limbung. Ia hampir tak bisa bicara sewaktu minta izin pulang. Suaranya basah bercampur tangis. Fiona serasa melangkah di awan. Bahkan, saat kehilangan Dino, tunangannya dulu, ia tak merasa sekosong ini. Yona masih membutuhkan Papi. Yona sudah berjanji akan membuat Papi bangga. Tapi, kenapa Papi meninggalkan Yona, sebelum Yona sempat mewujudkannya?

Fiona meratap dan pingsan berkali-kali. Bahkan, saat tanah ditaburkan di makam ayahnya, ia harus dipegangi erat-erat. Keluarganya takut ia akan ikut melompat ke liang kubur. Saat saudaranya mengundangnya ke Auckland untuk menenangkan diri, Fiona malah tak ingin kembali ke Jakarta.

Saat ini ia tak tahu apa yang diinginkannya. Ia hanya tahu, tak akan ada yang melindunginya lagi, tak akan ada yang memberinya senyum kebanggaan. Ia tak tahu, apa yang akan dibuktikannya atau ingin dicapainya. Bahkan, ia tak ingin lagi bersama teman-temannya, tempat ia biasa berbagi kebahagiaan.

DARA
Sebagai pengacara sebuah perusahaan multinasional di Jakarta, Dara paling sukses di antara mereka berempat. Semua orang memandang iri hidupnya yang lengkap. Tubuhnya yang langsing selalu dibalut pakaian keluaran butik ternama. Mobil mewah dan apartemen pribadi sudah dimilikinya, rupiah menumpuk di rekeningnya, separuh dunia sudah dikunjunginya.

Dara berkulit putih bersih, berwajah oriental dengan kecantikan yang dingin. Dara skeptis terhadap perkawinan, dan memandang negatif segala bentuk hubungan romantis. Dengan jabatan dan mobilitasnya yang tinggi, namanya seolah menunjukkan siapa dirinya. Ia hampir tak pernah punya waktu untuk sekadar berleha-leha, kecuali saat tidur malam hari, yang maksimal hanya empat jam. Dara tak pernah tidur sebelum pukul satu malam, dan sudah terbangun pukul lima pagi. Waktunya hanya untuk mencari uang.

Tiga belas tahun lalu, Dara hampir menikah dengan Ivan, yang tanpa putus asa mengejarnya. Saat itu Dara masih gadis sederhana. Ia sulit jatuh cinta. Tapi, perhatian Ivan melumerkan hatinya.

Mereka sudah menabung bersama dan rajin mengunjungi pameran perumahan. Sebetulnya, ibu Dara kurang setuju. Sebagai anak gadis satu-satunya, cantik dan pintar, ibunya ingin Dara mendapatkan seorang pengusaha kaya, bukan karyawan bank seperti Ivan. Kendaraannya pun hanya motor tua. Bagaimana Dara akan menopang hidup orang tuanya, jika untuk mereka berdua saja masih harus berjuang?

Dara dilahirkan di sebuah kota kecil dalam keluarga sederhana. Ayahnya terus berganti pekerjaan, ibunya menerima jahitan di rumah. Biaya hidup sehari-hari lebih banyak ditopang oleh ibunya. Seharusnya, mereka bisa hidup berkecukupan. Sayang, ibunya suka berjudi, terpesona pada impian untuk kaya mendadak, sehingga sering meninggalkan langganannya menunggu.

Hanya, ayahnya mendorongnya tetap sekolah, sesulit apa pun keuangan mereka. Bahkan, ayahnya sering membuainya dalam mimpi, ”Kalau bisa terus jadi juara kelas, Ayah akan kirim Dara sekolah di luar negeri.” Sayang, itu hanya fatamorgana. Ayah-ibunya tak mampu mengirim Dara ke luar negeri. Tapi, Dara berhasil masuk universitas negeri.

Pernikahannya dengan Ivan tinggal satu bulan lagi. Semua sudah diatur matang. Tak akan ada pesta besar, hanya pemberkatan di gereja. Yang diundang hanya kerabat dekat dan sahabat.

Dara teringat saat pertama bertemu Ivan, mereka berbagi meja di kantin kantor. Mereka bekerja di gedung yang sama. Dara baru bekerja satu minggu. Saras adalah penyelianya saat itu. Saras pula yang memperkenalkannya kelak dengan Anita dan Fiona.

Hari itu mereka makan siang bersama. Kantin penuh sekali. Semua orang berbagi meja. Dara dan Saras berbagi meja bersama dua pria menarik. Saras kenal dengan keduanya. Pria pertama bernama Herman. Sudah ada cincin melingkar di jari manisnya. Katanya, ia pengantin baru. Pria yang lain, Ivan, baru putus cinta. Ivan punya senyum seperti anak- anak, tampan, dan lucu.

Ivan meminta nomor teleponnya hari itu. Esok harinya, dan berhari-hari kemudian, tidak kurang dari tiga kali sehari Ivan meneleponnya. Semua orang di divisinya heran, karena tiba-tiba Dara sering mendapat telepon misterius.

Tak dinyana, rahasianya dibocorkan dari Pak Imran, cleaning service. Ivan memang sering menitipkan sarapan lewat Pak Imran. Hebohlah seluruh gedung, karena anak baru berhasil menggaet hati Ivan. Tapi, Dara tidak langsung terpikat pada Ivan. Ia sadar, pria yang baru putus cinta, rawan sekali terhadap hubungan baru. Namun, pria itu terang-terangan mendekatinya.

“Namanya juga usaha, ya, harus tekun dijalani, kata Ivan.

“Tergantung, usahanya akan menghasilkan laba atau tidak,” jawab Dara.

“Laba atau rugi, yang penting diimani dengan hati.”

Kali lain... “Saya kangen. Saya ingin mendengar suaramu,” kata Ivan.

“Seusia kamu sudah tak pantas bergombal-gombal,” jawab Dara.

Kemudian... “Kamu dingin sekali. Saya punya api besar yang bisa membuang kedinginan itu,” kata Ivan.

“Api yang terlalu besar berkobar di awal, akan mudah padam.”

“Api saya abadi, akan berkobar dan membesar terus.”

Begitulah, Dara tidak pernah menang beradu argumen dengan Ivan.

Suatu kali, yang diantarkan Pak Imran bukan sarapan. Bungkusannya berbentuk kotak. Ketika Dara membukanya, isinya sebuah kaset dan buku harian. Rupanya, Question, lagu kesukaannya, diaransemen ulang oleh Ivan. Di situ ada catatan kecil: ”Sementara ini saya hanya bisa merekamnya. Tapi, kalau kamu bersedia, saya akan memainkannya live di hari pernikahan kita.”Dara membuka buku harian itu. Ternyata, tidak kosong. Halaman-halamannya sudah terisi ribuan kata. Dilihatnya tanggal pada halaman pertama, itu hari pertama mereka bertemu. Rangkaian katanya sangat manis, dan lucu, khas Ivan. Hati Dara mencair, seperti mentega ditaruh di bara api….

Hari perkawinannya tinggal tiga hari lagi. Dara sangat bahagia, sehingga melupakan gelisahnya. Sudah satu minggu Ivan tak bisa dihubungi. Tapi, bukankah itu bagus, karena calon pengantin tak boleh berkomunikasi, apalagi bertemu. Itu akan mengundang bad luck.

Sore hari itu juga, Dara heran ketika tiba-tiba paman Ivan datang dengan wajah pucat. Ia membawa kabar yang meruntuhkan dunia Dara. Ivan menghilang! Sudah satu minggu ia terlihat gelisah. Pagi ini ada telegram, mengatakan, ia pergi ke Kanada, bersama kekasih yang dulu diakuinya sudah putus. Mereka menikah di sana.

Tak ada penjelasan apa pun. Tak ada permintaan maaf. Tak sepatah kata untuk Dara, yang berdiri mematung bagai buta dan tuli. Esok harinya Dara mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. Tak sanggup menerima perubahan tatapan orang-orang, yang semula iri jadi kasihan dan cemooh. Saras mencoba membesarkan hatinya, tapi Dara tak bisa dibujuk. Dara tidak menangis, tapi tak henti-henti bertanya pada dirinya. Ibunya terus menyalahkannya dan mengatakannya telah salah pilih.

Itulah titik balik hidupnya. Hatinya dipenuhi kepahitan. Ia hijrah ke Surabaya, membentengi dan mengunci pintu hatinya rapat-rapat. Tak seorang pun akan diizinkannya melukai hatinya lagi, bahkan tidak untuk sekadar mendekat. Jika terjadi lagi, Dara tak akan sanggup menanggungnya. Sekarang, hidupnya harus menjadi baik, ia harus berhasil. Sekarang, waktunya hanya untuk bekerja.

Suatu saat, menjelang perjalanannya ke luar negeri yang kesekian kali, Dara bertemu Ivan di bandara. Dara ingin berlalu, tapi Ivan menghampirinya. Istrinya memandangi dari jauh, sambil menggendong seorang gadis kecil.

“Saya hampir tidak mengenalmu. Kamu sukses sekali, ya?”

Dara hanya tersenyum tipis.

“Kamu sudah menikah?” kata Ivan, sambil melirik jemarinya yang masih kosong, kemudian melanjutkan, “Saya harap bukan karena saya.”

Dara meradang, berpikir untuk menyakiti Ivan dengan kata-kata paling kejam yang bisa dipikirkannya. “Tentu saja, karena kamu. Karena kamu meninggalkan saya di altar, saya bisa begini. Saya rasa, saya harus berterima kasih. Jika saya menikah denganmu, saya pasti tidak sesukses ini dan hanya akan jadi ibu rumah tangga, pengasuh anak, seperti istrimu di sana.”

Ivan pucat. “Kamu boleh marah, saya tidak tahu harus bilang apa.”

Dara memandangnya, dengan sorot terdingin. Mintalah maaf, batinnya.

“Tidak usah bilang apa-apa, saya bersyukur kita tidak menikah. Maaf, saya harus check in,” katanya, ketus.

Dara melangkah, meninggalkan Ivan yang terpaku. Merasa heran mengapa dulu ia terlena akan cinta lelaki itu, hanya karena sebuah buku harian dan aransemen lagu! Betapa dangkal cintanya. Tapi, Dara juga marah pada dirinya sendiri. Menyesali mengapa ia harus menyerang Ivan? Jika Ivan sangat tidak berarti, seharusnya ia bersikap elegan. Sekarang Ivan tahu ia sangat sakit hati, dan pasti Ivan juga tahu sakit hatinya. Karena, ia masih belum, tak bisa, tak kan pernah bisa, memaafkannya, melupakannya.

Itulah yang pertama dan terakhir kali Dara melihatnya, sejak Ivan menghancurkan mimpi-mimpinya tanpa ampun. Semoga tidak ada pertemuan kebetulan lagi. Ia tak mau mempermalukan dirinya dua kali.

ANITA
“Nanti malam aku harus antar Mama arisan. Padahal, langit semendung ini, aku takut akan turun hujan lebat,” Andy mengeluh.

“Pakailah mobilku,” Anita menyerahkan kuncinya.

Anita masih duduk di kelas dua SMA. Andy kakak kelasnya. Orang tua mereka bersahabat dan mendukung hubungan mereka.

Jika Andy kehabisan uang. Anita dengan senang hati meminjamkan uangnya, meskipun Andy tak pernah melunasinya. Anita juga lebih sering membayarinya jajan ketimbang Andy yang mentraktirnya. Tapi, Anita tidak keberatan, ia senang menghabiskan waktu bersama Andy.

Lulus SMA, Andy mendapat beasiswa untuk kuliah di Australia. Anita sempat berencana untuk menyusulnya tahun depan. Tapi, Andy berjanji akan rajin menulis surat, Anita tak perlu takut terlupakan. Ketika Andy direpotkan oleh segala birokrasi, Anita yang mengantarnya ke mana-mana, sering pula Anita merelakan Andy menggunakan mobilnya dan Anita mengalah naik kendaraan umum. ”Andy lebih butuh, supaya praktis,” begitu jawabnya, ketika teman-temannya memandang dengan heran melihatnya naik becak.

Sudah tiga bulan Andy di Australia. Suratnya selalu datang dua minggu sekali. Anita senang, Andy tidak melupakannya. Setahun kemudian, Anita berhasil masuk fakultas psikologi di sebuah universitas swasta di Bandung, di sanalah ia bertemu Saras pertama kali, di ruang klinik kampus karena sama-sama pingsan saat orientasi.

Sudah satu tahun Andy di Australia. Tahun ini ia belum bisa pulang. Katanya, ia harus menghemat. Rentang waktu suratnya sudah lebih panjang. Katanya, ia harus menyesuaikan diri, banyak yang harus dikejarnya, supaya tidak drop out. Anita mengerti, bagaimana mungkin ia tidak mendukungnya.

Tahun kedua. Surat Andy berhenti sama sekali. Anita masih menulisinya surat, bertanya-tanya, barangkali Andy sakit atau terkena masalah. Suratnya tidak dikembalikan, tapi juga tak ada balasan. Anita mulai gelisah.

Ketika Anita pulang ke Pekanbaru saat liburan semester tiba, ia berkunjung ke rumah Andy. Ibu Andy terkejut melihatnya. Lalu, ibu Andy menangis. Anita heran, dan merasa jantungnya sudah jatuh ke perut, takut kalau-kalau Andy sudah meninggal dan tak ada yang berusaha memberi tahunya.

“Maafkan anak ibu, Nita. Kami tidak ingin kau sedih,” kata ibu Andy.

“Ada apa sebenarnya, Tante?”

“Ah, rupanya dia tak berani memberi tahumu. Andy drop out dari kuliahnya. Ia harus bekerja di Australia sekarang,” lanjut ibunya.

“Kenapa?” Anita tergagap, berdiri menegang, “Andy dapat beasiswa, ia pandai, tidak mungkin….”

“Andy,” ibunya menelan ludah, “menghamili pacarnya. Ia harus mencari uang untuk biaya persalinan.”

“Pacar? Pacar yang mana?” Andy mengkhianatinya?

“Ia bilang kau cuma adik baginya. Aku beberapa kali melihatnya membawa gadis lain, pakai mobilmu, Nita,” sambung Rima, adik Andy, sambil memandang takut-takut. “Yang hamil gadis itu. Ia menyusul Andy ke sana.”
Itulah kekeliruannya mencintai pria yang salah, yang pertama.

SARAS
JANSSEN SEORANG PEMUDA BELANDA polos dan pendiam. Ia masih tinggal dengan ibunya, matanya biru, rambutnya pirang. Ia tak banyak bicara, kecuali jika sedang mengobrol dengan Saras. Jan bukan pria terpelajar, ia bekerja di sebuah toko roti. Tapi, Saras mencintainya justru karena kesederhanaannya.

Jan sudah pernah berkunjung ke Indonesia. Bapaknya berkomentar, Jan terlalu naif dan tak bisa mengambil hati orang tua. Tapi, Saras sangat menyayangi Jan dan hubungan mereka serius. Buktinya, dengan jarak sejauh itu jalinan cinta mereka bertahan tiga tahun, sehingga bapaknya hanya pasrah.

Saras sudah siap menikah. Kedua adiknya laki-laki dan sudah lebih dahulu naik pelaminan. Tentu saja ibunya sangat khawatir. Sebagai keluarga Jawa, ibunya pantang betul merelakan anak perempuan tertua dan satu-satunya itu dilangkahi adiknya. Bahkan, ketika adik bungsunya menikah tahun lalu, ibunya nelangsa sekali.

Om Denis di Belanda malah sangat antipati pada Jan. Menurutnya, keponakan tercintanya itu layak mendapatkan seseorang yang lebih baik. Saras berusaha memenangkan hati pamannya. Setiap habis bertemu Jan, Saras selalu membawa oleh-oleh dan mengaku Jan yang membelinya. Tapi, hati pamannya seolah membatu. Jan makin gemetar setiap kali datang menjemput Saras.

Saras mengalah. Mereka bertemu di luar atau Saras datang ke rumah Jan. Ibu Jan sayang sekali padanya dan sudah sering membicarakan bagaimana rumah tangga mereka kelak. Saras sedih, karena banyak sekali jurang yang harus dilompatinya. Tapi, Saras tidak tega membuat wanita separuh baya berhati malaikat itu kecewa.

Suatu sore di musim gugur, mereka baru bertemu diam-diam seperti biasa. Jan mengantarkannya sampai di depan pintu, ketika tiba-tiba hujan turun, lebat sekali. Saras meminta Jan masuk, sambil menunggu hujan reda. Om Denis dan Bibi Tutik sedang menonton televisi di ruang tamu.

“Om, saya minta Jan menunggu di dalam sampai hujan reda.”

Om Denis tidak menjawab, menoleh pun tidak. Saras mempersilakan Jan duduk di ruang tamu, sementara ia menyiapkan teh panas. Ketika Saras kembali, Jan hanya sendiri di ruang tamu. Om dan bibinya sudah menghilang ke dalam kamar, meninggalkan Jan termangu-mangu. Hati Saras bagai diiris, pria terkasihnya dilecehkan sedemikian rupa. Tapi, Jan tersenyum dan tidak mengeluhkan apa-apa.

Hujan tidak mereda, malah makin menggila, sementara malam mulai merangkak naik. Jan gelisah. Ketika Om Denis muncul, Saras mendengar om-nya mengatakan kalimat yang tidak pernah dikira akan didengarnya.

“Sudah selarut ini, apa ia mau menginap?”

Kata-kata itu membuat Jan segera beranjak dari rumah itu.

“Bagaimana mungkin Om tega bicara seperti itu?!” Saras menyambar mantel dan berlari menyusul Jan.

Jan tidak terlihat, cepat sekali ia berjalan. Saras terseok-seok di malam yang pekat, curahan air mengaburkan pandangannya. Lampu jalan sangat temaram. Saras memandang ke seluruh sudut. Jan tidak ada. Jan pasti belum jauh, mungkin ia berteduh di suatu tempat.

Saras berjalan tanpa arah. Tiba-tiba ia melihat sosok Jan di bangku taman. Saras menghampirinya, memeluknya. Jan memeluknya, erat sekali, tapi tidak berkata apa-apa. Saras memandangnya, dan melihat mata Jan memerah. Meskipun gelap dan hujan deras, Saras tahu ada air mata yang mengalir dari kedua mata Jan.

“Maafkan saya, Jan, maafkan keluarga saya,” bisiknya.

Jan tidak berkata-kata, hanya mengelus rambut Saras perlahan. Mereka naik tram ke Centraal Stasion, kemudian naik kereta, pulang ke rumah Jan di Rotterdam. Sepanjang perjalanan mereka membisu, kedua tangan mereka bertautan. Saras masih terisak, ia tahu tak akan ada yang bisa mengobati luka hati Jan. Harga dirinya sudah dilumat habis. Malam itu Saras menginap di rumah Jan. Ini pertama kalinya Saras melanggar adat, menginap di rumah seorang pria yang belum menjadi suaminya. Jan pria sopan, selama ini ia tak pernah berusaha menjamahnya. Malam ini apa pun bisa terjadi, Saras sudah pasrah, tapi Jan tetap tidak berusaha mengambil keuntungan darinya.

Ketika esok paginya Saras kembali ke rumah, Saras langsung masuk ke kamarnya, membanting pintu dan menguncinya. Saras mogok bicara dan mogok makan. Om Denis membujuknya setiap hari dari balik pintu.

Saras tidak mendengarkan sepatah pun yang dikatakan pamannya. Ia berpikir. Aku tidak bisa membiarkan Jan disakiti lagi. Memaksanya bersamaku akan membuatnya menderita. Aku tidak boleh egois. Jan berhak bahagia.

Kemudian, ditulisnya surat untuk Jan.

Jan terkasih,
Waktu yang kita lewati bersama selama ini indah sekali. Aku menyayangimu sebagaimana adanya. Kamu hal terbaik yang pernah hadir dalam hidupku. Tanpamu, hidupku tidak akan pernah lengkap. Tapi… jika aku terus mengikatmu untuk terus bersamaku, aku sangat egois, karena tidak memikirkan dirimu. Aku tidak ingin kamu disakiti, karena kamu tidak pernah menyakiti siapa-siapa. Kamu harus bahagia. Betapapun aku tidak suka membayangkanmu bahagia bersama orang lain, aku harus melepaskanmu. Tapi, kamu tahu Jan, di sudut hatiku, kamu akan selalu ada di sana, selalu….

Surat itu penuh noda air mata. Tapi, Saras sudah membulatkan hati. Kemudian ia keluar kamar, turun dari loteng, dan menemui paman dan bibinya.

“Aku mau bicara. Tolong, sebelum aku selesai, jangan disela.”

Om Denis mengangguk. Bibi Tutik memandanginya dengan terkejut. Tidak biasanya Saras bicara sekeras itu. Saras selalu manut.

“Betulkah kalian menyayangi aku? Kalau itu bentuk kasih sayang kalian, aku tidak berterima kasih karenanya. Usiaku sudah 30 tahun, tapi kalian memperlakukan aku seperti anak kecil. Aku kecewa, karena tidak diizinkan memilih kebahagiaanku sendiri. Kalian sudah menghancurkan harga diri seseorang, hanya karena ia menyayangi aku. Mulai sekarang, aku bukan lagi Saras yang penurut, aku akan menentukan hidupku sendiri. Terserah kalian setuju atau tidak, aku hanya akan bertanggung jawab dan membuktikan bahwa pilihanku tidak keliru.”

“Maksudmu, kamu akan tetap menikah dengan Jan?”

Saras menatap pamannya.

“Aku sudah melepaskannya. Hatinya terlalu disakiti. Itu kan yang Om mau? Om sudah senang?”

FIONA
Usianya delapan belas, baru masuk Jurusan Sastra Inggris. Fiona sangat aktif dan suka berorganisasi, ia langsung bergabung di senat, kelompok drama, dan klub pencinta alam. Dino dikenalnya saat bersama naik gunung. Cinta mereka tumbuh karena kesamaan minat dan hobi.
Kedekatan mereka membahayakan. Tali pertunangan itu menyesatkan. Fiona kelimpungan saat mendapati dirinya hamil. Tak mungkin ia putus kuliah, dan menjadi ibu di usia semuda ini. Ia belum siap. Meskipun, ia merasa sudah sangat siap menjadi Nyonya Dino.
Ia mendatangi ayahnya dengan muka pucat pada suatu malam.
“Papi… Yona mau bicara.”
“Kenapa, Sayang? Mukamu pucat sekali, kemarilah.”
“Papi… Yona… Yona terlambat… terlambat mens bulan ini.”
Ayahnya mendongakkan kepala, tapi berusaha menghilangkan ekspresi terkejut di wajahnya. Itulah ayahnya, selalu tenang di segala situasi.
“Terlambat adalah hal biasa,” katanya. “Terlambat berapa hari?”
“Emm… dua minggu,” Fiona menundukkan kepala.
“Kalau begitu, besok kita ke dokter.”
Fiona positif hamil.
“Yona sudah dewasa. Papi serahkan keputusan pada Yona sendiri. Yona mau cuti kuliah sampai bayinya lahir? Atau, Yona memikirkan keputusan lain? Atau, Yona perlu bicara dulu dengan Dino?”
Fiona tahu ia harus bertindak cepat, sebelum semuanya terlambat. Usia kandungannya sudah tujuh minggu.
“Yona yakin? Tidak akan menyesal?” tanya ayahnya.
Fiona mengangguk mantap. “Papi jangan bilang siapa-siapa, jangan bilang Mami, Dino juga. Yona takut mereka marah.”
Ayahnya memeluknya. Fiona tahu ayahnya akan memegang rahasianya. Ayahnya adalah pahlawannya. Ia yang mengantar ke dokter untuk menggugurkan kandungannya, menungguinya, dan tidak meninggalkannya sedetik pun, ketika Fiona menangis semalaman.
Tetapi, torehan pisau operasi itu menjadi terasa dalam sekali, ketika di suatu malam Fiona dikejutkan oleh dering telepon, mengabarkan Dino hilang di gunung. Dua malam sebelumnya, setelah wisuda kelulusannya, Dino berangkat naik gunung, meskipun diramalkan ada badai dan kabut tebal. Katanya, ia harus merayakan kelulusannya dengan satu kali lagi naik gunung, sebelum waktunya dipenuhi dengan jadwal pekerjaan.
Mimpinya untuk bersanding dengan Dino di pelaminan, mimpinya untuk membuai Dino-Dino kecil di pelukannya, pupus sudah. Fiona tak henti menyesali diri. Mengapa aku tidak punya fi rasat bayiku akan jadi peninggalan ayahnya? Kenangan yang akan tertinggal selamanya, bukti cinta kami berdua?
Dino ditemukan tiga hari kemudian. Tubuhnya membengkak karena air. Fiona merasa ikut mati. Di surga nanti, Dino akan bertemu anaknya, akan menyalahkanku karena tidak memberi mereka kesempatan bertemu di dunia.
Berkat ayahnya, Fiona tegar. Ia tidak membiarkan dirinya melamun. Dalam pertemuan antar senat fakultas, di suatu siang Fiona bertemu sahabat barunya, Anita dan Saras dari fakultas psikologi.

DARA
Dara baru saja tiba dari sekolah, ketika telinganya mendengar ibu dan ayahnya saling beradu kata. Karena sudah terbiasa, ia berlalu, menyimpan tasnya di kamar dan mengurung diri di sana. Dara masih kelas dua SMP. Ayahnya sangat suka mengatur, hidup Dara sangat disetir. Sebagai seorang pria yang merasa tidak mampu menguasai istrinya, ayahnya beralih mengatur hidupnya. Ibunya besar kepala, merasa sebagai pencari nafkah keluarganya, selalu mengatakan tidak pernah mencintai ayah Dara.

Kadang-kadang, Dara ingin kedua orang tuanya bercerai saja. Mana cinta yang katanya dasar untuk membangun rumah tangga. Dara tidak habis mengerti.

Masa kecil Dara tidak indah. Tak ada ingatan menyenangkan. Hampir setiap hari, di atas pukul satu siang, ibunya sudah menghilang, bergabung dengan teman-temannya untuk berjudi. Ibunya menguasai segala permainan judi. Ayahnya sering mengamuk, bahkan pernah mendobrak tempat ibunya berjudi, membalikkan mejanya. Tapi, judi sudah menjadi darah daging ibunya.

Ayahnya sering menjanjikan hal, yang pada akhirnya hanya khayalan, karena tak bisa memenuhinya. Ketika SD, Dara dijanjikan mendapat sepeda, jika ia bisa juara kelas. Saat Dara meraih prestasi itu, ayahnya belum punya uang. Begitu juga tahun-tahun selanjutnya. Sepeda itu kemudian hanya menjadi bunga mimpinya.

Masuk SMP, ayahnya berkata, “Kalau Dara tetap berprestasi baik, Ayah akan menabung supaya Dara bisa kuliah di luar negeri.”

Tapi, tabungan ayahnya tidak pernah cukup membiayainya kuliah ke luar negeri. Dara jadi kebal pada janji-janji ayahnya. Ia terus belajar dengan baik, hanya karena tak mau terjebak dalam kemiskinan selamanya.

Suara keributan itu belum juga reda. Kehidupan keras membuat kepala Dara membatu, tapi hatinya sebenarnya lembek seperti agar. Dara merindukan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya. Dara pernah terbangun di tengah malam, melihat ayahnya tertidur letih di sofa. Dara menangis melihatnya. Ayahnya bukan tidak pernah berusaha, tapi apa mau dikata jika nasib belum berpihak padanya? Meskipun mengatur hidupnya, Dara tahu, ayahnya selalu menginginkan yang terbaik.

Ayahnya yang mengajarkannya untuk suka membaca, ayahnya pernah berkata, “Ayah tidak bisa memberi harta, maka Ayah akan berusaha memberi ilmu, supaya kamu punya modal untuk mencari harta sendiri.” Dara tidak pernah membenci ayahnya, meskipun tertekan karena harus selalu berusaha mematuhinya. Maka, ketika ayahnya menolak keinginannya masuk sekolah pariwisata dan menyuruhnya masuk SMA, Dara menurut. Bude -nya yang kaya bersedia membantu biaya sekolahnya di Bandung.

Dara berpikir, kelak ingin kuliah hukum pidana. Ia terobsesi memberantas perjudian, ingin memenjara teman berjudi ibunya.

ANITA
Anita melirik jam tangannya lagi. Ini sudah yang ketiga kalinya.

“Kamu ada janji lain, Nit?” Dara bertanya.

Anita tergagap. “Oh, Duncan sebentar lagi pulang, persediaan makanan di rumah sudah habis, di kulkas cuma tinggal telur.”

“Dia kan bisa belanja sendiri. Lagi pula, siapa yang memenuhi kebutuhannya saat dia belum bersamamu? Dia sendiri, bukan?”

“Ya, tapi aku yang biasanya bertugas belanja.”

“Oke, kita pulang,” kata Dara, tersenyum, padahal hatinya jengkel setengah mati. Dara tidak tahu, Anita harus pulang, karena tadi Anita minta izin Duncan untuk bertemu Dara hanya dua jam. Jika Duncan pulang dan Anita belum kembali, Duncan akan marah.

Ini tahun ketiga mereka bersama, masa bulan madu sudah lewat. Semua bermula pada suatu hari di tahun lalu. Waktu itu malam Natal, Duncan sedang menghadiri makan malam di rumah koleganya, seorang diri. Anita tak bisa hadir di acara resmi seperti itu. Hubungan mereka tidak terbuka untuk umum.

Anita sedang menunggu Duncan, sambil menonton acara televisi. Malam sepi sekali. Anita menaikkan kakinya sambil menarik selimut, ketika dering telepon memecah kesunyian. Anita mengangkatnya. Suara seorang wanita memasuki gendang telinganya.

Anita menutup telepon. Gemetaran. Melirik jam di dinding, dan melihat jarumnya menunjukkan pukul sebelas malam. Telepon berdering dua kali lagi sesudah itu. Anita hanya memandanginya.

Duncan pernah memberitahunya untuk tidak mengangkat telepon di atas pukul sepuluh malam, berjaga jika keluarganya dari London yang menelepon. Ia datang satu jam kemudian. Wajahnya kemerahan. Anita menduga ia terlalu banyak minum sampanye. Tapi, rupanya bukan.

“Kamu tadi angkat telepon?” Itu kata-kata pertamanya.

“Saya pikir itu kamu.”

“Bukankah saya sudah bilang jangan terima telepon di atas pukul sepuluh? Kalau saya bilang jangan, berarti selamanya jangan, sampai saya mengubah aturan. Kamu tidak mengerti perintah sederhana itu? Dasar bodoh.”

Anita kaget, tapi mengerti kemarahan Duncan. Anita berpikir, Duncan marah karena panik. Jika semuanya terbuka, Duncan harus kehilangan dirinya. Anita bahagia memikirkan itu, merasa sudah memenangkan hati Duncan.

Keesokan harinya, Duncan memberinya kado yang indah. Gelang emas berliontin malaikat-malaikat kecil. Malam itu mereka bercinta berkali-kali. Anita merasa dunia hanya miliknya.

Satu bulan kemudian, Anita menemukan hasil pemeriksaan kesehatan di file Duncan. Sebagai kepala personalia, semua data  karyawan akan masuk data banknya. Anita terpaku. Duncan baru melaksanakan pemeriksakan bebas AIDS. Mengapa harus memeriksakan  bebas AIDS jika tidak ada keluhan atau kecurigaan? Setahunya,  Duncan tidak pernah jadi donor darah, apalagi menggunakan obat terlarang. Jadi, satu-satunya kemungkinan….

“Saya lihat kamu periksa AIDS. Ada keluhan?” tanya Anita.

Duncan menoleh. “Kamu mengaduk-aduk file saya?”

“Saya kebetulan melihatnya. Saya khawatir. Jika kamu sakit, kita  bisa bicara, bukan?” Anita mencoba mendinginkan hatinya.

“Alasannya bukan itu. Pasti kamu curiga! Kamu tidak berhak  curiga! Hidup saya adalah milik saya sendiri. Seharusnya, kamu senang karena saya bersih. Berarti, kamu tidak perlu mempermasalahkan itu lagi.”

Dua hari kemudian, Duncan membawakannya vas kristal yang sudah lama diincarnya, lengkap dengan rangkaian bunga mawar superbesar yang hampir memenuhi ruang tidur mereka. Anita merasa hidupnya sudah lengkap.

Suatu pagi, Anita menyadari ia kehabisan pil. Duncan sangat tegas soal satu itu. Anita harus disiplin dan tidak boleh kebobolan. Ketika Anita bercerita padanya, Duncan marah besar.  “Saya sudah bilang, kamu harus hati-hati. Kebodohan sebesar itu yang akan menghancurkan hidup keluarga saya. Kamu harus tahu, saya tidak akan melepaskan keluarga saya. Saya tidak akan menceraikan istri saya, dan tidak akan kehilangan anak-anak saya.”

Seperti biasa, seminggu kemudian Duncan membawanya pesiar dan belanja di Singapura. Ketika berjalan di samping Duncan di sepanjang Orchard Road, Anita tidak menginginkan apa-apa lagi. Betapa sempurna dunianya.

Anita tidak sadar, itu suatu bentuk pelecehan mental. Malah, setiap kali Duncan mengecamnya, Anita merasa memang dirinyalah yang salah. Anita bersyukur karena Duncan selalu memaafkannya, mau menerima kekurangannya, bahkan membanjirinya dengan hadiah. Anita kian takut kehilangan Duncan.

FIONA
Hidup di negeri orang, apalagi dengan visa turis, tidak seindah di negeri sendiri. Fiona benar-benar harus berjuang dari bawah, kembali ke titik nol. Ia mulai dengan menjadi waitress di coffee shop, staf housekeeping kontrak di hotel saat musim liburan datang, sampai menjadi pengantar brosur ke rumah-rumah. Ia, seorang sarjana, yang di Indonesia bisa bekerja kantoran di gedung tinggi, sekarang harus berjuang mengais dolar dari kerja yang dihitung per jam. Di Indonesia ia bisa naik-turun mobil, di sini ia berjalan kaki.

Tapi, Fiona tidak menyesal, ia merasa inilah saatnya mencari makna hidup, justru saat sedang sendiri, tanpa bahu siapa pun untuk disandarinya. Fiona tidak mengeluh. Ini adalah jalan pilihannya.

Hari ini cerah sekali, musim gugur sudah lewat, musim dingin baru saja mulai. Hari ini para pekerja mendapat gaji mingguannya. Biasanya, toko-toko buka lebih larut dari biasanya. Auckland tidak seperti Indonesia. Toko-toko biasa tutup paling lambat pukul tujuh malam. Tapi, sekali seminggu, pada hari Kamis, toko-toko akan buka hingga pukul sembilan malam. Akan banyak pengunjung memesan espresso panas, demi melawan hawa dingin malam. Fiona harus siap berdiri sepanjang hari.

Tempatnya bekerja terletak di Mission Bay yang menghadap ke laut. Warga Auckland biasa menghabiskan waktu di sini saat akhir minggu. Fiona suka melihat betapa sederhana dan damai kehidupan mereka. Fiona bahkan berpikir mungkin yang dimaksud surga dalam Injil adalah New Zealand. Di sini kehijauan rumput masih menutupi tanah, udaranya segar bersih dan airnya yang jernih, tingkat kejahatan hampir nol, susu dan madu berlimpah.

Fiona pernah berkencan dengan Raj, seorang warga India. Sayang, cerita romantis mereka tidak berlanjut karena Raj kemudian pindah ke Sydney. Ia juga pernah merajut kasih dengan Harten, pria Jerman yang bekerja sebagai penjaga di Dermaga Davenport. Namun, Harten meninggalkannya untuk seorang gadis Mexico. Ada lagi Manuel dari Filipina. Tapi, tak berlanjut karena Manuel pulang ke Filipina karena sudah lulus kuliah.

Fiona haus akan cinta. Hidup sendiri di negara asing, meskipun sudah ditekadinya kuat-kuat, tetap terasa sangat berat tanpa bahu tempat bersandar, dan Fiona terus mencari-cari kasih sayang sejati. Hari menunjukkan pukul enam sore. Sudah ada pengunjung memasuki coffee shop. Sebentar lagi coffee shop akan penuh dan Fiona tidak punya waktu, bahkan untuk menekuk kakinya sebentar.

“Hi, one espresso, please.”

Fiona melihat seorang pria berkulit gelap memandangnya. Kelihatannya orang Asia, mungkin Thailand atau Malaysia. Matanya besar dan dalam, perawakannya tinggi kurus, senyumnya simpatik sekali. Kaki Fiona sudah lemas dibuatnya. Beginilah kalau haus cinta. Aku mudah sekali takluk pada setiap pria yang kutemui, keluhnya dalam hati.

“Pakai gula?” kata Fiona, sambil berusaha memalingkan wajahnya.

“Tidak usah.”

Ketika Fiona meletakkan cangkir di hadapannya, pria itu bertanya, “Dari Asia? Jepang?”

“Indonesia, Jakarta.”

“Wah, sama, dong,” katanya, sambil tertawa.

Fiona kaget, lalu ikut tertawa. Tapi, Fiona harus meninggalkan pria itu sebelum tahu namanya. Pengunjung sudah ramai dan ia harus melayani semuanya. Tapi, alangkah terkejutnya Fiona, ketika coffee shop sudah tutup dan ia bersiap pulang, pria itu masih bersandar di dinding samping coffee shop.

“Saya Arie. Kamu tinggal di mana? Saya antar, ya?”

“Aku Fiona. Rumahku tidak jauh. Terima kasih.”

“Jangan begitu, aku kan perlu tahu rumahmu, kalau Sabtu aku main,” katanya, sambil nyengir. “Ngomong-ngomong, punya pacar?”

Fiona tersipu, pria ini menarik sekali. Mirip Dino.

“Tidak, tidak ada pacar.”

“Kalau begitu, aku boleh datang kan hari Sabtu ini, Sabtu minggu depan, Sabtu minggu depan lagi?” Arie memandangnya dengan sorot harap.

Fiona mengangguk resah. Belum pernah ia dibuat tersipu-sipu begini. Hari-hari sesudah itu, tiada kata kelabu di hati Fiona. Rasanya, pencarian dan kehausan jiwanya sudah terpuaskan.

SARAS
Saras tertidur lelap sekali, dadanya naik-turun dengan napas teratur. Om Denis memandanginya di sisi tempat tidur, lama sekali. Saras berhak mendapat yang lebih daripada Jan, karena ia wanita istimewa. Dari tahun ke tahun, Om Denis melihatnya tumbuh. Dari seorang gadis kecil yang lucu, beranjak menjadi remaja tomboy yang tidak menarik karena keranjingan olahraga, menjelma menjadi kupu-kupu kecil, dan kini wanita matang yang menawan.

Om Denis duduk di tepi ranjang, membelai anak rambut di dahi Saras. Menundukkan kepalanya, dan mencium bibirnya.

DARA
Dara punya kekasih. Sebuah kesalahan fatal yang dilakukannya karena terdorong hati kecilnya yang ingin memberontak. Pria itu putus sekolah, suka berkelahi dan minum. Dara tahu bahwa dia juga suka memakai obat. Pria itu, Tommy, sangat terobsesi padanya. Mereka dikenalkan pada sebuah pesta ulang tahun 21, oleh teman Dara yang juga teman Tommy. Semula Dara takut melihatnya. Tapi, di balik kekasarannya, Tommy juga bisa romantis. Sebuah kombinasi yang dirindukan Dara, pemberontakan dan kehangatan cinta.

Ibu Tommy langsung jatuh hati pada Dara. Apalagi, kemudian tingkah laku Tommy berubah menjadi lebih baik. Ibu Tommy berpikir, Dara membawa pengaruh positif buat putranya yang liar, sehingga ibunya ikut terobsesi ingin menjadikan Dara menantunya.

Siapa menyangka bahwa perubahan sikap Tommy itu hanya untuk menjerat hati Dara. Ketika mereka ribut besar, bahkan Tommy sempat menyakiti Dara secara fi sik, keesokan harinya Tommy datang meminta maaf, sambil membawa bunga, terkadang malah bersujud di kakinya.

Kelulusan adalah alasan paling tepat untuk menyudahi hubungan. Namun, Dara tak ingin mengatakannya secara langsung karena akan ada sujud lagi, bahkan derai air mata dari ibu Tommy. Dara mengirim surat putus dari kota asalnya.

Reaksi Tommy bisa diduga. Ia menelepon Dara di tempat kosnya, bahkan mengunjunginya ke kantornya. Dara tidak bersedia menemuinya. Namun, Dara tidak yakin Tommy akan menyerah begitu saja. Entah dengan cara apa ia harus menyampaikan padanya. Apa pun yang terjadi, ia tak akan pernah kembali. Perasaannya sudah lama mati dan tak mungkin tumbuh lagi.

ANITA
Pria itu diperkenalkan seorang teman di sebuah kafe. Sebenarnya, sulit bagi Anita membuka lagi hati untuk kehadiran pria lain. Tapi, pria ini sangat menawan. Berkulit gelap dengan kumis tipis. Bola matanya berwarna cokelat muda, sehingga tampak tembus pandang di kegelapan. Tidak terlalu tinggi, tapi secara keseluruhan, Anita berani memberinya nilai 8. Namanya Budi.

Pendekatan Budi intens sekali. Ia pandai memenangkan hati ibunya. Ia bisa membaca keresahan seorang ibu, yang anaknya dikhianati. Yang 10 tahun setelah itu masih belum berani membuka hati. Budi langsung menghadap ibunya, mengobrol. Kadang-kadang ia sengaja datang sebelum Anita pulang kerja, supaya punya waktu lebih lama untuk mengobrol dengan ibunya, kakak dan adiknya, bahkan para pembantu rumahnya kalau perlu. Kehadirannya di rumah menjadi sangat terasa. Hati Anita mulai berbunga-bunga, nyanyian di hatinya sudah kembali berkumandang. Kiranya Tuhan berbaik hati sekali ini, batinnya.

Budi menelepon hampir setiap hari, dan berusaha menjemputnya dari tempat kerja, tak peduli lalu lintas macet atau lengang. Mereka sudah sangat dekat, kemesraan mereka sudah tak ditutupi. Meski Budi belum resmi melamarnya, Anita telah sering meng­khayalkan pesta pernikahan mereka. Sebuah pesta sederhana dengan bunga melati dan mawar merah memenuhi ruangan, menghadirkan harum lembut yang melingkupi dirinya dan Budi, sementara alunan suara seruling membawa kedamaian di jiwa mereka.

Sore ini ada mendung di wajah Budi. Ia tak banyak bicara. Jika mereka tidak berkomunikasi, Budi akan menggenggam tangannya, dalam hening hati mereka bicara, dan itu lebih dari cukup buat Anita. Tapi, hari ini pria terkasihnya itu muram dan lesu.

“Ada yang kamu pikirkan? Kalaupun aku tidak bisa memberi jalan keluar, setidaknya aku bisa sedikit meringankan.”

“Terima kasih, Nit. Mungkin, besok sudah ada jalan keluar,” Budi menyentuh pipinya dan mengecup keningnya, lalu berlalu.

Esok pagi-pagi sekali, Budi sudah berdiri di muka pintu rumah. Wajahnya kusut. Ia tak pernah mengantarnya pergi kerja, ia biasa menjemputnya pulang kerja. Sesuatu telah terjadi.

“Bisnisku merugi. Aku terlibat utang besar, Nit,” Budi tertunduk.

“Berapa jumlahnya?” tanya Anita.

“Hampir dua ratus juta,” Budi berbisik, tapi Anita mendengarnya bagai gelegar petir, membuat matanya membelalak, napasnya tiba-tiba sesak.

Keduanya kemudian membisu, sebelum akhirnya Anita berjalan ke dalam rumah untuk menemui ibunya, tanpa Budi sempat mencegahnya. Ibu Anita tentu tidak keberatan membantu calon menantunya, merelakan beberapa butir berlian untuk menutupi utangnya.Bulan-bulan setelah itu, Budi agak jarang menjemputnya. Sudah tidak meneleponnya sesering dulu.

Jika Anita meneleponnya, jawabnya hanyalah bahwa ia sedang berusaha mengganti berlian-berlian ibu Anita. Ketika dua minggu penuh tidak terdengar kabar apa pun, Anita mulai cemas. Ia menelepon Indah, yang memperkenalkan mereka berdua.

Belum-belum, Indah langsung memberi kabar buruk.

“Kamu masih ingat Budi? Ia sebentar lagi nikah. Dulu hubungan mereka sempat ditentang keluarga kekasihnya, karena mereka dari keluarga terpandang.”

Anita pingsan.

Kakak-kakak lelakinya memburu perampok itu sampai ia bersumpah akan mengembalikan berlian itu, berikut bunga, biarpun harus mencicil seumur hidup. Rupanya, ia berkeliaran mencari mangsa yang bisa diraup hartanya.
Itulah kesalahan keduanya, mencintai pria yang keliru.

FIONA
Fiona serba salah. Ia sadar telah jatuh cinta. Ia sadar inilah cinta sejatinya yang kedua. Tapi, pria itu pandai sekali menarik ulur tali perasaannya, meresahkan hatinya. Ia tak pernah memberi sinyal lebih dari sekadar menghabiskan kesenangan bersama.

Terombang-ambing dalam ketidakpastian, Fiona masih menggapai-gapai dalam pencarian cinta. Kadang-kadang, ia ingin sekali menyudahi semuanya, dan memindahkan hatinya pada pria lain. Tapi, hatinya tak dapat didustai. Ia sadar telah terjebak dalam cinta sepihak.

Pria yang lain ini gigih sekali berusaha memenangkan hatinya. Bonar namanya. Mereka bertemu di acara komunitas. Sayangnya, tak pernah ada debar di hati Fiona, meskipun pria itu jelas-jelas memerhatikannya. Terkadang Fiona merasa kekurangan ruang gerak karena Bonar tidak melonggarkan pendekatannya. Tanpa sadar ia sering menunjukkan sikap kurang bersahabat, tetapi Bonar tak pernah marah atau menunjukkan rasa sakit hati.
Fiona sering berpikir, hatinya ingin menunggu hingga Arie membawa hatinya. Tapi, yang datang menyodorkan cinta di nampan perak malah pria yang sama sekali tidak dicintainya, tidak pernah diharapkan kehadirannya. Tadi sore Bonar melamarnya. Malam ini Fiona kian resah, jarum jam di dinding sudah memeluk angka tiga, tapi matanya belum juga terpicing.

Keputusan besar telah dibuatnya. Mereka bertunangan di kapel kecil di Davenport, kota kecil di pinggir laut yang penuh bangun­an kuno. Rencana pernikahan akan dilangsungkan di Indonesia, saat liburan musim panas datang nanti. Arie menyalaminya tanpa berkata-kata, sama diamnya seperti saat Fiona mengatakan telah menerima lamaran Bonar dan akan menikah dengannya.

Fiona tak tahu apa yang ada di dalam kepalanya, meski ia sangat berharap Arie sedang menyesali kekalahan langkahnya. Tapi, apakah ini memang kekalahan buat Arie? Fiona malu memikirkan itu. Tapi, ia tetap berharap Arie mengejarnya. Tapi, itu hanya dalam khayal­annya. Arie tidak mengejarnya ke pintu, juga tidak bereaksi. Justru itulah yang membuat Fiona gemas, sekaligus perih dan merindu.

Fiona merasa jarak Bonar dan dirinya kian menyempit. Ini malam pertama mereka berada dalam ruangan tertutup ukuran 3 kali 3. Sebelumnya, mereka selalu ada di tempat terbuka. Tanpa sadar, Fiona mulai gemetar.
“Kamu sakit? Mungkin, kamu kelelahan. Kita istirahat, ya.”

Fiona sudah menghentikan pencarian cintanya. Ini hidup yang telah dipilihnya, ia akan belajar mencintai Bonar. Tapi, hatinya tak mau berdamai dengan kepalanya.

SARAS
Saras mau membayar apa saja, demi memenangkan hati Bart. Tapi, pria itu belum menginginkan komitmen. Ia terlalu menyadari kelebihannya, ia merasa mudah mendapatkan wanita mana saja. Saras kecewa.
Setelah perpanjangan cutinya karena ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Bart, tidak ada tanda hubungan itu akan dibawa ke mana. Saras pulang ke Indonesia dengan merana. Saras menangis. Mengapa ia harus selalu berjuang untuk cintanya?

Saras masih berkomunikasi dengan Bart lewat e-mail. Setidaknya, ia tidak membiarkan tali kemungkinan itu terputus sama sekali, membiarkan segala kemungkinan tetap terbuka. Tanpa putus asa, Saras tetap mengundang Bart untuk datang berkunjung.

Ketika akhirnya Bart mengatakan bahwa ia akan datang, Saras merasa ingin melompat-lompat dan memeluk semua orang, senyum tak lepas dari bibirnya selama berhari-hari. Antara geli dan bahagia, ia merasa bagai gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.

Minggu ini sangat sibuk bagi Saras. Ia sudah mempersiapkan diri selengkapnya. Potong rambut dengan model baru, merapikan kamar yang akan diisi Bart, dan mengatur tanggal untuk makan malam bersama teman-temannya. Ketika Bart benar-benar muncul di bandara, berdiri di hadapannya dengan senyum polos, Saras tiba-tiba menyadari betapa ia sangat merindukannya. Saat Bart memeluknya, Saras tidak ingin melepasnya.

Tapi, Saras harus menelan kecewa, karena Bart lebih suka menjual pesona pada teman-temannya, daripada mencoba menjalin kasih mereka yang terpaut jarak. Setelah bertemu teman kantornya, Bart berkomentar, “Tania kelihatan seksi dengan bibirnya itu.” Saras tidak pernah mengajaknya bertemu Tania lagi.

“Saya rasa, Dara naksir saya.” Keterlaluan! Bahkan, Dara yang sedingin itu pun dikira suka padanya. Saras kesal, tapi ingin tertawa.

Dua bulan setelah itu, Bart mengiriminya e-mail dari Belanda, mengabarkan ia sudah punya kekasih, seorang gadis Prancis bernama Francoise. Meski Saras kesal dan sakit hati karena tingkah laku Bart, hatinya tetap merasa terluka. Saras tak bisa membunuh perasaannya, tak bisa memindahkan cintanya pada yang lain.

“Walau ia pria terakhir di dunia, aku tak akan memilihnya. Apa hebatnya ia, sampai dipikirnya semua wanita memburunya?” kata Dara, pedas. “Aku tidak mengerti, Saras, apa yang kamu sukai dari dia?”

Saras tidak bisa menjawab, karena ia sendiri memang tidak tahu. Saras malah bertekad untuk menyusul Bart. Apalagi, ketika adik bungsunya menikah. Ini kali kedua Saras dilangkahi adik lelakinya. Bagi keluarga Jawa, itu peristiwa yang sangat memalukan.


DARA
Dara keluar dari tempat kerjanya. Perusahaannya gulung tikar. Ia harus menerima pekerjaan di sebuah perusahaan ekspor dengan bayaran kecil. Tetapi, bos besar suka padanya. Usianya hampir 75 tahun. Dari tiga perkawinannya, ia tidak punya anak perempuan. Karena itu, bos besar sangat menyayanginya, sering memberi uang tambahan, malah dua kali lipat dari gaji resminya.

Dara menghormati bos besar, tak pernah terlintas dalam pikir­annya bahwa ia akan menjadi istrinya yang keempat. Pikiran itu membuat Dara bergidik. Dara percaya, kasih sayang bos besar padanya benar-benar kasih seorang ayah untuk anaknya. Tapi, kecemburuan dari istri bos besar dan pandangan iri dari teman-teman sekantor, membuatnya marah.

Dara menelepon ayahnya, menyampaikan maksudnya untuk berhenti. Ayahnya berkata, ”Kasihan bos besar, ia pasti kecewa. Kamu harus bertahan Dara. Orang yang sukses adalah orang yang berhasil mengatasi segala rintangan.” Dan, Dara harus bertahan, menelan perlakuan tak adil akibat kecemburuan yang menurutnya tak beralasan. Dara hampir putus asa.

Dara ingin berontak. Hidupnya dikuasai orang-orang yang tidak berhak, ia merasa sesak napas. Ini hidupnya, ia berhak menentukan jalannya sendiri. Mungkin, ia harus lebih tegas, lebih egois memikirkan kepentingan sendiri.
Inilah titik balik hidupnya. Bos besar menolak surat pengunduran dirinya. Ketika Dara tidak muncul di kantor, bos besar menyuruh sopir menjemputnya, tapi Dara menolak. Bos besar meneleponnya tiap hari, tapi Dara tak mau menerimanya. Ia mengepak semua barangnya di tempat kos, dan seminggu kemudian berangkat ke Jakarta.
Krisis belum berlalu, tapi roda ekonomi sudah mulai kembali bergerak. Dara berhasil masuk di perusahaan multinasional.

ANITA
Inilah saat yang ditakutinya. Kontrak Duncan di Indonesia hampir berakhir. Keluarganya di Inggris memintanya pulang, atau minta dipindahkan ke negara lain.

Sejak semula Anita sadar bahwa hubungan mereka tidak mempunyai masa depan, tapi ia mengabaikan akalnya, dan mengi­kuti kata hati yang menyesatkan. Parahnya lagi, kata hatinya menyuruhnya terus membangun harapan yang diketahui kepalanya sebagai harapan kosong.Sekarang, ia merasa akan mati, karena oksigen tak akan masuk ke paru-parunya jika Duncan pergi. Jantungnya tak akan berdetak jika tak didengarnya napas Duncan di telinganya ketika ia tertidur, matanya tak akan mau membuka jika ia tak bisa melihat Duncan lagi. Mengapa dewi cinta tidak pernah berpihak padanya? Apa yang salah pada dirinya?

Inilah saat yang ditakutinya. Duncan memutuskan pergi ke New Mexico. Anita kehilangan kata-kata. Duncan bicara pelan dan hati-hati, tapi Anita mendengarnya berteriak-teriak. Duncan memeluknya, tapi Anita merasa pukulan bertubi-tubi di tubuhnya. Duncan mengecup bibirnya selembut mungkin, tapi Anita merasa Duncan menggigitnya.
Inilah saat yang ditakutinya. Duncan mengangkat semua kopernya. Menatap Anita yang mematung di pintu. Dipeluknya lagi kekasih gelapnya, dan diciumnya keningnya. Duncan trenyuh, tapi tak ada yang bisa diperbuatnya lagi.

“Selamat tinggal, Anita,” bisiknya. Ia pergi, tak menoleh lagi.

Anita berjalan seperti robot, matanya hampir tidak bisa membuka akibat tangis yang tiada henti. Anita menyiapkan sarapan, Duncan suka scrambled egg. Minumnya jus jeruk segar. Ia harus menyiapkan semuanya, Duncan suka sarapan yang dibuatnya. Itu ritual wajib setiap kali ia akan tugas ke luar kota.

Anita meletakkan sarapan di meja. Menunggu Duncan selesai mandi untuk duduk bergabung dengannya. Anita terus menunggu, sampai denting jam dinding mengejutkannya. Anita meliriknya, kaget karena sudah pukul sepuluh. Ia heran kenapa Duncan belum selesai mandi. Dibukanya pintu kamar mandi. Lantainya kering. ”Ah, pasti aku terlambat bangun. Duncan sudah berangkat. Aku memang bukan calon istri yang baik.”

Anita menunggu Duncan meneleponnya. Hari pertama, telepon tidak berdering. Hari kedua, Duncan belum memberi kabar. Ketika hari ketiga Duncan tidak meneleponnya, Anita serasa duduk di atas bara. Ia tak tahu harus bertanya pada siapa.

Diputarnya nomor telepon Dara. “Dara… Dara…,” katanya, gugup. “Duncan ke luar kota, sudah tiga hari tidak ada kabar. Aku takut ada apa-apa. Aku bingung, bagaimana cara menghubunginya.”

“Sudah cek ke hotel tempat ia menginap?”

“Aku tidak bisa, Dara. Hubungan kami masih rahasia.”

“Oke, biar aku yang cek. Ia ke mana?”

Anita tertegun. Ke mana, ya? Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Ia bergegas mencari dokumen perjalanan Duncan, dan tertegun. Ini pasti salah, entah tertukar dengan file orang lain, atau salah ketik nama! Ia mencoba mengingat-ingat. Ketika tiba-tiba disadarinya, kontrak Duncan di perusahaan itu sudah habis, Anita pingsan.

Saat Dara menjenguknya, Anita melihat seringai ejekan di bibir Dara. Ya, tertawakanlah aku! Memang kamu tidak pernah mendukung hubunganku dengan Duncan. Anita menggumam dalam hati. Tapi, Dara kelihatan terkejut.
“Nit, aku tidak menertawakanmu. Betul, aku tidak mendukung hubunganmu dengan dia. Tapi, itu karena aku tidak ingin kamu menderita seperti ini.”

Anita terkejut. Apa Dara bisa membaca pikiranku?

Dara memeluk Anita, hatinya sedih sekali. Kehilangan yang dirasakan sahabatnya pasti tak tertanggungkan. Anita merasakan air panas menetes di bahunya. Anita memandang Dara, ada air menggenang di matanya, sebagian sudah mengalir di pipinya. Aneh, kenapa Dara menangis?Dara memandang sahabatnya. Hatinya pedih melihat tatapan mata sahabatnya yang membeliak tak berjiwa, kosong. Teriakan-teriakan keluar dari mulutnya, menyuarakan apa yang ada di pikirannya, tanpa disadarinya….

FIONA
E-mail Dara terpampang di komputernya. Fiona terpaku di kursinya, kerongkongannya terasa kering, seolah semua aliran air liur yang membasahinya tiba-tiba menguap. Anita sahabat terbaik yang hatinya penuh oleh kasih. Tapi, kenapa nasib begitu kejam padanya?

Beberapa kali Bonar memaksakan hasratnya. Fiona tahu ia menjadi korban pemerkosaan. Tapi, tak ada saksi, tak ada tanda kekerasan. Fiona tak bisa menyalahkan siapa pun, menerima lamaran Bonar adalah keputusannya sendiri.

Bonar bahkan mengulur-ulur waktu kepulangan mereka ke Indonesia untuk pernikahan mereka. Fiona sering berkhayal membunuh Bonar dengan berbagai cara. Sayang, ia tak punya keberanian melakukan khayalannya.
Enam bulan lalu, Fiona mulai merasa sakit yang luar biasa saat haid, dan keputihan yang dialaminya juga terlihat tidak normal. Ketika menyampaikan keluhan, dokter kandungannya bertanya, “Are you sexually active?”

Fiona mengangguk. Ia ingin menambahkan, ”Tapi, bukan karena keinginanku.” Namun, ia mengurungkan niatnya.
“Hmm… pakai proteksi tidak? Pernah menjalani pap smear test?”

Fiona menggeleng. “Selama ini tidak ada keluhan. Jadi, saya tidak berpikir untuk melakukan tes.”

“Kalau Anda aktif secara seksual, sebaiknya Anda menjalani tes. Kalau perlu, hari ini juga.”

Fiona terkejut. “Apakah ada indikasi tidak baik?” Fiona menunggu jawaban. Debar jantungnya seolah mendobrak dadanya.

“Saya khawatir akan gejalanya. Saya akan berikan surat referensi untuk ke laboratorium. Lakukan tes ini segera.”

Ketika hasil tes keluar, Fiona seolah mati rasa. Ia mengidap kanker mulut rahim, stadium 2. Seluruh harapan hilang dari hatinya. Ia merasa sangat sendiri. Betapa ia sangat merindukan ayahnya….

Tentu saja Bonar langsung ’membuangnya’, begitu Fiona menunjukkan kertas berisi vonis hidupnya. Sejak itu, siangnya sela­lu terisi bayangan keputusasaan. Fiona limbung, tak tahu apa yang harus diputuskannya. Pulang ke Indonesia, ia gengsi. Ketika pergi ia bersumpah akan menunjukkan pada semua orang bahwa ia bisa berhasil tanpa ayahnya.

Sekarang, semua kegundahannya seolah mendapat jawaban. Ia harus mengesampingkan semua gengsi. Ia tak tahu berapa lama lagi hidupnya masih tersisa, dan ia tak mau itu berlalu sia-sia. Dulu, ia suka membahagiakan teman-temannya, mengapa ia tak pernah lagi melakukannya? Sekarang ia bisa melakukannya lagi.

Ya, ia akan pulang.

SARAS
Saras menunjukkan e-mail Dara pada Bart. Suaranya tercekat oleh tangis. “Saya harus pulang. Teman baik kami terkena musibah.”

Bart memeluk Saras, dan mengangguk.

“Aku akan menemanimu.”

Saras terharu. Bart menyayanginya, sekarang ia yakin itu, mes­ki mereka belum menikah resmi. Hanya masalah waktu. Saras harus bersabar sedikit lagi. Hanya tinggal sedikit waktu untuk lebih meyakinkan dirinya bahwa mereka saling membutuhkan.

Sejak Bart memberi tahunya telah mengencani Francoise, Saras tak bisa menahan gejolak cemburu. Ia memberi tahu orang tuanya tentang niatnya pindah ke Belanda. Om Denis dan Bibi Tutik sangat senang Saras memutuskan untuk bermigrasi.

Hari pertama ia menginjakkan kakinya lagi di Belanda, Saras sudah memikirkan cara menghubungi Bart lagi, tanpa terlihat terlalu mengejarnya. Bart akan besar kepala. Saras tidak mau memberinya kesenangan itu. Ia menelepon Bart suatu sore. Berpura-pura ingat Bart sepintas lalu, menanyakan kabar Bart dan kekasihnya. Di luar dugaan, Bart tidak antusias menceritakan gadis yang digilainya, tapi malah mengatakan akan mengunjunginya.

Saras melihat Bart berdiri di muka pintu. Hatinya serasa akan meledak karena kerinduan yang hampir tak tertahankan. Ia berjuang untuk bersikap wajar, separuh masa bodoh, seperti jika bertemu teman biasa yang tidak istimewa, yang tidak diharapkan datang. Semoga taktiknya berhasil.

“Hai, apa kabar? Ayo, masuk,” katanya, sambil menjabat tangan Bart, sekuat tenaga bertahan untuk tetap berdiri di tempatnya dan tidak melompat ke pelukan Bart.

Bart mengangguk dan mengikutinya masuk. Pertemuan mereka hari itu diisi obrolan umum. Saras berusaha tidak menyebut nama Francoise betapapun ingin tahunya ia tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ketika esok dan esok harinya lagi Bart menelepon dan mengunjunginya, Saras tak bisa menahan diri.

“Apa kata kekasihmu kalau kamu ke sini terus,” ujarnya.

“Kami belum ada komitmen apa-apa,” jawabnya. Komitmen. Selalu itu yang jadi keberatannya.

Dengan berlalunya waktu, Bart akhirnya bercerita bahwa yang tidak mau berkomitmen adalah Francoise. Saras ingin tertawa karena kelihatannya Bart ketemu batunya.

Yang mengherankan Saras adalah sikap Om Denis. Berbeda ketika menghadapi Janssen dulu, Om Denis menyambut Bart dengan ramah. Mungkin, ia tidak lagi ingin menyakiti hati Saras. Tapi, lama-kelamaan, sikap Om Denis berubah. Ia kelihatan tidak suka Saras terlalu banyak pergi dengan Bart. Wajahnya selalu ditekuk jika Bart datang menjemputnya.

Saras mengeluh dalam hati, sampai kapan Om Denis akan menyadari bahwa ia bukan gadis remaja yang harus terus dipingit. Malah, seharusnya ia dibebaskan, karena pingitan dan tata krama telah membuatnya dilangkahi dua adik lelakinya.

Malam itu Saras baru pulang nonton dengan Bart. Saras sedang membuka ritsluiting bajunya ketika Om Denis tiba-tiba masuk. Saras membalik cepat, kaget karena ia telah lupa mengunci pintu kamarnya. Om Denis memandang dan meng­hampirinya.

“Saras...,” Om Denis memanggil pelan.

Saras tidak menyadari apa yang terjadi, ketika Om Denis tiba-tiba mencium bibirnya. Ia mendorong Om Denis sekuat tenaga, matanya terbelalak, air mata mulai berlinang di pipinya. Ia merasa terhina. Rupanya, itulah jawabannya. Omnya sudah jatuh cinta padanya. Saras tahu tak bisa mengadu pada siapa pun. Ia harus pergi secepat mungkin. Ia hanya punya Bart di sini, tak peduli anggapan keluarganya nanti.

DARA
Dara melihat, betapa mudahnya mengumpulkan uang, asal mau me­lakukan apa saja. Tak perlu memikirkan kejujuran, moral, tak peduli omongan orang, dan terutama, tak perlu memakai hati. Setelah lama banting tulang, sambil mempertahankan idealisme dan mengorbankan perasaan, apa yang didapatnya? Tak ada, kecuali sakit hati dan tetap sebagai pegawai rendahan. Kini hidupnya sudah bergelimang uang.

Dara membayangkan ayahnya. Mungkin, apa yang dirasanya sekarang, itu juga yang berkecamuk dalam hati ayahnya dulu. Pasti itu membuatnya hilang akal, bagai singa luka. Itulah mengapa ia sering marah dan mengamuk.
Sebagai satu-satunya lulusan lokal di perusahaan multinasional itu, atasannya memandang rendah dirinya. Karier Dara di perusahaan itu sangat lambat, bahkan terhambat, tepatnya dihambat. Betapa kerasnya ia berusaha, betapa pun rajin dan disiplin, betapa pun keras ia berjuang untuk membuktikan diri, tidak pernah cukup untuk membuatnya dipromosikan.

Suatu hari Dara ditugaskan mendampingi tim marketing ke Jepang. Hari itu negosiasi mereka alot sekali. Mereka sudah bicara hampir seharian, matahari sudah lama pergi menyinari bagian lain bumi, tapi belum ada titik temu. Dara lelah sekali. Ia mengusulkan agar pembicaraan dilanjutkan besok pagi. Mereka setuju.

Tapi, Dara tidak bisa tidur. Terlalu lelah malah membuatnya sulit memicingkan mata. Sudah pukul dua pagi. Bosan gelisah di tempat tidur, ia turun ke lobi. Ada bar buka sampai subuh. Dara masuk. Ia perlu sesuatu yang bisa membuatnya tidur nyenyak, tapi tidak terlalu mabuk, setidaknya ia siap kembali bertarung esok pagi.

Ia melayangkan pandangan, menyapu seluruh ruangan. Lampunya temaram kemerahan, musik jazz mengalun pelan. Bartender menuangkan Orange Margarita. Dara menyeruputnya. Hmm... enak, agak sedikit asam. Garam di sekeliling mulut gelas menetrali­sasi rasa pahitnya. Hangat langsung menjalari kerongkongannya, turun ke dadanya, membawa ketenangan yang nikmat.

“Haro...,” sebuah suara terdengar. Dara menoleh. Salah satu anggota tim Jepang yang tadi siang ditemuinya. Dara tersenyum.

“Halo Hideaki san.”

“Sendiri? Tidak bisa tidurkah?”

“Begitulah.” Dara memandangnya, melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Hideaki san sendirian? Sering ke sini?”

“Saya menemani Kimura san. Kalau harus memikirkan yang berat, ia mengajak saya ke sini. Pikiran bisa jadi terang,” katanya, sambil menunjuk Kimura san yang duduk agak jauh, yang kini sedang memandangi mereka. Dara membungkuk, tanda hormat.

“Sebetulnya, apa yang membuat pembicaraan tadi siang begitu alot?” Dara mencoba memancingnya.

“Angkanya tidak sesuai. Soal pembagian keuntungan,” katanya.

“Oh… apa tidak bisa ketemu di tengah?” tanya Dara.

Hideaki san memandangnya. “Mungkin bisa, kalau ada keuntungan lain. Misalnya… kamu temani Kimura san satu malam.”

Dara terbelalak, ia ingin marah. Tapi, kalau ia marah, jalan negosiasi akan kian tertutup. “Hideaki san… itu tidak sopan. Sudah menyinggung saya,” katanya, sehalus mungkin.

“Jangan marah. Maksud saya, cuma temani minum.”

Dara termenung. Ia merasa terjebak. Jika bilang tidak, proyek ini akan gagal. Jika bilang ya, apakah harga proyek itu begitu murah? Hanya menemani minum satu pemegang keputusan, semua akan mulus? Dara yakin 200%, minum itu hanya kata penghalus.

“Tidak usah dijawab sekarang. Kalau besok kamu tidak turun, saya tahu kamu menolak.” Hideaki san meninggalkannya.

Keesokan paginya, pembicaraan tetap alot. Malamnya, Dara tidak bisa tidur lagi. Sebenarnya, ini kunci bagi promosi yang ditunggunya, asal kantor pusat tahu bahwa ialah yang meloloskan dealing ini. Tapi, bagaimana mungkin ia melakukannya?

Dara turun. Hideaki san menghampirinya.

“Saya ingin bicara dulu,” kata Dara. “Hideaki san, harga saya mahal. Selain proyek itu, ada syarat lain. Kimura san harus menyebut nama saya, saat mengegolkan proyek nanti. Meskipun saya bukan tim marketing, katakan pihak Anda mendapat masukan berharga dari saya.”

“Baik. Apa lagi?”

“Saya masih perawan.” Dara ragu-ragu, matanya menerawang, serasa berdiri di ujung jurang. “Sepuluh ribu dolar AS. Tunai, dan ia harus pakai pengaman.”

Itulah awal semuanya. Berawal dari sebuah ucapan asal bunyi yang dikiranya tidak akan ditanggapi. Sejak itu hidupnya dipenuhi kebohongan. Tak ada yang tahu profesi gandanya. Seperti yang sudah dikiranya, Dara memang tetap tidak mendapatkan promosi itu, tim marketing-lah yang dipuji-puji. Tapi, Dara bisa mendapatkan banyak uang dari ’kerja sampingannya’.

Jika sahabatnya tahu yang sesungguhnya ia kerjakan, mereka pasti akan memandang rendah. Ayahnya pasti menyembelihnya. Tapi, mungkin ini jalannya. Jika kejujuran dan kerja keras tidak menghasilkan apa-apa, sudah saatnya berpindah jalur.

Dara menunggu kedatangan Fiona di bandara. Lusa, Saras dan Bart akan bergabung. Mereka sudah mengatur waktu, agar bisa berkumpul bersama, supaya bisa menghadirkan suasana normal buat Anita. Mencoba membuatnya terbawa ke masa lalu. Menurut dokter, itulah terapi yang paling memungkinkan untuk menyembuhkannya, menghapus memori tentang Duncan. Jika tidak berhasil, Anita akan tetap dalam khayalannya sendiri.

“Nit, Fiona dan Saras akan mudik bareng. Mereka ingin kita piknik ke Bali. Kapan lagi kita bisa reuni seperti ini, ’kan?” Dara menyampaikan rencana itu pada Anita beberapa waktu sebelumnya.

Anita terbelalak senang. “Asyik! Berapa lama mereka ke sini? Aku tak tahu apakah bisa ikut, aku harus bilang Duncan dulu.”

“Pasti boleh.” Dara mencoba tidak menyebut nama Duncan. Apa pun kalimat Anita yang membawa Duncan, dijawabnya tanpa menyebut nama itu. Dara berharap setelah dua minggu atau satu bulan mereka bersama, Duncan akan terhapus dari memori Anita. Harapan yang terlalu muluk. Tapi, ia tidak boleh berhenti berharap.

Dara melihat Fiona muncul di pintu keluar, langsung menghampirinya. Mereka berpelukan, keduanya kehilangan kata-kata. Betapa lama mereka tidak bertemu.

Mereka keluar bandara sambil bergandengan, masih membisu. Setelah di mobil, Fiona yang pertama membuka percakapan.

“Bagaimana keadaan Anita, Dara?”

Dara menghela napas. “Menyedihkan, Yon. Kita harus berusaha mencabut Duncan dari memorinya. Kamu pasti kaget melihat dia.”

“Untuk itulah kita di sini. Kita akan bawa dia kembali ke masa sekarang, dia harus bisa mengatasi kehilangan dan kepedihannya.”

Pertemuan dengan Saras malah lebih emosional.

“Aku minta maaf, untuk semua sikap buruk dan kata-kata yang pernah aku katakan tentang Bart. Kalau ia membuatmu bahagia, aku ikut senang, Sar,” kata Dara pada Saras. “Aku tidak mau terbebani rasa bersalah, seperti yang sekarang aku rasakan pada Anita.”

“Kamu tidak salah, Dara. Dulu ia memang pantas dijahati.” Saras memeluknya “Sekarang ia banyak berubah. Kami sudah lebih saling mengenal dan aku melihat banyak kebaikan dalam dirinya.”

“Syukurlah. Aku hanya mau kamu bahagia, Sar,” suara Dara mulai basah. Akhir-akhir ini hatinya yang mengkristal mulai lunak.

Semua, termasuk Bart, tinggal di apartemen Dara. Mereka tidur bertiga di kamar Dara, mengobrol sampai pagi. Mereka menyusun skenario untuk menyembuhkan Anita. Bart dipisahkan di kamar tamu, supaya tidak terganggu obrolan mereka, dan bisa beristirahat.

Hari ini mereka akan menemui Anita. Mereka sudah sepakat, akan bertingkah laku seperti anak kuliah. Jika Anita menyebut nama Duncan, mereka akan berpura-pura, seolah baru pertama kali itu mendengarnya. Semua akan mencoba seceria mungkin.

Tapi, ternyata berpura-pura ceria itu lebih sulit dari yang didu­ga, karena Saras dan Fiona tak pernah membayangkan, tidak bisa membayangkan separah apa keadaan sahabat mereka. Langkah mereka tertahan ketika melihat Anita duduk didampingi ibunya di teras. Fiona dan Saras ingin berlari, untuk menyembunyikan air mata yang sudah mendesak keluar.

“Nit, sudah siap? Tante, kita berangkat sekarang, ya.”

“Kita mau ke mana, sih?” Anita heran.

“Kita kan mau ke Bali. Liburan begini kan kita biasa jalan-jalan.”

Anita memandang ibunya. “Tadi malam kau sudah beres-beres. Ayo, berangkat sana. Mama ambil koper kamu dulu,” ibunya menghilang di balik pintu, lalu muncul lagi, sambil menenteng koper.

Selama di perjalanan, Anita kelihatan gembira. Tiba di Bali, mereka mengisi hari-hari dengan mengunjungi tempat-tempat wisata yang menarik. Bermain dengan monyet-monyet gemuk, bermain pasir di Kuta, makan seafood di tepi pantai. Tak ada kejadian aneh atau ingatan Anita yang melenceng dari bayangan masa kuliah. Ketika melihat Anita tertidur dengan nyenyak sambil tersenyum, mereka bertiga bertatapan dengan trenyuh.

Hari ketiga, ketiganya terbangun serentak. Mereka mendengar suara nyanyian di kamar mandi. Anita bangun mendahului mereka, lebih pagi dari biasanya. Mereka mengutuk diri sendiri karena terlalu nyenyak tertidur. Setelah tersadar, mereka berlari menuju pintu kamar mandi, lalu saling menatap dengan pandangan tanya.“Jangan panik dulu, siapa tahu tidak terjadi apa-apa,” Fiona berbisik.

Mereka lalu kembali ke tempat tidur. Menunggu. Anita keluar dari kamar mandi. Rambutnya dibalut handuk, sepertinya baru saja keramas. Ia tertegun menatap tiga wajah tegang di depannya.

“Kalian kenapa ada di rumahku? Duncan mana, ya?”

Mereka bertiga langsung lemas. Tapi, harus tetap bersandiwara. “Duncan siapa?” tanya Saras.

“Ah, kalian memang belum pernah bertemu. Hari ini ia akan berangkat ke Balikpapan. Nanti aku kenalkan, Sar.”

“Nit, kita kan sedang liburan semester. Kita sedang piknik di Bali, nih,” kata Fiona, mencoba terus bersandiwara.

“Ah, kamu mimpi, Yon. Kita sudah lulus. Aku malah sudah hidup bersama Duncan, kami akan menikah kalau istrinya meninggal.”

Mereka bertiga menghela napas. Dara memejamkan mata dan menggeleng putus asa. “Kamu mimpi, Nit. Ini masih malam. Tidur lagi, yuk,” Dara masih mencoba meyakinkan Anita.

“Kamu yang mimpi. Kamu mimpi menjauhkan aku dari Duncan. Tidak akan terjadi, Dara. Aku akan tetap menunggu, menunggu, menunggu,” Anita mulai menjerit. Lalu, ia lari keluar, memanggil-manggil nama Duncan. Mereka bertiga mencoba menyusulnya. Bart yang mendengar ribut-ribut di kamar sebelah ikut terbangun dan keluar, menghalangi jalan mereka bertiga, sehingga Anita hilang dari pandangan.

“Anita kabur. Ayo, kejar,” kata Saras pada semua, termasuk Bart.

Mereka berpencar, sambil memanggil-manggil nama Anita. Dua ratus meter dari penginapan mereka, laut bisa terlihat. Mereka sangat khawatir jika Anita lari ke laut.

Secercah sinar matahari muncul malu-malu. Dara melihat sosok Anita di pantai. Dengan cepat ia berpaling, mencari bantuan. Hari masih sangat dini, belum banyak orang keluar di hawa dingin seperti ini. Hampir putus asa, Dara berlari mendekat, dan tercekat. Di pantai itu ada seorang pria asing setengah tua, bertubuh gempal, dengan mulut ternganga dan wajah penuh tanda tanya. Mirip Duncan. Di hadapannya, Anita sedang membuka baju mandinya, padahal di balik itu ia tidak mengenakan apa-apa.

Dara menubruk dan memeluk Anita, sambil menangis.

“Help… help me. She is not healthy.”

Pria itu malah hendak berlari menjauh. Namun, ketika dilihatnya Dara kerepotan ia mengurungkan niatnya.

“Ia bukan Duncan, Nit. Duncan sudah pergi, sadarlah. Kamu harus kuat, Nit. Kamu harus kuat,” Dara terus memeluk sahabatnya, sambil menangis. Tak lama, Saras, Fiona, dan Bart muncul. Mereka lalu membopong Anita, membawanya ke rumah sakit terdekat. Anita diberi obat penenang.

Mereka mempersingkat acara pik­nik sandiwara mereka, kembali ke Jakarta siang itu juga. Anita dibawa dalam keadaan masih setengah sadar. Sepanjang perjalanan, tak satu pun yang membuka pembicaraan. Mereka tahu telah gagal. Dara paling terpukul.

Sesampainya di Jakarta, mereka ham­pir tak sanggup memandang ibu Anita. Tapi, ibunya terlihat sangat tegar. “Tante sudah pasrah. Kita hanya berusaha, tak ada yang menjamin pasti berhasil atau pasti gagal. Terima kasih sudah menjadi sahabat Anita.”

Hati semuanya kian hancur, dan mereka semua menangis tanpa suara. Tanda kepedihan dan sakit hati yang sangat dalam.

Mereka kembali ke apartemen Dara, sambil membisu. Mereka berbenah, bergiliran mandi, lalu naik ke tempat tidur, ingin melupakan semua yang terjadi, setidaknya untuk malam ini.

Dara mandi terakhir, dan belum ke­luar sampai sekarang. Para sahabatnya belum tahu kepulangannya saat ini bukan hanya untuk ikut berperan dalam sandiwara kehidupan Anita, tapi untuk selamanya. Keputusan yang diambil karena hal-hal buruk yang telah menimpanya. Ia hampir tak kuat menanggungnya sendiri, ia ingin berbagi.

Saras masih belum bisa masuk ke alam mimpi. Semula ia berharap, kepulangannya bisa memberi jawaban bagi persoalannya. Tapi, apa yang dilihatnya di hadapan matanya, membuat nyalinya menciut sampai hampir tak berbentuk.

Di kamar mandi, Dara melamun di bathtub. Kisah hidupnya berlalu cepat di pelupuk matanya, seolah sebuah film dokumenter hitam putih yang suram diputar cepat di hadapannya. Ayahnya mencacah meja judi ibunya dengan pisau daging, kemudian mencekiknya sampai mati. Ibunya tergeletak tak bernyawa dengan mulut berbuih dan mata mendelik. Ia berdiri di altar gereja menggenggam mawar hitam, seluruh kursi terisi orang-orang yang menangis dan menertawakannya. Kimura san menggumuli tubuhnya, dan ia berlalu meninggalkannya dengan tubuh berbalut ribuan dolar.

Kepalanya terasa sangat sakit, seolah ribuan palu menggodam tempurungnya. Hatinya bagai ditindih berton-ton batu. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah, ia ingin menjerit, menangis. Kekosongan menyiksa hatinya. Ia bangkit dari bathtub, mencari-cari sesuatu di laci, di bawah wastafel. Ia menemukan pena dan kertas bekas yang biasa dipakai untuk membungkus pembalut. Dara kembali masuk ke bathtub, dan mulai mencoret-coret.

Mata Fiona mulai berat. Diliriknya jam di dinding. Sudah hampir dua jam, Dara masih juga belum selesai mandi. Fiona bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Mengetuk pintunya dan memanggil Dara. Tidak ada jawaban. Diketuknya lebih keras, sambil menempelkan telinganya ke daun pintu. Suara air keran masih terdengar.

“Dara, jawab, dong. Jangan bikin aku khawatir.”

Saras menghampirinya, ia mendengar gedoran Fiona. “Ada apa?”

“Sar, Dara belum keluar juga. Ia sudah dua jam di dalam.”

Saras memanggil Bart, yang langsung mendobrak pintu. Ketika terbuka, Saras memekik. Di dalam bak mandi, Dara tergolek, mata terpejam, kedua tangannya terkoyak, urat nadinya terbuka lebar.

Bart memungut secarik kertas di lantai yang basah terkena air bernoda darah. Ketiga orang itu mematung, membaca puisi yang jelas berisi kerinduan, kepedihan, kepahitan, sepi, dan putus asa. Bart tiba-tiba tersadar, lalu mengangkat tubuh Dara keluar bak mandi, Saras menyelimutinya, Fiona bergegas mengambil kunci mobil, dan membawa Dara ke rumah sakit .

Dokter mengizinkan mereka menjenguk Dara keesokan harinya. Setelah hampir dua hari dua malam mata mereka tidak terpicing, tadi malam semua tertidur, seolah tak ingin terbangun lagi. Takut menghadapi kehidupan yang tak tentu arah.

Ketika Saras dan Fiona masuk ke ruang rawat inap, Dara memalingkan wajah, menyembunyikan air mata.

“Kenapa kalian selamatkan aku?” tanyanya, lirih.

Hati Saras berkecamuk dalam segala rasa, ingin memeluk Dara dan mendamaikannya. Tapi, ia menghampiri Dara dan menamparnya.

“Saras!” Fiona terkejut.

“Bagaimana mungkin kamu bicara seperti itu! Hidupmu terlalu berharga untuk disia-siakan,” suara Saras terbata-bata menahan tangis, air mata mengaburkan pandangannya. “Maafkanlah dirimu sendiri, dan semua orang yang kamu pikir sudah menyakitimu. Sampai kapan kamu akan lari dari kenyataan, dan terus menyalahkan keadaan?”

“Kalian tidak tahu hidupku.”

“Kamu pikir kamu tahu hidupku? Kamu tidak tahu kenapa aku nekat tinggal bersama Bart. Karena, Om Denis melecehkanku! Dia menciumku dengan nafsu seorang pria terhadap wanita,” kata Sarah.

Fiona menggenggam tangan Saras, ikut menangis. “Aku ingin membagi pengalaman pahitku, karena takut tak punya waktu lagi.”

“Apa maksudmu?”

Fiona tersenyum sedih. “Aku sakit. Sangat sakit. Aku mengidap kanker mulut rahim, stadium 2. Hidupku tak lama lagi. Itu sebabnya aku pulang. Kepulanganku kali ini bukan hanya untuk membantu menyadarkan Anita, tapi selamanya. Aku ingin mati di dekat keluargaku.”

Saras menutup mulutnya dengan telapak tangan dan kehilangan kata-kata. Dara menatapnya tak percaya.
“Itu belum apa-apa. Ketika aku memutuskan bertunangan dengan Bonar, hidupku berubah jadi neraka. Dia hanya ingin mendapatkan tubuhku.”

Pandangan Fiona menerawang. “Suatu malam, ia memerkosaku.” Saras dan Dara tercekat. “Jadi, kamu lihat Dara, hidupmu jauh lebih berharga dari kami. Hanya karena pernah gagal menikah, bukan berarti dunia jungkir balik buatmu.”

Dara terdiam. Matanya menatap langit-langit kamar. Bibirnya bergetar, ingin mengatakan sesuatu. “Kalian tidak tahu hidupku. Apa yang kalian lihat hanya permukaan yang indah. Kalian tidak tahu yang terkubur di bawahnya, banyak sampah busuk penuh belatung. Itulah mengapa aku ingin mati.”

FIONA
Menyaksikan penderitaan para sahabat, telah menampar hati Fiona sedemikian keras. Ia teringat kebiasaan-kebiasaan lama yang tak pernah lagi dilakukannya, karena sibuk mencari kepuasan batinnya sendiri. Ia harus kembali berbuat sesuatu. Jika keegoisan diri memuaskan keinginan sendiri tak bisa memenuhi dahaga batinnya, membahagiakan orang lain akan mengisi kerinduannya.

Fiona tertidur dan bermimpi.

Keesokan hari, bagai mendapat terang dari langit, Fiona memutuskan pergi ke Timika. Ia ingin membaktikan dirinya untuk orang-orang ‘terbuang’, yang masih diasingkan dan dianggap hina. Ya, ia ingin bergabung dengan para penderita AIDS di Timika.

SARAS
Saras memandang Bart. Ia yakin telah hamil, sedangkan ia tahu Bart tak terlalu menginginkan anak, dan sampai saat ini belum membicarakan pernikahan resmi. Inilah dilemanya. Apa yang akan dikatakannya agar Bart sadar bahwa ia tak mungkin punya anak tanpa suami. Akhirnya, ia membuka mulut.

“Bart, kamu lihat yang terjadi pada sahabat-sahabatku.”

“Menyedihkan. Tapi, itu tak akan terjadi pada kita,” kata Bart.

“Jangan pernah memastikan sesuatu. Menikahiku saja kamu tak mau. Kalau kita punya anak, anak kita tidak punya status. Di Indonesia, dia hanya akan menjadi anakku, tidak ada pertalian hukum dengan ayahnya. Dia akan disebut anak di luar nikah.”

Bart menatapnya dengan sorot mata menyelidik. “Kenapa kamu tiba-tiba bicara anak? Jangan bilang kalau kamu….”

Saras menatap Bart, tepat di kedua pupil matanya. “Ya. Sudah dua bulan aku terlambat. Jika kamu tak mau menerimanya, aku akan tetap di Indonesia dan kamu harus pulang ke Belanda sendiri.”

Bart terbelalak. “Apa kamu gila? Aku tidak bisa kehilangan kamu! Apalagi, sekarang ada Saras kecil. Tidak ada tawar-menawar. Aku akan minta izin pada ibumu untuk menikahi kamu.”

Mata Saras berkaca-kaca. Suaranya hampir hilang karena haru.

DARA
Dara masih ragu akan apa yang hendak dilakukannya. Ia sadar akan hidupnya yang kosong. Bergelimang harta yang diperolehnya dengan cara kotor, memang berhasil menghapus masa lalunya yang miskin dan penuh kekurangan, tapi tak memperkaya hatinya.

Ketika dokter membolehkannya pulang, Dara mulai menimbang untuk membenahi kesehatan rohaninya. Ia harus bebenah, sudah lama ia tak berkomunikasi dengan Tuhan. Langkah pertama: ia harus mengundurkan diri dari pekerjaan yang telah menambah tebal kepahitan hatinya, mengganti nomor telepon selulernya.

Apakah ia akan berbagi rahasia kelamnya dengan sahabat? Dara memutuskan, ada hal yang harus dibiarkan terkubur. Masa lalu dan rahasia gelapnya akan tetap tertimbun di dasar hatinya.

No comments: