12.22.2010

Hitam Putih Emiliano

Bagaimana gaya seorang gadis yang ingin dianggap dewasa sebelum waktunya?
Karenina
 Ini hari pertamaku bekerja, ini pula hari pertamaku bohong pada Papa, Mama, dan Rendy, kakakku.

Aku bekerja sambilan sebagai sales promotion girl (SPG) di sebuah perusahaan produsen susu bayi terbesar di Indonesia.

Sebulan yang lalu aku melihat ada iklan lowongan pekerjaan di sebuah surat kabar, lalu kukirim lamaran, dan tak lama aku pun dapat panggilan untuk wawancara. Setelah menjalani dua kali tes, aku dinyatakan diterima.

Tapi, aku diam-diam saja, tidak bilang siapa-siapa.

Dan hari ini aku tidak kuliah, padahal baru seminggu ini aku menginjak atmosfer universitas. Umurku baru 18 tahun, baru beberapa bulan lulus SMU. Sesungguhnya aku tidak suka belajar. Seandainya aku bisa memilih, lebih baik aku tidak usah kuliah saja, tapi Papa memaksaku untuk memiliki gelar sarjana, minimal strata satu dengan nilai akademis tinggi. Menurut Papa, wanita harus cerdas untuk terlihat lebih cantik, dan aku setuju dengan pendapat beliau itu.

Tapi, maaf, Papa… hari ini aku berbohong. Walaupun, rasanya aku tak akan pernah menyesali kesalahanku kali ini. Karena, kalau aku tak pernah berbuat salah, mana mungkin aku bisa tahu mana yang benar.

Aku dilahirkan biasa-biasa saja. Kalau aku cantik, tentu Mama sudah menyuruhku masuk sekolah model, seperti yang umumnya dilakukan ibu-ibu yang ambisius. Kalau aku pintar, pastilah Papa sudah mengirimku jauh ke negerinya Madonna, untuk kuliah di Yale.

Tidak ada yang spesial tentang diriku. Tapi, aku cukup puas dengan apa yang kumilikki dan kudapati. Kedua orang tuaku selalu bilang supaya aku mensyukuri apa yang ada. Papa bilang, banyak sekali manusia yang tak pernah puas akhirnya terjerembab ketamakan sendiri.

Aku ini masih anak kemarin sore, setidaknya itu yang dikatakan Rendy, kakakku semata wayang (dulu aku bingung dengan gaya bahasa semata wayang, tapi kakekku suka koleksi wayang, diam-diam kuambil satu dan kuperhatikan ternyata matanya cuma satu, tapi itu berlaku untuk wayang kulit, bukan wayang golek).

Saat ini aku belum punya pacar, entah, ya, bisa juga dibilang begitu. Satu-satunya pria yang dekat dalam hidupku selain Kakek, Papa, Paman, dan Rendy, ya, cuma Erick.

Erick itu anak sahabat Papa dari kecil, umurnya dua puluh satu, seumur Rendy. Aku mengenal Erick dari kecil karena rumah kami hanya terpisah beberapa blok. Dia teman main Rendy main kelereng atau robot-robotan. Waktu kecil, Erick sering mengajakku ikutan main, tapi ujung-ujungnya aku selalu berkelahi dengan Rendy sampai aku menangis. Dan seperti biasa, Erick selalu membujukku supaya aku diam, lalu dibelikannya aku es potong.

Kami tumbuh bersama, karena keluarga kami memang dekat. Aku, Erick, dan Rendy selalu satu sekolah sampai SMA. Saat aku SMP dan mulai mendapat haid, baru kuperhatikan teman dekatku selama ini. Erick menjadi seorang anak muda yang ganteng, semua teman perempuanku naksir sama dia.

Tapi, tololnya, meski dia tahu jadi idola, dia selalu teriak-teriak di depan semua orang, “Pacarku Karenina!” lalu dia kerap mencubit pipiku.

Yang jelas, Erick itu baik dan penuh perhatian. Waktu aku ulang tahun ke-17, dia beri aku boneka Teddy Bear sedang memeluk bantal berbentuk hati. Di bantal berwarna pink berbentuk hati itu, ada tulisan namaku: ‘KARENINA’.

Entah dia dapat dari mana, yang jelas aku cukup senang.

Setiap Valentine, dia beri aku cokelat dan bunga.

Aku pernah menguping obrolan Rendy dan Erick, suatu hari. Erick bilang, “Ren, adik kamu makin cantik. Kalau sudah besar, aku sudah mapan, buat aku saja, ya! Jangan kasih siapa-siapa!”

Rendy cuma nyengir, “Bilang saja sama papaku!”

Lalu setelah itu Erick loncat-loncat, mencari papaku, setelah ketemu, Papa sedang mengelap kacamatanya. Erick menarik-narik lengan Papa lalu berbisik. Papa cuma tertawa terbahak-bahak, Erick pun melongo.

"Oke! Selamat siang semuanya!”
Aku tersentak dari lamunanku. Ini hari pertamaku pelatihan untuk jadi SPG di perusahaan susu ini.

Aku dan sepuluh orang lainnya ditempatkan di satu ruangan, mungkin ruang meeting. Ada meja panjang, whiteboard, dan kursi-kursi. Temboknya dicat putih dan AC-nya dingin sekali.

Orang yang tadi memberi salam umurnya sekitar tiga puluhan, tinggi, putih, sedikit tambun, berkacamata, keturunan Tionghoa.

Dia supervisor-ku, namanya Pak Dhani. Kalau bicara lantang dan meyakinkan, seperti tukang obat di Stasiun Tebet. Ya, maklumlah, marketing staff. Menurut jadwal, dia akan memberi product knowledge untuk para SPG baru.

Dan hari itu pun berlalu begitu saja, cuma berkisar tentang fungsi laktoferin dan DHA bagi perkembangan otak supaya bayi menjadi cerdas. Masih ada lima hari lagi aku harus menjalani pelatihan.

Aku temukan dia di sana, di hari kedua aku menjalani pelatihan.

Namanya Emiliano, dan aku harus menyapanya sebagai Pak Emiliano, karena dia manager area I perusahaan susu ini.

Dia suka namanya dipanggil lengkap, Emiliano, daripada hanya Emil, katanya seperti nama wanita. Dia tampan dan hatiku bergetar ketika memandangnya (untuk pertama kali dalam hidupku!).

Ya, Tuhan, aku ini kenapa?

Aku tahu dia tampan, semua orang pun tahu, terutama para wanita yang selalu mencari alasan berlama-lama dekat dengan dia.

Dia tinggi, putih, necis, sedikit dandy, dan perlente. Betul-betul ganteng, siapa, sih, yang tak suka? Bibirnya tipis, seksi, hidungnya mancung, matanya cokelat, tulang pipinya proporsional, dan rahangnya seksi. Tangannya kokoh dan gaya bicaranya berwibawa. Siapa yang sangka kalau ternyata Pak Emiliano yang gagah dan blasteran Amerika-Jawa itu umurnya empat puluh dua, seumur Mama.

Dasar pria tampan, semua wanita di kantor ini membicarakannya dibumbui gosip-gosip tidak jelas.

Baru dua hari aku menginjakkan kaki di kantor ini, aku sudah dengar segala bisik-bisik tentang dia. Biasalah, dari para wanita, entah itu resepsionis, bagian administrasi, keuangan, dan lainnya. Julukannya: ‘Duren’ alias Duda Keren. Kabarnya, dia memang sudah empat tahun menduda, cerai dengan dua anak.

Tapi, menurut kabar lagi, ia masih punya hubungan baik dengan mantan istrinya. Mungkin karena mantan istrinya punya hak perwalian penuh atas kedua anaknya.

Sejenak menatap Emiliano, aku sudah tahu dia begitu sempurna, nilainya nyaris A plus, bahkan terlalu sempurna sehingga timbul suatu kejanggalan, tapi justru membuatku penasaran. Menurut sekretarisnya, aku menyapanya Mbak Novita, minimal sepuluh wanita sehari menelepon mencari Emiliano.

Terus terang, aku suka, dia murah senyum dan ramah terhadap siapa saja.

Saat aku terkesima ….

“Karenina!” Emiliano menyebut namaku.

Aku tersentak.

“Iiiiya, Pak!” aku gugup.

Emiliano tersenyum.

“Well… what a wonderful name! Namanya secantik orangnya,” puji Emiliano.

Hebat, baru kali ini mukaku menjadi merah dipuji orang. Padahal, mungkin itu sekadar pujian gombal dan basa-basi, yang jelas aku senang sekali.

“Saya panggil kamu Karenina atau Karen atau Nina?”

“Terserah, deh!”

“Oke, Karenina, lebih indah!”

Emiliano yang memberikan product knowledge hari itu, karena Pak Dhani dan beberapa supervisor lain terlambat datang.

Emiliano
Jakarta pagi ini terasa lengang, kusetir mobilku perlahan menuju kantor, hanya untuk menandatangani beberapa berkas, setelah itu aku ada meeting di kantor pusat, daerah Pulogadung, lalu sorenya menghadiri undangan minum kopi beberapa kolega di Hotel Sahid.

Nanti malam aku janji dengan Aisha, mantan istriku, dan kedua anakku, Elfira dan Bimo.

Kemarin Aisha telepon, Bimo merengek-rengek ingin main sega di Plaza Senayan denganku.

Em, (Aisha biasa memanggilku Em), tolong, dong! Bimo nangis-nangis, tuh. Lalu kudengar suara Bimo, “Iya, Bimo pengen perginya sama Papa.”

Aku pun menyanggupi.

Aku dan Aisha resmi bercerai empat tahun lalu, awalnya setelah putusan hakim ditetapkan, hidupku terasa hancur berantakan. Tapi, aku selalu berprinsip everything’s gonna be okay.

Tak lama justru aku dan Aisha menjadi sahabat yang baik tanpa harus mengganggu privasi masing-masing.

Pernikahan kami hanya bertahan empat belas tahun.

Tapi, sudahlah kupikir semua antara aku dan Aisha sudah berlalu, tanggung jawabku hanya pada Elfira dan Bimo. Siapa yang sangka, justru setelah bercerai, aku dan Aisha bisa saling menjadi teman curhat yang baik. Beberapa rekan menyarankan agar kami rujuk lagi. Tapi, setelah dipikir masak-masak, justru ini jalan terbaik bagi aku dan Aisha.

Suatu saat Aisha pernah dekat lagi dengan pria yang usianya lima tahun lebih muda. Ajaibnya, aku tidak cemburu, aku malah menyarankan, siapa pun orangnya, carilah orang yang bisa menggantikan aku, yang terbaik untuk semuanya.

Begitupun sebaliknya, saat aku pernah dekat dengan beberapa wanita, Aisha mendukungku, agar aku bisa memilih wanita yang baik, tulus hati, tidak berdasarkan emosi semata.

Pertama kali kupandang gadis itu, begitu lugu. Wajahnya tidak cantik-cantik amat, tapi menarik, senyumnya ramah. Kulitnya sawo matang, rambutnya panjang, tubuhnya proporsional, ya… lumayanlah.

Pertama kali kulihat namanya di absensi calon SPG baru, namanya Karenina Esmeralda. Lalu kupuji dia, mukanya memerah seperti tomat. Polos sekali dia. Saat kulihat CV-nya, aku cukup mengangkat alis, usianya baru delapan belas tahun, mengingatkanku pada keponakanku.

Katanya dia kuliah sambil kerja, dan (setelah kami sedikit akrab), dia bilang kalau dia bohong pada keluarganya tentang kerja sambilannya, sebagai SPG paruh waktu.

Benar saja, saat aku sedang ke pasar swalayan di Plaza Senayan untuk check product dengan dia dan beberapa SPG lain, tiba-tiba ia secepat kilat menghilang, sembunyi di balik rak makanan India.

“Ada teman Mama,” ucapnya polos tapi setengah cemas.

“Memangnya kenapa kalau ketahuan? Malu?”

“Bukan, aku kan bohong sama Papa,” dia membela diri.

Lalu, ujung-ujungnya aku tahu, dia suka padaku. Bukankah semua wanita yang kukenal sebagian besar suka padaku? Tapi maaf, aku tak berbakat jadi Cassanova, jadi tak mungkin kupacari semua.

Aku pernah kena batunya, kupacari empat wanita sekaligus setahun lalu, dalam waktu bersamaan. Apesnya, keempatnya tiba-tiba bertemu dalam situasi yang sama. Mereka berempat akhirnya berkenalan dan semua bercerita tentang aku. Secepatnya aku menghilang dan kabur ke rumah Aisha. Keempat wanita itu mengejarku.

“Ish, tolong aku!” pintaku memelas.

Aisha malah menjewer kupingku hingga memerah. Tapi, lama-lama Aisha tak tega, dia membantuku juga, dia temui empat pacarku itu dan bicara baik-baik.

Saat semua selesai dan empat pacarku sudah pulang, Aisha mengomel-ngomel, pantatku dipukul pakai bantal kursi bermotif bunga.

“Dasar nggak tahu diri! Jangan sok jadi Don Juan, deh!” Aisha cemberut. “Bandel amat, sih, jadi orang!”

“Ampun, Sri Ratu! Hamba minta maaf, ya! Hamba tidak akan merepotkan lagi, Sri Ratu!” aku merayu dan menyembah-nyembah.

Aku tahu Aisha menahan tawa, tapi pura-pura judes. Lalu dia menyuruhku pulang.

Sejak itu aku kapok, lebih baik aku punya pacar satu orang, tapi cuma dua minggu, lalu ganti lagi yang lain.

Tapi, kali ini justru aku melihat sesuatu yang lucu dan ganjil.

Saat ketemu Karenina, aduh mak, umurnya baru 18 tahun. Polos dan biasa saja, layaknya remaja seumurnya.

Maklum, umurku empat puluh dua, dan aku terbiasa bertemu wanita usia dua puluh tujuh ke atas yang matang dan dewasa secara kepribadian.

Otak isengku pernah muncul, seperti ada peri hitam putih, kupacari saja Karenina. Yang hitam bilang ya, yang putih bilang jangan.

Karenina, aku tahu dia suka padaku, dari tatapan matanya dan sikapnya yang malu-malu dan kerap menghindar.

Dia pernah bilang secara jujur, kalau aku seumur mamanya, lalu kucandai, “Apa mamamu punya adik perempuan? Apakah cantik?” Dia bilang, “Kalau ya, kenapa?” Kujawab setengah iseng, “Buat aku saja.”

Lalu ekspresinya berubah menyusut, mungkin ia cemburu, dengan cepat ia berkata, “Tanteku sudah menikah, apa Pak Emiliano mau ganggu istri orang?”

Aku tahu kamu cemburu, Sayang. Tapi, aku senang menggodanya.

Aku pernah mengantarnya pulang, tapi dia tak mengizinkan aku masuk ke rumahnya. Alasannya, bukankah selama ini dia bohong kalau dia kerja sambilan.

Tapi, aku tahu alasan yang tepat, karena aku tahu, orang tuanya pasti shock berat kalau melihat anak gadisnya diantar pria berumur empat puluh dua tahun.

Aku pernah Tanya, “Apa kamu punya pacar?” Dia jawab, “Tidak tahu.” “Mengapa bisa begitu?”

Lalu dia bercerita tentang kisahnya dan kisah pemuda bernama Erick. Dia bertanya, “Apa Erick bisa disebut sebagai pacarku?” Aku dengan cepat bilang, “Tidak, karena pacaran bukan seperti itu, itu cuma kasih sayang yang timbul karena kebersamaan.”

“Lalu pacaran itu seperti apa?” tanyanya.

Bagaimana mungkin, pasangan yang sudah bercerai bisa berhubungan akrab, melebihi keakraban pasangan yang masih utuh?

Aku tidak bisa menjelaskan secara gamblang, karena sudut pandangku berbeda dengan anak baru gede macam dia.

Aku tidak bisa menjabarkan bagaimana teori dan praktiknya.

Aku tidak mau merusak dia.

Karena kita terlibat dalam berbagai perbedaan.

Dia cukup menyenangkan, terlihat wajar dan apa adanya, berbeda jauh dengan banyak wanita yang pernah kudekati.

Rata-rata mereka wanita dengan karier cemerlang, dengan aktivitas yang banyak, lalu pergi ke salon, klub kebugaran, dan malamnya melepas lelah di kelab malam atau kafe elite. Yang sibuk dengan diet, lalu kencan di restoran mahal, belanja di butik dan tak puas-puasnya mempercantik diri.

Karenina tak seperti itu, belum seperti itu, atau mungkin akan seperti itu, aku tidak tahu.

Pernah suatu kali kuajak dia kencan. Tahu tidak, dia cuma pakai jeans, sepatu kets, tanktop, dan capuchon plus tas ransel. Aku melongo, seperti dia yang terheran melihatku memakai setelan rapi, padahal aku sudah susah-susah menyetrika hem, celana, dan dasiku.

Lalu dia bilang, “Apa aku salah kostum?”

Padahal, aku sudah berencana untuk candle light dinner di restoran favoritku.

Biasanya wanita yang kuajak akan senang. Dia tidak dan menolak mentah-mentah.

Lalu akhirnya kami nonton film di bioskop, main sega dan makan di resto siap saji.

So, tidak ada candle light dinner, tidak ada alunan musik, tidak ada dansa.

Lucu, seperti jalan dengan kedua anakku, Elfira dan Bimo. Tapi, bedanya, Karenina tidak merengek minta dibelikan mainan seperti Bimo.

Bagaimanapun, aku kan pernah muda, pernah remaja, rasanya seperti nostalgia berpacaran saat umurku belia.

Ah, sudah berapa puluh tahun berlalu itu?

Karenina
Cinta kadang-kadang membelenggu, seperti rantai besar yang diikat pada kaki narapidana.

Pada akhirnya Papa tahu kalau aku kerja sambilan, dan dia tidak marah, justru merasa bangga.

Tentang Emiliano, tak ada yang tahu.

“Rendy, orang dewasa itu seperti apa, sih?”

“Mungkin seperti Evan atau Tessa.”

Evan dan Tessa itu saudara sepupuku, anak kakak Papa yang paling tua. Umurnya sekitar dua puluh delapan.

“Atau seperti Tante Widya,“ pikirku mengingat adik bungsu Mama, yang umurnya tiga puluh tujuh tahun.

“Ada apa, sih?” Rendy heran.

“Nggak!”

"Kamu yakin mau ikut Tante?” Tante Widya bingung.

“Ya, aku mau ikut, biar tahu.”

“Tahu apa? Sudah bilang Papa dan Mama?”

“Sudah, yang penting perginya sama Tante dan Oom Wisnu.”

Kemarin kutelepon Tante Widya, merayu minta diajak pergi melihat kehidupan orang dewasa. Aku cuma ingin tahu, bagaimana rata-rata dan kira-kiranya kehidupan Emiliano, yang katanya makan malam di hotel, atau sekadar nongkrong di kafe. Aku hanya ingin tahu bagaimana contoh orang-orang di sekeliling Emiliano, entah pria atau wanita.

Dan akhirnya baru pada Tante Wid aku cerita soal Emiliano, dan dia bengong seperti sudah kuperkirakan sebelumnya.

“Lebih baik jangan!” saran Tante Widya.

“Tapi janji, jangan bilang siapa-siapa dulu, ya!” pintaku.

“Dia tak akan serius sama kamu!”

“Kok, Tante bilang begitu, sih!”

“Pada akhirnya kamu akan sadar sendiri.”

Akhirnya aku diajak nongkrong di kafe, menikmati musik. Berpuluh orang berlalu-lalang, rata-rata kaum eksekutif muda, pria dan wanita borjuis.

Asap rokok dan cerutu di mana-mana. Bau alkohol menyeruak dari mulut mereka. Lalu mereka mengeluarkan uang dan kartu kredit hanya untuk kesenangan.

Tante Wid menarikku.

“Kamu lihat orang di sofa pojok sana!”

Aku mengikuti telunjuk Tante Wid.

Ada sepasang manusia, yang pria tampak berumur, yang wanita tampak belia.

“Mungkin seperti kamu dan Emiliano.”

Aku diam.

Kemudian sepasang manusia itu saling berpalukan dan berciuman, tak peduli musik atau suara tawa dan ingar-bingar.

Di meja kedua orang itu tampak gelas-gelas minuman yang sudah kosong.

“Ini gaya hidup sebagian orang berduit,” Tante Wid berkata.

Tapi aku membela diri.

Mungkin, jika aku berjalan bersama Emiliano, akan tampak suatu kejanggalan. Tapi bedanya, aku wanita baik-baik. Sedangkan wanita yang berciuman itu bisa saja adalah wanita nakal. Lalu permainan mereka akan berakhir di kamar hotel.

Besoknya aku diajak Tante Wid ke salon, untuk creambath, manicure dan pedicure. Kemudian beli baju di butik, makan siang di restoran mahal. Awalnya aku merasa senang, tapi setelah beberapa kali kujalani, aku mulai jenuh dan muak.

Tante Wid tersenyum dan berkata, “Jangan coba dewasa sebelum waktunya! Kedewasaan bukan dari gaya hidup, tapi dari pandangan hidup. Kedewasaan bisa diukur dari cara seseorang menyikapi dan menyelesaikan masalah!” begitu katanya.

Frederick
Kalau ditanya sayang, aku sayang Karenina. Kalau ditanya cinta, aku cinta setengah mati sama dia. Aku mengenalnya sejak bocah ingusan yang suka main karet lompat tali atau petak umpet.

Lama-lama ada rasa ingin terus menjaga dan melindunginya. Aku paling suka kalau dia menangis, lalu berlindung dan berlari padaku.

Setelah menginjak usia tiga belas, aku merasa ada yang lain di hati, padahal sejak ia di taman kanak-kanak, kupikir ia cuma adikku. Karena aku anak tunggal. Memang dia tak pernah manja, tapi aku dengan senang hati mengantarjemputnya ke sekolah.

Saat SMA, papa-mamanya pernah menyangka aku pacaran dengan dia.

Meski begitu, aku tak pernah menyatakan cinta, bukan tak mau, tapi memang belum saatnya. Pernah suatu kekhawatiran merebak, bagaimana kalau suatu saat ada pria datang dalam hidupnya dan dia juga mencintainya. Lalu dia takkan bisa di sisiku dan kujaga lagi.

Aku tak menutup diri, banyak teman wanita suka padaku. Deringan telepon tiap hari yang membuat Mama terheran. Banyak juga yang sudah menganggap aku pacarnya. Banyak juga yang cemburu pada Karenina, dan terang-terangan membenci Karenina.

Seperti biasa, Karenina selalu bilang pada wanita yang membencinya, “Kalau suka sama Erick, ambil saja, memangnya aku ini pacarnya?”

Aku seumur dengan Rendy. Sejak kecil kami sudah bersahabat. Karena waktu kami kecil, kami punya cita-cita ingin punya usaha sendiri, kantor detektif, seperti Sherlock Holmes.

Aku dan Rendy menamakan diri dua sekawan, karena kami tidak punya kandidat teman dan anjing untuk menjadi Lima Sekawan.

Terlalu banyak baca buku detektif.

Sampai lulus SMU Rendy belum lupa pada cita-citanya dulu itu. Dia lebih berbakat, instingnya lebih kuat. Pada kasus sepele contohnya, saat mamanya kehilangan uang dan cincin dan Karenina kehilangan sepatu barunya. Setengah hari kemudian, Rendy menduga bahwa pembantu di rumahnya yang mencuri, tapi mamanya tidak percaya. Setelah dicek, ternyata benar. Dengan gaya Sherlock Holmes-nya, Rendy menginterogasi pembantu tersebut, lalu pembantu itu menangis-nangis, kemudian dipecat.

Tentang Karenina, apakah aku terlalu muluk? Aku hanya ingin, jika aku menikah nanti, dialah wanita yang kuinginkan jadi istriku, pendamping hidupku.

Rendy memandangi kedua teman kampusnya dalam-dalam, lalu tersenyum.
“Aku punya ide cemerlang.”

Arthur dan Zia memandangnya tak mengerti.

“Bagaimana kalau kita jadi detektif?”

Arthur tertawa terbahak-bahak, lalu berhenti.

“Memangnya mau menyelidiki kasus apa? Pembunuhan seorang wanita tua di kastil peninggalan nenek moyangnya karena perampokan?”

Zia menyeringai.

“Kamu terlalu banyak baca buku detektif. Atau, kau pikir, mungkin di bawah bangunan gedung kampus kita ini ada warisan harta karun!”

“Kalian pikir aku sebodoh itu?” Rendy menyalakan sebatang rokok.

“Lalu apa?” Arthur tak berminat.

“Ini tentang skandal percintaan!” ucap Rendy tak berekspresi.

Kali ini giliran Zia terpingkal-pingkal.

“Hey, ini tentang Imelda Marcos atau Camilla Parker Bowless?”

“Teman-teman, memangnya aku sudah gila? Ini bukan tentang siapa-siapa, tapi tentang adikku sendiri, Karenina.”

Zia tampak terkejut, tapi wajahnya acuh tak acuh.

“Oh,” Arthur menggumam, “memangnya adikmu itu punya skandal dengan siapa? Dengan pejabat kaya, penjudi, mafia, atau suami orang?”

“Entah ya, aku tak begitu yakin, tapi apa kalian berjanji mau menolongku mencari tahu?”

Zia menyibakkan rambut hitam panjangnya. Dia tampak cantik dengan setelan biru muda yang dikenakannya.

“Oke! Why not?!” Zia tampak senang hati.

“Tapi, bukan dengan begitu berarti kita menjadi orang yang usil dan mau tahu urusan pribadi orang,” Arthur sedikit cemas.

“Itu urusan belakangan. Kalaupun Karenina tahu, suatu saat dia pasti akan berterima kasih,” Rendy meyakinkan

“Coba kamu ceritakan mengapa kau begitu yakin kalau adikmu itu terlibat skandal percintaan? Dia kan bukan pesohor, dan untuk apa kita selidiki?” Arthur meminta penjelasan.

 
“Begini ceritanya teman-teman…,” Rendy bergaya wibawa. “Akhir-akhir ini Kareninaku sayang bersikap janggal, pada hari-hari tertentu dia bolos kuliah, ini bukan tentang pekerjaan sambilannya sebagai SPG. Dari rumah dia bilang pergi kuliah, dan tiba-tiba dia menjadi genit, senang berdandan dan memakai baju seksi.”

Zia memalingkan kepala dan tersenyum.

“Kenapa tiba-tiba kau menjadi kakak yang posesif? Itu nggak baik. Tapi, aku tahu, mungkin adikmu itu sedang jatuh cinta.”

Rendy mengembuskan asap rokoknya kuat-kuat.

“Kalau itu aku paham, tapi kenapa dia harus sering bolos kuliah? Memangnya dengan siapa dia pacaran?”

Hening sejenak, kemudian Arthur berargumen, “Jangan-jangan dia jadi pacar gelap seorang direktur bank.”

“Hus!” Rendy setengah linglung “Itu dia yang aku ingin tahu, bagaimana kalau kita cari tahu?”

“Tanyakan saja langsung pada dia!” saran Zia.

“Sudah, tapi dia selalu menghindar dengan alasan yang dibuat-buat, tapi tepat.” Ketiganya hening dan saling berpandang. Rendy tersenyum, senyum sok pintar, bahkan terlalu sok.

“Begini caranya….” Rendy merangkul Arthur dan Zia, kemudian berbisik-bisik.

Empat hari kemudian.
Rendy meneguk cokelat panasnya, di hadapannya duduk Zia dan Arthur dengan muka tak kuasa.

“Mana info yang kubutuhkan?” tagih Rendy.

Zia kikuk.

“Semalaman kutulis di kertas, mau kubacakan atau kau baca sendiri?” Zia menaruh selembar kertas di depan Rendy. Rendy melirik tak berminat.

“Sebelumnya, teman…,” Arthur menyela, “mana janjimu? Imbalannya maksudku, dua kali nonton, makan dan CD Bon Jovi….”

“Huh!” Rendy mengeluh.

“Aku sekadar mengingatkan,” ucap Arthur tegas.

“Oke, Friend! Sejak kapan aku ingkar?”

“Hey, cukup! Mau dengar atau tidak?” sambar Zia kesal.

“Oke, oke!”

“Kau kan tahu kalau adikmu itu jadi SPG freelance susu bayi.”

“Lalu?”

“Lalu apa?”

“Yang tentang jatuh cinta itu!”

“Oh, itu, saat ini dia memang dekat dengan seseorang, entah apa posisinya, kurasa, ya, kurasa… pria itu manajernya,” suara Zia seperti tercekat.

“Ya, kurasa lebih baik kau tahu yang sebenarnya, Kareninamu sedang jatuh cinta pada pria itu, namanya Emiliano Adrian, indo Amerika-Jawa, ya, New York-Yogya. Orangnya cukup tampan, berwibawa dan keren juga. Emiliano… bagaimana, ya… hmmm usianya empat puluh dua tahun, statusnya duda cerai dengan dua anak, rumahnya di daerah Kemang. Hey, Rendy! Apa kau baik-baik saja?”

Tiba-tiba Rendy tersedak, tenggorokannya dipenuhi cokelat panas, lalu ia mengibaskan tangan di depan mulutnya yang menganga.

Rendy mengambil dompet dan mengeluarkan uang tiga ratus ribu.

“Ini untuk kalian, terima kasih. Kalau masih kurang, besok bilang padaku di kampus!”

Rendy berlalu.

Karendana

Semalam aku membuntutinya, pria bernama Emiliano itu, yang disebut-sebut sebagai perampas hati Karenina.

Dan aku pikir, adikku itu orang paling bodoh sedunia, juga sinting.

Bayangkan, dia bisa-bisanya jatuh cinta pada pria seumur Mama. Entah harus kupanggil pria itu apa? Oom? Bang? Pak? Mas? atau Tuan?

Kenapa, sih, harus dengan pria itu? Kenapa juga dia tidak cari pacar yang seumuran saja? Atau yang jarak usianya tidak jauh-jauh amat.

Oh, aku tak bisa bayangkan kalau adikku berjodoh dengan si Emiliano itu (Mama pasti pingsan!).

Masa, sih, pria berumur kepala empat itu bakalan jadi adik iparku? Dan adikku harus ikutan mengurus kedua anaknya? Anaknya yang paling tua umurnya 13 tahun, sedangkan Karenina 18 tahun.

Aku menolak mentah-mentah, tidak setuju dengan perasaan cinta Karenina terhadap Emiliano. Tapi, celakanya, Karenina bilang hanya aku yang dapat diandalkan untuk menyetujui hubungan asmara mereka. Karena Papa dan Mama pasti pingsan kalau tahu kejadian ini.

Aku pernah bilang sama Karenina, Emiliano tidak akan pernah serius dengannya. Karenina membantah sambil cemberut.

Aku memandang dari sudut pandangku sebagai pria. Aku bayangkan gaya Emiliano kencan pasti di kafe lalu berakhir dengan
tidur bersama.
Itu memang berbahaya bagi gadis muda seperti Karenina, tapi bagi Emiliano atau pria lain, gaya seperti itu adalah lumrah.

Usiaku memang baru dua puluh satu tahun, mungkin jalan hidupku masih panjang dan belum punya cukup pengalaman untuk mempunyai pikiran seperti Emiliano, tapi aku kan juga pria. Lalu apa, ya, yang harus kubilang pada Erick, sahabatku itu cinta setengah mati pada Karenina.

Harapanku, Karenina hanya terbuai awal indahnya cinta. Semoga lama-lama ia mampu menilai dan tahu sendiri apa yang harus ia lakukan.

Karenina

Semalam aku kencan dengan Emiliano, kali ini berbeda, di sebuah lounge di bilangan Kemang. Lalu kami candle light dinner, dan aku agak kikuk.

Lalu dia mengajakku berdansa, aku menolak karena aku memang tak bisa berdansa.

“Sini kuajari,” bisiknya di telingaku.

Aku pun menurut.

Sebenarnya aku agak sedikit takut. Bagaimana tidak, di lounge itu, aku berada di VIP Room, di mana hanya ada aku dan Emiliano. Aku ngeri, bagaimana kalau dia macam-macam padaku, seperti di film-film. Tapi, aku agak memberanikan diri, percuma aku belajar karate di klub dekat rumah.

Tak yakin juga, sebab kepalaku mulai berat, dua gelas red wine mulai mengolengkan langkahku. Aku tidak pernah minum wine sebelumnya.

Saat Emiliano memelukku erat-erat, aku mendapatkan hatiku bergetar. Lalu kami pun berciuman, ciuman panjang.

Esoknya, Emiliano bertanya bagaimana kalau seandainya ia datang ke rumahku dan kenalan dengan orang tuaku?

Aku bilang, jangan atau nanti dulu.

Kenapa? Kamu takut atau malu?

Aku cuma diam, mencari solusi yang tepat, aku masih mereka-reka bagaimana reaksi Papa dan Mama kalau tiba-tiba Emiliano datang dan memperkenalkan diri sebagai pacarku.

Aku memotong ke arah yang lain.

Suatu hari aku pernah diajak makan siang untuk ketemu dengan mantan istri dan kedua anaknya.

Aku senang sekali. Dan alamak! Mantan istrinya yang bernama Aisha itu cantik dan baik sekali! Lalu kedua anaknya, Elfira dan Bimo, adalah dua anak yang manis, ramah, dan sopan.

Kenapa kau ceraikan?

Emiliano hanya tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya. Mungkin belum waktunya ia bicara.

Di dunia ini semua hal bisa terjadi.

Dan satu detik adalah misteri di kehidupan manusia.

Satu detik mampu mengubah hati dan hidup manusia dalam keputusan-keputusannya.

Akhirnya aku tak lagi bekerja sebagai SPG susu bayi tersebut, karena Papa mulai mengomel akibat nilai IP-ku yang menurun.

Tapi, frekuensi bertemu Emiliano cukup sering, aku mulai sering berkunjung ke apartemennya, meski tak pernah menginap. Hanya sebelum berangkat ke kampus, sekadar untuk membangunkan dia dan sarapan bersama, lalu setelah kuliah dan dia pulang kantor. Aku baru pulang sekitar pukul setengah sembilan malam.

Kalau malam Minggu aku baru pulang pukul sebelas.

Di hari Minggu, aku sering cari-cari alasan untuk ke luar rumah, karena Mama marah-marah aku jadi jarang di rumah.

Mama bilang, Erick sering mencariku, tapi aku tak pernah ada. Lho, bukannya di kampus kami sering bertemu?

Dan Mama mempertanyakan itu. Aku bilang aku jalan-jalan, pergi sama teman-teman, lagi seneng main ke kafe atau diskotek.

“Masa, sih, setiap hari?”

Aku cium kening Mama, dan melangkah pergi.

Emiliano sudah menjemputku di ujung jalan.

Kami pergi ke apartemennya, berdua seharian, lucu juga main kucing-kucingan di belakang orang tuaku.

“Mungkin papamu telah curiga?” Emiliano menciumiku. “Aku tidak takut, aku hanya menghargai perasaan kamu yang hormat pada orang tua,” tambahnya lagi.

Aku berdalih, Papa itu tegas, dia pasti akan mempertahankan prinsipnya. Ia pasti marah kalau sampai tahu anak perempuannya pacaran dengan pria berumur. Karena, menurut Papa, sekarang banyak sekali gadis-gadis pacaran dengan pria tua. Dan para gadis itu, menurut Papa, tak ubahnya seperti wanita murahan. Tepatnya, istri simpanan alias cem-ceman.

Tapi, aku kan tidak. Emiliano tidak punya istri, kok, dan aku bukan istri simpanan.

Emiliano selalu memperkenalkan aku kepada kenalannya, bahwa aku ini pacarnya.

Kecuali ke komunitasku, keluargaku, dan Erick.

Dia tanya kalau aku tetap tak jujur pada komunitasku, Mau dikemanakan hubungan kita ini?

Aku tak bisa menjawab.

Padahal, aku tak munafik, aku ingin sekali menikah dengannya.

 
Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada hubungan harmonis antarkeluarga, meski banyak hal berbeda di antara mereka?

Emiliano
Kami belum pernah bercinta, maksudku, aku dan Karenina.

Bohong kalau aku tak ingin tidur dengannya.

Karena aku masih bingung dengan hubungan kami. Aku masih khawatir jika terjadi sesuatu, lantas dia menuntut ini-itu.

Aku hanya ingin sebuah akhir yang baik, entah dia akan putus denganku atau dia justru berjodoh denganku, aku ingin dia masih perawan.

Mungkinkah hawa nafsu akan menggulingkan janji, aku tidak tahu.

Aku senang jika sekarang dia akrab dengan Aisha, Elfira, dan Bimo. Pacar-pacarku yang dulu jarang yang bisa seperti itu.

“Ish, menurut kamu bagaimana tentang Karenina?” tanyaku suatu hari pada Aisha.

“She loves you, Em!”

“I know .”

“So what? Hey, jangan pernah berpikir kalau kamu cuma mainin dia….”

“Nggak, sih. Tapi, dia terlalu muda untukku….”

“Dia juga pernah bilang hal yang sama, bahwa kamu terlalu tua untuknya.”

“So?”

“Tapi, dia bilang itu nggak masalah.”

“Oh!”

“Sudah, deh, Em, kadang-kadang kamu itu harus menempatkan diri sebagai orang Indonesia, bukan sebagai orang Amerika.”

“Kok, kamu bilang begitu, sih?”

“Kadang-kadang kamu suka salah tempat, kalau lagi punya pacar orang Amerika, sikap kamu kejawa-jawaan, giliran pacaran sama orang Indonesia, huh, muncul, deh, gaya Amerikamu.”

“So?”

“Kamu pikir sendiri, deh! Oh, ya, semalam Dad telepon, dia tanya kamu, kapan mau pulang ke Yogya?”

Aku diam, sudah lama aku tak pulang ke Yogya.

Sejak Mom meninggal karena kanker getah bening lima tahun lalu, Dad pulang ke Yogya untuk menghabiskan masa tuanya. Bagi Dad, Yogya telah melahirkannya, dan lingkungan yang membesarkannya juga Yogya, kota yang telah mempertemukannya dengan Mom. Meski Dad ikut Mom ke New York dan akhirnya punya anak: aku, Lindsay, dan David, toh, akhirnya Dad tetap kembali ke Yogya.

Lindsay, adikku, menikah dengan seorang pria kaya berkebangsaan Kanada, menetap di Vancouver, sudah punya tiga anak. Sedang David, adikku yang satu lagi, sekarang tinggal di Paris, sendiri, setelah dua kali pernikahannya gagal. Pertama dengan wanita Hispanic, yang kedua dengan wanita Cina. Dari dua mantan istrinya, masing-masing David punya dua orang anak.

Yang aku ingat waktu Mom dan Dad masih tinggal di New York, setiap Thanksgiving Day kami selalu berkumpul bersama. Lindsay datang dengan suaminya, Peter, dan tiga anak mereka: Caroline, Francoise, dan Laure. David datang sendiri, tapi tak lama menyusul mantan istrinya yang Hispanic, Maria Elena, dengan dua anaknya, Juan dan Sabrina. Lalu mantan istri keduanya, Linda Hwa, dengan dua anaknya pula, Melissa dan Ken.

Maka rumah pun menjadi ramai, Dad dan Mom senang melihat cucu-cucunya bermain. Buat Mom rasanya indah karena kami campuran dari berbagai bangsa.

Aku dan Aisha sering berkelakar.

“Bagaimana kalau kita jadi dewan PBB saja….”

Pernah kami satu keluarga besar pulang untuk liburan ke Jakarta dan merayakan Tahun Baru bersama di Bunderan HI karena terjebak macet.

Sejak Dad kembali ke Yogya, untuk acara kumpul keluarga, meski aku sudah cerai dengan Aisha, justru Aisha yang giat menghubungi saudara-saudaraku. Dia kirim 4 surat melalui paket kilat, untuk Lindsay di Vancouver, David di Nice, Maria Elena di Puerto Rico, dan Linda Hwa di Hong Kong.

Di keluarga kami, meski ada perceraian, hubungan keluarga harus tetap utuh. Aisha menganggap, entah itu Lindsay, Peter, David, Maria Elena, dan Linda Hwa, sudah seperti saudara sendiri. Semua itu Mom dan Dad yang telah mengajarkan. Karena semua mempunyai garis satu keturunan yang ada pada cucu-cucu Mom dan Dad. Itulah yang membuatku tetap dekat dengan Aisha.

Saat bercerai dulu Aisha pernah bilang, “Meski aku pisah sama kamu, aku tetap punya lima saudara, juga punya Mom dan Dad. Meski lima saudara itu tersebar di berbagai belahan dunia, meski sekarang Mom sudah tak ada.”

Aku salut. Pernah suatu saat Lindsay bilang sedang sedih, dia menelepon Aisha saat itu juga, lalu Linda Hwa, Maria Elena, dan David.

Mereka saling menghibur dan saling menyuruh untuk membuka jendela dan memandangi langit.

Look at the sky, you’ll find the way.

Karena hati kita saling bertemu di sana.

Tapi, Aisha bilang, mereka saling telepon-teleponan dan saling tertawa karena pembagian siang dan malam yang tidak sama.

Saat menjelang Desember, Asia Tenggara mulai musim hujan, Linda Hwa mulai mengeluh tentang selokan dekat rumahnya yang agak banjir, sedangkan Lindsay dan David menelepon menceritakan sibuknya mereka membersihkan salju di halaman. Soal agama, aku ikut Dad sebagai seorang muslim, Lindsay dan David ikut Mom yang Protestan. Iparku, Maria Elena dan Linda Hwa, adalah Katolik sejati.

Tapi, kami tidak pernah memperumit masalah perbedaan itu. Bukankah dunia terasa lebih berwarna dan indah karena adanya perbedaan?

Saat Mom masih ada hingga sekarang pun, saat Natal kami selalu berganti tempat tiap tahun untuk merayakannya, entah di rumah Lindsay, David, Maria Elena, atau Linda Hwa. Sedang New York hanya untuk perayaan Thanksgiving.

Saat Lebaran, mereka berduyun-duyun ke rumahku di Jakarta atau pulang ke Yogya. Rutin setiap tahun.

Aku senang, dan cukup bahagia dengan hidupku.

Jennifer
Aku nyaris lelah mencari Emiliano. Tapi, mimpi dan anganku selalu berharap akan adanya keajaiban. Dan ketika tak sengaja kujumpa Emiliano, benar-benar suatu kebetulan, tepatnya serendipity. Tentu saja aku senang bukan main. Karena, dari dulu aku sudah yakin, aku masih menunggu datangnya saat yang bisa mempertemukan lagi aku dan Emiliano.

Aku bertemu dia pertama kali di Jakarta, di sebuah pusat perbelanjaan, sepuluh tahun lalu. Saat itu aku baru berusia dua puluh dua tahun, sedangkan Emiliano sudah tiga puluh dua. Waktu itu aku berdua dengan Tasya, teman kampusku di Unika Atmajaya.

Ternyata Emiliano teman kakak lelaki Tasya.

Setelah diperkenalkan, aku membisiki Tasya, “Sya, gua suka!”

Lalu akhirnya kami bertiga makan siang bersama. Tak lama, hanya setengah jam, Emiliano pun pergi.

“Apa dia biasa ke sini?” tanyaku.

“Nggak tahu,” sahut Tasya seperti enggan memberi komentar.

Setelah itu aku ingat, sedikit merayu, meminta Tasya supaya dicomblangi.

Dari raut mukanya, Tasya tak setuju.

Jangan-jangan dia suka juga dengan Emiliano, pikirku waktu itu.

Lalu dua hari kemudian, secara tak sengaja aku ketemu Emiliano lagi di pompa bensin di daerah Gunung Sahari. Hanya dua menit, setelah itu tak pernah bertemu lagi.

Belakangan aku baru tahu bahwa Emiliano sudah menikah, itu pun aku tahu sesaat sebelum Tasya dan keluarganya pindah ke Brussel.

Dan Tasya bilang kalau Emiliano juga akan pindah ke New York dengan istri dan anaknya, karena ibu Emiliano mulai sakit-sakitan.

Aku hanya diam, kecewa, karena sebelumnya aku tak pernah menyukai orang hanya dalam sekali bertemu.

Naif memang, tapi begitulah cinta.

Kelihatannya konyol dan bodoh.

Lalu Tasya sering berkirim surat.

Jen, aku tahu perasaan kamu tentang dia. You love him at first sight. Dan kamu pasti nekat meski kukasih tahu kalau dia itu suami orang.

Jen, daripada harapan kamu kosong, apalagi dia boyong istri dan anaknya ke New York, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan sampai kapan, lebih baik kamu lupakan dia saja, deh!

Tapi aku masih punya keinginan untuk mencari hingga aku lelah sendiri. Aku penat dan letih. Aku dulu berpikir bahwa hal yang tampaknya sudah tidak mungkin dapat menjadi mungkin.

Hidupku cuma sekali, jika dalam agama Hindu atau Buddha ada reinkarnasi, mungkin bisa hidup untuk kedua kali, tapi pasti jalan kehidupan yang kedua sudah berbeda.

Aku tak pernah mau sia-siakan hidupku yang hanya sekali, dengan pasrah karena cinta. Kalau aku suka, aku harus mendapatkannya, meski menurut orang aku melakukan hal yang dungu. Kadang-kadang aku sadar juga kalau aku bersikap dungu, saat aku sedang realistis, masa, sih, aku jatuh cinta dengan orang yang baru dua kali ketemu. Bahkan, rumahnya pun aku tak tahu.

Tapi, dia menghantui hidupku, selalu hadir di mimpiku selama sepuluh tahun ini. Gambaran seorang pria indo yang tampan dan senyumnya bagus, selalu ada ke mana pun aku pergi.

Kadang-Kadang aku merasa apa aku ini gila, kenapa aku bisa begini.

Lima tahun lalu, saat aku tak tahan lagi kepingin mencari, aku nekat pergi ke Brussel, mengetuk pintu rumah Tasya yang kaget setengah mati.

“Gila! Aku seneng banget ketemu kamu!”

Lalu kami bernostalgia. Tapi, setelah Tasya tahu bahwa tujuanku datang hanya untuk mengorek tentang Emiliano, dia bengong.

Emiliano? Emiliano yang mana, sih? Aku lupa, Jen!

Giliran aku yang bengong, bagaimana mungkin Tasya bisa lupa.

“Ya, ampun, Jen! Yang waktu dulu ketemu di Ratu Plaza, ya? Oh my God! Masa, sih, kamu masih kepikiran untuk mencari dia?”

Aku lesu.

“Tapi, kamu salah alamat untuk mencari dia ke sini. Dia kan di New York. Tapi, sebentar, aku tanya abangku dulu, ya.”

Ticco, kakak lelaki Tasya, yang kini sudah menikah, hanya memberi tahu alamat Emiliano di New York.

“Carilah dia!” saran Ticco. ”Tapi, kalau kamu nanti kecewa, jangan salahkan aku, ya.”

Dua hari kemudian aku terbang ke New York, mencari alamat Emiliano. Ternyata rumahnya sepi, rumah besar dari kayu oak yang tampak lengang. Seorang wanita Amerika tua, gemuk, dan berambut merah menyambutku ramah, dan mempersilakanku masuk.

“Anda siapa? Saya Kathleen, saya penjaga rumah ini.”

“Saya Jennifer.”

“Anda berwajah sangat Asia, Nona! Anda ini temannya Emiliano atau Linda Hwa?”

Aku tak mengerti, siapa Linda Hwa?

Kemudian wanita bernama Kathleen itu mengajakku ngobrol sambil menyuguhkan hot choccolate.

Dia bercerita tentang semuanya, dan yang mengejutkan, Emiliano sudah kembali ke Jakarta karena ibunya sudah meninggal.

Saat aku minta alamat Emiliano, Kathleen memberinya.

Aku pun pulang ke Jakarta, Huh, capek-capek ke luar negeri, ternyata orangnya di Jakarta-Jakarta juga.

Aku mencari alamat Emiliano dan ketemu.

Surprise sekali, ternyata rumah itu sudah tak dihuni oleh Emiliano lagi.

Menurut penghuninya yang baru, “Emiliano sudah pindah! Dia di sini hanya kontrak tiga bulan karena menunggu rumahnya sedang direnovasi.”

“Rumahnya direnovasi? Di mana?” tanyaku bersemangat.

“Wah, kurang tahu, tuh, Mbak!”

Aku nyaris pingsan, kenapa, sih susah sekali mencari Emiliano.

Aku belum menyerah, aku telepon ke Brussel, kuceritakan semuanya kepada Tasya.

“Jen, kamu ini gila, ya?” Tasya teriak.

“Hey, percuma pamanku punya biro perjalanan kalau aku tidak bisa dapat tiket pesawat dengan harga miring!”

“Bukan masalah itu! Ngapain, sih, masih cari Emiliano? Dia kan suami orang! Terus kalau kamu sudah ketemu Emiliano, kamu mau ngapain selanjutnya? Belum tentu selama ini dia mikirin kamu juga, atau mungkin dia malah sudah lupa!”

Aku terdiam, benar juga.

Tapi, aku masih penasaran, akhirnya aku menelepon Kathleen di New York. Seribu alasan kukarang, mengubah suara, minta alamat ayahnya Emiliano di Yogya.

Setelah dapat, besoknya aku terbang ke Yogya.

Memang alamatnya gampang dicari, tapi seperti biasa, dia tidak ada. Ayahnya pun tak ada, hanya dua orang pembantu.

“Wah, Non! Pak Arif sedang liburan Natal di rumah menantunya, di Puwerto eh Puwerto Riko. Saya sendiri ndak tahu alamat rumah Pak Emiliano yang baru di Jakarta, karena baru pindahan. Biasanya, sih, kalau liburan Natal, mereka kumpul, Non! Pak Emiliano sama Ibu Aisha juga pasti ke sana. Non mau menyusul ke Puwerto Riko?”

Oh my God!

Aku kembali ke hotel dan benar-benar pingsan.

Tapi, itu sudah lima tahun berlalu, setelah itu aku benar-benar lelah mencari. Lagi pula tabunganku mulai menipis untuk beli tiket pesawat.

Aku begitu kecewa.

Sekarang, sepuluh tahun setelah pertemuan di Ratu Plaza itu, aku mulai sedikit lupa, usiaku sudah tiga puluh dua, setahun lalu aku sudah menikah dengan Christian, dan aku baru saja melahirkan anak laki-laki.

Semua sudah kembali normal, mulai biasa saja. Tidak ada lagi kegilaan untuk mencari.

Tasya cukup senang, dia pernah menengok rumahku yang baru, karena aku sekarang tinggal di Bandung, ikut suami.

Tasya yang sekarang pun sudah menikah, dengan seorang ahli perminyakan, orang Jawa, tapi ketemunya justru di Brussel. Lalu Tasya tinggal nomaden, ikut suami tugas, kadang-kadang di Kalimantan, pernah juga di Biak.

Hidupku sudah sempurna, punya suami, punya anak, berkecukupan, rasanya lengkap, bahagia, dan ikhlas.

Hidupku terasa tenang, nyaman, dan damai. Mertuaku baik, tidak cerewet, aku memanggilnya Mami.

Dan sore ini aku rencana untuk belanja bulanan di Bandung Indah Plaza. Aku berniat pergi sendiri, karena anakku dijaga oleh Mami di rumah.

“Jen, jangan lupa pesanan Mami, apel sama jeruk!” pesan Mami.

Aku mengiyakan.

Aku pun pergi dengan selembar catatan belanja, diantar sopir.

Aku belanja banyak sekali, dengan setengah kerepotan aku menenteng plastik belanjaan, dan niatku untuk rehat dulu di McDonalds.

Aku menyeruput minuman dingin dengan santai, sampai seseorang nyaris terjatuh karena tersandung belanjaanku yang kutaruh dekat kakiku.

“Eh, maaf, Pak!” aku kaget.

Orang itu berbalik, menatapku dan tersenyum.

“It’s OK! Nggak apa-apa kok, Mbak!”

Mukaku mendadak pucat pasi, bibirku bergetar.

Ya, Tuhan! Orang itu Emiliano.

Frederick
Karenina menyembunyikan sesuatu, dan kecurigaanku terbukti. Dari Rendy aku tahu semuanya.

Rendy linglung, aku pun jadi tak habis pikir.

Sia-sia saja cintaku selama ini, aku merasa semua tak berguna. Tak berarti bagi seorang Karenina.

Aku cemburu dan sakit hati.

Aku mengonfirmasikannya dengan Karenina, tapi dia menghindar.

“Tahu dari mana kamu?” tanyanya.

Saat dia tahu kalau Rendy yang bilang, esoknya dia marah pada Rendy.

“Bukan hak kamu untuk cerita kepada siapa pun!”

Tujuanku sudah bulat. Mendatangi Emiliano.
“Selamat siang Pak Emiliano, saya harap saya tidak mengganggu.”

Oh, jadi ini, toh, Emiliano.

“Ya, Anda siapa? Saya rasa hari ini saya tidak punya jadwal bertemu dengan siapa pun, karena hari ini saya akan ada rapat direksi di kantor pusat,” Emiliano menjawab dengan ramah.

“Ya saya tahu, Anda tidak punya jadwal bertemu dengan siapa pun, kecuali nanti sore Anda janji untuk menjemput Karenina!”
Air muka Emiliano berubah, kaget mungkin.

Sejenak diam, Emiliano memandangku penuh selidik.

“Nama saya Frederick,”aku memperkenalkan diri.

“Oh, ya, Erick! Saya tahu, karena kamu tidak suka dipanggil Fred atau Freddie.”

Oh, dia tahu aku.

“Well Erick, ada yang bisa saya bantu? Kecuali untuk menjauhi Karenina, sorry, untuk hal itu saya tidak bisa.”

Aku kaget, kehilangan kata yang sudah kususun tadi malam, padahal aku sudah punya niat untuk memaki dia.

Tapi aku tiba-tiba punya harga diri untuk berjiwa besar.

“Tentu tidak Pak Emiliano! Saya hanya minta satu hal kepada Anda.”

“Apa itu, Erick?”

“Jangan pernah coba-coba untuk mempermainkan dia! Kalau suatu saat saya lihat Karenina menderita karena ulah Anda, maka Anda akan berurusan dengan saya! Oke?! Terima kasih dan selamat siang!”

Aku tinggalkan Emiliano.

Karendana
Kelakuan Karenina sudah di luar batas, dan aku pikir hubungannya dengan pria sebaya Mama itu sudah cukup serius.

Akhirnya kuputuskan untuk cerita kepada Papa dan Mama.

Benar saja, mereka kaget setengah mati.

Mereka marah pada Karenina.

Tentu alasannya banyak, tapi tetap saja tidak setuju.

“Cari pria lain saja, Karenina!”

Tapi, Karenina membantah.

“Coba Papa dan Mama kenali dia dulu, ya!” Karenina merajuk.

Adu argumentasi pun terjadi.

“Dia kan seumur Mama, Sayang!” kata Mama.

“I know! Jadi masalahnya hanya umur, ‘kan?!” Karenina cemberut.

Akhirnya, setelah debat panjang, Papa menyarankan untuk mengundang Emiliano makan malam.

Tentu saja Karenina melonjak kegirangan.

Makan malam itu terjadi. Aku berpikir akan terjadi sesuatu yang mengerikan. Papa dengan wajah kaku diwibawa-wibawakan. Mama berusaha ramah. Sementara Karenina senyum malu-malu seperti kelinci.

Mereka saling berjabat tangan.

Suasana sedikit kaku.

“Nyonya Wibowo, rumah Anda bagus sekali, saya lihat kursi Anda ini sangat artistik. Terus terang, saya agak mengagumi seni, Anda dapatkan di mana?” Emiliano coba cairkan suasana.

Mama tersenyum.

“Jangan panggil saya dengan sebutan itu, cukup Ladya saja, toh kita seumur.”

Mama bermaksud menyindir atau tidak, aku tak tahu,

“Oke! Tapi kedengarannya kurang sopan jika saya hanya panggil nama. Tapi, jika Anda yang minta, baiklah .”

Lalu obrolan berkisar pada hal-hal yang umum saja. Seputar pekerjaan dan silsilah keluarga Emiliano. Tapi tetap saja, dari sinar mata Papa, ia tidak suka pada Emiliano.

Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada hubungan harmonis antarkeluarga, meski banyak hal berbeda di antara mereka?

Lindsay:
Semalam aku bermimpi aneh, tentang seorang gadis remaja. Dia terasa begitu dekat denganku, tapi aku sama sekali tidak mengenalnya. Di situ aku berada di sebuah daerah yang beriklim tropis.

Saat aku terbangun, aku tertegun, hei, aku kan di Vancouver!

Pikiranku langsung menuju Indonesia, dan aku ingin menelepon Papa.

Tapi, siapa, ya, gadis dalam mimpi itu?

Aku memang sering mengalami kejadian aneh. Aku merasa bisa sedikit melihat ke masa depan atau kejadian yang akan dialami, tapi agak samar-samar.

Waktu kecil, aku pernah mengingatkan Emiliano untuk tidak main sepeda, tapi Emiliano tidak menggubris. Benar saja, setelah itu, Emiliano tercebur ke dalam got beserta sepedanya. Sejak itu aku selalu mengalami hal-hal seperti itu.

Mimpi tentang gadis itu mengusikku dan membuatku penasaran. Ini pasti bukan tentang Melissa, Sabrina, atau Elfira, keponakan-keponakan perempuanku.

Biasanya, kalau begini aku langsung cerita pada keluarga dan ipar-iparku. Mereka percaya karena dulu pernah kuperingatkan akan mengalami sesuatu dan benar terjadi.

Kutelepon David serta kedua mantan istrinya, Linda Hwa dan Maria Elena. Juga Aisha, mantan istri Emiliano.

Emiliano sendiri susah dihubungi. Gayanya seperti pejabat saja, susah dicari.

“Kamu meramal apa lagi?” tanya Maria Elena.

Kuceritakan semua dengan jelas.

“Aku jadi ingin ke Indonesia,” kataku.

Akhirnya hanya Maria Elena dan David yang setuju untuk pergi bersamaku ke Jakarta, dan menginap di rumah Aisha.

Aisha
Hari ini Lindsay datang, menyusul David dan Maria Elena.

Begitu mendadak, jadinya aku tak punya persiapan khusus menyambut mereka.

Lalu kami duduk di ruang tamu membahas mimpi Lindsay.

“Kalau itu merupakan sesuatu yang terjadi, lalu bagaimana kita tah akan kejadiannya, dengan apa? Maksudku, kita harus punya petunjuk yang mengarahkan kita ke sana,” kata Maria Elena.

“Ya, benar,” David setuju pendapat mantan istrinya.

“Eh, David, kamu tahu tidak, tadi waktu kamu baru datang, aku melihat sedikit apa, ya? Seperti aura darimu, seolah-olah menguatkan mimpi tentang gadis itu berhubungan dengan kamu!” ucap Lindsay memandang David.

“Jangan-jangan itu pertanda suatu saat David akan menikah dengan gadis itu,” aku menggoda.

“Tidak! Aku tidak berniat menikah lagi. Lagi pula, aku sedang tak punya pacar, kok,” David mengelak cepat.

Mungkin ia tidak enak hati di depan Maria Elena.

“Coba kau ceritakan sekali lagi dengan jelas bagaimana mimpimu itu!” aku mengalihkan pembicaraan dan memandang Lindsay.

“Well, baiklah. Di dalam mimpi itu, seolah-olah aku berada di sebuah kota yang beriklim tropis, ada pantai seperti di Hawaii, lalu aku bertemu seorang gadis remaja. Cantik, rambutnya panjang, dia terus mematung di pinggir pantai. Lalu aku menyapanya, dia membalas ramah, lalu kami berbincang-bincang. Eh, entah ya, rasanya aku telah kenal lama dengannya, tapi, siapa dia, aku sulit mengingatnya…,” jelas Lindsay.

“Kalau pendapatku, mungkin gadis itu adalah seseorang yang akan kau jumpai di masa depan,” kata David berpendapat.

“Atau mungkin juga seseorang dari masa lalu,” sahutku menyambung.

“Masa lalu?” Lindsay bingung.

“Coba kau ingat-ingat, adakah seseorang yang mirip dengan gadis itu, tapi berkaitan dengan masa lalumu?” saran Maria Elena.

“Rasanya tidak, karena sejak aku terjaga dari mimpi, aku memikirkan berkali-kali. Aku tidak pernah kenal dia, tapi dia mirip sekali dengan seseorang yang aku kenal, tapi tidak tahu siapa karena begitu samar,” ungkap Lindsay dengan rupa bingung.

Semua diam.

“Lind, tadi kau bilang sewaktu kau melihat David, seolah ada aura yang mengaitkannya dengan mimpi itu?” kataku.

David mengerutkan dahi.

“Bisakah kita menarik kesimpulan dengan memberi opini masing-masing?” saran Maria Elena.

“Tapi, gadis itu tidak mirip dengan David,” kilah Lindsay.

“Sudahlah, kita tidak perlu membahas sekarang, lebih baik kalian istirahat saja dulu. Aku akan coba hubungi Emiliano,” kataku menyudahi.

Yang lain setuju.

Emiliano

Ponselku berbunyi, kulihat nomornya dulu, karena aku sedang enggan mengangkat telepon.

Ah, ternyata Aisha!

“Ya, halo! Ada apa, Ish?” sahutku setengah mengantuk.

“Em, kamu di mana?”

“Di Bandung, dengan Karenina….”

“Duh, Em, bukannya aku mau ganggu, tapi sekarang di rumahku ada Lindsay, David, dan Maria Elena.”

Aku kaget.

“Hah! Mau ngapain? Tumben, ini kan bukan musim liburan?”

“Ini tentang mimpi Lindsay. Kamu kan tahu, dia punya kemampuan ‘melihat’, dan dia sampai merasa perlu datang ke Jakarta.”

“Oh, begitu… dasar peramal! Oke, nanti sore aku pulang ke Jakarta, langsung ke rumah kamu.”

“Ajak saja Karenina, ya!” ucap Aisha sebelum menutup telepon.

David
Huh, Jakarta ini panas sekali. Dan, ya, ampun… di sini macetnya bukan main.

Hari ini aku berniat ke Taman Ismail Marzuki. Kata Aisha, sedang ada pameran lukisan. Lindsay sedang sibuk menerka-nerka arti mimpinya.

Emiliano, hmmm… tampaknya dia sedang kasmaran dan sibuk dengan Karenina.

Maria Elena, mantan istri pertamaku itu, sedang sibuk minta diajari Aisha membuat bumbu rujak ulek.

Aku naik taksi saja. Sampai di TIM, aku agak berkeringat. Matahari sedang cerah sekali, dan panas membuatku cepat lapar. Aku duduk di pinggir jalan, makan ketoprak dan minum teh botol.

Lukisan-lukisan yang akhirnya kulihat tidak begitu menarik perhatian, surealisme, aku tidak begitu suka. Aku meneliti lukisan itu satu per satu, hingga aku lelah juga.

Tiba-tiba aku berhenti pada sebuah lukisan. Sebenarnya hanya lukisan pohon kelapa di pinggir pantai saat sunset. Tapi, sepertinya yang ini menarik, pewarnaannya bagus, agak klasik modern.

Aku mematung lama, kubaca nama pelukisnya, Karina.

Karina, hmmm, kurasa dia mempunyai bakat yang bagus.

“Lukisannya memang bagus!” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh ke sumber suara, ternyata seorang wanita kira-kira berumur tiga puluhan.

“Ya, bagus, kok!” aku tersenyum. “Apa kau pelukisnya?”

“Ha…ha…ha…!” wanita itu tersenyum dan tertawa kecil. “Jika aku pelukisnya, tidak mungkin aku memuji lukisanku di depan orang asing.”

“Oh, sorry.”

“Anda mau tahu siapa pelukisnya?” tanya wanita itu.

“Karina, ‘kan?” sahutku, bingung.

“Ya. Itu orangnya,” wanita itu menunjuk pada seseorang, kira-kira sepuluh meter dari hadapanku.

Tampak seorang gadis, menenteng tas ransel.

“Dia pelukisnya, namanya Karina. Aku salah seorang pengagumnya. Dia masih muda sekali, tapi sangat berbakat.”

“Anda sendiri siapa?” aku ingin tahu.

“Bukan siapa-siapa. Namaku Jennifer.”

“Oh, ya, senang bertemu Anda, Jennifer. Nama saya David.”

Wanita itu tersenyum, lalu berlalu dari sampingku.

Sungguh wanita yang aneh.

Tapi sudahlah, aku tak begitu peduli.

Kini perhatianku tertuju pada pelukis itu, Karina. Dia begitu menarik, sama seperti lukisannya, yang pertama kulihat langsung mencuri hatiku.

Aku menghampirinya.

“Maaf, Nona, lukisan Anda bagus sekali!” aku langsung memuji, meski terasa basa-basi.

“Maaf Tuan, eh, Pak….”

“Ya, Anda Karina, ‘kan? Yang melukis pohon kelapa di saat sunset itu?”

“Ya, betul. Bagaimana Anda tahu bahwa Karina itu adalah aku?”

“Tadi seseorang memberitahukan padaku.”

“Oh, begitu,” Karina manggut-manggut.

“Rupanya Anda begitu terkenal, Nona, sehingga orang dengan mudah mengenali Anda.”

“Masa, sih?” Karina bingung. “Saya rasa Anda terlalu berlebihan, karena ini adalah kali pertama saya ikut serta dalam pameran lukisan, dan ini hari pertama pameran ini berlangsung.”

Aku jadi kikuk, sepertinya wanita bernama Jennifer itu begitu kenal pada Karina.

“Nona, apakah Anda kenal dengan seorang wanita bernama Jennifer?”

Karina menggeleng, “Jennifer? Sepertinya tidak, memangnya kenapa?”

Aku diam sejenak.

“Tidak, Nona. Sudahlah, tidak usah dibahas. Ngomong-ngomong, apakah lukisanmu sudah terjual?”

“Belum.”

“Aku berniat membelinya, apa Anda tidak keberatan?”

Karina tersenyum. “Tentu tidak, tentu saya senang sekali, terima kasih Anda menghargai karya saya.”

“Baik. Setelah ini, maukah Anda menemani saya ke panitia pameran ini untuk menyelesaikan pembayarannya?”

Aku tiba-tiba ingin membeli lukisan itu, meski sebelumnya tidak terlintas sedikit pun.

Lalu Karina mengantarku kepada panitia pameran. Lima belas menit selesai, kuberi alamat Aisha, seminggu lagi lukisan akan dikirim setelah pameran selesai.

“Sekali lagi terima kasih,” Karina tampak senang. “Nama Anda siapa? sepertinya Anda bukan asli orang Indonesia, ya?”

Aku tertawa. “Namaku David, Anda benar, aku tinggal di Paris, tapi ayahku orang Yogya, ibuku dari Amerika.”

“Wah, Paris, kota yang indah,” Karina berdecak kagum.

“Sudah pernah ke sana?”

“Belum, David, tapi aku melihatnya dari TV dan majalah.”

“Hei, bagaimana kalau kita mengobrol sambil minum kopi?” ajakku.

Karina pun setuju.
Kami pergi ke sebuah kafe di dekat tempat pameran itu dan berbincang-bincang.

“Wah, jadi rupanya kau ini seorang seniman juga, ya?” Karina tersenyum.

“Aku mendesain dan ‘menyulap’ kayu, lalu ditambah dengan unsur lain menjadi furniture.”

“Hebat!”

“Tapi, aku ini tetap saja dijuluki ‘David si tukang kayu’.”

Karina tertawa lepas.

Hei, sepertinya cara dia tertawa mirip dengan seseorang. Mungkin hanya imajinasiku saja, karena sekarang aku sedang terpesona pada Karina.

“Kau tinggal di mana?” tanyaku.

“Kuta.”

“Apa di Jakarta ini ada daerah bernama Kuta?” tanyaku bingung.

“Ha…ha…ha… kamu ini lucu sekali, tentu saja Kuta di Pulau Bali.”

“Jadi….”

“Aku tinggal di Bali, aku ikut pameran ini karena perkumpulan sanggar lukisku.”

“Jadi, kapan kamu akan kembali ke Bali?”

“Tahun ini aku akan kuliah di Jakarta dan akan tinggal di sini, jadi sekitar dua atau tiga bulan lagi aku baru akan menetap di Jakarta.”

“Oh, begitu.”

“Karena aku baru lulus sekolah, jadi aku harus mengurus surat-surat pindah.”

“Sekolah?”

“Ya, SMU. Tapi, Mama yang akan repot nantinya karena aku akan tinggal sendiri di Jakarta. Maklum, orang tua kan selalu khawatir.”

“Maaf, sebenarnya umurmu berapa, sih?”

“Tujuh belas tahun. Aku lulus SMU setahun lebih cepat karena aku pernah loncat kelas.”

Ya, Tuhan, 17 tahun! Muda sekali dia. Tapi, jujur saja, aku memang terpesona, dia cantik. Padahal, semalam aku baru menggoda Emiliano yang pacaran dengan Karenina.

Karina, rambutnya panjang, tawanya lepas, tampak mandiri dan cerdas.

“Di sini kamu tinggal di mana?”

“Di rumah tanteku, kamu sendiri di mana?”

“Di rumah adikku.”

“Rupanya kita sama-sama orang asing yang terdampar di Jakarta....”

Lalu kami bertukar alamat dan nomor telepon, dan berjanji untuk bertemu akhir minggu ini.

Aku pulang ke rumah Aisha dengan senang.

“Kamu kenapa, sih, senyam-senyum seperti itu?” tanya Aisha penuh selidik.

“Nothing.”

“Bohong.”

Maria Elena muncul dari dapur.

“Hei, sudahlah, ayo, kemari kalian! Aku sudah bisa bikin bumbu rujak.”

Karendana
“Rendy.”

Aku menoleh.

“Aku diajak Emiliano ketemu dua adiknya beberapa hari yang lalu,” Karenina memulai cerita.

“Lalu?”

“Aku merasa asing berada di antara mereka, sepertinya gaya hidupnya aneh.”

“Mungkin karena mereka tinggal di dunia Barat, dan kita tinggal di Timur. Beda cara hidup, itu wajar saja, apalagi kalau tidak biasa, jadi seperti magnet, saling tolak menolak,” kataku.

“Aku jadi minder, merasa asing dan, ya, begitulah.”

“Dengar Karenina, bisa saja begitu, tapi bukankah mereka masih punya setengah bagian darah Indonesia. Jadi, tetap mereka masih punya dan paham gaya ketimuran.”

“Iya, sih, Ren. Ah, sudahlah, aku ngantuk.”

Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Kemarin aku ketemu Erick, dia nanyain kamu.”

Karenina terdiam, lalu pergi.

“Hei, mau ke mana?”

“Not your business!”

“Wah, wah, wah… nona cantik ini sekarang ngomongnya gaya sekali. Mau jadi orang Amerika juga?” aku meledek.

Tapi, aku jadi ingat kemarin. Erick datang ke rumah, dia sekali saja menanyakan Karenina, setelah itu tidak lagi. Dia lebih banyak cerita tentang kuliahnya.

“Kelar kuliah, aku mau ambil master di luar. Itu pun kalau dapat beasiswa,” katanya.

“Kamu kan pintar, pasti dapat,” aku memberi semangat.

“Tapi, saingannya kan banyak.”

“Coba dulu, tetap usaha, ya!” Aku mendorongnya untuk tetap maju.

Jennifer
Setelah ketemu Emiliano di sebuah resto tempo hari, aku membuntutinya.

Satijo, sopirku, kusuruh tutup mulut.

“Jangan bilang siapa-siapa, ya! Kalau sampai ada yang tahu, awas kamu!” ancamku.

Aku mengikutinya terus-menerus sampai ke tempat dia menginap di Papandayan.

Tapi, aku tak berani menghampirinya. Dia bersama dengan dua orang gadis remaja.

Anaknya? Atau siapa, aku tak tahu.

Kalau suamiku berangkat kerja, aku mengikutinya. Sampai Emiliano check out, aku tetap menguntitnya.

Akhirnya aku mengikuti Emiliano sampai ke Jakarta, karena aku ingin tahu rumahnya.

Sampai di sebuah rumah, beberapa orang menyambutnya, tiga orang wanita dan seorang laki-laki.

Seorang wanita Indonesia dan yang lainnya keturunan indo, tapi wanita yang satu lagi berambut emas.

Emiliano datang ke rumah itu bersama dua gadis yang kujumpai di Bandung.

Lalu dua gadis itu pulang.

Berarti Emiliano tinggal di situ, pikirku.

Aku langsung menginap di hotel, dan besoknya kembali ke rumah itu lagi.

Emiliano tampak bersiap-siap, sepertinya mau berangkat kerja, tapi aku tak mengikutinya, karena yang penting aku sudah tahu rumahnya.

Lalu pria indo yang kulihat kemarin, keluar, dan wanita Indonesia meneriakinya dari pintu.

“Hei, David! Hati-hati, ya! Kalau ada apa-apa, telepon saja!”

Yang bernama David hanya tersenyum, lalu mencegat taksi.

David? Kurasa aku tahu nama itu, dari penjaga rumah di New York dulu. Kalau tidak salah, David itu adik Emiliano.

Aku tergerak mengikuti David, siapa tahu aku bisa ngobrol banyak.

Agar rasa penasaran hidupku tak sia-sia.

Ternyata, dia menuju Taman Ismail Marzuki, hari itu di baliho depan TIM memang terpampang ada pameran lukisan.

Aku masuk dan memarkir mobil lebih dulu, lalu masuk ke Graha Bhakti Budaya melihat pameran lukisan.

Mungkinkah disebut cinta sejati, bila seorang wanita nekat membatalkan pernikahan, demi seorang pria dari masa lalunya?

Aisha
Semuanya berkumpul di rumahku tepat pukul sepuluh, setengah jam kemudian kami berangkat bersama ke Yogya.

Karina muncul, Lindsay bersikap ramah.

Emiliano yang menyetir mobil. Kuperhatikan, secara sembunyi-sembunyi Emiliano terus menerus memperhatikan Karina, dengan tatapan penuh ingin tahu. Emiliano mungkin bisa membohongi orang, tapi ia tidak bisa berbohong kepadaku. Aku hafal benar dengan sikap Emiliano.

Sepertinya pelukis muda itu begitu misterius bagi Lindsay juga Emiliano.

Tengah malam kami sampai di Yogya.

Dad menyambut kami dengan terkejut.

“Kenapa kalian tidak bilang dulu kalau mau datang?”

Lalu kami memperkenalkan Karenina dan Karina. Dad bersikap biasa saja pada Karenina. Namun, kepada Karina dia tampak bersikap lebih welas asih.

Karina, gadis pelukis itu begitu merebut perhatian, dari Lindsay, Emiliano, sampai Dad.

Karenina tampak sedikit cemburu.

Lalu kami beristirahat dan bangun siang, karena perjalanan begitu melelahkan.

Kami berjalan-jalan ke Malioboro, Maria Elena dan Linda Hwa sibuk berbelanja baju dan aksesoris.

Saat berbelanja hiasan-hiasan etnik, Emiliano tampak tertarik pada sebuah ornamen dinding terbuat dari kulit sapi.

Dan ternyata Karina juga ingin, tapi pajangan itu hanya tinggal satu.

Emiliano diam, ia terlihat kikuk, lalu ia mengalah. Dia membelinya tapi kemudian memberikannya kepada Karina. “Ini untukmu, simpan, ya!”

Terlihat begitu janggal, aku mulai sadar karena Emiliano bukan tipe orang yang mudah memberikan barang yang dia suka, apalagi kepada orang yang baru dia kenal.

Setelah itu banyak perhatian lebih dari Emiliano untuk Karina. Seperti Karina mau makan apa, atau Karina jangan duduk di situ, nanti kotor.

Maria Elena dan Linda Hwa sempat terlihat berbisik-bisik. Lindsay hanya diam, tapi sinar matanya mengisyaratkan lain.

David sendiri senang-senang saja, dia merasa Emiliano lebih menerima Karina, dibanding sikap Lindsay yang terlalu kaku.

Komentar Maria Elena, “Kurasa Emiliano juga suka pada Karina.”

Lindsay
Kami melanjutkan perjalanan ke Bali, Dad tidak ikut.

David terlihat yang paling bersemangat.

Maria Elena dan Linda Hwa tampak lelah.

Aku sendiri biasa-biasa saja.

Sepanjang perjalanan Emiliano tak banyak bicara.

Tadi aku menelepon Vancouver, memberi tahu suamiku bahwa aku akan pulang empat hari lagi.

Karenina sering tampak membisu.

Sementara Karina selalu tampak riang.

Sesampai di Kuta, Karina menjadi penunjuk jalan ke rumahnya. Ternyata rumahnya sebuah rumah khas Bali yang asri.

Seorang pria setengah baya menyambut kami.

“Ini ayahku.”

Lalu dia memperkenalkan dirinya, dengan dialek Bali yang kental.

“Mama mana?” tanya Karina.

“Di belakang, coba kamu panggil!”

Karina berlalu.

Lalu kami melewati taman yang sejuk dan duduk di teras.

“Aduh indah sekali!” puji Linda Hwa.

Maria Elena berdecak kagum, David terlihat bahagia.

Tak lama Karina muncul.

“Mama, ini orang-orang yang aku ceritakan!

Seorang wanita seusiaku muncul, langsing dan cantik.

Aku tercekat, rasa-rasanya tiba-tiba aku kehilangan tulang-tulangku untuk mampu berdiri.

Semua diam, begitupun wanita itu, ibunya Karina.

Emiliano hanya melongo, begitu juga David.

“Mama, ini David yang kuceritakan!” Karina tertawa senang.

Tapi kemudian tawanya terhenti, melihat kami bersikap kaku.

Lalu Emiliano meloncat dan berteriak.

“Oh my God! Trisha!”

Ya, benar dia Trisha. Trisha teman kuliah Emiliano dulu. Pantas saja aku seolah selalu berkata wajah Karina mirip dengan seseorang, dan itu Trisha, ibunya.

Tapi senyum Karina, bukan mirip Trisha.

Jangan-jangan?

“Emily, kamu tolong bikin minuman!” perintah Trisha.

Emily? Siapa Emily?

Lalu Karina pergi.

Karina? Emily?

Emiliano menghampiri Trisha dan memeluknya.

“He, apa kabar? Jadi Karina itu anak kamu, ya? Semua seperti kebetulan!” Emiliano tersenyum senang.

Muka David pucat.

“Maaf, namanya bukan Karina, Karina hanya nama samaran dalam lukisannya,” ucap Trisha tanpa ekspresi.

“Lho?”

“Namanya Kirana Emiliana. Hai Lindsay! Apa kabar? Aku rasa kau tahu kenapa ia diberi nama Emiliana,” Trisha menatap tajam kepadaku.

Kali ini aku benar-benar mau pingsan.

David berkata lirih, “Aku tahu sekarang .”

Emiliano

Dia anakku?
Ya, Tuhan, ada apa ini? Kenapa aku baru tahu? Kenapa semua seperti tiba-tiba berguncang. Dan dunia seperti berputar.

Pantas saja seperti ada sesuatu pada perasaanku saat bertemu dia.

“Trish!” bisikku pelan.

Trisha diam.

“Sudahlah Em, keluargamu tidak salah, karena setelah aku diasingkan, orang tuaku juga pindah ke Bandung.”

“Tapi, Trisha.…”

“Semoga kenyataan ini tidak menghancurkan hidupmu, Em. Tapi, aku memang tidak menuntut apa-apa, toh, Emily sudah menganggap Nyoman sebagai ayahnya. Nyoman pria baik, seseorang yang mencintai dan menerimaku apa adanya .”

“Trisha, biar bagaimanapun Emily harus tahu.”

“Memang benar.”

“Trish, kalau dulu kamu beri tahu aku, kan tidak akan jadi begini. Aku punya hak, Trish, untuk merawat dan membesarkan anakku.”

Trisha diam, dia enggan menatapku.

“Trish, ngomong, dong!” aku menggenggam tangan Trisha.

Aku bersujud di depan Trisha.

“Trish, maafkan aku, ya!”

Trisha tetap diam, lalu, “Em, I still love you.”

Emily
Aku harus memanggil Emiliano dengan sebutan Papa, karena Mama telah menjelaskan semuanya.

Hubunganku dengan David tentu saja hancur lebur, karena aku harus menyebutnya Uncle David.

Semuanya terasa seperti kebetulan. Mungkin kepergianku ke Jakarta untuk pameran tempo hari bukan sekadar suatu kebetulan, tapi jalan yang digariskan untuk aku bertemu keluargaku.

Mama tidak melarangku untuk dekat dengan Papa Emiliano (tapi aku lebih senang memanggilnya Daddy!), karena papaku hanya Nyoman.

Awalnya aku merasa canggung. Tapi Mama mengajariku untuk ikhlas akan masa lalu yang pernah terjadi, tidak boleh dendam, tidak boleh sakit hati, karena semua yang pernah terjadi tidak akan bisa berubah.

Daddy mengajakku ke Jakarta untuk diperkenalkan dengan Elfira dan Bimo, anaknya dari Tante Aisha.

Lalu Karenina harus kupanggil apa? Kalau dia itu pacar Daddy kan otomatis aku harus panggil dia Tante.

Di Jakarta aku tinggal di rumah Tante Aisha, setelah aku lulus sekolah. Awalnya Mama tak mengizinkan, tapi aku tidak lulus UMPTN masuk Udayana. Mama mengalah. Aku pun kuliah akhirnya masuk Universitas Trisakti, awalnya ingin masuk fakultas hukum, tapi Daddy tidak mengizinkan, aku pun mengambil fakultas kedokteran.

Setiap akhir minggu aku menelepon Mama atau mengirim e-mail.

Aku masih tetap melukis, semua keperluan melukisku dibelikan oleh Daddy, aku sedang menyiapkan diri untuk bisa ikut pameran lagi.

Tante Aisha cukup baik, dia menyayangiku, dan tidak pilih kasih, malah kadang jika besoknya aku libur kuliah, kami mengobrol berdua sampai pagi.

Kami sering berbelanja berdua lalu memasak. Kami melewati hal-hal yang menyenangkan.

Emiliano
Kudapatkan kantorku acak-acakan, tepatnya ruanganku, lalu presiden direktur memanggilku, dalam rapat direksi. Mereka menudingku membocorkan rahasia perusahaan.

Semua data-data komputer yang rahasia dan password-nya hanya aku yang tahu, tapi kok bisa raib.

Aku yang masih bingung, tentu saja mengaku tidak tahu apa-apa.

Ujung-ujungnya aku tahu aku difitnah, seseorang berusaha menjatuhkan posisiku.

Tentu saja aku membela diri.

Rendro, orang yang sirik kepadaku itu adalah manajer di salah satu kantor cabang.

Dia mencak-mencak mengelak.

Tapi, bukti-bukti justru mengarah kuat kepadanya, setelah kubeberkan faktanya, bosku percaya padaku.

Karenina
(Dua bulan kemudian)

Aku keluar dari taksi dengan dag-dig-dug.

Aku mengetuk pintu rumah Aisha.

“Ya Tuhan, Karenina, apa kabar? Sudah lama tidak ketemu,” ucap Aisha ramah.

“Aku nggak lama, kok, tolong titip surat ini untuk Emilian .”

Setelah itu aku langsung pergi, meninggalkan Aisha yang tercengang.

Sudah kurencanakan, setelah ini aku langsung berangkat ke Amerika. Aku lulus tes masuk UCLA, tentu saja Papa senang.

Papa, Mama, dan Rendy mengantarku ke bandara. Aku berangkat dengan Erick. Dia telah rela meninggalkan kuliahnya di Jakarta untuk sama-sama memulai lagi di California.

Berkali-kali Mama berkata, “Hati-hati di sana ya, Nak!”

Emiliano
Kenapa orang banyak menilaiku hanya dari luar saja, tanpa mereka mau peduli hatiku. Aku dianggap suka mempermainkan perasaan wanita.

Tapi, tidakkah orang tahu bahwa aku tidak bahagia. Bahwa sebenarnya aku menderita. Dan hatiku selalu kosong.

Aku mencintai seseorang yang tidak bisa aku raih, karena ketidakmungkinan, keterpaksaan, dan tidak mau menyakiti.

Untuk Aisha, aku menemukanmu terlalu cepat, wanita baik, tulus, pengertian, dan sempurna di mataku. Aku menikahimu terlalu terburu-buru, saat cinta baru merekah. Tapi, seiring jalannya waktu, ternyata segalanya berubah total, kebosanan dan nyata benar bahwa aku masih ingin berkelana dan masih mau bertualang.

Aisha, maafkan aku, hanya bisa mengecewakan, karena memang aku sebenarnya tidak siap dalam satu komitmen ikatan pernikahan. Bersama sampai maut memisahkan, itu terlalu lama, terlalu panjang. Aku memang tak pernah siap. Aku liar, tak bisa dikekang (Meski kau membebaskanku!).

Ah, Aisha, seandainya aku bisa jujur padamu tentang segala hal, tentang perasaanku. Bahwa ada satu tempat di rongga hatiku untuk orang lain dan aku tak mampu melupakan, apalagi menghapusnya. Apa yang akan kamu perbuat kalau kukatakan kebenaran? Kamu akan sakit hati, menangis, terluka. Karena selama pernikahan kita, aku sering membohongimu. Aku bersamamu setiap saat, dari bangun tidur hingga malam hari, se-dangkan hatiku melayang-layang, seperti kapas yang jatuh dari ketinggian yang amat sangat.

Semalam aku bermimpi tentang Karenina.

Dia menari di sebuah ruangan yang luas, memakai gaun warna biru. Dia tersenyum, melompat, berputar. Dengan kaki indahnya dan lekuk tubuh yang membuat aku rindu.

Dan aku hanya mematung, tak menegur atau bertepuk tangan. Aku biarkan dia senang.

Apa kabarnya dia sekarang?

Rendy menyampaikan berita, Karenina akan menikah dengan Erick.

Aku mematung, ada sedikit desir di hati mendengar ia akan menikah.

Sebegitu berartinyakah kehadiran Karenina sampai kadang-kadang aku sering mengingat dia. Apakah dia benar bisa mengalahkan cinta sejatiku yang tak pernah mati. Lalu perasaanku terhadap Karenina bisa disebut apa, ya? Cinta dalam golongan apa?

Perasaanku kadang terbelah-belah. Untuk Aisha atau Trisha, dijamin aku tulus menyayangi, melindungi, peduli dan mengasihi. Untuk Andhara, aku juga nggak ngerti, saking dia baik justru aku malu. Setahun terakhir ini dia mau mendampingiku sebagai pacar (bisa disebut begitu). Tempatku berkeluh kesah, tertawa, berbagi cerita, dan menghabiskan waktu luang.

Andhara tipe wanita yang tidak pernah menuntut, mungkin karena dia pun mandiri.

Aku ini lelaki plin-plan, sekarang A, besok B, lalu balik lagi ke A terus B lagi. Tidak punya pendirian tetap untuk urusan cinta.

Karenina
Aku tengah mengepas baju pengantin. Pesanannya sudah jadi dan dikirim dari Jakarta, karena Erick mau yang made in Indonesia untuk yang pakaian adat, juga baju putihnya.

Rumah kami di Miami adalah rumah yang tidak besar, sederhana namun asri, bercat putih. Erick telah mengurus semuanya untuk mendesain interior dan eksterior. Dan aku senang-senang saja. Sesaat aku sering menatap Erick, betapa dia baik, bertanggung jawab, mencintaiku.

Aku sudah banyak berubah, tak lagi kekanakan, lebih dewasa dalam memilih segala hal, dari segi memilih mode pakaian, berdandan, hobi sampai cara berpikir. Begitu juga Erick, dia sudah dewasa, tubuh atletisnya selalu siaga menjagaku, tempatku berlindung.

Dia tulus menyayangiku, dan sekarang aku baru sadar aku bisa balas cintanya, betapa Erick yang terbaik untukku. Dan aku akan bahagia dengan dia.

Lalu aku berputar-putar di depan kaca, aku melihat wajah dalam cermin, wajahku sendiri, dengan gaun pengantin. Selama lima menit aku mematut diri di depan cermin, tersenyum sendiri. Gaun putih yang cantik, yang akan membuatku menjadi ratu sehari.

“Kamu cantik sekali, Karenina!”

Sebuah suara dari balik pintu mengejutkanku, kurasa itu Papa. Lalu aku berbalik arah dari cermin menuju pintu.

Dan jantungku mau copot, ya Tuhan! Itu kan Emiliano! Mau apa dia?

Tiba-tiba aku kehilangan kata, aku merasa dunia ini berputar. Lalu Emiliano menghampiriku. Benar-benar aku tak bisa berkata apa-apa.

Aku menunduk, “Dari mana kamu tahu aku akan menikah?” tanyaku.

“Rendy.”

Rendy? Selama ini kakakku itu tak pernah bilang apa-apa.

Emiliano? Kamu tak banyak berubah, dan senyum itu, tubuh itu, yang telah lama dari masa lalu. Aku masih hafal wangimu, suaramu, tanganmu. Aku seperti merinding. Aku tiba-tiba terbawa emosi masa lalu.

Ya Tuhan, apakah ini godaan?

“Bagaimana kabarmu?” tanyaku.

“Baik.”

“Lalu Jennifer?” tanyaku sedikit pahit. Sangat getir, juga memilukan, mengingat apa yang pernah terjadi.

“Aku tak bersama dia, Karenina, dan sekarang dia dipenjara?”

Di penjara? Kenapa? Apa kesalahan yang telah diperbuat? Mungkin aku pun membenci Jennifer, tapi kalau dia dipenjara, maka aku turut prihatin.

“Ceritanya panjang, dan tidak perlu kujelaskan panjang lebar,” jelas Emiliano.

“Lalu kamu sekarang dengan siapa?” tanyaku sangat ingin tahu, sekadar memastikan atau memang ingin tahu.

“Ah, Karenina, sudahlah. Oh, ya aku kemari tidak sendirian, tapi dengan satu rombongan besar.”

Rombongan?

“Aisha, Elfira, Bimo, Trisha, Emily, David, Maria Elena, Linda Hwa, Lindsay….”

“Ya ampun! Senang sekali,” aku senang. Bagaimana kabarnya Aisha? Elfira, Bimo dan lainnya, betapa aku kangen, ingin ketemu, ingin bercanda bersama mereka lagi.

Lalu Emiliano memberiku secarik kertas. “Selama di Miami aku tinggal di alamat ini, Aisha sangat kangen kamu.”

Aku tersenyum.

“Nah, Karenina, semoga hidupmu bahagia,” Emiliano menyalamiku, memberi selamat.

Tapi, aku tidak menyambutnya, aku menghambur ke arahnya, aku memeluknya, lalu dia pun memelukku erat. Aku merindukanmu, Emiliano. Lalu dia mengelus rambutku dan pipiku.

“Erick akan membahagiakanmu, Sayangku. Dia mencintaimu, kamu harus yakini itu.”

Lalu aku pun menangis tiba-tiba, menangis di pelukan Emiliano, seperti tangis yang tertahan bertahun-tahun. Tangis dari puncak beban. Dari segalanya. Membasahi pipiku, membasahi dada Emiliano, dan baju pengatinku.

Emiliano melepaskanku. “Sudahlah, Karenina, jangan seperti ini, dua hari lagi kamu akan menikah, dan kamu tak boleh seperti ini ya!” ucapnya lembut. Suara yang kurindukan, yang menenangkanku, dan mungkin hanya dia yang tahu caranya.

Aku mengangguk.

Lalu Emiliano meninggalkanku, dan pamit.

Emiliano
Karenina itu sudah sinting, kesintingan yang membuat aku senang, dia menghentikan pernikahannya sendiri. Aku getir saat melihat dia memakai baju pengantin bersanding dengan Erick berhadapan dengan penghulu.

Tapi, kemudian segalanya berubah seratus delapan puluh derajat, dari mana Karenina mendapatkan keberanian menentang keluarganya, menentang semua hadirin yang datang, dan terutama menentang dengan cara mengecewakan Erick.

Dia bisa bilang tidak bisa, dia punya keberanian itu, aku masih ingat kata-kata dia dengan ucapan aku tidak mau menyesal. Dan kata-kata itu serasa menohokku. Aku menjadi seperti sapi dungu. Aku telah terpuruk, sudah lama tersungkur karena penyesalan.

Aku menjadi seperti limbung, terjepit di antara dua kebahagiaan yang sebenarnya amat menyesakkan. Hey, Karenina tak jadi menikah, bukankah itu sebenarnya yang kuinginkan dalam hati kecilku, betapa aku senang.

Tapi dalam selisih menit, aku menemukan dia lagi, cinta sejatiku, yang dulu pernah kubiarkan terbang dan hilang hingga akhirnya kusesali.

Kenapa aku bisa dalam situasi seperti ini? Seketika Aisha menyuruhku untuk meminang Karenina. Tapi, tiba-tiba hatiku tidak bisa, padahal aku sudah niat, cuma karena aku melihatnya lagi, dan itu Josephira, Josephira sayangku, Josephira sayangku, dan ternyata ibunya Mahesa Ekanegara.

“Jadi itu dia Josephira?” Aisha mengagetkanku.

“Josephira?!” aku pura-pura bodoh.

“Tidakkah kamu mau jujur padaku, Emiliano?”

“Maksudnya?”

“Aku sudah tahu tentang kamu dan Josephira.”

“Tahu apa kamu? Tahu dari mana?”

“Suatu saat, bertahun lalu, saat sakit kepalamu kambuh dan kamu menjadi demam berhari-hari. Saat mengigau kamu hanya menyebut satu nama, dan itu Josephira, itu sangat mengganjal di otakku sampai sekarang. Aku berusaha mencari tahu, tapi tidak ada satu petunjuk yang mengarah kepada seseorang bernama Josephira, tidakkah kamu lelah berbohong? Membohongi pernikahan kita dulu, bahwa kamu hidup denganku tapi hatimu untuk orang lain. Aku tahu semua itu, ini insting wanita. Saat aku pernah menjadi istrimu, maukah kamu jujur padaku? Dan kejujuran mengenai hal ini yang sesungguhnya kutunggu darimu sejak dulu, tapi kamu selalu diam, kenapa Emiliano? Kenapa? Tidakkah kamu bisa temukan jawabannya, jika kamu tersiksa, aku juga tersiksa, kamu letih, aku pun letih.”

Aku termangu menatap Aisha yang tergugu. Seketika kupeluk Aisha, kurebahkan kepalanya di kepalaku, dan dia menangis kecil. Lalu kukecup kepalanya.

“Maafkan aku, Ish.”

Aku telah membohongimu, menyesalkah kamu pernah menikah denganku?

Karenina
“Em, tak sangka ya, kita benar-benar akan menikah.”

“Apa kamu bahagia?”

“Sangat bahagia.”

“Aku juga.”

“Eh, Em, seharusnya orang mau menikah kan dipingit dulu.”

“Aih kuno amat, sih!”

“Katanya buat tolak bala dari marabahaya.”

“Waduh pakai tolak bala segala, memangnya kena dukun santet.”

“He... he... he....”
Aku memeluk Emiliano dengan penuh kasih sayang. Aku akan menjagamu, Emiliano. Aku akan merawatmu. Aku tetap akan mencintaimu. Sayang. Sampai maut memisahkan.

Lindsay
Kami akan membawa pulang Emiliano ke Jakarta, begitu juga Josephira, keluarganya juga mengurusnya. Suaminya sangat terpukul ketika tahu kejadian yang sebenarnya.

Dia meminta penjelasan yang gamblang, malah Mahesa yang menjelaskannya. “Mama telah pergi bersama cinta sejatinya.”

Kami akan kembali ke Jakarta dua hari lagi, Emiliano akan dimakamkan di Jakarta, Mahesa meminta agar ibunya diamakamkan di samping Emiliano. “Aku mengerti perasaan Mama, aku tidak pernah membencinya, aku mengerti apa itu cinta sejati, jika di kehidupan fana mereka tak berjodoh, jangan pisahkan mereka sekarang, aku ingin Mama bahagia di alam sana.”

Keluarga Karenina pun akan bersama kami, Dad telah meminta maaf pada ayah Karenina. “Tolong maafkan anakku.”

Karenina agak mulai sedikit tenang. Dia tak lagi histeris dan teriak-teriak, meski air matanya belum juga kering.

Emiliano, tenanglah di sana, meski nyawamu berakhir dengan tragis, tapi aku tahu, aku telah mengerti semuanya, dan itulah cinta, mati bersama cinta sejatimu. Ini bukan Romeo Montague dan Juliet Capulet. Tapi, aku tahu itu pilihanmu, itu jalanmu, kamu tidak tersiksa lagi kan? tidak terbelenggu lagi dengan penyesalan cintamu terhadap Josephira. Aku terharu, kamu hebat Emiliano, kakakku sayang.

Karenina
Emiliano sudah pergi, Emiliano telah meninggalkanku.

Aisha telah menjelaskan kepadaku. Aku kecewa, karena aku selalu tahu belakangan. Tentang wanita bernama Josephira.

Tapi aku bisa bilang apa? Mau marah pada siapa? Siapa yang bisa kusalahkan karena dalam hal ini tak ada yang salah. Tak pernah ada yang salah dengan cinta.

Air mataku sudah kering. Sudah tak mampu menangis lagi. Seminggu setelah penguburan Emiliano, aku sudah sedikit lebih tenang.

Kupandangi baju pengantinku yang dibelikan Linda Hwa dan Maria Elena.

Aku menangis, tapi kini tangis yang tertahan, tangisan dalam hati.

Tidak ada penghiburan, karena semua pihak sedang berduka. Rendy juga menjadi pendiam.

Dan hari ini aku menuju LP wanita Tangerang. Aku memang niat ketemu Jennifer.

“Karenina, apakah kamu Karenina?”

“Syukur kamu masih ingat aku.”

“Ada apa?”

“Emiliano sudah meninggal, dia sudah tak ada.”

“Apa?”

“Ya, Jen, kecelakaan mobil di Miam.”

“Tidak mungkin.”

“Jennifer, aku hanya minta satu padamu, tolong doakan dia, maafkan semua salahnya, jangan mengganggu dia lagi, dia sudah senang dan tenang.”

Lalu aku meninggalkan Jennifer yang termangu. Dari kejauhan aku menatapnya, dia menangis, sesenggukan dengan kepala tertelungkup.

Emiliano, begitu banyak wanita yang mencintaimu.

Kubasuh mukaku. Aku menaruh barang-barang yang berkaitan dan mengingatkanku pada Emiliano dalam sebuah lemari. Termasuk gaun pengantinku.

Seketika aku termenung.

Gaun pengantin yang indah, tapi pengantin prianya sudah tidak ada. Aku menelan ludah. Senyum getir.

“Kamu akan cantik kalau pakai gaun itu,” bisik Erick yang tahu-tahu berada di sampingku.

“Ini gaun pengantin, aku tak akan pernah memakainya, maka akan kusimpan saja.”

“Pakailah gaun itu, Karenina!”

“Tapi…”

“Pakailah gaun itu, aku tidak mau mendengar kata penolakkan, karena aku yang akan menikahimu, Karenina.”

No comments: