12.22.2010

Kau Tak Perlu Mencintaiku

Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar. Tapi, hingga kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya.

Tolong beri tahu aku nomor teleponnya. Siapa saja, seseorang di dunia ini yang tak punya masalah. Kenalkan aku padanya. Akan kuberikan dia medali.

Di kantor aku tak menemukannya.

Layla yang cantik sedang bergumul dengan kanker payudara.

Pak Bowo sedang setengah mati ketakutan akan diceraikan istrinya, karena penyakit selingkuhnya yang tidak kunjung sembuh.

Ibu Jim yang sedang sekarat karena narkoba, hidup segan mati tak mau.

Bortje dijauhi orang karena kabarnya mengidap AIDS. Malah, ia dicurigai AC/DC alias biseksual.

Farrah bertengkar melulu dengan suaminya dan terancam perceraian.

Jean yang punya suami kaya raya belum bisa punya anak.

Bosku, Pak Rudy, tak bisa menghentikan hobinya berjudi.

Takeda San, sang bos Jepang yang punya banyak istri, senang menghambur-hamburkan uangnya. Dan, itu selalu membuatnya mabuk.

Karen sakit jiwa.

Karen tidak sakit jiwa, sebenarnya. Tapi, semua orang setuju bahwa dia sedang bermasalah. Entah apa. Tapi, dia selalu mencari masalah denganku. Mungkin, akulah masalah baginya. Dan, dia memang potensial untuk menjadi masalah bagiku, walau aku merasa tak ada yang perlu dipermasalahkan.

Entahlah, tapi akhir-akhir ini dia makin seperti orang sakit jiwa saat menghadapiku. Dia lebih senior, walaupun usiaku lebih tua. Dia cantik. Tetap cantik, walaupun tengah hamil. Hamilnya besar hingga dia yang dulunya model, tinggi dan langsing, kini bagaikan babon, king kong, gajah gemuk atau sebutlah raksasa. Dia lumayan cerdas dan pekerja yang bagus. Tapi, itu mulai berubah akhir-akhir ini. Dia selalu mencari gara-gara padaku. Sering marah-marah tanpa sebab yang jelas, dan bicara dengan pedas tentang soal-soal yang tak berhubungan dengan pekerjaan. Aku mencoba memaklumi, mungkin itu gejala penyakit ibu muda yang sedang hamil pertama. Kata orang, bisa jadi, kelak bila anaknya lahir akan mirip denganku. Jadi, kuabaikan keganjilan sikapnya itu.

Tapi, makin lama makin menjadi.

Banyak hal yang tidak masuk akal dan tidak edukatif serta tidak pantas diucapkan keluar dari mulutnya tanpa sebab yang jelas. Tapi, jelas-jelas ditujukan padaku. Tak ada angin, tak ada hujan. Kata-kata yang dilontarkannya tajam-tajam, sampai bisa untuk memotong semangka!

“Kamu sadar nggak, sebentar lagi kamu akan jadi satu-satunya perawan tua di kantor ini?”

Astaga! Seumur hidupku, baru pertama kalinya aku mendengar kata-kata itu. Perawan tua? Aku baru 28 tahun, kok. Sebentar lagi 29, sih. Baru dua delapan? Baru? Entah kenapa, aku tak suka mendengarnya. Aku merasa ada yang sakit di dalam hatiku. Kusadari, di satu sisi dia benar. Tinggal aku yang belum menikah. Layla sedang bertunangan. Padahal, setelah Jean, aku lebih tua dari semua wanita di kantor ini. Tapi, aku kan tak menghendaki hal itu. Itu terjadi di luar kuasaku, bukan?

Tapi, aku menganggap dia ada benarnya. Rasanya, dia juga tak sengaja menyakiti perasaanku. Anggaplah itu bentuk perhatiannya padaku. Jadi, segera kulupakan. Atau, kalau dia memang sengaja, kumaafkan saja. Aku terlalu sibuk untuk marah.

Tapi, ketika aku memutuskan untuk diam, mulutnya malah makin beraksi. Sering sekali dia menyebut kedua kata itu: perawan dan tua. Yang lebih parah lagi, ia menyebutkan istilah baru lagi.

“Jangan-jangan kamu lesbian, Ra. Temen pria kamu kan banyak. Banyak pula yang mengejar-ngejar kamu. Tapi, kok, kamu cuek aja, sih?”

Saat itu aku ingin menamparnya. Tapi, untunglah, tidak jadi. Aku hanya yakin bahwa aku tidak seperti yang dia sebutkan. Kumaafkan. Anggap saja angin lalu.

Begitulah hidup. Semua orang punya masalah, disadari atau tidak, diakui atau ditutupi. Sedangkan aku? Masalahku apa? Mungkin hanya satu.

Taka.

Itulah yang terbesar. Letak kesalahannya adalah aku telanjur mencintainya dan belum bisa pindah ke lain hati. Padahal, kisah itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.

Terus terang, aku mulai pusing. Mulai agak panik. Panik? Ya! Aku tak suka menghitung usiaku. Aku takut seperti Jean yang terlambat menikah dan sampai kini setengah mati mengusahakan punya anak. Aku takut seperti Farrah yang menyesal menikah dengan pria pilihannya sendiri. Padahal, dulu pria itu dianggapnya ideal sekali. Aku takut ini dan takut itu….

Aku juga selalu pusing jika Mama dan Papa mulai berbicara soal keinginan mereka memiliki cucu. Hanya aku yang sedang ditunggunya untuk mengabulkan keinginan itu.

Aku bingung dengan semua hubungan yang sudah dan sedang kucoba jalani. Ada Nathan, Yoel, Aba, Ferry, Ibem, dan yang lain. Tapi, rasanya, belum ada yang mampu merebut hatiku seperti Taka. Kehadiran mereka justru makin membuatku merindukan Taka. Bukannya aku tak membuka hati. Tapi, bersama dengan pria-pria yang baik itu malah membuatku merasa tidak nyaman, sehingga aku lebih memilih untuk menikmati kebebasanku dalam kesendirian.

Apa dari Taka yang begitu istimewa? Tidak banyak. Dia hanyalah pria keturunan petani buah dari sebuah kampung pedalaman Tokyo, masih jauh dari Hachioji, kampus almamaternya.

Jalan hidup kami berpapasan ketika aku mengikuti program pertukaran mahasiswa ke kampusnya, dan dia mendaftar sebagai salah seorang relawan bagi mahasiswa asing. Kebetulan, dia salah satu mahasiswa teladan. Tapi, bukan itu daya tarik utamanya, walaupun, aku sangat beruntung memiliki dia sebagai guru bahasa Jepang pribadi dan gratis!

Aku tidak berencana berjalan-jalan di negeri mantan penjajah itu. Mencari kekasih juga tidak. Bahkan, aku bertekad untuk tidak tertarik pada seorang pria pun keturunan penganut Shinto itu. Aku bahkan tiba di sana dengan berat hati. Berkali-kali kuyakinkan orang tuaku bahwa Tuhan akan menjagaku di negeri asing itu. Masa lalu keluarga kami membuat mereka berat melepas kepergianku, walau hanya satu tahun.

Aku tidak peduli padanya sejak pertama melihat ia menjemputku di Bandara Narita itu. Instingku berkata bahwa dia adalah orang yang memiliki sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Dan, meski hampir tiap hari dia menemaniku pergi, perlu berbulan-bulan untukku berjuang menyangkal pesona pria ini. Akhirnya, aku kalah. Terpanah Dewa Cupid. Tak berdaya mengelak.

Aku tak tahu apakah itu yang namanya jatuh cinta.

Serasa jatuh, tak berdaya. Semua mengalir begitu saja. Alami dan tanpa rekayasa.

Aku tak tahu apakah itu yang dikhawatirkan oleh kedua orang tuaku.

Ternyata, aku salah. Kami berdua salah. Sebab, sejauh apa pun kami berpisah, sejauh apa pun aku melarikan diri, biarpun samudra luas membatasi kami, aku terus membawa dia dalam hatiku. Aku belum bisa melepas segala kenangan tentangnya.
Hebat sekali dia, pesonanya. Dulu, kukira pertemuan kami beberapa tahun lalu di Bandara Narita adalah pertemuan terakhir, sekaligus menjadi akhir dari satu babak perjalanan hidup yang mungkin paling manis. Kupikir, setelah menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, aku akan segera menemukan orang lain dan melupakan pria bernama Taka. Dia juga mengharapkan hal serupa, yang ditegaskannya dalam sorot mata yang dalam, tapi teduh dan penuh kasih, jabatan tangan, serta rangkulan erat, ketika dia berbisik semoga aku selalu bahagia. Sebab, bila aku bahagia, dia juga akan bahagia.

Selalu bahagia.

Aku setuju dan selalu mengusahakannya. Selalu bahagia, kapan, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun. Tapi, tampaknya tak semudah itu. Selalu bahagia? Maaf, ada yang bisa menjelaskan definisinya? Sebab, selama ini selalu bahagia tak ada artinya. Selalu dan bahagia, tanpa dia? Maaf sekali lagi, sampai kini aku belum berhasil memenuhi harapannya itu.

Kesepian. Itulah oleh-oleh yang masih tertinggal, yang kubawa pulang dari Negeri Sakura itu. Yang kian terasa mencekam, seiring debur ombak yang memantulkan kelap-kelip lampu dari Hard Rock Café, ditambah langit mengguntur, serta bunyi jangkrik-jangkrik nakal yang menyiuli turis-turis hampir telanjang, yang sedang melintas pulang.

Pulang.

Aku juga harus pulang ke masa kini. Tak mungkin pulang ke masa lalu.

Entah karena kesepian, tiba-tiba aku jadi sangat merindukan masa lalu itu. Merindukan Taka. Sangat. Teramat.

“Bagaimana weekend-nya? Ada kekasih baru atau masih berkumpul dengan teman-teman lesbi?”

Karen, dengan perutnya yang makin membesar, menaruh setumpuk berkas di mejaku, sambil mengucapkan kalimat yang tajam itu. Lesbi.

Huff. Kalau setumpuk berkas itu mendarat di kepalanya, bisa nggak, ya, dia menahan keseimbangan tubuhnya? Tapi, jangan. Kasihan si janin. Aku menimbang-nimbang.

“Karen,” tegur Jim yang sedang lewat, “your mouth sounds like hell.”

“I’m not talking to you,” sergah Karen.

Kubuka segera berkas-berkas itu.

“Karen, ini berkas yang minggu lalu, ‘kan?” ujarku. “Sudah beres, ada di meja Pak Rudy.”

Wajahnya menyemburat merah. “Semuanya?”

Aku mengangguk. Menatap lurus matanya yang tajam. Bagaimanapun, dia lebih senior.

Farrah mengedipkan mata padaku. “Dia kan belum hamil, Ren. Jadi, masih gesit mengerjakan setumpuk kerjaan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.”

“Belum punya pacar pula,” sambung Karen, yang sengaja membalikkan sindiran Farrah. “Tapi, lain kali lapor ke saya dulu, dong, sudah selesai atau belum. Jadi, saya bisa memonitor. Jangan langsung ke Pak Rudy. Bisa-bisa kredibilitas saya dipertanyakan.”

Memang kamu siapa? Memangnya kamu punya kredibilitas? Cuma menang senioritas dan perut buncit saja! Aku memaki dalam hati. Untunglah, lampu merah kecil di ujung boks teleponku berkedip-kedip.

Terdengar suara khas Layla.

“Mbak Rara, line satu dari orang Jepang. Maaf, namanya kurang jelas. Kawa atau siapalah.” Klik.

Kuangkat. “Moshi-moshi, Rara degozaimasu.” (Halo, di sini Rara.)

“Ogawa desu. Hisashiburi ne, Rara chan. Genki?” (Ini Ogawa. Lama tak bertemu, Rara, apa kabar?)

“Takaaa…,” seruku, membuat banyak kepala di ruangan ini menoleh.

Kejutan, kejutan! Inilah yang disebutnya kejutan dalam e-mail-nya yang terakhir. Dia akan mengunjungiku minggu depan!

Lihat, inilah salah satu kelebihan Taka. Seolah-olah, kami mempunyai kontak batin. Dia akan muncul ketika aku sedang memikirkannya, baik lewat e-mail atau telepon. Namun, kali ini dengan sosok nyata!

Tapi, kenapa ada perasaan lain yang membuatku tak nyaman, selain perasaan gembira yang meluap dengan kabar kedatangan Taka? Kenapa sepertinya pertemuan ini tak akan seindah harapanku, padahal sudah kutunggu-tunggu sekian lama? Entahlah….

Columbuslah gara-garanya.

Teorinya tentang bumi yang bulat itu sungguh menakjubkan.

Aku bagaikan berdiri di atas permukaan air dalam sebuah bola, yang separuhnya berisi air. Langit melengkung bagaikan busur setengah lingkaran yang melingkupiku. Bila dilihat sampai batas cakrawala, aku seolah sedang berdiri pada diameter bumi.
Ketika itu Pantai Kuta sedang pasang.

Pria itu sedang sibuk menghabiskan isi kamera sekali pakainya. Terakhir dia membidik ke arahku dan segera kuberikan ekspresi terjelek sepanjang hidupnya. Dia sangat senang hingga tertawa berkepanjangan. Foto itu pasti akan disimpannya, kelak untuk dilihat anak-cucunya.

Lalu, dia duduk di pasir, di sebelahku. Menulis huruf-huruf kanji di pasir, walau ombak segera menghapusnya. Terakhir, dia menulis dengan huruf hiragana. Sugoi. Hebat. Dia sepertinya sangat kagum pada negeri ini.

Sejurus di depan kami, melintas sepasang turis asing, yang diikuti seorang penjaja patung gajah kecil berwarna cokelat. Sejenak mereka bertiga berhenti. Turis wanita menggoreskan jempol kaki kanannya di atas pasir, menuliskan sejumlah angka. Si penjaja menggeleng. Mereka meneruskan langkah. Si penjaja mengucapkan beberapa kata sambil tetap mengikuti mereka. Ketiganya berhenti lagi. Giliran si penjaja yang menggoreskan jari tangan di atas pasir. Kedua turis melihatnya, berpikir sejenak, lalu menggeleng, melambai pergi. Transaksi gagal. Lain kali, si penjaja mungkin sebaiknya membawa-bawa pasir di tangan untuk tempat menulis angka sebagai ganti kalkulator supaya mereka tak perlu meggoreskan jari kaki di pasir, pikirku.

Lalu, kami sama-sama terdiam, menikmati suara ombak, angin, dan cakrawala. Lama. Apakah hanya aku yang merasakannya? Tapi, aku yakin kami tidak sedang menikmati itu semua sepenuhnya. Kami sedang memikirkan hal lain.

“Rara chan,“ desisnya. Aku sangat senang pada panggilan sayang itu. Tapi, aku jadi berdebar-debar. Mungkin, karena suasana Bali yang terlalu romantis untuk dinikmati berdua saja oleh orang yang mengaku hanya berteman atau bersahabat?

Dan, di bawah langit yang remang-remang sisa-sisa sunset, seperti yang sudah kuduga dan kutakutkan, dia mencoba membuka kisah lalu itu.

Dia bertanya apakah aku masih menyimpan perasaan itu untuknya. Aku tak bisa menjawab. Aneh. Padahal, mestinya tanpa bertanya pun dia pasti tahu, sebab aku tidak pernah bisa menutupi perasaan di depannya.

Dia bertanya lagi, apakah aku ingin tahu isi hatinya. Aku takut mendengar jawabannya, walau aku sangat ingin. Jadi, aku hanya menggeleng. Dia bertanya apakah ada yang berubah. Kubilang tidak tahu. Dia bilang tidak ada. Mungkin dia benar. Bukan mungkin. Dia benar. Tidak ada yang berubah!

Aku masih mencintainya, seperti dulu.

Dia juga. Hanya dia. Dan, itulah masalahnya.

Lihat sisi positifnya bila kuambil cuti.

Aku takkan melihat Karen untuk sementara atau muka-muka bertopeng orang kantor yang seolah tanpa masalah, atau deadline laporan ke Takeda San.

Aku menikmati tabunganku selama ini dengan berbelanja di sepanjang Orchard Road, makan di restoran lesehan yang romantis di atas sungai dalam Boat Quay, menikmati botanical garden, dan China Town (Niu Che Shui, aku dan Taka berlomba melafalkannya dengan fasih), juga mengunjungi Cantonese Opera House (Lai Chun Yuen, aksenku lebih pas daripada Taka, lho!).

Jangan salah, ini bukan semacam acara berpacaran atau berbulan madu. Bukan pula semacam proyek balas jasa setelah setahun dia menjadi guide pribadiku di Jepang.

Kami tinggal dalam kamar terpisah di hotel yang sama. Selebihnya, kami hanya sebatas pegangan tangan, itu pun sesekali. Takut salah satu hilang atau nyasar di negeri orang.

Di Clarke Quay, Taka sangat menikmati durian. Ketika kubilang rasa durian di Sumatra lebih enak, dia hampir tak percaya masih ada rasa durian yang lebih enak lagi. Kian lama ia kian ingin mengenal Indonesia. Dengan napasnya yang masih beraroma durian, dia menanyakan perasaanku.

“Senang. Singapura indah, ya. Tapi, Indonesia lebih indah.”

“Bukan itu maksudku.”

Aku jadi teringat, pernah ditanyakan seperti ini ketika di Yokohama, hampir empat tahun yang lalu, sewaktu kami sedang menikmati indahnya pantai pelabuhan Yokohama yang romantis. Mercusuar yang menebarkan cahaya hijau ke segala arah, sepasang tiang penyangga biru berkilauan Yokohama Rainbow Bridge, lampu jalan, dan taman kota berkelap-kelip. Memesona sekali.

“Perasaanku?” tanyaku waktu itu. “Senang. Yokohama indah, ya. Ada juga tempat seperti ini di Jepang. Tapi, masih kalah, sih, dengan Bali.”

“Baka. Bukan itu maksudku. Perasaanmu tentang aku, tentang kita berdua.”

Lalu, aku terdiam dengan tololnya. Baka.

Saat itu aku baru mengetahui dan mengalami sendiri bagaimana cara pria Jepang mengungkapkan cinta. Yang kutahu, sebelumnya mereka takkan pernah mengungkapkannya dengan kata-kata, hanya melalui sikap atau tindakan abstrak. Huh!
“Rara chan no koto ga suki.” (Saya suka Rara.)

Suki. (Suka.) Bukan aishiteiru. (Bukan cinta.) Itu jarang sekali diucapkan, kecuali jika memang sangat mendalam. Atau, hanya diucapkan oleh orang-orang yang tak menganut budaya Jepang tradisional. Aku jadi penasaran, apakah suatu waktu akan pernah mendengar kata itu dari mulut Taka. Aishiteiru.

“Perasaanku?” kataku. “Kamu kan tahu.”

“Kamu masih percaya bahwa kita tak mungkin menikah?”

Aku tak bisa menjawab.

“Kamu tidak ada keinginan lagi, walau sedikit, untuk menikah denganku?”

Oh, jangan tanya soal itu.

“Taka, jawaban apa yang kamu inginkan? Kita kan sudah pernah membicarakan ini.”

Dia terdiam sejenak, menatapku dalam.

“Kapan kamu akan menikah?”

Aku merasa hampa, tiba-tiba. Kuhindari matanya. Aku tak ingin dia mengucapkan apa-apa lagi. Tapi, masih saja dia tak bisa diam.

“Aku hanya memikirkanmu, memikirkan hubungan kita, masa depan kita.”

Ucapannya mantap. Hatiku yang akhir-akhir ini sudah terlalu sering luka bisa-bisa luluh karenanya. Dia mengambil sapu tangan untuk mengelap ujung mataku.

Kau tahu, aku sering menangis karena terharu oleh sikapnya.

“Aku masih ingin ke Danau Toba, lho,” katanya.

Aku pernah mempromosikan kampung halamanku dan dia ‘teracuni’.

“Aku masih penasaran ingin melihat gigi palsu nenekmu.” Rupanya, ia teringat ceritaku bahwa kalau gigi palsu nenek dicopot, pipinya akan terlihat kempot sekali.

Aku mengangguk, menahan senyum. Agak bingung membayangkan dengan bahasa apa dia akan berkomunikasi dengan Oppung. Dia terlihat sedang mengernyit, mungkin memikirkan hal yang sama denganku. Tapi, minatnya sangat jelas terlihat di mukanya.

Aku tahu mengapa dia sangat ingin pergi ke sana. Aku pernah bercerita tentang Batu Gantung, sebuah tempat di sekitar Danau Toba yang menjadi legenda. Tentang sepasang kekasih yang berjanji sehidup semati, tapi tidak direstui orang tua. Sang pria harus menikah dengan wanita pilihan orang tuanya, sedangkan sang wanita memegang teguh janji mereka, memilih bunuh diri dengan meloncat ke jurang. Akan tetapi, rambutnya yang panjang tersangkut di dahan pohon. Kabarnya, sampai kini masih ada patung yang menyerupai sosok wanita yang tersangkut itu, beserta anjingnya.

Legenda itu diabadikan ke dalam sebuah lagu.

Ai anggo ahu da ito ndang tarbaen ahu lao ro
Lao mangadopi pestami songon pandok ni suratmi
Tu Batu Gantung do ahu lao di topi Tao Toba
Lao mangaluhon sasude hinalungun ni roha
Ido upa ni padanta i
Ai manang ise hita nadua ose di janji
Gantung ma ibana songon batu gantung i
Ido angga upa ni padanta
Di tingki hita rap padua-dua

Tetapi saya tak bisa datang
menghadiri pestamu seperti isi suratmu
saya akan pergi ke Batu Gantung di tepi Danau Toba
untuk mengungkapkan segala kepedihan hati
seperti isi janji kita dulu
bila seorang melanggar janji
dia akan tergantung seperti Batu Gantung
itulah isi ikrar kita dulu
ketika kita masih berdua

Hari terakhir di Singapura, dia kebingungan soal oleh-oleh. Untuk Mama dan Papa.

“Mereka suka oleh-oleh ini, nggak?”

Tiap kali dia bertanya, kujawab santai, “Kayaknya, sih, enggak.”

Aku hanya bercanda. Tapi, mukanya serius.

Aku heran melihat dia sudah membelikan sehelai selendang etnik dan dasi. Entah kapan dan di mana. Ketika aku menggeleng lagi untuk dasinya, dia mengerutkan dahi.

“Kalau begitu, kamu saja yang pilihkan.”

“Taka, mereka nggak peduli oleh-olehmu.”

“Aku tahu. Mereka hanya peduli satu hal, anaknya pulang dengan selamat.”

“Bukan. Mereka bukan orang penganut oleh-oleh-isme, Taka. Oleh-oleh bukanlah yang utama,” ujarku, menggantung. “Tapi, lebih suka mentahnya, ha… ha…ha….”

Kupikir, aku telah berhasil mematahkan semangatnya.

“Sebenarnya, aku tahu, kok. Aku cuma menguji kamu. Papa suka mengoleksi kacamata hitam, ‘kan? Ha… ha… ha...,” dia membalas.

Sepanjang toko di Singapura, dijelajahinya untuk mencari satu yang terbaik. Dengan sikapnya itu, aku jadi merasa dia lebih mencintai orang tuaku daripada aku sendiri.

“Untuk Nenek, apa, ya?”

Hah? Apa lagi itu? Untuk Nenek? Harus mencari lagi? Kakiku sudah terasa akan patah.

“Beli gambar tempel tato saja,” ujarku, asal. “Buat aksesori gigi palsunya.”

Dia menatapku seperti menatap anak kecil. Aku sudah kecapaian.

“Ya, sudah, beli surfing board saja, yang bisa berubah fungsi jadi papan setrikaan. Atau, bikini, atau perlengkapan diving.” Lagi-lagi, aku hanya mengajaknya bercanda.

“Dasar cucu durhaka.” Rambutku diacak-acaknya dengan gemas. Asalkan dia tak bertanya soal pernikahan, aku sangat senang berada di sampingnya.

Aku tahu kencan kami saat ini tidak romantis sama sekali.
Kubawa Taka melewati pasar tradisional yang becek, dengan menggunakan sandal jepit. ‘Kucekoki’ perutnya dengan jajanan pasar yang takkan ada di negara asalnya. Ketoprak, siomai, otak-otak, batagor, es doger, rujak pedas, tahu tek, dan banyak lagi menu berbeda setiap harinya. Kuajak dia naik mobil ompreng reyot, becak yang lelet dan terjepit di keramaian lalu lintas, bajaj yang bising, kereta api ekonomi yang sesak, bau, kotor, dan penuh copet.

“Hoi, orang Batak!” serunya, suatu kali. “Berhentilah menyiksa turis asing ini.”

“Ketika di Jepang dulu, saya dipaksa makan natto dan wasabi. Ingat?”

“Tapi, berkat wasabi flu kamu sembuh.”

“Rujak pedas juga bikin pilek kamu sembuh.”

Dia tak bisa mendebatku. Tapi, dia bisa bertahan.

Di Jepang pun aku berjalan kaki dengannya. Menelusuri china town Yokohama yang banyak jajanan dan berjalan kaki sampai ke Yokohama Marine Tower. Padahal, pelabuhan itu jalannya menanjak. Cuaca saat itu panas dan membuat kulit terbakar. Ditambah lagi, aku dipaksa makan sashimi dan sushi, berikut wasabi dan natto, yang semuanya membuatku mual. Tapi, akhirnya aku terbiasa.

Juga ketika aku dipaksa naik King Coaster, wahana yang paling tinggi, meliuk-liuk, dan paling menyeramkan di Fujikyu Highland. Ketika baru naik wahana saja, aku sudah hampir menangis melihat ke bawah. Aku pun langsung berhadapan dengan Gunung Fuji. Rasanya mau mati. Berteriak pun tak bisa. Terus meluncur, berputar, dan tidak terasa berhenti. Ternyata, semuanya baik-baik saja. Aku masih hidup. Anggota badan masih utuh semua. Lega. Taka, yang tadinya ingin kubunuh begitu turun dari wahana, memelukku sambil tertawa lebar.

“Jadi, pengalaman bagus, ‘kan?” katanya, waktu itu. “Jangan pulang dari Jepang kalau belum naik King Coaster. Menyesal seumur hidup.”

Ketika dia kuajak naik Halilintar dan Kora-kora di Dufan, dia hanya tersenyum-senyum geli. “Cincai. Mainan anak-anak. Nggak ada apa-apanya dibanding Fujikyu,” katanya.

Aku jadi malu! Jakarta baru punya yang cincai begitu.

“Nggak ada yang lebih menantang lagi, nih, di Indonesia?”

Kucubit bahunya sampai dia mengaduh.

Di Depok, sehabis berkeliling kampus, hujan turun. Kami berteduh sambil ngopi di sebuah warteg di Jalan Margonda, dengan baju yang sedikit basah. Dia terlihat lelah, tapi gembira. Dia menyukai Teater Kolam di Fakultas Sastra, yang kabarnya akan dirombak, dan juga danau UI, yang menurutku kotor dan tak terawat. Aku malu membandingkannya dengan Ike, kolam di kampus Soka, almamaternya. Sangat terawat, bersih, luas, dan ikannya gemuk-gemuk, tanpa seorang pun tega memancingnya. Dia bilang memang jauh berbeda, tapi dia tetap menyukai UI. Mungkin, karena aku sempat bercerita bahwa dulu setiap Minggu pagi aku senang membaca di tepi danau UI, sehabis lari pagi, sambil tidur-tiduran di tempat duduk yang terbuat dari semen.

I like the way you wanted me every night for so long, baby
And I like the way you needed me every time when things get rocky
I was believing in you, was I mistaken
Do you say, do you say what you mean
I want our love to last forever

I like the way you’d hold me every night for so long, baby
And I like the way you’d say my name
In the middle of the night while you were sleeping
I was believing in you, was I mistaken
Do you mean, do you mean what you say
I want our love to last forever
When you say our love could last forever

Sambil menikmati kopi hangat, aku termangu sejenak ketika lagu Vonda Shepard itu terdengar dari sebuah radio kecil yang gelombangnya agak terganggu.

Taka masih kedinginan. Bajunya masih basah. Giginya agak gemeletuk ketika dia bicara.

“Rara chan.…”

Aku menoleh. Aku takut dia sakit. Sudah terlalu lama dia ‘kusiksa’ di Jakarta.

“Aku tahu ini agak egois. Tapi, maukah kamu mempertimbangkan kembali pertanyaanku tempo hari?” tanyanya. Aku lega. Dia tidak kelihatan akan sakit. Wajahnya terlihat lebih segar.

“Yang mana? Perpanjangan cuti? Aku, sih, mau sekali. Cuma, si Karen bisa-bisa melahirkan bayi prematur di kantor saking gemes-nya padaku.…”
|
“Bukan itu,” potongnya.

Aku mendadak tersadar apa yang dimaksudnya.

“Masih maukah kamu menikah denganku?”

Tahukah dia bahwa minggu ini adalah minggu paling membahagiakan bagiku? Tiap malam aku bisa tidur nyenyak, bemimpi indah, dan melupakan semua masalah sejak kehadirannya.

Demi Tuhan! Saat ini aku tak punya daya lagi untuk menolak lamarannya. Aku sudah letih. Letih dengan semua masalah. Letih menanti dan letih mendengarkan omongan Karen tentang bertambahnya usiaku dan harapan orang tuaku. Aku ingin semua ini berakhir segera. Aku teramat mencintai Taka untuk bisa menolak tawaran yang sangat istimewa. Sejujurnya, ini adalah impian terpendamku sejak lama.

“Aku mencintaimu, bukan sekadar menyayangimu. Aishiteiru.”

Aku terpana. Beberapa saat.

Pada akhirnya aku mendengar kata itu.

Lalu, aku luluh. Bagaikan es di atas tungku panas. Kata-kata itu pun akhirnya keluar dari mulut si Nippon ini. Aishiteiru.

Aku tak berdaya menolak.

“Aku akan coba bicarakan dengan Papa dan Mama dulu.”

Aku bahagia, tapi sekaligus tergetar. Berdebar-debar. Apakah ini nyata?

Samar-samar masih terdengar lagu itu.

You would run around and lead me on forever
While I wait at home still thinking that we’re together
I wanted our love to last forever

But I’d rather you be mean than love and lie
I’d rather hear the truth and have to say goodbye
I’d rather take a blow at least then I would know
But baby don’t you break my heart slow…

Papa dan Mama menganggapku bercanda. Padahal, bagiku ini bagaikan proyek harakiri. Bunuh diri.

Mereka pikir aku hanya asal bicara, seperti biasa. Ketika ekspresiku kupertegas, Mama kira aku hanya putus asa karena belum menemukan pasangan yang cocok.

“Oleh-olehnya, sih, lumayan, tapi kan bukan berarti dia boleh barter dengan anak Papa,” kata Papa, dengan santai.

“Taka melamarku, Pa, Ma.”

Barulah mereka mengikuti ekspresiku yang sudah lebih serius. Suasana berubah jadi tegang.

“Jawabannya adalah hatimu sendiri. Dengarkan sanubarimu.”

“Saya perlu jawaban Papa dan Mama.”

“Benar? Sungguh?”

Aku mengangguk.

Aku berharap mereka akan merestui. Mereka, toh, menyukai Taka.

Mereka menatapku misterius. Aku berdebar-debar.

“Tidak.”

Secepat dan sependek itukah jawabannya?

Apa yang bisa kuharapkan? Sekali tidak, artinya tidak bagi orang tuaku.

Tapi, mengapa?

Tentu saja, bodoh! Banyak alasannya.

Karena mereka mencintaiku dan tak mau kehilangan aku. Jepang jauh dan aku anak mereka satu-satunya, setelah kakak laki-lakiku menikah dengan si Blonde di Amerika, dan takkan kembali!

Karena, mereka pikir aku tidak akan bahagia menikah dengan orang Jepang yang gila kerja dan akan menyia-nyiakan aku di negeri yang tak ramah itu.

Karena, mereka berharap aku menikah dengan pria Batak, bukan dengan keturunan penjajah yang tidak mengerti adat dalihan na tolu (boru – bere – hula-hula), sejak mereka kehilangan anak laki-laki satu-satunya. Atau, masih banyak karena lainnya?

“Lebih baik kamu menangis sebanyak-banyaknya sekarang, Boru,” ujar Mama, dengan panggilan khas untuk anak perempuan Batak. ”Daripada kelak kamu meneteskan air mata penuh penyesalan jika sudah telanjur menikah dengannya.”

Papa tidak mengucapkan apa-apa. Tapi, dia pasti setuju dengan Mama.

“Percayalah, tak ada orang tua yang tak ingin anaknya bahagia.”

Mama terlalu banyak menikmati sinetron. Kalimatnya persis disontek dari sinetron dangdut.

“Tapi, kenapa?” dalam kebebalan aku masih bertanya.

Mama memelukku, mengusap mataku yang banjir oleh air mata.

“Kepercayaannya, Boru. Bagaimana kamu akan mempertaruhkan sepanjang hidupmu pada orang yang tak memiliki agama? Apa yang jadi sumber kekuatanmu dalam menghadapi hidup yang keras ini? Cinta? Cinta apa? Cinta anak muda yang mekar sesaat dan segera layu itu? Kepercayaan apa yang akan kamu teruskan pada keturunanmu jika menikah dengan orang yang tidak jelas keyakinannya?”

“Kamu perlu contoh nyata?” Papa menimpali dengan nada tak sabar. “Kakak laki-lakimu sendiri. Bagaimana hidupnya sekarang? Kamu mau mengikuti jejaknya?”

Itulah intinya.

Aku mati skak. Palu telah dipukul. Sidang selesai. Kasus ditutup.

Aku kalah.

Taka pulang.

Membawa pergi semua sel-sel kegembiraan dari tubuhku.

Dia bahkan belum sempat menjenguk oppung kempot-ku. Belum sempat mengambil durian jatuh di belakang rumah Oppung di Pulau Samosir. Belum sempat melihat Batu Gantung dan makan naniura, masakan ikan mentah ala Batak yang serupa dengan sashimi.

Dia bukannya pergi begitu saja. Dia bukannya tidak mencoba. Dia masih sempat menemui Papa dan Mama.

“Saya akan mempelajari agama Anda. Saya akan pindah. Saya sungguh-sungguh!”

“Apakah waktumu cukup untuk itu? Dengan lingkungan di Jepang yang pekerjaan sangat menguras waktumu? Bukankah itu hanya sekadar basa-basi?” tangkis Papa.

Seperti yang diceritakannya, tiap hari dia bangun pagi, menyelesaikan ketikan laporan semalam dan mempersiapkan presentasi rencana hari itu, lalu berangkat bekerja, pulang kantor malam, setelah lembur tanpa hitungan over time, mengetik laporan pekerjaan hari itu, dan tidur hanya tiga sampai lima jam sehari. Betapa hidupnya seperti mesin!

“Kelak kalian akan mengerti, jika kalian sudah punya anak, apalagi jika kalian memang benar-benar menyayangi anak itu. Kalian akan mengusahakan hidup yang terbaik baginya. Dengan prinsip yang kalian pegang, kalian takkan rela membiarkannya pergi dengan orang yang tidak memegang prinsip yang sudah jadi napas hidup kalian itu!” khotbah Papa dengan lancar.

Taka tak berani menambah luka hati keluarga kami. Jadi, dia pergi.

“Aku doakan kamu selalu bahagia.” Itulah ucapannya yang terakhir. Aku hanya diam.

Sejak Taka pergi, hidupku mendadak berubah, dari tak berwarna menjadi kelabu. Suram dan murung. Seolah hari datang dan pergi tanpa arti.

Sepertinya, aku akan segera mati. Sebab, tak ada lagi bedanya matahari di timur dan barat bagiku. Tak ada lagi daya tarik es krim Haagen-Dazs yang dulu sungguh kugilai seperti orang ngidam. Tak ada lagi nafsu makan yang timbul saat mendengar nama restoran Tempura. Klien ganteng yang konon mirip dengan Mel Gibson pun tak menarik perhatianku. Padahal, teman-teman sekantor langsung histeris begitu dia muncul.

Atau, mungkin aku sudah mati, tanpa kusadari. Sebab, tak ada lagi yang begitu berarti buatku dalam hidup ini. Semuanya hanya rutinitas. Datar. Lingkaran hitam.

Aku jadi sering menghabiskan waktu memandangi Jalan Sudirman dari kaca jendela kantor pada malam hari. Aku sering pergi ke kafe yang sepi untuk browsing internet atau membaca, dan baru pulang setelah ‘diusir’ oleh pemiliknya.

Suatu malam Takeda San mengajakku bicara empat mata.

“Saya suka kamu kerja keras. Kamu rajin dan pekerjaanmu makin excellent. Tapi, saya tidak suka satu hal,” ujarnya, sambil menunjuk pipiku. “Sudah lama tidak pernah melihat senyum di sini.”

Mereka tidak tahu. Tak ada yang tahu. Sebaiknya jangan. Tak perlu. Itu memalukan. Kisah feodal, percintaan yang dilarang orang tua membuat anaknya frustrasi. Huh, kampungan!

Tapi, huh, biarin! Aku merasa, sebodo amat dengan dunia. Sebodo amat dengan Karen. Sebodo amat dengan siapa pun!
“Nggak punya pacar, sih. Jadi, bisa lembur terus, deh,” sindir Karen.

Rasanya, aku ingin menyumpal mulutnya.

“Ya, dong, mumpung belum hamil. Mengambil arsip saja sudah susah! Sebaiknya kan kerja keras selagi bisa,” jawabku, sehalus mungkin. Segera aku angkat telepon yang berbunyi halus.

Aku takut, dalam kondisi sekarang, yang bisa memancing emosiku, aku bisa membalas kalimat Karen dengan lebih pedas. Jadi, kuusahakan mencari jarak dengannya.

Sama halnya dengan menghadapi Mama dan Papa. Jaga jarak. Supaya aman. Sebab, aku punya hobi baru sejak Taka pulang. Naik darah!

“Ya, Lay?” tanyaku. “Dari siapa?”

“Pak Andrew, line dua.”

“Aduh, dia lagi. Klien baru itu lagi! Tolong bilang, saya sedang on-line.”

Tapi, tet! Telanjur tersambung.

“Halo, dengan Rara?”

“Ya, saya sendiri,” jawabku, agak termangu. Tidak sopan. Dia tidak menyebut Bu atau Mbak? Tapi, kok, suaranya agak lain? Kok, suaranya seperti sudah akrab dengan telinga?

“Ini Andrew. Apa kabar?”

“Oh, baik!” seruku. Oh, ya, ampun, Andrew! Temanku. Bukan klienku yang cerewet itu.

“Suaramu bindeng. Pilek, ya?”

“Oh, nggak. Sedang kursus aksen Prancis.”

Terdengar tawa empuknya. Ya, ampun, sudah berapa lama aku tak mendengarnya. Dia muncul lagi dari liang persembunyiannya. Dan, masih bisa tertawa!

Lalu, malam itu kami bertemu. Dia mentraktirku di restoran Jepang di lantai bawah gedung kantorku.

“Kamu nggak pernah makan di Chicago?” tanyaku, sehabis dia bercerita bahwa dia baru kembali dari sana. “Atau, uang saku dari kantor kurang?”

“Gaji kamu sendiri nggak cukup untuk beli makanan bergizi, ya?” balasnya. Menurutnya, aku kurus. Menurutku dia lebih kurus, pucat, dan tak terawat.

“Oh, saya sedang menerima tawaran jadi model. Tubuh langsing seperti Kate Moss atau Ally McBeal kan sedang tren.”

Dia hanya tersenyum, malu-malu, seperti dulu. Aku tak ingat kapan terakhir kali kami bertemu. Tapi, sepertinya dia tak berubah.

“Kamu kurang terawat. Belum punya istri, ya? Kasihan….”

Dia tak menjawab.

“Kamu sudah menikah?” katanya, balik bertanya.

Kenapa semua orang menyukai topik yang satu ini? Menyebalkan.

“Sudah. Belum tahu, ya?”

“Oh, ya? Selamat, dong.” Raut wajahnya tegang. “Dengan siapa?”

“Masa nggak tahu, sih?” seruku. “Kamu nggak tahu kenapa Nicole Kidman dan Tom Cruise bercerai? Karena ada wanita lain, ‘kan? Nih, kenalin orangnya.”

Kuangsurkan tangan. Dia tertawa lepas tiba-tiba.

“Kamu nggak berubah, Ra.”

“Ya, kamu yang berubah.”

“Really?”

“Ya. Kamu tumben tidak ingkar janji lagi.”

Dia terkesima sesaat. Mukanya berubah, ada kekelaman yang dalam pada bola matanya. Aku tak suka melihatnya sehingga segera kutepuk pundaknya. Harus ada yang memecah kebekuan ini.

“Just kidding!” seruku. “Mana oleh-olehnya?”

Lantas, ganti aku yang terkesima. Kehilangan kata-kata. Banyak sekali yang dia keluarkan dari tas kulit mahalnya. Dulu, dia sering bertanya, oleh-oleh apa yang kumau. Tapi, tak pernah kuterima oleh-olehnya, sekali pun. Menelepon saja, dia tidak pernah sempat.

“Wah, Ndrew, jangan repot-repot. Satu saja cukup, kok.”

“Nggak, ini semua memang jatah kamu. Ini yang dulu pertama kali saya ke LA. Ini dari Paris. Ini Singapura, Bangkok, Hong Kong, Tokyo, Inggris, dan kemarin dari Chicago. Yang lainnya lupa dari mana. Tapi, ini memang untuk kamu. Nah, yang paling besar itu juga dari Hong Kong, semoga kamu suka.”

“Yang dari Belanda mana?” candaku.

Aku hanya mencoba menutupi rasa haru. Dia menyimpan ini semua untukku? Orang yang selalu ingkar janji ini? Jadi, setiap kali dia pergi jauh ke mana pun, dia selalu mengingatku, berusaha membelikan oleh-oleh untukku, walau tak sempat bertemu langsung untuk memberikannya padaku. Oh….

Aku sangat tersentuh, sekaligus sedih, menyadari dua hal. Aku salah menilainya. Kukira dia tidak peduli lagi padaku. Dan, dia salah menilaiku, aku masih belum bisa tampil apa adanya di depannya. Aku masih berusaha menutupi perasaanku. Dia tidak tahu itu.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dulu, sebelum Taka datang, dia menanyakan oleh-oleh apa yang kumau. Kujawab, camilan khas favoritku, keripik rumput laut Jepang.

“Aku tahu kamu suka sembe. Tapi, itu terlalu murah, terlalu biasa. Minta yang lebih mahal, dong. Jangan bikin malu calon bankir Jepang ini,” tantangnya.

“Kalau begitu, saya minta berlian. Sekilo!”

Taka pura-pura terjatuh pingsan!

Tidak, bukan itu yang penting. Aku tak butuh oleh-oleh. Aku butuh kehadirannya. Taka tahu itu. Sedangkan Andrew?
“Kamu nggak suka, ya? Kok, nggak diambil?” suara Andrew mengagetkanku.

Rupanya, aku sempat bengong di depannya beberapa sesaat.

“Nggak mau,” jawabku.

“Nggak mau sedikit?”

“Nggak,” sahutku, “nggak salah lagi.” Tawa kami pun berderai.

Aku teringat, sewaktu masih mahasiswa, kami selalu begini di telepon.

Aku juga baru sadar, dalam beberapa bulan terakhir, itulah pertama kalinya aku tertawa lepas.

Tepat sekali. Kehadirannya jauh lebih berarti daripada oleh-olehnya.

Andrew menarik. Yang membuatku tertarik padanya adalah sikapnya yang low profile.

Aku berkenalan dengan Andrew, anak teknik yang pendiam itu, lewat sahabatnya yang juga sahabatku, yaitu Amel. Menurut Amel, kami pasti akan menjadi pasangan serasi, ditinjau dari sudut intelektualitas, spiritual, dan emosional. Dia kikuk, sementara aku tenang-tenang saja ketika dikenalkan padanya. Aku tak percaya dengan rekayasa. Diperkenalkan kan belum tentu jadi pacar. Begitu prinsipku.

Tapi, kami mudah akrab. Aku menganggapnya sebagai sahabat baru yang menyenangkan. Menurut Amel, entah mengapa, jika sedang berdua denganku, Andrew bisa bercerita apa saja, bahkan hal-hal paling pribadi dan rahasia. Padahal, bagi orang kebanyakan, dia adalah patung bisu yang membosankan! Dia cerdas dan obrolan kami nyambung.

Secara umum, lama-kelamaan kusadari bahwa dia berbeda dari sahabat laki-laki yang lain. Dulu, jika aku ingin bercerita, aku akan menelepon Warih. Dia adalah pendengar yang baik. Kalau ingin minta pendapat, akan kutelepon Edo yang otaknya encer. Kalau ingin bergosip, kuhubungi Ray, yang bekerja sebagai penyiar radio. Kalau ingin jalan-jalan, Alan adalah orang yang paling tepat karena selalu bisa membuatku tertawa. Mereka semua hanya sebagai sahabatku.

Tetapi, sejak ada Andrew, aku hampir tak pernah lagi saling menelepon dengan mereka. Semua yang ada di pikiran dan hatiku kubicarakan dengan Andrew, walau kami jarang bertemu karena sama-sama sibuk. Dia sering meneleponku, bahkan ketika liburan ke luar kota bersama keluarganya. Mungkin, kami tidak pacaran seperti yang Amel inginkan. Tapi, kami memang sangat klop. Dan, kami belum pernah membicarakan hubungan kami selanjutnya.

Tapi, dari sekian banyak kelebihan Andrew, ada satu yang kurang. Dia bukan Taka.

Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar. Tapi, hingga kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya.

Taka sangat sibuk. Sebelum lulus kuliah, dia sudah diterima bekerja di salah satu bank terbesar di Jepang. Tapi, dia selalu mengirimiku e-mail, yang di bawahnya sering tertera tanda waktu sekitar pukul 01.30 sampai 03.05 am. Bahkan, sesekali meneleponku dari Jepang. SLJJ!

Andrew? Sepulang dari Jepang, sampai setahun kemudian aku menjadi alumni, aku hanya sempat bertemu dia dua atau tiga kali. Pertama, ketika aku mau memberikan oleh-oleh dari Jepang. Kedua, ketika tak sengaja bertemu di toko buku. Ketiga, aku lupa. Mungkin ketika acara perpisahan alumni baru di balairung. Aku bahkan belum sempat bercerita tentang Taka padanya. Lihat, dulu aku selalu ingin berbagi cerita dengannya tentang apa saja.

Pernah sekali aku sudah menyusun kejutan ulang tahunnya bersama teman-teman di sebuah kafe, dia tidak muncul. Ketika akhirnya ponselnya bisa dihubungi, dia ternyata sedang berada di Bandung! Aku tak tahu harus menelusupkan muka ke mana. Untung ada Amel yang pintar mengakali suasana. Begitu terus sampai setahun. Sampai aku putuskan untuk tak mengharapkannya lagi. Semua teman bilang dia menyukaiku, dan kata Amel tak ada wanita lain, dan aku bisa percaya. Tapi, bagaimana mungkin aku dicintai bila tak pernah ada waktu untukku. Bagaimana dia akan jadi kekasihku dengan pola hubungan seperti itu.

Setelah jadi alumni, Andrew berubah. Dia selalu membuat aku bersaing dengan pekerjaannya. Setiap kali kami janjian, hanya ada dua kemungkinan. Dibatalkan mendadak atau tidak bisa ditepati dengan alasan yang kurang intelek (Aku heran, dia terlalu cerdas untuk tidak bisa mengarang alasan yang lebih masuk akal). Aku merasa dia menghindariku. Mungkin dia sudah punya kekasih, tak jadi masalah. Tapi, kata Amel, tidak ada wanita lain. Dia memang sangat sibuk. Taruhlah kami bukan kekasih, tapi sebagai teman biasa pun sikapnya itu sungguh tak bersahabat.

Aku pun memutuskan untuk tak memikirkan ataupun berniat bertemu dengannya, setelah satu atau dua tahun lebih kecewa pada segala sikapnya. Kuhabiskan tahun-tahun terakhir dengan beberapa hubungan yang selalu kandas, karena aku tak pernah bisa benar-benar serius dengan salah seorang pun dari para pria itu. Sesekali kukirimi Andrew e-mail sekadar basa-basi untuk menjaga hubungan kami tidak putus total. Terakhir kudengar dia ada proyek di Hong Kong.

Pernah sekali waktu, dia ditugaskan ke kantor di sebelah gedung kantorku, selama dua minggu. Tapi, tak sekali pun dia menemuiku, yang hanya dengan jalan kaki lima menit bisa sampai. Dia hanya menelepon sekali untuk menanyakan kantin ada di sebelah mana.

Dua tahun lalu aku training ke Osaka, tanpa kuminta Taka bela-belain datang dari Tokyo untuk menemaniku week-end, menyusuri pusat pertokoan di Shinsaibashi yang luas. Pada malam hari di sana banyak hosto, pria-pria eksekutif yang gagah berjas gelap, yang gencar berburu wanita-wanita cantik untuk ditawarkan pada bos-bos kaya. Ketika Taka sedang membelikan es krim di am-pm, dan aku sedang memotret beberapa pemandangan, seorang hosto mendekatiku, tanpa kuduga. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya. Dia agak nekat, apalagi mungkin dia mengira aku orang Filipina, yang terkenal sering terlibat kasus prostitusi di Jepang. Untung Taka segera muncul. Aku merasa sangat dilindungi dan dihargai bersama Taka. Bukankah perasaan seperti itulah yang paling diharapkan dari pria oleh wanita di seluruh jagat ini?

Bukan, bukan itu yang jadi pokok perbedaan di antara mereka berdua.

Pernah juga aku menghadiri seminar di Singapura, kebetulan Andrew sedang transit di sana, dalam perjalanan pulang dari Amerika. Dia mengajakku bertemu di salah satu food court di Orchard Road, malam sehabis aku seminar. Tapi, sampai dua jam menunggu, dia tak muncul dan tak ada kabar. Setelah kembali ke hotel, aku menerima pesan di kamar, hanya kata maaf. Besoknya dia sudah check out pada subuh hari, dan tak ada kabar sesampainya di Jakarta. Ok, kumaafkan, kumaafkan lagi. Untuk Andrew, kata maaf kuobral.

Tahun lalu aku ke Tokyo, pada musim tsuyu (transisi musim panas ke musim gugur, musim yang panas, lembap, berangin dan hujan). Taka butuh kira-kira dua jam untuk menemuiku di Shinagawa dari kantornya. Dia bela-belain datang, walau kami hanya punya waktu beberapa jam untuk bertemu, sebutlah sebuah makan malam yang sudah sangat terlambat. Tapi, sekitar dua sampai tiga jam itu jadi sungguh terasa bermakna.

Dia bilang sangat senang melihatku lagi. Dia bercerita tentang ibunya yang kupanggil Okasan, yang sudah mulai mencoba menjodoh-jodohkannya (omiai kekkon), dan itu membuatnya malas mudik pada akhir pekan. Dia bilang, dia belum bisa tertarik pada wanita (lain), selain karena kesibukannya juga karena masih mengingat aku. Dia bilang akan menikah hanya bila aku sudah menikah dengan orang lain.

Aku kagum pada kemampuan kami memakai logika dalam melihat kenyataan, bahwa hubungan kami tidak akan semulus impian kami, oleh karena itu sebaiknya kami hentikan dan berusaha membuka hati untuk orang lain. Dengan menyadari betapa banyaknya perbedaan prinsipiil, walaupun sejujurnya tidak semudah itu mencabut sesuatu yang berakar kuat dalam hati kami dan itu mungkin akan menyakitkan, kami anggap hubungan kami too good to be true. Taruhlah bukan mission impossible, tapi kami berdua percaya (dengan susah payah) bahwa cinta saja tak cukup jadi modal sebuah rumah tangga yang hakiki.

Sepanjang jalan di depan Stasiun Shinagawa menuju hotel tempatku menginap, dia mencopot dark blue suit, jas biru gelapnya, untuk melindungiku dari hujan.

Pernah aku janjian dengan Andrew di Plaza Indonesia. Dia meminta tolong ditemani membelikan kado untuk ibunya yang ulang tahun. Setelah menunggu dua jam di lobi, dengan dilewati pria-pria iseng yang mencoba mengganggu, dia tak muncul juga. Hujan turun, tak ada kabar. Kuhubungi ke rumah tak ada, HP tidak aktif. Aku kelaparan dan kedinginan, dan kakiku pegal. Malamnya dia menelepon untuk minta maaf, alasannya hujan. Aku bilang sebaiknya dia beli payung, kalau nggak punya uang kan boleh pinjam aku dulu. Dia malah tertawa, padahal aku tak sedang melucu. Dan, anehnya, aku tidak bisa marah padahal aku ingin.

Aku juga heran pada kemampuanku menutupi perasaan, dengan mencoba bercanda dengannya. Lihat, aku adalah great pretender di depannya. Badut sejati. Dia adalah penonton buta dan bodoh yang mudah sekali tertipu oleh topengku yang tipis.
“Boleh aku tanya sesuatu?”

Kali ini aku harus membuat si tukang ingkar janji ini buka mulut, karena ternyata setelah tiga kali janjian, dia tidak pernah ingkar lagi, berarti selama ini ada sesuatu yang membuat dia sengaja ingkar janji.

“Nggak boleh.”

“Kalau aku paksa?”

“Aku keras kepala.”

“Tahu ini, ‘kan?” kutunjukkan pisau cake dengan mimik mengancam.

“Ya, ya. Ampun, ampun,” sembahnya, bercanda.

“Kenapa, dulu, kamu, sukaaa sekali…,” kalimatku sengaja kugantung-gantung, “I-N-G-K-A-R J-A-N-J-I?”

Dia menahan napas. Berpikir. Dahinya berkerut. Sinar matanya memudar. Kutatap dia tajam. Sialan, anak ini menarik juga kalau diperhatikan, bahkan dengan muka kurus dan kepala agak botak seperti sekarang. Aku baru sadar. Orang jenius memang berisiko botak.

“Maafkan aku, Ra, kalau masih bisa,” ucapnya. “Aku memang brengsek, nggak pernah tepati janji. Aku nggak tahu bagaimana menghargai orang lain. Aku tak berguna, tak layak mendapatkan pengertian orang lain, karena aku sendiri nggak bisa mengerti orang lain, egois.…”

“Dan, mestinya kamu dibakar hidup-hidup di neraka?” sambungku cepat, sebelum aku tak bisa menahan perasaan haruku meledak, setelah mendengar ucapannya yang terdengar sangat tulus.

Kami tertawa. Suasana pun kembali normal.

Sementara itu, aku dan Taka masih berkirim kabar sekali-sekali.
Rara chan,
Bagaimana hubunganmu dengan Papa dan Mama? Jangan membenci mereka karena aku. Jangan mengambil jarak terus dengan mereka. Aku juga sering melakukan hal yang sama, tapi lama-kelamaan kupikir memang benar bahwa orang tua menginginkan anaknya bahagia.

Minggu lalu Okasan membawa wanita lagi ke rumah. Sebegitu seringnya sampai aku tidak tega bilang bahwa aku tak berminat. Bukan karena hubungan kita. Tapi, papamu benar, aku memang sibuk sekali di kantor. Aku takut dia akan bosan kutinggal di rumah. Okasan marah-marah. Dia ingin sekali segera memiliki cucu.

Memang susah menyamakan pendapat dengan orang tua, kadang-kadang. Tapi, kita mesti gambarimasu, berjuang. Aku harap kamu bahagia. Bahagialah untukku. Aku turut bahagia untukmu. Bukalah hati untuk yang lain. Bahagiakanlah dirimu.

P.S: Jangan terlalu sering lembur. Ingat makan, jaga kesehatan.

Love, Taka


“Rara San!” panggil seseorang.

Takeda San! Aku segera menoleh.

“Hai’?” jawabku.

“Dareka, okyakusan ga matteruyo. Ada seorang tamu menunggu, lho.”

Aku segera bangkit. Meja resepsi yang biasanya dihuni Layla, sudah kosong. Kantor sudah sepi, tinggal segelintir orang yang masih lembur, termasuk aku yang sedang jenuh hingga buka-buka internet dan malas pulang. Jam digital di atas meja Layla menunjukkan angka 19:50.

Seseorang muncul di ambang pintu kaca.

“Andrew?” aku terkejut. “Kita nggak janjian, ‘kan?”

“Aku kebetulan sedang lewat di depan kantormu, dan kulihat lampu masih menyala, kupikir kamu mungkin belum pulang, jadi aku mampir.”

“Oh,” desisku.

“Kamu sudah makan malam?”

“Belum.”

“Kamu mau makan denganku?”

“Mau tunggu sepuluh menit? Aku harus membereskan sedikit pekerjaan.”

Dia mengangguk dan duduk di sofa.

Sebelum komputer ku-shut down, kubalas e-mail Taka.


Dear Taka,

Aku baik-baik saja. Aku tidak membenci Papa dan Mama. Aku hanya masih menjaga jarak dengan mereka, soalnya aku nggak suka cara mereka mencarikanku jodoh. Akhir-akhir ini mendadak banyak sekali pria yang telepon atau mendatangiku ke rumah atau ke kantor. Aku tak peduli pada mereka, tapi itu membuatku makin nggak nyaman dan malas pulang.

Oh, ya, masih ingat Andrew? Kami kadang-kadang bertemu sekarang. Dia sudah bertobat, tidak suka ingkar janji lagi.
Aku harap kamu juga bahagia.

Salam, Rara.


Aku pamit pada Takeda San.

“Osakini shitsurei itashimasu. Maaf saya pulang duluan.”

“Hai, dozo. Ki wo tsukete ne. Ya, silakan. Hati-hati di jalan, ya.”

“Hai, mata ashita. Sampai besok.”

“Kareshi ni yoroshiku ne. Salam, ya, buat pacarnya.”

Ungk! Aku terkejut dan menoleh. Takeda San tersenyum, lalu mengedipkan mata.

Andrew melihatku datang dengan lega.

“Seram juga, ya, kantormu kalau malam. Rasanya banyak hantu Jepang yang lewat.”

“Hantu? Sok tau lu!” semburku.

Dia terkekeh. Dia paling senang bisa mencelaku.

Karen lagi, Karen lagi.
“Come on, Karen,” kata Bortje. “Kembalilah dengan bayi Rolling Stones-mu. Ambillah cuti hamil segera. Kamu butuh istirahat.”

Karen menjulurkan lidah. Itulah hobi barunya sejak hamil, sehingga orang sekantor yakin anaknya nanti akan jadi penyanyi rock, penerus The Rolling Stones.

“Belum siap, nih, ninggalin kantor. Bagaimana jadinya kalau saya nggak ada,” Karen mengangkat dagu sambil melirik ke arahku.

“Kalau begitu, melahirkan di kantor saja, bidannya Takeda San sekalian, siapa tahu ketularan jadi bos,” sembur Jean.

“Ironis juga ya,” ucap Karen, nggak menggubris. “Saya sudah mau punya anak, sedangkan yang lain punya pacar juga belum, umur sudah mau kepala tiga.”

Aku menahan napas. Tiba-tiba Jim mendekat sambil membawa kalender.

“Wah, sebentar lagi kita makan-makan, deh. Ada dua orang yang ulang tahun. Layla dan Rara. Asyik juga, nih. Ra, makan di restoran lantai bawah, dong. Saya sudah lama, nih, tidak makan sushi.”

“Makan melulu yang dipikirin,” ucap Layla, yang sedang membawa setumpuk surat dan menjatuhkannya beberapa di atas mejaku. “Ulang tahun apaan, besok mungkin saya sudah mati duluan.”

“Paling nggak sebelum mati kamu sudah tunangan dulu, Lay. Daripada jomblo sama sekali,” timpal Karen.

“Karen,“ Jim mendekati mejanya, “you’re sick! You better take leave soon!”

Jim bangkit dan mengusap bahuku sambil berlalu. Karen terdiam seketika. Layla juga berlalu. Karen manyun.

“Mbak Rara, line satu,” suara Layla.

“Halo?”

”Ra, ini Ibem. Kamu ada waktu nggak, ada pameran software di JHCC….”

“Sori, Bem, aku mesti lembur hari ini.”

“Besok gimana?”

“Lihat besok, tapi nggak janji, ya.”

“Ya, sudah. Ok, bye.”

“Line empat buat mbak Rara, dari mamanya,” seru Layla lagi di intercom.

Kuangkat telepon. “Ya, Ma?”

“Hari ini bisa pulang cepat? Mama mau ngajak makan malam di rumah.”

“Ngajak makan siapa?”

“Kamu. Kalau bisa, ajak Andrew.”

“Kok, tumben? Kok, Andrew?”

“Kan malam ini ulang tahun pernikahan Papa dan Mama. Lupa, ya? Tadi pagi Mama nggak sempat bilang soalnya kamu berangkat pagi sekali. Bisa kan, Boru?”

“Kok, ngajak Andrew segala? Dia nggak bisa, mestinya dia lagi di Singapura sampai lusa,” jawabku, curiga.

“Ya, sudah, yang penting kamu ada. Jam tujuh bisa sampai rumah?”

“Ya, sudah.”

Telepon diputus. Kuputar nomor HP Andrew. Tidak aktif. Semoga dia masih di Singapura. Aku curiga ada apa-apanya Mama mengundang dia segala. Sebaiknya Andrew nggak usah datang. Aku nggak suka karena aku tahu Mama suka orang bertipe Andrew.

Lalu, tanpa sengaja aku punya alasan untuk tetap menjaga jarak itu, walau aku tak menginginkannya. Takeda San memintaku lembur, membantunya membuat laporan bulanan ke Headquarter. Sebenarnya aku bisa menolaknya, tapi sebaiknya jangan.

Aku sudah menelepon ke rumah dan mereka bisa mengerti. Ketika pukul sembilan aku tiba di rumah, aku tak bisa memercayai penglihatanku. Dan, itu membuatku hampir naik darah.

“Kamu bilang kamu di Singapura,” kataku pada pria itu. Tanpa basa-basi. “Kamu bohong.”

Dia menatap suram. Diam. Mungkin terkejut melihat ekspresi ketidaksukaanku.

“Siapa yang mengundang kamu? Mama, ya?” serangku, mungkin dengan nada kemarahan.

“Rara, makan dulu.” Mama mencoba menghela tanganku ke dapur. Kusergah.

“Aku nggak lapar. Aku mau tidur.”

Bum! Pintu kamarku kubanting. Aku punya alasan untuk marah!

Aku memang marah. Bukan karena Andrew membohongiku, tapi karena Mama! Dan, aku menyesal telah bersikap begitu pada Andrew.

Setiap kali bunyi bip-bip-bip di atas mejaku, aku akan segera menoleh dan berharap itu dari Andrew. Tapi, setiap kali aku kecewa.

“Selamat siang, bisa dibantu?” kuterima telepon. Entah siapa lagi ini.

“Hai, Rara. Masih ingat saya?”

Aku mengernyit. Suaranya bernada akrab sekali. Sok akrab sekali, tepatnya. “Maaf?”

“Ini Tonny, yang ketemu di gereja minggu lalu. Yang pakai kemeja biru. Lupa?”

“Ya, ya. Ingat. Kenapa, Pak Tonny, ada yang bisa saya bantu?”

“Emh, jangan panggil ‘Pak’, dong. Sorry mengganggu, lagi sibuk, ya? Engh, anu, kamu makan siangnya jam berapa?”

“Hari ini saya ada meeting jadi makan siang di kantor.” “Kalau makan malam?”

“Biasanya saya tidak pernah sempat makan malam.”

“Kalau besok?”

“Besok saya sales call ke tempat klien.”

“Lusa, atau kapan bisa?”

“Saya belum tahu. Kenapa?”

“Oh, Rara, nggak heran mama kamu segitu paniknya mencarikan kekasih buat kamu, kamu sangat sibuk ternyata.”

“Aaa? Maaf?” aku bingung dan tersentak secara bersamaan.

“Ya, kasihan mama kamu segitu khawatirnya akan kondisi kamu, karena kamu sangat menutup diri dan menghindari pria. Kamu sadar nggak usia kamu berapa?”

Darahku mulai naik.

“Kamu pikir kamu siapa, beraninya ngomong begitu sama saya!”

“Oh, jangan sewot begitu, dong. Saya cuma mau nolong mama kamu, kok. Mama kamu yang minta tolong saya mendekati kamu. Saya, sih, terpaksa saja.”

Brengsek. Kubanting telepon.

Malamnya, sepulang kerja, kubanting pintu kamar di belakang Mama.

Biasanya Mama akan mendiamkan dan membiarkanku bertapa di kamar dengan damai. Tapi, kali ini tidak.

Pintu kamarku digedor-gedor.

“BUKAAA…”

Aku yang sudah tak tahan pun segera menerima tantangan itu. Di depanku sepasang manusia itu menatap marah dan terluka.
“Kelakuan kamu sudah tak pantas!”

“Itu gara-gara Mama.”

“Mama kan cuma ngenalin dan selanjutnya terserah kamu.”

“Cuma ngenalin gimana! Mama sudah berapa kali nyuruh pria-pria ngejar-ngejar Rara. Bahkan sampai ada yang begitu lancangnya ngomong menjatuhkan harga diri Rara sebagai wanita. Mau ditaruh di mana muka Rara? Kesannya Rara, tuh, cewek yang nggak laku, diobral dan dijodoh-jodohin seenak hati!”

“Itu kan gara-gara kamu yang menutup diri. Ingat-ingat, dong, usia kamu sudah berapa.”

“Tapi, bukan begitu caranya, dong, Ma.”

“Jadi gimana caranya? Ayo, ajarin Mama. Kamu masih terus mengharapkan Taka? Dengan menutup diri begini, apa kamu pikir pria akan pada datang dengan sendirinya?”

“Saya tidak peduli pada pernikahan.”

“Kamu tidak boleh bicara begitu!” bentak Mama.

Papa hanya diam. Tapi aku tahu, dia tak berpihak padaku.

“Mama terlalu banyak mencampuri…,” aku mulai terisak. “Bahkan dalam hal-hal kecil. Seperti hubunganku dengan Andrew. Ngapain juga mesti sok ngundang dia segala. Tahu nggak, sejak makan malam di anniversary waktu itu, dia sudah tak pernah muncul lagi, ‘kan? Mama bisa kasih tahu alasannya kenapa? Mama lihat, dengan turut campurnya Mama, bukannya membuat keadaan Rara lebih baik, tapi semua orang jadi makin menjauhi Rara….”

Aku terduduk lunglai.

Mama mendekat. “Kamu bilang, Andrew nggak pernah muncul lagi?”

Hanya ada satu pria yang mampu membuat hatinya bergetar. Tapi, hingga kini, entah mengapa, ia masih ragu menerima cintanya.

Aku terduduk lunglai.
Mama mendekat. “Kamu bilang, Andrew nggak pernah muncul lagi?”

Tiba-tiba, entah sorot mata sedih atau sesal atau terluka, kulihat tebersit di sepasang mata tua itu. Tapi, aku hanya bisa memastikan bahwa nada suaranya hampir tak percaya.

“Dia satu-satunya teman yang masih bisa bikin Rara senang sejak Taka pergi. Tapi, dia juga akhirnya pergi, sejak dia kenal Mama. Entah kenapa. Entah apa yang salah. Yang jelas itu sejak Mama mulai mencampuri hubungan kami.”

“Andrew nggak pernah hubungi kamu lagi?” suara Mama sangat tidak yakin.

Aku menoleh. Ada sesuatu yang menarik. Kulihat mata Mama mulai berkaca-kaca.

“Padahal, dia bilang dia sangat sayang pada kamu….”

“Hah? Kok, bisa dia bilang gitu sama Mama? Mama ngomong apa sama dia?” Aku makin marah.

Mama menunduk. Air matanya mulai menitik.

“Padahal, dia bilang sangat ingin jadi menantu Mama, waktu Mama minta dia …”

“Apa?” Darahku naik lagi. “Jadi, Mama…?” Ya, ampun!

Oh, jadi diam-diam Mama meminta Andrew melamarku?

BUM!!

Kali ini pintu kubanting dan takkan kubuka, walau dengan gedoran sekeras apa pun.

Dear Taka,
Aku sedang ketakutan.
Ketakutan pada diriku sendiri. Aku mudah sekali naik darah. Walaupun setelah marah aku akan tersiksa dengan rasa sesal. Aku bukan membenci Papa dan Mama, tapi aku kesal dan muak dengan cara mereka mencampuri urusan dan mencoba mengatur hidupku.
Apakah mereka lupa kisah Siti Nurbaya, Titanic, Romeo dan Juliet, semuanya berakhir dengan kesedihan dan kehancuran? Bahwa cinta tidak bisa dipaksakan?

Taka, aku juga mulai merasa takut… kehilangan Andrew….

Kuklik send. Lalu muncul report. Message sent.

Teleponku berbunyi. Segera kuaktifkan voice mail. Aku sedang tak ingin dihubungi.

“Halo Rara, ini Yoel, Cuma pengen denger kabar kamu, kok. Masih suka bowling nggak? Sesekali main bareng lagi, yuk.”
Lima menit kemudian. Voice mail lainnya.

“Hei, ke mana aja! Nathan, nih. Gue mau nganterin undangan, nih. Lu nggak mau ama gue, sih, jadi gue merit ama cewek lain. Kapan ada waktu?” Klik.

“Rara Chan, isogashii (Sibuk)?”

Hahk! Aku tersentak. Itu suara Takeda San.

“Call back ne, ketai denwa. Shikkyu.”

Aku buru-buru menghubungi ponselnya. Shikkyu.Urgent, kata bos.

“Haro, Rara Chan,” suara khasnya terdengar. “Torong kirimu imeru ku Nakagawa San. Birang saya tidakku bisa besokku ku kantorunya. Kirimu juga kosto karukureshon ne. Arigatou.”

Dasar orang Jepang. L jadi R. Kirim jadi kirimu. Ke jadi ku….

Kirim juga apa tadi dia bilang? Cost calculation?

Kejutan! Kejutan!

Ternyata, Andrew tidak pergi ke mana-mana.

Dia ternyata sedang mempersiapkan kejutan untukku. Setelah menghilang sekian lama, tiba-tiba dia muncul. Ah, dia selalu begitu. Tak berubah.

Dia membawakanku sebentuk cincin berlian yang khusus dibelinya di Jerman. Dia sedang mempersiapkan pernikahan kami. Dia juga telah mempersiapkan bulan madu ke Eropa. Kami akan terbang ke Negeri Kincir Angin, Amsterdam, dan mengunjungi Desa Volendam, Dam square, Royal Palace, Museum Rijks. Lalu ke Paris, mengunjungi Place De La Concorde, Arch De Triomphe, Gereja Notre Dame, Menara Eiffel, yang dari lantai dua bisa menyaksikan pemandangan spektakuler ke seluruh penjuru kota Paris. Malamnya menyaksikan pertunjukan Cabaret Show di Lido Club.

Dia menanyakan apakah dia perlu meminta izin dulu pada Taka untuk mempersuntingku, kujawab tidak! Aku bahagia dalam gaun pengantin putih dan dia dalam tuxedo biru. Taka akan menjadi pendamping pengantin pria. Taka juga bahagia. Seperti janjinya. Bahagia untukku.

Di mana-mana ada bunga. Semua berwarna cerah. Indah. Bersinar. Hangat. Rasanya seperti surga. Mungkinkah ini selamanya? Bisakah?

Semua sahabatku datang. Teman-teman kantor juga. Papa, Mama, dan bahkan kakak laki-lakiku yang di Amerika muncul. Semua bahagia. Semua tersenyum. Tertawa bahagia.

Padahal, persiapan pernikahan ini sangat buru-buru. Andrew yang mengerjakan semuanya. Aku hanya tinggal terima jadi. Tapi, aku sangat bahagia. Lihat, bukan hanya Taka yang selalu bisa membuat kejutan yang menyenangkan, ‘kan? Andrew lebih spektakuler lagi!

Andrew menjadi suamiku! Aku menikah! Karen tidak bisa lagi mengata-ngataiku.

Aku bukan perawan tua. Aku bukan lesbian. Aku bukan gadis tak laku.

Aku jadi pengantin. Bahagia sekali!

Ketika kami berdiri di altar, dan pendeta menanyakan kesungguhan kami, bahwa hanya maut yang bisa memisahkan kami, Andrew telah menjawab mantap, “Saya bersedia.”

Dan, ketika giliranku tiba.…

“Rara, Raraaa….”

Tiba-tiba kudengar Mama berteriak-teriak, memanggil-manggil namaku.

Semua undangan menjadi geger. Tapi, Mama tetap tidak mau diam. Dia terus memanggil-manggil namaku. Aku menoleh dengan panik.

Dan.…

Kulihat Mama di pintu.

“Bangun, Boru. Kamu nggak ngantor?”

Kulihat jam dinding. Sudah pukul tujuh. Pagi. Aku baru bermimpi.

Hanya mimpi.

Seharian, entah kenapa, aku tak bisa membendung air mata.

“Jangan lakukan ini pada dirimu sendiri, Boru,” kata Mama. “Kalau kamu marah pada Mama, jangan dirimu sendiri yang kamu siksa.”

Itu adalah kalimat Mama yang divariasikan dengan beberapa gaya bahasa, ketika membukakan pintu, bila aku pulang malam atau pagi hari saat berangkat kerja dengan buru-buru.

Lalu siapa yang harus kusiksa? Ada yang mau jadi voluntir?

Lalu Takeda San akan datang dengan ekspresi aneh.

“Tolong beri tahu saya, berapa kira-kira kenaikan gaji yang kamu inginkan tahun depan, supaya saya siap-siap.” Lalu dia akan memohonku untuk tersenyum sedikit untuknya.

Seandainya dia tahu, saya sungguh senang bekerja di perusahaan ini, yang memang cita-cita saya sejak kuliah, kecuali oleh satu hal.

Karen menjulurkan lidah.

“Sudah punya nama buat anak kamu nanti, Ren?” tanyaku pada Karen.

Aku hanya mencoba berbasa-basi dengannya. Sebab, kulihat sorot mata sirik itu.

“It’s none of your business!” jawabnya, ketus.

  Jean mendongak. “Saya mau gantian sama kamu, Karen. Saya lebih suka punya anak daripada kerja di kantor. Kamu kayaknya berat sekali meninggalkan pekerjaan, padahal kerjaan kamu nggak gitu-gitu amat, kok. Ada nggak ada kamu, nggak jadi masalah.”

Karen tidak menjawab. Mulutnya memanjang. Dia segera beranjak dan membanting file.

Jean mengalihkan tatapan padaku. Menahan tawa.

Lalu, ada suara khas Layla di interkom.

“Ada tamu di depan. Pak Andrew. Bukan klien. Temennya, katanya.”

Jean tersenyum. “Jadi hari ini nggak lembur, dong.”

Hari itu aku pulang kantor jauh lebih cepat dari biasanya.

Di restoran yang senyap, dingin dan remang, aku duduk berhadapan dengan orang bermuka kurus, dengan tulang dan urat-urat pipi yang menonjol nyata, pucat, dan sorot mata yang kelam. Sebegitu cepatnya dia berubah penampilan menjadi seburuk ini. Maksudku, pertemuan kami sebelumnya juga dia sudah kelihatan memburuk, tapi ini makin parah….

“Maafkan aku, menghilang lagi tiba-tiba.”

Selalu kumaafkan. Sejak dulu. Masih belum mengertikah dia?

“Tidak apa-apa. Aku yang harus minta maaf soal makan malam di rumah waktu itu….”

Segera disergahnya tanganku untuk memotong ucapanku. Aku terkesima. Berdebar-debar. Kenapa jadi begini?

“Maafkan Mama juga,” kusambung dengan nekat. “Mama….”

Telapak tangannya langsung menyentuh bibirku.

“Tidak, tidak. Mama kamu benar, nggak ada yang salah. Kamu nggak perlu minta maaf. Akulah yang salah. Akulah yang membuat semuanya jadi berantakan. Akulah yang tidak berani menghadapi kenyataan dan selalu melarikan diri.”

Di restoran Jepang yang senyap dan dingin ini, dulu kami bertemu lagi setelah sekian lama tidak bertemu, dengan muka gembira, tawa dan canda. Segalanya berbeda dengan sekarang.

“Sebenarnya aku sangat menyukaimu,” ujarnya, dengan suaranya yang terdengar berat dan susah keluar. “Aku sangat ingin menikah denganmu.”

Entahlah, aku harus tersanjung atau malu dengan hal itu. Kalau Itu adalah hasil pendekatan kedua orang tuaku yang kuanggap sudah sangat keterlaluan, maka aku harus mencari tempat untuk membuang mukaku. It’s just a white lie, right? Saya tidak selugu itu, Andrew!

“Tapi?” tanyaku mencoba tenang, menahan malu.

“I can’t make it true.”

Aku tak punya keinginan untuk bertanya apa alasannya. Aku tahu permainan ini.

“Aku mengidap kanker.”

Aku tersenyum. Alasan yang bagus.

“Aku juga mengidap AIDS,” balasku. Badut! Kumat.

“Aku serius, Ra.”

Padahal, akhir-akhir ini, entah setan apa yang hinggap, aku mulai sedang-hampir-akan mempertimbangkan usul Mama dan Papa untuk menikah dengan pria ini, setelah kupikirkan dalam-dalam dari banyak segi. Bukan karena mimpiku. Bukan hanya karena e-mail Taka. Bukan karena umur. Bukan karena demi orang tua. Bukan juga karena aku putus asa tak menemukan pria yang lebih cocok (dia tetap tak sebanding dengan Taka). Tetapi, karena makin kurasakan, walau sedikit (demi sedikit), hasil rekayasa percomblangan Amel yang dulu, yaitu adanya kebutuhan untuk bertemu dan bersama dia, yang makin hari makin menjadi, seperti dulu kurasakan dengan Taka. Apalagi sejak dia tiba-tiba menghilang akhir-akhir ini, perasaan sangat kehilangan itu makin terasa nyata. Aku jadi sangat takut kehilangan dia….

Setelah Taka, aku belum siap untuk kehilangan lagi. Kini, rupanya aku memang akan benar-benar kehilangan dia.

“Penyakit ini ketahuan sejak aku mulai bekerja, Ra. Ketika itu aku mulai sering harus mengingkari janji denganmu, sering menghilang, karena aku tiba-tiba ambruk, atau tiba-tiba harus ke dokter, atau dirawat di rumah sakit. Beberapa kali aku juga berobat ke luar negeri, walau itu hanya membuat kepalaku makin botak. Juga karena aku berpikir lebih baik menjaga jarak kita supaya tidak ada yang kecewa. Mungkin akulah yang akan paling kecewa karena dari dulu, sejak pertama bertemu, bibit-bibit rasa suka pada kamu sudah tumbuh. Entahlah dengan kamu, tapi kamu sangat berperan baik sebagai sahabat bagiku. Daripada berharap muluk-muluk, aku sudah merasa puas dengan persahabatan kita. Meskipun sering menghilang dan menjaga jarak, sebenarnya aku tetap nggak mampu melupakan kamu.”

Lalu mengapa kamu muncul lagi akhir-akhir ini? Oh, aku tahu. Hanya untuk menebus dosa, sebagai saat-saat terakhir yang manis dan takkan terlupakan. Aku mengerti. Oh. Taka, tolong aku, rasanya aku lebih baik melompat ke Batu Gantung saja!
“Soal Mama kamu, pernah aku menelepon ke sana mencari kamu, tapi kamu belum pulang. Mama mengajak ngobrol dan menceritakan semuanya. Mama sangat sedih melihat kondisi kamu, karena Mama begitu sayang padamu. Aku juga tidak bisa menutupi pada Mama bahwa sebenarnya aku sangat sayang pada kamu, tapi aku nggak berani karena aku nggak tahu perasaan kamu bagaimana. Apalagi waktu makan malam di anniversary itu, kamu sepertinya memang tak suka aku ada di sana, dan itu memang salahku. Aku dan Mama kamu sekongkol untuk membuat kejutan, bahkan dengan sengaja saya membohongi kamu dengan bilang bahwa saya sedang di Singapura. Setelah malam itu, saya tiba-tiba ambruk lagi. Dan, menghilang tanpa kabar. Sama sekali bukan karena ingin menghindari kamu atau Mama….”

“Maafkan aku….”

Kami mengucapkannya bersamaan. Dengan air mata.

Sementara lagu itu terdengar menusuk ke sanubari yang paling dalam.

Too much love will kill you
it’ll make your life a lie
yes, too much love will kill you
and you won’t understand why
you’d give your life, you’d sell your soul
but here it comes again
too much love will kill you
in the end.

Aku kembali ke kantor dengan sebuah kehancuran jiwa yang baru.

Setelah Taka, kini Andrew. Apa yang salah dengan takdirku? Papa, Mama, what more would you say? Hatiku yang belum pulih, kini hancur lagi. Makin parah!

“Mbak Rara, line dua dari Jepang, Mr. Ogawa,” teriak Layla, ketika aku sedang melintas.

Thank God, dia memang selalu ada ketika aku membutuhkannya.

Buru-buru aku menghambur dengan file ordner besar menuju ke mejaku, tanpa sengaja menabrak seseorang yang langsung menghasilkan bunyi debuman, terjatuh. Bunyi benda besar ambruk. Seperti gajah. Aku menoleh. Bunyi file ordner jatuh sekeras itu? Astaga! Bukan ordner. Bukan gajah. Mana ada gajah di kantor. Lalu apa? Bukan apa. Siapa! Siapa?

Karen!

Dia menjerit keras. Semua kegiatan di kantor tiba-tiba terhenti.

Sepuluh menit kemudian kami sudah di rumah sakit. Kalau ada apa-apa dengan bayinya, akulah yang bertanggung jawab. Aku sangat tegang. Rasanya ingin mati saja. Aku ingin matiii.

Demi kebahagiaan orang tuanya, Rara rela dijodohkan. Tapi, mampukah ia mencintai suaminya dengan tulus, sebagaimana ia mencintai Taka?

Karen sudah mengerahkan segenap tenaganya. Dia terlihat sangat menderita. Dia menjerit berulang kali sambil mengejan. Kasihan Karen. Dia sudah kehabisan tenaga. Karen memang bersikeras melahirkan secara normal. Si bossy yang bermulut pedas, yang menjuluki aku perawan tua dan lesbian. Tapi, ia kumaafkan!

Aku bergidik ngeri melihat penderitaan Karen menjelang melahirkan. Tubuhku bergetar hebat. Kupejamkan mata.

Aku seakan melihat Mama di sana.

Samar-samar terbayang wajah Mama, Papa, Taka, Andrew.

Dan, suara-suara itu terus terngiang-ngiang.

“Masih maukah kamu menikah denganku?”

“Aku mencintaimu, bukan sekadar menyukaimu. Aishiteiru.”

“Taka melamarku, Mama, Papa.”

“Tidak!”

“Sebenarnya aku sangat menyukaimu, aku sangat ingin menikah denganmu.”

“Aku mengidap kanker.”

Tiba-tiba Karen menjerit keras, untuk yang terakhir, sebelum jatuh terkulai karena kehabisan tenaga. Akhirnya, semua berakhir. Aku menghambur keluar ruangan ketika terdengar tangisan bayi.

Ya, Tuhan, aku percaya bahwa melahirkan itu menyakitkan sekali. Tapi, aku baru mengerti setelah menyaksikannya sendiri. Aku jadi teringat cerita Papa. Dulu, saking inginnya Mama memiliki anak lagi, biarpun dokter melarangnya, Mama tetap mengambil risiko dan nyaris meninggal. Tapi, Tuhan memang baik, masih memberikan kesempatan agar aku lahir di dunia, hidup pongah di atas penderitaan dan taruhan nyawa seorang ibu yang kini malah tak diacuhkannya, ibu yang telah ‘kehilangan’ anak laki-laki harapannya.

Rara. Namaku artinya merah. Pertanda semangat Mama melahirkanku dan banyaknya darah yang tercurah demi aku. Rara.

Aku makin membenci diriku sendiri.Aku tak pantas hidup. Selautan air mata pun takkan mampu membersihkan semua kesalahanku. Selautan berlian pun takkan mampu membalas kasihnya. Rasanya, aku ingin segera pulang, menyembah, mencium, dan membasuh kaki Mama dengan air mataku. Mama yang melahirkan aku dengan taruhan nyawa.
 
Andrew pergi untuk selamanya. Kuputuskan untuk menjadi anak manis bagi orang tuaku. Kukurangi kontak dengan Taka dan kuperbanyak perhatianku untuk Mama dan Papa. Kuputuskan menerima tawaran pekerjaan di tempat baru. Semua orang di kantor menuduh Karen sebagai penyebab kepindahanku. Mereka salah.

Hidup harus dilanjutkan. Hidup adalah keputusan dan tindakan.

Aku memulai sesuatu yang baru. Meninggalkan semua kejadian pahit, mengubur dalam-dalam, dan memberinya nisan bertuliskan: Masa Lalu.

Kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada Papa atau Mama, aku tahu siapa orang pertama yang harus kusalahkan. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya nomor telepon, yang kusimpan sekian lama, tersambung juga.

“Yes, Jogi’s speaking.”

“Ini Rara.”

Tak ada reaksi. Dia pasti terkejut. “Rara who?” tanyanya, singkat.

“Papa kena serangan jantung. Sekarang di rumah sakit. Aku hanya ingin memberi tahu hal itu,” kututup telepon. Pulsa ke Amerika mahal. Lalu, kenapa aku harus meneleponnya?

Bukan untuk meminta perhatian atau simpatinya.

Aku hanya ingin dia merasa bersalah!

Aku ingin dia ikut merasakan akibat perbuatannya!

Aku ingin dia tidak bisa tidur oleh rasa sesal dan malu yang mendalam!

Aku ingin dia hidup dalam penyesalan, kegusaran, dan kehampaan!

Itu pun kalau dia masih punya perasaan!

“Apa yang Papa pikirkan?”

Papa menggeleng. Dia berbohong. Ya Tuhan, dia sudah tua. Sinar matanya meredup. Dia berbaring tak berdaya. Aku tahu apa yang berkecamuk dalam benaknya. Hanya dua. Jogi, putranya yang durhaka. Rara, putrinya yang keras kepala dan belum menikah! Jadi, lima puluh persen penyebab dia tergeletak tak berdaya adalah aku! Itu membuatku menangis semalaman.

Taka, help me….
Aku harus menikah, tapi dengan siapa?
Apa pun akan kulakukan asal Papa bahagia.
Asal Papa tidak sakit, apalagi sampai meninggal.
Apa pun akan kulakukan….

Rara,
Menikahlah dengan pria yang betul-betul mencintaimu.
Dia akan menolongmu belajar mencintainya.
Pakailah instingmu untuk memilih yang terbaik.
Kucoba turuti saran Taka. Sulit sekali.

Robert bukan tipe bapak. Denny terlalu career-minded, takkan ada waktu untukku. Toby kelihatan kurang dewasa. Hendrik terlalu bergaya bos.

Lalu, siapa lagi? Aku makin pusing.

Pria ini adalah anak sahabat Papa sewaktu masih sekolah di Pematang Siantar. Mereka datang menjenguk Papa.

Perjodohan yang tepat. Orang Batak. Dia anak pertama pembawa marga. Entah kenapa, aku tidak punya alasan untuk menolak. Padahal, aku takut melihat sorot matanya. Dingin dan seolah tidak peduli.

Mungkin sama seperti aku. Kami sama-sama tidak begitu peduli akan perjodohan ini. Kami sepertinya menyimpan kepahitan akan masa lalu.

Tapi, apa artinya ini dibandingkan dengan kebahagiaan Papa dan Mama?

“Apa yang salah dengan cara kita mendidik anak, ya, Albert,” kata sahabat Papa itu. “Anakku hampir menikah dengan orang dari seberang yang tidak seiman.”

Hanya itu yang kuketahui tentang masa lalunya. Bulan berikutnya, kami berdua sudah berdiri di altar gereja yang bertaburan bunga.

Pria di hadapanku ini pasti tidak mendengarnya. Padahal, aku sudah meneriakkan sekeras-kerasnya, dalam hati.
“Aku rela menikah denganmu. Kau tak perlu mencintaiku. Tapi, tolong jangan sakiti hatiku. Masih banyak luka yang belum sembuh, yang sedang kubalut. Tolong, jangan kau tambahi dulu.”

Pendeta pun meresmikan pernikahan kami. Kami resmi menjadi satu. Suami dan istri. Hanya maut yang bisa memisahkan kami!

Sepulang dari resepsi dan adat, otakku mulai berputar. Apa jadinya hidup tanpa cinta? Apa yang harus kulakukan pada malam pertama? Bagaimana aku harus bersikap di hadapan mertua?

Di rumah mertua, kami diberi wejangan oleh pihak keluarga suami sampai tengah malam. Tapi, karena itu, aku tidak perlu mencari alasan untuk menghindari malam pertama. Kami sama-sama terkapar kelelahan, tanpa sempat membuka baju pengantin.

Namanya Arga. Dalam bahasa Batak artinya mahal.

Aku memanggilnya ‘Bang’. Kami terpaut lima tahun.

“Kita bulan madu ke mana, ya?” tanyanya.

“Ke mana saja, asal jangan di rumah.”

“Jakarta atau daerah?”

“Luar negeri?”

Aku hanya mencoba bercanda.

“Uangnya nggak cukup. Kan, kita mau cari kontrakan.”

“Ya, sudah, terserah saja.”

“Aku nggak punya ide.”

“Aku juga.”

Kami memilih Bali.

Aku merasa aneh berjalan dengannya. Dia tidak menggenggam tanganku seperti layaknya pengantin baru. Selama lima hari di Bali, setiap kali pulang ke hotel, kami pasti langsung tertidur. Malam pertama itu tidak pernah ada.

Akhirnya, aku percaya bahwa dia tidak begitu peduli akan pernikahan ini. Dia tidak pernah mencintaiku. Aku juga begitu. Tiga bulan berjalan, aku masih perawan. Tapi, aku tak peduli!

Kami pindah ke kontrakan dekat kantorku.

Tiap pagi kubuatkan kopi dan sarapan roti untuknya. Kadang-kadang, kami berangkat bersama-sama. Tapi, pulangnya aku sering sendiri. Selain lembur, kuhabiskan waktu di mal atau kafe. Dia juga sering pulang malam. Tak ada tuntutan apa-apa satu sama lain.

Aku kurang cocok dengan ibu mertua dan adik ipar perempuanku yang sangat perhitungan dan materialistis. Suamiku harus membayar semua belanjaan mereka. Kalau begini terus, kapan tabungan kami akan cukup untuk membeli rumah sendiri?

Ya, ampun! Aku baru sadar. Aku mulai memikirkan rumah tangga dan masa depan kami. Tapi, aku tidak berani membicarakannya dengan Arga.

Lalu, datanglah cobaan pertama.

Aku tak ingin pergi ke acara rekreasi untuk seluruh staf perusahaanku. Jarak antara aku dan Arga akan menimbulkan kecurigaan. Arga tak tahu itu.

Ketika aku cuti sehari untuk menemani Papa yang masuk rumah sakit lagi, Arga berkata, “Tadi ada telepon. Tentang acara rekreasi kantor kamu.”

“Aku sudah bilang tidak ikut.”

“Kenapa?”

“Aku ingin menjaga Papa.”

“Tapi, aku sudah telanjur bilang kita ikut.”

“Apa?”

“Aku sudah lama sekali ingin ke Pulau Seribu.”

Aku terpana. Baru kali ini dia meminta sesuatu. Aku tak mampu menolak.

Di sanalah pertama kalinya dia menggandeng tanganku. Kami juga berdansa bersama pasangan lain. Dia menciptakan kesan bahwa kami adalah pengantin baru yang sangat mesra dan bahagia. Sungguh aktor yang pintar!

Tapi, malam hari, di dalam kamar hotel, kami tidur di antara bantal.

Kututup pintu kamar rawat Papa dengan perasaan khawatir. Khawatir hidupnya tak akan lama lagi. Khawatir akan keinginannya memiliki cucu dariku. Aku harus hamil. Aku harus membicarakannya dengan Arga.

Tapi, apa yang harus kukatakan pada Arga?

Beberapa menit kemudian, Arga keluar juga dari kamar Papa.

Digandengnya tanganku menuju parkir. Kami pulang tanpa berkata sepatah kata pun selama di perjalanan.

Air mataku tumpah di kamar mandi.

Tuhan, jangan ambil Papa dulu.

Ketika aku kembali ke kamar tidur, Arga mengusap rambutku dan memeluk kepalaku di dadanya. Yang ada di pikiranku hanyalah keinginan untuk melemparkan bom ke muka Jogi.

Mungkin benar, bahwa kutukan itu berlaku sepanjang masa. Tak ada ibu mertua dan menantu perempuan yang akur.
“Abang kamu dulu kuliah di kedokteran, ya?” tanya ibu mertuaku.

“Ya, Inang.”

“Di mana dia sekarang?”

“Amerika, Inang.”

Aku sudah mencium bau tidak beres di sini.

“Katanya, ia menikah di sana dengan wanita asing, ya?”

“Ya. Maaf, kenapa tiba-tiba Inang menanyakan abang saya?”

“Kemarin kan Inang ke undangan pernikahan. Kebetulan bertemu dengan Nyonya Sihombing. Katanya, anaknya sempat berteman dengan abang kamu. Namanya Ida. Kenal?”

“Oh, kenal.”

“Kok, pertunangan mereka bisa putus? Kabarnya, Ida sampai dirawat di sanatorium dan sempat pula mencoba bunuh diri, ya?”

Aku sudah muak pada semua ini. Aku tak tahu jika masa lalu Jogi akan jadi bahan cemoohan bagi rumah tanggaku. Mertuaku yang menyebalkan dan memuakkan! Sepertinya, dia senang sekali bisa menemukan kelemahanku.

“Ya, mungkin bukan jodoh,” tiba-tiba suamiku muncul.

“Kasihan banget mereka sekeluarga. Orang tuanya harus menanggung malu dan sempat tidak berani muncul di acara adat. Undangan, gedung, katering, dan pakaian sudah dipesan. Eh, tahu-tahu dibatalkan. Rugi materi, waktu, tenaga, dan harga diri,” lanjut Inang.

“Keluarga kami juga sama menanggung malu seperti keluarga mereka, Inang,” ucapku, akhirnya. “Abang saya memang tidak bertanggung jawab.”

Inang dan putrinya saling melirik. “Kok, bisa ada anak seperti itu, ya,” gumam Inang.

“Itu, sih, tergantung didikan orang tuanya,” timpal putrinya. Dan, batas kesabaranku habis.

“Aku nggak suka cara mereka bicara!” kutumpahkan kekesalanku pada Arga. “Bukan urusan mereka. Mereka tak punya hak menghakimi keluargaku!”

Arga terdiam.

“Jika mereka bicara seperti itu lagi, aku tidak akan tinggal diam,” ancamku.

Arga terus menyetir mobil dengan diam.

Arga mungkin tak peduli. Itu mengingatkanku bahwa kami menikah bukan atas dasar keinginan. Hatiku teriris. Tiba-tiba aku merasa sangat kesepian.

Suatu malam, Arga terlihat tidak bisa tidur, sepertiku.

“Papa bilang apa tadi?” tanyaku.

“Hanya bilang supaya kita hidup rukun.”

“Masa?”

“Katanya, Amang sudah mengatakannya padamu.” Amang, panggilan untuk papak mertua.

“Bilang apa?”

“Supaya segera punya anak.”

Aku kehabisan kata-kata.

“Aku ngantuk.”

Entah siapa yang berbahagia atas pernikahan kami. Mungkin Mama, Papa, atau bapak mertuaku. Yang jelas, bukan aku, suamiku, atau ibu mertuaku.

“Kenalkan,” ujar Inang, ketika kami pulang dari gereja. Seorang gadis bergaun hijau memakai perhiasan lengkap di seluruh tubuhnya.

“Tuti.”

“Rara.”

“Ini mantan pacarnya Arga,” ujar adik iparku.

“Kok, putus? Padahal, kalian terlihat serasi, lho,” kataku, cepat.

“Itulah bodohnya Arga,” tangkap Inang. Sialan!

Tuti pun pergi dengan mobil mewahnya, sedangkan aku menahan jengkel dalam mobil Arga.

“Sepertinya Tuti kaya ya, Bang. Kok, kalian putus?”

“Kami tidak pernah berpacaran. Mama yang menjodohkan.”

“Tak heran Inang suka padanya.”

Di luar dugaan, Arga tertawa.

“Kalau bukan karena Jogi, sekarang ini aku tak akan tinggal di rumah kontrakan. Aku bisa beli rumah. Bisa punya mobil mewah. Inang pasti suka padaku.”

“Jahat sekali Jogi, menghabiskan harta kekayaan keluarga kalian, ya,” kata Arga.

“Itu bukan karena salah didikan orang tua, lho,” tukasku.

“Aku percaya,” sahutnya. “Kamu tidak perlu memusingkan sikap Mama dan adikku. Kalau mereka macam-macam, biar aku yang hadapi.”

Aku terdiam. Akhir-akhir ini, aku merasa dia lebih perhatian padaku. Ah, mungkin bukan perhatian, hanya kasihan.

“Boleh?”

“Kenapa tidak?”

“Siapa yang gantian menjaga Papa di rumah sakit?”

“Aku. Siapa lagi?”


“Kenapa Abang mau?”

“Aku kan suamimu.”

“Terima kasih ya, Bang,” kututup telepon.

Aku meminta izinnya untuk perjalanan dinas ke Jepang. Cuma tiga hari.

Dia memeluk dan mencium pipi serta dahiku di bandara. Aku tak habis pikir, mengapa dia melakukannya. Sepertinya, bukan akting. Tulus. Tidak. Tidak mungkin dia kehilangan aku. Tak mungkin dia menyayangiku. Tak mungkin.

Aku tak merasa kehilangan dia. Saat ini, yang ada di pikiranku hanya Taka!

“Kamu bahagia?” tanyanya.

“Kelihatannya bagaimana?”

“Kelihatannya begitu.”

Salah. Aku bahagia karena bertemu dengannya!

“Kamu bagaimana?”

“Tidak bahagia sama sekali,” ujarnya, sambil tersenyum tipis. “Mama sudah meninggal.”

Aku terkejut.

“Aku turut bersedih.”

“Aku sangat menyesal.”

“Menyesal?”

“Karena, dia meninggal sebelum aku memenuhi harapannya. Menikah dan memiliki anak.”

Aku terkesima.

“Itu sangat menyiksaku sampai sekarang.”

Matanya berkabut. “Aku merasa tak berguna. Tak berarti.”

Wajahnya mendung.

“Seandainya waktu bisa diputar kembali, apa saja akan kulakukan demi Mama. Tapi, sekarang sudah terlambat.”

Aku belum terlambat.

Aku tidak mau seperti Taka

Aku pulang ke Jakarta dengan tekad baru. Papa harus punya cucu.

Di bandara, kutelepon Arga. Handphone-nya tidak aktif. Telepon rumah tidak ada yang mengangkat. Aku segera mencari taksi. Di taksi kucoba menghubungi Arga di kantor. Ternyata, dia sedang cuti.

Kucoba menelepon rumah Papa. Nadanya sibuk.

Kutelepon ke rumah sakit. Katanya, Papa sudah pulang.

“Pak, ke Menteng saja, ya,” ujarku, kepada sopir taksi.

Aku merasa ada yang tidak beres.

Aku tiba di rumah orang tuaku. Sepi.

Aku segera menuju kamar Papa. Ada Mama dan Arga di sana.

Mereka sedang menggenggam tangan Papa sambil berurai air mata.

“Papa!” seruku.

Mama makin terisak-isak.

“Papa!” jeritku, sambil menghambur.

Terlambat. Dia sudah pergi.

Terlambat. Aku sangat menyesal!

Aku sangat membenci diriku sendiri. Aku memang anak tak tahu diuntung. Durhaka. Aku tak pantas hidup. Aku tak berguna. Aku tak berarti.

Selautan air mata takkan mampu mengembalikan hidup Papa.

Aku tak lebih baik daripada Jogi. Aku lebih buruk, lebih parah.

Papa, maafkan aku….

Ampunilah aku….

Di sebuah layar komputer.

Dear Taka,
Setahun sejak kepergian Papa, akhirnya Mama menimang cucu.
Aku tahu dia bahagia. Kuharap Papa juga bahagia di alam sana.
Dan, aku telah belajar satu hal. Perjodohan itu ternyata tidak selalu berakhir sedih seperti Siti Nurbaya.
Seperti harapanmu, sekarang aku bahagia, bersama anak dan suami. Dan, suamiku sungguh mencintaiku.

Salam,
Rara

No comments: