12.22.2010

Keinginan Sederhana

Bahwa ini adalah kota kecil, aku tahu. Orang selalu bilang bahwa kota kecil membuat orang dengan gampang saling bertemu. Tapi, tetap saja aku tidak menyangka sama sekali akan bertemu dengan Melia, atau siapa pun orang lain dari masa laluku secepat ini. Padahal, aku baru saja sampai di sini kemarin. Pagi ini aku sedang berbelanja bahan makanan di minimarket kecil, ketika seseorang menepuk bahuku. Butuh waktu lebih dari dua puluh detik untuk akhirnya mengenali wanita itu. Padahal, dia sudah menyebutkan namaku, ketika aku membalikkan badan ke arahnya tadi.

“Melia, ’kan?”

Dia tersenyum mengangguk. “Kupikir, aku keburu menjadi patung sebelum kau dapat mengingatku.”

“Tentu saja tidak!”

Kupeluk dia. Senang sekali rasanya bertemu dengan teman lama. Apalagi, aku sudah lima belas tahun pergi dari kota ini, sejak lulus SMA dulu.

“Sedang apa kau di sini, Ros?”

“Berbelanja sepertimu.”

Dia terkekeh. Kami memang sama-sama sedang menenteng tas keranjang plastik yang penuh berisi aneka macam barang, dari mi instan sampai pembalut wanita. Cuma bedanya, keranjang Melia berwarna merah, sedang yang ada di tanganku biru.

“Bukan itu maksudku, Nyonya! Maksudku, apa yang kau lakukan di kota kecil ini? Adakah hal penting yang membuatmu meninggalkan kota metropolis itu?”

Ah, Lia, tentu kau tidak tahu bahwa itu jenis pertanyaan yang aku tidak suka saat ini.

“Yaaa... bisa dikatakan semacam liburan. Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau juga warga kota metropolitan yang lain? Bahkan, lebih metropolis daripada yang kutinggali, aku rasa.”

“Ha...ha...ha... kau salah, Ros, aku sudah kembali menjadi bagian dari kota kecil ini sejak hampir empat tahun yang lalu. Waktu itu ayahku meninggal. Kau tahu kan, semua kakakku sudah keluar dari rumah dan bertebaran di seluruh Indonesia. Jadi, kupikir saatnya menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Singkat cerita, delapan bulan setelah ayahku meninggal, aku mendapatkan kembali KTP yang dulu pernah aku lepaskan.”

“Sejak empat tahun yang lalu? Kau tinggalkan kariermu?”

Lagi-lagi dia tertawa. “Kalau yang kau maksud adalah karier kantoran, memang iya. Tapi, aku tetap bisa menjadi penulis di sini. Mengetik bisa di mana saja, ’kan?”

“Ah, aku lupa bahwa kau penulis. Terkenal pula.”

Dia tertawa lagi. ”Jadi, bagaimana kabarmu?”

“Baik, semuanya baik.”

Wajah Arman muncul sekilas di mataku. Ya, Arman, aku memang sedang berbohong sekarang.

“Berapa anakmu?”

“Belum ada.”

”Oh, ya? Kenapa? Sengaja menundanya. Karena sayang karier barangkali?”

“Tidak, Lia, memang karena belum ada. Lagi pula, aku sudah tidak berkarier sejak dua tahun yang lalu.”

“Oh, maaf. Tapi, aku tidak melihat kau menyesalinya. Jadi, berarti semuanya baik-baik saja. Benar, ’kan?”

“Ah, sudahlah, daripada sibuk mengobservasi hidupku, lebih baik kita pergi makan siang bersama. Aku tidak punya teman makan di rumah. Jadi, kau harus menemaniku.”

Melia tertawa.

“Ros, ini masih pukul sepuluh pagi, belum waktunya makan siang!”

“Kau sedang berdiet?”

Dia menggeleng.

“Lalu, apa salahnya makan siang sekarang?”

“Okay! Mari kutunjukkan warung makan yang enak di sini. Kau masih ingat rasanya nasi lodo? Ah, kau pasti tidak ingat lagi. Ayo, Nyonya, kutunjukkan makanan khas kota kecilku ini!”

Dia menyeretku ke arah kasir.

Di tempat parkir dia menyuruhku untuk selalu mengikuti mobilnya. Ternyata, dia mengajakku ke sebuah warung makan yang biasa saja, walau menurutnya makanannya luar biasa.

“Ini pembuat lodo terenak. Kau masih ingat apa itu lodo?” Melia tersenyum menggodaku.

Mungkin, baginya, aku adalah orang kampung yang melupakan kampung halamannya sendiri. Tapi, aslinya aku memang tidak tahu persis beda antara lodo dengan kare. Keduanya sama-sama bersantan dan menggunakan ayam. Di mataku, bedanya cuma lodo kuahnya sedikit kehijauan dan ada rasa pedasnya sedikit, sedangkan kare sangat kuning. Itu saja.

Kuakui makanan ini memang terasa enak sekali di mulutku. Entah karena memang enak, atau karena dari semalam perutku memang belum terisi apa pun, kecuali segelas sereal.

“Jadi, lodo ini yang bersekongkol dengan ibumu sehingga berhasil memanggilmu pulang dan kemudian mengikatmu di sini?”

“Ehm... tidak spesifik seperti itu, walau aku memang selalu kangen pada makanan ini. Ini menu favorit keluargaku. Di Jakarta, kota tempat bermacam suku se-Indonesia bercampur baur itu, tak dapat kutemukan makanan ini. Jadi, ya, rasanya menyenangkan juga bisa pulang.”

“Tidak merasa kehilangan banyak hal? Suasana kantor, persaingan, dinamika, dan deadline, misalnya?”

“Pasti! Awalnya semuanya terasa aneh, ketika keluar rumah dan mendapati lalu lintas lancar sepanjang hari. Aneh, karena tidak ada rapat-rapat redaksi dan kejar-kejaran deadline. Aneh, karena tidak ada teman-teman yang mengajak dan diajak hangout di kafe. Mereka yang biasanya nyata, sekarang jadi maya. Juga aneh, karena tidak ada mal yang bisa dikelilingi di hari Minggu, walaupun sebenarnya aku termasuk yang tidak suka ke mal. Tapi, ternyata hal sederhana seperti masalah mal itu, bisa membuatku merasa kehilangan.”

Tentu saja akan terasa kehilangan besar seperti itu. Perubahan dari hidup yang hiruk-pikuk menjadi lebih melambat, bukannya tidak perlu proses adaptasi. Aku saja semalam sempat susah tidur, karena berada di rumah yang sudah lama tak kutinggali. Semuanya terasa agak aneh, padahal rumah itu adalah rumah peninggalan orang tuaku, yang pernah menjadi habitatku bertahun-tahun lalu sebelum aku kuliah, bekerja, dan menikah dengan Arman.

“Tapi, semuanya terasa menyenangkan juga akhirnya. Apalagi, aku, toh, masih bisa main-main ke Jakarta kapan saja, asal ada uang tentu saja. Kadang-kadang ada juga teman yang sudi menengok. Sekarang ketemu kau pula. Berapa lama kau tinggal?”

“Ehm... mungkin dua atau tiga minggu. Mungkin juga bisa lebih. Aku belum tahu.”

Kelihatannya Melia bisa merasakan ada sesuatu yang di balik jawabanku itu. Aku harap dia tidak mengorek.

“Bagus, aku punya tambahan teman kalau begitu.”

“Jadi, makin produktif menulis? Proses kreatif lebih lancar?”

“Yaaa... karena tidak ada lagi yang memberi gaji tetap, maka harus lebih tinggi produktivitasnya. Kau sendiri apa yang kau kerjakan sekarang? Selain jadi ibu rumah tangga tentunya.”

Ah... dalam dua tahun ini aku tidak mengerjakan apa-apa, selain mengurus rumah, berbelanja, memasak, dan menunggu Arman pulang kantor.

“Tidak banyak. Karena itu, aku berencana kembali bekerja.”

Kening temanku berkerut. “Kenapa? Bukankah menjadi ibu rumah tangga itu pekerjaan mulia?”

”Dua tahun yang lalu aku berhenti bekerja, karena kecapekan membuatku susah hamil. Tapi, sampai sekarang belum juga ada anak. Rasanya, sepi di rumah seharian. Lama-kelamaan pusing juga. Aku akan kembali bekerja, tapi mungkin tidak seperti dulu. Aku kepingin punya anak, Arman juga. Jadi, tidak bisa terlalu ngoyo seperti dulu-dulu. Ha...ha...ha... tidak profesional, ya?”

“Jadi, tidak menolak, jika ada yang memberi order freelance, ’kan?”

“Tentu saja.”

Sebenarnya bekerja secara freelance lebih menyenangkan. Jika saja semua berjalan baik, tentu aku lebih suka bekerja freelance daripada kembali ke kantor.

“Bagaimana kalau kau yang kerjakan desain sampul novel baruku?”

Aku nyaris tersedak. “Benarkah?”

“Seharusnya aku yang bertanya padamu, apakah setelah vakum selama dua tahun, kau masih ingat akan ilmu desainmu? Ha...ha...ha....”

“Hei, tentu saja aku ingat! Kau serius?”

“Tentu saja. Bagaimana kalau setelah ini kau mampir ke tempatku? Akan kuberi kau satu copy naskah novelku. Sebenarnya masih perlu sedikit revisi, tapi tak akan banyak pengaruhnya. Jadi, kau memang mau menerimanya?”

“Boleh.”

”Kau bawa peralatan perangmu, ’kan?”

“Peralatan perang?”

“Notebook, pensil, kertas, ilmu, otak, dan seterusnya.”

“Tentu.”

Jadi, aku mampir ke rumah Melia. Rumah itu tampak resik, sama seperti belasan tahun yang lalu, ketika aku dan Melia masih SMA. Dulu rumah ini selalu menyenangkan untuk dijadikan base camp. Karena itu, hampir selalu ramai oleh teman-teman Melia ataupun kakak-adiknya.

“Sepi sekali, Lia.”

“Ya, hanya ada tiga gelintir manusia yang menghuninya: aku, Ibu, dan Mak Irah. Kakak-kakakku paling-paling sebulan atau dua bulan sekali datang berkunjung. Itu pun bergantian. Hanya di hari Lebaran kami bisa berkumpul lengkap bersama. Itu pun paling-paling cuma sehari dua hari saja. Selebihnya, ya, cuma kami bertiga.”

Ibu Melia rasanya hampir sebaya dengan mendiang ibuku. Sebenarnya tampak cukup sehat. Tapi, menurut Melia, tidak lagi mau aktif keluar rumah sepeninggal ayahnya. Beliau langsung dapat mengingatku dan memberi sambutan hangat, persis seperti dulu, walau cuma menemaniku beberapa menit saja.

Melia mengangsurkan flash disk padaku. “Kau copy di notebook-mu, besok atau lusa aku ambil flash disk-nya, sembari mengunjungimu. Rumahmu tetap di Mayjend Suprapto, ’kan?”
Aku mengangguk.

“Kau tinggal sendirian?”

“Ada dua anak kos dan satu penjaga.”

Malam itu juga aku langsung menekuri novel Melia. Sebuah cerita tentang homoseksual. Sebenarnya bukan isu baru, karena aku tahu banyak pengarang muda sekarang mengangkat tema tersebut. Tapi, karena berhadapan langsung dengan pengarangnya dan mengenalnya secara personal, isu itu jadi terasa segar di kepalaku.

Melia menciptakan tokoh bernama Permadi, yang jadi homoseksual bukan karena pengaruh lingkungan, tapi karena memang sejak kecil menemui dirinya seperti itu. Sewaktu kecil, ketika teman-temannya mulai menggoda gadis-gadis kecil sebaya mereka, dia lebih tertarik mengamati tubuh teman-teman main bolanya.

Ketika beranjak remaja, dia dibingungkan oleh ketertarikan terhadap sejenisnya yang terasa makin kuat dan tidak cukup dia mengerti. Begitu beranjak dewasa dan mengerti arti homoseksualitas, dia begitu sibuk menyembunyikan identitas tersebut, sekaligus melawannya.

Aku tengah tenggelam membayangkan tokoh Permadi yang terus-menerus bergulat melawan dirinya sendiri dan seorang diri, ketika telepon di ruang tengah berbunyi. Pikiranku langsung bisa bergerak menebak. Dan memang, kepala Nanik muncul di ambang pintu kamar yang kubiarkan terbuka.

“Ada telepon dari Bapak.”

Benar kan, memang Arman yang telepon. Nanik selalu memanggilku ’Mbak’, tapi selalu tidak mau menyebut Arman dengan ’Mas’. Dia selalu menggunakan ’Bapak’.

“Ya?”

Arman tidak langsung menyahuti sapaanku. Mungkin dia menelepon sambil merokok dan sedang mengisap rokoknya, ketika aku mengangkat teleponnya. Atau, mungkin juga dia merasa aneh dengan caraku menjawab telepon, karena memang aku tidak pernah menjawab teleponnya dengan ’ya?’ seperti itu.

“Kau baik-baik saja?”

“Ya, aku baik-baik saja. Kau?”

Aku nyaris tertawa karena nada canggung di suaranya dan suaraku sendiri. Aku merasa kami bukan dua orang yang telah lebih dari lima tahun tinggal seatap dan tidur di kasur yang sama.

“Aku tidak baik-baik saja, tentunya.”

Kalau saja semuanya dalam kondisi normal tanpa masalah, tentu aku sudah kebingungan dengan jawaban seperti itu. Aku akan sibuk menanyakan apakah dia masuk angin, diare, atau pusing, lalu sibuk mencarikan obat atau mengerik punggungnya. Tapi, tidak untuk kali ini.

“Kau pulanglah besok, please. Atau, kau mau aku menjemputmu besok?”

“Maaf, aku belum bisa.”

“Apa yang kau lakukan di sana, Ros? Masalahnya ada di sini. Kita selesaikan di sini.”

Satu hal yang aku sangat sukai dari Arman adalah nada bicaranya yang hampir tidak pernah meledak-ledak. Emosinya selalu redam.

“Aku ketemu teman lama hari ini.”

“Seorang pria?”

Dalam kondisi normal aku pasti sudah tertawa karena pertanyaan yang begitu cepat keluar dari mulutnya tadi.

“Melia. Teman SMA dulu. Pengarang terkenal itu.”

“Dan?”

“Dia memintaku membuat desain sampul novel barunya. Aku sedang membaca naskah novelnya sekarang.”

“Kan bisa dikerjakan di sini? Kau tidak perlu berada di sana karena pekerjaan itu, ’kan?”

“Ya. Tapi, memang aku belum ingin kembali. Tolong beri waktu.”

“Berapa lama, Ros? Pulanglah, kita selesaikan di sini, please.”

“Kita pasti selesaikan ini, Arman. Cuma aku perlu waktu untuk sendirian sebentar. Tidak akan terlalu lama.”

“Apa artinya ini, Ros? Aku sungguh-sungguh dengan permintaan maafku dan tidak akan terulang lagi. Tidak percayakah kau?”

Tidak percaya? Berapa banyak istri yang bisa dengan mudah memercayai permintaan maaf dari suami yang dengan enteng mengaku merasa tertarik pada wanita lain? Berapa banyak istri yang dengan mudah melupakan pengakuan itu dan kembali percaya bahwa cinta suaminya seutuh dulu?

“Biar aku di sini dulu. Aku janji akan pulang secepatnya.”

“Aku ke sana Jumat besok sepulang kantor.”

“Tidak usah. Biar begini dulu sementara ini.”

“Ros....”

“Please, Arman, mengertilah, aku benar-benar butuh ini.”

Kudengar dia menelan ludah sebelum menyerah.

“Aku telepon kau setiap hari. Tolong telepon aku kapan pun kau mau atau ingin membicarakan ini semua.”

“Okay.”

Sebenarnya aku ingin mengingatkan bahwa dia sering kali mematikan handphone-nya jika ada rapat penting. Jadi, bukankah sebenarnya aku tidak bisa meneleponnya kapan saja?

“I love you, Ros.”

Aku tercenung. Apakah suami yang bersalah selalu melakukan ini? Aku merasa seperti sedang melakukan satu adegan di film Hollywood.

“Ros? Kau belum menjawabku.”

“I love you too, Arman.”

Aku berusaha mengucapkannya dengan setulus-tulusnya.

Susah mengembalikan konsentrasiku ke Permadi, setelah Arman menutup telepon. Justru aku jadi memikirkan Faradina. Mulai mereka-reka sosoknya. Menurutku, dia seharusnya langsing, putih, dengan panjang rambut yang tidak melebihi bahu, karena setahuku, seperti itulah sosok yang disukai Arman. Dia juga sangat senang pada wanita yang cerdas. Dulu dia pernah bilang bahwa wanita berwajah biasa saja tapi berotak cerdas, jauh lebih menarik baginya daripada wanita cantik dengan otak kosong.

Jadi, seperti apa kau, Faradina? Pasti paduan sempurna antara cantik dan cerdas, sehingga mampu membuat Armanku datang padaku dan mengaku ”Ros, aku takut aku menyukai Faradina.” Sebenarnya, Arman tidak langsung mengatakan padaku soal itu. Awalnya, dia cuma bilang mendapat tawaran kerja dari suatu perusahaan asing. Temannya yang sudah terlebih dahulu ada di sana, merekomendasikannya untuk posisi manajer marketing.

Menurutnya, itu sangat menarik terutama dari segi gajinya. Tapi, entah mengapa, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu tentang hal itu. Setelah kukorek pelan-pelan, ternyata masalahnya adalah Faradina. Rasanya seperti terngiang kembali di telingaku suara lirih Arman, ketika berkata dia takut jatuh hati pada Faradina, partner barunya di kantor. Dia bilang, gadis itu menarik. Cerdas, itu intinya. Sebagai partner, mereka dekat satu sama lain. Arman merasa takut dengan kedekatan itu, takut akan jadi sesuatu yang lebih.

“Kau jatuh cinta padanya?”

Tentu aku sangat meradang dengan pengakuan itu.

Arman menggeleng. Tapi, aku tidak suka gelengan yang lemah. Bagiku, itu gelengan orang yang bersalah.

“Ros, aku tidak semudah itu jatuh cinta. Sekarang kalau kau tanyakan itu padaku, jawabku: aku tidak jatuh cinta padanya. Aku simpati. Dia gadis yang cerdas. Juga berani. Dia pernah bercerita tentang keluarganya yang pecah. Tapi, dia bisa mengatasinya dengan baik. Aku salut. Tak banyak orang yang bisa menyelesaikan masalah seperti itu dengan bijak seperti dia. “

Bagiku, penjelasan itu tidak banyak artinya. Tidak mengubah apa pun. Apakah itu sekadar simpati atau bukan, kenyataan yang kulihat adalah Arman sendiri merasa takut dengan kedekatan yang ‘nyaman’ itu. Karenanya, dia begitu bersemangat menerima peluang yang ditawarkan temannya di perusahaan asing itu. Mungkin, gaji besar yang menggiurkannya, tapi tetap ada faktor Faradina di dalamnya. Aku tidak suka faktor itu.

“Ros, ini hanya perasaan takutku saja. Tidak pernah terjadi apa-apa selama ini. Aku tidak mau terjadi apa-apa. Cuma kebetulan ada tawaran yang begitu menarik di saat seperti ini. Jadi kenapa tidak diambil? Tawaran itu sangat menarik, itu saja alasannya! Kau tidak perlu khawatir soal Faradina!”

Tidak perlu khawatir? Ah... enteng sekali?!

Dan, reaksiku membuat Arman benar-benar memutuskan untuk hengkang dan menerima tawaran itu. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu terakhirnya sebelum pindah ke kantor yang baru. Ketika dia memutuskan pergi, ketika itu pula aku memutuskan keluar sejenak dari rumah. Arman protes keras. Tapi, aku juga tidak bisa bertahan untuk tidak pergi. Aku tidak bisa berada di dekatnya dengan amarah dan kekecewaan sebesar itu. Memaksakan diri bertahan tanpa membuat jeda, hanya akan membuat semuanya meledak lebih dasyat. Aku perlu waktu untuk berjarak darinya. Jadi, aku tetap berangkat, walau Arman setengah mati menahan.

“Pulanglah secepatnya! Percayalah, tak pernah dan tidak akan terjadi apa-apa. Jangan bereaksi seolah aku telah telanjur berselingkuh dengannya. Aku tidak melakukan apa-apa, Ros. Pikirkan itu!”

Sebenarnya, apa definisi berselingkuh? Apakah hanya jika mereka telah bercinta baru bisa disebut Arman berselingkuh terhadapku? Apakah dengan takut ada perasaan yang mungkin bisa berkembang seperti itu, berarti dia belum berselingkuh? Apakah sesuatu disebut perselingkuhan, hanya jika ada kontak fisik saja? Bagaimana dengan perselingkuhan melalui pikiran? Aku sama sekali tidak sepakat, jika perselingkuhan itu hanya diartikan dalam bentuk kontak fisik. Bagiku, Arman sudah berselingkuh!

Minggu pagi ini hujan gerimis, ketika aku benar-benar memutuskan untuk membuka mata. Rasanya sudah mulai sejak subuh tadi dan sekarang belum juga reda. Dingin yang sejuk, membuatku betah menjajah kasur. Hari Minggu, pagi, gerimis, dingin.... Ah, jika ada di rumah bersama Arman dan semuanya dalam keadaan normal tanpa pertengkaran apa pun, tentu akan menyenangkan sekali. Tapi, sekarang sedang abnormal!

Nanik menyambutku di dapur dengan senyum, sambil menunjuk ke arah sepiring pisang goreng panas mengepul. Di dekatnya ada Lestari sedang mengaduk nasi di wajan besar. Baunya menggiurkan.

“Aku dapat jatah itu, ’kan?” selorohku pada Lestari.

“Tentu saja, Mbak.”

Lestari itu perawat yang bekerja di rumah sakit swasta dekat sini. Dialah orang pertama yang datang, ketika Ibu mulai membuka rumah ini menjadi tempat kos, dua bulan setelah Bapak meninggal. Ibu butuh teman. Jadi, membuat rumah kos adalah penyelesaian yang cukup baik, karena Ibu menolak untuk tinggal di rumahku, Mbak Ruli, ataupun Mas Bagus. Lestari menempati bekas kamarku. Sedangkan Nurul, satu anggota kos yang lain, menempati bekas kamar Mas Bagus. Bekas kamar Mbak Ruli sengaja dikosongkan, karena ukurannya lebih besar dari kamarku ataupun kamar Mas Bagus. Jadi, tetap ada kamar untuk kami, jika pulang dan menginap. Sekarang malah ada dua kamar kosong sejak Ibu meninggal.

Lestari tinggal sendirian. Suaminya sedang ke Saudi, katanya menjadi sopir. Berangkat tiga tahun yang lalu dan baru sekali pulang. Mereka belum sempat mempunyai anak, karena Yanto, suaminya, berangkat ke Saudi hanya dua bulan setelah pernikahan mereka. Mencari uang cepat, itu alasannya.

Secara duit, alasan itu tentu masuk akal. Gaji menjadi sopir di Saudi tentu lebih besar daripada di sini. Tapi, bagaimana dengan mereka sendiri? Maksudku, pernikahan macam apa, jika sepasang suami-istri terpisah jarak yang begitu jauh. Apakah masih ada yang namanya kesetiaan?

Terus terang, aku lebih meragukan Yanto daripada Lestari. Sebagian karena Lestari wanita. Wanita cenderung lebih setia. Apalagi, dia bukan tipe yang banyak tingkah, pemalu, juga pendiam. Sedangkan Yanto itu pria. Pria lebih gampang berselingkuh! Huh! Apalagi, istrinya jauh dari pandangan seperti itu! Aku ingin sekali bertanya pada Lestari, apakah dia percaya suaminya setia padanya di sana? Percayakah dia bahwa suaminya tidak menyentuh wanita lain selama tiga tahun berpisah dengannya?

Telepon berdering. Perasaanku mengatakan Arman yang menelepon. Aku langsung masuk ke kamar mandi. Perasaanku benar. Kudengar Nanik beralasan aku sedang mandi.
Nanik mengetuk pintu kamar mandi. “Mbak, Bapak telepon. Aku bilang Mbak sedang mandi. Sebentar lagi telepon lagi.”

“Okay.”

Tapi, aku berlama-lama di kamar mandi, sehingga aku belum juga selesai, ketika Arman kembali menelepon.

Nanik lagi-lagi mengetuk pintu, minta aku membukanya. Dia mengulurkan telepon wireless padaku.

Suara Arman langsung terdengar. “Ros, lama sekali mandimu?”

Ah....

“Iya, sekalian keramas, dan berendam.”

“Kau pulang hari ini, ’kan?”

“Belum.”

“Jadi kapan?” desaknya.

“Arman, tolong beri waktu.... Beri aku jeda. Aku tidak bisa menyelesaikan ini tanpa jeda sementara.”

Sunyi sejenak di seberang sana.

“Ros, jangan menganggap ini hal yang sangat besar. Tidak terjadi apa-apa. Percayalah! Semuanya masih baik seperti dulu.”

“Jangan menganggap ini hal yang sangat remeh juga. Pikirkan bagaimana jika kejadiannya dibalik, aku yang datang padamu dengan cerita bahwa aku mungkin tertarik pada pria lain. Apakah kau akan sama sekali tidak terganggu?”

“Ros, jangan begitu...!”

“Aku perlu jeda sebentar. Aku janji akan pulang, begitu semuanya bisa kutanggung dan bisa kembali bersikap normal terhadapmu. Tolong jangan terlalu memaksa. Kita sama-sama ingin semuanya selesai dengan baik. Tapi, ini perlu proses. Tidak bisa dihapus begitu saja, seperti kau menghapus tulisan kapur di papan tulis.”

“Ros, aku kangen sekali. Aku menyesal.”

Aku mencari-cari dalam hatiku, apakah aku kangen juga padanya, setelah empat hari di sini. Tapi, tak kutemukan apa-apa. Kupikir tidak ada baiknya berbasa-basi dengan bilang aku kangen juga.

Lega rasanya, ketika akhirnya Arman mau menutup telepon.

Keluar dari kamar mandi, kulihat Melia duduk di sofa ruang tamu. Posisi duduknya merosot, kakinya menyelip di bawah coffee table. Matanya terpejam.

“Hai, mau pindah tidur di sini? Ada kamar kosong, kok.”

Dia langsung membuka matanya, tersenyum. Mukanya agak layu, walau rambut pendeknya basah dan segar.

“Aku mau ke Mayjend Sungkono, lewat sini, dan teringat flash disk-ku. Jadi mampir sekalian.”

Nanik datang membawa nampan berisi teh dan pisang goreng. Melia langsung mengambil jajanan itu tanpa menunggu kupersilakan.

Kusodorkan flash disk-nya. ”Aku belum selesai membaca novelmu. Baru sampai halaman dua puluhan.”

Dia mengangguk-angguk. ”Tidak apa-apa. Santai saja. Tenggatnya masih jauh, kok. Pisang gorengnya enak.”

”Ada urusan apa di Mayjend Sungkono?”

”Ada teman yang melahirkan. Semalam aku ikut menungguinya. Bayinya perempuan. Beratnya tiga koma satu. Merah sekali.”

“Karena itu mukamu kuyu?”

“Masa? Apa kau mau ikut denganku? Atau, sudah ada acara barangkali?”

“Tidak ada. Aku ikut denganmu saja. Aku ganti baju sebentar.”

Ternyata, yang disebut Melia sebagai ’teman’ adalah seorang gadis belia. Sangat belia. Perkiraanku masih seusia SMA. Wajahnya tampak letih. Persalinan yang berat, kata nenek si gadis yang menunggui. Aku bertanya dalam hati, di mana ibu gadis itu. Bayinya sempat terbelit tali pusarnya. Gadis itu nyaris kehabisan napas dan tenaga. Untung si jabang bayi akhirnya mau keluar dengan sukarela, tepat saat azan subuh. Jika tidak, pisau operasi tentu sudah membelah perut si gadis.

Aku mengikuti Melia ke ruang bayi. Suster telah mendekatkannya di kaca, sehingga kami bisa melihatnya dengan jelas. Memang bayinya merah sekali. Kata orang, jika merah begitu, berarti kulitnya akan jadi putih nantinya. Pipinya montok, rambutnya tebal.

“Cantik, ya, dia?” Melia tak lepas menatapnya. “Aku belum berhasil menemukan nama yang bagus untuknya. Nama adalah doa. Jadi, aku tidak mau sembarangan.”

Dahiku berkerut. “Kau yang memberinya nama?”

“Ya. Ibunya, juga neneknya, meminta aku saja yang memberikan nama untuknya.”

“Kenapa?”

“Karena dia sudah diplot menjadi anakku begitu dia menghirup udara dunia.” Senyumnya mengembang. “Kenapa? Heran?”

Tentu saja!

“Kau tahu umur berapa ibunya? Lima belas tahun! Bayangkan, apa yang kita lakukan di umur itu? Rasanya aku sibuk dengan atletik dan baru bisa mengarang, sementara kau sibuk melukis dan memotret. Iya, ’kan? Zaman sudah jauh berubah, Ros. Mereka tidak lagi cukup cuma dengan atletik, mengarang, melukis, ataupun memotret.”
Aku menangkap maksudnya. “Dia hamil di luar nikah, lalu kau yang akan mengadopsinya. Begitukah?”

“Ya. Aku tidak bisa terima opsi aborsi. Gadis itu tinggal di Surabaya. Demikian juga pacarnya. Keluarga gadis itu tidak sangat kaya, tapi cukuplah. Sedangkan orang tua pacarnya adalah pejabat tinggi di Surabaya. Mungkin kau kenal dia. Semua tidak mau namanya tercoreng karena kelahiran bayi ini. Jadi, pilihannya adalah melahirkan diam-diam, kemudian melupakannya, atau aborsi. Nenek gadis itu adalah kenalan ibuku. Jadi, aku ada kesempatan untuk mengambil bayi itu. Tiga atau empat hari lagi, bayi itu akan pindah ke rumahku dan ibunya kembali mengenakan seragam SMA-nya.

“Kenapa?”

“Karena, memang begitu kan alur yang diinginkan?”

“Bukan, maksudku, kenapa kau mau mengambil bayi itu?”

Melia menatapku sebentar. “Karena, toh, aku juga perlu untuk punya anak, Ros.” Dia mengucapkannya sambil berbalik, melangkah pergi, kembali ke ruang tempat gadis itu dirawat.

Gadis itu bernama Diana. Dia menolak ketika suster menawarkan untuk menyusui bayinya. Aku langsung tidak simpati. Menurutku, dengan penolakan itu, berarti dia benar-benar tidak mencintai bayinya. Dia cuma menikmati proses pembuatannya!

Tiba-tiba aku merasa marah terhadapnya. Padahal, Melia tampak biasa-biasa saja. Dia sempat sedikit membujuk Diana untuk mau menyusui bayinya dengan menjelaskan bahwa ASI adalah susu terbaik untuk bayi. Lalu, Melia meminta suster mengajarinya menggendong bayi itu. Dia mulai mengayunnya dengan sayang, menciumnya, lalu terkekeh gemas, karena ternyata si bayi mengompol. Melia mengamati cara suster mengganti popok dengan seksama. Sedangkan kulihat si ibu asli malah tenang-tenang, mengunyah anggur hijau. Aku jadi tambah tidak suka padanya.

“Sudah siap nama untuknya, Lia?” Sang nenek bicara, sambil mengelus pipi cucunya. Dalam hati aku bertanya, kenapa bukan nenek itu saja yang mengurus bayi itu? Kota ini memang hanya empat jam perjalanan dari Surabaya, tapi aku rasa jarak itu cukup untuk meredam berita tentang anak pejabat yang telah menghamili pacarnya dan tidak mau menikahinya.

“Belum. Tapi, pasti segera kutemukan. Apakah dia sudah mirip denganku?” guraunya riang, sambil mendekatkan muka mungil itu ke wajahnya sendiri.

Sang nenek tertawa karena gurauan itu. Sedangkan aku tidak berminat untuk ikut tertawa.

Sepulang dari rumah sakit, Melia berbelanja perlengkapan bayi. Popok, bedak, alas tidur, minyak telon, minyak kayu putih, kelambu, topi, sepatu, kaset Mozart, dan entah apa lagi. Dia juga menghabiskan waktu bermenit-menit untuk bertanya pada seorang SPG hitam manis soal lotion antinyamuk, hanya untuk meyakinkan bahwa barang itu aman buat bayi. Lalu dengan enteng mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan untuk membayar belanjaannya.

“Mereka tidak memberimu uang untuk keperluan ini?”

Dia menggeleng. “Tidak. Lebih baik begitu, aku rasa. Mereka, toh, sudah membayar sendiri biaya persalinannya.”

“Kenapa kau tidak membiarkan mereka ikut menanggung keperluannya?”

“Ini tidak untuk membuatku berhak menutupi asal-usulnya kelak, Ros, jika itu yang kau maksud. Aku tetap akan membuatnya tahu keluarganya suatu saat nanti, ketika dia sudah bisa berpikir dengan baik dan jernih. Adopsi kan cuma hukum duniawi saja. Aku tidak akan menutup akses dengan keluarga kandungnya. Bagaimanapun, aku tidak akan pernah jadi ibu kandungnya. Lagi pula, kelak dia butuh wali untuk menikah.”

“Ibumu setuju dengan hal ini?”

Dia tertawa. “Kau tahu, Ros, hal yang paling bisa menyenangkan seorang nenek macam ibuku adalah adanya anak kecil untuk dirawat dan dimanjakan. Apalagi, Ibu tahu riwayatnya. Seperti kau, Ibu tidak suka pada gadis itu, tapi dengan mudah jatuh sayang terhadap jabang bayi itu, bahkan sebelum dia lahir. Dia justru akan bisa membuat ibuku ’hidup’ kembali.”

Berarti, semuanya semudah itu. Alangkah beruntungnya bayi mungil itu. Begitu ibu kandungnya menolak, langsung dia dapat ibu pengganti, juga nenek, yang langsung pula menya­yanginya.

“Jangan terlalu sinis terhadap Diana, Ros. Mungkin kita akan melakukan hal yang sama, jika dihadapkan pada masalah sepelik itu. Bagiku, dia sudah hebat dengan mau mempertahankan anaknya hingga lahir. Banyak gadis lain yang lebih buruk dari itu, yang tanpa pikir panjang mengambil opsi aborsi sebagai penyelesaiannya. Paling tidak, Diana sudah rela membuang satu tahun masa sekolahnya dan mengorbankan bentuk badannya. Selebihnya, sebaiknya kita maklumi saja.”

Memaklumi? Enteng sekali. Walau aku tahu tak berhak apa pun atas Diana, tapi rasanya tidak sesederhana itu. Berapa banyak wanita di dunia ini yang ’mengemis’ kepada Tuhan untuk diberikan anak dalam rahimnya. Berapa banyak yang berusaha ini-itu dan menghabiskan hartanya hanya untuk tujuan itu. Aku mengumpat atas namaku sendiri.

“Yaaa... seks harus dilakukan dengan bertanggung jawab, tak cukup hanya bermodal cinta dan nafsu saja. Begitu maksudmu? Mari kita ajarkan semua itu pada anak-anak kita nanti, Ros.”

Di rumah Melia, benar-benar kulihat bukti nyata bahwa ibunya sama sekali tidak keberatan dengan keputusannya mengadopsi bayi itu. Wanita itu tampak jauh lebih hidup daripada tempo hari. Beliau mondar-mandir, memberi komando Mak Irah untuk membereskan kamar Melia, mengatur isi almari kecil yang agaknya diperuntukkan bagi bayi mungil itu. Kudengar, beliau meminta Mak Irah mengeluarkan buku-buku Melia dari kamar, karena dianggapnya barang-barang itu menumpuk debu.

“Benar kan kataku?” kata Melia padaku. Dagunya menunjuk ke arah ibunya.

Malam itu aku masih diselimuti perasaan aneh. Entah mengapa, aku masih merasa jengkel pada Diana. Juga merasa asing dengan cara penerimaan Melia yang begitu mudah. Aku jadi teringat anak-anak di panti-panti asuhan, yang sering kali menjadi anak-anak nakal karena kurang perhatian. Juga anak-anak yang biasa mencegatku minta recehan di perempatan jalan. Aku merasa ini tak adil untuk mereka.

Bayi Diana sungguh beruntung. Mungkin malah lebih baik dia ada di tangan Melia daripada diasuh oleh ibu kandungnya yang masih ingusan itu. Untuk menyusuinya saja gadis itu menolak, apalagi untuk merawatnya. Sedangkan Melia malah seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Tadi sempat kutangkap matanya berkaca ketika menciumnya. Aku menyesal melupakan kameraku. Jika tidak, pasti aku bisa membuat foto yang indah tentang hubungan ibu dan anak. Mungkin bisa kujadikan kartu pos untuk dihadiahkan pada Melia.

Aku meneruskan membaca novel Melia. Permadi sedang gelisah dengan masa depannya. Kondisinya sebagai homoseksual membuatnya ketakutan akan terus sendiri sampai tua dan mati. Rasanya, memang sangat menyedihkan, jika tak ada seorang pun di sisi kita, saat tua dan tak berdaya. Hidup yang sungguh sunyi. Dia ingin membuat satu keluarga, kecil saja, yang penting ada cinta yang kuat di dalamnya. Padahal, jangankan untuk membuat keluarga, untuk membuka rahasia hidupnya kepada keluarganya saja, dia tak punya cukup keberanian. Bukan takut akan dicampakkan, tapi lebih karena takut dipandang aneh dan dikasihani seumur hidup, takut membuat orang tuanya menderita sepanjang sisa hidupnya.

Tanpa membuat pengakuan pun, dia merasa sudah menggiring orang tuanya ke pintu neraka kelak. Pengakuan hanya akan menciptakan neraka di dunia bagi mereka, terlebih bagi ibunya, yang selama ini sangat membanggakannya. Cuma ada satu hal yang membuat dia merasa agak beruntung: dia dilahirkan bukan sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Berarti, tanpa dia pun, garis keturunan tidak menjadi garis putus di tengah jalan.

Permadi yang merasa merana dan tidak beruntung, membandingkan dirinya dengan makna namanya. Permadi adalah nama lain dari Arjuna, salah satu anggota Pandawa, tokoh pewayangan. Permadi, alias Arjuna asli, adalah tokoh sakti yang penuh keistimewaan, anugerah para dewata. Dia adalah jagoan yang lengkap, dalam artian dia sakti, bangsawan yang mempunyai kerajaan, berbudi luhur, dan berpenampilan fisik sempurna. Konon, begitu banyak wanita yang dengan suka hati disuntingnya dan rela pula dimadu.

Permadi yang manusia biasa; bukan tokoh pewayangan; merasa semua itu adalah sebuah perbandingan terbalik dengan dirinya. Dia hanya manusia biasa, dengan kemampuan biasa, dan satu lagi, dia tidak tertarik pada wanita. Ironis sekali. Padahal, orang tuanya memberikan nama itu tentu bukannya tanpa maksud. Mungkin, saat itu mereka lupa bahwa dalam pertunjukan wayang orang, tokoh Arjuna selalu diperankan oleh wanita. Karena, konon, di balik kesaktiannya, Arjuna adalah pria yang sangat lembut. Tutur katanya selalu kalem. Wajahnya pun tampan yang cantik, bukanlah tampan yang macho. Mungkin, ini sebenarnya adalah firasat.

Lalu, Permadi yang manusia biasa itu bertemu seorang wanita, Sekar namanya. Keduanya segera akrab. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, yang membuatnya bisa begitu dekat. Mungkin, kesepian yang sama. Mungkin juga perasaan terdiskriminasikan, walaupun alasannya berbeda. Ibu Sekar adalah istri muda, yang dinikah siri oleh bapaknya yang seorang tokoh masyarakat. Status ibunya sebagai istri muda, wanita yang datang terlambat, membuat Sekar tidak pernah mendapatkan pengakuan dari keluarga bapaknya. Di mata keluarga besar bapaknya, Sekar dan ibunya hanyalah dua tamu yang tidak perlu disambut dengan ramah. Terlebih, sang bapak juga memberlakukan diskriminasi tersebut. Lengkap sudah, Sekar tak diharapkan.

Pada Sekar, Permadi pertama kali membuat pengakuan akan dirinya. Sikap simpati dan penerimaan tanpa syarat dari gadis itu, membuatnya merasa ada di rumah yang hangat. Dia betah ada di dalamnya. Dia menjadikan Sekar sebagai tempatnya untuk pulang. Rumah tempatnya membuka jati dirinya, seperti membuka seluruh pakaian yang dikenakannya hingga telanjang. Dia merasakan sesuatu yang jauh dari nafsu. Hanya hangat yang menyenangkan, membuat dia betah, dan selalu mencarinya.

Sedangkan Sekar merasa berarti, karena ada seseorang yang membutuhkannya. Seseorang yang sedikit banyak bergantung padanya, tanpa melihat siapa dirinya, hanya dia. Fakta bahwa Permadi memercayakan rahasia terbesar dalam hidupnya adalah sesuatu yang sungguh besar artinya bagi Sekar. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang menghargainya seperti itu. Hidupnya jadi penuh dengan Permadi. Dia mulai membuat rencana besar: menjadikan Permadi normal dan membawanya ke dalam kehidupan yang wajar, tanpa perlu mengenakan topeng atau menyembunyikan, karena tidak akan ada lagi yang perlu ditutupi atau disembunyikan. Permadi akan menatap dunia, bersamanya.

Lalu, tiba-tiba muncul Frans, mahasiswa yang dikenal sewaktu iseng-iseng chatting di room chat tertentu, yang sudah lama ditinggalkannya sejak ada Sekar. Awalnya, Permadi menolak permintaan Frans untuk bertemu. Tapi, kemudian dia luluh dan menemui Frans di sebuah resto, dengan janji bahwa ini adalah pertemuan terakhir. Ternyata, dia salah. Dia seperti mengalami cinta pada pandangan pertama terhadap pemuda itu. Celakanya, Frans juga mengalami hal yang sama.

Cinta adalah sesuatu yang menyusup diam-diam, seperti udara bebas masuk ke dalam lubang hidung tanpa kita punya cukup daya untuk menyaringnya. Aku suka pada pemaknaan itu. Jadi, kesimpulannya, keduanya tersusupi cinta. Cuma, bedanya, yang satu bebas tanpa rasa bersalah dan menikmatinya sebagai cinta biasa yang indah, lainnya merasa berat karena dibebani rasa bersalah.

Permadi merasa telah berbuat salah terhadap Sekar. Dia merasa sebagai pembohong dan pengkhianat. Kenyataan bahwa sebenarnya tidak pernah ada kata yang keluar dari mulutnya tentang posisi Sekar untuknya, tidak cukup kuat untuk meringankan rasa salah itu. Ironisnya, dia juga tidak punya cukup kemampuan untuk menghindar dari Frans. Frans sungguh indah dan dia terkapar dalam cintanya.

Awalnya, setiap kali berkencan dengan Frans, Permadi merasa seperti seorang pria tengah baya yang mengencani daun muda, karena umur mereka berjarak delapan tahun. Juga merasa bersalah. Karena, menurutnya, dengan usia Frans yang semuda itu, seharusnya dia membantunya untuk keluar dari dunia itu, bukan malah mengencaninya. Seharusnya, Frans masih punya kesempatan. Tapi, pemuda itu sama dengan dirinya, yang terbentuk bukan karena lingkungan atau pergaulan yang salah. Mereka sama-sama terlahir seperti itu. Juga sama-sama tak kuasa. Mereka senasib, dan lebih parah lagi, mereka saling jatuh cinta. Dan, Permadi mulai pontang-panting untuk menyembunyikan Frans dari Sekar.

Membaca kisah Permadi dan Frans ini membuatku kagum pada Melia. Dia dapat begitu detail menuliskan bagaimana kedua anak manusia sesama jenis itu menjalin satu hubungan. Melia menggambarkannya dengan gamblang, sehingga pembaca awam sepertiku serasa mendapat pengetahuan baru tentang dunia yang selama ini dianggap gelap. Entah riset panjang macam apa yang dilakukan Melia sebelum menulis.

Melia sedang di teras menggendong bayi itu, ketika aku datang. Si kecil mungil itu menyedot dengan rakus sebotol susu yang disodorkan ibu angkatnya itu. Pipinya tampak ranum.

“Sudah berkenalan? Dia sudah punya nama sekarang.”

“Siapa?”

“Nailah Izah. Panggilannya Izah. Tapi, Mama malah sudah mulai menyebutnya Chacha. Nama sayang yang lucu, ’kan?” Senyum Melia lebar sekali.

Nama yang indah.

“Nailah artinya karunia, sedangkan Izah berarti mulia. Jadi, dia adalah karunia yang sungguh mulia. Bukankah anak memang benar karunia yang mulia bagi orang tuanya, walau hanya orang tua angkat sepertiku?” Dia mencium ubun-ubun bayi mungil, yang masih saja asyik dengan dot susunya itu. “Kau tahu, aku baru sekarang tahu betul rasanya jadi ibu. Dia membuatku begadang setiap hari. Mengganti popok dan membuat susu ternyata bukan pekerjaan enteng. Terlebih di malam hari. Cukup untuk membuat muka pucat dan mata cekung. Kau akan merasakannya juga nanti.” Dia menunjuk wajahnya.

Hatiku ngilu, teringat myom yang pernah tumbuh di rahimku.

“Kau beri susu apa?”

Melia menyebut satu jenis susu merek terkenal berkualitas tinggi. Ah... bayi yang beruntung. Ibu angkatnya ini benar-benar mencintainya dengan penuh, sehingga untuk susu pun dia memberikan yang terbaik.

Seorang wanita muda keluar. Wajahnya cantik polos dan kulitnya kuning sekali. Rambutnya lurus dan dikucir tinggi, sehingga tengkuknya pasti akan terlihat jelas andai saja dia berbalik. Dia tersenyum kikuk padaku. Di pundaknya tergantung tas kulit warna merah yang agak besar.

“Kenalkan, ini Fia. Fia, ini Rosida, teman SMA-ku dulu.”

Kujabat tangannya. “Dari Jakarta? Sedang berlibur?”

Fia mengangguk. “Ya, aku sudah dua hari menginap di sini dan sekarang mau pulang ke Jakarta lagi.”

“Dia fotografer, Ros, punya studio sendiri.”

Fia memeluk Melia dan mencium kedua pipinya, juga kedua pipi Nailah. Dia membisikkan sesuatu di telinga Melia, yang membuat Melia mengangguk sebentar. Lalu, abang becak membawa Fia ke terminal bus. Kata Melia, dia naik bus ke Surabaya, lalu ganti pesawat di Juanda.

Sepeninggal Fia, Melia mengajakku masuk. Dia meletakkan Chacha yang sudah tertidur di boksnya. Lalu, meregangkan kedua tangannya yang mungkin terasa pegal.

“Kau benar-benar menikmati peran barumu, Lia. Aku salut kau bisa begitu cepat mempelajarinya.”

Dia tertawa. “Semua wanita dilahirkan untuk jadi ibu. Lagi pula, umurku sudah tiga puluh empat. Sudah waktunya, ’kan?”

“Kenapa tak menikah lalu hamil, melahirkan anakmu sendiri?”

“Memang seharusnya begitu, sih, tapi belum ada yang mau denganku. Ada yang mau, tapi tidak tepat.”

“Kenapa tidak tepat?”

“Banyak hal. Pendeknya, semua yang tidak tepat terkumpul menjadi satu. Jadi, lebih baik tidak dan melupakannya saja.”

“Aku jadi penasaran, pria dengan kriteria macam apa yang dicari oleh wanita sukses sepertimu? Kau bergaul dengan banyak orang dan kalangan. Aku yakin, banyak yang seharusnya pantas jadi kandidat.”

“Kau mau bilang aku mematok standar yang terlalu tinggi? Ah... kau tahu Ros, yang kuinginkan cuma orang yang kucintai dan mencintaiku, sehingga kami bisa mengekspresikan cinta itu. Sederhana, ’kan? Tapi, hal yang sederhana terkadang malah susah diraih. Padahal, itu saja rasanya sudah cukup.” Matanya tampak sungguh-sungguh. “Apa yang lebih kau inginkan daripada adanya seseorang yang menemanimu di akhir hidupmu, saat kau tak cukup berdaya lagi bahkan cuma untuk sekadar berdiri?”

“Hei... kenapa jadi melankolis seperti itu?”

Dia tertawa kecil. “Tapi, sepertinya sudah menemukan teman untuk hari tuaku nanti.” Dia mengerling pada bayi yang sedang tidur itu. “Memang, satu saat nanti dia akan keluar dari rumahku. Tapi, aku harap dia tidak akan keluar dari hidupku. Kalau aku mencintainya dengan cukup dan memperlakukannya dengan baik, dia tidak akan melupakanku, walau aku hanya ibu angkatnya.”

“Jadi, itu tujuanmu mengadopsinya? Untuk merawatmu kelak, saat kau tua dan sakit-sakitan?”

Kali ini dia tergelak. “Tentu aku tidak sejahat itu, Ros! Cuma, aku akan berterima kasih, jika dia mau menemani hidupku dan tetap menjadi anakku, walau akhirnya dia tahu tidak ada setetes pun darahku dalam tubuhnya.”

“Soal teman hidup, sebenarnya kau bisa pecahkan dengan satu cara yang akan memberimu semuanya, tidak cuma anak angkat.”

Melia mengangguk. “Aku tahu, pernikahan kan yang sebenarnya kau maksud? Cuma masalahnya adalah belum ada yang benar-benar tepat.”

“Kau tidak akan menemukan, jika mencari yang benar-benar tepat. Tidak pernah ada yang benar-benar tepat, Lia. Karena memang, manusia tidak pernah ada yang sempurna.”

“Aku tahu. Tapi, masalahnya, apa yang kutemukan sekarang benar-benar tidak tepat. Percayalah, seperti yang kukatakan tadi, semua yang tidak tepat berkumpul menjadi satu. Jadi, tidak adalah pilihan yang paling tepat, walau rasanya tidak enak sama sekali.”

“Benar-benar seburuk itukah?”

Melia mengangguk sambil mengembuskan napasnya. “Sudahlah, I’m OK. Dengannya aku berharap keadaan akan lebih baik lagi. Jadi, sebenarnya bukan cuma dia yang membutuhkan aku. Tapi, aku juga membutuhkannya.” Dia menunjuk si kecil mungil yang tengah nyenyak itu dengan dagunya, lalu menuju ke kamar mandi.

Aku jadi penasaran, apa yang membuat Melia menganggap pria itu tidak tepat sama sekali. Seharusnya jika ada cinta yang mengental, tidak ada cukup banyak hal yang tidak bisa dikompromikan dan diselesaikan. Aku masih ingin bertanya, tapi sepertinya sahabatku itu enggan membicarakan hal itu. Dia langsung masuk kamar mandi, setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya tadi.

“Bagaimana, sudah selesai membaca novelku?” katanya, begitu keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah. Wajahnya masih agak kuyu, tapi sudah lebih segar daripada tadi.

“Belum. Risetmu hebat sekali.”

“Riset?”

“Tentang kehidupan para homoseksual itu. Kau detail sekali menggambarkan Permadi, Frans, dan kehidupan mereka. Detail-detail hubungan seperti itu tak akan kau dapatkan tanpa riset, ’kan? Kau berhasil membuat pembacamu mengerti.”

“Kau sadar, Ros, mereka sebenarnya ada di mana-mana. Jika kau berpikir mereka tak ada dalam lingkungan hidupmu, kau salah. Cuma masalahnya, kau tidak kenal mereka sehingga kau beranggapan mereka ada di luar duniamu. Mungkin, kau hanya bersentuhan dengan para transeksual yang bekerja di salon-salon kecantikan. Selebihnya mungkin gelap.”

“Kau simpati sekali pada mereka, Lia.”

“Bukan simpati sebenarnya. Cuma tahu pasti dan kenal banyak dengan mereka. Jakarta tempat berkumpul segala macam manusia, Ros. Kalau kau tahu banyak tentang mereka, kau akan tahu betapa beruntungnya kau sebagai seorang yang punya pasangan yang kau cintai dan mencintaimu dan kalian sudah punya sebuah perkawinan. Mungkin belum adanya anak jadi masalah, tapi tetap saja kalian sangat beruntung.”

Aku jadi langsung teringat Arman. Tadi pagi aku masih bersikap kaku kepadanya. Ah, Arman, aku belum pulih dari marah dan kecewa.

“Di luar sana, orang-orang seperti Permadi dan Frans sibuk menutupi identitas diri dan perasaan mereka dengan bermacam cara. Sebab, bagaimanapun, masyarakat kita belum bisa menerima keberadaan mereka. Juga tidak ada agama yang membenarkan. Posisi mereka sulit.”

“Tapi, banyak juga yang menjadi homoseksual, karena kesalah­annya sendiri. Ada banyak yang awalnya normal-normal saja, lalu berubah jadi homoseksual, karena alasan yang macam-macam. Malah ada yang bilang, itu semacam lifestyle.”

Melia menarik napas dalam.

“Untuk yang itu, aku tidak bisa berkomentar. Aku yakin, suatu saat mereka akan sadar bahwa mereka telah memilih jalan yang sulit, apa pun alasannya dulu. Aku cuma sering kepikiran dengan mereka yang menjadi seperti itu sejak dilahirkan. Mereka yang seolah berada dalam raga yang salah. Seumur hidup harus menerima itu, seumur hidup bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan tentang diri sendiri, yang jawabannya selalu susah ditemukan, sehingga begitu susah untuk sekadar berdamai dengan diri sendiri. Hal yang tidak terjadi pada kalian yang normal-normal saja.”

Kulihat mimik mukanya serius sekali, walau dia mengucapkan semua itu sambil memberesi pernik-pernik Chacha yang berserak­an di tempat tidurnya.

“Itu yang kau ingin sampaikan pada pembacamu?”

Dia memonyongkan bibirnya, lalu tersenyum. “Sebenarnya, aku ingin memperlihatkan sebuah realitas di sekitar kita. Realitas yang banyak dianggap sebagai satu dunia tersendiri, yang terpisah dari sebuah kehidupan normal. Memang tidak terlalu salah, jika mereka menganggapnya sebagai satu dunia tersendiri. Karena, komunitas itu adalah komunitas yang cenderung tertutup. Karena, ada identitas-identitas yang dirasa perlu untuk ditutupi. Juga karena adanya penolakan-penolakan. Sebenarnya, aku cuma ingin kita semua mengerti bahwa mereka ada, dan tidak membuat prasangka apa pun.”

“Tapi, Lia, kadangkala dunia mereka gelap dan mereka melakukan hal-hal yang buruk.”

“Ya, memang. Tapi, banyak juga yang benar-benar menjadi orang baik, yang selalu mengajak kepada kebaikan, juga produktif dan profesional dalam pekerjaannya. Banyak sekali kutemukan yang seperti ini, walau banyak juga yang terjebak dalam kehidupan liar, apa pun alasannya. Bukankah mereka yang normal juga ada yang baik dan ada yang tidak?”

“Jadi, kau setuju jika ada pelegalan pernikahan untuk mereka?”

Lagi-lagi dia menarik napas dalam. “Rasanya tidak juga. Sebab dalam semua agama, jelas-jelas itu dilarang. Sebenarnya, maksudku tidak untuk sejauh itu. Aku berpikir, rasanya aneh juga jika satu negara melegalkan sebuah peresmian cinta, sedangkan negara yang lain melarangnya. Padahal, masalahnya cuma satu: cinta. Intinya, aku ingin kalian tahu dan menerima keberadaan mereka. Kau tahu, Ros, sebenarnya yang mereka butuhkan adalah teman. Teman yang mau mendengarkan kegelisahan, pertanyaan, dan ketakutan mereka. Sebenarnya, justru mereka yang normal yang lebih mampu untuk membantu. Semua orang pasti senang ada seseorang di sampingnya, jika sedang berada dalam sebuah kerumitan, apa pun itu. Iya, ’kan?”
Tentu saja dia benar.

“Apa yang kau lakukan jika salah satu anggota keluargamu ternyata homoseksual? Adikmu, misalnya. Apa yang kau lakukan, Ros?

“Dia tentu saja tetap adikku. Aku rasa tidak akan ada yang berubah. Paling-paling aku akan sibuk membawanya ke dokter, psikiater, psikolog, atau apa pun untuk membantunya. Mungkin juga kubawa dia untuk suntik hormon dan ke paranormal. Selebihnya, dia tetaplah adikku. Wajar, ’kan?

Dia mengangguk-angguk. “Tuntutan untuk sembuh selalu besar, seakan-akan itu adalah penyakit semacam tumor yang walaupun sekarang sedang jinak, tapi lambat-laun akan mematikan juga. Freud sudah menegaskan bahwa ini bukanlah satu jenis penyakit. Lalu, bagaimana jika bertahun-tahun dia tak kunjung jadi normal? Apakah kau akan rela jika melihatnya berkencan dengan sesama jenisnya?”

Aku tidak siap dengan andai-andai semacam itu. “Entahlah. Rasanya pasti aku akan terusik melihatnya. Kau benar, tuntutan untuk menjadi normal pasti sangat besar.”

”Dan kau bisa bayangkan betapa itu hal yang susah. Aku tidak berani bilang itu tidak mungkin, tapi aku tahu pasti itu susah. Karena itu, yang mereka butuhkan adalah teman yang mengerti.”

“Mengerti berarti memaklumi juga jika dia terjun dalam kehidupan liar?”

“Tentu saja itu tidak termasuk dalam kategori mengerti!”

Sekar akhirnya tahu tentang Frans. (Aku membaca bagian ini dengan setengah menahan napas). Gadis itu shock, karena selama ini merasa dia telah memberikan banyak hal pada Permadi. Sekar merasa kedekatan mereka selama ini penuh arti, walau tak pernah sekali pun Permadi mengucapkan kata cinta untuknya. Dia merasa selama ini mereka saling terikat satu sama lain dan berpikir Permadi merasa cukup dengan itu, sehingga tidak perlu ada dunia lain.

Tapi, sekarang semuanya terasa terbalik. Permadi punya Frans, dan menyembunyikannya di balik punggungnya, membentuk satu lingkar kehidupan yang tidak dia ketahui, karena sama sekali tidak dilibatkan. Padahal, dia tidak pernah membangun kehidupan lain.

Sekar merasa dikhianati. Dia sangat kesakitan. Tapi, tak cukup daya untuk menggugat. Karena, memang tak pernah ada kata cinta. Cuma ada kedekatan yang sekarang entah apa artinya untuk Permadi. Sekar yang kecewa merasa dicampakkan.

Sementara Permadi diam-diam dipenuhi rasa bersalah. Dia tak pernah merencanakan ini semua. Hanya, cinta yang datang tiba-tiba dan menyusup diam-diam yang tak kuasa ditolaknya. Cinta terhadap Frans. Dulu, sebelum ada Frans, dia tidak bisa mendefinisikan perasaannya terhadap Sekar. Saat itu dia berpikir, ada yang sudah berubah dalam dirinya. Dia bahagia dengan itu, walau sebenarnya tidak lepas dari rasa khawatir.

Datangnya Frans membuktikan bahwa semuanya masih sama seperti dirinya yang dulu. Tidak perlu ada bantahan, karena tidak ada bukti yang lebih kuat dan akurat selain perasaannya yang begitu indah dan tak tertahankan terhadap Frans. Dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap Sekar. Permadi sadar sepenuhnya bahwa Sekar bisa memberikan sesuatu yang diinginkannya sejak lama: membentuk satu keluarga, keluarga yang akan membuatnya tidak sendirian seumur hidup. Hal ini sekaligus adalah sesuatu yang tak akan mungkin dilakukannya dengan Frans, tak peduli sebesar apa cinta yang mereka miliki.

Melepaskan Frans tak akan mengobati Sekar dan membuat semuanya kembali seperti semula. Terlebih lagi, dia tak sanggup melakukan itu, paling tidak untuk saat ini. Dia hanya bisa diam, menunggu Sekar memuntahkan segala amarah kepadanya. Tapi, di luar dugaannya, Sekar begitu redam. Redam dalam diam yang sebenarnya membuat Permadi berkubang lebih dalam dalam perasaan bersalahnya. Dengan senyap Sekar memutuskan untuk meninggalkan kota mereka.

“Kenapa?” Permadi tahu bahwa itu pertanyaan yang bodoh.

“Ada tawaran kerja yang terlalu sayang untuk ditolak di sana.”

Permadi tak pernah melihat mata gadis itu begitu beku sebelumnya, tidak sekali pun. Sekarang mata itu terlihat seperti batu hitam tanpa perasaan. Di depannya, Permadi seakan mengerut.

“Sekar, maaf soal....”

Sekar mengibaskan tangannya, isyarat bahwa dia tidak mau membicarakannya. Dia cuma mau pergi dan semuanya selesai sudah.

“Kenapa kau membuat ending seperti itu? Kenapa tidak membuat Permadi melepaskan Frans dan kembali pada Sekar? Mungkin pembacamu lebih menyukai, jika mereka kembali menjadi satu.”

“Karena, pada kenyataannya memang tidak semudah itu mengubah seseorang. Tidak seperti membalikkan telapak tangan.”

“Ah, kau begitu pesimistis atau sekadar tidak mau membuat ending yang populis?”

Melia tertawa. “Menurutmu semudah itu mengubah seseorang?”

Aku tidak tahu. Rasanya memang tidak semudah itu.

“Aku tahu persis tidak semudah itu. Contoh kecil saja, jika kau merokok, maka untuk membuatnya berhenti, tentu kau butuh perjuangan dan waktu. Sedangkan ini jauh lebih berat dari merokok!”

“Tapi, mungkin saja bisa, ’kan?”

“Mungkin, tapi aku tahu pasti tidak semudah itu.”

Melia beranjak ke kamar, meninggalkanku, ketika terdengar suara kecil merengek. Dia datang kembali dengan Chacha di gendongannya, lengkap dengan botol susunya.

“Lihat pipinya, makin gembul, ’kan? Makin hari kulihat dia makin cantik saja.” Melia memperlihatkan wajah bayi yang menyusu itu padaku. “Bukankah hidungnya mirip dengan punyaku?”

Aku tertawa. Pertama, karena bagiku semua bayi mempunyai bentuk hidung yang begitu-begitu saja. Kalaupun mancung, efeknya tidak akan seperti hidung mancung pada muka orang dewasa. Kalau pesek pun, tidak akan berakibat fatal dan tetap akan terlihat lucu di wajah kecil dengan mata hitam tak berdosa seperti itu. Sahabatku sedang mencari penanda dirinya pada bayi, yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengannya.

“Tapi, walaupun kau tidak sependapat, kami sudah telanjur menjadi satu keluarga,” katanya, sambil kemudian mencium ubun-ubun bocah itu dengan penuh perasaan.

Keluarga. Tiba-tiba kata itu mengusikku. Aku teringat sesuatu. Permadi. Juga keluarga yang ingin dibentuknya. Di sini, di depanku, pengarangnya bergembira, karena merasa berhasil membuat satu keluarga kecil. Apakah ini dua hal yang kebetulan saja?

“Jika nanti dia terbiasa melihatku menulis, menurutmu apakah dia akan jadi penulis juga, Ros?”

Aku menggeleng tak tahu. Pikiranku sekarang tengah dipenuhi pertanyaan, apa hubungan Permadi dan Melia. Aku yakin penulis fiksi seperti Melia mewarnai tulisannya dengan pengalaman hidupnya, sengaja atau tidak. Permadi yang hidup membujang, karena keadaannya bagiku terlihat nyaris sama dengan status Melia yang masih tetap lajang hingga usia tiga puluh empatnya kini. Bukankah alasan Permadi dekat dengan Sekar bisa disamakan dengan alasan Melia mengadopsi Chacha? Apakah berarti....

“Ros, kau memikirkan sesuatu?”

Melia berdiri tepat di depanku, asyik mengayun Chacha dalam gendongannya. Untuk pertama kali setelah pertemuan kami, aku benar-benar mengamati tubuhnya. Rasanya tidak ada yang aneh. Dari dulu memang dia sudah berpostur seperti itu, atletis dan sedikit berotot. Dia memang penggemar olahraga apa saja. Pasti bermacam olahraga itu, termasuk karate dan wushu, yang membentuk tubuhnya menjadi tegap dan liat tak berlemak. Itu juga yang membuat gerakannya selalu terasa cepat dan tegas, tidak seperti gadis-gadis manis yang lemah gemulai.

Semasa SMA dulu, ketika kami masih bersama, memang tak pernah kulihat dia berpacaran seperti yang banyak dilakukan gadis-gadis SMA. Tapi, kami berpisah setelah masa SMA itu, sehingga banyak masa yang terlewatkan. Ketika kami bertemu lagi tempo hari, aku tak tahu apa-apa tentangnya, kecuali karier kepenulisan, yang telah membuatnya terkenal, dan rambut pendek yang nyaris terlihat sama.

Aku tak kuasa menahan rasa ingin tahuku.

“Lia, apakah Permadi itu kau?”

Dia berhenti mengayun Chacha karena pertanyaanku. Tapi, tak kulihat perubahan pada air mukanya.

“Maksudmu?”

“Aku pikir aku melihat banyak kesamaan antara Permadi dan kau. Aku jadi berpikir....” Aku tidak meneruskan pertanyaanku karena sekarang Melia menatapku tepat di bola mataku. Aku jadi bersiap-siap memikirkan kata yang tepat untuk minta maaf. “Maaf, Lia, aku....”

Dia menggeleng, memutus kalimatku.

“Aku ke kamar taruh Chacha sebentar, ya?”

Dia pergi ke kamar, sedangkan aku tetap duduk di sofa ruang tamunya dengan perasaan tak enak. Jika dalam sepuluh menit dia tidak keluar, aku akan menyusulnya ke kamar dan meminta maaf atas apa yang sudah keluar dari mulutku.

Tapi, ternyata Melia segera keluar lagi dan duduk pelan-pelan di sebelahku. Dia melihat sekeliling kami sebelum membuka mulut.

“Aku rasa kau bukan seorang homophobia, benar, ’kan?” Suaranya rendah, nyaris berbisik.

Tentu saja aku bukan homophobia.

“Kau benar, Ros.”

Kini giliranku yang terenyak. Bagaimanapun, pengakuan itu mengejutkanku. Karena, ketika bertanya tadi aku cuma siap mendengar bantahannya, bukan sebaliknya.

“Tak perlu terkejut, Ros, aku kan sudah pernah bilang bahwa orang-orang seperti Permadi banyak, bahkan mungkin di lingkunganmu juga. Dan, sekarang kau menemukannya di lingkunganmu.”

Mungkin sebenarnya bukan terkejut, tapi lebih karena aku tak mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Bagaimanapun, aku lebih suka, jika dia membantah dan meyakinkanku bahwa dugaanku salah.

“Ibumu tahu tentang hal ini?”

“Entahlah. Mungkin tidak tahu sama sekali, mungkin juga tahu tapi tidak pernah membuat konfirmasi kepadaku, karena sudah beberapa lama beliau tidak lagi mengusikku mengenai pernikahan dan dengan gampang menyetujui niatku mengadopsi Chacha. Aku pikir ini satu indikasi bahwa beliau mengetahui dan mungkin sedang berusaha memahamiku. Aku berharap demikian. Karena, sebenarnya aku lebih suka beliau tahu, cuma aku tidak tahu cara yang tepat untuk memberi tahu tanpa membuatnya menderita.”

“Kenapa tidak mencoba menjelaskannya?” Sedetik kemudian aku merasa bodoh mengeluarkan pertanyaan seperti itu, karena aku tahu persis jawabannya.

Dia menggeleng. “Tidak berani. Semoga diam-diam beliau tahu dan tidak terlalu menderita karenanya. Aku rasa aku tidak akan pernah punya nyali untuk menjelaskannya. Semoga beliau terpuaskan dengan semua yang sudah ada.”

“Terpuaskan? Maksudmu?”

“Yaaa... semua kakak dan adikku kan sudah berkeluarga dan semuanya memberikan penerus keturunan. Jadi, aku harap beliau sudah puas dengan itu semua. Sehingga, jika aku akhirnya tidak dapat menikah pun, tidak akan banyak berpengaruh. Satu lagi, aku harap jika beliau memang tahu keadaanku, aku harap dengan aku tidak bertingkah macam-macam dan tidak menjalani kehidupan liar, bisa membuatnya merasa lebih baik.”

Aku terenyuh mendengar penuturan itu. Terenyuh karena apa yang diinginkannya terdengar begitu sederhana. Tak sengaja tanganku bergerak menggenggam jarinya. Serta-merta dia tersenyum. Aku tahu apa yang ada di benaknya.

“Sudah aku bilang kan bahwa aku bukan homophobia?”

Senyumnya makin lebar. “Kau tahu, Ros, aku selalu ingin membuat pengakuan kepada siapa pun yang aku kenal dan ingin mereka bersikap sepertimu sekarang. Pasti sangat menyenangkan. Tapi, aku tidak cukup berani melakukannya. Aku cuma pernah dua kali membuat pengakuan seperti ini. Satu padamu dan satu kali lagi sekitar delapan tahun yang lalu pada sahabat baikku. Dia bersikap sama sepertimu sekarang. Dia juga selalu memberiku semangat untuk terus berusaha. Dia membuatku bertekad untuk tidak akan pernah masuk ke dunia yang liar dan menjalani kehidupan yang bersih. Sayang, dia meninggal karena gagal ginjal setahun yang lalu. Dulu dia selalu ada, pada saat aku merasa begitu lelah dengan semuanya. Aku merasa seperti kehilangan separuh jiwaku, ketika dia pergi. Kau tahu, mengadopsi anak juga salah satu idenya.”

Aku langsung teringat Chacha.

“Waktu itu aku bilang, dengan punya anak aku jadi tidak akan terlalu kesepian. Perhatianku juga akan teralihkan pada anak tersebut, sehingga tidak akan ada waktu lagi untuk bertingkah macam-macam. Lagi pula, dengan menjadi ibu, dia bilang aku akan otomatis selalu ingin menjadi contoh yang baik bagi anakku.”

“Dan kau sudah menjadi ibu sekarang.”

“Ya, dan aku rasa dia benar. Hidupku terasa sangat lain ketika Chacha datang. Dan lagi aku sudah lelah menjaga hidupku dengan bermacam asuransi.”

“Asuransi?”

“Ya, aku ikut bermacam asuransi untuk menjaga hidupku. Aku selalu ketakutan akan jadi tua dan sendirian. Ketika kita muda dan sehat semuanya akan terasa lebih mudah. Lain halnya ketika tua, sakit-sakitan, dan sendirian. Menderita sekali. Dengan asuransi, aku harap paling tidak aku masih bisa membiayai hidup ketika renta dan tak cukup berdaya lagi. Tapi, tidak sesederhana itu, ’kan? Aku takut sendirian, Ros. Chacha adalah jawabannya. Sebagai gantinya, aku berjanji akan jadi ibu yang baik untuknya.”

Air mataku turun perlahan. Mata Melia juga tampak berkaca.

“Hei, aku tidak bermaksud membuatmu bersedih.” Dia mengu­sap pipiku dengan jarinya. “Cuma satu pesanku, bersyukurlah karena hidupmu cukup lengkap. Kau punya perkawinan, hal sederhana yang orang lain susah untuk mendapatkannya. Soal anak, mungkin tinggal menunggu waktu. Yang penting, kalian berdua sudah ada bersama, untuk saling menjaga dan menyayangi. Sederhana, ’kan? Hal sederhana yang aku dan Fia bahkan tidak bisa lakukan.”

Sederhana memang, tapi cukup membuat air mataku turun makin deras. Melia pasti tidak tahu kepada siapa pikiranku tertuju sekarang.

Arman menggosok matanya, ketika aku masuk kamar dengan menyeret koperku. Sebenarnya aku berusaha untuk tidak membuat suara, karena memang biasanya baru setengah jam lagi dia bangun. Dia beranjak duduk. Di sekitarnya bertebaran beberapa lembar kertas dan notebook yang aku yakin belum di-shutdown sejak semalam.

“Ros? Kau pulang?”

“Ya.”

Arman menoleh ke arah weker, sebelum kembali memandangku dengan mata mendelik. “Ya, ampun, Ros, jadi kau menyetir sendiri tadi malam? Kenapa tidak menunggu pagi saja?”

Hatiku terasa cair karena kalimat itu. Dia mengkhawatirkanku. Rasanya kemarahanku kepadanya benar-benar telah menguap sekarang.

“Aku cuma ingin segera sampai di rumah.”

“Ya, tapi tidak seperti itu caranya, Ros. Menyetir sendiri ma­lam-malam seperti itu berbahaya! Syukur tidak terjadi apa-apa.” Dia bergerak meraih kepalaku, dan mencium lembut rambutku, hal yang biasa dilakukannya jika baru saja mengkhawatirkanku.

Lalu, dia sedikit beringsut dari tempatnya berdiri, sadar bah­wa masih ada ganjalan yang belum terselesaikan.

“Kau sudah pulang sekarang. Aku harap ini berarti semuanya kembali baik seperti semula. Maaf untuk masalah kemarin, Ros. Tapi, percayalah, tidak pernah terjadi apa-apa dan tidak separah yang kau pikirkan. Percayalah padaku, Ros. Aku tidak akan semudah itu bertindak bodoh. Kau dan perkawinan kita besar sekali artinya bagiku. Percayalah, Ros.”

“Tapi, tolong jangan terulang lagi. Aku tidak akan sanggup jika terjadi lagi....”

Dia merangkulku erat-erat. “Percayalah, kau sangat berarti bagiku.”

Bunyi weker mengagetkan kami.

“Kau sudah harus bangun sekarang.”

“Ya. Aku senang kau benar-benar sudah pulang sekarang.”

“Kubuatkan kau sarapan sekarang.” Aku beranjak ke dapur. Tapi, tangan Arman menahanku.

“Ros, tidak ada apa-apa di dapur. Mungkin cuma tinggal satu dua bungkus mi instan saja. Aku tidak berbelanja apa-apa selama kau tidak ada di rumah.” Dia tersenyum menyeringai. “Bagaimana kalau aku membolos saja hari ini dan kita pergi berbelanja bersama? Aku juga bisa membantumu membereskan rumah. Kau lihat, aku telah mengacaukannya. Bagaimana?”

Kulihat matanya begitu berbinar, sungguh berbeda sinarnya dengan ketika berusaha mencegahku pergi tempo hari.

“Pekerjaanmu? Tidak ada meeting hari ini?”

Dia menggeleng sambil memainkan tanganku. “Aku bisa mengirimkannya lewat e-mail.”

Aku segera keluar dari kamar.

“Hei, mau ke mana kau?”

“Mengunci pintu agar kau tidak bisa keluar rumah, jika sampai berubah pikiran nanti.”

“Aku tak akan berubah pikiran, Ros!”

Tanpa menoleh padanya, aku tahu dia sedang tersenyum sekarang.

No comments: