12.22.2010

Laki-Laki dan Anak Perempuannya

katan emosi di antara mereka sangat kuat. Hampir setiap akhir pekan menghabiskan waktu bersama, tanpa menghiraukan protes anggota keluarga lain.

Prolog
Mama dulu berkata bahwa Kakek menyayangi kami. Kakek mencintai kami, dengan caranya sendiri. Aku tidak pernah mengerti, bagaimana cara Kakek mencintai Mama, Papa, atau aku dan Indra, adikku. Aku tidak pernah melihat senyum Kakek untuk kami, lebih-lebih untukku. Tiap kali Kakek dan aku berpapasan, Kakek tidak pernah memandangku. Apa salahku dan kenapa Kakek begitu membenciku?

Andai Mama masih ada, mungkin aku akan bertanya padanya, ”Ma, bagaimana cara Kakek mencintai kita?”
 
Maharani
Aku berdiri terpaku, menatapnya dengan mata merah. Dadaku turun- naik, menahan tangis, marah dan kesal. Aku benci wajah tuanya. Benci. Aku harus pergi dari sini, daripada menahan sakit yang tidak terobati.

“Kau akan pergi ke mana?” Mata tua itu menatapku. Cuma sekilas. Tapi, aku bisa menangkap kerlip sombong di sana. Mengejek. Seolah tidak akan ada tempat di muka bumi ini, kecuali rumah besarnya yang bak istana.

“Pulang,” aku menyahut dengan suara yang tidak lembut. “Kami masih punya rumah. Kami akan pulang ke rumah kami.”

“Rumah kami?” laki-laki tua itu bertanya pelan, mirip gumaman.

“Rumah Papa dan Mama!” aku nyaris berteriak. “Itu rumah kami. Ke sana kami akan kembali. Mama pernah bilang, ke mana pun kami melangkah, di mana pun kami merasa terbuang, ingatlah rumah. Pulanglah. Selalu ada tempat bagi anak-anak untuk kembali ke rumah orang tuanya. Sejauh apa pun dia pergi atau tersesat.”

Kulihat laki-laki tua itu terenyak. Samar kulihat tangannya bergetar. Ia melangkah, tanpa menghiraukanku. Tapi, tekadku bulat. Aku dan Indra harus keluar dari istana ini.
Bulan April, beberapa waktu lalu
Dia duduk terpaku di kursi kesayangannya. Kursi tunggal berlengan besar, terbuat dari kayu jati, yang menghadap ke taman samping rumah yang asri. Matanya lurus, menatap ragam kembang penghias taman dan kolam kecil berisi ikan koi.

Sesekali, dia mengusap dagunya yang kasar. Rambutnya yang lurus dan telah memutih, tersisir rapi. Pantalon hitam dan kemeja cokelat tua membungkus tubuh ringkihnya yang dulu kokoh.

“Mereka sudah datang, Pak Besar.”

Suara Prapti, pembantu di rumah, menyadarkannya sesaat. Sudah dua kali perempuan paruh baya itu memberitahukannya. Tapi, dia masih enggan untuk bangkit.

“Ya, biarlah.” Dia mengibaskan tangannya, seolah meminta Prapti untuk berlalu. “Nanti saya ke sana, Prapti.”

Prapti mengangguk. “Akan saya beri tahu Ibu.”

Prapti berlalu.

Dia masih duduk di sana. Tangan tuanya agak gemetar ketika mengangkat gelas di hadapannya dan meneguk air putih. Hampir saja gelas itu terjatuh ketika dia meletakkannya di meja lagi.

Dia menjangkau koran pagi. Hampir pukul sebelas siang, tak pernah dia telat membaca koran pagi seperti sekarang. Dia memakai kacamatanya dan mencoba menelusuri berita satu per satu.

Tapi, dia justru tak tenang. Jantungnya berdegub aneh. Keras, tak teratur.

“Bapak masih di sini?”

Perempuan berusia awal lima puluhan itu datang dan memeluk bahunya. Perempuan itu, Sri Wahyuni, istrinya. Istri kedua, karena Farida, istri pertamanya, sudah meninggal lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

“Mereka sudah sampai, Pak,” Sri masih memeluk bahunya. Kali ini ada pijatan lembut di bahunya. “Rani dan Indra sudah datang, Pak.”

“Ya, sudah, saya sudah tahu. Prapti sudah bilang,” sahutnya.

“Bapak akan menemui mereka?” Sri bertanya hati-hati.

“Biarkan mereka istirahat dulu,” jawabnya, tak acuh. Suaranya serak. “Anwar sudah datang?”

Laki-laki itu malah bertanya tentang anak laki-lakinya.

“Sebentar lagi, Pak. Katanya, dia harus ke Dinas Perkebunan dan….”

“Rahmad juga?” Mata tuanya terpejam sesaat.

“Ya, dia…,” Sri tidak meneruskan kata-katanya.

“Ya, sudah.” Dia mengibaskan tangannya. ”Tolong, katakan pada Prapti untuk menambah air minum saya, Sri.”

“Ya, Pak.” Sri mengangguk dan berlalu.

Dia sendiri lagi.

“Rani dan Indra sudah datang, Pak.”

Dadanya berdenyut. Jantungnya berdetak tak teratur.

“Tari pulang! Ayah di mana?”

Dia menggeliat kecil. Membuka kacamatanya dan terkejut sendiri ketika jarinya menyentuh cairan di pelupuk mata.
Laki-laki itu menangis.

Dia seolah melihat sosok putrinya berlari. Ketika sampai di depannya, tangan mungil itu memeluk kakinya, seolah takut ditinggalkan.

“Ayah tidak akan meninggalkan Tari.” Dia berjongkok, mengelus rambut hitam bocah mungil itu.

“Tari pikir, Ayah pergi tanpa menunggu Tari,” kata bocah perempuan itu, memeluk lehernya.

“Mana mungkin Ayah melupakan Tari.” Dia terbahak. Mengangkat bocah sembilan tahun itu dan menggendongnya. “Mana berani Ayah pergi tanpa putri kesayangan Ayah.”

“Kita jadi ke rumah kebun kan, Yah?”

“Tentu. Kita berangkat setelah semuanya beres. Tari makan dulu, ya.”

“Ya, Ayah.”

Lalu, Soleh, sopirnya, membereskan mobil mereka yang akan dibawa ke kebun. Sebuah jeep hijau. Legiyem, pembantu mereka, sibuk menyiapkan bekal. Makanan dan pakaian Tari.

Dan, Farida, istrinya, akan bersungut-sungut di sudut kamar.

“Abang selalu memilih pergi saat aku ada urusan,” ucapnya, agak marah.

“Batalkan urusanmu dan ikutlah dengan kami,” dia menjawab seenaknya.

“Enak saja,” Farida mencibir, “apa kata teman-temanku nanti?”

Dia menggeleng. “Kalian selalu punya urusan yang tak penting!”

Farida mencibir. Mencoba menggodanya.

“Hujan akan datang, Bang. Dingin.”

“Biar saja,” dia menjawab malas.

“Abang akan kedinginan di kebun,” Farida mengelus bahunya.

“Aku sudah terbiasa dengan udara dingin perkebunan.” Suaranya pelan, tanpa menyembunyikan rasa hatinya.

“Ya, tapi….”

“Ayah! Tari boleh bawa boneka, ‘kan?”

Dia menarik napas, mencium pipi Farida, dan bangkit. Perempuan itu melengos dan ikut keluar kamar. Menemui putrinya yang bawel.

“Jangan semua boneka dibawa ke kebun, Tari,” Farida mengingatkan putrinya. “Nanti akan tertinggal di kebun lagi dan Tari tidak punya boneka untuk dimainkan di rumah.”

“Bawa saja,” laki-laki itu menjawab tak acuh. “Kalau lupa, kita beli lagi,” tambahnya, seenaknya.

 
Tari melonjak kegirangan. Farida mencibir. Samar.

“Abang selalu memanjakannya,” bisik Farida, ketika mengantar mereka ke mobil. “Dia akan tahu kalau sangat disayang.”

“Seperti kamu.” Dijentiknya hidung bangir Farida. “Kau juga sangat tahu bahwa aku menyayangimu.”

Farida tertawa. Suaranya merdu. Wajahnya cantik berseri.
Tapi, dia lebih senang duduk di samping putrinya. Memangkunya dan bernyanyi sepanjang perjalanan ke kebun.
Naik-naik ke puncak gunung
Tinggi-tinggi sekali
Kiri-kanan kulihat saja
Banyak pohon sawit
Tengah hari, hari ini
“Ada telepon dari Pak Saidi, Pak Besar,” Prapti muncul tergopoh-gopoh.

Dia mendehem. Saidi, teman bisnisnya dulu, seorang pensiunan administratur perkebunan milik pemerintah. Tak ada yang penting. Paling hanya ingin mengingatkan tentang jadwal tenis mereka Sabtu depan.

“Katakan pada Pak Saidi, saya akan meneleponnya nanti, Prapti,” sahutnya.

“Baik, Pak Besar.” Prapti berbalik dengan langkah tergesa. Dia tahu, lebih baik nyonyanya yang menjawab telepon ini.

Laki-laki itu meneguk air dan menghabiskan isi gelas. Dia sedang enggan menjawab telepon siapa pun. Karena itu, telepon selulernya juga dimatikan. Dia terlalu tegang untuk semua ini.

Ketegangan yang sama ketika puluhan tahun lalu dia menanti kelahiran putri pertamanya. Dia mondar-mandir di luar kamar bersalin, sementara Farida berjuang di dalam. Dia nyaris tak bisa disapa sepanjang penantian itu. Ketika suara tangis terdengar, dia melompat.

“Selamat, Pak Burhan. Putri Bapak sangat cantik,” Dokter Ahmad mengulurkan tangannya. Dia lupa mengucapkan terima kasih karena larut dalam kegembiraan.

Dia telah menjadi ayah, setelah penantian lima tahun. Dia merayakan kelahiran putri pertamanya dengan mengadakan pesta selama tiga hari tiga malam. Dia meliburkan semua kar yawannya dan tak memedulikan bisnis. Produksi pun berhenti. Hari kelahiran putrinya menjadi libur ‘nasional’ di semua perusahaan yang dipimpin dan dimilikinya. Bahkan, tanggal kelahiran anak pertamanya itu resmi menjadi tonggak kebangkitan perusahaan.

Dia membayar Dokter Ahmad dengan bayaran lima kali lebih besar daripada tarif resmi. Dia juga membagi-bagikan hadiah kepada para perawat yang terlibat dalam proses kelahiran putrinya.

Dia memberi nama Lestari untuk putri pertamanya. Dia akan lestari selamanya. Dia makin cinta pada Farida, istrinya yang cantik.

Dia, Burhan, memang tidak salah memilih hari kelahiran Lestari sebagai tonggak kebangkitan usahanya. Karena, sejak Lestari lahir, usaha mereka maju pesat. Perusahaan-perusahaan di bawah bendera Burhan Group mengalami kemajuan mengagumkam.

Dia menjadi satu-satunya pengusaha pribumi yang berhasil dalam perkebunan. Apalagi, dia ‘berdiri sendiri’. Dialah pemilik semua saham perusahaan yang dikelolanya, baik perkebunan sawit, karet, dan kakao, yang luasnya hampir 30.000 hektar. Pabrik kelapa sawitnya ada tiga dengan kapasitas produksi masing-masing 30 ton TBS (tandan buah segar) per jam.

Saat itu dia sudah bisa menepuk dada dan berteriak bangga. Apa lagi yang kurang? Selama ini mungkin banyak yang mencibirnya. Dia pengusaha kelas teri. Tidak punya kemampuan apa pun, bekerja hanya dengan semangat. Pendidikannya hanya sampai sekolah menengah pertama. Dia pun buta manajemen. Ah, terlalu banyak cibiran untuk dia.

Dia memang tidak makan pendidikan. Ayahnya, Syamsul, mengajarkannya untuk menghargai potensi dan kemampuan diri sendiri.

“Aku tidak sekolah, Burhan. Kalau kamu mau, sekolahlah setinggi yang kau mau. Tapi, percayalah, di kebun ini kau akan lebih pintar daripada siapa pun, asal kamu mau bekerja keras dan jujur.”

Dia melupakan sekolah formalnya. Dia bersekolah di perkebunan. Dia banyak belajar di sana-sini. Mengintip keberhasilan orang, lalu mengeraskan hati dan menebalkan kulit muka untuk meniru keberhasilan itu. Menyontek dan berhasil.
Ketika Lestari hadir dalam kehidupannya, harga dirinya naik ke puncak paling tinggi. Rasa percaya dirinya berlipat-lipat. Hingga akhirnya berkesan angkuh.

Dia mencintai Lestari. Cinta yang tak mampu dikalahkan oleh kehadiran dua anak laki-lakinya, adik-adik Lestari.

Dia permata hatiku, bisiknya, setiap kali meninabobokan Lestari. Senyum gadis kecil itu mampu membuang semua keresahan hatinya. Sentuhan tangan mungil Lestari seolah mengusir semua rasa lelahnya.

“Jangan terlalu memanjakannya,” Farida sering mengingatkan Burhan. “Akan sakit sekali kalau kalian nanti berjauhan.”

Burhan selalu tertawa menanggapi ucapan Farida. Dia pikir, istrinya hanya cemburu. Dia tidak akan berjauhan dari Lestari, sampai kapan pun. Lestari agaknya juga tidak bisa berjauhan dari ayahnya. Berlibur ke perkebunan setiap akhir pekan adalah agenda tetap anak dan ayah itu.

Sampai Lestari besar, remaja, dan….
Dia menggeliat. Lelaki tua itu melirik jam tangannya. Sayup-sayup dia mendengar suara azan dari masjid yang berada tidak jauh dari rumahnya. Sudah masuk waktu zuhur. Dia menggeliat lagi.

Jantungnya masih berdebar. Dia bangkit dari duduknya. Baru akan berdiri, kakinya menendang meja. Dia urung meninggalkan kursinya.
Mereka memiliki sebuah rumah di perkebunan. Rumah kayu dengan arsitektur Melayu Deli. Rumah itu terletak hampir satu kilometer dari kantor besar kebun. Luas rumah kayu tersebut tak kurang dari seribu dua ratus meter per segi.

Hampir semua perabot yang mengisi rumah kayu itu terbuat dari kayu pilihan. Kayu jati, kamper, dan rasak. Kayu-kayu tersebut diambil ketika dia membuka hutan untuk perkebunan. Sebagian lagi didatangkan dari Jawa.

Rumah kayu itu memang sengaja dibuat untuk penginapan keluarga Burhan jika berlibur di perkebunan atau ketika dia harus ke kebun untuk mengadakan kunjungan rutin bulanan. Jadi, tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Bahkan, jika direktur-direktur perusahaan dari kantor direksi di Medan mengadakan kunjungan ke kebun, mereka belum tentu diizinkan sekadar duduk di serambi rumah kayu tersebut. Mereka cukup tinggal di pesanggrahan yang telah disediakan.

Rumah kayu tersebut memiliki empat kamar tidur di lantai atas dan dua kamar di lantai bawah, disediakan untuk para pembantu dan penjaga rumah. Kamar Burhan terletak di sebelah barat. Bila jendela-jendela kamarnya dibuka, pemandangan yang tampak adalah hamparan ‘emas hijau’ atau pohon sawit yang rimbun.

Bersama Lestari, Burhan hampir selalu menghabiskan akhir pekan di perkebunan. Sabtu sore, sepulang Lestari dari sekolah, mereka berkemas untuk berangkat ke kebun, yang jaraknya dari Medan hampir 300 km. Baru pada hari Minggu sore mereka kembali ke Medan. Mereka tidak terganggu dan terusik oleh anggota keluarga lainnya yang protes karena mereka tidak pernah bermalam Minggu di rumah.

Lestari dan Burhan memang mempunyai ikatan emosi yang kuat terhadap perkebunan. Burhan bangga mengetahui hal itu. Dia yakin, kelak Lestari akan mewarisi semua ini. Burhan tidak akan ragu-ragu menobatkan Lestari menjadi pimpinan Burhan Group bila nanti dia harus mundur, meskipun Burhan mempunyai dua anak laki-laki.

Dia mempunyai prinsip yang sama dengan ayahnya: untuk memilih seseorang yang mengurus perkebunan dan perusahaan, yang pertama perlu dilihat adalah kadar cinta orang tersebut terhadap perkebunan. Setelah itu, ketekunannya. Setelah itu, bakatnya. Setelah itu, kepintarannya.

Soal cinta, Burhan tidak pernah meragukan Lestari. Rasa memiliki yang ada pada diri Lestari bukanlah isapan jempol atau khayalan muluk belaka. Lestari seolah larut dan menyatu dengan perkebunan ini. Dia hafal luas areal yang sudah ditanami. Dia tahu kapan akan diadakan pemupukan. Dia bahkan sudah mulai belajar cara memperkirakan hasil produksi. Istilah-istilah produksi pun bukan hal asing baginya.

Burhan senang, mengetahui bahwa Lestari banyak belajar dan mau bertanya. Lestari rela menghabiskan liburan sekolahnya di perkebunan, hanya untuk mengetahui jenis-jenis hama yang menyerang tanaman, melihat proses produksi, mulai pemetikan tandan buah segar sampai menghasilkan minyak sawit mentah atau crude palm oil, CPO. Padahal, saat libur seperti itu teman-temannya bepergian ke luar daerah, ke Jakarta, atau malah ke luar negeri.

Tapi, Lestari rela magang di perkebunan. Itulah yang membuat Burhan bangga. Satu-satunya hal yang membuat Burhan tidak nyaman adalah kedekatan Lestari dengan para pekerja. Seolah tanpa batas. Burhan tidak menyukai hal itu.

Dia belum ingin mengingatkan Lestari. Dia hanya ingin menunjukkan kepada Lestari mengenai sikap yang seharusnya mereka tunjukkan kepada para pekerja tersebut. Karena itu, bila mereka berakhir pekan bersama, Burhan selalu memerintahkan para pembantunya agar memperlakukan Lestari seperti seorang putri raja. Dia ingin mengajarkan kepada Lestari hal-hal dasar yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu rasa hormat dari bawahan.

Tapi, agenda akhir pekan itu pulalah yang menjadi awal segala kepedihan di hati Burhan.

Mula-mula, tidak ada masalah. Malam-malam hari di kebun dia biasa ditemani oleh banyak perempuan. Dia tidak pernah meminta, tapi bawahannya di perkebunan menyodorkan perempuan-perempuan itu. Lagi pula, dia raja. Pemilik perusahaan.
Mereka perempuan-perempuan desa yang tinggal di sekitar perkebunan. Masih sangat belia, lugu, dan pasrah. Sebagian besar dari mereka bekerja di perkebunannya sebagai buruh harian lepas. Burhan tidak pernah berpikir tentang perasaan mereka, apakah mereka senang, merasa terhormat, atau malah terluka. Dia adalah raja perkebunan ini.

Sebuah perkebunan biasa dipimpin oleh administratur atau manajer. Di bawah mereka ada asisten kepala. Di bawahnya lagi ada sejumlah asisten yang mengepalai petak perkebunan. Satu petak seluas kurang lebih 700-800 hektar. Di bawah asisten, ada mandor satu, lalu ada mandor, dan di bawah mandor ada ratusan atau ribuan karyawan. Selain itu, ada juga yang disebut kerani atau juru tulis untuk masing-masing bagian.

Yang disebut staf adalah mereka yang menduduki jabatan asisten ke atas, termasuk para dokter yang bekerja di puskesbun, pusat kesehatan perkebunan. Mereka diberi fasilitas yang tidak bisa dinikmati oleh lapisan di bawahnya. Rumah di kompleks tersendiri, lengkap dengan layanan air dan listrik 24 jam. Mereka diberi kendaraan sesuai jabatan masing-masing. Bahkan, mereka juga diberi beberapa pembantu oleh perusahaan, mulai dari tukang kebun, tukang masak, hingga tukang cuci.

Pergaulan kaum staf sangat terbatas. Anak-anak mereka juga seolah tabu bergaul dengan anak para pekerja atau pegawai biasa. Anak-anak mereka dihormati oleh para pekerja biasa, seperti menghormati orang tua mereka. Jangan terkejut melihat seorang buruh kebun yang membungkuk bila berpapasan dengan asisten di lapangan, atau bahkan dengan anak administraturnya.

Manajemen perkebunan memang peninggalan kaum penjajah. Dan, Burhan menikmati semua itu. Total.

 
Kata Mama, Kakek amat mencintainya. Cinta macam apa yang bisa Kakek tunjukkan, bila sikapnya sedemikian angkuh, bahkan pada kami, cucunya!

Setiap malam Burhan menghabiskan waktunya dengan ditemani perempuan-perempuan itu. Baginya, mereka tidak hanya pegawai, tapi juga teman yang berharga.

Farida tidak salah jika mengatakan bahwa di perkebunan udara sangat dingin. Tapi, dia salah bila mengatakan bahwa Burhan kedinginan.

Dan, pagi itu, Rubiyah, gadis 17 tahun yang menemaninya tidur, terlambat keluar dari kamar. Itu bukan salah perempuan belia bertubuh sintal tersebut. Burhan memang ingin lebih lama ditemani.

Lestari berdiri mematung di depan pintu kamar ayahnya, saat dia melihat Rubiyah di kamar Burhan dengan busana minim. Wajahnya memucat, antara tidak mengerti, marah, dan bingung. Saat itu Lestari sudah duduk di kelas enam SD. Dia mungkin sudah bisa menduga-duga.

Bibir Burhan kelu, tak mampu berkata-kata. Juga ketika Rubiyah berlari terbirit-birit keluar kamar, seperti pencuri yang tertangkap basah. Burhan tidak mampu berbuat apa-apa.

Dalam perjalanan pulang ke Medan, Lestari hampir tidak bersuara. Tawanya tidak terdengar. Bibir mungil yang biasa melantunkan lagu sepanjang perjalanan mereka, seolah terkunci rapat.

Pukul delapan malam, ketika mereka sampai di rumah, Farida terkejut mendapati suhu badan Lestari tinggi.

"Tari demam, Bang," lapor Farida, sambil menuntun Lestari ke kamar. "Apakah dia terlalu banyak berjalan di perkebunan?"

"Ya," Burhan menjawab pelan, "kompres dia, Da. Temani dia sepanjang malam ini."

Menunggu pagi tiba, bagi Burhan seperti menunggu bom waktu. Gelisah. Ada dua hal yang membuatnya tidak tenang. Pertama, dia mengkhawatirkan demam Lestari. Dia berharap, Lestari baik-baik saja. Kedua, dia mengkhawatirkan kemarahan Farida bila Lestari menceritakan semua yang dilihatnya di rumah perkebunan itu.

Pagi itu, ketika Burhan duduk di meja makan, dia heran mendapati semuanya berjalan seperti biasa, sebagaimana rutinitas pagi. Lestari duduk di situ, sudah mengenakan seragam sekolahnya. Farida menghidangkan nasi goreng spesial untuk sarapan mereka.

Tidak ada yang berubah. Kalaupun ada, mungkin sikap Lestari yang berubah menjadi diam. Seharian Burhan merenung di kantor. Benarkah semua berjalan seperti biasa? Apakah memang Lestari tidak menceritakannya kepada Farida, atau Farida memang belum tahu, atau….

Hari Sabtu berikutnya, Burhan malah malas pulang ke rumah. Dia berlama-lama di kantor memeriksa beberapa laporan. Dia seolah sadar, tidak akan ada akhir pekan di perkebunan lagi, apalagi bersama Lestari.

Memikirkan itu, Burhan merasa sangat sedih.

Tapi, ketika dia tiba di rumah hampir pukul 4 sore, Lestari sudah rapi dan siap berangkat.

"Ayah terlambat pulang," Anwar, anak keduanya mengomel. "Anwar akan ikut Ayah ke rumah kebun."

"Rahmat juga," si bungsu yang bersuara. "Kenapa Ayah lama sekali baru pulang?"

"Ayah ada pekerjaan di kantor, Mamat," Burhan tersenyum. "Ayah senang kamu ikut, Nak," sahutnya. Tulus.

"Cepatlah berganti pakaian, Bang." Farida menyambutnya di kamar. "Segala keperluan Abang sudah saya siapkan."

"Kau ikut juga, Da?" tanya Burhan, keheranan.

"Ya. Anak gadis Abang mendesakku. Katanya, ada yang istimewa di sana."

Burhan menelan ludahnya.

"Aku tahu, itu taktiknya saja, Bang. Dia hanya ingin agar aku dan adik-adiknya ikut ke kebun. Tapi, tak apalah, aku sedang tidak ada kegiatan. Lagi pula, aku memang ingin selalu ikut dengan Abang."

"Aku senang kau ikut, Da," Burhan memeluk Farida.

"Benarkah?" Farida pura-pura mencibir.

Burhan mengangguk. Tulus. Aku tidak akan menyakiti perempuan ini lagi. Tidak. Dan, perempuan yang satu lagi. Lestari. Anakku.

Perjalanan kali ini terasa beda. Tawa dan suara ketiga anaknya terdengar jauh lebih merdu daripada nyanyian terindah yang pernah di dengarnya. Janji Burhan kian mantap. Mulai saat ini, tidak akan ada perempuan-perempuan lain lagi.

Tidak akan ada lagi.

Beberapa waktu ke depan, Farida masih sering ikut berakhir pekan dengan mereka. Tapi, karena kesibukannya, Farida tidak selalu bisa ikut. Dan, kembali seperti dulu, hanya dia dan Lestari.

Tapi, kali ini, memang tanpa perempuan lain.
 
"Makan siang sudah siap, Pak." Sri muncul lagi. "Bapak salat zuhur lebih dulu, ya?" tanyanya.

Jantung Burhan masih tidak tenang.

"Ya. Saya salat dulu, Sri." Dia bangkit. Kali ini lebih tenang.

"Ya, Pak. Saya akan memanggil Rani dan Indra juga agar makan bersama kita." Sri membantunya berdiri.

Burhan menuju kamarnya. Dia akan salat zuhur.

Selesai salat dia berdoa. Dia menangis. Dalam doa dia memohon agar kiranya Tuhan mengampuni dosa-dosanya dan memberikan ketenangan pada Lestari dalam tidurnya.

"Tari pulang! Ayah di mana?"

Dia menangis. Tergugu. Tersedu-sedu.

Kenapa engkau yang pergi lebih dulu, Tari?
Lestari masuk fakultas ekonomi setelah menyelesaikan SMA di Medan.

"Tari akan membantu Ayah mengelola perkebunan ini," ucapnya pagi itu, saat mereka berjalan mengelilingi perkebunan di sekitar rumah peristirahatan.

Burhan tidak menyahut. Dia tahu, Lestari tidak berbeda darinya. Sama-sama memiliki ikatan batin yang kuat terhadap perkebunan. Sama-sama membangunnya, meskipun saat ini Lestari belum menunjukkannya secara nyata.

"Tentu saja kalau Ayah mengizinkan," sahut Lestari, menggedikkan bahunya sedikit.

"Ayah senang mendengarnya, Nak." Burhan memeluk bahu Lestari. "Semua ini untukmu. Kau yang akan memiliki semua ini, Nak."

"Tidak! Ini tetap milik Ayah. Tapi, Tari akan membantu Ayah mengelolanya." Tari tersenyum sambil mengerjapkan
mata indahnya.

Lestari telah tumbuh menjadi gadis yang memikat. Wajahnya cantik. Hidungnya bangir. Rambut legamnya terurai sebahu. Kulitnya putih bersih. Tinggi semampai.

Lestari belum punya kekasih dan Burhan bahagia mengetahui hal itu. Dia akan menikah dengan lelaki yang pantas. Seorang dokter, putra seorang teman. Seorang insinyur yang sudah menjabat sebagai manajer, atau….

Laki-laki itu bernama Sofyan. Dia lulusan sekolah menengah pertanian atas dari sebuah kampung kecil di timur kabupaten. Keluarganya juga tinggal di kampung yang belum semuanya tersentuh aliran listrik. Tugasnya di perkebunan sebagai mandor bibitan.

Burhan benci mengetahui bahwa Lestari menyukai pemuda itu. Dia lebih benci mengetahui bahwa ternyata Sofyan juga menyukai Lestari.

Orang biasa yang tidak tahu diri.

"Kenapa Ayah melarang Tari mendekati Sofyan?" tanya Lestari, "dia sangat pintar, Yah."

"Ayah dengar memang begitu, Nak. Dia pintar," sahut Burhan.

"Tari banyak belajar darinya. Dia mengetahui banyak hal tentang bibit dan pembibitan."

"Ya, Anakku." Burhan tersenyum.

"Dan, Sofyan mengetahui seluk-beluk pembibitan, Yah."

"Ayah rasa, manajer-manajer di bagian penelitian dan pembibitan juga mengetahui lebih banyak, Tari."

"Benar, Yah. Tapi, mereka jarang mau membagi ilmu kepada Tari. Kadang-kadang, kalau Tari bertanya, mereka terlihat takut memberikan keterangan. Karena itu, Tari lebih banyak bertanya kepada Sofyan."

"Ya, tapi jangan terlalu dekat dengannya. Harus ada batasnya, Nak."

"Maksud Ayah?" Tari bertanya lagi. Keheranan tergambar di wajah dan suaranya. "Ayah bilang, belajarlah pada semua yang terlihat, pada semua yang berilmu, siapa pun dia."

"Tari, teruslah belajar," akhirnya Burhan hanya bisa berkata begitu.

Tapi, dia terus mengawasi anak perempuannya. Dia juga menugaskan orang-orang kepercayaannya untuk mengawasi Tari dan Sofyan. Dia tidak dapat menahan marah ketika mengetahui bahwa Tari juga mendapat ilmu baru dari pemuda kampung itu, tentang cinta. Cinta perempuan pada seorang laki-laki.

"Kenapa Ayah marah? Tari mencintai Sofyan, Yah."

"Dia tidak pantas untukmu, Nak," Burhan mencoba bersabar.

"Kenapa tidak?" Lestari menaikkan alisnya, keheranan. "Kami saling mencintai, Yah."

"Cinta?" Burhan tertawa. "Kau masih muda, Nak. Kau belum tahu apa itu cinta."

"Tari tahu, Ayah."

"Sudahlah, Sayang. Tuntaskan kuliahmu. Setelah itu kita bicara."

Dan, seminggu kemudian, Burhan pergi ke kantor besar di perkebunan. Seperti biasa, dia memeriksa laporan dan meninjau perkebunan. Saat istirahat siang, dia duduk di ruangan yang khusus disediakan untuknya bila berada di kebun. Dia tengah meneliti sebuah daftar yang dimintanya dari Kabag Personalia Kebun.

Sofyan Murad. Usianya 5 tahun di atas Lestari. Lulusan SPMA dengan nilai rata-rata delapan lebih. Ayahnya Murad Abidin, pensiunan Kepala Tata Usaha di salah satu perusahaan perkebunan milik pemerintah. Meninggal dunia sebelum memasuki masa pensiun.

Tidak ada yang istimewa dari Sofyan Murad, selain nilai-nilainya yang bagus. Absensinya patut mendapat pujian. Selama tiga tahun bekerja, di luar cuti tahunan dia hanya 3 hari mangkir dari pekerjaannya. Satu hari karena sakit dan dua hari karena ibunya wafat.

Saat ini pemuda biasa itu berdiri di hadapan Burhan. Burhan mengangguk sekilas, tersenyum kecil, dan memintanya duduk.

Burhan masih pura-pura sibuk meneliti laporan. Sofyan sudah duduk di hadapannya. Burhan mencoba mereka-reka, apa yang membuat Lestari tertarik pada pemuda ini. Tubuhnya jangkung. Wajahnya tampan. Sorot matanya tajam, penuh percaya diri. Dia memang sosok yang menarik. Tapi, benarkah Lestari tertarik pada penampilan fisik saja?

"Saudara yang bernama Sofyan Murad, ‘kan?" Burhan berbasa-basi.

"Ya, Pak."

"Mandor bibitan?"

"Ya, Pak."

"Ceritakan tentang tugas-tugas Saudara."

Sekejap kemudian Burhan terpesona. Cara bicara Sofyan tidak beda dari lulusan perguruan tinggi. Pengetahuannya juga setara dengan mereka.

Anak ini memang hebat, batin Burhan. Sebagai pekerja, dia memang istimewa. Tapi, tidak untuk anakku. Tidak! Tidak akan pernah. Jangan bermimpi! Anak kampung!
Maharani
Menginjakkan kaki di rumah ini bagiku seperti mimpi. Enam belas tahun usiaku. Selama itu pula aku menyimpan mimpi ini. Menyimpan harapan untuk bisa masuk ke bangunan bak istana ini.

Mama dulu pernah berjanji, suatu hari kami akan ke rumah ini. Benar-benar ke rumah ini, bukan hanya sekadar lewat dan berdiri di depan gerbang pagarnya saja. Tapi, untuk menemui penghuninya, Kakek dan Nenek atau saudara-saudara sepupuku.

Aku tidak ingat lagi, kapan terakhir kali Mama berjanji akan membawaku dan Indra ke sini. Tapi, sejak masuk SMA, aku sudah tak berharap banyak untuk dapat menginjakkan kakiku di rumah mewah ini.

Aku duduk termangu di ruang tamu. Entah sudah berapa lama aku dan Indra, adikku, duduk di sini, sejak kedatangan kami pukul sepuluh pagi tadi.

Bik Prapti mungkin bertugas sebagai pembantu di rumah ini. Dia sudah mengantarkan aku dan Indra ke kamar kami masing-masing. Aku menempati kamar yang ukurannya 4 x 5 meter. Ada ranjang tunggal dan lemari pakaian berukuran 2 pintu di kamar itu. Juga tersedia meja belajar, lengkap dengan lampu mejanya.

Awal yang menjanjikan.

Aku sempat merebahkan tubuh di ranjang empuk itu beberapa menit sebelum Indra mengetuk kamarku.

"Kakek menunggu kita," ucapnya lirih, begitu pintu kubuka.

Aku tertegun sesaat. Tiba-tiba dadaku berdegup aneh. Kakek? Enam belas tahun usiaku dan aku belum pernah bertemu dengannya. Bertatap muka dengannya. Sosoknya memang sering kulihat lewat koran atau televisi. Tapi, sungguh, kami belum pernah bertatap muka langsung.

Aku teringat Mama.

Semua dongeng pengantar tidurku adalah cerita Mama tentang sosok Kakek.

"Kami kerap menghabiskan akhir pekan bersama-sama. Ke perkebunan."

"Suatu hari, Kakek berhasil membawa pulang ayam hutan yang diburunya di perkebunan. Di rumah kayu kami membakarnya dan menyantapnya. Berdua saja…."

"Kami membuat api unggun…."

"Kakek membuat perahu kayu dan…."

" Kami memancing…."

"Mama dan Kakek pergi ke kebun. Memeriksa perkebunan diam-diam dan mendapati bahwa yang banyak duduk-duduk justru para atasan."

"Suatu hari Mama tersesat di perkebunan luas. Semua lorong sama. Mama tidak tahu jalan pulang. Untunglah, Mama bertemu Pak Urip, seorang buruh harian lepas. Pak Urip mengantarkan Mama ke rumah kayu. Di sana Kakek sudah seperti orang linglung karena mencemaskan Mama."

"Kakek…."

Aku dan Indra tidak pernah bosan mendengar cerita-cerita itu.

"Lalu, kenapa kita tidak menjumpai Kakek, Ma? Indra ingin diajarkan cara membuat perahu," tanya Indra.

"Tentu saja, kita akan ke sana," sahut Mama.

Janji yang terus berulang.

"Jangan pernah berjanji pada anak-anak," kudengar Papa berkata pada Mama suatu hari, dengan diam-diam. Aku mendengarnya tanpa sengaja.

"Mereka akan terus menagih dan akan terasa sakit sebab kita tidak bisa menepati semua ini."

"Kenapa tidak? Indra dan Rani akan bertemu kakek dan nenek mereka."

"Tari, lebih baik kamu berterus terang pada anak-anak bahwa Kakek mereka tidak menerima kita."

"Tidak. Aku tahu, Ayah sedang marah. Masih marah. Setelah marahnya hilang, dia pasti akan memaafkan kita."

"Tari, ini sudah tahun kedelapan. Sudah sewindu. Lihatlah, ayahmu tetap tidak menerima kita." Suara Papa seperti keluhan.

"Ayah memang keras. Tapi, dia baik hati. Lebih-lebih padaku. Aku anak kesayangan Ayah, Bang. Abang tidak pernah tahu, Ayah pernah berkata, dia sanggup kehilangan apa pun, tapi tidak bisa berpisah dariku."

Papa menggeleng. "Aku juga begitu, Tari," Papa menyahut pelan, lalu memilih diam. Kulihat Papa mendekap Mama. Air mata menetes di pipi Mama.

Yang kutahu, Kakek tidak menyetujui perkawinan Mama dan Papa. Aneh. Kalau Kakek baik hati, seperti yang dikatakan Mama, kenapa Kakek tidak menyukai Papa. Papa adalah sosok terbaik yang pernah kukenal. Dia adalah jagoan kami. Aku sangat bangga pada Papa. Dia pintar, penuh kasih, hangat, dan periang.

Aku jadi marah pada Kakek, yang kuungkapkan lewat Mama, ketika tahu dia membenci Papa.

"Bukan begitu, Rani. Kakek marah pada Mama sehingga dia juga marah pada Papa. Kakek tidak pernah membenci papamu. Kakek belum kenal siapa papamu, Nak," kata Tari, menjelaskan.

"Kakek tahu papamu pintar. Dia pernah memberikan jabatan yang tinggi pada Papa, tapi Papa menolaknya. Kakek kagum pada kepintaran Papa."

Aku tidak mengerti tentang perasaan Mama. Tapi, kupikir, Mama aneh. Mama mungkin tidak bisa membedakan, siapa, sih, yang paling disayangnya, Papa atau Kakek?

Aku tahu, Mama memang menyayangi Kakek. Kukira, itu wajar. Seorang anak pasti menyayangi ayahnya. Seperti aku yang menyayangi Papa. Tapi, Mama memilih berjauhan dari Kakek, demi Papa. Aku pikir, yang tepat adalah Mama memang lebih mencintai Papa.

Tapi, Mama selalu bangga pada Kakek.

Tapi, ketika Papa meninggal karena sakit parah, aku mencoba memahami, bahwa rasa cinta Mama pada Papa dan Kakek, sama-sama tidak bisa diukur. Mungkin, seperti rasa sayangku pada Mama dan Papa. Entah siapa yang paling kusayang. Kalau ditanya, aku tidak bisa menjawabnya. Mama dan Papa seperti kaki bagiku. Yang kiri dan yang kanan sama pentingnya. Kalau satu tiada, timpanglah aku. Hidupku.
Makan siang pertamaku di istana ini, berlangsung dalam suasana kaku. Aku melihat Sang Raja --diam-diam aku menjulukinya begitu, karena dalam beberapa berita di media massa dia dijuluki Raja Sawit Pribumi-- duduk di kursinya dengan angkuh. Dia kakekku. Sementara, di sudut lain, ada perempuan berwajah ramah. Dia nenekku. Dia tidak terlalu tua. Tapi, setidaknya, dari enam orang ‘asing’ yang tidak kukenal itu, cuma dia yang paling ramah. Sejak tadi pagi. Sejak pertama kali aku dan Indra datang ke rumah ini.

Empat orang lagi benar-benar tidak ingin menyapaku. Orang pertama, laki-laki berusia pertengahan tiga puluhan. Namanya Oya. Aku memanggilnya Paman Anwar. Wajah dan namanya tidak asing bagiku. Aku kerap melihatnya di televisi atau di koran. Beberapa kali dia disebut sebagai pengganti utama pimpinan Burhan Group. Perusahaan Sang Raja!

Aku ingat, Mama pernah mengajariku untuk memanggilnya Paman Anwar. Suatu hari aku dan Mama datang ke kantor Paman Anwar, tapi dia tidak mau menemui kami.

Laki-laki kedua sedikit lebih muda. Wajahnya tidak bisa kulupakan. Sekitar dua tahun yang lalu, dia pernah berkunjung ke sekolah kami. Ketika itu dia menyumbang peralatan olahraga untuk sekolah kami. Dia adalah alumni SMP tempat aku bersekolah. Aku ingat, dia Paman Rahmat, seorang insinyur. Sewaktu dia datang ke sekolah kami dulu, ingin sekali aku menyapanya. Memanggilnya dengan sebutan Paman Mamat, seperti yang selama ini diajarkan Mama.

Tapi, aku tidak berani. Mengingat dulu kami pernah diusir Paman Mamat sewaktu kami berkunjung ke rumahnya. Padahal, aku dan Mama hanya mau melihat kelahiran adik kecil, anak Paman Mamat yang paling kecil. Tapi, kami ditolak.

Dua lagi, laki-laki juga, tidak kukenal. Sepertinya, mereka bukan keluargaku. Maksudku, bukan keluarga raja ini. Mungkin, mereka karyawan anak buah Burhan Group. Soalnya, sikap mereka sungkan dan segan. Seperti aku dan Bang Indra.

"Ayo, Rani, Indra, makan yang banyak, ya."

Perempuan itu, nenekku, mencoba mencairkan suasana yang beku. Kulihat Indra mengangguk, malu, sungkan. Ada senyum di sudut bibirnya. Aku ingin marah padanya. Kenapa dia harus senyum-senyum begitu?

"Rani mau tambah sayurnya?"

Kuangkat kepalaku, menatap Nenek. Lalu, menggeleng kecil.

Nasiku belum habis separuh ketika Kakek bangkit. Dua laki-laki yang tidak kukenal itu bangkit juga mengiringinya. Dan, seperti dikomando, kedua pamanku juga bangkit dan bergegas menuju ruangan tempat Kakek dan dua laki-laki tadi menghilang.

Barulah aku mulai menikmati hidangan.

  Tari menyesal menjadi anak dari keluarga kaya. Karena, itu membuatnya tak bebas menyerahkan cinta pada pria yang ia kasihi...

Burhan
Entah kenapa, perasaanku mengatakan, dia tidak menyukaiku. Sama seperti aku, dia lebih sering menundukkan wajah dan sama sekali tidak mau menatapku, ketika kami santap siang. Aku juga memalingkan wajah darinya. Aku tidak ingin menatapnya. Bukan karena aku membencinya, seperti yang selama ini dikhawatirkan orang. Kupalingkan wajahku karena aku tidak sanggup menatapnya.

Kerlip matanya, semburat merah di pipinya, senyumnya yang kadang-kadang muncul, semuanya mengingatkanku pada Lestari, anak perempuan kesayanganku, buah hatiku, cintaku, jiwaku, dan semua harapanku.

Gadis itu, Maharani, cucu perempuanku, anak perempuan dari anak perempuanku. Usianya enam belas tahun. Lebih dari usianya itu aku menahan sakit dan menyimpan luka yang tidak tertahankan.

Hatiku terluka. Luka yang masih kurasa sampai kini. Luka yang aku sendiri tidak lagi tahu, apakah karena ‘pengkhianatan’ anak perempuanku, luka karena kepergiannya, atau luka karena kehadiran gadis belia itu. Aku tidak tahu. Sejak dulu sebenarnya aku sudah tidak mengenal diriku sendiri.

“Kenapa Ayah membenci Bang Sofyan?’

Masih kuingat pertanyaan yang diajukan Lestari hampir dua puluh tahun lalu. Saat itu, baru dua bulan dia diwisuda sebagai sarjana ekonomi.

“Ayah tidak membencinya, Anakku,” sahutku, lembut.

“Lalu, kenapa Ayah tidak merestui hubungan kami?”

“Dia tidak pantas buatmu, Nak.”

“Kenapa?”

“Dia tidak sederajat denganmu, Nak.”

“Tidak sederajat?” alisnya terangkat. Aku hafal reaksi itu. Itu tanda bahwa Lestari tidak senang. “Apanya yang tidak sederajat? Kami sama-sama ciptaan Tuhan, Ayah.”

“Bukan hanya soal itu, Anakku.”

“Dan, Tari tahu, Tuhan menciptakan manusia tidak untuk saling merendahkan,” sahutnya.

“Ayah tahu, Tari. Tapi, Sofyan memang tidak pantas untukmu, Nak. Dia hanya seorang mandor bibitan.”

“Kalau begitu, angkatlah dia menjadi manajer, Yah. Dia akan sederajat dengan Tari. Iya, ‘kan?”

“Tari….” Aku tersenyum menyadari kepolosannya.

“Tari mencintainya, Yah.”

“Kamu tidak mengerti cinta, Anakku.”

“Apakah Ayah mengerti?” dia merajuk.

“Anakku,” kucoba membelai rambut legam Lestari, tapi dia menolak. Aku menggedikkan bahuku dan tersenyum. “Baiklah, Tari. Ayah mengerti apa yang kau rasakan. Ayah tahu, kamu menyayanginya. Tapi, itu hanya simpati, Nak. Dia memang berbeda. Untuk ukuran mandor, dia memang istimewa.”

Lestari terdiam.

“Ayah mengerti perasaan yang ada di hatimu, Nak. Kalau memang itu keinginanmu dan kalau semua ini menyenangkan hatimu, baiklah. Ayah akan menaikkan pangkatnya. Ayah akan meminta agar Sofyan diangkat menjadi staf dan gajinya….”
“Ayah!” Lestari berteriak marah. “Apakah itu juga yang Ayah lakukan untuk perempuan-perempuan yang kerap menemani Ayah pada malam hari ketika kita berada di rumah kebun?”

Aku nyaris melompat dari dudukku karena mendengar ucapan Lestari. Ya, Tuhan, ternyata anakku tidak pernah melupakan itu. Dia mengingatnya. Membangkitkan luka lama. Luka yang sebenarnya tidak ingin kuingat.

“Tari!”

“Ayah memperlakukan mereka dengan sangat rendah. Ayah tidak punya perasaan. Berapa banyak perempuan yang Ayah perlakukan seperti itu?”

“Tari!”

“Ayah malah tidak ingat bahwa Ibu begitu setia dan….”

Plak! Plak!

Dua kali tamparan tanganku mendarat di pipi ranumnya. Kulihat bekas tanganku di sana. Lestari tidak lagi bersuara. Matanya merah menahan tangis. Wajahnya kelihatan marah. Kecuali bekas tamparanku, semua di wajahnya memutih. Ia menatapku tajam, seolah tidak percaya bahwa aku mampu memperlakukannya seperti itu.

Dia menggeleng, marah, merajuk. Sebelum aku mampu berkata-kata, dia telah lari meninggalkanku. Dengan luka hati, tentunya.

Tapi, sedalam apa luka itu, hanya dia yang tahu. Sama seperti aku. Hanya aku sendiri yang tahu sebesar apa luka hatiku oleh sikapku yang tidak pantas itu. Entahlah. Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku bisa bertindak sejauh itu. Tidak pernah terpikir olehku bahwa aku mampu menyakiti Lestari, buah hatiku. Bidadariku.

Berhari-hari kemudian aku tidak melihat senyumnya padaku. Bahkan, dia tidak menyapaku. Jika berpapasan, dia sengaja membuang muka. Tapi, entah kenapa, aku juga melakukan hal yang sama. Setidaknya, aku juga tidak menyapanya. Kami benar-benar memiliki sifat yang sama, keras kepala. Tidak satu pun yang akan mengalah.

Farida, istriku, malah tidak habis-habisnya mengkritik sikapku. “Mengalahlah sedikit, Bang. Sapalah Tari, Bang. Kasihan dia.”

“Aku yang harus menegurnya lebih dulu?” egoku melambung. “Dia seharusnya belajar menghargai orang tua, Ida.”

“Sudahlah, Bang. Mungkin saja, Tari takut.”

“Takut?” tanyaku, tidak mengerti.

“Saya tidak tahu apa masalahnya, Bang. Tari hanya bilang, Abang sangat marah padanya. Dia takut, bila ia menyapa Abang, Abang tidak sudi ditegur.”

Takut aku menolak sapaannya? Ya, Yuhan, tahukah istriku bahwa aku juga mengalami takut yang sama. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya bila Lestari tidak menyahut sapaanku.

“Bujuklah dia, Bang. Abang tidak melihat bahwa kini Tari lebih murung? Kenapa tidak mau mengalah pada anak sendiri?“

Aku tidak menggubrisnya. Kupikir, walaupun selama ini aku sangat dekat dengan Lestari, yang paling tidak bisa menolak permintaan anak gadisku itu adalah ibunya sendiri. Buktinya, tidak ada sedikit pun keberatannya terhadap hubungan Lestari dan Sofyan. Dia menganggap hubungan itu wajar saja. Bahkan, aku tahu, diam-diam dia membiarkan kedua anak muda itu kian dekat. Dia adalah sponsor hubungan mereka.

“Apa yang salah?” Farida mengerutkan keningnya. “Mereka saling mencintai. Aku juga orang miskin, Bang. Kenapa Abang mau menyuntingku?”

Farida tidak tahu, Lestari adalah ‘maskot’-ku. Siapa pun yang melihat Lestari, dia akan ingat pada keberhasilanku. Ingat siapa aku! Sang Raja!

Seiring berjalannya waktu, hubunganku dengan Lestari kian menyesakkan dada. Tiga bulan kami saling mendiamkan. Jujur, aku sangat tersiksa. Karena itu, ketika malam itu bidadariku itu muncul di ruang kerjaku, aku seolah melupakan semua kelelahan dan kesedihanku selama ini.

Kulihat dia berdiri di pintu ruang kerjaku. Kian cantik, lemah, dan kurus. Aku ingin merengkuhnya dalam pelukanku, membelainya, mencium pipinya, dan merasakan tangan kasarku yang pernah mendarat di sana.

Akan kujelaskan pada Lestari bahwa yang lalu telah berlalu. Hubunganku dengan perempuan-perempuan itu merupakan kesalahanku sebagai manusia. Aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Aku juga akan menyatakan maafku dan berjanji bahwa tidak akan ada lagi pukulan dan tindakan kasar padanya.

“Boleh Tari duduk di sini, Yah?”

Suara parau Lestari membuatku sadar. Aku mengangguk.

“Ayah….”

Lestari tidak berlari ke pelukanku. Aku juga tidak merengkuhnya. Aku diam saja. Kusadari, betapa kaku dan beku sikapku.

Lestari duduk di hadapanku. Air matanya tergenang. Aku ingin mencium mata itu.

“Tari tahu, Ayah tidak pernah memaafkan, Tari,” dia menunduk, “tapi, Tari akan segera menikah dengan Bang Sofyan. Minggu depan, Yah.”

Aku lebih baik disambar petir daripada mendengar berita ini. Kutekan tanganku pada pinggiran kursi untuk menahan gejolak hatiku. Aku ingin berteriak marah.

“Ayah harus tahu bahwa Ayah segalanya bagi Tari. Tari menyayangi Ayah melebihi siapa pun. Tari mencintai Ayah. Meskipun Ayah marah, Tari tidak pernah membenci Ayah,” Lestari terisak, “tapi, Tari mencintai Bang Sofyan, Ayah. Tari mohon doa restu dari Ayah.”

Aku terpaku. Diam tak menyahut. Ada yang salah. Ada. Dia tidak seharusnya terburu-buru menikah, meski kuliahnya sudah selesai. Tapi, dia memang ingin membuat aku marah.

“Ayah….”

“Pergilah!” Kukibaskan tanganku. “Carilah walimu di hari pernikahanmu nanti.”

“Ayah….” Air mata memenuhi mata indah dan pipi Lestari.

“Ambillah apa pun yang kau inginkan dari rumah ini. Pintalah apa saja yang kau inginkan dari Ayah saat ini. Sebab, setelah itu, Ayah tidak akan mengizinkanmu menginjakkan kaki di rumah ini dan.…”

“Ayah….”

“Pergilah dengan laki-laki itu. Jangan pernah datang pada Ayah lagi.”

“Ayah….”

“Apa pun yang akan kau hadapi nanti, jangan pernah kembali ke sini. Tidak akan ada tempat untukmu lagi.”

“Yah….”

“Sudahlah. Pergilah!”

“Ayah….”

“Pergi!”

Bentakan itu membuat Lestari terkejut. Diangkatnya kepalanya. Mataku dan matanya beradu. Saling tatap. Kenangan indah itu melintas di benakku. Liburan akhir pekan di perkebunan. Tawanya yang renyah. Gayutan tangannya di lenganku. Berkejaran di perkebunan. Kini....

Lenyap sudah.

Aku terluka. Parah. Parah sekali.

Tidak akan terobati.

Ketika pernikahan itu diselenggarakan di rumah salah seorang kerabatku, aku sedang berada di kebun. Sendiri. Tidak ada lagi bidadariku yang selalu menemaniku. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Lestari lahir, aku menangis. Sendirian aku di kamar tersedu-sedu.

Bagaimana keadaannya?”
Dua kuasa hukum yang ikut makan siang denganku mengeluarkan berkas-berkas. Selagi keduanya melakukan itu, kuangkat kepalaku dan melihat dua sosok yang melangkah masuk ke ruang kerjaku.

Dua anak laki-lakiku. Anwar dan Rahmat. Mereka mengambil tempat duduk di hadapanku, berseberangan dengan dua kuasa hukum Burhan Group. Mereka tampak serius.

“Surat-suratnya sudah lengkap semua, Pak Besar,” kudengar suara Junaidi Bramono, laki-laki yang lebih tua dari dua kuasa hukum itu. “Jadi, kita bisa teruskan sesuai rencana.”

“Bagus,” aku mengangguk, “teruskanlah. Pastikan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan pembelian tanah ini.”

“Baik, Pak,” Junaidi Bramono menyahut.

“Sudah kalau begitu.” Aku menyandarkan punggungku ke kursi berlengan besar.

Kujawab permohonan permisi dua kuasa hukum itu dengan anggukan kecil.

Sepeninggal mereka, bisa kutebak, Anwar dan Rahmat kelihatan bingung. Tentu saja, karena mereka sudah berpikir yang bukan-bukan.

“Ayah akan membeli tanah lagi?” Rahmat, anak bungsuku, mulai membuka suara.

“Rencananya begitu,” aku menyahut enggan. “Kenapa?”

Aku yakin, mereka tidak berani menyahut dengan jujur.

“Bagus sekali,” Anwar menyahut. Seperti biasa, dia lebih ingin menyenangkan hatiku daripada memberikan pendapatnya.

“Dengan keuntungan kita tahun lalu, sudah saatnya kita ekspansi, Yah.”

“Ada masalah apa lagi?”

“Tidak ada, Yah,” Rahmat mengusap-usap tangannya. Dengan gayanya itu, aku lupa bahwa dia sudah memiliki dua anak. Kupikir, dia masih si bungsuku yang royal dan siap-siap untuk minta uang saku.

“Kalau begitu, saya harus segera kembali ke kantor. Banyak tugas yang harus dikerjakan. Saya terburu-buru datang ke sini tadi.” Anwar bangkit.

“Siapa yang menyuruhmu terburu-buru ke sini?” tanyaku, agak marah.

“Ibu yang meminta, Yah,” sahut Anwar, membela diri. “Pagi tadi Ibu menelepon dan mengatakan bahwa Rani dan Indra akan datang. Jadi, kita harus berkumpul.”

“Kita siapa?” Aku tertawa sinis. “Mana istri dan anak-anakmu?”

Kedua anakku saling pandang. Aku malas berdebat. Kukibaskan tanganku, meminta keduanya keluar dari ruang kerjaku.

“Apakah mereka tidak ingin bertemu dengan saudara mereka?” tanyaku, setelah pintu tertutup. Pertanyaan yang kutujukan pada diri sendiri.

Aku termenung sendirian. Bangkit menuju lemari arsip. Salah satu lemari kayu itu menyimpan banyak hal tentang Lestari. Foto-foto kami berdua. Foto ketika Lestari masih bayi, kanak-kanak, remaja, dan….

Aku menggeleng.

Di sana juga banyak surat Lestari yang dikirimnya ketika dia sudah menikah. Tidak satu pun surat itu pernah kubalas, walau aku sangat ingin.

Ayah tercinta,
Entah sudah minggu keberapa kita tidak bertemu. Tari kangen pada Ayah. Tari berharap, Ayah sehat-sehat saja. Tari ingin, kalau Ayah ke rumah perkebunan kita nanti, Ayah tidak lupa membawa baju hangat. Dan, tolong ingatkan Pak Dino agar dia tetap menyiram mawar yang Tari tanam.
Salam sayang Tari buat Ibu dan adik-adik.
 
Aku menelan ludahku yang terasa pahit.

Sangat pahit. Tapi, siapa yang bisa menyangkal bahwa kehidupan Lestari juga pahit? Ada pepatah mengatakan, jika ayah kaya, anak bisa jadi raja. Aku bertekad menjadikan anak-anakku raja dan ratu. Menikmati semua kemudahan dengan kekayaan yang kumiliki. Asal mereka menuruti apa pun keinginanku.

Lestari telah melangkah cukup jauh. Dia menikah dengan laki-laki yang tidak pernah masuk dalam hitunganku. Sehingga, aku pun tidak memperhitungkan Lestari lagi.

“Dia bukan anakku,” tegasku, pada Farida.

“Mana bisa Abang berkata begitu?” kata Farida. “Lestari tetap anak kita, Bang. Apa pun yang terjadi.”

“Katakan begitu!” Mataku memerah. Marah. “Dia bukan anakku. Tidak lagi!”

Farida menunduk.

“Dan, jangan sekali-kali memberi hati padanya. Jangan mendekatinya atau memberi fasilitas apa pun padanya. Aku tidak akan memberikan toleransi pada siapa pun yang coba-coba menghubungi Lestari di belakangku. Mulai sekarang, lebih baik kamu menganggap Lestari telah tiada.”

Farida tidak berkata lagi.

Dia tidak berani membantahku. Aku berpendapat bahwa dia sangat bersalah karena merestui hubungan anak perempuanku dan Sofyan. Farida selalu berkata bahwa ini semua sudah suratan. Semua terjadi karena kehendak Yang Mahakuasa.

Aku benci dengan pendapat ini. Pendapatku tetap satu, anakku sedang sesat.

Tersesat. Itu sudah biasa. Di perkebunan dulu, dia juga suka begitu. Berlari ke mana saja, lalu tidak ingat jalan pulang. Rimbunan pohon sawit yang sama membuatnya gamang dan bingung. Dia lalu berteriak sampai aku atau salah seorang asisten yang menyertaiku muncul dan membawanya pulang.

Nanti dia akan kembali lagi. Pasti.
Ayah yang Tari cintai,
Tiga minggu yang lalu Tari resmi menjadi ibu. Dia cucu perempuan Ayah. Dia cantik seperti Tari. Ayah pernah bilang bahwa Tari cantik, ‘kan? Tari senang sekali jika Ayah mau melihat cucu Ayah.
Anak Tari dan Bang Sofyan, cucu Ayah itu, Tari beri nama Maharani. Kelahirannya menyadarkan Tari, betapa besar pengorbanan seorang Ibu untuk kehadiran seorang anak ke dunia ini. Bertaruh nyawa!
Tari sangat sadar bahwa tugas Tari membesarkan Maharani masih panjang dan berat. Seperti tugas Ayah dan Ibu yang telah membesarkan Tari dan adik-adik. Tidak akan terbalas semua budi Ayah dan Ibu.
Sebuah denyutan luka terasa menyayat dadaku. Putri kesayanganku makin jauh dari jangkauan. Saat dia menjadi ibu, entah kenapa, mungkin didorong oleh keinginan dan naluri seorang ibu pula, Farida mendatangi Lestari. Tindakannya itu membuatku marah.

“Aku lebih baik mati daripada tidak melihatnya, Bang.”

Tangis Farida membuat kepalaku hampir pecah.

Aku mencoba menahan diri. “Jangan lakukan itu lagi,” kataku, dingin. “Jangan lukai aku dengan tindakanmu, Ida.”

Sejak itu, Farida patuh padaku dan tidak lagi menemui Lestari. Tidak berani, mungkin. Tapi, dia berubah menjadi perempuan paling pendiam yang pernah kukenal. Dia mulai jarang tertawa. Dia lebih banyak melamun. Bahkan, ketika Anwar menikah dengan gadis pilihanku dan tinggal bersama kami, keceriaan Farida tidak juga kembali. Juga ketika Anwar memberi kami cucu, Farida tidak juga berubah.

Dia lebih banyak mengurung diri. Mulai tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan wanita yang selama ini sangat diminatinya. Apa pun kegiatan yang kusarankan padanya justru membuatnya bertambah sakit.

Sakit yang mungkin tidak bisa diobati oleh dokter mana pun, tapi aku tahu obatnya. Namun, luka hatiku sangat parah. Luka yang timbul karena kesombonganku sendiri.

Empat bulan setelah putra bungsuku, Rahmat, menikah, Farida berpulang ke hadirat Allah.
Ayah tercinta,
Entah ini hari yang keberapa, Ayah. Tari sangat merindukan Ayah. Mungkin, tidak akan ada artinya bagi Ayah apa yang akan Tari utarakan. Walau begitu, izinkan Tari mengungkapkan apa yang ingin Tari sampaikan. Ayah, mungkin Ayah tidak pernah tahu bahwa arti Ayah begitu besar bagi Tari. Memang, Tari sudah punya dua anak sekarang. Tapi, entah kenapa, Tari masih ingin berada di dekat ayah, bermanja-manja seperti dulu.

Tari sadar, apa yang Tari inginkan ini hanyalah sebuah mimpi. Ayah tidak akan mau menerima Tari lagi, seperti yang pernah Ayah utarakan dulu. Tari sadar, Ayah pantang menarik ucapan lagi. Ayah telah ‘membuang’ Tari. Tidak ada tempat buat Tari lagi di keluarga.

Bahkan, Ibu dan adik-adik juga kian menjauhi Tari. Menyedihkan sekali menerima semua ini. Adik-adik tidak mau menerima kehadiran Tari. Ah…Tari tahu, mereka tidak bermaksud begitu, tapi hati Tari hancur.

Namun, Tari tidak bisa mundur, Ayah. Bukan karena Tari sudah punya dua anak, tapi Tari mencintai Bang Sofyan. Cinta yang tulus, Ayah. Cinta yang lahir dari ketulusan hati Tari, bukan hanya sebagai perempuan, tapi juga sebagai manusia.

Ayah dulu pernah mengatakan, jangan pernah mundur menghadapi tantangan. Majulah, meskipun kita harus mati di ladang pertempuran. Jangan jadi pecundang yang cuma mengharapkan selamat. Apa yang Tari lakukan ini adalah wujud dari apa yang pernah Ayah ucapkan dulu.

Tari pikir, memang lebih enak menjadi ‘anak Ayah’ yang manis saja. Mematuhi apa pun yang Ayah katakan. Tari pun tidak berniat membantah keinginan Ayah. Ayah pun tahu, meski Ayah telah ‘membuang’ Tari, Tari tetap anak Ayah. Sering Tari menangis dan bertanya pada hati sendiri, kenapa Tari menjadi ’anak Ayah yang kaya’? Tari benci bila menjadi ‘anak Ayah yang kaya’ membuat Tari tidak lagi bisa mencintai orang lain. Tidak lagi bebas bermain dengan anak-anak lain, dan tidak bisa lagi menjadi ‘manusia’. Manusia yang mutlak harus mengabdikan dirinya pada Sang Pencipta, memberi cintanya pada sesama, tanpa merendahkan sesama pula.

Tapi, Tari juga tidak bisa membenci keadaan ini terus-menerus. Semua ada batasnya, seperti kehidupan manusia yang mempunyai akhir. Dan, hari ini, kita melihat bahwa kehidupan Ibu telah sampai ke terminalnya. Tuhan telah membawanya ke dalam keabadian, Yah.

Namun, setidaknya Tari sadar, ada yang tidak pernah berakhir dari diri Ibu dalam kehidupan Tari. Kenangan kebersamaan yang manis, kasih sayangnya yang tidak terbatas, ketulusannya menyayangi kami anak-anaknya, dan pengabdiannya pada Ayah, membuat Tari kagum. Begitulah seharusnya manusia terhadap sesamanya, atau memang begitulah perempuan semestinya bersikap sebagai manusia, pun begitulah hendaknya sikap istri kepada suaminya.

Rumah itu mewah dan indah. Hanya satu yang kurang, tidak ada cinta di dalamnya....

aktu itu, lewat sudut mataku, aku bisa melihat dia berdiri di pemakaman. Kulihat sosoknya yang mencoba berdiri tegak. Dia terisak, menangis dalam diam. Wanita yang baru kami antar ke peristirahatan terakhirnya adalah ibunya. Ibu anak perempuanku. Aku yakin, dia merasakan kepedihan, kesedihan, dan kehilangan yang amat sangat. Aku siap merengkuhnya dalam pelukanku dan menghiburnya. Tapi, langkahku tertahan. Aku meninggalkan pemakaman, tanpa menyapanya.

Kulihat dia membalikkan badan, mengikuti langkahku dengan pandangannya. Di luar diriku, mungkin tidak ada yang memerhatikan perempuan itu. Bagi kebanyakan orang yang datang, dia hanyalah satu dari sekian ratus pelayat lain. Tapi, bagiku, dia anak gadisku, yang tidak mengakui bahwa dia tersesat.

Dia akan kembali suatu hari. Pasti.

Bertahun itu kunanti-nanti.

Tak ada perkembangan tentangnya yang tidak kuketahui. Sofyan bekerja di sebuah perusahaan perkebunan swasta lain. Kariernya bagus. Aku tahu, dia pekerja yang baik dan cerdas. Lestari juga bekerja. Sebuah bank swasta menerimanya. Kehidupan mereka berkecukupan. Untuk ukuran ‘orang biasa’, tentunya.

Mereka memiliki rumah dan kendaraan yang layak, meski bekas. Dan, aku benci kenyataan itu. Aku ingin melihat Sofyan ‘jatuh’. Dengan begitu, mungkin Lestari akan kembali padaku.

Entah sudah berapa kali Lestari ingin menemuiku dan kutolak. Beratus-ratus kali ia menelepon, tak pernah kuterima. Bingkisan darinya, yang tiba setiap ulang tahunku, selalu kukembalikan lagi. Entah sudah berapa kali dia datang dengan dua anaknya, tapi selalu ‘kuusir’. Aku ingin dia datang dalam keadaan ‘kalah’. Tidak ada tempat buatmu, Anakku. Tidak ada tempat lagi.
Itu janjiku. Janji yang membuatku kian terluka.
 
Ayah, perpisahan itu menyakitkan. Tapi, kadang perpisahan itu perlu. Dia jadi ukuran bagi kita, betapa berartinya sebuah pertemuan yang pernah terjadi.Kematian juga sebuah perpisahan, Ayah. Ibu telah mendahului kita tiga tahun lalu. Soal siapa yang lebih dulu pergi, tidak penting.

Kini Bang Sofyan juga mendahului Tari. Dia meninggalkan banyak kenangan, juga kesedihan di hati Tari. Tapi, kepergiannya menyadarkan Tari, betapa berartinya kehadirannya dulu di antara kami. Tari dan anak-anak. Dia meninggalkan kebanggaan dan kebahagiaan di hati Tari. Dia telah menjadikan Tari perempuan dan ‘manusia’ yang sebenarnya. Tari amat bersyukur pernah mendampinginya. Terima kasih yang tak terhingga buat Bang Sofyan.

Tapi, kehadiran Ayah juga sangat berarti. Terima kasih atas ‘dukungan’ yang telah Ayah tunjukkan pada Tari, sehingga perjuangan Tari jadi berarti. Bukankah halangan dan hambatan justru sering membuat kita lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam berjuang?

Kini, apakah perjuangan Tari telah selesai? Terlalu sombong jika Tari menjawab sudah. Perjuangan Tari malah lebih berat. Ada dua manusia yang harus Tari bimbing mengenal hidup ini, Maharani dan Indra, warisan paling berharga yang ditinggalkan Bang Sofyan.

Namun, Tari bersyukur, Ayah telah memberi pelajaran bagi Tari. Pelajaran menghadapi hidup dan menghargai sebuah pilihan. Terima kasih, Ayah. Tanpa ini, Tari tidak akan pernah jadi ‘manusia’.

Semoga Ayah senantiasa bahagia.
Berita itu membuat lututku lemas. Sofyan meninggal dunia. Beberapa waktu lalu aku mendengar bahwa laki-laki itu dirawat di rumah sakit. Lever. Aku tidak tahu bahwa penyakitnya sudah sangat serius. Sofyan mungkin bekerja terlalu keras sehingga tidak memerhatikan kesehatannya. Entahlah. Dulu, aku pernah mendengar, dia ingin ‘menunjukkan’ kemampuannya padaku. Suatu hari kelak. Tapi, kini?

Tanganku gemetar ketika memutar nomor telepon Anwar.

“Saya mendengarnya. Tapi, saya sibuk. Tak sempat ke sana.”

Jawaban Anwar makin membuat lututku lemas. Tapi, jawaban Rahmad membuatku lebih sakit.

“Sungguh, Yah. Mamad tidak ke sana. Mamad tidak akan melanggar larangan Ayah. Sungguh.”

Aku menangis dalam hati. Terbayang wajah Lestari dan duka hatinya saat ini. Tak ada seorang pun keluarganya yang hadir. Anak laki-lakiku yang pertama sibuk. Anak laki-lakiku yang bungsu terlalu patuh pada pesanku.

“Ayah tidak memberikan toleransi jika kalian ketahuan menemui Lestari,” begitu ancamku dulu. “Jika ada, nasibnya seperti Lestari, tidak akan masuk dalam daftar ahli waris.”

Aku ingin sekali punya dua hati. Yang satu, penuh dengan kelembutan. Yang satu lagi, biarlah tetap dengan keangkuhan, sebagai tanda bahwa aku tidak bisa dibantah. Dengan hatiku yang lembut, aku akan mendatangi Lestari. Memeluknya, memberikan kata-kata hiburan, dan membantunya menghadapi rasa kehilangannya dengan kasih sayang.

Sayang, hatiku cuma satu. Sekeras batu. Semati tugu.

Setelah itu, tidak ada lagi surat Lestari. Tidak ada teleponnya. Tidak pernah lagi dia mengunjungiku. Tidak ada bingkisan saat ulang tahunku.

Kariernya, syukurlah, lebih meningkat. Dia diangkat sebagai kepala kantor cabang pembantu bank tempatnya bekerja. Lestari pindah rumah ke daerah pinggiran kota. Aku bermimpi, dia akan meneleponku, mengabarkan tentang promosi jabatannya, mengabarkan kepindahannya.

Tapi, itu tak pernah terjadi. Lestari seolah pergi bersama waktu.

Inilah pilihan hidupku. Dan, pilihan itu harus kubayar dengan penyesalan yang tidak akan pernah berakhir.

Aku rindu mengecup kening Lestari. Tapi, dia sudah pergi.
MAHARANI
Hari keberapa ini? Aku merasa sudah berabad-abad di rumah ini. Suasananya membuatku terbakar. Banyak yang sudah kulakukan. Aku sudah makan di rumah ini tiga kali sehari. Aku berangkat sekolah dari rumah ini. Diantar-jemput dengan mobil mewah milik kakekku… raja itu. Pak Besar!

Mobil keren. Lolita, Hana, Widodo, dan sebagian besar anak terkaya di sekolahku, nyaris berteriak ketika hari pertama aku dan Indra diantar dengan mobil mewah itu. Mereka tidak percaya bahwa aku dan Indra, yang beberapa bulan lalu adalah ‘orang biasa’, kini menjelma menjadi ‘orang tidak biasa’.

Banyak hal sudah terjadi. Hal-hal baru yang telah kutemui.

Kecuali satu. Kakek tidak pernah atau belum pernah menegurku. Dia bahkan tidak pernah memandangku. Menyakitkan sekali.

Dua kali sehari setidaknya kami duduk di meja yang sama, ketika sarapan dan makan malam. Sepanjang waktu itu Kakek tidak mau menyapaku. Memang tidak lazim makan sambil bercakap-cakap. Tapi, apa salahnya Kakek berbasa-basi padaku, menanyakan, apakah aku suka masakannya, senang lauk-pauknya, seperti yang dilakukan Nenek padaku dan Indra.

Kakek duduk diam. Tegak dan kaku. Aku jadi segan. Bahkan, untuk sekadar menambah nasi saja aku segan. Begitu juga Indra. Sungguh tidak enak. Aku bisa membayangkan perasaan Mama dulu. Kami pernah datang ke rumah ini, tapi Kakek tak mau menemui Mama. Aku jadi sedih membayangkan perasaan Mama.

Tapi, aku jauh lebih sedih ketika sadar Mama telah tiada. Aku tidak bisa bertemu Mama lagi. Masih kuingat empat bulan yang lalu, ketika petugas haji datang ke rumah dan menyampaikan kabar dukacita itu. Mama telah pergi. Tidak terbayangkan. Padahal, sewaktu akan berangkat ke Tanah Suci, Mama tampak sehat dan sangat bahagia.

“Ini harapan Mama. Harusnya, Mama berangkat dengan Papa. Sayang, Papa sudah lebih dulu pergi. Di Tanah Suci nanti Mama akan berdoa untuk Papa.”

“Untuk Rani dan Indra juga,” sambungku.

“Ya, juga untuk Nenek dan Kakek.” Mama tersenyum.

Senyum terakhir.

Mama pernah bilang, yang paling pasti dari hidup ini adalah kematian. Tetapi, kematian itu sendiri adalah misteri. Rahasia Ilahi. Hanya Dia yang tahu kapan kita akan pergi.

Lalu, Mama pun pergi saat menunaikan ibadah di Tanah Suci.

Aku terisak dan menangis berhari-hari. Tuhan telah menakdirkan bahwa aku dan Indra tidak akan pernah melihat Mama lagi. Bahkan, menziarahi kuburnya pun tidak mungkin.
Seminggu setelah pemakaman Mama, ketika satu per satu kerabat pulang ke rumah dan ke kampung masing-masing, aku jadi gamang.

Kepergian Mama makin menorehkan kepedihan, kehilangan, dan kesendirian. Masih terbayang olehku senyum Mama, tawanya yang ceria. Bahkan, terkadang aku seperti mendengar ketukan sepatunya berjalan memasuki rumah.

Sering aku berlari keluar, melihat kalau-kalau ada Mama berdiri di luar pagar dan memintaku untuk membukakan pintu.
Masih terbayang semua.

“Ibu akan sering datang ke sini.” Ibu Zainab, adik almarhum ayah satu-satunya, memelukku ketika akan pulang. “Untuk sementara, Paman Irwan akan tinggal bersama Rani dan Indra.”

Aku mengangguk. Tidak punya pilihan. Aku tahu, tetangga kami juga akan siap membantu kami. Tapi, akan lebih baik jika ada anggota keluarga yang sudah dewasa tinggal bersama kami. Tidak salah jika Paman Irwan, adik bungsu suami Bu Zainab, yang menemani kami.

Dua minggu setelah Paman Irwan bersama kami, tiba-tiba Bu Zainab datang dengan rombongan itu. Entah bagaimana awalnya, tapi kesimpulannya adalah kami akan tinggal bersama Kakek.

“Kakek?” aku dan Indra bertanya tidak mengerti. Kakek mana? Aku tidak ingin menebak-nebak. Tapi, entah kenapa, aku membayangkan rumah berpagar tinggi bak istana itu. Rumah yang hanya bisa kami lihat dari luar saja. Rumah yang hanya ‘mengizinkan’ Mama, aku, dan Indra sampai di pintu saja. Rumah yang konon di dalamnya ada yang bernama Kakek, Nenek, Paman, dan saudara, tapi tidak pernah bisa disapa. Inikah?

Akhirnya kami terdampar di rumah ini. Andai Mama masih hidup, dia pasti bahagia karena kami telah berada di tempat yang sejak dulu selalu ingin dikunjunginya.

  Tapi, benarkah kehadiran kami diperlukan di sini? Benar-benar diharapkan? Benar-benar diterima? Bukan sekadar atas nama kemanusiaan saja, atau sekadar gengsi?

Gengsi? Ya, seorang Raja Sawit menelantarkan cucu-cucunya? Tapi, siapa yang peduli sebenarnya?

Kalau benar diharapkan, kenapa Kakek tidak pernah mengajakku bicara? Kenapa Kakek selalu menghindariku setiap berpapasan di ruang tamu, di beranda, atau di meja makan? Kenapa sikap kedua pamanku sangat kaku?

Apakah kami akan merasa damai di sini, Ma?
BURHAN
Aku terbaring tidak berdaya selama seminggu ketika mendengar berita itu. Lestari wafat di Tanah Suci.

“Jangan pikirkan apa pun, Burhan,” Salim, dokter yang telah menjadi langganan keluargaku, juga sahabat karibku, menasihatiku. “Kondisimu memburuk. Sudahlah, semua sudah cukup. Serahkan kegiatan perusahaan pada anak-anakmu.”

Aku yakin, dia pikir aku sakit karena memikirkan perusahaan.

Aku kehilangan buah hatiku. Semangat hidupku. Selama ini harapan bersama lagi dengannyalah yang membuatku masih bersemangat. Namun, kini?

Aku tidak bisa menelan apa pun. Tidak sanggup. Aku ingin menangis, menjerit. Hari-hariku telah habis.

“Ada apa denganmu, Burhan?” Salim membisikkan pertanyaan itu suatu hari. "Kau kehilangan gairah hidupmu. Kau tidak ingin sembuh?"

“Suntik mati aku,” bisikku.

“Kau ingin mati?” tanya Salim. Dia tertawa keras. “Aku memang seperti melihat mayat hidup, Burhan.”

“Hidupku tidak berarti,” aku terisak kecil. “Lestari anakku….” Aku menangis tersedu-sedu. Salim memelukku.

“Tabahkan hatimu.” Dia menggenggam tanganku. “Anakmu sudah damai, Burhan. Jangan buat kesalahan lagi. Kau punya dua cucu dari Lestari.”

Salim paling mengerti perasaanku. Dia juga tahu hubunganku dengan anakku. Pernah dia menasihatiku agar tidak menyimpan kebencian pada Lestari. Aku marah, seolah dia membenarkan tindakan Lestari dan menyalahkan aku.

“Bukan membela dia, Burhan. Tapi, berpikirlah yang jernih. Kau masih menyimpan marah setelah sekian belas tahun Lestari menikah?”

“Bahkan, jika waktu bertambah jadi ratusan tahun, aku masih tetap tidak akan menerimanya, Salim,” sahutku, marah.

Sejak itu Salim tidak pernah menyinggung masalah itu lagi.

“Apa yang harus kulakukan?” tanyaku.

“Pelihara kedua cucumu, Burhan. Itu mungkin bisa membuatmu lebih tenang. Lestari tidak pernah membencimu. Dia menyayangimu. Dia akan lebih tenang karena kau mencintai anak-anaknya.”

Pikiran itu membantuku untuk sembuh. Pikiran tentang anak-anak Lestari. Ketika aku merasa sudah sembuh, aku meminta orang-orang kepercayaanku untuk mengunjungi cucuku.

Mereka telah sampai di rumah ini. Aku telah bertemu keduanya. Melihat mereka, aku tidak tahu bagaimana perasaanku. Aku ingin tersenyum, tapi bibirku beku. Aku ingin menyapa, tapi lidahku kelu.

Ya, Lestari. Andai saja Ayah bisa membalik hari, Nak.
Burhan hampir melangkahkah kakinya ketika tubuh ramping itu muncul di pintu. Gadis belia itu menghentikan langkahnya. Ragu-ragu. Burhan menelan ludah. Gadis itu menyingkir. Pelan-pelan Burhan melangkah.

Maharani masih berdiri di pintu. Matanya basah. Tapi, dia tidak ingin seorang pun tahu bahwa dia menangis. Hanya selangkah lagi. Seharusnya, dia sapa laki-laki itu. Seharusnya….

Burhan membalikkan badan dan hampir tak kuasa menahan berat tubuhnya ketika melihat mata Maharani. Itu Lestari. Menangis untuknya dan….

Maharani sudah melangkah pergi. Membawa gundah dan sedihnya.

Mama dulu berkata bahwa Kakek menyayangi kami. Kakek mencintai kami. Dengan cara Kakek. Aku tidak pernah mengerti, bagaimana cara Kakek mencintai Mama, Papa, atau aku dan Indra. Aku tidak pernah melihat senyum Kakek buat kami, lebih-lebih buatku. Tiap kali Kakek dan aku berpapasan, Kakek tidak pernah memandangku. Apa salahku dan kenapa Kakek begitu membenciku? Andai Mama masih ada, aku mungkin akan bertanya padanya, “Ma, bagaimana cara Kakek mencintai kita, Ma?”

Indra menatapnya tidak senang ketika Rani mengajaknya pergi.

“Kakek menerima kita di rumah ini karena terpaksa.”

“Kata Bu Zainab, Kakek yang meminta kita tinggal di sini.”

“Ya, tentu saja. Kakek hanya takut dibilang tidak bermoral.”

Indra menggeleng. “Indra senang di sini. Daripada di rumah, kita terus ingat Mama. Tapi, Indra mau ikut Kak Rani ke mana saja. Indra harus bersama dengan Kak Rani.”

Maharani tersenyum, menarik Indra ke pelukannya.

“Tapi, apakah Kakek memang membenci kita?”

Maharani menggeleng. “Apakah Kakek menyukai kita?”

“Sepertinya, tidak,” Indra menggeleng. “Tapi, tidak juga membenci kita.”

“Ia tidak punya hati. Kalau Kakek punya hati, tentu dia mau menerima Papa. Tidak membuang Mama begitu lama.” Maharani mencibir. “Kamu siap keluar dari rumah ini?”

Indra mengangguk.
BURHAN
“….ke mana pun kami melangkah, di mana pun kami merasa terbuang, ingatlah rumah. Pulanglah, selalu ada tempat buat anak-anak untuk kembali ke rumah orang tuanya. Sejauh apa pun dia pergi atau tersesat.”

Aku seperti mendengar suara parau gadis itu lagi. Ya, Tuhan. Aku harusnya belajar banyak dari gadis itu. Lihatlah, dia mengajariku suatu hal. Suatu pelajaran baru yang seharusnya sudah kupelajari sejak dulu. Sesuatu yang harus kumengerti sejak aku mengusir anakku dari rumah ini, tempat hati dan cinta seharusnya berada.

Aku memejamkan mata. Tapi, pikiranku melayang jauh. Terbang. Betapa inginnya aku terbang jauh, meninggalkan kehidupanku yang penat ini. Menghilangkan resah. Menghilangkan gundah-gulana, duka derita.

Aku terbayang pada Lestariku yang manis. Yang bersahaja dan memancarkan kasih.

Aku bangkit. Berjalan melintasi ruang keluarga yang lengang. Aku berjalan sedikit tergesa. Berdiri di depan kamar itu, aku ragu. Kuketuk pintu. Pintu terbuka dan raut wajah muda yang sanggup membuang kegundahanku muncul di sana.

Kutangkap kerlip terkejut di matanya.

“Boleh Kakek masuk, Maharani?” tanyaku, sedikit kaku. Sekali lagi aku menangkap kerlip kaget di matanya.

Kulihat dia sudah mengepak semua barangnya. Dia dan Indra memang telah ‘minta izin’ padaku untuk meninggalkan rumah ini. Tapi, aku harus menyampaikan sesuatu, sebelum menyesal seumur hidupku. Sebelum terlambat.

“Kalian tidak suka rumah ini?” aku menatapnya. “Apa yang kurang di rumah ini?”

Dia diam sejenak. Menggigit-gigit kukunya. Astaga, aku jadi ingat kebiasaan Lestariku.

“Rumah ini hebat,” dia menyahut dan melihatku sekilas. Tampaknya Maharani ingin menghindari kontak mata denganku. Entah kenapa. “Rumah ini lengkap. Benar kata Mama, rumah ini bak istana. Ada kolam renangnya, kamarnya besar-besar. Tapi… di rumah ini tidak ada cinta!”

Aku terenyak mendengar suaranya. Tanganku gemetar.

“Tidak seorang pun menerima kami di sini.”

“Tidak benar!” aku nyaris berteriak. Separuh oleh rasa sedih yang menyesak di dada, separuh karena marah pada diri sendiri. “Aku menerimamu, Nak, aku….”

Aku terisak-isak. Belum pernah aku menangis sehebat ini. Tapi, di depan gadis muda ini, anak dari anak perempuanku yang telah kubuang, aku tak kuasa menahan air mata.

Di luar dugaan, Maharani menghambur ke pelukanku.

“Aku mencintaimu, Nak. Aku mencintai mamamu. Aku mencintai papamu dan adikmu. Aku bersalah.” Bahuku naik-turun menahan tangis.

“Tinggallah di sini, Mamamu sangat menyukai rumah ini.”
Lelaki itu duduk termangu. Tapi, tidak seperti hari-hari lalu, kali ini tidak lagi ada gundah-gulana di hatinya. Wajahnya masih penuh keriput, tapi kali ini penuh dengan senyum.

Ia masih Burhan, si Raja Sawit. Ia masih punya kebun sawit yang luas, pabrik yang terus berproduksi. Tapi, kemarin, sejarah mencatatnya sebagai ‘raja’ baru. Ia memutuskan untuk memberikan keuntungan perusahaan bagi kepentingan sosial. Ia meminta kuasa hukumnya untuk mengurus akta pendirian sebuah yayasan. Yayasan itu bergerak di bidang pendidikan dan kesejahteraan. Ia akan membangun sekolah-sekolah bermutu di desa-desa terpencil, di semua unit perkebunannya. Ia akan mendatangkan guru-guru terbaik untuk mengajar. Ia ingin semua anak-anak karyawannya maju. Ia juga ingin anak-anak tak mampu maju, setara dengan anak-anak yang orang tuanya mampu.

Yayasan itu bernama Lestari. Target pertamanya adalah mendirikan sekolah di kampung kelahiran Sofyan, suami Lestari, ayah dari Maharani dan Indra, cucu yang sangat dikasihinya.

Istrinya, Sri, tidak banyak bicara soal keputusan ini. Tapi, Burhan tahu Sri mendukungnya. Salim mendukungnya. Anwar dan Rahmad, dua anak laki-lakinya, tidak keberatan. Setidaknya, tidak menampakkan keberatan mereka.

“Pendidikan itu investasi,” katanya, ketika diwawancara sebuah majalah bisnis.

Ia tersenyum puas.

Senyum yang lebar.

Di sudut lain, dia melihat Maharani dan Indra juga tersenyum.

Ia merasakan semangat hidupnya yang kian menyala.

Tari, Anandaku, semoga kau bangga melihat ayahmu.
Epilog
Mama dulu berkata bahwa Kakek menyayangi kami. Kakek mencintai kami. Dengan cara Kakek. Mulanya, aku tidak pernah mengerti, bagaimana cara Kakek mencintai Mama, Papa, atau aku dan Indra, adikku. Tapi, kini aku tahu bagaimana cara Kakek mencintai kami, bahkan mencintai manusia.

No comments: