12.22.2010

Lama Fa

Sepertinya, ada yang lain pada hari ini. Tapi, Linda Bataona tidak bisa menjelaskan apa itu. Semuanya tampaknya normal, seperti biasanya. Ia bangun menjelang fajar. Menyiapkan rutinitas pagi. Kemudian pergi ke toko kelontong, tempatnya bekerja. Semuanya seperti ulangan hari kemarin. Tidak ada yang lebih ataupun kurang.

Tapi, Linda tetap merasa tak enak. Setiap kali jarum panjang jam bergerak, perasaannya makin tak enak. Matanya seakan tak pernah berhenti memunculkan wajah-wajah keluarganya, walau ia berusaha memejamkan matanya sekalipun. Imajinya terus dipenuhi penggalan-penggalan kejadian yang pernah dialaminya sebelum ia ke Flores. Dan, ketika ia menghirup udara, hidungnya seakan mencium bau tanah Lamalera, tanah kelahirannya.

Tak heran seharian Linda jadi lebih banyak diam. Anie Udju, teman kerjanya, sudah menanyakan keadaannya untuk ketiga kalinya. Tapi, selalu saja Linda menjawabnya dengan tersenyum, sambil berujar, “Beta (saya) tak apa-apa, Anie.” Tentunya, dengan penekanan pada kata tak apa-apa.

“Tapi, kau terlihat aneh hari ini, Linda,” Anie terus mengejar.

Linda lalu berusaha bersikap seperti biasa. Melayani pelanggan dengan lebih ramah. Namun, hal itu malah dirasa Anie makin aneh. Tapi, kali ini Anie tak berkomentar apa-apa.

Tiba-tiba Mariana Mambait datang ke toko itu dengan tergopoh-gopoh, “Linda!” ujarnya di antara deru napasnya,” ada telepon dari Lamalera. Kelihatannya penting sekali!”

Linda tersentak. Sesaat ia tak bereaksi apa-apa. Apakah ini firasat tidak enak itu? Karena, begitu jarang keluarga di Lamalera meneleponnya. Untuk mencapai wartel terdekat dari rumah, perlu waktu hampir 2 jam. Setengah jam harus dilalui dengan berjalan kaki dan satu setengah jam sisanya dengan menggunakan bemo. Jadi, bila sampai ada keluarga yang menelepon, itu pasti sangatlah penting.

“Siapa yang menelepon, Mariana?”

Mariana mengangkat bahu, “Beta tidak sempat bertanya. Yang pasti, ia laki-laki dan sebentar lagi ia akan menelepon lagi!”

Linda terdiam. Mungkin, Papa Ora, pikirnya. Memang, sudah lama Papa tidak menelepon.

“Sebaiknya, kau segera pulang, Linda.”

Linda lalu meminta izin untuk pulang sebentar. Ia segera berlari ke tempat kosnya. Letak rumah kos dan toko kelontong itu tidak jauh. Hanya sekitar 200 meter.

Sambil berlari, pikiran Linda mulai menduga-duga tentang apa yang terjadi di Lamalera. Pasti ini sesuatu yang sangat penting. “Ah, coba beta punya telepon genggam, seperti teman-teman beta lainnya. Tentu semuanya akan menjadi lebih mudah.

Ketika Linda memasuki rumah, telepon sudah berdering panjang. Segera Linda menyambarnya.

“Linda?” suara laki-laki di seberang terdengar jelas. Bukan suara Papa Ora.

“Paman Baffa?” Linda menyebut nama adik dari Mamae Tipa, “ada apa, Paman?”

“Pulanglah segera!” suara pamannya terdengar tegas.

“Pulang? Ada apa?”

“Mamae Tipa menyuruhmu segera pulang!”

Linda tertegun mendengar nada tegas di suara pamannya. Namun, akhirnya ia mengalah. “Ya, beta akan pulang! Tapi, ada apa sebenarnya, Paman?”

Paman Baffa tak langsung menjawab. Ia menghela napas terlebih dahulu, bahkan sampai dua kali. “Linda, Papa Ora meninggal.”

Linda Bataona pulang hari itu juga. Sepertinya, sudah begitu lama ia tak pulang. Terakhir kali ia pulang sekitar 10 bulan yang lalu. Saat itu Natal. Jadi, memang ia harus pulang.

Sebenarnya, Linda ingin sering-sering pulang ke Lamalera. Tapi, jarak Lamalera dari Flores cukup jauh. Lamalera ada di Pulau Lembata. Dari Flores, tempatnya bekerja, perlu waktu 5 jam ke Larantuka dengan perjalanan darat, sebelum kemudian melanjutkan lewat perjalanan laut ke Pulau Lembata sekitar 2 jam. Lalu, dari Lowoleba, ibu kota Kabupaten Lamalera, akan perlu 5 jam lagi ke Lamalera dengan perjalanan darat, plus 1 jam lagi untuk benar-benar sampai ke rumahnya!

Waktu ini bukan waktu yang pendek. Ditambah lagi, perjalanan tidaklah lancar. Ada rute-rute tertentu yang membuatnya harus menunggu. Misalnya, di Pelabuhan Larantuka, kapal biasanya hanya ada pada hari Senin dan Kamis. Bila ada pun, biasanya terlambat hingga 2-3 jam.

Sungguh perjalanan yang melelahkan.

Tapi, akhirnya Linda sampai juga di Lamalera. Tubuhnya begitu lelah, walau semalam ia sempat menginap di Larantuka, di rumah saudara jauhnya.

Lamalera masih seperti terakhir kali ditinggalkannya. Nyaris tak ada perubahan. Ia masih tetap sebuah desa kecil di tepi pantai. Pantai Lamalera merupakan bagian dari Laut Sabu, terkenal dengan ombak yang besar. Bukan pantai yang cocok untuk bermain-main. Namun, penduduk asli, terutama anak-anak kecil, bisa menemukan beberapa tempat yang bisa digunakan untuk berenang dan menyelam dengan nyaman.

Tiba di Lamalera, Linda sudah merasa aman. Mungkin, karena ini merupakan tempatnya lahir, hingga ia tahu setiap detail tempat dan karakter masyarakatnya. Namun, lebih dari itu, mungkin juga karena nama keluarganya!

Di Flores atau di Larantuka nama Bataona mungkin akan dengan mudah dilafal sebagai panggilan pada umumnya. Tapi, tidak di Lamalera. Di sini nama ini bukan nama biasa! Bataona adalah fam dari keluarga lama fa, keluarga penikam koteklama atau keraru (ikan paus).

Papa Ora adalah lama fa utama di Lamalera. Dari 1.700 penduduk Lamalera, hanya ada tak lebih dari 30 orang lama fa. Dan, sejak puluhan tahun, keluarga Bataonalah yang selalu membawa paus-paus itu ke tanah Lamalera dan membagi-bagikannya kepada seluruh penduduk.

Suasana perkabungan di Lamalera lebih sederhana bila dibandingkan dengan perkabungan di Flores. Biasanya, setelah memanggil pastor untuk memimpin doa bersama, tubuh orang yang meninggal sudah dapat dimakamkan.

Linda merupakan orang terakhir yang ditunggu. Ketika ia memasuki rumah, ia hanya sempat melihat sejenak wajah Papa Ora yang telah membiru dan sedikit menggelembung. Ia sempat menyentuh pipi Papa Ora. Namun, itu tak lama, karena tubuhnya langsung limbung. Linda kemudian hanya bisa menangis di pelukan Mamae Tipa.
Setelah itu, prosesi perkabungan dimulai. Hanya 2 jam berselang, jenazah Papa Ora dimakamkan.

Malamnya, saat semua tamu telah pulang, Mamae Tipa menghampiri Linda. Sejak tadi keduanya hanya sempat berbicara sebentar.

“Bagaimana kabarmu, Linda?” Mamae Tipa memeluk anak tunggalnya itu.

“Beta baik-baik, Mamae!” Air mata Linda yang sudah kering, tiba-tiba kembali menggenang di pelupuk matanya.
Sesaat keduanya terdiam, hingga akhirnya Linda melepaskan pelukan itu. ”Bagaimana Papa Ora bisa meninggal, Mamae? Tadi beta hanya mendengar cerita dari Paman Baffa.”

“Koteklama menghantamnya.”

Linda terdiam. Dulu, seingatnya, kejadian seperti ini pernah juga menimpa salah satu lama fa, teman Papa Ora. Papa Ora juga pernah mengalami kejadian seperti ini. Tapi, dulu, koteklama itu hanya mengempas dan mematahkan pledang (kapal pemburu) Papa Ora.

“Koteklama kali ini besar sekali, Linda! Tiba-tiba di samping Linda muncul Paman Fotu Atakei, sahabat Papa Ora. Ia biasanya menjadi lama uri, orang yang mengendalikan pledang.

“Paman?” Linda tersenyum, “dari tadi, sepertinya beta belum melihat Paman.”

“Kau terlalu sedih untuk melihat wajah tua ini, Linda!” Paman Fotu memeluk Linda. Ia sudah sangat mengenal keluarga Bataona, terutama Linda, yang sejak kecil sudah sering digendongnya.

“Linda,” ia mencubit pipi Linda, seakan-akan Linda gadis 10 tahun. “Kini, kau tampak sudah dewasa!”

“Paman, sejak terakhir kali Paman lihat beta, saat kita memburu koteklama sebelum beta pergi, beta sudah sebesar ini. Beta tak bisa bertambah tinggi lagi!”

Paman Fotu tertawa. Tawanya khas, sepertinya begitu lepas. Sejak dulu Linda senang mendengarnya. Ia bahkan pernah meminta diajari cara tertawa seperti itu.

Paman Fotu mengajak Linda ke tepi jendela.

“Linda,” ujarnya pelan, seperti tak ingin ada yang mendengar.

“Ada apa, Paman?”

“Mungkin, beberapa hari lagi, tetua adat akan datang ke sini.”

Linda mengerutkan kening, tak mengerti.

“Mereka akan mengangkatmu menjadi lama fa!”

Linda terkejut. Sebenarnya, ia tahu tradisi ini. Seorang lama fa yang meninggal akan digantikan oleh anaknya. Turun-temurun, tradisi ini sudah ada di Lamalera. Tapi, bagaimana mungkin tradisi ini menimpa dirinya? Ia seorang wanita. Dan, selama ini tak pernah ada seorang wanita yang menjadi lama fa?

Linda terdiam sesaat. “Tapi, Paman, beta.…”

“Tak perlu kau pikirkan sekarang. Paman hanya sekadar memberi tahumu, agar bila mereka datang, kau tidak kaget.”

Linda menerawang. Mendadak ia teringat Papa Ora. Apakah Papa Ora menginginkannya menjadi lama fa? Pertanyaan yang sejak dulu sering ada dalam pikirannya, kembali muncul. Tapi, Linda hanya bisa menggantung pertanyaannya itu. Ia benar-benar tak tahu jawabannya.

Papa Ora tak pernah mengucapkan kalimat itu. Tapi, mengapa Papa Ora selalu mengajaknya ke laut? Ia yang pertama kali melemparnya ke laut dari tebing itu. Membiarkan dirinya berteriak-teriak panik. Tapi, itulah cara Papa Ora mengajarkannya berenang untuk pertama kalinya. Ia juga yang kerap menyuruh Linda menyelam, mencari bintang laut yang ada di dasar laut. Atau, meminta bantuan mengasahkan pisau tempuling (senjata berburu koteklama, terbuat dari galah bambu), mengikat tali di tempuling, dan mengajari cara menggunakan tempuling itu saat menikam koteklama.

Sebelum kepergiannya ke Flores, sebulan penuh Papa Ora mengajaknya berburu koteklama. Awalnya, ia hanya menjadi matros (pendayung). Lama-kelamaan ia menjadi breung alep (pembantu lama fa), yang biasanya mengurus tali tempuling agar tidak kusut.

Semuanya seperti begitu jelas bagi Linda. Namun, ia buru-buru menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh, ia masih ragu. Mungkin, itu hanya cara Papa Ora menunjukkan pekerjaannya pada anak tunggalnya ini, sama sekali bukan ingin mengajarinya. Karena, bukankah Papa Ora juga yang menyuruhnya untuk pergi ke Flores dan bekerja di sana?

Ketika Linda hendak merebahkan diri di pembaringan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara pintu yang berdebam. Seperti ada sesuatu yang dilemparkan ke dalam rumah.

Linda menyibak jendela. Cahaya lampu yang masih menyala menjadi penerangan di kamarnya. Dari balik jendela dilihatnya bayangan seseorang berlari di halaman.

Cepat-cepat Linda berlari ke luar kamarnya. Mamae Tipa juga muncul dari kamar.

“Ada apa, Linda?” tanyanya.

“Tak tahu, Mamae!” Linda membuka pintu depan. “Tadi, sepertinya, ada orang yang melempar sesuatu ke pintu!”
Mereka membuka pintu. Cahaya bulan menerangi teras rumah yang gelap. Di situ, di depan pintu, terlihat sebuah gulungan kertas, yang diikatkan pada batu.

Linda memungut gulungan kertas itu, dan membukanya. Di keremangan cahaya, Linda masih dapat membaca 3 kata yang tertulis jelas di kertas itu.

“Ora Bataona dibunuh!”

Marten Kia Keraf adalah sahabat Linda sejak kecil. Ia seumur dengan Linda. Rumah keduanya tak begitu jauh. Jadi, keduanya sering bermain bersama. Bahkan, dulu, keduanya pernah satu sekolah di SMP Santo Yoseph.
Perawakan Marten terbilang kecil, bila dibandingkan dengan anak-anak seumurnya. Tingginya tidak terpaut jauh dari Linda. Rambutnya ikal dan kulitnya gelap. Namun, ia pelari yang tangguh. Umumnya, anak-anak Lamalera, selain menjadi perenang yang andal, adalah pelari-pelari yang tangguh. Mungkin, karena terbiasa berlari di bukit-bukit berpasir, mereka tak mengalami kesulitan bila harus berlari di jalan biasa.

Sudah blama Linda tak bertemu dengannya. Maka, pada hari keduanya di Lamalera, ia segera pergi ke rumah Marten.

Marten ditemui oleh Linda di rumahnya. Ia tengah menjahit jaring ikan yang sobek.

“Linda?” Ia langsung menyambut Linda dengan gembira.

“Halo, Marten!”

Marten menjabat tangan Linda dengan erat. “Beta turut berdukacita atas perginya Papa Ora!”

Linda hanya mengangguk.

Pagi itu tepi Pantai Lamalera begitu berangin. Dari jauh terlihat beberapa orang pengumpul kerang di tepi pantai, berjalan berjejer. Di sudut lainnya terlihat anak-anak berlari ke sana kemari, di antara tumpukan tulang-tulang raksasa koteklama.

“Kau sibuk, Marten?” tanya Linda.

“Ya, seperti inilah kegiatanku setiap hari,” kata Marten, tertawa, “sudah sebulan ini tak ada orang yang memesan pledang.”

Keluarga Kia Keraf sudah secara turun-temurun terkenal sebagai keluarga amatolo atau keluarga pembuat pledang atau kapal pemburu koteklama. Dan, sudah setahun terakhir ini Marten menggantikan ayahnya mengurus pembuatan pledang. Di Lamalera, kedudukan keluarga amatolo sangat terhormat. Karena, tak lebih dari 5 orang amatolo yang tersisa di Lamalera. Bila tidak sedang membuat pledang, biasanya Marten menangkap ikan-ikan kecil untuk dijualnya di Pasar Wulandoni.

“Bagaimana tangkapanmu hari ini?” Linda bertanya.

“Lumayan, tadi pagi beta baru menyetorkan satu keranjang.”

“Ah, sayang, beta tak ke sini pagi ini. Mungkin, ada lempulang!” Linda menyebutkan jenis ikan kecil yang ekornya berwarna-warni, yang kerap ada di antara ikan-ikan kembung dan tongkol tangkapan nelayan. Dulu, ia sering mengambil ikan itu untuk ditaruh di dalam stoples.

“Sekarang, entah mengapa, jarang sekali ada lempulang, Linda.” Marten menerawang.

“Mengapa?”

Marten hanya mengangkat bahu.

“Sebenarnya, semalam beta berniat ke sini pagi-pagi, Marten. Tapi, tadi beta bangun siang sekali.”

“Kau pasti lelah. Perjalanan dari Flores sangat jauh.”

Linda mengangguk-angguk. “Berarti, sekarang ini kau tidak terlalu sibuk kan, Marten?”

“Tidak juga.”

“Kau mau menemaniku ke tebing?” tanya Linda.

Tebing yang dimaksud adalah sebuah tebing kecil yang bisa memperlihatkan seluruh Pantai Lamalera dengan jelas. Sejak dulu Linda dan Marten, serta anak-anak Lamalera lainnya, sering menghabiskan waktu di situ. Linda bahkan kerap meloncat dari tebing itu ke laut. Jaraknya memang tidak terlalu tinggi. Mungkin, hanya sekitar 5 meter. Kalau Linda terjun, Marten akan segera ikut terjun. Sebenarnya, Marten tidak terlalu menyukai kegiatan itu. Ia memang bukan dari keluarga pemburu koteklama. Tapi, ia perenang yang cukup andal. Ia bisa berenang dari ujung tebing ke tempat pledang-pledang-nya biasa diikat. Itu lumayan jauh. Mungkin, bisa mencapai ratusan meter. Sayangnya, Marten tak begitu pandai menyelam.

Keduanya pergi ke tebing itu. Keadaan tebing masih tak berubah. Seperti saat terakhir kali ditinggal Linda.

“Masih indah, ya?” Linda merentangkan kedua tangannya. “Anginnya juga masih selembut dulu.” Linda memejamkan matanya menikmati angin menerpanya.

Marten berada di sebelahnya. “Sebenarnya, sejak kau tak ada di sini, beta jadi jarang ke sini, Linda.”

“Kenapa?”

“Entahlah, sepertinya tidak enak saja ke sini tanpa kau.…”

Linda tersenyum. “Kau bisa ke sini dengan anak-anak lain, ’kan?”

Marten tertawa. “Linda, Linda, sekarang yang kerap ke sini itu anak-anak. Orang seumuran kita tak ada yang ke sini lagi.”

Linda duduk di sebuah batu besar. “Marten, sebenarnya, beta mengajakmu ke sini karena ada yang ingin beta ceritakan. Semalam ada yang menulis surat pada kami. Surat itu berisi tulisan bahwa Papa Ora meninggal karena dibunuh.”

“Apa?” Marten mengangkat alisnya. “Tapi, bagaimana mungkin ada yang mengirim surat seperti itu?”

“Ia melemparkannya ke pintu, dengan diikat batu.”

“Siapa?”

“Mana kami tahu?” Linda hanya mengangkat bahu. ”Surat itu hanya berisi kalimat: Ora Bataona dibunuh! Itu saja.”

“Tapi, bukankah sudah jelas bahwa ada seekor koteklama besar yang menghantam Papa Ora?”
Linda tak menyahut. Pertanyaan Marten ini sama seperti pertanyaan yang muncul di benaknya. Ya, siapa yang berkepentingan membunuh Papa Ora?

“Dan, ada satu lagi, Marten,” lanjut Linda, setelah beberapa saat diam. “Mungkin, tetua adat ingin meminta beta menjadi lama fa?”

“Apa?” Marten terlihat sangat kaget. ”Tapi.…”

“Ah, sudahlah.” Linda tiba-tiba bangkit, “Semua itu juga menjadi pertanyaan buat beta. Beta jadi malas bicara soal ini lagi!”

“Tapi, Linda, bagaimana….”

Linda tak menanggapinya. Ia sudah berjalan ke tepi tebing.

“Beta rindu meluncur ke sana, Marten!” Ia melihat ke arah bawah. Ombak di bawah memang tidak terlalu kuat. Karena, tak jauh dari tebing ada karang panjang yang menjadi pembatas. Di situlah ombak besar pertama kalinya terempas.

“Sudahlah, Linda,” Marten berusaha mencegah, “kau sudah bukan anak-anak lagi.”

Linda menoleh sebentar, tersenyum. Lalu, dengan gerakan cepat, ia meluncur ke bawah….

Ketika Linda dan Marten kembali ke pantai, seseorang menghadang langkah keduanya.

“Kau bernama Bataona? Anak Ora Bataona?” Pria berbadan besar itu menunjuk muka Linda.

Linda hanya mengangguk. Pria berwajah kasar ini bernama Stevanus Tanakofa. Ia juga seperti Papa Ora, sama-sama seorang lama fa. Dulu, jika Papa Ora sedang berjalan-jalan bersama Linda dan kemudian bertemu Stevanus, Papa Ora selalu menyebut nama Stevanus, secara tidak langsung memperkenalkannya pada Linda.

“Ada apa, Paman Stevanus?” tanya Linda.

Stevanus tertawa. “Kau sudah kenal beta rupanya?”

“Dulu, Papa Ora pernah menyebut nama Paman.”

“Baguslah!” Paman Stevanus mendekati Linda. Sedikit ia mengitari, sambil mengamati tubuh Linda.

“Ada apa, Paman?” Linda sedikit merasa risi.

“Jadi, kau yang akan menggantikan papamu?”

Suara Stevanus terdengar begitu meremehkan. Sebelum Linda sempat menjawab pertanyaan itu, ia sudah kembali tertawa dan berlalu dari situ.

Sewaktu Linda tiba di rumah, Mamae Tipa langsung menariknya.

“Kau harus segera pergi dari sini, Linda!” ujarnya.

“Kenapa, Mamae?” Linda tak mengerti arah pembicaraan ini.

Mamae Tipa tak menjawab. Ia membuka lemari dan mengeluarkan sebuah ransel besar. “Pokoknya, kau harus kembali ke Flores!”

“Tapi, kenapa, Mamae?”

“Sudahlah! Tak perlu banyak tanya! Kemasi saja barang-barangmu!” Mamae mulai beranjak.

“Mamae…,” suara Linda menahan langkah Mamae Tipa di ambang pintu, “apakah Mamae tak ingin beta menjadi lama fa?”

Langkah Mamae Tipa terhenti. Selama beberapa detik ia terdiam.
“Ya,” jawabnya, akhirnya. “Kalau kau akan jadi lama fa, buat apa Mamae menyekolahkan kau sampai ke Larantuka? Mamae ingin kau bekerja di kota.”

Linda tertegun. “Apakah kepergian beta ke Flores dulu juga atas kemauan Mamae?”

Mamae Tipa kembali terdiam.

“Berarti, itu bukan keinginan Papa Ora? Iya, kan, Mamae?”

Mamae Tipa mendengus. “Ya, semua memang keinginan Mamae! Mamae tak ingin kau menjadi lama fa! Itu bukan dunia perempuan! Itu terlalu keras untukmu, Linda!”

“Tidak, Mamae!” Suara Linda terdengar tegas. Ia mendadak teringat Papa Ora, teringat caranya yang begitu halus saat mengajarinya berbagai hal tentang dunia lama fa.

“Semalaman beta sudah berpikir tentang ini! Beta tahu, sejak dulu, Mamae memang tidak ingin beta jadi lama fa. Dan, Papa Ora pun selalu bimbang karena beta perempuan. Tapi, tetap saja, Mamae, sedikit demi sedikit Papa Ora selalu mengajari beta! Karena, hanya beta anak Papa satu-satunya. Dan, hanya beta penerus nama Bataona.”
Mamae Tipa tertegun.

“Mamae,” Linda menatap tajam, “beta akan menjadi lama fa!”

Seperti sudah diduga,dua malam berikutnya, tiga orang tetua adat Lamalera datang ke rumah Bataona. Paman Fotu Atakei, Ignatius Sarra, dan Dominggus Dethan. Beberapa rekan satu pledang Papa Ora juga datang. Setelah melakukan pembicaraan formal dengan Mamae Tipa, tetua adat meminta Linda agar meneruskan pekerjaan Papa Ora menjadi lama fa.

“Apa kau sanggup, Linda Bataona?” seseorang yang paling dituakan, menanyakan itu.

Linda menarik napas panjang. “Beta sanggup.”

Paman Fotu, Ignatius, Dominggus, dan yang lainnya segera memeluk Linda. “Paman yakin, kau akan sanggup, Linda.”

Malamnya, ketika Paman Fotu akan pulang, Linda menahannya. “Paman, ada yang ingin beta ceritakan.”
Sambil mengerutkan kening, Paman Fotu mengikuti langkah Linda ke samping rumah.

“Ada apa, Linda?” tanyanya, tak mengerti.

Linda segera menunjukkan surat yang didapatnya semalam. Masih tak mengerti maksud Linda, Paman Fotu membacanya. Seketika ada kekagetan pada raut mukanya.

“Semalam surat ini dilempar seseorang di depan pintu rumah.”

Paman Fotu tak berkomentar, ia membacanya hingga beberapa kali.

“Bagaimana menurut Paman?”

Paman Fotu berpikir sejenak, “Surat ini mungkin hanya surat dugaan tak beralasan saja, Linda. Kita semua tahu bagaimana Papa Ora meninggal.”

Linda terdiam sejenak. “Tapi, kenapa ada kesan surat ini seperti ingin memberi tahu kami sesuatu, Paman?”

Paman Fotu kembali berpikir. “Tapi, tetap saja ada kemungkinan isi surat itu benar,” katanya, ragu.

Kini, giliran kening Linda yang berkerut, “Tapi, bagaimana mungkin, Paman?”

“Linda, pada bulan-bulan berburu, seorang lama fa memiliki banyak sekali pantangan.”

Linda kembali teringat pantangan-pantangan yang selalu dilakukan Papa Ora. Papa Ora selalu berpantang tak melaut pada hari Minggu, atau menjaga hati untuk tidak bertengkar.

“Seseorang yang sengaja menggagalkan pantangan itu, bisa jadi ingin membunuhnya,” lanjut Paman Fotu.
Linda tertegun, “Tapi, siapa yang ingin membunuh Papa Ora, Paman? Papa Ora tidak memiliki musuh di sini, ‘kan?”

Paman Fotu menghela napas panjang. “Paman tidak tahu pasti, Linda. Tapi, pasti ada yang tidak menyukai Papa Ora!”

“Siapa dia, Paman?”

Paman Fotu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tak baik Paman menyebutnya, Linda. Itu seperti menuduh tanpa bukti.”

“Baleo, baleo, baleo….”

Pagi ini teriakan itu sudah menggema. Hanya dari mulut satu orang nelayan yang berdiri di tepi pantai, teriakan itu berlanjut ke orang-orang di sekitarnya, hingga akhirnya hampir semua orang yang berdiri di tepi pantai ikut berteriak. Seketika semua orang menghentikan pekerjaan. Mata-mata mereka langsung mengarah pada Laut Sabu di depan mereka. Orang-orang dewasa berhamburan ke arah pledang dan anak-anak kecil berlarian ke tepian pantai.

Teriakan itu adalah teriakan ketika orang melihat koteklama tampak di pantai. Hari ini masih waktunya musim berburu koteklama. Awal bulan Mei hingga September memang merupakan saat-saat kawanan koteklama melewati perairan Lamalera. Musim ini biasanya ditandai dengan diadakannya syukuran pada awal bulan Mei. Biasanya, syukuran tersebut dipimpin tetua adat, ditandai oleh pemotongan puluhan babi untuk dimakan bersama-sama. Semua penduduk, tanpa terkecuali, akan menerima potongan daging babi tersebut.
Linda Bataona, yang tengah membersihkan rumah, juga mendengar teriakan itu. Sesaat ia tak bereaksi. Mamae Tipa masuk ke kamarnya, menatapnya dengan sinar mata yang sulit dilukiskan.

“Kau… akan pergi, Linda?”

Linda mengangguk. “Tentu, Mamae.”

Ia mencoba menegaskan suaranya. Dua hari ini ia sempat mencoba tempuling-nya. Tempuling adalah senjata yang digunakan untuk menikam koteklama, terbuat dari tombak, yang diberi mata besi, kemudian diikat dengan tali sepanjang 20 m. Sebelumnya, Linda sudah mengenal alat itu. Namun, sudah setahun lebih ia tak pernah lagi memegangnya. Karena itu, ia berlatih dengan menggunakan sampan, bukan pledang, milik Marten. Kini, sebenarnya, ia merasa belum mantap. Ia berharap beberapa hari lagi teriakan baleo baru akan terdengar.
Paman Fotu tiba-tiba muncul di pintu rumahnya. “Cepatlah, Bataona! Ini waktunya!”

Linda mencoba tersenyum. “Doakan Linda, Mamae!”

Ia lalu berlari menyusul, sambil mengikat rambutnya dengan kain.

Dari kejauhan terlihat semburan paus.

“Ayo, Linda!” Paman Ignatius dan beberapa rekan lainnya, yang sudah ada di tepi pantai, segera mendorong pledang ke laut. Linda dan Paman Fotu ikut membantu, sedangkan Dominggus menyiapkan alat-alat lainnya. Lewat ekor matanya, Linda melihat beberapa pledang lain juga sudah masuk ke laut.

Paman Fotu melompat ke arah pledang. Linda dan Dominggus mengikutinya.

“Kau siap, Bataona?” Paman Fotu memegang bahu Linda.

Linda mengangguk mantap. Ada rasa yang mengganjal di dadanya. Bukan keraguan yang dirasakannya. Darahnya tiba-tiba berdesir. Jantungnya seperti berlari makin cepat. Tapi, sungguh, itu juga bukan perasaan takut. Ia sendiri tak tahu apa yang sedang dirasakannya.

Ignatius, yang menjadi pembantu lama fa, menyerahkan tempuling-nya. Sambil menerima itu, Linda segera melompat ke depan pledang. Dominggus dan empat orang lainnya menaikkan layar, sambil terus mendayung pledang ke tengah laut.

“Di sana!” Paman Fotu menunjuk ke arah di timur laut. Di tempat itu baru saja terlihat semburan koteklama. Pledang makin mendekat ke arah itu. Percikan air dari udara, sisa semburan koteklama tadi, sempat dirasakan oleh orang-orang yang berburu.

Paman Fotu mulai memberikan tanda untuk menurunkan layar. Dayungan pledang seketika memelan.

“Tetaplah bersiap, Linda!” teriak Paman Fotu, menyadarkan Linda untuk kembali mengangkat tempuling-nya.

Tiba-tiba Linda melihat gelembung air muncul. Jantungnya makin cepat berdetak, darah begitu terasa berdesir. Seekor koteklama muncul 5 meter di depannya. Panjangnya kira-kira 9 meter. Linda menelan ludah. Ia ingat, Papa Ora pernah mengajarkan tentang titik geli koteklama, misalnya bagian perut, dada, dan bagian sekitar kemaluan. Tempuling harus diarahkan ke situ, agar koteklama segera mati. Bila tidak, koteklama akan mengamuk!

“Sekarang!” Fotu kembali berteriak. Linda segera melompat sambil menikamkan tempuling ke arah perut koteklama. Tapi, koteklama itu sudah kembali masuk ke dalam laut. Tempuling-nya tidak mengenai sasaran.

Linda berenang ke pledang. Ignatius menariknya ke dalam pledang.

“Beta gagal, Paman.”

“Sudahlah, ini baru awal, Linda!” Paman Fotu tersenyum.

Stevanus Tanakofa mendekati Linda, ketika ia menepikan pledang.

“Kau tak pantas menjadi lama fa!” Ia menatap Linda dengan sinis. “Kau sudah menghilangkan kesempatan yang bagus sekali!”

Linda tak menyahut.

“Sebaiknya, kau yang memasak daging koteklama itu untuk kami!”

Linda menggeretakkan gigi. Paman Fotu menyentuh tangannya, menenangkan. “Sudahlah, Stevanus! Ia baru memulainya! Ingatlah ketika kau juga baru memulai.”

Stevanus tersenyum sinis. “Bahkan anak-anak pun bisa menikam koteklama sedekat tadi!”

Linda terdiam. Ia merasa Stevanus begitu menyudutkannya. Sepertinya, ia begitu membencinya. Linda jadi ingat percakapannya semalam dengan Paman Fotu tentang seseorang yang mungkin membenci Papa Ora. Paman Fotu tidak menyebutkan satu nama pun. Tapi, Linda yakin nama inilah yang sebenarnya akan disebutkan Paman.
Stevanus Tanakofa.

Linda masuk ke dalam rumah diikuti oleh Mamae Tipa dan beberapa tetangga wanita  yang sedari tadi menunggunya.

“Kau tidak apa-apa, Linda?” Mamae Tipa mencoba menjejeri langkahnya.

Tapi, Linda tak memedulikannya. Ia langsung masuk kamar dan menutup pintu.

“Linda!” Mamae Tipa menggedor pintu. “Kalau kau gagal, tak jadi masalah buat Mamae. Itu memang pekerjaan yang tak pantas buatmu!”

Linda tak menghiraukan. Tanpa sengaja, dari jendela dilihatnya Marten tengah melangkah ke arah rumahnya. Linda keluar dari kamar. Mamae dan beberapa tetangga yang sudah mulai beranjak, kembali mendekati Linda. Tapi, Linda sudah keburu meninggalkan rumah.

“Linda, kau….”

Sebelum Marten menyelesaikan kalimatnya, Linda sudah menariknya. “Ayo, kita pergi dari sini, Marten.”
Keduanya lalu berlari kecil ke arah tebing.

“Ada apa, Linda?” Marten yang sedari tadi hanya mengikuti, tanpa bersuara, akhirnya bertanya juga. Linda tak menjawab pertanyaan itu. Ia malah berpaling dan menatap Laut Sabu di depannya.

“Beta gagal, Marten,” suaranya terdengar pelan.

Marten mendekat, sambil memegang pundaknya. “Sudahlah, ini kan baru permulaan bagimu.”

“Marten,” Linda berpaling dan menatap Marten tajam, “apa menurutmu, beta memang tak pantas menjadi lama fa?”
Marten terdiam.

“Mereka memilih beta hanya karena beta keturunan Bataona?”

Tanpa sadar air mata Linda menggenang. Marten menyentuh tangan Linda perlahan dan menariknya dalam pelukan. Sesaat Linda membiarkan dirinya hanyut dalam pelukan Marten.

“Linda,” suara Marten terdengar, seiring bunyi detak jantungnya, “apakah kau seorang lama fa atau bukan, kaulah yang harus membuktikannya!”

Lamalera di malam hari begitu hening. Listrik memang belum menjamah desa ini. Namun, desa sudah memiliki pembangkit listrik bersama yang dialirkan ke rumah-rumah penduduk. Setiap rumah hanya diberi jatah beberapa bola lampu. Tidak ada televisi. Radio pun hanya dimiliki kepala desa.

Dengan lampu 10 watt, Linda mencoba menulis surat pengunduran diri dari pekerjaannya di Flores. Rencana ini belum sempat diungkapkan pada Mamae Tipa. Entah mengapa, ia merasa tak akan kembali ke Flores lagi.

Di tengah-tengah kesibukannya itu, pintu rumah kembali berdebam. Suaranya persis seperti dulu, ketika surat yang terikat pada batu dilemparkan ke pintu. Linda segera berlari membuka pintu. Di depan, sama seperti malam itu, dilihatnya sebuah surat yang terikat batu.

Segera dibukanya surat itu. Carilah wanita bernama Ikke Mabengke di Wulandoni!

Esok paginya, Linda bangun lebih awal. Di dapur, dilihatnya Mamae Tipa sedang menumbuk jagung. Ia sedang membuat jagung titi. Sehari-hari Mamae Tipa memang membuat makanan khas Nusa Tenggara Timur ini untuk dijual di warung-warung di sekitar Lamalera.

“Mamae,” Linda mendekati.

“Tumben, kau bangun lebih pagi, Linda?” Mamae menoleh sekilas. “Semalam Mamae mendengar ada yang melempar pintu lagi?”

Linda mengangguk.

“Ada surat lagi?”

Linda kembali mengangguk. Disodorkannya surat yang kedua.

Mamae membacanya selintas. Ia tak bereaksi apa-apa.

“Mamae, apakah Mamae mengenal nama ini?”

Mamae Tipa menggeleng. Namun, gelengannya terasa ragu. Ini membuat Linda ingin kembali bertanya tentang wanita bernama Ikke Mabengke itu. Tapi, ia mengurungkan niatnya. Linda lalu bangkit dan melangkah pergi.

“Mamae,” ia berhenti di ambang pintu. Keingintahuannya yang besar membuat ia kembali berpaling. “Apakah selama ini Papa Ora pernah memiliki wanita lain selain Mamae?”

Mamae Tipa terdiam. Bukan rahasia jika beberapa lama fa di Lamalera, termasuk teman-teman Papa Ora, sering bermain wanita pada saat musim berburu lewat. Beberapa di antaranya bahkan memiliki wanita simpanan.
“Tidak!” Mamae Tipa menjawab tegas. “Papa Ora bukan orang seperti itu!”

Linda pergi ke rumah Paman Fotu. Namun, ia tidak menemukan Paman Fotu. Ia hanya bertemu dengan Magda, istri Paman Fotu. Linda pulang dengan kecewa. Di warung yang ia lewati, dilihatnya Paman Ignatius dan Paman Dominggus tengah meminum gula aren.

“Paman sedang bersantai di sini rupanya?” Linda mendekat.

“Linda, dari mana kau?” Paman Ignatius menggeser duduknya.

“Dari rumah Paman Fotu. Tapi, ia tak ada!”

“Duduklah di sini!”

Linda duduk di situ. “Paman, soal kemarin, maafkan beta karena….”

“Sudahlah, Linda. Bukan kau yang salah. Kau hanya tidak beruntung!” Paman Ignatius mencoba bersikap santai. “Untuk seorang lama fa wanita, yang baru pertama kali berburu, kau sudah sangat berani.”

“Betul, Linda, jangan kau dengarkan omongan Tanakofa itu. Dari dulu ia hanya iri pada reputasi Papa Ora!”

Linda hanya mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, ketiganya sudah bercerita macam-macam. Linda pun bercerita tentang surat yang diterimanya malam itu, juga dugaannya tentang pantangan yang dilanggar Papa Ora.

“Tapi, Papa Ora orang yang baik,” Dominggus berkomentar. “Paman yakin, ia tak akan punya musuh. Mungkin, ada orang yang iri padanya.”

“Tapi…,” suara Ignatius tiba-tiba terdengar ragu.

“Kenapa, Paman?”

“Ah, tidak… tidak….”

Linda menatap matanya. “Ada apa, Paman? Sepertinya, Paman ingin mengatakan sesuatu!”

“Ah, tidak!” Paman Ignatius masih mengelak. “Benar, tak ada apa-apa! Tapi, beberapa hari sebelum kematian Papa Ora, beberapa kali Paman melihat seorang wanita mendatangi Papa Ora.”

Mata Linda membulat. “Siapa dia, Paman? Ikke Mabengke?”

Paman Ignatius menggeleng. “Paman tak mengenalnya. Tapi, yang pasti, ia bukan orang Lamalera. Mungkin, dia dari desa sebelah.”

Linda terdiam. Kemungkinan besar wanita itu memang Ikke Mabengke. Lalu, untuk apa ia mendekati Papa Ora?

“Mungkin, itu penyebabnya,” Paman Dominggus tiba-tiba bergumam.

“Maksud Paman?” Linda mengerutkan keningnya, tak mengerti.

“Linda,” suara Paman Dominggus terdengar hati-hati, “seorang lama fa tak diizinkan berhubungan dengan lawan jenisnya selama musim berburu. Itu adalah pantangan pertama bagi seorang lama fa.”

Keesokan harinya, ditemani oleh Marten, Linda pergi ke Wulandoni. Wulandoni adalah nama sebuah pusat keramaian di Lamalera. Jaraknya hanya setengah jam dengan berjalan kaki. Semua transaksi jual-beli di Lamalera biasanya dilakukan di sini. Hampir semua barang kebutuhan penduduk Lamalera tersedia di sini. Mulai dari semen, daging, sayur-sayuran, hingga pakaian.

“Di mana kita bisa menemukan orang ini?” tanya Linda.

Marten tertawa. “Kita bisa bertanya, ‘kan?”

“Aku tahu. Karena itu, tadi aku bertanya padamu!” Linda ikut tertawa.

“Wah, kalau begitu, kau bertanya pada orang yang salah!”

Marten celingak-celinguk. “Sebaiknya, kita mulai bertanya pada wanita itu!”

Marten menghampiri seorang wanita muda yang tengah berjalan, “Permisi, Nona, di daerah ini apakah ada yang bernama Ikke Mabengke?”

Wanita itu menggeleng yakin. Kemudian, jawaban yang sama pun mereka dapatkan pada tujuh orang yang sempat mereka tanya. Marten dan Linda nyaris putus asa. Namun, pada orang kedelapan, seorang ibu penjual minuman, respons yang didapat jauh berbeda.

Ia tampak begitu terkejut. Matanya membulat dan suaranya terdengar sangat keras, “Mau apa kau cari wanita setan itu, heh?” Setelah berkata demikian, ia masuk ke dalam rumahnya, sambil membanting pintu.

Marten dan Linda terkejut mendapat perlakuan seperti itu. “Sepertinya, orang yang kita cari adalah orang yang bermasalah di sini, Linda!”

Linda mengangguk. “Tapi, setidaknya, sudah ada yang mengenalnya. Berarti, kita bisa mencari di sekitar sini saja!”
Seorang wanita melewati mereka. Marten segera menanyakan hal yang sama. Namun, reaksinya hampir sama dengan wanita kedelapan tadi.

“Sepertinya, ia benar-benar bermasalah, Linda!” Marten berkomentar.

Linda kembali mengangguk. “Dan, sepertinya, kita juga harus mengganti cara kita bertanya, Marten.”

Marten mengerutkan kening. Bersamaan dengan itu, seorang pria berumur kira-kira 30 tahun melintas.

“Maaf, Pak,” Linda mendekatinya, “kami sedang mencari seseorang karena ingin menyampaikan sebuah pesan penting. Tapi, mengapa orang-orang di sini seolah membenci dia?”

Pria itu mengerutkan kening. “Memangnya, siapa yang kau cari, Nona?”

“Namanya Ikke Mabengke.”

Sedikit ada sinar kaget di wajah pria itu.

“Ada apa dengan orang bernama Ikke Mabengke itu, Pak?”

Pria itu seketika terlihat tak tenang. “Dia wanita dari sana!”

Ia menunjuk ke sebuah tempat. Linda dan Marten berpaling ke arah yang ditunjuk. Itu hanya sebuah gang, yang sepertinya selalu dijaga oleh beberapa orang berbadan besar. Dari desas-desus di sekitar tempat itu, mereka menyebut tempat itu Dosana, atau sebuah tempat yang berdosa. Karena, tempat itu merupakan tempat judi terbesar di Wulandoni. Tempat judi yang selalu dipenuhi oleh wanita-wanita nakal.

Linda dan Marten kembali ke Lamalera dengan tangan hampa.

“Beta harus tetap ke sana, Marten.”

“Beta tahu, Linda! Tapi…,” Marten menghentikan kalimatnya sebentar, “sepertinya, sulit untuk masuk ke sana? Kau lihat sendiri kan, ketika kita mendekat saja, wajah orang-orang di mulut gang itu seperti menelanjangi kita.”

“Tapi, pasti ada cara untuk masuk ke sana, Marten!” Linda berkeras. “Kita bisa berpura-pura akan berjudi atau….”
“Tidak semudah itu, Linda!” Marten memotong. “Orang-orang yang datang ke situ adalah orang-orang yang sudah biasa. Ketika muka baru datang, seperti kita, kita akan diinterogasi habis-habisan.”

“Tapi…,” Linda kehabisan kata-kata.

Keduanya terdiam.

“Tapi, mungkin ada satu cara agar kita bisa ke sana, Linda,” kata Marten, dengan suara pelan.

Beta su lalaiii, beta su lalaiii….
Kamari du sini, lalaiii….

Sore harinya, sambil bernyanyi-nyanyi kecil, Linda berjalan ke tepi pantai. Di sana dilihatnya Paman Dominggus sedang membersihkan pledang. Biasanya, secara berkala pledang memang harus diperiksa. Bisa saja ada sesuatu yang perlu diganti atau diperbaiki.

“Paman, beta ingin meminjam pledang.”

Paman Dominggus tertawa. “Paman yakin, kau akan melakukan ini, Linda. Berlatih dengan sampan sangat berbeda dengan pledang. Bawalah pledang ini. Kebetulan, sudah Paman periksa. Biar Paman menemanimu.”

“Biar beta saja, Dominggus!” Tiba-tiba Paman Fotu sudah muncul di situ.

“Ah, Paman Fotu,” mata Linda berbinar, “beta tak melihat Paman datang. Beta hanya akan berlatih.”

“Bagus, dan kau akan membutuhkan lama uri di belakangmu kan, Linda?”

Linda tersenyum. Mereka berdua mendorong pledang, lalu Paman Fotu mulai mendayung pledang ke tengah laut.

“Paman, sebenarnya kemarin beta ke rumah Paman.”

“Magda sempat bilang begitu. Ada apa kau mencariku?”

“Beta….” Sebenarnya, Linda akan menceritakan tentang surat kedua itu. Tapi, tiba-tiba pledang dihantam ombak besar, membuat posisinya bergerak tak beraturan. Saat itulah Linda merasa, ini bukan waktu yang tepat untuk bercerita.

Pledang tiba-tiba berayun tak terkendali. Linda memegang tepinya dengan keras.

“Sepertinya, ombak begitu keras, Linda! Mungkinkah ada kawanan lumba-lumba yang datang?”

Linda membuang pandangannya, mengitari sekeliling. Selain koteklama, lumba-lumba juga kerap terlihat di perairan Sabu ini. Biasanya, mereka datang ratusan. Tak jarang beberapa penduduk juga berburu ikan ini.

“Sepertinya, hanya angin kencang, Paman.”

Beberapa saat Linda menunggu, tapi tak melihat apa-apa.

Paman mengangguk-angguk. “Sebaiknya, kau kembali ke niat awalmu, Linda. Inilah waktu yang tepat untuk berlatih.”

Linda mengangguk. Ia bangkit, sambil mengacungkan tempuling-nya.

“Oh, hampir lupa,” Paman Fotu menahan gerakan Linda, “apa yang tadi ingin kau bicarakan pada Paman, Linda?”

“Tidak ada, Paman!” Linda berniat menunda pembicaraan ini. Di ujung pledang itu, darahnya berdesir dan jantungnya berdetak makin kencang. Sensasi inilah yang selalu dirasakannya setiap berada di ujung pledang dengan tempuling di tangan.

Sesaat angin menerpa rambutnya yang ikal. Linda melihat seekor koteklama datang. Ia melompat dan melepaskan tempuling ke laut.

Dosana pada waktu malam lebih menakutkan dibandingkan saat siang hari. Saat kios-kios di sekitar Wulandoni sudah tutup, hanya Gang Dosana yang terlihat hidup. Sayup-sayup, dari luar gang masih terdengar suara musik disko yang ingar-bingar. Bila angin berembus, ada bau asing yang tercium, bercampur dengan bau asin pantai. Seperti bau alkohol….

“Kau takut, Linda?” Marten menyentuhnya.

Linda menggeleng. Kini keduanya sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari situ mereka melihat Dosana dengan jelas.

“Sepertinya, malam ini lebih dingin, ya, Marten?” Linda merapatkan kedua tangannya.

“Ah, sayang, beta tak membawa jaket.” Marten menepuk dahinya. “Bila bawa, beta akan meminjamkan padamu. Itu… seperti adegan-adegan di film.”

Marten tertawa. Linda hanya bisa ikut tertawa. “Kau ini, di saat-saat seperti ini, masih saja bisa bercanda.”

“Tapi, karena tak ada jaket, sebaiknya kupegang tanganmu agar….”

Linda mencubit lengan Marten. “Mencari kesempatan, ya?”

Marten tertawa. Pada saat yang sama, tak jauh dari situ, seseorang keluar dari mulut Gang Dosana.

“Ssst, ada yang keluar, Linda,” bisik Marten.

Seorang wanita terlihat berjalan sendirian. Linda dan Marten segera bergerak, mendekati wanita itu.

“Maaf, Nona.” Marten sudah ada di depan wanita yang berdandan sangat menor itu. Tampak raut kaget di wajah wanita itu.

“Mau apa kau?”

“Maaf, ada yang ingin beta tanyakan,” Marten mendekat, “adakah di dalam sana wanita bernama Ikke Mabengke?”
Wanita itu melengos. “Mana beta tahu?”

Marten mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Beberapa lembar uang hasil penjualan ikannya hari ini.

“Ini buatmu, Nona, kalau kau mau memanggilkannya kemari.”

“Sudah dibilang, beta tak mengenalnya!”

Marten menambahkan beberapa lembar lagi. “Coba Nona ingat-ingat lagi.”

Wanita itu melirik lembaran uang di tangan Marten. Lalu, dengan sekali gerak, ia menyambar uang itu.

“Tunggu di sini!” Lalu, ia kembali ke arah Dosana.

“Semoga cara ini bisa berhasil, Linda,” gumam Marten.

Sepuluh menit kemudian, keduanya menunggu. Tapi, tak ada tanda-tanda wanita menor tadi keluar lagi.

“Sepertinya, kita ditipu, Marten.” Linda terlihat putus asa.

Marten tak menyahut.

Tapi, tak berapa lama wanita itu akhirnya muncul, diiringi seorang wanita lain di belakangnya.

“Ini dia orang yang ingin menemuimu, Ikke.” Wanita itu memberi tanda pada Marten.

Wanita di belakang wanita menor itu, yang juga berdandan menor, maju selangkah.

“Kau Ikke Mabengke?” Marten bertanya.

Sebelum sempat menjawab, wanita itu melirik ke arah Linda, yang berdiri di belakang Marten. Ia tampak terkejut. Tanpa sadar ia melangkah mundur dan berbalik dengan cepat, lalu berlari.

“Ikke!” Marten dan wanita yang membawanya berteriak kaget.

Marten dan Linda secara refleks mengejarnya. Tapi, Ikke Mabengke sudah kembali ke arah Dosana. Ia masuk ke sana.

“Mau apa kalian ke sini?” seorang pria hitam berbadan besar menghalangi langkah Marten dan Linda.

Marten maju ke depan. “Kami mencari dia.”

“Kau mencari masalah?” Lelaki besar itu mendorong Marten.

Melihat gelagat tak baik, Linda segera menarik tangan Marten. “Sudahlah, Marten, sebaiknya kita pergi!”

Kawanan koteklama datang lagi hari ini! Kelompok dari pledang Stevanus Tanakofa berhasil mendapatkannya. Linda, yang baru saja akan beranjak mendekat, mendengar teriakan: “Ikra, ikra, ikra!” Teriakan itu merupakan tanda koteklama sudah tertikam tempuling.

Tak lama kemudian, beberapa pledang sudah membantu menarik koteklama sepanjang 10 meter ke tepi pantai. Penduduk segera menyambut mereka bak pahlawan perang.

Saat itu juga, koteklama segera dipotong. Setiap bagian tubuh koteklama dibagi-bagi kepada setiap pemburu yang berhasil mendapatkannya. Misalnya, lama fa dan lama uri akan mendapatkan bagian kepala sampai sebatas mata. Bagian perut atas dan pinggang untuk pembuat pledang atau amatolo. Bagian dada untuk para matros atau pendayung. Dan, sisanya dibagikan kepada penduduk desa.

Di tengah-tengah pesta itu Stevanus mendekati Linda, yang tengah menarik pledang.

“Bagaimana, Wanita Bataona?” Ia tersenyum sinis. “Kau mau membantu memasak daging ini?”

Linda tak menanggapinya.

“Sepertinya, Ora bakal kecewa melihat kau.” Stevanus menjejeri langkahnya.

Linda tak bisa mengontrol emosinya. “Jangan pernah membawa-bawa Papa!”

Paman Fotu, yang ada di sekitar situ, segera melerai. “Sudahlah, Stevanus, mengapa kau selalu mencari gara-gara.”

“Fotu, aku hanya memintanya membantu memasak.”

Paman Fotu mendorong Stevanus. “Ingat, Stevanus, sekarang ia juga lama fa. Sama sepertimu!”

Stevanus Tanakofa hanya tertawa.

Ini malam ketiga Linda dan Marten kembali mengintai. Dua hari yang lalu keduanya juga mengintai, namun hasilnya nihil. Padahal, mereka menunggu sampai pukul 2 dini hari. Ini sudah sangat larut di Lamalera. Bila Linda seorang diri, mungkin ia tak akan berani.

“Sepertinya, malam ini kita tak mendapat apa-apa lagi, Linda.” Marten menengadah. Bulan tampak penuh, sepertinya begitu dekat dari posisi keduanya duduk. “Kau tak kecewa, ‘kan?”

Linda menggeleng. Ia ikut menatap bulan di atas. “Kenapa harus kecewa? Beta tahu, kemungkinan itu memang ada, kok. Toh, bila bertemu, beta belum yakin bisa mengorek keterangan darinya. Setidaknya, Marten, terima kasih karena kau selalu menemani beta.”

Marten tertawa. “Ah, Linda, kau tak perlu mengucapkan itu. Kau tak tahu, ya, ada orang-orang yang ditakdirkan untuk menemani dan ditemani?”

Kening Linda berkerut. “Kau….”

Marten tertawa. Linda masih berusaha menerjemahkan kalimat itu ketika tiba-tiba Marten menyentuh bibir Linda dengan telunjuknya.

“Marten,” kaget sekali Linda diperlakukan seperti itu. Namun, tak bisa dipungkiri, jantungnya mendadak berpacu lebih cepat.

“Ssst, ada orang yang datang, Linda!”

Linda tersadar. Cepat ia berbalik. Dilihatnya seseorang berjalan keluar gang. Seseorang dengan perawakan besar.

Sepertinya, Linda mengenali sosok itu. Namun, kegelapan malam mengaburkan pandangannya. Untung saja, sorot lemah sinar bulan menerangi wajah sosok itu.

“Stevanus!” berbarengan Linda dan Marten berdesis.

Tak jauh dari tempat mereka mengintip, tampak Stevanus Tanakofa sedang berjalan, sambil menarik seorang wanita.

Linda makin terkejut. Wanita itu ternyata adalah wanita yang mereka tunggu beberapa hari ini. Ikke Mabengke!
Dilihatnya kini Stevanus menampar wanita itu hingga terjatuh. Teriakan wanita itu tertelan malam. Stevanus tampak membentak, namun dari tempat Linda dan Marten mengintai, tak terdengar apa pun. Stevanus kembali mengangkat tubuh Ikke Mabengke dan menamparnya lagi.

Marten memaki pelan. Tanpa sadar ia bergerak dari tempat persembunyiannya. Linda mengikutinya dari belakang.

“Berhenti!” Marten berteriak.

Wajah Stevanus tampak terkejut, tak menyangka ada orang yang melihatnya. Namun, belum sempat Marten dan Linda mendekat, ia sudah berbalik dan berlari.

Malam itu jadi malam yang rumit bagi Linda Bataona. Semalaman ini ia mencoba berpikir. Kejadian beruntun yang menimpanya masih saja sulit untuk dimengerti! Siapa sebenarnya yang sudah membunuh Papa Ora? Apa alasannya? Lalu, siapa yang mengirim surat dengan batu itu? Apa hubungan Ikke Mabengke dengan Stevanus Tanakofa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul berulang-ulang.

Dan, Ikke Mabengke yang diharapkan dapat memberikan sedikit informasi, ternyata hanya diam, tak bersuara.
Linda menghela napas panjang. Semua pertanyaan itu menggantung di benaknya. Namun, ia tetap menyadari bahwa kunci kejadian ini tetap Ikke Mabengke.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Linda pergi ke rumah Ikke Mabengke. Semalam ia dan Marten mengantar wanita ini pulang sehingga ia tahu persis alamat rumah wanita itu.

Ikke, yang baru saja bangun, tampak begitu terkejut mendapati Linda sudah muncul di depan pintu rumahnya pagi-pagi sekali. Sedikit ada sinar ketakutan ketika ia melihat Linda.

“Nona Ikke, maaf, saya mengganggu. Tapi, ada satu pertanyaan yang semalaman terus beta pikirkan.”

“Tidak!” teriaknya, ia berusaha menghindar dengan menutup pintu. Tapi, Linda sudah lebih dahulu menahannya.

“Beta sama sekali tidak melakukan apa-apa!” teriaknya.

“Nona Ikke, kau tahu siapa beta, ‘kan?” Linda memegang tangan Ikke. “Kau tak usah menghindar lagi. Beta tahu kau mengenali beta! Beta Linda Bataona.”

Linda menarik tubuh kecil Ikke agar dapat langsung bertatapan dengannya, “Anak tunggal Ora Bataona!”

Ikke Mabengke, yang sedari tadi meronta, mendadak terdiam. Tiba-tiba ia tersedu. Linda mengangkat kepala wanita itu. “Nona Ikke, tolong, jawab pertanyaan ini, apa benar kau sudah merayu Papa Ora?”

Ikke Mabengke menggeleng keras.

“Benarkah?”

Tak ada sahutan.

“Tolong, jawab, Nona Ikke, ini penting sekali untuk beta! Sungguh, apa pun jawabanmu, beta tak akan menyalahkanmu!”

Ikke terlihat berpikir sebentar. “Beta memang mencoba merayunya.” Suaranya akhirnya terdengar di antara sedu-sedan.

Linda bertanya pelan, “Kau berusaha membuat Papa Ora melanggar pantangannya?”

Ikke Mabengke mengangguk. “Tapi, beta tak berhasil.”

Jawaban pelan itu seperti sebuah es yang mengalir di hati Linda. “Kau yakin, Nona Ikke?” tanyanya, meyakinkan.
Ikke Mabengke mengangguk. “Beberapa kali beta merayunya, tapi beta tak berhasil.”

“Lalu, siapa yang menyuruhmu?”

Ikke Mabengke terdiam lagi, kali ini lebih lama. Sepertinya, ia berpikir keras sebelum mengatakannya. “Beta tak kenal dia! Tapi, namanya Stevanus Tanakofa.”

Ketika pulang ke rumahnya, Mamae Tipa sudah menunggunya.

“Ada apa, Mamae?” Agak heran Linda melihat ekspresi wanita di depannya itu.

“Kau sudah menemukannya?” Mamae Tipa mendekat.

Kening Linda berkerut. “Menemukan apa, Mamae?”

“Bukankah beberapa hari ini kau mencari wanita itu? Kau sudah menemukannya, ‘kan?” Ada sedikit getar di nada suara Mamae.

Linda langsung mengerti ke arah mana pembicaraan Mamae Tipa. Ia segera mendekat. Dipeluknya Mamae Tipa erat-erat.

“Beta sudah menemukannya, Mamae,” ujarnya, pelan.

“Berarti,” suara Mamae Tipa begitu bergetar, “memang benar, ada wanita lain.”

Linda menggeleng. “Tidak, Mamae, Papa Ora tidak melakukannya.”

Lalu, tak ada suara lagi. Hanya, kedua mata Mamae Tipa kini tampak berkaca-kaca. Entah mengapa, hal ini membuat Linda merasa sedikit lega. Papa Ora memang tidak melanggar pantangan. Ia meninggal sebagai lama fa sejati.

Siang begitu terik di Lamalera, ketika Linda Bataona berlari memasuki rumah Fotu Atakei.

“Paman,” ia berteriak, “beta sudah tahu siapa yang berniat membunuh Papa Ora!”

Paman Fotu tampak terkejut. Ia, yang tengah menyantap makanannya, buru-buru menenggak minumannya. “Benarkah itu, Linda?”

“Benar, Paman!” Linda menyahut cepat. “Stevanus Tanakofa yang berniat melakukannya. Ia menyuruh seseorang untuk menggagalkan pantangan Papa Ora!”

Paman Fotu bangkit. ”Berengsek, ternyata memang Stevanus biang keladinya!”

Paman Fotu mengambil parang yang biasanya disampirkan di dinding. “Biar sekarang Paman laporkan ke tetua adat. Paman yakin, Stevanus pasti sudah menyadari keadaan ini. Dia pasti akan membunuh saksi utama.”

Linda Bataona tertegun. “Saksi utama?”

“Ya, ia pasti akan membunuh Ikke Mabengke!”

Lalu, Paman Fotu segera beranjak keluar. “Kau pulang saja, Linda. Biar masalah ini Paman yang mengurus.”

Lalu, Paman Fotu berlari.

Sejenak Linda terdiam. Ia hanya berdiri mematung. Sepertinya, ia mencoba mengingat-ingat sesuatu. Bagaimana mungkin Paman Fotu bisa mengetahui nama Ikke Mabengke? Selama ini, bukankah ia belum pernah menceritakan kepadanya?

Linda berlari kembali ke rumah Ikke Mabengke. Sepertinya, ini adalah larinya yang tercepat. Sebuah karang sempat melukai kakinya tadi. Tapi, luka kecil itu tak dihiraukannya.

Baru setengah jam kemudian Linda tiba di rumah Ikke. Dan, ia sudah terlambat. Rumah Ikke Mabengke sudah porak-poranda. Pintunya terbuka dan barang-barang di dalamnya tampak sudah tercecer di sana-sini.

Seseorang jelas-jelas sudah mendahuluinya kemari.

Dengan lemas Linda pulang. Betapa terkejutnya Linda ketika Mamae Tipa sudah menyambutnya di depan pintu.

“Linda….”

“Ada apa, Mamae?”

Mamae Tipa tak menjawab. Matanya hanya memberi tanda, ada sesuatu di belakangnya.

Linda melangkah masuk. Ia makin terkejut ketika melihat Ikke Mabengke ada di ruangan itu.

“Ikke?” tanyanya, tak percaya. “Bagaimana kau ada di sini? Beta mencarimu seharian ini.”

“Orang besar itu yang membawa beta ke sini! Katanya, seseorang akan membunuh beta.”

“Orang besar?” Linda mengerutkan kening.

Namun, belum sempat ia berpikir, tiba-tiba pintu diketuk. Linda segera beranjak membukanya.

“Linda, Stevanus menghilang.” Paman Fotu sudah muncul di depan pintu. “Kau sebaiknya berhati-hati! Jangan pernah membiarkan ia mendekatimu. Kami akan segera mencarinya.“

Linda tak menyahut. Di belakang Paman Fotu, dilihatnya beberapa orang desa sudah siap dengan parangnya masing-masing.

“Tapi, Paman,” tanyanya tak mengerti, “mengapa sampai membawa begini banyak orang? Dan, untuk apa parang-parang itu?”

“Kami takut ia melawan, Linda. Kau tahu sendiri bagaimana tabiat Stevanus. Kalau ia sampai melawan, akan kami habisi dia!”

Tiba-tiba, dari belakang pundak Linda, Ikke muncul dengan langkah ragu.

Agak kaget Linda melihatnya. Tubuh wanita di sampingnya itu mendadak bergetar hebat. Ia menatap Paman Fotu dengan tajam.

“Dia….” Ia menunjuk ke wajah Paman Fotu dengan gemetar. “Dia Stevanus Tanakofa! Dia yang menyuruh beta menggagalkan pantangan Papa Ora.”

Linda terkejut. “Apa maksudmu, Ikke? Dia bukan Stevanus. Dia Fotu Atakei!”

Paman Fotu segera maju. “Jangan kalian dengarkan omongan pelacur ini! Dia dan Stevanus pasti sudah berencana untuk menyudutkan seseorang. Dan, beta-lah orang yang mereka pilih.”

“Tidak!” Ikke Mabengke berteriak. ”Beta yakin, dialah yang menyuruh beta merayu Papa Ora. Dia juga yang memberikan uang untuk beta.”

“Tapi, ia bukan Stevanus, Ikke!” Linda berusaha menyadarkan. ”Stevanus adalah orang yang menamparmu di Dosana.”

Ikke Mabengke terkesiap. “Bukan! Orang besar itu yang membawa beta ke sini dan menarik beta dari rumah, sebelum ia datang merusakkan isi rumah. Waktu itu kami berdua melihat semuanya dari balik pohon besar.”

“Omong kosong!” Paman Fotu berteriak. “Beta ke sana karena ingin menyelamatkanmu.”

Tiba-tiba sesosok tubuh muncul dari kerumunan. Sosok Stevanus Tanakofa!

“Nah, kebetulan sekali pembunuhnya datang!” Paman Fotu sudah mengeluarkan parangnya. “Ayo, tunggu apa lagi! Buat dia mengaku! Bila tidak, bunuh dia!”

“Tunggu!” Seseorang yang datang bersama Stevanus, salah seorang tetua adat, mengangkat tangannya. “Jangan gegabah. Jangan asal menuduh. Sebaiknya, kita semua dengarkan dulu suara orang ini!”

Paman Fotu melirik ke belakang, melihat seseorang yang muncul dari kerumunan itu. Ignatius Sarra.

“Sekarang, ceritakanlah semuanya, Sarra!” perintah Paman Fotu.

“Paman Ignatius, ada apa?” Linda, yang makin tak mengerti, maju perlahan.

“Tunggu,” tetua adat menahan langkah Linda, “sebaiknya, kau juga dengarkan dulu cerita pamanmu ini.”

Paman Ignatius maju perlahan. Sesaat ia tampak tak tenang mendapati dirinya ditatap puluhan pasang mata. “Beta…” ia menelan ludah, “sebenarnya ini sudah ingin beta ceritakan saat kita bertemu di warung itu, Linda. Tapi, waktu itu beta masih ragu. Tapi, sungguh, ketika koteklama mengempas tubuh Papa Ora, Papa Ora tak langsung meninggal. Ia sempat muncul ke permukaan. Beta sempat melihat itu. Tapi, Fotu sudah menyuruh yang lain membalikkan pledang. Dia bilang, Papa Ora sudah mati. Tapi, beta yakin sekali, Papa Ora saat itu masih hidup.”

“Berengsek!” Paman Fotu berteriak, “Sarra, kau juga berniat menjebakku!” Paman Fotu menghunus parangnya.

“Tidak ada yang menjebakmu, Atakei!” Suara Stevanus terdengar. “Selama ini semua orang sudah tahu bahwa kau selalu ingin menjadi lama fa. Kau kecewa karena anak wanita Bataona ini yang terpilih. Bukankah selama ini kau merasa lebih mampu? Mungkin, tanpa kau sadari, saat kau mabuk, kalimat-kalimat itulah yang selalu keluar dari mulutmu. Banyak yang sudah mendengarnya. Apa perlu beta memanggil mereka satu per satu?”

Paman Fotu melirik sekelilingnya. Ia merasakan tatapan tajam dari semua orang. Tiba-tiba ia menjadi kalap, ia sudah mengayunkan parangnya ke arah Stevanus. Tapi, belum sempat ia menerjang, penduduk desa segera menghalaunya. Beberapa orang menubruknya, membuat parang di tangannya terlepas. Lalu, beberapa orang yang lain segera membantingnya dan memitingnya.

Makian Paman Fotu masih terus terdengar, meski sudah diseret penduduk menjauh dari rumah Linda.

Sore itu pemandangan tampak muram. Angin sore terasa lebih kencang. Beberapa garis hitam sudah mulai tercipta di barat.

“Beta masih tak menyangka….” Linda Bataona seperti bicara pada dirinya sendiri.

|“Paman juga, Linda!” Stevanus Tanakofa, yang berdiri di sampingnya, berpaling sesaat. “Tapi, ia memang sudah lama sekali ingin menjadi lama fa. Paman sendiri sebenarnya tahu itu dari Papa Ora. Sekilas, secara tersirat, papamu pernah bicara tentang ini. Paman juga pernah melihat Fotu bicara dengan Ikke Mabengke di Dosana. Dan, beberapa hari kemudian Paman lihat Ikke bicara dengan papamu. Sepertinya, suatu kebetulan yang aneh. Apalagi, ditambah cerita-cerita orang yang mendengar omongan saat Fotu mabuk. Sejak saat itu, Paman hanya bisa menduga-duga, menghubung-hubungan kebetulan-kebetulan itu. Makanya, Paman mengirimi surat dugaan itu padamu. Tapi, Paman tak bisa langsung mengatakannya. Karena, Paman sendiri tak memiliki bukti.”

“Berarti, Paman yang mengirim surat itu?”

Paman Stevanus mengangguk.

“Padahal,” suara Linda memelan, “awalnya, beta kira Paman yang berusaha membunuh Papa Ora. Apalagi, ketika beta melihat Paman memukul Ikke.”

Paman Stevanus tertawa. “Tak bisa disalahkan. Tapi, soal Ikke, ia memang menjengkelkan. Aku bertanya padanya baik-baik. Tapi, ia tak pernah mau mengaku. Dan, ketika ia akhirnya mengaku, ia menyebut namaku sebagai orang yang menyuruhnya. Saat itu Paman benar-benar kaget dan marah.”

Linda mengangguk-angguk. “Tapi, ternyata semuanya ulah Paman Fotu. Sungguh, beta masih sulit menerimanya. Bila Paman Fotu memang ingin menjadi lama fa, kenapa ia tidak langsung menjadi lama fa saja, Paman? Beta yakin, Paman Fotu mampu.”

“Ya, mungkin saja,” Stevanus menerawang, “tapi, tradisi kita memang sudah seperti itu, Linda. Kita tak punya kemampuan untuk mengingkarinya.”

Linda Bataona terdiam. Entah mengapa, ia merasa kasihan terhadap Paman Fotu.

“Tapi, ada satu yang ingin beta tanyakan pada Paman!” ia berpaling, “mengapa selama ini Paman begitu jahat pada beta?”

“Jahat?” Paman Stevanus tertawa. “Sepertinya, kau terlalu melebih-lebihkannya, Linda. Paman ini memang bukan orang yang ramah. Tapi, yang pasti, Paman adalah pengagum papamu, Ora Bataona. Sejak dulu seperti itu. Jujur saja, ia merupakan lama fa terbaik yang Paman kenal. Walau kami jarang menghabiskan waktu bersama, sesekali ia bercerita tentang kau.”

“Bercerita tentang beta?”

“Kau tahu, Papa Ora sebenarnya ragu padamu. Mungkin, karena kau wanita. Tapi, yang pasti, ia ingin kau menjadi lama fa, sesuai keinginanmu, bukan karena apa pun, termasuk bukan karena tradisi. Maka itu, Paman hanya ingin mencoba sekeras apa keinginanmu menjadi lama fa. Bila hanya dengan sikap Paman saja kau sudah mundur, kau memang tak pantas menjadi lama fa….”

Linda terdiam. Tak disangkanya, begitu dalam tujuan orang yang beberapa hari ini begitu dibencinya.

“Linda,” Marten tiba-tiba muncul, “oh, kau sedang sibuk rupanya. Kalau begitu biar nanti beta ke sini lagi.”

“Sudahlah, kau temani dia saja.” Paman Stevanus menepuk punggung Marten. “Paman rasa, ini waktunya untuk kalian berduaan. Sudah saatnya bagi Paman untuk pulang.”

“Paman Stevanus,” suara Linda menahan langkah Paman Stevanus, “terima kasih banyak….”

Stevanus Tanakofa hanya tersenyum.

Epilog
Lima tahun kemudian, masih di tempat yang sama….

Linda Bataona sedang mengasah tempuling-nya, ketika Anna Kora dan Yuli Samafa, tetangganya, menghampirinya.

“Wah, sibuk sekali kau pagi ini, Linda?” tegur Anna. “Bagaimana perburuan semalam? Kudengar, kau mendapatkan seekor koteklama?”

Linda tersenyum. “Kami bersama-sama menangkapnya. Bukan hanya beta!” Ia berusaha merendah. Padahal, cerita tentang sepak terjangnya di musim berburu tahun-tahun kemarin, masih terus dibicarakan orang-orang di Lamalera. Terutama, oleh anak-anak perempuan Lamalera, yang kerap mendengarkan cerita tentangnya dari ibu-ibu mereka.

“Linda!” Tiba-tiba Marten berteriak kencang, sambil berlari-lari ke arahnya. “Koda…,” suaranya terdengar di antara deru napasnya.

“Ada apa dengan Koda?” Linda meletakkan tempuling-nya.

“Ia menceburkan diri ke…,” Marten melirik ke arah Ana Kora dan Yuli Samafa, “ke tebing kita.”

“Tebing kita?” Sedetik setelah kalimatnya meluncur, Linda tertawa.

“Kenapa kau malah tertawa? Harusnya, kau panik. Koda kan masih kecil! Dan, dia… dia belum bisa berenang!” Marten benar-benar bingung, sama seperti Ana Kora dan Yuli Samafa, yang hanya memandang Linda dengan pandangan tak mengerti.

Linda masih tertawa, dipeluknya tubuh Marten yang penuh keringat. “Biarkan saja dia, Sayang! Kau tidak lupa kan bahwa dia keturunan Bataona? Dia akan bisa berenang dengan sendirinya….”

No comments: