12.22.2010

Larasati

Aku melihat bibir Prawesti tersenyum. Merekah seperti mawar mekar. Raka menyisipkan cincin belah rotan ke jari kanannya dan mengecup keningnya. Sementara Wulan berurai air mata bahagia. Di sisi kiriku Andris sedang menatapku. Matanya membahasakan pertanyaan, “Kapan kita seperti mereka? Dan, kubiarkan Galuh menggelayut manja di lengan kanan pria itu.

Wanita adalah sumber kekuatan bagi pria. Begitu selalu kata Ibu. Setelah menginjak dewasa, aku memaknai kata-kata Ibu dengan penafsiran yang berbeda. Wanita dengan kulit luar yang rapuh, tatkala tersentuh sesungguhnya ia makhluk kuat. Bukan sekadar kanca wingking, swarga nunut neraka katut (teman di belakang, ke surga ikut, ke neraka pun terbawa).

Kenapa orang-orang selalu mengusik bila seorang wanita memutuskan hidup sendiri? Mereka juga bertanya-tanya, kebahagiaan macam apa yang dicari wanita itu tanpa seorang suami? Siapkah membesarkan anak seorang diri dan menanggung hari-hari sepi?

Pertanyaan-pertanyaan itu telah menemukan muara dalam jiwaku. Aku menemukan cahaya di ujung labirin yang pengap. Perlahan membebaskan kungkungan ketakutan dalam otakku. Aku ingin memahami makna hidup.
Pencarian makna hidup itulah yang mengawali kisahku.

Larasati membaca headline koran di tangannya dengan mata membelalak: ”Seorang Wanita Terbunuh Di Hotel Melrose”. Nama pria yang dikaitkan dengan korban, membuat dada Larasati tertikam benda tajam.

”Baskoro, pengusaha kaya yang diduga memiliki hubungan dekat dengan korban, mengaku sedang berada di Singapura saat kejadian.”

Sudah lima kali nama suaminya dikaitkan dengan wanita lain. Larasati menghela napas berat. Berapa banyak wanita dalam kehidupanmu, Baskoro? Apakah cintamu selalu meluap sehingga harus segera dituang kepada wanita-wanita yang kau temui di luar rumah? Siapa wanita berikutnya?

“Selamat pagi, Mama…,” suara serak mengagetkan Larasati.

Buru-buru ia melipat koran. Seorang bocah perempuan enam tahun berlari kecil menghampirinya. Larasati membentangkan tangan dan bocah itu masuk dalam pelukannya. Menguap, lalu memejamkan mata.

“Bagaimana tidurmu, Sayang? Nyenyak?”

Bocah itu mengangguk, menarik tubuhnya dari pelukan Larasati. “Eyang mendongeng tentang permaisuri cantik.”

“Oh, ya?”

Larasati mendengarkan putrinya penuh perhatian, ketika sudut matanya menangkap seseorang berdiri di pintu. Kemarin ibunya datang dari Solo untuk menjenguk cucunya. Wanita paruh baya berparas bangsawan itu berjalan ke arah mereka.

“Kamu mirip mamamu dulu, suka sekali dongeng itu,” kata ibu Larasati, sambil membelai rambut cucunya.

“Dongeng Eyang bagus, sih, tapi Galuh tidak suka.”

Larasati mengerutkan kening. “Kenapa Galuh tidak suka?”

“Permaisuri itu cantik, tapi bodoh. Masa tidak punya cita-cita dan diam saja dibohongi raja?”

“Menurut Galuh, permaisuri itu harus bagaimana?” Larasati memburu. Ia kaget dengan pernyataan anaknya. Terlalu dewasa untuk anak seusianya. Tapi, dia sangat senang mendengarnya.

“Harus sekolah dan punya cita-cita. Raja menikah terus-menerus, tapi permaisuri diam saja. Bagaimana kalau anaknya punya ibu tiri dan jadi Cinderella atau bawang putih?”

“Sudah… sudah… ayo, mandi dulu!” potong ibu Larasati.

Larasati menyentil hidung Galuh. “Mandi dulu, nanti terlambat ke sekolah.”

“Tapi, Eyang harus janji, nanti malam dongengnya tentang putri yang pandai memanah dan bela diri. Galuh suka dongeng Mama tentang putri-putri hebat.”

Ibu memandang Larasati tajam. Larasati tahu sorot mata ibunya yang menuntut penjelasan. Tetapi, ia mengalihkan pandangan. Diam-diam ada yang mekar dalam dada Larasati. Ia bangga mendengar perkataan putrinya. Galuh berkembang menjadi sosok baru yang berbeda darinya.

Galuh bukan aku.

“Jangan khawatir, nanti Eyang akan kisahkan dongeng lain,” sahut ibu Larasati, sambil melambaikan tangan kepada baby sitter di halaman samping.

Galuh mencium pipi Larasati, lalu mengikuti baby sitter-nya. Ketika langkah-langkah kecil Galuh lenyap di balik pintu tengah, bel ruang tamu berdentang. Larasati dan ibunya berpandangan. Siapa bertamu pagi-pagi begini? Apakah Baskoro pulang, setelah letih menuang cintanya kepada wanita-wanita di luar sana? Larasati berjalan menuju ruang tamu. Seorang pembantunya menghampiri Larasati, setelah menutup pintu depan.

“Ada surat lewat kurir, Bu,” kata pembantunya, sambil menyodorkan surat itu.

Larasati memeriksa amplop sesaat dan mengerutkan kening melihat kop kepolisian. Surat itu ditujukan kepadanya. Minggu depan, kepolisian meminta Larasati datang memberi keterangan atas kasus pembunuhan di Hotel Melrose.

Bagaimana mungkin polisi memanggilku untuk kasus ini? Apa hubungannya denganku? Aku tidak mengenal wanita itu sama sekali. Bahkan aku tahu bahwa wanita itu ada kaitannya dengan suamiku, hanya dari koran. Baskoro sendiri sudah seminggu pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis.

“Siapa tamunya, Laras?” tanya Ibu, menghampiri Larasati.

Larasati diam sejenak, sebelum memutuskan untuk jujur kepada ibunya.

“Kurir, Bu. Ada surat panggilan dari polisi.”

“Panggilan apa?” tanya Ibu, terkejut.

“Terjadi pembunuhan di Hotel Melrose. Wanita yang menjadi korban pembunuhan ini diberitakan teman dekat Mas Baskoro. Dalem (saya) diminta memberi keterangan untuk urusan yang tidak saya ketahui.”

Ibu memandang Larasati lama, seolah memahami yang terjadi. Mengangguk-angguk, lalu menepuk pundak putrinya.

“Kau masih ingat kata-kata Ibu, bukan? Wanita itu sumber kekuatan bagi pria. Tidak heran jika pria hebat selalu dikelilingi wanita.”

Larasati menghela napas dalam.

“Sejauh-jauhnya Baskoro terbang, ia akan pulang ke pelukanmu juga. Karena, kau istrinya yang sah.”

Apa aku masih menunggu kepulangan Baskoro?

“Ingat, ya, Nduk, wanita itu harus mendukung apa pun yang dilakukan suami. Kita ini kanca wingking, swarga nunut neraka katut. Kau harus menjadi garwa (pasangan) yang baik. Sigaraning nyawa (belahan jiwa) untuk Baskoro. Menikah dengan Baskoro adalah menyelamatkan keturunan darah biru kita yang hampir lebur.”

Duh, Gusti! Kenapa ada makhluk yang menggeliat kuat dalam diriku? Meronta-ronta ingin melepaskan diri dari kungkungan?

“Dulu, ayahmu juga begitu. Banyak wanita yang dinikahinya di bawah tangan. Tetapi, Ibu ingin menjadi permaisuri yang bijaksana. Selir-selir itu tak akan mampu menggeser posisi Ibu dari hati ayah­mu. Di akhir usianya, ayahmu tetap pulang ke rumah dan meninggal dalam pelukan Ibu.”

Larasati menatap ibunya. Berusaha mencari sesuatu di bola mata yang menyorot lembut itu. Tetapi, ia tidak menemukan sesuatu yang dicarinya, selain pengabdian yang tulus. Larasati memalingkan muka, tak sanggup melihat kemilau cinta di mata ibunya terhadap almarhum ayahnya.

“Dalem mau siap-siap mengantar Galuh ke sekolah, Bu.”

Ibunya mengangguk, tersenyum.

Hampir delapan tahun Larasati memasuki gerbang pernikah­an bersama Raden Mas Baskoro Aji, pria yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Putra pejabat tinggi dan seorang pengusaha sukses. Mereka bertemu di sebuah acara ruwatan salah seorang anggota keluarga. Kala itu Larasati baru saja menyelesaikan studinya di New York.

Lalu, tumbuh cinta di hati Baskoro. Tidak sulit meraih Larasati, yang belum memiliki kekasih, ke dalam genggamannya. Gadis cantik berkulit langsat itu sangat bakti kepada orang tuanya. Baskoro memiliki darah biru sejati yang tak mungkin ditolak kedua orang tua Larasati. Berbekal kepatuhan dan kepasrahan, Larasati menikah dengan Baskoro.

Pulang dari bulan madu di Italia, Larasati bertanya-tanya tentang perasaannya. Namun, kakak perempuannya berkata, “Witing tresna jalaran saka kulina, Laras. Kau akan mencintai suamimu seperti Ibu mencintai Ayah,” goda Prawesti, ketika Larasati termenung menjelang kepindahannya ke Jakarta.

“Cinta?” Larasati menggumam lirih. Ia takut orang lain menangkap ketakutan dalam getar suaranya. Bertahun-tahun Larasati berkutat dengan buku-buku pelajaran. Memeluk piala-piala kejuaraan dan menghabiskan hari-harinya di New York untuk belajar. Hanya itulah yang membuat Larasati bersemangat. Ia tak memahami cinta yang dimiliki ibunya hingga bertemu Baskoro.

“Kau cantik, Laras. Baskoro akan menjadikanmu permaisuri di hatinya. Keturunan kalian akan menjadi darah biru sejati.”

“Sudahlah, Mbak….” Larasati tidak ingin Prawesti melanjutkan kata-katanya dan melihat sorot kesedihan di mata kakaknya.

Masa kecil membayang di pelupuk mata Larasati. Mereka hanya dua bersaudara dengan beda usia tiga tahun. Ayahnya, Raden Mas Soebandono, sangat memanjakan mereka berdua, meskipun jarang berada di rumah, karena sibuk menginap di rumah istri mudanya. Sementara ibunya, Raden Ayu Wardani, mencekoki mereka dengan ajaran sopan santun yang terkadang sangat membosankan.

Wanita harus menahan tawa lepasnya. Wanita harus mempertahankan rambut panjangnya. Wanita tidak boleh mendahului pria. Wanita harus menundukkan kepala di hadapan pria. Wanita harus menyetujui keputusan pria. Serta keharusan-keharusan lain bagi seorang wanita. Kedua gadis cantik itu tidak kuasa menolak.

“Aku jatuh cinta, Laras,” kata Prawesti, ketika usianya memasuki gerbang wanita dewasa.

Pria itu bernama Raka. Ia teman seangkatan Prawesti di kampusnya. Lalu, getaran itu tumbuh. Raka adalah sosok pangeran dari negeri dongeng yang didengar Prawesti semasa kecil. Seorang aktivis kampus dan pencinta alam. Prawesti tak dapat mengelak. Diam-diam mereka telah tiga tahun menjalin cinta. Tapi, cinta mereka bukan cinta yang mudah.

“Cinta akan menemukan jalannya,” tambah Prawesti.

Larasati diam, memandang wajah Prawesti yang bersinar bahagia. Memang tak ada undang-undang yang akan menjatuhkan hukuman kepada kedua gadis itu, jika memilih pria di luar tembok keningratan. Tetapi, bagaimana pendapat Ayah dan Ibu jika melihat apa yang telah dilakukan Prawesti? Benarkah cinta akan menemukan jalannya? Apakah Prawesti akan menemukan sebuah akhir seperti harapannya?

Raka seorang pria kebanyakan. Tanpa embel-embel gelar bangsawan di depan namanya. Tanpa aliran darah biru di urat nadinya. Ada ketakutan yang diam-diam menjalari dada Larasati, melihat binar mata Prawesti yang tengah jatuh cinta. Ia tak rela melihat kakak semata wayangnya menderita. Ia tak akan sanggup melihat air mata menggenangi pipi kakaknya. Ia terlalu menyayangi Prawesti.

Lalu, ketakutan Larasati menjelma nyata.

“Tinggalkan pria itu, Prawesti. Dia tak baik untukmu,” kata Ayah, suatu malam, setelah Prawesti nekat mengajak Raka ke rumah.

“Banyak pria yang sebanding denganmu, Prawesti. Kau harus mengerti, bagaimana seharusnya pria yang akan kau nikahi,” tambah Ibu.

Larasati mengintip dari pintu kamarnya dan melihat mata Prawesti berlinang. Gurat luka membayang di kedua bola mata itu.

“Tetapi, dalem mencintainya. Raka bisa membuat dalem bahagia,” kata Prawesti lirih, seolah pada dirinya sendiri.
Ayah mendengus, mendekatkan wajahnya ke wajah Prawesti. “Cinta seperti apa yang bisa dia berikan kepadamu? Apa sebanding dengan cintamu? Ayah tak ingin melihat mukanya lagi.”

Setelah memberi tekanan berat pada kata-kata ‘tak ingin melihat mukanya lagi’, Ayah meninggalkan ruang tengah. Ibu menghela napas, sambil mengikuti langkah Ayah ke kamar. Prawesti menundukkan kepalanya lebih dalam, seolah ada beban beratus-ratus ton di atas kepalanya. Terdengar isak lirih di antara napas yang tersengal.

“Sabar, ya, Mbak, sabar….”

Suara Larasati mengejutkan Prawesti. Serta-merta ia merangkul adiknya dan menurut saja ketika Larasati membimbingnya ke kamar. Dibiarkan Prawesti terus menangis. Sumbatan itu harus dibebaskan.

“Aku tak akan membiarkan mereka menghalangi cintaku, Laras. Aku akan bahagia bersama Raka,” kata Prawesti, tersengal-sengal.

Larasati mengelus perlahan bahu kakaknya dan menyodorkan segelas air putih.

“Aku akan memilih cara lain, jika mereka tak menyetujuiku menggunakan cara baik-baik. Dengan begitu, mereka terpaksa menyetujui hubungan kami.”

“Mereka orang tua kita, Mbak….”

“Tapi tidak berhak menghalangi kebahagiaanku,” potong Prawesti, dingin. ”Sudah cukup aku menuruti semua kemauan mereka.”

Larasati menatap kakaknya sedih. “Apa yang akan Mbak lakukan?”

“Sesuatu.”

Mata Prawesti berkilat.

Dan, ketakutan itu menyergap Larasati makin ganas. Sesuatu. Apa yang sedang direncanakan Prawesti dalam otaknya? Sesuatu yang buruk? Atau, sesuatu yang berbahaya? Apa benar cinta telah membutakan realitas-realitas di depan mata Prawesti? Ketakutan terhadap ‘sesuatu’ yang diucapkan Prawesti dengan mata berkilat itu, mengungkung hari-hari Larasati hingga lima bulan berikutnya. Lalu, Raka datang lagi untuk melamar Prawesti.

“Kau pikir, Ayah akan merestui pernikahan kalian setelah kehamilanmu, Prawesti?” suara Ayah menggelegar, beberapa saat setelah pipi Prawesti membiru, karena tamparan tangan bercincin mata akik. Pandangan mata Ayah membara, seolah hendak membakar apa saja yang ada di hadapannya.

Dari balik sekat ruang tengah, dada Larasati sesak. Prawesti hamil? Inikah rencana yang ada di kepala Prawesti tempo hari? ‘Sesuatu’ yang dipilih untuk mendapatkan cintanya bersama Raka? Duh, Gusti!

“Dalem mencintai Raka, Ibu…,” Prawesti mengiba kepada ibunya, berharap wanita itu memiliki belas kasih padanya. Tetapi, wanita lembut itu menggeleng dan justru menguatkan pendapat-pendapat ayahnya.

Rencana Prawesti berakhir kehancuran. Raka pulang tanpa membawa hasil. Setelahnya, Ayah memasang kawat berduri di atas tembok yang memisahkan dirinya dengan Raka. Prawesti merasa tak akan pernah sanggup melampauinya. Pelan-pelan ia membiarkan dirinya tenggelam. Raka tak terdengar kabarnya, hingga janin dalam kandungannya berkembang dan menendang-nendang perutnya. Ayah memindahkan Prawesti ke kota terpencil dan melahirkan bayinya di sana.

“Menurutlah kepada ayahmu, Prawesti. Dia pria baik-baik, keturunan darah biru seperti kita. Kau akan bahagia,” bujuk Ibu, sekembali Prawesti dari kota terpencil.

Wajah bayi yang harus ditinggalkannya menari-nari di pelupuk matanya, menghiasi mimpi-mimpinya. Hidungnya mirip Raka, matanya mirip Prawesti, rambutnya, mulutnya…. Kapan kita bertemu lagi, Nak? Prawesti selalu berlinang air mata, setiap kali teringat rumah sakit tempat bayinya ditinggalkan, atas kehendak ayahnya.

Di mana kau Raka? Kenapa kau biarkan aku sendiri menyusuri jalan cinta yang menyakitkan ini? Tidakkah kau turut merasakan kepedihanku?

Prawesti terlalu letih untuk menentukan pilihannya, ketika diam-diam Ayah telah menyiapkan calon suami untuknya. Seorang pria paruh baya keturunan darah biru. Tak pernah terbayang dalam angan Prawesti untuk menjadi istri kedua. Tapi, ia tahu, tak ada gunanya memiliki keinginan yang lain. Sejak kecil ia selalu belajar untuk mengangguk. Meski tidak berkehendak, meski tidak bahagia.

Wanita harus selalu menunduk dan mengangguk.

Pernikahan itu akhirnya terjadi. Ayah dan ibunya bangga melihat Prawesti bersanding dengan pria keturunan darah biru. Segala aib yang pernah ditaburkan Prawesti, lenyap begitu saja. Hingga Prawesti diboyong ke rumah suaminya dan Larasati jarang berjumpa dengan kakaknya.

“Laras, suatu saat nanti, kau harus merasakan cinta yang pernah kumiliki bersama Raka,” kata Prawesti suatu sore, ketika mereka sibuk menyiapkan pernikahan Larasati.

Larasati berhenti meneliti gaun pengantinnya dan memandang Prawesti lurus-lurus. Sejak perpisahan dengan Raka dan bayinya, Larasati belum pernah melihat mata kakaknya berbinar. Bola mata indah itu selalu kosong tanpa sinar.

Apa yang bergumul dalam pikiranmu, setelah menjadi istri kedua pria paruh baya itu, Prawesti? Tidakkah kau mencoba bahagia bersamanya? Tidakkah kau berusaha melupakan cinta yang telah lebur dalam kehendak Ayah-Ibu?

“Aku tidak tahu bagaimana jatuh cinta,” kata Larasati pelan, kembali meneliti gaun pengantin itu. Mungkin pernah, tetapi aku tidak punya keberanian untuk menerima cintanya, lanjutnya, dalam hati.

Prawesti menghela napas panjang. “Aku hanya memiliki kepatuhan, kepasrahan, dan pengabdian pada suamiku. Dan kurasa itu bukan cinta.”

“Apa Mbak bahagia?” tanya Larasati perlahan.

Tawa Prawesti meledak. Larasati mengerutkan kening. Apa yang ditertawakan wanita itu? Tawa ini adalah tawa pertama setelah banyak hal menimpa Prawesti. Adakah yang salah dengan pertanyaanku?

“Kenapa Mbak tertawa?” kejar Larasati.

“Pertanyaanmu lucu. Aku tidak tahu lagi apa itu kebahagiaan. Yang kutahu sekarang adalah memasak makanan kesukaan suamiku, menunggu giliranku untuk dikunjungi tiba dan menemaninya sepanjang hari. Aku juga harus selalu menunduk dan mengangguk. Tidak sulit, hanya membosankan.”

Larasati menelan ludah susah payah. Bertahun-tahun Prawesti menghabiskan masa belajarnya di universitas, namun ia tak berhak menghirup kehidupan di luar rumah. Kehidupan seperti itukah yang akan aku jalani bersama Baskoro? Sanggupkah aku menjadi wanita yang menunduk dan mengangguk sepanjang hidupku? Bisakah Baskoro kuajak kompromi untuk kebahagiaanku?

Tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Selesai pesta pernikahan, Baskoro menekankan keinginannya kepada Larasati untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Melayaninya dan menjaga anak-anaknya.

“Posisi terbaik wanita memang di rumah, Laras. Menjadi ibu rumah tangga akan membuatmu dicintai suami,” kata ibunya.

Larasati tidak dapat mendefinisikan perasaannya. Ia hanya ingin mengalir mengikuti sungai hidupnya. Dua bulan setelah pernikahannya, Ayah meninggal karena serangan jantung. Lalu, kabar itu datang. Prawesti minggat!
Tak ada petunjuk ke mana perginya wanita itu. Namun, bisik-bisik tetangga mengatakan, Prawesti pergi mencari anaknya yang ditinggal beberapa tahun lalu.

Apa yang kau cari Prawesti? Kebahagiaan? Aku juga tak tahu apa itu kebahagiaan dalam pernikahan hingga kandunganku tujuh bulan. Baskoro mulai gemar main wanita di luar rumah, dengan dalih urusan bisnis.

Kelahiran Galuh telah membuat Larasati menyimpan harapan. Galuh harus menjadi wanita yang tidak sekadar menunduk dan mengangguk seperti dirinya, tetapi ia harus bisa menggeleng dan memperjuangkan kebahagiaannya.

Sudah sebulan Larasati merasakan geliat makhluk dalam tubuhnya. Makin hari makin kuat saja. Makhluk itu meminta Larasati untuk membebaskannya.

Duh, Gusti! Apa yang harus kulakukan? Apakah aku hanya bisa menyimpan harapan melihat kepala Galuh menggeleng suatu saat nanti? Bagaimana dengan kepalaku sendiri? Tidakkah aku juga ingin menggeleng untuk sesuatu yang tidak kusukai? Menggeleng untuk aturan-aturan yang tak masuk akal?

“Mama, kenapa orang-orang itu berkerumun di depan rumah kita?” tanya Galuh, menghamburkan lamunan Larasati malam itu.

Larasati bangkit dari duduknya dan mengintip dari balik tirai jendela. Berpuluh wartawan media cetak dan elektronik berkumpul di depan rumahnya. Setelah status Baskoro dinaikkan jadi tersangka, makin banyak saja wartawan yang menyambangi rumah Larasati. Bahkan, beberapa orang memasang tenda di seberang jalan. Larasati merasa terganggu. Berkali-kali Larasati menjelaskan bahwa dirinya tak tahu apa-apa. Tetapi, wartawan itu tetap saja berkerumun dan bertanya.

“Pakaian yang tertinggal di kamar hotel menjadi bukti bahwa suami Anda saksi kunci dari pembunuhan itu. Bahkan, sekarang statusnya naik menjadi tersangka. Bagaimana pendapat Anda?”

“Apa yang akan Anda lakukan jika kemungkinan suami Anda masuk penjara?”

“Ada feeling di mana suami Anda berada sekarang?”

Larasati merasa letih oleh pertanyaan-pertanyaan itu.

“Ma, kenapa mereka selalu mencari dan bertanya tentang Papa?” tanya Galuh lagi.

“Mereka penggemar Papa,” kilah Larasati, sambil menuntun anaknya meninggalkan jendela. “Malam ini, bagaimana kalau Mama mendongeng tentang putri yang pandai bermain seruling?”

Galuh mengangguk, tersenyum. Eyang pulang ke Solo tiga hari lalu dan Galuh kembali meminta Larasati mendongenginya tentang putri-putri hebat. Mereka baru saja merebahkan tubuh di pembaringan, ketika telepon di ruang tengah berdering. Tak lama kemudian seorang pembantunya mengetuk pintu kamar.

“Dari Pak Baskoro, Bu…,” kata pembantunya.

Larasati terkejut. Baskoro menelepon? Apa yang dia inginkan dariku dengan statusnya sebagai buronan polisi? Setelah meminta Galuh menunggu, Larasati berjalan ke ruang tengah.

“Ini Baskoro, Laras. Apa pun yang terjadi, kau jangan mencariku,” kata Baskoro, tanpa kata pembukaan yang lebih manis di telinga.

Sesaat Larasati terdiam beku.

“Aku tahu polisi mencariku. Karena itu, aku tak bisa pulang. Percayalah, semua akan baik-baik saja.”

“Apakah Mas melakukan apa yang mereka tuduhkan?” pertanyaan Larasati meluncur begitu saja, tanpa dapat dibendung.

“Itu urusanku dan kau tak perlu tahu.”

Sambungan terputus begitu saja. Larasati tercenung sambil masih memegang gagang telepon. Terdengar suara Galuh memanggil-manggil dari kamar. Benaknya dipenuhi pertanyaan ketika menyeret langkah ke kamar.

Di mana sekarang Baskoro berada? Apa yang dilakukannya? Mengapa dia selalu merahasiakan sesuatu dari istrinya?

Tetapi, Larasati tidak bisa bersikap masa bodoh untuk urusan yang melibatkan Baskoro ini. Karena esoknya, polisi berdatangan ke rumah untuk menggeledah. Telepon semalam telah disadap pihak kepolisian dan mereka mencurigai keterlibatan Larasati dalam kasus ini.

Melewati pintu keluar kantor polisi, dunia Larasati terasa menyempit. Pertanyaan-pertanyaan penyidik kepolisian yang menekan beberapa jam lalu membuatnya terpojok. Larasati ingin menjerit sekuat tenaga.

Kenapa kau menginterogasiku seolah aku pelaku pembunuhan itu? Aku memang istri Baskoro, tapi aku tak tahu apa-apa dengan urusan Baskoro di luar rumah. Dan, aku tidak peduli siapa wanita-wanita yang menjadi teman dekat Baskoro!

Suasana hatinya yang tertekan tak membuat senyumnya surut. Ia tetap tenang melangkah di antara kerumunan wartawan yang mendesaknya dengan berbagai pertanyaan.

“Maaf, saya tidak tahu apa-apa. Polisi lebih tahu perkembangan kasus ini. Terima kasih.”

Wartawan terus menyerbu dengan berbagai pertanyaan. Larasati tetap tenang dan tersenyum. Tetapi, ketika kerumunan wartawan itu mulai mencegat dan memaksanya untuk menjawab, dada Larasati terasa sesak. Beban yang memberati kepalanya beberapa minggu terakhir serasa mau meledak. Buru-buru ia masuk ke dalam mobil dan meminta sopirnya melaju. Larasati menarik napas lega, saat mobil telah jauh meninggalkan halaman kantor polisi.

“Pak, tolong turunkan saya setelah perempatan,” kata Larasati, ketika mobil berhenti di perempatan lampu merah.
Sopir pribadinya mengerutkan kening dan melirik melalui kaca spion. “Ibu mau ke mana?”

“Saya ingin jalan-jalan.”

Sopirnya mengangguk. “Nanti dijemput jam berapa, Bu?”

“Tidak usah dijemput. Saya pulang naik taksi saja.”

Tepat di depan perempatan, mobil menepi dan berhenti. Larasati memasang topi dan mengenakan kacamata sebelum turun. Ia tak ingin dikejar-kejar wartawan.

Keramaian Jakarta lenyap begitu saja, ketika kaki Larasati menapaki halaman museum. Banyak orang melupakan museum setelah pusat perbelanjaan dan kafe menjamur. Tempat yang menyimpan berbagai kenangan bersejarah itu kian hari kian lapuk dimakan waktu. Hanya sedikit orang yang sudi singgah ke sana. Salah satunya Larasati.

Mengunjungi museum adalah hobi Larasati sejak remaja. Ia memang menyukai sejarah, meski kemudian studi yang diambilnya tidak ada hubungannya dengan sejarah. Bukan hanya koleksi-koleksi langka setiap museum yang membuat Larasati terpikat, melainkan juga selasarnya yang sepi, membuat Larasati merasa nyaman untuk menepi. Ia suka duduk di selasar museum dan memandang hamparan rumput di depannya. Seperti yang dilakukannya sore ini.

Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Makhluk itu menggeliat hebat dalam dirinya. Mendesak-desak dadanya. Mengajukan berbagai pertanyaan dan meminta jawabannya segera.

Apakah kau akan menghabiskan hidupmu untuk menunduk dan mengangguk? Kenapa kau biarkan dirimu menjadi burung bodoh yang terbelenggu dalam sangkar emas? Sebenarnya kau memiliki pendidikan bagus dan bisa melakukan apa saja yang kau sukai, kenapa tidak kau lakukan? Sampai kapan kau akan menelan rasa hambar dalam kehidupan pernikahanmu?

Tiba-tiba air mata Larasati meleleh. Ia merasa sangat malang dan putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana. Dadanya terasa sesak dan sempit. Pandangannya mengabur dalam linangan air mata. Duh, Gusti! Apakah aku sanggup mengejar kebahagiaanku? Bagaimana caranya?

“Selamat sore!”

Suara berat itu mengejutkan Larasati. Ia mengusap air mata dan berdiri dari duduknya. Seorang pria berambut gondrong dengan sorot mata lembut berdiri di sampingnya. Larasati memutuskan untuk pergi, melihat kamera di tangan pria itu.

Ia wartawan dan aku tidak ingin terganggu sore ini.

“Hei, tunggu! Mau ke mana?” cegah pria itu.

Larasati mengembangkan senyumnya. “Maaf, saya tidak ingin diganggu wartawan sore ini. Sedang ingin sendiri.”

“Oh, jangan khawatir. Saya memang wartawan, tetapi tidak bermaksud mengganggu Anda. Ada banyak objek yang lebih menarik di museum ini.”

Tiba-tiba Larasati merasa malu. Mungkin dia paranoid terhadap wartawan yang akhir-akhir ini memperlakukannya seperti selebriti. Lagi pula, jangan-jangan wartawan ini tidak mengenal dirinya? Larasati geli sendiri.

“Saya juga suka duduk di selasar museum. Nyaman dan tenang rasanya,” kata pria wartawan itu, tanpa memandang Larasati.

Larasati mengangguk dan kembali duduk di samping pria itu. Bertemu teman baru yang tepat memang menyenangkan. Tak lama kemudian, mereka sudah terlibat percakapan-percakapan hangat.

“Kau seperti sedang bersedih?” tanya pria itu.

“Mungkin ya, mungkin juga tidak,” jawab Larasati, tersenyum. Wartawan ini benar-benar tidak tahu siapa diriku.

“Kalau ya, kau harus berani mendengarkan kata hatimu untuk mengatasi masalahmu. Kau tahu? Wanita itu sesungguhnya makhluk yang kuat, jika tidak menganggap dirinya sendiri lemah.”

Larasati tertegun mendengar kata-kata yang diucapkan dengan berat itu.

Benarkah pria ini mengatakan tentang kelebihan seorang wanita? Apakah di bumi ini ada pria yang menghendaki istrinya tidak sekadar menunduk dan mengangguk? Ah, mungkin banyak di luar sana. Hanya, selama ini aku hidup dalam sangkar Baskoro yang menghendaki seorang wanita menunduk dan mengangguk.

“Sudah petang, saya harus kembali bertugas. Senang bisa ngobrol dengan Anda,” kata pria itu, seraya menjabat tangan Larasati. “Oh, ya, kita belum berkenalan. Saya Andris Maulana.”

“Saya….”

“Larasati alias Nyonya Baskoro, ‘kan?” Andris menyahut cepat.

Ada sedikit kecewa merambati dada Larasati mendengar kata-kata Andris.

“Jangan khawatir, ada objek yang lebih menarik ketimbang Anda,” kata Andris, menunjuk patung di halaman museum dan siap memotret. “Sungguh, dia lebih menarik bagi saya.”

Tiba-tiba Larasati tertawa. Tawa yang lepas.

Senja hari. Sebulan kemudian.

“Kau harus selalu mendampingi suamimu yang tertimpa musibah, Laras,” suara ibunya di telepon penuh tekanan.

Larasati tercenung mendengar kata-kata itu. Baskoro tertimpa musibah? Dan, ia harus setia mendampingi pria itu mendekam di penjara selama 17 tahun? Bukankah sebenarnya dia dan Galuh yang tertimpa musibah? Menjalani hidup dalam kecurigaan publik dan kejaran wartawan. Lagi pula, semua bukti di tempat kejadian perkara mengarah ke Baskoro sebagai pelakunya.

Dugaan polisi akan motif pemerasan dalam pembunuhan ini pun tidak meleset. Wanita yang terbunuh itu kekasih gelap Baskoro. Ia mengancam akan menyebarkan gambar-gambar porno mereka, jika Baskoro tidak bersedia memberikan uang yang besar. Baskoro menghabisi wanita itu. Dua minggu lalu Baskoro tertangkap dan mengakui semua detail pembunuhan yang ia lakukan.

“Laras, kau mendengar kata-kata Ibu, ‘kan? Kau akan menunggu hingga Baskoro bebas, bukan?”

Larasati terbangun dari lamunannya. Menghela napas dalam, sambil memandang lukisan air terjun di dinding ruang tengah. “Saat ini, yang ingin dalem pikirkan hanya Galuh, Bu.”

“Tetapi, Baskoro itu ayahnya Galuh.”

“Tentu saja Baskoro ayahnya Galuh. Tetapi, Galuh lebih penting untuk dalem perhatikan.”

“Wanita di Hotel Melrose yang memeras Baskoro itu memang layak mati. Suamimu tidak bersalah, meskipun dipenjara tujuh belas tahun. Dan, apa yang dilakukan bersama wanita itu hanya kekhilafan. Biasalah, pria.”

Kekhilafan? Larasati memejamkan mata. Betapa gampang orang mengatakan perbuatan salah itu kekhilafan? Bagiku, jika orang melakukan kesalahan sekali itu wajar, mungkin dia benar-benar khilaf. Melakukan kesalahan dua kali berarti dia ceroboh, dan jika sampai melakukan kesalahan ketiga kalinya, dia telah menjadi permainan nafsu.

Sementara Baskoro sudah berkali-kali melakukan perbuatan itu. Bersyukur saja aku tidak tertular AIDS sampai hari ini. Apakah Ibu berpikir bahwa aku anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang kelakuan menjijikkan Baskoro di luar rumah?

“Aku tahu perasaanmu, Laras. Tetapi, dia adalah suamimu. Pria yang akan selalu menjadi panutanmu ke surga atau neraka. ”

“Terima kasih, Bu.”

Hanya itu yang ducapkan Larasati sebelum menutup gagang telepon. Ada rasa nyeri menyerang sisi dadanya. Tiba-tiba Galuh datang menghampirinya, menggoyang-goyangkan tangannya.

“Ma, tadi Galuh lihat Papa di TV. Papa hebat, ya, bisa masuk TV? Tapi, kenapa sekarang Papa pakai seragam biru-biru?”

Larasati mengangkat tubuh anaknya ke pangkuannya. “Galuh lebih hebat! Nanti kalau sudah besar bakal masuk televisi dengan warna baju yang Galuh sukai.”

“Benar, Ma?”

“Benar!” Larasati mengangkat tangannya membentuk tanda victori. “Asal Galuh pintar dan pemberani.”

“Dan Mama akan melihat Galuh di TV?”

“Tentu, Sayang….”

“Mama tidak ingin masuk TV juga? Memangnya cita-cita Mama, apa, sih?”

“Hmm….” Larasati pura-pura berpikir. “Cita-cita Mama ingin selalu dekat dengan Galuh dan jadi guru.”

“He…he…he… kalau jadi guru, Mama tidak boleh galak, ya?”

Larasati mencium lembut pipi anaknya.

Menjadi guru. Ada yang menggelitik hatinya setiap ingat obrolannya dengan Galuh. Larasati seperti terbangun dari mimpi panjang, saat mendengar kata-kata itu terucap dari bibirnya sendiri.

Sewaktu kecil, Larasati selalu menjawab ingin menjadi guru setiap orang-orang bertanya. Ia suka melihat gurunya yang cantik, baik, dan sederhana. Melihatnya saja, Larasati merasa nyaman. Maka, cita-cita sederhana itu tersimpan, hingga Larasati dewasa dan tahu bahwa ia tak berhak punya cita-cita. Karena, jalan hidupnya sudah dikehendaki orang tuanya.

Seharusnya sekarang sudah berubah. Bukankah waktu bisa menyulap segala sesuatu dalam sekejap? Tetapi, kenapa aku masih saja berhenti di sini? Tidak menciptakan kebahagiaan-kebahagiaanku sendiri? Sampai kapan aku hanya menunggu? Bagaimana kalau tiba-tiba waktu itu habis dan aku belum memulai?

Larasati termenung dalam kamar, menatapi bayangan dirinya di cermin rias. Galuh sudah terlelap. Larasati menyibakkan rambutnya dan mengerjapkan matanya. Ia masih cantik seperti dulu. Tetapi, coba lihat sinar mata itu! Tak ada gairah atau semangat menjalani kehidupan. Semuanya berjalan hambar, tanpa entakan-entakan kehidupan yang penuh warna.

Aku harus melakukan sesuatu sebelum terlambat.

Larasati meraih ponsel di meja rias. Memeriksa sebuah nomor, kemudian menekan-nekan tombol ponsel. Wajah Andris yang sedang tersenyum melintas. Dada Larasati berdebar. Seketika ia meletakkan ponselnya kembali. Kenapa aku harus menghubungi dia? Bukankah banyak teman lain yang bisa kumintai bantuan? Larasati mendengus dan kembali menekan sebuah nomor di ponselnya.

“Halo, Santi! Ini Laras,” kata Larasati, cepat.

“Ya, ya, kabarku baik-baik saja. Aku perlu bantuanmu….”

Terdiam sejenak, Larasati mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang telah dilakukannya ini bukanlah sebuah dosa atau pengkhianatan.

“Bagaimana kalau makan siang di Kafe Rendezvous?”

Sambungan terputus. Larasati mengembuskan napas panjang.

Mobil Larasati berhenti di depan Kafe Rendezvous pukul 12 kurang seperempat. Larasati sengaja datang lebih awal dan meminta sopirnya tidak menunggu. Ia ingin melakukan beberapa hal tanpa orang lain.

Pelayan kafe mempersilakan Larasati memilih meja yang diinginkannya. Larasati mengedarkan pandang dan matanya tertumbuk pada meja yang bersisian dengan air terjun buatan. Dari tempat itu orang-orang yang memasuki kafe terlihat jelas. Larasati melangkah ke sana. Kafe ini masih seperti dulu. Tradisional dan berkesan natural. Menu makanan yang disajikannya pun makanan dari berbagai daerah di Indonesia. Seperti namanya, kafe ini sanggup menciptakan image tempat bertemu yang mengesankan. Dan Larasati menyukai semua yang berbau tradisional.

“Nasi gudeg dua!” sebuah suara mengagetkan Larasati dari arah belakang.

Larasati memutar tubuhnya. Santi tersenyum lebar. Sahabatnya semasa kuliah di New York itu kelihatan cantik dan bahagia. Dari seluruh sahabatnya, Santi adalah yang terdekat. Banyak suka duka kehidupan pernah mereka bagi. Sayang, setelah menikah Larasati lebih sibuk dengan urusan rumah tangga. Pertemuan ini adalah pertama kalinya setelah pertemuan tak sengaja di sebuah mal tahun lalu.

“Hai!” Santi mengedipkan matanya.

“Bagaimana kau tiba-tiba berada di belakangku? Aku tak melihatmu melewati pintu masuk?”

“Itulah hebatnya aku, Laras. Kau belum menyadari juga kalau sahabatmu ini hebat.”

Larasati menggeleng-gelengkan kepala.

“Apa kabarmu?” tanya Santi, seraya duduk di kursi yang berhadapan dengan Larasati.

“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja.”

Pelayan mengantarkan dua piring nasi gudeg komplet. Ternyata Santi sudah memesan makanan kesukaan mereka lebih dulu. Larasati tertawa keras dan lepas.

“Apa aku salah dengar?” Santi mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke Larasati.

Larasati mengerutkan kening.

“Ah, sekarang kau bisa tertawa lepas. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Laras?”

“Hmm, jangan bilang kau tidak tahu berita tentang Baskoro.”

Santi mengangguk-angguk. “Aku turut prihatin.”

“Terima kasih.” Larasati tertawa lagi. “Kau sendiri apa kabar?”

Santi mengangkat bahu. “Pekerjaanku sangat menyenangkan, public relations memang duniaku. Bertemu orang baru setiap hari itu menyenangkan bagiku. Tetapi, kau tahu, orang tuaku sering marah-marah karena aku belum juga menikah.”

“Pernikahan bukan sebuah solusi kehidupan, kok. Kau harus menemukan pendamping yang benar-benar kau inginkan sebelum memutuskan untuk menikah.”

“Serius betul? ledek Santi.

“Aku serius.”

“Jadi, kau punya rencana?” tanya Santi, tiba-tiba.

Larasati menyendok nasi gudegnya perlahan. Menikmati suapan demi suapan. Apa yang sedang kurencanakan? Benarkah aku akan menjalaninya? Ia membayangkan dirinya mulai bekerja, memiliki aktivitas untuk mengaktualisasikan diri, mendapat penghasilan sendiri, dan tidak tergantung pada Baskoro. Suatu ketika hidup harus berubah, bukan?

“Kemarin kau bilang butuh bantuanku? Apa kira-kira yang bisa kubantu untukmu?”

“Aku ingin bekerja di luar rumah. Kupikir, kaulah satu-satunya temanku yang punya banyak jaringan,” jawab Larasati, mengejutkan.

“Kenapa kau mesti bekerja, Laras?” tanya Santi, hati-hati. Ia cukup tahu bagaimana kehidupan Larasati terbentuk sejak kecil. Dan, keputusan yang diambilnya ini tentu bukan keputusan main-main bagi seorang Larasati.

“Aku ingin bahagia, Santi. Kau bisa membantuku mencari pekerjaan?”

“Jangan khawatir. Memangnya pekerjaan apa yang kau inginkan?”

“Guru.”

“Kau punya sertifikat untuk mengajar?”

“Aku punya.”

Santi memandang sahabatnya. Ia tak ingin bertanya-tanya lagi.

“Mama cantik sekali!” seru Galuh, melihat Larasati keluar dari kamarnya pagi itu dengan dandanan yang berbeda.

“Masa, sih?” tanya Larasati.

Galuh menatap mamanya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Galuh tersenyum. “Benar kan, Mbak?” Galuh menoleh pada babysitter-nya.

Baby sitter itu tersenyum, mengangguk.

Larasati memutar tubuhnya di depan cermin besar, melihat bayangannya di sana. Semalam ia pergi ke salon. Selain merawat tubuhnya, Larasati juga memotong rambutnya pendek, model bob. Ia tampak cerah dan segar dengan rambut model baru. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kalinya Larasati memiliki rambut pendek. Rasa sesal dan berdosa akibat memotong rambut mulai terkikis dengan komentar positif dari Galuh. Pagi ini Larasati juga mengenakan baju semiresmi berwarna maroon.

“Mama seperti Bu Guru?” celoteh Galuh lagi.

Larasati memeluk putrinya. “Sekarang, Mama memang menjadi guru, Sayang.”

“Jadi, cita-cita Mama akhirnya terwujud?”

Larasati mengangguk.

“Mama akan mengajar di sekolah Galuh?”

“Tidak, Sayang. Mama mengajar di sebuah SMU.”

Galuh mengangguk-angguk. Matanya bersinar bangga melihat perubahan mamanya. Gadis cilik ini memang sudah terbiasa hidup berdua dengan Larasati. Ia jarang bertanya ke mana ayahnya pergi, meskipun tak pernah pulang.

“Apakah Galuh keberatan kalau Mama tidak sering di rumah lagi?”

“Karena Mama mengajar?”

Larasati mengangguk.

“Tidak apa-apa. Galuh dan Mbak akan menunggu Mama pulang.”

“Terima kasih, Sayang,” kata Larasati, tersendat. Dipandangnya mata Galuh dan ia terharu. “Ayo, berangkat! Kita berdua bisa terlambat sampai sekolah.”

Mereka berjalan beriringan menuju pintu. Kaki Larasati terasa ri-ngan. Bibirnya menyungging senyum. Hari baru yang luar biasa.


Awalnya Larasati tidak pernah bertanya, mengapa Santi merekomendasikan ia mengajar di sekolah itu. Sebuah SMU swasta kurang maju di pinggiran Jakarta. Sebagian besar muridnya berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Dari data yang dipelajari Larasati, murid-murid di sana memiliki reputasi buruk. Gemar tawuran dan memakai narkoba. Bukankah Santi bisa mendapatkan sekolah elite di tengah kota untuknya?

“Aku sangat mengenalmu, Laras. Kau akan bahagia jika bermanfaat untuk orang lain. Di sana, potensimu sangat diperlukan.”

Larasati memahami alasan Santi. Bahkan, ia mulai jatuh cinta. Kepala sekolahnya bijaksana, teman-teman gurunya yang sederhana. Murid-muridnya nakal. Itulah yang menantang Larasati untuk melakukan sesuatu. Ya, tak sekadar mengajar pelajaran sejarah, Larasati ingin menjadi guru yang sesungguhnya dalam kehidupan anak-anak didiknya.

Terkadang, ia tertawa ketika merenungkan kehidupannya tiga bulan terakhir. Hobi sejarah, kuliah di jurusan keuangan bisnis, dan bercita-cita menjadi guru. Tetapi, kehidupannya sekarang mulai memiliki rasa. Menjadi guru dan bermanfaat untuk orang lain, bagi Larasati sangat membahagiakan hatinya. Sayang, aku baru berani memutuskan untuk bahagia sekarang.

“Setelah tawuran dan narkoba, kabar terakhir yang menimpa sekolah ini adalah gadis-gadis yang menjajakan dirinya di hotel,” suara tinggi seorang guru wanita mengagetkan lamunan Larasati.

Larasati mengalihkan pandang dari lembar jawaban ulangan di tangannya. Guru wanita berambut keriting itu menatapnya. Ru-ang guru pada jam istirahat selalu menjadi tempat bergosip yang menggairahkan. Bahkan, terkadang menjadi tempat saling mengolok yang membuat Larasati tertawa lepas.

“Tahu dari mana berita itu, Bu?” tanya seorang guru yang lain kepada pembawa berita itu.

“Masa belum tahu? Desas-desus ini sebenarnya sudah lama berembus di kalangan murid. Sekarang makin gencar setelah primadona sekolah ini terlibat.”

Larasati mengerutkan keningnya. Primadona sekolah?

“Siswi kelas dua fisika itu! Namanya Wulan!” teman guru itu makin semangat menggosip. “Sayang sekali, cantik-cantik kelakuannya minus….”

“Itu baru gosip, bukan? Belum teruji kebenarannya!” potong teman guru yang lain dari meja ujung. Seorang pria berpipi tembam dengan jambang lebat menutupi janggutnya.

“Pak Winata perlu bukti?” tantang guru wanita itu. “Anak saya dan teman-temannya melihat Wulan masuk hotel bersama pria tua.”

“Mungkin itu ayahnya, atau pamannya. Bisa saja.” Winata ngotot.

“Wali kelas memang selalu membela muridnya,” kata guru wanita itu, sambil beranjak meninggalkan ruang guru.
Terdengar Winata menghela napas panjang, lalu menggumam. “Murid sendiri digosipkan, bukannya diluruskan.”
Larasati diam, kembali menekuri lembar-lembar jawaban ulangan. Sekilas diliriknya Winata. Sejak awal masuk sekolah ini, ia merasa cocok berteman dengan Winata. Pria itu memiliki kepedulian lebih terhadap perkembangan perilaku anak-anak didiknya.

Tiba-tiba wajah cantik Wulan melintas di mata Larasati. Benarkah kehidupan telah merenggut masa depan gadis muda yang seharusnya memiliki masa depan cemerlang itu?

Tujuh belas tahun! Ya, Baskoro akan tinggal di balik terali besi itu selama tujuh belas tahun.

Larasati memalingkan wajah dari foto besar di dinding kamarnya. Fotonya bersama Baskoro saat bulan madu. Mereka tersenyum di depan Menara Eiffel. Ia tak pernah suka foto keluarga, karena sebagian besar menyimpan dusta. Semua memamerkan senyum terindah, sementara hatinya menyimpan nganga luka. Jam menunjukkan pukul 12 malam. Larasati menggerakkan jari jemarinya yang lentik untuk menghitung detak jam.

…tiga, empat, lima, enam, tujuh….

Apakah aku akan terus menghitung detak jam itu selama tujuh belas tahun? Apakah ada bedanya Baskoro berada dalam penjara atau di luar penjara? Apa sebenarnya makna istri bagi Baskoro? Wanita yang harus ada dan bersedia ketika ia menginginkannya? Wanita pajangan yang selalu menunggu kepulangannya ketika ia pergi bersama wanita lain? Dan, hanya untuk itukah aku hidup? Tidakkah aku bisa melakukan sesuatu untuk lepas dari kebosanan menghitung detak jam?

Larasati menghentikan gerakan jarinya yang terus menghitung detak jam. Dadanya mendadak berdebar kencang. Ia bangkit dari pembaringan, berjalan mondar-mandir mengitari ruang kamar. Makhluk dalam tubuhnya kembali menggeliat lembut. Larasati meraih ponsel yang tergeletak di meja rias. Dipencetnya nomor Santi. Setelah pertemuan di Kafe Randezvous beberapa bulan lalu, mereka kembali berteman dekat. Sering pergi bersama dan selalu kontak lewat telepon.

“Tumben malam-malam menelepon?” suara di seberang terdengar bening. Larasati yakin si empunya suara belum tidur.

“Aku ingin mengganggumu, insomniaku kambuh.”

“Wah, sama.” Santi tertawa. “Tapi, ada apa, Laras?”

“Apa pendapatmu kalau aku bercerai?” kata Larasati langsung, tanpa basa-basi.

“Hah! Ngomong apa, sih?” Santi kaget.

“Selama ini aku tidak pernah tahu tujuan hidupku sesungguhnya.”

“Dan sekarang kau sudah tahu?” tanya Santi.

Larasati mendesah. “Hampir. Lagi pula, setiap orang berhak untuk bahagia, ’kan?”

“Tapi, kau juga harus memikirkan Galuh….”

Tawa Larasati pecah. “Kau pikir Galuh peduli papanya pulang atau tidak? Sebenarnya akulah papa dan mama Galuh di mana pun. Baskoro hanya tertera di rapor sekolah dan akta kelahirannya.”

Di seberang, Santi diam. Memilih kata-kata terbaik untuk sahabatnya. Ia sangat tahu bagaimana kehidupan Larasati. Bahkan, terkadang Santi tidak habis pikir, mengapa masih ada orang seperti Larasati di zaman ini. Menunduk dan mengangguk untuk memuliakan keluarga.

“Untuk apa aku hidup, kalau hanya menjadi boneka orang lain.”

Santi berdehem. “Tetapi, bagaimana dengan ibumu?”

“Aku akan menghadapinya.”

“Kau serius?”

“Serius.”

“Kalau begitu, selamat berjuang untuk kebahagiaanmu.”

Air mata Larasati meleleh. Dadanya sesak mengingat ibunya. Bagaimanapun, ia sangat mencintai wanita yang tak pernah ia pahami jalan pikirannya itu.

“Terima kasih, San,” kata Laras, di sela isak tangis.

“Hei! Jangan menangis, aku harus bagaimana sekarang?” Santi bingung.

“Tolong, berdoalah untukku. Aku juga akan berdoa untukmu.”

Sambungan terputus. Santi tercenung di seberang.

Setelah meletakkan ponsel, tangis Larasati meledak. Sebagian beban yang mengimpit dadanya menghilang. Ia telah mengatakan kepada sahabatnya. Sebuah keputusan besar dalam hidupnya.

“Apakah gugatan cerai yang Anda ajukan itu serius?”

“Bagaimana kalau suami Anda tidak menanggapi gugatan itu?”

“Putri Anda sudah tahu rencana perceraian ini?”

“Penampilan Anda terlihat beda. Anda bahagia mengajar di sekolah ini?”

“Mengapa akhirnya Anda memilih profesi sebagai guru?”

“Apa komentar putri Anda, ketika tahu ibunya menjadi guru?”

Pertanyaan-pertanyaan itu menyambut Larasati di gerbang sekolah pagi itu. Beberapa wartawan berkerumun menyodorkan alat perekam ke arah Larasati. Kilatan blitz kamera menyambar wajahnya berkali-kali. Kejadian itu menarik perhatian murid-murid dan teman-teman gurunya. Mereka saling memandang dan bertanya.

“Benar kataku, ‘kan? Bu Larasati itu istrinya Baskoro, pengusaha kaya yang dipenjara karena pembunuhan itu!” kata guru wanita kepada teman-temannya. “Aku hafal wajahnya, meski potongan rambutnya saat masuk ke sekolah ini berbeda.”

“Dia mau cerai? Kasihan, ya!” timpal yang lain.

Murid-murid mendekati kerumunan itu.

“Ternyata, Bu Laras itu artis?” kata seorang murid.

“Pantas cantik banget!” tambah temannya.

“Kenapa dia jadi guru?” tanya seorang murid, tapi tak dijawab teman-temannya.

Di sudut halaman sekolah, Winata yang baru datang turut melihat peristiwa itu. Pertanyaan-pertanyaan wartawan jelas terdengar dari tempatnya berdiri. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Membuat dadanya sedikit berdebar.

“Saya serius dengan gugatan cerai itu. Jika semua berjalan dengan baik, saya akan hidup berdua dengan putri saya. Sudah, ya, terima kasih. Saya harus mengajar,” jawab Larasati lugas kepada semua wartawan.

“Bolehkah kami meliput Anda saat mengajar, bu?” kejar seorang wartawan.

“Maaf, saya tidak ingin situasi belajar mengajar di sekolah ini terganggu, karena masalah pribadi saya dan kepentingan pers.”

Larasati mengembangkan senyum dan menyibak kerumunan wartawan. Semua mata penghuni sekolah tertuju padanya. Larasati tak dapat mengartikan makna tatapan itu. Ia berusaha melangkah dengan tenang memasuki ruang guru. Tetapi, guru-guru dalam ruangan itu menatapnya, seolah ia makhluk dari luar angkasa.

“Maaf, kalau keadaan tadi mengganggu kenyamanan,” kata Larasati, seraya melempar senyum.

Teman-teman gurunya mengangguk bersamaan.

Larasati menahan tawa geli melihat anggukan kompak itu.

Telepon di ruang tengah berdering.

“Dari Eyang, Bu…,” kata seorang pembantunya, menyodorkan telepon wireless kepada Larasati.

Meskipun semua telah diperkirakan, tak urung dada Larasati berdebar pula mendengar suara ibunya yang menahan kemarahan.

“Apa yang kau inginkan dengan gugat cerai itu, Laras?”

Larasati menarik napas dalam-dalam. Ia ingin memenuhi paru-parunya dengan banyak oksigen sebelum berbicara dengan ibunya. Mendadak nyalinya menciut. Apa yang telah kulakukan? Bukankah ini akan melukai hati Ibu? Tetapi, sesuatu yang kuat menggeliat dalam dirinya. Aku ingin menentukan jalan hidupku sendiri! Aku ingin bahagia!

“Dalem ingin bahagia, Bu,” jawab Larasati, langsung.

“Sudah kau pikirkan bagaimana Galuh nanti tanpa ayah? Dan kau… kau akan berstatus janda, Laras. Bagaimana kau akan menjalani hidupmu berikutnya?”

“Semua akan baik-baik saja, Bu.”

“Kau tidak memikirkan perasaan Ibu.”

Larasati terdiam. Tenggorokannya tercekik.

“Dalem mohon maaf, Bu. Tetapi, dalem tidak bahagia bersama Mas Baskoro. Dalem berharap Ibu mau memahami.”

“Terserah kaulah!” suara Ibu terdengar naik beberapa oktaf, lalu sambungan telepon terputus.

Larasati berusaha menghubungi lagi, tetapi Ibu tidak mau menerima teleponnya. Tertegun di depan gagang telepon air mata Larasati meleleh. Maafkan dalem, Bu. Semua bisa berubah, demikian juga putri bungsumu ini.

Larasati membayangkan perceraiannya akan melewati proses yang sulit. Pada kenyataannya, Baskoro dengan cepat menanggapi gugatan cerai yang dilayangkan Larasati. Melalui kuasa hukumnya, Baskoro mengabulkan gugatan cerai Larasati dan merelakan Galuh dalam pengasuhan ibunya. Maka, tanpa memakan waktu berkepanjangan, Larasati siang ini telah resmi menjadi janda.

Dadanya terasa lapang, ketika melangkah keluar dari pintu pengadilan. Santi menemaninya. Sahabatnya itulah yang selalu membesarkan hatinya selama proses perceraian berlangsung. Puluhan wartawan menyerbunya di halaman pengadilan. Dan, Larasati menyambut serbuan wartawan itu dengan senyum lega.

“Atas doa teman-teman wartawan, semuanya berjalan lancar. Sekarang, izinkan saya memulai lembar baru dalam kehidupan saya.”

Larasati menyibak kerumunan wartawan itu untuk masuk ke mobilnya. Ia tak ingin banyak bicara. Bagi Larasati, semua sudah usai. Santi berusaha keras menutup pintu mobil, yang diganjal berbagai alat perekam oleh wartawan.

“Ya, ampun! Seperti ini rasanya jadi selebriti?” Santi masih terengah-engah, setelah mobil menjauh dari halaman pengadilan.

“Terima kasih atas bantuanmu, San. Semua sudah berakhir.”

Santi memandang wajah sahabatnya. Kemudian mereka saling berpelukan haru.

“Ke mana sekarang, Bu?” tanya sopirnya, mengejutkan mereka.

Larasati menarik tubuhnya dan menyeka air mata. “Menjemput Galuh di sekolah. Aku ingin jalan-jalan dengannya. Kau ikut, San?”

“Hmm, boleh juga.”

Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum.

Larasati memulai lembar baru dalam kehidupannya. Ia dan Galuh pindah ke rumah baru yang lebih sederhana. Menyandang status janda tidak membuatnya berbeda. Mengapa orang di lu-ar sana begitu sibuk mempergunjingkan status yang satu itu? Sementara bagi Larasati, kehidupan barunya ini telah membuatnya menemukan dirinya, kekuatannya, dan tujuan hidupnya. Kecuali, satu hal yang masih mengganjal pikiran Larasati. Ibunya belum juga mau bicara dengannya.

Teman-teman guru dan murid-muridnya di sekolah sudah kembali normal. Mereka tak lagi memandangnya sebagai makhluk luar angkasa yang jatuh ke bumi. Kecuali Winata, yang makin jarang bicara dengannya dan lebih suka menghindar. Semua mata penghuni sekolah tak lagi tertuju kepada Larasati, tetapi kepada Wulan, murid primadona yang digosipkan menyambi sebagai gadis penghibur.

“Bagaimana pendapat Pak Winata mengenai gosip tentang Wu-lan?” tanya Larasati, seraya menghampiri meja Winata.

Winata tampak terkejut. Ia tidak dapat menghindari Larasati seperti biasanya.

“Saya tidak percaya Wulan seperti itu. Dia cantik, pandai, dan berbakat di segala bidang. Mungkin saja teman-temannya iri, lalu menyebar fitnah.”

Winata mengangguk-angguk.

“Pak Winata tidak seperti biasanya.”

“Ehm... tidak ada apa-apa, Bu. Hanya… ah, Ibu mendengar gosip yang sedang berkembang di sekolah,’kan?”

Larasati mengerutkan dahinya.

“Karena saya terlalu peduli, mereka menuduh saya pernah bermain dengan Wulan.”

“Oh, itu. Biarkan saja Pak, yang penting Bapak tidak melakukannya. Ya, ‘kan? Atau, takut pada istri Bapak?”

Winata menghela napas. “Saya belum beristri, kok, Bu.”

“Oh, maaf, Pak. Saya tidak tahu.”

“Saya harus bersiap-siap mengajar. Lain kali kita bicarakan lagi.”

“Oh, baiklah kalau begitu. Terima kasih.”

Winata segera meninggalkan ruang guru. Debar di dadanya makin menjadi.

Pintu ruang BP diketuk dari luar. Larasati mempersilakan si pengetuk pintu masuk. Sekolah ini tak menyediakan guru BP secara khusus. Karena itu, Larasati dan Winata merangkap sebagai guru BP. Larasati tak bisa mendiamkan kasus ini menjadi bahan pergunjingan berkepanjangan. Semua harus segera jelas.

“Silakan duduk!” kata Larasati, tersenyum.

Murid perempuan bernama Anis itu tampak takut-takut.

“Jangan takut, aku hanya membutuhkan sedikit informasi tentang Wulan. Kau mengenalnya, bukan? Apalagi, kalian sebangku,” kata Larasati, langsung pada pokok masalah.

Anis mengangguk. “Apa yang ingin Bu Laras ketahui?”

“Mungkin kau tahu sesuatu untuk menjernihkan masalah yang menimpa Wulan akhir-akhir ini?”

“Saya tidak tahu apa-apa, Bu.”

“Begini Anis, Ibu hanya ingin semua masalah menjadi jernih. Jangan sampai gosip ini menjadi fitnah yang keji. Dengan informasimu, mungkin kita bisa membantu Wulan keluar dari pergunjingan ini.”

“Tetapi…tetapi,” Anis menghentikan kata-katanya. Menatap Larasati lama.

“Ibu akan menjaga kerahasiaanmu. Dan ingat, semua ini kita lakukan semata-mata untuk menolong Wulan.”

“Saya setiap malam belajar bersama Wulan, karena rumah kami berdekatan. Selalu saja ada seorang pria yang datang ke rumah untuk menjemput Wulan setiap malam.”

“Mungkin saudaranya?”

Anis menggeleng. “Bukan. Wulan hanya tinggal berdua dengan ibunya yang sakit. Wulan tidak memiliki saudara.”

“Ibunya sakit apa?”

“Sakit jiwa.”

Larasati terkejut. Apa yang terjadi dalam kehidupan Wulan?

“Mungkin kau tahu hal lain?”

“Tidak, Bu, hanya itu yang saya tahu.”

Larasati mengetuk-ngetukkan pensilnya di meja. Pikirannya melayang ke Wulan. Gadis itu begitu muda dan cantik. Cerdas dan berbakat di segala bidang. Tidak hanya sekali dua kali ia merebut gelar kejuaraan dari berbagai bidang perlombaan. Pialanya berjajar, memperbaiki reputasi buruk sekolah ini. Melihat Wulan, Larasati seperti melihat dirinya di masa remaja.

“Bu, boleh saya kembali ke kelas? Sebentar lagi ada ulangan kimia.”

Larasati tersentak dari lamunannya yang sekejap. “Oh, baiklah. Terima kasih atas informasimu, Anis. Lain kali, kalau Ibu membutuhkan informasi lagi, kau bersedia?”

Anis mengangguk, tersenyum, dan melangkah meninggalkan ruang BP.

Apa yang telah terjadi dalam kehidupan Wulan? Per­mainan hidup seperti apa yang sedang dijalani gadis muda itu? Benarkah ibunya sakit jiwa? Larasati tak henti memikirkan muridnya yang cantik itu. Bahkan, ketika siang ini ia berjalan-jalan untuk belanja berbagai keperluan rumah bersama Galuh, Larasati teringat Wulan. Apa yang dilakukan Wulan pada hari Minggu seperti ini?

“Mama, kita makan es krim di situ, yuk!” ajak Galuh, ketika melihat kafe yang menawarkan beragam es krim.
Larasati menuruti ajakan anaknya. Tetapi, ia sangat kaget ketika duduk di salah satu bangku kafe dan memesan dua cup es krim. Tak sengaja matanya melihat meja pojok. Di meja pojok itu tampak seorang gadis dengan wajah lebam dan rambut berantakan, sedang menunduk di hadapan pria berwajah dingin.

“Ini bayaranmu!” kata pria itu mengangsurkan segepok uang. “Dan lain kali, aku tidak mau melihatmu bersikap seperti anak kecil!”

Gadis itu masih menunduk. Membiarkan pria berwajah dingin di depannya meninggalkan kafe tanpa salam perpisahan. Larasati melihat gadis itu dengan saksama. Rasanya ia tak salah lihat. Bukankah gadis itu Wulan? Apa yang sedang terjadi padanya?

Larasati bangkit dari duduknya. Sebelum Larasati sampai di meja pojok, tiba-tiba tubuh Wulan melorot dari kursinya. Ia pingsan. Larasati dan pelayan berlari menghampiri meja Wulan. Setelah meneliti gadis itu, Larasati yakin bahwa dia memang Wulan.

“Saya mengenal gadis ini. Tolong, bantu saya membawanya ke mobil. Saya akan membawanya ke rumah saya,” kata Larasati, kepada para pelayan.

“Siapa dia, Ma?” tanya Galuh, berlari-lari kecil di samping Larasati.

“Murid paling pintar di sekolah Mama, Sayang.”

Setelah membayar tagihan es krim dan makanan di meja Wulan, Larasati membawa Wulan ke rumahnya.

“Mama, kakak yang sakit itu siuman!” teriak Galuh.

Larasati yang sedang menyeduh minuman di dapur bergegas ke kamar. Wulan duduk di pinggir pembaringan dan menoleh ke kiri ke kanan. Sepertinya ia bingung mendapati dirinya berada di tempat asing.

“Tenang Wulan, kau ada di rumahku,” kata Larasati lembut. “Aku sedang makan es krim bersama Galuh dan menemukanmu pingsan di kafe itu.”

Wulan kaget melihat Larasati berdiri di pintu kamar bersama Galuh. Ia berdiri, berjalan sempoyongan dan menubruk Larasati.

“Kenapa Ibu begitu baik pada saya? Saya kotor, Ibu… kotor!” suara Wulan tersendat-sendat di antara isak tangis.

“Tenang, Wulan, tenang…. Istirahatlah dulu. Nanti, kita bisa ngobrol lagi,” kata Larasati, seraya membelai rambut Wulan.

Larasati membimbing Wulan kembali ke pembaringan.

“Galuh, tolong ambilkan minuman buat Kak Wulan, Sayang.”

Galuh mengambil segelas susu di meja kamar dan memberikannya kepada Wulan. Melihat kepolosan Galuh, hati Wulan tersentuh. Bibirnya menyungging senyum. Elusan tangan mungil Galuh membuat perasaan Wulan menghangat.

“Namanya siapa?” tanya Wulan.

“Galuh.”

“Nama yang cantik, secantik orangnya.”

Galuh tersipu-sipu menggelayut di lengan Larasati.

“Oh, ya, Galuh main dengan Mbak, ya! Ibu ingin ngobrol berdua dengan Kak Wulan. Nanti sore, kita ajak Kak Wulan jalan-jalan. Oke?”

Galuh mengangguk dan setelah pamit kepada Wulan berlari meninggalkan kamar. Larasati menutup pintu kamar dan kembali duduk di pembaringan.

“Apa yang terjadi denganmu, Wulan?”

Wulan menunduk. Air matanya menetes.

“Kalau kau tidak siap bercerita, tidak usah mengatakan apa-apa.”

“Saya ini pelacur, Bu! Pelacur!” kata Wulan lirih.

Larasati menahan napas untuk mengendalikan keterkejutannya.

“Seorang teman menjerumuskan saya ke lembah hitam itu. Ibu saya sakit jiwa dua tahun terakhir ini dan saya membutuhkan uang untuk pengobatannya, membayar uang kontrakan, dan biaya hidup.”

“Bagaimana dengan keluargamu yang lain?” tanya Larasati, hati-hati.

“Saya hanya punya Ibu. Ibu tak pernah bercerita tentang kerabatnya. Benar kata semua orang di sekolah, saya memang pelacur. Bahkan, semalam seorang pria memukuli tubuh saya untuk kepuasannya.”

Seperti ada sembilu yang mengiris jantung Larasati. Dipandangnya gadis muda di hadapannya. Wajahnya lebam. Duh, Gusti, sekejam inikah hidup?

“Kenapa Ibu tidak jijik kepada saya, seperti orang-orang yang lain di sekolah?” tanya Wulan mengejutkan Larasati.
Larasati menggeleng pelan.

“Tidak, Wulan. Seorang makhluk tidak berhak menghukum makhluk lain. Jika kamu izinkan, Ibu ingin membantumu keluar dari lembah hitam ini.”

Tangis Wulan mengeras.

“Baiklah, sekarang kamu makan dan istirahat saja.”

“Terima kasih, Bu Laras.”

Larasati mengangguk, tersenyum.

Berhari-hari Larasati mencari jalan keluar untuk menolong muridnya. Beberapa kali ia bicara dengan Winata mengenai masalah Wulan. Mengentas seorang gadis yang terjerumus lembah hitam bukanlah sesuatu yang gampang. Tetapi, yang membuat Larasati memiliki sedikit harapan adalah Wulan tidak bekerja kepada seorang germo. Selama ini ia beroperasi sendiri. Terkenal karena pembicaraan dari mulut ke mulut para pria hidung belang.

“Mama lagi mikir apa, sih?” tanya Galuh malam itu.

Larasati menggeleng, menyeruput teh hangat di depannya.

“Mama mikir Kak Wulan, ya? Kenapa Kak Wulan tidak diajak tinggal di sini saja, Ma? Dia bisa menemani Galuh. Kayaknya, Kak Wulan baik….”

Larasati tersentak mendengar ide putrinya. Beberapa waktu lalu, Larasati memang menceritakan kesulitan Wulan membiayai sekolahnya kepada Galuh. Ia hanya ingin Galuh belajar bersyukur melihat penderitaan orang lain. Dan kenapa Larasati tidak mencoba mengajukan ide Galuh ini kepada Wulan? Bukankah rumah ini luas dan hanya dihuni empat orang? Dia, Galuh, seorang pembantu, dan sopir. Sejak pindah rumah, Larasati memang tidak mempekerjakan banyak pembantu.

“Tetapi, ibu Kak Wulan sakit, Sayang,” kata Larasati, ketika tiba-tiba teringat ibu Wulan. Kemungkinan yang terjadi jika memindahkan Wulan dan ibunya ke rumah.

“Tidak apa-apa, Mama. Kita bisa membawanya ke rumah sakit, ‘kan?”

Larasati meraih tubuh putrinya dan memeluknya erat-erat.

“Baiklah, kalau Galuh tidak keberatan Kak Wulan dan ibunya tinggal di sini, nanti Mama akan bicara pada Kak Wulan.”

“Jangan lama-lama, ya, Ma. Biar Galuh cepat punya teman.”

Larasati mengangguk dan memeluk putrinya lebih erat.

Setelah mengutarakan beberapa alasan, akhirnya Wulan menyetujui tawaran Larasati pindah ke rumahnya. Sebagai pendekatan, siang itu sepulang sekolah Larasati mengajak Winata menjenguk ibu Wulan.

Rumah Wulan ada di gang sempit dan kumuh. Sebuah rumah petak di antara impitan rumah petak yang lain. Tak ada kursi tamu di ruang depan. Hanya bentangan karpet lusuh di ruang tamu yang sempit.

“Maaf, Bu Laras, Pak Win, rumah kontrakan saya kotor dan sempit.”

“Tidak apa-apa, Wulan, bisa kami bertemu ibumu?”

“Oh, ya, Ibu ada di kamar belakang. Akhir-akhir ini keadaannya lebih baik. Mari saya antar.”

Seorang wanita bertubuh kurus dengan rambut terurai panjang sedang duduk memunggungi pintu. Tangannya sibuk menyulam.

“Ibu, kita kedatangan tamu. Guru sekolah Wulan,” kata Wulan, menepuk pundak ibunya.

Wanita di atas pembaringan itu bergerak sedikit. Lalu, tubuhnya berbalik dan wajahnya terangkat menatap Larasati dan Winata. Seketika dada Larasati bedebar kencang, ketika pandangannya bertumbukan dengan mata wanita itu. Seraut wajah bulat telur, alis tebal hitam yang melengkung dan mata yang sendu. Duh, Gusti, benarkah yang kulihat? Apa mungkin aku salah?

Tubuh Larasati gemetar. Tangan wanita itu menunjuk ke arah Winata dan Larasati bergantian. Bibirnya bergetar. Wajahnya memucat.

“Larasati! Raka!”

Tubuh wanita itu ambruk di pembaringan. Pingsan.

Hidup adalah jalinan berbagai peristiwa yang terpilin de­ngan indah. Bukan kebetulan, jika ia menemukan Prawesti di sebuah rumah petak. Juga bukan kebetulan, jika ia mengenal Raka sebagai Winata teman sesama guru di sekolahnya. Ia lupa bahwa nama lengkap pria itu Raka Winata. Dan Wulan, gadis muda yang terjerumus lembah hitam itu adalah keponakannya sendiri.

Hidup tak ada yang kebetulan. Semua telah direncanakan Sang Pembuat Hidup. Larasati memahami itu. Bahkan, ketika ibunya belum juga mau memaafkannya, itu juga bukan kebetulan. Semua ada waktunya.

“Aku ingin mewawancarai Anda,” kata Andris, suatu siang.

Larasati menggeleng. “Kehidupan lamaku sudah berakhir dan aku tidak mau wawancara untuk itu.”

“Ada yang lebih menarik di sekolah ini ketimbang Anda.” Andris tertawa kecil. “Saya ingin informasi lebih tentang gadis-gadis muda yang terjerumus ke lembah hitam. Siapa tahu jaringan yang menjerumuskan mereka bisa terungkap?”

Dan pertemuannya kembali dengan Andris juga bukan kebetulan. Pria pertama dalam hidup Larasati yang mengatakan bahwa sesungguhnya wanita itu makhluk kuat jika tidak menganggap dirinya lemah itu, kemudian mengisi ruang-ruang kosong dalam dirinya. Mengenalkannya pada rasa memiliki.

Dan Larasati merasa menemukan makna hidup yang ia cari.

No comments: