12.22.2010

Laron Jakarta

Tak tahu mengapa, wanita itu selalu saja melirik ke arahku. Sepertinya, aku ini terlalu menarik untuknya. Ya, apa yang membuat orang lain melirik selain ia begitu menarik – terserah menarik karena bajunya ada noda, tata rias yang berlebihan, atau ada cabai di giginya. Dan, yang kurasakan adalah ketertarikannya itu pada bagian yang jelek, tidak pada kecantikan atau kepintaranku. Itu kan bahaya. Mengancam.

Setahuku namanya Siska, sarjana dari Yogyakarta. Menurut kabar yang beredar, dia pernah tinggal di Belanda selama dua tahun. Kabarnya, dia di Belanda karena mendapat beasiswa, mempelajari tulip. Orang pertanian, kok, malah kerja di bidang periklanan? Tidak sesuai, ‘kan? Makanya, ketika dia diterima sebagai salah satu pekerja di kantorku, akulah orang pertama yang menolaknya.

Apa karena penolakanku itu ia melirikku terus? Terserah….

Dan, dia lewat lagi di depanku dengan lirikan mautnya itu.

Dia masuk ke ruang manajer. Hmm, aku tahu, dia pasti mau merayu. Ayolah, orang seperti dia, apa lagi yang dia andalkan selain kecantikannya itu. Baiklah dia sarjana atau malah pernah tinggal di Belanda, tapi dia kan belum punya pengalaman di bidang ini. Jadi, dasar apa yang membuat dia bisa dipercaya untuk menggarap iklan besar itu.

Oya, Siska langsung mendapatkan proyek besar tepat setelah seminggu bekerja, bisa bayangkan itu? Siapa yang tidak curiga? Ojek payung di bawah gedung ini saja pasti curiga.

Tapi, begitulah, kantor ini sepertinya telah buta. Pria-pria di kantor ini telah mabuk. Pantang melihat yang baru dan segar.

Jangan mengatakan aku iri atau apalah, aku hanya kasihan dengan keadaan kantor sekarang. Suasana kerja sudah sangat berubah, persaingan bukan lagi pada kualitas, tapi lebih mengarah pada dekatnya pegawai dengan pimpinan. Sayang, Jay terlalu cepat keluar, seandainya dia masih memimpin kantor ini, pasti keadaannya lebih baik. Tapi, dia salah juga, kenapa memiliki istri yang cemburuan. Bayangkan saja, Jay berhenti kerja karena istrinya tahu dia ada main di kantor.

Siska belum juga keluar, aku penasaran, apa yang terjadi di dalam sana. Pintu ruangan itu tertutup rapat, aku tak bisa mengintip. Semoga saja ada kisah di sana, kisah yang dapat membuat Pak Don berhenti kerja. Ha...ha...ha..., sepengetahuanku, istri Pak Don tak kalah dengan istri Jay, sama-sama pencemburu. Atau, kulaporkan saja pada istrinya, ya?

Ah, kenapa aku jadi seperti ini? Pekerjaan menumpuk, eh, kok, malah sibuk mengurusi urusan orang. Tapi, kalau Pak Don keluar, aku kan bisa berharap akan datang manajer baru. Ya, manajer yang bisa mengubah suasana kerja. Siska tentunya akan jatuh dan sulit dapat proyek besar.

Dan, Siska keluar ruang Pak Don, menutup pintu, berbalik dan menatapku. Dia tersenyum. Aku tahu, senyumnya pasti berarti senyum kemenangan. Ya, hebat kau Siska, kau bisa mengalahkan aku, walau baru kerja tak sampai sebulan. Hebat. Salut.

Tunggu dulu, dia mendatangiku.

“Mbak Nadia, kata Pak Don....”

Ah, aku tahu. Dia pasti akan mengatakan bahwa Pak Don barusan memecatku. Dan, mejaku ini akan menjadi miliknya. Meja terbaik dan terletak di tempat paling strategis ini akan berpindah tangan.

“Mbak, bagaimana?”

Ya, ya, aku tahu kalau harus pergi. Nikmatilah keberhasilanmu!

“Semuanya terserah Mbak Nadia, kalau Mbak Nadia tidak mau juga tidak apa-apa, tapi tolong, ya....”

Sudahlah, jangan berbasa-basi lagi. Kalau mau mengusir, ya, tinggal usir saja.

“Bagaimana, Mbak? Kok, diam saja?”

Wajah Siska kini tepat di depanku, tersenyum, berjarak hanya sejengkal. “Mbak, melamun, ya?” godanya.
Bah! Apa ini.

“Yee, Mbak Nadia, diajak berbincang kerjaan, kok, malah melotot. Aku serius, Mbak. Aku lagi panik, nih.”

“Kenapa?” tanyaku, spontan.

“Kuulangi, ya, Mbak. Kata Pak Don, aku bisa minta bantuan Mbak Nadia kalau sulit mengerjakan iklan itu. Mohon petunjuknya.”

Ups, sebaiknya kubenahi mentalku dulu. Dia butuh bantuanku. Berarti, dia meletakkan posisiku di atasnya, panutannya. Aku harus jaga wibawa.

“Siapa namamu? Maaf, aku sulit mengingat nama.” Sengaja kugunakan suara yang paling berat. Aku terkekeh sendiri mendengar suaraku yang mirip penyiar RRI.

“Siska, Mbak.”

“Oh, iya, Siska. Ada apa?”

“Begini, Mbak, iklan yang ditugaskan ke aku itu ternyata memiliki tingkat kesulitan yang tidak bisa kuselesaikan sendiri. Karena itu, aku minta bantuan pada, Mbak. Tolong, ya, Mbak.”

Ha...ha...ha..., makanya, kalau belum pengalaman, jangan sok pintar. Magang dulu, lihat cara kerja senior, jangan sembarang terima proyek. Kalau jelek, kantor ini akan ditinggalkan pelanggan, ‘kan?

“Bagian yang mana?” sepertinya suaraku agak berubah ketika mengucapkan kalimat barusan. Terserahlah....

Siska berlari ke mejanya yang tak seberapa jauh dan kembali membawa berkas kerjanya, menunjukkan bagian yang belum tergarap. Kuperhatikan dengan seksama dan aku mengambil kesimpulan kalau yang dimaksud Siska itu memang sulit. Butuh waktu, butuh ide kreatif, dan butuh ilham agar mendapatkan hasil yang baik.

Aku memandang Siska dan mengeluarkan senyumku yang paling manis. “Siska, ini gampang, mana yang sulit?”
Eh, kalimatku barusan malah membuatnya tersenyum senang. Ada apa dengan anak ini.

“Jadi, Mbak Nadia, mau membantu, ‘kan?”

Aduh. Kenapa dia tidak mengerti? “Aku masih ada kerjaan. Iklan kecil memang, tapi aku kan harus profesional,” elakku.

“Ya, itu dia, Mbak. Pak Don sudah merestui kita bekerja sama.”

“Bekerja sama?”

“Ya. Proyek ini kita garap bersama.”

“Aku kan punya garapan sendiri.”

“Kata Pak Don, garapan Mbak Nadia dialihkan ke Mas Beno.”

“Apa?”

Siska diam. Langsung saja kulangkahkan kaki ke ruang Pak Don.

Pak Don sedang duduk sambil memandang komputer jinjingnya.

“Oya, Nad, bantu Siska, ya.”

“Tidak bisa begitu, Pak. Tidak bisa asal tunjuk orang, apalagi saya lagi ada kerjaan. Dan, kerjaan saya itu sudah mau selesai.”

“Sudahlah, biar si Beno yang selesaikan. Kamu tahu kan kalau si Beno itu sudah sangat lama tidak dapat kerjaan yang benar.”

“Itu karena dia tidak becus....”

“Ya, anggap saja kamu malaikatnya kali ini. Garapanmu yang hampir selesai itu kan akan membantunya mengembalikan kemampuan yang pernah ia miliki. Ya, semacam perangsang gitulah.”

Apa lagi ini?

“Nad, proyek Siska ini proyek besar. Jadi, kita harus membuat yang bagus agar mereka puas. Dan, saya anggap hanya kamu yang bisa membantu Siska.”

“Tapi, Pak...”

“Sudahlah, ada bonus besar menantimu.”

Aku keluar ruangan Pak Don dengan perasaan yang tidak menentu. Membantu Siska berarti aku berada di bawahnya, kan. Terus, kalau iklan itu sukses, yang dapat nama Siska, ‘kan.

Wanita itu masih di mejaku.

“Bagaimana, Mbak? Benar kan yang aku bilang tadi?” sambutnya.

Cerewet.

“Kapan kita mulai kerja, Mbak?” sambungnya lagi.

“Aku keluar dulu, mau merokok....”

“Aku ikut, Mbak.”

Apa lagi ini.

Aku selalu merokok di atap gedung ini. Sangat menyenangkan melihat kesumpekan Jakarta dari atas. Apalagi sambil merokok, seakan menjadi Tuhan saja. Ya, berada di atas tanpa ada yang bisa melihat, bukankah seperti Tuhan? Sayang, aku tidak sendirian sekarang. Wanita kurang ajar ini masih saja menempel.

Dia menolak rokokku, katanya, dia memang tidak merokok. Kalau tidak merokok, mengapa mengikutiku sampai ke puncak gedung begini? Sebagai gantinya rokok, dia malah sangat cerewet. Berbincang terus tentang idenya untuk iklan tersebut. Aku suntuk. Kenapa di tempat yang menyenangkan seperti ini masih saja membicarakan pekerjaan.

“Kenapa kerja di sini?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

“Aku suka bidang periklanan, Mbak.”

“Hanya karena suka?”

“Uangnya, tentu, Mbak.”

“Tapi, masih banyak perusahaan lain, kenapa memilih di sini?”

“Mbak bisa pegang rahasia?”

Hmm, membuka rahasia untuk mengambil hati. Paling-paling rahasia tidak berbobot. Ya, pasti dia akan mengatakan kalau dia berasal dari keluarga miskin, mencari uang di Jakarta untuk membiayai keluarganya. Basi. Aku tak akan terpengaruh. Aku tak akan menjadi temannya. Kenapa? Ya, karena setelah iklan ini selesai, dia pasti akan meninggalkanku. Ayolah, ini Jakarta, aku sudah sangat sering mendengar kisah seperti itu. Ayo, katakanlah rahasia basa-basimu itu.

“Sebenarnya aku malu mengakuinya, tapi aku pikir Mbak Nadia bisa dipercaya. Dan, aku suka dengan Mbak Nadia. Ya, setidaknya, aku ingin kita tidak sekadar teman kerja saja. Menyenangkan sekali kalau ada teman berbagi di kota yang keras ini.”

“Sudahlah, Sis, rahasia apa?” tanyaku, tak sabar untuk mendengar basa-basinya itu. Sungguh, aku ingin mendengar sebuah kebohongan hari ini.

“Mas Jay, kalau bukan karena dia, tentunya aku tidak bisa kerja di sini. Ya, ijazahku tidak mendukung, Mbak. “

“Jay, mantan manajer di sini?”

“Ya, dia yang merekomendasikan aku.”

Apa? Jay? Dasar buaya! Tapi, tunggu dulu, “Kamu saudaranya?”

Siska menggeleng dan aku mengerti.

“Kenapa, Mbak, kok, mukanya jadi tegang begitu?”

“Tidak apa-apa, syukurlah kamu memiliki kekasih seperti dia,” balasku, datar.

Kau akan kuhajar, Jay!

“Kok, masih tegang? Sebenarnya ini tidak benar, tapi bukankah hal seperti ini biasa? Yang penting, aku akan berusaha mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan Mas Jay.”

“Ya, sudah sepantasnya,” jawabku.

“Mbak Nadia juga direkomendasikan? Kalau boleh tahu, oleh siapa?”

Aku tertawa dalam hati, ”Tidak ada, aku melalui jalur yang tidak biasa. Ya, masuk melalui ujian dan wawancara yang ketat sudah menjadi aneh, ‘kan? Tapi, sudahlah, bukan suatu masalah. Ayo, turun....”

“Ini rahasia, ya, Mbak.”

Ya, ini memang rahasia. Dan, Siska yang sedang jatuh cinta, tahukah kau bahwa aku tidak direkomendasikan Jay, tapi dimasukkan ke kantor ini oleh dia. Puas!

Apa yang harus kulakukan sepulang kerja nanti? Kembali ke rumah, memberi makan ikan hias di kolam, menonton televisi sambil minum kopi instan, atau langsung menghubungi Jay?

Pengakuan Siska telah mengganggu kemapananku. Darah seperti mendidih, aku jadi takut makan sate kambing kalau begini. Jay, lelaki yang kubanggakan, ternyata sama saja. Aku jadi curiga, jangan-jangan Jay seperti pencari bakat di klub sepak bola. Dia mengunjungi sekolah sepak bola atau klub kecil, melihat pemain berbakat yang bisa dipekerjakan atau dijual.

Ya, dia mendatangi universitas-universitas, mencari yang cantik dan bisa diandalkan, terus dipacari, dan berujung pada pekerjaan. Apakah ada orang lain selain aku dan Siska? Apa mungkin istrinya juga korban seperti kami?

Kalau memang begitu, akan kulakukan semuanya. Ya, aku hubungi dia untuk datang ke rumah, terus tidak lupa memberi makan ikan, dan minum kopi sambil nonton televisi. Telah kutetapkan itu. Selihai-lihainya Jay, aku harus lebih lihai. Dan, aku tidak mau ritual senjaku harus berubah hanya karena kekadalannya itu. Aku tidak akan kalah.

Sisa hari kerja tidak ada sesuatu yang berarti. Kesibukanku hanya memindahkan berkas kerja dan ide-ideku pada Beno. Paling-paling yang membuatku sedikit terganggu hanya pada kecerewetan Siska. Bayangkan saja, dia sudah menganggap aku sebagai temannya. Halo! Apakah karena telah berbagi rahasia satu kali sudah bisa dianggap sahabat, teman sejati, atau pasangan jiwa? Enak sekali, ya. Memangnya dia tidak tahu apa yang ada dalam otakku ketika berhadapan dengannya? Kenapa dia tidak bisa menangkap keenggananku? Bukankah dia hidup lama di Yogya, kota yang penuh dengan makna terpendam.

Seperti kata orang-orang, kalau ingin hidup di Yogya, kita harus belajar ilmu semiotika terlebih dulu. Di sana, segalanya memakai perlambang, simbol, dan bahasa tubuh yang penuh makna. Nah, kenapa Siska tidak mengerti apa yang telah kukatakan lewat bahasa tubuhku?

Tapi, sudahlah, masih ada yang lebih berbahaya saat ini. Jay telah setuju untuk datang malam ini. Dia pasti berpikir, aku mengundangnya seperti malam-malam sebelumnya. Ya, makan malam yang indah, menu sederhana, duduk di meja makan dua kursi tepat di samping kolam ikan hias yang memiliki pancuran air berbentuk malaikat cinta bersayap. Ya, sayap, cinta yang bersayap, benar-benar sesuai. Huh, tidak akan ada makan malam seperti itu!

Siska mendatangiku lagi, “Mbak, nanti ada acara tidak? Aku main ke rumah Mbak Nadia boleh tidak?” bisiknya.
Apa lagi ini.

“Ya, sudah, besok-besok sajalah,” katanya, tapi tidak berlalu. Dia tetap saja duduk di dekat mejaku.

Beno mendatangiku, “Nad, kalau kita memakai ide lain bagaimana? Maksudku, aku punya ide untuk menggunakan olahraga untuk menyampaikan pesan,” katanya.

Menggunakan olahraga untuk iklan obat pilek?

“Ben, terserah kamu, ini kan sudah jadi proyekmu. Tapi, kenapa dengan ide awal yang sudah kuberikan?”

“Aku suka idemu, kencan yang gagal gara-gara ingusan, tapi menurutku itu sudah biasa. Coba bayangkan seorang pemain sepak bola, penjaga gawang, yang tidak bisa menghalau tendangan penalti hanya karena ada ingus di hidungnya? Lagi pula, kita kan bisa membantu kemajuan sepak bola nasional secara tidak langsung. Keren, ‘kan.”
Bagus sekali, saking bagusnya, kenapa dia bisa diterima kerja di sini?

“Tapi, Ben, idemu itu membutuhkan orang banyak. Contohnya, berapa jumlah pemain sepak bola itu, wasit, dan para pendukungnya. Belum lagi kamu harus memikirkan lapangannya. Ini kan iklan kecil, Ben, dana operasionalnya bisa membengkak.”

“Iya juga, ya, tapi....”

“Ya, aku tahu, kamu ingin memakai idemu sendiri, ‘kan? Pikirkanlah sesuatu yang minimalis, namun dapat menyuarakan pesan produk. Ideku dibuang juga tidak apa-apa. Oke.”

Beno mengangguk dan pergi. Siska tersenyum, “Ternyata benar seperti kata orang-orang, Mbak Nadia bisa diandalkan.”

“Apa yang kamu dengar?”

“Ya, beberapa iklan kita yang berhasil tidak lepas dari tangan Mbak Nadia.”

Aku tersenyum. Jadi, kau baru tahu kehebatanku, ‘kan?

“Terus bagaimana, Mbak?”

“Apanya?”

“Ya, nanti ada acara tidak?”

Ya, ampun!

“Mungkin lain kali, ya?” tanyanya.

Aku mengangguk cepat.

“Ya, sudah, aku ke mejaku dulu, ya....”

Aman. Terbebas. Dan, aku bisa pulang dengan melenggang.

Seandainya Siska tahu apa yang terjadi antara aku dan Jay, pasti dia tak akan begitu bernafsu untuk berteman denganku. Ya, sesama wanita tak boleh duduk di satu kursi, ‘kan? Kursi cadangan sekalipun.

Baru saja aku mengaduk kopi instan, terdengar bel berbunyi. Tumben, Jay datang lebih awal.

“Masak apa?” katanya, begitu pintu kubuka.

Aku tak menjawab, aku juga tidak memberikan ciuman selamat datang seperti biasa. Aku duduk menghadap televisi. Jay sibuk ke dapur, pergi ke kolam, dan akhirnya mendekatiku sambil memasang wajah bingung. “Kok, nggak masak? Apa kamu ingin kita makan di luar?”

Aku tetap tak menjawab. Kusibukkan diri dengan mengganti saluran acara.

“Ada apa?” tanyanya lagi.

Kupandangi dia, apakah sudah saatnya kuhajar? Pasti menyenangkan rasanya kalau rambut tebalnya itu kugunting zig-zag saja pakai pisau cukur.

“Ada apa, kok, aneh?”

“Ada anak baru di kantor, belum sampai sebulan.”

“Ya, kenapa dengan anak itu sampai kita tidak makan malam seperti biasanya?”

“Tidak ada-apa.”

“Dia mengganggumu? Ya, sudah, nanti kuhubungi Don, biar dipecat dia.”

“Kamu masih punya suara di kantor?”

Jay tertawa bangga. “Siapa manajer yang paling berhasil sejak perusahaan itu berdiri? Jelek-jelek begini, aku masih mendapat tempat di sana. Tapi, jangan bilang-bilang istriku kalau aku dijadikan konsultan.”

Siapa yang mau melapor?

“Kok, aku nggak tahu?”

“Kejutan.”

“Sekuat apa posisimu?”

“Yaa, bisa menggagalkan iklan yang jelek dan sebagainya.”

“Oh, berarti, selama ini keberhasilanku tak bisa lepas darimu, ya.”

Jay tertawa.

“Terus, kamu juga punya suara untuk menerima pegawai baru?”

“Jelas. Bukan Jay namanya kalau tidak punya kuasa.”

Pantas.

“Sudahlah, aku rindu sekali padamu. Kita makan di luar saja bagaimana?”

Tidak akan. “Namanya Siska...”

“Siapa?” balas Jay. Kuperhatikan mimiknya, biasa. Aktor hebat.

“Anak baru itu namanya Siska.”

“Oh, begitu. Jadi nggak kita makan?”

“Aku kenyang.”

“Aku lapar.” Rayunya. Hmm, dia mau mengalihkan pembicaraan.

“Masak saja, di dapur banyak bahan yang bisa dimasak.”

“Bagaimana kalau kita masak bersama?”

Aku tahu, terakhir kali masak bersama tidak menghasilkan apa-apa. Dia malah sibuk memakanku tanpa pernah menyentuh bahan masakan. Aku tidak akan tergoda.

“Malas.”

“Kamu kenapa, sih, Nad?”

Aku diam saja. Sengaja mata kuarahkan ke televisi.

“Oke. Kenapa dengan Siska?” tanyanya.

Kupandangi dia, kulihat ada sedikit amarah di sana.

“Sarjana pertanian, kenapa bisa kerja di kantorku?”

“Mungkin dia punya kemampuan lain. Ayolah, Nad, di zaman ini ijazah kan hanya untuk syarat administrasi saja.”

“Kamu kenal?”

“Siska? Mungkin, tapi aku belum bertemu dengannya. Kamu tahulah, walau aku masih punya peran di kantormu, untuk muncul di sana kan tidak mungkin. Paling-paling si Don melaporkan sesu­atu padaku, begitu.”

“Kok, mungkin?”

“Ya, kukatakan mungkin karena mungkin saja si Don pernah bercerita tentang dia. Ayolah, pekerjaanku kan tidak itu saja.”

“Itu namanya tidak kenal.”

“Makanya kukatakan mungkin.”

Aku tidak membalasnya. Kuperhatikan dia dengan seksama. Kucoba ulang apa yang barusan ia katakan. Aku seperti detektif di komik-komik yang sibuk memecahkan sandi. Dan, di depanku ini adalah tersangka. Sayang motifnya belum terbaca, jadi aku belum bisa menjeratnya dengan segala undang-undang yang kukuasai.

“Sudahlah, aku lapar. Kupikir akan mendapatkan makanan yang menyenangkan seperti biasa. Kalau begini jadinya, bagus aku pulang ke rumah saja.”

Apakah aku harus percaya pada Jay? Tapi, Siska sepertinya jujur. Kenapa aku jadi begini?

“Aku pulang sekarang saja.”

“Tunggu, Jay. Aku masakkan sebentar....”

Jay tertawa sambil memelukku.

Ah, terserahlah, nikmati saja hari ini. Kalau ini berarti kebohongan, bukankah siang tadi aku ingin mendengar suatu kebohongan? Terserah yang bohong Siska atau Jay, setidaknya salah satu dari mereka pasti bohong. Ya, aku telah mendapatkan kebohongan hari ini. Cukup.

Besok aku harus mendapatkan satu kejujuran. Terserah dari Jay atau Siska, aku tidak peduli!

Aku tidak ingin menunggu, kudatangi langsung Siska di mejanya. Hari ini dia memakai rok pendek berwarna hijau, atasannya baju kuning terang. Bibirnya tersaput lipstik warna cokelat gelap. Hmm... tampaknya dia harus lebih banyak membaca majalah mode.

Tapi, baru setengah perjalananku ke mejanya, aku berpikir, mengapa aku mendatanginya? Apa yang harus kukatakan? Halo! Nadia, apakah kau akan menanyakan langsung tentang hubungannya dengan Jay?

Aku berbalik ke mejaku dengan pertanyaan yang masih menggantung. Sebaiknya kutunggu saja ia bicara sendiri. Ya, itu akan terlihat lebih dewasa. Tapi, kalau dia tidak membicarakannya, bagaimana, ya?

Akibatnya, hingga waktu istirahat tidak ada perbincangan tentang Jay. Kami sibuk membahas iklan itu saja. Menyedihkan sekali. Makin sering berbincang tentang pekerjaan, aku makin sadar bahwa dia pintar juga. Uff, aku tidak boleh mengakui itu. Jika aku mengakui kemampuannya, maka aku bisa kalah. Bukankah dia meminta bantuanku. Atau, apakah mungkin ia meminta bantuanku agar aku tahu kehebatannya? Dengan kata lain, dia meminta bantuanku untuk mengalahkan aku. Ya, melecehkan aku.

Aku memilih tidak makan siang. Sendirian aku berdiri di atas gedung memandang bawah dengan pandangan yang tak tentu arah. Biasanya aku selalu menyukai hal ini. Ayolah, siapa yang tidak menyukai menonton adegan tabrakan, amarah, tangis, dan luka? Dan, adegan itu bukan rekayasa, bukan adegan seperti di televisi. Bayangkan saja, kau melihat perkelahian secara langsung tanpa harus terlibat secara langsung.

Sayang, hari ini aku tidak menikmati pemandangan seperti itu. Pikiranku masih terganggu, aku masih penasaran. Aku butuh suatu kejujuran hari ini. Aku harus mendapatkan hal itu.

Sesungguhnya aku berharap Siska menyusul ke atas. Tapi, hingga aku suntuk, ia tidak muncul juga. Apakah seperti ini definisi teman baginya? Bah! Kenapa aku malah seperti ini.

Aku turun saja. Kutemui saja dia, terserah kalau tindakanku kali ini bisa dikatakan tidak dewasa.

Tapi, aku harus menemukan cara mencari informasi yang pintar. Tidak mungkin kan kalau aku langsung menyerangnya. Apa jadinya kantor ini kalau hubunganku dengan Jay diketahui umum. Selama ini kami selalu berhasil menutupi hal tersebut. Istrinya saja tidak tahu bahwa aku yang ada main dengan Jay. Ya, sepengetahuan istrinya, Jay selingkuh dengan anak buahnya di kantor tanpa tahu siapa dia.Ayolah, berapa banyak wanita muda di kantor ini? Dan, hebatnya, hubunganku dengan istri Jay adalah sangat dekat. Dia menganggapku adiknya. Dia tidak pernah curiga denganku. Hebat kan. Lalu, hanya gara-gara Siska, semuanya jadi terbuka?

Dan, sekarang wanita berbusana gado-gado itu ada tepat di depanku. “Ada apa, Mbak?” tanyanya.

Aku tergagap, aku belum siap, tapi mengapa aku sudah ada di depannya? Ayolah, segala kekuatan yang ada di alam ini, berikanlah kekuatanmu. Berikan aku kalimat yang bisa menjebaknya. “Nggak penting, tapi mungkin penting juga, sih.”

Wanita itu tersenyum melihat sikapku barusan.

“Katakan saja, Mbak, mungkin aku ada pemecahannya.”

Wah... wah, dia merasa lebih hebat dariku. Memangnya siapa dia? Aku tak butuh konsultasi tentang pekerjaan. Aku jauh lebih hebat. Aku sudah sangat lama bekerja di sini, eh, anak baru sudah sok gaya.

“Nggak ada hubungan dengan pekerjaan.”

Dia tersenyum lagi, “Aku tahu, Mbak. Tidak mungkin Mbak Nadia menanyakan tentang pekerjaan.“ Dia tersenyum terus. “Mbak Nadia kan jauh lebih pengalaman....”

Tahu juga dia.

“Ada apa, Mbak?”

Apa yang harus kukatakan?

“Hubungan dengan Jay...” Ya, ampun. Apa yang kukatakan?

“Ya, kenapa dengan Mas Jay?”

“Tidak ada apa-apa. Hanya, aku mau minta tolong. Jay masih ada janji padaku. Pekerjaan sebelum dia keluar. Tapi, setelah keluar, aku tidak bisa menghubunginya lagi, mungkin nomor teleponnya ganti. Kebetulan sekali kamu ada di sini, ya, begitulah....” Uff, kalimat yang mengerikan. Tapi, keren juga.

“Mbak Nadia butuh nomor telepon Mas Jay?”

“Nggak, nggak. Maksudku, kamu tolong telepon dia, mungkin dia tidak mau bicara denganku. Jadi, tolong tanyakan saja janjinya itu.”

Ini jelas kalimat yang paling keren. Dengan begini, aku bisa tahu, benar tidak si gado-gadi ini pacarnya Jay. Hmm, pintar juga.

“Sekarang?”

“Kapan lagi?”

Aku akan tahu siapa yang berbohong kemarin. Aku berdoa, Siska tidak memiliki nomor Jay. Tapi, kulihat dia mengangkat telepon dan mulai menekan angka. Ah, paling dia pura-pura. Lalu, nanti dia katakan, tidak diangkat oleh Jay, mungkin Jay lagi sibuk. Basi.

Siska terlihat panik. Teleponnya belum diangkat juga. Aku jadi ingin tahu, siapa yang diteleponnya.

“Mas Jay....” Aku dengar suara itu keluar dari mulut Siska. Benar­kah? Sayang, aku tidak bisa mendengar suara dari seberang sana.

Tapi, bisa saja dia menipu, ‘kan? Ya, biar tidak malu karena ketahuan berbohong, dia pura-pura menelepon Jay. Tapi, aku tidak akan tertipu. Aku jadi tertarik pada Siska, apakah dia tidak capek merangkai kebohongan ini?

“Tidak, tidak ada apa-apa. Apa? Kangen? Ye, Mas Jay yang nggak datang-datang, kapan datang? Nanti malam? Okelah, aku masakin ayam goreng, ya? Eh, Mas, jadi lupa, nih. Nggak, nggak begitu penting. Aku hanya mau cerita, aku punya teman sekarang. Kebetulan sekali, begitu dia tahu hubungan kita, dia langsung menanyakan janji Mas Jay sebelum keluar dari kantor ini. Kenapa? Aku percaya dengan dia, santai saja. Namanya Mbak Nadia. Memangnya janji apa, sih? Oh, begitu. Kenapa? Ya, sekarang dia di sampingku. Kenapa? Mau bicara langsung?” Siska memandangku. “Kan bagusnya langsung bicara dengan orangnya, biar selesai, tidak bagus ingkar janji.”
Aku terima gagang telepon. Darahku terbakar. Benarkah Jay yang ada di seberang sana?

“Halo....”

Tidak ada balasan. “Halo,” kataku lagi. Tetap sama. Kupandang Siska, dia juga bingung.

“Hai, Nadia.” Kudengar suara itu, benar-benar suara Jay. Aku harus tetap tenang. Siska tidak boleh tahu.

“Halo, Pak Jay, bagaimana dengan proyek yang kemarin itu? Bonus yang dijanjikan belum saya terima. Kata Pak Don, sudah Bapak pegang. Oh, gitu, baiklah, saya tunggu, ya.” Kututup telepon tanpa berusaha membalas ucapan Jay dari seberang sana.

Siska menatapku bingung.

“Eh, lupa, maaf, aku langsung menutup teleponnya,” kataku.

“Tidak apa-apa, Mbak, santai saja.”

Aku tersenyum.

“Oya, bagaimana kalau nanti malam bergabung dengan kami. Mbak Nadia bisa menanyakan langsung pada Mas Jay.”

Apa lagi ini?

“Ayolah, Mbak, kalian berdua kan orang terdekatku yang ada di kota ini. Ayolah, Mbak.”

Apa yang harus kujawab?

“Ayolah, mungkin Mas Jay juga kangen, kan sudah lama dia tidak bertemu dengan Mbak Nadia. Mas Jay kan sudah empat bulan tidak bekerja di sini lagi. Lama, ‘kan?”

Kangen karena lama tidak bertemu? Kau tahu Siska, tadi malam dia nyenyak sekali tidur di dadaku.

“Lain kali saja, ya. Aku ada janji nanti malam,” jawabku singkat.

“Benar?”

“Salam saja buat Jay, eh, Pak Jay maksudku.”

Aku kembali ke meja. Sudah kudapati kejujuran di hari ini. Lalu, apa yang harus kuharapkan untuk besok? Peperangan, perkelahian, tangis, atau apa? Ah, lihat besok sajalah.

Mengejutkan. Baru saja aku duduk, telepon di mejaku berdering. Apakah Jay? Hmm, aku tak perlu alasannya, dia sudah berbohong. Ayolah, jangan tambah lagi kebohonganmu Jay. Apakah tidak capek menciptakan kebohongan baru. Seperti kata orang bijak, satu kebohongan harus didukung seribu kebohongan baru. Sudahlah, aku tahu kau berbohong, berarti sudah cukup. Dan, aku juga sudah mendapatkan kejujuran hari ini. Jadi, aku tidak berharap mendapatkan kejujuran yang lain.

Kuangkat telepon. “Nadia, nanti malam kita jalan, yuk....” Suara wanita. Menarik juga.

“Ke mana?” tanyaku.

“Ada tempat makan baru, tadi diliput di televisi.”

“Boleh, jemput aku, ya.”

“Beres, jam setengah delapan aku sudah di rumahmu.” Dia menutup telepon.

Karen. Kami akan menghabiskan makan malam berdua. Kau tahu Karen, kemarin malam aku habiskan waktu dengan suamimu. Dan, ketika kami menghabiskan waktu berdua menikmati makanan yang dipromosikan televisi, suamimu malah menghabiskan waktunya dengan anak baru gado-gado itu.

Ah, tidak, aku tidak akan mengajak Karen untuk melabrak suaminya. Tidak dewasa. Tapi, menarik juga, aku ingin melihat wajah Jay ketika berhadapan dengan tiga wanitanya sekaligus. Tunggu dulu, bisa saja ada wanita lain. Apakah perlu kuajak sekalian saja?

Kuperhatikan rekan kerjaku yang lain, mungkinkah ada di antara mereka yang memiliki nasib sama dengan aku dan Siska. Tampaknya tidak.

Aku kembali ke meja Siska. “Alamatmu di mana, mungkin aku bisa mampir, tapi tidak janji, ya.”

Siska tertawa senang, tawa yang jujur. Secarik kertas langsung berpindah tempat. Dan, aku kembali ke mejaku.
Baiklah, kita tunggu nanti malam, ada tontonan yang menarik. Bersiaplah. Sediakan minuman dingin dan kentang gorengmu, mungkin film ini berdurasi panjang.

Karen terlambat lima belas menit. Ah, paling-paling dia beralasan kena macet. Maklumlah, Jakarta tidak mengenal waktu kalau berhubungan dengan macet. Basi, memang. Tapi, memang begitu keadaannya.

Ya, Jakarta, kota paling tabah di Indonesia. Kota yang mengajarkan warganya untuk mengelus dada, sabar, dan menerima apa saja yang didapat. Siapa bilang kalau Jakarta kota yang kejam? Ayolah, apakah ketabahan telah menjadi sesuatu yang kejam? Tidak, ‘kan? Jakarta itu kota yang budiman karena warganya selalu menjaga pengertian. Bayangkan saja, kita bisa mengerti keterlambatan janji, walau kita sedang berada di puncak kelaparan. Hebat, ‘kan.

“Maaf, Nad, biasalah, macet.”

Benar, ‘kan. Lihatlah wajah Karen, tidak ada terlihat penyesalan karena terlambat. Sedang aku, tersenyum dan menjawab, “Santai saja.” Benar-benar suatu pengertian yang tulus.

“Ayo, berangkat, aku sudah lapar, nih,” katanya.

Kau tahu Karen, aku sudah sangat lapar sebelum kau keluar rumah tadi.

Syukurnya, tempat makan itu tidak begitu jauh. Perjalanan kami hanya membutuhkan waktu tak sampai setengah jam. Kenapa aku tak tahu tempat ini? Kelihatannya menarik, tata ruangnya sangat menggoda, mereka menggabungkan gaya Eropa dan Nusantara. Lucu juga. Bayangkan saja, di sudut ruang, tepat di dekat jendela samping, ada seikat bunga tulip yang dilindungi payung Bali. Di tempat yang berlawanan, ada miniatur Menara Pisa yang bagian bawahnya bertebaran bunga melati.

Tidak itu saja, lihatlah meja di dekat kasir, ada patung David Beckham memakai koteka. Lihat juga Rumah Gadang itu, dia berada tepat di tengah-tengah replika kota Paris. Bisa bayangkan lengkung atap Rumah Gadang bersaing dengan tingginya Menara Eiffel?

Kami memilih meja yang dekat dengan bunga tulip. Dari meja ini kita bisa memandang keluar dan bisa juga melirik koteka Beckham. Aku jadi penasaran dengan menu yang disediakan. Apakah ada pizza rasa rendang, soto london, atau burger jengkol?

Ah, nasi goreng. Karen memesan nasi goreng. Ayolah, di pinggir jalan juga banyak, ‘kan. Bagaimana ini, benarkah pilihannya?

“Nasi gorengnya yang paling istimewa,” ucap Karen.

“Menurut televisi?”

“Yup, minuman yang paling istimewa di sini adalah wedang jahe.”

Apa?

Kuperhatikan menu lainnya, tidak ada yang menarik. Namanya saja begitu standar, tidak ada yang unik seperti tata ruangnya. Terpaksa aku ikuti menu pilihan Karen. Dan, setelah dua suap kumakan, aku menyadari bahwa nasi goreng yang dimaksud ternyata biasa saja. Jujur, masih enak nasi goreng yang dijual pedagang keliling yang sering lewat depan rumahku. Tampaknya aku harus menghubungi televisi agar mau meliput tukang nasi gorengku itu. Wedang jahe? Sama saja, rasanya persis dengan jahe pabrikan.

Kami keluar dari tempat makan dengan dua ekspresi yang berbeda. Karen terlihat bahagia dan aku merasa hampir gila. Kenapa aku lupa, Karen itu penggila nasi goreng. Jadi, apa pun bentuknya, selama itu nasi goreng, bisa dinikmatinya dengan sukacita. Kena aku kali ini.

Sampai di mobil, dalam perjalanan, kuingatkan diriku untuk suatu misi yang hampir terlupa. Alamat sudah di tangan. Jay, bersiaplah bertemu dengan tiga bidadarimu sekaligus. Banggakah kau?

“Kita ke tempat temanku sebentar, yuk.”

“Siapa?”

“Teman baru, ya, rekan kerja di kantor.”

“Siapa?”

“Namanya Siska, lucu juga anaknya. Kau pasti suka.”

“Jangan terlalu lama, ya, kasihan Jay sendirian di rumah.”

Aku tersenyum, untungnya Karen sedang menyetir, jadi dia tidak bisa melihat senyumku yang aneh ini.

“Makanya, buat anaklah, biar ramai rumah.”

“Maunya, tapi belum berhasil juga.”

Aku tersenyum. Sudah tujuh tahun Jay dan Karen menikah, tapi belum juga memiliki anak. Alasan yang pintar bagi Jay untuk mencari wanita lain, ‘kan? Kenapa Karen tidak mencari pria lain? Bukankah itu alasan yang pintar juga?
Kami tiba di alamat yang dituju. Rumah itu terlihat sepi. Benarkah ini rumahnya? Mungkinkah Siska memberikan alamat fiktif? Sepertinya tidak mungkin, pasti ada yang tidak beres.

Kubunyikan bel. Tak ada tanda-tanda orang di dalam, kami pun kembali. Kami masuk mobil dengan dua ekspresi yang berbeda, Karen terlihat bingung dan aku hampir gila karena marah.

“Ke mana lagi?” tanya Karen.

“Pulang sajalah.”

Awas kau Siska. Kau harus menerima kemarahanku!

Dan, besoknya Siska memakai baju biru dengan rok berwarna biru. Lipstik tipis berwarna bibir. Lumayan. Biar begitu, aku tetap marah. Kudatangi saja dia.

“Wah, maaf, Mbak. Aku tunggu hingga pukul delapan, tapi Mbak tidak datang juga. Jadi, kami makan di luar. Padahal, aku sudah masak. Nggak tahu kenapa, Mas Jay, maunya makan di luar.”

Oh, begitu. Setelah basa-basi sebentar, aku pun kembali ke meja. Aku jadi curiga. Jay, kalau benar pikiranku, aku salut. Kau memang buaya.

Kuangkat telepon dan menelepon Karen.

“Ya, Jay yang menyuruhku jalan dengan kamu. Katanya, kasihan kamu yang tidak pernah keluar. Ya, kupikir benar juga, sudah lama kita tidak keluar, ‘kan?” balas Karen.

Kututup telepon dan kutelepon Jay.

“Ada apa, Nad?”

“Nanti malam ke rumahku, ya.”

“Tumben?”

“Ada yang harus kita selesaikan.”

“Ayolah, Nad, kita sudah dewasa. Jangan sampai aku samakan kamu dengan Karen.”

“Santai Jay, aku tidak peduli dengan Siska atau siapa lagi yang berada di kantor ini.”

“Hanya kalian berdua, santai saja.”

“Datang tidak?”

“Ngapain?”

“Kamu tidak rindu makan di pinggir kolam?”

“Baiklah. Tapi, aku tidak menginap.”

Kututup telepon dan kutelepon Karen.

“Apa?”

“Nanti malam ke rumahku sebelum pukul setengah delapan, tidak bisa tidak.”

Kututup telepon dan kudatangi Siska.

“Nanti malam aku masak yang enak, kamu datang, ya. Tapi, sendirian saja.”

“Benar? Asyik. Tapi, bagaimana kalau pulang kerja kita pulang bersama saja?”

“Itu lebih baik. Kamu tidak harus permisi dengan Jay, ‘kan?”

“Ah, tidak perlu. Santai saja.”

Beres.

Tapi, tunggu dulu, bagaimana nasibku jika semua ini terbongkar? Apakah hubunganku dengan Karen akan berubah? Kalau hubunganku dengan Siska, aku tidak peduli. Dengan Jay? Bagaimana dengan pekerjaanku? Dia kan masih punya kuasa di kantor ini.

Apa yang kucari? Aku menikmati hubunganku dengan Jay, begitu juga dengan Karen. Semua ini gara-gara wanita itu muncul. Kenapa Siska harus muncul ketika kemapananku telah tercipta dengan susah payah?

Kalau tidak gara-gara Jay, mungkin saat ini aku kerja di kantor kecil di Medan sana. Bah, aku tidak mau kehilangan semua ini. Tapi, aku juga tidak mau terus-menerus begini. Aku tidak bisa membayangkan hidupku ke depan yang harus berhubungan terus dengan kekasihnya kekasihku.

Kusandarkan kepala di meja. Bersandar, mencoba berpikir tentang masa di depan sana. Makin melihat ke depan, aku merasa makin kecil saja. Posisiku tidak kuat dan aku pasti akan menjadi korban dari apa yang telah kulakukan.
Jika kubandingkan diriku dengan Karen, tentunya dia memiliki posisi yang lebih kuat. Pernikahan adalah hukum dan dia telah mendapatkannya. Mungkin, dalam urusan ranjang aku lebih unggul, setidaknya menurut pengakuan Jay. Tapi, di mata hukum, akulah penjahatnya. Kalah. Mungkin, jika aku menikah dengan Jay, keadaan akan berkata lain. Tapi, bagaimana dengan Karen? Tentunya dia tidak mau dimadu, dia akan menuntut cerai.

Lalu, apa yang kulakukan sekarang? Memacari suami orang! Adakah yang kagum pada orang seperti aku?
Tapi, Siska lebih parah, ‘kan? Dia memacari suami dan kekasih orang lain. Kalau dalam sepak bola dia telah membuat dua gol dalam satu pertandingan. Hebat. Hebatnya lagi, dia telah mengalahkan aku. Aku hanya bisa membuat satu gol dan gol itu pun dari titik penalti.

Dibandingkan Karen, aku kalah, dibandingkan Siska, kalah juga. Apakah aku tidak pernah unggul dalam hidup ini? Kenapa aku tidak pernah terpilih menjadi utusan sekolah dalam perlombaan bidang studi antarsekolah? Kenapa ketika sekolah dasar aku tidak pernah menang di setiap lomba baca puisi? Apa yang salah padaku hingga dunia ini memberikan aku posisi yang mendekati puncak, bukan puncak.

“Nad, besok kami siap ke lapangan, ideku diterima Pak Don.”

Kulihat Beno sudah berada di samping mejaku. Kuberikan senyumku yang paling manis. “Selamat, Ben. Jadinya seperti apa?”

“Aku tidak pakai idemu dan membuang ide olahraga itu. Ini tentang pria yang sedang pilek, dia selalu membawa saputangan di sakunya. Suatu hari, ia merogoh saku, tapi tidak menemukan saputangannya. Kau tahu apa yang ditemukannya? Produk kita.”

“Wah, berarti kamu temukan ide yang baru, yang orisinal.”

“Bukan ideku, tapi ide Siska.”

Oh, begitu. Lalu, apa maksudmu, Beno, menceritakan hal ini padaku? Kau ingin melihat kekalahan di wajahku?
Aku tak tahu, tiba-tiba saja Beno sudah tak ada di depanku, mungkin dia melihat mimikku yang mengerikan ini dan takut hingga terbirit.

Gantinya, Siska sudah di depanku. Tidak perlu kukatakan bahwa darahku mendidih. “Sore nanti jadi kan, Mbak?” tanyanya.

Tak perlu lama dan berpikir panjang, kuanggukkan kepala.

Karen tiba saat aku dan Siska masih sibuk di dapur. Kukenalkan mereka berdua, aku tersenyum melihat mereka yang terlihat saling menilai. Suatu tontonan yang menarik, dua wanita cantik saling mencari kelebihan dirinya masing-masing. Tapi, sepertinya aku termasuk di dalamnya, rasanya aku diperhatikan juga. Apa maksudnya?
Pukul 8, masakan telah selesai. Jay belum tiba juga.

“Ayo, makan, apa lagi yang kita tunggu?” tanya Karen.

Terpaksa aku menyilakan mereka makan. Ke mana Jay? Apakah dia tahu rencanaku? Siapa yang membocorkan, Karen atau Siska? Keduanya memiliki peluang yang sama. Siska tentunya menceritakan rencananya pada Jay. Karen pasti melaporkan pada Jay bahwa malam ini dia akan ke rumahku. Secara psikologis, seorang pencemburu tidak mau dicemburui, ‘kan? Jadi, jika ia mewajibkan suaminya melaporkan kegiatannya, secara langsung ia juga akan melaporkan kegiatannya pada suaminya.

Basa-basi malam ini benar-benar basi. Mereka berdua sibuk berbincang tentang nasi goreng yang enak. Aku hanya memerhatikan mereka berbincang dan kudapati bahwa Karen menyukai Siska. Bahaya jika Karen sampai menganggap Siska sebagai kawan. Artinya, posisi Siska akan seaman aku. Tapi, tunggu dulu, bukankah mereka tidak saling tahu. Kenapa tidak kuberi tahu? Hmm, biarkan saja Siska dijambak Karen. Aku aman karena Karen dan Siska sama-sama tidak tahu posisiku. Menarik juga.

“Dari tadi sibuk bicara tentang nasi goreng, kenapa tidak bicarakan pria?” pancingku.

“Nad, kamu cari kekasih dan menikah, dong. Mau sampai kapan kamu begini?” balas Karen, yang disambut tawa Siska.

“Siapa yang mau padaku?”

“Mbak Nadia terlalu merendah, secantik ini masih menanyakan siapa yang mau. Mengejek kita, ya, Mbak Karen?”

“Karen sudah menikah, Sis.”

“Maaf, masih terlihat begitu muda, sih.”

“Sudahlah, ngapain ngomongin suami. Ayolah, kita jangan ikuti pikiran para pria. Pria itu, kalau bertemu dengan sejenisnya, pasti menceritakan wanita. Masa kita juga begitu? Kita obrolkan dunia wanita sajalah.”

Tidak berhasil pancinganku. Kami terlibat lagi pada perbincangan yang tak jelas, dari busana pembaca berita sampai bunga pilihan istri pejabat. Apakah harus kukatakan pada Siska bahwa Karen adalah istri Jay? Lalu, kukatakan pada Karen bahwa Siska adalah kekasih Jay. Menjijikkan. Tukang adu domba. Tapi, peduli apa? Yang penting aku untung, ‘kan? Biar tahu rasa Siska. Aku ingin melihat ia melempem bak kerupuk yang kena air.

“Wah, menyenangkan sekali malam ini. Sayang, aku harus cepat kembali. Maklumlah, aku kan istri yang baik.”
Apa?! Karen permisi pulang?

“Bareng saja bagaimana, Mbak? Kalau tidak merepotkan,” ucap Siska.

“Boleh.”

Mereka pulang meninggalkan aku yang terluka. Ya, terluka karena masalah yang kumiliki belum terselesaikan juga.

Jay menelepon. Katanya, tidak bisa datang karena Karen keluar. Jadi, dia takut ketahuan sedang berada di rumahku.

“Nggak, Karen tidak cerita ke mana. Karena itulah, aku jadi waspada.”

Oh, begitu. Baguslah. Kututup telepon tanpa ada janjian untuk bertemu. Aku sedang malas. Aku malas pada hidup ini. Apakah aku pulang saja ke Medan. Tabunganku sudah banyak. Aku bisa kerja apa saja di sana kalau hanya untuk membunuh waktu. Tapi, kalau kembali ke Medan, berarti aku kalah. Bagaimana tanggapan kawan-kawan di sana, kawan-kawan yang telah menganggap aku hebat. Ya, siapa yang tidak hebat jika bisa berhasil di Jakarta ini.

Paginya aku terlambat ke kantor. Entahlah, aku merasa sangat malas. Malas memandang hidup dan tentunya malas memandang Siska.

Baru pertama kali terlambat, langsung dipanggil manajer.

“Nadia, ada masalah yang harus kita bincangkan.”

Aku duduk berhadapan dengannya. Ia berdiri dan menutup pintu. “Ini penting, tentang masa depan kita di perusahaan ini. Rahasia.”

“Baiklah, apa yang perlu saya ketahui?”

“Tentang Pak Jay....”
Apa? Apakah dia tahu tentang hubunganku dengan Jay? Tapi, dari mana dia tahu? Lalu, dia akan mengambil kesempatan. Dia mau aku menyetorkan tubuhku padanya. Tidak akan.

“Saya tahu hubungan kamu dengan Pak Jay dan saya tahu kemampuanmu. Karena itu, sangat disayangkan kalau kamu terus berada dalam kekuasaannya. Apa yang akan saya katakan mungkin akan membuat kamu marah dan itu bisa mengubah hubungan kita....”

Sudah, katakan kalau kau memang gatal.

“Saya ingin kamu bijaksana. Begini, Nad, kamu tahu siapa Siska? Dia itu masuk melalui rekomendasi Jay. Tanpa tahu keadaannya saja kamu sudah tidak setuju dia masuk, ‘kan? Nah, saat tahu, tentunya kamu makin tidak setuju dengan keberadaan Siska di sini.”

“Maksudnya?” tanyaku tak sabar. Kenapa terlalu berbelit-belit? Apakah akan ada kejutan yang menyenangkan?

“Ada dua kemungkinan yang bisa kita ambil dari keadaan ini. Satu, kamu sangat marah pada Siska hingga berusaha membuat dia terlempar. Kedua, kamu menjadi benci pada Jay. Saya lebih menyu­kai kemungkinan kedua. Nah, siapa Jay hingga kita mempertahankannya mendapatkan posisi dan keuntungan dari kerja keras kita? Mungkin, bagi kamu penting. Tapi, pikirkanlah secara bijak. Dia punya istri dan kekasih lain. Ayolah, saya tahu Siska itu juga kekasihnya. Saya mengenal Jay sudah sangat lama, Nad.”

“Maksud Pak Don sebenarnya apa?”

“Coba pikirkan, kenapa dia masukkan kamu dan Siska ke kantor ini? Mengapa dia menjadikan saya manajer?”

“Karena dia butuh orang kepercayaan?”

“Dengan kata lain, ia ciptakan kita untuk mendukung kemapanannya. Lalu, kita bisa menyingkirkan Siska dan Jay sekaligus. Syaratnya, kita bergabung, bersatu. Apa gunanya seorang konsultan, jika kita sendiri mampu menyelesaikan sendiri? Terus terang saya capek dan merasa terhina, jika terus begini. Nama kita tidak tercatat di kepala direktur. Kamu tahu kan, semua ini gara-gara Jay!”

Menarik. Aku bisa lepas dari Jay dan aku membinasakan Siska.

“Sudahlah, saya buka-bukaan sekarang. Langkah yang akan kita ambil ini sudah saya lakukan sekian waktu. Mungkin, kamu bisa lihat, proyek cenderung saya berikan pada orang yang dekat pada saya, ‘kan. Kamu tetap saya berikan proyek agar Jay tidak curiga, begitu juga Siska. Saya gabungkan kamu dengan Siska pun karena itu. Dengan kata lain, sesungguhnya saya tidak percaya pada Siska. Saya lebih percaya pada kamu. Masalahnya, apa kamu siap menyingkirkan Jay dari kantor ini dan dari hidup kamu? Jika siap, kita laksanakan mulai hari ini. Saya punya kartu as.”

Aku mengangguk. Terserah Jay. Siapa suruh membuatku marah.

“Siska sudah menganggap kamu temannya, ‘kan?”

Aku tertawa. “Pak Don yang mengatur semua ini?”

“Jelas. Dia bercerita padamu tentang rekomendasi itu?”

Aku mengangguk. Pintar juga dia.

“Kamu siap bersaksi di depan direktur?”

“Apa?”

“Itu kartu as kita. Pengakuan saya tidak akan kuat. Jika ditambah dengan kesaksian kamu, direktur akan yakin. Kamu tahu kan bahwa direktur sangat membenci nepotisme di perusahaannya. Dia juga sangat anti pada pria yang gila wanita. Kalau saja tidak kubela Jay di depan direktur, tentunya dia tidak akan menjadi konsultan. Kamu tahu kan, Karen melaporkan perselingkuhan Jay pada direktur. Itu yang membuat Jay keluar dari kantor ini.

“Tapi, kenapa dia masih punya kuasa di kantor ini?”

“Sayang, buktinya tidak kuat. Karen tidak memiliki nama wanita itu. Untuk menghormati kemarahan Karen, direktur mengambil langkah bijak, menjadikan Jay konsultan. Bisa bayangkan jika aku bersaksi untuk menolong Karen. Jay dan kamu akan dipecat secara tidak terhormat. Setelah itu kalian berdua tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan di bidang ini.”

“Bagaimana dengan pekerjaanku?”

“Kamu tidak akan diusik. Yang kita singkirkan adalah Jay dan Siska.”

Benar-benar menarik. Aku bisa bayangkan wajah Jay saat tahu bahwa aku yang bersaksi untuk menjatuhkannya. Tapi, bisakah Pak Don kupercaya?

“Apa bukti bahwa Bapak tidak menjebak saya?”

“Saya akan pindahkan kamu ke ruang di depan ruang saya ini.”

Wakil manajer! Aku tersenyum yakin.

“Sebelum jam pulang kita bertemu direktur. Siapkan dirimu....”

Aku kembali ke mejaku di ruang besar, ruang komunal. Kuperhatikan meja dengan seksama, begitu juga dengan pemandangan yang bisa kulihat dari meja. Meja yang menarik, meja terbaik di ruang ini. Sayang, sebentar lagi akan kutinggalkan. Siapa yang akan menempati mejaku nanti. Mataku memandang Beno. Aku tertawa, mungkinkah Beno yang akan berada di sini?

Kualihkan pandangan ke Siska. Apakah kau akan kembali ke Yog­ya setelah ini? Belanda?

Baru saja aku ingin berangkat menikmati waktu istirahat di puncak gedung, ketika telepon di mejaku berbunyi. “Nad, aku di tempat makan depan kantormu. Ayo, kita makan siang bareng,” ajak Karen.

Tidak ada salahnya. Anggap saja makan bareng terakhir.

Kuperhatikan sekeliling. Sudah sepi. Siska tidak ada di mejanya. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman ketika keluar dari gedung. Sepertinya, aku akan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan, padahal aku hanya akan makan bersama Karen. Ada apa ini?

Tak ada perbincangan yang berarti hingga makan selesai. Karen sudah membuka pembicaraan yang sama sekali tidak kuduga.

“Bagaimana pekerjaanmu, Nad?”

Tumben, baru kali pertama ini Karen berbicara tentang pekerjaan.

“Sebenarnya ini urusan kantor. Tapi, sebagai teman aku ingin mengatakan sesuatu yang mungkin bisa menolongmu. Sebaiknya kamu jauhi Don. Aku menyayangimu sebagai sahabat. Saking sayangnya, aku siap berbagi suami.”

Karen, kamu ngomong apa?

“Don itu ular. Dia melaporkan padaku tentang perselingkuhan Jay. Aku jadi identik dengan istri yang sangat pencemburu.”

“Don yang melaporkan?”

“Ya, dia yang melaporkan.”

“Siapa wanita itu menurut Don?”

“Dia hanya menduga, tidak memberikan nama. Lucunya, direktur malah percaya. Kalau tidak karena aku, mungkin Jay masih menganggur. Kubela dia di depan direktur. Sebenarnya, sejak dulu, aku dan Jay ingin cerita pada kamu. Tapi, kami pikir itu bisa mengganggu suasana kerjamu.”

Aku lega. “Baiklah, jika begitu, kita bicara yang lain saja.”

“Nad, lihat aku baik-baik. Apakah ada wanita seperti aku?”

“Maksudmu?”

“Aku tahu hubunganmu dengan suamiku. Tapi, sungguh, aku malah suka karena kamu yang berhubungan dengannya.”

Karen, apakah kau wanita berhati malaikat?

“Aku sakit, Nad. Paling lama tahun depan aku akan mati. Karena itu, saat Jay mengakui perselingkuhannya dengan kamu, aku sangat senang. Aku tulus.”

“Jangan mengada-ada....“

“Sudahlah, jangan malu. Seperti kukatakan tadi, aku tulus. Aku mencintai Jay. Karena itu, setelah mati, aku ingin ia mendapat pendamping yang benar. Aku setuju kalau dia memilih kamu.”

Apa lagi ini?

“Sudahlah, Nad, jangan merasa bersalah, aku malah mau berterima kasih pada kamu.”

Kupandang Karen dan kudapati kejujuran di sana.

“Aku dan Jay minta maaf. Kami memang sengaja membuat hubungan kalian seakan benar-benar perselingkuhan yang indah, yang memiliki risiko. Aku melarang Jay untuk mengatakannya padamu. Aku takut kamu tidak mau bertemu aku atau Jay lagi.”

“Sekarang kamu sudah tidak takut?”

“Malah sangat takut. Besok aku akan mulai dikarantina. Aku takut kamu malah meninggalkan Jay.”

Kuperhatikan wanita di depanku ini. Dia terbuat dari apa? Terus terang, aku lebih suka dia menjambak dan mencakarku, ketika tahu bahwa aku simpanan suaminya.

“Kamu sakit apa? Kenapa tidak terlihat bahwa kamu sakit parah?”

Dia tertawa.

“Kamu tahu, Nad, munculnya Siska malah menguatkan kami untuk mengatakan hal ini padamu.”

“Kamu tahu dia kekasih Jay?”

Dia tertawa, “Ya, sangat tahu malah.”

“Lalu, kamu biarkan saja?”

“Aku suka sekali ketika kamu kenalkan aku dengan dia. Malam itu Jay malah ingin menyelesaikan semuanya. Dia ingin datang dan memberitahukan semuanya tanpa terkecuali. Termasuk tentang Siska.”

“Siska adalah boneka yang kalian ciptakan untuk mengujiku/”

“Bukan, dia itu tokoh yang muncul di saat yang tepat. Dia itu kaki tangan Don. Seperti yang ada di pikiranmu saat ini, dia adalah simpanan Don! Kamu sudah bisa menebak kenapa dia bisa jadi manajer, ‘kan?”

“Tapi, aku dengar sendiri dia berbicara mesra dengan Jay.”

“Siska disodorkan Don pada Jay. Tapi, aku percaya pada Jay. Dia tidak akan tergoda karena sudah memiliki aku dan kamu. Dia gunakan Siska untuk mengetahui kemauan Don, sekaligus melihat keseriusan kamu padanya.”

Kenapa aku seperti korban permainan begini?

“Jangan marah, ya. Semua ini kami lakukan untuk kebaikan bersama. Saat ini Siska, sudah berada di pihak kita. Mungkin, Don tahu tentang membelotnya Siska. Karena itulah, Don ketakutan hingga mulai mendekati kamu. Siska tadi melapor, kamu dipanggil dan berbincang lama. Bisa ditebak dengan mudah, dia pasti sedang memengaruhi kamu.”

Ah, kenapa semuanya menjadi sangat mengerikan?

“Jay tidak akan kembali lagi ke kantor itu. Ia menjadi konsultan karena ingin terus memantaumu. Jika tidak, mungkin ia akan tolak tawaran direktur itu. Sudahlah, terserah kamu, aku yakin kamu bisa melihat mana yang terbaik. Aku pulang dulu, badanku letih sekali.”

Kubiarkan Karen pulang. Kuambil telepon genggam dan kuhubungi Jay. Pasti dia ada di tempat ini dari tadi. Kenapa aku tak melihatnya?

“Aku sembunyi di meja sebelah sana. Maaf, semua yang dikatakan Karen adalah benar. Kamu kupersilakan marah, tapi tolong jangan tinggalkan aku.”

“Nanti sore Don mengajak aku bertemu dengan direktur,” balasku, tanpa berusaha romantis.

“Oh. Kalau begitu, apa yang sempat dia minta pada kamu jadikan bumerang baginya. Itu saja. Gampang, ‘kan? Aku dukung kamu dari belakang.”

Sampai di kantor langsung kutemui Siska. Hari ini dia memakai baju gado-gado lagi. Kasihan juga, tampaknya aku harus membelikan majalah mode.

“Maaf, Mbak, kalau bukan karena Mbak Karen, tentunya aku tak akan sadar,” katanya.

“Sudahlah. Yang penting kamu tahu siapa aku dan aku tahu siapa kamu sebenarnya. Hal itu adalah syarat untuk menjadi teman,” balasku.

Siska tersenyum senang. Menyenangkan juga berteman dengannya. Setidaknya, nasibnya mirip denganku.

Karierku ditentukan sore ini, aku harus memikirkan langkah terbaik. Aku tidak mau menyerah, aku harus mempertahankan posisiku. Setidaknya, Jay berjanji untuk menolongku. Semoga saja dia telah menelepon direktur.
Sore tiba dan aku merinding menghadapinya. Berdua Don aku masuki ruangan direktur. Ada senyum di bibir pria tua itu untukku, sangat sekilas, tapi bisa dilihat dengan jelas. Apakah ini tanda-tanda kemenanganku?

Basa-basi dimulai. Tak lama kemudian, Don bersiap memberikan laporannya. Aku tidak mau kalah, aku harus mendahuluinya.

“Maaf, jika saya merusak suasana. Di hadapan Pak Direktur dan Pak Manajer, hari ini saya menyatakan bahwa saya ingin mengundurkan diri. Tolong jangan ditanya alasannya.”

Kulihat direktur tersenyum. Don panik.

“Baiklah, kami pikirkan dulu. Silakan kembali ke mejamu.”

Aku keluar tanpa melirik ke arah Don. Entahlah, rasanya mual kalau melihat wajahnya. Tapi, kenapa direktur tidak menahanku? Apakah dia tidak melihat jerih payahku selama ini? Berapa iklan yang telah kubuat dan berbuah sukses. Segampang itukah? Apakah Jay telah menelepon direktur dan menyarankan agar menerima pengunduran diriku? Tapi, bukankah Jay tidak tahu apa yang akan kukatakan tadi.

Ah, kuberesi saja mejaku. Terserahlah, aku harus menerima jika memang aku diizinkan untuk mengundurkan diri. Apa yang kulakukan setelah itu? Menjadi istri yang baik? Tidak akan. Aku akan mencari pekerjaan lain. Setidaknya, aku keluar bukan karena kasus, jadi untuk apa takut kalau tidak akan mendapatkan pekerjaan baru.
Don sudah kembali dari ruang direktur. Dia langsung ke mejaku. “Kau dipanggil...,” katanya, sambil berlalu.
Kenapa aku dipanggil? Apakah aku harus memberikan kesaksian seperti rencana Don? Apakah pengunduran diriku diterima?

Aku masuki kantor itu dengan hati-hati. Pria tua itu tersenyum.

“Pengunduran dirimu sebagai tim kreatif senior saya terima....”

Wah, habis sudah karierku di kantor ini. Sudahlah....

“Namun, saya tidak menerima pengunduran diri kamu dari perusahaan ini. Ya, saya anggap kamu adalah sosok istimewa. Hasil kerjamu sangat bagus.”

“Maksud Bapak?”

“Gantikan Don dan cari wakilmu!”

“Tapi, Pak....” Ingin sekali kukatakan bahwa aku masuk ke perusahaan ini gara-gara Jay.

“Ini perintah!”

Aku keluar dari ruang direktur dengan perasaan yang mengerikan. Bayangkan saja, aku tidak bisa menerjemahkan perasaan itu.

“Selamat, ya, Bu Manajer!” teriak Beno.

Aduh, kenapa begitu cepat tersebar. Kulihat seluruh rekan kerja berdiri dan memberikan selamat. Kudekati Siska, “Kenapa semuanya tahu?” tanyaku.

Siska tidak menjawab, dia hanya menunjuk alat pengeras suara yang ada di sudut ruangan sebelah atas. Jadi, direktur membiarkan perbincangan tadi didengar seluruh pegawai.

“Tampaknya, aku pantas jadi wakilmu, Nad,” ujar Beno, sambil berbisik.

Aku tertawa. Tidak akan, Ben.

Kulirik Siska, menarik juga. Tapi, tidak akan kujadikan wakil. Dia masih terlalu muda di kantor ini. Dia masih harus banyak belajar. Siska kutempatkan saja di mejaku, kurasa itu sudah cukup.

Jadi siapa? Siapa yang akan kujadikan wakilku?

No comments: