12.22.2010

Lelaki Pilihan

“Rin, orang tuaku hendak menjodohkan aku, kata Nina pada temannya, Rini, yang datang berkunjung.

Minuman yang sedang diminum Rini tumpah sebagian. “Ha? Di abad internet ini masih ada perjodohan yang diatur orang tua? Yang benar saja kamu!” kata Rini, sambil mengelap tumpahan kopinya.

“Aku sudah menduga reaksimu pasti demikian. Tapi, ini serius. Aku dijodohkan dengan seorang pengusaha,” kata Nina.

“Jadi, ini benar-benar serius?”

“Mana mungkin aku main-main untuk urusan seserius ini?”

“Soalnya, kamu sendiri kelihatannya santai-santai saja. Siapa menduga bahwa situasinya serius. Lalu, kamu sendiri suka atau tidak dengan pria itu?”

“Aku tidak bisa bilang suka atau tidak. Wajahnya saja aku tak tahu. Tapi, katanya, dia sudah pernah mengenal aku. Kata ibuku, kami sudah pernah ngobrol panjang lebar. Tapi, aku tidak ingat.”

“Lha, waktu itu kamu ngobrol tentang apa?”

“Dia datang menengok ibuku yang baru pulang haji. Kamu tahu sendiri kehidupan di kampung sebelum dan sesudah berangkat haji. Kami menerima banyak tamu. Bukan sekadar banyak, tapi buaaanyak banget. Jadi, mana aku ingat, dia itu tamu yang mana. Mana yang aku ajak ngobrol dan mana yang tidak, aku juga tak ingat. Saat itu aku hanya berperan sebagai tuan rumah yang beramah-tamah dengan tamu-tamu yang datang.”

“Hmm... berarti, saat itu dia sudah mulai tertarik padamu, dong. Kamu tidak merasa bahwa ada pria yang tertarik?”

“Tidak, tuh. Karena, saat itu mungkin dia belum tertarik padaku!”

“Lebih baik kamu jelaskan duduk perkaranya, deh. Pusing aku mendengar penjelasan yang sepotong-sepotong,” seru Rini penasaran, sambil duduk bersila.

“Dia seorang duda. Anaknya satu. Orang tuanya sudah sering menyuruh dia menikah lagi. Tapi, karena alasan kesibukan, dia tak sempat mencari jodoh. Begitulah cerita yang kudengar dari ibuku. Benar tidaknya cerita itu, aku juga tidak tahu. Sampai suatu ketika orang tuanya menawarkan untuk membantu mencarikan jodoh. Dia setuju. Kebetulan, orang tuanya sudah kenal baik dengan orang tuaku. Eh, orang tuaku langsung menawarkan aku. Kebetulan lagi, dia ingat padaku karena mengaku pernah ngobrol lama. Dia berpendapat, aku lumayan juga. Jadi, dia setuju dijodohkan. Kemudian, orang tuanya datang ke rumahku untuk melamar.”

“Apa pekerjaannya?”

“Dia pengusaha furniture rotan yang cukup sukses dan anggota DPRD di kotaku. Katanya, dia juga lulusan Universitas Kairo. Entah belajar apa di sana,” gerutu Nina, kesal. Kesal pada ibunya, kesal juga pada pria itu.

“Hmm... hebat juga dia.”

“Hei, aku ceritakan ini padamu agar kamu berada di pihakku, bukan malah memihaknya.”

“Kalau tidak setuju, kenapa kamu tak bilang pada ibumu?” tanya Rini santai, sambil menyeruput kopinya kembali.

“Sudah! Tahu sendiri jika ibuku sudah punya kemauan. Susah untuk dibelokkan. Dia malah bilang begini, “Kamu sudah sekian tahun diberi kesempatan untuk mencari jodoh sendiri. Tapi, mana hasilnya? Tak ada satu pun pria yang kamu bawa ke Bunda untuk diperkenalkan sebagai calon suami. Jadi, jangan beralasan macam-macam. Kini, giliran Bunda untuk membantumu mencarikan jodoh. Sebelum masuk ke liang kubur, Bunda ingin putriku satu-satunya menikah,” kata Nina, sambil menirukan gaya ibunya kalau marah.

“Pasti kamu tak bisa menang jika berdebat dengan ibumu. Ibumu, kan, sama kerasnya denganmu.”

“Itulah susahnya. Yang ingin aku lakukan sekarang, bertemu pria itu dan memakinya. Kenapa bikin gara-gara memintaku untuk kawin.”

“Aku jadi ingin tahu seperti apa wajah pria itu. Aku datang, ya, hari Sabtu? Nanti, aku akan berpura-pura mengambil artikel yang sudah kamu edit. Atau... aku bisa menyelamatkanmu! Aku datang menjemputmu untuk pergi dari rumah. Bilang saja, kita sudah janjian.”

“Ya, lalu kau dan aku bakal mati digantung ibuku! Tidak! Ini bukan waktu yang tepat untuk menghindari ibuku. Ibuku pasti tahu itu. Dia tak pernah bisa kubohongi. Jadi, skenariomu itu tak bakal mempan melawan ibuku.”

“Oke, aku tak akan menjemputmu. Tapi, kalau sekadar datang, boleh ‘kan? Aku bisa membantu menyuguhkan minuman, misalnya.”

“Jangan cari perkara, ah! Aku tidak ingin kau atau siapa pun datang saat itu. Nanti malah akan merusak rencanaku.”

“Kamu punya rencana apa?”

“Belum tahu, tapi sedang kupikirkan,” jawab Nina.

Rini tergelak. “Tapi, ngomong-ngomong, kamu yakin tidak ingin menikah?”

“Entahlah. Rasanya, minatku pada perkawinan makin lama makin memudar. Aku sudah merasa enak begini. Aku sudah siap secara mental maupun finansial untuk mandiri tanpa suami. Aku bahkan sudah mempersiapkan keuangan untuk masa tuaku kelak. Aku juga sudah merancang kehidupan yang akan kujalani di masa tuaku.”

“Sudah sejauh itu rencanamu? Meski begitu, apa tak sebaiknya kau lihat dulu calon suami yang disodorkan ibumu. Siapa tahu cocok.”

“Nggak akan! Tapi, aku memang harus bicara padanya. Karena, toh, menghindari ibuku juga tak ada gunanya. Dia akan terus mengejarku sampai aku menyerah. Jadi, lebih cepat kuselesaikan, lebih baik. Yang pasti, akan kumaki-maki dirinya karena telah membuat masalah,” sahut Nina, ketus.

Hari Sabtu akhirnya tiba juga. Pikiran Nina sejak pagi tak bisa tenang. Ditambah, malam sebelumnya dia tak bisa tidur memikirkan perjodohannya. Hal ini berdampak pada penampilannya. Wajahnya tak sesegar biasanya. Ada garis hitam di bawah matanya. Walau dia sudah menyapukan sedikit bedak, wajahnya tetap kelihatan tak berseri. Hai, kenapa aku mesti memusingkan penampilanku. Masa bodoh dia mau menilai bagaimana, batinnya.

Ketika ada mobil berhenti di depan rumahnya, tak urung hatinya berdebar. Dihelanya napas beberapa kali agar tenang. Seorang pria berpakaian batik lengan panjang keluar dari pintu tempat ia menyetir. Nina agak tertegun melihat wajahnya. Dengan kulit kuning langsat, ditambah mata hitam yang tajam, dan alis mata yang tebal di atasnya, bisa dibilang bukan wajah yang jelek. Bentuk tubuhnya juga sempurna untuk lelaki seusianya. Tapi, belum tentu hatinya segagah penampilannya, katanya dalam hati.

Setelah menatapnya sekilas, pria itu menganggukkan kepala, sebelum dia membukakan pintu bagi ayah dan ibunya. Cukup sopan juga, batinnya dengan kesal. Kenapa harus kesal? Karena, apa yang diharapkannya tak sesuai dengan keinginannya? Tanpa disadarinya, dia mencari-cari ‘kesalahan’ pria itu, yang sekiranya dapat dijadikan alasan kuat untuk menolak ‘tawaran’ ibunya.

“Nina, Sayang. Kau baik-baik saja, Nak?” seru ibunya demonstratif, sambil memeluknya. Wajah keriput ibunya terlihat bersinar bahagia.

“Ini anakku, Nina. Ayo, Nak, kenalan dengan masmu.” Tanpa membuang waktu, ibunya langsung menggiring anaknya pada calon menantu. Digiring seperti anak kecil begitu, membuat Nina bertambah kesal.

“Ilham,” ucap pria itu, sambil tersenyum menenangkan. Dia cukup awas melihat perubahan air muka Nina, kala ibunya menyorongnya mendekat.

“Silakan masuk,” ujar Nina formal, lalu berpaling ke arah ibunya.

Nina segera mengikuti ibunya ke belakang, sementara ayahnya menemani Ilham di ruang tamu. “Bunda, kita harus bicara lagi,” bisik Nina.

“Cakep kan pilihan Bunda?” bisik ibunya, tak menggubris Nina. “Pokoknya tak mungkin Bunda pilihkan yang mengecewakan.”

“Bunda....”

“Sudahlah, sana cepat buatkan minuman. Ayahmu dari tadi sudah kehausan,” ujarnya, membelokkan pembicaraan. Dengan menghela napas, Nina mengambil beberapa cangkir dan menyeduh teh manis. Namun, di ruang tamu ternyata hanya dijumpai Ilham, yang sedang mengamati isi rumah.

“Mana Ayah?” tanya Nina.

“Ke kamar, kelihatannya. Rumahmu sangat nyaman. Kamu ter­nyata senang pada perabot antik. Tataan yang kamu buat juga sangat cantik,” katanya, sambil memandangi isi ruangan.

Ruang tamu dan keseluruhan rumah Nina sebetulnya kecil. Namun, Ilham merasa, calon istrinya ternyata pintar memilih perabot-an. Walaupun perabotan yang mendominasi rumahnya dari kayu jati, dengan pemilihan ukuran yang tepat, perabotan tersebut tak terkesan berat. Bahkan, sangat cantik ketika dipadukan dengan hiasan topeng dari Cirebon, lukisan kaca, kain tradisional, gerabah, wayang, dan beberapa benda etnik lainnya. Sebagai pengusaha furniture, dia tahu kualitas suatu barang dengan satu kali lihat. Dari hasil pengamatannya, calon istrinya punya cita rasa seni yang tak bisa diabaikan, juga dalam ketelitian pemilihan bahan.

“Itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Aku, toh, menirunya dari majalah interior, lalu mencari barang-barang sejenis di toko ba­rang antik di Ciputat, dan menatanya persis seperti di majalah itu,” jawab Nina ketus, sambil menata minuman di meja.

Ilham terlihat kaget dengan keketusan Nina. Seingatnya, gadis yang diajaknya mengobrol dulu adalah seorang yang ramah, sangat menyenangkan untuk diajak bicara. Bukan gadis ketus seperti ini. Apa karena perjodohan ini? Kemudian, dia tersenyum. Ingin diketahuinya langkah Nina selanjutnya.

“Silakan diminum. Kamarmu yang di depan itu. Tapi, kamarmu tak ada kamar mandinya. Kalau mau ke kamar mandi, kau harus ke kamar mandi itu,” tunjuk Nina. Ilham mengangguk.

Nina kemudian kembali ke belakang, sambil membawa nampan. Ibunya mencegat Nina dan mengusirnya agar dia kembali ke ruang tamu. “Ayo, sana, temani masmu. Masa dia ditinggal sendiri.”

“Kan nanti ada Ayah. Aku mau ke kamar mandi dulu.”

“Ayahmu sedang istirahat di kamar. Sudah, jangan banyak alasan,” kata ibunya, yang langsung mendorong Nina ke ruang tamu. Rupanya, ibunya tahu bahwa Nina berbohong.

Nina melihat Ilham sedang mengamati lukisan yang ada di depannya. Namun, ketika diketahuinya Nina datang menghampiri, Ilham menengok sambil menyunggingkan senyuman. Melihat senyuman Ilham, Nina jadi tambah kesal. Dia seolah diejek oleh Ilham. Jangan merasa puas dan lega dulu. Kau kira aku mau saja digiring ke penghulu bersamamu, ujarnya dalam hati.

“Apakah aku nanti bisa bicara empat mata denganmu?” tanyanya sengit, walau masih dengan nada berbisik, takut didengar ibunya.

Melihat nada sengit yang dilontarkan, Ilham kembali tersenyum. “Rupanya, kau tak mau buang-buang waktu, ya? Boleh. Kapan saja aku siap. Kalau ingin bicara berdua tanpa gangguan, lebih baik kita bicara di luar saja.”

“Oke, bagaimana kalau sesudah makan siang?” tanya Nina tak sabar, melihat Ilham terus tersenyum-senyum begitu.

“Baiklah,” jawab Ilham, masih ramah.

“Kenapa kamu mau saja disuruh meminangku?” tanya Nina langsung, ketika kendaraan yang mereka tumpangi sudah berjalan, dan bayangan kedua orang tuanya sudah tak kelihatan.

Sebelum menjawab, Ilham meliriknya. “Tak ada yang memaksaku. Aku bersedia sendiri tanpa ada paksaan dari siapa pun.”

“Tapi, kenapa?” tanya Nina penasaran.

“Kenapa? Apakah kamu merasa dirimu tak layak untuk dipinang orang?” Ilham balik bertanya.

“Bukan itu yang kumaksud. Kita bahkan tidak saling mengenal. Kok, mau-maunya kamu disuruh meminangku?”

“Kita sudah kenal. Kakakku pernah kos di rumahmu ketika dia jadi murid ayahmu. Saat itu aku sering datang berkunjung bersama ibuku. Bahkan, sering bermain bersamamu. Mungkin, kamu lupa. Selain itu, baru-baru ini juga, saat orang tuamu pulang haji, aku datang ke rumahmu. Bahkan, aku sempat mengobrol banyak denganmu.”

“Mana aku ingat, aku bertemu siapa saja di masa kecil. Juga saat ibuku pulang haji. Saat itu tamu yang datang sangat banyak dan silih berganti. Otakku bukan komputer, yang mampu merekam semua orang yang datang,” sembur Nina kesal. “Oke, ketika kamu datang menengok ayah dan ibuku, apakah kamu sudah tahu kalau kamu dijodohkan denganku?” kejarnya lagi.

“Tidak. Aku tahu bahwa kita dijodohkan baru-baru ini.”

“Lantas, kamu begitu saja setuju?” tanya Nina tak mengerti.

“Kenapa tidak? Apakah kamu memandang rendah dirimu? Apakah kamu merasa tidak layak dinilai tinggi oleh seorang lelaki?”

“Jangan kau kira aku akan tersanjung dengan jawaban yang kau berikan! Itu omong kosong! Aku tak percaya, di masa sekarang ini ada yang mau begitu saja menerima perjodohan yang diatur orang tua. Pasti ada alasan lain. Coba katakan alasanmu!” serunya, tak sabar.

“Lho, apa salahnya? Ingatlah, jodoh dan kematian tetap merupakan misteri Allah. Apakah tak pernah tebersit di pikiranmu kalau bisa saja lewat jalan ini kita berjodoh? Mungkin memang Tuhan menggariskan kita berjodoh lewat campur tangan orang tua.”

“Kamu, toh, belum mengenalku dalam arti sebenarnya. Siapa diriku, bagaimana kebiasaanku, bagaimana karakterku, apakah aku ini cocok denganmu atau tidak. Sebaliknya, aku juga sama sekali tak tahu apa-apa tentang dirimu,” ujar Nina, mencoba bersabar.

“Kita kan tidak akan menikah hari ini juga. Orang tua kita memberi waktu untuk saling mengenal. Aku siap membuka diri. Kuharap, dirimu juga demikian. Kita bisa saling mengenal lebih dalam lagi tentang diri kita masing-masing.”

“Tak ada gunanya pengenalan lebih jauh. Kita akhiri omong kosong ini sekian saja. Aku tak ingin menikah!” seru Nina, kesal.

“Karena aku tak memenuhi kriteriamu?”

“Baik denganmu atau orang lain!”

“Jangan sedramatis begitu. Bila memang Tuhan menghendaki kamu menikah, kamu tak bakalan bisa menolaknya. Sekuat apa pun kamu mencegahnya.”

“Kalau memang Tuhan menghendaki aku menikah, kenapa bukan sejak dulu aku menikah? Mungkin, memang Tuhan menghendaki aku tak mempunyai jodoh. Siapa yang menjamin bahwa jalan inilah yang dikehendaki Tuhan bagiku untuk mendapatkan jodoh?”

“Siapa juga yang bisa menjamin bahwa takdirmu memang tak berjodoh? Bisa saja takdirmu memang baru berjodoh kali ini,” balik Ilham, tak mau kalah.

Nina melirik Ilham dengan sengit. Dilihatnya sinar keras kepala terpancar dengan kuat di wajah Ilham. Berdebat begini terus, tak akan ada habisnya, pikir Nina. Aku harus mengubah strategi. “Kita masuk ke restoran itu saja. Makanannya enak dan suasananya sangat nyaman. Kita bisa mengobrol di sana dengan tenang,” ujarnya, kala melewati sebuah restoran yang biasa dikunjunginya.

“Oke,” sahut Ilham, sambil membelokkan mobilnya.

“Kamu ingin tahu siapa aku sebenarnya?” ujar Nina, tanpa membuang waktu, setelah mereka berdua memilih tempat duduk yang jauh dari pengunjung lainnya. “Aku anak keempat dari ayah-ibuku, kukira itu kau sudah tahu. Aku dulu bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah wanita. Kini, aku tak lagi terikat dalam suatu majalah, tapi bekerja sebagai freelancer di berbagai majalah.” Selanjutnya, Nina pun menceritakan tentang kejelekannya. Semua yang negatif perihal dirinya dia kemukakan. Bahkan, yang sebetulnya tak terlalu jelek, dia buat seperti terdengar jelek. Dia harap, Ilham mundur mendengar sifat buruknya.

Ilham mendengarkan dalam diam. Tak ada satu pun komentar yang dilontarkannya, selama Nina menceritakan sisi negatif dirinya. Dia malah asyik memerhatikan wajah Nina. Wajah Nina tak terlalu cantik sebenarnya. Tapi, ada sesuatu yang lain di wajah ini. Ada kesan puas diri. Seolah, apa yang dicarinya di dunia ini telah diperolehnya dan dinikmatinya dengan puas. Tak ada kesan gelisah dan mencari-cari, seperti yang dijumpainya pada wanita-wanita yang lebih muda.

Mata Nina juga menunjukkan dirinya. Matanya sebenarnya sangat lembut. Tapi, kali ini mata itu sedang tak ingin berlembut-lembut padanya. Justru, sinar yang terpancar di sana sangat tegas. Namun, sinar kelembutan tersebut tak berhasil disembunyikan pemiliknya, terutama kalau bukan Ilham yang sedang jadi objek pandangnya. Ketika pelayan datang menyuguhkan minuman, misalnya, sambil mengucapkan terima kasih, sinar mata Nina melembut dengan otomatis. Namun, saat pandangannya beralih ke dirinya, sinar mata itu berubah tegas kembali. Sangat menarik, batin Ilham.

“Terima kasih telah memercayakan semua rahasiamu padaku,” sindir Ilham, setelah Nina menyudahi penjelasannya.

“Tak sesuai dengan bayanganmu semula, ‘kan?” ejek Nina.

Ilham hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia pun lantas menceritakan siapa dirinya. Tak seperti Nina yang sengaja hanya menampilkan sisi buruknya, Ilham menceritakan semua perihal dirinya. “Nah, karena kita telah saling membuka diri, kurasa tak ada lagi kata tak saling mengenal, bukan? Yang kita perlukan selanjutnya adalah berusaha lebih akrab, sebelum kita melangkah ke pernikahan,” tandas Ilham, akhirnya.

“Aduh, perkawinan lagi…. Jadi, kamu tetap ingin meneruskan perjodohan ini, setelah kamu mengetahui tentang diriku?” seru Nina, tak percaya.

“Jangan dikira aku tak menangkap maksud yang tersirat di balik semua penjelasanmu itu. Kamu sengaja tak menampilkan sisi positif dirimu, bukan?” ujarnya, sambil tersenyum. Walau dia mencoba menyembunyikannya, Nina menangkap nada geli di suaranya. Lemaslah kakinya. Ternyata, Ilham tak bisa dibodohi.

“Meski begitu, sudah terlihat dengan jelas bahwa kita sangat berbeda. Kita tak bakal cocok. Buat apa diteruskan ke tahap pendekatan segala. Kita sudahi sampai di sini saja. Kita tak perlu buang-buang waktu dan energi lagi. Aku yakin, kehidupanmu pun sudah cukup sibuk, tanpa perlu memikirkan diriku.”

Ilham mengerutkan kening, mendengar penolakan Nina yang terus-menerus. Tak urung hatinya agak panas juga mendapat penolakan begitu. “Jangan khawatir, akan kuluangkan waktu yang banyak untuk mengenal dirimu,” jawabnya, tak mau kalah.

“Sebenarnya, ada apa, sih, denganmu? Kenapa kamu ngotot mau menikahi wanita yang jelas-jelas tak mencintaimu, yang aku yakin, tak kau cintai pula. Wanita yang masih asing bagimu. Kalau begitu, kenapa tidak kau kawini saja semua perempuan yang lewat di depan rumahmu?”

“Perumpamaan itu sangat kasar diucapkan oleh seorang berpendidikan sepertimu. Tentang cinta, cinta, toh, bisa tumbuh setelah kita menikah nanti. Lihatlah orang tua kita dulu, tanpa didahului saling mencintai, buktinya mereka bisa langgeng dalam perjodohan. Semuanya bisa terjadi, asalkan masing-masing mau menerima dan belajar mencintai pasangannya.”

“Kau kira hal itu masih mungkin terjadi di zaman sekarang ini?”

“Apanya yang tidak mungkin? Tuhan bisa membuat segalanya bisa terjadi, jika memang dia menghendakinya. Kamu harus ingat itu. Kita tak pernah tahu apa yang dikehendaki Tuhan terhadap diri kita di masa datang. Jadi, kenapa kita harus bersikap antipati dengan usulan perjodohan orang tua kita. Siapa tahu ada hikmahnya. Toh, mereka tak menyuruh kita langsung menikah. Mereka memberi kesempatan kita untuk saling mengenal lebih jauh. Kukira, mereka juga tak bakalan menutup mata, kalau hasilnya nanti tak seperti yang diinginkan. Setidaknya, kita telah berusaha sebaik mungkin.”

“Kamu tak mengerti juga, ya? Aku tidak mau menikah denganmu! Kau dengar? Carilah wanita lain yang mau. Kurasa, dengan penampilanmu, juga kekayaanmu, akan banyak wanita yang bersedia menikah denganmu dengan mudah,” sembur Nina, tak sabar.

Ilham tampak mengeraskan rahangnya. Melihat Nina yang tetap ngotot, Ilham jadi kehilangan kesabarannya. “Oke. Pernikahan memang tak bisa dipaksakan, jika salah satu pihak tak mau. Tapi, tolong, karena prakarsa pernikahan ini datang dari orang tua masing-masing, kau kemukakan saja keberatanmu itu pada ibumu. Nanti, bagian ibuku adalah tugasku. Bagaimana?”

Nina membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia melotot pada Ilham dengan kesal. Sepertinya, Ilham tahu benar kartu apa yang harus digunakannya untuk memenangkan permainan ini.

“Kau sengaja, ‘kan? Kau pasti tahu aku tak bisa menyetop ibuku. Justru, aku ingin dari pihakmulah yang membatalkan hal ini, sehingga Bunda tak akan memaksaku lagi,” sahut Nina, kesal.

“Dari pihakku tak ada keinginan mundur, kenapa harus mundur? Kalau memang dari pihakmu yang ingin mundur, kenapa harus aku yang mengusahakan?” sahut Ilham, keras kepala.

Nina hanya menatap Ilham dengan marah. Dia kalah set sekarang. Dengan kesal dia langsung berdiri dari kursinya dan berjalan keluar dari restoran. Ilham, yang tak menyangka Nina akan pergi begitu saja, segera membayar minuman mereka, lalu bergegas mengejar Nina. Untung, Nina belum sampai ke jalan raya.

“Begini caramu menyelesaikan masalah?” desisnya marah, sambil mencekal tangan Nina.

“Aku mau pulang! Buat apa bicara pada manusia keras kepala,” jawab Nina, dengan ketus.

“Kau menuduhku keras kepala, lalu dirimu sendiri bagaimana? Oke, kalau kau mau pulang. Tapi, tak perlu pakai cara ngeloyor begitu saja,” desis Ilham, kesal. Dia langsung membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Nina masuk.

Nina langsung masuk tanpa berkata-kata. Sepanjang jalan dia hanya diam dan sibuk berpikir. Ilham yang sesekali melirik, membiarkan Nina dalam kebisuan. Namun, dia sama sekali tak menyangka, ketika sesaat kemudian Nina menengok ke arahnya dan mengamatinya secara terang-terangan. Bukan pandangan marah seperti tadi, tapi lebih ke arah penilaian.

Ilham yang belum pernah diperhatikan dengan cara demikian, agak kaget juga. Wanita ini benar-benar unik. Belum pernah dirinya diamati secara terang-terangan oleh seorang wanita. Kebanyakan wanita yang dikenalnya, jika ingin mengamatinya, akan melakukannya secara diam-diam. Tapi, wanita ini lain.

“Sudah selesai melakukan penilaian?” tanya Ilham akhirnya, sambil menengok ke arah Nina. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu.

Nina bukannya bingung atau malu. Ia hanya mengangkat bahunya dengan cuek, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela di sampingnya. Dia masih bingung dengan motivasi Ilham untuk tetap ngotot melanjutkan perjodohan mereka. Jelas-jelas mereka tak saling mengenal. Dia tak percaya bahwa Ilham sangat menyukainya, hanya dengan satu kali mengobrol dengannya saat kunjung­annya di rumah ibunya. Pasti ada alasan lainnya. Inilah yang masih belum terungkap. Kalau dilihat dari sikapnya, Ilham bukanlah tipe penurut dan mau begitu saja dicocok hidung untuk melakukan hal-hal bodoh. Terlebih itu menyangkut masa depannya.

Dari samping, profil Ilham sangat menawan. Akan mudah bagi orang ini untuk mencari seorang istri yang tercantik sekalipun, terlebih dengan kesuksesan usahanya. Pasti akan banyak wanita yang antre dan bersedia jadi istrinya. Jadi, kenapa ia malah ngotot memilihnya? Wanita yang jelas-jelas tak mencintainya, yang pasti tak dicintainya pula. Jadi, apa motivasinya? Apa karena harga diri yang terluka? Ya, bisa jadi.

Manusia sombong ini pasti sangat menyadari ketampanan dirinya. Dia pasti tak pernah ditolak oleh teman-teman wanitanya. Dan, kini ia telah menolaknya mentah-mentah. Mungkin harga dirinya merasa telah direndahkan olehnya. Pasti ini yang membuatnya ngotot untuk melanjutkan perjodohan mereka. Baiklah, kalau begitu. Kita boleh uji, sampai di mana kesabaranmu. Jangan harap kau bisa menyeretku ke penghulu. Akan kubukakan matamu bahwa kau hanya membuang-buang waktumu! Pemikiran ini sedikitnya membuat perasaannya lebih tenang dan berhasil melontarkan senyuman di bibirnya.

Ilham meliriknya dengan heran, ketika dilihatnya Nina tersenyum dengan puas. Namun, dia tak berkomentar apa-apa. Nina pun tetap tenang sesampainya di rumah. Ibunya sampai heran. Ketika dipancing tentang apa yang dilakukannya saat pergi dengan Ilham, Nina hanya mengangkat bahunya dengan cuek. Akhirnya, ibunya menyerah dan menganggap memang dirinya telah berhasil ‘dilunakkan’ Ilham. Hatinya pun lega, sehingga dia pun banyak tertawa dan mengobrol selama makan malam.

Ketenangan Nina yang luar biasa ini membuat Ilham juga heran. Wajah Nina sangat tenang. Bahkan, hampir tak terlihat riak apa pun. Berbeda dari gadis yang marah-marah tadi siang. Benar-benar gadis yang tak bisa diduga, batinnya. Ia memilih untuk tak berkomentar dan menunggu langkah apa yang akan diambil Nina selanjutnya.

“Bagaimana? Aku setengah mati ingin tahu. Tak tahan rasanya menunggu,” seru Rini, keesokan harinya di telepon.
Nina yang telah seharian memendam kesal karena ‘kekalahannya’ dan terpaksa setuju dengan perjanjian Ilham, seakan menemukan tempat untuk memuntahkan kekesalannya. “Aduh, Rin, mungkin, kalau bisa membunuh, aku akan membunuhnya!” ujarnya, gemas.

“Kayaknya, gawat. Semuanya berada di luar kontrolmu, ya?” tebak Rini.

“Dia benar-benar manusia yang tak bisa diberi pengertian. Coba, aku mesti bilang apa lagi padanya? Lelaki yang normal pasti akan bersedia mundur bila calon istri telak-telak menyatakan tak mau menikah dengannya. Entah terbuat dari apa hatinya!” seru Nina, tak mengerti.

“Seperti apa dia?”

“Manusia angkuh yang keras kepala! Yang tidak bisa diberi pengertian sama sekali.”

“Berarti, dia benar-benar jatuh cinta padamu.”

“Impossible! Menurutku, bukan karena cinta, tapi lebih karena egonya yang terluka. Dia malu dan tersinggung karena aku menolaknya mentah-mentah. Makanya, dia pun ngotot mempertahankan.”

“Bisa jadi. Kamu tak pakai cara diplomatis?”

“Saat itu aku sudah kadung marah padanya. Aku tak menyangka bahwa hasilnya makin rumit. Dia benar-benar manusia psikopat, yang senang melihat orang lain menderita.”

“Dia pakai cara apa hingga kamu mati kutu?” tanya Rini, penasaran.

“Ibuku. Dia pasti tahu bahwa titik kelemahanku ada pada ibuku. Dia menyuruhku ngomong langsung pada ibuku. Kalau memang bisa, sejak kemarin-kemarin sudah kulakukan.”

“Lantas, apa yang hendak kamu lakukan selanjutnya?”

“Belum tahu. Saat ini aku belum bisa berpikir apa-apa. Tapi, jangan dikira aku akan tunduk begitu saja untuk digiring ke penghulu bersamanya.”

“Wah, runyam juga! Aku rasa lebih baik kamu endapkan dulu masalahnya. Tenangkan pikiranmu. Juga, berdoa yang banyak biar diberi jalan keluar. Baru sesudahnya kamu tentukan langkahmu. Toh, dia tak akan mengawinimu dalam waktu dekat, ‘kan? Kamu masih punya waktu untuk bikin siasat baru.”

“Pasti! Aku tak mau kalah lagi lain kali. Akan kubikin dia menyadari bahwa dia manusia yang hanya membuang-buang waktu,” seru Nina, berapi-api.

“Sudah, sudah. Singkirkan dulu perkara itu dari pikiranmu. Nanti kamu malah frustrasi. Kita hang out nanti sore, yuk. Biar kamu tidak stres,” ajaknya, mengalihkan persoalan.

“Kita lihat saja nanti. Hari ini aku ada rapat dengan klien. Aduh, aku sudah hampir terlambat. Sudah dulu, ya,” jawab Nina kaget, ketika melihat jam.

“Jangan banyak dipikirkan, ya,” pesan Rini, sebelum telepon ditutup.

Untunglah, siang itu Nina benar-benar disibukkan oleh kliennya, yang agak rewel dengan naskah pidato yang telah dibuat Nina untuk pembukaan kantor cabangnya. Mau tak mau, Nina harus membuat ulang naskah tersebut. Hal ini sedikit banyak menyita pikirannya, sehingga dia pun agak lupa dengan masalahnya sendiri.

Sesuai kesepakatan, Ilham akan datang ke Jakarta setiap Sabtu dan Minggu. Tentu saja, karena jarak dari Cirebon ke Jakarta sangat jauh, Ilham akan menginap. Sabtu sore ini Ilham pun datang. Dan, seperti yang diduganya, sambutan Nina padanya tak terlalu ramah. Dia memperlakukannya dengan sopan, layaknya pada seorang tamu, tapi terasa ada jarak di antara mereka.

“Sepi sekali, mana pembantumu?” tanyanya, mencairkan suasana.

“Dia sedang ke rumah cucunya di Condet. Dia jarang minta libur. Tapi, kesempatan itu hanya kadang-kadang saja digunakannya. Jadi, kuizinkan dia berlibur untuk beberapa hari. Biar dia puas bermain dengan cucunya. Tapi, mungkin nanti malam dia pulang. Kalau mau mandi-mandi dulu, handuk bersih ada di rak di atas wastafel.”

“Terima kasih.”

“Oya, kuingatkan padamu, terkadang aku tak punya banyak waktu untuk mengobrol santai denganmu karena harus bekerja. Jadi, jangan tersinggung jika aku mengabaikanmu,” kata Nina, dengan sedikit ketus.

Ilham tersenyum geli melihat keketusan Nina muncul lagi. Melihat senyum Ilham, Nina tambah sebal. Dia lalu beranjak ke arah kulkas. “Mau makan apa kita untuk makan malam?” tanya Nina bingung, sambil meneliti isi kulkasnya. Tak ada sayuran apa pun. Hanya ada daging sapi, ayam, dan beberapa ikan di freezer, serta buah dan soft drinks di bagian bawah.

Ilham ikut melongok isi kulkas Nina. “Bagaimana kalau kita buat sate atau ayam panggang?” usulnya.

“Bolehlah,” ujar Nina. Dibukanya lemari, mencari-cari bumbu sate siap pakai. Yang dijumpainya hanya kacang tanah. Tapi, tusuk sate ada banyak.

“Kita buat sate ayam saja. Aku akan siapkan bumbunya dulu,” ujar Nina.

“Oke, kalau begitu aku siapkan dagingnya,” ujar Ilham, sambil dengan luwes mencairkan daging ayam di microwave. Nina melongo.

“Kenapa bengong?” tanya Ilham.

“Kau bisa masak?”

“Tentu saja bisa. Aku lama merantau di Mesir. Harus bisa masak kalau tak ingin kelaparan di sana. Mau bukti?” tantang Ilham.

Nina hanya mengangkat bahu. Dibiarkannya Ilham memotong-motong daging ayam dan memasukkannya dalam tusukan sate. Selanjutnya, mencari pembakaran sate dari arang. “Kau punya panggangan sate dari arang? Atau, kita bakar di kompor ini saja?”

“Di bawah kitchen sink ada pembakaran sate. Arangnya juga ada di situ, termasuk kipas bambunya,” sahut Nina, sambil sibuk menggoreng kacang tanah, lalu menggerusnya bersama cabai dan bahan lainnya. Untuk beberapa saat mereka bekerja dalam keheningan.

“Sudah selesai bumbunya. Sini satenya, celupkan dulu ke bumbu kacangnya, baru dibakar,” ujar Nina, sambil menghapus peluh di kening gara-gara asap panas dari kompor saat menggoreng kacang.

Dengan gerakan tanpa maksud, Ilham membetulkan letak beberapa rambut poni Nina yang menutup matanya ke belakang telinga. Nina tertegun dengan sentuhan tangan Ilham. Rasanya, kulitnya jadi terbakar dan dadanya berdenyut dengan kencang. Ada apa ini? Kenapa tubuhku bereaksi demikian atas sentuhannya? Ia jadi bingung akan perasaannya sendiri.

Ilham sendiri tak tahu bahwa apa yang dilakukannya telah mengguncang batin Nina. Dia asyik mengipasi sate di atas panggangan.

Nina segera menata meja. Dibiarkannya Ilham kena peluh asap sate. Ia sendiri masih terguncang oleh sentuhan Ilham. Tak disangkanya, setelah sekian lama, kulitnya bereaksi atas sentuhan seorang pria. Kenyataan ini benar-benar membuatnya terpana. Ini bukan pertanda baik, pikirnya. Sambil mengupas buah untuk selada, otaknya sibuk memikirkan hal tersebut.

“Hai, jangan melamun. Berikan piring itu padaku, satenya sudah matang, nih,” ujar Ilham, melihat Nina melamun.
“Kenapa tak ambil sendiri?” sahut Nina, ketus. Ilham terkesiap. Namun, dia tak berkomentar apa-apa, langsung berdiri mengambil piring dan menata satenya. Ketika dilihatnya Nina belum menyiapkan sambal, tanpa berkomentar dia langsung membuatnya. Nina hanya meliriknya sekilas.

“Nah, sekarang sudah selesai. Ayo, kita makan, mumpung masih panas,” ujar Ilham. Dia duduk di depan Nina, yang sedang menyendok nasi.

“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Ilham, sambil menerima piring nasi yang diberikan Nina kepadanya.
“Apa?” tanya Nina, tak mengerti.

“Kerutan di dahimu ini sangat kentara. Apa yang mengganggu pikiranmu?” ujar Ilham, sambil menunjuk kerutan di dahi Nina. Nina kembali tertegun mendapat usapan yang tak diduganya, karena kembali otot-otot tubuhnya mengejang atas sentuhan Ilham. Aduh, kenapa dia jadi demikian? Namun, dengan cepat dia segera menguasai diri. Ditepiskannya tangan Ilham. “Singkirkan tanganmu! Aku tak suka kau pegang-pegang,” sentaknya, kasar.

Ilham hanya mengangkat bahu. “Aku hanya menunjukkan kerutan di dahimu. Keriput itu akan cepat keluar kalau kau sering mengerutkan dahi dengan tajam begitu.”

“Ini wajahku, mau kuapakan, itu terserah aku. Kau mau makan atau tidak? Aku sudah lapar.” Lalu, tanpa menawari Ilham, Nina langsung mengambil beberapa tusuk sate ke piring nasinya.

“Coba dengan sambal ini, rasanya akan tambah enak,” ujar Ilham, sambil menyendokkan sambal buatannya pada piring Nina. Nina mengerutkan kening sejenak, tapi lalu ia memutuskan untuk tidak protes atas apa yang dilakukan Ilham. Dia meneruskan makannya dalam diam.

Ilham mengamati wajah Nina. Dia tahu, pikiran Nina tak terfokus pada makanan. Di wajah Nina terpampang jelas semua gejolak pikirannya. Kadang-kadang kesal, kadang-kadang merenung, se–muanya transparan. Hanya, Ilham tak tahu bahwa semua itu karena sentuhan tangannya.

Acara makan mereka terganggu oleh deringan telepon. Nina tersentak dari lamunannya dan beranjak ke ruang tamu untuk mengangkat telepon. Ternyata, dari Bi Jah yang mengabarkan tidak bisa pulang malam itu karena cucunya sangat rewel dan tak mau ditinggal pergi. Nina pun mengizinkan Bi Jah untuk menginap di rumah cucunya kembali.

Mendengar pembicaraan Nina, tak urung seulas senyum ter–sungging di bibir Ilham. Benar tebakannya. Pada dasarnya, Nina punya hati lembut dan baik hati. Tak seburuk yang digambarkannya minggu kemarin.

“Habis ini aku mau belanja ke supermarket. Kau mau ikut?” tanya Nina, sambil menyingkirkan piringnya ke pinggir dan mulai menyendoki seladanya.

“Mau belanja apa?”

“Sayuran dan bahan makanan.”

“Boleh juga jalan-jalan.”

Melihat Ilham sudah selesai makan, Nina membereskan meja makan. Dia diam saja ketika Ilham ikut-ikutan membantunya, bahkan membantu mencuci piring. Setelah selesai, Nina mengelap tangan, lalu mengambil dompetnya, dan keluar. Ilham yang keheranan mengikutinya dari belakang.

“Kita langsung berangkat?”

“Ya, memangnya kenapa? Ada yang ketinggalan?”

“Tidak. Aku cuma heran melihat kau tak merasa perlu merias wajah atau merapikan rambut dulu sebelum pergi. Kebanyakan wanita akan merasa tak percaya diri jika keluar rumah tanpa merias wajah dulu,” ujar Ilham, sambil menyalakan mesin mobil. Nina segera mengunci rumahnya, lalu duduk di sebelah Ilham.

“Apanya yang lain? Aku juga wanita. Yang berbeda mungkin karena mereka punya rambut yang tak praktis dan kulit wajah yang berbeda jenisnya denganku. Aku memotong pendek rambutku agar tak perlu repot mengurusi rambut. Lain ceritanya kalau aku punya rambut panjang. Kalau tak disisir, tentu akan terlihat tak rapi. Sementara bagi rambut pendek, disisir dengan jari saja sudah oke. Begitu juga dengan wajah, kalau kulit wajah mereka berminyak, tentunya perlu dibedaki. Sementara, aku dikaruniai kulit yang halus dan mulus. Jadi, buat apa dipoles segala macam. Bibirku juga sudah merah. Mataku? Aku tak suka merias mata, kecuali saat pergi ke pesta,” terang Nina, sambil mengenakan sabuk pengaman.

Dia memang lain. Kepercayaan dirinya mengagumkan, batin Ilham.

“Sebenarnya, mereka juga punya kulit mulus. Menurutku, yang mereka tak punya adalah kepercayaan diri setinggi dirimu. Mereka tak yakin kalau dirinya bisa tampil cantik, walau tanpa bantuan make up,” timpal Ilham.

“Mungkin.”

“Ngomong-ngomong, tentang kepercayaan diri, apakah sejak kecil memang punya rasa percaya diri seperti ini?” tanya Ilham.

“Entahlah. Rasanya, aku begini sejak dulu. Aku justru baru tahu bahwa PD-ku dinilai tinggi oleh orang lain.”

“Tapi, bagiku itu sangat mengagumkan.”

Nina agak tertegun mendengar pujian Ilham. “Kau ternyata suka terus-terang juga, ya,” ungkapnya.

“Mungkin, ketularan dirimu,” ujar Ilham, sambil meliriknya.

Ketika mereka berbelanja, Nina dikejutkan oleh sebuah panggilan. Rini. Mau tak mau, Nina memperkenalkan Ilham pada Rini, yang asyik mencuri pandang pada Ilham. Kali itu Ilham memang tampak memikat.

Tampaknya, Rini terpikat pada Ilham. Nina mendengus sebal. Sebelum Rini sempat berkomentar, Nina mengajak Ilham ke tempat ikan. “Sudah dapat sausnya, Mas? Yuk, kita ke tempat ikan. Aku mau bikin rempeyek teri. Rin, kami duluan, ya,” ujarnya, separuh mengusir Rini.

“Aku juga mau ke sana. Bareng saja,” usul Rini.

“Mari,” jawab Ilham, sambil meminggirkan keranjangnya, lalu dengan lembut menarik bahu Nina ke pinggir dan melindunginya ketika ada keranjang orang lain yang hendak lewat dan menabrak Nina. Semua itu tak luput dari pengamatan mata Rini yang tajam.

“Nin, sepertinya dia lembut dan sayang padamu. Apa lagi yang kurang?” bisik Rini, saat mereka berdua agak jauh dari tempat Ilham berdiri.

“Sudah, ah. Besok saja aku ceritakan. Sudah sana, katanya mau beli ikan. Aku mau ke tempat ikan kering di sana.”
Setelah Rini pergi, Ilham menghampiri Nina.

“Tadi kalian bicara apa sampai berbisik-bisik segala?” bisik Ilham.

“Katanya, kamu lumayan menawan juga. Puas?”

“Wah, itu sebuah pujian. Terima kasih. Menurutmu sendiri?”

“Huh!” Nina hanya mendengus sebal melihat nada kepuasan di suara Ilham. Melihat sikap Nina, Ilham hanya tertawa geli. Seakan wajar terjadi, tangannya lantas menggandeng tangan Nina.

Awalnya, Nina tak menyadari kalau tangannya berada dalam genggaman Ilham. Tapi, ketika menyadarinya, dia segera menyentakkannya. “Lepaskan! Memang kenapa harus pakai pegang-pegangan tangan segala,” bisiknya, marah.

Lalu, Nina berjalan lebih dahulu. Ilham hanya tersenyum sambil mengekor di belakang Nina. Perempuan ini makin lama makin menarik. Sayang sifat keras kepalanya tak mau luntur, batinnya.

Nina tak pernah bisa memendam amarah lama-lama. Saat melewati rak kerajinan tangan, dia sudah melupakan kekesalannya pada Ilham. “Lihat topi ini, coba kau pakai. Persis nelayan. Oh, bukan, seperti orang Meksiko!” ujarnya, sambil mengenakan topi itu pada kepala Ilham. Ilham menurut saja sambil berpura-pura jadi orang Meksiko. Nina geli melihatnya. Kali ini tawa renyahnya meluncur. Ringan dan bening, seperti tawa khas anak-anak.

Ilham tertegun. Wajah Nina tampak berbeda jika tertawa. Dia berjanji akan membuat Nina tertawa lebih sering lagi. Ia hanya perlu memilih tombol yang tepat agar tawa itu bisa sering keluar dari mulut Nina. Tanpa sadar, diusapnya pipi Nina dengan sayang. Ganti sekarang Nina yang tertegun dengan sentuhan Ilham. Rasanya, kepalanya jadi ringan dan jantungnya bertalu dengan keras. Megapa aku selalu bereaksi berlebihan begini? Aduh, jangan sampai aku tergoda olehnya, batinnya. Ia tak sudi membiarkan perasaan itu berkembang. Digelengkannya kepalanya dan segera menjauh dari Ilham dengan berpura-pura memilih anyaman lainnya.

Cukup lama juga mereka berbelanja. Tak heran bila kaki jadi pegal sesampainya di rumah. Ilham mengambil dua kaleng minuman ringan dari kulkas. Yang satu disodorkannya pada Nina, lalu ikut duduk di sebelah Nina. Nina meminta Ilham mengambilkan bantal kursi di sebelahnya, agar ia bisa bersandar lebih nyaman lagi. Ilham memberikan apa yang diminta Nina.

“Terima kasih. Kalau kau baik begini, bisa-bisa aku jatuh cinta,” ujar Nina bergurau, sambil menepukkan tangannya ke pipi Ilham.

Ilham tertegun sejenak dengan keakraban yang dilakukan Nina pada pipinya, tapi dia sadar, Nina hanya terbawa perasaan. Namun, dia cukup senang dengan suasana relaks di antara mereka. Diambilnya remote control televisi. Pembicaraan pun beralih ke film yang sedang ditayangkan dan film-film koleksi Ilham.

“Wah, kapan-kapan aku pinjam film-filmmu, ya?” kata Nina.

“Ya, minggu depan akan kubawakan itu,” janji Ilham. Ia lega. Dengan tombol yang tepat, Nina kembali bisa bersikap bersahabat dengannya. Pada dasarnya Nina tak seburuk yang dia coba tampilkan. Dia tahu itu. Ada kalanya Nina akan kembali pada sifat dasarnya yang ramah. Hanya, yang tak dimengertinya, Nina selalu bersikukuh untuk bersikap antipati padanya.

Obrolan mereka pun merembet ke soal lain. Nina terpana ketika menyadari mereka punya banyak kesamaan. Mereka menyukai film yang sama, buku-buku yang sama, juga musik yang sama. Waktu pun makin malam. Ilham melirik jam tangannya, ketika dilihatnya Nina sudah beberapa kali menguap.

“Tidurlah, kita teruskan besok pagi,” ujarnya, sambil bangkit dan mengulurkan tangan ke arah Nina untuk membantunya berdiri. Tanpa berpikir lagi, Nina menyambut uluran tangan Ilham, sehingga tubuhnya mendekat ke tubuh Ilham. Mereka berdiri berhadapan demikian dekatnya. Aroma tubuh dan parfum Ilham yang tercium hidungnya membuat jantung Nina langsung bertalu-talu. Napasnya langsung terasa sesak oleh kedekatan tubuh mereka. Namun, dengan segera pikiran warasnya kembali jalan.

Ilham tersenyum dalam hati. Dia tahu, pertahanan diri Nina hampir jebol. Sebaliknya, Nina pun tahu bahwa Ilham dapat meraba apa yang terjadi. Sebal pada dirinya sendiri, Nina segera beranjak. Sesaat ia berpaling pada Ilham. “Aku harus kerja malam ini, jadi kau urus dirimu sendiri,” ujarnya.

“Jangan risaukan aku. Silakan jika ingin bekerja,” jawab Ilham.

Saat Nina asyik membaca naskah di layar komputer, Ilham sibuk melihat-lihat koleksi buku Nina dan mengambil salah satunya. Saking seriusnya bekerja, Nina sudah tak ingat bahwa Ilham berada di dekatnya. Dia sudah terhanyut dalam konsentrasi penuh dalam mengedit naskah. Malam makin beranjak. Ilham pun tanpa berkata apa-apa langsung masuk ke kamarnya. Dia tahu, Nina tak ingin diganggu dan juga tak bakalan bergerak dari pekerjaannya hingga selesai. Hanya, sesekali di tengah malam dia terbangun mendengar Nina marah-marah di telepon. Ketika dini hari dia bangun, masih dilihatnya Nina berkutat di depan komputernya.

“Belum selesai juga pekerjaanmu, Nin?” tanyanya, halus.

“Ya,” jawab Nina, tanpa mengalihkan pandangan dari komputer.

Ilham diam, tak berkata apa-apa. Sesudah salat, dia mengambil sepatu olahraga dan keluar untuk lari pagi, seperti kebiasaannya di kota.

Baru menginjak pukul tujuh pagi, Nina mendesah lega. “Akhirnya, kelar juga.” Dia membuka jendela dan melihat Ilham yang sedang duduk beristirahat di lantai teras dengan baju bersimbah keringat, setelah lari pagi keliling kompleks rumah. Nina terkesiap melihat penampilan Ilham dalam balutan training yang kini mencetak tubuh gara-gara keringatnya. Ia menarik napas panjang dan mencoba memalingkan muka. Ada apa dengannya? Apakah ia tak pernah melihat tubuh lelaki dalam balutan pakaian olahraga? Lantas, kenapa kali ini hatinya kacau melihat penampilan Ilham? Dia segera menyuruh otaknya berpikir waras kembali.

“Kau tak lapar?” tanya Nina, ketika Ilham masuk rumah.

“Belum. Kau lapar?” tanya Ilham.

“Kuluruskan tubuh dulu sebentar, mandi, lalu kita cari sarapan.”

“Lebih baik kau istirahat dulu. Biar kubuatkan sarapan untukmu. Kau suka omelet? Atau, kau mau roti bakar? Kulihat di dapurmu tersedia banyak roti,” tawar Ilham. Dia tak tega melihat Nina harus pergi mencari sarapan.

“Boleh juga. Aku mau dua-duanya. Mudah-mudahan omelet buatanmu juga seenak masakanmu semalam,” ujar Nina, tulus.

Ilham tertawa. Dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan, baru sesudahnya membuat sarapan. Sementara menunggu sarapan siap, Nina mematikan sambungan telepon di internetnya dan meluruskan kembali tubuhnya di karpet. Tak lama, dia sudah terlelap. Ilham yang datang sesaat kemudian dengan membawa masakan yang sudah jadi, hanya bisa menatap kasihan melihat Nina yang terlelap. Wajah Nina tampak polos seperti bayi. Tak kelihatan sedikit pun wanita judes yang marah-marah seperti semalam. Ilham mengambil selimut dan bantal dari kamar dan menyelimuti tubuh Nina. Nina cuma mendesah kecil ketika kepalanya diangkat untuk diberi bantal.
Nina baru tidur sekitar 2 jam ketika telepon selularnya berbunyi dan membangunkannya. Dari orang yang memintanya mengedit naskah. Setelah percakapan itu usai, kesadarannya baru pulih benar. Dia tampak bingung menatap bantal dan selimutnya. “Apakah kau yang menyelimutiku?” tanyanya pada Ilham, yang sedang membaca di dekatnya.

“Ya. Kamu terlihat kecapaian sekali, makanya kubiarkan saja. Sarapanmu sudah dingin. Mau kubuatkan lagi?”

“Tak usah, kumakan yang itu saja. Aku mandi dulu, lalu ke kantor untuk lihat naskah sebelum difilmkan. Biasanya, untuk deadline yang kebut semalam begini, pasti ada saja yang lolos dan harus diperbaiki.”

“Biar kuantar.”

“Tak usah. Aku biasa melakukannya sendiri.”

“Tapi, kamu hanya sempat istirahat 2 jam. Bahaya bagimu jika menyetir dalam keadaan lelah begitu.”

Nina mengembuskan napas dengan sebal. Tubuhnya sangat lelah saat ini. Dia malas berdebat dengan Ilham. Lebih baik ia mengalah.

“Hai, selamat siang kawan-kawan,” seru Nina, saat menginjakkan kaki di pintu kantor. Hanya anak-anak bagian artistik yang sedang tekun bekerja di belakang komputer, serta Toto yang sedang mengoreksi isi naskah.

Setelah mengenalkan Ilham pada kawan-kawannya, Nina meminta Ilham duduk di sofa di depan televisi, sementara Nina meraih naskah. Ternyata benar, ada beberapa bagian yang masih perlu dibenahi. Ada yang pemasangan fotonya terbalik. Ada yang kata-kata di judul belum diganti atau kurang huruf tertentu, ada pula yang naskahnya kepanjangan, tak sesuai space halaman karena iklannya terlalu besar. Ada juga naskah yang masih memuat tulisan aslinya di samping hasil editannya, sehingga terkesan paragrap ganda.

Kesibukan itu menyita perhatian Nina selama beberapa waktu. Dia tak ingat bahwa dia datang bersama Ilham dan telah menelantarkannya. Walau tak senang akan perjodohan mereka, tak urung dia merasa bersalah menelantarkan Ilham di tempat asing.

“Maaf, ya, aku lupa kalau ada dirimu di sini. Kamu lapar dan haus tidak? Mau kopi dan nasi bungkus?” Tanpa menunggu jawaban Ilham, dia langsung meminta Dadang, seorang office boy, membuatkan kopi untuk dirinya dan Ilham. Sesudahnya, dia juga meminta Dadang membeli nasi padang bungkus.

“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Ilham, sabar.

“Belum, sebentar lagi. Agak geser sedikit, dong, aku lelah se–kali. Rasanya, tubuhku tak kuat ditegakkan,” ujarnya, hendak merebahkan tubuh.

Ilham meraih bahu Nina dengan lembut dan membaringkannya di pangkuannya. “Berbaringlah.”

Untuk sesaat Nina agak ragu, tapi tubuhnya yang capek mengalahkan rasionya. “To, kalau naskah datang lagi, aku dipanggil, ya,” ujarnya. Nina tak sadar bahwa dirinya sempat terlelap. Dia terbangun karena anak-anak ramai mengambil makanan masing-masing.

“Aduh, berisik sekali,” desahnya, sambil bangun.

“Tidur lagi saja kalau masih mengantuk,” saran Ilham.

“Tak mungkin bisa tidur lagi, ribut begini,” gerutunya.

Untunglah, naskah selanjutnya segera muncul dan tak ada kesalahan apa pun, sehingga Nina bisa menandatangani semua naskah tersebut untuk diteruskan dibuat film. “Ayo, teman-teman, waktunya kembali ke keluarga masing-masing,” pamitnya, pada teman-temannya, dengan lega.

Nina memaksa Ilham agar dia yang menyetir. Tentu saja Ilham menolaknya, mengingat kondisi Nina yang masih capek. “Justru karena aku capek, aku saja yang nyetir. Kita lewat jalan pintas,” ujar Nina, tak sabar.

“Kamu bisa jadi navigator. Tunjukkan jalannya,” kata Ilham.

“Sudahlah, jangan cerewet. Kemarikan kuncinya!” kata Nina, sambil merebut kunci dari tangan Ilham. Dia juga langsung masuk ke belakang kemudi. Mau tak mau Ilham pun duduk di bangku sebelahnya, walau dengan mengomel.

Nina menengok ke arah Ilham. “Kenakan sabuk pengamanmu,” katanya. Baru saja Ilham selesai mengenakan sabuk pengaman, Nina sudah melajukan mobilnya ke arah jalan raya dengan kencang.

“Nina, pelankan jalanmu, awas truk di depan,” kata Ilham, ngeri.

Tapi, Nina tidak memperlambat laju kendaraannya. Setelah tepat berada di belakang truk, dia membelokkan setirnya, lalu melaju menyalip truk tersebut. Di perempatan selanjutnya Nina juga menerobos lampu kuning dan terus melaju kencang.

“Nina!” teriak Ilham, kaget. Tapi, Nina tak menjawab.

“Lain kali aku yang menyetir. Jangan pernah lagi menyetir jika cara menyetirmu seperti ini!” omel Ilham. Nina tak menjawab, ia membanting kemudi ke arah kanan sekali lagi, kemudian memasuki jalan tol. Ia hanya memelankan laju kendaraannya saat sudah dekat dengan tempat pembayaran karcis tol, selanjutnya ia mengebut. Hasilnya, mereka tiba di rumahnya hanya dalam 20 menit. Padahal, ketika berangkat bisa memakan waktu satu jam.

“Bagaimana?” tanyanya, puas.

“Jangan pernah lagi mengemudikan mobil, Nina! Kau tidak saja membahayakan dirimu, juga orang lain,” geram Ilham, sambil merebut kunci mobil dari tempatnya. Nina hanya mengangkat bahunya, sambil keluar dari mobil. Mau tak mau Ilham membuntutinya, walau hatinya masih kesal.

Nina membaringkan tubuhnya di kursi malas. Ilham kembali terpana dengan tingkah Nina yang seenaknya. Tanpa berkomentar, Ilham membereskan ruang tengah yang berantakan.

“Apakah kau memang selalu bertingkah demikian, atau memang kau sengaja hendak mengujiku?” omelnya, ketika dilihatnya Nina mengikutinya dan mulai membantunya membereskan buku-buku.

Nina hanya mengangkat bahunya dengan cuek. Dia tahu, Ilham masih kesal karena kejadian tadi. Tapi, itu memang disengajanya. Namun, dirinya tak bisa cuek ketika Ilham mulai membereskan barang-barangnya untuk pulang ke Cirebon. Bagaimanapun, dia tak tega melihat Ilham menyetir dalam keadaan lelah demikian. Ia tahu Ilham juga kurang istirahat seperti dirinya.

“Kau pulang besok pagi saja, pagi-pagi sekali. Toh, hanya 3 jam perjalanan dari sini. Daripada pulang sekarang dalam keadaan lelah, tinggal semalam lagi saja. Kalau mau pulang sore ini juga, jangan pakai mobil. Kau naik kereta api saja. Nanti kuantar ke Gambir. Masih ada kereta terakhir kalau kau mau.”

Ilham tersenyum dalam hati mendengar perhatian Nina. Perkembangan bagus, batinnya. Ia pun menimbang-nimbang. “Baik, aku di sini semalam lagi, besok dini hari saja aku pulang,” katanya.

“Aku juga lelah. Tadi sebenarnya aku berbohong ketika mengatakan siap mengantarmu ke Gambir,” sahut Nina, sambil tertawa.

Ilham hanya menggelengkan kepala.

Senja hari kala matahari sudah mulai tenggelam di peraduannya, Ilham sudah kembali terjaga dari istirahat siang. Saat dilihatnya lampu ruangan dalam dan teras luar masih gelap, dia tahu Nina masih terlelap. “Kasihan anak itu, pasti kecapekan sekali setelah semalaman tidak tidur.

Setelah mandi, dia pergi sebentar untuk membeli masakan untuk makan malam mereka. Dia tahu, Nina tak bakal sempat memasak. Benar saja, sampai dia pulang, kamar Nina masih terlihat gelap dari luar. Berarti, Nina masih nyenyak tidur. Ketika ditunggunya beberapa jam kemudian, belum ada tanda-tanda Nina terbangun, diketuknya pintu kamar Nina.

“Nin, bangunlah. Makan dulu, nanti kamu teruskan lagi tidurmu,” ujarnya. Didengarnya suara erangan Nina, lalu diam kembali. Dia mencoba membuka pintu kamar Nina. Tak terkunci. Dengan ragu dibukanya pintu tersebut. Kamar Nina gelap, tapi dari sorotan sinar yang datang dari ruang tengah terlihat bahwa Nina meringkuk kedinginan. Selimut dan bantalnya bertebaran di bawah tempat tidur, pertanda ia tidur dengan gelisah. Dengan heran Ilham menghampiri Nina, bermaksud membangunkan. Namun, saat tubuh Nina disentuhnya, dia kaget.

“Nina? Kau sakit? Tubuhmu panas sekali!” serunya.

“Hmm?” erang Nina, matanya tetap terpejam.

Tanpa termometer pun Ilham menduga, panas badan Nina sudah di atas 40 derajat Celsius. Anak ini harus segera dibawa ke dokter, batinnya.

“Nin, kita ke dokter, ya?” ujarnya, sambil membantu Nina bangun.

Nina yang mulai pulih kesadarannya mencoba mengelak. “Mau ke mana? Aku mau tidur. Tolong ambilkan selimutku, dingin.”

“Tapi, panasmu tinggi sekali. Kamu harus ke dokter. Sudahlah, ayo, kubantu kau bangun,” ujar Ilham.

“Aku hanya butuh istirahat. Tolong, selimutku,” ujar Nina.

Ilham menjangkau selimut Nina yang tergeletak di bawah tempat tidur. Segera diselimutinya tubuh Nina. Namun, Nina mengerang dan mengeluh masih kedinginan. Segera dibukanya lemari pakaian Nina, mencari selimut tambahan dan kaus kaki. Setelah didapatkannya, dipakaikannya kaus kaki ke kaki Nina, lalu menambahkan selimut di atas tubuh Nina.

“Kau peluk kompres air hangat, ya?” ujar Ilham, lalu mengambil botol bekas sirop dan diisinya dengan air panas. Lalu, dicarinya aspirin di lemari obat. “Peluk botol ini biar hangat, Nin! Coba minum obat ini,” ujarnya.

Nina menerima botol dan obat tersebut beserta gelas minumnya, menyerahkan kembali gelas pada Ilham, lalu membaringkan badan sambil memeluk botol yang diberikan Ilham. Sebentar kemudian dia tertidur kembali. Melihat Nina tidur, Ilham keluar dari kamarnya. Namun, beberapa kali dia menengok Nina yang tidur gelisah karena demam. Keningnya basah oleh keringat. Ilham menyeka keringat di kening Nina, serta membetulkan selimutnya.

Ilham mengelus-elus dahi Nina, seperti yang biasa dilakukan pada anaknya, kalau anaknya sakit atau rewel tak bisa tidur. Setelah dirasakan tidur Nina nyenyak, dia menghentikan elusannya. Dia lega karena Nina bisa tidur nyenyak. Dipandanginya wajah Nina yang sedang tidur. Polos seperti bayi. Masih terbayang segala tingkah polah Nina yang seenaknya sepanjang hari kemarin. Dia menghela napas, tak mengerti dengan sikap Nina. Sebenarnya, seperti apa karakter Nina? Dia tak percaya pada sifat keras kepala yang ditunjukkan Nina selama ini. Karena, sesekali ia menangkap kelembutan di wajah gadis ini, terutama bila bukan dia yang menjadi objek pandangnya.
Dia sadar benar, gadis ini banyak akalnya. Dia masih ingat de­ngan siasat gadis ini, yang hanya menceritakan yang buruk-buruk saja perihal dirinya. Dia tahu benar maksud sebenarnya, agar dirinya merasa ngeri dan mundur.

Menjelang pagi panas tubuh Nina agak berkurang dan Nina dapat tidur nyenyak dalam waktu lama. Ilham bernapas lega. Namun demikian, dia memutuskan untuk tidak pulang pagi itu. Dia masih khawatir akan kondisi Nina. Setelah melakukan beberapa telepon pemberitahuan dan menginstruksikan beberapa hal pada karyawannya, dia membuat sup krim ayam kental.

Saat dia mengantar sup ke kamar, dilihatnya Nina sudah bangun, tapi masih tergolek lemah.

Nina menatap Ilham dengan heran. “Jam berapa ini?”

“Sembilan. Aku buatkan sup krim ayam. Makan dulu, ya.”

“Kau tak pulang? Katamu, kau mau pulang hari ini?” tanya Nina.

“Tidak. Aku akan di sini sampai kamu sehat,” jawab Ilham.

“Aku jangan kau jadikan beban.”

“Kau bukan bebanku. Sekarang, makanlah sup ini, mumpung hangat,” ujarnya, sambil mencoba menyuapi Nina. Namun, Nina menggeleng.

“Nanti aku makan. Aku mau ke kamar mandi dulu.”

Ilham membantu Nina bangun dari tempat tidur, tapi Nina melarangnya. “Biarkan aku lakukan sendiri,” ujarnya, sambil bangun dari tempat tidur. Karena badannya lemah, hampir saja dia jatuh. Selain itu, rasa pening yang hebat juga menghantamnya. Melihat kening Nina mengernyit kesakitan, Ilham pun membopong tubuh Nina ke arah kamar mandi.

Nina kaget. Namun, belum sempat memprotes, dia sudah diturunkan di dalam kamar mandi.

“Nah, sekarang lakukan apa yang mau kau lakukan. Setelah selesai, panggil aku,” ujar Ilham tegas, sambil menutup pintu kamar mandi. Ketika dilihatnya pintu kamar mandi terbuka dan Nina hendak keluar, disodorkannya sepasang baju ganti. “Ganti bajumu yang basah!” ujarnya, tegas.

Nina hanya menurut dan kembali masuk ke kamar mandi. Ketika dia sudah selesai dan melihat Ilham hendak membopongnya, dia menggeleng. “Biarkan aku berjalan,” pintanya, pelan. Ilham pun menurut dan menuntunnya ke tempat tidur kembali. Sesudah itu diselimutinya Nina dengan rapat.

“Nah, sekarang makanlah supmu,” ujar Ilham, membujuk.

“Biar aku sendiri saja,” ujar Nina.

Tapi, baru dua suapan, dia menyerah. “Aku tak kuat lagi, mual.”

“Minum teh hangat ini, biar mualmu berkurang.”

Nina menurut.

“Jam berapa dokter langgananmu ada?” tanya Ilham kemudian.

“Aku tak mau ke dokter. Sudah sering ini terjadi. Biasanya, dengan istirahat dan tidur, pasti akan sembuh.”

“Kalau sudah sering terjadi, kenapa tidak kau cegah sebelumnya? Jangan-jangan, kemarin kau sudah tidak sehat. Tapi, kau tetap menerima pekerjaan yang mengharuskan kau begadang semalaman,” omel Ilham.

“Mereka kan klienku. Kalau klienku lari ke orang lain, aku nanti dapat uang dari mana?”

“Kau harus bisa mengatur dirimu sendiri. Mereka memang klien, tapi kau juga harus tahu batas. Kalau sakit atau kelebihan order, kau harus berani melimpahkannya pada orang lain. Kau tinggal mengawasinya agar sesuai standar. Jadi, tak semuanya harus kau tangani sendiri. Akibatnya kan fatal.”

“Aku juga tahu batasku. Aku juga tak serakah untuk mengambil semua order,” jawab Nina, kesal.

“Lalu, kenapa kau kemarin rela tidak tidur untuk mengerjakan order yang datangnya mendadak tersebut? Padahal, kau tahu dirimu sudah tak sehat.”

“Aku butuh kesibukan, agar lupa akan perjodohan ini! Puas?” sentak Nina.

Ilham terkesiap. Sesaat dia tak bisa menjawab. Dia tak menyangka, Nina yang kelihatan tegar sebenarnya sangat rapuh. Tak urung hatinya jadi kasihan.

“Kau tahu, aku tak ingin menikah. Tapi, kau tetap memaksakan perjodohan ini. Kalau kau ingin menikah, kenapa mesti melibatkan aku?” teriak Nina, ada nada isakan di dalamnya. “Seandainya keluargamu tidak punya prakarsa melamarku, orang tuaku tak bakal mendesakku menikah. Mereka sudah menerima kondisiku. Mereka tak lagi mendesakku untuk menikah. Tapi, gara-gara keluargamu menyodorkan tawaran ini, mereka mulai lagi mendesakku untuk menikah. Kalau kau ingin menikah, kenapa kau tidak memilih orang lain saja untuk kau jadikan istri? Kenapa kau dan keluargamu mesti memilih aku dan melibatkanku?” keluh Nina lagi.

“Tapi, kenapa? Kenapa kau tak ingin menikah?”

“Itu urusanku!”

Ilham kembali terdiam. Dia masih tak mengerti, kenapa Nina tak ingin menikah. Ada apa dengan gadis ini? Apakah gadis ini dingin? Sepertinya, tidak. Dia juga merasakan bahwa gadis ini tertarik padanya. Tapi, Nina sepertinya menahan diri dan tidak mau membiarkan perasaannya berkembang. Kenapa? Karena harga diri? Karena sebelumnya dia menyatakan tak bersedia menikah? Kalau sekadar harga diri, tak mungkin gadis ini sampai memikirkannya begitu dalam, hingga akhirnya sakit. Pasti ada hal lain yang melatarbelakanginya. Teka-teki ini terus menghantui pikirannya.

Hari kelima Nina sudah sembuh benar. Ilham pun pamit pulang. Dia lega karena Nina kembali sehat. Bukan itu saja, ia juga lega, hubungannya dengan Nina kini bertambah manis. Walau Nina belum menyatakan kesediaan akan perjodohan itu, setidaknya sikapnya lebih bersahabat.

Ilham pun terus menghujani Nina dengan perhatian, meng­ingatkan agar tak telat. Dia juga menanyakan kegiatan Nina. Bukan untuk mengawasi, tapi untuk mengetahui problem yang dihadapinya. Dia akan memberi saran dan support yang tulus pada Nina.

Tak urung perhatian yang terus-menerus ini membuat pertahanan Nina jebol. Sedikit demi sedikit ia mulai menikmati perhatian Ilham. Bahkan, sehari saja dia tak menerima SMS atau telepon dari Ilham, Nina akan menanti-nanti. Ilham juga selalu memberitahunya jika dia ada rapat hari itu. Dia juga selalu minta dukungan dan doa Nina. Ini membuat Nina merasa bahwa Ilham tak hanya mendukung dan mendoakannya, tapi juga membutuhkan dukungannya. Hal ini menghangatkan dirinya. Tanpa disadari, mereka jadi makin dekat. Terlebih ketika menyadari bahwa di antara mereka banyak kesamaan.

Suatu sore di akhir pekan, Ilham meluncur ke rumah Nina. Dia tidak ada. Dari pembantu rumahnya, dia mendapat kabar bahwa Nina sejak siang ada di sawah. Setelah diberi tahu letak sawahnya, dia segera mencarinya di sana. Benar saja, Nina sedang duduk dengan kaki berjuntai di gubuk kecil di tepi sawah. Di bagian bawah gubuk tersebut dibuat kolam ikan mas. Nina sedang asyik memberi makan ikan-ikan mas tersebut, sementara kamera dan seikat besar kacang panjang tergeletak di sampingnya. Melihat keadaan kakinya yang penuh lumpur, ada kemungkinan dia habis masuk ke tengah sawah.

“Hai... dari mana kamu tahu aku ada sini?” seru Nina.

Ilham tersenyum melihat wajah Nina agak terbakar matahari. “Kau pasti sudah lama sekali di sawah, ya? Lihat mukamu sampai kemerahan begitu.”

“Tadi saking senangnya lihat kacang panjang yang bagus-bagus, aku langsung memetiknya sampai ke pinggiran sawah di sebelah sana. Lihat, ini hasil panenku. Besok kita bisa masak urap kacang panjang, nih. Aku ingin melihat matahari tenggelam. Lihatlah, begitu damainya di sini. Bagus sekali, ya? Lihat di sana itu, burung-burung sudah beterbangan pulang. Coba, apa pemandangan seperti ini bisa dicari di Jakarta? Aku kadang-kadang kangen lihat hamparan sawah, lihat gemercik air, lihat ikan-ikan, lihat Gunung Ciremai di ujung sana itu. Ah, betapa damainya.”

“Kenapa kau tak pindah ke sini saja? Pekerjaanmu kan bisa kamu garap di mana saja, asalkan ada kabel telepon untuk internetmu, bukan?”

“Tidak bisa. Aku ini pembosan. Aku tak bisa hidup di sini lebih dari seminggu. Terlalu tenang. Kurang bervariasi. Aku terkadang butuh ritme cepat. Tapi, aku juga tak bisa lama-lama di Jakarta. Sewaktu-waktu aku harus berganti suasana untuk keseimbangan jiwa,” kata Nina, sambil merebahkan tubuh, tidur telentang di tengah gubuk dengan kaki dinaikkan ke salah satu tiang.

“Aduh, Nina, jangan begitu. Ini bukan di rumah. Nanti dilihat orang,” seru Ilham, khawatir.

“Biarin saja. Aku, toh, tak merugikan mereka,” jawab Nina, tak senang melihat Ilham suka mengatur. “Aku paling tak senang, deh, kalau kamu berperan sok mengatur begitu. Sudah, lebih baik kau pulang saja,” sahut Nina, ketus.

“Aku menasihati kau, toh, demi kebaikanmu, bukan demi diriku. Sudah tugasku untuk mengarahkan jika kamu salah arah,” ujar Ilham.

“Dengar, ya, aku belum jadi istrimu. Jadi, jangan sok pahlawan dengan menjadikan aku sebagai tanggung jawabmu. Ini hidupku, aku akan jalani sesuai yang aku suka. Kau tak berhak mencampurinya. Titik!” ujar Nina, ketus.

“Terserah. Baru kutahu bahwa kau tak sekadar keras kepala, tapi bebal juga,” desis Ilham, sambil beranjak meninggalkan Nina. Untuk pertama kali nada bicara Ilham terdengar keras.

Ilham benar-benar marah. Apa katanya tadi, dia tak bakalan mau jadi istriku? Lihat saja nanti, Nona. Kamu belum tahu, kamu berhadapan dengan siapa, batinnya dengan sebal.

Beberapa hari kemudian, kemarahan Ilham mereda. Dia merasa kangen pada Nina. Ah, wanita itu memang punya sifat yang terkadang membuatnya kangen. Kadang-kadang bersifat tegas dan sigap, kadang-kadang lunak dan lembut, tapi kadang-kadang keras kepalanya muncul. Bersama Nina, ia seperti menaiki komidi putar, ada kalanya naik, ada kalanya turun. Tapi, justru itu yang membuat sosok wanita itu tak bisa lenyap dari pikirannya.

Seperti biasanya, ketika hari Sabtu tak ada pekerjaan mendesak, Ilham mengarahkan mobilnya ke Jakarta. Ternyata, Nina tak ada. Kata pembantunya, Nina pergi ke Australia.

“Berangkat 3 hari yang lalu, Mas. Katanya, kalau ada apa-apa, telepon saja ke rumah Mas Bill di Sydney. Bibi ditinggali nomor teleponnya. Katanya, dia akan ke beberapa kota di Australia, tapi nanti akan mampir ke tempat Mas Bill. Jadi, kalau ada apa-apa, titip pesan saja ke Mas Bill. Mau nomor teleponnya?”

“Boleh. Sudah berapa lama Nina kenal dia?”

“Kira-kira lima tahun lalu, sejak Bibi kerja di sini.”

“Ya, sudah, Bi. Terima kasih.”

Ilham kesal karena Nina pergi ke Australia tanpa pamit. Benar-benar urakan, batinnya. Apa jadinya kalau sudah berumah tangga nanti? Apa dia juga tetap akan bersikap seenaknya dan tak bisa dikendalikan?

Ilham kemudian ditelepon oleh Bi Ijah yang memberi tahu tanggal kepulangan Nina. Namun, baru beberapa hari kemudian dia pergi mengunjungi Nina. Ternyata, Nina tidak sendirian. Bersamanya ada seorang asing yang disebut Bi Ijah sebagai Bill.

“Hai, minggu lalu ke sini, ya. Maaf, ya, aku sedang pergi. Kenalkan, ini temanku, Bill. Bill, ini Mas Ilham, calon suami yang diatur ibuku itu,” ujar Nina pada keduanya. Ilham agak mengernyitkan kening ketika tahu bahwa Nina sudah menceritakan tentang dirinya.

Rupanya, Nina tak hanya memercayakan cerita pribadinya kepada orang tersebut, keakraban di antara Bill dan Nina pun terasa sangat spesial. Sangat berbeda dari keakraban yang diperlihatkan Nina dengan teman-teman kantornya dulu. Keakraban antara Nina dan Bill sangat alami dan tak dibuat-buat, seakan sudah terbiasa melakukannya. Seperti kali ini, mereka memutuskan makan malam di sebuah restoran steik. Bill dan Ilham memesan steik, sementara Nina memilih menjilati es krim yang digemarinya.

“Benar, kau tak mau makan? Ini enak. Cobalah ini,” kata Bill, menyodorkan seiris steik. Nina pun dengan wajar menerimanya.

“Ini. Coba ditambah jamur,” Bill pun menyuapi Nina kembali.

Bill lalu mengambil lap yang ada di pangkuannya dan mengelap setitik saus di bawah bibir Nina dengan lembut.
Wah, hebat. Sekarang mereka mengumbar kemesraan di depanku, batin Ilham. Dadanya hampir hangus terbakar. Namun demikian, tak ada satu komentar atau reaksi emosi apa pun yang diperlihatkannya.

Sesampainya di rumah, kemesraan itu tetap berlanjut. Mereka mengobrol dengan duduk di lantai di ruang tengah, dilanjutkan menyanyi bersama mengikuti iringan karaoke. Sesekali Bill merangkul bahu Nina atau mengacak-acak rambutnya dengan sayang. Wajah Nina pun terlihat sangat ceria. Dia bisa meledek Bill dan dirinya dengan bebas. Kalau sudah demikian, matanya berkilat-kilat jenaka. Tawanya juga sangat lepas. Hal ini makin memperkuat dugaan Ilham bahwa ada hubungan khusus di antara keduanya. Namun demikian, sikap mereka berdua terhadapnya tetap ramah dan tak tercela.

Ketika keesokan harinya Ilham hendak pulang, Nina dan Bill pun memutuskan ikut serta untuk berlibur di kampung. Mereka pun memutuskan naik kereta api. Sepanjang jalan mereka tetap mengobrol santai. Tak pernah sekali pun disinggung tentang perjodohan ataupun hubungan mereka. Benar-benar pandai bersandiwara, batin Ilham. Kali ini Nina tak duduk berdampingan dengan Bill, melainkan memilih di sebelah Ilham. Ilham lebih banyak diam. Dia hanya mengobrol sekadarnya.

Setelah memesan makan siang di kereta, kedua lelaki di sebelahnya tertidur, sementara Nina memilih membaca novel. Sesekali kepala Ilham jatuh ke bahunya. Dipandanginya wajah Ilham dalam tidurnya. Timbul rasa kasihnya pada diri lelaki ini. Dengan lembut dia tarik kepala Ilham untuk bersandar di bahunya. Selanjutnya dia meneruskan membaca bukunya.

Bill terbangun lebih dulu, lalu mengajak Nina mengobrol.

Mendengar orang mengobrol, Ilham pun terbangun. Dia kaget karena tertidur di bahu Nina. “Kau mau gantian bersandar ke bahuku?” tanyanya.

Nina menggeleng, sambil tersenyum. “Nanti saja kalau aku capek.”

Ilham merapikan rambut Nina yang agak berantakan. Gadis ini baik, pikirnya. Hatinya bisa lembut keibuan juga kalau dia mau. Ilham duduk diam, sambil merenungkan sikap Nina.

Namun, ternyata bukan padanya saja Nina bersikap lembut. Pada Bill pun sikap Nina tak kalah lembut. Dia membantu mengancingkan tas ransel Bill dengan telaten, layaknya seorang ibu yang mengancingkan tas anaknya. Semua yang dilakukannya bersama Bill sangat wajar. Apakah karena pria ini, Nina ngotot menolak perjodohan mereka? Jika benar, tak heran Nina melakukannya. Mereka saling menyayangi. Ini terbaca jelas dari sikap mereka.
Kala melihat sambutan keluarga Nina pada Bill, Ilham yakin bahwa hubungan Nina dan Bill sudah terjalin lama. Ia pun makin penasaran. Namun, dia tidak mau mengambil tindakan sebelum mendapat penjelasan dari Nina.

Suatu sore, ia mendapati Nina seorang diri.

“Ke mana Bill?” tanya Ilham.

“Mancing di laut dengan adikku.”

“Kebetulan, kalau begitu. Aku ingin mengobrol denganmu. Sejak kemarin aku penasaran dengan Bill. Melihat keakraban kalian, juga dengan keluargamu, dia bukan orang yang asing bagi kalian, bukan? Bahkan boleh dibilang hubungan kalian sangat akrab.”

Sesungging senyuman menghias bibir Nina. Dia mengerti ke mana arah pembicaraan Ilham selanjutnya. “Ya, hubungan kami memang sangat akrab. Bagaimana tidak akrab? Aku sudah mengenalnya hampir 15 tahun. Aku pernah jadi asisten penelitiannya. Dia juga pernah homestay di sini. Kamu merasa terganggu dengan hubungan kami?”

“Aku agak kaget karena hubungan kalian sangat istimewa.”

Nina terkekeh melihat Ilham tak menutupi kecemburuannya.

“Kalau aku boleh bertanya, apakah hanya sebatas teman biasa saja hubunganmu dengannya? Hal ini kutegaskan agar aku tahu di mana posisiku sebenarnya,” kata Ilham.

“Ya, kami hanya teman, tepatnya sudah seperti saudara. Bukankah sudah kubilang aku punya teman-teman yang sangat akrab. Mungkin, hubungan kami dan cara kami mengungkapkan keakraban itu dirasa sangat ekstrem bagimu. Tapi, begitulah bentuk hubungan kami,” kata Nina.

Ilham menatap Nina, mempelajari kedalaman hatinya. Kelihatannya Nina jujur. “Jadi, aku tak perlu mengkhawatirkannya?”

“Kalau yang kamu maksud apakah aku berpacaran dan menikah dengannya kelak, tentu saja tidak,” jawab Nina, santai. “Aku menemukan sosok lebih daripada teman. Mungkin, sahabat sejati. Aku bisa leluasa menceritakan semua masalahku, tanpa perlu pertimbangan apakah dia akan mengumbar rahasiaku itu atau tidak. Aku juga bisa bersikap santai, tanpa harus berpura-pura sopan. Pokoknya, aku bisa menjadi diriku sendiri bila bersamanya. Aku merasa nyaman. Itulah mungkin yang membuat hubungan kami jadi khusus. Kau cemburu?” tanya Nina, dengan wajah jenaka.

“Sangat. Dadaku hampir terbakar rasanya.”

“Apakah ini pertanda kau mulai mencintaiku atau kau hanya merasa tersinggung karena aku akrab dengan pria lain?” tanya Nina.

“Tentu saja aku mencintaimu. Kenapa kau ragukan itu?”

“Wah, terima kasih. Senang juga ada yang mencintaiku,” ujar Nina santai, sambil meraih pipi Ilham dan mengecupnya sekilas.

“Apakah ini pertanda kau pun sudah mulai mencintaiku?” tanyanya. “Atau, di luar ciuman tadi, apakah ada setitik perasaan cinta itu di hatimu padaku?”

“Jangan gede rasa. Memang berapa lama kita bertemu?” elak Nina.

“Tapi, kamu merasa nyaman bersamaku, ‘kan?” kata Ilham.

“Ya, tapi perasaan nyaman belum menjamin bahwa aku mencintaimu. Seperti halnya dengan Bill, aku pun merasa nyaman dengannya. Aku dan dia juga saling menyayangi. Kami sudah saling memahami siapa diri kami masing-masing. Tapi, kami tak mungkin menikah. Kenapa, coba tebak?” tantang Nina.
Ilham hanya menggelengkan kepala.

“Karena tak ada titik api di antara kami. Kalau orang Barat menyebutnya tak ada chemistry di antara kami. Awalnya, aku beranggapan bahwa aku juga jatuh cinta padanya. Aku makin lama makin sayang padanya. Dia pun sama. Tapi, akhirnya aku menyadari bahwa di antara kami tak ada keinginan sedikit pun untuk melakukan hubungan cinta. Yang ada adalah kasih sayang tulus sahabat.”

“Apakah denganku kau tak merasakan chemistry itu?”

”Sabar, dong, kita kan baru berkenalan,” ledek Nina.

“Ayolah, Nina, kalau apa yang kuduga itu benar, apa lagi yang kita tunggu? Kau sudah tahu, ke mana hubungan ini akan mengarah. Kita sudah saling menjajaki, dan kenyataannya kita cocok. Apa lagi yang kita tunggu?”

Nina menatap Ilham dengan rasa ngeri saat membayangkan pernikahan. “Kenapa kita tak begini saja, sih. Berteman baik.”

“Nina!”

“Aduh, Mas, mengertilah. Aku tak bisa memberikan jawaban untuk komitmen yang akan mempertaruhkan masa depanku,” kata Nina, ngeri, walau rasa sayang pada lelaki ini mulai tumbuh.

“Oke, mungkin aku terlalu cepat mendesakmu,” desahnya, sambil menepuk-nepuk tangan Nina, menenangkan. “Tapi, kau tak keberatan kan, kalau kita melanjutkan hubungan?” tanya Ilham.

Nina menatap Ilham dengan serius. “Apakah kau men­cin­taiku?”

“Aku sudah jatuh cinta sejak pertama kali aku datang ke rumahmu. Namun, cinta baru tumbuh ketika kau bersikeras menolakku. Itu membuatku makin tertarik padamu. Sesudahnya, makin aku mengenalmu, perasaan itu makin kuat mengikat hatiku.”

“Kenapa kau tak cerita?”

“Dan membuatmu lari ketakutan, sehingga makin ngotot menolak perjodohan kita?”

“Apa itu sebabnya kau ngotot melanjutkan perjodohan ini?”

Ilham mengangguk.

“Tapi, seberapa besar cintamu?” tanya Nina. “Kau tak bakal ber­paling pada orang lain ketika cintamu memudar?” tanya Nina.

“Tuhan saksinya, Nina. Aku berjanji akan jadi suami yang setia.”

Nina masih menatap Ilham. Melihat Nina diam, Ilham mencoba meyakinkan. “Maukah kau belajar memercayaiku? Mungkin, kepercayaanmu padaku masih tipis, tapi aku ingin kepercayaanmu padaku bertambah. Aku akan sabar menunggu sampai kau yakin bahwa aku berkata jujur. Aku akan buktikan bahwa aku akan melindungimu, menyayangimu, juga mencintaimu selalu.”

Nina mendesah. Ia percaya akan ketulusan pria ini. “Ya, tapi beri aku waktu untuk memahami perasaanku sendiri.”
“Jadi, kamu setuju kita menjalani perjodohan ini?” desak Ilham.

Nina menimbang-nimbang. Kalau lelaki ini begitu yakin pada langkahnya, kenapa dia mesti takut melangkah ke sana.

“Baiklah, kita coba saja jalani perjodohan ini,” ujar Nina.

“Apakah tak sebaiknya kita kabarkan hal bahagia ini pada kedua orang tua kita?” tanya Ilham lagi, dengan wajah berseri-seri.

“Nanti dulu. Jangan tergesa-gesa. Aku belum yakin akan hatiku. Aku tak mau jika kelak ternyata hatiku berubah atau hatimu juga berubah. Apa yang akan terjadi pada keluarga kita kalau kita batal menikah?” kata Nina, panik. “Lagi pula, masih banyak hal yang harus kita pikirkan,” desah Nina.

Nina berkenalan dengan Sari, anak Ilham, yang sedang berada di Pondok Pesantren Krapyak, Yogya. Seperti dugaan Ilham, Sari menyambut Nina dengan ramah. Bahkan, makin lama, mereka makin lengket. Terlebih ketika Sari mengetahui, Nina punya banyak komik remaja kegemarannya. Rasanya, dia sudah tak sabar ingin segera mengunjungi rumah Nina di Jakarta.

Kini, waktu liburan hampir tiba, Ilham dan Nina berencana menjemput Sari di Yogya. Hari ini Nina datang ke kantor Ilham. Tapi, Ilham tak ada, sedang berkeliling ke kantor cabang. Nina memutuskan menunggu di kantor Ilham.

“Mbak, toiletnya di mana?” tanya Nina, pada sekretaris Ilham.

“Dari sini belok kanan, Mbak. Silakan,” sahut Yanti, ramah.

Nina sedang merapikan bajunya sebelum keluar dari toilet, ketika didengarnya ada orang yang masuk ke toilet.

“Sudah lihat calon istri bos?” ujar seseorang. Nina urung keluar.

“Belum, orangnya bagaimana?”

“Tak terlalu cantik. Hanya, karena tinggal di Jakarta, penampilannya lain. Percaya dirinya tinggi. Tapi, dia kalah dari Mbak Yanti.”

“Mbak Yanti tak cemburu?”

“Pasti cemburu. Tapi, mau apa lagi. Bos juga tak bisa apa-apa. Katanya, mereka dijodohkan oleh orang tua. Jadi, walau hatinya ada pada Mbak Yanti, dia tetap akan menikahi wanita tersebut.”

“Kudengar, Mbak Yanti mau berhenti, ya? Karena masalah ini?”

“Ya, iyalah. Mana ada wanita yang tahan jika kekasihnya akan menikah dengan orang lain. Tapi, kabarnya, dia tak boleh resign oleh bos. Katanya, bos sampai memohon-mohon agar Mbak Yanti tidak keluar.”

“Kasihan, ya, Mbak Yanti. Menunggu sekian lama, bos malah disambar orang lain,” ujar seorang lagi, sambil keluar dari kamar mandi.

Nina membeku. Dia benar-benar kaget. Rasanya, seperti ada yang menghantam mukanya dengan berton-ton batu. Untuk sesaat, pikirannya terasa buntu. Ia tak bisa berpikir apa-apa. Dia menenangkan diri dulu untuk beberapa saat. Setelah benar-benar pulih, baru dia keluar dari kamar mandi.

Ilham ternyata belum kembali. Hanya ada Yanti yang sedang menyuguhkan teh buatnya. Dia mengamati Yanti lebih seksama. Nina mengerti. Benar kata teman-temannya tadi, Yanti sangat cantik. Tindak-tanduknya juga halus. Benar-benar tipe Ilham. Pantas, selama ini Ilham mencoba membentuk dirinya agar bersikap lembut, karena pacarnya memang demikian. Dia ingin membentuk dirinya agar mirip Yanti! Huh!

“Mbak, saya tunggu langsung ke pabrik saja, deh. Di sebelah mana, ya?” tanya Nina.

“Masuk dari gang sebelah pom bensin, lalu belok ke kanan, lurus terus. Nanti ada rumah yang kayak gudang. Itulah pabriknya.”

“Oke, aku ke sana saja. Terima kasih.”

Nina bergegas ke mobilnya. Ia ingin mendamprat Ilham. Kurang ajar sekali lelaki itu. Namun, di tengah perjalanan, Nina menghentikan mobilnya dan mulai ragu. Apakah ia tak ikut andil bersalah? Ilham tak bakal bisa membuatnya sakit hati, kalau ia tak demikian bodoh, membiarkan perasaannya berkembang. Tak bakalan terjadi peristiwa demikian, seandainya ia tak menyetujui perjodohan mereka. Kalau sekarang ia sakit hati, itu kesalahannya juga.
Nina menyumpahi dirinya karena sudah membiarkan hatinya jatuh cinta pada pria itu. Sudah kubilang, Nina. Gunakan rasiomu, jangan perasaanmu! Inilah harga yang harus kau bayar! Kau tak boleh mengeluh karenanya. Ia benar-benar menyesal.

Perasaan marah bercampur perasaan terhina membuat Nina tak sudi bertemu Ilham lagi. Ia memutar arah mobilnya menuju rumah. Lalu, ia membereskan pakaiannya dan berangkat ke Jakarta. Kepada ibunya, dia bilang ada pekerjaan mendadak yang harus dia selesaikan. Ibunya, yang sudah biasa melihat tugas wartawan, percaya saja pada alasannya.

Ilham pun tak berpikir buruk ketika ibu Nina memberi tahu tentang kepergian Nina yang mendadak. Ia tak berpikir macam-macam ketika handphone Nina yang dihubunginya tak aktif. Dia menduga, berita yang diliput Nina sangat penting, sehingga Nina tak ingin diganggu. Ia mengerti benar kebiasaan Nina yang total dalam bekerja, yang selalu marah jika diganggu oleh hal-hal yang tak perlu. Karena itu, dia biarkan saja Nina.

Itulah mengapa dia kaget sekali, ketika seminggu kemudian dia ditelepon ibu Nina. “Ada apa ini, Nak Ilham? Kalau ada masalah, sebaiknya diendapkan dulu, dibicarakan baik-baik. Jangan langsung putus begini,” sesal ibu Nina, ketika Ilham datang berkunjung.

“Maksud Bunda apa?” tanya Ilham, tak mengerti.

“Kau dan Nina? Kalian tak bertengkar? Lalu, kenapa Nina meminta Bunda membatalkan pertunangan kalian?”

“Membatalkan pertunangan?”

“Ya, Nina ngotot tak mau melanjutkan perjodohan kalian. Apa­kah kau tak tahu alasannya?”

“Sama sekali tidak, Bunda. Saya pun baru tahu sekarang.”

“Dia hanya menyebut-nyebut tentang firasatnya yang benar, tentang beruntung bahwa nasi belum jadi bubur, tentang tak ingin merebut pacar orang lain, juga tentang pergi ke luar negeri. Ah, Bunda juga tak mengerti arah pembicaraannya. Dia hanya minta, Bunda membatalkan pertunangan ini. Dia mengancam, kalau tak dibatalkan, dia tak akan balik lagi ke Indonesia dan menetap di luar negeri. Bunda benar-benar tak mengerti, Nak.”

“Bunda, mungkin, ada baiknya saya susul Nina ke sana.”

|“Ya, Nak Ilham, Bunda minta tolong. Kalau ada masalah, bicarakanlah baik-baik. Selesaikan dengan kepala dingin.”

“Ya, Bunda. Saya pamit dulu,” ujar Ilham, sambil menahan geram melihat kelakuan Nin. Dia benar-benar tak mengerti dengan apa yang dilakukannya. Memutuskan hubungan, pergi begitu saja, tak membicarakannya dengan dirinya.

Setelah membereskan pekerjaannya, sorenya Ilham berangkat ke Jakarta. Namun, di Jakarta dia hanya menjumpai Bi Jah, yang diminta Nina menunggui rumahnya. “Berangkat siang tadi, Mas. Katanya, mau ke luar negeri. Dia menitipkan surat ini pada Mas,” kata Bi Jah.

Ilham menyobek amplop surat Nina.

Mas Ilham,
Sudah berhari-hari aku merenung dan memikirkan kata-kata yang tepat. Tapi, tetap tak ketemu juga. Awalnya, aku ingin marah karena kau telah menipuku. Tapi, aku pikir, ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku ikut bersalah. Aku benar-benar bodoh. Beberapa hari ini tak henti-hentinya aku menyesali kebodohan tersebut. Kenapa aku mau saja dijodohkan denganmu. Kenapa aku tak tetap saja pada pendirianku semula. Dengan demikian, kita tak perlu terjebak dalam situasi pertunangan yang dipaksakan. Aku bisa tetap jadi Nina yang dulu. Kau juga tetap dengan segala aktivitas dan impianmu.
Namun, aku bersyukur, nasi belum jadi bubur. Kita belum telanjur menikah. Jadi, kesalahan yang kita buat pun tak akan bertambah panjang. Karena itu, lebih baik kita akhiri saja pertunangan kita. Kita kembali ke jalan masing-masing. Anggap saja hubungan kita yang singkat kemarin adalah sebuah mimpi, yang kala kita terjaga dari tidur, mimpi itu sirna dan kita kembali ke kehidupan nyata. Terima kasih atas semua kesabaran dan kebaikanmu padaku.
Nina

Ilham meremas surat tersebut dengan jengkel. Surat Nina pun tak menjelaskan masalahnya. Apa katanya tadi? Dia telah menipunya? Menipu apa?

“Luar negerinya di mana, Bi? Dia tak menyebutkan?”

“Wah, Bibi nggak tahu. Apa mungkin ke rumah Mas Bill? Coba saja telepon ke sana, Mas. Bibi simpan catatannya di tempelan kulkas.”

Bi Ijah masuk dan keluar lagi dengan membawa nomor rumah Bill, nomor ponsel, dan nomor kantor. Ilham mencoba menghubungi Bill di rumahnya. Pada deringan kedua, telepon diangkat Bill. Ternyata, Bill pun tak tahu bahwa Nina di luar negeri. Ilham berusaha menghubungi sahabat-sahabat Nina. Mereka pun tak tahu keberadaan Nina.

Ilham benar-benar menemui jalan buntu. Di satu sisi dia ingin membiarkan Nina. Namun, di sisi lain, dia penasaran pada penyebab perilaku Nina yang dramatis ini. Dia menghujani e-mail Nina dengan berbagai pertanyaan. Tapi, tak satu pun suratnya mendapat balasan. Seolah e-mail itu tak pernah dibuka Nina dan langsung dihapus. Memang itulah kenyataannya.

Nina menerima e-mail dari Ilham, tapi langsung dihapus. Dia tak menggubris pertanyaan Bill, yang mengabarkan bahwa Ilham datang dan menanyakan keberadaannya. Dia hanya membalas e-mail sahabat-sahabatnya, mengatakan bahwa dia sedang ada liput­an di luar kota dan tak tahu kapan akan kembali.

Bulan berganti bulan, Ilham tetap belum menemukan jejak Nina. Walau pencarian Nina tetap jadi prioritas, karena kesibukannya di pabrik, Ilham tak bisa berbuat banyak.

Pagi itu matahari sangat cerah di Kyoto. Walau udara masih terasa dingin bagi kulitnya yang terbiasa terpanggang udara panas kota Cirebon, cuaca musim semi di Kyoto sangat cerah. Bunga-bunga aneka warna bertebaran di taman-taman kota. Setelah urusan bisnisnya selesai, hari ini Ilham bermaksud jalan-jalan dan mencari oleh-oleh untuk putrinya, sebelum kembali ke tanah air. Dia memutuskan melihat-lihat kuil-kuil kuno yang bertebaran di kota ini.

Hari itu ia bermaksud mengunjungi Kuil Ryoanji. Ia sama sekali tak menyangka, di sanalah ia bertemu Nina. Walau lama tak berjumpa, dia hafal benar pada bentuk tubuh Nina dari belakang. Di antara para turis lain, dia melihat Nina dengan kameranya sedang mengabadikan taman dari batu-batu karang yang terserak di antara butir-butir pasir putih.

|“Selamat pagi,” sapanya pada Nina, yang tak menyadari kehadirannya.

Nina menoleh. “Kau! Kenapa ada di sini?” serunya, heran.

“Bisnis. Bagaimana kabarmu?” tanya Ilham, sambil meneliti keadaan Nina. Walau terlihat agak kurus, secara keseluruhan Nina baik-baik saja.

“Baik. Wah, bisnismu tambah maju rupanya. Berapa lama kau di sini?”

“Hari ini aku pulang. Sudah berapa lama kau di sini? Kau menetap di sini?” tanya Ilham. Melihat penampilan Nina, sepertinya Nina bukan turis yang datang sesaat di kota ini.

“Aku sudah beberapa hari di sini. Kau sudah pergi ke mana saja?” tanya Nina, seakan-akan di antara mereka tak pernah terjadi apa-apa.

“Aku belum ke mana-mana. Kau menginap di mana?”

“Di rumah seorang teman. Kau di hotel apa?”

Ilham menyebutkan nama hotelnya. “Sepertinya, kau baik-baik saja. Apakah kau bahagia?” tanyanya, melihat penampilan Nina yang segar ceria.

“Ya. Aku cukup senang di sini.”

“Ya, aku bisa melihat kalau kau cukup senang. Apakah kita bisa mengobrol sebentar, sambil minum-minum?” pinta Ilham.

Nina tampak berpikir, lalu mengatakan, “Oke. Kulihat di sana ada beberapa restoran. Beberapa di antaranya menyajikan makanan yang enak di lidah kita,” ujarnya, sambil menarik tangan Ilham.

Mereka memilih salah satu restoran Jepang dan duduk menikmati teh dan kue-kue kecil di situ.

“Bagaimana Cirebon?” tanya Nina, setelah mereka berdua duduk dan pesanan mereka sudah datang. Dia tahu, sejak tadi Ilham sibuk meneliti dan mengamatinya dengan cermat.

“Tak terlalu baik sejak kepergianmu. Kenapa kau pergi sedramatis begitu? Ada apa sebenarnya?”

“Ah, masalah itu lagi. Tak ada topik yang lebih menarik?”

“Tidak. Aku justru ingin tahu tentang itu. Masalah kita belum selesai. Suratmu tak menjelaskan apa-apa tentang kepergianmu.”

“Sudahlah. Aku tak ingin membahas. Kita tutup saja lembaran itu.”

“Ini belum berakhir, Nina. Sampai sekarang aku tak mengerti dengan tindakan yang kau ambil. Aku butuh penjelasan.”

“Sederhana saja. Aku memutuskan untuk kembali bebas dan mencoba meraih kehidupan seperti yang selalu kuimpikan sejak kecil.”

“Jadi, kehidupanmu denganku, walau sesaat, kau anggap mengikat?”

“Ya. Aku sangat bodoh karena setuju pada rencana orang tua kita.”

“Bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Apakah kau menyangkal bahwa kau pun mencintaiku dan ingin hidup bersamaku?” tanya Ilham pelan, tapi tajam. Matanya mulai berkilat marah.

“Harus kuakui, aku sempat terhanyut perasaan tersebut, walau kini kusesali keberadaannya. Seharusnya, aku tak jatuh cinta pada­mu. Dengan demikian, tak perlu ada rasa sakit ketika cinta itu tak bisa terwujud.”

“Apa maksudmu tak terwujud? Rasa sakit? Jelaskan semuanya, Nina, jangan berputar-putar terus!” bisik Ilham, masih dengan suara pelan.

Nina menatap Ilham dengan jengkel. “Sebenarnya, aku sudah tak ingin membicarakan hal itu lagi. Tapi, baiklah, kalau kau memaksa. Aku memutuskan kita kembali ke kehidupan masing-masing. Itu saja. Aku membebaskanmu. Kembalilah kau ke kehidupanmu dulu, ke Yanti, ataupun gadis lain, yang aku tak tahu. Kau bebas, Mas, sebebas-bebasnya. Sama seperti diriku kini.”

“Maksudmu Yanti, sekretarisku? Kau cemburu? Jadi, ini pangkal permasalahannya?” kata Ilham, sambil menepuk keningnya.Lalu, ia tertawa keras.

“Ya, Yanti sekretarismu. Bukankah ia kekasihmu? Aku tak berhak merebut dirimu dari tangannya. Sama tidak berhaknya dirimu menjadikan aku sebagai istri kamuflasemu hanya demi mematuhi keinginan orang tuamu.”

“Ya, ampun, Nina! Kau menuduhku main gila dengan sekreta­risku sendiri? Apa-apaan ini! Apa pikiranmu sudah tak waras? Siapa yang akan menjadikanmu istri simpanan? Atau, apa istilahmu tadi… istri kamuflase?”

“Jangan kau kira aku sebodoh itu. Aku sudah menyelidikinya, sebelum memutuskan pertunangan kita. Yanti pernah jadi kekasihmu, bukan? Dia pula yang selalu mendampingimu merawat anakmu, setelah istrimu meninggal.”

“Ya, itu benar. Tapi, hubungan kami sudah tak ada apa-apanya lagi. Yanti sudah kuanggap keluarga sendiri, adik sendiri. Sama seperti hubunganmu dengan Bill. Hubungan kami tak lebih dari itu.”

Nina menatap mata Ilham sangat lama. Di matanya tersirat ketidakpercayaan. “Bagaimana dari pihak Yanti sendiri? Apa Yanti juga beranggapan yang sama denganmu?” tanyanya, dingin. “Bagaimana tanggapan teman-teman kantormu? Apakah mereka tak menganggap kalian berpacaran?”

“Aku tak tahu tanggapan orang-orang. Aku, toh, tak bisa mendikte orang agar beranggapan sesuai kehendak kita. Kukira, aku juga tak perlu menerangkan pada semua orang tentang bentuk hubunganku dengan Yanti.”

Nina memandang Ilham dengan mimik tak percaya. Ilham yang melihat sikap Nina demikian, rasanya sudah gemas ingin mencekiknya.

“Lantas, kenapa dia akan resign saat tahu kau mau menikah denganku? Kenapa kau harus mengiba-ngiba padanya untuk tak meninggalkanmu? Karena kau masih mencintainya? Kau tak bisa hidup tanpanya?”

“Memang aku tak bisa hidup tanpanya. Tapi, itu dalam pekerjaan. Yanti adalah sekretaris, sekaligus tangan kananku. Dia sangat andal dalam menangani pekerjaannya. Aku tak ingin kantorku berantakan gara-gara dia mundur. Saat ini kantorku sedang banyak pekerjaan. Tanpa dirinya, aku pasti akan kelabakan sendiri. Memang, aku bisa mencari sekretaris baru, tapi belum tentu sekretaris itu bisa seandal dirinya. Keinginannya untuk mundur sudah lama ia ungkapkan. Jadi, tak ada hubungannya dengan rencana pernikahan kita.”

Nina menyipitkan matanya, meneliti kebenaran di wajah Ilham.

“Kalau tak percaya, kau boleh telepon Yanti sekarang juga.”

Nina diam, sambil memandangi Ilham. “Baiklah, kalau penyelidikanku salah, aku minta maaf. Tapi, terus terang, aku benar-benar terpukul ketika karyawanmu mengatakan bahwa aku merebut diri­mu dari tangan Yanti.”

“Siapa yang mengatakan begitu?” tanya Ilham, berang.

“Aku tak tahu. Aku mendengarnya dari balik toilet ketika mere­ka membicarakan tentang diriku,” jawab Nina, sambil mengangkat bahunya.

Hening. Mereka diam.

“Aku minta maaf kalau aku salah menafsirkan hubungan kalian,” ujar Nina, setelah dia cukup lama mencerna omongan Ilham.

Ilham lega. “Nina… kenapa mesti ada kesalahpahaman demikian? Kenapa kau tak datang langsung padaku. Kenapa mesti lari?”

Nina tak menjawab. Sesudah itu mereka bercerita tentang topik lain. Tentang situasi Cirebon, tentang beberapa negara yang telah dikunjungi Nina. Mereka kembali ke hotel ketika hari sudah senja. Ilham bertekad membawa Nina pulang. Karena itu, dia memutuskan menginap lebih lama lagi di Kyoto. Dia tak mau Nina menghilang lagi.

“Kau akan pulang bersamaku, bukan?” tanya Ilham, ketika mereka tiba di hotel.

“Aku masih harus mengerjakan beberapa tulisan. Kau pulang duluan saja. Aku masih akan mengunjungi beberapa negara lagi.”

“Kau mau ke mana?” tanya Ilham, tak mengerti.

“Aku berencana ke Thailand, sebelum akhirnya aku memutuskan mau menetap di mana.”

“Maksudmu, kau tak akan tinggal di Indonesia lagi?”

“Mungkin. Sudah saatnya aku mencoba peruntunganku di negeri orang.”

“Bagaimana dengan kita?

“Apa maksudmu bagaimana dengan kita? Ya, kau kembali ke kehidupanmu dan aku dengan rencana-rencanaku.”

“Jadi, kau tak memercayaiku?”

“Aku percaya.”

“Lalu, kenapa kau tak pulang? Bagaimana dengan pertunangan kita?”

“Sudah kukatakan, kita kembali ke jalan masing-masing.”

“Kenapa?” tanya Ilham, tetap tak mengerti.

“Ya, tidak apa-apa. Aku hanya merasa, perkawinan bukan sesuatu yang tepat buatku. Bukan karena aku tak memercayaimu, ya. Tapi, peristiwa itu telah membukakan mataku, kesadaranku, bahwa perkawinan bukanlah untukku. Mungkin, Tuhan tak menghendaki aku berjodoh dan menikah.”

“Apa lagi yang kini jadi halangan?” kejar Ilham.

“Aku hanya tak tertarik lagi pada pilihan itu,” jawab Nina.

“Kau pasti berbohong. Pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan,” desis Ilham, sambil mengguncang bahu Nina dengan tak sabar.

Nina menepis tangan Ilham dan menjauh dari Ilham.

“Nina, kau sebenarnya takut, bukan?” kejar Ilham lagi. Tak mau membiarkan Nina menghindar kini. Dicekalnya tangan Nina dan didorongnya tubuhnya agar dia duduk di dekatnya.

Nina menatap mata Ilham. “Ya, aku memang takut. Aku memang takut menikah. Lantas, kau mau apa? Mengikatku dan menyeretku ke depan penghulu agar aku bisa menikah denganmu?” tantangnya, tak kalah sengit.

“Nina, kenapa begitu sulit kau memercayaiku? Aku tak bakal menyakitimu, Nin. Tak akan pernah. Aku mencintaimu,” kata Ilham.

“Cinta?!” sembur Nina, kesal. “Kalau saja perjodohan ini tak ada, hidupku akan lebih mudah. Sudahlah, kata-kata klise seperti itu sebaiknya kau berikan pada perempuan lain. Mungkin, mereka lebih membutuhkannya. Kata-kata itu tak ada artinya buatku,” ujar Nina.

“Nina, jangan kau samakan semua lelaki dengan Herman. Hanya karena Herman pernah melukaimu, lantas semua lelaki juga akan berbuat yang sama padamu. Aku tak bakalan seperti itu. Percayalah,” bujuk Ilham.

“Dari mana kau tahu tentang Herman? Ibuku yang menceritakannya padamu?” Nina tersentak.

“Bukan. Sama seperti dirimu, aku pun menyelidiki latar belakang sikapmu yang aneh. Ibumu menyebut-nyebut tentang dirimu tak mau dituduh merebut pacar orang. Dari situ aku menduga, kau pasti pernah terluka dan dikhianati seseorang. Ditambah lagi sikapmu yang selalu membingungkan. Aku bisa merasakan bahwa kau mencintaiku, tapi kau membangun tembok pembatas yang sangat tebal di antara kita. Kau selalu ragu untuk melangkah ke arah pernikahan. Dari penyelidikanku pula, aku jadi tahu tentang hubunganmu dengan Herman.”

Mata Nina menyiratkan kepedihan yang sangat. Ilham tak tega melihatnya. Di balik kekerasan dan ketegaran Nina, terpendam kerapuhan yang menyentuh hatinya. Dia boleh ditentang dengan keras, dengan kata-kata kasar sekalipun, tapi tidak dengan mata yang memancarkan kepedihan begini. Hatinya langsung lumer. Ia pun menyumpah-nyumpah dalam hati pada lelaki yang telah menggoreskan luka di hati gadis ini.

Diraihnya bahu Nina dan didekatkannya ke pelukannya. “Nin, tak semua lelaki seperti itu. Ada juga yang cintanya sangat tulus. Percayalah padaku, aku tak akan menyakitimu. Aku mencintaimu dengan sangat,” ujar Ilham, lembut, sambil menempelkan dagunya di kepala Nina.

“Kau hanya perlu memercayaiku. Dengan berlalunya waktu, semua kepedihan itu bisa berlalu. Dengan membuktikan sendiri bahwa di dunia ini ada cinta yang tulus, kepercayaanmu tentang cinta yang sempat terkoyak, akan sirna,” lanjut Ilham.

“Bagaimana jika kau menemukan orang yang lebih cantik dariku? Bagaimana jika kau menemukan bahwa aku ternyata punya banyak kekurangan? Bagaimana jika bayanganmu semula tentang diriku tak lagi sesuai?”

“Itu hanya terjadi pada orang yang lebih mementingkan cinta secara lahiriah, tanpa melihat bahwa kecantikan dalam batin itu lebih penting. Aku mengagumi semua yang ada di dirimu. Semua kepintaranmu, kemandirianmu, ketegasanmu, kemanjaanmu, sampai ke sifat judes dan kegalakanmu pun, aku suka. Dirimu sangat unik dan komplet. Apakah aku akan menyia-nyiakan orang seperti ini? Cintaku tak akan sirna. Bahkan, mungkin akan makin kuat.”

 “Entahlah, aku sendiri bingung. Apakah aku masih bisa memercayai janji laki-laki. Saat aku mendengar tentang dirimu bersama Yanti, aku benar-benar jatuh berkeping-keping. Selama ini aku kira aku cukup tegar. Kupikir luka yang ditimbulkan oleh Herman sudah berhasil kututup dengan rapat. Aku sudah cukup kuat. Tapi, nyatanya itu semua bohong. Aku tetap saja jatuh berkeping-keping. Dua kali aku hampir menikah, dan dua kali pula gagal. Itu membuat aku kapok. Aku sampai berpikir, jangan-jangan karma itu sebenarnya ada pada tubuhku sendiri. Mungkin, sebenarnya  aku memang  tak ditak­dirkan untuk menikah. Itulah mengapa, Tuhan selalu membatalkan pertunanganku tepat di saat aku mau menikah. Kenyataan ini sangat menyakitkan, Mas. Aku tak mau lagi seperti itu. Cukup dua kali saja aku terkena hal ini,” ujar Nina, pelan.

 “Tapi, aku tak menyakitimu, Nina. Dan, pertunangan kita juga tidak batal. Di antara kita hanya terjadi kesalahpahaman. Aku tak bakal bisa menyakitimu, karena menyakitimu sama saja menyakiti diriku. Mengertikah kamu, dukamu adalah dukaku juga. Aku tak bakalan kuat jika kau juga bersedih.”

“Entahlah, aku tak bisa berpikir saat ini. Jangan paksa aku untuk memutuskan apa-apa saat ini,” ujar Nina, dengan mimik ngeri.

Ilham menghela napas. Ia sadar, Nina butuh waktu untuk merenungkan perubahan besar ini. “Baiklah, kau boleh berpikir-pikir dulu. Aku akan menunggumu. Semalam pun boleh. Jika kau butuh waktu yang lebih lama lagi, aku akan tetap menunggumu. Aku akan pulang lebih dahulu dan menunggumu di sana. Pokoknya, berapa pun waktu yang kau perlukan, aku akan menunggu. Tapi, jangan lari lagi, ya,” ujar Ilham.

Nina diam. Semuanya terjadi begitu cepat. Dia perlu waktu untuk mencernanya. Dibiarkannya dirinya berada dalam pelukan Ilham. Rasanya sangat nyaman berada dalam pelukan Ilham, mendengar denyutan jantung Ilham yang kuat dan teratur.

Ilham pun merasakan hal yang sama. Nina begitu lembut dalam dekapannya. Begitu rapuh dan kecil. Ilham merasakan dirinya ingin selalu melindungi Nina.

Mereka duduk berpelukan dalam diam beberapa lama, sampai Ilham mengira Nina ketiduran dalam pelukannya. Tiba-tiba Nina mengangkat kepalanya. “Aku pulang dulu, nanti temanku mencari.”

“Kapan kau akan pulang?”

“Aku belum tahu. Aku akan selesaikan tulisanku dulu.”

“Baiklah, aku akan menunggumu. Sampai kesediaan itu datang di hatimu. Sampai pintu hatimu terbuka untuk menerima cintaku sepenuhnya. Cintaku tak akan berubah, Nina. Kau harus yakin itu,” bisik Ilham.

Nina mengangguk. Ia bisa melihat kesungguhan hati Ilham. Kesabaran dan kebaikan lelaki ini untuk menunggu, menyentuh hatinya. Ia sangat sayang pada lelaki ini. Kalau Ilham begitu yakin, kenapa ia harus bimbang dan lari? Nina kembali memeluk Ilham. Keputusan itu sudah dibuatnya.

No comments: