12.22.2010

LEWAT SECANGKIR KOPI

“Menikahlah denganku, kalau begitu!

Kenyataannya memang aneh, namun begitulah yang ia ucapkan padaku enam bulan yang lalu di depan kasir kedai kopi milikku.

Ia telah menjadi langganan kami selama beberapa bulan ini. Aku sendiri belum pernah sekali pun ngobrol dengannya, kecuali kalau ia sedang memesan kopi atau makanan kecil. Itu pun hanya sebatas mau pesan apa, harga keseluruhan dan ucapan pemanis, seperti, Silakan menikmati. Semua itu kupikir tidak akan menjadi alasan utama kenapa ia ingin menikahiku.

Setiap kali ia datang dan menikmati kopi panasnya (ia tidak pernah pesan kopi dingin atau es kopi), ia selalu duduk di sudut ruangan. Ia duduk di bangku yang menghadap ke jalan raya dan dengan mata menerawang. Tidak jelas apa yang biasanya ia lihat, namun pikirannya seperti melayang entah ke mana.

Aku kaget saat ia mengatakan lamaran itu. Baru kusadari suaranya agak berat dan lembut. Warna matanya yang tampak muda kecokelatan menatap warna hitam mataku. Ya, aku memang terkecoh pada wajah dan suaranya.

Ada satu hal pasti, yang paling membuatku ingin secepat mungkin mengiyakan permintaan itu adalah karena minggu lalu pernikahanku dengan pria lain batal. Pernikahan yang sudah kurencanakan dengan baik ternyata gagal total. Calon suamiku meninggalkanku tepat sebelum acara janji pernikahan dimulai. Tidak ada tanda-tanda apa pun sebelumnya, kecuali ungkapan bodoh seperti ‘aku mencintaimu’ setiap hari, dan intensitasnya lebih sering sebelum hari pernikahan kami sepakati.

Akbar pria mapan yang tampan. Tapi, caranya meninggalkanku secara mendadak di hari pernikahan, rasanya tidak menjamin sedikit pun bahwa hatinya seindah wajahnya.

Aku gemetaran, ketika salah satu panitia pernikahan memberitahukan hal itu. Ia sibuk menelepon Akbar dan kerabat mereka, sementara aku panik tak keruan. Saudara-saudaraku sibuk mencari Akbar dan menjemputnya di rumahnya yang ternyata sudah kosong. Aku hanya bisa menangis hebat di atas ranjang  yang harusnya menjadi saksi malam pertama kami.

Akbar menghancurkan mimpi-mimpiku tentang indahnya hidup pernikahan, tentang kebahagiaan. Ia menghancurkan seluruh harapan hidupku, menghancurkan janji yang telah kami buat, menghancurkan cinta yang telah kami bangun mulai dari nol. Ia membuatku merasa sangat malu dan dipermainkan.

Ia benar-benar menyebalkan. Benar-benar kejam.

Aku tidak bisa tidur nyenyak setelah peristiwa itu. Aku sangat malu pada teman–temanku, lingkungan sekitar, dan tentu saja keluargaku. Umurku tidak muda lagi. Bukanlah hal yang mudah untuk membuka lagi lembaran baru yang di dalamnya sudah terkoyak penuh tinta hitam yang menyebar hingga ke halaman–halaman berikutnya.

Aku sudah tidak tahu lagi apa yang kuinginkan dalam hidup, kecuali menjalankan bisnis kedai kopiku. Kubuang jauh–jauh pikiranku tentang berumah tangga dan lain–lainnya untuk menenangkan jiwaku. Tapi, entah kenapa, pria yang tidak kukenal itu, datang tiba-tiba ke dalam hidupku, menawarkan hal yang ingin kuhindari. Betapa bodohnya aku menyadari bahwa sebenarnya aku sangat menginginkannya. Tanpa berpikir panjang atau takut bahwa orang itu hanya mengada–ada, aku mengatakan ‘ya’.

Pernikahanku dan Shota sangat berbeda dari pernikahan pada umumnya. Aku baru tahu bahwa Shota adalah warga keturunan Indonesia-Jepang saat kulihat paspornya. Bahasa Indonesia-nya memang amat bagus, tapi tidak pernah kusangka ia punya darah Indonesia. Aku pikir ia hanya pria asing yang menetap di Jakarta dan menyuruhku menikah dengannya untuk keperluan pekerjaannya. Menikah demi sebuah green card.

Hatiku sudah keburu mati oleh cinta. Jadi tidak pernah terpikirkan bahwa aku mungkin saja sedang dimanfaatkan. Aku sudah tidak peduli. Aku hanya mementingkan status. Tidak peduli nantinya aku akan dipermainkan atau dibuang, yang penting secara sah aku pernah dinikahi oleh seseorang. Aku masih bisa menikah lagi dengan orang lain, walaupun pernah ditinggal pergi oleh calon pendamping hidupku.

Di Jakarta, apalagi di kota besar seperti ini, kenyataan bahwa wanita bisa lebih sukses daripada pria bukanlah hal aneh. Namun, di usiaku yang sudah 30-an dan masih melajang, pasti mudah jadi bahan omongan. Selama aku mendapatkan statusku dan membuat seluruh orang yang mencibirku diam, maka tenanglah hidupku. Cukup jelas alasanku. Tapi, Shota, sampai hari ini, tidak pernah membicarakan alasan lamaran mendadaknya itu padaku.

Ia bekerja di salah satu kantor yang letaknya dekat dengan kedai kopiku, suatu perusahaan Jepang. Ia libur setiap Sabtu dan Minggu. Kadang–kadang ia menghabiskan hari liburnya itu hanya di depan meja kerjanya, menggambar sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Terkadang ia pergi dan pulang membawa banyak buku. Kadang–kadang ia pulang dan membawa banyak kertas berisi esai yang harus dikoreksi. Aku tidak mengerti mengapa ia terkadang bekerja di kantor, menggambar seperti seorang arsitek, tapi juga mengoreksi esai seperti seorang guru.

Ia sangat sibuk, sampai kadang lupa makan atau berbicara denganku. Dulu, sebelum kami menjadi sepasang suami-istri yang aneh ini, ia tinggal di kawasan selatan Jakarta, di sebuah apartemen. Setelah menjadi suamiku, ia pindah ke kedai kopiku. Ia membayar seluruh sewa dan membeli bangunan yang telah kusewa ini. Ia bilang bahwa ia juga punya hak untuk membayarnya, karena ia akan tinggal bersamaku.

Kami menyepakati persetujuan tersebut dan membagi kamar. Kamarku berada di lantai dua sebelah kiri, sementara kamar Shota berada di depan kamarku. Sebenarnya ada tiga kamar di tempat yang kusebut ‘rumah’ ini, kalau–kalau salah satu dari anggota rumah kami datang menginap. Aku dan Shota akan pura–pura menjadi sepasang suami-istri normal dan kami tidur di kamar yang sama.

Teorinya memang begitu. Namun, setiap kali suara pintu telah tertutup dan aku mengunci pintu kamar, Shota segera beranjak dari kasur tanpa perlu kusuruh. Ia pindah ke sofa malas dekat jendela dan tidur di tempat itu seperti sedang tidur di kasur kesayangannya saja. Ia kelihatan menikmatinya. Ia kelihatan sangat menikmati setiap hari–hari aneh kami yang kami jalani bersama. Ia tidak begitu menyukai keluarganya dan kadang–kadang ia sering menunjukkan sikap tidak sukanya, setiap kali mereka bertamu di rumah kami.

Aku jadi mulai berpikir, mungkin alasan Shota menikahiku karena hal ini. Ia menginginkan ketenangan, sementara aku sangat menginginkan status yang membuatku tenang dari segala ocehan dan rasa pedih tentang impian pernikahanku yang sesungguhnya. Shota terkadang sering membantuku, walau aku tahu dari setiap pandangan matanya itu, ia merasa seperti tidak hidup di dunia ini.

Karena pagi ini Shota berangkat lebih awal, aku bangun pagi–pagi sekali. Aku ingin membuatkan bekal untuknya, karena ia jarang sekali ingat bahwa ia butuh makan. Aku menyetel alarm ponselku, agar bisa bangun sebelum Shota bangun.

Jujur saja, aku suka Shota, secara umum. Ia orang yang tidak banyak bicara, tidak banyak mengeluh. Ia akan memakan segala makanan yang kubuat (jika aku membuatnya) atau ia akan mendengarkan apa pun yang ingin kuutarakan dan biasanya yang berhubungan dengan rumah kami ini. Karena kami sama–sama tinggal di satu rumah dengan tujuan yang sama, yaitu mendapatkan ketenangan, maka sebisa mungkin kami saling membantu.

Ia menghargai setiap makanan yang kubuatkan untuknya. Ia meminum kopi yang kubuat untuknya. Aneh bahwa ia tidak menyukai teh, sungguh aneh... apalagi ia berasal dari campuran dua negara yang punya tradisi sangat kental tentang teh. Aku belum pernah menanyakan hal itu padanya. Melihat bahwa ia tidak banyak bertanya padaku, maka aku pun tidak mau menginterogasi.

Ia juga sering sekali memakai kaus atau kemeja berlengan panjang, yang sangat tidak kumengerti. Ketika pergi bekerja, ketika duduk di kursi dekat jendela hanya untuk bersantai, ketika malam tiba, bahkan ketika cuaca di luar sangat panas, ia tidak pernah sekali pun menggunakan lengan pendek ataupun baju tanpa lengan. Aku penasaran ingin bertanya, namun lagi–lagi mengingat bahwa ia tidak banyak berkomentar tentangku, maka aku mengurungkan niat tersebut.

“Aku pergi dulu kalau begitu,” Shota berbicara pelan, namun matanya tertuju pada tas hitam dan map biru yang akan ia bawa.

Aku menunggunya menatapku, sebelum memberikan bekal tersebut padanya. Rasanya ia tidak menyadari kehadiranku sampai ia melihat bungkusan bekal berwarna biru tua yang kupegang. Matanya menatap bungkusan itu dan kemudian menatapku.  “Itu apa?” tanyanya, bingung.

“Bekal,” jawabku singkat.

“Untukku?” tanyanya lagi. Kali ini aku cuma mengangguk.

Ia yang tadinya sudah berada pada anak tangga pertama sebelum turun, akhirnya kembali lagi mendekatiku dan mengambil bekal tersebut dari tanganku. “Terima kasih,” ucapnya begitu cepat dan singkat.

Kemudian, suara langkah dari anak tangga menuju lantai pertama pun terdengar. Suara pintu yang tertutup juga terdengar beberapa detik kemudian. Aku mengintip dari jendela atas dan melihatnya keluar rumah menuju mobil SUV-nya. Desingan mobilnya terdengar dari atas dan perlahan menghilang dari tangkapan telingaku. Ia sudah pergi.

“Mbak Ayu! Mbak Ayuuu!” Edo datang setelah mobil Shota menghilang. Ia membuka helm dan nyengir seperti orang bodoh menyapaku. Edo sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, apalagi karena ia masih terlalu muda. Umurnya baru 20 tahun dan ia telah bekerja di kedaiku sejak setahun yang lalu. Ia mengetuk–ketuk pintu kaca kedaiku kencang sekali, seperti hampir mau pecah.

“Sabar, dong, Do! Lagian juga nggak dikunci, kok!”

Edo segera masuk sambil membawa satu tas berisi buku–buku besar.

“Kamu dan Shota, kok, hobi banget bawa banyak buku, sih, Do? Mau ngapain memangnya? Tidak berat?”

“Ini Mbak... Shota-san bilang, katanya kedainya mau ditambahin pakai perpustakaan,” ucap Edo kemudian.

Shota-san... Shota-san... entah kenapa Edo lebih suka memanggil Shota dengan akhiran –san dibanding awalan ’Kak’ atau apalah. Pernah sekali aku tanya, katanya karena wajahnya yang imut itu bikin Shota tidak cocok dipanggil Kakak.

“Dia, kok, tidak bilang aku, ya?”

“Memangnya Mbak Ayu nggak tahu, ya?”

“Nggak.”

“Duuuh... jadi nggak enak nih aku. Mungkin Shota-san mau buat kejutan untuk Mbak Ayu. Makanya, dia tidak ngomong apa–apa,” Edo buru–buru membenarkan penjelasannya dan meluruskan pikiranku yang mulai menceng.

“Mungkin...,“ tanpa pikir panjang aku cuma mengatakan ‘mungkin’ pada Edo. Memang mungkin saja. Mungkin saja ia tidak mau memberi tahuku... mungkin saja ia tidak perlu memberi tahuku, karena, toh, bangunan ini sudah dibeli dengan uangnya. Mungkin juga aku tidak perlu tahu. Banyak sekali kemungkinan dan aku kelewat memikirkan hal tersebut. Aku dan Shota, toh, cuma teman satu rumah. Jadi, kenapa aku harus merasa terganggu kalau dia juga mau melakukan sesuatu untuk rumahnya ini?

“Yuk, kita beres–beres!” kututup pikiran anehku dengan pekerjaan. Aku pun meninggalkan Edo di meja depan untuk pergi ke dapur dan menyiapkan kedai untuk dibuka.


Shota pulang tepat sebelum Magrib. Aku membuat kopi panas. Ia selalu suka kopi yang masih panas. Jika sudah mulai mendingin, tak akan ia sentuh. Karena itulah, aku selalu membuatkan kopi setiap kali desingan suara mesin mobilnya terdengar.

Kebiasaan ini sudah kuketahui sejak ia menjadi pelanggan setia di kedaiku. Ia biasanya memesan kopi yang panas dan saat kuantar kopi tersebut ke mejanya, ia selalu langsung meminumnya tanpa harus membuka koran atau laptop-nya dan menunggu kopinya mendingin. Ia memang berbeda.

Langkah Shota terdengar makin dekat menuju lantai dua. Edo dan beberapa karyawan kedai berada di bawah untuk melayani para pelanggan. Pada jam–jam Shota pulang, aku selalu menyempatkan diri untuk berada di rumah kami, lantai dua, untuk memberikan senyuman pada pandangannya yang tetap tak berubah: seperti tak hidup di dunia ini.

Cangkir kopi merah maroon favoritnya selalu kuletakkan di depan meja teve. Setiap kali ia beranjak ke atas, wajah yang selalu ia lihat adalah wajahku. Memang begini kenyataannya, karena kami punya tujuan yang sama dalam menikah, maka kami pun setidaknya harus bisa saling berteman dengan baik.

“Maaf, terlambat,” Shota sedikit menundukkan kepalanya dan menatapku, kemudian menatap cangkir kopi.

Kadang–kadang ia segera masuk kamar hanya untuk mengganti pakaiannya dan kembali lagi ke ruang teve dengan kaus lengan panjang dan celana pendeknya. Tapi, kali ini ia langsung duduk sambil mencari remote.

“Tidak mandi dulu?” aku mendekatinya, masih memakai celemek berwarna hijau merah khas kedaiku.

Shota melirik sebentar, kemudian kembali lagi menatap teve. Aku lalu beranjak dari sofa menuju tangga. Bukanlah hal yang bagus sebenarnya, kalau mengajak Shota berbicara. Rasanya ia sudah pendiam dari sono-nya, jadi aku tidak perlu lagi merasa sakit hati, setiap kali pertanyaanku tidak ia jawab.

“Mau ke mana?” tiba–tiba Shota bertanya ketika aku telah turun satu tangga menuju kedai.

“Bantu Edo.”

“Oke,“ ucap Shota lagi. Kali ini tangan kanannya sedang memegang cangkir kopi.

“Sudah makan belum?” tanyaku akhirnya, mengetahui bahwa ia punya selera makan yang kurang begitu bagus.

“Nanti aku turun setelah mandi.”

“Oke!” Aku kembali melangkahkan kakiku ke tangga berikutnya. Namun, di tangga ketiga, Shota meneriaki namaku. Kontan aku diam dan segera menoleh ke arahnya, “Kenapa?”

“Bento-mu tadi pagi... eh... hmm... enak!” ucapnya, ragu–ragu. Suaranya berubah sangat pelan, mungkin ia malu pada kata–kata yang ia lontarkan. Aku hanya tersenyum membalasnya dan kembali turun ke kedai. Tidak yakin apa yang sedang kurasakan, namun aku ingin tersenyum lebar.

“Mbak? Mbak?” aku seperti mendengar suara Edo di telingaku. Aku belum menyadari apa pun, sampai Edo mencoba menepukku ringan dengan nampan.

Cepat–cepat kuambil nampan tersebut dari tangannya dan kulemparkan pukulan ringan ke punggungnya. Edo berteriak meledekku, sementara aku kesal karena dia menggodaku.

“Do, aku kan sedang serius konsentrasi. Kok, kamu gangguin.”

“Konsentrasi apa, sih, Mbak?” ledek Edo.

Anak ini sering betul membuatku tersipu malu atau kadang–kadang bertingkah aneh. Mungkin karena aku memang tidak punya saudara di rumah, berhubung aku anak tunggal, keberadaan Edo sangat membuat hatiku kembali muda. Kekonyolannya dan hal–hal bodoh yang ia lakukan sejujurnya membuatku senang.

“Kamu sudah makan?” Aku menoleh ke arah Edo. Kali ini ia sedang membuatkan secangkir ice cappuccino dengan sepiring kecil croissant. Edo mengangguk ke arahku. Aku bermaksud mengajak Edo bergabung untuk makan bersama dengan Shota, jika ia belum makan. Tapi, karena Edo sudah makan, aku segera meninggalkannya menuju satu ruangan paling spesial yang Shota dan aku pakai sebagai ruang makan kami.

Aku berjalan melewati lorong di belakang kedai ke satu ruangan yang di belakangnya ditumbuhi tanaman–tanaman hijau dan beberapa bunga berwarna mencolok. Pintu ruangan tersebut langsung menuju halaman belakang. Sebenarnya ruangan ini baru dibuat Shota seminggu setelah kami menikah, enam bulan yang lalu. Ia menginginkan suasana yang sedikit bergaya Jepang kemudian membuat tatami kecil dengan bantalan duduk, meja persegi yang lebar dan berkaki pendek. Pemandangan halaman belakang yang asri serasa menyapa kami di sebelah kanan ruangan yang dibuka.

Shota sudah duduk di bantalan tersebut. Pandangannya tertuju pada kebun belakang. Begitu mendengar aku masuk, pandangannya teralihkan. Rambut hitam Shota yang panjang tapi tidak gondrong itu terlihat basah. Ia wangi sekali. Ia selalu begitu.

“Maaf, ya, kedai sedang ramai,” aku membuka percakapan. Lalu, kuletakkan lauk-pauk yang aku hangatkan beberapa menit yang lalu dengan semangkuk sayur bayam kesukaannya.

“Kau tidak perlu seperti itu setiap hari,” ucap Shota tiba–tiba.

Aku tidak mengerti perkataannya.

“Kau tidak harus melayaniku setiap hari, Yu. Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Kau kan tinggal bersamaku di sini. Aku nggak bisa mengabaikanmu begitu saja,” jawabku apa adanya.

“Aku tidak mau merepotkan.”

“Tidak ada yang direpotkan. Aku biasa melakukan ini, kok. Bahkan, jauh sebelum kau datang, aku memang kebagian jadi seksi masak-memasak di acara kumpul–kumpul,” aku berusaha menghilangkan kekakuan dengan melucu. Jelas sekali aku kehilangan bakat humorku belakangan ini. Shota tidak tertawa sama sekali.

Sejak kejadian menyakitkan itu, entah kenapa, aku sering menarik diri dari teman–temanku. Dan kalau bisa, menjauhkan diri dari banyak orang yang mengenalku, tapi tidak benar–benar mengenalku. Mungkin kejadian menyakitkan itu bisa dengan mudah kulupakan, namun   sakit hati dan malu yang kurasakan tidak juga hilang. Hingga saat ini. Bahkan, ketika Shota duduk di sampingku dan mengucapkan janji pernikahan. Aku tetap tidak bisa melupakan rasa sakit ini.

Harusnya aku sudah menikmati keluarga yang bahagia, jika Akbar memang benar–benar ingin menikahiku. Harusnya aku sudah mendambakan seorang anak darinya, jika ia memang telah menjadi suamiku. Entah kenapa, aku begitu memercayai semua hal yang pernah ia katakan. Aku sangat mencintainya... dulu.

“Aku tidak suka melihatmu melamun!” suara Shota terdengar, bagai tanda bagiku untuk kembali ke dunia nyata.

“Aku tidak melamun,” tangkisku.

Kami berdua pun akhirnya diam dan menikmati makan malam kami penuh keheningan. Setelah selesai makan, Shota beranjak dari tatami dan berjalan ke luar ruangan. Aku membereskan piring–piring kotor dalam diam. Udara terasa sangat dingin bagiku, walau keadaan yang sesungguhnya sangatlah berbeda.

Namun, tiba-tiba ada kehangatan kurasakan menjalar di pergelangan tanganku. Ketika aku menoleh, Shota telah memegang tanganku. Ia menatapku, tapi aku tidak pernah merasakan tatapannya hadir di dalam hatiku. Aku sangat terkejut pada sikap Shota yang seperti itu. Aku pikir ia telah beranjak dari ruangan ini.

“Jangan pikirkan dia lagi...,” akhirnya ia berbicara, pelan.

Aku hanya bisa mengangguk. Diam-diam, ada ketenangan mengalir di dadaku.

Shota sebenarnya sama seperti kebanyakan pria pada umumnya. Ia bekerja pagi–pagi dan pulang di sore hari. Ia mengendarai SUV yang sama seperti hampir kebanyakan pria di sini. Hobinya membaca buku dan buku. Aku belum pernah melihatnya diam tanpa buku di sampingnya.

Ia pendiam, sangat pendiam. Beberapa minggu sejak kami menikah, Shota jarang sekali berbicara denganku. Jika berbicara, ia hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata singkat seperti ‘terima kasih’, ‘aku pergi’.

Sebenarnya, aku merasa sangat berterima kasih pada Shota karena mau menikahiku, meski saat itu kami belum saling mengenal. Aku pun tidak tahu siapa namanya, dulu. Yang aku tahu, di sore itu, ia datang kepadaku dan mengajakku menikah. Karena ia pendiam dan tidak banyak bicara, aku merasa sangat aman, tidak tahu kenapa.

Suatu ketika, beberapa minggu setelah pernikahan kami, aku duduk diam di lantai satu, tempat kedai kopiku. Saat itu aku baru saja tutup dan kumatikan seluruh lampu kedai. Hatiku sangat kacau, karena baru saja melihat Akbar melewati kedaiku dan sedang bersama wanita lain. Aku kalut. Shota berada di lantai dua. Suatu nilai plus bahwa ia tidak melihatku yang sedang kacau. Ketika semua gorden sudah tertutup dan semua lampu kedai dimatikan, aku menangis. Aku menangis sekencang–kencangnya melihat pemandangan tersebut.

Mungkin tangisku terlalu kencang, karena Shota tiba–tiba berdiri di hadapanku yang sedang penuh air mata. Ia tidak banyak bicara, hanya memberikan tisu kepadaku. Ia menemaniku menangis sampai pagi tiba. Ia tidak tidur, tidak juga memelukku. Ia hanya diam dan menemaniku. Di pagi itulah akhirnya aku menceritakan padanya seluruh rentetan menyakitkan yang kualami karena pria bernama Akbar.

Edo pergi kuliah pagi ini, jadi ia baru akan datang ke kedai setelah makan siang. Hari ini kedai tidak terlalu ramai, makanya aku bisa sedikit santai dan mulai membuka laptop-ku. Sudah lama aku tidak membuka komunitas sosialku di dunia maya.

Salah satu temanku men-tag salah satu acara kebudayaan. Ia mengundang datang sambil membawa suamiku. Sepertinya tawaran yang bagus, lagi pula sudah lama aku tidak bersenang–senang di luar rumah. Aku segera menuliskan komentar: ‘aku akan datang’.

“Bagaimana?”

“Apanya?”

“Apakah kita akan ikut?”

Aku mengikuti Shota menaiki tangga menuju lantai dua, ketika ia tiba dari kantor. Aku tahu ia mulai risi aku ikuti terus sejak turun dari mobil. Ia duduk di sofa maroon kesayangan kami dan minum secangkir kopi panasnya.

“Aku juga punya undangannya.” Shota menoleh ke arahku.

“Hah? Apa?”

“Sebenarnya aku sudah punya undangannya sejak beberapa hari yang lalu. Aku bingung mau datang atau tidak. Masalahnya aku tidak terlalu menyukai keramaian... tapi aku diharuskan datang. Beberapa teman kerjaku menjadi panitianya.”

“Lalu?” tanyaku lagi.

“Tadinya aku ingin mengajakmu,” ia menjawab. Saking senangnya, aku meremas pergelangan tangannya dan tertawa gembira!

“Ooh, demi Tuhan, Shotaaaa! Aku senang sekali!”

Aku lalu memeluknya penuh cita. Ia tidak banyak berbicara, hanya tersenyum. Mungkin aku terlalu kencang memeluknya, karena rasanya ia berteriak padaku bahwa ia tidak bisa bernapas.

Mataku terpaku ke arah kotak persegi di atas tempat tidurku. Kotak persegi dengan warna krem itu berisi kimono yang diberikan ibu Shota sebagai kado pernikahanku. Kimono itu berwarna merah keemasan dengan corak bunga–bunga yang indah yang mengelilingi sisinya. Sudah sejam lamanya aku berdiri hanya untuk memastikan apakah aku akan memakai pakaian tersebut atau tidak. Tapi, jika aku memakainya, ini akan menjadi momen yang pas, karena kami berdua akan pergi ke acara hinamatsuri, festival boneka Jepang.

Aku belum pernah memakai kimono. Terus terang, aku tidak tahu bagaimana caranya. Namun, masa bodoh dengan cara memakai, toh, aku pernah lihat beberapa film Jepang yang memakainya dan sepertinya mereka tinggal memakai baju tersebut dan mengikatnya dengan tali lebar. Tadinya aku memang berpikiran begitu. Pada kenyataannya, setelah aku memutar otakku untuk memakainya, hasilnya tidak pernah secantik yang kulihat di film-film. Aku kesal sekali, apalagi pakaian tersebut membuatku kepanasan.

Shota mengetuk pintu kamarku, karena waktu pergi kami terlambat satu jam akibat kimono ini. Aku berteriak padanya agar bisa sedikit lagi menungguku. Ia tidak menjawab, tapi dari bunyi siaran teve di ruang keluarga, itu artinya ia setuju. Aku kembali lagi mengusahakan kimono ini tampil cantik di tubuhku. Kulilitkan ikatan lebar tersebut di pinggangku, dan hasilnya lumayan, walaupun tidak sesempurna wanita Jepang.

Aku keluar dari kamar. Pandangan Shota masih tertuju pada layar kaca, walaupun aku telah mondar-mandir di depannya, mencari sepatu yang pas untuk padanannya. Shota akhirnya mematikan siaran teve dan menuju kulkas. Ia menuangkan jus jeruk di gelas, kemudian meminumnya. Aku sibuk mencari sandal yang kuletakkan di atas lemari bajuku.

Tahu–tahu Shota sudah di sampingku. Ia mengangkat tangannya, kemudian menurunkan kotak sandal, memberikannya padaku. Aku berterima kasih padanya dan segera mengajak Shota berangkat. Aku berjalan menyusuri anak tangga perlahan–lahan (tahu bahwa memakai kimono benar–benar menyebalkan, aku tidak akan memakainya) dan Shota mengikutiku di belakang. Ketika di anak tangga terakhir, langkahku terhentikan oleh sesuatu. Aku pikir kimonoku tersangkut sesuatu, tapi ternyata tangan Shota yang menarik kimonoku.

“Ada apa?” tanyaku, bingung.

“Bisa pakai kimono?” pertanyaan Shota yang singkat itu jelas membuatku kesal. Aku tahu aku belum pernah memakai kimono sebelumnya. Mana aku tahu juga bahwa kimono setebal itu!

“Mau meledekku, ya?” tanyaku, kali ini dengan ketus.

Ia tidak menjawab, tidak sedikit pun menjawab pertanyaanku dan tidak juga memberikan gesture bahwa ia memang menjawab pertanyaanku. Yang ia lakukan malah menarik tali kimonoku, hingga ikatannya terlepas begitu saja dari tubuhku. Aku terkejut! Bisa–bisanya dia melakukan hal itu padaku! Aku pun sedikit ketakutan. Kami belum melakukan apa–apa selama enam bulan ini.

“Diam saja!” tiba–tiba Shota berbicara. Ia mengambil ikatan lebar yang jatuh di lantai dan menyuruhku diam. Kemudian ia mendekatiku, merapikan kain kimonoku dengan sangat hati–hati. Ia terlihat sangat cekatan dan terampil. Terkadang ia menyuruhku berputar kadang mendongak. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya, namun rasanya ia begitu berkonsentrasi.

Setelah kain kimonoku selesai dirapikan, ia mengikatkan tali yang panjang dan lebar itu ke pinggangku. Ia melilitkannya perlahan dan kencang, mirip seperti melilitkan korset Jawa setiap mengenakan kebaya. Ia menyisakan pinggiran ikatannya dan membiarkan tangannya melakukan sesuatu pada ikatan kimonoku. Aku tidak yakin apakah ini akan berhasil, sampai kulihat dengan mata kepalaku sendiri saat ia menyuruhku bercermin.

Entah kenapa, kimono berwarna merah pemberian ibunya jadi tampak sangat indah kukenakan. Saat aku memutar ke belakang dan melihat ikatannya, aku juga tidak mengerti kenapa ikatan berwarna keemasan itu jadi tampak sangat manis dan menawan. Ada bentuk pita besar yang bersanggah dengan eloknya di pinggang belakangku. Aku tersenyum puas melihat mahakarya yang dilakukannya. Aku pun tidak sanggup mengucapkan terima kasih padanya. Seluruh mulutku seperti terkunci dan terpana oleh caranya memakaikan kimono tersebut padaku.

”Ayo, kita berangkat!” Shota memecah kebodohanku. Ia menarik tanganku, memegangnya, dan membawaku turun dengan terburu–buru. Kali ini aku tidak bisa lagi berbicara. Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya, namun hati ini... tanpa kuketahui berdetak begitu kencang.

Ia mengendarai mobil dalam kesunyian.

Ia mengendarai mobil dalam kesunyian. Tidak ada salah satu di antara kami yang mencoba untuk berbicara atau setidaknya memecah keheningan ini. Tidak ada musik, tidak ada percakapan bodoh, tidak ada suara berisik radio. Hanya ada aku dan dia. Ketika kami sampai pun tidak ada salah satu dari kami yang berbicara. Ia menunduk mengunci mobilnya dan membawaku menuju lapangan festival, lagi–lagi memegang tanganku.

Aku menurut mengikuti Shota pergi membawaku menuju lapangan festival. Ada rentetan lampion kecil yang panjang dari berbagai sisi lapangan dengan warna merah, putih, dan keemasan. Aku suka pemandangan suasana ini, ketika matahari yang bersinar segera ingin menutup matanya untuk beristirahat dan bangun di keesokan hari.

Shota pun kelihatan menikmatinya. Wajahnya terlihat tidak pucat seperti biasanya. Matanya yang cokelat muda itu terlihat indah, berbeda dari pandangannya yang entah berada di mana selama ini. Baru aku sadari ia sangat tampan. Untuk ukuran pria berwajah oriental, ia tampak memukau di antara pria-pria lainnya.

Selama ini aku terlalu memikirkan diri sendiri, memikirkan bagaimana perasaanku dan yang lainnya, namun aku sama sekali tidak melihat ke arahnya. Shota menoleh ke arahku, waktu mengetahui aku memperhatikannya. Kacamata berbingkai hitamnya terlihat sedikit turun hingga ke ujung batang hidungnya yang mancung. Ada sedikit kerutan di dahinya, namun kerutan itu tidak sedikit pun menghapus ketampanannya. Aku baru memperhatikan keseluruhan wajahnya, alis matanya yang terbentuk indah, bibirnya yang merah bagaikan buah cherry, dan warna hitam rambutnya yang tertata membentuk layer ke atas pundaknya. Tipikal pria oriental, lagi–lagi aku menilai.

“Berapa umurmu?” tidak terpikir olehku bahwa aku akan menanyakan pertanyaan semacam itu. Aku segera menundukkan wajahku, begitu mengetahui pertanyaanku benar–benar bodoh.

Shota tidak sedikit pun melepaskan pegangan tangannya. Ia malah sedikit meremas pergelangan tanganku dan kemudian menarikku menuju stan makanan.

“Pernah makan takoyaki?” lempar Shota ringan. Hari ini ia lebih banyak berbicara. Aku menandai yang satu itu.

“Belum pernah!” ucapku jujur. Selama ini aku memang belum pernah datang ke acara festival seperti ini. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang, kecuali bahwa negara ini pernah menjajah negaraku. Aku tidak tahu banyak tentang Jepang kecuali sushi, itu saja.

“Kalau begitu tunggu di sini!”

Cepat–cepat Shota menghilang dari sampingku, melepaskan genggaman tangannya dan bergabung dengan kerumunan di depan sana. Ia tidak merasa letih untuk mengantre, walaupun panjang sekali. Aku menunggu Shota, menunggunya memegang tanganku lagi. Beberapa menit kemudian, ketika sampai di menit ke-15, ia datang membawa dua kotak berisi makanan berbentuk bundar seperti bakso. Hanya, warnanya kelihatan merah kecokelatan dan di atasnya diolesi mayones.

Tahu–tahu saja ia menggunakan sumpitnya untuk mengambil satu bola takoyaki itu. Ia menadahkan tangan kirinya di bawah bola itu agar saus takoyaki-nya tidak jatuh ke pakaian kami dan ia menjulurkan bola tersebut ke arahku, ke arah mulutku.

Aku terkejut melihat sikap Shota yang tiba–tiba sangat manis kepadaku, meskipun wajahnya masih tetap belum mau tersenyum. Pelan–pelan kubuka mulutku hingga bola tersebut masuk. Shota menatapku kemudian mengatakan sesuatu yang rasanya terdengar seperti mengajakku memasak atau apalah. Karena pikiranku tertuju dengan hal lain, maka aku meminta Shota mengulang kata–katanya.

“Nanti kita buat yang seperti ini di rumah, ya?”

Demi Tuhan! Benarkah ini Shota? Shota yang tinggal selama enam bulan bersamaku dan tidak suka banyak bicara? Juga tidak menyukai keramaian? Benarkah ini Shota yang secara tertulis merupakan suamiku? Aku hampir tidak percaya Shota bisa berubah seperti itu. Kenapa ia malah membuatku jadi salah tingkah dan tidak keruan begini?

Shota kelihatannya tidak melihat keanehanku karena ternyata ia sudah beranjak dan berjalan menuju kerumunan kedai es serut. Buru–buru aku mengejarnya, tapi Shota sudah menghilang di balik kerumunan. Aku menghentikan langkahku sambil menghela napas. Aku tidak mengenalnya... aku tidak mengenal pria ini... Shota tampak di luar pengetahuanku.

“Untukmu!” Tiba–tiba Shota datang dengan membawa 2 mangkuk kecil berisi es serut berwana merah dan hijau. Ia memberikan yang merah kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku mengambilnya. Tangan yang hangat itu kembali menyentuh tanganku. Aku berusaha meredam rasa gemetar yang timbul di dadaku. Mata Shota tidak sedikit pun menoleh ke arahku.

Aku merasakan tangannya basah berkeringat. Mungkin kami

berdua merasakan getaran yang tidak semestinya, walaupun kami malu mengakuinya.

Aku membiarkan tangan Shota menggenggam tanganku, membawaku pergi ke mana pun menuju tempat yang ia inginkan, menuju berbagai cahaya pelangi yang mulai menyala seiring hari yang makin gelap. Ia menarikku menuju warna terang kembang api di angkasa malam dan membiarkan kehangatan ini tetap terjaga.

Mengingat bahwa tadi malam aku seperti sedang mendapatkan mimpi indah, maka aku bangun sangat telat keesokan paginya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, saat kulihat jam weker. Buru–buru aku turun ke lantai bawah dan mempersiapkan kedaiku. Aku berdiri tepat di atas anak tangga terakhir waktu kulihat kedaiku sudah dibuka. Aku melihat sepintas, Edo sedang melayani para tamu, para pekerja yang lain sedang membereskan pesanan, dan Shota sedang melayani para tamu. Hah? Tidak salah?

“Tuan putri sudah bangun!” tahu–tahu Edo berseru. Hampir dari beberapa tamu tertawa melihatku. Shota menoleh ke arahku kemudian menyunggingkan tawa kecilnya padaku. Buru–buru aku melangkah ke atas dan masuk ke kamar mandi. Shota tidak kerja? Bukannya hari ini hari Senin?

“Shota-san membantu membuka kedai, Mbak! Maaf, ya, nggak nunggu Mbak Ayu dulu,” Edo takut–takut menatapku, ketika aku sudah ikut berada di bawah membantu mereka.

Bukan itu yang aku permasalahkan, sungguh! Aku hanya bingung kenapa Shota hari ini tidak bekerja? Aku ingin bertanya padanya sejak tadi, tapi dia kelihatan sangat menikmati bekerja membantu kedaiku. Jadi, aku tidak bisa lagi bertanya apa pun. Shota beristirahat sebentar, saat tamu sudah mulai pulang.

Karena tidak banyak tamu di siang hari, aku menyusul Shota ke belakang. Ia sedang merapikan buku–buku yang kemarin ia kumpulkan bersama Edo. “Belum ada kopi untukku hari ini,” tanyanya tiba–tiba, nadanya datar. Aku jadi tersadar. Aku memang belum sempat membuatkan secangkir kopi panas untuknya. Buru–buru aku ke dapur dan menyajikan secangkir kopi untuknya. Shota segera mengambil cangkir tersebut beserta tatakannya. Ia meniup kopi itu dan menyeruputnya.

“Sebenarnya aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, tapi barangnya belum jadi. Besok saja, deh,” Shota kembali berbicara. Nadanya masih sama. Ia memang bukan orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara.

“Memangnya ada apa?” aku bertanya.

“Sesuatu, sebenarnya untukmu. Aku sengaja memesannya. Mungkin baru akan dikirim dua atau tiga hari lagi, kalau cepat. Tapi, bisa juga seminggu kalau terlambat.”

“Sesuatu apa?” aku bertanya lagi, lebih pada penasaran. Sebelumnya Shota tidak pernah memberikanku sesuatu.

“Nanti lihat saja kalau sudah datang.”

Karena ia sudah berbicara seperti itu, maka aku tidak lagi bertanya. Aku ingin beranjak dari sisi Shota, aku benar–benar ingin beranjak dan membantu Edo, tapi aku seperti tertahan untuk tetap berada di sampingnya.

“Mau buat apa?” sebisa mungkin aku berbasa–basi.

Shota menoleh ke arahku. Alis kanannya terangkat sementara kacamatanya sedikit turun. “Kenapa tanya?”

“Tidak boleh bertanya, ya?” aku tertawa.

“Bukan. Kenapa kau bertanya seolah–olah kau tidak tahu?” Shota masih memandang ke arahku. Matanya seperti menangkap basah rasa gugupku.

“Maksudmu?” aku mulai salah tingkah.

“Edo kan sudah memberi tahumu.” Ya, Tuhan! Aku benar–benar tidak suka caranya memandangku. Ia seperti ingin memakanku hidup–hidup.

“Memang kenapa kalau aku bertanya lagi padamu?”

“Lucu saja!” kali ini ia tertawa kecil. Bola matanya mulai sedikit menyipit. Aku baru menyadari bahwa ia memiliki lesung di pipi kirinya. Bulu matanya tampak lebih lebat dan tidak melengkung turun seperti pria oriental, yang pernah kutemui pada umumnya. Aku hampir saja tersihir oleh sosok pria ini.

Tamu Shota duduk di kursi favorit Shota ketika ia masih menjadi pelanggan setiaku. Ia terus melihat ke arah jendela dan memandangi jalan raya pada siang menjelang sore itu. Saat Shota menghampirinya, baru ia menoleh dan menyalami Shota. Melihat caranya memberikan salam dan mendengarnya berbicara, ia pasti orang Jepang. Shota memang beruntung mempunyai ibu yang punya darah Indonesia, sehingga ia bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, walau terhitung belum lama tinggal di Jakarta.

Tadinya aku ingin mengantarkan teh ke meja mereka. Tapi, aku memperhatikan lagi, pembicaraan mereka sangat serius. Tidak pelan tidak juga terdengar keras oleh tamu-tamu lainnya memang, namun pembicaraan mereka terlihat tidak boleh diinterupsi. Akhirnya kuurungkan niatku.

Terus terang, aku benci sekali mendengar Shota berbicara bahasa ayahnya, bahasa yang tidak sekali pun kumengerti. Ingin sekali kudatangi Shota untuk memintanya berbahasa Indonesia saja. Namun, mengingat bahwa statusku cuma teman hidup dalam arti yang sebenarnya, kuputuskan untuk diam.

Yang bisa aku harapkan hanya Shota bersedia untuk menceritakan padaku isi pembicaraan itu.

Tidak sampai setengah jam, tamu itu sudah berpamitan. Aku segera bergegas menghampiri Shota. Namun, belum sampai aku ke mejanya, Shota buru-buru melangkah ke belakang, menaiki anak tangga ke lantai atas. Aku mendengar pintu kamarnya tertutup keras. Cepat-cepat aku mengejarnya.

“Shota... Shota...!”

“Ada apa?” Shota menjawab. Nada bicaranya terdengar sedikit tak terkontrol. Aku mengetuk pintu kamarnya lagi. Shota pun menyahut dari dalam bahwa ia tidak ingin diganggu, oleh siapa pun. Aku terdiam ketika itu. Aku tidak mengerti kenapa Shota jadi bersikap aneh setelah beberapa detik yang lalu ia bersikap sangat hangat kepadaku. Aku mengalah. Kuputuskan untuk kembali turun ke kedai sambil menunggu Shota keluar
dari kamarnya.

Di depan kasir kedai, Edo menanyaiku tentang rencana kepergian Shota ke Jepang. Aku sedang melamun sehingga tak kudengar pertanyaan Edo. Dia pun harus bertanya untuk kedua kalinya. Karena aku tidak tahu sama sekali apa yang ia maksud, aku hanya bisa menggeleng.

“Ke Jepang apa?”

“Lho, memangnya Mbak Ayu nggak tahu? Memangnya tadi nggak dengar Shota-san bilang apa?” Edo bertanya padaku, sengaja memperhitungkan penguasaan bahasa Jepang-ku yang boleh dibilang nol jongkok. Aku menatap kesal ke arahnya.

“Sori, nih, bukannya nyindir, Mbak.

Tapi, Shota-san kayaknya mau pergi ke Jepang, deh!”

“Kamu tahu dari mana, Do?”

“Mbak, tadi aku dengar sendiri waktu Shota-san ngobrol sama tamunya. Si tamu bilang, dia harus segera pergi ke Jepang. Begitu...,” Edo menjelaskan padaku. Aku lupa, Edo mengambil kuliah jurusan bahasa Jepang. Sudah pasti ia mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka. Aku segera mendekati Edo dan memintanya mengingat semua hal yang ia dengar dari perbincangan Shota dan tamunya. Sayangnya, Edo cuma dengar bahwa si tamu mau ke Jepang, itu saja.

Biasanya, aku baru tutup kedai ketika malam sudah tiba. Namun, kali ini aku tutup lebih awal. Edo telah pulang dan aku menutup semua gorden jendela kedai. Kudengar langkah Shota menuruni tangga menuju dapur belakang. Aku segera menyiapkan makan malam untuknya. Shota duduk di dekat halaman belakang. Tubuhnya menyandar pada tembok dan pandangannya tertuju pada tanaman-tanaman kecil yang tertata rapi dalam berbagai macam pot berukuran kecil. Ia mengenakan celana panjang dan sweater panjang bertudung. Ia kelihatan kaku seperti biasanya.

“Aku mau kopi,” Shota berbicara pelan, tapi matanya tidak menoleh ke arahku.

Aku ke dapur untuk menyiapkan kopi untuknya. Begitu aku kembali sambil membawa kopi, kutemukan Shota telah ketiduran. Ia kelihatan sangat letih, walaupun hari ini tidak bekerja. Ia terlelap menyandar pada dinding tembok. Tangannya terlipat dan kacamatanya sedikit turun tersangkut pada batang hidungnya yang mancung. Aku mendekatinya. Tadinya aku cuma ingin membangunkannya dan menyuruhnya makan. Tapi, melihat tidurnya yang pulas itu, aku mengurungkan niatku.

Kupandangi wajahnya yang putih kepucat-pucatan. Kugerakkan tanganku perlahan menyentuh kacamatanya. Aku ingin membetulkan posisinya, tapi sulit sekali, karena itu kulepas kacamata itu dari pandangannya. Tidak kuat menahan betapa memesonanya dia, kubiarkan tanganku lancang menyentuh kulitnya, menyentuh wajahnya, menyentuh setiap bagian kecil dari hidupnya. Aku pun ingin menyentuh hatinya.

Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan, apa yang sedang Shota rasakan. Kami seperti terjebak dalam satu situasi yang sama. Kami telah hidup bersama, membawa masalah hidup kami masing-masing. Aku tidak pernah tahu apa yang pernah dialami oleh Shota. Namun, melihat pandangan matanya yang terlihat tidak hidup, aku mengerti bahwa persoalannya jauh lebih sulit dari yang kupunya. Tapi, Shota berbeda dari laki-laki yang pernah kukenal. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa setiap kali duduk di sisinya, mendengarnya berbicara dengan nada yang kaku. Aku merasa sangat aman berada di sisinya.

Kusentuh kembali wajahnya yang kelihatan lelah. Kupandangi berulang kali sesosok dirinya di hadapanku. Aku tidak yakin, bisakah seumur hidup aku bersama pria ini? Pria yang diam-diam menghangatkan hatiku yang sudah membeku?

Shota terbangun ketika itu juga. Perlahan, kedua matanya mulai terbuka. Cepat-cepat aku menjauh darinya. Kuberikan secangkir kopi untuknya, namun ia menolak. Aneh mengetahui bahwa kali ini ia menolak kopiku.

“Maaf, Yu, aku ngantuk sekali….”

“Tidak apa-apa,” kujawab seadanya. Shota menatapku ketika itu. Lama sekali.

“Kalau boleh, maukah kau tidur bersamaku malam ini? Maukah kau menemaniku malam ini?”

Jantungku berdetak kencang saat kata-kata itu terdengar di telingaku. Shota tidak berhenti menatapku. Aku menunduk mengetahui ia tidak berhenti mengalihkan pandangannya dari hadapanku. Aku tidak menjawabnya. Aku takut sekali mengatakan ya. Aku takut juga akan menolaknya. Secara hukum kami benar-benar sah untuk tidur bersama, tapi apa perasaan ini juga akan mengesahkan dua insan yang saling menyimpan misteri hidupnya?

“Kenapa tidak dijawab?” Shota bertanya, pandangannya masih belum lepas dariku. Ia beranjak dari tempatnya, mendekatiku, memegang telapak tanganku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun ada kekuatan yang begitu besarnya merobohkan semua pertahananku. Ada kekuatan besar yang membuatku diam tak berdaya mengiyakan semuanya. Shota menggandeng tanganku, menuntunku menuju kamarnya. Ia menyihirku untuk naik ke ranjang dan berbaring di sampingnya.

“Aku ingin kau tetap berada di sampingku, itu saja.”

Shota memelukku dari belakang. Aku berbaring dengan perasaan tak keruan. Sebagian tubuhku merasakan kehangatan yang lembut, beberapa di antaranya merasakan ketegangan yang luar biasa. Shota tetap melingkarkan tangannya ke tubuhku. Berulang kali ia mengatakan bahwa ia sangat kedinginan. Makin dingin yang ia rasakan, makin kencang lingkaran tangannya di tubuhku. Aku balikkan tubuhku, menghadap ke arahnya.

Suhu tubuhnya dingin sekali, sementara aku benar-benar merasa panas. Apa yang dirasakan oleh Shota? Kenapa hanya ia seorang yang merasa begitu dingin? Apa ia kena demam? Aku mulai khawatir. Kuperiksa kepalanya dan suhu tubuhnya. Kepalanya panas sekali. Aku segera beranjak dan mencari termometer. Kupasangkan pada ketiaknya, dan begitu termometer itu berbunyi, suhunya mencapai 39 derajat Celsius.

Aku turun untuk mengambil baskom berisi air hangat. Kuambil handuk kecil dan kukompres kepalanya berulang kali. Aku tidak bisa diam menunggunya. Apa yang membuatnya demam? Seharian ini ia ada di rumah, kok! Kuingat-ingat lagi apa yang telah dilakukannya sejak pagi tadi. Aku baru ingat, ia belum makan. Mungkin ia demam karena telat makan sejak siang tadi. Bagaimana bisa aku lupa kebiasaan buruknya itu? Aku cari obat penurun panas. Setelah ia meminumnya, ia kembali tertidur. Aku kompres lagi kepalanya dan aku cek lagi apakah suhu panasnya sudah turun. Kulakukan itu berulang-ulang. Aku pun mulai mengantuk dan terlelap di sampingnya hingga pagi.

“Shota?” tanganku meraba-raba sisi kiri kasur agar mendapati tubuh Shota di sampingku. Waktu tanganku terus menjelajah, Shota tidak tergapai. Aku segera terbangun. Aku melihat ke arah jam dinding Shota dan melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sial!! Lagi-lagi aku kesiangan!

Sebelum beranjak dari tempat tidur, aku tersadar tubuhku diselimuti selimut tebal berwarna cokelat. Aku tidak ingat, apakah tadi malam aku memakai selimut atau tidak. Aku pun bergegas turun dari ranjang Shota dan keluar menuju kamarku. Aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku sebelum turun untuk membuka kedai yang mungkin sudah dibuka oleh Edo (ia punya kunci duplikatnya).

Begitu aku turun beberapa menit, aku melihat selembar note yang ditulis oleh Shota untukku: “Maaf, aku berangkat pagi. Aku buatkan teh untukmu. Bisa dihangatkan, ada di dekat mesin kopi.” Aku menoleh ke arah alat mesin kopi kecil yang warnanya sudah berubah hijau. Aku segera menghangatkan tehnya dan mengambil telepon dekat dapur. Kutekan nomor milik Shota dan sambungan itu terhubung beberapa detik kemudian.

“Ada apa?”

“Hmm... arigatou!” ucapku, riang. Kutempelkan gagang telepon di telinga kananku sementara kedua tanganku sibuk membuka kamus saku Indonesia-Jepang, membolak-balik lembarannya sampai akhirnya menemukan satu kata yang pas untuk berterima kasih padanya. Dari seberang sana, Shota tertawa, mungkin menertawai pengucapanku atau keanehanku menggunakan bahasanya.

“Kenapa tertawa? Aku mau kau menjawabnya, Shota!” aku berpura-pura kesal sambil menyandar di balik dinding tembok. Terdengar suara Edo dari depan yang mulai memanggil namaku, namun aku tak peduli. Aku tetap berada di belakang, menunggu Shota berbicara, berusaha berbasa-basi semampuku agar aku bisa sedikit mendengar suaranya.

“Dooitashimashite,” akhirnya Shota menjawab. Suaranya terdengar jauh lebih hangat di telingaku, jauh lebih ramah dari biasanya. Aku mulai menatap langit-langit dapur. Perlahan dan aku yakin sekali, aku mulai merasakan Shota sebagai canduku. Kami tidak pernah melakukan hal intim apa pun selama kami menjadi sepasang suami-istri, namun keberadaannya memberikan sedikit ruang bagiku untuk bernapas.

Terkadang aku ingin pernikahan kami jauh lebih normal dari biasanya. Aku ingin kami memang seperti sepasang suami-istri. Aku ingin kami mulai saling berbicara dari hati ke hati. Aku menginginkan lebih dari apa yang kami jalani selama enam bulan ini.

“Shota, koishii... matteru yo...”

Kudengar Shota tidak menjawab apa pun. Keheningan makin terasa di antara sambungan telepon kami. Buru-buru kututup telepon tersebut dan berjalan meninggalkan dapur untuk pergi membantu Edo di kedai. Dalam hati aku memang ingin mengatakannya... “Shota, aku merindukanmu.... Cepatlah pulang....”

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Edo sudah pulang. Kini giliran pegawaiku yang lain yang berjaga di kedai. Aku pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi. Kubiarkan kopi tersebut tetap panas pada mesin pembuat kopi, agar saat Shota tiba, ia bisa segera meminumnya. Setelah kubuat kopi, aku kembali ke kedai.

Biasanya ia pulang paling lambat sampai pukul enam sore. Aku berusaha menenangkan diriku untuk menunggu hingga satu jam lagi, jika ingin meneleponnya. Aku pun kembali pada aktivitasku. Kulayani kembali para tamu dari mulai petang hingga malam tiba. Para tamuku pun akhirnya keluar satu per satu dari kedai setelah mereka sudah lebih fit untuk kembali ke rumah atau bekerja lagi.

Aku meninggalkan kedai di saat itu juga. Kunaiki tangga menuju lantai atas dengan cepat dan kuraih telepon genggamku. Kutekan nomor Shota, namun ia tidak juga menjawab. Tidak ada sambungan menunggu atau sibuk, yang ada hanya suara seseorang yang mengatakan bahwa telepon di luar jangkauan. Aku mulai khawatir. Aku tekan nomor kantor Shota. Hanya ada mesin penjawab yang menyuruhku memasukkan kode ekstensi untuk dihubungkan ke bagian Shota. Aku makin khawatir ketika mengetahui aku telah menelepon semua nomor telepon Shota, tapi tidak ada jawaban apa pun. Betapa bodohnya bahwa aku tidak mengetahui sedikit pun teman-teman kerjanya yang mungkin bisa kutanya mengenai keberadaan Shota. Akhirnya aku duduk lelah mengamati jendela di ruang atas dan berharap mendengar bunyi mobil Shota.

Sudah lima jam berlalu. Aku tidak tahu di mana Shota berada. Ia tidak memberi tahu sedikit pun ke mana perginya dia malam ini. Aku akan kesal sekali begitu esok pagi ia tiba dan tidak meminta maaf padaku. Ia benar-benar mengesalkan. Aku khawatir setengah mati dan ia seenaknya saja pergi tanpa memberi tahu. Sudahlah, aku mau tidur saja.

Shota belum pulang, padahal sudah dua hari. Aku mungkin sudah bisa melapor pada kantor polisi terdekat kenapa ia menghilang tiba-tiba. Aku bisa memberikan foto dan keterangan yang bermanfaat agar kantor polisi mau membantuku mencari Shota, namun aku tahu itu adalah ide yang paling bodoh. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.

Aku menelepon siang harinya ke kantor Shota, menekan ekstensi bagian Shota, kemudian ada seseorang yang mengangkat sambungannya. Seseorang dari tempat Shota pun menanyakan hal yang sama padaku. Shota memang minta cuti selama seminggu, tapi ia tidak tahu ke mana perginya Shota.

Aku kaget mengetahui Shota akan pergi selama itu tanpa memberi tahuku. Biasanya, ia pasti memberi tahuku, walau hanya terlambat satu jam. Biasanya, ia tidak begitu semisterius ini. Setelah selesai berterima kasih, kuputuskan saja untuk menitipkan kedai pada Edo yang sedang libur semesteran, sementara aku pergi mencari Shota.

Tempat pertama yang kukunjungi adalah apartemen Shota yang dulu. Mungkin saja ia kembali ke apartemennya sementara waktu ini. Aku tidak menemukan Shota di sana. Pintu apartemennya terkunci. Saat kutanya salah seorang keamanan di tempat tersebut, tempat itu memang sudah tidak dihuni selama enam bulan. 

Aku tidak berminat sama sekali membuka kedai kopiku keesokan harinya. Aku meliburkan pegawaiku hari ini. Aku pun tidak berniat bangun dari tempat tidurku. Aku menunggu teleponku berdering dan mungkin saja Shota menelepon. Tepat ketika aku memikirkan hal itu, telepon rumahku pun berdering. Buru-buru kuangkat telepon tersebut untuk memastikan apakah suara yang berada di sambungan telepon itu adalah suara seseorang yang amat sangat kurindukan. Ketika suara wanita terdengar, aku kembali tak bersemangat. Ternyata, salah satu temanku menelepon. Ia memintaku datang ke acara reuni.

Begitu kumatikan teleponnya, aku duduk menyandar. Telepon tersebut kembali berdering. Saat kuangkat, lagi-lagi ini suara wanita. Aku baru saja ingin mematikannya waktu aku tahu bahwa ini suara wanita yang berbeda, yang jarang sekali kudengar suaranya. Waktu tahu bahwa yang menelepon adalah ibu Shota, mertuaku, aku terkesimak.

“Aku mau bertamu ke rumahmu, Ayu,” begitu kata mertuaku.

“Lama menunggu, ya, Nyonya Hajime?”

Aku membawa nampan berisi secangkir teh hangat dan kue-kue kecil. Mertuaku terlihat sangat menawan di usianya yang tidak muda lagi. Wajahnya yang cantik itu membuatku yakin bahwa Shota mewarisi sebagian besar ketampanannya dari wanita ini. Ia duduk dengan anggun di sofa merah tempatku dan Shota biasa menghabiskan waktu.

“Tidak berubah, ya. Rumahmu sangat rapi, semuanya tersusun dengan baik.” Aku menunduk mendengarkannya berbicara. Sebenarnya, ide membuat rumahku tampak rapi karena Shota. Jika bukan Shota yang mengaturnya, mungkin rumah ini akan terlihat sangat berantakan.

“Shota sedang bekerja, ya?” akhirnya Nyonya Hajime menanyakan keberadaan putranya. Pandangannya kemudian teralihkan oleh satu kamar di depannya. Ia tidak tahu kalau sejak pertama kami memang tidak tidur sekamar.

“Kamar itu dijadikan Shota untuk tempat menyimpan barang–barangnya,” kataku, berbohong.

Ia kembali menoleh ke arahku, menatapku, kali ini lebih ramah. “Jangan panggil aku Nyonya Hajime, aku mohon. Kan sudah kuberi tahu kalau aku juga ibumu, Ayu.”

“Baiklah... Bu,” ucapku, sedikit ragu.

“Sebenarnya aku mau mengajakmu dan Shota makan malam bersama di rumah.” Ibu Shota mengambil cangkir teh dan meminumnya pelan–pelan. “Tadinya aku mau mengabarinya lewat telepon, tapi hitung-hitung ingin bertemu dengan menantuku, maka aku datang kemari.” Lagi-lagi ibu Shota tersenyum.

Aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Apakah aku harus mengatakan sudah dua hari Shota tidak pulang ke rumah, tidak mengabari apa pun kepadaku, dan aku tidak tahu dia pergi ke mana.

“Eh... aku tidak janji, Bu.”

“Kenapa? Apakah kalian sudah punya acara terlebih dahulu?” Wajah ibu Shota  tampak kecewa.

“Eh... Shota...,” aku ragu-ragu mengatakannya.

“Shota sudah punya acara?” tanya ibu Shota. Bahasa Indonesia-nya baik sekali. Shota bilang, ibunya mewarisi darah Indonesia, tapi aku tidak mengerti dari sisi yang mana, karena wajahnya sangat Jepang.

“Maaf, aku lancang, Bu. Tapi, sebenarnya... sebenarnya Shota sudah dua hari ini tidak pulang,” akhirnya aku berbicara padanya. Aku menunduk malu, mengetahui bahwa mungkin di mata ibu Shota, aku bukanlah istri yang baik, yang tidak tahu ke mana perginya suaminya sendiri.

“Ia tidak menelepon? Tidak memberi tahumu sedikit pun?”

Aku menggeleng. Aku sudah berusaha meneleponnya, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku menjelaskan pada ibu Shota bahwa aku sama sekali tidak tahu kenapa ia pergi. Aku tidak tahu apakah aku telah berbuat salah, yang jelas ia tidak memberi tahuku ke mana perginya. Ibu Shota menoleh ke belakang, melihat ke arah kalender yang terpasang di dinding di belakangnya.

“Jangan-jangan ia benar-benar pergi....” Kalau tidak salah aku mendengar ibu Shota berbicara begitu pelan pada dirinya sendiri.

“Pergi?” aku bertanya akhirnya.

“Sebelumnya aku benar-benar minta maaf, tapi apakah Shota belum menceritakan apa pun padamu, Yu?”

“Menceritakan apa, Bu?”

“Bahwa ia akan pergi ke Jepang?”

“Ke Jepang?” aku mengulangi kata-kata itu, lebih untuk meminta penegasan bahwa aku tidak salah dengar. Ke Jepang! Untuk apa? Kenapa tidak memberi tahuku sedikit pun?

“Oh! Demi Tuhan, aku tidak mengerti! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang tidak aku ketahui, Bu? Aku mengkhawatirkannya sampai hari ini. Aku menunggunya saat sore itu, berharap ia pulang, tapi ia tidak pulang, tidak memberi tahuku. Ada apa ini?” Aku mulai kebingungan. Apa yang sedang Shota sembunyikan?

“Hari ini, tepat di hari ini...,” ibu Shota berhenti berbicara. Aku rasa ia sedang mencari kata-kata yang pas. Namun, aku sudah tidak sabar mendengarnya.

“Ada apa di hari ini, Bu?”

“Tepat di hari ini adalah tiga tahun peringatan kematian istrinya yang dulu.”

Bohong jika aku tidak mendengar apa yang ibu Shota ucapkan barusan. Kebenaran macam apa itu? Kebenaran macam apa? Apa yang sedang terjadi? Kematian istrinya yang dulu? Shota tidak pernah memberi tahuku ia pernah menikah. Ia tidak pernah sedikit pun memberi tahuku tentang hal ini. Padahal, aku menceritakan semua hal yang Akbar lakukan terhadapku, bagaimana perasaanku dulu padanya, tapi kenapa tidak sedikit pun ia membicarakan kehidupannya? Masa lalunya?

“Aku tidak yakin apa ini benar, namun aku tidak punya pilihan. Kalau kau tidak tahu, aku akan memberitahukannya, Yu. Istrinya meninggal tiga tahun yang lalu saat melahirkan. Keduanya tidak selamat saat proses kelahiran tersebut. Sejak saat itu Shota pergi dari Jepang. Ia memutuskan bekerja di Jakarta dan hidup sendiri meninggalkan Jepang. Namun, setiap tahun, setiap peringatan kematian istri dan anaknya, ia pulang ke Jepang untuk memperingatinya,” kata ibu Shota, sambil mengusapkan tisu ke matanya yang
mulai membasah.

Aku tidak mampu berbicara. Aku tidak tahu, apakah aku sedang terkejut atau tidak percaya pada kenyataan ini. Namun, aku merasa seperti sedang ditampar oleh sesuatu. Pandangan mata itu... aku jadi ingat pandangan mata Shota yang begitu hampa, kosong, seperti ia tidak hidup di dunia ini. Aku jadi mengerti kenapa ia memintaku menikahinya, meskipun ia belum mengenalku waktu itu.

“Tadinya kami takut Shota akan menjadi gila. Aku takut sekali Shota akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah kematian istrinya, ia menjadi sangat pendiam. Ia tidak pernah menangisi keadaannya, namun sikapnya yang seperti itu malah membuat kami resah. Tiga hari setelah kematian istrinya, tiba-tiba ia minta dipindahkan ke Jakarta. Semuanya sangat tiba-tiba. Enam bulan yang lalu ia datang padaku dan bilang mau menikahimu. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi semua itu terasa aneh bagiku,” ujar ibu Shota, pelan. Aku sendiri masih sangat terkejut dengan kebenaran ini. Aku belum tahu harus berbuat apa.

“Karena itu aku sedikit lega, walaupun terasa aneh, mengetahui ia akan menikah lagi. Setidaknya ia tidak sendiri, itulah yang aku harapkan. Ia tidak sendiri dan melakukan hal-hal bodoh seperti yang pernah dilakukannya setahun yang lalu.”

“Apa yang dilakukannya setahun yang lalu?”

“Di suatu hari ia mengatakan padaku ia ingin bersama dengan istri dan anaknya. Ia ingin menyusulnya. Ia bilang ia ingin secepat mungkin menyusul mereka.”

“Maksud Ibu, ia ingin bunuh diri?”

“Begitulah... aku baru sadar saat mengetahui ia sudah berada di rumah sakit, dengan banyak infus mengalir di tubuhnya.”

“Shota tidak seperti itu. Ia pendiam, tapi tidak seperti itu!” sebisa mungkin aku menangkis kebenaran itu.

“Dulu ia seperti itu. Kuperhatikan belakangan ini, semenjak hidup denganmu, ia sedikit lebih hidup.”

“Lalu... apakah ia akan kembali?”

“Aku sendiri tidak tahu. Biasanya ia akan pulang sehari setelah peringatan kematian itu.”

“Bersabarlah padanya, Yu. Aku sebagai seorang ibu benar-benar memohon padamu. Bantulah ia untuk kembali menjalani hidupnya.”

Aku pikir Shota benar-benar akan datang sehari setelah peringatan kematian istri dan anaknya. Namun, sudah hari kedua ia tidak juga datang. Sudah lima hari Shota tidak kembali ke rumah. Aku sangat merindukannya. Aku merindukan hari-hari kami yang penuh ketenangan, walau hanya berdua dengannya. Aku merindukan genggaman tangannya. Kini, ketika aku tahu kebenarannya, aku makin merindukannya.

Aku berdiri di depan pintu kamar Shota. Ia tidak pernah mengunci pintu kamarnya, namun pintu kamarnya selalu tertutup. Aku memberanikan diri untuk membuka kamarnya. Aroma Shota seperti ada di sekelilingku. Kamarnya tertata rapi. Kulangkahkan kakiku masuk mendekati lemari kecil dekat dengan tempat tidurnya. Aku pikir aku bisa menemukan keterangan lebih jelas mengenai masa lalunya di lemari tersebut, tapi tidak ada sedikit pun keterangan yang menjurus ke sana.

Kubuka lemari pakaian Shota, ada kardus berwarna putih di bagian atasnya. Kardus itu sudah berdebu, jadi aku turun ke bawah untuk membawa lap basah dan membersihkannya. Saat selesai kubersihkan, kubuka tutup kardus tersebut perlahan. Aku tidak yakin apakah ini hal yang benar, mencuri-curi dokumentasi pribadinya tanpa seizin Shota, aku tidak tahu.

Aku pandangi album berukuran sedang berwarna cokelat. Ada banyak kertas berisi tulisan, beberapa CD musik dan dua notes dengan ukuran yang sama seperti ukuran album. Aku tidak mengerti tulisan dalam kertas dan notes tersebut, karena ditulis dalam huruf kanji. Kuputuskan untuk menelepon Edo dan menanyakan padanya tentang isi notes dan kertas-kertas ini.

Sambil menunggu Edo ke atas, aku duduk menyandar pada ranjang Shota dan mulai membuka album fotonya. Semua foto itu adalah foto-fotonya ketika kecil, saat sekolah dasar hingga universitas. Di antara orang-orang yang berada di foto tersebut, aku menemukan satu orang yang selalu ada, seorang gadis yang di foto universitasnya sudah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.

Di halaman berikutnya aku melihat Shota berfoto berdua dengan wanita tersebut. Di bawahnya ada tulisan dalam bahasa Inggris: ‘What a day with Reika’. Jadi namanya Reika. Aku melihat gambar cangkir berwarna hijau dan ada tulisan ‘Reika’s fav is tea’. Di halaman selanjutnya, mereka berdua dalam kimono yang khas, seperti yang sering kulihat dalam film-film Jepang saat upacara pernikahan.

Reika memakai kimono putih dengan bunga-bunga pink. Rambutnya ditata sedemikian rupa seperti wanita dalam film Memoir of A Geisha. Shota terlihat sangat tampan. Ia memakai kimono berwarna biru tua dan tersenyum. Aku ambil salah satu CD yang berada di kardus tersebut. 

Aku berdiri untuk mendengarkan CD tersebut. Begitu kuputar tombol play, lagu tersebut terdengar sangat enak, walaupun aku tidak tahu apa arti liriknya. Edo datang di saat itu juga. Begitu ia mendengar lagu-lagu ini, ia segera tahu siapa yang menyanyikannya.  “Aku suka track yang ke-5!” aku membiarkan Edo mendengarnya. Ia bilang lagu ini dinyanyikan oleh L’Arc en Ciel dengan judul Flower. Mungkin aku menyukainya, karena inilah satu-satunya lagu yang bisa kubaca dalam bahasa Inggris. Tapi, percuma saja, begitu tombol play kutekan, si vokalis malah menyanyikannya dalam lirik Jepang. Di catatan pinggir CD, aku melihat tulisan ‘Reika’s fav’. Ternyata, lagu ini juga lagu favorit mendiang istri Shota.

“Mbak, kalau Shota-san tahu barang-barangnya digeledah seperti ini...,” Edo ragu-ragu waktu kuminta membaca notes-nya. Aku segera menyahut, “Biar saja. Dia juga nggak peduli kalau aku menunggunya!”
Edo cukup mahir ternyata. Ia mengartikan dengan baik setiap kata yang terdapat di dalamnya. Edo bilang, ini buku harian

milik seorang wanita. Sedangkan kertas-kertas tersebut diberikan oleh seorang laki-laki untuknya.
Ia membaca satu kalimat terakhir dalam buku itu yang ditulis dalam bahasa Inggris, then seek, not, sweet, the If and why, I love u now until I die, for I must love because I live, and life in me is what u give... sebuah bait dalam puisi karya Christopher Brennan, Because She Would Ask Me Why I Loved Her.

Aku diam mendengar Edo membacanya. Aku juga tidak sanggup membendung lagi air mata yang sudah berhari-hari lalu ingin kukeluarkan. Edo mendekatiku dan memelukku. Shota ternyata sangat mencintainya. Shota sangat mencintai wanita tersebut, sahabat kecilnya. Itulah kenapa ia sulit sekali keluar dari kepedihan hidupnya.

“Apakah salah karena aku mulai mencintai laki-laki ini?”

Berandai-andai Shota akan pulang hari ini rasanya telah menjadi kembang tidurku di siang hari. Aku menyerahkan operasional kedaiku pada Edo, sementara aku selalu duduk di depan jendela lantai atas, menunggu SUV putih Shota pulang.

Aku mulai hidup dalam khayalan. Aku mulai membayangkan Shota pulang dan duduk bersamaku di halaman belakang atau hanya sekadar duduk di sofa sambil menonton teve. Aku mulai membayangkan diriku pergi bersama Shota. Ia menggandeng tanganku dan membawaku ke mana pun aku mau. Aku lebih banyak melamun daripada menyibukkan diri. Aku sudah mendengarkan CD milik Reika yang diberikan pada Shota. Aku memutarnya setiap saat, meskipun aku tidak mengerti artinya.

Aku memakai kimono yang diberikan oleh ibu Shota di dalam rumah. Aku memang tidak bisa memasang obinya dengan baik, yang penting aku memakainya. Aku memakainya menyusuri anak tangga, dan terkadang hingga ke kedai. Edo tahu bahwa aku mulai bertingkah seperti orang gila, tapi aku tidak peduli. Aku pergi ke salah satu restoran Jepang hanya untuk membeli takoyaki. Aku merindukan semua hal yang ia perkenalkan padaku. Namun, lebih dari itu, aku sangat merindukannya, dirinya... sangat.

Aku tahu, saat ini perasaanku sedang kacau dan aku tidak tahu harus lari ke mana. Edo pun bingung untuk menyadarkanku. Terkadang ia mengasihani diriku dan di satu kesempatan ia seperti ingin menasihatiku. Sayangnya, tidak kugubris. Aku seperti orang bodoh, mengetahui bahwa sudah hampir seminggu aku ditinggalkan oleh Shota.

Kini aku merasa sangat sial. Dulu aku ditinggalkan calon pengantin priaku, sekarang aku ditinggalkan oleh teman hidupku. Sungguh menyedihkan.

Aku melangkah dengan kaki telanjang di malam berikutnya menuju kamar Shota yang tak terkunci. Aku mengusap-usap ranjangnya dan tidur meringkuk di sana. Hari makin malam, aku berusaha menutup mataku, namun tidak juga bisa tidur. Telepon genggamku bergetar, ketika aku mencoba untuk menutup mataku sekian kalinya. Nomor tanpa identitas yang kukenal muncul di layar. Aku memang sengaja membiarkannya tetap berdering. Aku benci sekali harus menerima telepon seseorang yang tidak berada dalam list-ku. Namun, dering itu makin lama makin memekakkan telinga. Mau tak mau kuangkat.

“Halo?”

Tak ada jawaban

“Halo?” Lagi-lagi tak ada jawaban, setelah kuikut diam menunggu jawaban si penelepon. Waktu aku mau mematikan, tiba-tiba suara si penelepon terdengar. Aku mengenal suara ini... suara yang sama yang selalu menemaniku selama enam bulan ini. Aku sangat mengenal suara yang sangat kurindukan ini. Tanpa dia harus menyebut namanya, aku tahu bahwa ini Shota... suara lembut ini milik Shota....

“Apakah aku masih diperbolehkan pulang ke rumah, jika aku telah pergi selama tujuh hari tanpa pamit dan mungkin kau mengkhawatirkanku?” suaranya agak berat, sedikit pelan, terdengar sangat lembut, namun hati-hati.

Aku tidak bisa menjawab teleponnya, karena tahu-tahu saja air mata turun deras. Aku merindukan sekali suara ini. Aku berusaha untuk tetap tegar, tapi aku tak bisa. Air mata ini sudah telanjur jatuh dan rasanya aku terdengar seperti sedang terisak.

“Apakah mendengar suaraku saja menyakiti hatimu, Ayu?” ia bertanya, lebih pelan. Aku merasakan kepedihan yang sama pada kata-katanya, namun ia lebih tegar, tidak menangis sepertiku. Aku mengangguk mengiyakan, tapi, toh, dia tidak bakal melihatku.

“Aku minta maaf, Yu. Aku minta maaf karena tidak pernah mengatakan masa laluku sebelumnya padamu. Aku minta maaf karena berbuat seperti ini padamu.”

Sekuat tenaga kutahan isakan tangisku. Aku meringkuk lebih kencang dalam malam yang dingin. Suara yang menyakitkan itu ternyata bisa menghangatkan sebagian jiwaku. Kami berdua sama-sama diam. Aku tidak bisa bicara, karena masih menangis dan kupikir dia pun mendengar isak tangisku, maka Shota ikut terdiam. Kami berdua sama-sama terdiam dalam suasana malam yang sunyi. Hanya tangis yang memekakkan kesunyian kami.

“Apa yang kau dengar dari ibuku memang benar. Ia kekasihku, teman kecilku, istriku, dulunya. Ia meninggal tiga tahun lalu, saat melahirkan calon putraku. Setiap tahun aku selalu mengunjungi makamnya dan memperingati hari kematiannya,” ia menjelaskan dan membiarkanku mendengarnya.

“Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melihat wanita lain. Aku berjanji pada diriku bahwa hanya dia yang kucinta, selalu. Itulah sebabnya, aku selalu datang dan menengoknya, agar ia tahu bahwa sampai kapan pun hati ini hanya untuknya.”

Tangisku yang mulai mereda tiba-tiba terdengar kembali mengeras. Aku tidak kuat menahan kesedihanku dan kepedihanku, karena tahu bahwa aku tidak mungkin mendapatkan hatinya.

“Tapi, ketika aku duduk di kedaimu, memandangi jalanan raya dan terkadang melihatmu bekerja keras, melayani para pelanggan, kau begitu hidup. Kau penuh dengan kehidupan. Lewat secangkir kopi, aku menemukanmu. Aura kehidupanmu mengalihkan duniaku yang suram.”

“Jangan teruskan lagi, Shota!” aku pun akhirnya berani berbicara. “Aku tidak kuat mendengarnya,” aku berbisik pelan.

“Biar saja... biar kau tahu apa yang sebenarnya ada di hatiku. Tadinya aku tidak ingin datang ke peringatan itu, karena aku melanggar janjiku sendiri untuknya. Tapi, aku sadar bahwa meski ia tiada pun aku tetap menyayanginya dan tidak kupungkiri bahwa kini aku punya tempat untuk pulang. Aku punya seseorang yang akan menungguku pulang, duduk bersamaku, walau tak ada sedikit pun topik yang kubicarakan. Karena dia menungguku... aku meminta maaf padanya di nisan itu, bahwa aku telah telanjur membagi hatiku padanya dan seseorang ini. Aku telanjur menyayangimu,” suara Shota terdengar lemah di akhir kalimat.

Aku menunggunya berbicara dan ia tidak lagi berbicara. Teleponnya tetap tersambung, namun suara tersebut menghilang. Yang ada hanya suara isakan yang jauh lebih pelan dariku, tapi terdengar sangat dalam dan menyesakkan.

“Shota...?” seperti tersentak, entah kenapa hanya namanya yang ingin kupanggil.

“Shota, kembalilah ke rumah. Aku sangat merindukanmu. Cepatlah pulang, Shota-ku.” Dan, sambungan telepon itu kemudian terputus. Sambil memandangi telepon genggamku, aku menangis lagi, bukan karena hal lainnya, namun karena aku sendiri tidak mengerti kenapa aku sangat menyayanginya. Ia pasti kembali. Dalam benakku kuyakin ia akan kembali. Yang tidak kumengerti dari hubungan kami, tidak ada seorang pun yang berani memberi tahu tentang perasaan kami masing-masing.

Sehari setelah pengakuannya di telepon tersebut, Shota kembali ke rumah, ia makin memandangku dengan cara yang lebih hidup. Matanya tidak lagi kosong. Ia memelukku kencang dan berulang kali meminta maaf padaku. Kami memulai untuk tidur bersama. Aku mengangkat seluruh barang–barangku dan berbagi lemari dengan Shota. Aku tidak tahu seperti apa hubungan kami ini, kami saling menunggu saat yang tepat sampai kami mengerti dan menyadari bahwa sebenarnya kami saling membutuhkan, saling mencinta.

Dan, di suatu hari saat aku turun ke kedai pagi-pagi sekali. Ada sebuah pajangan dinding yang membuatku tersenyum lebar. Shota yang memasangnya pagi ini. Sebuah foto berbingkai besar berwarna hitam putih. Dalam foto itu ada sepasang kekasih yang saling menyuapi takoyaki bergantian. Si wanita tersenyum malu-malu, sementara si pria berusaha menahan rasa malunya.

Aku terkejut waktu mengetahui itu kami, foto yang Shota ambil diam-diam di acara matsuri kemarin. Inikah sesuatu yang ingin kau berikan itu? Aku lebih terkejut ketika Shota sudah berada di belakangku saat aku memandanginya. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan membisikkan ucapan cintanya yang pertama padaku... daisuki. Kata cinta pertama untukku. Ia lantas tersenyum memandangku dan menciumku untuk pertama kalinya.

No comments: