12.22.2010

Mad Man Show

Menjadi monster adalah ketika Anda berusia 25 tahun dan merasa tidak lagi membutuhkan orang lain. Anda memulai Minggu pagi dengan secangkir kopi, yang Anda beli dengan uang sendiri. Rekening listrik yang menggantung di beranda rumah mencatat nama Anda, bukan orang tua atau pemilik rumah kontrakan. Sebab, rumah tempat Anda menikmati privasi, setiap jengkalnya, adalah hasil keringat Anda sendiri. Bukan warisan, apalagi sewaan.

Orang-orang yang seliweran di dapur, garasi mobil, dan taman kecil di belakang rumah bagus Anda, adalah mereka yang setiap bulan Anda gaji dengan nominal di atas rata-rata. Anda menyebut mereka ’pembantu’, namun otak Anda mengatakan, Andalah orang yang ’membantu’ hidup mereka. Anda tidak membutuhkan orang lain. Sebab, orang lainlah yang membutuhkan Anda.

Anda benar-benar mengendalikan hidup Anda sendiri. Bahkan, Anda mulai merasa, ini tak ada kaitannya dengan Tuhan.

“Aku butuh 30 menit sampai di studio.” Suara bas pria muda itu seperti memberitahu siapa saja yang mendengar, di posisi mana status sosial pemiliknya. Memakai stelan jas hitam bergaris, kemeja putih berkelas, dan dasi hitam bermotif abstrak. Rambutnya disisir ke belakang. Terlihat basah. Ponsel keluaran terbaru menempel di telinga, digenggam tangan kirinya.

“Ya, soal feminisme. Tidak ada selebriti yang lebih sok tahu dibandingkan Sherly.”

Troy, pria necis bersuara bas itu, melangkah ke luar kamar menuju garasi. Raut mukanya berubah-ubah, selama menyimak jawab­an seseorang di seberang telepon. Senyum sinis melintangi bibirnya beberapa detik setelah itu. “Aku akan membuat dia terlihat sangat bodoh di depan kamera.”

Troy berhenti persis di depan mobilnya, yang sedang dipanasi oleh Ujang, sopir pribadinya. Tangan kanan pria itu tertahan di pegangan pintu depan. “Kenapa? Oh, tidak masalah. Bukannya selama ini Mad Man Show punya rating tinggi, justru karena sangat dibenci wanita?”

Troy membuka pintu, masuk ke sedan mewah merahnya perlahan, duduk di samping sopir dengan tenang. Pintu mobil ia tutup tanpa menimbulkan bunyi yang terlalu ribut. Di belakang setir, Ujang masih belum berani menyentuh tongkat versneling. Dia menunggu perintah.

“Oke, tunggu, ya. Kita bikin wanita se-Indonesia terpaksa menonton Mad Man Show dengan alasan paling primitif sekalipun.”

Senyum sinis kembali melebar di bibir Troy. Dia mematikan ponsel, lalu memasukkannya ke saku jas. Diam beberapa detik. Berpikir. Kemudian, dengan gerakan sedikit menyentak, dia menoleh ke Ujang. Dahinya berkerut seketika. “Kamu yakin mau mengantar saya ke studio?”

Ujang takut-takut melirik tuannya. Dia tahu adegan ini akan terjadi. “Semalam, saya tidur larut sekali, Mas. Tadi kesiangan bangun. Jadi nggak sempat mandi.”

“Lupa peraturan rumah ini?”

Kalimat Troy begitu menekan. Tidak meledak-ledak, tetapi menukik. Membuat gentar.

“Sa… saya….”

“Kamu mau orang-orang di studio mencibir saya, karena punya sopir kumuh? Sudah. Keluar kamu. Aku nyetir sendiri.”

“Iya, Mas.”

Dua pintu depan mobil dibuka dengan gerakan berbeda. Ujang membuka pintu samping kanan dengan takut-takut, Troy melakukan hal yang sama di pintu kiri dengan entakan yang menggambarkan kegusaran. Sang majikan lantas berjalan memutar, melintasi moncong mobil, menghampiri Ujang. “Ingat. Sekali lagi terulang, tidak usah saya suruh, kamu langsung pulang ke kampungmu saja.”

Wajah Ujang menunduk. Pandangannya memaku lantai garasi. Troy tidak peduli. Dia segera membuka pintu mobil, mengempaskan bokongnya di jok belakang setir, lalu meraih tongkat versneling dan menggerakkannya.
Mobil itu segera berayap ke luar garasi. Pintu gerbang dibuka oleh Iroh, pengurus rumah, yang juga istri Ujang. Ada satu lagi pekerja yang tinggal di rumah itu. Atmo, tukang kebun yang usianya sudah lewat setengah abad. Sekarang, Troy meluncurkan mobilnya, tanpa basa-basi kepada Iroh. Tidak ada klakson, apalagi ucapan terima kasih.

Setelah jeda iklan, Studio 1 Extreme TV
Jalan Dago, Bandung
“Artis cantik Sherly Su meyakini bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Dia sekarang sedang giat berkampanye antipoligami dan mendorong pemerintah agar menetapkan undang-undang yang melarang poligami. Pemirsa, Anda masih bersama Mad Man Show, talkshow paling ekstrem di Indonesia, bersama saya, Troya Pronocitro.”

Tidak ada yang menyebalkan dari wajah itu. Setidaknya, seperti itu yang tergambar di layar kaca. Troy adalah pria muda yang sedap dipandang. Kulit terangnya, hidup mancungnya, bibir tipisnya, mata bulat ekspresifnya, alis tebalnya, belah dagunya. Benar-benar menyenangkan. Seharusnya, seperti itu.

Namun, bagi sebagian besar pemirsa televisi, dia menjadi the wrong man in the wrong place. Program Mad Man Show adalah acara unggulan yang melambungkan Extreme TV dua tahun terakhir. Televisi nasional berpusat di Bandung itu berutang banyak pada Troy, pencipta sekaligus pembawa acara Mad Man Show.

Talkshow paling ekstrem di Indonesia itu benar-benar melawan arus. Jika sebagian besar talkshow mengandalkan wanita sebagai penonton, Mad Man Show justru merangkul pria. Selain membahas apa saja tentang dunia pria, progam ini sering kali menyentil wanita: mengejek feminisme, mengkritik kepemimpinan wanita, dan memosisikan kaum Hawa sebagai rival.

Intinya, apa pun yang dilakukan Oprah Winfrey, maka Troy memilih sebaliknya. Dia tidak memegang tangan nara sumber, sambil menatap matanya penuh simpati. Dia tidak memilih posisi tengah, seperti halnya Oprah yang selalu mengatakan, “Saya tidak sedang menyerang Anda.” Dia juga sama sekali tidak menyukai anjing.

Hasilnya, hanya butuh empat kali tayang, progam ini langsung memunculkan pro-kontra pemirsa televisi. Persis sama dengan isu-isu lain yang biasanya segera memunculkan komentator-komentator ulung dari penjuru negeri. Sama hebohnya dengan dangdut ngebor, ulama berpoligami, video mesum anggota DPR, RUU pornografi, atau isu-isu lain yang sekonyong-konyong menjadi lebih penting dibanding berita melonjaknya harga beras.

Kontroversi meledak, iklan berjejal, nama Troy pun segera melejit. Seperti aktor antagonis dalam sinetron kejar tayang, Troy dipuja sekaligus dicaci. Otak cerdasnya, bicara tangkasnya, begitu menyedot perhatian. Namun, sikap sinisnya terhadap tema kesetaraan gender, kritik kerasnya terhadap aktivis wanita yang ia nilai kebablasan, benar-benar menjadi kombinasi yang tidak menyenangkan.

Toh, dua hal bertentangan itulah yang membuat Mad Man Show bertahan di posisi teratas program televisi paling banyak ditonton di Indonesia.

“Saya sangat tidak setuju, jika alasan berpoligami selalu dihubungkan dengan ketaatan terhadap Tuhan. Saya kira itu tafsir yang sangat primitif.”

Sherly Su, bekas bintang panas yang sekarang berusaha tetap disorot media lewat aktivitas sosialnya itu, mulai tak bisa mengelola emosinya dengan baik. Kecenderungan yang sering terjadi pada narasumber Mad Man Show.

Bagaimanapun, Sherly tetap berusaha terlihat elegan. Citra itu mati-matian dia bangun beberapa tahun terakhir. Jauh berbeda dengan citra masa lalunya, yang identik dengan bikini dan otak kosong.

Hari ini, dia mengenakan rok terusan warna beige, berlapis jaket ala french coat dengan warna sama. Rambut pendeknya disisir ke belakang, ringkas. Kaca mata minus seperempat menyempurnakan usahanya untuk terlihat elegan dan ’berisi’.

“Anda punya pendapat sendiri?” Troy bertanya dengan senyum aneh. Keramahan yang lebih dipahami sebagai serangan. Sekitar seratus penonton yang duduk di podium studio menyimak dengan seksama. Sebagian besar dari mereka adalah pria.

Sherly menatap Troy dengan kesan menantang .”Ayolah, saya yakin, motivasi pertama pria menikah lagi adalah alasan seksual. Saya, kira ditutupi seperti apa pun, kita semua mengetahuinya.”

“Dengan kaca mata kesetaraan gender, mengapa Anda tidak berpikir untuk mengampanyekan poliandri?”

“Silakan Mas Troy bertanya ke 1000 wanita. Saya yakin, tak ada satu pun dari mereka yang menginginkan konsep itu.”

“Bukankah itu semakin memperkuat tesis bahwa pria lahir dengan naluri poligami dan wanita lahir dengan naluri cemburu?”

Sherly Su diam sebentar. Dia mulai mempraktikkan kata-kata penasihat spiritualnya. Diam sebentar sebelum berkomentar adalah cara yang baik untuk menjaga kualitas omongan. “Saya menyebut tesis itu tak beradab.”

Teriakan “Huuu!” membahana di seluruh studio. Troy mengubah cara duduknya. Kaki kanan melintang di atas kaki satunya. “Poligami Anda identikkan sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Lalu, bagaimana dengan para pelaku poligami yang bisa menjaga keharmonisan rumah tangganya.”

“Satu di antara seribu. Saya terlibat dalam pendampingan wanita-wanita teraniaya. Kenyataannya, saya belum pernah bertemu istri yang dipoligami memperoleh kehidupan tenang. Lebih ba­nyak kacaunya.”

“Artinya, permasalahannya bukan pada konsep poligami, tapi lebih pada pelakunya. Anda ingin mengatakan seperti itu?”

Merah muka Sherly. Matanya seperti diperciki kaca. Geram, marah, dan merasa terjebak. Pertanyaan terakhir Troy jelas sedang menggiring Sherly untuk mementahkan pendapatnya sendiri.

Jika dia menjawab ‘iya’ artinya dia mengamini bahwa tidak ada masalah dengan poligami. Kalau saat ini banyak wanita teraniaya ketika suaminya kawin lagi, itu masalah oknum. Seperti mengatakan bahwa tidak semua anggota DPR itu koruptor. Sebab, sistemnya sudah bagus. Penyelewengan itu ulah beberapa oknum saja. Lalu, bagaimana bisa badan legeslatif itu divonis sebagai lembaga paling korup di Indonesia?

“Saya… sama sekali tidak berpendapat seperti itu. Bagaimanapun saya menolak poligami.”

Troy sedikit mengangkat dagu. Senyumnya mengembang. “Anda tidak mempunyai jawaban lebih baik dari itu?”

Sherly Su menggertakkan giginya. Dia bangkit dari sofa dengan gerakan menyentak. Setelah menyorotkan pandangan marah terhadap Troy, dia lantas balik kanan, meninggalkan panggung. Troy menyusul bangkit. Bedanya, dia melakukannya dengan tenang. Sambil terus tersenyum menghadap kamera, dia memancing tepuk tangan semua penonton di studio dengan melakukannya terlebih dulu.

“Sherly Su baru saja bersama kita. Mantan bintang film tahun 80-an yang kini menjadi aktivis ini telah banyak berbagi dengan Anda. Pastikan Anda tetap di saluran Extreme TV besok pagi, sebab Mad Man Show akan hadir di rumah Anda dengan bintang tamu Ronggowarsito, pria yang menikahi empat wanita dan kini memiliki 40 anak. Hanya di Mad Man Show, talk show paling ekstrem di Indonesia. Saya Troya Pronocitro.”

Di mana posisi kita?”

Troy berjalan dengan bergegas di lorong kantor menuju ruang kerjanya. Tangan kanannya mengapit tumpukan file, tangan kanan menempelkan ponsel ke telinga. Galih, produser Mad Man Show, menjejeri langkahnya. Dia lebih mirip asisten dibanding orang yang bertanggung jawab terhadap seluruh proses produksi talkshow paling sukses itu.

“Tetap di puncak rating. Hari ini persentasenya bahkan melonjak tajam. Poligami tetap punya magnet kuat.”

Ujung bibir Troy sedikit terangkat. Dia menyimak penjelasan Galih sambil mendengarkan nada tunggu di ponselnya. Seseorang di seberang belum juga mengangkat teleponnya. Suara seksi Anggun menyanyikan It’s All In Your Mind di telinga Troy.

I don’t want to believe, and I don’t want to live
by the excuses, of your weakness
Cause a woman should do, what she wants to do
There is no reason, for your shallow aggravation
Nothing wrong with this dress I wear
Nothing wrong with this smile I dare
Nothing wrong with my long black hair
It’s all in your mind, in your mind
Nothing wrong with these legs you see
Nothing wrong with this lean body
And nothing wrong with the woman in me
It’s all in your mind... in your mind

Hmm, feminis. Apa lagi yang bisa kamu kerjakan selain protes? Troy membatin.

Belum juga diangkat. Berkali-kali Troy mengulang panggilan, hasilnya sama saja. Troy menarik ponselnya dari telinga dan menyisipkannya ke kantong jas.

“Dia tak mau mengangkat teleponku.”

Galih tersenyum. “Wanita… biasalah. Sensitif. Show-mu hari ini memang sangat menggoncangkan.”

“Tapi, dia sudah tanda tangan kontrak untuk tampil di Mad Man Show pekan depan.”

“Ketika menelepon aku tadi, dia memang marah-marah. Tapi, dia tidak menyebut soal pengunduran diri dari kontrak pekan depan.”

Keduanya telah sampai di depan ruang kerja Troy. Si ’tuan rumah’ mendorong pintu ruangannya. Galih menguntit di belakang.

“Apa kata dia tentang Mad Man Show hari ini?”

Troy melempar berkas file ke meja, lalu mengempaskan tubuhnya ke sofa. Galih menyusul duduk di depannya.

“Klasik. Menurut dia, kamu sama sekali tidak menghargai wanita.”

“Come on! Ini kan Mad Man Show. Ke mana otak orang-orang?”

“Menurutku, Atlantis sangat berbeda. Dia selebriti yang otaknya cukup kinclong.”

“Aku tak suka wanita pintar.”

Galih mengerutkan dahinya. “Lalu, apa alasanmu mengundangnya untuk Mad Man Show pekan depan?”

“Dia bisa meramal, bukan? Penonton teve kita masih banyak yang suka dibodohi oleh ramalan.”

Galih mengangkat bahu. “Tapi, itu tidak ada di script, Troy. Mungkin dia akan marah jika kamu terlalu berimprovisasi.”

Dua alis tebal Troy terangkat. “Sejak kapan Mad Man peduli soal script? Penonton kita suka kejutan, Galih. Jangan lupa itu.”

“Bagaimana jika dia bereaksi di luar dugaan ketika siaran langsung?”

“Aku suka itu. Mereka akan terlihat sangat bodoh ketika melakukannya.”

Studio Extreme TV, sehari kemudian
“Soal adil itu rahasia Tuhan. Itu pekerjaan hati. Sekarang saya tanya, kalau Anda seorang ayah dari empat anak, apakah hati Anda menyayangi mereka dengan kadar yang sama?”

Sebuah jawaban panjang untuk pertanyaan sederhana Troy. Beberapa menit lalu dia bertanya tentang tanggapan Ronggowarsito, bapak beranak 40 itu, tentang argumentasi para antipoligami yang mengatakan, “Tuhan pun menjamin, manusia tidak bisa berbuat adil ketika dia berpoligami.”

Sekarang, sang bintang tamu menyodorkan dua pertanyaan balik sekaligus. Troy mengangkat bahu sambil mengerutkan dahinya, “Saya masih bujangan, Pak.”

Ronggowarsito tidak merasa ada yang salah dengan pertanyaannya. “Anda berapa bersaudara?”

Troy mengangkat telapak tangannya, mengacungkan empat jari sambil tersenyum aneh. Seperti senyum orang intelek ketika melayani obrolan seseorang tak terpelajar.

“Anda pasti merasakan bahwa cinta orang tua Anda terhadap Anda tidak sama dengan cinta mereka kepada saudara-saudara Anda.”

“Di antara kami berempat tidak ada yang dibuang ke panti asuhan,” tukas Troy berusaha melucu. Tentu saja dia tidak ingin narasumber memojokkan dirinya di talkshow miliknya sendiri.

“Itu artinya orang tua Anda berusaha berlaku adil. Dalam realita mereka tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap anak-anaknya. Namun, di dalam hati bapak atau ibu, selalu ada anak favorit, anak kesayangan.”

“Oke. Relevansinya dengan poligami?”

“Seorang suami yang baik akan memperlakukan istri-istrinya dengan adil. Namun, jika di dalam hatinya ada perasaan istimewa terhadap salah satu istrinya, itu sangat manusiawi. Nabi Muhammad saja tidak bisa memungkiri bahwa Aisyah adalah istri yang paling ia sayangi setelah Khadijah.”

“Anda ingin mengatakan, Nabi Muhammad sudah mencontohkan bahwa poligami yang ideal bukan berarti seorang suami tidak boleh menyimpan perasaan lebih terhadap salah seorang istrinya.”

“Se-njlimet apa pun argumentasi orang-orang yang menolak poligami, hal ini sudah menjadi hukum Allah. Jika mereka menolak, protes saja kepada Allah.”

Dua alis Troy terangkat. Dia kembali tersenyum dengan cara yang aneh sambil memeriksa catatan, SMS, atau e-mail yang masuk laptop di depannya. “Saya punya catatan, Pak Ronggo, Nabi Muhammad sendiri lebih lama bermonogami. Kemudian, seluruh pernikahan setelah meninggalnya Khadijah, istri pertamanya, memiliki alasan kuat: persekutuan politik, kepentingan sosial, dan alasan lain yang bisa diterima akal.”

“Hukum Allah sudah mengatakan bahwa poligami itu halal. Mengapa harus diotak-atik lagi? Sekali lagi saya katakan, mereka yang tidak setuju itu, silakan saja protes kepada Allah.”

Troy melemparkan senyumnya ke penonton, disambut tepuk ta­ngan riuh. “Kamu akan segera kembali.”

Jeda iklan. Sembilan atau sepuluh produk unggulan baru saja tayang iklan promosinya. Padat luar biasa. Sebuah tanda bahwa Mad Man Show masih dianggap memiliki popularitas tinggi. Iklan yang tayang di acara ini pasti ditonton banyak orang. Sebuah pertanda baik untuk memastikan bahwa ribuan atau jutaan orang telah menerima pesan komersial iklan-iklan tadi.

Lampu kembali menyala. Di panggung Troy telah kembali siap di-shoot secara live. Ronggowarsito sibuk membetulkan setelan jas dan peci hitamnya. Dua atau tiga kru memberi aba-aba kepada penonton untuk kembali bertepuk tangan. Wajah Troy kembali tayang di televisi.

“Cinta itu pekerjaan hati. Jika seorang pria yang berpoligami memiliki cinta yang lebih kepada salah seorang istrinya, itu manusiawi. Begitu kata Ronggowarsito, seorang pria beristri empat dan berputra 40, narasumber Mad Man Show, pagi ini.”

Troy berekspresi lebih ganjil lagi, ketika dia bersitatap untuk kali kesekian dengan Ronggowarsito. Seperti sahabat karib yang terpisah selama bertahun-tahun. “Pak Ronggo, asyik sekali berbincang dengan Anda. Tiba-tiba saya merasa poligami selezat spaghetti.”

Suara tawa sambung-menyambung di seluruh studio. Troy lalu membuka salah satu e-mail, lalu membacanya.

“Ini ada e-mail dari Citra di Jakarta. Dia menanyakan pendapat Anda, bagaimana jika seorang suami berpoligami, tapi kemudian anak dan istrinya telantar? Bagaimana pula jika pernikahan keduanya sengaja disembunyikan, supaya istri pertama tidak tahu?”

Troy menoleh pada Ronggowarsito dengan alis terangkat. Pria itu segera tanggap.

“Jangankan beristri dua. Beristri satu pun, kalau istri dan anak telantar, ya, jatuhnya dosa besar.”

“Anda ingin mengatakan, poligami itu bisa menjadi suatu kebolehan, tapi juga bisa haram, tergantung niat dan perlakuan sang suami?”

“Saya tidak mengatakan seperti itu. Anda yang mengatakan seperti itu.”

Troy berusaha tidak mati kutu. Dia putar ulang ingatan apa saja yang berhubungan dengan pernikahan dalam Islam. Sesuatu yang asing, namun sesekali pernah ia baca, sekadar untuk referensi. “Pernikahan itu hukumnya boleh. Tapi, ketika seseorang menikah karena ingin menguasai harta calon pasangannya, hukumnya menjadi haram. Bukankah begitu?”

Ronggowarsito mengangguk.

“Artinya, hal yang sama pun berlaku dalam berpoligami? Jika niatnya buruk, maka pernikahan itu menjadi haram?”

“Kira-kira begitu.” Ronggowarsito menjawab cepat, namun lirih. Tidak tegas. Sangat berhati-hati.

“Kalau begitu, lebih banyak poligami haram di Indonesia.”

Komentar pendek dengan tekanan suara santai dan relaks dari mulut Troy memerahkan wajah Ronggowarsito. Pria 40-an tahun itu menggembungkan dadanya, mengelola emosi. Tidak terlalu tampak, karena dadanya tenggelam oleh timbunan lemak di perutnya.

“Serius kamu mau pulang kampung?”

Troy bertanya dengan seperempat konsentrasinya. Melirik Ujang pun tidak. Mobil merah yang mereka naiki membelah Jalan Juanda. Perjalanan pulang dari studio yang kaku, tanpa obrolan seru. Ujang berkonsentrasi penuh di belakang setir.

“Ya, Mas. Kasihan anak-anak. Tidak ada yang mengurusi. Neneknya sudah tua.” Diam sebentar. “Tapi, Iroh tetap di Bandung, kok, Mas.”

Troy masih sibuk dengan file-file di tangannya. Lembaran-lembaran memusingkan. Di atas kendaraan bergerak, ‘memusingkan’ mempunyai makna yang sebenarnya. “Bukannya anak-anakmu sudah biasa jauh dari orang tua?”

Dingin. Sedikit sinis.

“Ya, dulu, kan, neneknya masih kuat, Mas. Sekarang sudah sakit-sakitan.”

Troy melemparkan tumpukan file-nya ke jok belakang. “Kalau kamu lembek, sedikit dibentak saja sudah melempem, kamu tidak akan pernah menjadi apa-apa, Jang.”

Ujang diam. Tak berani menjawab sama sekali.

“Berapa usia kamu?”

“Dua puluh tiga, Mas.”

“Halah! Kamu juga yang salah. Umur 23, anak sudah tiga.”

Ujang diam lagi. Dia makin tidak paham, apa masalah yang sedang mereka obrolkan. Soal dia yang ingin berhenti bekerja atau soal pernikahan dininya empat tahun lalu.

“Kamu tahu umurku berapa, Jang?”

“Dua puluh lima, kalau tidak salah.”

Troy menoleh. Dahinya berkerut. “Kok, kamu tahu?”

“Saya lihat di infotainment, Mas. Kan waktu itu ada pesta kejutan di studio.”

“Ooh....” Troy menoleh lagi ke arah depan. “Aku dua tahun lebih tua dibanding kamu, tapi semangatku untuk terus maju masih bagus. Kawin itu memenggal mimpi-mimpi kamu, Jang!”

“Saya kan bukan orang sekolahan, Mas.”

“Bukan berarti kamu nggak punya mimpi?”

Ujang memasang gigi dua, ketika jalan di depannya menanjak. “Mimpi saya, ya, yang saya punya sekarang, Mas. Kawin, dapat istri baik, punya anak, punya pekerjaan.”

“Nah, kalau nggak kawin buru-buru, kamu kan bisa punya nasib lebih baik. Sekarang gaji kamu ditambah gaji istri kamu saja masih pas-pasan untuk menghidupi anak-anakmu, ’kan?”

“Mereka kan punya rezeki sendiri-sendiri, Mas.”

“Halah! Kamu keseringan dengar ceramah, Jang.”

Ujang tak menanggapi. Dia tahu, kalimat apa pun tidak akan sanggup membuat Troy menyatakan persetujuannya.
“Terus, kamu mau ngapain di kampung?”

“Jadi buruh tani atau mungkin sopir angkot, Mas.”

“Nah, masih lebih enak kamu di sini. Nyopir mobil AC, makan terjamin, ketemu orang-orang terkenal. Kamu mikirnya gimana, sih, Jang?”

“Ya, kalau di kampung kan bisa sekalian menjaga neneknya anak-anak, Mas.”

Troy melirik sinis. “Kamu mau naik gaji, ya? Ngomong saja. Nggak usah muter-muter. Pakai bargain segala. Seperti pejabat saja.”

Ujang tidak memahami keseluruhan makna kalimat Troy, kecuali tudingan bahwa dia meminta kenaikan gaji. “Tidak, Mas. Saya tidak bermaksud begitu. Saya benar-benar ingin pulang kampung, karena ingin mengasuh anak-anak dan menjaga ibu saya.”

“Kamu sakit hati karena sering aku marahi?”

Ujang kembali menggeleng. “Tidak, Mas. Mas Troy kan marah kalau saya berbuat salah.”

Troy tidak terlalu menyimak jawaban Ujang. Telepon selulernya bergetar. Dia merogoh saku jas kremnya dan segera menekan tombol ’yes’. Atlantis di seberang telepon.

“Akhirnya kamu membuat pilihan tepat, Miss Atlantis.”

“Itu karena Mad Man Show cukup objektif hari ini.” Suara jernih, segar, dan menyenangkan, memenuhi telinga Troy.

“Oh, kamu lihat Ronggowarsito hari ini?”

“Ya, dan aku sangat ingin mendaftarkan dia sebagai penjahat perang.”

Tawa Troy meledak. “Kamu pikir dia Saddam Husein?”

“Saddam masih lebih baik. Paling tidak, dia bisa menulis novel.”

Troy merendahkan suara tawanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Jadi, aku bisa memastikan kamu datang minggu depan, ’kan?”

“Tergantung performa Mad Man Show sampai akhir pekan.”

Troy memilih nada khas, seperti sedang berbicara pada anak kecil. “Hati-hati. Kalau tidak datang, kamu bisa berurusan dengan bapak jaksa.”

“Apa kamu tidak punya ancaman yang lebih bermutu, Troy?”

Tawa Troy kembali pecah. “Aku lupa bahwa kamu lulusan sekolah hukum.”

“Sebab, kamu hanya ingat aku bisa meramal, ’kan?”

“Bingo!”

“Kamu siap-siap saja. Aku punya ramalan khusus untuk kamu.”

“I can’t wait.”

Selesai. Troy menutup ponselnya dengan senyum kemenangan. Dia segera sibuk dengan rentetan pertanyaan yang akan dia hamburkan kepada Atlantis. Dia segera asyik dengan dirinya sendiri. Sudah lupa dia bahwa beberapa menit lalu dia cukup serius berbincang dengan Ujang. Sekarang pria desa beranak tiga itu telah kembali pada posisinya semula: sopir pribadi yang tidak pernah memiliki hal penting untuk dibahas.

Hari H wawancara dengan Atlantis
“Aku sedang tidak ingin mendengar berita buruk.

Galih menggelengkan kepala, sembari mengacungkan jempol. Troy yang tengah bergegas turun dari sedan merahnya cukup terhibur dengan kode ’semua berjalan seperti rencana’ ala Galih. Paling tidak, hal itu menghapus kekesalan Troy, ketika pagi itu Ujang benar-benar berhenti kerja dan pulang ke Garut.

“Ujang jadi berhenti kerja?

“Tidak usah dibesar-besarkan. Jam berapa Atlantis datang?

Troy membanting pintu mobil, lantas melanjutkan gaya bergegasnya, yang mengingatkan semua orang akan orang-orang di jalan-jalan Tokyo, yang seolah selalu dikejar waktu.

“Lima menit lalu. Sekarang sedang dirias.

“Stage, penonton, lighting, semua beres?

“Kamu tinggal naik panggung.

“Good.

Troy segera masuk ke ruang make up. Galih tetap menjejeri langkahnya. Seorang pria kemayu menyambut Troy.

“Aku pakai setelanku sendiri hari ini.

Pria kemayu tadi tidak sempat berbicara apa-apa. Dia cuma meng-angkat dua bahu, sembari tersenyum. Troy menghampiri meja rias dan langsung duduk di kursi hidrolik persis di muka meja berkaca besar. Galih menenteng kursi plastik, lalu meletakkannya persis di samping Troy.

Seorang wanita berpenampilan menarik datang. Matanya agak sipit, berkulit terang dan mengilap. Rambutnya lurus berponi.

“Coba beri sedikit sentuhan gothic, Mel.

“Yeah. Atlantis akan suka dengan penampilanmu.

“Aku tidak pernah hidup dari rasa suka orang lain.

Mel, sang penata rias, mengangkat alis dengan cara unik. Rupanya, dia sudah paham benar karakter Troy. Bahkan, sekadar bercanda pun, Troy tak ingin mengesankan bahwa dia membutuhkan orang lain. Mel segera sibuk dengan rambut Troy. Mengoleskan gel ke kedua telapak tangannya, lalu mulai memainkan jarinya, berusaha membuat penampilan Troy beda dan gaya.

“Atlantis bilang dia punya ramalan khusus buat kamu, Galih menyela keasyikan Troy merasakan cara kerja Mel.

“Rupanya, dia suka gembar-gembor juga, ya.

“Kurasa, kamu tidak perlu menanyakannya nanti. Aku berpikir dia sedang merencanakan sesuatu.

“Jangan berlebihan. Kalau benar orang-orang itu bisa meramal apa yang akan terjadi, korban tsunami tidak akan sampai dua ratus ribu. Orang-orang Yogya bisa mengungsi sebelum gempa terjadi. Korban lumpur Lapindo itu bisa menjual rumah-rumah mereka sebelum tenggelam.

“Tapi, ramalannya soal selebriti cerai selalu benar.

“Tidak usah diramal, setiap tahun pasti ada selebriti yang bercerai. Mengapa hal seperti itu dianggap sesuatu yang luar biasa?

“Bagaimana jika dia meramalkan sesuatu yang buruk terhadapmu, Troy?

Troy diam sebentar. Bibirnya menyungging senyum. “Kukira, sebagian wanita di Indonesia selalu menginginkan hal buruk terjadi padaku. Nyatanya, aku masih hidup sampai hari ini.

“Paling tidak kamu harus memperhitungkan kemungkinan dampak improvisasi ramalan itu, Troy.

Troy menarik napas, menahannya sebentar di dada, lalu mengem-paskannya dengan entakan perlahan. “Oke. Request kamu aku pertimbangkan. Troy melirik ke arah Galih. “Ada lagi?

Galih menggeleng, lalu bangkit dari duduk. Dia paham maksud kalimat, Ada lagi? yang ditanyakan Troy. Jika tidak ada lagi pertanyaan, dia harus segera menyingkir.

Mad Man Show, live on TV
“Atlantis. Aktris, penyanyi, bintang iklan, dan peramal, telah bersama kita. Apalagi yang lebih asyik kita kerjakan di akhir tahun selain menebak-nebak apa yang akan terjadi di tahun depan? Saya yakin bintang tamu kita hari ini akan memenuhi mimpi, harapan, dan ramalan terliar Anda.

Tepuk tangan susul-menyusul, seperti tongkat estafet yang bergerak dari satu kelompok penonton ke kelompok penonton lainnya.

“Atlantis, mayoritas penonton Mad Man Show adalah pria. Menurutmu, ramalan umum apa yang akan terjadi pada sebagian besar mereka. Sesuatu yang asyik akan mereka alami di 2007?

Atlantis tersenyum meyakinkan. Penampilannya pagi itu pun meyakinkan. Mewah dan elegan. Ia mengenakan gaun berpotongan empire. Dominasi warna mint green menjadi pasangan tepat untuk kulit mulus terangnya. Kombinasi tule dan sifon membuatnya nyaman, ringan, sekaligus glamor. “Acara ini lebih banyak ditonton pria, dan Anda ingin saya meramal masa depan para pria. Acara ini justru mengundang saya yang wanita, bukan peramal yang pria?

“Justru karena acara ini didominasi pria, maka mereka menginginkan narasumber wanita. Bisa gawat jika yang terjadi sebaliknya.

Suara tawa memenuhi studio. Atlantis pun ikut tertawa, karena merasa telah salah bicara.

“Kejadian spesifik apa yang Anda kira akan terjadi di 2007? Troy berusaha mengembalikan topik pembicaraan mereka ke rel semula.

“Rupanya, Anda tidak ingin saya meramalkan tentang pasang-an selebriti yang bercerai?

“Tentu saja. Anda tidak perlu menjadi seorang peramal untuk mengatakannya.

Tawa saling sahut kembali menggema.

“Oke. Saya lebih suka memulainya dengan sesuatu yang besar.

“Bencana alam?

“Ya. Indonesia masih akan mengalaminya.

“Anda sedang membicarakan negara besar yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke. Kemungkinan bencana selalu ada. Saya pikir, Anda harus mengatakan sesuatu yang lebih spesifik. Misalnya, Anda meramalkan Jakarta akan digoyang gempa di bulan Juni. Saya kira itu akan keren sekali.

Atlantis tersenyum tenang. “Saya kira keasyikan ramalan justru terletak pada kemisteriusannya.

“Sebab, dengan begitu orang-orang akan sibuk menghubung-hubungkan semua kejadian.

“Untuk itu Anda mengundang saya kemari, bukan?

Troy tersenyum, merasa tertantang. “Kalau begitu Anda bisa memulainya dengan sebuah ramalan ringan. Misalnya, apakah poligami masih akan menjadi isu panas di 2007?

“Saya pikir justru akan makin panas. Apalagi, jika Mad Man Show masih mengangkatnya.

Jawaban Atlantis disambut tepuk tangan bersahut-sahutan.

“Anda ingin mengatakan, tahun depan Mad Man Show masih bertahan di tempat teratas?

“Apa pun yang saya katakan, saya kira Anda tetap akan yakin Mad Man tak punya saingan.

Obrolan dijeda lagi oleh tepuk tangan penonton.

Troy tersenyum sampai deretan giginya tampak jelas. “Saya kira ini akan menjadi episode Mad Man favorit saya.
Tawa kembali membahana. Suasana benar-benar cerah, tak berawan, apalagi hujan.

“Atlantis. Saya dengar Anda punya ramalan khusus untuk saya. Berita gembira selayaknya dibagi kepada banyak orang, bukan?

Atlantis diam beberapa detik. Senyumnya melebar, memancing penasaran. “Riwayat Anda akan selesai tahun depan.

Seperti adegan film komedi romantis. Senyum lebar Troy masih mengambang di bibir. Akan tetapi, kalimat terakhir Atlantis membekukan senyum itu, hingga tak bergerak sama sekali. Suasana senyap seketika. Penonton terpaku di tempat duduk, berupaya mencerna maksud kalimat Atlantis. Menunggu, siapa tahu Atlantis kemudian mengoreksi kalimat misteriusnya, atau paling tidak menyusulkan tafsir kalimat, Riwayat Anda akan selesai tahun depan, dengan pengertian berbeda. Tidak harfiah.

Akan tetapi, perkembangan seperti itu tidak terjadi. Galih kaku di tempatnya berdiri. Tidak tahu apa yang harus dia instruksikan. Dia menyerahkan sepenuhnya perkembangan di atas panggung, yang juga berarti di seluruh ruang televisi setiap rumah yang menyetel siaran itu, kepada Troy.

Juru kamera telanjur men-zoom in wajah Troy dan Atlantis bergantian. Beberapa detik berjalan tanpa jejak.

“Oh, ramalan yang berani. Saya kira semua wanita yang membenci saya akan sangat berterima kasih kepada Anda.

Troy berhasil memegang kemudi obrolan itu. Senyumnya kembali mengembang. Namun, kali ini senyum itu tak seaneh biasanya. Dia menatap kamera dengan penuh keyakinan. “Kami akan segera kembali.

Usai siaran langsung Mad Man Show
“Aku tidak akan marah. Cuma bertanya, apa alasan kamu membuat ramalan segila itu. Kamu sudah memperkirakan apa yang dikatakan tabloid dan infotainment besok pagi?”

Atlantis menghentikan langkahnya. Dia membalikkan tubuh, menghadapi Troy dengan gaya anggun dan elegan. “Bukan aku yang ngotot datang ke acaramu, Troy.”

“Tapi, itu tidak berarti kamu boleh berlaku apa saja di acaraku.”

Atlantis mengangguk-angguk, sambil terse–nyum penuh kemenangan. Keduanya sudah berada di areal parkir mobil. Atlantis baru saja memencet tombol non-aktif alarm mobilnya, ketika Troy tergopoh-gopoh menyusulnya. “Kamu melarang narasumbermu berimprovisasi, sedangkan kamu membebaskan dirimu sendiri untuk mempermalukan mereka. Silakan nilai sendiri siapa yang punya masalah besar dengan etika.”

Atlantis kembali membalikkan badannya. Troy kembali menderap. Dia mencegah Atlantis menyentuh pegangan pintu mobilnya.

“Kamu sama sekali tidak berpikir akibat dari ramalan asalmu, ya?”

“Sama seperti kamu yang tidak pernah berpikir akibat dari aksimu mengadili setiap narasumbermu.”

“Aku serius, Atla.”

“Lagi pula, siapa yang sedang bermain-main? Aku serius dengan setiap ramalanku.”

Troy tersenyum sinis, lalu terkekeh mengejek. “Kamu mau bilang bahwa ramalanmu tentang kematianku sebulan lagi adalah sungguh-sungguh?”

“Riwayatmu akan berakhir bulan depan. Itu persisnya yang aku katakan.”

“Kamu sudah keterlaluan.”

Atlantis mengangkat dagunya. “Kalau kamu tidak percaya, buat apa kamu mengundangku?”

“Tentu saja untuk bersenang-senang. Orang-orang di negeri ini masih sangat menyukai ramalan-ramalan konyol, seperti yang kamu katakan.”

“Termasuk kamu?”

“Aku pedagang. Apa pun barang yang diinginkan pembeli, asalkan itu menguntungkan, aku akan menjualnya.”

Atlantis tersenyum sinis. “Sekarang aku boleh pergi?”

Tanpa menunggu jawaban Troy, Atlantis melambaikan tangannya, memberi tanda supaya Troy menyingkir dari hadapannya. Dia lantas membuka pintu mobilnya, untuk kemudian menempatkan diri di belakang kemudi dengan sikap seorang lady. Dia memutar kunci kontak dengan santai. “Troy!”

Troy awalnya sudah tak peduli dan hendak segera pergi. Namun, ketika mendengar suara Atlantis memanggil, dia sedikit memalingkan kepalanya.

Atlantis mengembangkan senyum, menawarkan persahabatan. “Tidak perlu bersikap ngotot kepada polisi. Hadapi dengan tenang, mereka pasti mengerti.”

Troy mengerutkan dahi, tak mengerti.

Atlantis memasang gigi satu, mobilnya perlahan bergerak. “Tidak usah terlalu emosional juga, kalau nanti kamu kesulitan masuk ke rumahmu sendiri.”

Troy mengangkat wajah, membalikkan badan penuh menghadap mobil Atlantis. Dua tangannya masuk ke kantong celana.

“Satu lagi, Troy. Minggu-minggu ini aku sangat sibuk. Kamu tidak akan bisa menemui atau menghubungiku. Sorry, ya.”

Troy berdiri kaku di tempatnya berdiri. Alisnya nyaris bertemu satu sama lain. Perasaan kesal, penasaran, merasa direndahkan, berbaur di kepala. Toh, tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari mulutnya. Dia membalikkan badan, lalu melangkah gontai menuju mobilnya.

Hujan mengguyur sekujur kota Bandung dengan keras. Tumpah dengan empasan angin yang menampar-nampar. Di daerah pinggiran bahkan sudah mulai banjir. Pada saat yang sama bagian pinggir lainnya justru kekurangan air bersih. Penghujung Desember yang basah kuyup. Kemarau sepanjang tahun membuat hujan begitu dirindukan. Namun, kota ini tidak pernah siap menerima limpahan air dari langit.

Selalu saja, jalan-jalan utama kota segera ditumpahi air kecokelat­an yang meluap dari got-got kotor. Macet menyesakkan hampir di setiap sudut jalan. Setiap ini terjadi, siapa pun pasti memilih untuk tinggal di rumah. Merapatkan selimut atau menyimak acara televisi sambil lalu, serta ditemani secangkir kopi dan camilan padat nutrisi.

Sayangnya, tidak semua orang memiliki pilihan di waktu dan tempat yang dia inginkan. Seperti juga Troy petang itu. Seusai siar­an langsung Mad Man Show, meeting ini dan meeting itu, dan nongkrong di kafe langganan sesaat, dia meluncur pulang.

Inginnya buru-buru bertemu Jalan Wastu Kancana, agar dia segera menembus Bandung Selatan. Akan tetapi, sesuatu yang tidak pernah ia kehendaki, bahkan jika itu terjadi di alam mimpi, tiba-tiba muncul di kaca spion. Polisi! Mobil yang dikendarai Troy dibuntuti pria berseragam polisi lalu lintas lengkap. Helm bulat, kacamata hitam, dan jas hujan.

Hujan-hujan begini? Troy merutuk dalam hati. Dalam suasana apa pun, berurusan dengan polisi sama sekali bukan hal menyenangkan. Namun, ketika itu terjadi, saat hujan deras semacam ini, rasa tidak nyaman itu rasanya kian berlipat-lipat.

Troy menangkap tanda dari sang polisi. Dia harus segera meminggirkan mobilnya untuk pemeriksaan kecil. Pemeriksaan apa? Dengan bersungut-sungut dalam hati, Troy mengikuti keinginan polisi tadi. Terbayang di kepalanya segala kerepotan yang mungkin terjadi. Toh, dia tak memilih untuk melarikan diri. Saat dia mematikan mesin mobil dan bersiap menemui polisi tersebut, Troy serta-merta merasakan keributan kecil di hatinya.

Dua tangannya segera sibuk membuka-buka tumpukan barang di sekitarnya. Majalah, file, dan apa saja dia acak-acak. Dia mencari sesuatu. Mati aku! Troy menolehkan kepalanya ke jok belakang. Kembali mencari-cari. Tangannya menggapai-gapai. Wajahnya tidak kunjung memperlihatkan rasa puas.

Saat itulah, kaca mobil bagian depan diketuk dari luar. Polisi itu. Troy buru-buru memencet tombol

”Selamat sore, Pak. Bisa lihat SIM? STNK?”

Pertanyaan polisi paling klasik sedunia. Kenyataannya, Troy panik, karena tak memiliki jawaban yang bagus untuk dua pertanyaan itu.

“Eh… ada, Pak. Ada.”

Troy kembali sibuk mengacak-acak kanan-kirinya. Dia tetap tidak menemukan apa yang dia cari. Dia lantas menoleh ke polisi itu. “Eh… Bapak kenal saya, ’kan?”

Polisi berhelm yang berdiri di bawah hujan itu mengerutkan dahi. Ada curiga di matanya.

Troy berusaha tetap tenang. “Saya tidak punya masalah, kenapa Bapak menyetop saya?”

“Anda mengebut di jalan. Membahayakan diri Anda sendiri dan orang lain. Bagaimana Anda mengatakan tidak punya masalah?”

“Ngebut?” Troy menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kecepatan saya bahkan di bawah 70 kilometer per jam, Pak.”

“Mau mengakali petugas? Saya butuh STNK dan SIM Anda.”

“Permasalahannya, STNK dan SIM biasa saya simpan dalam dompet khusus. Sekarang dompet itu tidak ada.”

Polisi berhelm mengangkat dagunya. Seolah-olah dia baru saja menangkap basah seorang maling ayam.

Troy kembali berusaha. “Bapak kenal saya, ‘kan? Kalau Bapak menonton televisi, pasti kenal saya.”

Polisi berhelm menggeleng-gelengkan kepala.

“Mad Man Show. Troya Pronocitro.”

“Saya jarang menonton TV. Lagi pula, saat ini saya tidak peduli dengan TV. Saya minta SIM dan STNK Anda.”

Troy mulai emosi. Emosi orang kalah. Entah bagaimana dia tiba-tiba mengingat Atlantis. Mengingat kata-katanya. Dia… dia sempat bicara tentang polisi.

“Tidak perlu bersikap ngotot kepada polisi. Hadapi dengan tenang, mereka pasti mengerti.” Ada yang berdesir di darah Troy. Dia langsung sibuk mengusir pikiran yang dia anggap bodoh itu. Dia meyakinkan dirinya bahwa Atlantis hanya membual. Dia tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan terjadi. Semua peramal itu pembual. Ini kebetulan saja.

“Pak, begini saja. Biar saya telepon teman saya di kantor. Nanti dia akan ke sini untuk mengantar SIM dan STNK saya. Bapak tidak perlu khawatir. Saya bukan pencuri. Ini benar-benar mobil saya.”

Polisi berhelm di luar mobil tetap memasang ekspresi mengancam. Kumis tebalnya melintang seram. Dia lantas mengangguk-angguk mantap. “Telepon teman Anda. Katakan padanya, Anda menunggu di Mapolresta Bandung Selatan.”

“Aduh, Pak. Kenapa harus repot-repot ke kantor polisi? Sudahlah, di sini saja. Saya harus buru-buru pulang.”

“Siapa yang tidak terburu-buru di dunia ini. Semua orang terburu-buru. Tapi, ini peraturan. Anda tak bisa melawan peraturan.”

Troy terdiam. Sekonyong-konyong ekspresi wajahnya berubah menjadi aneh. Dia meraih dompet dari saku belakang celananya. Membukanya dan menemukan berlembar-lembar pecahan ratusan ribu rupiah. Dia ambil seluruhnya, lantas disodorkannya ke pintu mobil. “Ambil saja, Pak. Lebih baik kita saling memudahkan.”

“Anda tahu, berapa lama Anda akan mendekam di penjara untuk usaha penyuapan petugas?”

Troy terkesiap. Wajahnya mendadak pias. Lembaran uang berwarna merah itu sempat menggantung beberapa detik di udara. Namun, Troy segera menariknya lagi. Jantungnya berdegup luar biasa kencang. Di otaknya segera berkecamuk berbagai kemung­kinan tidak menyenangkan.

Kalau ada yang dia gelisahkan sama sekali bukan soal sidang di pengadilan, kantor polisi, atau apa saja yang berhubungan dengan hukum. Menurutnya, serumit apa pun persoalan hukum yang meringkusnya, selama uang masih mampu menjangkau, masalahnya tidak akan serumit itu.

Troy lebih mengkhawatirkan reaksi pers. Dia sudah membayangkan judul-judul di halaman depan tabloid gosip. Dia juga tak bisa menyetop pikiran buruknya, membayangkan ekspresi pembawa acara infotainment yang memberitakan kejadian ini. “Troy, si mulut pedas, musuh semua wanita di Indonesia, berusaha menyuap polisi setelah melakukan pelanggaran lalu lintas. Ini bisa menjadi kiamat kecil.

Troy buru-buru merogoh kantong jasnya, mengambil ponsel. Setelah menemukan satu nama di display ponsel, dia segera menempelkan alat komunikasi itu ke telinganya.

“Galih… Galih… Galih… angkat! Jelas terdengar nada geram pada kalimat Troy. Nada sambung pribadi di seberang telepon memutar lagu SMS-nya Trio Macan. Dalam kondisi biasa saja, lagu itu sanggup mengaduk perut Troy. Sekarang, ’kekuatan aduk’ lagu itu sampai ke ambang batas. Berkali-kali dia meminta Galih mengganti lagu nada sambungnya. Namun, setiap kali mata Troy melotot, Galih hanya tersenyum tak serius.

Sekarang, Troy merasakan betul rasa kesalnya berlipat ganda. Sudah tidak jelas arahnya. Terhadap Galih atau terhadap lagu jip-lakan India itu. Sesekali dia melirik polisi berhelm di luar mobil. Petugas itu masih saja berdiri dengan ekspresi mengancam. Jemari kiri Troy mengetuk-ngetuk setir. Terlihat betul dia gelisah bukan main. Adegan itu terus berlangsung, sementara hujan di luar tidak menunjukkan tanda-tanda hendak berhenti.

“Buka gerbangnya, Iroh!

Troy berteriak-teriak menjiplak orang kesurupan. Dia masih duduk di jok depan, di samping Galih yang mengemudikan mobilnya. Mobil Troy tertahan di kantor polisi, karena segala macam surat-suratnya belum juga ketemu. Galih yang terus-menerus ditelepon Troy, rupanya sudah sampai di rumahnya, ketika kolega yang juga kawan karibnya itu digelandang ke kantor polisi.

Menjelang magrib, Galih sampai di Mapolresta Bandung Selatan setelah sebelumnya mampir lebih dahulu ke studio Extreme TV untuk mencari dompet kulit berisi SIM, STNK, dan beberapa surat penting milik Troy. Hasilnya nihil.

Seharusnya, selain mobil merah itu, Troy pun menginap di sel Mapolresta, jika Galih tidak memberikan kesaksian bahwa mobil mengilap itu memang benar-benar milik Troy. Sekarang, sementara benaknya sudah membayangkan kondisi relaks saat menenggelamkan badannya ke bathtub air hangat, Troy justru tertahan di luar gerbang rumahnya.

Berkali-kali dia menjorokkan badannya, menggapai tombol klakson di kemudi yang dipegang Galih, dan menekannya dengan heboh. Tetap saja tidak ada hasil. Gusar, Troy melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil, lalu memburu bel di balik pintu gerbang yang menjulang melewati kepalanya.

Troy merogohkan tangannya hingga menyentuh tombol bel, lalu menekannya setengah histeris. Dia sudah demikian kesal. Namun, seheboh apa pun dia memencet bel, tetap saja tidak ada reaksi dari dalam rumah.

“Nggak ada orang, mungkin, Troy.

“Aku bisa gila hari ini.

Troy tidak menanggapi kalimat Galih. Dia justru makin heboh memenceti bel yang menempel di dinding di balik pagar gerbang.

“Kosong mungkin, Troy. Kamu ke rumahku saja dulu.

“Aku tidak menggaji mereka untuk berbuat seenaknya seperti ini!

Galih memilih diam di belakang kemudi. Troy masih berteriak-teriak, sembari berkali-kali memenceti bel. Hari telah gelap betul. Lewat pukul 21.00. Entah bagaimana, Troy serta-merta menghentikan gerakannya. Dia teringat Atlantis. Teringat wajah dan kata-katanya. “Tidak usah terlalu emosi juga, kalau nanti kamu kesulitan masuk ke rumahmu sendiri.

Troy terpaku di tempatnya berdiri. Satu ramalan lagi.

Tiba-tiba Troy histeris, menggebrak-gebrak pintu gerbang, sambil terus berteriak-teriak kasar. Iroh, Atmo, sudah gila kalian!

Beberapa orang, tetangga kanan dan kiri rumah Troy, keluar ke jalan. Mereka penasaran oleh suara heboh di depan gerbang rumah Troy. Galih yang melihat gelagat tidak mengenakkan, segera keluar mobil. Dia menghampiri Troy, memegang bahunya perlahan. Sesekali dia menoleh ke kanan dan kiri. Troy, nggak enak dengan tetangga-tetangga kamu. Sudah, ke rumahku saja dulu. Besok pagi kamu balik ke sini. Besok nggak ada rekaman, ’kan? Kamu santai-santai saja.

Mereka tidak bisa berbuat seenaknya begini.

Aku tahu. Aku juga tidak peduli, kalau kamu besok pagi memecat mereka. Tapi, sekarang kamu harus tenang. Kamu kecapekan dan butuh istirahat. Okay?

Mereka sudah aku pecat.

Oke. Sudah? Sekarang kamu ikut aku ke rumah.

Masih dengan badan menggigil oleh kemarahan, Troy menurut saja ketika Galih membimbingnya ke mobil. Beberapa saat kemudian, mobil metalik milik Galih bergerak meninggalkan halaman rumah Troy.

Di rumah Galih, satu jam kemudian
Kamu sudah aku pecat. Besok pagi, waktu aku sampai rumah, aku tidak mau melihat kamu dan rambut putihmu itu ada di rumahku.

Troy duduk di sofa ruang keluarga bersama Galih. Dia masih mengenakan piama setelah berendam di bathtub berair hangat. Wajahnya terlihat lebih segar dibanding beberapa saat sebelumnya. Namun, itu bukan alasan baginya untuk berkata-kata menyejukkan. Dia menempelkan ponselnya sedekat mungkin dengan telinga. Atmo di seberang telepon.“Tadi saya berkali-kali menghubungi Mas Toy, tapi mailbox terus.

“Aku tidak butuh alasan.

Galih yang duduk selonjor di sofa panjang, sembari membaca majalah, melirik ke arah Troy tanpa berkomentar apa pun. Sebelum-nya dia memencet tombol mute pada remote control. Gambar televisi layar datar besar di hadapannya pun bergerak tanpa suara.

“Mas, bapaknya Iroh meninggal. Dia tadi mau minta izin ke Mas Troy pulang ke Serang, tapi tidak bisa nyambung. Saya mengantar dia ke terminal. Kasihan, Mas. Dia ndak hafal jalan.

Troy diam sejenak. Kata ’meninggal’ seperti kampak yang memenggal emosinya. “Pak Atmo serius?

“Ya, ampun, Mas. Masak Iroh berbohong?

Troy mengembuskan napas berat. Emosinya meluruh. Pelan, pasti. “Ya, sudah. Pak Atmo jaga rumah dulu. Saya pulang besok pagi.

“Ya, Mas.

Diam sejenak.

“Pak Atmo.

“Ya, Mas?

“Tadi HP saya matiin. Saya ada sedikit masalah. Makanya, HP saya matiin.

“Saya paham, Mas.

“Oke. Sampai ketemu.

Troy belum menutup teleponnya. Seperti masih ada kata yang menggantung di benaknya. Mungkin kata maaf atau apa saja yang mewakili sebuah perasaan penyesalan. Namun, tidak satu kalimat pun keluar dari bibirnya. Bahkan, sampai Atmo menutup telepon rumah, dia masih tak melakukan apa pun.

Galih menoleh dengan ekspresi heran. “Kenapa?

“Aku sudah mulai gila, kali, ya?

“Maksudmu?

Troy meletakkan ponselnya di atas meja. Jemari tangan kanannya meremas rambut setengah basahnya. “Aku mulai berpikir, ramal-an-ramalan Atlantis bukan bualan.

“Troy?

“Ya…ya…ya. Aku tahu ini tidak masuk akal. Tapi, bagaimana mungkin dia tahu aku akan berurusan dengan polisi, lalu aku akan kesulitan masuk ke rumahku sendiri?

“Dia ngomong begitu?

“Di areal parkir. Tadi siang.

Galih bergerak sigap meraih ponselnya yang juga tergeletak di atas meja. “Aku telepon dia sekarang.

“Hei…hei… tidak perlu. Itu akan membuat dia makin besar kepala. Aku lebih percaya akalku mulai terganggu daripada benar-benar percaya pada ramalannya.

Galih mengempaskan punggungnya ke sofa. “Sudah aku bilang, kamu jangan main-main dengan improvisasi dia, Troy.

“Hei. Jangan dianggap serius. Aku baik-baik saja.

Galih tampak tidak puas dengan jawaban Troy. Sementara, di luar sepengetahuan Galih, Troy jauh lebih tidak puas. Dia mulai gelisah. Obrolan terakhir dengan Atlantis sekonyong-konyong muncul di benaknya.

“Kamu mau bilang bahwa ramalanmu tentang kematianku sebulan lagi adalah sungguh-sungguh?

“Riwayatmu akan berakhir bulan depan. Itu persisnya yang aku katakan.

Troy merasakan darahnya berdesir aneh.



Pekan pertama bulan Januari
Troy memegang lembaran tabloid itu, tanpa menyadari bahwa seluruh sendinya ikut bergetar. Matanya bergerak-gerak gelisah. Dia duduk di belakang meja kerjanya. Judul besar Pembuktian Ramalan-Ramalan Atlantis di halaman depan saja sudah membuat jantung Troy berdegup jauh lebih kencang daripada biasa.

Sekarang laporan utama tabloid Triple Check itu satu per satu mengupas ramalan-ramalan Atlantis dalam siaran langsung Mad Man Show edisi akhir tahun.

Mad Man Show akan memulai siaran tunda.

Sikap sinis Troy akan berkurang drastis.

Banyak selebriti wanita yang menolak tampil di Mad Man Show.

Tiga judul ini saja sudah membuat Troy merasa kehilangan gravitasi bumi. Seakan-akan berat badannya lenyap dan dia sekarang melayang-layang di udara. Bagaimana mungkin ramalan-ramalannya bisa begini tepat? Ah, ini kebetulan saja. Tapi, apakah mungkin terjadi begini banyak kebetulan?

Troy buru-buru meraih ponsel di depannya.

“Galih!”

“Ya.”

“Kamu punya nomor kontak Atlantis selain yang aku punya?”

“Dia tidak bisa dihubungi?”

“Aku mati-matian menghubunginya sejak kemarin. Nihil.”

“Kamu ingin mengundangnya lagi, Troy?”

Troy terdiam beberapa detik. Kata-kata Atlantis kembali berputar di kepalanya. Riwayatmu akan berakhir bulan depan. Itu persisnya yang aku katakan.

”Troy!”

”So... sorry. Bukan.... aku tidak berencana mengundangnya.”

”Lalu?”

”Ah, kamu bisa ke ruanganku sekarang?”

”Kamu yakin, Troy?”

”Setengah mati aku ingin tidak percaya. Tapi, semua yang dia katakan benar-benar terjadi. Bahkan, dia juga sudah tahu bahwa waktu-waktu sekarang aku akan mencari dia. Karena itu, dia mengatakan bahwa aku akan sulit menemuinya.”

”Mungkin saja dia sengaja menghindar.”

”Lalu, bagaimana dia bisa tahu, beberapa jam setelah siaran itu aku akan berurusan dengan polisi, akan bermasalah ketika hendak masuk ke rumahku sendiri. Bagamaina dia bisa tahu Mad Man kemudian menjadi siaran tunda, tidak live lagi? Terlalu banyak kebetulan, Galih.”

Galih diam, berpikir keras. Dia berusaha untuk tetap santai. Baru kali ini dia melihat Troy berperilaku sepanik ini. Seakan-akan dia hendak kehilangan segala hal yang dia miliki saat itu juga.

”Oke, kalaupun ramalan-ramalannya benar, lalu kenapa?”

Troy menoleh dengan gaya tersentak. Matanya melebar dengan kelopak bergetar. ”Lalu kenapa? Dia meramalkan hidupku tinggal sebulan lagi, Galih. Itu sepekan lalu. Berarti, waktuku tinggal dua atau tiga minggu lagi.”

”No... no...! Kamu tidak sedang bercanda, kan, Troy? Kita bicara soal mati, sesuatu yang tak seorang pun manusia di bumi mengetahui.”

Troy menjambaki rambutnya. Seolah-olah dengan cara itu beban pikirannya akan berkurang. ”Aku sudah gila.”

”Tidak. Kamu hanya kecapekan.”

”Atlantis. Di mana dia?”

”Menurutku, kamu pulang saja, Troy. Rekaman kita undur besok. Aku antar kalau kamu mau.”

Troy tidak menjawab. Pandangannya menerawang kosong. Sebagian besar karakter khasnya tercabut dari sana.

Garut, sepekan kemudian
Troy duduk gelisah. Dia kehilangan sebagian besar kemampuannya bicara. Atmo duduk diam di sampingnya. Mereka berdua baru saja sampai di rumah keluarga Ujang di pinggiran Garut. Hari itu, Troy mengajak Atmo dan Iroh menemui Ujang tanpa alasan pasti.

Sambil menunggu Ujang yang sedang narik angkot, Troy merasakan pergantian detik begitu percuma. Seolah-olah, setiap embusan napas begitu boros dia keluarkan. Dia tidak mau kehilangan sekejap pun. Gila, hidupku tinggal dua pekan lagi. Troy menatap sekeliling. Apa yang disebut sebagai ruang tamu di rumah itu hanyalah jajaran kursi kayu kualitas rendah yang dipasang di teras. Itu jika tanah tak seberapa di luar bangunan utama itu memang layak disebut teras.

Seluruh lantai rumah kecil itu masih berupa tanah. Tidak ada pelester semen, apalagi keramik. Dinding-dindingnya setengah semen, setengah anyaman bambu. Troy merasa sedang berada di alam antah berantah. Sesuatu di luar jangkauan imajinasinya. Semua serba kumuh dan sekadarnya.

Renungan kecil Troy terputus, ketika Iroh keluar rumah bersama seorang wanita tua berumur 60 atau sedikit lebih muda dari itu.

”Ini ibu mertua saya, Mas Troy. Ibunya Kang Ujang.”

Troy tersenyum aneh. Berusaha untuk ramah, namun hasilnya malah aneh. Dia berdiri untuk menyalami perempuan tua itu.

”Punten, Den. Ya, namanya juga gubuk. Teu aya naon-naon. Tidak ada apa-apa.”

”Ah, tidak apa-apa.”

Basa-basi yang kaku. Toh, itu cukup menjadi pembuka obrolan yang baik. Empat orang itu duduk dengan gaya masing-masing.

”Setelah bapaknya Ujang pergi, ya, begini. Semua serba prihatin.”

Tanpa diminta, ibu Ujang membuka obrolan dengan informasi yang menurut ilmu etika yang diketahui Troy, sama sekali tak tepat tempat. Toh, Troy tetap mengangguk-angguk, sekadar merespons semangat wanita tua itu.

”Si Ujang, teh, baru satu tahun, waktu bapaknya pergi ke kota.”

Troy mengerutkan dahi. Oh, pergi? Bukan meninggal?

”Setelah itu tidak ada kabar. Ya, sampai hari ini, anak-anak besar tanpa bapak. Besar seadanya.” Senyum pasrah melintangi bibir wanita tua itu.

”Pernah berusaha mencarinya, Bu?” Tiba-tiba Troy punya satu kalimat untuk menyambung pembicaraan.

”Mencari ke mana, Den? Saya, mah, orang kampung. Tidak tahu apa-apa. Mungkin dia sudah kawin lagi,” jawab wanita itu, sembari terkekeh. Bukan gembira. Itu tawa sedih. Matanya mengatakan begitu. Sedih, tapi tidak menangis.

”Berapa saudara Ujang, Bu?”

”Banyak, Den. Ada delapan. Ujang itu anak bungsu.”

”Delapan. Semua Ibu urus sendiri?”

Wanita tua itu kembali tersenyum, sembari mengangguk, ”Namanya juga ibu, Den. Biar hidup prihatin, saya tidak mau kalau anak-anak pergi dari sini.”

Troy merasa ada yang menghantam dadanya. Tidak seperti ini profil wanita yang dia ketahui. Sekonyong-konyong berputar kembali adegan bertahun-tahun lalu, sewaktu dia meninggalkan Surabaya. Entah kapan terakhir dia menghubungi keluarganya, ibunya. Dia pergi dengan kemarahan, dan tidak pernah pulang setelah itu. Hanya ada satu wanita dalam keluarganya: Mama. Satu-satunya wanita yang kemudian juga hilang, ketika perceraian orang tuanya terjadi. Itu alasan, mengapa di benak Troy, tidak ada wanita berharga di dunia.

”Aku mau minta maaf, Jang.”

Formasi mereka yang duduk di ruang tamu rumah keluarga Ujang kini berubah. Hanya Troy dan Ujang. Atmo meminta izin untuk berkeliling, melihat-lihat kampung halaman Ujang. Iroh meng­u­rus makan siang anak-anak bersama ibu mertuanya. Tentu saja tujuan utama mereka adalah memberi waktu kepada Troy untuk berbincang dengan Ujang.

Ujang terenyak mendengar kalimat Troy. Dia menatap tak percaya, ”Maaf untuk apa, Mas?”

Troy berdehem. Oke, tak apalah aku merendahkan diri. Toh, hidupku tak akan lama lagi. ”Ya, selama ini, aku banyak nyusahin kamu. Marah-marahin kamu.”

”Mas Troy, kok, bicara begitu. Saya tidak apa-apa, Mas. Benar-benar tidak apa-apa. Namanya juga kerja. Ditegur bos, mah, biasa.”

”Kamu maafin aku?”

Ujang bengong. Dia seperti balita yang sulit mencerna makanan liat. Kata-kata Troy, ia rasa seperti itu. Liat, tidak mudah dicerna.

Diam. Ujang tidak berani membuka percakapan, sementara Troy benar-benar kehabisan tema. “Eh..., Jang, kamu... kamu nggak pernah nyari bapakmu?”

“Buat apa, Mas? Dia juga nggak ingin tahu tentang kami, kok.”

Troy memasang ekspresi serius. ”Kamu benci dia?”

Ujang berekspresi lugu. ”Benci? Tidak juga, sih. Biasa saja.”

”Ibu kamu membesarkan kalian berdelapan, sementara bapak kamu entah ke mana, apa itu tidak menyakitkan?”

”Emak, mah, perempuan desa, Mas. Hidup dijalani saja, tidak banyak mengeluh.”

”Ibu kamu nggak benci, dendam, atau apa gitu pada bapakmu?”

Ujang menggeleng. ”Emak itu tidak pernah benci orang, Mas.”

Troy menatap Ujang dengan tatapan misterius. Seperti kamu, ya, Jang. Kamu juga tidak membenci aku, meski setiap hari aku maki-maki.

Hening lagi.

”Jang, kamu mau balik ke Bandung? Bawa, deh, anak-anak kamu, ibu kamu. Semua orang yang kamu mau. Ajak tinggal di rumahku.“

Ujang melongo. Menatap Troy dengan ketidakmengertian pekat. Sementara itu, Troy tidak mengubah ekspresi seriusnya.

Pak Atmo. Kenapa, ya, orang-orang seperti Ujang dan ibunya punya cara pikir begitu?

Troy berusaha duduk relaks di jok depan, mendampingi Atmo. Garut sudah jauh tertinggal. Mereka kini masuk daerah Nanggrek, pintu gerbang Kabupaten Bandung. Dengan halus Ujang dan ibunya menolak keinginan Troy agar mereka pindah ke Bandung.

”Saya, mah, orang kampung, Den. Tidak pantas tinggal di kota,” begitu kata ibu Ujang.

Sebuah penolakan yang terasa aneh diterima akal Troy. Sementara ribuan orang kampung setiap tahun berduyun-duyun membangun mimpi di kota, wanita tua itu justru menolak kesempatan yang begini mudah. Ujang pun tidak beda dari ibunya. Dia merasa lebih nyaman di desa. Terutama agar bisa menjaga ibu dan anak-anaknya.

Jadilah Troy kembali ke Bandung hanya ditemani Atmo. Iroh meminta izin untuk tinggal di kampung suaminya selama beberapa hari. Yah, semoga saja waktu kamu balik ke Bandung aku masih hidup, Iroh, batin Troy, saat Iroh mengutarakan maksudnya itu.

Sore itu, lalu lintas tidak terlalu padat. Tidak harus merayap dan menghitung menit dengan caci-maki. Troy menikmati betul perjalanannya. Lebih dari kapan pun. Dia mencermati setiap hal yang terlewati, seolah-olah dia tak akan pernah menyaksikannya lagi.

”Orang, kan, lain-lain, Mas. Mungkin, meski serba kekurangan, Ujang merasa bahagia jika ada di dekat ibu dan anak-anaknya. Berkumpul dengan keluarganya.”

Keluarga? Troy merasa ada yang berdenyar di kepalanya. Gambaran tahun-tahun terakhir berkelebat ringan. Dia telanjur menjadi layang-layang putus. Bergerak sendiri tanpa kendali. Kalau ada yang dia sisakan dari memori keluarganya hanyalah nomor telepon rumah. Apa mereka belum pindah?

Troy meraih ponsel dari sakunya, lalu menekan kombinasi nomor Surabaya. ”Halo.”

Suara berat ada di seberang. Troy yakin, itu suara bapaknya.

“Halo. Mau bicara dengan siapa?’

Troy terenyak. “Papa....”

“Troy. Ini kamu?”

“Iya, Pa.”

”Apa kabar kamu, Troy. Sehat?”

Ada yang bergerak di helaian otot tubuh Troy. Serasa di mana-mana. Sebuah geletar yang bersamaan meletup dan akhirnya memusat di dada dan bola mata.

“Baik, Pa.“

Studio Extreme TV, sebelum rekaman
’’Menurutmu, gimana penampilanku?“

Galih melongo ditanya Troy begitu. Dua tahun dia menjadi produser Mad Man Show, baru kali ini Troy meminta pendapatnya.

“Oke,” jawab Galih, masih dengan ekspresi keheranan. Sama herannya dia dengan pilihan setelan Troy pagi ini. Serba putih. Kemeja putih, setelan jas putih, sepatu putih.

”Usahakan sempurna, ya.”

Galih masih tak paham, ”Apanya?”

“Semuanya. Kapan rekaman hari ini tayang?”

”Pekan depan,” jawab Galih santai, sambil mengecek perlengkapan kamera.

”Oh, berarti aku harus lihat dulu.”

”Biasanya kamu pilih lihat di TV, Troy?”

Troy mengangkat bahu. ”Tidak, kalau pekan depan aku sudah tidak ada.”

”Kamu mau cuti?”

Troy tersenyum, sambil menggeleng. ”Diberhentikan.”

Galih membiarkan kamera yang sedari tadi ia otak-atik. Produser satu ini memang tidak pernah nyaman sekadar berteriak-teriak, tanpa memastikan bahwa semua baik-baik saja. ”Kamu yakin akan baik-baik saja?”

Troy tersenyum lagi. ”Entahlah.”

Akhir Januari, hujan masih gemar mengguyur

Troy menggeletakkan tubuhnya di kursi malas, sembari menonton dirinya sendiri di televisi. Itu tayangan hasil rekaman pekan sebelumnya. Troy tersenyum melihat penampilannya yang tampak jauh lebih kalem. Narasumber Mad Man Show edisi kali ini adalah seorang mantan rocker yang bertansformasi menjadi ulama. Tokoh agama. Narasumber yang sebelumnya sama sekali tidak masuk kategori Mad Man Show.

Di meja dekat Troy bersantai, tergeletak selembar kertas yang berisi daftar nama dan nomor telepon. Banyak sekali. Puluhan, atau mungkin ratusan. Setiap nomor sudah dicoret dengan tinta merah.

Semua orang sudah kutelepon. Sekarang aku bisa mati dengan tenang.

Hari ini genap sebulan setelah ramalan Atlantis. Bagi Troy, ini waktunya mati. Dia merasa sehat-sehat saja, tapi dia yakin hari ini akan mati. Sekarang, dia menunggu kematian itu dengan secangkir kopi dingin dan acara Mad Man Show yang segera pungkas.

Ketika acara itu benar-benar selesai, Troy segera menekan-nekan tombol remote control, memindah saluran. Seperti biasa, layar televisi dipenuhi acara gosip.

”Pemirsa, bagi Anda yang selalu menyaksikan tayangan Mad Man Show, bersiap-siaplah untuk kehilangan talkshow yang pernah dijuluki sebagai yang terekstrem di Indonesia itu.”

Mata Troy melebar. Kaget. Mereka tahu?

”Sepekan terakhir, rating Mad Man merosot, bahkan terlempar dari daftar 20 tayangan paling digemari di Indonesia. Rupanya, ini akhir riwayat Mad Man Show di kancah pertelevisian Indonesia.”

Troy dihantam perasaan superasing. Kepalanya berat, napasnya sesak, matanya seperti ditaburi kaca. Dia buru-buru memencet tombol off pada remote control.

Rumah makan Sunda, Jalan Supratman
”Kamu aktris yang hebat.”

Galih mengembangkan senyum sampai gigi gingsul di bagian kiri mulutnya terlihat. Dia duduk santai di kursi kayu jati, menghadapi hidangan Sunda yang disajikan dengan cara berkelas. Nasi timbel, lengkap ditemani soft drink di gelas berbentuk bunga tulip.

”Tidak akan berhasil kalau bukan kamu sutradaranya.” Seorang wanita muda duduk anggun di depan Galih. Dia mengenakan gaun bercorak bunga-bunga. Bahu lebarnya samar oleh cropped jacket. Dia... Atlantis.

“Kamu yakin, kita tidak keterlaluan?”

Senyum Atlantis mengembang tambah lebar. ”Kamu bilang ini satu-satunya cara untuk mengubah Troy?”

Galih mengangguk mantap. ”Aku bisa dia bunuh, bila ia tahu ini semua berawal dari ideku.”

Atlantis tertawa kecil. ”Katakan padaku, bagaimana kamu meyakinkan pembantu Troy untuk berbohong?”

”Iroh, maksudmu? Dia tidak berbohong. Memang ayahnya meninggal. Cuma, sudah lima tahun lalu.”

Tawa Atlantis makin nyaring, ”Akting polisi temanmu itu juga meyakinkan.”

”Ya. Dia juga sangat berjasa.”

Keduanya berbincang, sambil sibuk mengunyah menu makan siang mereka. Atlantis mengangkat wajahnya. ”Kamu yakin, karier Troy tidak akan hancur?”

”Troy si mulut pedas mungkin sudah hancur. Tapi, aku sudah menyiapkan image baru untuk dia.”

”Oh, ya? Biar kutebak... Troy si sombong yang bangkrut?”

Galih tersenyum. ”Dia orang yang sangat berbakat. Dia akan segera disenangi banyak orang.”

Atlantis melirik dengan cara memikat. Dia lantas meraih gelas tulipnya, lalu menyodorkannya ke Galih. ”Buat Troy. Cheers!”

Galih melakukan hal sama. ”Cheers!”

No comments: