12.22.2010

Masa yang Hilang

Aku harus mengejar kereta ekonomi pukul 05.44, yang sering terlambat. Kereta yang sama, gerbong yang sama, penumpang yang selalu sama, serta obrolan dan lirikan mereka yang juga sama. Dari semua yang kuperhatikan, di stasiun mana pun, aku tak pernah menemukan satu pun pria muda seusiaku yang cukup menarik. Kalaupun ada, pastinya ada seorang wanita muda di samping pria itu, yang menatap tajam ke arahku.

Aku tertawa dalam hati. Ternyata, wajahku bisa diperhitungkan untuk membuat seorang wanita kebakaran jenggot atau cukup gugup sampai harus makin mendekap erat lengan sang kekasih, yang sejak tadi sesekali melirikku.
Kadangkala aku merasa kesal, bercampur iba, melihat beberapa pengemis atau para pedagang yang hilir-mudik di gerbong yang tak terlalu luas. Segala kebo­sananku ini hanya membawaku untuk terus menatap buku setebal 400 halaman, yang sengaja kubawa untuk meng­habiskan waktu 1 jam 10 menit, waktu perjalan­anku dari Bogor menuju tempat kerja di Jakarta.

Kalau semua buku itu telah habis kubaca dan aku belum membeli buku lagi, aku biasanya membeli ko­ran seharga Rp1.500. Semuanya kulakukan karena aku memang suka dan ingin membaca, juga untuk meng­usir kepenatan karena harus meladeni pertanyaan-pertanyaan basa-basi dari pria-pria anonim di kereta atau di stasiun.
Lagi pula, secara tak langsung, kegemaranku membaca membantu melenyapkan kekosongan dalam diriku. Mungkin, kekosongan itu terjadi karena kesendirian. Kesendirian karena selalu ‘berdiri’ seorang diri, tanpa satu orang pria pun pernah menjadi pelindung atau sekadar memberi inspirasi. Berpikir, menemui masalah, mendefinisikan masalah itu, kemudian mencari jalan keluar dari sebuah lorong gelap. Tanpa teman untuk berdiskusi, tanpa kekasih yang bisa dijadikan sandaran ketika aku merasa lelah.

Aku mengerti jika teman-temanku terlalu sibuk untuk menemui aku. Karena, mereka disibukkan oleh kehidupan cinta dan karier. Namun, di mana kekasihku? Kapan Tuhan akan mendatangkan seorang pria yang kelak akan menjadi teman hidupku? Atau, paling tidak, hanya untuk saat ini? Berapa lama lagi aku harus menahan hati untuk bersabar? Karena, aku bukan manusia yang bersedia memaksa diri untuk menyerahkan hatiku pada seseorang, hanya demi sebuah status. Tapi, Tuhan, tanpa bermaksud kurang ajar, kapankah tanda-tanda kedatangan pria itu akan muncul?

Masih dalam lamunanku di peron Stasiun Bogor itu, kereta yang kutunggu belum juga datang. Sudah pukul 06.00. Belum juga ada pengumuman, kereta tersebut akan berada di jalur berapa. Biasanya, kereta menunggu di jalur 7. Namun, tak jarang berpindah ke jalur 8 atau 6. Membingungkan.

Ditambah lagi, saat ini aku seperti kehilangan motivasi bekerja. Reward dari kantor tidak seberapa. Lingkungannya cukup menye­nangkan. Namun, tak dapat memberi seorang rekan yang memiliki cara berpikir dan visi yang sama. Aku tak melihat karier dalam pekerjaanku ini. Aku juga ingin berhenti menunggu kereta di stasiun, berdesak-desakan dengan penumpang lain. Lihat saja, pukul 06.00 saja aku masih benar-benar mengantuk. Jauh berbeda dari situasi 6 tahun lalu, saat aku baru pertama kali bekerja. Pukul 04.00 aku pasti sudah bangun dengan antusias.

Sambil menanti, aku melirik ke beberapa arah. Aku menemukan sesosok wajah teman SMA-ku dulu. Aku tahu namanya, tapi tak terlalu mengenalnya. Ah, SMA… masa-masa ketika seharusnya aku menikmati usia remaja. Tapi, yang kulakukan hanyalah belajar dan menikmati status menjadi pemburu nilai paling tinggi. Aku bukan murid teladan, tidak pernah ikut olimpiade matematika atau debat bahasa Inggris, tidak aktif dalam OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Satu-satunya kegiatan yang ingin kumasuki adalah kegiatan di luar kelas untuk menambah ilmu matematika, fisika, dan kimia.

Tapi, tak sampai setahun aku mundur dari kegiatan itu. Karena, lama-kelamaan, kegiatan menjelma menjadi sebuah komunitas religius. Setiap pembicaraan mereka selalu membuatku mengantuk. Aku tak dapat menikmati diriku, yang merasa terkekang untuk melakukan apa yang kumau, bahkan hanya untuk bicara dan bercanda sesuai keinginanku. Aku hanya memiliki keinginan sederhana, mendapat nilai sempurna, termasuk dalam pelajaran-pelajaran ’mematikan’, seperti ilmu pasti yang tadi kusebutkan.

Begitu terfokusnya aku dulu, sampai tak berpikir untuk melihat sisi lain yang bisa kunikmati dari dunia remaja. Aku hanya bersekolah, lalu pulang, tidur, lalu belajar dengan metode SKS (sistem kebut semalam). Malam Minggu tak ada satu pria pun yang meng­hubungi, apalagi mengajak kencan. Lalu, aku mendapat ranking 1, yang kudapat karena aku tahu kelemahan para saingan.

Satu-satunya pria yang menyukaiku hanyalah seorang pria yang terkenal karena kebaikannya, yang justru membuatnya jadi bulan-bulanan. Ia memiliki sikap tubuh yang canggung, penggugup, jarang menyapaku, namun sering tersenyum dengan cara kekanak-kanakan. Rumahnya dekat dari lingkungan sekolah. Karena itu, meski sering diejek, ia tak berkeberatan jika rumahnya dijadikan markas bermain oleh siswa-siswa kelasku. Tentu saja, perasaan sederhananya padaku berkembang menjadi sebuah gosip yang menyebar cepat. Bukan hanya di kelas kami, tapi sampai di kelas lain dan telinga para guru.

Telingaku cukup panas setiap kali wali kelas, guru sejarah, dan guru ekonomi menggodaku. Padahal, berdasarkan konsep pangeran tampan berkuda putih ala dongeng Cinderella, tentu saja aku berharap ada murid pria yang berwajah lumayan enak dipandang, pintar, baik hati, menerima keadaanku apa adanya, datang menyatakan perasaannya dan memintaku untuk menjadi kekasih pertamanya.

Namun, kenyataan hanyalah kenyataan. Yang jelas, berita tentang murid penggugup dan diriku ini jadi menghalangi usahaku untuk tersenyum pada pria tampan populer di luar kelas. Aku makin tak suka menyumbangkan senyum dan makin kesal menghadapi urus­an percintaan, yang tak menunjukkan titik terang. Yah… aku menyerah! Mungkin, hanya wanita cantik, ayu, dan punya nilai rapor paling rendah saja, yang dapat memiliki pria idaman banyak wanita di sekolah. Sementara aku, pria mana yang mau melirikku? Kuputuskan, seperti ketika SMP dulu, untuk menikmati dunia yang bisa memberiku kebanggaan, kepercayaan diri, dan menyadarkanku, betapa bernilai dan berharganya diriku ini. Ya, kuputuskan untuk hanya jadi murid yang berorientasi pada pelajaran. Lebih tepatnya adalah pemburu nilai, karena aku tak begitu suka belajar.

Telah begitu lama kutinggalkan masa-masa itu. Dulu, aku merasa keadaanku baik-baik saja. Murid normal dengan kehidupan normal. Namun, benarkah demikian?

Pukul 06.12, terdengar pengumuman kereta akan datang 5 menit lagi. Akibatnya, ketika kereta itu datang, para calon penumpang berlarian untuk memperebutkan bangku kosong. Sungguh kondisi yang tidak enak. Bersyukur, aku mendapatkan bangku kosong. Walaupun bukan di posisi yang cukup nyaman, aku cukup menikmatinya.
Dalam beberapa menit, kereta akhirnya berangkat. Mataku kemudian menangkap sepasang pria dan wanita, penumpang kereta yang beberapa kali kutemui di gerbong yang sama. Beberapa kali aku berusaha untuk bisa kenal dan ikut berbincang dengan mereka. Namun, tampaknya, wanita itu tak begitu suka dengan kehadiranku. That’s okay. Aku tahu benar, pria yang kira-kira setinggi 180 cm dan wanita cerewet (yang terlalu mengumbar perhatiannya pada sang pria) bukanlah sepasang kekasih. Dari pembicaraan mereka, aku jadi tahu beberapa hal tentang identitas keduanya. Tempat tinggal, jumlah saudara, suku, dan juga tempat kuliah mereka dulu.

Kuliah. Ya, aku pernah memiliki harapan akan masa kuliah. Masa ketika seluruh idealisme, keinginan egosentris, sikap sok pintar, selalu ingin beradu argumen dengan siapa pun yang kutemui, mengalami euphoria akan kebebasan yang akhirnya kumiliki (entah itu kebebasan untuk mengontrol dan mengatur keuangan, waktu, atau teman), semuanya membuncah di saat yang bersamaan. Memberikan kepercayaan yang sangat besar dengan manusia bernama teman, yang akhirnya tak pernah hadir dalam segala kesulitan, mengkhianati rahasia yang dimiliki bersama, dan saling bersaing dengan sikap individualistis yang memuakkan. Sederhana, tapi itulah kehidupan kampus yang membuatku makin merasa sendiri.

Mungkin, kondisi ini mengajarkanku bagaimana kerasnya kehidupan nyata. Di masa itu pula, untuk pertama kalinya aku akhirnya menyukai seorang pria, walau kemudian perasaan itu hilang dengan sendirinya, entah mengapa. Mungkin, aku tak bisa menyukai seseorang secara sederhana lagi. Mungkin, aku sudah tak lagi percaya dengan konsep pangeran tampan berkuda putih yang sempurna. Tapi, aku benar-benar tak tahu, pria seperti apa yang bisa membuatku jatuh hati.

Suatu ketika, setelah pulang kuliah, aku iseng membuka e-mail, yang sudah cukup lama tak kubuka. Kuteliti e-mail-e-mail yang masuk. Tanpa kuduga, datang e-mail dari teman SMA yang penggugup, yang pernah suka padaku. Aku tertegun. Bukan karena terharu pada tulisannya, juga bukan karena aku akhirnya bisa merindukannya. Aku hanya merasa menyesal karena pernah menyia-nyiakan masa SMA. Aku menyesal pernah meninggalkan masa SMA tanpa sebuah perpisahan yang berkesan dan pergi dengan angkuh karena harapan tinggiku di kampus terbaik di negeri ini.

Aku ingin sekali dapat kembali ke masa SMA untuk mengulangi sejarah dan memperbaiki apa yang menjadi penyesalanku saat itu. Teman-teman yang setia dan tulus, tanpa melihat siapa dan bagaimana sikapku. Teman-teman pria yang berpotensi menyukaiku, andai aku mau sedikit saja menunjukkan sikap ramah dan murah senyum. Aku tiba-tiba berdoa agar Tuhan mempertemukan aku dengan orang jenius, yang bisa menemukan time machine untuk membawaku ke masa lalu. Tapi, untuk apa? Agar aku bisa memperbaiki kesalahan? Tidak menyesal lagi? Apa yang bisa menjamin aku tak menyesal dan membuat kesalahan lagi?

Ah, mungkin saja, ini hanya masalah rasa sepi, yang baru kuhadapi untuk pertama kali.

Aku bosan pada rutinitas. Tiba di kantor pukul 07.45, lalu naik lift ke lantai 9 menuju ruang kerja, menyalakan komputer, mengambil gelas di pantry, mulai bekerja pukul 08.00, dan pulang pukul 17.00 atau lebih. Tapi, aku sudah cukup terbiasa dengan rasa sepi ini, aku sudah lama bersahabat dengannya lebih dari belasan tahun.

Pada akhirnya aku menyadari, bahwa sejak masa sekolah pun sebenarnya aku memang selalu sendiri dan melakukan segalanya sendiri. Berangkat dan pulang sekolah sendiri, jalan-jalan ke toko buku pada hari Minggu seorang diri, dan berkeinginan untuk tidak dekat dengan seseorang saja pada awal masa kuliah, walaupun akhirnya harus menjadi bagian dari geng mahasiswi pintar.

Dalam masa emosi paling stabil dan nyaman dengan diri sendiri ini, aku berusaha bersikap tenang saat usiaku memasuki kepala 3 tanpa karier yang jelas dan tanpa seorang kekasih yang bersedia melamarku dalam waktu dekat. Sebenarnya, hatiku cukup gundah. Tapi, kuputuskan untuk berdoa dan menjalani hidup apa adanya dulu dengan santai.

Entah mengapa, hari ini aku duduk di gerbong 7, gerbong kedua dari selatan, bukan gerbong 8 seperti biasa. Mungkin, aku hanya ingin ganti suasana. Tapi, aku yakin, tak akan banyak suasana yang berubah dengan hanya pindah satu gerbong saja.

Seperti biasa, aku membuka buku tebal yang siap kubaca, kali ini berjudul Dante Club karya Matthew Pearl. Aku memang penggemar cerita menegangkan. Baru membaca 2 halaman, aku merasa seseorang melewati bangku yang kududuki. Lewat lirikan mataku, aku tahu pria itu berdiri menyandar di samping kiri bangku yang kududuki. Kalau tak salah lirik, pria ini cukup tinggi. Tapi, ia kubiarkan saja, tanpa kutatap langsung. Karena, aku tak pernah punya keberanian untuk menatap langsung ke wajah seorang pria.

Bapak bertubuh besar yang tertidur di bangku depan tiba-tiba mengeluarkan suara yang mengejutkan.
Aku langsung melotot terkejut. Sementara orang-orang di depan dan sekeliling kami tertawa mendengar suara bapak itu.

“Pak, tidur, mah, di rumah. Jangan di sini,” kata seorang bapak lainnya.

“Capek amat, tuh, kayaknya.”

Dan, masih banyak komentar lucu untuk bapak yang masih tertidur dengan sangat pulas itu. Tidak sampai semenit aku kembali membaca, bapak itu kembali mengeluarkan suara tak enak. Aku akhirnya hanya bisa tertawa. Namun, secara tak sadar aku bertemu pandang dengan pria yang sedari tadi berdiri bersandar di dekatku. Matanya kecil dan sipit, kulitnya putih, bibirnya kecil dan merah, tubuhnya tinggi. Ia sedang menatapku dengan sangat tajam. Sekali lagi aku menatapnya, kali ini tak kusia-siakan kesempatan untuk melempar senyum yang susah sekali kuberikan pada semua orang. Ia hanya memberikan senyum tipis sebagai balasan.

Karena merasa kesal, aku kembali membaca buku. Sebelum menenggelamkan diri pada buku, kuputuskan untuk mengusir rasa penasaran pada pria tinggi manis tadi dengan kembali memandangnya. Kali ini aku memerhatikan detail pakaiannya. Ia mengenakan sweater abu-abu. Ada kerah putih tersembul dari balik sweater-nya. Pasti ia mengenakan kemeja putih. Tas ransel yang penuh, celana panjang abu-abu, dan sepatu hitam yang tersemir hitam dan sangat mengilap.

Tapi, tunggu... aku mengarahkan pandangan ke kakinya. Celana abu-abu? Ha? Dia masih SMA? Aku mencoba menarik perhatian seorang murid SMA? Tertarik pada anak SMA? Tidak mungkin! Aku merasa kesal sendiri. Kali ini aku benar-benar membaca buku itu tanpa menoleh ke arah mana pun, apalagi kepada anak SMA berpostur dewasa, yang hampir membuatku tertarik lebih jauh. Gila!

Sambil menunggu di stasiun, aku mengingat perjalanan hidup teman-temanku melalui mailing list. Beberapa teman sudah mengakhiri masa lajang, ada yang menikah dengan teman satu angkatan, dengan senior, adik kelas, rekan sekantor mereka, dan entah dengan siapa lagi. Aku tak merasa sedih, juga tak merasa ikut berbahagia. Bagiku itu hanya sebuah bacaan dengan kata ’undangan’ atau ’invitation’ besar-besar.

Aku tidak merasa sudah mati rasa, juga tak merasa iri, dan tak merasa ingin cepat menyusul. Perhatianku hanya teralih pada hal lain yang lebih penting, yaitu karier. Entah sampai kapan aku akan bertahan. Hanya, memang ada sedikit rasa pedih, yang sering kusangkal dan kubunuh tanpa pernah bisa mati. Aku masih berharap, setidaknya memiliki beberapa teman pria yang kemungkinan salah satunya dapat menjadi kekasih atau teman hidupku.

Aku mengambil napas panjang. Pasrah dengan segala hal yang akan datang padaku.

Lagi-lagi petugas kereta api belum mengumumkan kereta yang akan berangkat pagi itu. Tiba-tiba saja, 5 menit sebelum kebe­rangkatan, diumumkan bahwa keretaku berada di jalur 5. Jauh dari jalur 7, tempatku menunggu selama beberapa menit. Sebenarnya, tak begitu jauh. Hanya, aku harus menuruni tangga yang sangat memperlambat gerak dan langkah. Aku khawatir, tak akan mendapat bangku kosong. Lebih sial lagi jika kereta pergi meninggalkan aku karena gerakanku tak segesit dulu.

“Glek!” Aku menelan ludah ketika melihat anak SMA yang sama lagi hari itu. Ternyata, ia memiliki jadwal keberangkatan yang sama denganku. Namun, rupanya, ia lebih suka menghuni gerbong 7 itu. Dan, kali ini, aku kembali mendapat bangku di gerbong 7 itu. Bedanya, kali ini anak SMA itu duduk di sebelahku. Tak bicara sama sekali, sampai akhirnya kereta masuk Stasiun Bojong Gede.

“Sini duduk, Mbak. Lumayan,” aku menawarkan sedikit ruang pada seorang wanita yang dari wajah dan penampilannya sedikit lebih tua dariku.

“Terima kasih, Mbak,” jawabnya. Lalu, ia sedikit bicara basa-basi tentang penuhnya kereta dengan manusia, sulitnya ia tadi masuk, bahkan sulit untuk bernapas, dan akhirnya ia bingung dengan keberadaan anak SMA yang duduk di samping kiriku.

“Mas, sekolah di mana? Kok, naik kereta? Sekolahnya jauh?” tanya wanita tadi pada anak SMA itu.

Aku ikut menatap wajahnya, penasaran dengan jawabannya.

“Oh, saya bukan sekolah. Tapi, sedang kerja praktik,” jawab anak SMA itu, sambil memperlihatkan wajah ramah.

“Oh...,” aku dan mbak yang duduk di samping kananku menjawab bersamaan.

“SMA kejuruan, ya? Berapa lama kerja praktiknya?” tanya mbak tadi lagi.

“Empat bulan.”

“Sejak kapan?” tanyaku, ikut bertanya karena penasaran.

“Dari Juni. Jadi, tinggal 2 minggu lagi,” jawabnya lagi. Kali ini kami saling bertemu pandang dan tersenyum.

“Ambil kejuruan apa?”

“Desain grafis.”

”Praktik di mana?”

”Daerah Slipi.”

Jawaban itu adalah jawaban terakhir sebelum aku akhirnya berdiri dan turun di stasiun tujuan. Sebelum benar-benar turun, aku menoleh ke arah tempatku duduk tadi tanpa sengaja. Ternyata, aku malah bertemu pandang dengan anak SMA tadi, yang kini ikut berdiri. Mungkin, ia bersiap untuk turun di stasiun berikutnya.

Peron yang sama, angkutan umum yang sama, pekerjaan yang sama, bahkan satpam yang selalu menyapaku dengan kata ’Bu’ yang sama. Benar-benar membuatku merasa kesal. Sama kesalnya ketika mengenang peristiwa 4 bulan silam. Kenangan akan seorang pria berwajah manis, usia sekitar 30-an, memiliki karier yang hebat di sebuah bank terkenal di tanah air, bukan yang terbaik, tapi cukup terkenal. Ia bahkan mengatakan pernah kuliah di jurusan yang sama denganku. Hanya, bukan dari universitas yang sama. Beberapa kali kami ‘kebetulan’ bisa pulang bersama. Bahkan, ia pernah dengan agak sedikit memaksa ingin mentraktirku makan.

Entahlah, mungkin aku begitu terlihat naif dan diam, hingga ia begitu terkejut, ketika di tengah pembicaraan aku menanyakan berapa jumlah anak yang ia miliki. Ia terdiam dan menjawab dengan suara lemah, ”Satu.”

Masa aku begitu bodoh sampai tidak bisa sedikit pun mengana­lisis bahwa pria berusia 30-an, berpendidikan baik, berwajah manis, dan memiliki karier bagus, tidak dilirik oleh satu wanita pun. Apalagi, menurut pengakuannya, ia orang Bandung, bekerja di Jakarta, tapi tinggal di Bogor. Dalam beberapa detik saja aku langsung bertanya, mengapa ia tidak kos, mengontrak, atau membeli rumah di Jakarta saja. Pasti hanya ada satu alasannya: ia bukan lagi bujangan yang bisa sesuka hati tinggal seorang diri di Jakarta dan menikmati hidup. Ia adalah pria berkeluarga, yang istrinya mungkin adalah orang Bogor, lalu mereka membeli rumah di Bogor.

Dan, aku benar! Pemikiran yang bagus, Young! Aku memuji diriku sendiri dalam hati.

Anehnya, ia tidak merasa malu sama sekali untuk melakukan aksi-aksi rayuannya yang kampungan. Bahkan, makin gencar. Mungkin, ia merasa sudah telanjur basah. Tapi, bukankah aku baru saja berpura-pura mengaku punya kekasih atau bahkan lebih gawat lagi, calon suami, yang sedang bertugas di Makassar?

Saat itu, kupikir tak ada cara lain, selain menghindar bertemu dengan pria hidung belang itu lagi. Dan, aku pun menceritakan masalah ini pada teman pria yang kebetulan memang sedang bertugas di Makassar.

”Sorry, namamu yang langsung terlintas di benakku, De. Aku nggak bermaksud menjerumuskan. Aku cuma ingin keselamatan jiwaku kembali terjamin.” Begitu bunyi SMS-ku pada Ade, yang sebenarnya sudah punya kekasih. Aku hanya ingin ia berpura-pura menjadi kekasihku.

”Nggak apa-apa, kok. Mana nomor teleponnya? Biar aku beri tahu dia. Akan kulabrak dia!” Begitu Ade menjawab.
Awalnya, aku menolak memberikan nomor pria itu. Tapi, dalam hati aku ingin sekali memberikannya. Setelah kupikir-pikir, aku pun memberikan nomor itu pada Ade. Jelas sekali apa yang kuharapkan dari sikap Ade yang emosional.

Bukan saja mendengar laporan Ade yang telah melabrak pria itu, tapi adanya rasa bahagia, ketika seorang pria, dalam hal ini Ade, melakukan sesuatu untukku. Dalam laporannya di hari Jumat siang, ia telah mengancam pria hidung belang itu. Sikapnya itu kuanggap sebagai sikap pria yang menawarkan sebuah perlindungan untukku. Sebuah tindakan yang belum pernah diberikan pria mana pun untukku. Sikap rapuh yang baru kurasakan dan dulu selalu kuhindari ini ternyata menimbulkan sedikit rasa senang. Sesekali membiarkan dan memercayai seseorang untuk melakukan sesuatu untukku, rasanya ide yang sangat bagus.

Di hari Jumat yang sama, pria hidung belang itu pun meminta maaf dan berjanji tak akan menggangguku lagi. Bagus.

”Maaf, ya, kalau teman dekatku bersikap agak kasar. Dia memang emosional. Begitulah sinergi antara dia yang pemarah dan aku yang selalu mengalah.” Begitu bunyi SMS-ku, yang pertama dan terakhir, pada pria hidung belang itu. Ha... ha...ha.... tertipu dia!

Semua kenangan itu telah lama hilang dalam ingatan, hanya sesekali datang, kala aku sengaja ingin mengingat masa lalu. Ya, aku memang tak ingin mengingat-ingat masa lalu. Sama halnya dengan keenggananku mengingat nama Ade, yang telah kuprediksi akan pergi dari perusahaan, kemudian menghilang sama sekali selama berbulan-bulan, lalu suatu hari tiba-tiba menghubungiku, hanya karena memintaku mencarikan nomor ponsel beberapa manajer di perusahaan kami untuk keperluan bisnis. Bahkan, ia tak ingat untuk menanyakan kabar dan keadaanku.

Aku tahu, Ade memang telah memiliki kekasih. Namun, perilaku sok manis dan sok pedulinya padaku, kini membuatku berpikir, betapa menggelikannya posisiku dulu, yang dari kacamataku sekarang, hanya melihat diriku sebagai wanita wanita pengisi kekosongan, selama ia bekerja jauh dari sang kekasih.

Jadi, siapa pun yang menarik perhatian Ade di kantor, tak masalah. Sialnya, pada saat itu, mungkin akulah yang menarik perhatiannya. Kebetulan, kami sama-sama tinggal di Bogor, sehingga memliki kesempatan untuk banyak bicara dan mengenal pribadi masing-masing. Ia bertanggung jawab akan perasaan dan harapan yang tumbuh karena sikapnya yang berlebihan padaku.

Kali ini aku dapat berangkat lebih santai. Mungkin, karena pada hari Kamis kereta biasanya tak begitu sesak oleh manusia, entah kenapa. Dan, buku ratusan halaman yang sama dengan hari-hari sebelumnya, kembali siap kubaca.

Baru kubaca selembar saja, tiba-tiba aku menemukan wajah anak SMA yang kemarin. Kini ia duduk di samping kananku. Gatal juga rasanya ingin menyapa pria muda ini. Perasaan tak pantas ini seharusnya tak kumiliki, andai saja wajahnya tak mengingatkanku pada sesuatu.

Bukan, bukan seseorang, tapi sesuatu. Ia mengingatkanku akan masa yang tak pernah kunikmati sama sekali. Ia mengingatkanku akan jenis teman-teman pria di SMA dulu, yang selalu sulit kugapai. Tampan, manis, cute, keren, atau apa pun istilahnya. Aku jadi sering tertawa geli jika mengingat impianku mendapatkan seorang kekasih. Saat itu penampilan menjadi kriteria utamaku.

“Jonathan, Mbak.”

Aku menatapnya bingung. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangannya, mengajakku berkenalan. Uluran tangan itu kusambut ragu. Kutatap wajahnya yang tampan dan bebas dari jerawat.

“Mbak siapa?” tanyanya.

“Young,” jawabku, singkat.

“Mbak kerja di mana?”

“Jakarta.”

“Di daerah mana?” tanyanya, ingin tahu.

“Di Kuningan Barat.”

Ia tampak berpikir keras dan akhirnya menggeleng, karena tak tahu lokasi tempatku bekerja.

Banyak sekali pertanyaan yang terlontar dari kami berdua. Seolah, kami sama-sama telah bertahun-tahun memendam rasa ingin tahu.

“Pacar Mbak kerja di Jakarta juga?”

“Oh, enggak....”

“Oh....”

“Enggak, aku enggak punya pacar,” jawabku, spontan.

Tapi, tunggu dulu, dia bertanya tentang pacar? Sudah lebih dari 5 kali aku mendapat pertanyaan serupa dari 5 pria asing yang kutemui di kereta. Bedanya, pria-pria itu berusia lebih tua atau seusia denganku. Persamaannya, pertanyaan itu memiliki asosiasi yang sama persis. Orang yang menanyakan hal tersebut pastilah tertarik akan statusku, atau, lebih dalam lagi… ia tertarik dan ingin melakukan pendekatan padaku.

Tapi, seorang anak SMA menanyakan hal itu? Apa ia tertarik padaku? Mana mungkin? Apa aku tidak terlalu tua untuknya? Herannya, mengapa aku harus memberi tahu bahwa aku tak memiliki kekasih? Jangan-jangan, aku jatuh hati pada anak SMA ini. Kasihan sekali aku. Ya, aku mulai mengasihani diriku akan keadaan ini. Rasanya, aku makin terpuruk.

“Young, turun di Cawang saja, yuk. Bareng aku,” kata Jonathan, dengan sikap yang lebih akrab, di lain hari. Merasa sudah akrab, ia tak lagi menggunakan sapaan ’mbak’. Tapi, aku tak keberatan, karena aku jadi merasa seumur dengannya.

“Nanti aku sulit cari bus. Kalaupun dapat, aku pasti berdiri.”

“Ya, sudah, aku turun duluan, ya. Nanti, pulangnya kita bareng, ya,” katanya.

Entah ia suka padaku, entah ia tahu betul bahwa aku suka padanya dan sedang membuatku gede rasa. Tentu saja, aku jadi bisa merasakan apa yang dirasakan Demi Moore, ketika mendapat rayuan pria muda tampan seperti Ashton Kutcher.

Aku menceritakan hal yang menurutku sangat aneh itu pada semua rekan kerjaku. Yang lebih aneh, tak ada yang menertawakan aku.

Sudah jelas aku tak pernah suka pria yang usianya jauh di bawahku. Bahkan, aku tak pernah menganggap mereka ada. Ketika sekolah, yang kupandang hanyalah teman satu angkatan dan para senior. Aku juga begitu menikmati masa-masa ketika aku dan seluruh teman seangkatan menjadi pusat perhatian kala penggojlokan atau selama setahun pertama kuliah.

Maka, aku benar-benar kesal ketika aku harus menjadi senior bagi anak-anak baru, yang dengan mimik manja, menggelayuti tanganku, meminta tanda tangan, sambil merendahkan diri, mengucap kalimat wajib, “Pagi, Boss, boleh kenalan?”

Bukan karena aku anak bungsu, bukan karena aku haus perhatian. Tapi, karena aku cemburu akan semangat muda yang mereka miliki. Aku iri karena waktu-waktu yang pernah kumiliki, telah diambil alih oleh mereka. Jadi, aku tak bisa memahami diriku sendiri, jika sekarang aku bisa menerima dan dengan sengaja mendekatkan diri pada seorang anak SMA, yang pengalaman dan ilmunya masih sangat hijau.

Tentu saja, aku tak bisa membicarakan sebuah visi akan masa depan dengan Jonathan. Baginya, yang penting, ia punya uang saku dan bisa menghabiskannya untuk membeli sepatu baru. Aku tak dapat mendiskusikan masa perkuliahanku, hidup bersama teman-teman yang cukup egoistis dan individualis. Karena, bagi Jonathan, teman adalah teman, teman main basket, yang tinggi badannya tak kurang dari 178 cm, teman main PlayStation, dan teman yang bisa diajak membaca komik sampai berjam-jam di sebuah toko buku. Ia belum merasakan kuliah, belum juga merasakan bekerja sebagai suatu aktualisasi diri dengan segala rutinitas yang sangat menantang, sekaligus menjemukan.

“Young, aku berkenalan dengan seorang pria di kelasku. Sama-sama mengambil Master of Communications. Aku iseng bercerita tentang kamu. Kamu mau nggak berkenalan dengannya? Sudah baik, kaya pula!” kata Mira, lewat pesawat telepon. Ya, Mira memang sering menghubungiku pada jam-jam kerja.

“Aku tanya balik, deh.... Dia mau nggak berkenalan denganku?” jawabku, sambil berbisik.

“Makanya, dia ingin ketemu denganmu dulu,” kata Mira.

“Kamu yakin dia masih sendiri? Jarang, lho, ada pria yang baik dan kaya, tapi masih single.”

“Ada seorang wanita yang sedang dekat dengannya. Tapi, dia mengaku bahwa wanita itu hanya teman biasa.”

Aku mengangguk-angguk, tanpa kusadari bahwa Mira tak bisa melihatku.

“Gimana?” tanya Mira lagi.

“Ya… okelah. Kenapa tidak?”

Bertemu? Terkesan seperti orang yang akan membeli barang, namun ingin meneliti kualitas barangnya terlebih dahulu. Aku merasa, Mira sangat baik, karena masih peduli padaku. Tapi, sejak 7 tahun lalu sampai detik ini, aku belum juga bisa memercayai Mira, bahkan sebanyak 50% saja. Karena, di satu sisi, ia begitu baik. Namun, di sisi lain, ia tak pernah memberi tahu ketika ia mendapat pekerjaan sampingan. Setahun lalu, ketika ia mendapat beasiswa, aku hanya ikut mensyukurinya. Ketika kutanya bagaimana cara ia mendapatkannya, ia hanya memberiku sekelumit informasi.

“Hanya membuat esai pendek, lalu dikirim ke perusahaan yang memberikan beasiswa.”

Begitu jawabnya dulu. Aku pun tak berharap ia akan menceritakan secara detail. Namun, terlihat jelas bahwa ia tak menginginkan ada jejak kesuksesannya yang masih tersisa untuk bisa kuikuti.

Hari pertemuan yang dijanjikan tiba. Tanpa persiapan apa pun, Mira menarikku kuat-kuat, agar aku mengikuti langkahnya ke sebuah tempat makan. Di situ banyak sekali mahasiswa dan kaum yang merasa dirinya lebih intelek daripada siapa pun.

Kutemui pria itu. Wajahnya lumayan manis. Ia juga tampak baik dan ramah. Tapi, entah kenapa, aku sangat ragu. Bukannya aku meragukan kebaikan Tuhan. Hanya, aku sangat yakin, Tuhan tidak sedang menjawab permintaanku melalui pria tersebut.

Dan, ternyata, perasaanku benar. Karena, 2 hari setelah itu, tak ada kabar dari pria, yang katanya baik dan kaya raya itu. Tak ada kabar pula dari Mira. Sudah jelas bahwa perkenalan itu tidak berhasil. Aku tak bisa menjaga citra baik di depan pria itu. Bukan tak ingin berusaha, hanya… untuk apa? Aku sudah berada pada tahap tak ingin menciptakan kesan baik hanya untuk menarik perhatian pria.

“Young, ternyata dia sekarang berpacaran dengan wanita yang katanya hanya teman biasa itu. Biasalah... orang kaya memang berjodoh dengan orang kaya pula. Menyebalkan,” kata Mira dengan nada santai. Mungkin, ia khawatir jika aku merasa sedih.

Tapi, apakah ia tak memikirkan dampak yang ditimbulkan dari sebuah ‘penolakan’ itu? Sudah biasa jika aku tak suka seseorang, sudah biasa jika orang tak suka padaku. Namun, di usiaku yang tak lagi belia, setelah aku melalui banyak perubahan positif dan progresif yang cukup berhasil, masih juga aku mendapat sebuah penolakan. Hanya karena seseorang yang tak kukenal merasa harus melindungi kekayaan tujuh turunan milik orang tuanya, sambil mengempaskan diriku ke titik 0.

Apakah ia memintaku menyesali keadaan ekonomi keluargaku? Apakah ia menamparku agar meninjau kembali jenis pekerjaan yang kulakoni selama hampir 8 tahun dan tak bisa memberikan kekayaan dalam waktu sekejap? Ataukah, tanpa disadarinya, ia telah memberikan cap, bahwa aku memang tidak menarik dengan segala kejujuranku?

Ya, aku menangis. Bukan karena penolakan, tapi karena sebuah penghinaan akan harga diriku yang telah lama hancur, akibat menerima begitu banyak keraguan dari orang-orang sekelilingku, akan bakat, kemampuan, kredibilitas, bahkan keberuntunganku sekalipun.

“Pria seperti apa, sih, yang kamu sukai, Young? tanya Jona-than tiba-tiba. Tanpa sadar, ia memegang tanganku yang selalu tertutup blazer. Bukan karena genit, melainkan karena ia ingin menahan tubuhku agar tidak jatuh.

“Aku sendiri tidak tahu,” jawabku, sekenanya. Aku buru-buru menarik tanganku dari jangkauannya. Aku terbiasa untuk tidak berpegang pada apa pun dan siapa pun jika berdiri di dalam kereta. Namun, Jonathan melihat itu sebagai sebuah kesengajaan.

Jonathan benar-benar tak mengerti, mengapa aku tak tahu pria seperti apa yang kusukai. Baginya, itu adalah pertanyaan mudah dan aku seharusnya bisa menjawabnya dengan mudah pula. Entah bagaimana, aku harus menjelaskan bahwa pada satu titik tertentu, banyak orang telah melalui banyak waktu, seperti aku, dan orang-orang yang lebih tua daripada aku sudah tak menemukan kesenangan dari jenis pertanyaan seperti itu lagi. Pertanyaan sederhana itu menjadi sebuah untaian kata yang sangat sulit dijawab, sesuatu yang memerlukan perenungan yang panjang dan dalam. Jonathan tak akan mengerti hal itu. Maka, aku hanya diam dan tersenyum.

“Kenapa, sih, nggak mau pegangan? Nanti jatuh, lho. Atau, kamu nggak bisa mencapai besi pegangannya, ya?” tanyanya, dengan nada kesal, sambil tersenyum mencibir.

Dengan sombong ia memperlihatkan tangannya, yang mampu menjangkau besi penutup baling-baling kipas di atap kereta. Maksudnya, ia sedang menghina tinggi badanku yang bahkan tak sampai 150cm.

Meski kesal, aku tertawa. Tiba-tiba saja, kereta melaju lebih kencang, membuat tubuhku sedikit terempas ke belakang. Kali ini aku dan Jonathan tertawa karena aku jadi terlihat bodoh. Akhirnya, dengan segala keterpaksaan dan sedikit rasa senang, aku memegang erat tas ransel yang ia simpan di depan tubuhnya.

“Isinya apa, sih? Kayaknya, penuh sekali tasnya,” kataku, agak basa-basi. Ia hanya tersenyum, senang karena akhirnya aku mau memeganginya. Tapi, ia juga tersenyum kecut karena hanya tasnya saja yang kusentuh.

Ia buru-buru menjawab pertanyaan basa-basiku itu dengan membuka tasnya dan memperlihatkan seluruh isi tas. Hanya ada buku, tempat minum, dan saputangan. Aku sedikit melamun dan mengingat hal itu sebagai sesuatu yang sangat mirip dengan kebiasaanku dulu. Tas besar, banyak membawa buku, payung, tempat air minum, dan saputangan untuk menyeka keringat. Ah, pria bertubuh tinggi ini masih SMA. Seketika aku tersadar bahwa ini hanya kesenangan semu yang tak kuinginkan sama sekali.

Sudah lebih dari 5 hari aku berangkat kerja dan bertemu dengan Jonathan. Pria muda itu selalu datang mengejutkan, ketika aku sedang serius mendengarkan pengumuman jalur kereta. Setiap hari ia mengenakan jaket atau sweater. Hari ini ia mengenakan jaket warna cokelat muda. Makin terlihat tampan dan lebih dewasa.

“Pulang nanti, aku yang ke Kalibata atau Young yang ke Cawang?”

“Aku di Kalibata dan kamu tetap di Cawang,” jawabku, tenang.

“Yah, nanti kita sulit ketemu,” katanya.

“Apa kita mesti ketemu?” tanyaku, tanpa berniat serius padanya. Pura-pura bersikap tenang dan dingin.

“Kamu nggak mau ketemu aku?” tanyanya, sangat to the point.

“Harus ketemu, ya?” kali ini aku memperlihatkan wajahku.

“Ya, sudah, boleh minta nomor handphone?” tanya Jonathan.

Aku memberitahunya, sambil sedikit ingin tertawa akan sikapnya. Melihat wajahku, Jonathan ikut tersenyum, seolah lupa dengan jawaban yang tadi sempat membuat hatinya kecewa.

Beberapa wanita dewasa memandangi kami. Dari tatapan mereka, mereka mungkin berpikir bahwa kami adalah adik-kakak. Tapi, mereka juga tampak sedikit bingung melihat bahasa tubuh, yang tidak begitu memperlihatkan adanya pertalian darah atau persaudaraan di antara kami. Namun, apa pun yang mereka lihat, aku juga tahu arti pandangan beberapa wanita itu pada Jonathan. Mereka tersenyum dan menarik perhatian Jonathan.

Tak ada yang tahu, bahwa di balik jaket yang sengaja untuk menutupi kemeja putihnya, pria bongsor ini masih anak-anak. Ia tak ingin siapa pun dalam kereta mengetahui identitas sesungguhnya. Aku hanya geli menanggapi keadaan ini. Aku juga sering sengaja menyingkap jaket cokelat muda atau jaket hitam yang selalu ia kenakan, agar semua orang bisa melihat lambang OSIS di kemeja putih Jonathan. Tapi, Jonathan selalu berhasil menangkap dan menghindari keisenganku.

“Tuh, Mbak itu ngeliatin kamu terus,” bisikku pada Jonathan.

Kami berdua lalu tertawa tertahan. Geli sekali melihat sikap wanita-wanita itu pada Jonathan. Rasanya, sudah lebih dari 2 kali kami bertemu dengan para wanita itu dan mereka masih menunjukkan sikap yang sama. Sementara itu, beberapa mata penumpang yang lelah berdiri, memandang kami dengan tatapan sinis. Entah kenapa.

“Kalau mengantuk, bersandar di sini saja,” kata Jonathan, sambil menawarkan bahunya.

Jelas kutolak mentah-mentah keinginannya itu. Aku pasti sudah gila jika menikmati kesenangan macam itu.

Di sebuah stasiun, yang tidak bisa dikatakan sudah dekat dengan stasiun tujuanku, aku berdiri dan mempersilakan seorang ibu untuk duduk. Tapi, sialnya, ibu itu tidak berterima kasih sama sekali, malah bersungut-sungut melihat kenikmatan yang aku dan Jonathan rasakan selama perjalanan dari Stasiun Bogor. Aku sebenarnya tak mengharapkan ucapan terima kasih, tapi sekadar senyuman saja apa susahnya, sih?

Jonathan masih duduk dan kurang peka melihat kesulitan beberapa ibu dan orang dewasa yang berdiri berimpitan. Ia juga tak sadar dengan usia dan tubuh mudanya, yang seharusnya membuat ia merasa malu dan sungkan untuk tertidur selama perjalanan, tanpa berbasa-basi sedikit pun pada orang-orang disekelilingnya. Namun, ketika ia tersadar dari tidur beberapa menitnya, matanya mulai mencari-cari aku. Ia cukup terkejut melihatku telah berdiri di hadapannya. Lalu, ia ikut berdiri. Mungkin, merasa malu.

Bukan hanya saat itu. Akhirnya, beberapa kali ia berinisiatif bersikap sopan, layaknya seorang pria muda sejati. Bagus.

Lagi-lagi aku menceritakan secara detail kejadian-kejadian bersama Jonathan pagi itu kepada beberapa rekan kerjaku. Kali ini mereka tertawa geli, lalu menggelengkan kepala. Aku pun tertawa. Dalam tawa itu sebenarnya ada suatu rasa yang tersirat. Bukan rasa bangga karena ada seseorang menyukaiku, tapi rasa sedih, karena hanya seorang anak SMA, yang bisa melakukan hal-hal manis sepele padaku.

Aku juga merasa sedikit bahagia. Andai semua orang bisa memahaminya, andai semua orang tahu bahwa aku begitu menginginkan hadirnya seseorang yang bisa memanjakanku.

Tapi, sikap manja adalah kata yang sangat tidak cocok dan jauh dari gambaran akan diriku. Kalau ada 10 pria sebaya yang sudah mengenalku berdiri di depanku dan seluruhnya mendeskripsikan tentang aku, mereka pasti akan mengatakan bahwa aku cerdas, tegas, serius, pragmatis, dan dingin.

Tanpa bermaksud narsis sama sekali, aku memang selalu mendengar jawaban itu. Tak ada satu pun yang mengatakan bahwa aku ini wanita yang ceria atau manis, sensitif dan sentimentil. Jadi, sulit rasanya bagi mereka membayangkan bahwa aku bisa bermesraan atau luluh karena ucapan romantis seorang pria. Mungkin, karena itu banyak pria merasa segan dan takut padaku.

Otakku mengatakan bahwa hari ini, seperti biasa, aku akan pulang melalui Stasiun Kalibata. Namun, naluriku berkata lain. Hari Kamis sore itu aku bersusah-payah naik bis besar, berdiri berdesakan hanya untuk bisa sampai Stasiun Cawang.

Sudah jelas, aku tak mungkin bisa menjalin hubungan apa pun dengannya. Usia terpaut sangat jauh, keyakinan dan gaya hidup pun berbeda. Lihat saja, aku sudah paham benar, jenis manusia seperti apa Jonathan itu. Ia memang tidak terlalu peduli akan hubungannya dengan sang kekasih, yang terpaksa kandas, karena keegoisan wanita muda yang tidak juga mengerti, bahwa apa yang dilakukan Jonathan selama 4 bulan ini adalah demi sebuah kelulusan. Namun, sudah jelas, ia adalah tipe pria mapan yang selalu kukagumi, sekaligus kuhujat di semua tahap kehidupanku. Tapi, ya, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat penasaran terhadap jenis manusia macam itu.

Tapi, sudah susah-payah ke Cawang, aku tak menemukan Jonathan. Mungkin, ia pulang lebih awal. Tentu saja, aku kecewa. Aku berjalan dengan segenap rasa kesal. Entah mengapa, kali ini aku kesulitan membunuh perasaan kecewa, yang biasanya hinggap hanya karena aku menemukan satu saja kekurangan dalam diri pria yang kukagumi.

“Gila kamu, Young. Tapi, aku jadi ingin lihat, semanis apa, sih, dia? tanya Sisi, teman SMA yang masih sering kutemui, seusai pulang kerja.

“Dia sering di gerbong 6,” jawabku.

Kami berdua memutuskan masuk ke gerbong 6. Tidak seperti biasa, kali ini aku menuruti keinginan Sisi, tanpa sadar bahwa mungkin aku akan bertemu Jonathan. Gerbong itu gelap, dan memaksa kami untuk mendekap erat tas dan bawaan lain, agar tak ada tangan jail yang mengambil kesempatan dalam keadaan tak menguntungkan. Bersyukur, sedikit demi sedikit jumlah penumpang kereta berkurang di setiap stasiun. Ketika hampir tiba di stasiun tujuan, aku menangkap siluet wajah Jonathan, yang terkena sinar lampu di gerbong 7. Ia tampak sedang mencari-cari seseorang di gerbong 7. Kalau boleh kutebak, ia pasti mencariku.

“Young, Young, kamu mau ke mana? Orang sibuk berebut bangku, dia malah pergi,” komentar Sisi pada Fina, temanku yang lain.

Tapi, aku terus saja berjalan menghampiri Jonathan, yang sedang duduk di sandaran tangan. Mungkin, ia merasa pegal setelah sekian lama berdiri.

“Hei!” sapaku.

“Kok, ada di sini? Mencari aku, ya?” tanya Jonathan dengan wajah yang tiba-tiba ceria.

“Aku bareng teman-temanku,” jawabku.

Kutangkap raut wajah kurang nyaman, ketika ia kuperkenalkan dengan 2 temanku, yang sangat aktif menggoda kami. Heran, mereka tidak suka dengan hubungan ‘aneh’ yang kumiliki dengan Jonathan. Tapi, mereka tampak senang menggoda kami. Jonathan tampak canggung. Entah bagaimana, secara refleks aku berusaha tak jauh-jauh darinya, hanya untuk memberikan sedikit suasana nyaman dan ‘melindungi’.

“Young, dia manis juga. Tapi, agak pendiam, ya?” bisik Sisi.

“Soalnya, kamu rese, sih!” jawabku.

Entah kenapa, Sisi yakin bahwa aku memiliki perasaan khusus terhadap anak SMA itu. Seriuskah?

Malam Jumat ini aku duduk seperti biasa di peron stasiun kereta. Sesuai perjanjian, aku dan Jonathan akan bertemu di Stasiun Kalibata, agar aku tak perlu susah-susah pergi ke Stasiun Cawang. Baru 10 menit menunggu, aku melihat Sisi berjalan melewatiku, lalu memanggil namaku. Ia lalu mengajakku duduk bersama dengan teman-teman keretanya.

Aku menolak, seperti biasa. Karena, aku tak terlalu menyukai teman-teman baru Sisi. Untuk sedikit menghargai Sisi, aku hanya pindah beberapa meter, namun masih agak jauh dari Sisi dan teman-temannya. Aku sempat bercerita bahwa aku sudah menghentikan pertemuanku dengan Jonathan. Hubungan apa pun yang kumiliki dengannya, kurasa itu tidak sehat. Aku sendiri tahu itu. Tapi, jujur saja, aku masih ingin sedikit menikmatinya.

Lima menit kemudian, dari arah utara datang kereta menuju Bogor. Tampak penuh, tapi tidak sampai bersesakan. Aku melihat sosok Jonathan di dalam kereta itu. Ia juga melihatku, lalu mulai melangkahkan kaki keluar dari kereta. Tapi, sebelum ia sempat keluar, aku segera mendorongnya untuk kembali masuk ke dalam kereta.

Sisi berteriak memanggil namaku. Aku hanya melambaikan tangan, tanda ingin pergi terlebih dahulu. Tapi, aku memasang wajah kesal. Karena, aku terganggu jika Sisi sering meneriakkan namaku. Mengapa tak sekalian saja ia menyebutkan nama lengkapku?

“Kenapa? Bukannya kita mau naik kereta yang berikutnya saja?” kata Jonathan, yang tampak bingung.

“Aku nggak mau kamu berlama-lama di stasiun tadi. Ada teman-teman baru Sisi di sana.”

“Lalu, apa hubungannya dengan aku?”

“Yang wanita, suka merokok. Yang pria, terkesan sok jago. Ada juga yang sudah berkeluarga, tapi berselingkuh dengan teman kereta. Bukan lingkungan pergaulan yang bagus untuk kamu,” kataku.

Jonathan mengangguk perlahan. Lalu, ia mulai memerhatikan pakaianku hari ini.

“Kamu tampak cantik kalau pakai rok. Jadi tampak seperti wanita sejati,” kata Jonathan, bercanda.

Dalam beberapa menit kami sudah bercanda dan bicara banyak hal tidak penting. Entah mengapa, aku merasakan kesenangan lain, jika berbicara dengannya. Mungkin, karena aku merasa tak terbebani sama sekali. Tak seserius ketika dulu aku bicara dengan pria-pria teman kuliah, yang hampir seluruhnya berpikiran idealis. Bahkan, Mira sudah tertular oleh mereka. Ia selalu membicarakan keberhasilan teman-teman kami yang sudah jadi orang penting di berbagai perusahaan asing dan mengambil program master di luar negeri. Menjemukan jika mendengarkan keseriusan beberapa rekan kerja yang sering membicarakan pihak lain, tentang suami dan anak-anak mereka, atau mengenai PHK yang sedang gencar dilakukan perusahaan.

Jonathan hanya seorang pria muda dengan cara berpikir yang sangat sederhana. Ia tidak begitu suka belajar, lebih suka makan, dan bermain basket. Segalanya dilakukan tanpa target hidup yang membebani.
Ia tak memberi tahuku nama keluarganya, alamat, nomor telepon rumah, masa lalu, sejarah keluarga, keinginan, dan cita-citanya. Ia hanya bercerita bahwa ia adalah anak bungsu, yang akrab dengan sepupu perempuan yang masih berusia 8 tahun, dan memiliki keinginan jangka pendek untuk melanjutkan sekolah desain grafis di Bandung, mengikuti jejak kakak perempuannya.

Aku pun tak memberi tahu nama keluargaku. Bahkan, aku tak pernah memberi tahu nama asliku, kenangan akan masa SMA yang kusesali, pendidikan di tingkat univeristas, tak pernah membeberkan apa-apa yang terjadi dalam perusahaanku, keinginan melanjutkan S-2, atau yang lebih ekstrem lagi, keinginanku untuk menikah.

Kami hanya dua orang yang bertemu dalam kereta dan saling membicarakan hal-hal konyol yang sangat menghibur. Aku membahas kejadian-kejadian lucu yang kutemui saat harus menunggu di Stasiun Cawang. Ia hanya tertawa tergelak tanpa memedulikan orang-orang sekitar, yang sejak tadi memerhatikan kami. Kalau sekarang masih ada dalam masa kerusuhan tahun 1998, mungkin kami sudah dibakar sejak tadi. Itulah yang kukatakan pada Jonathan, dan ia kembali terbahak-bahak sesuka hati. Tak menjaga image, tak takut kuprotes. Hanya tertawa.

“Jadi, Young, hari Minggu kita bertemu di depan toko Matahari depan stasiun, ya. Sekitar pukul 11? Jangan terlalu siang, nanti macet.”

“Kenapa pukul 11? Tidak terlalu siang? Pukul 9 saja.”

“Pukul 11 saja, ya….”

“Mau ke gereja dulu, ya?”

“Ya,” Jonathan menjawab dengan suara pelan dan wajah serius.

“Tumben! Katanya, kamu ke gereja hanya setahun sekali. Hanya saat Natal. Ada apa, nih?” aku bertanya, sangat penasaran akan kebiasaan barunya.

“Tidak ada apa-apa,” kata Jonathan, enggan menjawab pertanyaanku.

“Okay, kita bertemu pukul 11, lalu ke toko buku, lalu ke bioskop. Tapi, aku benar-benar ingin tahu tentang perubahan yang terjadi pada seseorang. Apa, sih, yang membuat kamu berubah?”

Ia diam saja.

“Hei, aku bertanya, apa yang membuatmu berubah?”

“Kamu,” jawab Jonathan, akhirnya.

“Aku? Apa yang sudah aku lakukan?”

“Memang tidak ada. Tapi, lihat saja, aku punya banyak teman muslim, tapi jarang ada yang salat.”

“Lalu?”

“Aku melihat kamu sangat beriman. Tak pernah lupa salat.”

Aku hanya tersenyum. Kalau aku dan beberapa teman wanita seusiaku berdiri berjejer dan ada satu orang yang menilai kadar keimanan kami, pasti aku berada di urutan paling akhir. Kini, tiba-tiba saja, ada seseorang, yang tidak tahu apa-apa tentang diriku, secara tak langsung mengatakan bahwa aku memberi inspirasi untuk bertobat.

Aku tak pernah menduga, dari dalam diriku ada sedikit kekuatan untuk mengubah seseorang. Aku merasa terharu, setidaknya untuk sementara, sampai waktu 2 minggu akan berakhir esok hari. Ya, esok Jonathan sudah tak akan lagi bangun pukul 5 pagi untuk pergi ke Jakarta dengan kereta pagi.

Hari ini adalah hari terakhir aku dan Jonathan bisa bertemu. Entah kapan lagi kami akan bertemu. Tapi, jika menuruti keinginan Jonathan, ia ingin kami bertemu seminggu sekali. Aku hanya mengiyakan ajakannya. Tapi, aku belum mempertimbangkannya matang-matang. Mungkin, setiap hari aku akan menjawab SMS-nya, yang melaporkan segala kegiatan yang ia lakukan, termasuk masalah tidur siang yang tak nyenyak. Tapi, untuk tampak berduaan di depan umum, rasanya itu tidak mungkin.

“Itu Deni. Dia kakak kelas, yang jauh berada di atasku. Tapi, mungkin, dia tetap lebih muda daripada kamu. Kamu mau berkenalan dengannya?” bisik Jonathan sekilas, lalu menyapa pria yang dipanggilnya Deni itu.

Aku sungguh tak mengerti. Oke, dia berusaha memperkenalkan aku pada seniornya, yang berwajah manis dan sedang duduk tepat di hadapan kami. Apakah Jonathan tidak menyukaiku? Tapi, tak apa. Aku pun tak berharap banyak darinya.

Jonathan dan seniornya itu kemudian bercakap-cakap. Dengan wajah terus memerhatikan Deni, Jonathan terus menyikut lenganku, ingin tahu apakah aku mau berkenalan dengannya. Sungguh tak kumengerti, apakah aku harus menawarkan diri untuk berkenalan dengan Deni? Aku hanya diam dan berusaha memejamkan mata karena terlalu lelah menatap layar komputer seharian penuh.

Kereta telah memasuki Stasiun Bogor. Aku merasa heran karena Deni pergi begitu saja meninggalkan kami, tanpa permisi atau tersenyum padaku. Tidak sopan? Atau apakah ia begitu pemalu?

“Kenapa dia pergi begitu saja? Tidak bareng kamu?” aku masih bingung.

“Jalan ke rumahnya tidak searah. Kenapa? Tadi kalian akan kuperkenalkan, tapi kamu diam saja,” kata Jonathan.

“Bukan begitu. Kok, dia pergi tanpa permisi?” jawabku, santai.

Jonathan hanya mengangkat bahu.

Lalu, kami turun dari kereta dan berjalan menikmati malam dengan perut kosong. Aku berniat makan bakmi di tempat terdekat, di mana pun itu.

“Waktu kamu tidur, dia tadi sempat menanyakan kamu,” kata Jonathan.

“Lalu, kenapa kamu tidak mengenalkan dia padaku?” tanyaku, bercanda.

Aku mengerti bahwa ia tak bisa diandalkan sebagai makcomblang, tidak di usia seperti itu. Tak apalah. Toh, aku tak pernah serius menanggapi permasalahan tadi.

“Kalau aku memperkenalkan kalian, nanti kamu akan lupa padaku, katanya dengan wajah polos, sambil tertawa kecil.

Entah bercanda atau tidak, tapi terus terang, kata-katanya itu sedikit membuatku merasa lega.

Kuputuskan untuk tidak membahas masalah Deni ini lagi. Kami hanya makan mi ayam dengan sangat lahap dan aku bersikeras untuk membayarinya, mengingat bahwa aku yang lebih dewasa dan telah berpenghasilan. Tapi, aku tak mengerti mengapa wajah Jonathan tampak sedikit kesal, ketika kami meninggalkan kedai mi itu.

“Lain kali, aku yang bayar, ya.”

Oh, ternyata, aku telah menyinggung ego seorang pria.

Aku kembali berjalan dengan senyum mengembang. Jika kelak aku memiliki pria yang tepat untuk kucintai, mungkin aku akan sangat dibutakan oleh cinta dan bersedia memberikan segala yang kumiliki, tanpa berpikir banyak. Menyeramkan, tapi aku mulai berpikir, mungkin aku berpotensi menjadi wanita seperti itu.

Sita, kakak keduaku, hanya tertawa mendengar cerita tentang Jonathan. Kejadian aneh yang baru dialami salah satu anggota keluarga, yang selama ini selalu menjalani kehidupan secara baik dan lurus. Kakak pertamaku, Rena, pada awalnya ikut tertawa. Namun, ketika tahu bahwa selama 30 menit terakhir aku sibuk berkirim SMS dengan Jonathan, ia agak kesal dan terang-terangan memintaku mengusir pikiran aneh yang sedang menghinggapi kepalaku.

Tanpa memedulikan sarannya, aku dan Sita kembali tertawa membahas isi SMS Jonathan yang terdengar sangat kekanakan, tapi tidak gombal yang menyedihkan. Lalu, kami juga membahas tentang pasangan selebriti yang usianya terpaut jauh.

“Tidak apa-apa. Siapa tahu berhasil,” kata Sita. Komentar nye­leneh yang sesungguhnya tak kuharapkan dari seorang kakak, yang seharusnya memiliki opini dan jawaban yang lebih bijak dan tak mendukung sikapku. Dalam hal ini aku justru senang dengan sikap kontra yang ditunjukkan Rena. Hanya, ia terlalu serius menanggapinya, membuatku merasa tersinggung.

Lain lagi komentar Mira. “Kamu gila. Kita mesti serius menghadapi hidup. Itu semua kesenangan semu. Lebih baik cari yang mau melamar kamu. Jangan cari masalah.”

Di satu sisi, aku merasa, perkataan Mira sangat masuk akal dan benar. Tapi, tahu apa ia akan masalah? Aku tahu, banyak sekali masalah yang datang padanya silih berganti. Tapi, tak pernah ada yang tahu apa masalah yang kuhadapi. Haruskah aku seperti Mira, yang bisa dengan mudah menceritakan masalahku pada banyak orang? Menggelikan.

Jonathan memang benar. Bogor begitu padat. Aku sendiri terjebak kemacetan selama 20 menit dalam angkutan kota. Aku bukan hanya mempertimbangkan dan memikirkan janji untuk bertemu dengan Jonathan, tapi bahkan bersemangat untuk pergi berdua dengannya.

Awalnya, aku merasa bosan selalu berdiam diri, tanpa memiliki kegiatan apa pun di rumah dan hanya menghabiskan persediaan kue. Aku mulai merindukan toko buku, mencari buku yang baru beredar. Ya, aku beralasan.

“Sudah dari tadi?” tanyaku, sambil tersenyum.

“Baru 20 menit menunggu,” kata Jonathan.

Kami sama-sama memperhatikan penampilan yang baru kami lihat dalam pakaian santai, bukan kemeja, blazer, dan tas kerja seperti biasa. Jonathan kali ini menggunakan kacamata, kaus, dan sepatu olahraga.

“Kita mau ke mana dulu?” tanya Jonathan.

“Aku, sih, ingin ke toko buku dulu.”

“Sesudah itu, kita nonton, ya?”

Aku mengangguk. Setelah aku menemukan buku yang kucari, kami pergi ke bioskop terdekat. Secara tak sengaja kami bertemu kakak perempuan Jonathan, Maria. Aku hanya tersenyum pada Maria dari kejauhan. Ia bahkan tampak lebih muda dariku.

“Tidak ada film yang bagus. Masih mau nonton?” tanyaku.

Jonathan mengangguk. Kami lalu menuju tempat penjualan tiket. Tiba-tiba Jonathan mengeluarkan lembaran seratus ribu, melarangku untuk membayar. Aku hanya tertawa, menyadari bahwa ia baru menerima gaji setelah kerja praktiknya di Jakarta. Momen ini dijadikan kesempatan untuk mentraktirku. Aku benar-benar merasa tak enak. Tapi, karena ia begitu memaksa, akhirnya aku menerima tawarannya.

Kami masuk studio 3 yang sangat sepi. Hanya 6 pasangan yang kulihat di dalam ruang gelap ini. Jonathan memilih tempat duduk di samping dekat tembok. Hah, hanya 12 orang dalam sebuah ruangan besar gelap di siang bolong? Tidak lucu.

Mungkin, ini karena film yang akan diputar memang tidak terlalu bagus. Sebuah film sekuel horor Asia yang tak kusuka sama sekali. Jonathan pun tak begitu menyukainya. Hanya, kami tak mau menyia-nyiakan waktu yang telah sengaja kami sediakan untuk menonton.

Film sudah berjalan 15 menit. Kami agak terlambat. Tapi, begitu buruknya film itu, sehingga aku tak merasa ada bagian yang terlewat. Hanya sebuah film remaja berbalut cerita hantu, setan, buto ijo, dan arwah-arwah buruk rupa sejenisnya. Tapi, di saat tak terduga, aku kaget melihat munculnya hantu Asia berwajah pias. Spontan aku menjerit dan menutup mata.

Jonathan tertawa keras. Ia senang melihat tingkah bodohku.

Aku bersungut-sungut kesal. Tapi, sampai beberapa menit, aku tetap tak berani membuka mata. Dan, Jonathan makin gencar menggodaku. Tiba-tiba, aku benar-benar tak ingin ini berakhir, sampai kapan pun.

Tapi, film buruk tadi telah usai. Dua jam yang sangat singkat. Kami tak tahu hendak melakukan apa lagi. Jonathan juga belum berniat pulang. Ia mengajakku ke bagian pakaian untuk sekadar cuci mata, lalu melihat-lihat sepatu basket yang mahalnya luar biasa, dan mencari kado ulang tahun untuk sepupu perempuannya yang masih berusia 8 tahun.

Aku agak kecewa. Di mataku ia terlihat agak konsumtif. Mungkin, aku terlalu banyak berharap bahwa suatu saat akan melihat sosok pria dewasa yang dapat kuandalkan dalam diri Jonathan. Atau, mungkin juga aku terlalu iri pada banyak pasangan dewasa yang terlihat ‘normal’ di mataku. Aku pamit pada Jonathan untuk menunggu di luar toko, dengan alasan harus menelepon seseorang di kantor.

Ternyata, John memang tidak dewasa. Setelah ini, aku nggak mau ketemu dia lagi. Ini yang terakhir kali.
SMS ini kutulis untuk Sisi. Beberapa detik kemudian, aku menerima SMS report, yang menunjukkan bahwa SMS itu terkirim pada Jonathan, bukan Sisi!

Aku terkejut bukan main. Mati aku. Kulihat dari jauh, Jonathan sedang melihat-lihat baju. Karena panik, aku cepat-cepat menghubungi Jonathan.

“Jon, aku salah kirim SMS. Maaf.”

Napasku masih tersengal-sengal. Setelah sedikit tenang, aku memikirkan alasan yang akan kuberikan pada Jonathan mengenai SMS tadi.

Ini bukan kejadian bodoh yang pertama kali. Pada Sisi, aku mengirim SMS yang menyatakan rasa tidak sukaku pada Ade. Aku kecewa melihat tipikal teman-temannya yang akan ia jodohkan untukku. Orang-orang yang masih berpikir lokal, sederhana, dan kurang open minded. Ade pikir, yang kuinginkan dari seorang pria adalah pintar secara akademik.

Sebuah salah pengertian yang luar biasa menakutkan. Aku berniat mengirimkan SMS itu pada Sisi, tapi terkirim pada Ade. Karena, berhari-hari aku menghabiskan pulsa hanya untuk berkirim SMS dengan Ade.

Sekarang hal itu terulang lagi. Benar-benar bodoh!

“Ada apa, sih, Young?” Jonathan keluar dari toko pakaian dengan tergesa-gesa.

“Nggak ada apa-apa. Cuma salah kirim SMS,” jawabku.

Sudah. Jonathan hanya mengangguk. Tidak bertanya apa-apa lagi. Tapi, aku justru penasaran, kenapa dia tidak bertanya lebih lanjut. Lalu, aku memancing, “Kalau seseorang sudah berumur lebih dari 30 tahun, tapi bersikap seperti masih 16 tahun, menyedihkan, ‘kan?”

“Kamu sedang membicarakan siapa?”

“Ah, tidak usah diceritakan. Ini masalah orang dewasa,” jawabku, datar.

“Aku tidak boleh tahu?”

“Bukannya tidak boleh tahu. Tapi, kamu mungkin akan sulit mengerti apa yang dirasakan oleh orang seumurku. Nanti kamu bisa pusing,” jawabku, sok tua.

Jonathan tetap memaksa, bahkan sampai kami akhirnya tiba di salah satu tempat makan di mal itu, dia masih tetap memaksaku untuk bicara. Bukannya aku tak ingin. Tapi, aku masih pusing memikirkan sebuah cerita tragis fiktif, yang bisa menutupi kesalahan SMS tadi.

Akhirnya, aku merampungkan sebuah cerita dalam otak, lalu kutuangkan dalam sebuah penuturan yang agak dramatis mengenai mantan kekasih bernama Jon, yang selama ini kembali berusaha mendekatiku secara sepihak. Begini ceritanya.

‘Jon’ ini tiba-tiba memperkenalkan aku sebagai kekasihnya di depan rekan-rekan kami di kantor. Aku tak membantah, tak juga mengiyakan. Hanya ingin melihat sampai di mana ia akan bersikap sok kuasa akan diriku. Tapi, kedekatan kami membuatku merasa terbiasa dengannya. Tanpa sadar, selama kami sering bersama, orang melihat kami sebagai sepasang kekasih. Aku sendiri merasa tidak dirugikan oleh semua tindakan ’Jon’, yang tanpa persetujuanku.

Tapi, setelah ‘Jon’ ditugaskan di Makassar, 3 bulan kemudian ia mengatakan akan menikah dengan wanita Makassar. Ia melakukan itu karena uang. Aku kecewa, tapi tak sedih. Ia yang memulai dan ia pula yang mengakhiri. Yang membuatku sebal, di malam sebelum pernikahannya, ia masih menghubungiku, mengucapkan kata-kata romantis yang tak sepantasnya diucapkan seorang pria, yang hendak menikah dengan wanita lain yang ia akui tak pernah ia cintai. The end.

Itulah cerita pendek rekaan, yang kuciptakan selama 10 menit. Aku mengambil tokoh Ade, mantan rekan kerjaku yang dulu bertugas di Makassar, sebagai inspirasi tokoh dan karakter ‘Jon’. Mungkin, aku memang terbiasa berbohong sejak dulu, sehingga kata-kata yang keluar meluncur begitu saja seperti arus air. Atau, mungkin juga, karena begitu mudahnya mengelabui seorang anak berusia 16 tahun? Entahlah, aku bahkan tak peduli apakah Jonathan percaya atau tidak dengan cerita karanganku.

“Sudahlah, lelaki seperti itu tidak perlu dipikirkan. Mana nomor teleponnya, biar aku damprat!”

Ya, bisa jadi, ia percaya pada ceritaku. Tapi, kata-kata terakhirnya mengingatkanku pada sikap sok melindungi Ade, ketika kukatakan ada seorang pria hidung belang mencoba mengelabuiku.

Aku termenung sejenak. Apakah reaksi semua pria akan selalu seperti itu, jika ada seorang teman wanita merasa ‘tersiksa’? Tak peduli wanita itu adalah sang kekasih atau hanya sebatas teman? Apakah itu bukan bentuk rasa sayang yang termanifestasi dalam bentuk perlindungan? Apakah itu hanya semacam ego kaum pria? Sebuah naluri sok kuat?

Kalau pernyataan Ade dulu dan Jonathan tadi hanya diperuntukkan bagi wanita yang mereka sukai, wajarkah jika aku merasa sedikit bangga dan senang? Tapi, kalau ternyata itu hanya reaksi spontan semua pria, bisa jadi, dulu aku hanya seseorang yang terlalu cepat menilai, terlalu cepat menyimpulkan arti kebahagiaan. Bodoh.

Ketika akhirnya kami duduk di sebuah angkutan kota dan hendak pulang, seorang anak remaja wanita duduk tepat di sam­pingku. Matanya tak pernah lepas dari Jonathan, yang duduk di de­panku. Ketika penumpang di sebelah Jonathan turun, Jonathan memintaku untuk duduk di sampingnya. Tanpa pikir panjang, aku berpindah tempat duduk.

Dari tempat dudukku yang sekarang, terlihat jelas bahwa wanita muda itu terus menatap Jonathan. Aku berpikir, wanita muda itu sangat berani. Aku tak ingat pernah menatap seorang pria sekuat itu. Lalu, aku bertanya dalam hati, apakah ia tak sadar dengan keberadaanku. Aku tahu pasti, ia sadar bahwa aku sedang menatap ke arahnya. Aku mungkin sedikit cemburu. Mungkin. Tapi, aku justru tersenyum padanya.

Ternyata, aku mungkin memang terlalu percaya diri. Karena, walau mungil dan tampak awet muda, wanita-wanita di depanku ini tetap melihatku tidak sebagai kekasih Jonathan. Entah sebagai kakak atau tante. Kalau tidak, mana mungkin mereka akan bersikap senekat itu.

Aku menoleh pada Jonathan dan sepertinya aku menangkap bahwa Jonathan menempatkan dirinya dengan nyaman sebagai obyek yang digilai wanita. Tampaknya, ia menikmati pandangan dari wanita-wanita di sekitarnya. Aku tak bisa marah sama sekali. Aku merasa tak berhak atas diri dan sikap Jonathan. Aku merasa, pria muda ini memang milik wanita-wanita itu.

Tiba-tiba aku merasa diriku berada pada posisi penonton, tanpa bisa menyumbangkan ‘permainan’ apa pun. Lalu, ada rasa kesendi­rian yang menghinggapiku. Dalam sekejap, aku merasa kembali pada ketidaknyamanan, yang sering membuatku merasa sepi.

Rasa sepi, dan mungkin juga cemburu itu, membuatku me­lontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk Jonathan. Kutanyakan, di mana ia akan melanjutkan sekolah, apakah ia akan kuliah di luar kota, apakah ia tak berniat mengikuti jejakku untuk kuliah di sebuah universitas negeri, apakah ia tak ingin ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri.

“Mau ikut, tapi tidak yakin lulus. Aku tidak sepintar kamu, Young. Bisa jadi, dengan mudahnya kamu masuk ke universitas favorit.”

“Siapa bilang mudah? Masuknya mungkin memang tidak terlalu sulit. Tapi, nanti ada sebuah kehidupan lain yang lebih sulit, yang akan menanti kamu. Kamu akan menemukan kultur belajar orang-orang yang memang sangat senang belajar. Lalu, kamu juga akan menemukan teman yang sangat individualistis. Bahkan, ada saatnya, kamu merasa tidak memahami, mana yang benar-benar teman dan mana yang hanya berteman karena menginginkan sesu­atu dari kamu. Bukannya menakut-nakuti. Tapi, kehidupan nyata memang seperti itu. Paling tidak, itulah yang aku alami. Jadi, tak ada salahnya kalau kamu bersiap-siap.”

“Ah, aku tidak paham dengan apa yang baru saja kamu ucapkan. Kata-katamu terlalu super,” kata Jonathan, sambil membenarkan rambutnya yang ia tata dengan gel.

Aku diam. Aku benar-benar tak mengerti, bagian mana dari kata-kataku yang tak ia mengerti. Bagian mana pula dari kata-kataku yang bisa dikategorikan sebagai kata-kata super? Aku sedang bicara dengan siapa sebenarnya? Rasanya, bahasaku sangat ringan dan mudah dimengerti.

Mendadak aku tersadar. Aku bukan sedang bicara dengan pria seusiaku, melainkan dengan seorang remaja. Seorang pria muda yang dikelilingi oleh lingkungan dan dunia yang memanjakannya.

Jonathan kembali bicara. Kali ini topik yang ia pilih adalah tempat-tempat makan terbaik, yang pernah ia kunjungi bersama pamannya. Bukan hanya di mal, namun juga di pinggir jalan.

Aku berusaha memotong pembicaraannya dan mulai membicarakan hal lain. Kuceritakan pengalamanku makan di sebuah tempat yang cukup murah dan enak, setelah pergi ke sebuah scholar­ship expo untuk program master, yang ingin sekali kudapatkan. Lalu, pembicaraanku melebar mengenai teman yang berhasil masuk universitas di Italia, tanpa diminta memasukkan nilai tes bahasa Inggris. Aku mengatakan, itu merupakan keberuntungan yang luar biasa dan aku iri oleh keberuntungan temanku itu.

Kulihat, dahi Jonathan mengernyit. Ia tak begitu paham akan pembicaraanku. Lagi-lagi, aku seperti bicara pada udara. Akulah yang kemudian merasa sangat bodoh.

Lalu, kami mulai lagi dengan pembicaraan tentang tradisi pe­nguburan masyarakat Tionghoa yang masih dilakukan nenek-ka­kek Jonathan dulu. Kami juga membicarakan tentang tradisi kremasi. Namun, ketika pembicaraan itu selesai, entah mengapa, aku ingin sekali mendengar sebuah visi atau pandangan akan kehidup­an di masa depan, meminta solusi akan masalah pelik di kantor dan tentang sikap teman kantor yang kurang menyenangkan. Tapi, hal-hal yang ingin kudengar, tak kudapatkan sama sekali.

Kemudian, banyak sekali pembicaraan-pembicaraan ringan, yang awalnya sangat menyegarkan, namun lama-kelamaan terasa membosankan. Rasanya, beberapa minggu ini aku terlalu dimanjakan oleh sebuah kenyamanan, yang pada akhirnya tak berujung pada apa pun. Hanya sebuah kesenangan sementara, tanpa diimbangi sedikit keruwetan, yang akhirnya membuatku kembali lagi pada titik yang sangat tidak nyaman. Jauh lebih tidak nyaman daripada sebelumnya.

Mungkin, bukan ini yang kucari. Bukan pembicaraan-pembicaraan santai yang terlalu sering ini yang ingin kudapatkan. Bukan Jonathan sebagai pelabuhan atau bahkan persinggahan. Mungkin, akhirnya, aku sudah merasa tak terlalu penasaran dengan kehidup­an masa remaja, yang pernah hilang dari dimensi waktuku dulu.
Aku hanya ingin kembali pada kehidupanku, kembali pada diriku yang sedang kuhadapi sekarang dan hari ini.

Di hari Senin yang tak begitu cerah itu, akhirnya semua kembali bekerja, beraktivitas. Kereta tampak penuh, seperti hari-hari biasa. Aku tak menemukan Jonathan di gerbong kereta api mana pun. Karena, ia telah kembali sekolah seperti biasa. Aku sendiri telah kembali pada rutinitas. Masa-masa tahun baru, yang mengundang banyak kemalasan dan keterlenaan, sudah berakhir. Aku kembali bertemu dengan bos, rekan kerja, dan lingkungan kerja yang begitu-begitu saja. Belum ada perubahan menyenangkan.

Sepulang kerja pun aku masih bertemu dengan Sisi dan Fina, masih membicarakan hal yang sama: Jonathan.
“Gila… akhirnya kamu sering pergi dengan Jonathan? Kamu bilang, tidak ingin berlanjut sampai jauh,” tanya Sisi.
“Terus terang, dia adalah pria pertama yang mengajakku jalan-jalan, nonton, makan. Memang, aku sempat merasa senang karena ada yang memerhatikan. Tapi, lama-kelamaan, aku tidak merasakan adanya chemistry atau kebahagiaan yang berlangsung lama. Dan, hari itu, aku hanya ingin keluar rumah. Kebetulan, dia juga sedang ingin jalan-jalan. Jadi, kami pun janjian untuk bertemu,” jawabku, dengan sedikit penyangkalan. Aku tak mau mengakui bahwa aku pernah dibutakan oleh cinta terhadap seorang remaja. Memalukan.

“Berhubungan dengan pria seumur memang berbeda dibandingkan dengan pria yang jauh lebih muda. Walaupun hubungan kita dengan pria yang seumur itu tidak terlalu serius, tetap masih ada harapan untuk bisa berlanjut. Paling tidak, kita bisa membayangkan atau memikirkan sebuah pernikahan, keluarga, dan masa depan. Positifnya, kita jadi rajin menabung untuk bisa mengadakan pesta pernikahan, seperti yang kita impikan. Bukankah begitu, Si?” kata Fina, serius.

Sisi mengangguk.

“Dan, semua usaha yang kita lakukan, pengorbanan yang kita tumpahkan untuk menjaga hubungan itu, terasa tidak sia-sia, mes­kipun akhirnya menemukan kebuntuan,” kata Fina, melanjutkan.

“Mungkin, kita baru akan menyadari bahwa kita sudah dewasa ketika mengenal cinta di usia seperti ini,” begitu teoriku akan hubungan resmi sesama orang dewasa yang belum pernah kurasakan.

Sisi mengerutkan dahi.

“Begini, ketika bertemu Jonathan, hatiku tergetar. Merasa mene­mukan cinta sejatiku. Aku kemudian berpikir, pria seperti Jonathanlah yang aku inginkan. Pria yang bisa membuat aku merasa senang, tanpa beban yang membuat pusing. Ia membuatku merasa bisa membayar penyesalan, karena aku tidak sempat menikmati masa-masa remaja. Terus terang, aku juga mencoba membuktikan bahwa sebenarnya dulu aku juga bisa mendapatkan pria yang tampan di sekolah, pria yang menjadi incaran banyak wanita.”

Sisi dan Fina masih mendengarkan ucapanku.

“Tapi, setelah kucoba masuk ke dalam kehidupannya, hanya untuk mengintip sedikit, aku sadar itu bukan kehidupanku lagi. Aku tidak menginginkan kehidupan seperti itu lagi. Aku merasa asing dan merasa selalu berada di luar dunia Jonathan. Dan, apa pun yang dia pikirkan, semuanya tidak dewasa sama sekali, segalanya bersifat temporer. Aku baru sadar betapa polosnya mereka. Betapa bodohnya aku dan kamu dulu.

Lagi-lagi, Sisi hanya mengangguk. Fina juga hanya diam.

“Pada saat itu juga, aku pikir, hubungan yang hanya didasari rasa cinta saja adalah sebuah hubungan yang dangkal dan rapuh. Aku malah merindukan kehidupan yang penuh kepastian, merindukan kerumitan hidup, dan merindukan teman-teman yang ketika bicara membuat telingaku terasa panas. Mungkin, karena pada akhirnya aku merasa, hidup dengan segala keindahan dan kesulitannya, membuat aku merasa lengkap.”

Sisi dan Fina mengangguk, tanda setuju. Aku memang tak pernah puas bicara dengan mereka. Aku menginginkan sebuah kritik, bahkan kalau perlu sebuah perdebatan sengit.

Aku kembali terdiam, memikirkan ucapanku tadi.

Mendadak, pandangan kami tertuju pada seorang pria berwajah tampan, yang terlihat sangat kelelahan setelah bekerja seharian. Ia duduk di bangku peron dekat kami.

“Kamu melihat apa yang aku lihat?” tanyaku, berbisik.

Sisi dan Fina tertawa lebar, sambil melirik ke arahku.

Hari-hariku kini tanpa Jonathan. Paling tidak, nyaris tanpa dia. Aku lebih sering mengobrol dengan Sisi dan Fina, seperti dulu. Dalam perjalanan di kereta, kami membicarakan tingkah lucu yang dilakukan para penghuni gerbong kereta. Kami juga mencaci pria-pria dalam kehidupan kami termasuk cerita fiksi tentang ‘Jon’ yang jadi kenyataan.

Aku baru mendengar cerita baru dari teman-teman kantorku. Ade, yang menjadi inspirasi tokoh ‘Jon’ itu, memang pernah secara langsung, tanpa meminta izin padaku, mengaku pada Mas Adit, rekan kami sekantor, bahwa aku adalah kekasihnya. Entah apa maksudnya. Mungkin, ia suka padaku. Tentu saja, karena berita dari bibirnya sendiri, semua orang pada akhirnya melihat kami sebagai sepasang kekasih.

Aku merasa kesal, sekaligus senang. Membuatku percaya bahwa Ade, yang telah memiliki kekasih, benar-benar menyukaiku. Itu membuatku sangat rela untuk memberikan pertolongan-pertolongan kecil yang selalu ia butuhkan. Hingga akhirnya ia tahu keadaan sederhana keluargaku. Akhirnya, aku tak sadar, mengapa ia mau ditempatkan di Makassar, yang sebelumnya ia tolak mentah-mentah. Bodohnya aku.

Ia tinggal di rumah kosong milik kekasihnya di sana. Lalu, ia pindah rumah dan menyewa kamar kos dengan biaya sendiri. Mung­kin, ia malu karena terlalu terlihat mendompleng. Tak lama, ia menikahi kekasih kayanya itu, mengundurkan diri dari perusahaan kami, menghilang dari kehidupanku, tanpa memberi kabar berita. Lalu, tiba-tiba ia muncul lagi dengan memperdengarkan suara dan kata-kata gombal ala salesman melalui telepon, untuk minta tolong menagih surat referensi pada departemen personalia. Dia telah memanfaatkan aku. Bodohnya aku.

Jadi, sebenarnya, ceritaku dulu tidak terlalu fiksi. Mungkin, hanya memberikan pelajaran berharga padaku untuk tidak banyak membual, yang pada akhirnya menjadi kenyataan pahit, yang sama persis dengan cerita fiksiku. Tuhan benar-benar mendengarkan ucapanku saat itu rupanya. Padahal, itu bukan doa. Tapi, mungkin, Tuhan terlalu tahu betapa aku menginginkan sebuah cerita cinta dalam hidup, termasuk pelangi dan kerikil tajam di dalamnya.

“Young, kamu tidak sadar bahwa sebenarnya sudah berpacaran dengan Jon?” tanya Mira.

“Tidak seratus persen. Tapi, kadang-kadang aku merasa begitu,” jawabku, yang sedikit terkejut mendengar ucapan Mira.

“Tapi, hubungan kamu dengan anak itu sudah selesai, ’kan? Jangan terlalu lama menempatkan diri dalam posisi nyaman dan semu seperti itu. Hadapi saja yang sekarang ada di depan kamu. Jangan lari terus!” kata Mira, sok tahu.

“Aku selalu menghadapi masalah-masalahku,” jawabku dengan sedikit nada ragu.

“Ya. Tapi, mungkin kamu sedikit egois karena menjadikan dirimu itu sebagai pusat dari segala masalahmu yang lebih berat. Sesekali, kamu harus lihat ke sekeliling.”

“Aku egois?”

“Aku tidak pernah mengerti masalahmu. Tapi, apa pun itu, jangan berlama-lama memikirkan hal yang bukan prioritaslah. Karena, inti menjadi dewasa adalah menempatkan diri sebagai orang yang tahu benar tentang hal-hal yang ingin dituju dan menjadikannya sebagai prioritas utama,” sambung Mira, sok bijaksana.

“Masalahnya adalah apakah aku pernah ingin dan memilih jadi dewasa?” tanyaku, santai.

Tapi, rupanya, jawabanku mengejutkan Mira.

“Ya, itu hidup kamu. Hanya kamu yang tahu. Kamu pula yang menjalankannya. Sekarang ini, kita tidak lagi hidup untuk orang lain. Berpacaran dengan pria paling pintar, hanya agar terlihat keren. Bergaul dengan komunitas religius agar terlihat sebagai perempuan baik-baik. Rasanya, itu sama sekali bukan diriku.”

“Apakah kamu pikir selama ini aku hidup untuk orang lain?” tanyaku, sedikit kesal.

Mira bingung mendengar jawabanku yang mengandung banyak emosi, seolah aku marah padanya. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Yang jelas, aku hanya marah pada orang sok tahu, yang sering meragukan aku. Keraguan itu begitu kuatnya hingga secara perlahan mendorongku untuk ikut meragukan diri sendiri. Begitu marah pada nasib yang sering kurasakan sangat mempermainkan aku dalam masalah percintaan. Marah karena pria-pria berengsek masuk dalam kehidupanku begitu saja, tanpa kuundang, dan akhirnya meninggalkanku, seperti seonggok sampah. Mungkin, aku juga marah karena tak juga mendapat cinta yang kuinginkan.

Jadi, mungkin, sederhana saja alasan mengapa aku bisa merasa nyaman bersama Jonathan. Karena, ia membuatku merasa disukai, dan merasa yakin bahwa aku cukup pantas mendapatkan kasih sayang dari seorang pria.

“Mungkin, ini cuma masalah kesabaran. Meski kamu tidak meminta, kenyataannya, sekarang kamu hidup dengan banyak masalah, seperti aku juga. Dan, mau tidak mau, kita membutuhkan sikap dewasa untuk menghadapi itu semua, Young,” sambung Mira.

Aku kembali dalam situasi tenang ketika mendengar ucapan terakhir Mira itu. Akhirnya, aku hanya melemparkan senyum, seolah aku tadi sedang bercanda, tak serius sama sekali. Mira pun merasa lega melihat senyumku.
Namun, hei, mungkin, situasi panas dan sedikit serius seperti yang baru saja terjadi, adalah situasi yang kini kuinginkan. Rasanya senang bisa memberikan perlawanan, sekaligus menjawab tantangan dalam pertikaian kecil setiap kali bertemu. Seperti sebuah proses untuk mengenal masalah dan mencari cara untuk menye­lesaikannya.

Mungkin, aku terbiasa dengan itu semua. Mungkin, ini memang dunia nyamanku yang sekarang. Mungkin, aku memang suka setiap kali Mira mengingatkan bahwa aku dan dirinya hanya manusia tak sempurna.

Entahlah. Tapi, pada akhirnya aku memang berterima kasih akan semua protes, kritik, dan kesoktahuan Mira akan diriku, yang membuatku selalu merasa kesal dan jadi ingin membuktikan diri. Ia, dan mungkin terutama Jonathan, memberikan sumbangan besar dalam membantuku menyelesaikan masalah penasaran, yang terpendam selama bertahun-tahun. Rasa penasaran akan sebuah masa, yang benar-benar hanya akan mengisi lembaran lama. Lembaran yang kelak hanya akan kubuka sesekali saja, hanya untuk dikenang, tanpa mau lagi terlibat di dalamnya.

Dalam waktu beberapa menit aku beradu argumen, sebentar kemudian bergosip, lalu meratapi nasib hidup, berdebat mengenai banyak perundangan-undangan ‘ajaib’ di negeri ini, dan akhirnya membahas karier berbeda yang kami pilih dalam hidup. Mira lebih suka menjadi peneliti yang mampu menampung pikiran kritis dan idealisnya, sedangkan aku lebih suka bekerja kantoran secara rutin.

Kehidupan seperti itu mungkin membosankan dan sedikit memiliki variasi warna. Tapi, memang itulah kehidupan di usiaku yang sesungguhnya dan secara jujur aku menginginkannya. Seharusnya, aku merasa lega memiliki teman paling pintar, jujur, dan selalu bicara apa adanya, seperti Mira. Seharusnya, aku sudah merasa lengkap dengan keberadaan Sisi sebagai teman yang sangat ceria, ramah, berpikiran sederhana tanpa pendidikan yang terlalu tinggi, dan menjalankan kehidupan apa adanya. Seharusnya, aku merasa bersyukur bahwa secara fisik aku tak kurang suatu apa pun. Cukup bisa menarik beberapa pria, walau hanya untuk menoleh beberapa saat ke arahku. Termasuk, pria muda seusia Jonathan.

Akan ujian. Jadinya, sibuk belajar. Begitu isi SMS Jonathan.

Belajar yang benar, ya. Semoga sukses. Itu adalah jawaban terakhirku untuk Jonathan. Tak ingin lagi kudengar kabar darinya. Dan, selama 6 bulan terakhir ini, aku berhasil menahan diri untuk tidak menghubunginya.

Ya, aku kembali menjadi diriku, menjalani segala rutinitas harian, tanpa berpikir neko-neko. Aku juga bersyukur karena Jonathan sempat hadir dalam hidupku, menjadi cermin dan tempat menumpahkan kegundahanku di masa lalu, yang belum pernah kuselesaikan.

Aku sudah selesai mengatasi kegelisahan yang timbul karena perasaan jenuh akan rutinitas hidup, yang berbulan-bulan menye­rangku secara bertubi-tubi. Aku juga tak lagi merasa resah karena belum menemukan pangeranku yang menunggang kuda putih. Aku yakin, suatu hari, pangeranku pasti akan datang. Pasti. Meski tak tahu kapan.

No comments: