12.22.2010

Matahari Bupolo

Sungguh, tidak terpikir bahwa aku berkesempatan mengirup hawa di Bumi Bupolo ini. Satu-satunya yang menggerakkan magnet hatiku adalah karena kutahu di sinilah dulu kreativitas Pramoedya Ananta Toer terangsang hebat. Hingga ia melahirkan empat buku roman yang kemudian diunduh ke jenjang nominasi nobel dunia: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah.

Ah, setidaknya, jejak-langkah merekonstruksi proses kreatif Pram, dan berlagak menjadi dirinya, bisa kutelusur ulang sekarang….

Maka, aku tegak berdiri di perkampungan Savanajaya yang menyihir rasa. Siapa kira di Pulau Buru yang gersang dan meranggas ini akan terhampar berhektar-hektar sawah sehijau-hijau mata letih memandang?

“Hasil kerja keras para transmigran,” Azis, pemuda yang mengantarku berkeliling, dan sudah kukenal sejak di Jakarta, menjelaskan. “Mereka beranak-pinak di sini sampai ke Waepo. Nona pasti kaget mendengar mereka sehari-hari berbahasa Jawa. Seperti kita seng (tidak) sedang berada di Maluku saja.”

Alisku berkedut naik tanpa sengaja. Berpindah pandang antara Aziz dan petak-petak sawah di hadapanku yang menyejukkan. Baru tahun lalu Presiden Yudhoyono hadir di sini menyaksikan panen raya.

Panen raya di pulau yang lebih terkenal dengan minyak kayu putih dan markas tahanan politiknya? Sungguh tak kuduga.

”Lalu, kamp penahanan para tahanan itu di mana?”

Samar, Azis menyeringai. Fisik dan penampilan alumnus sekolah pemerintahan itu tampak sulit diyakini sebagai putera kelahiran Buru. Nenek moyangnya asal Buton, yang bersama puluhan, atau mungkin ratusan, warga Buton lainnya merantau ke Kepulauan Maluku bertahun-tahun silam. Mereka menyebar ke berbagai pelosok, berbaur dengan penduduk asli dan perantauan asal Bugis. Bahkan, di Buru mereka juga hidup berdampingan dengan kaum transmigran asal Jawa.

Sebuah gambaran konkret Bhinneka Tunggal Ika yang membuktikan peta kekuatan sesungguhnya.

”Itu pertanyaan lama yang harus diluruskan, Nona....”

”Panggil aku Mbak, atau Rianti saja,” potongku, risih. Meski kutahu, ’Nona’ di Maluku bisa berarti kakak, atau adik, atau bahkan sapaan penghormatan terhadap wanita muda. Namun, sebutan itu seakan hanya kian mengukuhkan statusku yang masih saja melajang di usiaku ke-36.

Azis sempat mendelik, gerakan spontan dari keterkejutan. Tapi, nada suaranya kembali rata, ketika menjelaskan, ”Dari dulu di sini seng pernah ada kamp penahanan atau penjara seperti di Cipinang. Para tapol (tahanan politik) hidup wajar seperti penduduk lainnya dalam sebuah kampung. Cuma ada pagar-pagar yang jadi pembatas. Itu pun dari bambu atau pepohonan setinggi dada yang gampang ditembus. Tapi, siapa yang bisa? Buru kan pulau yang dikelilingi lautan. Mereka tetap saja seng dapat pergi ke mana-mana.”

Fakta baru lagi yang belum pernah kudengar. Apakah aku tertidur ketika guru geografi menjelaskan tentang tapol Buru di SMP dulu? Atau, jangan-jangan, guruku pun senaif aku saat ini?

”Beta (saya) sendiri heran, kenapa seng ada wartawan atau ahli sejarah yang mau menceritakan soal sistem penahanan tapol ini ke masyarakat,” Azis seakan bisa meraba isi benakku. ”Pemerintah kita dulu sebetulnya seng sekejam disangka orang. Tapol kan bukan perampok atau teroris. Memenjarakan mereka seng perlu cara-cara fisik. Cukup dengan membatasi keleluasaan intelektualitas mereka. Itu mestinya sudah bikin mereka invalid dan frustrasi.”

”Kecuali almarhum Pram,” aku menggumam, masih di antara keterperangahan.

”Ya, kecuali Pram,” Azis membenarkan.

Sinar matanya ikut meredup, seakan terlontar ke abad silam bersama pengembaraan benakku. Tapi, tetap terlihat kecerdasan di mimiknya.

Aku dengar dari seseorang bahwa Azis termasuk lulusan terbaik di angkatannya. Kariernya di kantor pemerintah Provinsi Maluku sempat melambung. Lalu, ketika Otonomi Daerah diberlakukan, dan Buru dimekarkan menjadi kabupaten, Azis naik pangkat sebagai Kepala Humas Pemda Buru. Belakangan, karena perbedaan prinsip dengan sang bupati, ia memutuskan berhenti sebagai pegawai negeri. Ia lalu bergabung dengan Hajah Nur, wanita trengginas serta tokoh masyarakat Bupolo yang akan maju dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) bulan depan untuk memperebutkan kursi bupati.

”Oke, rasanya napak tilas Pramoedya kita sudahi dulu. Ibu pasti sudah menuggu kita makan siang di Namlea,” Azis menyadarkanku untuk kembali kekinian. Ibu yang ia maksud adalah majikannya, Hajah Nur, orang yang membuatku terbang jauh-jauh dari Jakarta ke sini.

Hajah Nur masih nama yang asing bagiku, bahkan hingga detik ini.

Suatu siang di Jakarta, dua minggu lalu, Harvey, teman SMA yang perusahaannya sempat beberapa kali kubantu berpromosi, meneleponku: ”Batalkan semua janjimu hari ini, dan datang ke hotel tempatku menginap. Sekarang. Ada calon bupati butuh polesan tangan senior public relations consultant. Namamu sudah habis-habisan kujual, dan dia tertarik.”

Pesan yang menggantung, namun sangat menggoda. Harvey pasti juga sudah bercerita bahwa aku sempat ikut-ikutan di tim sukses salah satu calon presiden dalam pemilu lalu. Meski hanya berperan sebagai supporting team di lapis kesekian, keberhasilan calonku akhirnya menduduki kursi RI-1, menjadi portfolio yang bisa kujual ke sana-sini.

Buatku sendiri, pengalaman bergabung dalam tim sukses calon presiden dengan sangat jelas telah membuka mataku selebar-lebarnya: bahwa profesi public relations consultant mulai memasuki babak baru, seiring diberlakukannya sistem pemilu bebas di Indonesia. Cakupan pekerjaanku tidak lagi sebatas mengomunikasikan perusahaan atau lembaga tertentu, tapi juga meluas ke individu.

Di luar negeri, hal seperti ini sudah lama dilakukan. Namun, di Indonesia, baru mulai belajar. Belajar dalam arti sesungguhnya. Baik bagi calon presiden, maupun bagi para pelaku public relations sendiri. Ketika sinergi keduanya terjalin, dengan segera terlihat betapa babak-belurnya di seluruh lini. Kusimpulkan di ujungnya: memadukan politik dan komunikasi memang tidak gampang. Politik membawa sederet kepentingan, baik kelompok maupun individu. Kepentingan yang seringkali absolut, otoriter, bahkan egois.

Namun, politik hanya akan menjadi agenda diam, jika tak cermat-cermat dikomunikasikan. Dalam sistem pemilu langsung, rakyat harus mengenal dekat calon pemimpinnya. Harus tahu betul program kerja, serta visi dan misinya. Ilmu politik dan pelaku politik tak mungkin sendirian melakukan itu. Maka, tangan-tangan ahli komunikasilah yang menyulap mereka.

Ibarat produk baru yang siap diluncurkan ke pasar, harus ada satu medium yang menjembatani produsen dan konsumen. Medium yang akhirnya menumbuhkan keyakinan dan menggerakkan konsumen untuk memahami benefit dari barang tersebut, hingga akhirnya mereka dengan sukarela bersedia memilih dan membeli.

Sebuah pekerjaan yang melelahkan sekaligus menantang. Juga pembelajaran yang tak akan pernah diajarkan di kampus mana pun.

Aku sungguh beruntung berada di lingkaran itu. Melihat langsung, dan sedikit-sedikit terlibat di dalamnya. Kupikir ini satu benih aset yang bisa kulebarkan, ketika pilkada pun menerapkan pola serupa. Pemikiran yang selintasan pernah kuungkap ke Harvey. Di luar dugaan, ia tangkap dengan baik saat Hajah Nur muncul di hadapannya.

Jadi, dengan nekat, kutemui Hajah Nur siang itu. Apa pun, aku belum berpengalaman di pilkada. Dan, mengelola individu secara langsung, sendirian pula, belum pernah kulakukan.

Pada impresi awal, kuyakini Hajah Nur sebagai pribadi yang menyenangkan. Cantik, cerdas, dan berkarisma. Aura itu bahkan segera terlihat dari bahasa tubuhnya. Sayang, kondisinya sedang tak terlalu baik. Harvey yang mengamini kesimpulanku kemudian.

”Aku baru saja menemani Tante Nur bertemu dengan koalisi partai yang bakal mengusung Tante maju menjadi calon Bupati Buru,” Harvey memulai dengan kalimat pembuka yang menyodok keherananku. Bahwa dia ’Ambon Card’ (istilah untuk peranakan Ambon yang lahir di Jakarta, namun tak pernah tinggal di Maluku), aku tahu persis. Tapi, mempunyai tante asli Buru, baru sekarang aku tahu.

”Singkat cerita, suami Tante Nur, yang juga adik ipar ibuku, tadinya wakil bupati di Buru. Dua tahun lalu dia sakit keras, dan meninggal di tengah masa jabatannya. Lalu, atas desakan banyak tokoh masyarakat di sana yang menginginkan tampilnya sosok pemimpin baru yang lebih fresh, Tante dibujuk ikut pilkada tahun ini, melawan bupati yang sekarang berkuasa.”

Hmm, duplikasi jejak Corry Aquino rupanya. Tapi, kenapa tidak?

Tiga bulan lalu sebetulnya sudah ada beberapa partai yang bersedia mengusung Tante. Tapi, beberapa pihak yang tidak suka, kemudian meniup-niupkan isu jelek tentang performa almarhum suami Tante selama jadi wakil bupati. Spontan partai-partai yang awalnya mendukung, mencabut dukungan mereka. Kalaupun ada yang bertahan, jumlah kursi mereka di DPRD tidak memenuhi kuota. Padahal, deadline di KPUD tinggal tiga bulan lagi. Tante sempat stres. Akhirnya, lewat lobi sana-sini di Jakarta, dua partai besar di pusat bersedia membelokkan dukungan mereka ke Tante. Tapi, dengan syarat, Tante harus menang. Ini deal politik yang tidak bisa diganggu-gugat.

”Harus menang?” Aku meringis, tanpa berani melirik Hajah Nur. ”Tapi, ini kan politik. Mana ada yang serba harus dan serba pasti di politik?”

”Setuju. Itu sebabnya saya butuh Anda,” suara Hajah Nur terdengar lunak ketika menyela. Ada semacam kekuatan yang tampaknya akan sulit kutolak. Tapi, memang bukan tugasku untuk menjamin kemenangan padanya, dan ia harus tahu itu. Jujur di awal, buatku, jauh lebih baik.

”Mohon maaf, Ibu.” Akhirnya aku berani menatap matanya yang adem. Mata yang seketika kutahu tak akan mungkin kukecewakan. ”Mungkin Ibu perlu tahu dan paham lebih dulu bidang pekerjaan saya. Sebagai PR Consultant, bukan kapasitas saya untuk menyulap yang tidak ada menjadi pasti ada.

”Dalam kaitan kerja sama kita nanti, tugas saya adalah memberi pemahaman kepada masyarakat pemilih akan nilai lebih dari Ibu. Mengedukasi mereka, menyosialisasikan eksistensi Ibu, baik secara langsung maupun melalui media massa, sehingga mereka mengetahui dan merasa yakin bahwa Ibu adalah calon pemimpin yang mereka cari. Tapi, apakah kemudian Ibu otomatis akan terpilih, kembali berpulang pada Ibu sendiri. Sehebat dan sebagus apa pun saya memoles Ibu, kalau Ibu sendiri tidak siap mengantisipasi aspirasi masyarakat pemilih, mustahil Ibu akan menang.”

”Saya tahu. Kalau begitu saya ralat, saya butuh Anda untuk membantu saya meraih kemenangan.”

Senyumku mengembang. Ia ternyata lebih cerdas dari yang aku kira. Hanya dengan sekali bicara, ia bisa menangkap seluruh makna yang kumaksud, dan mengompromikan dengan keinginan-keinginannya. Kupikir, mestinya ia bisa menjadi klien yang bersahabat.

“Tapi, masih ada satu lagi. Posisi saya adalah konsultan. Dalam bekerja sama nanti, kedudukan kita harus sejajar. Saya adalah partner Ibu, penasehat Ibu, tempat Ibu berkonsultasi dan meminta advis; bukan karyawan yang, maaf, bisa Ibu suruh-suruh atau Ibu perlakukan kasar.”

“Saya mengerti.”

”Oke,” Harvey menyela. ”Kalau begitu, kita bisa langsung ke MOU?”

Hajah Nur mengangkat alis, sementara kakiku di bawah meja spontan menginjak sepatunya.

”Kenapa?” Dia malah membeliak heran. ”Tante kan perlu tahu juga berapa fee kamu!”

”Nanti dulu, nanti dulu,” Hajah Nur balik menyela, seperti tak terusik. ”Biar adil, saya perlu tahu juga bagaimana cara saya meyakini diri bahwa Anda adalah orang yang tepat.”

”Sederhana.” Aku menyodorkan kedua ponselku ke hadapannya. ”Di dalam sini ada banyak nomor telepon kolega, teman, orang tua, bahkan musuh-musuh saya. Ibu bisa menghubungi mereka satu per satu dan mencaritahu seperti apa saya dan kapasitas saya sesungguhnya.” Aku melirik Harvey. ”Maksud saya, Ibu jangan cuma percaya pada keponakan Ibu. Dia sengaja mempomosikan saya habis-habisan karena dia akan menodong jatah fee pada saya nanti. Justru itu tidak obyektif.”

Harvey menjerit sambil menyepak tungkai kakiku.

Aku menyeringai tak peduli. Tapi, Hajah Nur tersenyum lebar. Senyum yang kukira semacam rasa lega dan senang. Baru pertama kali kulihat, namun tampaknya senyum itu mampu menghapus kemuraman yang semula melingkupi wajahnya.

”Tak perlu kalau begitu. Spontanitas dan keterbukaan sikap Anda tadi sudah cukup meyakinkan saya.” Hajah Nur menyorongkan kembali kedua ponsel tadi ke hadapanku. ”Kalau akhirnya kita bekerja sama, percayalah, itu bukan karena kecap dapur Harvey yang penuh pesan sponsor....”

Harvey kembali menjerit dan menjedukkan kepalanya dengan manja ke lengan Hajah Nur. ”Belum apa-apa sudah berkoalisi! Dasar politikus!”

Umpatan itu memaksa Hajah Nur kembali tertawa geli. ”Jadi, kita sudah bisa mulai bekerja?”

”Ya, setelah Ibu menjawab satu pertanyaan saya terakhir: kenapa Ibu membutuhkan saya?”

”Persis seperti yang Anda inginkan: karena saya butuh partner kerja. Perlu saya tambahkan: dia harus wanita. Kenapa harus wanita? Jawabannya akan Anda temukan sendiri di Buru nanti.”

Keningku mengedut. Cukup misterius dan kian menantang. ”Oke, untuk memulai kerja sama, saya memerlukan data-data Ibu.”

”Akan segera saya kirimkan.”

”Saya juga akan mewawancarai Ibu.”

”Tidak sekarang, kan? Saya masih ada rapat. Kita atur besok?”

“Deal!”

Keesokan siangnya cuma pesan suara dari Harvey yang masuk ke ponselku: Tante Nur mendadak harus terbang ke Ambon tadi malam, dipanggil gubernur. Minggu depan dia kembali ke Jakarta dan siap kamu wawancara. Data-data yang kamu butuhkan juga akan dikirim secepatnya.

Minggu depannya justru tiket pesawat Jakarta-Ambon yang tiba di tanganku, menyusul pesan suara dari Hajah Nur: Daripada buang waktu mempelajari data-data tentang saya, lebih baik Anda langsung terbang ke Buru dan inconigto ke masyarakat untuk mengetahui seperti apa saya sesungguhnya di mata mereka. Di Ambon sudah menunggu tim yang akan menemani Anda menyeberang ke Pulau Buru.

Maka, di sinilah aku sekarang, berdiri lepas sendirian ribuan kilometer dari Jakarta. Harvey pun enggan menemaniku. “Buru? Mana ada mal di sana!”

Dasar raja mal! Menjenguk tanah leluhur pun dia enggan!

Rumah besar itu seperti hendak berpesta. Di halamannya, puluhan orang tampak berlalu-lalang dan luber hingga ke luar pagar. Sebagian duduk lesehan memenuhi teras, sisanya tercecer antara pos satpam hingga melingkar ke belakang rumah. Berdiskusi bergerombol-gerombol, entah membahas apa.

Hajah Nur menjadikan rumah tiga hektar miliknya yang bak istana ini sekaligus sebagai posko sekretariat tim sukses. Seorang wartawan lokal yang tak sengaja kutemui di kapal cepat Ambon-Buru sempat membisiki, jika kemewahan rumah pribadi itulah yang pernah memancing isu korupsi mendiang suami Hajah Nur, saat menjabat wakil bupati. Kabar itulah yang akan kembali diembuskan kubu lawan, seandainya Hajah Nur bersikeras maju sebagai calon bupati dalam pilkada nanti. Satu cerita yang akan kucari tahu dari bibir cantik Hajah Nur sendiri, kelak.

Berada dalam rumah ini memang terasa nyaman. Meski tak setiap ruangan full AC, struktur bangunannya yang mengizinkan pasukan angin leluasa berlalu-lalang, menjadikan tubuh yang sebelumnya terpanggang matahari Buru seketika segar dan bersemangat.

Turun dari mobil yang dikendarai Aziz, aku masih bisa merasakan tatapan curiga dari orang-orang sekitar. Tak heran. Bahkan, cenderung aneh jika mereka bisa dengan gampang menerima begitu saja kehadiran wanita kota sepertiku di pulau ini. Tentu berbeda halnya jika aku muncul sebagai turis atau pengusaha.

“Tadinya, sewaktu Ibu menyebut-nyebut akan mendatangkan konsultan politik dari Jakarta, beta kira dia laki-laki!” celetuk seseorang di ruang rapat, saat malam harinya Hajah Nur memperkenalkan diriku pada koalisi partai dan tim sukses yang mendukungnya.

Aku meringis. Prakata awal yang jauh dari kesan ramah itu seakan mengisyaratkan seberat apa medan kerja yang harus kulalui.

“Mohon maaf kalau saya sudah mengecewakan Bapak. Tapi, mudah-mudahan penampilan fisik saya tidak akan sampai mengganggu rencana kerja sama kita nanti,” sahutku, mencoba ramah dan memulihkan suasana.

Gagal. Karena, orang yang belakangan kutahu seorang pendeta dan ketua salah satu partai kecil itu sudah siap dengan psywar yang akan menggoyahkan mentalku.

“Tapi, orang kota seperti Nona, tahu apa soal Buru?”

“Betul itu. Kalau Jakarta, bolehlah Nona tahu segala hal. Tapi, Buru? Sudah berapa kali Nona ke Buru sebelum ini?” seorang peserta lain menimpali, seakan sepakat menggojlok aku.

Situasi yang tak pernah kuduga. Bisa kupastikan, tanpa perlu bercermin, betapa merah mukaku. Tak sampai ke telinga, memang, tapi cukup membuat tubuhku sedikit bergetar.

“Semua yang Bapak-Bapak sampaikan benar belaka,” kullindas rasa marah dan ketersinggungan jauh-jauh ke dasar hati. Ketika menandatangani MOU dengan Hajah Nur tempo hari, tak ada klausul dikerjain serupa ini. Tapi, lari dan menarik diri, tentu sudah terlambat. Tinggal pada kesungguhan Hajah Nur aku bersandar.

Kulirik dia, ingin tahu apakah keyakinannya terhadapku ikut goyah saat ini.

Senyum samar di wajahnya dan tarikan kedua alisnya yang sekilas kutangkap, seakan mengisyaratkan kalimat menggoda: “Selamat datang di Buru….

Aku, mau tak mau, balas memaksa senyum. Tapi, detik itu juga, aku tahu ke mana dia berpihak.

“Baru kemarin malam saya tiba di sini.” Aku melirik jam dinding di belakangku dengan dramatis. “Belum 48 jam. Jadi, jelas bohong besar jika saya bilang sudah tahu banyak soal Buru. Tidak. Anda semualah yang paling tahu. Termasuk soal politik, terutama politik lokal di Buru, Andalah yang lebih tahu.”

Kutinggalkan kalimatku menggantung untuk mencari tahu sejauh mana kesinisan mereka berujung. Dan, kutatap seisi ruangan. Seluruhnya 12 orang, pria semua, tapi hanya akan ada 3-4 orang penggugat, salah satunya pendeta tadi. Sisanya masih terjebak dalam keterperangahan akan feminismeku. Tipe-tipe yang mestinya lebih mudah kutaklukkan.

“Lalu... dengan pemahaman nol seperti itu, apa kira-kira yang akan An­da lakukan?”

Nah, pendeta itu mulai lagi, langsung menohok ke ulu hati.

Aku tersenyum kecil, dan menyahut ringan tanpa beban, “Bekerja sama dengan Anda semua tentunya.”

Maka, dengung unggas liar yang tadi siang kudengar di semak-belukar Savanajaya, seperti dipindahkan ke ruangan ini. Mereka saling pandang dan separuh menjerit histeris.

“Kerja sama katanya? Sementara katong (kami) semua di sini peras keringat memenangkan Ibu Hajah, dia cari-cari kerja sama! Orang macam apa yang Ibu Hajah bawa jauh-jauh dari Jakarta ini? Kerja sama!” Rentetan kalimat itu melompat berebutan, seperti diucapkan puluhan orang sekaligus.

“Bapak-bapak yang terhormat,” suaraku lebih bulat kini, dan seketika mengusir dengung unggas imitasi tadi ke kandangnya. “Kita berkumpul di sini pasti dengan satu tujuan: mengantarkan kandidat kita menjadi bupati. Tentu, itu bukan pekerjaan mudah. Bahkan, Hillary Clinton yang memiliki suami mantan presiden, tetap membutuhkan dukungan tim kerja untuk bisa merebut kursi yang pernah diduduki suaminya. Dan, tim tersebut hanya dapat mewujudkan rencana besar Hillary, apabila mereka bekerja sama….”

“Kerja sama sudah katong lakukan sebelum Nona datang ke sini!” seorang pria berjenggot tebal (yang belakangan kutahu anggota DPRD aktif yang siap membelot) – menggeram dari barisan depan. “Nona pikir, bikin apa tiap hari katong di sini? Cuma duduk-duduk minum kopi?”

“Bukan kerja sama seperti itu yang dimaksudkan Rianti,” Hajah Nur menyela tepat disaat kubutuhkan. Aku akan masuk ke bagian sensitif, dan memang lebih baik jika dia yang bicara. “Kalian semua datang dari kalangan berbeda, latar belakang berbeda, golongan berbeda, juga partai yang berbeda-beda. Rianti sengaja saya hadirkan di sini untuk menyempitkan perbedaan itu, bahkan menyatukannya jika dapat.”

Beberapa pasang mata lang­sung menghujamku, seakan sepakat me­ngecam: “Wanita kota seperti itu? Apa yang bisa dia lakukan?”

“Itu tadi bahasa versi Ibu Hajah tentang peran saya di sini,” aku segera menambahkan, ikut menyebut ’Ibu Hajah’, yang kian kuyakini memang menyimpan jiwa pemimpin. “Bahasa saya sendiri jauh lebih sederhana: kehadiran saya adalah untuk melengkapi apa yang sudah Anda rintis sebelumnya. Sepengalaman saya berorganisasi, ketika kita datang dari latar belakang berbeda, maka masing-masing orang atau golongan lebih ingin mendahulukan kepentingan masing-masing. Dalam forum kita, kecenderungan itu tidak boleh tejadi. Kenapa? Karena, objek kepentingan kita adalah Ibu Hajah. Beliaulah yang paling penting dan yang harus kita dahulukan.”

“Soal itu katong juga sudah lebih du­lu tahu!” seorang pria paruh baya, yang ternyata berprofesi sebagai dosen sekaligus aktivis partai, mendengus.

“Betul. Tapi, belum banyak yang tahu ketika harus mengaplikasikannya.” Kutembus sepasang matanya yang keras dengan tatapan lunakku. Senioritasnya pasti terusik, karena mengira aku mencoba mengguruinya. “Saya punya sedikit cerita ketika membantu kampanye Gubernur Jakarta beberapa waktu lalu.”

Ini jelas bohong. Aku tidak ikut terlibat dalam kampanye itu, namun aku intens mengamati dan sempat beberapa kali berdiskusi dengan tim sukses mereka. Ketika itu sang calon gubernur didukung oleh belasan partai, yang kuyakini berjalan sendiri-sendiri. Tanpa komando, tanpa koordinasi. Bukan berarti tak ada yang mengatur. Namun, dominasi dan arogansi masing-masing partai, yang merasa bahwa sang calon bisa lolos verifikasi karena jasa mereka, menjadikan strategi berkomunikasi yang sudah disiapkan porak-poranda.

Maka, atribut kampanye sang calon yang belakangan muncul di setiap sudut Jakarta, terlihat belang-bonteng; lebih banyak mengedepankan identitas partai daripada jati diri kandidat tersebut.

Hasil poling kecil yang saat itu kulakukan dengan beberapa rekan, menyimpulkan: masyarakat bingung memahami eksistensi calon gubernur. Kalaupun akhirnya dia berhasil juga memenangkan pertarungan, itu lebih karena kekuatan karisma calon itu sendiri, bukan hasil kerja keras partai-partai yang mendukungnya.

Sebagai pembelajaran politik, kupikir, tak salah jika kukutip peristiwa itu di hadapan Hajah Nur dan tim suksesnya. Bukan dosa juga kalau aku berakting seolah-olah aku terlibat langsung di dalamnya.

“Menurut kalkulasi politik waktu itu, gubernur terpilih itu juga diuntungkan. Karena, dia hanya berhadapan dengan satu lawan yang kebetulan didukung oleh satu partai. Itu pun dengan kemenangan amat tipis. Bayangkan jika dia harus berhadapan dengan empat kandidat lainnya, seperti yang saat ini dihadapi Ibu Hajah. Bisa jadi perolehan suaranya akan terpecah ke kubu-kubu lain.” Aku menutup uraianku dengan kalimat yang kurasa paling persuasif yang malam itu dapat kuucapkan: “Saya kira, kita semua tidak ingin Ibu Hajah mengalami nasib serupa itu.”

Ketiadaan suara buat beberapa saat dari para peserta rapat, memungkinkanku untuk buru-buru menghidupkan laptop. Harus segera kualihkan fokus perhatian mereka, sebelum ada serangan balik yang akan meluluh-lantakkan aku.

“Dan, saya sudah mencoba membuatkan semacam struktur organisasi, lengkap dengan deskripsi tugas untuk kita semua.”

In-focus kecil yang kubawa dari Jakarta langsung menyala terang-benderang merayapi dinding.

“Tentu saja ini masih berupa usulan, dan silakan Anda sekalian melengkapi. Tapi, poin terpenting yang ingin saya sampaikan adalah: kalau ada yang mengira bahwa saya akan memimpin tim kerja ini dan mengambil-alih posisi Anda masing-masing, itu pemikiran yang sa­ngat keliru. Sebab, seperti Anda lihat,” laser penaku menunjuk struktur organisasi di dinding, “Tidak ada nama saya di sini. Tidak ada.”

Semua mata bergerak ke satu arah, mengikuti arah laser penaku. Memang tidak ada namaku di sana. Beberapa orang memperlihatkan mimik tak mengerti, tapi lebih banyak yang tampak berwajah lega.

“Seng ada yang bertanya. Kenapa?” Hajah Nur justru yang kembali mencoba menengahi kebekuan. “Jawabannya: karena Rianti adalah konsultan pribadi saya sebagai calon bupati. Bukan konsultan tim sukses atau konsultan koalisi partai yang akan mengusung saya. Tapi, karena objek dari semua kerja besar ini adalah saya, Hajah Nur, maka menjadi bagian dari tugas Rianti untuk mengawasi dan berkoordinasi langsung dengan Anda semua. Beliau akan menjadi penasehat saya, perpanjangan tangan saya, sekaligus menjembatani saya dengan Anda.”

“Tapi, kenapa harus orang asing? Kenapa bukan salah satu dari katong saja?” anggota DPRD itu masih belum puas juga.

“Pertanyaan bagus. Tapi, jawabannya sederhana: karena orang asing ini sangat profesional dalam mengatur strategi berkomunikasi dan berorganisasi. Pengalaman beliau luas, ilmunya banyak. Tapi, yang paling penting lagi, karena beliau orang asing, beliaulah satu-satunya orang yang paling dapat bersikap netral di ruangan ini. Tidak berpihak, juga tidak partisan seperti kita semua.”

Dengung gumam kini terdengar lebih ringan dan ramah. Pasti sebutan beliau yang diucapkan Hajah Nur berulang-ulang berpengaruh sangat besar pada mereka. Tak seorang pun di ruangan ini pernah ia panggil serupa itu. Aku sendiri merasa risih, sekaligus terhormat.

“Jadi, bagaimana?” Hajah Nur rupanya tipe orang yang tak ingin menggantung persoalan. “Apakah kita bisa sepakat dan berhenti mencurigai kehadiran Nona Rianti di forum kita? Aju­kan keberatan sekarang kalau memang ada, sebab saya tidak ingin soal ini berlarut-larut.”

Tak ada gumam, bahkan dengus napas. Kuangkat kepala, menentang semua pandang di hadapan. Tentu menggelikan kalau malam ini juga aku harus membenahi kopor dan terbang ke Jakarta. Kalah sebelum bertarung?

Lalu, ada suara berdehem pendek. Pendeta itu. “Atas nama pribadi dan partai yang mengutus beta, beta ucapkan selamat datang kepada Ibu Rianti….

Lalu ada suara tepuk tangan pendek, dan berulang. Norak sekali. Dan, semua orang bangkit, menyalamiku sambil mengucapkan hal serupa dengan si pendeta.

Pasti akan sempurna sekali andai saja hari ini bertepatan dengan ulang tahunku. Sayangnya, tidak!

“Kok, saya nggak pernah tahu bahwa Anda sempat membantu kampanye Gubernur DKI?” singgung Hajah Nur saat kami berdua berjalan ke ruang kerjanya. Ada seseorang yang ingin ia kenalkan padaku, katanya tadi.

“Memang tidak,” aku berbisik kalem. “Tapi, tadi itu termasuk salah satu debat politik, ’kan? Apa salahnya?”
Dia mendelik, dan tertawa keras.

“Good girl! Mestinya itu bisa jadi modal Anda jadi politikus kalau nanti sudah bosan sebagai konsultan.”

“No way!” aku ikut tertawa. “Berteman dengan politikus dan bermain di pekarangan mereka, jauh lebih menyenangkan buat saya.”

“Exciting sekali!” Langkah kami sampai di ambang pintu, dan Hajah Nur menguakkannya. “Kadang saya iri pada orang-orang seperti Anda.”

Aku tak menanggapi. Pandangku terpatri ke seisi ruangan. Ini bukan ruang kerja semata, tapi rumah dalam rumah. Memang ada meja kerja dan kursi tamu. Tapi, di sekitarnya juga ada ranjang, home theater, meja makan, bahkan kitchen set. Yang lebih membuatku tesihir, semuanya bermerek.

Dan, foto-foto itu!

Di antara foto almarhum suaminya yang tertempel di dinding, foto Hajah Nur ketika diwisuda sebagai dokter gigi, juga foto kedua anaknya yang untuk seterusnya dikoskan di Yogyakarta seusai kerusuhan melanda Buru. Tampak berderet foto lainnya bergambar pemandangan alam dalam ukuran amat besar, nyaris menyerupai wallpaper. Aku berdecak. Cantik sekali, meski menyimpan kesan liar dan magis.

“Ini sisi lain dari Buru yang belum pernah terungkap.” Hajah Nur berdiri di sebelahku, di hadapan foto sebuah danau indah yang sengat sejuk dan asri. “Namanya Danau Rana. Mana lebih bagus, Danau Toba atau Kelimutu?”

Aku tak mau membandingkan, karena memang tak akan sepadan. Rana masih demikian perawan, nyaris belum tersentuh per­adaban. Tapi, pesonanya sangat menjanjikan. Biru airnya, rimbun pepohonannya, diapit pegunungan menjulang di kejauhan….

“Bayangkan kalau saya bangun cottages di sekitarnya, lengkap dengan fasilitas wisata air yang modern, juga secara berkala dihadirkan pentas budaya tradisional setempat….”

“Pasti akan banyak turis datang dan tak mau pulang!” aku menyahut cepat.

Dia tertawa kecil. “Itu berlebihan. Tapi, kalau benar begitu, kenapa tidak? Saya hanya ingin bilang, Buru sesungguhnya sangat potensial. Wisata alamnya luar biasa. Anda lihat di foto sebelah sana, ada goa-goa yang tersembunyi, Gunung Kapaat Muda yang belum terjamah, cagar alam Panorama, pantai yang menantang…. Buru juga punya hutan-hutan yang selama ini lebih banyak digarap pengusaha lokal, namun belum maksimal. Juga ada tambak udang, lahan mutiara. Itu belum ditambah perkebunan minyak kayu putih, area persawahan dan perkebunan di Waeopo.”

“Welcome to paradise…,” gumamku.

“Ya. Paradise yang hanya bisa diwujudkan andai saya menjadi bupati.”

Aku berpaling, mengamatinya. Wajahnya demikian keras dan sungguh-sungguh. “Jadi, untuk semua ini Ibu maju pilkada?”

“Utamanya, iya. Ide suami saya sebetulnya. Bahkan, dia sudah memanggil para arsitek dari Jakarta untuk membuat perencanaan infrastruktur dan menghitung-hitung anggarannya. Dia juga sempat mendatangkan beberapa calon investor asing ke sini. Sayang, ketika diajukan, atasannya menolak.”

“Bupati yang sekarang menjabat, maksud Ibu?”

“Ya. Dan, dari situlah ketidaksesuaian pendapat di antara mereka makin meruncing.”

“Sampai kemudian Bapak sakit dan meninggal dunia?”

Hajah Nur menghela napas, duduk di salah satu kursi.

“Saya tidak berani memastikan apakah hal itu memang langsung berhubungan. Tapi, almarhum suami saya memang punya banyak sekali mimpi, yang sekarang ingin saya realisasikan.”

Ia kemudian bercerita tentang profil demografik Buru yang baru sepotong-sepotong kukuasai. Secara administratif, Kabupaten Buru sesungguhnya merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah di tahun 1999. Dengan luas wilayah kurang lebih 12.7 km persegi , Buru terpecah-pecah dalam enam pulau besar dan kecil: Ambalau, Pasir, Fogi, Tomahu, Oki, dan Pulau Buru sendiri.

Bentuk kepulauan yang tersebar berjauhan itulah yang membuat pemerintah setempat kesulitan melakukan koordinasi. Untuk menembus antar-pulau, diperlukan satu hari perjalanan laut. Itu pun jika musim ombak sedang ramah. Antara Desember dan Juni, ketika musim pasang datang, nelayan yang paling berpengalaman pun enggan melaut. Kehidupan jadi terhambat, komunikasi terputus. Menggunakan fasilitas darat atau udara, nyaris mustahil. Selain mahal, infrastrukturnya belum memadai.

“Maka, mendiang suami saya mengusulkan rencana pemekaran wilayah berikutnya,” lanjut Hajah Nur dengan mata berisi. “Buru nantinya jadi dua kabupaten: Buru Utara dan Buru Selatan, sehingga segala-galanya akan lebih mudah dilakukan. Tapi, ide itu kembali dihambat.”

“Karena, akan ada banyak kepentingan orang tertentu bakal terusik jika hal itu dilakukan?” aku menimpali.

“Ya. Penyebabnya memang tak jauh-jauh dari situ. Seperti juga tarik-ulur diberlakukannya peraturan hak kepemilikan lahan pertanian dan perkebunan bagi para transmigran di sini, yang tak kunjung diundangkan. Kesannya seperti sengaja ditunda-tunda.”

“Maksud Ibu, sampai saat ini para transmigran itu hanya punya hak mengelola lahan, tapi tidak diperkenankan memiliki tanahnya?”

“Betul. Tanah-tanah itu pada awalnya tanah adat, milik raja-raja yang dipinjamkan kepada para transmigran sejak puluhan tahun lalu. De facto, sudah berpindah tangan pada mereka, karena dari situlah para transmigran hidup dan beranak-pinak. Namun, de jure, pemerintah setempat, termasuk yang sekarang berkuasa, belum kunjung menge­luarkan peraturan yang jelas tentang status kepemilikan mereka.”

“Dan, ini akan menjadi salah satu agenda yang Ibu angkat dalam pilkada nanti?”

“Kenapa? Apakah terlalu mengada-ada?”

“Sama sekali tidak. Justru sangat orisinal. Selama ini para calkada (calon kepala daerah) hanya mengusulkan program kerja yang sangat baku; seperti perbaikan sarana kesehatan, sekolah gratis, dan seterusnya. Nyaris tak ada yang konkret. Semuanya serba normatif.”

“Jadi, rencana ini bisa saya masukkan dalam program kerja saya sebagai calon bupati?”

“Akan sangat bagus sekali. Tinggal aplikasinya saja yang belum saya lihat.”

“Oh, itu juga sudah saya siapkan.”

Persis saat itu terdengar ketukan di pintu.

“Nah, tepat pada waktunya. Itu pasti orang yang sedang kita tunggu-tunggu….”

“Sebentar, Ibu.”

Langkahnya mengejang, tak jadi membuka pintu.

Aku kembali mengedarkan pandang berkeliling, mengamati furnitur yang memadati ruangan itu. “Bisa Ibu ceritakan sedikit bagaimana barang-barang mahal ini bisa sampai di sini?”

Kalimat itu sudah sedemikian halus kukemas, berharap dampaknya tak terlalu mengguncangkan. Namun, reaksi tersinggung, meski sedikit saja, yang kukira segera muncul dari dirinya, justru tak terlihat.

Sebaliknya, dengan senyum lunak, ia berucap ringan, “Pasti Anda sudah mendengar kabar di luar tentang isu korupsi yang dituduhkan kepada almarhum suami saya.” Pandangnya ikut mengitari ruangan. “Ini hanya untuk kita berdua.”

Kemudian ia bercerita. Ketika masih dinas di Ambon, suaminya sempat dipercaya mengepalai beberapa proyek pembangunan jalan yang didanai lembaga keuangan asing. Namun, karena izinnya tak kunjung turun, atas inisiatif pribadi, ia menyimpan uang itu di bank, dalam bentuk dolar AS.

Tak lama kemudian, krisis ekonomi melanda Indonesia. Nilai tukar dolar tehadap rupiah melonjak berkali-kali lipat. Uang yang disimpan suaminya di bank pun, ketika dirupiahkan, naik hampir seribu persen. Padahal, nilai proyek yang akan dibangun belum berubah, karena dihitung dalam rupiah. Maka, margin yang tersisa jauh lebih besar dari nilai proyek itu sendiri. Pertanyaannya kemudian: milik siapa sisa uang tersebut sesungguhnya?

“Milik pemerintah tentu saja, dan suami saya mengembalikan seluruhnya.” Mimik Hajah Nur terlihat serius. “Hanya, atasannya, yang entah kagum entah salut atas ide tak sengaja suami saya, menyerahkan bunga dari simpanan di bank itu sebagai hadiah. Hanya bunganya. Tapi, jumlahnya….”

“Jumlahnya?” aku siap menunggu puncak ledakan selanjutnya.

“Tiga milyar rupiah lebih.”

Spontan aku bersiul.

“Apakah itu korupsi?”

Bahuku mengedik. “Saya belum bisa menjawab. Yang pasti, orang di balik pintu itu sudah terlalu lama menunggu jawaban Ibu.”

“Ah, iya.” Ia langsung berjingkat ke pintu yang terus diketuk-ketuk dari luar. “Sudah saatnya Anda saya kenalkan dengan calon wakil bupati saya.”

Kandidat calon wakil bupati itu ternyata nyaris sebaya denganku. Barangkali baru menjelang 40 tahunan. Penampilannya halus, elegan, dan tampak terpelajar.

“Basri Wael ini dosen idealis yang lama merantau ke luar Maluku,” Hajah Nur mengawali perkenalan di antara kami. “Pernah di Surabaya, Jakarta, dan terakhir di Ujungpandang. Dia pulang, tepatnya dipaksa pulang, oleh warganya ketika Maluku, juga Buru, dilanda kerusuhan beberapa waktu lalu.”

Basri hanya senyum-senyum mengiringi kalimat Hajah Nur, sambil acuh tak acuh mengamatiku. Mungkin, sedang menakar-nakar eksistensiku, mungkin juga karena pembawaannya memang seperti itu.

“Lalu, sebuah partai meminangnya, dan mengantarkannya menjadi anggota DPRD di sini. Dan sekarang giliran saya ganti meminangnya untuk menjadi wakil saya di pilkada.”

“Alasannya?” Pertanyaan itu meletup begitu saja dari bibirku. Tapi, pengaruhnya cukup mengesankan: Basri berhenti bersikap tak acuh, dan mengamatiku lebih serius.

“Sederhana, karena Basri mewarisi langsung darah Raja Kayeli.”

Aku cepat tanggap. Di zaman penjajahan dulu, untuk meredam pergolakan sporadis di Buru, Belanda membentuk Pemerintahan Negeri Rehenchaap Kayeli yang sangat disegani dan berpengaruh. Meski kini tak lagi eksis, masyarakat asli Buru tetap saja mendaulat Basri sebagai raja mereka. Di tangan dialah, masyarakat berharap, berbagai permasalahan adat, tanah, dan hari depan Buru, ditumpukan.

Dan, menggandeng Basri ke pilkada, tentu strategi jitu yang tak pernah kukira. Dengan Basri sebagai wakilnya, keinginan Hajah Nur untuk menyelesaikan status kepemilikan tanah para transmigran, mestinya bisa lebih berpeluang diselesaikan.

Strategi ini akan memudahkanku mengantarkan Hajah Nur memenangkan pertarungan di pilkada. Kalkulasinya jelas, saat ini ada 20.000 lebih transmigran di Buru yang memiliki hak pilih. Itu berarti hampir 23% dari 90.700 orang total calon pemilih yang tercatat di KPUD. Maka, di atas kertas, calon bupati mana pun yang berhasil membujuk para transmigran berpihak ke kubu mereka, bisa dipastikan akan memenangkan pilkada tahun ini.

Kelihatannya mudah, apalagi seluruh transmigran bermukim di satu tempat: Kecamatan Waepo. Hajah Nur bahkan berani menargetkan, “Kalau bisa meraih sekitar 15.000 suara saja dari Waepo, saya yakin menang.”

Itu memang posisi aman. Kecuali Waepo, Buru masih memiliki sembilan kecamatan lagi, termasuk Namlea, ibu kota Buru. Tak sulit rasanya menambah sisa suara dari masing-masing kecamatan, jika mayoritas kaum transmigran sudah dalam genggaman.

Cuma, hitungan logisnya, target dan pikiran serupa itu pasti juga ada di benak empat calon bupati lain yang menjadi lawan Hajah Nur. Waepo, tak urung, akan menjadi medan pertempuran yang amat seru bagi para calkada.
Namun, Hajah Nur, masih tetap di luar dugaanku, ternyata juga sudah menyiapkan strategi memenangkan Waepo.

“Sejak dua tahun lalu, diam-diam saya menyimpan tim sukses bayangan di sana. Dikoordinasi seorang tetua kampung, setiap dua bulan sekali saya memperoleh laporan seperti apa posisi dan peluang saya di Waepo.”
Aku ternganga. “Metode seperti apa yang dia pakai untuk menyusun laporan itu?”

Bahu Hajah Nur mengedik naik, namun suaranya terdengar mantap. “Saya sendiri tidak tahu persis. Tapi, kabarnya, mereka melakukan semacam survei atau jajak pendapat terhadap warga dengan mengajukan sejumlah pertanyaan, yang kira-kira berbunyi: Bersediakah Anda mendukung Hajah Nur dalam pilkada nanti?”

“Hasilnya?”

“Hampir 100% menjawab bersedia. Hanya, sejak tiga bulan terakhir, dukungan itu menurun lumayan drastis, mendekati 65%. Me­nurut mereka, penurunan itu terjadi sejak saya mendeklarasikan nama Basri sebagai calon wakil saya.”

Alis mataku mengedut. Aroma ketidakberesan seperti menjalar ke naluriku. Sambil melirik Basri, yang kembali terlihat santai, aku bergumam, “Mereka tidak menyetujui Pak Basri sebagai wakil Ibu?”

“Mungkin bukan tidak setuju, tapi karena mereka beranggapan belum terlalu mengenal Basri, mengingat Basri cukup lama berada di luar Buru.”

Kian aneh jadinya sekarang.

“Bukankah para transmigran itu tahu persis bahwa Pak Basri anak raja penguasa tanah-tanah mereka?“

“Oh, iya. Belakangan mereka mengerti, setelah saya bawa Basri bersilaturahmi ke sana. Sebelumnya mereka hanya mengenal kakak-kakak Basri yang seumur hidup tinggal di sini.”

Aku masih ingin mengejar, namun suara Basri jauh lebih cepat: “Dan, posisi kita sekarang?”

Hajah Nur tersenyum, penuh keyakinan, yang justru membuat­ku ngeri sendiri. “Sudah lebih membaik. Angka terakhir 94% mendukung kita.”

Ada 94% dari 20.000 penduduk Waepo yang memiliki hak pilih? Aku mendelik dengan tenggorokan kering. Apakah mungkin?

“Itu pekerjaan rumah laten bagi kita semua,” Basri berbisik di dekatku, ketika Hajah Nur sibuk menerima telepon entah dari siapa.

Aku menelitinya tajam. Apakah dia mencium aroma ganjil yang sama? Anggukan kepalanya yang samar, menjawab arti pandangku.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” aku balas berbisik.

“Anda, bukan kita,” ia meluruskan. “Saya sudah pernah mencoba, tapi Ibu Hajah tak pernah mau menyebutkan sumbernya, yaitu koordinator tim survei itu. Saya cuma diperlihatkan hasilnya. Ketika saya pertanyakan kesahihannya, dia justru tersinggung dan menyuruh saya duduk tenang.”

“Reaksi yang mestinya tak perlu ada, begitu, ’kan?”

“Ya, tak perlu ada, kalau memang semuanya beres. Tapi, reaksi itu pun cukup beralasan, mengingat sepanjang dua tahun ini Hajah Nur sudah mengeluarkan uang tidak sedikit untuk biaya operasional mereka.”

“Mungkin kita harus cari cara lain.”

“Setuju. Pertama, abaikan hasil survei itu. Kedua, kita harus bekerja ekstra keras khusus untuk Waepo.”

Bukan cara itu sesungguhnya yang kumaksud. Melainkan, mendesak Hajah Nur agar membuka sumbernya di Waepo.

Namun, persis seperti yang diungkap Basri, Hajah Nur bersikeras menyimpan, bahkan menyuruhku duduk manis.

“Waepo itu wilayah saya. Sebelum suami saya jadi wakil bupati, dia sempat tujuh tahun jadi kepala dinas transmigrasi di Buru, dan sebagian besar waktunya dihabiskan bolak-balik ke Waepo. Tidak ada penduduk yang tidak mengenalnya, termasuk anak-anak. Bah­kan, dengan uang pribadi, kami sempat membangun beberapa fasilitas umum di sana. Masjid, lumbung padi, sampai membelikan beberapa unit mesin pembajak sawah.”

Aku nyaris mengancam tak melanjutkan kerja sama ini. Namun, rasionalitas Basri lebih dulu meredamkanku.

“Anggap saja ini sebagai tantangan. Kita sama-sama percaya kan bahwa politik itu tidak bisa dikalkulasi? Jadi, saya ulangi: bagaimana kalau kita bekerja menggarap Waepo dari awal, dan berpikir seolah-olah survei itu tidak pernah ada?”

Tantangan menarik, tapi seperti itulah sesungguhnya politik.

Kerumunan itu bergerak tertib di luar pagar, namun tetap saja terkesan mengerikan. Mereka mengacung-acungkan berbagai pamflet dan melontarkan orasi lewat seorang juru bicara, yang kemudian diamini dengan amat bising oleh seluruh anggota kelompok. Intinya: Buru menolak pemimpin wanita.

Isu lama yang kembali berulang, dan mungkin akan terus berulang selama sentimen gender tetap dihidupkan. Fakta bahwa Indonesia pernah dipimpin seorang wanita, seakan tak tertular ke Buru.

“Pasti orang-orangnya Jafar Sanun,” gumam Fathony Lahane, sang pendeta, menyebutkan nama sang bupati yang sedang berkuasa. “Dorang memang akan melakukan apa saja untuk menghadang Ibu Hajah.”

Kalimat itu seperti sengaja ditujukan padaku, yang tanpa sengaja menyelinap di sebelahnya. Kami berdiri berdesakan di teras rumah, berhadapan langsung dengan para pendemo di luar pagar.

“Perang sudah dimulai rupanya,” tambah Ismail Sanaky, dosen yang belakangan malah jadi teman diskusiku.

“Di mana Ibu Hajah?”

“Di dalam, mengintip dari jendela kamar,” sahutku.

Tadi aku sedang melatihnya berpidato di depan cermin, ketika para pendemo ini muncul. Dan, kutinggalkan dia sekadar mengantisipasi kalau-kalau ada yang perlu kulakukan di luar sini.

“Kalau begitu, biar saja beliau di sana.”

“Ya, ini cuma riak kecil yang rasanya tak perlu ditanggapi.”

Semua mata di teras itu beralih padaku.

“Maksud Nona… kita biarkan saja mereka?”

“Betul. Makin kencang mereka berteriak, makin populer nama kandidat kita, ’kan? Mestinya kita berterima kasih, karena tanpa sadar mereka sudah membantu meringankan kerja kita.”

“Tapi, isu itu terlalu sensitif.”

“Isu apa? Gender? Tergantung dari jawaban: lebih banyak mana jumlah pemilih wanita dibanding pria di Buru?”

“Wanita, jelas.”

“Nah, berarti, sebanyak itulah pendukung yang akan berpindah ke kita sekarang. Wanita di mana pun akan langsung bersimpati kalau melihat kaumnya dianiaya. Tinggal tugas kita menggiring mereka.” Aku beringsut mundur. “Kalau ada yang bisa membantu mencarikan data berapa persisnya jumlah wanita pemilih di sini, saya akan berterima kasih sekali. Ini akan menjadi agenda rapat kita malam nanti.”

Aku mengamati jadwal kampanye itu dengan dada menggumpal. Naik speedboat di hari pertama ke Kecamatan Leksula, lanjut ke Pulau Ambalau. Hari ketiga mengitari separuh Pulau Buru ke Kecamatan Kepala Madan. Turun ke darat, dan besoknya bablas ke Air Buaya; lalu menumpangi speedboat lagi ke Namrole. Balik arah ke Waisama di hari keenam, dan berlabuh di Batabual. Hari kedelapan lewat darat ke Waplau, besoknya ke Namlea. Hari kesepuluh berakhir di Waepo.

Andrenalinku langsung mengentak. Itu artinya, aku dan seluruh tim kampanye, termasuk Hajah Nur serta Basri Wael, akan terapung-apung di lautan seminggu penuh! Dahsyat. Ini bisa jadi pengalaman tak terlupakan; tapi sekaligus bisa jadi catatan akhir hidupku. Meski laut sedang tak musim pasang, siapa berani menjamin bahwa kami akan aman?

Maka, aku latah saja mengikuti sebagian anggota tim untuk meninggalkan surat wasiat sebelum kami berangkat!

Keputusan membuat surat wasiat itu kian relevan, ketika subuh dini hari aku melihat bentuk speedboat yang akan mengantarkan kami: sebuah perahu kayu bermesin ganda dengan deck rendah, yang tak memungkinkan penumpangnya leluasa berdiri! Kami berdelapan harus meringkuk berhadapan di bangku papan memanjang dengan kaki terlipat selama berjam-jam. Basah kuyup diguyur ombak, dan mulas sampai ke tenggorokan diayun gelombang.

Astaga! Petualangan menantang maut ini pun tak pernah ada dalam klausul MOU-ku dengan Hajah Nur tempo hari!

Buru, ternyata, sepuluh kali lipat lebih cantik dinikmati dari laut. Sepanjang speedboat bergerak, selama itu pula 3-4 ekor lumba-lumba dan kibasan camar berlomba mengiringi. Lalu, lambaian ribuan nyiur yang berbaris di kejauhan, bulat matahari bak bola api berpijar yang seakan mudah terjangkau tangan, langit biru mengilap. Aku sampai pada kesimpulan: Tuhan memang sedang senang hati ketika menciptakan Buru….

“Sudah tahu siapa koordinator tim sukses bayangan di Waepo itu?” seseorang berbisik mengacaukan lukisan Buru di benakku.

Basri. Saat itu kami sedang berlabuh di sebuah teluk untuk makan siang. Ikan bakar segar yang baru diciduk dari laut, plus nasi dari beras Waepo yang mengepul hangat. Terasa wangi dan nikmat dengan sambal asam yang dibawa dari Namlea.

Aku menggeleng. Duduk di hamparan pasir bening yang berdesir halus, searah gerak angin yang leluasa melaju.
“Namanya Wintoro. Mantan aktivis partai, pernah tiga kali jadi kepala desa, dan sempat jadi anggota DPRD di masa Orde Baru.”

“Bukan orang sembarangan kalau begitu.”

“Memang,” suara Basri menegas, namun masih berbisik. “Reputasinya cukup bagus. Kecuali satu hal: dia mantan aktivis partai yang sekarang menjadi lawan kita.”

Sikap dudukku berubah. “Partai pendukung Jafar Sanun?”

“Ya. Tiga puluh tahun lebih dia bergabung di sana.” Basri menggerakkan alisnya penuh makna. “Memang belum terbukti agenda apa yang akan dia mainkan. Kita lihat saja.”

Aku masih termangu linglung, ketika Basri menjauh dan Hajah Nur mengajak seluruh rombongan naik ke speedboat.

Tanda-tanda ketidakberesan itu segera terlihat di hari kedua kampanye. Tim relawan binaan Hajah Nur yang seharusnya menyambut kedatangan rombongan kampanye, dilaporkan beberapa warga Ulima, desa kecamatan di Ambalau, sudah sejak kemarin menghilang.

“Bagaimana mungkin?” Hajah Nur menggeram dengan suara tersumbat. “Mereka sudah saya bekali 25 juta rupiah untuk mendirikan panggung, menyiapkan makan siang rombongan, dan urusan kampanye lainnya.”

Tak ada yang menyahut. Aku juga tak mengerti harus bicara apa. Ini kelemahan Hajah Nur lain yang akhirnya terkuak. Seperti ketika menyiapkan tim sukses bayangan di Waepo itu, dia pun membentuk tim relawan di tiap kecamatan tanpa berkoordinasi dengan siapa pun. Baik aku sebagai konsultannya, Basri sebagai calon wakilnya, atau bahkan tim sekretariat kampanye di Namlea.

“Mereka, tim relawan itu, orang-orang terdekat saya, bahkan sudah seperti saudara. Kenapa harus diragukan lagi?” begitu katanya selalu.

Bagusnya, kepanikan sesaat itu segera cair ketika seluruh warga desa tumplek-blek menghadiri orasi pasangan Hajah Nur-Basri Wael. Seperti sukses di hari pertama kampanye di Leksula kemarin, masyarakat menyambut antusias program-program kerja mereka.

Tinggal aku dan anggota rombongan meringis, membayangkan akan puasa makan siang usai kampanye nanti!
’Tragedi’ di Ambalau ternyata berulang di dua kecamatan lainnya. Namun, dengan inisiatifku, dan dana cadangan yang disusulkan ajudan Hajah Nur dari Namlea, ’bencana kelaparan’ tim kampanye bisa teratasi.

“Ini indikasi adanya penyelinap lawan di kelompok kita,” Ismail Sanaky berspekulasi, saat menemaniku menyiapkan konsep kampanye Hajah Nur untuk esok pagi di Waetawa.

“Ya, untunglah katong punya kandidat tetap bisa senang hati dengan kehadiran massa kampanye tadi siang,” timpal Fathony Lahane. “Kabarnya, dibanding calkada lainnya yang sudah berkampanye di sini, massa kitalah yang terbanyak.”

Itu memang satu hiburan yang menyenangkan, namun semu. Massa yang berdesakan di depan panggung kampanye Hajah Nur itu bisa saja semu: ikut-ikutan kampanye, tapi kemudian mencoblos gambar kandidat lain di bilik suara.

Harus ada cara untuk mengantisipasinya.

“Kita bahas nanti saja sesampainya di Namlea,” sahut Hajah Nur, ketika persoalan itu coba kuangkat seraya melatihnya berorasi bersama Basri.

“Tapi, kita masih punya empat hari kampanye tersisa, Ibu,” aku bersikeras. “Dua di antaranya di tempat yang sangat strategis: Namlea dan Waepo.”

“Justru itu. Saya ingin berkonsentrasi ke sana dulu, tanpa diganggu persoalan remeh-temeh seperti ini.”

“Persoalan ini bisa sangat serius, kalau terjadi di Namlea atau Waepo,” Basri mendadak menyelinap.

Sejak Hajah Nur enggan membuka sumbernya di Waepo, jarak tipis seakan mulai terbangun di antara kami. Justru dengan Basri, aku lebih dekat.

“Tapi, itu masih tiga hari lagi!”

“Karena itu, tidak ada salahnya jika kita mendengar usulan Rianti, selagi ada waktu tersisa, ’kan?”

Mereka bersitatap. Hajah Nur terlihat tegang; namun melumer saat menemukan sorot lunak di wajah Basri, seakan sadar jika tak ada yang berniat buruk di antara kami.

“Coba katakan apa yang Anda maksud?”

Nada suara Hajah Nur terdengar datar, kalimatnya pun meng­ambang. Meski begitu, aku merasa lebih leluasa.

“Saya hanya terpikir untuk mengirim tim lapis kedua di keempat kecamatan tersisa, sebelum kita turun berkampanye di sana.”

“Kira-kira apa yang akan dilakukan tim lapis kedua ini?”

“Memantau situasi, menjaga kantong-kantong suara, memotivasi warga yang status quo, menyiapkan berbagai fasilitas kampanye yang belum tersedia….”

“Kita punya orang untuk melakukan itu?”

Keningku terangkat. “Saya tidak keberatan kalau harus….”

“Jangan!” Hajah Nur spontan mencegah. “Saya masih butuh pendampingan Anda sampai akhir putaran.”

“Oke,” Basri memutus cepat. “Kalau begitu, kita bawa saja ide ini ke rapat evaluasi. Pasti mereka tahu siapa yang pantas kita kirim ke sana.”

“Kirim orang-orang itu ke ketiga kecamatan lainnya,” suara Hajah Nur melambat, namun tegas, “Kecuali Waepo.”
Gerak bangkit Basri mengejang. Sebelum membantah, tatapnya bertemu denganku. Lewat satu isyarat yang kujalarkan tanpa kentara, dia kemudian berbalik pergi.

Sudah kutekadkan, khusus Waepo, aku sendiri yang akan turun tangan.

Bahu Hajah Nur mengedik naik, namun suaranya terdengar mantap. “Saya sendiri tidak tahu persis. Tapi, kabarnya, mereka melakukan semacam survei atau jajak pendapat terhadap warga dengan mengajukan sejumlah pertanyaan, yang kira-kira berbunyi: Bersediakah Anda mendukung Hajah Nur dalam pilkada nanti?

“Hasilnya?”

“Hampir 100% menjawab bersedia. Hanya, sejak tiga bulan terakhir, dukungan itu menurun lumayan drastis, mendekati 65%. Menurut mereka, penurunan itu terjadi sejak saya mendeklarasikan nama Basri sebagai calon wakil saya.”

Lapangan bola Waenetat, yang menjadi kebanggaan warga Waepo, bergelombang oleh lautan manusia. Mereka, para transmigran asal Jawa itu, berimpitan, nyaris merobohkan panggung.

Orasi para jurkam pilihan yang didatangkan dari Ambon dan Jakarta, disambut bahana pekik mendukung pasangan Hajah Nur-Basri Wael. Mereka berjoget saling tubruk, ketika organ tunggal mengiringi biduan kembar asal Saparua, mendendangkan sederet lagu dangdut yang tengah populer di televisi.

Ini adalah pertaruhan. Hari terakhir kampanye yang dihelat habis-habisan. Dalam hitungan cepat, aku sempat berdebat dengan Ismail Sanaky dan Fathony Lahane tentang jumlah massa yang membanjir. Dan, kami sepakat berhenti di 15.000 orang.

Jika ini benar, maka target Hajah Nur menarik 15.000 massa pendukung di Waepo akan kesampaian. Saat kemarin berkampanye di Namlea saja, aku dan Fathony hanya berani memastikan 7.000 orang.

“Mesin tim sukses bayangan saya di Waepo bekerja maksimal,” gumam Hajah Nur sumringah, ketika aku kembali mengingatkan poin-poin penting materi orasi yang harus disampaikannya di panggung. “Kita wajib bikin syukuran tujuh hari tujuh malam, kalau selu­ruh warga di sini betul-betul mencoblos gambar saya nanti.”

Aku meringis. Keyakinan yang cukup berbahaya jika terus diper­tahankan. Bagaimana kalau yang terjadi kebalikannya? Mereka menghadiri kampanye, tapi mencoblos gambar kandidat lain?

Namun, tentu bukan pada tempatnya, jika analisis sok tahu itu kulontarkan sekarang. Bandul politik masih terus bergerak, dan baru akan berhenti di hari pencoblosan. Sebelum saat itu datang, berbagai prediksi hanya akan jadi dokumen basi.

Menjelang orasi di panggung, Hajah Nur sempat berbincang akrab dengan seorang pria baya yang duduk persis di belakangnya. Otakku segera bergerak: Wintoro, Koordinator Tim Bayangan Waepo itu. Pria baya itu pasti dia.

Pada kesempatan pertama, saat si kembar menyanyikan Ketahuan, dan massa berjoget histeris bersama Hajah Nur dan para jurkam, aku merambat menghampiri Wintoro dengan tape recorder menyala yang kusembunyikan di saku jaket. Ini bukan cara yang beretika, tapi aku perlu bukti konkret, yang kuyakini kelak bermanfaat.

Profil Wintoro ternyata sangat mengesankan. Tipikal priayi yang ramah dan membumi. Penampilannya yang berkarisma seperti terbawa dari lahir. Sosok pemimpin sekaligus pemain politik yang memang banyak dicari orang. Bahkan, senyum lebarnya tak mengendur, ketika aku masuk ke inti persoalan.

“Ini luar biasa, Pak. Bagaimana Bapak bisa mendatangkan massa sebanyak itu ke sini?” aku setengah berteriak di kupingnya, berusaha mengalahkan suara sember dari organ tunggal yang disalurkan melalui sound system ala kadarnya.

“Ah, gampang saja. Desa seperti ini kurang hiburan, ’kan?” dia memiringkan wajah, balas berteriak ke arahku, sambil terus bertepuk tangan mengiringi lagu si kembar.

“Jadi, mereka ke sini cari hiburan?”

Usianya mungkin sudah 75 tahun lebih, tapi aku dibuat takjub dengan giginya yang masih utuh dan putih-bersih saat tertawa keras. “Kalau penyanyi asli lagu Ketahuan itu yang didatangkan Hajah Nur hari ini, saya bisa mengumpulkan 20.000 orang lebih ke sini.”

Benakku blank sesaat, mengkaji makna di balik ucapan itu. Agak kabur ternyata, jadi aku masuk ke pertanyaan terpenting: “Tapi, Bapak juga bisa menggiring mereka semua supaya memilih Hajah Nur di bilik suara nanti, ’kan?”
Senyumnya meredup, tapi tangannya terus bertepuk seirama lagu. “Tergantung keadaan.”

“Keadaan apa? Saya dengar sejak dua tahun lalu Bapak sudah menggalang suara warga agar mendukung Hajah Nur. Mestinya itu lebih dari cukup.”

Kini tangannya pun berhenti bertepuk. Sepasang mata rabunnya mengamatiku lebih cermat. Bibir keriputnya bergerak-gerak, seperti memilih kalimat terbaik. “Kita lihat nanti,” akhirnya hanya itu yang terucap.

“Saya sudah membaca hasil survei yang Bapak lakukan terhadap warga di sini,” aku pantang mundur. “Ada 98% warga yang mendukung Hajah Nur. Bagaimana Bapak melakukannya?”

Dia mengangkat alis dan senyumnya kini jauh dari ramah. Pasti dia mulai menganggapku sebagai pengganggu. “Itu rahasia perusahaan.”

Jawaban yang menggelikan. Dalam situasi lain, mungkin aku sudah terbahak.

“Bapak tidak membayar mereka, ’kan?”

Aku sengaja masuk ke zona yang paling berbahaya. Dan, reaksinya persis seperti yang kubayangkan.

Dia mengejang dengan wajah merah dan rahang mengeras. Emosinya tertahan ketika menggeram, “Itu fitnah keji. Saya hanya mendatangi mereka dan menanyakan apakah mereka bersedia mendukung Hajah Nur atau tidak.”

“Dan, jawaban mereka ‘ya’, nyaris tanpa alasan?”

“Kenapa harus pakai alasan?”

“Karena mereka juga menjawab ’ya’, ketika tim survei dari kandidat lain menanyakan hal serupa.”

“Saya tidak pernah mendengar.”

“Saya punya data tentang itu.”

“Oh, ya? Saya boleh lihat?”

“Itu rahasia perusahaan!”

Dia mendelik sesaat, dan tawanya meledak dengan segera. Aku balas tertawa, sekadar mencairkan suasana yang sebelumnya meninggi.

Ketika sikapnya kembali menghangat, aku memutuskan beringsut pergi. Organ tunggal telah berhenti bermain, dan Hajah Nur tampak menyudahi aksi jogetnya yang serba canggung. Aku tak mau ia melihatku berdekatan dengan Wintoro.

Masa kampanye yang meletihkan itu akhirnya usai juga. Buru kini tinggal menghitung hari dan menunggu saat penco­blosan tiba.

Namun, posko sekretariat tim sukses Hajah Nur di Namlea tetap berdenyut. Tugas selanjutnya adalah membentuk satgas yang memantau langsung bilik-bilik suara di lokasi-lokasi pencoblosan.

Tentang perbincanganku dengan Wintoro, akhirnya kuteruskan pada Hajah Nur dan Basri. saat kami bertiga berkumpul membahas press release sepuluh hari kampanye yang siap kusebarkan ke media massa lokal esok pagi. Ini akan menyakitkan. Tapi, aku tak ingin Hajah Nur mabuk kemenangan, sebelum perang yang sesungguhnya digelar. Apa pun, membeludaknya massa Waepo dalam kampanye kemarin, sempat membuatnya terlalu yakin menang. Tugasku adalah menariknya kembali ke bumi dan bangun dari mimpi enak.

Awalnya, seperti kuduga, ia tak bisa menerima. Namun, obrolan bising di tape recorder yang kuputar berulang-ulang, membuatnya tercenung, lama.

Basri yang kemudian lebih dulu terbangun, dan bergumam: “Ini memang menyakitkan. Tapi, jujur, saya tidak akan terkejut kalau pada akhirnya kita kalah di Waepo.”

Komentar itu rasanya lebih menyakitkan dari fakta yang ada. Dan, seketika aku jadi merasa menyesal, tanpa tahu apa yang ha­rus kusesalkan.

“Kita tidak boleh kalah….”

Suara itu terdengar ganjil, seperti diembuskan dari balik dinding. Aku dan Basri saling pandang. Sosok Hajah Nur menegang laksana mannequin hidup. Matanya kosong, namun jari-jari tangannya yang terkepal berkedut-kedut.

“Kita tidak boleh kalah!”

Satu hari menjelang pencoblosan.
Tiba-tiba isu itu merebak tak terkendali. Awalnya cuma bisik-bisik. Tapi, belakangan, tanpa dinyana, jadi agenda meeting sangat penting malam itu.

Aku masuk ke ruang rapat setengah linglung, setelah gedoran tinju Aziz di pintu kamar memutus konsentrasiku menulis e-mail ke rekan-rekan kerja di Jakarta. Seluruh personel tim sukses hadir. Dari yang akrab kukenal, sampai yang baru sekali kulihat. Atmosfernya terasa lebih hebat dari ketegangan kami menyusun materi kampanye tempo hari.

Rapat sudah berjalan ke tengah rupanya. Awalnya aku kesulitan menyimak, karena separuh peserta bicara meledak-ledak, nyaris berteriak kalap.

“Dorang kirim delapan mobil ke Waepo malam ini. Kemarin lima. Juga ada di Namlea. Laporan dari Air Buaya baru masuk, ada empat mobil. Yang lain menyusul. Kita seng boleh duduk diam saja!” seorang berperawakan kekar dan berkumis tebal berseru meletup-letup, disambangi gumam dan seruan tak jelas beberapa orang lainnya. Mestinya pria kekar itu dihadirkan sebagai jurkam kemarin. Temperamennya pantas menjadi provokator.

Ruangan seketika gaduh, namun Hajah Nur sebagai pemimpin rapat seperti tak berdaya mengintervensi. Basrilah yang kemudian pegang komando.

“Tenang... tenang...! Torang harus berpikir terang, jangan ba­wa emosi.”

“Bukan emosi. Tapi, faktanya sudah jelas. Kita punya saksi. Jadi, biarkan dorang bicara.”

Ucapan si kekar kembali disambut gumam kabur separuh peserta. Dua orang pria --yang juga baru malam itu kulihat-- didorong-dorong maju sambil dibentak kasar, “Hayo, cerita! Cerita!”

“Oke,” Basri kembali menyela. “Silakan kamong (Anda) cerita.”

Fokus mataku beralih pada dua orang itu, dan baru menyadari ada selembar uang kertas lima puluh ribuan bersama amplop kumal di masing-masing tangan mereka.

“Katong sedang duduk-duduk di depan rumah, sewaktu mobil-mobil dari Namlea datang,” salah seorang berbicara, terdengar lugu dan ragu.

“Mereka bikin apa?” seseorang menyerobot tak sabar.

“Kasih katong ini,” katanya, menunjuk uang kertas di depannya.

“Lalu, suruh apa?”

“Suruh katong pilih nomor….”

“Cukup!” Hajah Nur memutus. Suaranya menggeletar, namun masih menyimpan wibawa. “Seng perlu sebut nomor atau nama kandidatnya. Kita cukup simpulkan bahwa ada kandidat lain yang mulai melakukan serangan fajar. Bermain money politic dengan menyuap calon pemilih supaya mencoblos nomor mereka.”

“Ya, betul itu. Betul! Dan, katong seng boleh duduk-duduk santai, kalau seng mau kalah besok!” suara-suara itu berdengung saling berebut entah diucapkan oleh siapa, dan tak kunjung berhenti sampai Hajah Nur kembali angkat bicara.

“Di mana panwas waktu itu?”

“Seng ada panwas lai (lagi). Mengapa pula tanya panwas? Ini semua permainan. Permainan! Persoalannya buat katong sekarang adalah: mau menang atau kalah? Jangan sampai percuma katong kerja keras selama ini!” Lagi-lagi suara-suara itu tak jelas dilontarkan oleh siapa. Namun, bisa kurasakan situasinya kian liar dan tak terkendali.

“Jadi, kita harus bikin apa?”

“Seng bertanya lai. Serangan fajar harus dilawan serangan fajar! Mau bikin apa? Kecuali katong siap kalah. Tapi, siapa yang siap kalah di sini? Siapa?”

Seisi ruangan bergetar ketika setiap orang berseru: “Seng ada!”

“Ibu, kalau boleh….” Aku mengacungkan telunjuk, minta izin bicara, dan langsung melanjutkan sebelum diiyakan. “Saya kira kita tidak perlu larut dalam emosi berlebihan. Ini permainan kotor, dan dari awal kita sepakat untuk bermain cantik….”

“Sebentar, Ibu Konsultan! Izinkan beta bertanya.”

Aku juga tak kenal orang ini, tapi dia jelas mengenalku dari sebutan ’Ibu Konsultan’ tadi.

“Menurut ilmu Ibu yang Ibu bawa dari Jakarta, dengan cara apa katong bisa lawan money politic yang dilakukan kandidat lawan?”

Aku terbatuk, tak mengira dihadapkan pada soal sepelik ini. Tapi, suara-suara peserta lainnya menuntutku menjawab.

“Maaf, Saudara-Saudara, money politic tidak ada dalam kajian ilmu saya, karena itu bukan termasuk….”

“Oke, kalau begitu, menurut pemikiran Ibu, cara apa yang bisa mengalahkan money politic?”

Ini sama sulitnya dengan yang pertama. Aku melirik Hajah Nur, juga Basri. Keduanya sama-sama tengah memandangku. Mereka juga menunggu. Aku menyerah.

“Saya tidak ingin menganjurkan, tapi memang tidak ada yang bisa mengalahkan money politic selain money politic itu sendiri….”

“Nah!”

Dan, kehebohan yang lebih gila segera meletus. Semua orang berseru, berteriak, mengembuskan napas lega, mengabaikan sua­raku yang mencoba melerai dengan kalimat terpotong-potong.

“Tapi… maksud saya….”

Tiba-tiba suara benda keras dibentur-benturkan ke kayu, menghentikan semua orang. Hajah Nur meminta seisi ruangan diam dengan mengetuk-ngetukkan penghapus whiteboard ke permukaan meja.

“Oke, konsultan kita sudah bicara. Artinya….”

“Ibu, nanti dulu!” aku meminta dengan panik. Ini benar-benar akan lepas di luar kendali. “Saya tidak ingin kita menodai perjuangan kita. Jauh-jauh Ibu menghadirkan saya ke sini, karena kita sepakat ingin belajar dan memberi pembelajaran kepada masyarakat Buru tentang bagaimana cara bermain politik yang baik. Melaksanakan pilkada dengan jujur dan beretika. Saya kira, kita tak perlu mementahkan semuanya setelah seluruh proses berdemokrasi yang benar kita lakukan.”

Artinya,” Hajah Nur mengulang, seakan tak tergerak, “kita tidak punya pilihan selain….”

“Ibu! Saya….” Aku menoleh ke sekeliling ruangan, lalu mencondongkan wajah ke telinga Hajah Nur, berbicara lebih lirih namun tegas, cukup bisa didengar Basri yang duduk di sebelahnya.

“Ibu, saya akan mengepak koper saya malam ini juga, kalau Ibu mengikuti arus. Karena, begitu Ibu memutuskan ikut bermain, berarti Ibu tidak memerlukan saya lagi!”

Kami bersitatap, lama. Ruangan hening, bahkan helaan napas seperti hilang.

Lalu, ia tersenyum samar, seperti sedang menahan sakit yang menjebak, dan berpaling ke peserta rapat. Dalam satu helaan napas, titahnya jatuh: “Kita tidak punya pilihan, kalau lawan bermain, kita akan balas bermain….”

Ruangan itu meledak sejadi-jadinya, memecahkan rasa di dadaku. Dengan wajah pias sulit percaya, aku mengentak bangkit. Sebelum tubuh gemetarku bergerak, Hajah Nur cepat menggenggam lenganku.

“Maafkan saya….”

Jadi, seperti inilah Buru.

Aku tegak di anjungan kapal cepat yang membawaku ke Ambon. Lengang, karena pada saat bersamaan seluruh warga Buru tengah berduyun-duyun antre di depan TPS.

“Jangan tinggalkan Buru seperti ini.”

Basri menyusulku ke dermaga sebelum keberangkatan.

“Lalu, harus dengan cara apa?” aku mendesah tertatih dengan sisa semangat yang ada. “Seluruh kerja keras saya sia-sia. Kehadiran saya pada akhirnya cuma semacam debu yang kehilangan makna.”

“Kamu harus memahami apa yang ada di diri Ibu Hajah dengan semua hiruk-pikuk pilkada ini.”

“Apa? Bahwa dia akan membangun masa depan Buru dan mengawalinya dengan ketidakjujuran?”

“Itu poin yang kedua.” Basri bersandar di tepian deck. “Poin yang pertama adalah karena dia sangat ingin memuliakan nama suaminya dengan meneruskan cita-cita almarhum.”

“Lalu, menghalalkan segala cara?”

“Bukan dia yang mulai, tapi pihak lawan lebih dulu bermain.”

“Kalau begitu, jangan libatkan saya!”

Basri menghela napas. “Saya mengerti prinsipmu, tapi saya juga bisa memahami idealisme Hajah Nur. Hanya dengan menjadi kepala daerah, kita akan bisa mengubah Buru.”

Aku tak percaya akan definisi itu, karena ada satu bukti yang sudah bicara hingga ke dunia internasional bagaimana caranya memuliakan Buru: Pramoedya Ananta Toer dengan empat karya emasnya.

Tapi, setiap orang punya pilihan, dan meninggalkan Buru secepatnya adalah pilihanku. Tak perlu aku melihat langsung hasil pemilu hari ini, bahkan tak mau tahu.

No comments: