12.22.2010

MATAHARI MATAHATI

Bertemu Kembali
Ati menggosok-gosok matanya untuk melawan rasa kantuk. Cangkir kopi yang ia hadapi sudah hampir terkuras habis. Masalahnya, dia tak mungkin beranjak dari situ tanpa membayar ke kasir. Jadi, sambil tetap duduk diam, seolah benar-benar berniat menghabiskan kopi hambar dan encer yang sudah sedingin air es di pagi buta berkabut tebal begini, wanita yang genap berusia 29 itu pura-pura membaca.

Pelayan kedai kopi di pinggir stasiun, yang berbaju kuning terang dengan garis hijau tipis pada ujung-ujung jahitannya, sudah dua kali ini mendekat dan bertanya apakah ada sesuatu yang akan dipesannya lagi. Sudah dua kali pula Ati menggeleng. Entah berapa kali ditelannya rasa malu, karena secara tak sengaja menangkap pandangan penuh selidik para pelayan itu terhadapnya.

Apa, ya, yang mereka pikirkan tentangku, pikirnya gusar.

Seandainya dia kemarin mengikuti saran Mike untuk naik pesawat saja. Jakarta-Semarang naik Nusantara Air paling cuma beberapa ratus ribu. Tidak perlu berdesak-desakan di pintu keluar, mabuk darat karena memang tidak pernah tidak, apalagi kecopetan. Kalau mengingatnya, Ati bisa sampai menggeretakkan gigi karena jengkel.

Cash yang disimpan di dalam dompetnya memang tidak pernah terlalu banyak. Dia lebih senang membawa kartu anjungan tunai mandiri atau kartu kredit setiap kali bepergian ke mana-mana. Secara finansial dia memang tak terlampau merasa dirugikan. Tapi, kalau mengingat rasa malunya saat ini, karena harus berkali-kali diawasi oleh pelayan kedai kopi murahan dan bayangan akan kerepotan mengurus surat-surat yang hilang nantinya, kerugian moril tidak akan terhitung nilainya.

Ati memang tidak senang mengukur segala hal berdasarkan materi, tapi wanita berambut sebahu dengan mata yang bersinar redup itu begitu mengagung-agungkan hal-hal yang bersifat prinsipiil. Penghargaan terhadap waktu dan perasaan yang terjaga keseimbangannya merupakan beberapa hal penting dari sedikit sekali yang baginya hakiki.

Matahari Rahayu Putri menilik pada jam digital yang tertera di layar ponselnya. Tidak mungkin membangunkan orang rumah pagi buta begini, batinnya, makin cemas. Makin tak mungkin juga memanggil taksi hanya dengan lima belas ribu perak tersisa di kantong, sementara rumah orang tuanya berada jauh dari kota. Segelas kopi itu saja delapan ribu. Kalau dia membayarnya sekarang dan harus pergi, di mana dia harus menunggu sampai fajar menyingsing? Bisa-bisa, karena tak ada yang tersisa untuk dirampok, dia justru diperkosa preman atau orang gila.

Dimasukkannya ponsel tadi kembali ke kantong. Saat itulah ia menemukan seribu rupiah yang lain.
Tanpa pikir panjang, ia melambai ke arah pelayan kedai yang disambut dengan penuh sukacita oleh salah seorang dari mereka.

“Satu lagi yang seperti ini. Tolong pisahkan gulanya, pesannya.

Pelayan kedai itu mencatat pesanan Ati dalam captain ordernya, kemudian melafalkan kembali apa yang ditulisnya.

“Anda menunggu seseorang? pelayan itu bertanya ramah, sebelum meninggalkan salinan captain order di hadapan pelanggannya yang sudah duduk terlalu lama.

Ati menggeleng, raut wajahnya yang layu karena kelelahan, dipaksanya untuk tersenyum teduh seperti biasa. “Sebenarnya memang belum menelepon. Tidak enak meminta seseorang menjemput pagi buta begini, jawabnya lembut.

Pelayan itu mengangguk-angguk.

“Tidak ada keluarga?

Ati mengangguk. “Ada. Tapi, tak enak rasanya mengganggu.

Lagi-lagi pelayan itu mengangguk-angguk. Ati tersenyum melihat pengertian pelayan itu dari keabstainannya berkomentar. Dia memang tidak begitu senang dikomentari. Mungkin itu terdengar dari jawaban yang keluar dari mulutnya. Lugas dan singkat. Seperti secara implisit mengatakan bahwa dia sedang tak ingin diganggu lebih lanjut.

Hanya Kevin yang biasanya nekat. Wanita lain yang tinggal serumah dengannya dan menjadi demikian akrab dengan kehidupannya itu sajalah yang tak pernah gentar berkomentar sedingin apa pun jawaban Ati.

“Iya, deh, Mbak... Tunggu sebentar, ya. Kopinya saya bikin yang paling enak.

“Terima kasih.

Saat itulah Ati melirik pada catatan pesanannya dan merasakan lututnya melemas seketika. Tax 10% exluded. Celaka 13. Dia memaki dalam hati. Meskipun Kevin berkali-kali menertawakan makiannya yang dianggap terlalu kuno, Ati tak pernah dengan tidak sengaja berhenti menggunakannya. Selalu melompat sendiri dari mulutnya.

Kembali dia merogoh sakunya dan kecewa menatap jam digital yang hanya menunjukkan sepuluh menit waktu berlalu sejak terakhir kali dia melakukan hal yang sama.

Kalau saja dia memasukkan kembalian dari membeli oleh-oleh tadi ke saku celana dan bukan ke dalam dompet, saat ini seorang sopir taksi pasti sudah mengantarkannya selamat sampai ke depan rumah. Bahkan, kalau dia beruntung, pembaringan yang nyaman di dalam kamarnya yang sederhana beraroma apel pasti sudah menunggu. Kemudian keesokan paginya saat pagi merekah, dia akan mengejutkan sang bunda dengan kejutan kecil yang telah disiapkannya.

“Matahari?

Ati terjaga dari lamunannya. Sontak ia mendongak mendengar namanya secara ragu-ragu disebutkan oleh suara bariton.

“Matahari, ‘kan? Ati? orang itu mengulang lagi. Kali ini tersirat keyakinan pada suara pria itu begitu wajah Ati tepat menghadapi mukanya, “Masa kamu lupa sama aku, Ti? Gila kamu kalau sampai melupakan aku.

Ati tersenyum lebar. Dia langsung mengenali siapa penyapanya itu dalam sekali lihat. Mana mungkin dia melupakan tubuh tinggi besar dan kulit kecokelatan yang tampak demikian serasi dengan rambut ikal hitam legam itu? Itu Bayu Laksmana. Heart breaker yang mematahkan hatinya dan membuatnya mengalami pengalaman yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya di kota besar. Titik balik itu. Pria yang berperan besar dalam perubahan keputusan hidupnya.

“Hai,” seperti biasa, Ati membalas sapaan dengan hangat dan lugas, tanpa kesan berlebihan sama sekali.
Bayu tersenyum lebar dan kelihatan bahagia. Dia mengulurkan tangannya yang disambut dengan segera oleh Ati. Jabatan tangan pria itu masih sama, Ati berpikir. Kuat, hangat, namun tidak menyakiti.

“Mau pulang? Pagi-pagi begini kenapa tidak langsung naik taksi saja atau minta orang rumah jemput?” tanya Bayu antusias, lalu ditunjuknya kursi di hadapan Ati. “Kosong?”

Ati mengangguk. “Ya. Aku hanya takut merepotkan Bapak dan Bunda. Mas Bintang juga kelihatannya sedang agak flu. Takut malah tambah menderita. Kamu ingat Mas Bintang, ‘kan? Kalau sudah sakit, manja betul kayak anak-anak.”

Bayu tertawa. Lesung pipit yang menghiasi rahang melintangnya tampak bagus setiap kali ia tertawa.

Setelah beberapa lama mereka saling melempar gurauan akrab, seperti melupakan sejarah yang pernah sangat menyakitkan demi menyelamatkan harga diri masing-masing sebagai sesama orang dewasa yang tak lagi terpendam elegi masa lampau. Bayu kemudian memanggil seorang pelayan dan memesan secangkir cappuccino.

“Kamu masih takut naik taksi?” Bayu bertanya lagi.

Ati tersenyum geli. “Itu kan dulu sekali, Yu. Kamu nggak lihat aku sudah setua ini? Kalau aku hidup di Jakarta, bekerja sampai pukul sembilan malam di perusahaan pengiriman dan masih saja takut naik taksi, mau gimana aku? Jalan kaki? Keadaan kota besar akhir-akhir ini membuat pejalan kaki merasa waswas,” kata Ati. Berkelit.

Bayu mengangguk setuju. “Lalu, kenapa nggak panggil taksi?”

“Kamu sendiri?”

“Kamu nggak berubah,” ujar pria itu lembut. Tatapan matanya seperti menembus sampai ke hati melalui mata Ati. Wanita yang teguh pendirian itu kini menjadi merona karena tersipu. “Selalu senang rahasia. Selalu berbalik tanya dan lebih dulu mendapatkan jawaban sebelum memberikan apa-apa. So tricky.”

Ati tertawa kecil. Tawa yang lebih terdengar seperti sebuah pembenaran dibandingkan dengan kemenangan. “Bukannya tricky. Aku hanya bersikap defensive. Itu yang diajarkan orang tuaku padaku. Jangan dengan mudah memberikan apa pun.”

Bayu mendesah canggung mendengarnya. Tiba-tiba seperti ada perasaan segan menelusuri hati pria itu. Senyumnya yang tampak bahagia berganti dengan air muka yang menyiratkan kegalauan. “Kamu tidak pernah menghubungiku, Ti. Kamu bilang dulu akan sering-sering menelepon.”

Ati mengangkat bahu sambil melemparkan pandangan ke permukaan kopinya yang kecokelatan. “Kadang-kadang kita berubah pikiran, Yu,” katanya.

“Ah... kamu mengolok-olok,” Bayu membalas getir. “Tapi aku mengerti sepenuhnya, kok, Ti. Aku juga tidak berniat mengganggu kehidupanmu. Karena itu pula aku tidak berusaha menghubungi. Aku cuma bisa menunggu. Memangnya siapa aku. Ya, ‘kan?”

Ati diam. Enggan mengiyakan, tapi juga tidak berkata bukan.

Sudah hampir tujuh tahun mereka berhenti bertemu. Perasaan cinta atau benci yang menggunung sudah hangus tak bersisa di hati Ati. Wanita itu memang menempa dirinya dengan sungguh-sungguh. Dari awal dia menyadari bahwa apa pun tak akan pernah menjadi milik seseorang, apalagi itu adalah orang lain, bukan benda. Jiwa yang bukan jiwa kita. Bahkan, jiwa kita pun bukan kita pemiliknya. Dia memasrahkan semuanya pada Tuhan dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa sesakit apa pun segala sesuatu, asalkan tidak membunuh, justru membuatnya makin kuat.

Bayu mengkhianati cintanya tujuh tahun yang lalu.

Rasa sakit itu kini terlupakan sudah. Ati bukanlah seorang pendendam. Memaafkan Bayu adalah perkara gampang. Karena itu, sebenarnya dia akan lebih bersenang hati, kalau saja tangan Bayu tidak menggenggam jari-jarinya seperti kali ini.

“Maafkan aku, ya?” Bayu berkata lirih. Tatapan matanya mengisyaratkan kesungguhan. Ati tersenyum kecil melihat binar sungguh-sungguh pada bola mata berwarna cokelat terang itu. Bukan senyuman meremehkan untuk sebuah permintaan maaf yang terasa begitu terlambat itu, bukan juga senyuman sengit yang bertujuan menyakiti siapa pun, melainkan perasaan tulus yang terukir dalam senyuman simetris. Seperti ketika kita merelakan orang yang kita cintai untuk bersama orang lain yang bisa membahagiakan mereka. Kurang lebih.

“Aku sudah memaafkanmu, Yu. Kamu berlebihan,” ujar Ati mantap. Disingkirkannya tangan Bayu dari tangannya.

Bayu mengambil tangannya tanpa rasa berat, dia mengerti benar kedudukannya. “Makasih, ya, Ti...,” bisiknya, dalam suara rendah.

Ati mengangguk penuh pengertian.

Meskipun begitu, ingatannya seperti dikembalikan pada awal Mei tujuh tahun silam. Senyuman yang begitu lekat, bahkan hingga kini, itu menariknya pada dimensi magis bernama nostalgia. Dalam dimensi ini, kesakithatian semacam apa pun berubah menjadi sesuatu yang menenteramkan hati untuk diingat.

Dia sangat mengenali wanita yang tangannya ada dalam genggaman kekasihnya dan dia bukan wanita tanpa hati yang merasa harus menanyakan apa maksud dari genggaman itu.

“Aku harus menikahi Sofie, Ti....”

Ati memejamkan mata ketika mendengar penuturan singkat tersebut kala itu. Selama ini dia merasa dirinya setegar batu karang, hingga membutuhkan sebuah dentuman keras untuk tak menggemingkannya. Ternyata malam ketika seharusnya Bayu datang untuknya dan sebuah penjelasan singkat dari suara yang begitu lemah itu saja, bisa meruntuhkan apa yang diyakininya.

“Tapi, kenapa? Setahuku sampai siang hari ini pun kau masih kekasihku. Aku tidak mendengarmu memutuskan hubungan. Jadi, kalau aku menuntut sebuah penjelasan menurutku bukan hal yang berlebihan, bukan?”

Ati tetap bersikukuh untuk meredam. Dia tak pernah mau seorang pun tahu apa yang dipikirkannya. Matanya tetap redup menatap kedua orang itu secara bergantian.

“Kami sudah berbuat kesalahan,” Bayu menjawab. Matanya menatap lekat pada bola mata Ati, seperti biasa jika ia berbicara satu lawan satu dengan siapa pun. Tatapan mata itu menyiratkan keberanian yang besar. Yang disukai Ati dari pria itu.

Ati terdiam. Kemudian matanya bergerak ke arah Sofie, wanita yang tangannya ada dalam genggaman Bayu. Seorang gadis yang dua tahun lebih muda usianya dari Ati dan telah diasuh ibundanya sejak berusia tujuh bulan. Dipanggilnya ‘adik’ dan dipeluknya di dalam kamar beraroma apel yang sama.

“Aku mengerti. Aku manusia biasa juga seperti kalian. Aku tahu orang berbuat kesalahan dan berubah setiap saat. Aku tahu seseorang yang lain kadang dilibatkan, tapi juga ada yang ditinggalkan,” kata Ati. Dadanya sesak saat melafalkannya, sambil mengemasi sebagian isi tas tangan yang dikeluarkannya ke meja, Ia masih berusaha tersenyum. “Yang kadang-kadang tak bisa dimengerti manusia adalah mengapa pada saat yang dia tahu pasti bahwa dia tak seharusnya berada di suatu tempat, dia justru berada di sana. Kenapa harus aku?”

Sofie menangis.

Ati mengalihkan pandangan ke arah lain. Ketika jendela kaca yang terbuka seperti membingkai lukisan gelap dengan serabut ranting pohon yang meranggas, wanita itu tahu bahwa dia harus meninggalkan kehidupannya dan mencari yang lain di tempat yang berbeda. Di bawah langit yang berbeda, ketika jendela kaca membingkai lukisan yang tak sama.

Wanita itu menjinjing tasnya dan berjalan dengan tegar sampai ke dalam mobilnya. Di sana, ketika tak seorang pun melihat, ia menangis juga akhirnya. Luka itu ternyata dalam dan obatnya sangatlah mahal.

“Ti! Ati!”

Ati terjaga dari lamunannya dan kembali menyadari bahwa orang yang sama tengah menatap lurus pada matanya sekarang. Tujuh tahun lebih tua dengan kerutan di sekitar mata yang memperlihatkan guratan kedewasaan.

“Kamu melamun, Ti,” Bayu tersenyum. “Langsung dari Jakarta?”

“Ya.”

“Tumben kamu pulang bukan pas hari raya. Ada apa? Jangan-jangan Bunda sudah merancang pernikahanmu di rumah?” olok-olok Bayu.

Tersenyum, Ati mengangkat bahu.

Ibundanya sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang maksudnya memerintahkan Ati pulang. Setiap kali ditanya, yang keluar dari mulutnya hanya bahwa ada sesuatu yang penting yang tak lagi bisa ditunda.

Olok-olok Bayu sama sekali bukan sesuatu yang lucu. Hal terpenting bagi ibundanya saat ini, menurut Mas Bintang, adalah melihatnya bersanding dengan seorang pria.

Hijau.
Mata Ati mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan dinding berdominasi warna hijau lembut dan beraroma apel. Tak ada yang dilakukannya selama beberapa saat, tepat setelah bangun tidur kecuali memutar mata ke setiap sudut ruangan. Mempelajari, sekaligus meyakinkan diri bahwa dia benar-benar kembali berada dalam ruangan hijau yang akan membawanya menjadi seseorang yang tak memiliki otoritas penuh terhadap dirinya sendiri, bersama orang tuanya.

Tiba-tiba, di tengah usahanya mengumpulkan kesadaran, pintu kamarnya dibuka tanpa ketukan. Sesuatu yang ia jaga sangat ketat dalam disiplin hidupnya. Tak ada ketukan, tak ada pintu yang terbuka dengan ramah tamah.

“Selamat pagi. Sudah bangun?” seseorang yang tanpa mengetuk pintu itu sudah mendekat ke ranjangnya ketika menyapa.

Ati hanya menoleh dan tersenyum. Tak mungkin ia memarahi bundanya, apalagi meminta beliau mengubah pilihannya sebagai penguasa tunggal di bagian mana pun di dalam rumah dengan memaksa mengetuk pintu dulu. “Pagi, Bunda.”

“Ayo, mandi sana,” Bunda memulai satu lagi kebiasaan menegakkan disiplin dengan jalan pintas yang menurutnya paling efisien. Termasuk, memaksa anak-anaknya buru-buru bangun dan mandi dengan menyibakkan selimut mereka.

“Bunda...,” Ati melenguh mempertahankan selimutnya. “Aku belum mau mandi. Baru aja bangun tidur. Aku mau sarapan dulu.”

“Sejak kapan kamu sarapan dulu baru mandi? Dasar jorok,” balas bundanya, berusaha menarik selimut lebih lebar lagi.

Tapi, sambil tetap menahan selimut agar tetap menyelimuti tubuhnya, Ati bersikeras, “Aku biasa gitu. Lagi pula, memang yang lebih baik sarapan dulu. Baru mandi dan gosok gigi. Bunda tahu berapa juta kuman yang akan bersarang di mulut kita, kalau kita tidak sikat gigi setelah makan?”

Bunda melotot dan bersiap-siap untuk marah. “Ya, sudah!” katanya, namun pegangannya pada ujung selimut  makin erat. “Mandi tanpa sikat gigi.”

“Aku nggak biasa, Bunda...,” Ati membantah.

“Harus dibiasakan!” paksa Bunda.

“Enggak!” bantah Ati, dengan segenap kekuatan ditariknya selimut yang ujungnya ada di tangan Bunda sampai wanita tua itu tak lagi memegang apa-apa.  “Bunda tidak bisa memaksa aku melakukan seperti yang Bunda mau. Aku sudah bukan anak kecil lagi.”

Tak ada yang diucapkan Bunda kemudian. Gertakan anak gadis yang pernah meninggalkannya itu membuatnya mengingat masa lalu menyakitkan yang tidak pernah ingin ia alami kembali.

Masih tanpa sepatah kata, wanita itu beranjak dari pinggir ranjang dan berjalan ke arah pintu.

“Bunda...,” panggil Ati saat tangan bundanya meraih handle pintu. Wanita hampir enam puluh itu berhenti dan menoleh, mendapatkan Ati memeluk bahunya erat namun lembut begitu tubuhnya sepenuhnya berbalik. “Aku sayang Bunda,” bisiknya hangat.

Bunda membalas pelukannya.

“Mandi, ya?” katanya.

Ati tersenyum geli. Bundanya sama sekali tidak berubah.

Memang benar kasih ibu itu panjang sepanjang jalan. Bagaimanapun seorang anak telah membuat kebahagiaan dan kebanggaan mereka sebagai seorang wanita nyaris lenyap, mereka terus-menerus menetap di suatu tempat untuk memaafkan anak-anak yang kembali itu.

Kedai kopi itu terletak di lantai dua sebuah mal yang ramai dengan pengunjung. Lokasinya yang berada tepat di mulut game centre membuat tamu yang duduk di sana, dalam space counternya yang terbuka, seperti menjadi orang asing dalam kerumunan masa.

Ati membalas senyuman seorang pria yang duduk di seberangnya. Dia tidak mengenal pria itu sama sekali. Tapi, seperti pria-pria lain yang melihatnya dan memutuskan untuk dengan sopan mengangguk dan tersenyum, Ati akan menyambut ramah segala maksud baik.

Pria itu berpakaian rapi. Dasi berwarna terang dengan penjepit berkilau keperakan, yang serasi dengan warna kemejanya, terjalin indah di bawah dagunya yang bersih dan segar. Ati bisa menerka dalam sekali lihat, bahwa pakaian yang dikenakannya bukan hanya rapi, tapi juga mahal. Sementara dari caranya menyapa yang tenang dan sopan, pria itu menunjukkan kedudukan sosial yang bukan sembarangan.

“Sendiri?” pria itu mendekatinya dan bertanya. Posisinya setengah membungkuk tepat di hadapan Ati.
Sesopan mungkin Ati menggeleng, “Sebenarnya tidak. Saya menunggu suami. Itu dia!” katanya.

Bayu tiba. Hari ini dia mengenakan polo shirt berwarna navy dan denim berwarna senada. Mulutnya mengembangkan senyuman, meskipun Ati bisa menangkap rasa heran di matanya, karena menemukan seorang pria tak dikenal berdiri tak seberapa jauh darinya.

“Maaf. Saya harap, saya tidak mengganggu sedikit pun,” ujar pria tadi, sambil mengulurkan tangannya. “Agung.”

“Matahari,” Ati tak punya alasan berbohong mengenai namanya.

Pria itu tampak terkesiap. Tiba-tiba seperti ada ratusan bahan pembicaraan yang harus ia bahas bersama wanita cantik itu berkenaan dengan namanya. Tapi, Bayu sudah lebih dulu berdiri di antara mereka dan membuat pria itu merasa dia tak seharusnya berada di sana.

“Kalau begitu, lain kali saja,” ujar pria itu, penuh kesopanan.

Seolah tidak mau suami yang menunggu itu merasakan kecurigaan karena kehadirannya yang lebih awal, dijabatnya tangan Ati akrab. Semacam jabatan tangan kawan lama. Dia tidak tahu bahwa Bayu adalah masa lalu Ati, lebih dari siapa pun.

Pria itu mengundurkan diri, setelah sebelumnya tersenyum pada Bayu. Tapi, sebenarnya, matanya tak pernah lepas dari mengawasi wanita yang menyebut dirinya ‘matahari’ itu.

Ati tersenyum lembut pada Bayu, meski dia tak bisa mengingkari bahwa pesona pria itu lumayan menyita perhatiannya. Pria itu pasti curiga, mana ada suami-istri secanggung aku dan Bayu, dia berkata pada dirinya sendiri.

Bayu kelihatan bahagia. Warna mukanya bersinar-sinar, jika bahagia. Ati bisa membacanya tanpa harus diberi tahu.

“Aku excited banget ketemu kamu hari ini,” katanya, meletup-letup.

Ati mengerutkan keningnya, sambil tersenyum menerka-nerka. Memang sebaiknya ada hal yang menarik, mengingat bagaimana perjuangannya memenuhi undangan Bayu pagi ini.

Bundanya langsung berusaha memperlihatkan taringnya, begitu mendengar rencana Ati menemui pria bernama Bayu. Mendengar namanya diucapkan di dalam rumah itu saja, darahnya mendidih. Apalagi, nama itu merujuk pada orang yang sama. Orang yang mencerai-beraikan keluarganya. Pria rendah yang telah berkhianat.

“Lagi pula buat apa, sih, Ti?” bisik Bintang, abangnya. Bunda pernah mengancam tidak akan memaafkan seorang pun yang membawa pria itu, yang enggan ia sebutkan namanya, kembali ke dalam topik pembicaraan di dalam rumah.

Ati menggerakkan bahunya.

Bunda keluar dari dapur dengan sepiring penuh kue mangkuk berkilau kecokelatan, yang masih mengepulkan uap hangat. Ati dan Bintang segera menutup mulut mereka.

“Bunda tidak setuju kalau kamu kembali pada Bayu itu,” tembak Bunda ketus. “Pria seperti Bayu tidak akan mungkin berubah, Ti. Kamu hanya akan dijadikan pelampiasan,” katanya, emosional.

Ati tidak mau dikatakan sebagai objek pelampiasan. “Bunda ngomong apa, sih? Aku menemuinya karena dia cuma mengundang sebagai sahabat. Lagi pula, aku patut merasa berterima kasih karena dia mau mengantarkan sampai rumah tempo hari.”

“Omong kosong!” seru Bunda. “Dulu dia mengundang Sofie sebagai apa? Adikmu? Kamu mau jatuh dalam perangkap yang sama?”

“Bunda, tenang saja. Aku bukan wanita bodoh yang mau berbagi pria dengan adik perempuan sendiri. Lebih baik aku tak menikah.”

“Ati,” kata bapaknya, untuk memperingatkan ucapannya.

“Aku akan tetap menemui Bayu, karena aku tidak menemukan alasan untuk menolak maksud baiknya. Sekalian ingin mendengar mengenai Sofie,” Ati memutuskan. Setelah yakin tak seorang pun mendebatnya, dia mengundurkan diri dari ruang keluarga dan berjalan cepat menaiki tangga menuju ke kamarnya di lantai dua.

Di ruangan itu Bintang menatap kedua orang tuanya secara bergantian sebelum bertanya seperti orang linglung, “Bunda tidak bilang pada Ati tentang Sofie?”

Bayu melongok ke arah gerai es krim yang terletak tepat di seberang pintu masuk kedai kopi itu. Tangannya terangkat tinggi dan ia membuat gerakan melambai. Ati mengikuti arah lambaiannya. Hanya ada seorang wanita berkulit kecokelatan yang menjinjing tas ransel berwarna pink dengan sablon boneka Barbie dan seorang gadis kecil yang berdiri kontras di sampingnya. Kenapa Bayu tidak datang bersama Sofie? Ati mencari-cari.

Gadis itu kecil, manis, dan berkulit putih bersih.

Ati sebenarnya tidak merasa kesulitan memprediksi siapa gadis kecil dalam gandengan wanita yang jelas bukan ibunya itu. Pasti putri Sofie dan Bayu. Gadis itu sangat mirip dengan adik angkatnya, terutama pada bagian bibir. Di situlah benang merah dari segalanya, batin Ati. Senyuman itu tidak dihasilkan dari wanita selain Sofie. Tipis, tulus, dan lembut.

“Ini putriku dan Sofie,” Bayu memeluk tubuh mungil itu dalam lengannya. “Cantik bukan, Ti?”

Wanita yang dipandang itu tersenyum, “Cantik sekali.” Sayang, anak itu tampaknya tidak menyukaiku, pikirnya. Gadis kecil itu terus memandang ke depan.

“Apa dia sedang marah?” Ati berbisik pada Bayu.

Selintas, dilihatnya gadis itu memiringkan kepalanya, seperti sedang menangkap sebuah suara.

“Tidak,” Bayu menggeleng. “Kamu tidak lagi marah kan, Sayang?” tanyanya pada gadis kecilnya.

Gadis itu menggeleng dan tersenyum geli, karena merasakan daun telinganya ditiup. Ketika refleks dirinya mencoba menghindar, Bayu makin mempererat pelukannya. Seketika Ati bernapas lega melihat reaksi alami si gadis kecil, begitu pertanyaan tersebut diajukan. Reaksi itu bukan bohong, Ati yakin. Tapi, keengganan si gadis untuk menatap dan bertanya-tanya seperti anak-anak lain jika bertemu orang asing, masih membuat Ati merasa bahwa ada yang tidak wajar berkenaan dengan sikapnya.

“Aik. Ayo, beri salam pada Tante Ati,” ayahnya memerintah.

Gadis itu tersenyum lebar, ia menjulurkan tangan dan menyebutkan namanya dengan lancar, “Matahari Sekar Ayu Putri.”

Tiba-tiba saja Ati mengerti. Sayang, pengertian itu justru menyekat tenggorokannya. Dia tak bisa mengatakan apa-apa.

Gadis kecil dalam pelukan Bayu itu masih tetap menjulurkan tangannya ke depan dan bukannya ke arah Ati. Setelah beberapa saat tak ada sambutan terhadap uluran tangannya, barulah dia mengerling ke samping.
Sambil setengah tertawa dia berkata, “Oh, Tante di situ, ya?”

Bayu tersenyum hangat. Dalam kehangatan senyumannya, dia mengangguk lembut pada Ati yang masih belum sepenuhnya percaya, seolah membenarkan pengertiannya.

Ati tak ingin membuang waktu lagi untuk menjawab uluran tangan itu. Seperti menebus tuduhannya terhadap sikap gadis cilik itu sebelumnya, digenggamnya jemari kecil itu erat-erat dan dikecupnya dalam-dalam.

“Maaf, ya, Tan...,” bisik gadis kecil itu. “Papa bilang, cuma sampai akhir tahun ini. Jadi, aku mesti sabar. Kalau aku sabar, ntar pasti bakal ada orang yang mau ngasih matanya buat aku.”

Seperti perintah dari otak pada sistem motorik tubuhnya, pernyataan itu membuat Ati tak kuasa menahan pelukan dan ciumannya.

“Namanya Matahari?” Ati kembali mengingat sederet nama yang tak asing bagi telinganya.

“Sofie yang memilihkan namanya,” katanya.

“Kenapa dia menggunakan nama yang sama denganku, Yu?” tanyanya memburu. Jawaban Bayu sama sekali tidak memuaskan rasa ingin tahunya.

“Bukankah Aik memang seperti bunga matahari? Kupikir nama itu sangat cocok.” Bayu tidak bermaksud bermain teka-teki, Ati tahu maksudnya, tapi kali ini dia benar-benar ingin tahu secepatnya.

“Yu,” potong wanita itu, setengah menghardik.

“Kalau kau seperti matahari, Aik memang seperti Bunga Matahari. Dia yang tak bisa melihat hanya bisa mengikuti ke mana sensor terbesar baginya ada dan tidak ada. Sofie sudah memikirkannya dengan baik,” Bayu menjelaskan.

“Apa dia begitu sejak lahir?” Ati merasa perlu berhati-hati, ketika menanyakan hal ini. Mengingat latar belakang hubungannya dan pasangan itu yang tak begitu menyenangkan, menanyakan perihal genetis sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman yang krusial.

Ternyata, di luar dugaan, Bayu mengiyakan tanpa pikir panjang. “Mungkin bukan sejak lahir,” ralatnya. “Aik panas tinggi dua hari setelah lahir. Dokter terpaksa memberinya penurun panas. Setelah itu retinanya tak bereaksi terhadap sensor cahaya. Dia buta.”

Ati tidak menimpali. Dia tidak menemukan kalimat tepat untuk situasi yang relevan.

“Apa kau tidak mendengar nama Aik disebut di rumahmu? Bahkan, hanya sekali?” Bayu bertanya.

Sesungguhnya tak sekali pun pernah. Membicarakan hal itu di rumah saja, Bunda bisa mengutuk habis-habisan. Ati pernah menyesal dengan keputusannya meninggalkan Semarang tujuh tahun yang lalu. Kalau saja dia tahu kepergiannya itu menimbulkan luka dan kebencian mendalam yang tak pernah terkikis dari benak Bunda terhadap Sofie dan Bayu, bahkan bayi perempuan mereka yang kelahirannya didengar Ati lewat salah seorang tetangga yang kebetulan bekerja di Jakarta, dia akan mengurungkan niatnya.

Dia sudah meyakinkan Bunda bahwa kepergiannya bukan karena luka yang terlalu sakit untuk tetap tinggal. Tapi, anggapan seorang Bunda yang tak bisa merelakan pengkhianatan terhadap putrinya, seperti tak mungkin diubah bagaimanapun meyakinkan penjelasan itu.

Sofie adalah anak haram seorang pelayan yang dipungutnya dari hutan jati. Bundanya menyiarkan kebenaran yang bertahun-tahun disimpannya rapat-rapat. Anak haram tetap saja anak haram. Meski dia telah membesarkannya secara terhormat, anak haram tetap saja anak haram.

“Sofie begitu tersiksa. Dia sangat ingin dimaafkan,” ujar Bayu.

Ati seperti terantuk pada kenyataan. Lamunannya buyar.

“Bunda menyiksanya terlampau berat,” Bayu memandangnya, kemudian dengan suara yang melirih dan kepala tertunduk, dia menambahkan, “Padahal, semua ini salahku. Bukan dia.”

“Terlepas dari kesalahan siapakah ini dan itu...,” Ati terdiam, seperti memilih-milih kata. “Bundaku hanya mengikuti insting keibuannya. Perawan Maria saja menitikkan air mata ketika Yesus disalib, meski itu kehendak Allah. Bunda mencoba melindungi. Sesuatu yang begitu mudah dipahami.”

Bayu tahu itu benar sekali.

“Tapi, Ti, apakah kau pernah sekali saja memaafkan Sofie?”

Ati tersenyum. “Aku memaafkan kalian tentu saja. Justru sebaliknya, apakah kalian pernah memaafkan aku karena telah membuat kehidupan kalian tidak nyaman?”

Seperti dipermalukan, ekspresi Bayu sangat rumit untuk disusun menjadi kata-kata. Merasa secara telak tertohok, pria itu dengan jujur mengakuinya. “Kau menyindirku, Ti. Bertemu denganmu di stasiun kereta kemarin saja aku seperti menyadari bahwa Tuhan belum melupakan aku. Aku tidak pantas memaafkan kamu. Aku memang memalukan.”

“Kalau begitu, selama ini kita sudah salah paham, Yu,” Ati tersenyum tulus. “Ternyata kita telah sama-sama memaafkan. Sudah tak ada masalah lagi di antara kita, bukan?”

Senyum Bayu mengembang kini. Ati memang bukan wanita biasa, batinnya. “Sofie bilang, kau seperti penghibur. Mengalah. Memberikan semua padanya, meskipun kau juga menginginkan hal yang sama. Boneka, kue, jatah tidur di ketiak Bunda, bahkan... cintanya,” kalimat Bayu terpotong.

Ketika tak ada ekspresi lain yang tersirat di wajah Ati selain keantusiasan wanita itu untuk mendengar lebih banyak, Bayu melanjutkan, “Kata-kata selanjutnya ketika ia mencoba menggambarkanmu adalah game centre. Bedanya, dia tak perlu memasukkan koin ke salah satu bagian tubuhmu.”

Ati menertawakan bagian akhir cerita Bayu.

“Bahkan, pada saat-saat terakhirnya pun dia sangat ingin bertemu denganmu, Ti. Dia ingin mendengar dirinya dimaafkan. Dia sangat mencintaimu. Sofie tidak pantas dipersalahkan atas apa pun. Aku yang menjadikan semua ini begini adanya.”

Raut muka Ati berubah. Darah seperti meninggalkan kepalanya. Ada kepingan puzzle yang hilang ternyata. Kepingan yang sedari tadi menjadi tanda tanya dalam benaknya dan tiba-tiba saja dia sadari.

Keterlaluan Bunda....

“Ati? Sudah pulang?”

Saat memasuki halaman rumah yang luas dan hijau, sederet mobil mewah yang terparkir di atas rerumputan tebal, menggoyahkan hati Ati. Pikiran bahwa bundanya telah merancang sesuatu di belakangnya seperti yang selama ini ia khawatirkan setiap kali pulang ke rumah, segera berkelebat memusingkan.

Seperti seorang paranoid yang mengkhawatirkan anak gadisnya akan mati dalam keadaan perawan, bundanya tak pernah patah semangat untuk mendaftar dan mengundang pria-pria muda dan mapan untuk diperkenalkan pada Ati. Hari ini pun seperti yang terduga, sebuah keluarga kecil dan anak laki-laki mereka yang mapan, pasti telah duduk dengan muka merah, setelah diagung-agungkan kehebatannya oleh para orang tua.

“Ati, ayo, Bunda kenalin dengan keluarga Laksana. Ini....”

“Bunda,” potong Ati, gusar. “Maaf, Tante, Om,” ia beralih pada tamu-tamu untuk memintakan bundanya waktu sebentar.

Pasangan seusia orang tuanya itu mengangguk.

“Jadi ini Matahari itu?”

Ati terperangah mendengar sebuah pertanyaan yang terdengar menyedot seluruh perhatian di sekitarnya itu. Refleksnya secara otomatis segera mencari siapa yang lantang menyuarakannya.

“Halo,” sapa seorang pria yang duduk tepat di samping ayah Ati. Kakinya yang panjang berbalut celana hitam Armani, menyilang menumpuki kakinya yang lain dengan pongah.

Penjepit dasi berkilau keperakan dan dagu bersih-segar itu membuyarkan konsentrasi wanita yang sedang mencoba memaksakan keinginan pada sang penguasa absolut di rumah itu.

Apa yang dilakukannya di sini? Ati menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan yang tak pernah hilang, jika ia mulai dilanda kecemasan.

Ati memandang lekat pada pria yang sedang menurunkan salah satu kakinya yang semula menyilang. Dia tidak mungkin salah mengenali. Pria itu memang pria yang sama yang telah menerima perkenalan dirinya sebagai seorang istri Bayu Laksmana di kedai kopi siang tadi. Ati bukan hanya mengenali penjepit dasi berkilau keperakan di dadanya, tapi juga senyuman dan tatapan matanya yang dalam.

“Sekilas begitu mirip dengan kawanku,” kata pria itu lagi. Seperti berbicara pada nyonya rumah, padahal pandangannya tak pernah luput dari Ati, dia berseloroh, “Tapi tidak mungkin. Temanku itu sudah punya suami dan seorang anak seusia Tasya, keponakanku, Tante.”

Ati menelan ludah. Yang dimaksud pria itu tentulah dia. Gurauan yang jelas-jelas memperlihatkan bahwa kelaki-lakiannya telah terluka. Namun, Ati bersikeras menarik lengan bundanya menjauhi kerumunan itu.

“Kenapa, sih, narik-narik Bunda begini, Ti?” Bunda akhirnya melawan, begitu sebuah dinding yang memisahkan antara ruang tengah dengan ruang depan melindungi mereka berdua.

Ati mendengus berat. Memperlihatkan keseriusannya.

Tujuh tahun lebih semua itu berlalu. Ketika tujuh kali hari yang paling menyakitkan itu terulang, Ati pun telah tujuh kali pula sembuh. Tak disangkanya, luka Bunda justru tujuh kali lipat lebih basah, dalam dan menyakitkan. Tapi, sungguh, dia tak sekali pun pernah membayangkan bahwa bundanya tega menyembunyikan hal sepenting itu darinya hanya gara-gara dendam.

“Sofie sudah meninggal,” Ati sengaja mengucapkannya tanpa tanda baca. Datar dan tidak emosional.
Bunda langsung memalingkan wajah ke samping. Sudah jelas beliau sebenarnya tahu tentang berita itu. Entah mengapa, dia memilih untuk bungkam.

Ati harus susah payah meredam perasaannya. Bunda memang keras hati dan kepala, berbicara dengan tenang saja seperti tidak pernah cukup untuk mengungkapkan kesungguh-sungguhan. Dengan mencoba menahan luapan emosi, dia memulai kalimatnya perlahan, “Bunda... Sofie sudah meninggal dan anaknya buta. Kenapa tak seorang pun di rumah yang mau ngasih tahu aku soal ini? Demi Tuhan, Bunda, kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun. Aku saja sudah lupa.”

“Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal ini, Ti,” Bunda berkata, tegas dan kaku. “Bunda sedang ada tamu. Kalau kamu tidak keberatan, sebenarnya Bunda memang sama sekali enggan membicarakannya!”

“Bunda... apakah aku sudah begitu menyakiti Bunda selama ini?” suara Ati makin pelan. Sesal berkecamuk dalam dadanya seketika. Tiba-tiba dia menyadari, apa yang terjadi terhadapnya di masa lalu bukan mustahil telah membekas pula di hati orang-orang di sekitarnya. Dan, ketika dia dengan tenang melenggang keluar dari lingkaran orang-orang yang mencintainya, mereka makin tersayat hatinya.

Bunda diam. Dengan anggun beliau merapikan kain yang melilit pahanya. “Anak memang dilahirkan untuk belajar dari kesalahan,” katanya, ketika sebuah kaca yang terbingkai di dinding menangkap bayangan wajah tuanya yang masih kelihatan segar. Sambil menata rambutnya yang tersasak ke belakang, ia melanjutkan, “Dan orang tua tak bisa berbuat banyak selain maklum dan memaafkan, Ti. Pada akhirnya, mereka cuma berharap bisa membantu sedikit. Itu pun kalau anak-anak mereka masih memanusiakan orang tua.”

Bunda memang kejam. Seolah selalu tahu bagaimana menyakiti seseorang, wanita tua berhati baja itu tak pernah kehabisan akal dalam memilih kata. Ati mengagumi bagaimana dalam sekejap Bunda bisa tahu titik kelemahan seseorang dan mengarahkan pelurunya tepat ke titik tersebut.

Tak pernah luput.

“Sekarang, kalau kau tak mau Bunda malu, berganti pakaian dan temuilah Surya.”

“Surya?” bukankah namanya Agung?

“Ya. Agung Surya Laksana. Nama tengahnya memiliki arti yang serupa dengan namamu. Bunda yakin itu pertanda bagus.”

Ya, ampun, Bunda.... Ati lemas.

Dia tahu.
Menerima ajakan Bayu untuk makan malam, sama dengan menyulut sumbu dinamit dalam kotak make up Bunda. Tidak akan butuh waktu lama untuk mengguncangkan seluruh isi rumah, bahkan seluruh kompleks perumahan sampai Bunda mendengarnya. Sudah terbayang dalam kepala Ati, betapa akan histeris bundanya tersayang, betapa akan repotnya Bapak, dan betapa akan panjang desahan Mas Bintang.

Tapi, aroma masa lalu itu yang tak bisa diingkari setiap wanita.

Pada dasarnya, Bayu adalah pria yang sangat menyenangkan. Ati tak mungkin bisa melupakan fakta yang membuatnya jatuh cinta. Ketika mereka sama-sama menjalani kehidupan kampus, Bayu bukan hanya paling tampan, dia juga paling meyakinkan dan cerdas. Suasana yang terbangun bersamanya adalah suasana penuh penghargaan dan kehangatan.

Dia tahu bagaimana harus makan malam dengan seorang wanita.

Ketika mereka makan hidangan utama, Bayu mengungkapkan bahwa ia sangat merindukan masakan rumah yang sehat dan bersih. Setelah Sofie dan bundanya meninggal, tak seorang pun bisa memasak nasi bebek hainan, selain chef resto Holiday.

“Kau tak menemukan wanita lain setelah Sofie meninggal?” Ati bertanya, tidak serius, hanya berusaha menanggapi problem nasi bebek hainan favorit Bayu. Ia merasa kondisi hubungan mereka sudah jauh lebih baik. Matahari kecil sungguh membantu proses perbaikan yang tampak mustahil itu, sehingga hampir semua masalah yang terpendam di masa lalu bisa terbahas dengan leluasa.

Bayu terdiam dan Ati merasa dia telah bertanya terlalu serius, sehingga ia harus meminta maaf.

“Tidak. Tidak...,” jawab Bayu. “Aku tidak pernah harus menemukan siapa pun, Ti. Dari dulu hingga sekarang, hanya ada satu wanita yang pernah kutemukan dan aku tak mungkin menemukan yang lain.”

Ati bukan wanita bodoh, dia mengerti benar arah pernyataan Bayu. Hanya, bukan karena masa lalu. Sekali lagi, mengapa ia sedikit pun tak berniat kembali melabuhkan cintanya pada pria tersebut.

“Apa kau benar-benar sudah memaafkan kami berdua?”

Ati mengangguk lemah. Ada desir-desir aneh mengaliri hatinya, rasa bahagia yang ia tahu berbahaya. Rasa bahagia yang tidak diinginkannya. Ia merasa lemah sebagai wanita, kelemahan yang tak tersentuh olehnya, seberapa pun keras kehidupan sendirinya di Jakarta.

“Bay, antarkan aku pulang.”

Ati melempar pandangannya ke luar jendela, ruang tamu rumahnya masih menyala. Jelas Bunda masih terjaga untuk menunggunya pulang. Tebersit di kepalanya, bagaimana marahnya Bunda nanti, jika dia tahu mobil siapa yang mengantarnya pulang.

Namanya dipanggil sekali lagi dan ia sedang akan membuka mulutnya untuk menanggapi permintaan maaf Bayu, ketika suatu benda keras terdengar menghantam benda keras pula.

Serentak mereka mencari arah datangnya suara dan menemukan wanita tua dalam daster batik cokelat berjalan tergopoh-gopoh keluar dari rumahnya, dikejar oleh seorang pria yang sama tua dan seorang pria yang jauh lebih muda. Ati langsung tahu siapa mereka.

“Ya, Tuhan...!” pekiknya.

Bunda mengacung-acungkan sebongkah batu bata besar, siap meluncurkan lemparan kedua tanpa memedulikan teriakan pencegahan suami dan anak laki-lakinya.

“Pergi, Yu!” perintah Ati, bersiap-siap melompat keluar dari mobil.

“Tidak, Ti!” Bayu mencegahnya. “Aku akan menjelaskan pada Bunda mengenai semuanya. Tunggu!”

“Jangan bodoh! Itu bukan Bunda! Itu induk burung nasar yang mencoba membela telurnya yang kau rusak! Pergi. Aku tak mau kamu mati konyol atau sekadar masuk UGD!”

Ati melompat turun dari mobil, yang kemudian melaju meninggalkannya. Meski begitu, lemparan batu Bunda sempat mengenai kaca belakang mobil.

“Bunda!” Ati mendelik marah.

“Bunda...,” Ayah berhenti dengan napas hampir putus. Begitu langkahnya terhenti, tubuh rapuhnya justru roboh kehabisan tenaga.

“Bapak!” Mas Bintang buru-buru melompat menangkap.

“Bunda, apa-apaan, sih?!” Ati benar-benar marah. Kali ini tindakan Bundanya sudah menjurus pada tindakan membabi buta. “Bunda... Bunda bisa dituntut, karena berbuat kriminal!”

“Biar!” jerit Bunda. “Coba lihat, apa pengecut itu berani nuntut!”

“Bunda tak akan bisa ngomong begitu, kalau sudah benar-benar dituntut! Bunda sadar tidak, Bunda bakal mempermalukan keluarga besar! Bayangin, apa yang Eyang Putri bilang nanti....”

Barulah, setelah Ati membawa nama Eyang Putri, emosi Bunda agak teredam dan nyalinya menciut. Tak sepatah kata pun terucapkan, hanya kedua tangannya yang masih mengepalkan tinju.

Aku hanya mau menegaskan bahwa aku nggak main-main kemarin, Ti. Kenapa kamu nggak mau angkat teleponnya?
May 2, 2008
Sender: Bayu

Ati bangun dengan sesak di dada.

Mungkin saja Bunda ada benarnya juga. Bayu memang agak tak tahu diri. Padahal, beberapa saat lalu, Ati merasa yakin bahwa ia sedang menghadapi pria yang sama sekali baru. Pria yang sudah ditempa pil pahit atas sebuah kesalahan, sehingga membawa pendewasaan pikiran dan ketinggian tingkat kesabaran diri.

Akhirnya Ati menyingkap selimut, mengambil handuk dan mandi. Sekadar untuk menyenangkan hati Bunda, yang menangis semalaman karena Bapak pingsan, selain untuk menyegarkan kepalanya.

Di bawah, meja sudah tersulap menjadi meja sesajen dan raut muka Bunda tak menyisakan kesedihan. Mas Bintang jelas dipaksa mandi jauh lebih pagi. Bapak juga kelihatan sehat dengan cangklong, koran pagi, dan kopi panas. Nyaris lenyap tanpa sisa insiden semalam, kecuali tingkah Bunda yang kelewat ceria.

“Siapa?” bisik Ati pada kakaknya, sewaktu Bunda mengambil sesuatu di dapur, entah mau diletakkan di mana lagi. Maksudnya, tentu saja menanyakan, siapa lagi yang sedang akan disambut Bunda.

Mas Bintang tak perlu menjawab. Pintu depan menjeblak ter­buka disertai sebuah suara lantang yang terdengar membahana, “Selamat pagi!”

Ati nyaris melompat. Agung!

“Aik!” Bayu nyaris melompat untuk menangkap tubuh putrinya yang terhuyung hingga nyaris terjerembab ke depan. Pengasuhnya lari tergopoh-gopoh di belakang, mukanya pucat ketakutan.

Dari kejauhan, Agung memperhatikan pemandangan yang tidak sengaja tertangkap olehnya. Dia baru saja selesai makan siang bersama adik perempuannya, ketika melihat Bayu di depan sebuah game centre. Setelah menyuruh sang adik pulang lebih dulu, ia mengambil sebuah tempat duduk di sebuah kafe untuk mengamati lebih lanjut.

Bayu Laksmana bertubuh tinggi besar. Jambang dan ikal rambutnya mengingatkan Agung pada Surya Saputra, hanya tak ada kacamata kotak mungil duduk di batang hidungnya. Siang itu ia mengenakan kemeja santai yang dipadu dengan celana jins dan sneaker putih. Penampilannya membuat hari Selasa yang berjalan lambat terasa seperti hari Minggu.

Agung menyedot ice blended mocca yang ia pesan.

Lagi pula, kombinasi kawanan Bayu yang unik juga membuatnya tidak sulit mengenali kembali. Berapa banyak pria tampan yang menggendong gadis kecil buta dan diikuti seorang wanita berkulit gelap dengan kelebihan berat badan?

Sejurus kemudian, mereka meninggalkan game centre, dengan Bayu masih sibuk memohon agar putrinya berhenti menangis. Agung menyelinap keluar dari kedai mengikuti kawanan mereka, sampai ke tempat parkir. Di balik pintu sedan hijau toska keluaran tahun ‘90-an, mereka menghilang.

Agung melarikan mobil mengilatnya membelah jalanan, mengikuti mereka sampai berhenti di depan rumah dengan nomor 108. Rumah dengan dua lantai berwarna kuning gading dengan pagar setinggi pengasuh si gadis buta.

Seorang pria seusia Bayu berlari tergopoh-gopoh dari dalam untuk membukakan pa­gar, supaya sedan itu bisa masuk ke garasi.

Bayu baru saja menyerahkan si gadis buta pada pengasuhnya dan memberi pesan tegas agar ia jauh lebih hati-hati, ketika Agung memanggil namanya. Ia mendekat dan mengisyaratkan pada pria yang menutup pagar supaya menahan pagar untuk sang tamu.

“Apa kita saling mengenal? tanya Bayu, ramah. Ia bahkan menjabat tangan Agung dengan hangat.

“Jujur saja, aku ngikutin mobil kamu dari mal. Agung Surya Laksana, ujar Agung, lugas memperkenalkan diri. Dia memang tidak berniat menyembunyikan identitasnya. Karena, dia tahu, cepat atau lambat mereka akan saling mengenal.

“Apa aku meninggalkan sesuatu? tanya Bayu, tanpa prasangka.

Agung tersenyum Dari keramahtamahan Bayu, terlintas di pikirannya, pria itu bukan pria yang punya niat buruk. Kemungkinan dia memang hanya punya satu tujuan, kenapa dia berani meminta kembali wanita yang pernah dilepaskannya dulu: cinta.

“Tidak. Tidak. Kita tidak saling kenal, kau juga tidak menjatuhkan sesuatu, kata Agung.

“Kau berkunjung untuk Matahari Rahayu Putri atau bundanya?

Tertembak langsung, Agung melempar senyum terkulum.

“Aku pernah melihatmu di kafe itu, ketika menemui Ati. Aku ingat penampilan ala insurance head consultant-mu. Jas perlente dan senyuman marketing.

Itu sinisme, batin Agung. Jelas Bayu mulai terbakar cemburu dan mulai kehilangan kontrol terhadap diksinya.

“Aku bukan datang untuk keduanya, apalagi untuk maksud yang kurang berkenan.

“Apa Ati tahu kau berkunjung?

“Tentu. Kami diskusikan segalanya dengan terang-terangan.

Suasana menegang, ketika keduanya secara implisit berusaha menunjukkan siapa yang punya pengaruh lebih kuat satu sama lain.

“Lucu juga. Kalau kau mendiskusikan semuanya secara terang-terangan, tentunya kau bisa menanyakan alamatku dari Ati dan berkunjung pada jam-jam ketika orang bekerja sepertiku sudah berada di rumah, ‘kan? Bukannya repot-repot mengikutiku?

“Kau bisa meneleponnya, tantang Agung. “Aku yakin kau masih punya nomornya, ‘kan?

Tentu saja Bayu tidak mengikuti saran Agung, dia sadar benar ini urusan antarpria.

“Lalu? tanyanya, menunggu Agung selesai menyulut. “Apa yang bisa kulakukan untukmu?

“Entahlah, jawab Agung. “Aku sendiri kurang paham maksudku kemari. Aku cuma kebetulan melihatmu dan berpikir untuk berkunjung. Mungkin untuk menyelesaikan apa yang belum kau selesaikan dengan calon pengantinku.

Air muka Bayu berubah.

“Aku tahu, aku seharusnya tidak ikut campur.

“Kelihatannya kau sudah salah tangkap, Gung. Boleh kau kupanggil begitu?

“Tentu saja. Apa saja.

“Aku tidak perlu menceritakan apa yang terjadi di antara kami tujuh tahun yang lalu, bukan? Karena kalian berdua mendiskusikannya secara terang-terangan, bukan?

Ini sindiran yang cerdas, Agung terus-menerus menilai. Bayu sedang mencoba menunjukkan betapa dia lebih unggul dalam segi nostalgia dan bahwa dia bukan pribadi yang mudah diusir dengan kunjungan baik-baik sekalipun.

Namun, Agung menenangkan hatinya. Dia yang sudah memenangkan cinta Ati sampai detik ini. Persetan dengan masa lalu.

“Asal kau tahu, sebagai manusia yang sama-sama dewasa, kami sudah menyelesaikan entah apa yang kau maksud dengan ‘apa yang belum kami selesaikan’ itu. Sebaliknya, kami sudah membaliknya dengan lembaran baru. Tanpa muatan masa lalu.

Kali ini air muka Agung berubah. Dia bisa menghadapi penyangkalan-penyangkalan Ati terhadap kehadirannya dengan mudah, tapi entah kenapa, dia merasa kehadiran Bayulah yang mengancamnya.

Tiba-tiba saja, seperti berada di kerumunan orang asing dan mendadak entah dari arah mana, sekepal tinju mendarat di batang hidung. Agung kesulitan mengembalikan telapak kakinya kembali memijak tanah.

“Agak mengejutkan menerima kunjunganmu, Gung. Seingatku, Ati tak pernah menyebut-nyebut mengenai menikah dengan seseorang, kecuali bahwa bundanya tak pernah menyerah memperkenalkannya dengan pria yang salah.

“Mungkin sebaiknya kau bertanya. Masa kau tidak tahu? Dalam beberapa hari saja, aku bisa tahu karakternya yang pasif. Terlebih, kelembutan hatinya yang tak pernah ingin melukai orang lain.

Ini sudah bukan kunjungan sehat antarpria. Ini lebih mirip dengan perdebatan antara dua orang wanita yang sibuk memperebutkan cinta, tanpa tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh trofi yang mereka perebutkan.

Wanita di ambang 58 tahun itu terpaku pada jendela yang membingkai anak laki-laki dan suaminya di ujung senja, bercengkerama di kursi taman. Semua itu membuatnya tersadar anugerah Tuhan sudah tercurah tak terkira.

Begitu tinggi keinginannya untuk membuat buah hatinya sebahagia dirinya dan suaminya; bersanding dan berbuah hati pula. “Tuhan pasti punya rencana yang indah, As.... Itu yang selalu dibisikkan suaminya, hampir setiap kali dia menangisi dua buah hatinya yang tetap sendirian tak berpendamping.

“Bintang itu seperti dirimu. Kau juga pasti tak akan menikahi siapa pun, kalau kau tidak menikahiku. Dan Ati itu sepertiku. Aku juga tidak akan menikahi siapa pun, kalau aku tidak menikahimu, kata suaminya penuh cinta, setiap kali pula dia menangisi kisah cinta dua buah hatinya.

Bintang yang kehilangan kekasihnya dalam sebuah kecelakaan dan Ati yang harus menerima kekalahan telak, justru dari seorang anak yang dicintainya sama rata. Penyesalan-penyesalan yang membuatnya merasa pilu, karena kebahagiaannya 30 tahun ini, seperti harus dibayar mahal oleh penderitaan buah-buah cintanya.

“Asmiranda! Bersihkanlah hatimu dari dendam!

Itu pertama kalinya Hendrawan membentak istrinya.

“Apa kau tak sadar dendammu itu memberatkan kedua anakmu? Menjauhkan mereka dari restu Tuhan!
Tuhan tak akan merestui kebahagiaan atas Bintang dan Ati, jika kau tak merestui mereka. Kenapa tak kau biarkan saja semua berjalan secara alami? Kematian Sofie ini mungkin amanat. Mungkin, Tuhan hanya mengizinkan Bayu yang bersama Ati. Kita cuma manusia, bukan lagi orang tua yang harus melindungi anak-anak yang sudah dewasa. Tugas kita sudah selesai! Kita hanya boleh melihat, As.... Relakanlah Bayu menjadi kebahagiaan bagi Ati.

Tidak akan pernah.

Air mata wanita itu menetes. Pilu hatinya, nyeri yang meradang itu belum pernah pupus sekali pun. Ia tak pernah sembuh, bagaimanapun ia tahu bahwa Ati ternyata sudah sepenuhnya pulih.

“Apa kau tidak sakit hati pada nasib anak-anak kita? tanyanya suatu hari pada suaminya.

“Sakit hati pada nasib sama dengan menggugat Tuhan. Aku tidak berani.

Asmiranda terdiam, dia juga sama tak beraninya.

“Tapi, sangat sulit menerima semua ini.

“Aku merasakan kesulitan yang serupa. Aku hanya tak mau anak-anakku merasa lebih kesulitan lagi, kalau mereka harus menerima beban berat, karena aku tak bisa melupakannya.

Dia selalu merasa Hendrawan berbohong. Kalau Hendrawan yang mengandung Bintang dan Matahari, dia tak akan sanggup merasa tidak berani sakit hati terhadap nasib mereka.

“Bunda....

Wanita itu terenyak. Entah sejak kapan Bintang sudah berdiri di belakangnya. “Bunda kenapa?

“Nggak apa-apa. Sana suruh Bapak masuk. Ini sudah hampir malam, nanti dia batuk lagi....

“Bapak minta aku manggil Bunda. Katanya, dia mau Bunda yang gandeng Bapak masuk. Anggrek bulan Ati ngembang, Bunda. Bapak bilang ini pertanda bagus.

Asmiranda mengangguk dan menjemput suaminya.

“Anggrek bulan ini sudah lama nggak ngembang. Aku pikir sudah mati, kata Hendrawan. Sakit paru-paru telah merampas daya tahan tubuh dan melemahkan suaranya. “Aku tetap merawatnya, karena aku tahu Ati selalu menengok dan menanyakan keadaannya, setiap kali pulang. Kau teleponlah dia. Dia pasti senang kalau tahu anggreknya ngembang lagi.

Asmiranda hanya menatap nanar pada setangkai anggrek dengan kuncup-kuncup bunga mungil yang sedang ditimang suaminya. Tak terasa, air matanya meleleh dan ia sudah terbenam dalam dada Hendrawan.

“Aku tak tahu harus berkata apa lagi.... Aku tak mau menggugat siapa pun. Apalagi, Tuhan.... Kalau ada yang bisa kulakukan untuk membuat Bintang dan Matahariku bahagia....

Malam mulai turun membayangi langit. Hendrawan menggandeng Istrinya masuk ke dalam rumah.

Mata Ati mengikuti mobil kekasihnya hingga menghilang, setelah itu barulah dia melangkah memasuki teras depan.

Lampu ruang tamu rumahnya masih menyala terang benderang, padahal dia belum memberitahukan soal kepulangannya. Mungkin Bintang sedang nonton pra-Piala Eropa.

Dia mengetuk. Pada ketukan ketiga, Santo tampak tergopoh-gopoh membuka pintu.

Dari arah ruang tengah dia mendengar suara-suara lirih bercakap-cakap kurang akrab. Ati mengintip dan terkesima.

Bayu Laksmana duduk di hadapan pasangan Asmiranda-Hendrawan dengan kepala menunduk, dua belah tangannya saling meremas cemas. Siapa pun bisa merasakan udara dingin yang terembus karena kecanggungan yang mereka bangun.

“Ssst....”

Bintang muncul mendadak di samping adik perempuannya yang tengah mengendap-endap. Sambil mengisyaratkan agar tidak mengeluarkan suara, Bintang menarik lengan Ati menjauh.

“Kenapa Bayu ke sini?”

Bintang menutup pintu dapur di belakang mereka, khawatir mereka masih bisa terdengar dari ruang tamu saking sunyinya rumah malam itu. “Aku juga belum tahu kenapa dia ke sini.... Sepertinya, justru Bundalah yang mengundang Bayu kemari.”

“Mau apa Bunda?” alis wanita itu bertautan lagi.

Bayangan-bayangan mengerikan tentang reaksi Bunda setiap kali nama Bayu disebut di rumah saja, sudah membuatnya merinding ketakutan, apalagi membayangkan mereka berhadapan. Jika Bunda yang justru memanggil, alasan apa yang paling tepat beliau miliki? Selain memutilasi tubuh Bayu menjadi tiga puluh dua bagian, misalnya....

Mereka berdua terpaku diam.

“Masalahnya... aku pernah mendengar mereka diam-diam kembali mendiskusikan kalian berdua, setelah sekian lama,” kata Bintang.

“Mereka masih berpikir aku terpaku pada Bayu?” tebak Ati.

“Tidakkah kau?”

“Mas!” Ati menyalak tak percaya.

“Maaf.... Kalau aku....”

“Bukan berarti aku juga tidak bisa, kalau Mas Bintang nggak bisa, ‘kan? Aku sudah bukan Ati yang dulu, Mas! Aku sudah sembuh sejak lama! Tidakkah ada yang memercayaiku?”

“Aku sama sekali belum bisa melupakan Kiran...,” Bintang mendesis sedih. Ia duduk di salah satu kursi di meja makan, bersandar, kemudian matanya menerawang. “Aku mungkin sudah lupa bagaimana ia tertawa, bagaimana suaranya, bagaimana Ia mencintaiku....”

Menyesal Ati telah menguak kembali luka lama Bintang. Ati menghambur ke arah kakaknya, memeluknya untuk menunjukkan dukungan dan rasa sayangnya yang tak meluntur, meski jarak dan usia telah membentangkan kasih sayang mereka.

“Bintang yang bilang kamu datang semalam.”

Ati serta-merta terjaga, sensor matanya dikejutkan oleh cahaya matahari yang menyelinap menyilaukan dari celah tirai yang disingkap bundanya.

“Mandilah. Bunda dan Ayah mau bicara sambil kita sarapan.”

“Sejak kapan juga Bunda diam-diam menerima Bayu kembali di rumah ini?” Ati mengelak.

“Bunda pikir kamu justru suka?” tutur Bunda, enteng.

“Aku benar-benar nggak ngerti dengan maksud Bunda,” ujar Ati gemas. “Setiap tahun aku selalu pulang untuk ritual perjodohan yang konyol dan ketika aku menyanggupinya sekarang ini, apa lagi? Apa, sih, mau Bunda sebenarnya?”

Tidak ada jawaban dari mulut Bunda, tapi jelas terlukis keterpanaan atas pertanyaan putrinya. Beliau berdiri terpaku dengan sepasang mata menatap dingin, beradu dengan tatapan Ati yang siap menyerang.

“Mandi dan turunlah. Ayahmu yang akan bicara.”

Napas Ati terembus berat, sungguh wanita yang tak mempan diintimidasi. Bundanya itu....

Di meja makan, Bintang sedang menghabiskan sepiring besar nasi goreng.

“Bapak mana?” tanya Ati.

“Anggrek bulanmu ngembang. Bapak seperti tak punya kegiatan lain selain mengaguminya,” jawab Bintang.
Ati urung mengambil tempat di hadapan nasi goreng jatah sarapannya, “Anggrek bulanku?”

Raut wajah bapaknya menjadi cerah, ketika Ati mendekat. Tangan kanannya yang masih memegang peralatan berkebun, melebar, menyambut putrinya. Dalam dekapan sang bapak, Ati bersandar.

“Aku pikir, sudah tak mungkin tumbuh, Pak.”

“Bapak juga.”

“Ibu bilang, Bapak mau bilang sesuatu sama aku?”

“Ya.”

“Tentang apa? Bayu?”

Hendrawan, bapaknya, mengulas senyum lembut.

“Bayu melamarmu untuk menjadi istrinya.”

Lancang benar Bayu! Maki Ati, kesal sekali. Apa yang ada di otak pria itu? Dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Ati memperkenalkan Agung sebagai kekasihnya.

Tak kuasa menahan emosinya, Ati berlari masuk ke dalam rumah. Tanpa memedulikan Bintang dan Bunda, ia naik ke lantai dua, masuk kembali ke kamarnya dan menutup pintu.

Calling....

Bayu.

Telepon dijawab, suara Bayu yang masih terdengar baru bangun tidur menyapa, “Ti?”

“Brengsek kamu!” sembur Ati, seketika itu juga.

“Lho? Kenapa, Ti?”

“Aku sudah mencoba bersabar, Yu! Asal kamu tahu, aku nggak jawab pertanyaan kamu kapan lalu, karena aku respect sama kamu. Aku tak sangka kamu tega kayak gini, Yu!”

“Sabar dulu,” redam Bayu.

Ati tidak bisa diredam, dia melawan makin kuat. Sebaliknya, Bayu justru memilih untuk bungkam. Ati tidak pernah semarah itu.

“Bertahun-tahun aku mencoba meyakinkan semua orang betapa sembuhnya aku. Tak ada seorang pun yang percaya bahwa kamu sudah tak lebih dari sekadar masa lalu! Sekarang, ketika aku mulai bisa mencintai kembali, kamu justru masuk ke dalam kehidupanku. Semua orang kini yakin mereka benar, Yu!”

“Ti...,” potong Bayu, mencoba menjelaskan.

Tapi, Ati yang terbakar emosi malah melempar ponsel ke dinding sampai baterainya terlempar ke sisi berlawanan.

“Ti....”

Ati cepat-cepat menghapus air matanya dengan ujung facial paper sebelum Tante Yun, penata rias pengantin yang juga adik bundanya, menemukannya di depan meja rias.

“Riasan pangantin itu cuma bedak dan gincu biasa, Sayang. Kalau kamu terus-menerus menangis, kamu nggak akan kelihatan cantik. Foundation terbaiknya adalah rasa bahagia; kamu pengantin pertama yang kelihatan paling menyedihkan selama Tante menjadi perias. Kamu kenapa?”

Ati menggeleng lemah. Ia mengenakan baju pengantin adat Solo berwarna hijau menyala untuk acara ijab dan resepsi, sesuai de­ngan asal orang tuanya. Dia kelihatan mencolok dan cantik sekali, berkali-kali Tante Yun berdecak mengagumi hasil karyanya.

“Bayu juga kelihatan luar biasa, Ti. Dia tidak tampak seperti duda,” ujar Tante Yun, setelah memberikan sentuhan terakhir berupa bros bunga berwarna senada.

“Jodoh memang tak akan bisa dikalahkan oleh kekhilafan semacam apa pun, ya? Kamu memang gadis berhati besar, Ti. Kalau Tante, Tante tak akan mungkin bisa memaafkan kesalahan sebesar itu. Sejak Sofie dibawa ke rumah kalian dulu, kamu sudah memperlihatkan kebesaran hatimu. Tante tak menyangka kamu masih bisa memuliakan Bayu dengan sebuah pernikahan.”

Tiba-tiba saja mata Ati terasa panas. Ia tidak bisa melupakan rasa cintanya pada Agung. Rasa cinta itu menggigit setiap kali dia memandang wajahnya di cermin. Dua minggu lalu mereka masih window shopping berdua, menunjuk-nunjuk kebaya Anne Avantie. Siapa yang menyangka ia justru bersanding dengan Bayu?

“Tapi, ini konyol, Ti!” Agung berteriak marah. “Lalu, apa artinya semua ini? Impian kita? Semuanya? Nggak ada artinya buat kamu?”

“Besar artinya buat aku, Gung! Aku cinta sama kamu. Aku tak cinta sama Bayu! Tapi, penting buat aku bersamanya sekarang ini.”

“Apa pentingnya?!”

Tangisan Ati yang menahan ledakan emosi membuat Agung iba.

“Menikahlah denganku, Ti.”

“Gung, ini seperti urusan di masa lalu yang harus kutuntaskan.”

“Aku jadi tak ngerti. Sebenarnya siapa yang tak punya perasaan di sini? Kamu atau Bayu? Sedingin ini kamu memutuskan hubungan untuk bisa menikahi pria lain atas dasar masa lalu? Kamu sadar sedalam apa sakit hatiku sekarang? Kalaupun kamu menarik keputusanmu menikahi Bayu dan kembali padaku, aku tak akan mungkin melupakan malam ini.”

“Gung... aku tak bermaksud...”

“Aku memang selalu kalah di matamu, ya? Aku bukan siapa-siapa,” kata Agung, semangatnya untuk meyakinkan sudah pupus. Ia kelihatan patah arang. “Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu di masa lalu. Wanita selalu mengagung-agungkan masa lalu. Mereka pikir, orang-orang yang mereka kenal sejak mereka bukan apa-apa adalah teman terbaik untuk seumur hidup. Mereka pikir, jika seorang pria pernah melihat mereka mandi di kali bertelanjang dada ketika mereka anak-anak, pasti pria itulah jodoh mereka. Ti, aku bukan pria yang percaya mengenai jodoh. Jika bukan kamu, pasti ada orang lain buat aku.”

Sejak itu Ati tak lagi pernah melihat Agung. Bintang pernah bilang, Agung mungkin mengurus agen propertinya di Jepara. Yang jelas, hubungan baik antara orang tua kedua belah pihak sudah hancur berantakan. Ibunda Agung marah bukan main, beliau bahkan keluar dari kelompok arisan Bunda.

Paling tidak, pikir Ati, kini apa yang mereka yakin benar memang benar adanya. Ati tak pernah bisa beranjak dari bayang-bayang Bayu Laksmana.

“Ti....”

Ati melirik dengan ekor matanya, cukup menyulitkan baginya untuk memutar kepala dengan gundukan rambut palsu di sana.

Bunda, dalam kebaya anggun membalut tubuhnya yang masih ramping, berjalan berirama mendekati putrinya.

“Bunda harus apa lagi, Ti?”

“Sejak awal seharusnya Bunda tak perlu ngelakuin apa-apa.”

Mereka duduk berhadapan.

Ada rasa sakit mengalir di hati Asmiranda melihat putrinya tak kuasa menahan tangis, di hari yang paling membahagiakan buatnya.

“Bunda nggak ngerti sama kamu.”

“Bunda juga tak perlu ngerti. Bunda cuma perlu dukung aku sejak awal.

Kini wanita tua itu sama menangisnya dengan putrinya. “Bunda harus apa? Bunda selalu salah, Ti. Selama ini Bunda selalu melawan satu hal yang menurut bapakmu selalu benar, bahwa Bayu adalah takdirmu. Kamu juga sepertinya selalu menentang sikap bertahan Bunda terhadap semua hal yang berhubungan dengan Bayu dan keluarganya. Padahal, Bunda sayang banget sama adikmu. Waktu Agung datang dan kamu menerima cintanya, Bunda makin takut. Apakah semua ini benar? Apakah kamu menerima Agung karena mencintainya? Bunda cuma takut kamu tak bahagia, Ti. Bunda takut kamu menerima Agung karena kamu tak ingin terus-menerus kami anggap tak bisa beranjak dari Bayu.”

Hati Ati makin perih mengingat Agung, cinta pertamanya setelah lama ia kehilangan kemampuannya untuk mencintai seorang pria.

“Batalkan saja, Ti. Batalkan saja, ya?” isak Bunda, meski ketidakberdayaan menggantung dalam serak suara tangisnya.

Ketika Ati dan bundanya tenggelam dalam kesedihan yang tak terbendung, pintu kamar pengantin itu tiba-tiba saja menjeblak terbuka. Lebih mengejutkannya, Agung berdiri di sana.

“Agung.”

“Bayu memberiku izin untuk bicara berdua denganmu.”

Asmiranda bangkit dari duduknya, sebelum meninggalkan putrinya berdua saja dengan Agung, dibisikkannya, “Bunda cuma mau kamu bahagia, Ti. Bahagiakanlah dirimu, ya?”

Ati membalas pelukan bundanya.

“Gung.”

Agung tidak peduli pada kesopanan lagi. Begitu tertinggal hanya berdua, ia membenamkan kekasihnya dalam pelukan, meciuminya seolah pengantin itu miliknya. Ia tak peduli apa-apa lagi, bahkan pada riasan pengantin wanita yang kini berpindah dari wajah Ati ke wajahnya.

“Ikutlah denganku,” pintanya tegas, seperti memerintah. “Bayu sudah bilang aku boleh membawamu, kalau kau mau.”

“Bayu bilang begitu?” Ati ragu-ragu.

“Ya.”

“Putrinya?”

“Putrinya?” Agung mengulang tak mengerti.

“Ya, Aik,” jelas Ati. “Bayu melamarku sebagai ibu putrinya. Bagaimana dengannya?”

“Ada apa dengannya?” Agung makin kebingungan melihat kepanikan yang tiba-tiba di wajah Ati.

“Aku mau sekali bersamamu, Gung....”

“Ya, sudah. Ayo, pergi denganku.”

“Tapi, Bapak? Bunda?”

“Sudahlah. Ibumu sudah bilang, ‘kan? Dia merelakan kebahagiaanmu.” Agung mengecupi buku-buku jemari Ati dalam genggamannya. “Sekali saja dalam hidupmu, lakukanlah yang menurutmu benar.”

Tangan Ati perlahan membalas genggaman Agung.

Agung tersenyum sebelum merengkuh pergelangan tangan Ati dan membawa lari kekasih dalam balutan baju pengantin itu sampai hampir terbang. Mereka berlarian menuruni tangga dan berhenti menghadapi hamparan sanak-keluarga dalam busana resmi dan riasan wajah.

“Ti...,” Bapaknya maju selangkah, air mata membuat pipinya yang berkerut, basah.

Ati memeluknya dan terisak lagi, “Maafkan Ati, kalau kebahagiaan buat putri Bapak demikian mahalnya.”

“Kebahagiaanmu tak pernah mahal, Nduk.... Tak akan sebanding dengan apa pun,” jawab bapaknya, sebelum melepaskan bahu Ati dan memberikan jemari putrinya pada Agung.

Namun, Ati belum akan pergi sebelum menemui Bayu, yang saat itu berdiri kokoh dengan Matahari Sekar Ayu Putri dalam gendongannya.

“Aku....”

“Buatku... kamu adalah matahati yang paling berharga.”

Bayu Laksmana memeluk bahunya sendiri, tangis yang tak tumpah tujuh tahun lalu karena tertimbun perasaan malu dan bersalah, kini seperti membuka sumbatannya. Entah apa yang membuatnya menyanggupi permintaan ayah dan bunda Ati untuk mengambil Ati sebagai istrinya, padahal dia tahu benar hati Ati bukan lagi punyanya. “Yu...,” Asmiranda muncul dari pintu di balik punggung Bayu.

“Aik sudah tidur?” katanya sambil buru-buru berdiri, “Biar saya angkat sekarang ke mobil.”

“Biarkan dia tidur di sini dulu,” jawab Asmiranda.

Ada desah napas lega terembus dari mulut Bayu.

“Maaf,” katanya terbata-bata.

“Bukan kamu yang seharusnya minta maaf, Yu. Kami yang seharusnya meminta maaf kepadamu dan Ati. Setelah bertahun-tahun kami menolak kehadiranmu, kini kami menyeretmu kembali dan menyakiti hati kalian semua.”

Bayu memeluk tubuh rapuh wanita di hadapannya, erat namun tak menyakiti. Menunjukkan betapa ia tak pernah menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Ketika Bayu mengurai pelukannya terhadap Asmiranda, wanita itu seolah kaku dalam berdirinya. Bahkan, ketika kedua tangan Bayu yang mampu meraup seluruh tempurung bahunya mengguncang dengan cukup tenaga, ekspresi tegang di wajahnya tetap enggan lenyap.
Barulah Bayu sadar ada yang tengah terjadi di balik punggungnya.

Ati berdiri tepat di pintu masuk ruang tengah, mengejutkan Bayu sama dahsyatnya dengan Asmiranda. Ati masih mengenakan kebaya Solo, meski sudah tampak berantakan.

Bayu mendekatinya.

Dalam langkah ketiga, mereka seperti sudah menyusunnya seperti sebuah skenario, saling menghampiri dan memeluk.

“Kenapa kembali?”

“Tak ada yang pernah menyebutku matahati sepertimu baru saja. Tidak juga kau yang dulu.”

“Hanya karena itu kamu kembali?”

“Aku tidak tahu sisanya.”

No comments: