12.22.2010

Matahari Tumbang di Belakang Pasungan

Peristiwa di dalam bus itu bak adegan film yang mendebarkan. Pemeran utamanya seorang gadis kecil yang tatapannya dingin seperti robot.

Hampir lima jam aku meluncur bersama Sancaka. Melewati padang rumput, hamparan sawah, tepian pedesaan, sungai, dan tiang-tiang pemancang kabel hitam di sisi rel seolah berlarian buru-buru menuju arah yang baru saja kutinggalkan.Peluit kereta menjerit-jerit, kudengar baik-baik, sekadar menepiskan jemu setelah sepanjang perjalanan telinga disambangi riuh rendah mesin dan geretak roda baja melindasi rel.

Air mineral kuteguk hingga tandas. Seusai meletakkan gelas plastik di bawah kursi, tanpa sengaja mataku bertemu dengan mata penumpang di kursi depanku. Rupanya, keberadaanku telah memancing perhatian seorang pria setengah umur itu. Entah sejak kapan ia memperhatikan gerak-gerikku. Ia mengecohku dengan kertas koran yang dipegangnya hingga tepi atas kertas tepat di bawah matanya. Dari sudut mata kuawasi ke mana arah matanya. Sembari melipat-lipat halaman koran pandangannya kini beralih ke tas pinggang yang kutempel bordiran nama harian pagi tempat aku bekerja di kantor perwakilannya, di Solo. Kini kertas koran benar-benar menelan kepalanya, pria itu sadar aku balas mengawasi. Itu lebih baik!

Perhatianku beralih ke balik jendela. Tiang dan pohon-pohon tak lagi memiliki bayangannya. Matahari telah mencapai puncaknya. Hampir sampai, batinku.

Kucoba merangkum apa saja yang terjadi semenjak pagi hingga detik ini. Perasaan tak enak saat bangun tidur tadi pagi membayang kembali. Surabaya. Kota yang membuat badan gerah meski malam telah larut, dan nyamuk yang tak henti menyerbu, kendati aku tengah berdiri di tepi jalan bising lalu-lalang kendaraan. Itu dulu, kira-kira sepuluh tahun lalu saat aku mengikuti pentas seni mahasiswa tingkat nasional. Entah sekarang. Diam-diam kubangkitkan harapan di lubuk hati, semoga orientasi di kantor pusat nanti berjalan lancar dan Surabaya menyambut ramah kehadiranku.

Sejujurnya, bila disuruh memilih, aku pasti memilih duduk di kantor menghadapi situs-situs dan berita di layar monitor atau meliput beberapa peristiwa lokal ketimbang diundang ke Surabaya. Lebih-lebih aku sedang haid. Bagaimana mungkin aku akan tenang bersama orang-orang kantor pusat bila tiba-tiba sakit perut dan suasana hati maupun fisik tak nyaman? Sayangnya, tidak satu pun orang di sekitarku mengajukan dua pilihan itu.

Tidak juga Pak Duta, pimpinan redaksi di kantorku yang paling perhatian padaku jika menyangkut pekerjaan dan juga pada secuil hal yang sifatnya agak pribadi. Setidaknya, itu menurutku. Bibirku menerbitkan senyum, ingat joke-joke segarnya. Entah mengapa, aku sulit melupakan Pak Duta akhir-akhir ini.

Peluit kereta menyentak lagi membuyarkan angan. Kuciran rambut kurapikan. Tas traveling kuteliti. Dan saatnya menunggu untuk turun. Pria di depanku masih saja mencuri-curi pandang. Aku mesti berhati-hati. Cepat-cepat kujinjing tas dan mengantri di belakang mereka yang mau turun.

“Selamat datang, Surabaya…,” bisikku untuk diri sendiri. Kuajak kakiku keluar dari Stasiun Gubeng.

Bus kota yang kuperlukan untuk sampai ke kantor pusat sedang berhenti di depan halte. Kuingat-ingat kembali rute bus yang digambarkan Pak Duta kemarin hari. Aku masuk, menebarkan pandangan. Masih tersisa satu kursi, bagian belakang. Mungkin orang tak mau menempati karena kursi itu dekat jendela tanpa gorden sehingga langsung kena panas matahari. Meski begitu, aku tetap merasa beruntung bisa duduk.

Suasana di luar sana tampak kering, panas, dan teramat sibuk. Sebenarnya tidak jauh beda pula di dalam bus: pengap asap rokok bertemu aroma keringat dan celoteh para penumpang. Aku mesti bersabar. Kata Pak Duta, setelah dari stasiun aku cuma butuh beberapa menit lagi untuk sampai ke kantor pusat. Ya, asal bukan seratus dua puluh menit saja!

Beberapa menit kemudian penumpang mulai kesal, bus belum mulai jalan. Pak sopir dan kondekturnya malah nongkrong minum es teh, tidak jauh dari halte.

Iseng-iseng kusebarkan pandangan ke halte. Kulihat beberapa perempuan tua bersama pasangannya dan barang-barang bawaan, dua orang pengamen, dan….

“Hei, bukankah itu pria yang di kereta tadi?” tanyaku dalam hati.

Pria itu sadar aku ganti memperhatikannya. Ia mengalihkan pandangan ke mana pun, asal bukan ke arahku. Kuamati sebentar: wajahnya bersih dihiasai kacamata minus berbingkai hitam, rambutnya tersisir rapi, perawakannya tegap, dan cara berpakaiannya sopan. Mungkinkah ia orang jahat yang hendak mencelakaiku? Atau ia pria biasa yang tiba-tiba merasa kesengsem dengan penampilanku yang, kata teman-teman, tergolong cantik dan seksi ini?

Bunyi klakson bus lain membuyarkan lamunan. Pria itu, bersama yang lainnya, berhambur pergi menuju bus yang baru tiba. Penumpang di depanku mulai memuntahkan kekesalannya, dengan mengetuk-ngetuk tumit sepatu ke lantai bus, beberapa yang lain melongok-longokkan kepala mencari di mana pak sopir berada. Dan aku cukup menyandarkan punggung ke kursi yang panas oleh matahari sembari menarik napas lega: siapa pun pria itu, yang pasti ia telah jauh pergi!

Aku makin lega saat pak sopir dan kondektur tergopoh-gopoh menuju bus. Bus merambat pelan, dan kemudian mulai melaju cepat. Beberapa menit kemudian bus berhenti setelah perempatan, menaikkan tiga penumpang remaja, seorang pria muda bertopi, dan gadis kecil dengan tas ransel menganga menggeleyot di punggungnya. Bisa jadi ia lupa mengancingkan atau mungkin tas itu tanpa ritsleting. Entah mengapa, aku jadi ingin memperhatikan gadis kecil itu. Gadis itu tak mengenakan seragam sekolah, tetapi bukan itu yang membuatku tertarik memandangnya. Wajahnya. Ya, ekspresi wajahnya! Kurasa baru kali ini aku menemukan ekspresi dingin wajah seorang bocah, tatap mata kosong, bibir terkatup amat rapat, dan rona wajah yang sulit terkatakan.

Keempat penumpang baru itu merangsek ke tengah. Bus menaikkan kembali beberapa penumpang. Udara makin kering. Dan aku makin kepanasan di kursi. Tidak lama kemudian terjadi sedikit kekacauan. Pak sopir menginjak pedal rem, mendadak.

Aku terkejut. Penumpang lain kaget. Malah ada yang menjerit. Penumpang yang berdiri hampir roboh. Cekatan mataku menangkap gerakan aneh di sekitar penumpang yang berdiri di tengah. Gerakan itu amat cepat, rapi, tetapi membuatku merinding. Beberapa detik setelah penumpang yang berdiri di tengah memperbaiki posisi setelah hampir roboh, tangan pria muda bertopi itu cepat menarik dompet panjang milik remaja yang tampaknya sengaja dibiarkan mencuat di saku belakang celananya. Pencopetan. Hampir bisa dipastikan penumpang lain tak tahu aksinya, karena saat itu mereka mendongakkan kepala ingin tahu apa yang terjadi di depan bus. Gadis kecil itu tampaknya juga tak melihat. Begitu pula si korban, tak menyadari miliknya telah berpindah ke saku belakang celana pencopet berpakaian kedodoran itu.

“Naik sepeda sembarangan!”

“Untung saja!”

Penumpang di bagian depan berkomentar gemas, kemudian tenang kembali. Kecuali aku, tambah merinding. Tetapi, itu tak membuatku berpaling dari si pencopet dan gadis kecil di belakangnya. Tak lama berselang tangan kiri pencopet gesit bergerak memindahkan dompet ke tas milik gadis kecil sambil berjalan ke belakang, mungkin mau turun sebelum si korban sadar telah kecopetan. Cepat-cepat kualihkan tujuan mataku. Setelah yakin si pencopet melewati kursiku, kuamati kembali gadis kecil itu. Ekspresi wajah gadis itu sama. Persis yang kulihat saat pertama ia masuk. Tubuhnya bergeming. Apakah dia teman si pencopet? Kenapa tak ikut turun? Terdengar suara kaca jendela diketuk kepingan uang logam. Pencopet itu turun. Apa yang mesti kuperbuat? Kalau kukabarkan pada si korban dompetnya ada dalam tas yang kini masih tetap menganga itu, pastilah si gadis kecil yang dituduh mencopet!

“Duh, Gusti, mengapa Kau tunjukkan semua ini padaku?” batinku merapuh.

Kondektur mulai menarik ongkos. Saat itulah si korban menyadari dompetnya tak ada di tempat semula. Ia menjerit.

Kegaduhan dan suasana panik cepat menjalar ke seluruh ruangan bus. Aku tertunduk lemah. Mataku terpejam. Tangisan remaja itu makin kencang, lantas benar-benar lenyap berganti ribut-ribut penumpang lain. Kubuka mataku. Dan kulihat si korban pingsan.

Bus menepi. Dua orang penumpang menggotong remaja itu keluar. Kutatap gadis kecil itu. Ekspresi wajahnya sama sekali tak berubah. Ia cuma bergeser tempat saja, kini lebih dekat lagi dengan kursiku. Ia menunduk sebentar, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri. Mungkinkah ia sadar sedang kuperhatikan?

Para penumpang telah selesai meneliti dompetnya masing-masing. Bisik-bisik mulai jelas kudengar, berupa kemungkinan-kemungkinan, yang keluar dari mulut tentang kapan dompet itu lenyap dan juga siapa kira-kira pencopetnya. Sementara aku dan penumpang di sampingku mencoba melihat nasib si korban di pinggiran jalan dari kolong jendela. Kini makin banyak yang merubungnya. Lamat-lamat kudengar mereka mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada remaja itu. Kuteliti mereka satu per satu, siapa tahu pencopet itu beraksi lagi di antara mereka! Ada satu yang bertopi. Tetapi, ini beda. Tubuhnya agak gempal, mengenakan rompi warna cokelat. Tampak dialah yang paling bersemangat bertanya pada teman-teman si korban.

Bus berjalan lagi. Dan ekspresi wajah gadis kecil di depanku tetap sama.

Sampailah kondektur di depan gadis kecil. Jantungku berdegup kencang lagi. Aku ingin sekali melihat ia meneliti tasnya, dan melihat ekspresi wajahnya berubah! Gadis seumuran anak SD kelas lima itu merogoh saku baju putihnya yang kusam, menyerahkan lembaran uang. Dan tas itu pun ikut bergeming.

Tiba giliranku membayar, kutanyakan tempat tujuanku.

“Setelah pertigaan itu, Mbak!” jawab kondektur.

Tidak kusangka, si gadis kecil melirikku sesaat, di antara pertanyaanku terlontar dan jawaban kondektur kudengar. Mungkinkah kami akan turun bersama-sama? Benar! Ia mulai bergerak menuju pintu belakang. Kondektur menyebut nama sebuah harian pagi. Aku bangkit, bersusah-payah mengurus tas besarku hingga sampai di belakang si gadis. Dan tas di depanku itu tak lagi menganga!

Gadis kecil itu bagaikan robot. Aku melihatnya hingga mematung-matung: memperhatikan caranya berjalan, menolehkan kepala, dan arah matanya. Persis robot dalam film-film laga yang kulihat semasa kanak-kanak dulu. Setelah menyeberang ia masuk gang kecil dan sebentar kemudian lenyap ditelan tikungan. Kuhela napas lega. Hampir jam dua. Penat. Aku ingin segera masuk kantor, berbasa-basi sebentar, kemudian diantar ke hotel.

Resepsionis mengantar masuk ke ruang redaksi. Seperti ruang redaksi umumnya, meja berjajar penuh dengan tumpukan kertas dan map, keranjang sampah di tiap sudut, beberapa komputer, dan tentu saja, para redaktur.

Kedatanganku menghentikan suara pria berompi cokelat yang membelakangiku. Sebelumnya, pria itu tampak bersemangat menceritakan sesuatu, dan empat pria lain menyimak dengan asyiknya.

Seorang dari mereka, yang paling tua, berkacamata dan penuh uban, menyapaku dengan setengah takjub. Aku pernah bertemu dengannya karena ia beberapa kali berkunjung ke kantor perwakilan Solo. Dialah pemimpin redaksi di kantor pusat.

“Nah, ini pasti dari Solo! Apa kabar?”

“Baik, Pak Arbi,” jawabku santun.

“Mari kuperkenalkan.…”

Pak Arbi mengenalkan aku sebagai peserta orientasi dari kantor perwakilan Solo. Ternyata, aku satu-satunya peserta. Kami saling melempar senyum saat berjabat tangan dan saling mengucap nama. Terakhir tanganku menjabat pria berompi. Bukankah ia yang kulihat saat…

“Nona ini juga seorang penulis novel. Minggu lalu aku baca novel pertama Anda untuk yang kedua kalinya,” tambah Pak Arbi.

Aku jadi tersipu.

“Saya Marwan.”

“Dia wartawan terproduktif di sini…,” kata Pak Efka, wakil pemimpin redaksi, menjelaskan.

Marwan tersenyum bangga.

“Oh, ya…. Saya melihat Anda tadi. Saat ada korban pencopetan yang pingsan digotong ke pinggir jalan.”

Mereka saling pandang.

“Itulah…!” kata Marwan lebih bersemangat. “Itu beritaku tepat yang kedua puluh ribu, dan aku yakin tak ada yang menuliskan selain aku,” lanjutnya.

“Anda sangat beruntung bisa secepat itu sampai di TKP…,” kataku datar.

“Kejelian! Ya, kejelian mutlak diperlukan seorang wartawan, bahkan untuk hal-hal yang sepele tampaknya! Emmm, apa Anda juga ada di sana tadi? Atau Anda dalam perjalanan ke sini saat itu?”

Di mataku, Marwan tidak lagi menunjukkan semangatnya, tapi mengobral kecongkakan. Rasa kantukku lenyap seketika. Namun, penatku malah kian terasa.

“Dalam bus….”

“Oh ! Apa Anda di bus yang sama dengan si korban itu?”

Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Aku ingat gadis kecil itu. Apakah aku pantas menjadi saksi bagi tulisan Marwan? Aku merasa mual.

“Banyak bus menuju kantor ini. Anda memang sangat beruntung!” tegasku, sembari memaksakan bibir tersenyum sedikit.

Mereka mengangguk, kecuali Marwan. Marwan menelan senyum getirnya agar tak terlihat, tapi, toh, sisa-sisa senyum itu masih bisa kutangkap.

“Mari saya antar ke bagian lain. Setelah itu, Rin nanti yang mengantar Anda ke hotel. Dekat, kok, dari sini, cuma seratus meter.”

“Sederhana, tapi kami yakin Anda pasti nyaman di sana….”

“Terima kasih.”

Makan malam bersama di lobi kantor dapat kunikmati. Diselingi obrolan seputar pekerjaan di kantor pusat. Beberapa pertanyaan perihal di kantor perwakilan dan juga perkembangan pers secara keseluruhan dapat kujawab dengan baik.

“Mana, nih, Marwan? Katanya mau datang…,” kata Rin, sekretaris yang cantik dan ramah itu.

Marwan? Aku tak mengharapkan ia ada di sini, pekikku dalam hati.

“Biasalah… jam segini baru mulai keluyuran,” sahut yang lain.

Pak Wid, pemimpin perusahaan, bangkit dari kursi. “Saatnya bicara soal orientasi….”

Penjelasan tentang mengapa dan apa saja yang akan kujalani di kantor pusat, kuikuti dengan seksama hingga rampung. Tepat pukul sembilan aku keluar kantor. Pulang. Tetapi, demi melihat gang kecil di depan sana, aku merasa perlu berdiam sebentar di depan pintu pagar. Dari sini gang kecil itu tampak sebagai labirin gelap, amat kontras dengan lampu halogen mobil yang lalu-lalang di depannya.

“Saya antar, Mbak,” Rin mencoba menawarkan untuk yang kedua kalinya.

“Pingin cari angin dulu….”

“Atau ingin putar-putar kota Surabaya?” tanya Pak Efka tiba-tiba di sampingku.

“Tidak, Pak. Makasih, mau langsung istirahat, kok….”

Kami berpisah. Aku jalan kaki sendiri menuju hotel. Sesekali kutoleh gang itu, berharap melihat lagi si gadis kecil. Tetapi, gang itu tetap sepi dan kusam. Kupercepat langkah saat satu-dua nyamuk coba mengikutiku.

Sesampainya di hotel kurebahkan badan. Mataku memang menempel di langit-langit hotel, tapi pikiranku ngelayap ke sana-kemari. Wajah Pak Duta terbayang. Juga wajah pria di dalam kereta itu. Serta si pencopet dan gadis kecil yang masuk gang depan kantor pusat.

Aku baru sadar bila hotel ini sebenarnya tak hanya nyaman, tapi dengan AC dan TV, telah cukup mewah bagiku. Pukul sepuluh. Belum mengantuk. Kertas tentang jadwal orientasi kubaca. Lima hari berinteraksi dengan suasana kota Surabaya dan bekerja sama dengan orang-orang kantor pusat. Alasan orientasi ini memang tepat: kota Solo tidak sama dengan Surabaya, juga karakter orang-orangnya dan sosial budayanya, selain juga, aku bisa merasakan bagaimana suasana kerja bersama orang-orang kantor pusat.

Telepon genggam bergetar di meja. Dari Pak Duta. Bertanya tentang keadaanku. Cuma itu. Tetapi, cukup berarti bagiku. Gantian telepon hotel berdering minta diangkat.

Kata resepsionis hotel, “Anda ditunggu Pak Marwan di lobi….”

Edan! Gagang telepon kuletakkan dengan gemas. Tak sopan bila aku katakan pada resepsionis bahwa aku tak bisa menemuinya.

“Sinting! Malam-malam begini bertamu!”

Kukenakan sweater. Perasaan mangkel kutahan-tahan dulu. Bila memang perlu, nanti kutunjukkan kepada Marwan. Setelah beberapa lorong, aku melihat Marwan duduk santai di sofa lobi. Ia tersenyum. Aku tak perlu membalasnya.

Ia bangkit, dan katanya, “Maaf, bila kedatanganku mengganggu...”

“Ada apa?” tanyaku datar tanpa harus duduk. Bagiku, jika aku duduk, itu suatu pertanda aku bersedia bercakap dengannya.

“Tak ada apa-apa. Cuma mau pastikan apakah makan malammu tadi lancar-lancar saja.…”

“Oh, ya… aku menikmatinya.”

“Sayang sekali aku tak bisa turut. Kalau tadi aku ikut, mungkin aku bisa mengajakmu jalan-jalan sepulang makan malam.…”

“Selain Anda, banyak juga yang mengajak saya tadi. Tapi, berhubung sudah lelah.…”

“Ah, benar… mungkin lain kali,” sahutnya cepat, lantas tertawa kecil dan melanjutkan, “Jangan gunakan sebutan ‘Anda’ atau ‘saya’, kurang akrab kan jadinya?”

“Baiklah, Marwan…. Sekarang aku perlu tidur. Besok pagi mulai meliput….”

“Oh… silakan. Selamat beristirahat.”

“Terima kasih.”

Belum lagi badanku berbalik, ia sudah mencegat.

“Tunggu!”

“Ada apa lagi?”

“Kamu tak perlu kecewa bila besok tak baca berita tentang pencopetan tadi siang. Tak jadi dimuat karena harus mengalah dengan kapling iklan.…”

Aku tak akan pernah kecewa soal itu, tetapi tetap kukatakan, “Terima kasih atas pemberitahuannya, Marwan. Selamat malam….”

Lewat tengah malam. Mataku letih, tetapi pikiran tak mau diajak tidur. Aku ingat pencopet, juga gadis kecil itu. Aku sendiri heran mengapa wajah keduanya, terutama si gadis kecil, selalu muncul dalam kepala. Naluri pengarangku muncul. Mungkinkan ini ide yang bisa kugarap menjadi cerita? Lampu meja kunyalakan, kuambil secarik kertas dan mulai mencorat-coret. Otakku berputar-putar. Skenario tentang siapa gadis kecil itu naik turun bagai mainan kapal kertas bertemu riak sungai dangkal di belakang ladang jagung, dua puluh tahun lalu, saat aku masih suka bermain bersama teman-teman sekelas sepulang sekolah.

Ah, kenapa rasa bimbang mengombang-ambingkanku bila hanya untuk menebak-nebak siapa gadis kecil itu? Sekarang pun bisa kuputuskan, siapa dia dan hubungannya dengan si pencopet! Toh, kalaupun tebakanku salah, tak ada yang bakalan tahu, apalagi memprotesku.

Maka, kutulis begini: S, nama gadis kecil itu, terlambat perkembangan mental dan otaknya. Ia tak jauh dari si pencopet berdiri dan ia tak menyadari kalau pencopet itu telah memasukkan dompet copetan ke dalam tas milik S, untuk menghilangkan jejak aksinya. Si pencopet itu tahu ke mana tujuan S, hingga ia terus menguntit. Dan sampailah di sebuah gang kecil menuju rumah kecil S, si pencopet mencegat….

Batinku mengatakan skenario ini tak baik. Kuketuk-ketuk ujung bolpen. Tintanya membentuk titik-titik seperti gugusan bintang dalam satu galaksi. Kuterawang titik-titik itu hingga garis-garis khayali menghubungkannya satu dengan lainnya.

“Aku mesti menunggu kejadian-kejadian selanjutnya….”

Surabaya tidak seperti bayanganku sebelumnya. Kini Surabaya menyediakan teka-teki yang harus kupecahkan. Aku berangkat ke ranjang, mengucap syukur, dan pelan-pelan kupejamkan mata.

Agaknya Marwan dan dua orang staf redaksi telah menungguku di lobi kantor. Marwan memanggilku. Ah, apakah kami berempat yang akan meliput? Mengapa harus ada Marwan? Rasanya kemarin ia tak masuk timku!

“Bisa berangkat sekarang?” tanya Marwan.

Jam dinding menunjuk angka tujuh lebih dua puluh menit.

“Kita mesti dapat tempat baik….”

“Dan bertukar pikiran dengan reporter lain….”

“Baik. Mari….”

Kami berangkat ke Polda, ada konferensi pers di sana. Selama di perjalanan, Marwanlah yang paling banyak membuka mulut. Obral bicara tentang ini-itu, lalu aku disuruhnya menanggapi. Kujawab saja dengan malas-malasan. Tahulah ia bahwa jawabanku cuma sekenanya saja. Tambahan, satu yang membuatku makin kesal, Marwan mencoba mencuri-curi pandang. Dan jika aku balas menatapnya, ia segera bertanya sesuatu hingga seolah-olah sebelumnya ia memang ingin mengutarakan sesuatu. Pernah juga terlintas aku mencoba bersikap baik saat-saat bertugas, tapi rasanya Marwan sendiri hendak menggunakan kesempatan di lapangan demi tujuan pribadi.

Sesampai di Polda, Marwan cepat-cepat mengusulkan bahwa dialah yang akan masuk bersamaku. Semua setuju. Sudah kuduga. Tapi, aku bisa bilang apa?

Sebelum tengah hari kami sudah sampai di kantor, dan langsung berdiskusi tentang hasil liputan. Pukul satu kami makan siang, tak lupa kutelan pil penahan nyeri haid. Setelah itu, aku mengikuti irama kerja para editor teks untuk berita esok hari. Menjelang petang aku ikut rapat dewan redaksi, disambung coffebreak, ngobrol sebentar, lalu makan malam. Dan terakhir, kami berdiskusi soal layout hingga pukul sepuluh.

Marwan mengajukan tawaran untuk mengantarku ke hotel, tapi kutolak lantaran aku ingin jalan kaki saja. Meski jalan kakiku kali ini sebatas sebagai penolakan atas ajakannya. Tidak terasa, hari cepat berlalu. Dan pastilah tak akan kulihat si gadis kecil itu masuk gang bila aku keluar kantor saat malam hampir larut. Kira-kira pukul berapa dia keluar dari gang itu? Besok aku mesti berangkat lebih awal. Tak ada salahnya juga, sambil minum teh di warung dekat kantor aku mengamati siapa yang keluar-masuk gang itu. Aku jadi ingin segera merampungkan malam ini!

Kejadian dan harapan hari ini kucatat baik-baik dalam notes.

Sebelum tidur kuingat-ingat kembali besok pagi harus meliput apa. Besok pukul sembilan ke rumah sakit, seorang tokoh masyarakat dirawat di sana. Sorenya kami harus meliput pertandingan bola basket.

Mataku amat berat. Kilasan peristiwa detik-detik lalu membayang. Gadis kecil itu melintas, lalu lenyap ditelan gelapnya gang. Kupejamkan mata. Ingin rasanya kubawa sosoknya dalam tidurku dan kami akan bercengkerama hingga pagi terbit kembali.

Pria itu tidak hanya mengamatiku tapi mengawasiku. Mau apa dia? Adakah hubungannya dengan gadis bermata dingin itu?

Pukul tujuh pagi warung tenda dekat kantor sudah mulai menjajakan menu sederhananya: soto ayam, piring-piring penuh tempe-tahu, dan juga pisang goreng. Aku cukup pesan segelas teh manis sembari mencari tempat duduk yang paling enak buat mengawasi mulut gang itu. Lalu-lalang bus dan kendaraan cukup menyulitkan pandanganku.

Itu dia! Si pencopet keluar gang mengejar bus kota. Ah, pastilah ada kaitan antara pencopet dengan si gadis kecil! Mungkin dia adik si pencopet, atau malah anaknya si pencopet? Tapi, si pencopet sendiri umurnya kira-kira baru tiga puluhan. Kalau pencopet itu kawin muda, bisa jadi ia punya anak seumuran si gadis kecil.

Gelas kuangkat. Teh kuminum sedikit.

Ibu penjual menawarkan sotonya. Kutolak dengan halus, kukatakan aku tak biasa sarapan, biasanya malah jadi sakit perut kalau sarapan.

“Kerja di koran situ, ya?” tanyanya sambil menuding gedung yang nanti kumasuki.

“Em, iya, Bu… tapi saya di kantor perwakilannya, di Solo, di sini cuma seminggu, Bu, berkenalan dengan orang kantor sini.…”

Ibu penjual mengangguk.

Kutoleh ke luar. Tak ada siapa-siapa di mulut gang itu. Satu gagasan muncul di kepalaku.

“Ibu asli sini?”

“Aslinya Nganjuk, tapi sudah cukup lama jualan di sini, sekitar lima tahun.…”

“Tinggal di dekat sini juga, Bu?”

“Ya… seratusan meter dari sini. Itu, lho, setelah perempatan kan ada apotek, nah di sampingnya ada lorong kecil, rumah saya masih masuk lagi. Maklum, zaman sekarang rumah tidak seperti rumah zaman kakek-nenek kita dulu yang ada halaman luasnya, yang ada kebun palawijanya….”

“Benar, Bu, buminya tak bertambah luas, tapi manusianya bertambah banyak.…”

“Itulah!”

Ibu penjual tersenyum. Kepalaku masih menimbang-nimbang apakah perlu bertanya pada ibu warung tentang gang kecil itu. Rasanya tak perlu. Biarlah teka-teki menyelimuti dan mengombang-ambingkan skenario ceritaku. Kuamati lagi gang itu. Empat orang muncul dari gang itu, tapi si gadis kecil tak ada di antara mereka. Kuputuskan saja acara pengintaianku selesai. Kubayar teh dan pisang gorengku, lalu berjalan menuju kantor.

Jam setengah delapan. Anak-anak berseragam sekolah sudah tak ada di jalanan, berganti dengan mereka yang berseragam kantoran. Aku sendiri pakai baju kotak-kotak merah lengan panjang yang kulipat hingga di bawah siku dipadu dengan celana panjang katun warna hitam. Memang, salah satu yang kusukai dari kerja sebagai wartawan adalah tidak berseragam!

Belum genap langkahku mengantar ke pintu pagar kantor, mataku tertuju pada sosok yang selama ini kunanti-nantikan. Si gadis kecil tempo hari muncul di mulut gang. Ekspresinya persis seperti kemarin: dingin!

Jantungku berdesir, kurasa ia melayangkan pandangannya padaku, meski amat singkat. Ia kini mematung di depan mulut gang. Pastilah menunggu bus. Langkahku kuperlambat, sesekali pandanganku tertunduk, agar tak mencolok aku sengaja mengawasinya. Tepat saat di depan pintu pagar, Rin menyapaku dari belakang.

“Melamun ya, Mbak!”

Kutoleh Rin. Ia tersenyum. Rupanya badanku menghalangi jalan sepeda motor bebeknya. Aku cuma tersenyum. Sesaat aku melupakan si gadis kecil. Dan ketika mataku kulempar ke mulut gang, gadis itu telah masuk bus. Bus berlalu. Aku bengong. Rin ikut bengong.

“Ada apa?”

“Ah, tidak apa-apa…” sahutku gagap.

“Ayo sekalian ikut sampai parkiran,” ajak Rin.

“Ayo…”

Di ruang redaksi Pak Arbi menyapaku, memberitakan sesuatu yang kusambut dengan senang hati.

“Kamu sama Fri nanti, ke rumah sakit. Marwan tak bisa ikut.…”

Aku mengangguk. Namun ekspresi kegembiraanku mesti bersembunyi dulu. Sebetulnya aku ingin tanyakan tentang keikutsertaan Marwan kemarin, yang sebetulnya bukan haknya ikut bersama tim kami, tetapi agaknya ia kurang bersahabat. Yang penting sekarang aku tidak perlu risau lagi.

Fri masuk.

“Selamat pagi….”

Menit demi menit berlalu menjadi untaian jam yang mengantarkan posisi matahari nampak condong di muka bumi. Liputan pertandingan liga basket berjalan lancar. Tim kami cuma Fri, aku dan seorang sopir. Fri yang bertugas mengambil gambar pertandingan. Cukup menyenangkan kerja bersama Fri. Gadis itu bisa dibilang paling muda di antara reporter di kantor pusat. Umurnya duapuluh lima, ia baru setahun ini menjadi wartawan, khususnya meliput acara olahraga dan kesenian. Tetapi naluri pencari-beritanya sudah mantap.

Jam sembilan aku keluar kantor. Malam masih gerah. Aku mencoba menunggu munculnya si gadis kecil. Aku pesan teh seperti pagi tadi, sambil pandangan terjaga tak jauh dari mulut gang kecil.

Sebuah bus kota berhenti tepat di depan mulut gang. Aku berharap-harap cemas. Bus berlalu dan kulihat sosok lelaki masuk gang. Dari perawakannya kupastikan itu si pencopet. Rasa penasaranku benar-benar memuncak. Kuputuskan untuk mengikutinya. Kubayar teh. Dan segera menyeberang. Aku tak perlu takut, sebab di manapun aku berada asal tetap hati-hati dan waspada dengan segala kemungkinan buruk, maka aku akan selamat.

Gang itu remang-remang saja. Cahayanya cuma berasal dari beberapa bohlam lampu lima watt, terpasang di tiap depan rumah yang kusam dan kurang terawat. Malahan bisa kubilang rumah-rumah di gang itu adalah deretan gubug bertembok tua dengan cat mengelupas di sana-sini. Aku tak bisa memastikan ke mana si pencopet mengambil arah. Ada banyak lorong di sini. Keadaannya sepi. Aku terus masuk tanpa pedulikan lorong-lorong di kanan-kiri jalan suram ini.

“Mau apa kau!?”

Darahku beredar kacau. Kaget campur was dan takut. Kuamati wajah di depanku. Si pencopet! Tubuhku gemetaran. Jantungku cepat-cepat kubenahi. Kalau ia maju selangkah saja, aku akan lari menuju jalan raya. Tapi beberapa detik berganti ia masih di tempatnya semula. Matanya berkilat tertempa sinar redup lampu, itu menandakan kemarahannya.

“Aku tidak bermaksud jahat!” gelagapan kata-kataku.

Ia diam saja. Lamat-lamat kudengar sebuah jeritan. Jeritan jalang. Jeritan itu berasal jauh dari kedalaman gang ini. Lelaki di depanku jadi gusar, dan tiba-tiba menmbalikkan badan, berlari secepatnya menuju jeritan itu. Ia makin masuk ke dalam dan benar-benar lenyap bagaikan hiu menyelam ke dasar samudera.

Jeritan itu kemudian lenyap sama sekali. Bagaimana ia tahu aku menguntitnya? Seolah baru saja sebatang lilin dalam batok kepalaku dinyalakan mengurangi kepekatan teka-teki kemarin. Meski saat ini tambah satu teka-teki; jeritan siapa itu?
Aku bergegas ke hotel. Kudapatkan lagi sebuah titik yang tak boleh kuabaikan dalam susunan galaksi skenario ceritaku. Di lobi hotel Marwan sudah menunggu.

“Wah, kata teman-teman kamu sudah pulang beberapa menit yang lalu tapi nyatanya aku mesti menunggu di sini beberapa saat… Kemana tadi?” kata Marwan berakrab-akrab

“Ah, cuma jalan-jalan di sekitar sini saja.”

“Kenapa tak mengajakku? Aku bisa antarkan kamu keliling kota…”

“Nanti bisa merepotkanmu, Marwan.”

 
Ia tertawa, “Aku kan yang menawarkan, jadi mana bisa direpotkan keinginan sendiri? Eh, tak enak bicara sambil berdiri begini. Ayo duduklah….”

Lebih baik memang aku duduk dan mencoba bicara dengannya meski cuma beberapa menit saja.

“Sayang kalau waktu yang singkat di Surabaya tak kamu gunakan pula untuk menikmati kota di kala malam.”

Aku tetap diam, cuma tersenyum tipis dan mengangguk.

“Kamu suka seafood ?”

“Suka….”

“Nah, kita bisa mencarinya, banyak kok di sini. Ya… anggap saja sebagai refreshing setelah penat meliput ini-itu…. Atau mau ke restoran? Atau barangkali biasa ke kafe? Aku biasa ke resto Oriental bersama teman-teman, juga ke Boncafe jika ada waktu luang. Mau?”

“Rasanya sudah terlampau malam, Marwan.…”

“Itu berarti suatu saat kamu bersedia, kan?”

“Bagaimana dengan keluargamu?”

Ia diam.

Kulanjutkan, “Mereka butuh kehadiranmu juga, kan?”

“Maksudmu keluarga itu anak istri?”

“Tentu saja…” jawabku setengah heran.

“Aku belum berkeluarga,” katanya dengan suara berat.

Aneh juga menghadapi seorang lelaki yang cukup berumur dan memiliki pekerjaan cukup mapan tetapi belum menikah. Ah, kenapa aku melupakan diriku sendiri? Aku juga belum menikah meski umurku tigapuluh tahun, terlebih aku ini seorang perempuan. Di jaman emansipasi seperti ini memang makin banyak perempuan seusiaku yang belum menikah, alasannya macam-macam termasuk alasan karir, tetapi di lingkunganku perempuan seusiaku belum menikah tetap saja disebut perawan kasep! Sebutan itu suatu aib bagi orang lain tapi bagiku tidak. Aku memiliki alasan; yang sudah pasti orang lain tak membayangkannya dan yang tak dapat ditawar-tawar pula.

“Kamu sendiri belum menikah, kan? Teman-teman yang bilang begitu.”

“Memang benar. Aku belum dan tak akan siap jika harus menikah dengan seorang yang tidak kuinginkan.…”

Marwan diam. Mataku melayang ke akuarium di pojok lobi. Untuk beberapa saat pikiranku terbang ke masa silam; ada sosok Bias di sana.

“Apa kamu menginginkan seorang lelaki yang ternyata tidak mencintaimu?”

“Tentunya, lelaki yang kuinginkan adalah lelaki yang menginginkanku pula,” kataku tegas.

“Bukan berarti aku lancang bila bicarakan tentang mengapa kita sama-sama belum menikah, tetapi.…”

“Aku punya alasan yang jelas tentang ini!” sahutku ketus.

“Baiklah. Kita tunda dulu soal ini .…”

“Aku tak mau mengulang pembicaraan soal ini lagi …”

“Jangan keburu marah dan curiga. Wajar kan bila aku menganggap pertemuan ini bukan sekadar pertemuan biasa? Aku membujang hingga tiga puluhlima tahun sedang kamu sudah tigapuluh tahun belum menikah, dan kita ketemu.…”

Marwan memang ahli mengoceh. Aku membatu. Aku muak. Aku ingin segera ke kamar.

“Maafkan aku… Barangkali benar kata teman-teman, aku tak pandai mendekati perempuan. Aku mungkin terlihat congkak, padahal bukan itu sifatku !” Marwan mencoba membela diri.

Aku masih terdiam, hanya batinku yang berteriak lantang: “orang yang tak mau mengakui kecongkakannya adalah orang yang paling congkak!”

“Aku mau tidur,” kataku kemudian.

“Silakan… Terimakasih telah bersedia kuajak berbincang. Sampai ketemu besok di Cak Durasim. Permisi.”

“Lho, apa Fri tak bisa menemaniku?”

“Rupanya kamu merasa cocok kerja bersamanya. Jangan khawatir, kalian masih bisa meliput bersama hingga hari Senin. Aku tak akan mengganggu kalian. Tapi, aku sendiri suka nonton pementasan drama. Jadi, anggap saja kita bertemu di sana secara kebetulan.”

Marwan ngeloyor pergi. Aku termangu di sofa. Hari-hariku di sini benar-benar membuat pikiran penuh kecamuk. Belum usai teka-teki tentang pencopet dan si gadis kecil, muncul Marwan yang ucapannya malam ini telah mengaduk-aduk sesuatu yang kusingkirkan jauh di palung hati, selama hampir lima tahun ini: cinta dan harapan yang timbul tenggelam. Kepalaku kini penuh sosok Bias.

Gontai aku menuju kamar. Aku jadi malas menuliskan skenario cerita yang tadinya meletup-letup dalam kepala. Pikiranku berubah buntu. Dan kepenatan menjalar-jalar di sekujur badan. Rasanya haidku sudah selesai, jadi aku bisa tenang berendam air hangat, dan lelap secepatnya.

Seperti hari kemarin, jam tujuh aku sudah duduk-duduk di warung tenda, mengamati si pencopet atau si gadis kecil. Skenario ceritaku sendiri belum berubah dari yang kemarin, tapi kurasa, bila nanti ada waktu dan perasaan yang tepat pastilah dapat kujabarkan lengkap di atas kertas.

Kali ini warung tenda lumayan banyak pengunjung. Karena di dalam warung tak dapat mengamati mulut gang maka kucari alasan untuk minum teh di samping tenda. Kukatakan saja pada ibu penjual kalau aku sedang kepingin menikmati udara dan suasana pagi Surabaya. Ibu penjual malah menemaniku minum teh di luar.

Lalu-lalang kendaraan seakan tak berhenti, sambung menyambung. Di sela-sela laju bus dan mobil sekilas bisa kulihat keadaan mulut gang di seberang jalan sana. Seperti halnya jalan raya yang padat, pikiran dan batinku sama hirukpikuknya. Pikiran berdesak-desak oleh segala pertanyaan bergelut dengan jawaban-jawaban yang jelas belum tentu benar, sementara batinku penuh oleh rasa penasaran dan keingintahuan.

Sebetulnya keberadaanku di tempat terbuka seperti ini tak baik untuk nasib pengintaianku, apalagi si pencopet telah menyadari aku menguntitnya tadi malam. Tapi apa boleh buat, aku belum menemukan cara dan tempat baru yang tepat untuk pengintaian ini. Yang penting aku tak boleh ceroboh dalam melayangkan arah mata.

Dan kini pandanganku tertuju pada sesosok yang ada di depan kios majalah dan koran beberapa meter dari gang itu. Nampaknya lelaki itu sedang memperhatikan aku. Kuamati betul sosok dan arah matanya di sela-sela laju kendaraan. Dan aku bagai merasai sengatan aliran listrik ikut merayapi jalan darah. Lelaki itu lebih dari sekadar memperhatikanku, ia nampak mengawasiku!

“Bukankah dia lelaki yang di kereta dulu itu ?” batinku bergolak.

Cepat-cepat kualihkan perhatian mataku ke gelas teh yang membisu. Kulirik ibu penjual, mungkin ia tak tahu perubahan rona wajahku. Darahku masih berdesiran. Rasanya ini bukan suatu kebetulan. Siapa dia? Apa maksudnya mengamatiku? Apa dia akan masuk pula mengisi skenario cerita yang sedang memenuhi kepalaku? Kudongakkan kepala dan selintas kulayangkan pandangan ke tempat lelaki tadi berdiri. Ia sudah tak ada di sana.

“Saya ke dalam dulu, ya ?” kata ibu penjual.

Aku kaget. “Oh, ya…Bu,” jawabku terbata.

Aku jadi tak nyaman di warung ini. Lebih baik aku masuk kantor menunggu teman-teman datang. Pagi hingga petang nanti tak ada liputan, aku cukup di kantor ikut mempersiapkan berita untuk edisi Minggu. Sudah terbayang kesibukanku di ruang redaksi, memilah-milih berita, berdiskusi tentang pemberitaan tragedi bom di Bali seminggu lalu, dan kemudian bersuntuk-suntuk menyunting berita, termasuk merancang halaman sastra yang sudah pasti ditunggu-tunggu para pengarang.

Semoga hariku nyaman. Untuk sementara segala kemungkinan dan teka-teki dalam skenario ceritaku mesti mengalah dan menepi dulu demi lancarnya tugasku di kantor pusat. Besok hari Minggu, aku dibebaskan dari pekerjaan kantor, jadi bisa sepuasnya tinggal di hotel menggumuli cikal bakal karanganku ini.

Pria yang tujuh tahun lalu meninggalkan aku begitu saja, tiba-tiba muncul kembali di sebuah pagi.

Fri menyiapkan alat fotografinya, sementara aku membenahi pertanyaan-pertanyaan untuk penyaji pentas drama malam ini. Kali ini kami berangkat tanpa sopir. Fri sendiri yang menyetir mobil pribadinya.

Gedung Cak Durasim masih lengang calon penonton. Hanya nampak beberapa gelintir kru panggung dan panitia pementasan. Fri ingin memastikan kameranya tak bermasalah. Ia menjepretku. Fri memang sejak kecil menggemari bidang fotografi. Kemarin, disela-sela liputan ia menyempatkan bercerita tentang teknik-teknik fotografi, maksudnya untuk mengenalkan sedikit bidang itu padaku. Dan aku suka mendengarkannya. Pantas saja, selain tugas pokoknya sebagai reporter, ia sering ditugaskan dewan redaksi untuk mengabadikan suatu peristiwa.

Waktu berlalu, membinasakan detik-detik sebelumnya. Calon penonton mulai memasuki halaman gedung Cak Durasim, salah satunya Marwan, yang kemudian nampak menyapa wartawan dari harian lain.

“Hai, bagaimana kabar kalian?”

Marwan menyapa kami, tetapi matanya lebih tertuju padaku. Fri tampak kurang menanggapi. Ia lebih tertarik dengan kameranya.

Marwan mengambil duduk di sampingku. Kulirik Fri yang masih asyik dengan kameranya. Padahal aku berharap Fri ikut ngobrol, kalau tidak pastilah Marwan membicarakan masalah pribadi.

Telepon genggam Marwan berbunyi. Itu lebih baik, pikirku. Ia bicara sebentar.

Lalu katanya dengan mimik bergairah, “Ada kecelakaan di Ngagel… Fri, kau tak ambil gambar ke Ngagel saja? Pasti dimuat besar-besaran di halaman depan!”

“Mengapa bukan kamu saja, Mas?” sahut Fri acuh.

“Aku kan mau nonton…”

“Kami malah sedang bertugas!” kataku sedikit ketus, dan Fri mengangguk tanda setuju meski ia tetap tak bergeming dari kameranya.

Marwan tersenyum tipis, lalu berdehem sebentar. Telepon genggamnya berbunyi lagi. Kali ini Marwan agak kesal menjawab lawan bicaranya. Setelah selesai ia bersungut-sungut mematikan telpon genggam.

“Ada penodongan di depan perumahan Darmo….”

“Begitu banyak orang yang mendapat musibah. Kasihan….” kataku pelan.

Ekor mataku melihat Marwan tampak serius menyimak wajahku.

“Jangan sentimentil begitu. Kita ini pencari berita, berita ada lantaran peristiwa, dan.…”

Aku sudah bisa menebak arah bicaranya, maka kusahut saja, “Dan berita hebohlah yang paling laris, begitu maksudmu, kan?”

“Yang realistis sajalah! Kalau ada orang sakit, dokterlah yang diuntungkan. Kalau ban kita bocor, tukang tambal ban pasti girang hatinya menerima kedatangan kita. Kamu bisa simpulkan sendiri, kan? Kemalangan satu pihak menjadi keberuntungan pihak lain. Lantas, bagaimana dengan wartawan seperti kita ini? Kalau tak ada berita yang dramatis, yang hebat, yang menggemparkan… koran tak ada yang beli, terus mau makan apa kita?”

Kutatap Marwan dengan sorot mata yang mungkin belum pernah ia dapatkan dari orang lain, barangkali sorot mata sepanas bara. Aku sendiri serasa melihat pantulan kilatan mataku di dalam bola matanya. Lalu kataku, “Kamu menamengi sifat egoismu dengan alasan profesi. Bagiku, tugas wartawan adalah memaparkan sebenar-benarnya informasi pada masyarakat tanpa tendensi yang bisa mengotori kebenaran informasi itu sendiri… Aku jadi berpikir, jangan-jangan kamu sedang memendam harapan ada bom meletus tak jauh dari sini hingga kamu bisa dapatkan headline untuk besok pagi!” kataku dengan artikulasi jelas dan intonasi mantap.

Aku dan Marwan saling beradu pandangan untuk beberapa saat. Fri menyela, mengajakku masuk gedung. Tampaknya Fri kurang suka juga dengan sikap Marwan.

“Kita masuk, yuk!” seru Fri sambil menyenggol lenganku.

Kukeluarkan surat undangan dari panitia pementasan.

“Ayo, Fri!” ajakku.

Aku dan Fri bangkit, lalu ikut antrian masuk. Sementara Marwan menuju loket tiket. Kutebarkan pandangan ke sekeliling gedung, untuk mengira-ira berapa jumlah penonton pada pementasan kali ini. Tetapi mataku berhenti pada sosok di depan pagar. Lelaki itu lagi ! Lelaki yang sudah ke-tiga kalinya ini kepergok sedang mengawasi diriku ! Kini jelaslah bahwa ia memang sengaja menguntit kemanapun aku pergi. Pastilah ia menyimpan tujuan-tujuan tertentu, yang hingga kini belum kuperhitungkan.

Giliran Fri dan aku masuk. Kulepaskan sosok misterius itu dari pandangan. Mungkinkah ia turut masuk pula?

Kami duduk lesehan di depan panggung. Tak lama kemudian Marwan duduk di sampingku. Barangkali tak ada istilah jera menghadapiku dalam kamus kehidupan Marwan walaupun usaha mengakrabiku berhasil kupatahkan.

Pementasan berjalan lancar hingga detik-detik terakhir selama satu jam. Kelebihan dan kekurangan memang wajar saja muncul di setiap pementasan drama panggung. Penonton berangsur-angsur lenyap, termasuk Marwan yang keluar tanpa berkata sepatahpun. Tinggal beberapa teman atau wartawan yang ingin ketemu dengan penyaji setelah mereka selesai melepas kostum dan rias di belakang panggung.

Aku ingat lelaki yang tadi mengawasiku, mungkin ia masih di dalam gedung. Pandangan kusebar ke segenap penjuru, kalau perlu hingga ke kolong-kolong kursi di belakang sana. Dan yang kutemukan bukan si lelaki misterius, namun gadis kecil berekspresi dingin di kursi pojok belakang! Ia, duduk sendirian tanpa si pencopet, masih tetap dengan dandanan dan tasnya seperti biasa. Benarlah ia sekongkol dengan si pencopet yang kini sedang mencari kesempatan. Rasa kasihan merambat ke jantungku. Apa yang saat ini tengah ada dalam pikiran dan batinnya? Rasa bersalahkah? Atau…

Tidak terasa keterpanaanku pada sosok gadis kecil di pojok telah menyita beberapa waktu hingga Fri menyenggol lenganku, memberi tanda saatnya memulai tugas. Sutradara pementasan dan beberapa pemain menuju arah kami.

Dan belum sempat kami berkenalan, suara lantang Marwan menarik perhatian kami semua:

“Fri! Ambil gambar di luar sana… cepat! Aku sendiri yang memukuli pencopet itu!”

Memukuli pencopet? Mataku cepat beralih dari Marwan ke gadis kecil yang juga mengarahkan matanya padaku. Darahku sontak bergolak. Gadis kecil itu berlari keluar. Hampir saja aku kehilangan diri. Kubiarkan gadis kecil itu berlari, meskipun ingin rasanya ikut berlari menyusul si gadis kecil demi keselamatannya di luar gedung. Tak bisa kubayangkan apa yang tengah dan akan terjadi di luar sana. Aku hanya menaruh iba pada gadis kecil itu. Hidup begitu keras buatnya.

Marwan masih berdiri di tempatnya. Matanya tajam menusuk mata Fri. Tetapi Fri bukan sosok lemah yang mudah terdikte. Fri tak hiraukan Marwan. Ia menginginkan aku segera memulai wawancara dengan sutradara pementasan. Kami harus bisa menempatkan diri sebaik-baiknya; kami sedang menghadapi narasumber, dan kami tak akan menyakiti hati narasumber apapun alasannya. Aku mulai berkonsentrasi pada tugasku.

Setelah rampung ngobrol dengan sutradara pementasan, aku dan Fri segera keluar. Hanya beberapa orang yang duduk-duduk di teras. Marwan sudah pulang. Kutanyakan pada tukang parkir soal pencopetan tadi.

“Tadi ada yang teriak ‘kamu mau nyopet, ya?’, begitu, Mbak. Ya… terus dipukuli. Tapi setelah diamankan satpam terus dilepas kok,” jawab tukang parkir.

“Dilepas?”

“Lha, dia membantah, katanya tak sengaja menyenggol saku belakang.…”

Mereka tak melihat si gadis kecil? Segala kemungkinan yang mengalir dan tumpang tindih dalam kepalaku berebut minta perhatian. Kami pulang. Fri mengantarku hingga ke hotel.

Sampai di hotel jam sepuluh. Rasa kantuk menyerang tanpa ampun. Aku minta secangkir kopi kepada pelayan hotel. Aku mesti mempertimbangkan skenario ceritaku yang makin marak dengan berbagai kejadian dan munculnya karakter-karakter baru.

Belum mulai kubuka notes, telepon genggamku berbunyi. Semoga bukan dari Marwan. Harapanku tak terkabul. Aku dengar suara Marwan. Suaranya tampak lemah. Mungkin ia hendak menutupi kecongkakannya dengan suara nelangsanya.

“Maaf, aku telah membuatmu marah lagi malam ini. Tapi dorongan hati mendesakku menemuimu besok pagi. Kamu bersedia kan kuajak ngobrol baik-baik?”

“Entahlah, Marwan. Aku juga minta maaf bila berlaku kasar padamu….”

“Besok hari Minggu, aku libur, dan kamu juga tak ada jadwal orientasi kan?”

“Aku punya kerjaan sendiri di sini.…”

“Kamu memang workaholik… Padahal, maksudnya kantor kasih tugas hari Minggu itu untuk beri kesempatan berlibur, mengunjungi banyak tempat di kota ini….”

“Dari kegiatan meliput hari-hari kemarin aku jadi banyak tahu tempat-tempat di sini.”

“Aku tak yakin itu. Kamu pasti belum ke Bonbin di jalan Setail, atau ke Pasar Bunga Kayoon, bahkan melewatinya pun belum, kan?”

“Bonbin?”

“Iya… itu yang terbesar se-Asia Tenggara. Dan rugi juga kalau kamu belum ke pasar bunga dan mencicipi semua masakan khas Jatim di Kayoon.…”

Nada bicara Marwan mulai menunjukkan dirinya merasa tengah memetik kemenangan.

“Terimakasih atas perhatianmu, Marwan,” kata-kataku melunak, lalu kulanjutkan, “tapi ada yang mesti kutulis besok, dan aku ingin menuliskannya di sini saja.”

“Menulis? Maksudmu menulis novel?”

“Benar.”

“Seharian?”

“Rasanya waktu seharian saja masih kurang buatku.”

“Baiklah. Tapi aku tetap minta waktu sebentar buat mengunjungimu di hotel.”

“Kuusahakan bisa menerimamu.”

Marwan tertawa, “Jangan galak-galak begitu!”

“Sudah cukup?”

“Em, ya, terimakasih.”

Perasaan jengkel yang bercokol segera kuusir agar pergi jauh dari hati. Aku mesti istirahat, tidur lelap hingga subuh nanti dan memulai berpikir lagi tentang skenario cerita yang makin banyak teka-tekinya!

Jam weker berdering, pagi masih cukup gelap. Aku segera mandi, sembahyang, dan membuka-buka kembali notesku, sambil menunggu pelayan membuatkan secangkir kopi kental pesananku. Segala ketenangan batin menjadi satu dengan heningnya pagi.

Dan mulailah tanganku mulai mencorat-coret pada notes. Pelayan mengetuk pintu yang sengaja kubuka, saat kurampungkan kalimat: Pencopet itu memiliki anak gadis, S, yang mengidap penyakit kejiwaan. Penyakit kejiwaan yang aneh tentunya, tetapi itu tidaklah menjadi keanehan bagi si ayah yang telah bertahun-tahun hidup bersamanya, dengan segala keterbatasan pikiran dan segala keadaan hidup yang diterimanya. Benarlah, bahwa kepasrahan adalah obat terampuh guna memahami segala risiko hidup. Seperti pada malam-malam sebelumnya si ayah, pencopet itu, menyaksikan kembali anak gadisnya yang masih bocah menjerit, badannya mengejang. Suatu jeritan yang mengenaskan, yang harus diterima setiap malam dengan pasrah karena hanya itulah yang bisa dilakukannya…

“Terimakasih ya, Mas. Taruh di meja pojok saja.”

“Sama-sama, Mbak,” jawab pelayan saat hendak keluar kamar.

Mulailah kutulis bagaimana keadaan rumah si pencopet. Rumah yang amat gelap dan pengap. Tiada apapun yang ada di dalam rumah itu kecuali hawa kesengsaraan. Dan kubayangkan sesaat bagaimana si anak gadis pengidap gangguan kejiwaan itu terlentang kaku di kasur kempes dan apek. Sementara si ayah cuma bisa memandanginya dengan pilu. Tiada harapan yang tumbuh dalam dadanya, sebab beribu harapan telah punah saat waktu-waktu silam berganti oleh masa sekarang yang bergulir seperti waktu-waktu sebelumnya.

Aku belum bisa pastikan apakah mereka hanya berdua atau masih ada satu tokoh lagi dalam hidup keduanya. Mungkinkah aku perlu menyodorkan saorang perempuan dalam penderitaan keduanya? Mungkin si ibu, isteri pencopet itu, atau bisa pula nenek si anak gadis kuikutsertakan dalam skenario cerita ini?

Kusingkirkan dulu kemungkinan-kemungkinan itu. Aku lebih tertarik menuliskan beberapa paragraf tentang pencopet dan anak gadisnya yang menjerit di tengah malam. Kemudian para tetangga terdekat berdatangan seperti malam-malam sebelumnya. Mereka tak bisa pula mengerjakan apapun sehingga penderitaan S menjadi berkurang barang sedikit, kecuali menyuarakan kata-kata basi ke telinga si ayah: “Yang sabar, manusia mesti menjalani cobaan dengan tabah!”

Kopi kental hangat tanpa ampas kuteguk. Pagi menunjuk pada jam enam. AC kumatikan. Kubiarkan udara segar pagi masuk kamar. Aku masih terus menulis, mencoret kembali kalimat-kalimat yang kurang pas. Intonasi dialog para tokoh detail kubayangkan. Tanda-baca kubenahi.

Pukul tujuh aku istirahat. Kunyalakan tv. Seperti hari-hari sebelumnya tv gencar memberitakan temuan-temuan terbaru tentang peledakan bom di Bali. Line telepon hotel minta diangkat, resepsionis memberi tahu Marwan minta ditemui di lobi.

“Cukup beberapa menit saja, Marwan!” pintaku dalam hati.

Seperti biasa, Marwan mengucap maaf karena telah berkunjung lagi menemuiku.
“Tak apa, aku baru istirahat dari tulisanku….”

“Oh, ya? Hampir rampungkah? Aku ingin jadi pembaca pertama novelmu!”

“Ah, kalau itu aku tak bisa janji!” jawabku dengan nada sedikit menaik.

Marwan tersenyum pahit. Diam sejenak.

“Bagaimana keluarga di Yogya?”

“Tumben kautanyakan keluargaku. Baik-baik saja. Aku tidak pulang dalam satu tahun ini kecuali hari Lebaran setahun lalu, dan kemarin saat aku mau ke sini, aku berangkat dari Yogya.…”

“Begitukah? Pastilah keluargamu bangga memiliki seorang anak yang rajin bekerja sepertimu!”

Aku diam. Mencoba menebak-nebak apa yang akan dibicarakan Marwan. Pasti ada maunya.

“Di kantor perwakilan pastilah kamu menjadi semacam ratu di sana. Selain karena kamu satu-satunya perempuan juga pastilah beberapa di antara rekan kerjamu akan memberi simpati. Benar, kan?”

“Wajar saja karena aku berlaku simpatik kepada mereka. Begitulah. Orang akan mendapatkan sikap baik dari orang lain karena bersikap baik pula,” jawabku santai.

“Maksudku bukan sekadar simpatik layaknya seseorang kepada temannya.”

“Lalu?”

“Lebih dari simpatik. Misalkan perhatian yang lebih.…”

“Kau ingin tanyakan, apakah aku mendapatkan perlakuan dan perhatian istimewa dari salah satu reka kerjaku di Solo?” Marwan mengangguk, garis-garisnya wajahnya mengabarkan ia memendam rasa cemas. Lalu kulanjutkan, “kalau kukatakan, rasanya kau akan cemburu, Marwan!”

“Itu berarti kamu memang mendapatkan perhatian lebih dari seorang rekan kerjamu. Apakah si Duta?” tanya Marwan menyelidik.

Kontan kutatap tajam mata Marwan. Marwan tampak tak pedulikan tatapanku.

Dan kukatakan: “Aku berhak menerima perhatian dari siapa pun. Marwan! Kenapa selalu kau sodori aku dengan pembicaraan seperti ini?”

“Karena kamu tak pernah memberi arah pembicaraan lain!”

“Karena memang aku malas bicara denganmu!”

Kami diam sejenak. Hatiku dongkol. Kulirik wajah Marwan yang merah padam.

“Kamu katakan tadi, siapa pun berhak memberimu perhatian. Kalau si duda satu anak itu bisa memberi perhatian, kenapa aku tidak?”

“Bukankah aku tadi bilang, ‘aku berhak’? dan bukannya ‘wajib’ menerima perhatian dari siapa pun. Itu, artinya aku bisa memilih perhatian dari siapa yang memang ingin kuterima! Mudah, kan? Sudah kukatakan, kalau kujawab, maka kamu akan cemburu. Lantas kita akan bertengkar seperti ini. Kupikir tadi, lebih baik kita tak bercakap. Akan menyakitkan buatmu dan menjengkelkan bagi hatiku….”

“Aku tak perlu cemburu, bahkan sakit hati… Aku pergi saja!”

“Silakan saja….”

Untung saja resepsionis sedang pergi tadi hingga tak perlu ada yang menyaksikan tontonan perang mulut gratis sepagi ini.

Kata-kata Marwan masih mengiang-ngiang hebat. Aku jadi ingat dengan Pak Duta. Tentu Marwan kenal dengan Pak Duta, dulu keduanya memang satu angkatan, meski umur Marwan lima tahun di bawah Pak Duta. Mungkin sekarang Marwan sedang sibuk membanding-bandingkan dirinya dengan Pak Duta.

Gontai kutuju kamar. Perasaan tak nyaman menyeruak ke dalam dada. Kubuka notes, lama kutatap kalimat-kalimat yang ada di sana. Namun belum juga mampu menggugah ketertarikanku pada tokoh-tokoh dan sedikit jalinan cerita dalam notes ini.

Kuteguk sisa kopi sampai tuntas. Berantakan lagi mood-ku gara-gara Marwan. Kurebahkan badan ke ranjang, menutup mata dan menenangkan batin. Hingga siangnya aku cuma bengong di kamar.

Selewat tengah hari Fri datang. Perasaanku berangsur senang kembali. Fri mengajakku makan siang. Kalau yang ini jelas kulayani.

Tidak terasa hari terakhirku menjalani orientasi di kantor pusat datang juga. Sebisa mungkin kuakhiri dengan kesan baik acaraku di Surabaya, meski pertemuan dengan Marwan selama lima hari di kantor pusat, tetap akan menyisakan perasaan tak nyaman hingga kapan pun.

Untunglah Marwan tak muncul sejak hari Senin, saat upacara sederhana penutupan orientasi hingga hari Selasa aku berpamitan untuk kembali ke Solo. Pastilah Marwan sedang memendam marah, atau karena ia tak mau merasakan malu di depanku. Tetapi, sekadar basa-basi kuucapkan juga salam pamitku padanya lewat Pak Arbi.

Kudapatkan kembali hawa dan ketenangan rumah kontrakan yang kusuka. Hingga melewati maghrib aku tertidur. Capek. Penat. Jam delapan Pak Duta menelepon, menanyakan kabarku. Lalu kulanjutkan tidur kembali. Tengah malam aku terbangun. Kaget. Gadis kecil dan pencopet itu muncul dalam mimpi. Keduanya berjalan bersama masuk gang. Amat nyata, seolah bukan mimpi saja.

Kubuka notes. Tetapi kebuntuanlah yang kemudian kutemukan. Aku ingin menulis kembali! Merampungkan apa yang tertunda dan masih menjadi teka-teki dalam skenario ceritaku.

  Pria yang tujuh tahun lalu meninggalkan aku begitu saja, tiba-tiba muncul kembali di sebuah pagi.

Dua hari kemudian…
“Jika diperbolehkan saya akan minta cuti satu minggu, Pak Duta,” kataku dengan hati-hati.

Pak Duta sedikit kaget. Tetapi kemudian tersenyum.

“Kenapa? Kamu kecapekan, ya?”

“Bukan. Em, saya ingin menulis sesuatu….”

“Novelmu yang kedua?”

“Saya menemukan sesuatu saat di Surabaya kemarin, sesuatu yang bisa saya tulis… Ah, tidak sekadar bisa saya tulis, tapi harus saya tulis. Saya menginginkan sesuatu itu memang harus benar-benar rampung. Sebagai ganti cuti ini saya siap kerja lembur dan tidak ambil cuti saat Lebaran dan akhir tahun nanti, Pak.”

Pak Duta diam sejenak. Lantas ia menjadi terkesima, itu menurut penglihatanku.

“Aku percaya padamu. Rasanya, ada beban berat yang mesti kupikul jika aku tak izinkan kamu menulis. Dan kamu tahu artinya itu?” tanyanya sembari mengumbar senyum.

Kupikir Pak Duta memang ikhlas dan sungguh-sungguh dengan keputusannya. Maka kujawab, “Saya tahu Pak. Itu artinya, Pak Duta tak mau memikul beban berat, kan?” Aku tersenyum.

***

Malam sebelum keberangkatanku kembali menuju Surabaya, seorang menelepon. Tetapi kemudian terputus sebelum kuangkat. Paling salah sambung, atau telepon iseng saja.

Namun pukul tiga pagi telepon rumah kontrakan berdering kembali. Cepat-cepat kuangkat. Dan siapa yang menelepon sungguh mengagetkanku. Benarkah ini Bias?!

“Maaf, kubangunkan kamu! Ini penting, aku harus menemuimu sebelum subuh nanti. Lari-larilah pagi.…”

“Di mana kamu?”

“Tak penting!”

“Bagaimana kamu tahu nomor teleponku?” Kembali pertanyaan bodohku terlontar.

“Tak penting!”

Klek! Tak ada lagi suara di ujung kabel sana. Bias… Ia muncul juga, entah darimana!

Kuikuti saja permintaannya jam empat aku sudah senam di depan rumah. Gerakan badanku menjadi amat tak penting. Pikiranku sudah mengembara kesana-kemari. Antara kangen dan marah, penasaran dan entah apa lagi yang kini kurasa dalam hati.

Tidak lama kemudian kulihat sosok pria berambut gondrong. Pagi masih gelap dan berkabut. Dari jalannya kuyakin, ia yang sedang menghampiri adalah Bias. Aku keluar dari halaman dan mulai berlari kecil. Bias menyusul berlari hingga di sampingku. Lidahku kelu. Sesaat kami terdiam. Napasku mulai terdengar keras. Begitu pula Bias, nampak payah mengatur nafasnya.

“Kau tak ingin menyapaku? Setidaknya berbasa-basi tanyakan keadaanku.…”

“Aku tak suka basa-basi.…”

Kami terus berlari di trotoar. Bias tetap menatapku. Aku ragu untuk balas menatapnya. Mungkin memang belum siap beradu pandangan. Perasaanku berderu-deru; kecewa karena ditinggalkan begitu saja, dan rindu karena harapan-harapan yang nampaknya dulu pupus kini lahir kembali. Bagaimanapun aku suka ia muncul kembali setelah bertahun-tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Kuhentikan lariku. Perasaanku tak bisa tertahankan.

“Tega sekali kau tak beri kabar selama tujuh tahun ini! Sampai-sampai aku berharap suatu saat arwahmu sudi menemuiku!” seruku. Kini kutatap ia. Napasku terbata-bata.

“Kau akan tetap menganggapku bersalah, kecuali kau mau mendengar ceritaku. Dan ceritanya amat panjang!”

“Tujuh tahun bukan waktu yang pendek. Mungkin waktuku tak cukup panjang untuk mendengar ceritamu. Seharusnya, saat ini aku sudah menuju Surabaya…”

“Siapa yang mengharuskan?” tanyanya sambil tersenyum. Senyum khas milik Bias. “Kau sendiri, kan? Aku tahu keinginanmu tak bisa dibantah. Tapi, kau selalu bisa kompromi asalkan ada aku. Aku yakin…” tanyanya kemudian.

Kuakui itu benar. Hening.

Bias melanjutkan, “Aku ikut ke Surabaya…. Aku bisa temani kau menulis novel, seperti saat-saat pertama dulu kamu belajar mengarang cerita. Kau masih ingat?”

“Kau tahu aku akan menulis novel?”

Aku jalan kembali, bergegas agar cepat sampai di rumah kontrakan dan berangkat ke Surabaya, tanpa atau dengan Bias. Bias mengikut di belakangku.

“Mudah saja… Pertama, kau kerja di sini. Kedua, kau tak punya sanak famili di sana, jadi siapa pun yang mati dan menikah di sana bukan hal penting buatmu. Ketiga, kau tak suka berlibur ke Surabaya… karena gerah udaranya dan banyak nyamuk,”kata Bias pelan-pelan sambil jari-jarinya memperagakan nyamuk yang menggigiti lenganku.

Aku tak bisa sembunyikan senyum. Ia memang pandai bercanda demi mencairkan suasana, sebeku apapun suasana itu.

“Dan yang terakhir, aku toh juga pengarang seperti kau, setidaknya aku tahu bagaimana sorot mata seorang pengarang yang sedang gelisah karena karangannya masih bersembunyi di kepala!”

Suara Bias seolah menjelma jadi lantunan nada-nada manis. Ia mau ikut. Pasti kuizinkan, tegasku dalam batin. Selain kehadirannya bisa membantuku dalam hal keamanan di Surabaya nanti, Bias juga mesti menceritakan nasibnya selama menghilang. Tapi aku tak boleh buru-buru menjawab “ya”. Aku ingin mendengar ia berkata lebih banyak lagi.

Pagi remang-remang menjadi sedikit lebih terang. Kami tetap berjalan. Bias nampak risau.

“Baiklah, kupikir, aku tak bisa ikut kali ini karena aku seorang pelarian. Kalau aku ikut maka kamu turut pula dapat masalah.…” suara Bias penuh sesal.

“Justru karena seorang pelarian, maka kau boleh ikut.” Aku tak tega lama-lama mempermainkan perasaannya.

“Oh, ya ?! Apa kamu sedang menulis tentang pelarian?”

“Kita lihat saja nanti. Tapi, ada syaratnya!”

“Syarat? Apa ?”

“Kamu tak boleh cerewet. Kamu baru boleh bicara jika bicaramu memang kuperlukan!”

Bias menimbang-nimbang. Lalu berkomentar, “Wah, bisa kaku mulutku nanti. Berapa lama kita di sana?”

“Paling lama seminggu.”

Rumah kontrakan sudah terlihat. Kupercepat langkahku.

“Baik… Eh, tunggu! Kita menginap di mana?”

“Belum-belum kau sudah banyak bicara!”

Kami mesti segera bersiap. Kukatakan pada Bias bila berangkat dari Yogya, dengan Sancaka, berangkat pukul tujuh pagi. Dan harus hari ini! Aku sudah tak mau menahan-nahan kembali skenarioku yang menganggur dan bergelisahan di dalam kepala. Selain itu, kurasa kami bisa bebas bercerita di hotel sesampai di Surabaya ketimbang di sini, itu bila memang benar-benar Bias kini dalam pelarian. Tetapi, aku yakin apa yang dikatakannya memang benar. Dia seorang pelarian. Dan kali ini aku butuh pengalaman hidup seorang pelarian!

Kutempati kembali kamar yang seminggu lalu menjadi tempatku istirahat dari kepenatan orientasi. Kini kedatanganku khusus untuk menulis, tentang pencopet dan anak gadisnya yang kena gangguan kejiwaan.

Bias kusuruh beli es jus apel kesukaan kami berdua. Sementara aku merebahkan badan di ranjang sambil mengingat-ingat kembali pengakuan kisah hidup Bias selama perjalanan dalam kereta.

Rupanya, aku salah sangka padanya selama ini. Ah, Bias! Ia seorang penyair, penulis cerpen, dan sekaligus seorang aktivis pergerakan yang cukup mendapat sorotan dari penguasa tujuh tahun silam. Soal mengapa ia pergi tanpa pesan, memang tak pernah kuketahui. Tetapi tetap saja aku kecewa, penasaran, dan takut! Yang kurasakan aneh tentang kepergiannya adalah Bias tetap tak ada kabar sementara para aktivis lain lepas seusai bergulirnya penguasa kala itu.

Kini sedikit demi sedikit terjawab sudah penasaranku. Masih kuingat bagaimana Bias jelaskan tentang keputusannya menemuiku dalam masa pelarian ini. Penjelasan yang amat manis kedengarannya.…

“Dulu sebelum ketemu kamu, aku menjalin hubungan dengan Simah, anak Pak Urip, seorang intel polisi yang mendapat tugas dari atasan untuk membatasi gerakku sebagai aktivis. Padahal ia tahu aku dan Simah menjalin hubungan. Akhirnya, Pak Urip cuma bisa kasih saran agar aku mengurangi aksiku dan aku disuruhnya tak banyak keluar sendirian. Aku menurutinya lantaran ia seorang bijaksana, menurutku.

“Tetapi kemudian kupilih memutuskan hubungan saja dengan Simah. Daripada sama-sama sakit hati nanti. Nah, bisa jadi Pak Urip tak tahu kalau Simah sudah tak berhubungan denganku. Lantas kita bertemu. Kudengar dari kawan-kawan Simah punya pacar baru, entah siapa. Dari sinilah muncul kesalahpahaman. Simah pergi bersama seorang pria, bahkan ada yang mengatakan Simah diperkosa sebelum hilang. Baru kemarin sore aku dapat kabar dari kawan-kawan kalau aku masih dicari-cari Pak Urip, tetapi bukan karena aku seorang aktivis….”

“Karena kau dituduh melarikan Simah?”

“Begitulah!”

“Kau bisa jelaskan yang sebenarnya terjadi pada Pak Urip, kan?”

“Tak sesederhana itu! Kabarnya, Pak Urip sudah menghilang lama, melakukan pengejaran terhadapku. Kalau tugasnya sebagai intel, ia bisa kompromi tetapi ini soal keluarga, soal anak satu-satunya yang ia cintai. Ia bisa membunuhku kapan saja tanpa aku tahu darimana ia melepaskan pelurunya!”

“Lantas, kenapa kau baru hubungi aku sekarang? Kaukira aku tak mau bantu kamu? Kaupikir aku tak turut memikirkan nasibmu yang tiba-tiba lenyap tanpa kabar itu?”

“Dengarkan dulu… Aku tak mau mengikutsertakan kamu dalam masalahku. Kalau sekarang aku menemuimu, itu karena aku tak mau kamu salah paham dan ikut menuduhku gara-gara mendengar kabar burung bahwa aku melarikan seorang gadis!”

“Untung saja…”

“Untung kenapa?”

“Kalau tak ada kabar burung itu kamu juga tak akan menemuiku, kan?!”

“Aku tahu. Aku salah karena membiarkanmu mereka-reka sendiri tentang nasibku. Kamu pasti sedih, takut, kecewa…. Kini, aku sudah ada di depanmu, dan aku hanya bisa minta maaf….”

Hanya bisa minta maaf? Ah, kamu pasti terlupa bagaimana kangen dan bahagianya aku hingga ingin memelukmu seerat mungkin! Tak terasa senyumku terbit, dan Bias tahu itu kala ia masuk kamar dengan dua bungkus es jus.

“Senyam-senyum sendiri…. Awas, ya aku tak mau tidur sekamar dengan wanita gila!”

***

Sehabis maghrib kuajak Bias ke warung teh depan gang seperti biasa. Selama jalan kaki menuju warung teh, kami berpapasan dengan Marwan. Ia diam saja. Aku juga diam. Cuma matanya yang berkelebat mengawasi Bias dengan kejamnya. Bias tak menyadari itu. Aku tak peduli. Pertemuanku dengannya untuk urusan kali ini adalah hal yang lumrah. Sebab aku memang mengamati tempat yang tak jauh dari tempatnya bekerja.

Sesampai di warung, aku pesan makan-minum. Sementara menunggu ibu penjual menyiapkan makan, dan Bias tampak menikmati pisang goreng, mataku awas mengamati keadaan jalan, khususnya mulut gang kecil itu. Sekonyong-konyong kulihat pria misterius yang selalu mengawasiku dulu. Kini ia pakai sepeda motor, melaju pelan di seberang jalan sambil melirik ke arahku.

“Bias! Lihat, itu pria yang kuceritakan!” bisikku segera, lengan Bias kusenggol.

“Hmm, apa sih?!”

“Pria yang selalu mengamatiku sejak dulu!”

“Mana?”

“Sudah jauh! Eh, Pak Urip itu pakai kacamata tidak?” tanyaku kepada Bias yang kembali menikmati pisang gorengnya.

Bias menatapku. “Kaupikir pria yang selama ini membuntutimu adalah Pak Urip? Pak Urip itu rambutnya gondrong, tak pakai kacamata, dan ia paling suka pelihara kumis dan jenggot. Jadi tidak seperti pria yang kau gambarkan kemarin, yang berkacamata, yang wajahnya bersih. Paling, kebetulan saja ada orang yang selalu bertemu dan kalian saling bertatap muka.”

  Rasanya janggal bila munculnya pria itu suatu kebetulan belaka. Tetapi aku sendiri toh tak bisa menguak apa-apa tentangnya. Sehabis makan aku merasa perlu ke kamar kecil. Terlalu banyak minum sejak siang tadi. Kami ke hotel lagi. Di kamar hotel sudah ada sepiring buah jeruk di meja pojok.

“Kamu pesan jeruk ? Tak biasanya hotel sediakan jeruk.…”

Bias menggeleng enteng. “Anggap saja ini diskon karena kamu sering ke sini….” seloroh Bias kemudian.

“Tadi resepsionis bilang apa saat kau ambil kuncinya?”

“Tak bilang apa-apa….”

Kulihat Bias mulai mengupas kulit jeruk. Aku sendiri sudah ingin ke belakang. Buru-buru aku masuk toilet. “Siapa tahu ada temanku tadi ke sini nitip jeruk sama pelayan. Mungkin mereka lupa ngomong.…”

Kudengar Bias menjawab, “Aku ngantuk!”

Aku keluar dari toilet. Belum juga menginjak Isya’ Bias sudah terlelap, kulit jeruk berserakan. Mungkin ia memang amat letih dan mengantuk setelah perjalanan. Aku bisa melanjutkan pengamatanku sendirian. Bias kutinggalkan. Kutulis dalam selembar kertas yang kutindih kunci di dekat piring jeruk: aku pergi mengamati gang.…

Aku malah merasa nyaman mengamati gang itu sendirian. Was-was juga kalau Bias yang jadi pelarian itu bikin masalah di sini. Lebih baik memang tidur dulu di kamar. Belum jauh kakiku melangkah meninggalkan hotel kudengar dua kali suara letusan. Jaraknya sekitar tigaratusmeter dari tempatku berdiri, arah kanan dari perempatan itu. Tak lama berselang, kulihat sepeda motor dari arah kanan perempatan dan melaju sedikit oleng saat berbelok. Jalanan tak sebegitu ramai seperti hari biasanya. Dan aku yakin dengan penglihatanku: si pengendara sepeda motor itu tak lain adalah si pencopet bersama si gadis kecil yang membonceng di belakang.

Mungkinkah letusan itu dimaksudkan untuk si pencopet? Barangkali ia telah diburu polisi selama ini! Si pencopet kini telah masuk gang. Jantungku berdegup kencang saat dua sepeda motor melaju cepat, dan yang sebuah menyeberang jalan, berhenti di kios rokok kecil tak jauh dariku, sementara sepeda motor satunya lagi tampak sedang menyisir pinggir jalanan. Kuhentikan langkahku, menepi ke pagar sebuah rumah. Aku ingin mendengar apa yang mereka bincangkan. Nampaknya mereka polisi berpakaian preman.

“Lihat sepeda motor yang mencurigakan nyeberang sini, Pak?”

“Tidak, Pak… Biasa-biasa saja tadi…”

“Oh, ya terimakasih… Kami polisi, Pak, tadi kami adakan pengejaran, terus kami tembak tapi dia lolos.…”

“Oh… jadi letusan tadi itu bukan mercon, ya? Saya pikir mercon, Pak, biasa kan menjelang bulan Puasa.…”

Setelah para polisi itu melakukan penyisiran ke jalan lain dan bukannya menaruh curiga pada gang kecil itu, aku bergegas menyeberang menuju mulut gang. Kuucapkan doa untuk keselamatanku malam ini. Hati-hati kakiku melangkah. Karena aku belum pernah tahu di mana rumah si pencopet maka kuturutkan saja kemana perasaan membawaku. Aku terus masuk gang makin dalam hingga mataku melihat sepeda motor tergeletak di samping sebuah rumah bilik bambu. Inikah rumah yang tengah kutuju?

Suasana di gang ini sepi. Lengang. Kalau rumah bilik itu rasanya aku pernah melihatnya saat dulu kepergok si pencopet, meski saat itu kulihat dari kejauhan.

Bilik bambu itu makin hitam saja bila bohlam kecil di depan pintu di matikan. Tampaknya memang sengaja dimatikan malam ini. Dari dalam bilik cahaya lampu redup menerobos keluar melewati celah-celah anyaman bambu. Pelan-pelan aku melangkah hingga di depan pintu yang juga dari anyaman bambu. Kudengar suara ratapan pria. Ratapan yang amat pilu, keluar dari hati kering penuh ngilu.

Kuintip apa yang terjadi di dalam bilik melalui lobang sebesar ibu jari di pintu. Sungguh memilukan. Mataku menyaksikan seorang perempuan terpasung oleh rangkaian balok-balok kayu terpaku pada tiang pusat penyangga bilik berukuran sekitar 4 x 4 meter. Rambutnya panjang awut-awutan. Pakaiannya compang-camping tak karuan. Kepala perempuan itu terkulai. Kurasa ia seorang perempuan gila. Di balik pasungan mataku lamat-lamat melihat badan yang berguncang-guncang, bersimpuh dan tampak menekuri tubuh si gadis kecil. Ratapannya menjadi pelan, tinggal sesenggukan tangis.

Di dalam sana tak ada meja-kursi layaknya sebuah ruang tamu, hanya ada selembar tikar usang menutup sebagian kecil dari lantai semen yang kasar. Dua gelas serta sebuah teko tua membisu di atas tikar. Kuamati secermat-cermatnya. Dan demi melihat ceceran darah di pinggir-pinggir bilik pikiranku segera menyimpulkan: si gadis kecil kena tembak, dan harus segera diselamatkan!

Pintu kudorong. Pria itu terkejut. Dari sela-sela rangkaian pasungan ia menatapku. Ia bangkit dengan gusarnya, maju beberapa langkah, dan berdiri di sisi perempuan terpasung.

“Lagi-lagi kau! Kau ingin kabarkan nasib buruk kami pada semua orang? Pergi dan jangan ganggu kami lagi!” serunya.

“Aku tak punya niat jahat! Aku hanya ingin selamatkan gadis kecil itu!”

“Menyelamatkan Matahari? Matahari telah mati! Anak kami telah mati! Pergi saja kau!”

Suara pria itu amat lemah, tertelan isak tangisnya sendiri. Ia merasa amat kehilangan. Ia bersimpuh lunglai di lantai. Sesekali lidahnya terbata menyebut “Matahari”, nama anaknya, nama gadis kecil itu.

Ya Tuhan… Gadis kecil yang menarik perhatianku sejak pertama kali melihatnya itu telah mati kini. Ia memiliki bapak seorang pencopet dan ibu yang gila. Aku tahu pria lelaki itu; seorang pencopet, seorang yang pasti dimusuhi banyak orang. Namun, kecintaannya pada keluargalah yang membuatku tak bisa menolak hadirnya rasa trenyuh di hati. Adakah ibunya merasakan kesedihan pula?

“Beberapa kali aku melihatnya, kemarin, ketika ia masih menemanimu. Kini, bolehkah aku melihatnya untuk kali yang terakhir?”

Pria di depanku masih terisak. Ia tidak mencegahku ketika aku melangkah melewatinya dan menghadapi sesosok terbujur kaku di belakang pasungan. Aku bersimpuh di depan Matahari, gadis kecil itu. Darah mengental di lantai. Aku tak berani menatap luka tembak di dadanya. Bau anyir darah menyergapku.

Kutatap pucat sayu wajah Matahari. Dadaku serasa digedor-gedor palu, kepalaku juga seakan dibentur-benturkan ke tembok oleh para algojo. Aku ingat keluargaku di Yogya, ingat adikku yang masih bocah, ingat diriku sendiri semasa seumur Matahari.…

“Bapak-ibumu dan juga kami semua, inginkan kamu menjadi matahari yang selalu terbit setelah tenggelam. Kini…” Butir-butir airmataku meleleh. Kutatap wajahnya. Kuusap rambutnya, “Maafkan kami, Matahari.…”

Bau anyir darah yang bermain-main di saraf-saraf penciumanku serta tumpukan kelelahan sepanjang hari dan belum sesuap makananpun yang masuk ke perut membuatku lemas. Kepalaku pening, serasa bumi berputar-putar, gelap dan terang timbul tenggelam. Lalu kudengar:

“Polisi! Angkat tangan!”

“Kalian biadab! Kalian telah membunuh anak kami! Simah, lihat! Mereka pembunuh Matahari, anak kita! Akan kubalas!”

Sekujur badanku makin kaku. Simah? Pria itu menyebut nama Simah? Benarkah isterinya adalah Simah, anak intel Pak Urip? Tak lama kemudian, kudengar letusan, suaranya amat dekat denganku. Letusan itu tak hanya sekali. Setelah itu sepi. Dan kulihat hamparan ladang yang amat gelap.

***

Tubuhku terasa berguncang pelan, dan kepalaku seperti tertumpang di atas bantal empuk, ikut bergoyang pelan. Kesadaranku mulai kembali. Suara-suara di sekelilingpun telah masuk ke telinga.

“Apa dia akan baik-baik saja?”

“Cukup baik!”

Aku kenal betul dengan suara itu. Cepat-cepat kubuka mataku, dan melihat Bias berdiri di sisi kanan ranjang dorong serta seorang pria berseragam putih-putih menjauhkan badanku dari rumah Matahari yang banyak berseliweran polisi. Mungkin aku hendak di angkut ambulans ke rumah sakit. Bias tak menyadari mataku menatapnya. Wajahnya tampak cemas di tengah redup lampu-lampu gang ini.

“Bias!”

“Kau? Baik-baik saja?”

“Di bawa kemana? Aku tak perlu ke rumah sakit! Aku cuma pingsan biasa!” kataku sembari berusaha bangkit.

Dan sebelum badanku di dorong masuk ke ambulans tim paramedik meneliti apakah aku memang tak perlu diangkut ke rumah sakit. Aku ingin bersama Bias saja. Kuyakinkan mereka bahwa aku memang baik-baik saja. Dan mereka mengizinkanku turun dari ranjang dorong. Saat itulah seorang pria yang selama ini menjadi misteri dan selalu mengikuti langkahku muncul kembali. Dia kini malah tepat berada di depanku, menyapaku, dan tampak telah akrab dengan Bias. Kapankah mereka bertemu? Rasanya pingsanku tak lebih dari seperempat jam!

“Anda baik-baik saja Nona?” Aku terkesima, pertanyaan lewat bagai angin, lalu ia melanjutkan, “Saya ucapkan terimakasih banyak untukmu, karena langkah Anda-lah yang akhirnya menunjukkan jalan bagi pertemuan saya dengan Simah, anak saya...”

Aku cuma bisa mengangguk.

“Apakah dia perlu ke kantor polisi, Pak?” Bias bertanya.

“Tak perlu, saya sudah jelaskan kepada teman-teman siapa Nona ini,” jawabnya pada Bias, lalu saat wajahnya menghadapku pria itu berkata, “Anda istirahat saja, jika polisi perlu keterangan Anda baru nanti kami panggil…”

Apakah dia seorang polisi? Lalu apa hubungannya denganku hingga ia harus membuntutiku sejak dulu? Nah, coba kutebak! Ia adalah Pak Urip yang sering diceritakan Bias. Soal jenggot dan kumis, kurasa tak ada yang kesulitan mencukurnya. Tololnya diriku! Tapi, sungguhkah dia bapak Simah? Simah yang kini gila dan memiliki seorang anak gadis kena peluru yang sebetulnya ditembakkan untuk bapaknya? Teka-teki ini membentur-bentur kepala.

Aku diam saja. Bingung. Pastilah kini Bias dan Pak Urip tengah melihatku bengong begitu lama.

“Maaf kalau tingkah saya membuntuti Anda selama ini membuat gelisah dan takut. Saya hanya berpikir, kalau Anda masih punya kaitan dengan Bias, sementara saya sendiri telah menuduhnya melarikan Simah. Ternyata inilah hikmah dari semua rentetan kejadian demi kejadiannya….”

Tiba-tiba Pak Urip membalikkan badan. Di depan pintu rumah gubug itu beberapa polisi memegangi perempuan gila yang beberapa menit sebelum pingsan tadi kulihat masih dalam pasungan. Pak Urip tak tega melihat Simah meronta-ronta ia berlari lantas merangkul tubuh anaknya dan setengah menyeretnya menuju ambulans lain.

“Dia Pak Urip?”

“Benar…” Bias menjawab teka-teki tentang siapa pria misterius penguntit itu. Namun matanya masih terpaku pada sosok Simah yang dikerumuni beberapa polisi.

Aku tak perlu cemburu. Barangkali Bias memang perlu mengucap salam terakhir buat Simah.

“Matahari?” tanyaku sepatah.

“Anak gadis Simah? Sudah diangkut tadi sekalian bapaknya, sebelum kamu siuman. Bapaknya, pria yang kamu katakan sebagai pencopet itu menyerang polisi saat polisi masuk dan menyuruhnya angkat tangan. Ia mengamuk, menerjang polisi, dan polisi merasa perlu menembak pahanya.”

“Siapa namanya?”

“Tak ada yang tahu, tetangga dan Pak Lurah sini pun baru malam ini bisa mengamati wajahnya sungguh-sungguh. Tak ditemukan kartu identitas. Ia juga tetap bungkam, tak mau berkata apa pun, termasuk menyebut namanya sendiri. Kamu mau ke hotel sekarang ?”

“Ayo, tapi jalannya pelan saja, aku lelah…”

Bias tersenyum. Lalu katanya dengan lembut, “Mari kubantu….” Bias melingkarkan lengannya di punggung hingga jemarinya memegang lenganku. “Marwan kena tembak….” katanya kemudian, yang membuat aku terperangah, bukan karena iba, tapi lebih pada keingintahuan penyebab Marwan hingga tertembak.

“Kenapa?”

“Ternyata dialah yang berbuat busuk hingga aku tak sadarkan diri di hotel setelah makan jeruk!”

“Jeruk itu?”

“Ya, Marwan datang ke hotel dengan jenggot palsu dan menyerahkan jeruk-jeruk kepada pelayan, katanya sih itu pesanan kita. Jeruk-jeruk itu mungkin telah disuntiknya dengan obat penenang. Rupanya Pak Urip curiga dengan tingkah Marwan, dan kebetulan kamu pergi dan aku di sini. Kebetulan, yang jadi sasaran Pak Urip dan Marwan adalah aku, jadi keduanya berkumpul di kamar hotel.”

“Terus?” tanyaku tak sabaran.

“Kata Pak Urip, ia telah mendobrak pintu sebelum Marwan berhasil mengayunkan belatinya ke badanku yang tergolek.…”

“Apa? Sekeji itukah Marwan?”

“Dia telah gelap mata! Untung Pak Urip cepat masuk, dan Marwan mengira Pak Urip cuma main-main dengan pistolnya.”

“Lalu Pak Urip menembaknya saat Marwan berniat menyerang ?”

“Begitulah! Terus aku bangun karena ada letusan dan suara orang ribut-ribut. Tak lama kemudian, Pak Urip dihubungi intel lain kalau mereka menemukan perempuan yang mirip Simah… Ternyata, Pak Urip memang telah menyebar foto Simah ke sesama intel di Surabaya.”

Lamat-lamat kuikuti alunan dalam batin dan kepala, alunan puji syukur atas keselamatan yang dilimpahkan Tuhan pada kami. Kami terus berjalan menuju hotel.

Lengan Bias makin erat melingkar saat ia bertanya tentang skenario cerita yang diketahuinya tak pernah berhenti melayang-layang dalam ruang kepalaku:

“Bagaimana skenario ceritamu? Apakah bertambah teka-tekinya?”

Aku tak bisa menjawabnya kali ini. Aku jadi malas berpikir. Aku hanya ingin kebersamaan bersama Bias tak segera berlalu. “Terimakasih, Bias,”kataku.

“Untuk perjalanan di Surabaya ini?”

“Untuk segalanya….” jawabku pelan, hampir-hampir hanya untuk kunikmati sendiri.

Bias tersenyum, “Kau memang selalu bisa kubanggakan, Evril!”

Kami berpandangan. Akankah bagian yang terakhir ini akan kuikutkan pula dalam ceritaku nanti?

No comments: