12.22.2010

Mayat Dalam Lemari

Di lemari, di antara deretan sepatu-sepatu buatan perancang ternama, tampak sesosok mayat wanita langsing...

Alvirah tidak akan turun dari pesawat jika tahu apa yang akan ditemukannya dalam apartemen barunya yang mewah di Central Park South sore bulan Juli itu. Bahkan, ketika pesawatnya berputar di landasan, bersiap untuk mendarat, nalurinya yang biasanya peka tidak memberikan firasat apa pun.

Ia dan Willy menjadi keranjingan bepergian setelah memenangkan undian berhadiah sebesar 40 juta dolar. Banyak tempat yang telah mereka kunjungi, namun Alvirah selalu merasa senang setiap kali mereka pulang ke New York. Ada perasaan hangat dalam hatinya, setiap kali melihat pemandangan kota dari atas pesawat: pencakar langit yang menjulang di balik awan, lampu-lampu jembatan yang membentang sepanjang East River.

Willy menepuk lengan Alvirah. Alvirah menoleh sambil tersenyum. Willy kelihatan tampan dalam balutan jaket linen biru yang sesuai dengan warna matanya, pikir Alvirah. Matanya yang biru dan rambut kelabunya yang lebat, tidak perlu diragukan lagi, membuat Willy terlihat seperti kembaran Tip O’Neil.

Alvirah merapikan rambutnya yang diberi warna cokelat muda dan ditata oleh Dale di London belum lama ini. Dale menatap dengan kagum ketika Alvirah berkata bahwa usianya sudah mendekati enam puluhan. “Kau pasti bercanda,” kata Dale terkejut. Alvirah tahu bahwa pujiannya mungkin hanya sekadar basa- basi, tapi tetap saja ia senang mendengarnya.

Ya, pikir Alvirah sambil merenung dan menatap pemandangan kota di bawahnya, nasib telah begitu baik terhadapnya dan Willy. Tidak saja sekarang mereka mampu melakukan perjalanan wisata ke mana pun mereka mau dan berbelanja apa pun yang mereka suka, kekayaan juga memberi mereka berbagai kesempatan yang tak terduga.

Awalnya adalah ketika dia diwawancara editor harian The New York Globe setelah mereka memenangkan undian. Alvirah berkata bahwa ia ingin sekali mengunjungi Cypress Point Spa yang termasyhur. Tidak hanya untuk mendapatkan perawatan di spa tersebut yang menjadi impiannya itu, tapi juga bergaul dengan para selebriti.

Alvirah meyakinkan editor tersebut bahwa dia dapat menembus sumber berita. Sang editor pun menugaskan Alvirah untuk membuka mata dan telinga dengan baik, dan kemudian menuliskan pengalamannya selama di spa. Untuk memperlancar tugas Alvirah, sang editor memberinya bros berbentuk matahari yang dilengkapi alat perekam mini.

Hasilnya terbukti lebih dramatis dari yang pernah diharapkan sang editor maupun Alvirah sendiri. Ketika di spa, ia sempat merekam pembicaraan orang yang berencana membunuhnya dan tidak sengaja menyaksikan pembunuhan. Inilah awal karier yang tidak disangka-sangkanya, sebagai penulis lepas untuk The Globe sekaligus detektif amatir.

Sambil mengencangkan sabuk pengamannya, Alvirah mengenang kejadian dalam perjalanan wisatanya yang terakhir itu. Dia meraba peniti hiasnya, yang sekarang selalu menjadi aksesori permanennya.

“Perjalanan kali ini sungguh menyenangkan,” katanya kepada Willy, “tapi tidak satu pun kejadian istimewa yang dapat aku tulis. Hal paling seru yang terjadi selama perjalanan kali ini hanyalah kunjungan Sri Ratu pada acara minum teh di Stafford, dan ketika kucing peliharaan manajer hotel menyerang anjing corgis Ratu.”

“Well, aku senang kita dapat berlibur dengan tenang,” kata Willy. “Aku tidak tahan melihatmu begitu sering nyaris mati terbunuh gara-gara berusaha memecahkan kasus pembunuhan.”

Pramugari British Airways berjalan di sepanjang gang pesawat, memeriksa apakah sabuk pengaman para penumpang telah terpasang dengan benar. “Aku sungguh senang bisa berbincang dengan Anda,” katanya. Willy telah bercerita kepada pramugari itu —seperti halnya kepada siapa saja— bahwa dahulu dia hanyalah seorang tukang ledeng dan Alvirah petugas kebersihan rumah tangga sampai akhirnya, sekitar dua tahun yang lalu, mereka memenangkan undian berhadiah 40 juta dolar.

Dalam waktu singkat mereka telah berada dalam limusin. Seperti biasanya, New York di bulan Agustus benar-benar panas, lembap, dan pengap, meski pendingin udara di limusin telah bekerja maksimal. Alvirah mendambakan kesejukan apartemennya di Central Park South. Apartemen lama yang telah mereka tempati selama 40 tahun sebelum undian berhadiah itu datang belum mereka jual. Apartemen berkamar tiga itu terletak di Flushing. Seperti yang dikatakan Willy, siapa yang tahu suatu hari nanti New York mengalami krisis ekonomi, dan semua pemenang undian dipersilakan melupakan sisa hadiah mereka yang belum sempat terambil.

Ketika limusin menepi di depan Central Park South, penjaga pintu membukakan pintu mobil. “Kau pasti kegerahan,” kata Alvirah. “Seharusnya kau tak perlu memakai seragam sampai gedung ini selesai direnovasi.”

Gedung apartemen itu memang sedang direnovasi besar-besaran. Ketika Alvirah dan Willy membeli apartemen itu di musim semi, agen real estate mengatakan bahwa renovasi akan selesai dalam beberapa minggu. Tapi, tampaknya agen tersebut terlalu optimistis.

Di depan lift sepasang suami-istri menggabungkan diri. Yang pria tinggi, berusia sekitar lima puluhan. Si wanita langsing mengenakan gaun malam sutra putih. Raut wajah wanita itu mengingatkan Alvirah pada raut wajah seseorang yang baru saja membuka lemari es dan mencium bau telur busuk. Aku kenal orang-orang ini, pikir Alvirah dan mulai mencoba mengingat-ingat. Yang pria adalah Carlton Rumson, produser Broadway yang terkenal dan wanita itu adalah istrinya, Victoria, aktris musiman yang pernah terpilih sebagi runner-up Miss America sekitar tiga puluh tahun yang lalu.

“Mr. Rumson!” dengan senyum hangat Alvirah mengulurkan tangannya. “Aku Alvirah Meehan. Kita pernah bertemu di Cypress Point Spa di Pebble Beach. Tak disangka kita bertemu di sini! Ini suamiku, Willy. Kalian tinggal di sini?”

Rumson tersenyum sekilas. “Kami punya apartemen di sini agar mudah ke mana-mana.” Ia mengangguk ke arah Willy, kemudian dengan enggan memperkenalkan istrinya. Victoria menganggukkan kepala perlahan sebagai tanda perkenalan, pada saat pintu lift terbuka.

Sangat tidak ramah, pikir Alvirah sambil memperhatikan profil sempurna wajah wanita itu. Rambutnya yang pirang pucat ditarik ke belakang membentuk sanggul kecil. Sebagai membaca People, US, the National Enquirer bertahun-tahun, dia hafal dengan para selebriti.

Lift berhenti di lantai 34 ketika Alvirah mulai mengingat kembali potongan-potongan informasi mengenai keluarga Rumson. Sang suami terkenal gemar berselingkuh, sedangkan si istri terkenal akan kemampuannya menutup sebelah mata terhadap pengkhianatan suaminya, sampai-sampai mendapat julukan See-no-evil-Vicky, Vicky yang tidak melihat kejahatan orang. Benar-benar pasangan yang serasi.

“Mr. Rumson,” kata Alvirah, “keponakan Willy, Billy McCormack, adalah seorang penulis naskah teater yang cemerlang. Ia baru saja menyelesaikan naskah teaternya yang kedua. Aku sangat berharap Anda bersedia membacanya.”

Rumson tampak jengkel. “Nomor telepon kantorku terdaftar di buku telepon,” tukasnya.

“Naskah karya Brian yang pertama sedang dipentaskan di Broadway,” kata Alvirah memaksa. “Salah satu dari kritikus mengatakan, ia dapat disejajarkan dengan Neil Simon waktu muda.”

“Ayolah, Sayang,” desak Willy. “Kau menyebabkan orang-orang ini menunggu.”

Tak disangka-sangka, pandangan Victoria Rumson mencair. “Sayang,” katanya, “aku pernah mendengar tentang Brian McCormack. Mengapa kau tidak membaca naskahnya di sini? Kau tidak pernah sempat melakukannya di kantor. Mrs. Meehan, kirim saja naskahnya ke apartemen kami.”

“Anda baik sekali Victoria,” kata Alvirah bersungguh-sungguh. “Anda akan menerima naskah itu besok.”

Sambil berjalan menuju apartemen mereka, Willy bertanya, “Sayang, tidakkah kau terlalu memaksa tadi?”

“Tentu saja tidak,” bantah Alvirah. “Kau harus berusaha jika ingin berhasil. Aku akan melakukan apa saja demi kemajuan karier Brian.”

Central Park terlihat dari apartemen mereka. Setiap kali melihatnya, Alvirah berpikir betapa belum lama ini ia selalu beranggapan bahwa kediaman Mrs. Chester Lollop di Little Neck, tempatnya bekerja sebagai petugas kebersihan rumah setiap Kamis, adalah sebuah istana kecil. Astaga, betapa matanya telah terbuka beberapa tahun belakangan ini.

Mereka membeli apartemen ini lengkap dengan perabotnya dari seorang pedagang saham yang disita kekayaannya. Pedagang saham itu baru saja selesai mendekorasi apartemen ini dengan menggunakan jasa penata ruang yang, menurutnya, termasuk salah satu yang menggegerkan Manhattan. Diam-diam Alvirah merasa kurang yakin, apa yang dimaksud dengan menggegerkan. Ruang duduk, ruang makan, dan dapur berwarna putih cerah. Sofanya begitu pendek sampai-sampai ia harus mengangkat tubuhnya dengan susah payah setiap kali akan berdiri. Ada karpet putih tebal yang menampakkan setiap titik noda dengan jelas sekali. Meja putih, lemari, marmer dan berbagai peralatan mengingatkannya pada semua bak mandi dan bak cuci piring yang selama ini selalu berusaha dibersihkannya dari karat.

Dan malam ini, ada tambahan baru, pengumuman dengan huruf-huruf dicetak tebal yang ditempelkan di pintu menuju teras. Alvirah melangkah mendekat untuk membacanya.

Setelah diperiksa, apartemen Anda memiliki kelemahan struktur pada pagar pembatas teras. Meskipun teras Anda cukup aman untuk kegiatan sehari-hari, harap tidak bersandar pada pagar pembatas. Perbaikan akan dilaksanakan secepat mungkin.

Setelah membaca pemberitahuan itu dalam hati, ia membacakannya keras-keras untuk Willy, kemudian mengangkat bahu. “Well, aman atau tidak aku, toh, tidak akan setolol itu bersandar pada pagar pembatas.”

Willy tersenyum malu-malu. Ia takut akan ketinggian dan tidak pernah sekali pun menjejakkan kakinya di teras. Seperti yang dikatakannya sewaktu membeli apartemen ini, “Kau suka teras, aku suka daratan.”

Willy ke dapur untuk menyalakan kompor. Alvirah membuka pintu teras dan melangkah ke luar. Tidak keberatan dengan udara pengap yang seketika menerpa wajahnya. Dia menyukai saat-saat berdiri di luar, melihat pemandangan taman dengan lampu-lampu hias di pepohonan yang gemerlap di sekitar Tavern on the Green, lampu-lampu mobil yang tampak berbentuk seperti pita, serta bayangan kereta kuda dari kejauhan.

Senangnya kembali ke rumah! Begitu pikirnya, sambil melangkah masuk dan memandang ruang duduknya. Matanya yang terlatih memeriksa pekerjaan petugas kebersihan mingguan yang mestinya datang kemarin. Ia terkejut mendapatkan noda bekas sidik jari di atas meja koktail yang terbuat dari kaca.

Secara otomatis diambilnya saputangan dan mulai menggosok kuat-kuat noda tersebut. Ia menyadari bahwa pengikat gorden di jendela samping pintu terasnya pun hilang. Semoga bukan terisap vacuum cleaner, pikirnya. Setidaknya dulu aku seorang petugas kebersihan yang andal.

“Eh, Alvirah,” panggil Willy, “apakah Brian meninggalkan pesan? Sepertinya ia sedang menunggu kedatangan seseorang.”

Brian adalah keponakan Willy, anak tunggal Madaline, kakak tertua Willy. Enam dari tujuh orang kakak perempuan Willy menjadi biarawati. Madaline menikah di usia yang ke-40 tahun dan kemudian mempunyai seorang anak yang mengubah hidupnya. Usia Brian sekarang 26 tahun. Brian dibesarkan di Nebraska, mulai menulis naskah teater untuk rumah produksi di sana dan kemudian pindah ke New York setelah Madaline meninggal dua tahun yang lalu.

Naluri keibuan Alvirah tersalurkan seluruhnya untuk pemuda berwajah tirus dan selalu serius, dengan rambut warna pasirnya yang selalu acak-acakan dan senyumnya yang malu-malu ini. Katanya selalu kepada Willy, “Bahkan jika aku mengandung anak ini sendiri, aku tidak akan lebih mencintainya dari sekarang.”

Ketika bepergian ke Inggris bulan Juni lalu, Brian sedang berusaha menyelesaikan konsep pertama dari naskah pertunjukannya yang baru. Dia senang sekali ketika ditawari menginap di apartemen Central Park South itu. “Di sini aku dapat menulis dengan tenang dibandingkan dengan di apartemenku sendiri,” katanya dengan penuh rasa terima kasih. Brian tinggal di daerah East Village, bertetangga dengan keluarga-keluarga besar yang selalu ramai.

Alvirah pergi ke dapur. Ia menaikkan alisnya. Sebotol sampanye dalam ember pendingin khusus yang sekarang setengahnya sudah terendam air. Dua buah gelas sampanye di atas baki perak. Sampanye itu adalah hadiah dari pedagang saham yang menjual apartemen ini. Si pedagang saham beberapa kali sengaja menyebutkan bahwa sampanye ini harganya beberapa ratus dolar sebotol dan dari merek yang biasa diminum oleh seorang ratu Inggris.

Willy kelihatan gundah. “Ini kan minuman yang mahal itu, ya? Tidak mungkin Brian dengan lancang membukanya tanpa izin. Ada sesuatu yang aneh di sini.” Alvirah membuka mulutnya untuk meyakinkan Willy, kemudian memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun. Willy benar. Ada sesuatu yang aneh dan nalurinya yang peka segera menangkap adanya masalah.

Bel pintu berdering. Seorang pengantar barang dengan wajah minta maaf muncul di depan pintu membawa koper-koper mereka. “Maaf, lama sekali, Mr. Meehan. Sejak direnovasi, banyak penghuni yang menggunakan lift barang sehingga kami harus antre.”

Sesuai permintaan Willy, pengantar barang meletakkan koper-koper di kamar dan pergi dengan tersenyum setelah mendapatkan tip lima dolar.

Willy dan Alvirah minum teh di dapur. Willy terus menatap botol sampanye. “Aku akan menelepon Brian,” ujarnya.

“Dia pasti masih di teater,” kata Alvirah sambil memejamkan mata berkonsentrasi dan memberikan nomor telepon gedung teater kepada Willy.

Willy memutar nomor telepon, mendengarkan sebentar kemudian meletakkan gagang telepon. “Mesin penjawab,” katanya datar. “Pertunjukan Brian tutup. Mereka sedang membicarakan bagaimana cara mendapatkan biaya pembatalan.”

“Anak malang,” ujar Alvirah. “Coba hubungi apartemennya.”

“Mesin penjawab juga,” jawab Willy beberapa saat kemudian. “Akan kutinggalkan pesan untuknya.”

Alvirah tiba-tiba menyadari bahwa dirinya sangat lelah. Sambil membereskan cangkir-cangkir teh dari atas meja, ia mengingatkan diri sendiri bahwa saat ini pukul lima pagi waktu Inggris, wajar kalau ia merasa tulang-tulangnya seperti remuk. Diletakkannya cangkir teh di bak cuci piring. Temannya, Baronnes Min von Schreiber, pemilik Cypress Point Spa tempat Alvirah menjalani perbaikan penampilan setelah ia memenangkan undian berhadiah, mengatakan kepadanya bahwa tidak seharusnya botol anggur disimpan dengan keadaan berdiri. Dengan spons basah, digosoknya kuat-kuat botol yang belum dibuka tersebut, baki perak, dan ember pendingin kemudian disimpannya. Dia mematikan lampu dapur, lalu menuju kamar tidur.

Willy sudah mulai mengeluarkan pakaian dari dalam koper. Alvirah menyukai kamar tidur mereka. Si pedagang saham melengkapi kamar ini dengan tempat tidur ukuran king size, lemari tiga pintu, kursi-kursi nyaman dan dua meja di sisi tempat tidur yang cukup luas untuk meletakkan beberapa buku, kacamata baca, dan air mineral untuk lutut Alvirah yang menderita rematik. Tema dekorasinya membuat Alvirah beranggapan bahwa si penata ruang pasti terobsesi dengan cairan pemutih. Seprai putih. Gorden putih. Karpet putih.

Pengantar barang tadi meletakkan tas gantung gaun Alvirah di atas tempat tidur. Ia membuka kuncinya dan mulai mengeluarkan gaun-gaun dan setelannya. Baroness von Schreiber menganjurkan agar ia tidak pergi berbelanja seorang diri. “Alvirah,” katanya, “kau mangsa yang mudah bagi para salesman yang telah diperintahkan untuk menghabiskan barang-barang yang salah-beli. Mereka dapat merasakan kehadiranmu, bahkan ketika kau masih di dalam lift. Aku sering pergi ke New York dan kau berkunjung ke spa beberapa kali dalam setahun. Tunggu sampai kita bersama, aku akan berbelanja untukmu.”

Alvirah bertanya-tanya apakah kira-kira Min akan menyetujui pilihan setelan dengan rok lipit berwarna merah muda-jingga yang disodorkan penjaja toko di Harrods. Melihatnya sekarang, Alvirah yakin jika Min pasti kurang setuju.

Setumpuk pakaian memenuhi kedua lengannya, Alvirah membuka lemari pakaian, melihat ke bawah dan berteriak. Di dasar lemari yang dilapisi karpet, di antara deretan sepatu-sepatu besar berukuran 10 buatan perancang ternama, tampak sesosok mayat wanita langsing. Matanya yang hijau menatap kosong, rambutnya berdiri acak-acakan di sekitar wajahnya, lidah sedikit menjulur dan tali pengikat gorden yang hilang dari ruang duduk itu mencekik lehernya.

“Bunda terberkati,” erang Alvirah, gaun berjatuhan dari lengannya.

“Ada apa, Sayang?” Willy bergegas menghampirinya. “Oh, Tuhanku,” katanya terengah. “Siapa dia?”

“Itu… itu... kau tahu. Aktris itu. Yang menjadi pemeran utama dalam pertunjukan karya Brian. Brian tergila-gila kepadanya.” Alvirah menutup matanya, menghindari tatapan beku mayat itu. “Fiona Winters.”

Willy merangkulnya erat, Alvirah melangkah ke ruang duduk, lalu duduk di sofa pendek yang membuat lututnya seolah-olah menyatu dengan dagunya. Sementara Willy memutar nomor 911, Alvirah berusaha menjernihkan pikiran. Tanpa harus berpikir keras, Alvirah tahu bahwa kejadian ini dapat membuat Brian dicurigai. Aku harus berpikir dan mengingat segala yang kuketahui tentang gadis ini. Gadis ini berlaku buruk terhadap Brian. Apakah mereka bertengkar?

Willy melintasi ruangan, duduk di samping Alvirah dan meraih tangannya. “Tenanglah, Sayang,” hiburnya. “Polisi akan datang sebentar lagi.”

“Hubungi Brian sekali lagi,” ujar Alvirah.

“Ide bagus.” Segera Willy memutar nomor telepon Brian. “Masih mesin penjawab yang menyahut. Aku akan meninggalkan pesan sekali lagi. Kau istirahatlah.”

Alvirah mengangguk, memejamkan matanya dan dengan segera teringat akan malam terakhir di bulan April, ketika pertunjukan Brian baru saja dibuka.

Gedung teater penuh sesak. Brian telah mengatur agar mereka berempat mendapat tempat duduk di deretan tengah depan. Ketika itu Alvirah mengenakan gaun barunya yang berwarna perak-hitam mengilap. Pertunjukan itu berjudul Falling Bridges, dengan latar belakang Nebraska dan berkisah tentang sebuah reuni keluarga. Fiona memerankan orang kaya yang bosan akan gaya suaminya yang kampungan. Alvirah harus mengakui bahwa aktingnya sungguh meyakinkan. Namun demikian, ia lebih menyukai gadis yang memerankan tokoh utama satunya, Emmy Laker, yang berambut merah cerah dan mata yang biru, memerankan tokoh yang menyenangkan, lucu tapi berkepribadian teguh.

Pertunjukan malam itu mendapat sambutan meriah dan Alvirah merasa seolah dirinya akan meledak dengan rasa bangga ketika para penonton berteriak memanggil, “Brian! Brian!” Brian naik ke atas panggung. Alvirah menangis haru ketika Brian memberikan karangan bunga yang diterimanya kepada Alvirah.

Pesta diadakan di ruang atas restoran steik Gallagher. Brian memesankan tempat duduk untuk Alvirah dan Fiona Winters di kedua sisi tempat duduknya sendiri. Willy dan Emmy Laker duduk berseberangan dengan mereka. Tidak diperlukan waktu yang lama bagi Alvirah untuk dapat membaca situasi. Brian menempel pada Fiona Winters layaknya seorang remaja jatuh cinta. Tapi, Fiona berulang kali melecehkannya seraya mengingatkan bahwa ia berasal dari keluarga terkemuka, dengan ucapan-ucapan seperti, “Keluargaku sangat kecewa dan marah ketika aku memutuskan untuk berkarier di dunia akting setelah lulus dari Foxcroft.” Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan pada Willy dan Brian bahwa meskipun dia menyukai steak sandwich dan kentang goreng buatan Gallagher, makanan seperti ini dapat menyebabkan orang terkena serangan jantung.

Dia membuat semua orang merasa tidak enak dengan komentar-komentarnya malam itu, kenang Alvirah. Ia bertanya kepadaku, apakah aku merindukan pekerjaan lamaku, membersihkan rumah. Dia juga berkata kepada Brian bahwa ia harus belajar berpakaian yang pantas, dan merasa heran mengapa kami tidak membelikan Brian pakaian yang pantas.

Gadis itu memang bukan gadis yang ramah, tapi bukan berarti ia layak dibunuh!

Alvirah tersentak dari lamunannya ketika didengarnya bel pintu berdering keras sekali. Bunda di Surga, batinnya, pasti itu polisi sudah datang. Seandainya aku sempat berbicara dulu dengan Brian.

Menit-menit berikutnya terasa berlalu dengan cepat. Seiring dengan rasa pusing yang makin mereda, Alvirah pelan-pelan mulai dapat membedakan petugas yang hilir mudik di apartemennya. Pertama kali masuk serombongan polisi berseragam. Kemudian diikuti barisan detektif, fotografer, dan pemeriksa mayat. Ia dan Willy duduk mengawasi dengan diam.

Petugas dari kantor pengelola apartemen Central Park South Towers juga hadir. “Kami berharap tidak sampai ada publikasi buruk,” kata presiden manajer. “Ini kan bukan milik Trump.”

Pernyataan pertama dicatat oleh dua orang polisi. Sekitar pukul tiga pagi, pintu ruang tidur terbuka.

“Jangan lihat, Sayang,” kata Willy. Tapi, Alvirah tidak dapat memalingkan wajahnya dari tandu yang diusung oleh dua orang berwajah masam, membawa mayat Fiona keluar. Setidaknya mereka menutup mayatnya. Semoga arwahnya beristirahat dengan tenang, doa Alvirah, terbayang kembali rambut acak-acakannya dan bibir yang mencibir. Gadis itu memang bukan orang yang ramah, batin Alvirah, tapi bukan berarti ia layak dibunuh.

Seorang pria berusia empat puluhan dengan kaki panjang duduk di hadapan Willy dan Alvirah, memperkenalkan dirinya sebagai Detektif Rooney. “Aku telah membaca artikel Anda di harian Globe, Mrs. Meehan,” katanya kepada Alvirah. “Aku menyukainya.”

Willy tersenyum menghargai komentarnya, tapi Alvirah tidak tertipu. Ia menyadari bahwa Detektif Rooney berusaha memujinya supaya Alvirah tidak ragu-ragu untuk bercerita kepadanya. Pikiran Alvirah berpacu berusaha memikirkan cara untuk melindungi Brian. Secara refleks tangannya meraih peniti hias bentuk mataharinya yang berisi alat perekam. Ia ingin merekam pembicaraan ini agar dapat ia ulas kembali nanti.

Detektif Rooney membaca catatannya. “Menurut keterangan yang Anda berikan tadi, Anda baru saja kembali dari liburan di luar negeri dan tiba sekitar pukul sepuluh malam? Anda menemukan korban, Fiona Winters, tak lama kemudian? Anda mengenali Miss Winters karena dia pernah memegang peran utama dalam pertunjukan teater karya keponakan Anda, Brian McCormack?”

Alvirah mengangguk. Ia memperhatikan Willy seperti ingin mengatakan sesuatu dan dipegangnya tangan Willy untuk memperingatkan. “Benar begitu.”

“Menurut pengertianku, Anda hanya sekali bertemu dengan Miss Winters,” lanjut Detektif Rooney. “Menurut Anda, bagaimana ia dapat berada dalam lemari Anda?”

“Aku sama sekali tidak tahu,” jawab Alvirah.

“Siapa saja yang mempunyai kunci apartemen ini?”

Sekali lagi Willy tampak seperti ingin berbicara. Kali ini Alvirah menekan tangan Willy dengan keras. “Kunci masuk apartemen,” katanya sambil berpikir. “Coba kuingat. Petugas kebersihan One-Two-Three punya satu. Well, maksudku bukan benar-benar punya. Mereka mengambilnya dari meja dan mengembalikannya setelah mereka selesai. Temanku Maude punya satu. Ia datang pada Hari Ibu. Maude pergi keluar bersama anak lelakinya dan menantunya ke Radio City. Mereka mempunyai seekor kucing, dan temanku itu alergi terhadap kucing, jadi ia menginap di sini. Kemudian kakak perempuan Willy, Suster Cordelia, juga punya satu. Kemudian….“

“Apakah keponakan Anda, Brian McCormack, punya kunci, Mrs. Meehan?” potong Detektif Rooney.

Alvirah menggigit bibirnya. “Ya, Brian punya sebuah.”

Kali ini Detektif Rooney sedikit meninggikan suaranya, “Menurut resepsionis, Brian kerap menggunakan apartemen ini selama kalian bepergian. Kebetulan sekali dalam waktu yang, meskipun tidak mungkin mengatakannya secara pasti sebelum kami mendapatkan hasil otopsi resmi, sama dengan perkiraan waktu korban dibunuh, antara pukul sebelas pagi dan tiga sore kemarin.” Nada Detektif Rooney berspekulasi. “Menarik sekali untuk mengetahui di mana kiranya Brian berada di antara waktu tersebut.”

Alvirah dan Willy diberi tahu bahwa mereka tidak dapat menempati apartemen mereka sebelum tim investigasi selesai mengumpulkan bekas sidik jari dan mencari petunjuk-petunjuk lain yang mungkin tertinggal. “Keadaan apartemen ini tidak berubah sejak pertama kalian tiba tadi malam?” tanya Detektif Rooney.

“Kecuali…,“ kata Willy memulai. “Kecuali bahwa kami sempat membuat teh setibanya kami di sini,” potong Alvirah. Aku dapat memberi tahu mereka tentang gelas dan botol sampanye saja nanti, tetapi jelas aku tidak dapat meralatnya lagi, batin Alvirah. Detektif ini akan segera mengetahui bahwa Brian tergila-gila pada Fiona Winters dan berkesimpulan bahwa ini adalah kejahatan dengan motif cemburu. Kemudian ia akan membuat bukti-bukti yang ada, cocok untuk mendukung teori tersebut.

Detektif Rooney menutup catatannya. “Aku mendapat informasi bahwa pihak manajemen gedung akan menyediakan apartemen lain untuk semalam ini,” katanya.

Lima belas menit kemudian Alvirah sudah berada di atas tempat tidur, berbaring penuh rasa syukur di samping Willy yang tertidur pulas. Bagi Alvirah, seletih apa pun dirinya, sulit rasanya untuk merasa nyaman di atas tempat tidur asing, lagi pula pikirannya masih berusaha untuk mencerna apa yang sudah terjadi semalam. Ia sadar bahwa bukti-bukti yang ada dapat memberatkan Brian. Tapi, ia juga menyadari bahwa pasti ada alasan yang tepat untuk semua ini. Brian tidak mungkin lancang membuka botol sampanye seharga ratusan dolar dan anak itu sama sekali tidak mungkin membunuh Fiona Winters. Tapi, bagaimana gadis itu bisa berada di lemarinya?

Meskipun mereka baru saja pergi tidur larut malam, Willy dan Alvirah sudah terjaga pukul tujuh pagi keesokan harinya. Keterkejutan mereka menemukan mayat di dalam lemari sudah banyak berkurang. Mereka merasa khawatir sekarang. “Tidak ada gunanya mencemaskan Brian,” kata Alvirah dengan keyakinan yang tidak dirasakannya. “Jika nanti kita bertemu dan berbicara dengannya, aku yakin semuanya akan terjelaskan. Ayo, coba kita lihat apakah kita sudah boleh kembali ke apartemen kita.”

Mereka segera berpakaian dan keluar. Sekali lagi terlihat Carlton Rumson sedang menunggu lift. Kulitnya yang putih tampak pucat. Lingkaran hitam di bawah mata membuatnya kelihatan sepuluh tahun lebih tua dari usia yang sebenarnya. Secara refleks Alvirah menyalakan alat perekam pada peniti hiasnya.

“Mr. Rumson,” sapanya, “Anda sudah mendengar berita yang menyedihkan tentang pembunuhan di apartemen kami?”
Rumson menekan tombol lift dengan tergesa-gesa. “Ya, aku mendengarnya. Seorang teman yang tinggal di gedung ini menelepon kami di apartemen. Menyedihkan bagi wanita malang itu dan pasti juga menyedihkan bagi kalian.”

Lift tiba di lantai mereka. Setelah mereka semua masuk, Rumson berkata, “Mrs. Meehan, istriku mengingatkanku akan naskah karya keponakan Anda. Kami akan berangkat ke Meksiko besok pagi. Aku akan senang sekali jika dapat membacanya hari ini.”

Mulut Alvirah ternganga. “Baik sekali istri Anda untuk mengingatkan. Akan kami pastikan bahwa Anda menerima naskah itu secepatnya.”

Ketika Alvirah dan Willy sampai di lantai mereka, Alvirah berkata, “Ini bisa saja merupakan kesempatan yang baik sekali bagi Brian. Kalau saja…,“ ia menghentikan perkataannya sendiri.

Seorang polisi berjaga di depan pintu apartemen mereka. Tampak bekas para penyelidik mengumpulkan sidik jari pada setiap jengkal ruang dalam apartemen mereka. Brian McCormack duduk di hadapan Detektif Rooney dengan muka yang kebingungan dan menyedihkan. Ia melompat berdiri. “Bibi Alvirah, maafkan aku. Pasti ini sangat tidak mengenakkan bagimu.”

Bagi Alvirah, Brian tampak seperti bocah berusia sepuluh tahun. Dengan kaus dan celana panjang warna khaki-nya yang kusut, ia tampak seperti orang yang baru saja menyelamatkan diri dari gedung yang terbakar.

Alvirah mencoba merapikan rambut di kening Brian, sementara Willy mencengkeram lengan Brian. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.

Brian tersenyum kecut. “Sepertinya begitu.”

Detektif Rooney menyela, “Brian baru saja tiba dan aku memberitahukan bahwa ia adalah tersangka dalam kasus pembunuhan Fiona Winters dan berhak didampingi seorang pengacara.”

“Kau bercanda?” tanya Brian dengan nada terkejut.

“Aku berani menjamin bahwa aku sama sekali tidak bercanda.” Detektif Rooney mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketnya. Ia membacakan peraturan Miranda untuk Brian, kemudian mengangsurkannya. “Tolong beri tahu jika Anda sudah mengerti peraturan yang aku bacakan tadi.”

Rooney memandang Alvirah dan Willy. “Orang-orangku sudah selesai. Kalian boleh kembali ke apartemen kalian. Brian akan ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangannya.”

“Brian, jangan mengatakan apa pun sampai kau didampingi pengacara,” perintah Willy.

Brian menggelengkan kepalanya. “Paman Willy, aku tidak punya sesuatu pun yang harus aku sembunyikan. Aku tidak membutuhkan pengacara.”

Alvirah mencium Brian. “Lekas kembali kemari jika kau sudah selesai,” katanya.

Keadaan apartemen yang kacau balau memberikan kesibukan bagi Alvirah. Ia menyuruh Willy pergi dan memberinya daftar belanjaan yang cukup panjang, sambil tak lupa mengingatkannya untuk menggunakan lift barang agar tidak usah bertemu dengan wartawan.

Seraya membersihkan apartemennya, Alvirah menyadari bahwa polisi tidak akan membacakan peraturan Miranda kepada seseorang jika mereka tidak yakin bahwa seseorang itu patut dicurigai.

Hal tersulit yang harus dikerjakannya adalah membersihkan lemari. Seolah-olah ia masih dapat melihat mata Fiona Winters yang terbelalak menatapnya. Pikiran tersebut membuatnya terpikir akan hal lain: sudah jelas bahwa gadis malang itu tidak dibunuh di dalam lemari. Tapi, di mana persisnya gadis itu dibunuh?

Gagang vacuum cleaner terlepas dari genggaman Alvirah. Ia teringat bekas sidik jari di atas meja kaca di ruang duduk. Jika saat itu Fiona sedang duduk di sofa, sedikit membungkuk ke depan lalu si pembunuh berjalan ke belakangnya, melibatkan ikat gorden ke lehernya dan mencekiknya, bukankah tangan gadis itu akan berputar seperti itu? “Demi para santa dan malaikat,” bisik Alvirah pada diri sendiri, “jangan-jangan aku sudah melenyapkan barang bukti.”

Telepon berdering pada saat bersamaan ia mengenakan peniti hias bentuk mataharinya ke kerah baju. Ternyata Baroness Min von Schreiber yang menelepon dari Cypress Point Spa di Pebble Beach, California. Min baru saja mendengar berita pembunuhan tersebut. “Apa yang dilakukan gadis malang itu sampai bisa tergeletak mati dalam lemarimu?” desak Min.

“Percayalah kepadaku, Min,” kata Alvirah. “Aku pun tidak habis pikir apa yang sedang dilakukan gadis itu di apartemenku. Aku hanya pernah bertemu dengannya sekali, di malam perdana pertunjukan teater Brian. Polisi sedang menginterogasi Brian saat ini. Aku benar-benar khawatir. Mereka curiga Brian membunuh Fiona.”

“Kau salah Alvirah,” kata Min. “Kau kan pernah bertemu Fiona sebelum itu, kau bertemu dengannya di sini, di spa.”
“Tidak pernah,” jawab Alvirah dengan yakin. “Dia jenis orang yang sangat menjengkelkan, aku pasti akan ingat jika pernah bertemu dengannya.”

Diam sesaat. “Aku sedang berpikir,” lanjut Min. “Kau benar. Gadis itu datang di minggu yang lain, dengan seseorang dan mereka menghabiskan seminggu di sini. Mereka bahkan tidak keluar kamar. Aku ingat sekarang. Ia datang bersama produser terkenal yang sepertinya sedang diincarnya. Carlton Rumson. Kau ingat dia kan, Alvirah? Kau bertemu dangannya sewaktu pria itu datang kemari sendiri.”

Alvirah berjalan ke ruang duduk kemudian keluar ke beranda. Willy kerap merasa gugup setiap kali aku keluar ke teras, pikirnya, dan itu tidak waras. Satu-satunya yang harus diperhatikan adalah jangan sampai bersandar di pagar pembatas.
Kelembapan udara hampir mencapai titik jenuh. Bahkan, tidak sehelai daun pun yang terembus angin. Meski demikian, Alvirah mendesah bahagia. Bagaimana mungkin seseorang yang dilahirkan di New York dapat tinggal di tempat lain dalam waktu yang lama? tanyanya dalam hati.

Willy pulang membawa belanjaan dan surat kabar. Dalam berita di halaman depan sebuah surat kabar tertulis PEMBUNUHAN DI CENTRAL SOUTH PARK. Di surat kabar lain tertulis PEMENANG UNDIAN BERHADIAH MENEMUKAN MAYAT.

Alvirah membaca berita-berita penuh sensasi itu dengan seksama. “Aku tidak menjerit dan pingsan,” dengusnya. “Dari mana mereka mendapat ide itu?”

“Menurut berita di Post, kau sedang menggantungkan gaun-gaun barumu yang mengagumkan yang kau beli di London,” kata Willy.

“Mengagumkan! Satu-satunya gaun mahal yang aku beli adalah setelan merah muda-jingga lipit. Dan aku tahu pasti, Min akan memaksaku untuk menyumbangkannya.”

Terdapat berita mengenai latar belakang Fiona Winters: pertengkaran dengan keluarganya yang kaya ketika ia memutuskan untuk berkarier di dunia akting. Kariernya yang jatuh bangun. (Gadis itu pernah memenangkan penghargaan Tony, tapi kemudian karena terkenal sulit diajak bekerja sama, hal tersebut menyebabkannya harus kehilangan kesempatan berperan dalam film-film bagus). Pemutusan kontrak kerjanya dengan pertunjukan teater Brian McCormack dan pergi begitu saja ketika menerima kontrak kerja dengan sebuah perusahaan film, menyebabkan pertunjukan teater Falling Bridges tersebut harus ditutup.

“Motif,” kata Alvirah datar. “Besok, mereka semua akan menyidangkan kasus ini di media massa dan Brian akan diputuskan bersalah.”

Pukul setengah satu Brian kembali dari kantor polisi. Alvirah melihat sekilas mukanya yang pucat dan menyuruhnya duduk. “Akan kubuatkan secangkir teh panas dan hamburger,” katanya. “Kau kelihatan seperti mau pingsan.”

“Aku pikir segelas scotch akan membuatnya merasa lebih baik daripada segelas teh panas,” komentar Willy.

Brian tersenyum lemah. “Aku pikir kau benar Paman Willy.”

Dia menceritakan apa yang terjadi sambil menghabiskan hamburger dan kentang goreng. “Aku bersumpah, aku yakin mereka tidak melepaskanku. Bisa dibilang mereka yakin bahwa aku telah membunuh gadis itu.”

“Kau tidak keberatan aku menyalakan alat perekamku?” tanya Alvirah. Ia menekan tombol pada peniti hias bentuk mataharinya. “Sekarang ceritakan pada kami tepatnya apa yang sudah kau katakan pada polisi.”

Brian mengerutkan keningnya. “Kebanyakan mengenai hubungan pribadiku dengan Fiona. Aku sakit hati dengan perlakuannya yang kasar padaku dan aku jatuh cinta pada Emmy. Aku katakan pada mereka bahwa ketika Fiona mengundurkan diri dari pertunjukan teaterku, aku benar-benar putus asa.”

“Tapi, bagaimana caranya sampai ia dapat terbunuh di lemariku?” tanya Alvirah. “Kau pasti mengizinkannya masuk ke apartemen ini.”

“Memang. Aku kerap bekerja di tempat ini. Aku tahu kalian dijadwalkan kembali kemarin, jadi aku membereskan barang-barangku sehari sebelumnya. Kemudian kemarin pagi Fiona meneleponku dan mengatakan bahwa ia baru saja tiba di New York dan ingin bertemu denganku. Aku tidak sengaja meninggalkan draft terakhir karya terbaruku berikut salinannya di sini. Aku katakan kepadanya untuk tidak membuang waktu karena aku sedang dalam perjalanan kemari untuk mengambil catatanku yang tertinggal tadi dan akan sibuk bekerja seharian dan tidak ingin diganggu. Ketika aku tiba di sini, aku lihat dia sudah menunggu di lobi dan aku biarkan saja ia masuk daripada membuat keributan.”

“Apa yang ia inginkan?” tanya Alvirah dan Willy bersamaan.

“Tidak banyak. Hanya peran utama di Nebraska Nights.”

“Setelah kelakuannya yang pergi begitu saja dari pertunjukanmu yang sebelumnya!”

“Dia memperagakan aktingnya yang paling bagus. Memohon padaku agar memaafkannya. Dia berkata bahwa ia bodoh sekali telah meninggalkan Falling Bridges begitu saja. Perannya dalam layar lebar hanya berakhir di ruang sensor dan publisitas buruk karena meninggalkan pertunjukanku membuat reputasinya hancur. Ia ingin tahu apakah Nebraska Nights sudah selesai. Aku manusia. Aku membual di hadapannya. Aku katakan bahwa perlu waktu beberapa lama sampai aku dapat menemukan produser yang tepat, tapi jika aku dapat menemukannya, aku yakin karyaku ini akan menjadi buah bibir.”

“Apakah dia sudah membacanya?” tanya Alvirah.

Brian memperhatikan daun teh di dasar cangkirnya. “Yang ini sama sekali tidak beruntung,” komentarnya. “Dia tahu garis besar ceritanya dan ia juga tahu bahwa ada bagian yang bagus untuk seorang pemeran utama wanita.”

“Kau kan tidak menjanjikan peran tersebut untuknya?” seru Alvirah.

Brian menggelengkan kepalanya. “Bibi Alvirah, aku tahu Fiona menganggapku bodoh, tapi aku juga tidak percaya jika ia menganggapku sedemikian bodohnya. Dia membuat perjanjian denganku. Katanya ia kenal dengan seorang produser Broadway terkenal. Jika ia dapat menunjukkan naskah ini padanya dan produser itu berjanji untuk mementaskannya, Fiona ingin mendapatkan peran sebagai Diane, maksudku Beth.”

“Siapa dia?” tanya Willy.

“Nama peran utama wanita. Aku mengubahnya dalam draft naskah terakhirku tadi malam. Aku berkata pada Fiona, ia pasti tidak serius tetapi jika benar, aku akan mengusahakannya. Kemudian aku mengambil catatanku yang tertinggal dan berusaha mengajaknya keluar dari sini. Ia bersikeras untuk tinggal, katanya ia harus mengikuti audisi di Lincoln Center sore itu dan karena jaraknya dekat dari sini, ia ingin tinggal sampai nanti. Akhirnya aku memutuskan untuk membiarkannya tinggal di sini agar aku dapat menyelesaikan pekerjaanku. Aku terakhir melihatnya tak berapa lama lepas tengah hari, dia duduk di sofa itu.”

“Apakah ia tahu kau mempunyai salinan naskah itu di sini?” tanya Alvirah.

“Tentu saja. Aku mengambilnya dari dalam laci meja ketika aku mengambil catatanku yang tertinggal itu.” Brian menunjuk ke arah serambi. “Ada di laci meja itu.”

Alvirah bangkit, berjalan dengan cepat menuju meja serambi dan menarik lacinya. Seperti yang telah ia duga, lacinya kosong.

Emmy Laker duduk terdiam di kursi besar di apartemen studionya di daerah West Side. Sejak ia mendengar tentang kematian Fiona melalui berita pukul tujuh, ia berusaha menghubungi Brian. Apakah ia ditangkap? O, Tuhan, bukan Brian, batinnya. Apa yang harus kulakukan? Dengan putus asa ia memandang koper di sudut kamarnya. Koper-koper milik Fiona.

Bel apartemennya berdering kemarin pagi pukul setengah sembilan. Ketika pintu dibuka, Fiona menyerbu masuk. “Bagaimana kau bisa tinggal di walk-up, apartemen tanpa lift seperti ini?” tanyanya begitu masuk. “Untung ada anak-anak yang hendak mengantar barang ke atas, mereka membantuku membawa koper-koper ini.” Fiona menjatuhkan kopernya dan menyalakan rokok. “Aku datang dengan mata merah, benar-benar satu kesalahan bermain dalam film itu. Aku bertengkar dengan sutradaranya dan ia memecatku. Aku sudah berusaha menghubungi Brian. Kau tahu dia ada di mana?”

Kemarahan Emmy timbul jika mengingat percakapan itu, sepertinya ia masih dapat melihat Fiona di seberang ruangan, rambut pirangnya acak-acakan, jumpsuit-nya yang ketat memperlihatkan lekuk liku tubuhnya yang sempurna, matanya yang bak mata kucing tampak kurang ajar dan penuh percaya diri.

Fiona tampak yakin bahwa meski setelah perlakuannya yang buruk terhadapa Brian, ia masih dapat dengan mudah kembali ke kehidupan Brian, Emmy membatin, teringat akan bulan-bulan yang menyiksa menyaksikan Brian bersama Fiona. Akankah hal itu terulang lagi? Kemarin Emmy berpikir bahwa hal itu bisa saja terjadi.

Fiona terus berusaha menelepon Brian sampai akhirnya ia berhasil menghubunginya. Waktu ia meletakkan gagang telepon, ia berkata, “Kau tidak keberatan kan kalau aku meninggalkan koperku di sini? Brian sedang menuju ke rumah mewah si pembantu itu. Aku akan mencoba mendahuluinya tiba di sana.” Kemudian ia mengangkat bahu. “Lelaki itu benar-benar kampungan, tapi sungguh mengagumkan bahwa ternyata banyak orang di West Coast yang mengenal namanya. Harus kukatakan bahwa dari komentar orang yang kudengar mengenai Nebraska Nights, sepertinya karya itu akan sukses besar, dan aku bermaksud untuk mendapatkan peran utamanya.”

Gadis itu memang bukan gadis yang ramah, tapi bukan berarti ia layak dibunuh!

Emmy bangkit berdiri. Tubuhnya terasa sakit dan kaku. Pendingin udara tua di ruangannya berdetak dan mengerang, tapi tetap saja ruangan terasa panas dan lembap. Ia memutuskan untuk mandi air dingin dan membuat secangkir kopi. Mungkin setelah itu pikirannya akan menjadi lebih jernih. Ia ingin bertemu Brian. Ia ingin memeluknya. Diakuinya, ia tidak menyesal Fiona sudah mati, tapi, oh, Brian, bagaimana kau berharap bahwa kau akan lolos dari semua ini.

Emmy baru saja mengenakan T-shirt dan rok dari bahan katun dan mengikat rambutnya yang panjang dan berwarna merah membentuk sanggul kecil ketika bel pintu di bawah berdering.

Ternyata Detektif Rooney sedang menuju ke atas.

“Segalanya mulai terasa masuk akal sekarang,” kata Alvirah. “Brian, apakah masih ada yang terlupa? Seperti misalnya, apakah kau yang meletakkan sampanye mahal di ember pendinginnya kemarin?”

Brian kelihatan terkejut. “Mengapa aku ingin melakukannya?”

“Aku pikir kau pasti tidak akan melakukannya.” Bukan main, cerita yang hebat, pikir Alvirah. Fiona tidak memutuskan untuk tinggal lebih lama di sini karena ia harus mengikuti audisi. Aku berani taruhan bahwa produser yang dikenalnya adalah Carlton Rumson dan bahwa ia kemudian meneleponnya dan mengundangnya kemari. Itulah sebabnya, botol sampanye dan gelas-gelas dikeluarkan. Fiona menunjukkan naskahnya dan kemudian, siapa yang tahu alasannya, mereka bertengkar. Tapi, bagaimana aku dapat membuktikan semua ini? Alvirah berhenti sejenak, berpikir. Kemudian ia beralih kepada Brian. “Aku ingin kau pulang ke rumah dan mengambil naskah terakhir yang sudah kau perbaiki. Aku sudah bicara dengan Carlton Rumson mengenai hal tersebut. Katanya ia ingin melihat naskahmu hari ini.”

“Carlton Rumson!” seru Brian. “Dia orang terbesar di Broadway, sekaligus yang paling sulit untuk didekati. Kau pasti seorang pesulap.”

“Akan kuceritakan nanti,” kata Alvirah. “Aku juga kebetulan mengetahui bahwa ia dan istrinya akan bepergian, jadi lebih baik kita kerjakan selagi masih sempat.”

Brian memandangi pesawat telepon. “Sebaiknya aku menghubungi Emmy. Ia pasti sudah mendengar tentang Fiona sekarang.” Brian memutar nomornya, menunggu kemudian meninggalkan pesan: “Emmy, aku perlu bicara denganmu. Aku baru saja meninggalkan rumah Bibi Alvirah dan menuju ke rumah.” Ketika ia meletakkan gagang telepon, nada suaranya menyiratkan kekecewaan yang dalam. “Tampaknya Emmy sedang keluar,” katanya.

Meskipun didengarnya suara Brian di telepon, Emmy tidak bergerak untuk mengangkatnya. Detektif Rooney duduk di hadapannya dan baru saja menyuruhnya untuk menceritakan secara rinci apa saja yang dilakukannya seharian kemarin. Detektif Rooney mengangkat alisnya. “Kau bisa saja mengangkat telepon tadi. Aku tidak keberatan menunggu.”

“Aku akan bicara dengan Brian nanti saja,” kata Emmy. Ia berhenti sejenak, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Kemarin aku meninggalkan rumah sekitar pukul sebelas pagi, aku pergi jogging. Aku kembali pukul setengah dua dan tinggal di rumah seharian setelah itu.”

“Sendirian?”

“Ya.”

“Apakah kau bertemu Fiona Winters kemarin?” Emmy melirik koper-koper di sudut ruangan. “Aku ..., “ Emmy tidak melanjutkan.

“Emmy, aku pikir aku harus memperingatkanmu bahwa sebaiknya kau berkata jujur,” Detektif Rooney membuka catatannya. “Penerbangan Fiona Winters tiba dari Los Angeles sekitar pukul setengah delapan pagi. Kami tahu ia naik taksi kemari dan seorang anak pengantar barang yang membantunya mengangkat koper kemarin mengenalinya. Fiona berkata pada anak itu bahwa kemungkinan besar kau tidak akan senang melihatnya karena kau berusaha merebut pacarnya, dan ketika Miss Winters pergi, kau membuntutinya. Penjaga pintu di Central South Park mengenalimu. Kau duduk di bangku taman di seberang jalan sambil mengawasi gedung itu selama dua jam. Kemudian kau masuk melalui pintu servis yang kebetulan dibuka oleh tukang cat bangunan di sana.” Detektif Rooney membungkukkan badannya ke depan. Nada suaranya berubah menjadi penuh rahasia. “Kau naik menuju apartemen Mrs. Meehan, bukan? Apakah Miss Winters sudah mati ketika itu?”

Emmy menatap jemarinya. Brian selalu menggodanya, jari-jarinya terlalu kecil. “Tapi kuat,” katanya kemudian sambil tertawa ketika mereka adu panco. Brian. Apa pun yang akan dikatakannya, akan menyudutkan Brian. Emmy mengangkat wajahnya menatap Detektif Rooney. “Aku ingin didampingi seorang pengacara.”

Rooney bangkit berdiri. “Tentu saja, itu adalah hakmu. Aku ingin mengingatkan bahwa jika Brian terbukti membunuh bekas pacarnya, kau dapat dikenakan tuduhan bersekongkol karena mencoba menyembunyikan barang bukti dan aku dapat meyakinkan bahwa hal tersebut tidak akan membantu Brian. Kami akan mendapatkan vonis dari dewan juri, tidak diragukan lagi.”

Ketika Brian tiba di apartemennya, ada pesan dari Emmy dalam mesin penjawab teleponnya. “Telepon aku Brian. Please.”

Dengan tergesa jemari Brian memutar nomor telepon Emmy.

Dia berbisik di telepon, “Halo.”

“Emmy, ada apa? Aku mencoba menghubungimu sebelumnya, tapi kau sedang keluar.”

“Aku di sini. Seorang detektif datang. Aku harus menemuimu.”

“Naik taksi ke rumah bibiku. Aku menuju ke sana juga.”

“Aku ingin bicara denganmu empat mata. Ini mengenai Fiona. Dia datang kemari kemarin. Aku membuntutinya ke apartemen bibimu.”

Mulut Brian terasa kering. “Jangan berkata apa-apa lagi di telepon.”

Pukul empat sore, bel pintu berdering keras. Alvirah terlonjak. “Brian lupa membawa kunci,” katanya pada Willy. “Aku melihatnya di atas meja serambi.”

Tetapi, ternyata Carlton Rumson yang berdiri di depan pintu. “Mrs. Meehan, maaf mengganggu,” katanya sambil melangkah ke dalam.

“Aku sudah berbicara dengan salah seorang asistenku bahwa aku akan membaca naskah milik keponakan Anda. Tampaknya ia sudah melihat pertunjukan pertama Brian dan menilai pertunjukan itu sangat bagus. Bahkan, ia mendesakku untuk segera menyaksikannya sendiri, tetapi secara tiba-tiba pertunjukan ditutup dan aku belum sempat menyaksikannya.” Rumson berjalan masuk ke ruang duduk dan duduk di sofa. Dengan gugup ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja koktail.

“Boleh aku ambilkan minum untuk Anda?” tanya Willy. “Bir mungkin?”

“Ah, Willy,” kata Alvirah, “aku yakin Mr. Rumson hanya minum sampanye yang terbaik. Mungkin aku membaca hal itu di majalah People, ya.”

“Benar sekali, tetapi tidak sekarang, terima kasih.” Ekspresi wajah Rumson tampak cukup ramah, tapi Alvirah melihat urat lehernya tampak menegang. “Di mana aku bisa menghubungi keponakan Anda?”

“Dia akan datang sebentar lagi. Anda boleh menunggu kalau mau, atau aku akan menghubungi Anda jika nanti dia datang.”

Jelas memilih yang terakhir, Rumson berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. “Aku bisa membaca cepat. Jika Anda mengirim naskahnya ke atas, aku dan keponakan Anda mungkin bisa bertemu satu atau dua jam kemudian.”

Setelah Rumson pergi, Alvirah bertanya pada Willy, “Apa yang kau pikirkan?”

“Untuk ukuran seorang produser terkenal, orang itu tampak penggugup. Aku benci dengan orang yang suka mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Membuatku senewen.”

“Dia tampaknya cukup senewen dan aku tidak terkejut,” jawab Alvirah sambil tersenyum misterius.

Kurang dari semenit kemudian, bel pintu berdering lagi. Alvirah bergegas ke pintu. Emmy Laker tampak berdiri di sana, seuntai rambutnya yang merah terlepas dari sanggulnya, kacamata gelap menutupi sebagian wajahnya, T-shirt menempel di tubuhnya yang langsing, rok katunnya berwarna-warni. Alvirah berpikir, Emmy tampak seperti gadis berusia enam belas tahun.

“Pria yang baru saja pergi,” ujarnya terbata-bata, “siapa dia?”

“Carlton Rumson, sang produser,” jawab Alvirah cepat. “Kenapa?”

“Karena…,” Emmy melepaskan kacamata gelapnya, memperlihatkan matanya yang sembap.

Alvirah meletakkan tangannya di pundak gadis itu dengan sikap tegas. “Emmy, ada apa?”

“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan,” erangnya. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

Carlton Rumson kembali ke apartemennya. Butiran keringat membasahi keningnya. Alvirah Meehan bukan orang bodoh, katanya memperingatkan diri sendiri. Sindiran mengenai sampanye bukan sekadar kebetulan. Berapa banyak yang ia curigai?

  Victoria berdiri di teras, tangannya menyentuh pagar pembatas. Dengan enggan ia bergabung dengan istrinya. “Demi Santo Peter, apakah kau tidak membaca peringatan di seluruh tempat ini?” desaknya. “Satu dorongan keras dan pagar pembatas ini bisa patah.”

Victoria mengenakan celana panjang putih dan sweater sewarna. Dengan masam Rumson teringat akan komentar sialan seorang pengamat mode yang pernah menulis sekali dalam artikelnya bahwa dengan kecantikan pirang pucatnya, Victoria Rumson hanya cocok mengenakan busana berwarna putih. Victoria mencamkan nasihat tersebut dengan baik dan sejak itu ongkos dry cleaning-nya saja bisa membuat orang bangkrut.

Ia menoleh ke arah suaminya dengan tenang. “Aku perhatikan bahwa kau selalu menjadi kasar terhadapku setiap kali kau sedang kesal. Apakah kau tahu bahwa Fiona Winters juga tinggal di gedung ini? Atau mungkin ia tinggal di sini karena permintaanmu?”

“Vic, aku tidak pernah bertemu Fiona lagi selama dua tahun. Sayang sekali kalau kau tetap tidak percaya kepadaku.”

“Asalkan kau tidak menemuinya kemarin, Sayang. Setahuku, polisi mulai bertanya-tanya. Cepat atau lambat, mereka akan tahu bahwa kau dan dia pernah —seperti yang dikatakan wartawan gosip— menjadi sepasang kekasih.” Victoria berhenti sejenak. “Oh, well, aku yakin kau dapat mengatasinya dengan penuh percaya diri seperti biasa. Ngomong-ngomong, apakah kau sudah membaca naskah Brian McCormack? Aku merasakan firasat yang bagus mengenai karyanya ini, seperti biasa.”

Rumson berdehem. “Alvirah Meehan akan menyuruh McCormack mengantarnya kemari sore ini. Setelah aku membacanya, aku akan turun menemuinya.”

“Aku ingin membacanya juga. Dan mungkin aku juga akan ikut turun bersamamu. Aku ingin sekali melihat bagaimana seorang wanita petugas kebersihan menata rumahnya.”

Victoria Rumson mengaitkan lengannya pada lengan suaminya. “Sayangku yang malang. Mengapa kau begitu gugup?”

Ketika Brian mendorong Alvirah masuk ke apartemennya, dengan naskah pertunjukan dalam kepitan lengannya, dia menemukan Emmy berbaring di sofa bibinya, berselimutkan selimut tipis. Alvirah menutup pintu di belakangnya dan mengawasi ketika Brian berlutut di samping Emmy dan merengkuhnya dalam pelukan. “Aku sebaiknya masuk dan membiarkan kalian bicara berdua,” ujar Alvirah.

Di kamar, Willy meletakkan pakaian yang dikenakannya di atas tempat tidur. “Jaket yang mana, Sayang?” tanyanya sambil mengacungkan dua buah jaket sport.

Kening Alvirah berkerut. “Kau ingin kelihatan keren di pesta pensiun Pete, tapi jangan sampai juga kelihatan seperti mau pamer. Kenakan jaket yang biru dengan kaus sport putih.”

“Aku tidak enak meninggalkan kau sendirian malam ini,” protes Willy.

“Kau harus menghadiri pesta Pete,” tegas Alvirah. “Dan Willy, sekali lagi aku harap kau memperbolehkanku memesan mobil dan sopir untukmu malam ini.”

“Sayang, kita bayar mahal untuk biaya parkir setiap bulannya di sini. Tidak ada gunanya memboroskan uang.”

“Kalau begitu, jika kau sudah terlalu bersenang-senang, aku ingin kau berjanji tidak akan berkendaraan pulang sendiri. Tinggallah di apartemen kita yang lama. Kau tahu sendiri bagaimana jika kau sudah bergabung bersama teman-temanmu.”

Willy tersenyum malu-malu. “Maksudku, jika aku mulai menyanyikan Danny Boy lebih dari dua kali, itu tandanya aku mulai mabuk.”

“Tepat sekali,” tegas Alvirah.

“Sayang, aku masih letih sekali setelah perjalanan kemarin, ditambah dengan apa yang terjadi semalam, aku hanya akan minum beberapa gelas bir bersama Pete kemudian langsung pulang.”

“Tidak baik kesannya nanti. Pete hadir di pesta kemenangan undian berhadiah kita sampai pagi hari ketika jalanan mulai macet. Nah, sekarang kita harus bicara dengan kedua anak itu.”

Di ruang duduk Brian dan Emmy duduk berdempetan berpegangan tangan. “Apakah kalian sudah meluruskan masalahnya sekarang?” tanya Alvirah.

“Tidak juga,” jawab Brian. “Tampaknya Emmy mendapat kesulitan dengan Rooney ketika ia menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya.”

Alvirah duduk. “Aku harus tahu semua yang dikatakannya padamu.”

Emmy menceritakan dengan ragu-ragu. Suaranya menjadi lebih tenang dan tidak gugup lagi ketika ia berkata, “Brian, kau akan menjadi tertuduh. Dia memaksaku untuk mengatakan hal-hal yang memberatkan dirimu.”

“Maksudmu kau berusaha untuk melindungiku?” kata Brian kelihatan terkejut.

“Tidak perlu. Aku tidak melakukan apa pun. Aku pikir ….”

“Kau pikir Emmylah yang sedang mengalami masalah,” Alvirah memotong kalimatnya. Ia duduk di sebelah Willy di kursi di hadapan mereka. Alvirah sadar bahwa Brian dan Emmy duduk tepat di hadapan meja koktail dengan bekas sidik jari yang sudah ia hapus. Gorden tampak di belakang mereka sedikit ke kanan. Bagi seseorang yang duduk di kursinya saat ini, tali pengikat gorden tampak dengan jelas. “Aku akan melakukan sesuatu pada kalian,” katanya. “Kalian masing-masing mengira bahwa salah satu dari kalian terlibat dalam pembunuhan ini. Brian, adakah sesuatu yang kau sembunyikan mengenai pertemuan dengan Fiona kemarin?”

“Sama sekali tidak ada.”

“Baik. Emmy, bagaimana denganmu?”

Emmy berjalan ke jendela. “Aku suka pemandangan di sini.” Ia menoleh pada Alvirah dan Willy, lalu bercerita mengenai kedatangan Fiona yang tiba-tiba dan tidak diharapkan ke apartemennya kemarin. “Kemarin ketika Fiona meninggalkan apartemenku untuk menemui Brian, aku seperti gila rasanya. Brian sangat tergila-gila padanya dan aku tidak tahan membayangkan bahwa hal itu akan terjadi lagi. Fiona adalah tipe wanita yang memesona pria mana pun. Aku takut Brian akan kembali padanya.”

“Aku tidak pernah,“ protes Brian.

“Diamlah Brian,” perintah Alvirah.

“Aku duduk di bangku taman lama sekali,” lanjut Emmy. “Aku lihat Brian pergi meninggalkan apartemen. Waktu Fiona tidak menyusul, aku mulai berpikir mungkin Brian menyuruhnya menunggu. Akhirnya aku masuk untuk berhadapan dengannya. Aku mengikuti seorang pegawai masuk melalui pintu servis dan naik menggunakan lift barang karena tidak ingin ada seorang pun yang melihatku. Aku menekan bel pintu, menunggu, menekan bel lagi, lalu kemudian pergi.”

“Itu saja?” tanya Brian. “Kenapa takut mengatakannya pada Rooney?”

“Karena, ketika Emmy mendengar berita bahwa Fiona terbunuh, ia pikir alasan gadis itu tidak membukakan pintu karena pasti kau telah membunuhnya.” Alvirah mencondongkan tubuhnya ke depan. “Emmy, kenapa kau menanyakan tentang Carlton Rumson tadi? Kau melihatnya kemarin, bukan?”

“Ketika aku berjalan sepanjang gang dari lift barang, ia ada di depanku berjalan menuju lift tamu. Aku ingat dia karena wajahnya sudah tak asing bagiku, tapi aku tak dapat mengenalinya sampai aku melihatnya tadi pagi.”

Alvirah berdiri. “Aku pikir sebaiknya kita menghubungi Mr. Rumson dan memintanya untuk kemari dan kupikir kita juga harus menghubungi Rooney dan memintanya datang kemari. Tapi, sebelum itu Brian, berikan naskah pertunjukanmu pada Willy agar ia dapat mengantarnya ke apartemen Rumson. Coba kita lihat, sekarang hampir pukul lima sore. Willy, tolong katakan pada Mr. Rumson untuk menghubungi kita jika ia sudah selesai membaca naskah itu.”

Bunyi intercom. Willy menjawabnya. “Rooney sudah datang,” katanya. “Ia mencarimu, Brian.”

Sikap detektif itu tampak tidak ramah waktu ia memasuki ruangan beberapa menit kemudian. “Brian,” ujarnya tanpa basa-basi, “aku harus membawa Anda ke kantor polisi untuk interogasi lebih lanjut. Anda sudah menerima peringatan Miranda. Aku ingatkan lagi bahwa apa pun yang Anda katakan dapat digunakan sebagai bukti di persidangan nanti.”

Gadis itu memang bukan gadis yang ramah, tapi bukan berarti ia layak dibunuh!

Dia tidak akan pergi ke mana-mana,” tegas Alvirah. “Dan sebelum Anda meninggalkan tempat ini, Detektif, aku ingin menyampaikan beberapa hal.”

Dua jam kemudian, hampir pukul tujuh malam, Carlton menelepon mereka. Alvirah dan Willy mengatakan kepada Rooney soal botol sampanye, gelas-gelas, dan sidik jari di meja koktail, serta Emmy yang mengenali Carlton Rumson. Tapi, Alvirah menyadari bahwa semua hal tersebut tidak berpengaruh bagi Detektif Rooney. Ia sudah menetapkan pikirannya bahwa semua cerita itu tidak cocok dengan teorinya mengenai Brian, pikir Alvirah.

Beberapa menit kemudian Alvirah terkejut melihat pasangan Rumson memasuki apartemennya. Victoria Rumson tersenyum ramah. Ketika dikenalkan kepada Brian, ia menyalami kedua tangannya dan berkata, “Kau benar-benar seperti Neil Simon muda. Aku baru saja membaca naskah pertunjukanmu. Luar biasa, kuucapkan selamat.”

Ketika diperkenalkan kepada Detektif Rooney, wajah Carlton Rumson memucat. Dengan tergagap ia berkata kepada Brian, “Maaf jika kami mengganggu. Aku akan singkat saja. Karyamu bagus sekali. Aku ingin mementaskannya. Tolong sampaikan pada agenmu untuk menghubungiku besok pagi.”

Victoria Rumson berdiri di teras. “Kau pintar sekali membiarkan pemandangan ini tidak terhalang sesuatu pun,” katanya pada Alvirah. “Penata ruangku memasang gorden venetian blinds. Hasilnya, aku jadi seperti menatap dinding belakang gedung lain.”

Sepertinya ia menelan obat murah hati tadi pagi, pikir Alvirah.

“Kupikir sebaiknya kita semua duduk,” usul Detektif Rooney.

Pasangan Rumson duduk dengan enggan.

“Mr. Rumson, apakah Anda kenal dengan Fiona Winters?” tanya Rooney.

Alvirah mengira ia sudah meremehkan detektif ini dengan perkiraannya tadi. Rooney mencondongkan tubuhnya dan raut mukanya menjadi lebih serius.

“Miss Winters berperan dalam beberapa pertunjukan yang dibuat oleh rumah produksiku beberapa tahun yang lalu,” jawab Rumson. Ia duduk di salah satu kursi di sebelah istrinya. Alvirah melihat ia beberapa kali menoleh ke arah istrinya.

“Aku tidak tertarik pada apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu,” tukas Rooney. “Aku tertarik dengan apa yang terjadi kemarin. Apakah Anda menemuinya kemarin?”

“Tidak,” suara Rumson terdengar tegang dan penuh pembelaan diri di telinga Alvirah.

“Apakah gadis itu menelepon Anda dari rumah ini?” tanya Alvirah.

“Mrs. Meehan, jika Anda tidak keberatan, aku yang mengadakan tanya jawab ini,” potong detektif itu.

“Tunjukkan sedikit rasa hormat jika Anda berbicara kepada istriku,” Willy meradang.

Victoria Rumson menepuk lengan suaminya. “Darling, jangan takut kau akan menyakiti hatiku. Jika gadis Winters itu merepotkanmu lagi, please, jangan ragu untuk mengatakan apa yang ia inginkan.”

Rumson tampak seperti bertambah tua dalam sekejap di hadapan mereka. Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya terdengar letih. “Seperti yang kukatakan, Fiona Winters berperan dalam beberapa produksi filmku. Ia….“

“Gadis itu juga pernah punya hubungan pribadi dengan Anda,” potong Alvirah. “Anda pernah membawanya ke Cypress Point Spa.”

Rumson melotot ke arahnya. “Aku sudah tidak berhubungan dengan Fiona Winters selama beberapa tahun ini,” katanya. “Ya, benar ia meneleponku kemarin selepas tengah hari. Ia berkata bahwa ia ada di sini dan ia punya naskah pertunjukan yang ia ingin aku baca, meyakinkanku bahwa karya ini akan sukses besar dan ia ingin berperan sebagai pemeran utamanya. Aku sedang menunggu telepon dari Eropa dan setuju untuk turun kemari dan menemuinya dalam waktu satu jam lagi.”

“Itu artinya ia menelepon Anda setelah Brian pergi,” sela Alvirah dengan nada senang. “Itulah sebabnya botol dan gelas sampanye disiapkan untuk Anda.”

“Apakah Anda datang kemari, Mr. Rumson?” tanya Rooney.

Sekali lagi Rumson tampak ragu-ragu.

“Darling, tidak apa-apa,” Victoria Rumson berkata dengan lembut.

Tanpa berani menatap Detektif Rooney, Alvirah mengumumkan, “Emmy melihat Anda di koridor beberapa menit setelah pukul satu siang.”

Rumson meloncat berdiri. “Mrs. Meehan, aku tidak ingin mendengar sindiran Anda sekali lagi. Aku khawatir Fiona akan terus berusaha menghubungiku jika aku tidak turun dan menemuinya untuk terakhir kali. Aku datang kemari, menekan bel pintu. Tidak ada jawaban. Pintu sedikit terbuka, jadi aku langsung membukanya dan memanggilnya. Aku sudah datang sejauh ini, aku ingin menyelesaikannya.”

“Apakah Anda masuk ke apartemen ini?” tanya Rooney.

“Ya. Aku masuk sampai ke ruangan ini, melongok ke dapur dan ke kamar tidur. Ia tidak ada di mana-mana. Aku pikir ia sudah berubah pikiran dan sejujurnya aku merasa lega. Aku mendengar berita tadi pagi, yang dapat terpikir olehku hanyalah mungkin selama aku di sini kemarin, mayatnya ada di dalam lemari dan aku dapat dituduh terlibat perkara ini.” Ia menoleh ke arah istrinya. “Aku rasa dalam beberapa hal aku memang terlibat, tapi aku bersumpah bahwa apa yang barusan kukatakan tidak bohong.”

Victoria menyentuh tangan suaminya, “Tidak mungkin mereka akan melibatkanmu dalam perkara ini. Beraninya wanita itu berpikiran bahwa ia akan memerankan peran utama dalam Nebraska Nights.” Victoria menoleh kepada Emmy. “Orang seusiamu yang seharusnya pantas memerankan Diane.”

“Memang,” kata Brian. “Aku belum sempat memberitahukannya.”

Rumson menoleh kepada istrinya dengan tidak sabar, “Bukankah maksudmu…?”

Rooney memotong kalimatnya seraya menutup catatannya. “Mr. Rumson, aku akan membawa Anda ke kantor polisi untuk membuat pernyataan. Begitu juga dengan Anda, Emmy, aku ingin keterangan selengkapnya. Brian, kami ingin berbicara dengan Anda lagi dan aku sarankan sebaiknya Anda didampingi pengacara.”

“Tunggu sebentar,” potong Alvirah. “Sepertinya Anda lebih percaya cerita Mr. Rumson daripada Brian.” Hilanglah kesempatan karya Brian diproduksi Rumson, tapi hal ini lebih penting daripada pementasan teater, batinnya. “Yang ingin Anda katakan adalah mungkin Brian berniat untuk pergi, memutuskan untuk kembali dan mengusir Fiona kemudian berakhir dengan membunuhnya. Aku beri tahu Anda bagaimana pembunuhan ini terjadi. Rumson turun kemari kemudian bertengkar dengan Fiona. Rumson kemudian mencekik gadis itu, cukup cerdik untuk mengambil naskah yang ditunjukkan gadis itu kepadanya.”

“Sama sekali tidak benar,” sahut Rumson dengan ketus.

“Aku tidak ingin ada diskusi lagi mengenai masalah ini di sini,” perintah Rooney. “Emmy, Mr. Rumson, Brian, mobilku ada di parkiran. Mari kita pergi.”

Sewaktu pintu ditutup, Willy merengkuhkan lengannya di tubuh Alvirah. “Honey, aku akan melewatkan pesta di rumah Pete. Aku tidak bisa meninggalkan dirimu sekarang. Kau seperti mau ambruk.”

Alvirah balas merangkulnya. “Tidak, kau harus pergi. Aku sudah merekam semua percakapan tadi. Aku ingin mendengarkan dan menyimaknya sekali lagi dan akan lebih baik jika aku melakukannya sendirian. Kau bersenang-senanglah.”

Apartemen terasa sunyi setelah Willy pergi. Alvirah memutuskan untuk berendam di kolam jacuzzi untuk menghilangkan rasa penat di tubuhnya dan menjernihkan pikirannya.

Sesudahnya, dengan mengenakan gaun tidur favoritnya dan jubah mandi milik Willy yang terbuat dari bahan handuk, Alvirah duduk di meja makan menyiapkan seperangkat alat pemutar kaset yang mahal pemberian editor harian Globe. Ia mengambil kaset mungil dari alat perekam dalam peniti hias bentuk mataharinya, memasukkannya dalam alat pemutar dan menekan tombol putar. Ia memasang kaset baru dalam alat perekam dan memasangkan peniti hias pada jubah mandinya, kalau-kalau ia ingin menyuarakan pemikiran nanti. Ia duduk mendengarkan percakapan dengan Detektif Rooney, dengan Emmy, dengan pasangan Rumson.

Apa itu dalam diri Rumson yang membuat perasaannya tidak enak? Dengan sistematis, Alvirah memeriksa kembali pertemuan pertama dengan pasangan Rumson ini. Si pria tampak acuh tak acuh malam itu. Tapi, ketika mereka bertemu kembali keesokan harinya, sikapnya jelas-jelas berubah, katanya pada diri sendiri. Pria itu bahkan mengingatkanku bahwa ia ingin segera membaca naskah karya Brian. Alvirah ingat komentar Brian bahwa Carlton Rumson itu sulit didekati.

Itu dia, pikirnya. Pria itu sudah mengetahui seberapa bagus naskah tersebut. Ia tidak bisa mengakui bahwa ia telah membacanya.

Telepon berdering. Terkejut, Alvirah bergegas mengangkatnya. Ternyata Emmy. “Mrs. Meehan,” bisiknya, “mereka masih menginterogasi Brian dan Mr. Rumson, tapi aku tahu mereka pasti menganggap Brian bersalah.”

“Aku sudah memecahkannya,” kata Alvirah penuh kemenangan. “Seberapa jelas kau mengenali Mr. Rumson ketika ia berjalan di koridor?”

  “Jelas sekali.”

“Jika begitu, kau dapat melihat apakah dia membawa naskah itu atau tidak, ‘kan? Maksudku, jika ia tidak berbohong mengenai maksud kedatangannya yang hanya untuk menyelesaikan masalah dengan Fiona dan ia tidak pernah mengambil naskah tersebut. Tapi, jika mereka berdua sempat membicarakan naskah tersebut dan dia sempat membacanya sebelum membunuh gadis itu, ia pasti telah mengambilnya. Emmy, kupikir aku sudah berhasil mendapatkan jawaban kasus pembunuhan ini.”

Suara Emmy nyaris tak terdengar. “Mrs. Meehan, aku yakin Carlton Rumson tidak membawa apa-apa waktu aku melihatnya di koridor. Sekiranya Detektif Rooney berpikir untuk menanyakan hal yang sama padaku? Jawabanku tadi akan menyulitkan Brian, bukan?”

“Kau harus menjawab sejujurnya,” kata Alvirah dengan nada sedih. “Jangan khawatir. Aku sedang berpikir.” Ketika dia meletakkan gagang telepon, dia memasang alat pemutar kasetnya sekali lagi. Ia mengulang bagian percakapan dengan Brian beberapa kali. Ada sesuatu yang dikatakan Brian padanya yang terlewatkan.

Akhirnya ia bangkit, memutuskan bahwa sedikit udara segar akan menjernihkan pikirannya. Udara New York memang tidak segar, pikirnya lagi, seraya membuka pintu teras dan melangkah ke luar. Sekali ini dia langsung menuju ke pagar pembatas dan menyentuhkan jemarinya di atas permukaan pagar pembatas dengan lembut. Willy pasti akan marah jika melihatnya berdiri sedekat ini dengan pagar pembatas, pikirnya. Tapi, aku, toh, tidak akan bersandar di pagar pembatas ini. Hanya saja, aku merasa tenang setiap kali memandang ke arah taman di kejauhan dari atas sini. Taman. Aku teringat masa-masa paling bahagia dalam kehidupan ibuku, ketika itu Ibu berkuda berkeliling taman. Usianya baru enam belas tahun ketika itu, dan ia selalu membicarakan pengalaman itu selama hidupnya. Sahabatnya, Beth, yang mengajaknya di hari ulang tahunnya. Beth!

Beth!

Itu dia! Pikir Alvirah. Sekali lagi ia seolah mendengar Brian berkata bahwa Fiona Winters ingin memerankan Diane. Kemudian Brian meralat ucapannya sendiri dengan berkata, “Maksudku Beth.” Willy menanyakan siapa nama-nama itu dan menggantinya dalam naskah terakhir yang diperbaikinya. Alvirah menyalakan alat perekamnya dan berdehem. Lebih baik aku selesaikan sekarang, ia mengingatkan dirinya sendiri. Akan sangat membantu untuk mendapatkan kesan pertamanya dalam menulis artikel ini untuk harian Globe nanti.

“Bukan Carlton Rumson yang membunuh Fiona Winters,” ujarnya keras-keras dengan penuh percaya diri. “Pasti istrinya, see-no-evil Vicky, yang telah membunuhnya. Dialah yang memaksa Rumson untuk membaca naskah itu. Ia juga yang berkata bahwa Emmy lebih pantas memerankan Diane, ia tidak tahu bahwa Brian telah mengubah nama tokoh itu. Dan Rumson berusaha meralatnya, karena ia hanya membaca naskah versi terakhir yang telah diperbaiki. Victoria pasti mencuri dengar ketika Fiona menelepon suaminya. Ia datang kemari ketika Rumson sedang menunggu telepon dari Eropa. Ia tidak ingin Fiona terlibat hubungan asmara lagi dengan suaminya, sehingga dibunuhnya gadis itu, kemudian diambilnya naskah tersebut. Itulah yang dibacanya, bukan versi terakhir yang sudah diperbaiki.

“Kau sungguh pandai, Mrs. Meehan.” Satu suara terdengar tepat di belakangnya. Dan sebelum Alvirah dapat mengedipkan matanya, sepasang lengan kuat mendorong punggungnya. Alvirah berusaha membalikkan badannya ketika dirasakan tubuhnya terdesak ke arah pagar pembatas. Bagaimana Victoria Rumson dapat masuk ke apartemen ini, tanyanya. Kemudian sekilas diingatnya bahwa kunci milik Brian tergeletak di meja serambi. Pasti Victoria yang mengambilnya.

Dengan segenap kekuatan Alvirah mendorong badannya ke arah penyerangnya, tapi pukulan pada sisi lehernya mengejutkannya. Alvirah hanya dapat memutar tubuhnya sehingga ia sekarang berhadapan dengan wanita itu, tapi pukulan tadi terbukti berhasil dan ia merasa tubuhnya terkulai ke arah pagar pembatas. Samar-samar ia dapat mendengar suara deritan benda patah dan perasaan bahwa tubuhnya melayang di atas lubang yang menganga.

Pesta di rumah Pete meriah sekali. Ruangan K di C, Flushing penuh oleh teman-teman lama Willy. Bau sosis, lada, daging sapi cacah dan kubis bercampur menjadi satu aroma yang mengundang selera. Bir dari gentong yang pertama telah dituang dan wajah Pete tampak berbinar-binar menyapa teman-temannya satu per satu, menyilakan mereka untuk minum sepuasnya.
Tapi, Willy sedang tidak berminat untuk berpesta. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak enak, menggerogoti kesadarannya, mengatakan pada dirinya bahwa seharusnya ia segera pulang. Ia menyesap birnya, mengunyah hidangan pembuka yang disodorkan padanya dengan enggan, memberi selamat pada Pete dan tanpa menunggu satu bait pun lagu Danny Boy, Willy menyelinap keluar dan menuju ke mobilnya.

Ketika Willy tiba di apartemen, pintu depannya terbuka, seketika tombol alarm panik dalam dirinya bekerja. “Alvirah,” panggilnya dengan gugup. Kemudian ia melihat dua bayangan di teras apartemennya. “O, Tuhanku!” erangnya, lalu berlari menuju teras sambil meneriakkan nama Alvirah.

“Masuklah ke dalam, Sayang,” pintanya. “Jauhi pagar pembatas itu.” Namun, seketika Willy menyadari apa yang sedang terjadi. Wanita yang satu lagi tengah berusaha untuk mendorong Alvirah ke arah pagar pembatas. Ia melangkah ke teras bersamaan dengan sebagian pagar yang mulai patah dan terlepas di belakang Alvirah.

Willy maju selangkah ke arah dua wanita yang sedang bergulat itu, kemudian pingsan.

Emmy duduk di ruang tunggu kantor polisi, menunggu giliran diinterogasi. Pikirannya cemas akan Brian. Emmy tahu, Detektif Rooney mempercayai keterangan Carlton Rumson bahwa ia pergi ke apartemen milik Alvirah, mengira tidak ada orang di sana lalu pergi. Jelas sekali bahwa Rooney sudah mengambil keputusan bahwa Brianlah yang membunuh Fiona.

Tidak dapatkah detektif itu melihat bahwa tidak ada alasan bagi Brian untuk membunuh Fiona? Emmy merasa tersiksa. Brian pernah berkata padanya bahwa sewaktu Fiona meninggalkan pertunjukannya, gadis itu sebenarnya telah membantu Brian. Menunjukkan kepadanya, wanita seperti apa sebenarnya dia. Oh, harusnya aku tidak perlu merasa marah ketika Fiona muncul di apartemenku waktu itu, pikir Emmy. Brian tidak mungkin menjalin hubungan kembali dengan Fiona, Emmy yakin akan hal itu. Tetapi, ketika ia berusaha meyakinkan Detektif Rooney akan hal itu, pria itu balik bertanya, “Jika engkau begitu yakin Brian sudah tidak berhubungan lagi dengan Fiona, mengapa kau membuntuti gadis itu ke apartemen Bibi Brian?”

Emmy menekan-nekan pelipisnya. Sakit sekali kepalanya! Mustahil rasanya untuk percaya bahwa hanya beberapa hari yang lalu Brian menyuruhnya membaca naskah pertunjukannya yang baru dan meminta pendapatnya untuk mengganti nama tokoh utamanya, Diane menjadi Beth.

“Nama Diane mengesankan pribadi yang kuat,“ ujarnya. “Menurutku, tokoh ini berkepribadian rapuh bahkan agak tragis, tapi kemudian seiring perkembangan cerita, kita tahu bahwa ia juga punya kepribadian yang cukup kuat. Apa pendapatmu jika aku mengganti namanya menjadi Beth?”

“Aku menyukainya,” jawab Emmy.

“Baguslah,” kata Brian. “Karena kau adalah inspirasi tokoh ini dan aku ingin kau merasa senang dengan nama yang kupilih. Aku mengubahnya dalam naskah terakhir.”

Emmy menegakkan tubuhnya dan menatap ke depan, tidak lagi merasa terganggu dengan lampu yang menyilaukan di ruang tunggu interogasi ataupun merasa bising dengan kesibukan di sekitarnya. Beth ... Diane .…

Itu dia! Pikirnya tiba-tiba. Tadi malam Victoria Rumson mengatakan bahwa aku pantas memerankan tokoh Diane. Tapi, dalam naskah terakhir, yang seharusnya ia baca, nama tokoh itu sudah diganti. Mestinya Victoria membaca naskah yang belum sempat diperbaiki yang dinyatakan hilang di apartemen Alvirah. Itu artinya, Victoria ada di sana bersama Fiona. Tentu saja, semuanya cocok sekarang! Mungkin kemampuan Victoria Rumson untuk mengacuhkan selingkuh-selingkuh suaminya telah mencapai batasnya, ketika ia nyaris kehilangan sang suami beberapa tahun yang lalu, gara-gara Fiona Winters.

Emmy meloncat bangkit dan berlari keluar dari kantor polisi. Ia harus segera bicara dengan Alvirah. Ia mendengar suara polisi berusaha menghentikannya, tapi tidak mengacuhkannya seraya melompat masuk ke dalam taksi.

Ketika ia sampai di gedung apartemen Alvirah, Emmy berlari menuju lift, melewati penjaga pintu yang terperangah. Emmy mendengar suara Willy yang berteriak ketika ia menyusuri koridor. Pintu masuk apartemen terbuka lebar. Ia melihat Willy terhuyung-huyung menuju teras dan jatuh. Kemudian dilihatnya bayangan dua wanita dan segera menyadari apa yang sedang terjadi.

Dengan secepat kilat Emmy berlari ke teras. Posisi Alvirah menghadap dirinya, limbung nyaris terjungkal. Tangan kanannya mencengkeram bagian pagar pembatas yang masih utuh, tapi dengan segera akan kehilangan pegangan karena dilihatnya Victoria Rumson memukuli pergelangan tangan Alvirah dengan tinjunya.

Emmy menarik lengan Victoria dan memuntirnya ke belakang. Victoria berteriak marah dan kesakitan, suaranya mengatasi suara ribut pagar pembatas yang jatuh berderak ke bawah. Emmy mendorongnya ke samping dan berhasil memegang tali jubah mandi Alvirah. Alvirah berusaha menjaga keseimbangannya. Selop kamarnya meluncur turun dari teras. Tubuhnya bergoyang, melayang di atas ketinggian tiga puluh empat tingkat dari kaki lima di bawah. Dengan satu sentakan akhir penuh tenaga, Emmy menariknya ke depan dan mereka jatuh bertindihan di atas tubuh Willy yang tak sadarkan diri.

Alvirah dan Willy bangun siang. Ketika mereka akhirnya beranjak dari tempat tidur, Willy memaksa Alvirah untuk tetap tinggal di tempat tidur. Willy ke dapur dan lima belas menit kemudian kembali dengan nampan berisi segelas besar sari jeruk, seteko teh panas, dan sepotong roti bakar. Setelah Alvirah menghabiskan cangkir tehnya yang kedua, ia kembali merasa optimistis. “Boy, bagus sekali Detektif Rooney menerobos masuk tadi malam, tak lama sesudah Emmy datang, karena Victoria berusaha melarikan diri. Dan kau tahu apa yang kupikir, Willy?”

“Aku tidak pernah tahu apa yang kau pikirkan, Honey,” jawab Willy sambil mendesah.

“Well, aku berani bertaruh, Carlton Rumson masih tetap akan mementaskan karya Brian. Aku yakin ia tidak akan meneteskan air mata setitik pun mengetahui bahwa Victoria akan dipenjara.”

“Kau mungkin benar,” aku Willy. “Pasangan itu tidak seperti sepasang kekasih.”

“Dan Willy…,” kata Alvirah mengambil kesimpulan, “aku ingin kau berbicara dengan Brian. Katakan kepadanya kalau ia sebaiknya segera menikah dengan Emmy, anak manis itu, sebelum orang lain melamarnya.” Wajah Alvirah berbinar. “Aku punya hadiah istimewa bagi pasangan itu, seperangkat perabot rumah berwarna putih.”

No comments: