12.22.2010

Mengarak Purnama

Elen
Malam ini malam Minggu. Saat yang bagi orang lain mungkin dianggap tepat untuk bersenang-senang. Tapi, tidak dengan Elen. Ia telah lupa bagaimana rasanya bersenang-senang itu. Apakah seperti perasaan anak-anak yang tertawa lepas saat bermain lumpur dengan babi kesayangannya atau ketika melihat sebuah chopter terbang rendah di langit? Jika memang begitu, berarti benar, ia telah lupa, karena tertawa pun ia sudah tidak ingat lagi kapan terakhir dilakukannya.

Sejak menyandang status sebagai istri di usia 15, beban hidup yang dipikul Elen makin lama makin berat, hingga mendesak keluar semua ceria, harapan, bahkan impiannya. Masalah yang menderanya seolah tak habis-habis hingga tidak menyisakan sedikit pun kesempatan pada bibirnya untuk melengkungkan senyum, apalagi tawa.

Tapi, sudahlah. Elen sadar sekarang bukan lagi masanya melakukan itu. Bersenang-senang hanya milik kaum pria, seperti kata suaminya, Yonas, “Tong laki-laki trapapa senang-senang. Tong su cape kerja cari uang. Kamorang perem urus ko pu paitua dan anak-anak sudah! (Kami laki-laki tidak apa-apa bersenang-senang. Kami sudah capek mencari uang. Kamu perempuan urus saja suami dan anak-anak.)”

Kebenaran kata-kata itu sangat disadari Elen. Sebab, memang begitulah aturan kehidupan berumah tangga yang diwariskan dalam masyarakatnya. Pria dan wanita sama-sama mempunyai tugas penting: bekerja untuk keluarga. Tapi, entah mengapa, ia sendiri tidak paham, pria boleh bersenang-senang dengan hasil kerjanya, sedangkan wanita dilarang.

Hasil kerja wanita, apa pun bentuknya (uang atau hasil kebun), hanya untuk keluarga. Kecuali, yang dalam bentuk uang, harus disisakan sedikit sebagai simpanan, kalau sewaktu-waktu suami yang kehabisan uang meminta. Padahal, jika dipikir-pikir, pekerjaan yang dilakukan Elen jauh lebih banyak dan berat daripada pekerjaan sang suami.

Sebagai seorang buruh bangunan, tugas Yonas memang tidak mudah. Pria itu harus pergi lebih pagi dan pulang jauh malam, sebab tempat kerjanya cukup jauh di pedalaman, daerah transmigran. Jam kerjanya begitu panjang hingga seakan tak ada cukup waktu untuknya beristirahat.

Ketika berangkat kerja, wajah Yonas tampak masih menyimpan tiga perempat mimpi sisa semalam. Ia meninggalkan rumah dengan kaki yang melangkah berat, seolah berusaha menarik paksa separuh jiwanya yang masih melekat di kaki ranjang.

Jika waktu pulang tiba, keadaannya pun tidak jauh lebih baik. Dengan tubuh kotor, ia bagai seekor macan yang berhasil membebaskan diri dari reruntuhan bangunan setelah terperangkap berhari-hari. Kedatangannya ditandai dengan bau cat, abu semen, dan kelelahan yang melimpah. Untuk hari itu, kerja Yonas selesai sudah.

Berbeda dari sang suami yang begitu mudah jatuh terlelap setelah menyantap menu makan malam dengan rakus, Elen justru merasa sebaliknya. Sebagai wanita, tugasnya seolah tidak pernah selesai sejak awal hari hingga waktu tidur tiba.

Sebelum merebahkan diri, ia harus memastikan banyak hal: apakah ketiga anaknya sudah tidur atau belum, apakah semua perabot makan sudah ditumpuk di belakang agar tinggal dicuci subuh nanti, apakah pintu sudah terkunci, dan apakah besok ia harus masak ubi atau sagu, sayurnya daun singkong atau bunga pepaya? Ah, semua itu membuat kantuk enggan singgah.

Namun, bila akhirnya kelelahan yang menumpuk seharian berhasil meredupkan sepasang matanya, ia pun dituntut tetap waspada, jika terdengar tangis bayi Elias, si kecil yang baru berumur satu tahun, yang kerap terbangun di ujung malam karena haus. Jika tidak cepat diatasi, keributan semacam itu bisa mengobarkan amarah sang suami yang kesal karena tidurnya terganggu.

“Dasar wanita tak tahu diri. Tidak tahu mengurus anak. Apakah kau tak lihat saya sedang tidur? Apakah kau mau dipukul?!”

“Ya, Tuhan. Selamatkan aku.”

Hanya sepenggal doa itulah yang berulang-ulang dirapal bibir Elen setiap kali Yonas mencaci-makinya. Karena, sering kali cacian itu disusul hantaman di kepala atau wajah. Doa sederhana yang cukup ampuh menenangkan hatinya yang teraniaya.

Pria itu tidak tahu bahwa apa pun yang ia lakukan seharian, ketiga anak mereka tak pernah lepas dari pengawasannya. Baik saat bekerja di rumah atau di kebun kecil di halaman belakang. Bahkan, di saat harus pergi ke pasar pun anak-anak itu dibawanya serta.

Si sulung, Lius, yang sudah enam tahun disuruhnya berjalan dekat di sebelahnya. Eva yang masih balita digendongnya di sisi tubuh. Sedangkan bayi Elias dibawanya dalam noken (tas rajut khas Papua) yang tergantung di atas kepala bersama barang bawaan. Sementara itu, si bungsu yang belum lahir terus membonceng di perutnya.
Tidakkah ia patut mendapat sedikit penghargaan berupa kesempatan tidur di malam hari, atau setidaknya sejumput pengertian atas ketidaksigapannya saat melakukan salah satu tugas sebagai istri atau ibu pada suatu kesempatan?

Tentu saja tidak!

Elen sangat tahu suaminya bukan tipe pria yang pengertian. Elen juga sangat mengenal sifat pria itu yang begitu egois dan ringan tangan. Tak jarang, Elen bahkan mulai yakin bahwa Yonas sering lupa bahwa dirinya sudah menikah dan menjadi bapak dari enam orang anak. Meninggal tiga, tapi akan bertambah satu tak lama lagi. Salah satu bukti, pria itu kerap membuatnya menunggu dalam cemas di setiap malam Minggu seperti sekarang, saat upah mingguan dibayarkan.

“Oh, Kakak. Kau ada di mana? Jangan habiskan semua uang itu, Kakak. Ingat anak-anakmu.“

Tanpa henti, pesan itu berusaha ditumpangkan Elen bersama angin yang berhembus sunyi. Berharap semoga sang suami yang sedang bersenang-senang entah di mana bisa mendengarkan.

Di luar malam menggelap pekat.

Virlie
Masih ada beberapa tumpuk berkas yang menunggu untuk disentuh di ujung meja. Padahal, setumpuk lain di depannya masih jauh dari selesai untuk dikerjakan. Virlie meluruskan punggung dengan setengah putus asa. Ia tidak bisa memastikan apakah semua berkas itu bisa selesai ia baca dalam semalam, dan apakah setelahnya ia masih bisa membuat laporan tentang semua itu. Sungguh ia tidak yakin.

Wanita itu memaksa matanya tetap terbuka dengan kembali meneguk sisa kopi dan mengudap camilan jagung bakar. Makanan yang cukup mengenyangkan dan katanya banyak tersedia pada jam-jam selarut ini di kota kecil tersebut.

Kota kecil di ujung paling timur negeri ini. Kota yang mengaduk-aduk perasa­annya, ketika pertama kali tiba beberapa hari lalu, setelah perjalanan kurang-lebih 10 jam dari Jakarta, yang diselingi transit di bandara Makassar dan Biak, lalu ganti pesawat di Jayapura.

“Oh, yang ini namanya Merauke?”

Virlie masih ingat komentar spontan yang terlontar dari mulutnya, saat melihat pemandangan yang menyambut di bandara. Ruangan yang dijejali sosok tubuh berkulit sekelam malam dan berambut serimbun semak. Udara yang dipadati aroma tubuh yang menyengat tajam. Wajah-wajah beraut keras yang tampak hampir serupa, dengan sorot mata yang dingin dan mengawasi. Semua itu bak sebingkai lukisan realis yang baru pertama kali dilihat Virlie. Menyadarkannya tentang besar tantangan yang menunggu dalam tugas kali ini.

Untunglah Virlie akhirnya menemukan sambutan hangat itu. Di antara kerumunan orang-orang di depan ruang kedatangan, seorang pemuda Komen (orang asli Papua) memberinya senyum lebar yang ramah. Di tangannya, tergenggam selembar karton putih bertuliskan: Virlie dan Anggi.

“Halo. Selamat datang di Merauke. Kenalkan saya Andreas.”

Virlie masih ingat ucapan santun pemuda itu, yang ternyata adalah pemandu dan pendamping mereka selama di kota tersebut. Andreaslah yang tadi membelikannya jagung bakar saat kebetulan singgah.

Di luar kamar, suasana malam Minggu perlahan memudar. Dari jendela yang tidak tertutup rapat, Virlie membiarkan angin membawa masuk aroma laut bercampur alkohol. Tiba-tiba, terdengar seorang pemabuk berteriak keras mengajak siapa pun menari. Namun, yang menjawab hanya detak jam dinding berseling desir kertas-kertas yang dibuka tergesa. Virlile kembali berpacu dengan malam.

Agenda Andreas Leo
Merauke, Maret minggu pertama
Hari ini aku menemui orang-orang dari Jakarta itu lagi. Mereka datang beberapa hari lalu atas nama sebuah lembaga yang membina yayasan sosial lokal tempatku bekerja. Aku menjemputnya sendiri di bandara. Aku sangat bersemangat, karena ketua yayasan memberi tahu bahwa keduanya wanita. Dan makin bersemangat, ketika melihat keduanya sama-sama cantik.

Wanita yang satu kukatakan cantik. karena menurutku wajahnya mirip salah satu artis sinetron idolaku. Bermata kenari, berhidung mancung, dan berbibir sensual. Bedanya, ia berkulit cokelat terang dan berambut sebahu. Saat kami berkenalan, ia tampak agak canggung dan hanya memberiku senyum sekadarnya, sambil menyebut nama, “Anggi.”

Wanita yang satu lagi bernama Virlie. Menurutku ia cantik karena berkulit putih mulus. Saking mulusnya, aku tidak menemukan setitik pun noda atau jerawat di wajahnya yang berhias kacamata. Berbeda dari Anggi, tamuku yang ini mempunyai mata serupa garis, yang entah bagaimana caranya akan tampak hilang jika ia tertawa. Jika dibandingkan dengan Anggi, Virlie tampak lebih bersahabat. Aku senang mengenalnya.

Pagi ini selepas dari gereja, aku langsung menjemput keduanya di hotel dekat jalan besar. Seharusnya, aku libur di hari Minggu. Menggunakannya untuk beristirahat di rumah atau berjalan-jalan dengan teman. Tapi, demi menemani para tamu itu, terpaksa aku tetap bekerja. Untunglah, tugasku tidak terlalu berat. Hanya menjadi pemandu mereka sekaligus sopir dan penerjemah bahasa setempat jika diperlukan.

Sesampai di hotel, kedua tamu itu telah menunggu di lobi. Setelah bertukar sapa dan kabar sebentar, Virlie menjelaskan rencana kami hari itu. Tujuan pertama adalah menghadiri sebuah pertemuan rutin di salah satu distrik dekat pantai. Pertemuan itu merupakan salah satu program pembinaan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan yayasan tempat kerjaku bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Ini pertemuan ketiga kami dengan beberapa kelompok wanita di sana. Semula, para mama (sebutan untuk wanita tua) bergegas pulang, begitu melihat si pembicara bukan orang yayasan yang mereka kenal, melainkan dua orang baru dengan penampilan khas kaum pendatang.

“Mama, jangan pulang dulu! Ayo, torang (kita) kumpul lagi. Mereka mau bicara.” Aku ikut membujuk para mama yang berhamburan keluar dari pintu.

“Penting ka?” tanya beberapa mama dengan sinis.

“Tentu saja. Mereka itu tamu yayasan dari Jakarta.”

Tapi, ternyata jawaban itu malah menyulut kesal mereka.

“Tong tra (tidak) mau dengar! Dong (mereka) pasti cuma mau tipu-tipu kitong.”

Kalimat mereka membuatku terpana sesaat. Aku tahu sikap mama-mama tersebut sangat beralasan. Dulu pun aku begitu. Pengalaman hidup telah memberi pelajaran pada kami untuk tidak lagi terlalu percaya pada setiap orang luar.

Dulu sekali, kami pernah sangat percaya pada mereka, bahwa mereka datang sebagai tamu yang baik. Namun, apa yang terjadi kemudian? Mereka malah menjarah seluruh milik kami. Membuat kami terusir dan terpinggirkan di kampung sendiri. Membuat kami miskin di tengah limpahan kekayaan alam tanah kami. Sungguh mereka pendatang yang tidak tahu adat!

Namun, berbeda dari mama-mama itu, aku telah mencapai suatu kesadaran setelah bergabung dengan yayasan sosial tempatku bekerja sekarang. Di sana, pikiranku mulai terbuka. Aku sadar bahwa masih ada orang luar yang betul-betul peduli pada nasib kami. Mereka mau membagi pengetahuannya dan memberikan pelayanan atas dasar solidaritas dan kemanusiaan.

Yah, walau kurasa mereka tidak akan pernah bisa mengerti penderitaan kami, tapi uluran tangan itu sebaiknya diterima. Bukankah rakyat daerahku harus maju dan terpelajar agar bisa bersaing dan tidak dibodohi?

Akhirnya, penolakan para mama di hari itu berhasil diatasi, ketika beberapa rekan seyayasan turun tangan. Mama-mama itu diyakinkan bahwa kedua tamuku akan memberikan pengarahan tentang banyak hal yang berguna bagi mereka. Benar saja, ketika pertemuan mulai berjalan, para mama tampak serius memperhatikan penjelasan dari Virlie dan Anggi, yang disertai pemutaran slide show. Hari itu, kulihat rona lega di wajah kedua tamuku.

Kembali ke pertemuan hari ini.

Sebenarnya, semua akan berjalan lancar seperti biasa seandainya tamuku yang bernama Virlie tidak tiba-tiba tertarik bertanya tentang salah satu anggota pertemuan yang tidak hadir. Seorang ibu muda yang dihapalnya sedang hamil besar, dengan sepasang kaki yang bengkak, dan selalu membawa tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil di setiap kali pertemuan.

“Mungkin dia sakit, Ibu,” jawab seorang wanita yang menggendong balita tanpa baju.

“Sakit apa?” tanya Virlie, prihatin.

Sesaat, wanita itu terdiam seakan berusaha mencari kata yang tepat, “wajahnya dipukul suaminya. Langsung bengkak.”

“Apa?! Dipukul? Oleh siapa?” seru Virlie kaget.

Aku mengangguk pelan, “Suaminya. Mungkin dia sedang mabuk. Kejadian begitu sudah biasa di sini.”

Tamuku malah merespons dengan sebuah perintah baru.

“Andreas, pulang nanti kita ke rumah ibu itu. Aku ingin sekali menjenguknya.”

Rumah itu beratap rumbia. Lantainya dari tanah yang dilapisi debu kaki campur keringat. Aku bisa menebak bagaimana isi rumah itu, juga keadaan penghuninya.

Meski kehidupan keluargaku agak lebih beruntung karena ayahku seorang pegawai negeri, pemandangan yang sama tetap aku temui di rumah beberapa teman, tetangga, dan sejumlah saudara. Pemandangan kemiskinan dan penderitaan yang meraya. Wajar saja, memang begitulah nasib sebagian besar rakyat tanahku.

Dari enam orang anak yang sedang bermain di halaman, seorang bocah laki-laki berperut buncit dan bertelanjang kaki berkata bahwa yang kami cari adalah ibunya. Ia pun berlari ke belakang rumah, dan tak lama kemudian membawa seorang wanita hamil dan berpenampilan kusut di belakangnya.

Aku tahu, betapa terkejut ia saat pertama kali melihat kami, terutama kedua orang tamuku. Bisa kutebak pula isi hatinya yang pasti langsung disergap rasa takut. Ia seolah mencoba menebak-nebak kemungkinan salah apa yang telah diperbuatnya. Begitulah sorot matanya berbicara. Namun, sapa hangat dan senyum ramah Virlie membuatnya terkesima. Apalagi, ketika tamuku itu mengulurkan tangannya yang menawarkan persahabatan.

Kunjungan kami ke tempat itu tidak lama. Selanjutnya, perjalanan kembali ke jadwal semula: menghadiri pertemuan demi pertemuan, mengunjungi beberapa distrik untuk mengambil data, singgah sebentar di rumah seorang pejabat daerah untuk jamuan makan malam, sebelum akhirnya kembali ke hotel.

Untuk hari ini tugasku telah selesai. Semoga selanjutnya semua berjalan lancar dan tamuku tidak lagi memberi perintah macam-macam. Bukannya aku enggan mengantar mereka ke sana-kemari, yang kutakutkan hanyalah kalau keduanya terlibat masalah dengan penduduk setempat.

Entah mengapa, aku mengkhawatirkan Virlie.

Jakarta, 5 hari sebelum keberangkatan
“Kata mamimu, kau dikirim tugas ke luar kota lagi, ya? Ke mana?”

Virlie menghentikan gerak tangannya yang sibuk mengisi sebuah pot dengan tanah. Spontan, matanya melirik ke sosok wanita paruh baya yang sedang disibukkan oleh kegiatan yang sama di sebelahnya. Tanpa sengaja keduanya bertatapan.

Selintas Virlie sempat membaca sebuah isyarat samar di sana, sebelum kemudan bibirnya bergerak ragu menjawab, “Ke Papua, Pi.”

Sehela napas yang panjang dan berat sontak menghampiri ruang dengar Virlie. Dengan caranya tersendiri, Virlie tahu bahwa pria yang sedang duduk di kursi teras tepat di belakangnya keberatan. Benar saja.

“Vir, menurut Papi, kalau bisa, tugas itu kau alihkan saja ke temanmu yang lain. Kau kan tahu di sana tidak aman. Daerahnya masih rawan. Apalagi, dengar-dengar banyak penyakit berbahaya. Apakah kau tega membuat mamimu terus-menerus khawatir selama kau pergi? Sekarang saja dia suka sulit tidur memikirkan kamu. Kasihan, ‘kan?”

Benarkah? Virlie mencoba mencari jawab di wajah maminya. Tapi, kali ini wanita itu sudah kembali membenamkan pandangannya ke sejumlah pot kosong yang siap diisi tanah, seolah pekerjaan itu sangat menyita perhatian. Virlie mendelik kesal sendiri. Seperti yang sudah-sudah, Virlie kembali merasa terkucil.

“Tapi, kalau kantormu ternyata tidak mengizinkan, ya, sudah,” Papi kembali terdengar berkomentar. “Kau keluar saja dari sana. Toh, masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik. Kau kan seorang sarjana ekonomi yang lulus cum laude. Tentunya gampang sekali mencari pekerjaan yang menjanjikan masa depan bagus. Betul, ‘kan?”

Virlie membiarkan hening menyela tanpa sedikit pun niat untuk menjawab. Ia sudah tahu ke arah mana percakapan Papi akan bermuara. Ia akan disuruh mengelola salah satu cabang usaha Papi yang baru dibuka di Surabaya. Sama seperti ketiga saudaranya yang lain, Virlie pun akan dilibatkan dalam bisnis keluarga. Sebuah posisi yang terkadang membuat Virlie selintas berpikir bahwa tujuan dirinya dilahirkan mungkin hanya untuk menjadi bidak catur kerajaan bisnis papinya.

Sebenarnya, pembicaraan sore itu bukanlah pembicaraan pertama yang menyinggung tentang pekerjaan Virlie di bidang sosial kemasyarakatan. Di tahun pertama bekerja pun ia sudah mulai diteror kalimat sindiran dari kakak-kakaknya.

“Daripada capek-capek mengurusi masalah orang lain, lebih baik urus masalah keluarga sendiri sajalah. Toh, kebaikan dan kesuksesannya nanti untuk kita juga,” ucap Alec, kakaknya yang paling tua, saat mereka bertemu di meja makan untuk sarapan.

“Tapi, kalau gajinya besar, aku juga mau, kok, kerja di tempat Virlie,” celetuk Antoni, kakaknya yang nomor tiga dan hanya terpaut setahun lebih tua. “Apalagi, kerjanya asyik. Banyak bepergian. Gratis transportasi dan akomodasi lagi. Benar kan, Vir?”

Sebagai jawaban, Virlie hanya tersenyum masam. Ia tahu Antoni berusaha membelanya, tapi tidak berhasil. Meski dulu mereka cukup dekat dan sering berbagi rahasia, Virlie tahu bahwa kakaknya itu sama saja dengan yang lain. Tidak tahu dan tidak akan pernah bisa mengerti bahwa yang ia cari dari pekerjaannya bukanlah uang, pun kesuksesan.

“Lalu, apa kalau begitu? Popularitas? Ah, Mei-mei (adik kecil). Tidak mungkinlah kau langsung bisa menyaingi Bunda Teresa dan menerima nobel perdamaian hanya gara-gara sekali-dua mengunjungi pengungsi gempa dan tsunami. Koran pun tidak akan memuat namamu. Memangnya kau ini siapa?” sindir tajam kakak keduanya, Alvin, pada sebuah kesempatan lain saat ia ditanya tentang tujuannya bekerja di LSM.

Berbeda dari ketiga kakaknya, Virlie, si bungsu dan satu-satunya anak perempuan, sadar dirinya berbeda. Sejak kecil, ia tidak pernah bercita-cita menjadi orang kaya seperti harapan Alec, atau profesor serupa keinginan Alvin, atau menjadi idola seperti impian Antoni.

Virlie kecil hanya ingin menjadi perawat, lalu berubah ingin menjadi guru saat duduk di bangku SMP, dan akhirnya memilih menjadi aktivis sebuah organisasi saat masih kuliah. Virlie juga tidak seperti Alec yang terobsesi kekayaan, atau Alvin yang selalu ingin menjadi yang terbaik dalam hal apa pun, atau Antoni yang selalu menjaga penampilan dan citra diri. Virlie lebih suka kesederhanaan, menikmati proses bersusah payah demi memperoleh hasil yang diinginkannya, dan bisa merasa bahagia sepanjang hari, hanya karena menerima senyum terima kasih dari seseorang yang ditolongnya di jalanan.

Sejumlah sifat yang ditebaknya sebagai warisan dari Mami, yang malah sering dijadikan olok-olokan oleh Alec dan Alvin sebagai sifat ‘wanita kolot yang tidak mau maju’. Sama sekali bukan ciri khas Papi, kecuali satu: keras kepala.
Mungkin itulah yang membuat Virlie sering merasa terasing dan terkucil di rumah sendiri. Salah satu alasan yang membuatnya lebih sering bergaul di kampus atau di sekretariat bersama teman-teman seorganisasi, dan yang kemudian membuatnya memilih bekerja seperti sekarang.

Batuk-batuk Papi yang cukup keras menyela lamunan Virlie. Belum sempat ia mengingat pertanyaan terakhir Papi yang sengaja digantungnya, kembali sebuah tanya baru terdengar lagi.

“Virlie, Papi hanya ingin kau pikirkan baik-baik perkataan Papi tadi. Tentang kekhawatiran mamimu dan pekerjaanmu. Kau mau, ‘kan?”

Sedetik Virlie sempat terdiam sebelum menjawab, “Yah, kalau cuma memikirkan, sih, tidak masalah, Pi. Aku....”

“Yang Papi minta bukan sekadar memikirkan, Virlie,” sela Papi, cepat. “Tapi, juga menimbang dan memutuskan. Menimbang tentang kemungkinan pekerjaan lain yang lebih baik dan memutuskan yang terbaik untuk dirimu sendiri dan masa depanmu. Bagaimana?”

Ah, omong kosong apa lagi itu?

Ingin rasanya Virlie berteriak begitu karena baginya kalimat Papi sangat terasa palsunya.

Seingat Virlie, tak pernah sekali pun Papi membiarkan anak-anaknya memilih yang terbaik untuk diri mereka. Papi bukanlah seorang yang demokratis, meski ia selalu menawarkan kebijakan dalam bentuk kata-kata. Ia seolah memberikan pilihan, tapi pada akhirnya ia sendiri yang akan memilihkan. Ia seolah teman yang memberikan dukungan, tapi bisa langsung berbalik menjadi lawan yang menjatuhkan jika segala sesuatu tak sesuai keinginannya. Virlie yang sudah muak menjadi boneka Papi, mulai menunjukkan perlawanan. Egonya tertantang.

“Baiklah jika itu keinginan Papi. Aku akan memikirkan, menimbang, dan memutuskan yang terbaik untukku,” jawab Virlie, dengan nada sedatar mungkin, mencoba menyembunyikan maksudnya. Ia sedang tak ingin berdebat dengan Papi di sore yang cerah itu. Namun, ketika layar gelap mulai turun menutup senja dan Papi telah menyeret langkah masuk ke dalam rumah, Virlie mendapatinya egonya luruh di depan tatap layu Mami.

“Vir, jangan lupa, semua yang Papi lakukan itu untuk kebaikan kamu juga, Nak. Asal kamu tahu, Mami selalu ada di belakang Virlie. Mendukung apa pun pilihan Virlie dalam doa. Tolong kamu mengerti Mami, ya?”

Duh, Mami. Kenapa kau begitu lemah? Atau, apakah memang harus seperti itu takdir setiap wanita dalam keluarga ini?

Elen
Sungguh ia tak menyangka bahwa orang-orang yang dikenalnya dengan sebutan ‘tamu dari Jakarta’ itu datang lagi. Dua orang wanita ditemani seorang pemuda Komen. Pada kedatangan pertama, mereka berkata hanya ingin melihat keadaannya yang kebetulan memang berhalangan hadir di pertemuan hari itu. Tapi, pada kesempatan selanjutnya, orang-orang itu masih tetap berkunjung ke rumahnya. Kira-kira, apa mau mereka?

Dari pengalaman, Elen belajar untuk selalu mencurigai setiap orang asing atau pendatang yang mencarinya. Jika bukan karena ia telah berbuat salah, mereka mungkin hanya ingin mengambil sesuatu yang berharga darinya.

Tapi, Elen merasa tidak pernah berbuat salah, apalagi menyimpan sesuatu yang bernilai tinggi, kecuali anak-anak. Ya, mereka adalah harta terbesar Elen. Karena, pada merekalah ia menyimpan separuh jiwa dan nyawanya. Namun, wanita yang dikenalnya bernama Virlie berkata bahwa kedatangan mereka sekadar untuk melihat keadaan Elen dan anak-anak. Benarkah begitu?

Jujur saja, Elen sempat menyangsikan kata-kata tersebut. Ia tetap waspada setiap kali orang-orang itu datang. Tidak membiarkan mereka masuk ke dalam rumah atau terlalu dekat dengan Lius, Eva dan Elias. Tapi, pada kunjungan yang kesekian kali, Elen mulai bisa merasakan niat baik mereka, terutama Virlie. Entah mengapa, Elen merasa, perbedaan mencolok yang ditampilkan fisik Virlie sama sekali tidak tercermin pada sikapnya.

Kulit wanita itu begitu putih dan wangi. Sangat berbeda dari kulit Elen yang hitam kusam. Rambutnya sangat lurus seperti kain yang baru disetrika, tidak bergerombol kusut seperti rambut ketiga anaknya. Namun, jika Elen mengira bahwa hal tersebut membuat Virlie enggan berdekatan atau menyentuh mereka, ia sungguh salah.

Wanita bermata garis itu sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang berjarak. Ia begitu perhatian dan peduli layaknya seorang teman. Tanpa sungkan ia menyentuh bahu Elen saat berbicara, atau mencubit pipi Elias yang kotor sesekali. Ia juga dengan senang hati mencicipi sepotong sagu bakar pemberian Lius dan tidak risi memeluk tubuh Eva saat mencoba menghentikan tangis bocah itu yang terjatuh saat sedang bermain. Elen mulai menyukai wanita itu, meski belum bisa terlalu terbuka.

Virlie selalu bertanya padanya tentang bagaimana sikap Yonas, sang suami, tapi Elen memilih bungkam. Virlie pun tidak memaksa. Anehnya, pada suatu kesempatan, Elen merasakan dorongan itu begitu keras hingga akhirnya ia pun tak tahan untuk bercerita.

Dengan kata-kata penuh air mata, semua keluhan hidupnya ia tumpahkan pada Virlie: sikap kasar Yonas, ketidakadilan hidup, dan penindasan yang menderanya selama ini. Namun, ketika sampai di akhir cerita, Elen dikejutkan oleh satu nasehat Virlie. Wanita itu menyuruhnya melaporkan tindakan sewenang-wenang Yonas pada kepala kampung atau polisi, untuk nantinya suaminya itu akan ditangkap dan dipenjara, karena dianggap bersalah telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Tak akan pernah, ya, Tuhan! Tak akan pernah ia melakukan hal semacam itu. Hati Elen langsung menjerit.
Sekali pun Elen tidak pernah bermimpi akan membuat suaminya menderita. Apalagi, sampai dikurung dalam penjara. Melupakan perlakuan kasar yang diterimanya di sepanjang usia perkawinan mereka, Elen merasa Yonas tidak pantas diperlakukan layaknya hewan buruan.

Sebagai wanita Komen, ia selalu diajarkan untuk merawat dan menyenangkan sang paitua (suami), berusaha membahagiakannya dengan cara apa pun, bukan sebaliknya. Selain itu, sebagai seorang wanita, ia pun terbiasa menekan perasaannya sendiri.

“Tapi, kalau Ibu Elen dipukul terus, sampai kapan Ibu bisa bertahan? Kalau akhirnya Ibu Elen jatuh sakit gara-gara penganiayaan itu, siapa yang akan merawat anak-anak? Apakah bapaknya? Memangnya dia sanggup menghadapi kerewelan Elias, kenakalan Lius, dan kemanjaan Eva dengan kasih sayang, bukannya kekerasan? Pernahkah Ibu Elen berpikir bahwa pada suatu saat nanti giliran anak-anak Ibu, bahkan mungkin si kecil yang belum lahir, yang akan men­derita dan menjadi korban bapaknya?”

Elen terdiam mendengar cecaran pertanyaan Virlie. Semula ia mencoba tak ingin mengambil hati, sebab rasanya tak mungkin Yonas tega menyakiti darah dagingnya sendiri.

“Tidak mungkin! Saya punya paitua tidak begitu,” bantah Elen, mencoba yakin dengan kata-katanya sendiri.

“Tapi, bukankah mabuk bisa membuat orang lupa diri?” cetus Virlie, mengingatkan. “Jika sudah begitu, bisa saja suami Ibu menyakiti siapa pun, termasuk anak-anak, bukan? Lalu apa yang Bu Elen akan lakukan kalau semuanya sudah terjadi? Ke mana Bu Elen akan lari meminta tolong?”

Ah, itu dia. Elen tidak lagi mendengar kalimat Virlie selanjutnya, karena ia sudah mulai merasakan ketakutan itu. Sebuah ketakutan yang selama ini terlupa, namun kini menyusup begitu cepat ke dalam hatinya dan berdiam lama di sana.

Sungguh Elen sangat takut tidak bisa menemukan tempat melarikan diri dari hal-hal buruk dalam kehidupan ini, apalagi jika keburukan itu berasal dari rumahnya dan sang pelaku adalah suaminya sendiri. Seorang jodoh yang ia percaya telah dipilihkan Tuhan untuknya.

Virlie
Tanpa suara, ia mengamati malam yang merangkak tua lewat jendela. Menatap lekat pekatnya sembari merenungi apa yang telah dilaluinya selama dua minggu berada di kota paling timur Papua itu.

Sebagai warga keturunan, Virlie sudah terbiasa disebut pendatang. Karenanya, begitu sampai di Merauke, ia merasa daerah itu sama saja dengan kota lain yang pernah dikunjunginya.

Tatapan tajam dan sikap yang berjarak adalah hal wajar yang sering ditujukan padanya. Namun, bedanya baru kali ini Virlie menemukan pesan lain di balik semua itu. Ia tak menemukan rasa sirik atau iri hati di sana, pun benci atau dendam seperti yang sering kali ia rasakan dari orang-orang di sekitarnya, melainkan ketakutan yang terselubung dan keluguan yang menyentuh hati. Dan semua itu menjadi fakta yang sangat menganggu perasaan Virlie, karena ia tahu apa yang menjadi penyebab dari ketakutan dan keluguan mereka.

Dalam terik matahari Merauke yang menyengat, Virlie melihat betapa jurang sosial di tempat itu sangat lebar. Bertebaran di bawah kaki-kaki menara operator telepon seluler yang menjulang tinggi, ia melihat penduduk asli masih tinggal di rumah mereka yang sederhana, beberapa masih beratap rumbia.

Terselip di antara deretan rumah toko yang modern, tampak para mama berjuang mengais rejeki dengan berjualan sirih-pinang sambil berjongkok. Sementara di antara tebaran debu-debu jalanan, ibu-ibu muda mencoba menjunjung beban hidup di atas kepala mereka dalam noken yang penuh berisi barang, babi dan bayi. Serupa pemandangan Merauke yang datar, wajah-wajah wanita itu menampakkan fakta kehidupan yang serupa garis lurus: tanpa perubahan, tanpa kemajuan.

Pemandangan yang sama mengenaskan disaksikan Virlie saat sinar bulan berpendar pucat di langit malam Merauke. Di hampir setiap sudut jalan, ia melihat para paitua asyik menenggelamkan diri dalam kenikmatan mabuk minuman keras bersama teman-teman mereka.

Di beberapa tempat remang-remang, sederet bar dan klub malam dipenuhi pengunjung pria yang berlomba-lomba menyerahkan diri pada jeratan nafsu sesaat yang ditawarkan para wanita penghibur. Serupa hawa Merauke yang panas dan gersang, wajah-wajah pria itu menampakkan nafsu yang membara, tapi kering dari harapan.

Berhari-hari Virlie mencoba mengenyahkan wajah orang-orang itu, tapi tak bisa. Ia tahu mereka sangat membutuhkan pertolongan, namun sayang hanya sedikit tangan yang mengulurkan bantuan.

Tiba-tiba saja Virlie merasa begitu munafik. Ia merasa kedatangannya ke tempat itu, untuk memonitor program kerja di lapangan dan mengumpulkan data terbaru, tak ubahnya seperti sebuah perjalanan wisata. Bayangkan saja, ia hanya menjadi tamu kehormatan dari pemerintah daerah setempat yang mengajaknya berjalan keluar-masuk distrik untuk menyaksikan kemajuan yang dicapai, bukannya menjadi bagian dari orang-orang yang peduli dan mau mengusahakan kemajuan itu bersama-sama.

Ia juga hanya memberi pengarahan di sejumlah pertemuan tentang teori HAM, pentingnya pendidikan, apa itu sanitasi dan imunisasi, hingga bahaya HIV-AIDS, tapi tidak turun langsung ke lapangan untuk melihat kenyataan yang ada. Ia hanya mendengarkan dan menuliskan keluhan orang-orang itu dalam laporan, bukannya langsung membantu dengan tangan dan tenaganya yang masih kuat.

Tanpa diduga, di saat itulah sosok tersebut justru muncul dan memikat simpati Virlie. Sosok seorang ibu muda yang wajahnya menampung derita dan air mata, yang entah mengapa serasa begitu akrab dan membuat Virlie berpikir bahwa ia bisa menjangkau ibu muda itu dengan kedua tangannya. Meski ia terpaksa harus bertentangan dengan Anggi.

“Menurutku, sebaiknya kamu jangan terlalu dekat dengan kehidupan orang-orang di sini, deh, Vir. Tugas kita kan hanya sebatas memonitor program, mengumpulkan data terbaru, dan sesekali memberi pengarahan di pertemuan. Sudah itu, selesai! Bukan membuka jasa konsultasi atau curhat. Kita kan bukan tenaga konselor. Lagi pula, waktu kita di sini tidak banyak, Virlie.”

“Ya, aku tahu. Tapi, aku hanya ingin membantu, Nggi. Apakah itu salah?”

“Tidak juga. Tapi, pendekatanmu kadang-kadang terlalu personal, Vir. Bisa-bisa malah mengundang masalah. Kau kan tahu, di sini kita dianggap asing. Orang luar. Karena itu, lebih baik ikuti saja prosedur yang biasa. Masukkan keluhan mereka dalam laporan dan biarkan orang pusat yang menindaklanjuti.”

“Tapi, Nggi....”

Namun, Anggi segera berlalu, seolah bisa membaca gelagat Virlie yang ingin mengajaknya berdebat.

Ia seorang ibu muda yang sedang hamil tua. Namanya Elen. Bertubuh agak gemuk dengan tulang yang besar dan tampak kuat. Berwajah lebar dengan raut yang keras. Saat tangannya diulurkan ragu-ragu untuk berjabatan, telapaknya yang kasar cukup menandakan kehidupan macam apa yang telah dijalaninya.

Pertama kali bertemu, wanita itu tidak banyak bicara. Ia tampak takut dan menjaga jarak. Meski begitu, matanya yang tajam tapi menyimpan bayang keletihan, sudah bercerita banyak. Juga bengkak yang tidak berusaha disembunyikan di sebelah mata dan pipinya, yang tampak ungu di atas legam kulitnya, menjadi detail yang bermakna. Tanda kekerasan itu seolah lumrah singgah di wajah Elen.

Sembari menahan iba, Virlie sadar bahwa Elen adalah salah satu dari sekian banyak wanita korban penindasan. Sejak menikah di pertengahan usia belasan, ibu itu mengaku telah melahirkan enam kali tanpa bantuan siapa pun. Sebuah pengakuan yang membuat Virlie sempat berdecak kagum, sebelum kemudian berubah prihatin.

Di beberapa pertemuan berikutnya, barulah Virlie tahu bahwa Elen juga dilimpahi tugas dan kewajiban yang bertumpuk-tumpuk tanpa ada yang menghargai, termasuk sang suami yang malah sering menganiayanya. Hal itu membuat hati Virlie miris, meski Elen sendiri berkata dengan yakin, “Saya tidak apa-apa, Ibu. Saya sudah biasa. Yang penting saya punya paitua ingat pulang sudah. Ini hati langsung tenang.”

“Tapi, tidak bisa begitu! Suami Bu Elen tidak berhak menyakiti Ibu apa pun bentuknya.”

Virlie yang merasa tidak terima, lalu mencoba menjelaskan apa saja hak seorang wanita dalam keluarga dan masyarakat, dan bahwa juga sudah ada undang-undang yang melindungi kaum wanita dari segala bentuk kekerasan. Namun, di akhir penjelasan yang panjang-lebar itu, reaksi yang diterima Virlie dari Elen justru membekukan lidahnya.

“Biar sudah, Ibu. Biar saya punya Tuhan tampung saya punya air mata dan sakit ini. Saya yakin Dia sedang lihat ke bawah dan selalu ada untuk bantu kitong yang susah.”

Seketika Virlie sadar mengapa Elen terasa akrab baginya. Pada wajah yang letih itu ia seolah bisa melihat wajah Mami. Wajah keduanya sama-sama menyimpan nestapa yang berat, sekaligus meronakan pengorbanan yang besar. Keduanya sama-sama terlihat tegar di luar, tapi rapuh di dalam. Virlie tahu pasti, kepasrahan dan ketabahan yang mereka tunjukkan tidak lebih dari bentuk pengingkaran dan penindasan terhadap perasaan sendiri.

Namun demikian, Virlie sangat berharap Elen bisa menyadari bahwa ia punya hak dan kesempatan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik, jika berani keluar dari ruang sempit yang mengu­rungnya selama ini. Tempurung itu.

Jakarta, malam sebelum keberangkatan
“Katakan satu alasan kenapa Mami harus mengizinkanmu ke Papua? Mami ingin tahu, kepergianmu ke Papua sengaja untuk melawan papimu atau ada alasan lain?”

Virlie tertegun. Saat itu, ia baru saja selesai mengemas barang dalam koper. Meski tak melihat wajah Mami, Virlie bisa merasakan mata wanita paruh baya itu lekat menatap punggungnya. Beberapa jam lalu, mata itu juga yang memaksanya mengalah dari Papi, ketika mereka terlibat pertengkaran hebat, sesaat menjelang kepergian Papi ke luar negeri untuk urusan bisnis.

Pertengkaran itu diawali dengan pertanyaan Papi apakah Virlie sudah memikirkan pekerjaan lebih baik untuk masa depannya. Dijawab oleh Virlie, sepertinya ia ingin tetap bekerja seperti sekarang. Tiba-tiba saja Papi mengajukan sebuah penawaran yang ternyata berselubung perintah.

“Vir, kalau bisa, sebelum Papi pulang, segera bereskan urusan kantormu. Teman Papi punya kenalan di salah satu LSM besar di Taiwan. Kebetulan ada posisi bagus yang masih kosong dan bisa kau isi secepatnya. Gajinya lumayan besar, ditambah bonus tempat tinggal dan kendaraan. Selain itu, di sana kau juga tidak diharuskan pergi ke tempat-tempat yang berbahaya seperti kerjamu di sini. Bagaimana? Kamu pasti terima tawaran Papi kan?”

Meski sempat terkejut, dan sedikit tersentuh karena tawaran itu, Virlie menjawab, “Tidak.”

Sejauh ini, ia merasa Papi sudah lama mengatur langkahnya. Di usianya yang ke-25, Virlie hanya ingin membangun masa depan sesuai harapannya, bukan harapan Papi. Selain itu, ia ingin membuktikan bahwa ia bisa bertahan di jalan yang dirintisnya sendiri, bukannya berjalan di bayang-bayang Papi.

Namun, seperti yang kerap terjadi jika Papi merasa kewalahan menghadapi anak-anaknya, tanpa segan Papi mengucapkan ancaman bertuahnya. Saat itu juga, Virlie merasa ada gempa yang melanda dada dan kepalanya. Ia tidak menyangka Papi dapat dengan mudah berkata akan memutuskan hubungan darah mereka hanya demi mengikat kepatuhan Virlie.

Kesenyapan mengambang rendah di dalam kamar. Setelah pertengkaran sore tadi, hanya ada Virlie dan Mami di rumah. Alvin menemani Papi, Alec sedang berada di Surabaya, sedangkan Antoni memilih keluar rumah, entah ke mana. Sembari menahan sedih, Virlie menatap sosok rapuh ibunya yang duduk di tepi tempat tidurnya. Sebelum berangkat ke bandara, dari balik tirai ruang tamu, Virlie melihat Papi memarahi Mami yang dianggap tidak becus mendidik Virlie. Kala itu, mata Mami tertunduk tanpa daya di hadapan Papi.

Oh, Mami yang malang. Sampai kapan kau akan selemah ini? Virlie membatin, sambil berjongkok tepat di depan Mami, menatap sepasang mata tuanya yang layu dan seolah menyimpan banyak cerita sedih. Pada mata itu Virlie menyadari dirinya tak dapat berbohong. Pada mata itu pula Virlie sering melempar api benci dan amarah saat menemukan fakta bahwa Mami tak pernah melakukan apa-apa untuk membela atau membebaskannya dari tekanan Papi. Tapi, di saat tertentu, se­perti sekarang ketika seluruh dunia seolah tengah berkomplot menentangnya, Virlie berharap bisa menemukan kekuatan di dalam sana. Itulah yang kemudian mendorongnya mencoba meyakinkan Mami.

“Percayalah, Mi. Aku merasa senang bekerja untuk orang yang betul-betul membutuhkanku di luar sana. Aku merasa punya banyak rasa bahagia yang bisa dibagi pada mereka; rasa bahagia pemberian Papi dan Mami yang kukumpulkan sejak lahir. Di tengah-tengah mereka, aku merasa lebih berguna daripada di samping Papi. Sebagai anak, aku hanya minta diberi kesempatan mengusahakan kebahagiaanku sendiri. Tolong mengertilah, Mi. Aku mungkin tidak bisa memenuhi keinginan Papi untuk menjadi orang berhasil. Tapi, setidaknya aku mungkin bisa menjadi orang yang berharga bagi orang lain.”

Virlie merasakan semburan hangat menjalari hati dan sudut matanya, ketika Mami memeluknya. Pelukan itu begitu erat, bagai menahan tangis yang tak terucap. Sejenak kebisuan menyela, sebelum kemudian Mami bersuara.

“Untuk bertahan hidup, kita memang harus selalu berjuang, Nak. Dengan cara berbeda, kau telah memilih bentuk perjuanganmu, begitu pun Mami.”

“Maksud Mami?”

“Mami tahu kau ingin bebas menikmati hidup seperti yang kau inginkan di luar sana, bukannya terkurung dalam sangkar. Sejak awal, Mami sadar bahwa kau berbeda dari ketiga saudaramu. Tidak hanya karena kau anak perempuan, tapi kau juga tidak takut bermimpi dan menentang arus. Kau seperti layang-layang kecilku yang terlihat rapuh, tapi sebenarnya punya kekuatan untuk terbang jauh dan tinggi melebihi yang siapa pun kira. Kau hanya butuh kemauan untuk melakukan itu, Virlie. Jangan meniru Mami yang sampai tua tak pernah bisa merasa bebas, hanya karena tidak berani mengambil kesempatan itu selagi ada. Jangan juga seperti Mami, yang hanya bisa bermimpi tanpa mau mewujudkan. Hanya bisa memendam, tapi tidak mau menyuarakan. Jadi, jika kau sudah begitu yakin dengan langkahmu, jalani dan ikuti saja. Anggaplah ancaman Papi sebagai cobaan untuk membuktikan kebulatan hatimu, bukan tantangan untuk menunjukkan kehebatanmu atas dirinya.”

Sejenak Mami berhenti, menyapu sudut mata yang mulai basah. Ditahannya tangis sekuat tenaga hingga bahunya tampak menggeletar.

“Ingatlah, Virlie, Ketika seseorang meragukan kesanggupanmu melakukan sesuatu, namun kau berhasil melakukannya, saat itulah kau menunjukkan kemenanganmu padanya. Mami bersyukur kau tumbuh menjadi wanita yang bisa menentukan apa yang kau inginkan, tak semata bisa melakukan keinginan itu. Mami yakin, suatu saat Papi akan mengerti pilihan hidupmu.”

Baru kali ini Virlie melihat Mami memandangnya begitu rupa. Serupa pijar lampu yang kesepian, Virlie seolah menemukan tujuannya kembali.

“Maafkan Mami, jika selama ini Mami tidak bisa membelamu di depan Papi. Sekarang Mami ingin menebus semuanya dengan memberimu kesempatan itu. Jadilah yang terbaik yang kau bisa, Nak, jangan menjadi yang terbaik yang orang lain bisa. Jangan pula kau mencari penerimaan orang lain karena kau tidak akan menjadi siapa pun, kecuali dirimu sendiri.”

Percakapan yang memantapkan langkahnya menuju Papua.

Agenda Andreas Leo (Merauke, minggu kedua Maret)
Pagi
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Biasanya, hampir semua tamu yayasan yang pernah kudampingi selalu mendengar saranku agar menjauhi masalah selama berada di kota ini. Maklum, mereka itu pendatang. Jika salah bersikap, bisa saja dianggap melecehkan adat. Jika menyinggung perasaan seorang penduduk asli, bisa-bisa nyawa diancam panah. Tapi, kali ini, salah satu tamuku benar-benar membuatku panas-dingin. Bukan karena dia wanita, tapi sikapnya yang terlalu menaruh perhatian pada seorang ibu Komen.

Bayangkan saja, setelah kunjungan pertama kami ke rumah ibu itu untuk melihat keadaannya setelah dipukul suaminya, Virlie kembali memintaku mengantarnya ke sana setiap kali ada kesempatan. Misalnya, ketika kami kebetulan berada di distrik dekat situ untuk suatu keperluan.

Meski hanya singgah sebentar dan mengobrol pendek, aku takut kalau ada yang terganggu oleh kedatangan kami yang cukup sering. Selain itu, aku juga takut jika sikap peduli Virlie disalahartikan oleh suami ibu itu yang terkenal pemabuk dan ringan tangan.

Dibandingkan Anggi, kulihat Virlie lebih perhatian pada orang-orang daerahku. Meski belum lama kenal, aku merasakan ketulusan dalam setiap tindakannya. Tak tampak sedikit pun sikap canggung, ketika ia berada di tengah sekumpulan anak kecil tak berbaju atau segerombolan ibu berpakaian lusuh. Ia mencoba berbaur dan merangkul mereka dalam senyum dan sapa hangatnya. Jika saja rambut Virlie keriting dan kulitnya hitam, pastilah ia sudah dianggap penduduk asli oleh siapa pun yang melihat keakrabannya. Tapi, hal itu tidak mungkin, sebab nasib wanita Komen sangat sedikit yang seberuntung Virlie.

Aku tak bisa memungkiri fakta banyak dari wanita kami masih terjerat kebodohan dan kemiskinan. Sejak kecil mereka telah dididik menjadi pekerja sekaligus pengurus rumah tangga. Kalau ada yang sempat mengenyam pendidikan dan menjadi pintar, jalan mereka akan berakhir juga di rumah. Ah, sungguh malang nasib rakyatku.

Siang
Hari ini, langit terus mendung. Kata Anggi, mungkin hujan akan turun sebentar lagi. Namun, aku punya pendapat sendiri. Langit menjadi mendung, karena Tete Manis di atas sana sedang murung. Hanya Dia yang paling tahu apa yang sedang terjadi di bawah sini, dan hujan adalah pesan duka cita-Nya untuk kami. Mengapa manusia yang diciptakan sama malah sengaja membuat perbedaan? Mengapa pula manusia yang dilahirkan dalam suka cita tidak mau saling bantu saat berada dalam kesulitan?

Kupercepat laju mobil menuju tempat selanjutnya. Virlie ingin bertemu ibu itu lagi, dan kebetulan kami akan melewati jalan pintas dekat rumahnya.

Elen
Malam sudah mencapai ubun-ubunnya. Di sudut rumah, tampak sesosok tubuh duduk dalam geming. Sesekali, terdengar rintihnya yang tertahan menyela hening. Dalam selimut gelap, Elen mencoba menanggung deritanya sendiri.

Tidak ada yang bisa menyelamatkan Elen malam itu. Beberapa jam yang lalu, Yonas, suaminya, pulang dalam keadaan mabuk berat. Belum lagi memasuki rumah, Elen sudah bisa mendengar rentetan makian suaminya memenuhi udara. Makian seorang pemabuk yang sangat marah. Seketika itu juga, Elen tahu apa yang bakal terjadi.

Dengan menyeret sepasang kakinya yang bengkak, Elen bergegas memindahkan bayi Elias yang selalu tidur bersamanya ke kamar Lius dan Eva di bagian belakang rumah, sebelum kemudian menutup rapat-rapat tirai kamar tak berpintu itu. Selanjutnya, ia berusaha membawa tubuhnya masuk ke kamarnya sendiri, tapi terlambat. Sebuah entakan keras membawa kepala Elen jauh ke belakang, lalu menyusul pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang dihantamkan ke seluruh tubuhnya. Sontak, Elen menjerit. Di sisa kesadarannya yang masih melekat, Elen mencoba melindungi perutnya.

“Kakak, pukul saya saja. Saya saja! Jangan pukul torang pu anak dalam perut. Jangan!”

Dalam keheningan yang begitu singkat, Elen merasa tangan kegelap­an merampas terang dunianya.
Elen percaya bahwa keajaiban Tuhan-lah yang menyelamatkannya tadi. Ia tersadar kembali ketika suaminya telah jatuh tertidur tanpa sempat mengganti baju dan melepas sendal. Meski asin darah terasa begitu kental di mulutnya, Elen bersyukur tidak ada darah yang membasahi pahanya. Itu berarti, janin dalam perutnya baik-baik saja. Mengabaikan rasa nyeri dan sakit yang mendera sekujur tubuhnya, Elen mencoba merenungi kembali apa yang telah terjadi.

Sesungguhnya, Elen takut kekhawatiran Virlie benar-benar terbukti, bahwa anak-anaknya mungkin saja akan hidup menderita akibat kekasaran Yonas. Tiba-tiba Elen merasa seolah terjebak dalam sebuah ruang sempit. Ia dan anak-anak berada di tengah-tengah, siap terimpit. Haruskah ia tetap diam di tempat, membiarkan keadaan membunuh mereka bersama-sama, ataukah ia harus memilih mencari jalan keluar dari sana?

Di tepi harap, Elen mengusap perutnya yang membuncit. Ia sadar harus melakukan sesuatu demi menyelamatkan anak-anaknya, terutama janin yang belum lahir. Tapi, apa dan bagaimana, itulah yang coba dipikirkannya sekarang. Hingga tiba-tiba sesuatu membersit sekelebat. Wanita itu tahu apa yang harus dilakukannya esok hari.

Agenda Andreas Leo (Merauke, minggu ketiga Maret)
Pagi
Aku sangat menikmati hari-hari bersama kedua tamuku. Tidak ada kerepotan berarti atau kekacauan tidak diinginkan, seperti yang semula kutakutkan. Justru banyak pengalaman dan pelajaran yang kudapat dari mereka.
Dari Anggi, aku mendapat cerita yang lebih banyak tentang keadaan di luar sana, Jakarta dan tempat-tempat lain. Ia berkata bahwa kemiskinan tidak hanya hadir di kotaku, tapi juga di daerah lain, hingga kota besar. Perkataan itu sempat membuatku berpikir bahwa jika orang miskin yang ada di kota saja makin banyak dan tidak dipedulikan, bagaimana halnya dengan orang-orang daerahku yang tinggal di ujung pa­ling timur? Adakah perubahan bisa sampai ke tempat kami yang jauh ini?

Untunglah aku juga mengenal Virlie. Pada sosoknya aku melihat harapan itu ada. Meski ia dari kota besar dan mungkin sempat terkejut ketika pertama kali melihat pemandangan daerahku, aku merasakan kepedulian yang tidak palsu dari sikapnya.

Meski kulitnya berbeda dari kami, aku tetap bisa merasakan gejolak pengorbanannya yang besar. Wajarlah jika aku kemudian melihat Virlie serupa bulan purnama yang dengan sinar putih pucatnya mampu memberi penerangan pada setiap benda di sekelilingnya. Mengubah gelap yang menakutkan menjadi remang yang menghangatkan. Namun, layaknya purnama, tentu saja akan selalu ada mendung yang berusaha menghalangi. Mendung itu datang hari ini.

Berawal dari keinginan Virlie mengunjungi ibu muda yang sedang hamil tua itu di rumahnya untuk pamit. Akhir-akhir ini, Virlie dan ibu bernama Elen itu memang terlihat makin akrab, meski di kunjungan terakhir kami dua hari lalu, aku sempat melihat Elen menangis.

Kata Virlie, ibu itu menangis karena baru saja menceritakan kisah hidupnya yang pahit, termasuk perlakuan sang suami yang selalu kasar. Aku masih ingat betapa Virlie berusaha menahan emosi, yang kemudian berubah menjadi begitu bersemangat saat berkata bahwa ia memberi saran pada Elen untuk melaporkan perbuatan suaminya pada kepala kampung atau polisi. Mendengar hal itu, tiba-tiba saja aku dihinggapi sebuah firasat tidak enak. Ada apa ini?

Kami tiba di rumah Elen lebih siang dari biasanya. Seperti yang sering kulakukan, setelah memarkir mobil tepat di bawah pohon mangga yang agak menjorok hingga ke luar pagar, aku segera menyusul langkah Virlie dan Anggi. Jika biasanya Lius dan Eva langsung berhenti bermain dan berlari menyambut kami, kali ini halaman rumah tampak sepi. Tanpa diminta, firasat tak enak itu muncul lagi. Belum sempat aku menyimpulkan apa yang bakal terjadi, kudengar ada pekik amarah yang pecah dari dalam rumah, menyusul seorang pria Komen berwajah geram berlari keluar sambil memegang busur dan anak panah yang siap dilepaskan ke arah kedua tamuku. Ya, Tuhan!

Selanjutnya yang kuingat adalah aku berusaha menenangkan kemarahan pria itu, sembari memberi kesempatan pada Anggi dan Virlie untuk berlari menjauh dan bersembunyi di mobil. Dalam kepanikan luar biasa, aku masih sempat menangkap pesan kemarahan pria itu yang ternyata suami Elen. Rupanya, ia marah pada kedua tamuku yang dianggap telah meracuni pikir­an istrinya, hingga berani kabur dari rumah dengan membawa ketiga anaknya.
Dari perkataannya pula, kutahu bahwa semalam ia menghajar istrinya, hanya karena terlambat membuka pintu. Detik berikutnya, aku berharap, semoga Elen mengikuti saran Virlie.

Siang
Searak awan menemaniku melepaskan kepergian Anggi dan Virlie di depan ruang keberangkatan bandara. Karena tak bisa masuk, aku hanya mengantar mereka sampai di pintu. Meski menebar senyum perpisahan, kutahu Virlie terus memikirkan Elen.

“Andreas, aku mohon tolong kau cari tahu kabar tentang Elen dan anak-anak. Mereka ada di mana dan bagaimana keadaannya, beritahu aku: pagi, siang, atau malam. Aku benar-benar khawatir.”

“Tenang saja, Kakak. Mungkin ibu itu hanya pergi ke rumah keluar­ganya atau saudara. Percayalah, dia tidak akan pergi jauh.”

Dengan memegang janji bahwa aku akan mencari ibu muda itu beserta ketiga anaknya, kubawa mobil meninggalkan bandara, menjauhi titik hitam pesawat yang ditumpangi kedua tamuku, yang terbang membelah kubah langit biru Merauke menuju Jakarta.

Langit Jakarta
Ia membiarkan senyap merayap menguasai waktu. Dari balik jendela, pemandangan angkasa dibiarkannya mengintip ke dalam, ia tak lagi tertarik menikmatinya. Virlie tak pernah menyangka akan meninggalkan Merauke dengan langkah yang sangat.

Jika bukan karena Elen yang tiba-tiba menghilang, mungkin ia sudah duduk di pesawat dengan kepala dipenuhi angan akan berjumpa mereka suatu saat nanti. Bahwa ia telah memantapkan hati untuk meninggalkan kehidupannya di Jakarta, pindah ke Papua. Sebuah keputusan yang baru semalam terpikir olehnya, saat menyadari betapa kehadirannya sangat dibutuhkan di tempat itu, selain untuk membuktikan kebulatan tekadnya pada Papi. Tapi, setelah kejadian ini, Virlie merasa perlu memikirkan langkahnya kembali. Apakah ia masih dapat berkata bahwa ia sangat dibutuhkan jika orang-orang yang ingin dibantunya, justru berbalik menyalahkan bantuannya?

Teringat Virlie perkataan Andreas sepulang mereka dari rumah Elen tentang kemarahan Yonas. Juga teringatnya omelan kesal Anggi yang berkata bahwa semua itu tidak akan terjadi, jika saja Virlie tidak terlalu mencampuri urusan keluarga Elen. Benarkah ia bersalah dalam hal ini?

Virlie tidak yakin. Rasanya, tidak ada yang salah dengan bantuan yang diberikannya pada Elen. Ia berusaha memberikan kebebasan pada Elen; membuka mata wanita itu agar dapat melihat pilihan lain di luar sana. Juga membuka pikirannya agar dapat menemukan yang lebih baik bagi dirinya. Dengan begitu, bagi Virlie, kejadian ini adalah sebuah risiko yang memang harus terjadi. Risiko dari sebuah kebebasan. Tapi, mengapa rasa sesal itu ada?

Di bawah mendung langit Jakarta, pesawat akhirnya mendarat sempurna. Keceriaan terpancar di wajah kusut para penumpang yang berjalan menyusuri jalan kedatangan yang lengang dan panjang. Keceriaan Anggi sedikit menulari Virlie, ketika keduanya mencapai pelataran bandara dan duduk di dalam mobil jemputan mereka yang dingin dan nyaman.

Selenting dering pendek tanda SMS masuk menyadarkan Virlie bahwa ia sedang menunggu sesuatu. Cepat diambilnya ponsel lipat itu dari dalam tasnya, membuka dengan agak tergesa, dan langsung terdiam saat membaca sebuah pesan pendek yang terpampang di layar.

“Elen ditemukan di ladang belakang gereja. Meninggal karena perdarahan. Anak-anak selamat, kecuali yang belum lahir. Sekarang dirawat di panti milik gereja. Pemakaman Elen dan bayinya baru besok. Semoga Tuhan memberkati.”

Dalam kebisuan, Virlie membiarkan kesedihan merajam hatinya. Jika langkah yang diambilnya sudah benar, mengapa kehilangan itu harus terjadi? Antara sadar dan tidak, ia merasa sedang melihat mata Elen yang berbinar bahagia dalam kepalanya.

Elen, inikah kebebasan yang kau cari?

Tiba-tiba Virlie merasa hatinya sunyi. Segera ia menyadari, perjuangannya untuk Elen telah berakhir sampai di sini, tetapi tidak untuk yang lain. Bukankah memang seperti itu jalan yang telah ia pilih?

No comments: