12.22.2010

Mimpi Bayang

Ia merasa berada di tempat yang sangat ia kenal. Namun, ada hal-hal yang terasa tidak lazim. Apakah ia tersesat? Di mana dan mengapa?

Frangi berdiri di persimpangan. Matanya menatap sekeliling. Ada jajaran rumah, deretan toko dan kantor, juga resto, kafe, dan warung. Hal-hal biasa yang lazim berada pada sebuah tempat. Tapi, mengapa bangunan-bangunan itu seolah belum pernah dilihatnya? Beberapa orang lalu-lalang. Tapi, tak seorang pun dikenalnya. Sesungguhnya, ini suasana yang biasa. Tapi, di mana?

“Di manakah ini?” tanyanya, pada seseorang yang lewat. Seorang pria, menyandang ransel di bahu, menghentikan langkahnya. Menatap Frangi sesaat.

“Ini Jalan Cemara,” jawabnya.

“Jalan Cemara?” Frangi tahu jalan itu, tapi seingatnya tidak seperti ini. Jalan Cemara yang dikenalnya adalah daerah perkantoran. Semua bangunan di sini menjulang tinggi. Tidak ada bangunan rumah biasa dan warung, seperti yang sekarang dilihatnya.

“Tapi, Jalan Cemara tidak seperti ini,” bantah Frangi.

“Ah, sejak dulu Jalan Cemara di Pringsewu, ya, seperti ini,” tukas pria itu, yakin.

Frangi terkejut. “Apa katamu? Pringsewu?”

“Ya, ini Kota Pringsewu,” pria itu menegaskan.

Pringsewu. Frangi tahu kota itu. Melalui peta pada pelajaran geografi di sekolah dasar, diketahuinya kota kecil itu terletak di perbatasan. Belum pernah dikunjunginya. Bahkan, dia tidak pernah bermaksud mengunjungi kota itu. Tidak ada kerabat atau teman di sana. Jadi, mengapa dia berada di kota itu?

“Mengapa aku berada di sini?” tanya Frangi.

Pria itu terkejut sesaat. Diamatinya Frangi dengan seksama. “Apakah kau baik-baik saja ?”

Frangi mengerjapkan mata. Bagaimana harus dijawabnya pertanyaan itu? Jawabannya, jelas tidak. Tentu dia tidak baik-baik saja. Dia bahkan tidak tahu mengapa berada di tempat ini. Pun bagaimana dia bisa berada di tempat ini, kendaraan apa yang dia gunakan, dengan siapa berangkat, dan untuk apa. Pertanyaan-pertanyaan yang berderet dalam kecamuk di benaknya.

“Entahlah,” Frangi angkat bahu.

Pria itu menatap lekat. Matanya menampakkan keheranan. “Kau sehat?” tanyanya, hati-hati.

Frangi mencoba menafsirkan pertanyaan itu. Apa yang dimaksudnya dengan sehat? Jelas bahwa dirinya bisa berdiri di tempat ini dengan tegak, tidak limbung. Bukankah itu menandakan bahwa dia tidak sakit? Frangi meraba kening. Suhu badannya normal, tidak pusing, demam atau flu. Dia sehat.

Perlahan Frangi mengangguk. “Aku tidak sakit.”

“Sendirian?”

Frangi menatap sekeliling. Ada banyak orang. Tak seorang pun dikenalnya. Bahkan, sekadar pernah bertemu pun, rasanya tidak. Artinya, dia memang sendirian. Kembali Frangi mengangguk. “Ya, aku sendirian.”

“Kau dari mana?” tanya pria itu lagi.

Nah, itu yang sama sekali tidak diketahuinya. Mendadak saja dia berada di tempat ini. “Aku tidak tahu,” jawab Frangi jujur.

“Lalu, akan ke mana?”

Itu juga dia tidak tahu. Frangi menggeleng. “Entahlah, seingatku, aku tidak berencana pergi ke mana pun.”

Pria itu tampak berpikir sesaat. “Agaknya kau tersesat,” katanya.

Nah, itu rasanya yang paling tepat. Frangi mengiyakan. Tersesat. Tidak tahu arah, kehilangan orientasi. “Agaknya begitu.”

“Lalu, sekarang kau akan ke mana?”

“Pulang,” jawab Frangi, cepat.

“Di mana rumahmu?”

Frangi menyebutkan nama kotanya.

Pria itu terkejut. “Jadi, bagaimana kau sampai di sini?”

“Entahlah.”

“Atau, kau naik kereta api dan turun di stasiun yang salah?” tanyanya lagi, berusaha menemukan jawaban.

Frangi mulai putus asa. “Mengapa aku tidak ingat apa pun?”

“Hmm, baiklah,” pria itu tidak mendesak lebih jauh. Keputusasaan Frangi menghentikan pertanyaannya. Sesaat dihelanya napas panjang. “Tidak banyak kendaraan umum menuju ke kotamu. Maksudku, yang bisa diandalkan sesuai kondisimu saat ini. Yang terbaik adalah kereta api. Tapi, kereta hanya datang satu kali sehari, jadi kau harus menunggu sampai besok.”

“Begitu?” Frangi tercekat. Membayangkan diri bermalam di sebuah tempat yang asing dan sendirian. Sama sekali bukan hal yang nyaman.

“Tidak ada yang kukenal di sini.”

“Jangan khawatir,” pria itu tersenyum. Tatap matanya teduh menenangkan. “Ini kota kecil yang relatif aman. Pergi ke mana pun dekat. Bisa kau tempuh dengan jalan kaki.”

“Jam berapa kereta datang besok?”

“Hampir tengah hari.“

Frangi mengangguk. “Aku perlu tempat bermalam.”

“Stasiun dan penginapan ada di sekitar sini. Jalan saja lurus ke selatan. Nanti, setelah persimpangan, berbeloklah ke kanan. Ada penginapan kecil di situ,” pria itu menunjukkan arah.

“Aku akan ke sana,” Frangi mengikuti arah petunjuk itu. “Terima kasih atas bantuannya.”

“Kau yakin bisa ke sana sendirian? Atau, perlu kuantar?”

“Kurasa, petunjukmu cukup jelas. Lagi pula, sepertinya, tak jauh. Persimpangan itu bahkan sudah tampak dari sini.”

“Baiklah. Hati-hati, ya,” kata pria itu, santun.

Frangi mengangguk, lalu dilambaikannya tangan, sembari melangkah. Baru berjalan beberapa langkah, terdengar suara langkah yang bergegas mengikutinya. Langkah Frangi terhenti dan menoleh. Tampak pria itu tersenyum, sambil menyusul langkahnya.

“Kuantar saja, ya?” katanya, ringan.

“Kau?”

Pria itu mengangguk. “Perasaanku tak nyaman meninggalkanmu. Lagi pula, waktuku luang. Tidak ada yang harus kuselesaikan dengan segera.”

Frangi tersenyum menatap pria itu. Rasa lega mengalir tiba-tiba. Telah diperolehnya seorang sahabat baru hari ini. Sahabat baru dengan mata menyiratkan kebaikan hati yang bisa dipercaya. Betapapun, didampingi seseorang di tempat yang serba asing begini, pastilah lebih baik daripada seorang diri.

“Terima kasih. Namaku Frangi,” diulurkannya jemari tangan.

“Dari Frangipani? Bunga putih itu?”

Frangi mengangguk.

“Hmm, nama yang menarik. Panggil aku Bambu,” gumamnya, sambil menerima jabat tangan gadis itu.

Ia merasa berada di tempat yang sangat ia kenal. Namun, ada hal-hal yang terasa tidak lazim. Apakah ia tersesat? Di mana dan mengapa?

Jati membuka mata, mengakhiri tidur pulas yang singkat. Tidur yang efektif. Ia kini telah mendapatkan energi baru, sesudah berjaga semalam suntuk. Persis seperti ponsel yang baterainya baru saja diisi ulang, langsung berdering nyaring.

Diedarkannya pandang dan terhenti pada sebuah sudut. Di sudut itu, gadisnya tertidur tenang. Dada gadis itu bergerak naik turun, lambat, seiring alunan napas. Begitu tenang tidur itu. Pastilah sebuah tidur yang sangat pulas. Tanpa mimpi, bagai dalam kehampaan tanpa batas.

Dalam kondisi yang biasa, pastilah Jati tidak berkeberatan dengan tidur itu. Akan ditatapnya gadis itu berlama-lama, hingga dapat diikutinya kedamaian tidur itu. Tapi, ini bukan kondisi biasa. Gadis itu bukannya sedang tidur di kamar birunya yang berhias aneka bunga kering, melainkan di sebuah ruangan ICU dengan aneka peralatan medis di sekujur tubuhnya. Selang infus, selang oksigen, perekam detak jantung, dan entah apa lagi.
“Bangunlah,” pinta Jati, sepenuh hati. Diulurkannya tangan untuk menyentuh jemari gadis itu. Dibelainya lembut punggung jemari itu. Jemari yang lunak dengan aroma bedak bayi.

“Dan, peganglah janjiku, bahwa kita tidak akan pernah bertengkar lagi sesudah ini,” gumamnya, dengan keyakinan penuh. “Akan kulakukan apa pun yang kau mau. Tak akan kulakukan bantahan apa pun juga, untuk hal yang terkecil sekalipun.”

Digenggamnya erat jemari gadis itu. Genggaman penuh emosi yang tanpa sadar membuatnya mengguncang jemari dingin itu dengan keras.

“Tapi, bangunlah. Jangan berdiam diri begini,” seru Jati, dengan emosi tertahan.

Sesaat kemudian, sebuah tangan menghentikan guncangan itu. Dengan ketegasan tak terbantah, dilepaskannya genggaman jemari Jati pada gadis itu.

“Sabar, Pak, tahan emosi,” seorang petugas medis menenangkan. “Bapak terlalu lelah. Semalam berjaga tanpa istirahat.”

“Tidak! Aku tidak lelah,” bantah Jati. “Bahkan, aku baru saja bangun tidur.”

“Tapi, itu tidak cukup. Kalau Bapak memaksakan diri, kondisi Bapak justru tidak akan stabil.”

“Tapi….”

“Beristirahatlah, Pak. Kami akan menjaga pasien dengan baik. Bapak akan kami beri tahu bila ada perkembangan baru.”

Jati menggeleng. Dia tidak ingin pergi. Dia sama sekali tidak ingin meninggalkan gadis itu. Sungguh tidak.

“Baiklah,” petugas medis tak memaksa. “Tapi, kami harap Bapak bisa menahan diri dengan baik.”
Jati mengangguk.

Tak lama kemudian, petugas medis itu keluar, menghilang di balik pintu.

Frangi berdiri di ambang pintu. Sekilas dibacanya tulisan yang tertera di atas pintu masuk. La Barong. Penginapan itu kecil dan sederhana. Lebih mirip sebuah rumah biasa dengan banyak kamar yang mengelilingi kebun kecil di bagian tengah. Berdinding bata merah, pergola kayu, dan aneka dedaunan hijau yang menjuntai di berbagai sudut. Bentuk terasnya memanjang, dilengkapi perabot kayu sederhana, yang berkesan kuno. Nyaman, sangat homy. Frangi tersenyum lega. Keyakinan tersirat di matanya. Tempat itu pasti bisa membuatnya bermalam dengan nyaman.

“Suka?” tanya Bambu, menangkap ekspresi gadis itu.

“Sangat homy,” Frangi mengangguk.

“Hanya ada sepuluh kamar. Setiap kamar didesain dengan gaya berbeda. Kamar itu bertema ranting, yang lain burung, kerang, juga catur.”

“Begitu? Untuk tema catur itu, pasti lantainya keramik kotak-kotak hitam putih,” tebak Frangi.

“Tepat.”

“Bagaimana kau tahu detail rancangan tempat ini?” Frangi ingin tahu. “Mungkinkah kau pemilik tempat ini?”

Bambu menggeleng. “Aku berteman dengan pemiliknya. Jadi, kami mendesain tempat ini bersama-sama.”

“Ide yang unik. Lalu, nama La Barong, apa artinya?”

“Tak ada alasan apa pun.” Bambu angkat bahu, ringan. “Barong hanya sekadar nama yang mendadak melintas di benak pemiliknya. Ditambahkan La di depan sebagai aksesori daya tarik, supaya terkesan berbahasa asing. Untuk masyarakat kita, segala sesuatu yang berbahasa asing kan dianggap keren.”

“Itu krisis kebudayaan atau identitas?” tanya Frangi, tersenyum.

“Barangkali keduanya. Gagasan semacam ini bisa memunculkan diskusi panjang. Kita duduk di teras atau di kafe?”

“Kafe saja. Aku haus dan lapar,” Frangi memilih.

“Sudah kuduga,” Bambu menunjukkan arah.

“Dari mana kamu bisa menduganya?”

“Wajahmu pucat dan tanganmu dingin.“

Secara refleks Frangi menempelkan tangan pada kedua belah pipinya. Benar, dingin menjalar dari telapak tangannya. “Ha, mengapa dingin begini?”

“Jangan khawatir. Ada kopi atau teh jahe yang bisa menghangatkanmu.”

Bambu menangkap kekhawatiran Frangi. Diulurkannya tangan untuk membantu Frangi menuruni tangga teras.
Sesaat langkah Frangi terhenti. Ditatapnya uluran itu. Uluran tangan yang santun, menyiratkan gerak perlindungan. Itu uluran kebaikan hati yang tidak layak ditolak. Lalu, disambutnya uluran tangan itu. Bambu menggenggam jemarinya. Ah, genggaman itu, mengalirkan sesuatu yang hangat. Bahkan, mungkin lebih hangat dari secangkir teh jahe.

Sesaat kemudian, teh jahe pesanan mereka datang. Dengan sigap Bambu menuangkan gula.

“Manis sedang atau…?”

“Manis saja. Rasanya, tubuhku lemas. Barangkali, gula bisa memberiku tambahan energi,” kata Frangi, sembari mengamati gerakan Bambu, yang sedang mengaduk teh, tanpa suara.

“Minumlah,” kata Bambu, sambil menyodorkan cangkir.

Perlahan Frangi menerima tehnya. Cara Bambu menyiapkan minum untuknya sungguh menyentuh hati. Gerakan santun yang wajar, tanpa kepura-puraan. Tidak banyak pria yang melayani wanita dengan cara seperti itu. Paling tidak, Frangi baru melihatnya kali ini.

Frangi menghirup teh jahe. Cairan manis hangat bercampur pedas itu langsung mengalir ke tubuhnya, menyusupkan efek hangat yang nyaman. Mendadak Frangi merasa nyaman. Disentuhkannya punggung tangan pada kedua belah pipi. Hangat kini terasa, tidak ada aliran dingin lagi.

“Masih dingin?” Bambu bertanya lagi.

“Tidak,” Frangi menyentuhkan jemarinya pada punggung tangan Bambu “Terasa hangat, ‘kan?”

Bambu mengangguk. “Tapi, wajahmu masih pucat.”

“Ah, itu karena kulitku putih,” Frangi mengerling, “dan, bibirku tidak berlipstik.”

“Tapi, sepertinya, aku masih bisa membedakan kulit putih dan putih pucat.”

“Baiklah,” Frangi mengalah, “aku akan makan, kalau perlu yang pedas, supaya wajahku memerah dan tidak pucat lagi. Setuju?”

“Tidak,” Bambu menyimpan senyum. “Karena, sesudah itu kau akan mendapat masalah baru, yaitu sakit perut.”

Frangi tertawa. Tawa yang lepas tanpa beban. Tawa yang mendadak mengalirkan rasa bahagia. Sesuatu yang tidak dirasakannya beberapa hari ini. Mendadak Frangi tercenung. Beberapa hari ini? Kapankah itu?

Ia merasa berada di tempat yang sangat ia kenal. Namun, ada hal-hal yang terasa tidak lazim. Apakah ia tersesat? Di mana dan mengapa?

Jati menutup bukunya. Sudah diselesaikannya satu bab, tapi tidak sedikit pun dipahaminya. Barisan huruf yang dibacanya lewat begitu saja, bagai semut beriring di dinding, tanpa meninggalkan jejak apa pun. Bukan karena buku itu yang sulit dipahami, melainkan karena tidak bisa berkonsentrasi.

Dihelanya napas panjang. Gadisnya masih tertidur dengan tenang. Napasnya mengalun sempurna dengan gerakan stabil. Cairan bening infus menetes teratur, menjatuhkan titik air tanpa suara.

Jati beranjak mendekat. Lembut dikecupnya kening gadis itu. Lembut punggung tangannya membelai pipi. Dan, mendadak, disadarinya ada kehangatan pada belah pipi itu. Lalu, diraihnya jemari gadis itu, hangat yang serupa menjalarinya.

“Suster, suhu tubuhnya hangat, tidak sedingin tadi,” seru Jati, antusias, pada suster perawat yang muncul membawa tabung infus baru.

“Benarkah? Akan saya periksa segera.” Perawat segera memasang termometer. Lalu, dibalutnya lengan gadis itu dengan alat pengukur tensi.

“Suhu tubuh dan tensi normal,” kata perawat itu, mengamati hasil pemeriksaannya.

“Jadi?” Jati mendesak.

“Akan saya sampaikan pada dokter. Semoga gejala bagus ini akan membawa kesembuhan.”

Jati mengangguk, menyimpan harapan. Dibawanya jemari gadisnya dalam genggaman.

“Lihat, kondisimu membaik,” bisiknya, lembut. “Segeralah bangun. Jangan tidur terlalu lama begini. Ada banyak hal yang harus kau lakukan. Kebun sedang berbunga, bunga-bunga itu menunggumu untuk kau jadikan sebagai potpourri.”

Jati mengusapkan pelembap pada bibir gadisnya. Kering bibir itu. Alangkah berbeda dari yang biasa dilihatnya selama ini. Biasanya, bibir mungil itu membasah, ranum tersaput perona bibir berwarna muda. Dihelanya napas panjang.

“Bangunlah. Bergegaslah sebelum bunga-bunga itu layu.”

Tapi, gadisnya tetap terlelap. Tidur dalam keheningan yang panjang. Sangat panjang bahkan.

Sebuah ide mendadak melintas di benak Jati. Lalu, tangannya terulur, menggelitik pundak dan leher gadis itu. Biasanya, gadis itu akan menjerit spontan, lalu berteriak marah, dan berlanjut dengan omelan panjang yang tidak berkesudahan. Sering kali Jati tak mengerti, bagaimana mungkin seseorang bisa mengomel sepanjang itu hanya karena satu sebab kecil yang berlangsung beberapa detik.

“Tapi, kali ini aku tidak akan memikirkannya,” gumam Jati, melanjutkan gelitikannya. “Berapa pun lamanya kau mengomel, akan tetap kudengarkan dengan senang hati. Ayolah, Sayang, bangunlah. Kau tidak pernah tahan dengan gelitikan ini, ‘kan?”

Ternyata, tidak. Misi itu tetap gagal. Meskipun kulit di seputar leher itu memerah, gadis itu tetap diam. Tidak memunculkan gerakan apa pun juga. Gadis itu tetap tidur dengan tenang, tanpa suara sama sekali.

Sesaat kemudian gerak tangan Jati terhenti. Dengan putus asa disandarkannya diri pada bahu gadis itu. Kesedihan yang sangat mendadak menguasainya, merenggut habis harapan di benaknya. Di ujung mata, air matanya menggenang.

Frangi menjerit tertahan. Sesuatu mendadak menyentuh lehernya. Refleks tangannya bergerak menepis.
“Ada apa?” Bambu terkejut. Dihentikannya suapannya.

“Ada sesuatu di leherku,” teriak Frangi, panik.

Bambu mendekat, diperiksanya leher gadis itu. “Tidak ada apa-apa. Tapi, lehermu memang memerah.”

“Kau yakin, tidak ada binatang atau sesuatu?”

Bambu menggeleng. “Sungguh, tidak ada.”

“Tapi, seperti ada yang menggelitik,” sergah Frangi, tak puas.

“Mungkin, semut atau serangga kecil. Maklum, ada banyak tanaman di sekitar sini.”

“Sangat menjengkelkan,” umpat Frangi, bernada kesal. “Aku sungguh terganggu bila ada sesuatu menyentuh leherku. Bahkan, kalung pun tidak pernah kukenakan. Dan, makhluk itu… entah apa, berani betul. Sungguh kurang ajar. Awas, bila nanti kulihat, pasti akan kubuat perhitungan!”

Bambu meletakkan sendok. Ditatapnya Frangi dengan seksama, keheranan yang nyata merona di wajahnya.
Sadar bahwa Bambu menatapnya dengan aneh, kemarahan Frangi terhenti. “Ada apa?” tanyanya, heran.

“Kau mendadak berubah,” Bambu melanjutkan tatapannya.

“Itu karena makhluk itu. Berani betul menggangguku. Di leherku pula!”

“Kau marah untuk hal semacam itu?”

Frangi mengangguk.

“Apakah itu perlu?”

“Tentu saja, aku berhak untuk marah.”

“Betul, setiap individu, bahkan binatang dan alam sekalipun, berhak untuk marah bila habitatnya terganggu. Tapi, masalahnya, apakah kemarahanmu itu perlu?”

“Mengapa tidak?” sergah Frangi.

“Menurutku, tidak perlu. Kau membuang energi untuk sesuatu yang tidak sepadan.”

“Tapi, aku sungguh terganggu,” Frangi membela diri.

“Betul, tapi, maaf, kurasa, reaksimu berlebihan. Tidak setiap gangguan harus kita respons dengan kemarahan,” kata Bambu lunak, bernada hati-hati. “Apakah kau terbiasa marah begitu?”

Frangi tercenung. Mencoba mengingat sesuatu. Sesaat kemudian, disadarinya bahwa perasaan marah itu terasa bukan sesuatu yang asing. Ia pernah mengalaminya.

“Rasanya, hal itu kulakukan berulang kali,” gumam Frangi. “Tapi, kapan, ya? Mengapa tak kuingat satu pun?”

Bambu tersenyum. “Kemarahan bukan sesuatu yang menyenangkan untuk diingat. Jadi, agaknya, memorimu tidak menyimpannya dengan baik. Tapi, lain kali, ketika kemarahan itu datang lagi, pastikan kau ingat untuk menghilangkan kebiasaan itu.”

Usulan bijaksana, yang disampaikan dengan santun. Sangat layak diterima.

“Pasti akan kuingat,” Frangi tersipu.

“Hmm, kurasa, aku harus pergi sekarang,” kata Bambu, kemudian.

Frangi terkejut, mendadak merasa akan kehilangan sesuatu.

“Kita berpisah sekarang?”

Bambu mengangguk. “Ya, tapi aku akan datang lagi besok, mengantarmu ke stasiun dan memastikan kau mendapat kereta yang tepat.”

“Terima kasih. Kau benar-benar teman yang baik hati,” puji Frangi, tulus.

“Maaf, aku tak bisa berlama-lama menemanimu. Tapi, aku yakin kau tidak akan kesepian. Ada banyak hal menarik di penginapan ini. Perpustakaan, museum mini….”

“Kau tak usah khawatir,” sahut Frangi.

Bambu tersenyum. Lalu, bayangnya menghilang di balik koridor teras.

Frangi merasa sangat mengenal pasangan itu. Tapi, mengapa mereka sama sekali tidak memedulikan kehadirannya?

Perawat muncul di ujung koridor, sambil mendorong rak berisi peralatan mandi. Jati melihat arloji, hampir petang. Waktu bagi gadisnya untuk mandi.

“Silakan menunggu di luar, Pak,” kata perawat itu dengan santun.

Jati beranjak. “Rasanya, saya juga harus mandi. Mandi selalu memberikan energi baru bukan? Jangan lupa pakai air hangat. Dia tidak suka mandi dengan air dingin.”

Perawat itu mengangguk.

Jati menyentuh lengan gadisnya. “Kau mandi dulu, ya, Sayang. Aku juga. Aku akan mandi dengan sabun aroma teh hijau. Itu favoritmu, bukan?”

Di ujung pintu, perawat menghela napas panjang. Sang gadis masih tertidur tenang di tempatnya.

Frangi menghirup wangi yang menebar. Aroma teh hijau terasa segar menyentuh paru-parunya. Sungguh nyaman acara mandinya kali ini. Air hangat yang melimpah, sabun dan sampo teh hijau yang khas. Sungguh menyegarkan. Frangi berendam berlama-lama, melepaskan segala penat, sambil mengamati dekorasi dedaunan di seluruh sudut ruangan itu.

Dekorasi kamarnya bertema daun. Maka, segala pernak-pernik menampakkan helai daun hijau. Mulai dari lantai, goresan tapak daun di dinding, motif handuk, bed cover, bahkan perlengkapan piring dan gelas. Sentuhan yang unik dan personal.

Tengah malam, tidur Frangi terusik oleh rasa lapar. Ragu-ragu dia melangkah ke kafe. Untunglah, kafe masih buka. Ada sepasang tamu di meja sudut. Frangi baru saja menulis menu yang dipesannya, ketika menyadari bahwa sepasang tamu di sudut itu, seperti sosok yang tak asing baginya. Refleks akan diserukannya sebuah panggilan, tapi seruannya terhenti mendadak. Panggilan apa yang akan diucapkannya? Baru disadarinya, tidak ada nama yang tersimpan dalam benaknya, yang bisa dipakainya untuk mengucapkan sebuah panggilan.

Frangi berpikir keras. Siapa mereka? Diamatinya dengan tajam dua bayang itu. Yang seorang adalah wanita muda berambut ikal yang mengenakan busana standar wanita karier. Yang lain adalah seorang pria jangkung berbadan tegap. Rambut cepak lurus, cekung mata yang dalam.

Mata Frangi menajam. Profil wajah pria itu sungguh tidak asing. Seperti dikenalnya dengan baik wajah itu. Andai bisa mendekat, mungkin akan ditemukannya sebuah tahi lalat di ujung mata kiri. Benarkah? Mendadak Frangi terkejut pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia tahu soal tahi lalat itu? Dan, apakah itu benar?

Frangi terdorong untuk mencari jawaban. Lalu, tanpa pikir panjang, ia melangkah mendekat. Ketika jarak tersisa dua meter, langkahnya terhenti. Pasangan itu tidak memedulikannya. Digesernya langkah, memperpendek jarak. Gerakannya sangat hati-hati, sambil bersiap untuk berbalik, kalau-kalau pasangan muda itu mencurigai gerakannya. Tapi, pasangan itu tetap tak peduli. Bahkan, menoleh pun tidak.

Frangi berdiri persis di samping mereka. Dilihatnya dengan jelas posisi tahi lalat itu. Persis seperti yang terlintas di benaknya, di ujung mata kiri. Astaga, bagaimana dia bisa tahu?

Frangi tercenung. Kalau begitu, pastilah dirinya dan pria itu adalah orang yang saling mengenal, pikirnya kemudian. Paling tidak, dia pasti tahu sesuatu tentang aku. Frangi ingin mengatakan sesuatu. Tapi, mendadak disadarinya bahwa pasangan itu sama sekali tidak memedulikannya. Bahkan, mereka seperti tidak melihatnya. Frangi mengatupkan bibir dengan heran. Jarak mereka begitu dekat, mustahil mereka tak melihat. Tapi….

“Selamat malam,” Frangi mengucapkan salam.

Pria itu menoleh, tatap matanya melintas dirinya. Tapi, tatap mata itu kosong, tidak memunculkan reaksi atas salam yang diucapkannya. Mungkinkah dia tipe pria yang tak peduli? Frangi mencoba menyimpulkan. Mungkin begitu.
Frangi memberanikan diri, menepuk pundak wanita berambut ikal itu.

Sama saja. Wanita itu juga tidak bereaksi. Dia tetap duduk menopang dagu, seperti mendengarkan dengan seksama cerita dari pria pasangannya. Astaga, ini sungguh aneh, pikir Frangi tak mengerti.

Menu pesanannya datang. Pelayan menghampirinya.

“Mau duduk di mana, Bu ?”

“Di sini saja,” Frangi menunjuk meja yang dipakai pasangan itu dan menempatkan diri semeja dengan mereka. Harus dilakukan tindakan yang ekstrem untuk menarik perhatian.

“Terima kasih,” kata Frangi, yang segera meneguk kopi jahenya. Pasangan di depannya tetap tidak peduli. Mereka tetap berbicara biasa, seolah tanpa kehadiran sosok asing di meja mereka.

“Kami bertengkar lagi,” keluh pria itu dengan helaan napas panjang. “Sepele, tapi menjengkelkan.”.

“Masalah apa?” wanita itu tampak sabar.

“Temannya membuka salon baru. Lalu, dia memaksaku untuk memangkas rambutku di salon itu. Tentu saja aku tidak mau.”

“Lalu, dia marah?”

Pria itu mengangguk. “Aku juga marah. Pangkas rambut itu kan soal selera. Kalau aku sudah punya stylist yang memahami gayaku, mengapa harus mencari yang lain?”

“Sesungguhnya, permintaan itu sederhana. Dia ingin kau mengapresiasi undangan temannya untuk mengunjungi salon barunya. Itu saja ‘kan?”

“Tapi, tidak seharusnya dia memaksaku.”

“Dia hanya ingin berbaik hati mendukung bisnis teman. Begitu antusiasnya sehingga tak bisa menerima penolakanmu. Lain kali, tawarkan diri untuk mengantar. Sementara dia menikmati pelayanan salon, kau menunggu sambil cuci rambut. Atau, beli saja voucher dan berikan padaku, bagaimana?”

Pria itu tersenyum. “Usul yang menarik. Akan kupertimbangkan.”

Lalu, mereka tertawa dan berbincang lagi dengan akrab.

Di kursinya, Frangi tertegun dalam diam. Otaknya berputar cepat. Mengapa yang baru mereka perbincangkan itu sepertinya bukan sesuatu yang asing? Mengapa sepertinya aku pernah terlibat di dalamnya? Tapi, mengapa mereka tidak mengenalku sama sekali? Siapakah mereka? Siapakah aku?

Frangi lalu beranjak dan membayar minumannya. “Apakah mereka tamu langganan kafe ini?” tanya Frangi pada penjaga kasir.

“Tamu yang mana, Bu?” tanya penjaga kasir, sopan.

“Yang duduk semeja dengan saya.”

Kasir mengerutkan kening. “Maaf, tapi, bukankah Ibu duduk sendirian?”

“Tidak, saya duduk dengan mereka di meja sudut.” Frangi menoleh dan menunjuk arah mejanya. Namun, ia terkejut. Pasangan muda itu tak ada lagi. Meja di sudut itu kosong, hanya tersisa sebuah cangkir kopi bekas minumnya, serta kursi yang bergeser setelah didudukinya. Sepasang kursi yang lain, terletak rapi pada tempatnya.
“Tak ada tamu lain, hanya Ibu tamu kami. Dan, sejak tadi Ibu duduk sendirian,” sambung penjaga kasir.

Frangi berdiri kaku. Segala kata tiba-tiba hilang dari benaknya. Pikirannya mendadak kosong, seperti berada dalam kehampaan. Apakah yang terjadi sesungguhnya? Frangi bertanya tanpa suara. Apakah ini yang namanya halusinasi? Mengalami sesuatu yang tak nyata. Bertemu dengan seseorang yang ternyata tak ada. Tapi, mengapa aku harus berhalusinasi tentang mereka? Dan, siapakah mereka?

Sederet pertanyaan menggantung di benak Frangi. Tidak ada satu jawaban pun yang ditemukannya. Yang ada hanya hening, yang dibawa malam untuk menyelimuti segala sesuatu.

Jati bersandar di jendela. Hening malam baru saja berlalu, menyisakan embun yang berbentuk titik-titik air pada kaca jendela. Beberapa titik air bergulir jatuh, membentuk garis air yang bermuara di bingkai dasar jendela. Sunyi, tidak ada suara. Hanya suara napas yang terembus lembut.

Jati menoleh. Gadisnya masih terbaring tenang, serupa putri tidur dalam cerita dongeng. Alkisah, putri tidur terbangun oleh sebuah ciuman penuh cinta dari sang pangeran. Lalu, akankah kau terbangun juga oleh ciumanku? Jati bertanya dalam hati.

Aku bahkan sudah mengecupmu berkali-kali, lanjut Jati tanpa suara. Juga memeluk dan menangis untukmu. Tapi, kau tetap terdiam dalam tidurmu. Mengapa? Apakah itu tidak cukup? Padahal, sepenuh hati kulakukan itu untukmu. Sepenuh hati? Benarkah? Mendadak Jati tercenung. Lalu, sebuah bayang melintas. Hanya sekilas.

Mendadak sebuah ketukan halus menyentuh pintu. Jasmine muncul di ambang pintu. Serumpun anyelir merah magenta dalam genggamannya.

“Bagaimana kondisinya?” tanyanya, pelan, sembari meletakkan rumpun bunga itu di vas.

“Belum ada kemajuan berarti,” Jati menggeleng, tanpa menutupi kemuramannya.

“Tapi, dia akan membaik, bukan?”

“Entahlah,” Jati angkat bahu, lesu kehilangan harapan.

“Harus selalu ada harapan di sini,” Jasmine menepuk dada Jati, berusaha menumbuhkan semangat baru. “Sekarang, sarapan dulu. Itu bekal penting untuk mencari harapan baru. Kubawakan nasi goreng dan jus wortel.”

“Tidak ada selera,” tolak Jati. “Aku bahkan tidak merasa lapar.”

“Di rumah sakit mana pun, yang termewah sekali pun, tidak akan pernah ada makanan yang mampu menggugah selera,” Jasmine mengulurkan kotak bekal. “Tapi, makan tidak selalu dilakukan untuk memenuhi selera atau menghilangkan lapar, melainkan untuk menjaga kesehatan. Jadi, makanlah.”

Jati menerima kotak itu, lalu meletakkkannya di meja. Dia tahu, Jasmine selalu mampu menyuruh seseorang dengan cara yang manis. Tapi, kali ini dia sungguh tak tergerak.

Jasmine tak memaksa. Dia beranjak mendekati gadis yang terbaring.

“Hei, masih nyenyak tidurmu, ya?” katanya, sambil menepuk jemari gadis itu. “Lihat, Jati sudah kelelahan menunggumu. Segeralah bangun. Jangan membuatnya kehilangan harapan. Kau tahu, hanya kau yang memiliki persediaan harapan tak terbatas untuknya.”

Jati berpaling, menyembunyikan mata yang mendadak membasah. Jasmine benar, sisa harapan yang mengendap di benaknya tak banyak lagi.

“Ada anyelir merah magenta untukmu. Semoga kau suka,” kata Jasmine.

Lalu, hening. Tidur gadis itu tetap berlanjut, tak terhenti.

Tidur Frangi terhenti oleh ketukan di pintu. Gadis itu terbangun dan terkejut oleh sinar matahari yang menerobos tirai. Sudah siang rupanya. Segera dibukanya pintu.

“Baru bangun?” Bambu berdiri di ambang pintu.

“Apakah aku terlambat?” Frangi panik. “Kereta sudah datang?”

“Itulah. Ada kabar buruk,” jawab Bambu, dengan nada sesal. “Ada tanah longsor di perbatasan, jalur kereta tertimbun sebagian. Jadi, kereta akan datang terlambat. Entah untuk berapa lama. Apa boleh buat, kau harus menunggu. Mungkin, sampai sore atau lebih parah lagi, besok. Tak ada pilihan lain, jalur kendaraan lain sama saja.”

Frangi terduduk. Tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya ingin pulang segera. Itu saja.

“Jangan sedih begitu. Kereta itu pasti datang. Tidak mungkin tidak,” Bambu menenangkan. “Tentu, tidak akan kubiarkan kau sendirian menunggu.”

Frangi merasa sangat mengenal pasangan itu. Tapi, mengapa mereka sama sekali tidak memedulikan kehadirannya?

“Aku…,” Frangi nyaris menangis.

“Hanya bermodal bola dan kalung, Tom Hanks dalam Cast Away bisa melakukan banyak hal di pulau terpencil. Mengapa kita tidak?” seru Bambu bersemangat. “Ada banyak hal menarik di Pringsewu, yang bahkan akan membuatmu kekurangan waktu. Jadi, ayo bersiap. Mandilah segera. Akan kupesankan sarapan,” Bambu mendorong Frangi ke kamar mandi.

Usai merapikan diri, Frangi menemukan sarapannya sudah terhidang di atas meja. Sepiring nasi goreng, segelas jus wortel, dan beberapa kuntum anyelir merah magenta. Frangi tertegun.

“Aku tidak tahu apa yang kau suka sebagai sarapan. Jadi, kupesan sesuai seleraku. Tapi, kalau kau tidak suka, ada pilihan lain,” kata Bambu.

“Bukan itu,” Frangi menggeleng. “Aku suka pilihanmu. Terima kasih. Hanya, bunga itu….”

“Anyelir merah magenta. Kenapa?”

“Mengapa aku seperti pernah melihatnya?”

“Tentu saja. Itu bunga potong biasa. Ada di toko bunga mana pun.”

“Mengapa aku merasa aneh saat melihat bunga itu?”

Tawa Bambu terhenti. Ditatapnya gadis itu.

“Semalam aku mengalami semacam halusinasi,” lanjut Frangi. “Aku bertemu dua orang, pasangan muda, kami duduk semeja, tapi ternyata mereka tidak melihatku. Bahkan, mereka ternyata tidak ada. Kata petugas kasir, aku duduk sendirian dan hanya aku tamu mereka malam itu.”

“Siapa mereka?”

Frangi mengangkat bahu.

“Kau merasa pernah melihat mereka?”

“Entahlah,” Frangi menggeleng muram. “Seharusnya, aku mengenal mereka, karena aku tahu bahwa pria itu memiliki tahi lalat di ujung mata, bahkan sebelum aku melihatnya.”

“Berarti, kau memang mengenalnya. Apa yang mereka bicarakan?”

“Sepertinya, tentang sesuatu yang pernah kulakukan. Semacam perasaan marah. Pria itu mengalami kemarahan serupa. Mungkinkah kami terlibat dalam kemarahan yang sama?”

Bambu mengangguk. “Seperti permainan puzzle, kau mulai menemukan kepingannya satu per satu.”

“Tapi, ingatanku samar, serba tidak jelas.”

“Segala sesuatu ada tahapannya, anggap saja ini tahap permulaan.” Bambu tersenyum. Tatap matanya yang teduh, menyiratkan percaya diri yang tangguh. Seakan menjanjikan bahwa segala sesuatu akan berjalan dengan baik.

“Sekarang, makanlah dulu. Sesudah itu, kita pergi. Siapa tahu di luar sana akan kita temukan kepingan puzzle yang lain. Jangan pernah kehilangan harapan dalam kondisi apa pun juga. Untuk yang satu itu, persediaanku tidak pernah habis.”

Frangi tertawa. Bambu benar. Ada semacam semangat yang tumbuh, semacam keyakinan bahwa akan segera ditemukannya jawaban dari deretan pertanyaan yang ada dalam benaknya. Lalu, Frangi segera menyantap sarapannya. Dia memerlukan sarapan sebagai energi untuk menemukan jawaban itu. Dan, nasi goreng dan jus wortel itu tandas dalam sekejap.

Jati merapikan kotak bekal di sudut meja. Di dalamnya, nasi goreng dan jus wortel itu masih utuh, tak tersentuh. Dihelanya napas panjang, lalu dihampirinya gadisnya. Perlahan, diusapkannya lotion pelembab di seputar wajah gadis itu. Selama ini pipi gadis itu selalu ranum, mengilap sehat. Jadi, harus dirawatnya baik-baik keranuman itu. Sehingga, kala gadisnya terbangun nanti, akan ditemukannya keranuman itu, seperti hari-hari sebelumnya.

“Jasmine datang,” katanya, lalu ditunggunya reaksi gadis itu. Gadisnya tetap tertidur tenang.

“Mengapa kau tidak menyukai Jasmine? Kau tahu, dia adalah pendengar yang baik, lebih mirip kotak penyimpan yang tidak pernah penuh. Dia mendengar semua cerita, dia tahu apa pun tentangmu, juga pertengkaran kita,” Jati terbata, terhenti sesaat.

“Maaf, bukan maksudku membuka rahasia kita,” lanjut Jati, sembari terus mengoleskan pelembab di lengan. “Tapi, karena Jasminelah yang mengurai pertengkaran kita, mengajarku untuk melihat sisi positif dirimu, membantuku menemukan solusi terbaik, mengarahkanku mengendalikan ego. Tapi, baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kau lihat, sarapan darinya tak kusentuh. Aku tahu, kau tak suka dia memasak untukku. Tapi, please, jangan membencinya….”

Gadisnya tak juga menjawab. Tetap terhanyut dalam tidur panjang tiada berkesudahan, tiada gerak.

Gerak langkah Frangi terhenti. Tatap matanya terpaku pada sesuatu. Bayang pasangan muda yang melintas di seberang jalan menyita perhatiannya.

“Frangi, ada sesuatu?” Bambu melihat gelagat itu.

“Mereka,” Frangi menunjuk, “yang kulihat dalam halusinasiku.”

Bambu mengikuti arah pandang. “Benar mereka?”

Frangi mengangguk.

“Kalau begitu, ayo, kita ikuti. Itulah keping berikutnya untuk puzzle-mu,” seru Bambu, lalu segera membimbing gadis itu menyeberang jalan. Jemarinya halus menyentuh bahu Frangi.

Hati Frangi berdesir. Sentuhan Bambu di pundaknya mengalirkan sesuatu, semacam rasa nyaman yang menentramkan. Disimpannya desiran itu dan bergegas meneruskan langkah.

Pasangan muda itu berjalan tenang. Sama sekali tidak tampak bergegas, seperti menikmati setiap langkah. Mereka berjalan bersisian, tanpa bersentuhan. Beberapa jarak di belakangnya Frangi dan Bambu mengatur langkah sedemikian rupa sehingga tidak berkesan mengikuti. Samar Frangi mendengarkan pembicaraan pasangan itu.

“Sesungguhnya, aku bosan bertengkar,” gumam sang pria. Nada suaranya berat, menampakkan keresahan.
“Tapi, selalu kau ulangi,” sambung sang wanita, bernada lunak.

“Dia selalu merasa tahu apa yang terbaik untukku, tanpa melihat bahwa aku mempunyai pertimbangan sendiri.”

“Itu karena dia mencintaimu, sehingga dia menginginkan segala yang terbaik untukmu.”

“Tapi, aku bukan anak kecil yang bisa diperlakukan sedemikian rupa. Dia cenderung memaksa. Dia mau aku memakai jins merk ini, sepatu merk itu. Tidak boleh olahraga ini, menu makan harus begitu, dan seterusnya.”

“Kalau memang kau harus diarahkan untuk tujuan yang lebih baik, mengapa tidak?”

“Kenapa kau selalu membelanya, sih?”

“Mari kita urai satu per satu. Jins-mu selalu tampak kedodoran, tidak rapi. Entah ukuran atau modelnya yang tidak pas. Jadi, mungkin, dia berpikir bahwa kau memerlukan jins yang lebih baik. Dia tidak setuju kau ikut bungee jumping, ya, wajar saja. Itu kan kegiatan yang berbahaya untuk kau pilih sebagai olahraga rutin. Kalau kau tidak suka renang sebagai pilihannya, tidak apa-apa. Tapi, pilihlah olahraga lain yang wajar, setidaknya yang tidak berisiko tinggi. Dia pasti setuju.”

“Kau juga setuju kalau dia memaksaku diet food combining?”

“Ah, maklumilah bahwa dia sedang menyukai program itu. Lagi pula banyak orang mengatakan program itu bagus. Mengapa tidak mencobanya?”

“Aduh, kau tahu aku tidak sanggup melakukannya.”

“Itu karena kau tak berusaha. Kau selalu makan sembarangan.”

“Bukan sembarangan, tepatnya, makan enak. Hidup hanya satu kali, harus diisi dengan segala sesuatu yang enak, bukan?”

“Itu gaya berpikir jangka pendek.”

“Apa salahnya?”

“Tidak ada, hanya perbedaan pilihan. Gadismu memilih sesuatu yang lebih baik untukmu, tapi kau tidak menyukainya. Kalau kau merasa dia memaksamu, itu karena dia benar-benar ingin yang terbaik untukmu, meski kau tidak menyadarinya.”

Langkah Frangi terhenti. Rangkaian perbincangan itu mengingatkannya pada sesuatu. Dia ada dalam rangkaian itu, bagian dari kepingan puzzle-nya.

“Itu tentang aku,” gumam Frangi bergetar. “Aku ingat, aku pernah melakukan apa yang mereka bicarakan. Tapi, siapa mereka?”

“Kau mau menanyakannya? Mungkin, mereka punya jawaban untukmu.”

Frangi mengangguk, bergegas meneruskan langkah, bergerak menyusul pasangan itu. Tapi, terlambat. Pasangan muda itu telah menghilang di tikungan. Bambu berlari berusaha mengejar. Tapi, bayang mereka tak tertinggal selintas pun. Jejak yang samar pun tak ada. Ada banyak tikungan, entah di persimpangan mana mereka melangkah.

“Mereka menghilang, persis seperti semalam,” desis Frangi.

Bambu meredakan kegelisahan gadis itu. Ditatapnya gadis itu dengan matanya yang setenang telaga. “Sesungguhnya, sejak kemarin, merekalah yang menampakkan diri padamu. Karena itu, bila memang mereka menyimpan keping puzzle-mu, pastilah mereka akan kembali padamu.”

Frangi menghela napas panjang. Perasaannya merindukan seseorang. Semacam rindu yang samar. Entah pada siapa. Mungkinkah pada pria bertahi lalat itu? Lalu, siapa wanita itu?

“Akankah aku bertemu mereka lagi?” tanya Frangi, ragu.

“Walaupun mereka tidak kembali, setidaknya mereka telah membawa sesuatu untukmu.”

Frangi mengangguk. “Membuatku melihat diriku sendiri.”

“Ada banyak cara mencintai,” kata Bambu.

Frangi menatap lurus, dicarinya mata Bambu tepat di manik mata. “Kalau kau, cara apa yang kau pilih?”

Bambu tertegun sesaat. “Aku belum pernah mencintai seseorang. Tapi, seharusnya cinta bukanlah teori atau strategi, melainkan apa yang ada di hati. Cara terbaik mencintai seseorang adalah menggunakan kata hati. Naluri akan mengatakan apa yang harus dilakukan untuk mencintai seseorang.”

Frangi tercenung. “Rasanya, aku sudah melakukannya. Tapi, ego membuatku tak peduli bahwa orang yang ingin kubahagiakan, justru tertekan.”

Bambu menepuk pundak Frangi, sambil tersenyum.

“Aku belajar dari wanita itu. Siapakah dia?”

“Seseorang yang pantas menjadi sahabatmu, kurasa.”

Sebaliknya, gumam Frangi dalam hati. Aku justru merasa tidak menyukainya. Paling tidak, itu perasaan awal yang muncul kala pertama melihatnya. Frangi menghela napas, perasaan tidak nyaman muncul.

“Sekarang, ayo, akan kutunjukkan sesuatu,” kata Bambu, sambil meraih jemari Frangi dan menarik gadis itu.

Tindakan yang tepat. Baru saja sampai di depan etalase, Frangi berteriak takjub. Aneka bunga kering dalam berbagai bentuk dan rangkaian menyita perhatian gadis itu. Frangi segera membuka pintu toko dan menerobos masuk. Tapi, di ambang pintu langkahnya terhenti. Tatap matanya nanar. Persis di depannya, pasangan muda itu juga ada di dalam toko.

Bila ada persahabatan yang harus usai dan seseorang harus pergi, maka itu risiko yang tak terhindarkan.

Sang wanita meraih sebuah pigura. Aneka botol kecil berisi bermacam bunga berjajar rapi di dalam pigura itu. Kayu pinus melintang, membentuk rak-rak mini. Beberapa ikat bunga mungil mengisi sekat-sekat rak itu. Ada juga rumpun bunga dalam vas mini. Pigura berjudul Flower Shop itu menggambarkan miniatur sebuah toko bunga.

“Rangkaian ini bagus. Dia pasti menyukainya,” wanita itu menunjukkan pilihannya. Pria itu mengamati pigura itu sejenak dan mengangguk.

“Kau kan mengenal karakternya dengan baik. Berarti, kau harus selalu tahu apa yang dia suka.”

Pria itu kembali mengangguk.

Sang wanita tersenyum samar, “Mungkin, kau juga harus tahu bahwa dia tidak menyukai aku.”

“Maaf, ya…,” gumam sang pria, merasa tidak enak.

“Tak apa-apa. Itu perasaan cemburu yang wajar.”

“Apa yang harus membuatnya merasa cemburu? Sejak awal, kita adalah sahabat. Tapi, dia tidak pernah mau mengerti.”

“Dan, mengapa kau harus memaksanya untuk mengerti?”

“Karena, kau adalah sahabat terbaikku.”

“Tapi, kalau persahabatan kita ini menimbulkan tekanan pada pihak lain, khususnya pada kekasihmu, maka persahabatan ini bukan lagi sesuatu yang positif.”

“Maksudmu?”

“Kalau dia tidak menyukaiku, itu adalah sebuah pilihan dan dia berhak untuk itu. Kalau kau tidak setuju dan memintanya untuk menerima keberadaanku, itu adalah pemaksaan.”

“Tapi….”

“Tapi, kau dan dia saling mencintai. Itu lebih penting.”

“Bagiku, kau juga penting.”

“Dia tidak menyukaiku, itu adalah sebuah pilihan. Kurasa, kita harus menghormati pilihannya. Karenanya, kita jangan bertemu lagi sesudah ini.”

“Itu pilihanmu?”

“Ya,” wanita itu mengangguk.

“Lalu, bagaimana dengan pilihanku?” sergah pria itu.

“Pilihanmu adalah dia. Kau mencintainya, bukan?”

“Benar, aku mencintainya. Tapi, aku juga memerlukanmu. Kau yang selama ini mendengarku, membaca pikiranku….”

“Dia akan melakukannya untukmu.”

“Dia hanya mendengarkan aku ketika aku bercerita tentang apa yang ingin ia dengarkan. Selebihnya, seolah ia tak mau menerima aku apa adanya.”

“Yang perlu kalian lakukan adalah saling belajar untuk me­ngalahkan ego masing-masing. Beri diri kalian kesempatan untuk itu.”

“Dengan kehilangan dirimu sebagai sahabatku?”

“Bila aku tetap berada di antara kalian, itu tidak adil untuknya. Itu artinya, kau mengutamakan egomu, bukan?” Wanita itu sejenak menghela napas “Itulah hidup. Tidak semua hal terjadi seperti yang kita inginkan. Yang diperlukan adalah menjalaninya dengan ikhlas. Itu saja.”

Sang pria tertegun. Matanya menatap sang wanita, menyiratkan sesuatu. Semacam kepedihan yang samar.

“Nah, sekarang ini pilihanku yang terakhir untuknya. Sesudah ini kau harus memilih sendiri hadiahmu. Gunakan hatimu untuk me­ngetahui apa yang dia inginkan darimu,” kata wanita itu, sambil me­ngulurkan pigura dengan miniatur mini berjudul Flower Shop itu.

Frangi menahan napas. Ditatapnya tanpa kedip adegan yang terjadi di hadapannya. Sang pria menerima pigura itu, mengamatinya sesaat. Lalu, entah bagaimana, Frangi tahu apa yang akan terjadi pada pigura bunga itu.

“Pigura itu…,” desisnya. Bibirnya bergetar.

“Ada apa dengan pigura itu?” Bambu menunggu dengan keheranan yang tidak disembunyikan.

“Akan dibungkus dengan kertas berbunga biru langit, berpita ungu, dan disemat bunga lavender,” lanjut Frangi.

Bambu termangu dan menunggu dengan berdebar.

Benar. Pelayan toko membungkus pigura itu dengan kertas biru langit. Pria itu memilih pita ungu muda sebagai pengikat dan wanita itu memetik setangkai bunga lavender sebagai pelengkap.

“Persis seperti yang kau katakan,” cetus Bambu, heran, “bagaimana kau mengetahui hal itu?”

“Entahlah,” Frangi angkat bahu, “aku tahu saja.”

Sesaat kemudian pasangan muda itu beranjak pergi. Frangi berdiri dalam diam, memerhatikan mereka menghilang.

“Mereka pergi. Kau bilang tadi ada yang harus kau tanyakan pada mereka?” Bambu mengingatkan.

Frangi diam. “Aku sudah tahu di mana bisa menemukan mereka.”

Bambu tampak heran. “Di mana?”

“Bila aku pulang nanti.”

“Apakah itu berarti kau sudah menemukan keping terakhir puzzle-mu ?”

Frangi tersenyum. “Hanya bila kau mengantarku menemukan kereta api yang bisa membawaku pulang.”

“Baiklah. Ayo,” Bambu mengulurkan tangan, “kita ke stasiun. Hampir petang. Kita tunggu sampai kereta itu datang.”

Jati bersandar di jendela, tatap matanya nanar me­nembus tirai. Rembang petang hampir menjelang. Langit mulai redup, menyisakan bias matahari yang samar. Satu dua cahaya lampu mulai berpijar, menyingkirkan gelap ke tepian.

Lalu, diliriknya gadisnya dengan ujung mata. Gadis itu tetap tertidur tenang, tak terusik. Dokter baru saja melakukan kunjungan pemeriksaan rutin. Hasilnya, seperti yang diduga, masih memerlukan kesabaran dan ketabahan.

Baiklah, gumam Jati dalam hati. Memang, hanya itu yang bisa dilakukan saat ini. Hal lain yang tersisa adalah penyesalan. Apa lagi?

“Bangunlah, dan kembalilah padaku,” katanya, dengan harapan yang tersisa. “Telah kulakukan semua yang kau inginkan. Telah kutinggalkan semua ego. Telah kurelakan dia pergi. Sesudah hari ini, dia tidak akan pernah lagi berada di antara kita.”

Lalu, dikatupkannya bibir. Nyeri menekan ulu hati, pedih terasa bagai luka yang tersayat. Perlahan kemudian ditegakkan­nya diri, menahan segala kepedihan. Harus kuat, katanya pada diri sendiri. Keputusan telah ditentukan, harus diselesaikannya segala langkah. Jangan terhadang oleh keraguan yang menjebak. Bila kemudian ada persahabatan yang harus usai dan seseorang harus pergi, maka itu adalah bagian dari risiko yang tak terhindarkan. Sesal menggenang di sudut hati. Seandainya saja pertengkaran hari itu tidak pernah terjadi. Lalu, tanpa suara disusutnya bening yang menggenang di sudut mata.

Kereta yang ditunggu itu berhenti. Salah satu pintunya terbuka, tepat di depan Frangi.

“Keretamu datang,” kata Bambu. Matanya mengikuti gerakan kereta.

Frangi mengangguk. Mendadak perasaannya terasa aneh. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Perasaan itu, paduan antara senang dan berat hati. Senang karena melihat kereta datang. Karena, itu berarti dia akan segera pulang, menemukan orang-orang yang mencintainya. Tapi, mengapa hati merasa berat untuk pergi? Seperti ada sesuatu yang tak ingin ditinggalkannya.

“Kita berpisah sekarang?” tanya Bambu, perlahan. Di­sentuhnya bahu Frangi. Lembut sentuhan itu, mengisyaratkan perhatian. Lamunan Frangi terhenti. Sesaat dihelanya napas panjang.

“Apakah kita akan bertemu lagi?” gumamnya.

“Entahlah,” mata Bambu menatap dalam-dalam, “mungkin.”

Hati Frangi berdesir. Tatapan Bambu begitu dalam, bagai menyentuh dasar hati. Lembut, selembut sentuhannya. Lalu, sigap ditangkapnya tatapan itu, disimpannya pada sudut hati. Suatu hari akan diingatnya tatapan mata itu sebagai kenang-kenangan.

Sesaat Frangi tersenyum.

“Kalau kau tak menyembunyikan diri, aku tahu di mana bisa menemukanmu,” katanya, sambil mengulurkan tangan.

“Tentu aku tidak akan bersembunyi. Aku akan selalu ada di sana,” kata Bambu, sambil menyambut jabat tangan itu. Digenggamnya erat. Lalu, dibantunya gadis itu memasuki kereta. “Hati-hati di jalan. Jangan sampai tersesat lagi,” katanya, berpesan sungguh-sungguh.

“Ya. Terima kasih,” Frangi melambaikan tangan.

Detik berikutnya, kereta segera melaju menjauh, membawa lambaian tangan gadis itu.

Di dalam kereta Frangi meredakan desiran hatinya. Ditariknya napas panjang, berusaha meringankan hati yang mendadak terasa berat. Tapi, aku harus pergi, Frangi menegakkan diri, menguatkan hati, untuk menemukan keping terakhir puzzle-ku.

Mata gadis itu mengerjap, menangkap sisa bayang Bambu yang tertinggal di kejauhan. Sesungguhnya, masih ada yang ingin dikatakannya pada sahabat barunya itu. Ia ingin bercerita bahwa kepingan terakhir puzzle itu hampir ditemukannya. Keping yang samar, yang membawa ingatannya pada sebuah hari. Pada sebuah pertengkaran, ketika pigura Flower Shop itu pecah dalam bantingan tangannya….

Bila ada persahabatan yang harus usai dan seseorang harus pergi, maka itu risiko yang tak terhindarkan.

HARI ITU...
“Makan malam yang mengesankan. Kubawakan sesuatu untukmu.” Jati mengulurkan kotak berbungkus kertas biru langit, berpita ungu, dengan sematan bunga lavender.

“Wow, apa ini?” Mata Frangi berbinar.

“Sesuatu yang kau suka. Bukalah.” Jati menatap lembut.

Frangi segera melepaskan pita. Sesaat kemudian pigura miniatur Flower Shop itu menampakkan diri.

“Cantik sekali,” desis Frangi takjub. “Belum pernah kulihat yang seperti ini. Beli di mana?”

“Entahlah. Aku tidak menghafal nama tokonya.”

“Tidak biasanya kau tahu ada toko yang menjual barang-barang seperti ini,” tatap mata Frangi mendadak meneliti, “ada seseorang yang mengantar?”

Jati terkesiap, mendadak merasa tidak siap untuk berbohong. Kegugupan yang segera tertangkap oleh Frangi.

“Apakah itu Jasmine?” tebak Frangi, mendesak.

Jati tidak mampu mengelak lagi. “Ya,” angguknya dengan jujur.

Mata Frangi menyala, sinar kemarahan tersulut di sana.

“Sudah berapa kali kukatakan? Dan, kau masih tetap menemuinya?”

Jati menghela napas. Diraihnya jemari gadisnya lembut, mencoba meredakan kemarahan yang menyala.

“Ini yang terakhir. Sesudah ini, kami tidak akan bertemu lagi.”

“Omong kosong!” sergah Frangi, tajam.

“Sudah kulakukan apa yang kau mau,” kata Jati, tetap dengan suara penuh kesabaran.

“Setelah apa yang kalian lakukan selama ini, kau kira aku akan percaya?” Frangi menepis tangan Jati kasar.

“Kalau kau tetap tidak percaya, lalu aku harus bagaimana?” Jati tetap berusaha membujuk.

“Sudah! Aku tidak mau dengar lagi. Pembohong!” Frangi sama sekali tak terbujuk. Kemarahannya justru meledak. Lalu, entah dengan kekuatan apa, mendadak saja tangannya bergerak, membanting pigura bunga itu dengan satu entakan keras. Detik berikutnya pigura itu terbanting dan berserak dalam kepingan. Hancur lantak.

Jati terkesiap, amat sangat. Sungguh tidak diduganya Frangi sanggup melakukan kekasaran itu. Nanar ditatapnya kepingan-kepingan itu.

“Apa yang kau lakukan? Jasmine telah memilih hadiah itu dengan sungguh hati. Seberapa pun kebencianmu terhadapnya, setidaknya, hargailah ketulusan hatinya untuk sekali ini saja,” kata Jati, keras.

“Tidak!” sembur Frangi dengan mata berapi. “Tidak akan pernah! Bagiku, dia tidak lebih daripada wanita peselingkuh!”

Jati terdiam. Tatap matanya mengeras, tampak berusaha mengendalikan kemarahan. “Kurasa…,” katanya dengan tatap mata sedingin es, “aku tidak sanggup mempertahankan hubungan kita lagi. Kita akhiri saja sampai di sini.”

Frangi terenyak. Sesaat bagai tertampar. Lalu, terbanting. Persis serupa dengan pigura yang barusan dilemparnya, hancur berserak dalam kepingan. Detik berikutnya perasaan itu berubah menjadi kemarahan yang tak terkendali. Diraihnya apa yang ada, dibantingnya segala sesuatu, me­ngarah pada satu sasaran: Jati.

Ketika Jati berusaha mengelak, gerakan itu justru makin menyulut kemarahan gadis itu. Dengan satu gerakan cepat gadis itu mengejar, penuh emosi dan melupakan segala per­timbangan. Termasuk tidak sadar bahwa dia mengenakan stiletto. Sepatu bertumit tinggi runcing itu pun tak mampu mengendalikan langkah dengan baik, Frangi tersandung dan lantai yang licin membuatnya limbung. Gadis itu terbanting dengan kepala membentur lantai. Benturan keras yang membawanya pada sebuah tidur panjang….

Frangi membuka mata. Tidur panjangnya sudah berakhir. Ah, selalu begini, keluhnya pada diri sendiri. Dia selalu tertidur dalam setiap perjalanan. Entah dengan pesawat, bus, atau kereta api. Sama saja. Selalu dilewatkannya pemandangan cantik di setiap perjalanan. Juga kali ini.

Dan, di manakah aku sekarang? Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah kereta sudah berhenti? Apakah ini sudah sampai di stasiun tujuanku? Dengan segera dibukanya mata lebih lebar, mencoba mencari jawab dari pertanyaannya. Dan, Frangi terkejut. Tidak ada kereta api. Dia tidak sedang berhenti di stasiun mana pun.

Mata gadis itu menatap berkeliling. Perlahan me­ngumpul­kan kesadaran diri. Dia berada di sebuah ruangan serba putih, terbaring dengan berbagai peralatan medis di sekujur tubuh. Frangi menahan napas. Apa yang terjadi?

Ditariknya napas panjang. Oksigen murni menebar ke se­luruh paru-parunya, membawa kesejukan yang nyaman. Frangi meraba selang yang menjulur di hidung. Ah, rupanya dia ber­napas dengan selang beraliran oksigen murni. Pantas, terasa nyaman sekali.

Refleks Frangi bergerak bangun, tapi gerakannya terhenti. Baru disadarinya, seseorang duduk tertidur dengan kepala terkulai di kasur. Lamat ditatapnya wajah pulas itu. Cekung mata yang dalam, alis hitam berbaris rapi, dan tahi lalat di ujung mata kiri.

“Jati,” panggilnya sosok itu dengan pelan. Bagai tanpa sadar, dibelainya wajah yang tampak kelelahan itu. Mendadak Frangi terkejut melihat dirinya sendiri. Lalu, ia memerhatikan Jati dengan seksama. Jadi, benar dia mengenal pria itu, mengenalnya dengan sangat baik. Bahkan, dia tahu namanya. Rupanya, Jati menjaganya dengan sangat setia hingga tertidur di sampingnya. Tapi, mengapa tempo hari itu ketika bertemu, mereka menjadi sosok yang asing satu sama lain?

Belaian itu mengejutkan Jati. Dan, ia terbangun.

“Frangi, kau telah bangun?” seru Jati, gembira.

“Apakah aku pingsan?” tanya Frangi, ragu-ragu.

Jati mengangguk. Tatap matanya memancarkan kebahagiaan berbaur kelegaan yang luar biasa.

“Berapa lama?”

“Dua hari. Kau membuat kami semua sangat khawatir.”

Frangi mengangguk-angguk. Dua hari. Rasanya seperti cuma sesaat. Serupa tidur yang berhias mimpi.

“Dan, kau selalu menjagaku?”

Jati mengangguk pelan.

“Terima kasih banyak, ya. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Jati terkejut, tampak tidak siap untuk menjawab. Lalu, men­dadak mata Frangi menangkap rumpun anyelir di atas meja.

“Bunga yang bagus. Dari Jasmine?”

Jati kembali terkejut, kini bertambah dengan gugup. Entah didorong oleh perasaan apa, dia mengangguk. Frangi tersenyum, diamatinya kegugupan Jati dengan seksama. Kini, dia paham apa yang ada di balik kegugupan itu.
“Dia selalu tahu apa yang kusuka,” katanya kemudian, mem­bantu mengurangi kegugupan Jati. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Apakah dia akan datang membesuk aku lagi?”

Jati menatap ragu-ragu. “Entahlah, mungkin tidak.”

“Tak apa-apa,” Frangi tersenyum ringan. “Suatu hari nanti kau harus mengantarku menemuinya.”

Jati mengangguk setuju.

“Sekarang, ada yang harus kau lakukan untukku,” kata Fra­ngi, dengan nada berharap.

“Kau ingin aku melakukan apa?”

“Peralatan medis ini sangat menggangguku. Sungguh tidak nyaman, membuatku tidak leluasa bergerak. Apakah kau bisa memanggil dokter untuk membebaskan aku dari ini semua? Aku rasa badanku sehat-sehat saja, meski tidak ditempeli berbagai alat bantu ini.”

“Sabar, ya, akan kupanggilkan petugas medis.”

“Selain itu, apakah ada sesuatu yang bisa kumakan? Aku lapar sekali.”

Jati tersenyum lebar. Kelegaan benar-benar menyertainya. Dia tahu gadisnya benar-benar telah kembali. Sederet permintaan ini-itu adalah tanda-tanda kehadirannya yang nyata. Gadis itu benar-benar telah bangun, serupa putri tidur yang telah mendapat kecupan kehidupan dari sang pangeran.

Frangi telah selesai berbenah. Travel bag di atas meja telah rapi menyimpan semua barangnya selama ia terbaring koma. Hari ini dia akan meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah.

“Jati, ada yang ingin sekali kukatakan. Duduklah.” Frangi me­ne­puk sofa, memberi isyarat agar Jati duduk di sampingnya.

Sesaat Jati terdiam. Ia tak tahu apa yang ingin dikatakan oleh Frangi. Namun, tanpa banyak bertanya, ia duduk di samping gadis itu. Lembut tangannya meraih jemari Frangi, menggenggamnya erat, seolah ingin mengalirkan kekuatan pada gadisnya yang sedang lemah.

“Aku senang sekali melihat kau sembuh,” kata Jati, sambil menatap Frangi dalam-dalam. Matanya menyorotkan cinta yang besar.

Frangi mengangguk. “Aku juga senang sekali. Terima kasih untuk kesetiaan dan kesabaranmu selama mendampingi aku di sini.”

“Sudah sepantasnya kulakukan hal itu. Apa pun akan kutempuh, asal kau kembali ke pelukanku.”

Frangi tersenyum. Ia bisa melihat cinta yang tulus di mata Jati. Dan, ia juga merasakan cinta sebesar itu terhadap Jati. “Kau tahu apa yang kualami selama aku terbaring tak berdaya?”

Jati menggedikkan bahu. “Kau tertidur.”

Frangi menggeleng. “Bukan. Aku mengalami mimpi bayang.”

Jati mengernyit. “Apa itu?”

“Serupa dengan mimpi. Mengalami sesuatu dalam tidur, melihat berbagai peristiwa, dan bertemu dengan orang-orang yang melintas seperti bayangan.”

“Lalu, apa yang kau lihat dalam mimpi bayangmu itu?”

“Kita. Aku, kau, dan Jasmine.”

Jati tertegun, lalu tertunduk, menyimpan rasa bersalah. Ia meng­genggam jemari Frangi dengan lebih erat, lalu mengelusnya dengan lembut. “Maaf. Aku tak pernah menyangka bahwa apa yang kulakukan telah melukaimu begitu dalam, hingga terbawa dalam mimpimu.”

“Tidak. Bukan itu!” sergah Frangi. “Sebaliknya, aku justru mel­ihat diri kita secara nyata, hingga membawaku pada sebuah kesadaran. Sesuatu yang tidak kuketahui dan kupahami selama ini.”

Jati mendesah. “Apa maksudmu?”

Frangi menarik napas panjang, sesaat mengatur kalimatnya. Ia balas menggenggam jemari Jati, yang mengalirkan kehangatan. “Aku telah melihat diriku sendiri. Tepatnya, aku melihat sendiri apa yang telah kulakukan padamu selama ini. Ternyata, selama ini aku begitu egois dan mendominasimu sedemikian rupa. Sehingga, aku tak heran jika kau lebih suka bercerita pada Jasmine.”

“Tidak Frangi. Tidak begitu,” bantah Jati, pelan.

“Penglihatan itu telah membawaku pada sebuah kesadaran bahwa aku bukanlah wanita yang tepat untukmu. Aku merasa bahwa Jasmine adalah belahan jiwamu yang sesungguhnya,” lan­jut Frangi, dengan bibir bergetar.

“Hentikan ucapanmu!” potong Jati. “Sudah kuputuskan bah­wa tidak akan ada lagi Jasmine di antara kita. Aku bersedia mele­paskan persahabatanku dengan Jasmine demi melihatmu bahagia. Itulah yang akan kukatakan malam itu, ketika aku memberikan sebentuk pigura yang cantik.”

“Tapi, aku telah membuat keputusan yang sebaliknya,” kata Frangi, sambil tetap memandang Jati.

Jati berusaha mengendalikan diri agar emosinya tidak me­lu­ap. “Jadi bagaimana? Aku telah berjanji bahwa kita tidak akan bertengkar lagi. Aku mencintaimu. Karena itu, aku akan melakukan apa pun agar kau kembali padaku.”

“Kita memang tidak akan bertengkar lagi. Itu jika sekarang kau mau mendengarkan aku dengan seksama.”

“Aku sudah mendengar apa yang kau katakan. Tapi, aku tidak setuju.”

“Itu baru permulaan. Aku belum selesai bicara.”

Jati mengembuskan napas. “Oke, lanjutkanlah.”

“Tapi, jangan memotong ucapanku sebelum aku selesai bicara, ya,” kata Frangi, sambil mengedip.

Jati tersenyum, lalu mengangguk, tanda setuju.

“Jangan membantah juga!” lanjut Frangi.

Jati kembali mengangguk. “Ya.”

Frangi terenyak. Secara mendadak ia seolah melihat kembali dirinya sendiri dalam mimpi bayang yang dialaminya.

“Ah, aku memang selalu cenderung melakukan tindakan yang represif, ya?” tanyanya, menyadari diri sendiri.
Jati tersenyum kecil. “Yah… begitulah.”

“Maaf, ya.” Frangi menyimpan senyum malu. “Tapi, yakinlah, ini satu hal yang akan kuperbaiki dengan sungguh-sungguh.”

Mata Jati berbinar. “Benarkah?”

Frangi mengangguk. “Kembali pada soal Jasmine. Sudah ku­katakan bahwa dialah belahan jiwamu. Karena, kepada Jasminelah kau bisa menumpahkan segala bebanmu. Jasmine mampu me­lihat semua persoalanmu dengan jernih. Bersamanya, kau mengurai ma­salah hingga menemukan solusinya. Suatu hal yang tidak pernah kita lakukan. Bersamaku, yang kau temukan adalah be­ban-beban baru, dan pertengkaran demi pertengkaran.”

“Frangi, telah kujanjikan satu hal, kita tidak akan pernah ber­tengkar lagi setelah ini,” bantah Jati.

“Kau akan menuruti apa pun yang kukatakan? Kau akan me­ngi­kuti semua keinginanku?” tantang Frangi.

“Ya,“ Jati mengangguk cepat, tanpa berpikir lagi.

“Menjadi apa pun seperti yang kuinginkan?”

Jati mengangguk lagi.

“Itu bagian dari janjimu selama aku koma?”

“Ya, aku sudah berjanji dan aku akan menepatinya,” kata Jati, yakin.

Mata Frangi menatap tajam, bagai menembus jauh ke dalam benak Jati.

“Lalu, siapakah kau ini?” tanyanya kemudian. “Robot ber­wujud manusia sempurna atau pria tanpa karakter?”

“Aku… aku hanya ingin membuatmu bahagia,” kata Jati, pelan.

“Apakah kau pikir aku akan bahagia dengan sikap pura-pura itu? Apakah kau yakin aku bisa mencintai pria dengan karakter seperti itu?”

Sesaat Jati tercenung, lalu menggeleng. “Tidak.”

“Itulah. Dalam suatu komitmen, yang kita perlukan adalah kerja sama yang seimbang. Bukan kekalahan atau kemenangan atau manipulasi sikap demi menyenangkan pasangan.”

“Aku hanya tidak ingin musibah ini terulang kembali. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dirimu.”

“Tapi, dengan pilihan sikap itu, kita justru akan kehilangan dirimu yang sesungguhnya. Aku tak mau kehilangan dirimu yang seutuhnya.”

Jati terdiam, kehilangan kata-kata.

Frangi menghela napas. “Lihatlah, aku menimbulkan pe­ngaruh buruk pada dirimu. Dan, aku tidak ingin itu terjadi ter­­us-me­nerus.”

“Tidak, Frangi, bukan begitu.”

“Sebaliknya, lihatlah talenta Jasmine. Dia mampu me­munculkan banyak hal positif tentang dirimu, juga membuatmu menemukan sisi positif orang lain. Talenta yang tak ada padaku.”

“Itu perlu proses. Kita bisa sama-sama belajar.”

“Sesuatu yang tak perlu Jasmine lakukan, tukas Frangi. “Jas-ine memiliki semua yang kau perlukan itu dalam nalurinya. Artinya, dialah yang memiliki belahan jiwamu… bukan aku.

Hening sesaat, hanya ada embusan napas panjang.

“Kalau kau tetap mempertahankan aku, itu artinya kita akan saling memaksa diri. Kebersamaan yang dipaksakan akan lebih serupa dengan kubus dalam bola. Panjang sisi-sisi kubus itu sama dengan diameter bola. Begitu pasnya ukuran itu, sehingga ma­sing-masing tak leluasa bergerak. Bukan pasangan yang tepat, tapi justru saling menyakiti.”

“Pernah kujanjikan bahwa aku akan menuruti apa pun katamu. Tapi, tidak untuk kali ini!” Jati bertahan. “Aku tidak peduli apa pun argumentasimu. Aku tetap tidak akan melepasmu.”

“Memang tidak,” bantah Frangi, tenang. “Kita akan tetap selalu bersama, tetapi sebagai sahabat. Aku akan selalu ada untukmu, seperti posisi Jasmine selama ini bagimu. Aku dan Jasmine akan bertukar peran.”

“Sudahlah, jangan teruskan lagi,” sergah Jati, gusar. “Kau sedang tidak sehat. Baru saja mengalami sesuatu yang mengguncang. Jadi, apa yang kau katakan ini bukan sesuatu yang kau pertimbangkan dengan baik. Kita bicara lain kali, setelah kondisimu memungkinkan untuk itu.”

“Aku sehat dan bisa berpikir dengan jernih,” kata Frangi, tegas. “Apa yang kualami justru membuat aku lebih mampu melihat diriku sendiri dan orang lain dengan lebih baik.”

“Frangi, sudahlah….”

“Atau, kau mau aku berpikir ulang? Baiklah, akan kulakukan. Tapi, aku yakin inilah pilihan terbaik bagi kita. Kau akan membuktikannya sendiri.”

“Please, Frangi….”

“Kurasa, aku tadi sudah memintamu untuk tidak mem­ban­tahku.”

Jati tersudut. “Tapi….”

Frangi tertawa. “Lihat, kau tidak memerlukan waktu lama untuk membuktikan bahwa kita bukan pasangan yang tepat, bukan? Kita tidak pernah benar-benar bisa mencapai kata sepakat. Selalu saja ada celah untuk berselisih. Tidakkah kau sadari itu?”

Jati tertegun. Frangi membawanya pada sebuah kenyataan yang tak terelakkan. Jati mulai berpikir bahwa Frangi ada benarnya.

“Setidaknya, beri diri kita waktu untuk mempertimbangkan dengan jernih,” katanya, kemudian.

Frangi tersenyum, lalu mengangkat bahu dengan ringan. “Boleh saja. Tak masalah. Aku tak akan memberi batasan waktu untuk kau berpikir.”

Hening. Ruangan seperti kehilangan segala suara. Hanya tersisa helaan napas yang lirih, nyaris tak terdengar.
Sesaat kemudian, detik kembali berdetak, berjalan perlahan membawa waktu menyusuri langkah.

“Aku ingin bersandar di bahumu,” gumam Frangi, memecah keheningan. Lalu, tanpa banyak bicara, disandarkannya kepalanya pada bahu Jati. Jati menerima sandaran itu tanpa suara. Dikecupnya lembut kening gadis itu. Wangi rambut membelainya samar.

“Ini sandaran persahabatan,” gumam Frangi, lagi.

Jati mengangguk pasrah.

“Apakah nanti Jasmine akan melarangku melakukan ini, sama seperti dulu aku melarangmu menemuinya?” bisik Frangi, hati-hati.

“Pasti tidak,” Jati memastikan.

“Selalu ada kemungkinan. Bagaimana jika ia nanti akan melarangmu menemui aku?”

“Maka, aku akan kembali padamu.”

“Begitukah? Tapi, rasanya, aku sudah akan menemukan se­se­orang yang lain, yang bahunya juga bisa kujadikan sandaran.”

“Begitu? Kau yakin?” tanya Jati.

Frangi mengangguk.

“Atau, jangan-jangan, kau sudah menemukan pria ini sehingga kau berkeras melepaskan aku?” Jati mendadak curiga.

“Aku tidak tahu apakah dia benar-benar nyata atau tidak,” gumam Frangi, menyimpan keraguan.

“Apakah dia bagian dari mimpi bayangmu?”

“Tampaknya, begitu. Namun, aku akan segera mencari jawabannya,” kata Frangi, sambil mengangguk mantap.

“Setelah kau menemukannya, apa yang akan kau lakukan?”

Frangi tertawa. “Kau adalah orang pertama yang akan mengetahuinya.”

“Hanya sekadar ingin tahu, jika aku tidak setuju atas hubunganmu dengannya, apakah aku berhak mengenyahkannya dari sisimu?”

“Tentu tidak. Posisimu cukup komentator saja “

“Oh, kejamnya, kau jadikan aku sekadar pelengkap penderita?”

Lalu, mereka tertawa berderai-derai. Tawa yang membiaskan warna-warni berbias cahaya pada dinding-dinding sunyi rumah sakit. Derai yang mengalirkan kebahagiaan dan membawa pergi segala lara hati.

PRINGSEWU
Kereta berhenti di Stasiun Pringsewu. Frangi bergegas turun. Di­edarkannya pandang meneliti stasiun tua itu dengan seksama. Dengan sedikit terkejut, disadarinya bahwa stasiun itu memiliki detail yang sama seperti yang muncul dalam mimpi bayangnya.

Gadis itu meneruskan langkah dan terhenti di ambang pintu gerbang utama. Jalan raya terhampar di depannya. Mana yang ha­rus dilaluinya? Belok kanan atau kiri? Frangi ragu. Pilihan itu sama sekali tidak diingatnya.
Tiba-tiba seseorang melintas di depan mata Frangi. Seorang pria yang mengenakan jelana jins dengan ransel besar di bahunya.

“Maaf, Mas, apakah Anda tahu di mana lokasi penginapan La Barong?” tanya Frangi, secara spontan.

Pria itu menghentikan langkah, lalu memandang Frangi sejenak. “Tentu, tak jauh dari sini. Kebetulan, aku akan ke sana, mau jalan bersama?”

Gadis itu mengerjapkan mata. Tatap mata pria di depannya itu begitu dalam, dengan keteduhan setenang telaga. Tatap mata yang telah dikenalnya, bahkan tersimpan baik dalam kenangannya. Tanpa berpikir lagi, gadis itu mengangguk, lalu mengulurkan tangan, sambil memperkenalkan diri.

“Namaku Frangi.”

“Dari Frangipani? Bunga putih itu?” pria itu menyambut jemarinya.

Frangi mengangguk, mengiyakan.

“Hmm, nama yang menarik, panggil aku Bambu….”

“Bambu?” lanjut Frangi, secara refleks.

“Bagaimana kau tahu?” Bambu terheran-heran. Ditatapnya Frangi dengan seksama. Dilihatnya dari ujung kepala ke ujung kaki. Rasanya, ia belum pernah mengenal gadis ini.

“Apakah kita pernah bertemu?” tanyanya, berusaha mengingat sesuatu.

Dalam mimpi bayangku. Frangi menjawab tanpa suara. Lalu, diulasnya sebuah senyum samar, menyimpan misteri itu dalam hatinya. Sesaat kemudian diiringinya langkah Bambu menyusuri jalanan panjang terbentang. La Barong sesaat lagi.

No comments: