12.22.2010

Mimpi Retak

ORIEN
Sebuah hari yang dingin.
Aku berada pada sebuah ruangan yang dingin. Sangat dingin. Barangkali serasa berada dalam sebuah rumah salju, sebuah perum­pamaan tentang dingin, yang dimetaformosakan seorang teman menjadi sebuah puisi.

Tubuhku mendingin. Barangkali darah mulai membeku, sehingga alirannya terhenti di sekujur tubuh, yang artinya membekukan juga semua gerakku. Ya, jari-jemari serta segala sendi tubuhku mulai terasa kaku, kehilangan segala kelenturannya. Padahal, biasanya aku begitu sigap, lincah bergerak ke sana kemari.

”Berhentilah meski sejenak,” begitu seseorang mengeluh, ketika aku senantiasa sibuk mengerjakan ini itu.

”Dan biarkan aku memelukmu sebentar saja,” katanya, sembari meraihku dengan kedua lengannya.
Oh, tentu saja, itu tawaran yang tidak pernah kulewatkan sepanjang hidupku. Bahkan, aku bersedia menukarnya dengan apa pun juga yang kupunya. Dan, hanya sebentar? Tentu tidak. Aku mau yang lama, selama-lamanya berada dalam rengkuh pelukan itu.

Tapi, ternyata pelukan itu tetap tidak mampu menghentikan kelincahanku. Jemariku tak henti bergerak melakukan sesuatu. Menyusuri bidang punggungnya, tonjolan lekuk bahu, lengkung garis alis, kelopak bibir, dan dataran rahangnya. Ah, sesekali ada sisa cambang yang tak tercukur di situ, menusuk tajam kelembutan jemariku. Tapi, aku suka sensasi tusukan itu. Tajam tanpa menggores, mengalirkan sebuah getaran yang khas. Menyadarkanku bahwa dia begitu dekat, bahkan tak berjarak dalam pelukan. Kulitnya terasa hangat mendekapku. Embus napasnya juga, lembut menyentuh, serupa asap tipis membalutku. Aku tak ingin melepaskan segala kehangatan itu dari genggamanku.

Tapi, sekarang? Mengapa sedemikian dingin? Membekukan segala gerakku. Menghentikan segala aliran nadi kelincahanku. Pasti seseorang telah gegabah mengatur suhu pendingin, sehingga mengakibatkan dingin sedemikian rupa. Pasti dia adalah seseorang yang tidak berada di dalam ruangan ini, sehingga tidak dirasakannya segala dingin yang tercipta, karena ulahnya yang gegabah itu. Tidak ada seorang pun yang ikut merasakan kedinginanku. Aku sendirian dalam kebekuan ini, bahkan selirih suara pun tak ada. Sunyi dan kosong belaka.
Di manakah aku?

MAY
Sebuah petang yang remang .
Aku berada pada sebuah sore yang bergerak perlahan ke arah senja. Langit berbias warna jingga, dengan semburat cahaya matahari yang mulai meredup. Ada angin yang bergerak perlahan, meng­­alirkan udara halus yang menyentuh segala sesuatu.

Ketika menyentuh daun, memunculkan suara gemerisik yang lembut. Seumpama bisikan seseorang yang membangunkanku di pagi hari. Ketika menyentuh tubuh, begitu ringan gerak angin itu, seumpama embusan napas seseorang yang mengalir di relung telingaku.

Aku selalu suka sentuhan dari embusan napas seseorang itu. Menandakan bahwa dia begitu dekat, tak berjarak. Sering kali kulekatkan telinga pada dataran dada penutup bilik jantungnya, mencari deburan jantungnya yang berdetak. Kadang-kadang tertangkap deburan itu, kadang-kadang tiada. Padahal, dia tidak berhenti bernapas. Jadi, ke mana perginya deburan jantung yang hilang sesekali itu?

Atau, adakah seseorang yang lain, menangkap deburan itu pada bilik jantung yang lain? Siapakah? Tidakkah seharusnya dia milikku seorang? Apakah ada seseorang lain yang berada di balik punggungnya?

Aku mempunyai kemampuan ’melihat’ sesuatu atau seseorang, yang tak terlihat oleh orang lain. Tuhan memberiku karunia itu. Ta­pi, dengan kebijaksanaan Tuhan pula, aku tak mampu ’melihat’ se­suatu yang ingin kutahu, ketika perasaanku terlibat di dalamnya. Ironiskah? Tidak. Lebih tepat dikatakan sebagai keterbatasan.

Aroma teh hijau merebak. Wanginya yang khas melayang sesaat di udara, lalu hinggap pada indera penciuman. Seseorang menghidangkan secangkir teh hangat untukku. Kepulan asapnya yang tipis menggodaku untuk segera menghirupnya.

”Teh yang secangkir ini milikku?” tanyaku, meyakinkan.

Sebuah pertanyaan yang aneh. Tentu saja, teh itu, lengkap de­ngan cangkir dan bahkan nampannya, adalah milikku. Sungguh-sungguh milikku, dengan bukti yang otentik. Seharusnya, tidak diperlukan sebuah uji coba apa pun untuk mengesahkannya. Tapi, toh, aku menunggu sebuah jawaban yang meyakinkan. Dan ketika sebuah anggukan muncul sebagai penumpas keraguan, dengan segera kuhirup secangkir teh hijau hangat itu. Habis tuntas dalam sekali tegukan, sehingga tak terbuka peluang bagi siapa pun untuk ikut serta berbagi teh itu. Meski setetes sekalipun.

Aku tak ingin kehilangan tehku setetes pun, seperti aku sesekali kehilangan debur jantung seseorang itu.
Kuletakkan cangkir kosongku dengan lega, lalu melangkah ke ruang tamu. Beberapa tamu telah menungguku. Ada klien lama, ada klien baru. Semuanya memerlukan kehadiranku. Aku tak akan menghilang dari mereka, seperti sebuah deburan jantung yang se­sekali menghilang dariku.

Sore telah sampai pada senja, cahaya samar matahari menghadirkan langit petang dengan cahaya yang meremang.

BARON
Sebuah sore yang gelisah.
Aku berada pada sebuah jalan berdebu. Kering yang meranggas bertabur di sepanjang jalan yang kulalui. Kemarau sangat panjang kali ini. Barangkali, embusan angin membawa awan-awan hujan menjauh, menyingkirkan diri dari tanah yang merindukan tetes-tetes air. Membiarkan tanah-tanah itu merekah, retak didera dahaga. Sementara akar-akar tanaman berusaha mencengkeram tanah makin erat, seakan memeras sisa air terakhir, yang barangkali masih terendam di kedalaman tanah. Tapi, tak ada lagi yang tersisa, panas benar-benar mengeringkan semuanya.

Tapi, bukan panas yang menggelisahkanku hari ini. Aku punya pendingin ruangan di mana pun aku berada. Suhunya bisa kuatur seperti yang kuinginkan. Lalu, apa?

Entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman. Jantungku berdebar kuat, mengalirkan gelisah dalam bentuk keringat dingin di tengkuk, telapak tangan dan kaki.

Ah, jantung ini, mengapa tidak bisa kuatur debarannya, seperti yang kuinginkan? Istriku suka debaran jantungku, selalu disandarkannya diri pada dadaku, mencari denyut jantungku berdebar melewati liang telinganya. Tapi, jantungku tidak selalu mau berdebar untuknya. Mes­ki lama menunggu, denyut nadiku tetap berdetak biasa-biasa saja, tidak menghadirkan gemuruh yang diinginkannya.

Jantungku lebih sering berdebar untuk seseorang yang lain.

Begitu menggenggam jemarinya, jantungku langsung bergemuruh tanpa kendali. Menghadirkan detak yang begitu kuat, seumpama tabuh gendang mengiringi penari rancak. Debar inilah yang selalu menghilang dari jangkauan istriku.

Ah, andai debar jantung memiliki teknologi seumpama remote kontrol, bisa kuatur nada rendah tingginya, seperti mengatur grafik equaliser, pastilah lebih mudah bagiku menjalankan berbagai peran dalam kehidupan. Aku bisa beranjak dari satu kehidupan seseorang pada kehidupan seseorang yang lain, semudah kaki melangkah pada bidang datar. Nyaris tidak memerlukan energi, bahkan lebih mudah daripada memindah sebuah bidak catur.
Terlebih pula kalau kita memiliki kendali kehidupan, hidup pasti terasa sangat ringan. Tidak perlu ada beban kehidupan yang menggelayut di pundak dan harus terbawa ke mana pun kita pergi. Ketika kita boleh memilih untuk tetap berdenyut, atau berhenti saja. Maka, tentunya, tidak perlu aku melarikan diri dari sebuah jalan buntu. Aku cukup berhenti dan selesai.

Tapi, remote control kehidupan itu tidak pernah kupunya, sehingga aku tidak bisa berhenti di mana aku ingin. Seperti yang sekarang terjadi. Jalan yang kulalui belum menampakkan ujungnya, sehingga aku masih harus meneruskan perjalanan ini. Entah sampai kapan dan di mana.

Pagi yang rutin
Matahari baru saja datang, menghadirkan pagi sebagai awal hari. Cahayanya mulai bergerak memindahkan kabut ke tepian. Bebe­rapa kabut yang tertinggal, menetes sebagai embun yang mengalir pada dedaunan.
May menyingkap tirai jendela, menciptakan celah yang memungkinkan sinar matahari menyelinap masuk, menghadirkan cahaya yang membangunkannya dari tidur.

Tapi, ada yang bergeming dengan cahaya itu. Lelap tidur suaminya tak terusik, meski cahaya matahari sudah melumuri seluruh tubuhnya. May melihat jam di dinding. Jarum sudah menunjukkan saat yang tepat untuk menghentikan pulas tidur itu. Didekatkannya diri, ditiupkannya angin lembut melalui celah bibirnya, membelai garis pelipis di dataran wajah suaminya. Sesaat ada mata yang bergerak. Ah, rupanya angin lembut itu telah berhasil menunaikan tugasnya.

”Bangunlah,” bisik May.

”Lima menit lagi,” desah suaminya, menahan jerat kantuk yang masih enggan melepaskan ikatan.

”Tak ada lima menit bagimu. Atau, kau akan terlambat seperti tempo hari.”

”Hmm, biar saja.”

”Oke, tiga menit.” May tersenyum maklum. Ketika kantuk menjerat, memang bukan hal mudah untuk membebaskan diri.

”Sarapan apa yang kau inginkan hari ini?”

”Apa pun.”

May menghidangkan sepiring nasi goreng beraroma bawang merah goreng serta segelas jus wortel di meja, menyambut suaminya yang baru saja menyelesaikan mandi paginya.

May sudah menunggu, sembari meneliti koran baru.

”Ada yang menarik?” tanya suaminya, sambil meneguk jus.

”Biasa saja,” kata May, menggeleng. ”Masih masalah lumpur, ekspor asap, banjir kiriman yang mulai datang.”

“Barangkali, lebih menarik kasus-kasus klienmu, ya? Jelas lebih beragam, dan aneh-aneh.”

”Ya, tak selalu kupahami, mengapa hal semacam itu bisa terjadi. Kadang-kadang, hidup terlalu ajaib untuk dimengerti.”

”Begitu? Apa misalnya?”

”Jangan tanyakan. Itu bagian dari kode etik rahasia klien.”

”Tapi, aku suamimu. Tentu ada perlakuan khusus untuk kode etik itu. Bukan begitu?”

”Lebih mudah bagimu untuk tidak mengetahuinya. Menyimpan rahasia itu memunculkan beban-beban tersendiri, yang beratnya tidak akan sepadan dengan informasi yang kau peroleh untuk memenuhi rasa ingin tahumu.”

”Begitu diplomatis jawabanmu. Macam aku orang lain saja,” keluh suaminya, sembari menandaskan sarapan. ”Bagaimana kalau sekali waktu kau ’melihat’-ku? Baru kusadari, kau selama ini justru tidak pernah memanfaatkan kemampuanmu untukku.”

May menggeleng. ”Tak bisa. Aku tak bisa ’membacamu’.”

Suaminya heran. ”Mengapa begitu?”

”Bagian dari keterbatasan,” kata May, sambil angkat bahu. ”Tapi, aku lebih suka mengatakannya sebagai kebaikan hati Tuhan untuk memberiku kesempatan menikmati hidup yang normal dengan orang-orang yang kucintai.”

”Apakah artinya kau sedang mengatakan kau mencintaiku?”

May membesarkan mata, menyimpan senyum.

Suaminya tertawa. Dikembangkannya kedua belah tangan dengan kebahagiaan penuh.

”Alangkah lengkapnya hidupku. Sepagi ini telah mendapatkan pernyataan cinta. Ditambah sarapan yang mengenyangkan dan sehat, apa lagi yang kuperlukan dalam hidup ini?”

”Tambahan waktu lima menit untuk memperpanjang waktu tidurmu di pagi hari,” sambung May.

Suaminya terbahak. Lalu, dipasangnya dasi yang tepat untuk kemejanya. Diliriknya arloji. Astaga, jarum jam bergerak cepat sekali. Dia bisa terlambat lagi hari ini.

Sebuah hari yang biasa
May baru saja menyelesaikan koran paginya, ketika tamu pertama itu datang.

”Sudah ada yang menunggu, Ibu,” kata Surti, sembari membereskan peranti makan.

”Sepagi ini?”

Surti mengangguk.

May menghela napas panjang. Barangkali, hidup memang makin sulit. Makin banyak persoalan membelit, yang harus diurai dengan segera. Makin dini pula mereka berupaya mencari jalan keluar. Begitu banyak cara ditempuh untuk mencari penyelesaian.

Kemampuan May melihat sesuatu, bisa jadi dianggap sebagai salah satu sarana, yang mampu memberikan alternatif penyelesaian. Meskipun, kadangkala, alternatif penyelesaian yang diberikan tidak selalu sesuai harapan mereka. Toh, tetap saja tak hentinya tamu berdatangan. Barangkali, mereka telah terpuaskan dengan sekadar melihat masa depan, memenuhi rasa penasaran yang memenuhi benak. Berharap mendapatkan pembenaran dari apa yang menjadi dugaan mereka.

Tamu pertama itu adalah seorang wanita paruh baya. Sesungguhnya, dia seorang wanita yang cantik. Tapi, penampilannya yang atraktif justru mengaburkan kecantikan alami yang dimilikinya. Yang terlihat kemudian justru tempelan klise di sekujur tubuh. Wanginya menyengat. Pasti diteteskannya terlalu banyak parfum, sehingga orang yang berada satu ruangan dengannya akan merasa seperti berada di laboratorium pabrik parfum. Orang tidak tahan berlama-lama di sana. Karena, sesungguhnya, yang menarik adalah harum yang samar, yang menabur misteri.

Rambutnya bergelombang tertata rapi. Bahkan, angin pun tak akan mampu menggerakkannya, karena segala gelombang itu telah dikunci dengan semprotan hairspray. Pasti kaku rambut itu, terasa keras ketika disentuh. Padahal, yang menarik adalah rambut yang bergerak lambat, seirama gerak angin. Ketika angin mengempaskan helaian rambut yang saling melintang, pastilah jemari akan terulur untuk ingin serta merapikannya.

Bedak dan gincunya tebal, menutup pori dan kilau alami kulitnya. Menghadang gerak seseorang yang ingin menyentuh.

May mengulurkan tangan. Tamu ini adalah tamu barunya.

”Selamat pagi, Ibu.”

”Selamat pagi,” balasnya, menyimpan kegugupan.

”Nama Ibu?”

Wanita itu menyebutkan namanya, kegelisahan tampak jelas dari cara duduknya yang tidak tenang.

”Silakan,” May mengarahkannya tanpa basa-basi. Dia tahu wanita ini segera memerlukan sebuah pelepasan. Basa-basi perkenalan hanya akan menyebabkan penundaan, yang menyiksanya lebih lama.

”Suami saya selalu menjauh beberapa bulan terakhir ini.”

May mengangguk, disimaknya kalimat wanita itu dengan tenang.

Suami menjauh? Ah, kasus yang sangat umum. Entah berapa wanita datang padanya dengan problem serupa. Nyaris tak terhitung.

”Padahal, sudah saya lakukan segala yang terbaik. Tidak pernah sekali pun saya tampil dekil untuknya. Saya selalu berusaha tampil rapi, cantik, wangi, sungguh tidak kalah dengan rekan-rekan di kantornya yang keren-keren itu,” lanjut wanita itu.

Kegelisahannya langsung mengalir deras tak terbendung. Segala kamuflase penampilannya tak mampu menyamarkan gurat kegelisahan yang membebaninya.

”Mawar,” ucap May pendek, sebelum wanita itu usai menuntaskan luapan kegelisahannya.

”Mawar?” Wanita itu terkejut. ”Maksudnya?”

May terdiam sesaat, beberapa detik berlalu dalam hening. Ditatapnya lekat wanita gelisah itu. Lalu, dihelanya napas panjang.

”Suamimu tidak tahan dengan harum mawar dari parfummu. Bagi sebagian orang, aroma itu mungkin menyenangkan. Tapi, suamimu merasa ada sesuatu yang magis dari aroma itu, membuatmu menjadi seseorang yang tidak dikenalnya.”

”Saya mendapatkan parfum itu dari seseorang. Dia katakan justru ini yang akan membuat suami saya kembali pada saya.”

”Suamimu tidak pergi ke mana pun. Dia justru menunggumu untuk kembali.”

”Maksud Ibu?”

”Kembalilah pada dirimu yang semula.”

”Tapi...,” wanita itu tercengang, bercampur bingung.

”Lupakan rekan-rekan sekantor itu. Mereka bukan pesaingmu. Mereka adalah rekan sekerja, para wanita karier yang harus tampil sesuai standar. Bidang pekerjaan mereka yang mensyaratkan aturan itu. Mereka tampil seperti itu bukan untuk menarik hati suamimu atau pria mana pun. Tapi, mereka tampil untuk karakter dan karier mereka sendiri.”

striku suka debaran jantungku, selalu disandarkannya diri pada dadaku, mencari denyut jantungku berdebar melewati liang telinganya. Tapi, jantungku tidak selalu mau berdebar untuknya.

”Begitukah?”

”Sekarang, pulanglah. Lakukan mandi besar, lepaskan segala atri­but kamuflase ini. Suamimu sudah kenyang dengan segala kamuflase ini di lingkungan kerjanya. Karena itu, yang dia perlukan ketika berada di rumah adalah kesederhanaanmu, kenaturalanmu. Sesuatu yang biasa, dirimu apa adanya, sama seperti ketika dia men­cin­taimu sejak pertama kali bertemu.”

Wanita itu tertegun. Nyaris tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Tapi, ia tak berkata apa-apa.
May mengangguk. Ditepuknya lembut jemari wanita itu.

”Jangan risau dengan bau keringatmu. Suamimu bahkan masih menyimpan sapu tanganmu yang belum tercuci.”

Sesaat kemudian, dibukanya pintu untuk wanita itu, tidak memerlukan alternatif lain. Yang dia perlukan hanya jalan pulang, untuk kembali pada diri sendiri. Di sanalah suaminya menunggu.

Wanita itu masih belum selesai dengan keterkejutannya. Barangkali, dia tidak menyangka akan mendapatkan solusi penyelesaian masalah yang sedemikian mudah. Barangkali, dia merasa solusi itu terlalu sederhana, sangat tidak sepadan dengan kegelisahan yang selama ini mencengkeramnya. Tapi, ketika May membukakan pintu untuknya, disertai senyum yang menenteramkan, keyakinan memenuhi benak wanita itu, bahwa benar inilah jawaban yang dicarinya. Maka, dilangkahkannya kaki, menuju pada sesuatu yang dicarinya selama ini, yang ternyata tak pernah meninggalkannya.

Bersamaan dengan langkah pergi wanita itu, aroma mawar yang pekat memenuhi segala sudut ruang, perlahan mengalir keluar.

Tamu kedua adalah seorang pria berumur 60 tahunan. Tampil rapi dengan rambut uban tersisir rapi. Ajudannya tampak menung­gu di depan pintu. Dia bukan seseorang yang asing bagi May. Dia seorang tamu yang sudah berkali-kali datang, setiap kali tentu dengan persoalan berbeda. Entah apa yang membelitnya kali ini.

”Selamat siang, Ibu,” sapanya, menyalami May dengan jabat erat.

”Selamat siang juga.” May mempersilakan tamunya duduk. ”Rasanya, baru tempo hari datang. Ada masalah baru?”

”Saya kehilangan,” jawab tamu itu langsung.

”Apa yang hilang?”

”Uang lima juta rupiah. Saya ambil dari ATM, lalu lupa saya taruh di mana.”

May terdiam.

”Sudah saya cari di mana-mana, di mobil, di rumah, di kantor, semua kantong baju dan celana. Tapi, tak ketemu juga. Heran, uang itu seperti menguap begitu saja, padahal sudah ada dalam genggaman tangan saya!”

”Lalu?”

”Itulah, Bu. Saya yakin, hanya Ibu yang sanggup membantu saya menemukan kembali uang itu.”

”Hmm, menemukannya... barangkali, ya. Tapi, untuk mengembalikannya padamu, rasanya tidak,” gumam May, perlahan.

”Maksud Ibu?”

May terdiam sejurus lamanya, seakan membiarkan detik meng­alir dalam hening. “Agaknya uang itu bergerak mencari jalannya sendiri, untuk menemukan mereka yang memerlukannya,” katanya kemudian.

”Ibu, uang itu milik saya. Tentu saya sangat memerlukannya.”

”Kau masih memiliki uang yang lain, sementara mereka tidak.”

”Tapi, Ibu, sungguh, tolong saya. Katakan di mana uang itu?”

”Kau menaruhnya di atas atap mobil, lalu kau mencari kunci mobil. Dan, sesudah itu kau lupa. Uangmu beterbangan saat mobilmu melaju, dan di sana banyak orang tak berpunya, yang beruntung menemukan lembaran uang itu. Di antara mereka ada yang sudah tidak makan berhari-hari, ada yang perlu menebus obat di apotek, ada yang perlu melunasi tunggakan uang sekolah....”

”Ibu!” tamu pria itu nyaris menjerit.

May tersenyum samar. ”Bersyukurlah. Kau telah terpilih oleh Yang Mahakuasa untuk menjadi saluran berkat bagi banyak orang. Mereka bersyukur atas uang itu dan mendoakanmu semoga kau mendapat balasan setimpal.”

Tamu pria itu lemas seketika. Tubuhnya yang tegap berdasi, mendadak bagai luruh tanpa tulang.

”Ikhlaskanlah.”

”Tapi, ini sungguh tragis,” keluhnya, penuh penyesalan.

”Setiap orang akan mendapatkan sejumlah sesuatu sesuai bagiannya. Ketika Yang Mahaesa menganugerahkan kelimpahan, sesungguhnya Dia memberi kita kesempatan untuk berbagi. Tapi, ketika itu tak juga kita lakukan, maka Yang Mahaesa pula yang akan meng­ambil kembali kelebihan itu dengan caranya sendiri,” kata May, hati-hati.

”Begitukah?”

”Bersyukurlah bahwa cara yang dipakai untukmu sangat mulia, menjadikanmu berkat untuk menolong orang lain. Setidaknya, kalau mau, bisa saja berkat yang tak kau bagi itu, terambil melalui musibah atau sakit yang mungkin kau alami.”

Pria itu tercenung.

”Jadi, begitulah. Kau katakan tadi bahwa aku bisa membantumu mene­mukan uang itu. Dan telah kau lihat kini di mana uangmu berada. Tapi, ada sesuatu yang bernama keterbatasan. Itulah yang kita alami kini, se­hingga meski menemukannya, tidak berarti kau memilikinya kembali.”

Pria itu termangu, tampak termenung. Sesaat kemudian dia pamit dan pulang dalam diam. Entah apa yang berkecamuk dalam benaknya. May tidak tahu.

May menghela napas panjang. Tidak setiap orang mendapatkan penyelesaian sesuai keinginan masing-masing. Harapan sering kali jauh dari kenyataan. Rencana kadangkala menyimpang jauh dalam pelaksanaannya. May hanya berharap bahwa ’penglihatannya’ mampu memberikan alternatif sebuah jalan keluar, walau tidak selalu melepaskan jerat yang membelit. Itu saja.

Sebuah hari yang tidak biasa
Pintu lift terbuka, Orien melangkah masuk dan terkejut. Sebuah ponsel tergeletak di lantai lift. Tidak ada orang lain di dalam lift itu. Sampai pintu lift tertutup, tidak ada penumpang lain yang ikut masuk. Orien sendirian. Jadi, tentulah ponsel itu milik penumpang lift sebelumnya.

Orien meneliti ponsel itu. Bukan ponsel murahan, meski bukan pula yang termahal. Bukan soal harga. Tapi, lebih pada data yang ada di dalamnya. Kehilangan ponsel di zaman sekarang pasti sangat merepotkan. Sim card di dalamnya menyimpan banyak hal, yang merupakan perpanjangan telinga, tangan, kaki, dan banyak hal lain.

Orien menggenggam ponsel itu hati-hati. Akan disimpannya dengan baik, sebelum menemukan pemiliknya. Orien tahu pemiliknya pasti akan menghubungi nomor ponsel ini sebentar lagi.

Dugaan yang tepat. Ponsel itu berdering. Orien menerimanya.

”Selamat pagi. Saya Baron, pemilik ponsel ini,” sebuah suara menyapa sopan. ”Maaf, dengan siapa saya bicara?”
Orien menyebutkan namanya.

”Terima kasih telah menemukan ponsel ini. Saya terlalu terburu-buru pagi ini sehingga tidak tahu di mana saya letakkan ponsel itu.”

”Di lift,” Orien menjelaskan.

”Lift? Astaga, pastilah itu karena tadi saya membetulkan tali sepatu yang lepas. Untunglah kau menemukannya.”

”Kantorku di lantai tujuh. Kau bisa mengambilnya sekarang?”

”Ada meeting yang tidak bisa saya tunda pagi ini. Tidak berkeberatan untuk menyimpannya sampai siang nanti?”

”Baiklah,” kata Orien, setuju. Apa sulitnya menyimpan sebuah ponsel? Orien pun meletakkannya di laci.

”Terima kasih. Satu permintaan lagi, boleh kutahu nomor ponselmu? Baterai ponselku itu sudah hampir habis. Jadi, sebentar lagi pasti mati. Tak bisa dipakai lagi untuk menghubungimu.”

Orien berpikir sesaat. Bukan hal mudah memberikan nomor telepon pada sembarang orang. Apalagi, orang yang baru saja dikenalnya. Tapi, suara santun itu sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan. Lagi pula, bukankah dia punya alasan tepat? Baiklah. Orien menyebutkan nomornya.

Benar juga. Sesaat kemudian ponsel itu menyalakan sinyal merah dan tidak bertahan lagi.

Selepas makan siang, ponsel itu kembali pada pemiliknya. Seorang manager perusahaan keuangan di lantai lima belas.

”Tuhan berbaik hati padaku hari ini,” kata Baron, sembari menjabat tangan Orien.

”Oh, ya? Mengapa?”

”Karena mengirim dirimu untuk menemukan ponselku.”

”Siapa saja bisa menemukan ponsel itu,” Orien heran.

”Kau menyimpan ponsel ini dengan baik dan mengembalikannya padaku tanpa syarat. Suatu hal yang mungkin tidak akan dilakukan orang lain.”

”Ah, praduga buruk,” bantah Orien. ”Masih banyak orang baik di dunia ini.”

”Tidak banyak,” Baron menggeleng. ”Tapi, aku beruntung menemukan salah satu di antaranya hari ini. Terima kasih.”

Orien mengangguk. ”Terima kasih kembali. Lain kali, lebih berhati-hatilah.”

May meredupkan lampu kamar.

”Kau harus membangunkanku lebih pagi besok,” kata suaminya, sebelum beranjak tidur.

”Mengapa?”

”Aku terlambat lagi tadi pagi dan nyaris kehilangan ponsel.”

”Sudah kulakukan itu setiap pagi, tapi kau selalu lelap bak bayi, dan meminta lima menit tambahan. Kenyataannya, lima menit tambahanmu itu bisa berarti berpuluh-puluh menit.”

”Ah, maklumilah. Lelap tidur di pagi hari itu kenikmatan yang luar biasa mewah,” suaminya membela diri.

”Kalau begitu, sepadanlah kalau ponselmu hilang sebagai pembayarnya,” kata May, santai.

”Masalahnya, aku cuma punya 1 ponsel. Atau, kau akan membantuku menemukannya kembali setiap aku kehilangan ponsel?”

”Aku bukan petugas lost and found. Tuhan pasti mengirim pe­nolong lain untukmu.”

Pria itu tertegun. Kata-kata May mengingatkannya pada seseorang.

”Apakah kau ’melihat’ penolong itu?” tanyanya kemudian, penuh rasa ingin tahu.

”Tidak.” May menggeleng, menatap suaminya sesaat, seakan melihat sesuatu. ”Mengapa? Apakah terjadi sesuatu?”

”Seperti yang kau katakan, kau benar soal penolong itu. Ponselku tertinggal di lift dan seseorang menyimpankannya untukku.”

”Itu artinya, Tuhan berbaik hati padamu. Tapi, tidak setiap hari.”

”Apakah itu artinya kau sedang mencoba mengatakan, bahwa suatu kali nanti, kemalasanku bangun pagi harus kutanggung sendiri?” tanya Baron, tersenyum.

May tertawa. ”Tepat. Kau sungguh suami yang cerdas. Lain kali, lebih berhati-hatilah.”

Pria itu tertegun. Kalimat itu, telah didengarnya tadi pagi. Dua orang yang berbeda telah mengatakan sebaris kalimat yang sama persis untuknya hari ini. Sesuatu yang tidak biasa. Hari ini sungguh sebuah hari yang tidak biasa.

Sebuah hari yang lain
Kehilangan ponsel bukanlah pengalaman menyenangkan, bahkan mengakibatkan sesuatu yang runyam. Sim card di dalam ponsel menyimpan data yang sangat tidak sepele. Baron bukan tipikal pria bebal. Maka, dia tidak ingin mengulang lagi pengalaman itu. Maka, hari itu dengan sepenuh daya diupayakannya untuk bangun tepat waktu. Hanya sekali weker berbunyi, ia bangun.

Bangun lebih awal dari biasanya, selalu menyediakan waktu untuk melakukan hal-hal yang berbeda dari biasanya. Begitu pun Baron. Ketika jarum jam tidak mengejarnya, dan segala sesuatu tidak perlu dilakukan dengan terburu, ada banyak hal melintas perlahan dalam ingatannya. Salah satu di antaranya adalah membuatnya melakukan sesuatu.

Baron meraih ponsel. Diketiknya sebaris kalimat pendek, dicarinya sebuah nama pada barisan buku alamat, lalu dikirimnya pesan pendek itu. Sesaat kemudian, ditenangkannya diri menunggu sesuatu. Menunggu jawaban.

Orien masih berpusar pada rutinitas paginya, ketika sinyal ponsel berbunyi, menandakan ada pesan pendek yang masuk. Sebaris nomor berjajar di layar. Nomor pemilik ponsel yang hilang tempo hari.

Orien membaca pesan pendek itu, ‘Selamat pagi’.

Ah, sebuah sapaan yang bersahabat, gadis itu berpikir sesaat. Ketika seseorang menyapa, bukankah tak layak untuk mengabaikannya?. Betapapun sederhana sapaan itu, semestinya, demi etika sopan santun, tetaplah layak mendapat balasan. Lalu, diketiknya sebaris balas­an, ’Selamat pagi juga’.

Beberapa saat kembali ponselnya menghadirkan pesan pendek. ’Hari ini kukirim sesuatu ke kantormu. Itu untukmu. Terimalah.’

Kening Orien berkerut. Kiriman apa? Sesuatu sebagai ucapan terima kasih? Jemari Orien bergerak mengetik sebaris pesan. ’Terima kasih. Tapi, sebaiknya tidak. Kau tidak perlu repot melakukan itu.’

Pesan pendek itu berbalas lagi. ’Sama sekali tidak repot. Katamu, masih banyak orang baik di dunia ini. Dengan melakukan sesuatu untukmu, aku berharap menjadi salah satu di antaranya. Jadi, terimalah.’

Orien tersenyum. Bandel betul orang ini, pikirnya, sembari angkat bahu. Agaknya tipikal pria yang tak terbantah. Sekali merencanakan sesuatu, itulah yang dilakukannya. Baiklah, terserah apa maunya. Ia tak membalas pesan itu.

Ketika Orien sampai di meja kantornya pagi itu, sebuah kotak roti menyambutnya. Croissant keju berlapis tomat dan selada, plus segelas jus jeruk. Menu sehat yang memunculkan rasa lapar.

Segera ditulisnya sesuatu di ponselnya. ’Terima kasih sarapannya. Tapi, dengan memberikan pada mereka yang lebih memerlukan akan menjadikanmu seseorang yang lebih baik.’

Menit berikutnya ponselnya berdering membawa jawaban. ’Siapakah yang menurutmu ’lebih memerlukan’ itu?’
’Mereka yang bahkan tidak tahu, apakah ada beras tersisa untuk dimasak hari ini.’

’Baik, temani aku melakukan sesuatu untuk mereka suatu hari nanti.’

’Oke.’

Orien tersenyum, menyadari, baru kali ini ia secepat itu membuat kesepakatan dengan seorang sahabat baru.
Hari berikutnya, Orien baru saja membuka mata di awal pagi, ketika ponselnya memberi tanda adanya sebuah pesan baru. ’Selamat pagi, apakah aku membangunkanmu?’

Dalam remang cahaya pagi Orien menuliskan jawabannya. ’Ya, terima kasih telah membangunkanku. Selamat pagi juga.’

’Sarapan apa pagi ini?’

’Jangan kirim sarapan lagi. Ibu sudah memasak untukku.’

’Tentu tidak. Kukirim sesuatu yang lain.’

Apa lagikah itu? Orien menyimpan rasa penasaran. Akan segera ditemukannya sesuatu itu sebentar lagi.
Serumpun anyelir merah magenta menunggu di meja kerjanya.

”Kurasa, kau tidak sedang berulang tahun hari ini,” kata seorang teman, sembari menyentuh bening embun di helaian daun anyelir itu.

”Memang tidak.”

”Jadi, dalam rangka apa anyelir ini datang padamu hari ini?”

”Entahlah,” Orien angkat bahu. Apakah harus ada alasan untuk mendapatkan anyelir secantik ini?

”Tentu bukannya tanpa alasan seseorang mengirim bunga untukmu,” tatap mata temannya menyelidik.

”Ah, mungkin dia hanya ingin berbaik hati.”

”Dia? Siapa?” kerling mata temannya tampak makin ingin tahu.

Orien tertegun. Tersadar bahwa temannya melihat sesuatu yang tak biasa. Mendadak, rona dadu meremang di kedua belah pipinya. Dengan segera dia berkelit, menyibukkan diri dengan pekerjaannya, menghindar dari penyelidikan lebih lanjut teman-temannya. Tapi, hatinya berdebar-debar.

Dikirimnya pesan pendek ucapan terima kasihnya. ’Bunganya cantik sekali, aku suka. Terima kasih.’

Tak lebih dari lima menit,  ponselnya bergetar membawa balasan. ’Tidak kutahu bunga apa yang kau suka. Aku khawatir salah pilih.’

’Pilihanmu tepat. Sangat mengesankan.’

’Sungguh? Andai aku serupa bunga itu, berkesan bagimu....’

’Tentu, kau seorang yang mengesankan.’

’Benarkah? Sepagi ini kau membuatku kangen.’

’Senangnya bisa membuat seseorang kangen.’

Debar aneh mendadak memenuhi dinding rongga hati gadis itu. Berdentam-dentam, memunculkan gerak hati yang tak biasa. Menghadirkan bayang-bayang yang samar. Bayang-bayang seseorang. Mendadak lamunannya berhenti. Ponselnya bergetar membawa sebaris pesan.

’Akan lebih mengesankan kalau bisa menikmati pagi bersamamu Ada sarapan enak di Spring Morning. Kutunggu besok di sana?’

Orien ragu sesaat. Hanya sesaat. Karena kemudian jemarinya bergerak menyusun huruf-huruf berbaris di ponselnya dan mengirimnya sebagai pembawa jawaban. Semua dilakukannya bagai gerak refleks, nyaris tanpa berpikir. Sesaat dengan terkejut, dibacanya ulang baris jawaban itu.

’Ya. Aku akan datang.’

Astaga. Betulkah itu jawaban yang dibuatnya? Sungguhkah di­inginkannya juga pertemuan itu?

Tapi, pertanyaan dan keterkejutan itu tak mampu meredakan gerak jemarinya, dan tanpa tercegah lagi, jemarinya kembali bergerak menekan tombol ’Send’. Terkirimlah pesan itu dengan sempurna.

MAY
Aku merasa ada yang tidak biasa. Beberapa pagi ini suamiku mendadak berubah menjadi ’manusia pagi’. Dia begitu rajin bangun pagi dan menjalani rutinitas paginya penuh dengan suka cita. Padahal, yang terjadi sekian tahun ini berbagi hari dengannya, aku harus selalu bersusah payah membangunkannya. Harus sekuat tenaga menghentikan tidur paginya. Harus dengan kekuatan penuh berusaha melepaskan dirinya dari jeratan rasa kantuk.
Segala cara sudah pernah kulakukan.

Mencoba membangunkannya dengan aroma secangkir kopi hangat. Tiupan embus napasku di liang telinganya, atau gelitikan di telapak kaki. Tidak selalu semua usaha itu berhasil karena suamiku selalu minta tambahan lima menit, yang pada kenyataannya menjadi berlipat-lipat menit.

Tapi, apa yang dilakukannya sekarang?

Beberapa pagi ini dia mengakhiri tidur begitu dini. Bahkan, mendahuluiku. Mandi dengan riang. Bersiul-siul, sembari memilih kemeja dan dasi. Dia bahkan sudah wangi, sebelum aku sempat menikmati koran pagi. Sesuatu hal yang nyaris tidak pernah terjadi sebelum ini.

Aku bukannya tidak suka dengan perubahan ini. Barangkali, justru harus bersyukur, karena itu berarti aku terbebas dari kejengkelan pagi yang memburu. Aku hanya merasa ada yang tidak biasa. Entah apa.

Di sinilah kusadari keterbatasanku. Dan betapa ironisnya situasiku. Ketika aku mampu melihat orang lain dengan mudah, serupa melihat bioskop bercerita di depan mata, justru untuk seseorang yang begitu dekat, tak mampu kulihat apa pun. Meski hanya samar sekalipun.

Barangkali, aku harus mencari jawabannya dengan cara lain.

Malam sudah larut. Sudah kupadamkan semua lampu. Hanya tertinggal lampu baca, yang masih digunakan suamiku. Dia memang suka membaca di tempat tidur, menunggu kantuk meng­hampirinya.

Aku menyusup ke dalam pelukannya, menyusuri bidang datar dadanya. Aku selalu suka melakukannya. Meraba kulit liat pembungkus jantungnya, dan merasakan jantungnya berdetak-detak. Kurebahkan telingaku pada bidang datar itu, mencoba mengalirkan detak jantung itu melewati liang telingaku. Bila tertangkap detak itu, maka memantullah detak itu menjadi debar yang menggetarkan seluruh dinding hatiku. Mengalirkan sensasi luar biasa pada seluruh urat nadiku, yang membawaku pada suatu hal, bahwa aku memiliki seseorang yang kuinginkan selamanya. Maka, aku akan memeluknya dengan sangat erat, ikatan pelukan yang tak ingin kulepaskan sejenak pun.

Tapi, tidak selalu detak jantung itu tertangkap. Juga malam ini. Tak ada apa pun yang mengalir di liang telingaku untuk menggetarkan dinding hatiku. Yang tersentuh hanya gerak napas dengan irama lambat.

”Tak kudengar detak jantungmu,” kataku mengeluh, setengah merajuk. Apakah aku sudah tak mampu lagi membuatmu berdebar-debar?”

”Tidakkah debaran semacam itu hanya pantas untuk remaja?” suamiku menyentuh bahuku, berusaha menenangkan, tapi tak beranjak dari bukunya. ”Aku sudah paruh baya. Telah pula memilikimu seutuhnya. Apakah masih pantas kupunya segala gejolak itu?”

”Atau, aku terlalu tawar untuk memunculkan gejolakmu?”

Suamiku menutup bukunya. Matanya menatapku lembut. ”Mengapa mendadak berprasangka begitu? Ada sesuatu?”

”Entahlah. Aku hanya ingin mendengar detak jantungmu.”

”Tetap ada di sini,” suamiku merebahkan kepalaku di dadanya. ”Dengarkanlah dengan cermat. Jantungku berdetak untukmu, selalu untukmu.”

”Sungguh? Kau yakin tidak ada orang lain?”

Suamiku mendadak terkejut. ”Mengapa bertanya begitu?”

”Entahlah. Ketika kehilangan detak jantungmu, kadang-kadang aku berpikir, adakah seseorang lain berada di balik punggungmu. Dan dia mencuri detak jantung yang seharusnya milikku itu. Aku tak mau itu dicuri orang.”

”Praduga sembarangan. Dengan kemampuan penglihatanmu, mana mungkin kusimpan seseorang di balik punggungku?”

Sebuah janji yang menentramkan. Siapa mampu menolak janji sesempurna itu? Kueratkan pelukan. Meyakinkan diri bahwa dia sungguh-sungguh milikku. Mendadak debaran yang kutunggu muncul begitu saja, begitu cepat jantung itu berdetak. Berdentam-dentam menimbulkan deburan yang menggetarkan seluruh dinding hatiku. Getar yang selalu kucari.

Kunikmati detak itu. Ruang hatiku penuh dengan deburan jantungnya, kusimpan dengan rapi, kukunci rapat pada seluruh ruang urat nadiku. Tak akan kubiarkan deburan itu menghilang dariku, sekejap pun.

Tapi, mendadak, satu pertanyaan melintas. Mengapa debar jantung itu muncul tiba-tiba. Adakah sesuatu yang memunculkannya?

BARON
Apa yang kurang dalam hidupku? Karier yang mapan dengan jenis pekerjaan yang sesuai bidang pendidikanku. Rumah besar warisan orang tua di tengah kota. Seorang istri yang memiliki kemampuan khusus ’melihat’ sesuatu. Rumahku tidak pernah sepi dari para tamu yang memerlukan kemampuan khusus istriku, untuk men­yelesaikan masalah yang dihadapinya. Seiring dengan itu mengalir pula berbagai penghargaan non-material yang kami terima.

Kami seakan diposisikan sebagai seseorang yang tidak biasa, yang selalu mendapat perlakuan khusus dalam banyak hal. Mungkin, karena mereka pernah terbantu oleh ’penglihatan’ istriku. Tapi, sejujurnya, sering kali hal itu memunculkan situasi yang tidak nyaman untukku. Sedemikian istimewanya mereka memperlakukan istriku, sehingga seakan menempatkan aku sebagai bayang-bayang. Setiap kali harus mendampingi istriku, aku lebih banyak berfungsi sebagai pengiring belaka, tepatnya: pelengkap penderita. Celakanya, aku harus merelakan diri memaklumi situasi tidak nyaman ini, demi apa yang bernama kepatutan pandangan sosial.

Istriku adalah seorang sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Aku ingat ketika pertama kali menemukannya, pada masa orientasi pengenalan mahasiswa. Di masa lalu yang lucu itu aku sungguh jatuh kasihan melihat segala kedekilannya. Rambutnya yang ikal dihias pita daun-daun kering, yang menyampah di pelataran kampus. Baju seragam inisiasinya dilengkapi oleh sobekan-sobek­an kain kumal yang dijahit kasar. Lalu, sepatunya adalah sepatu olahraga yang sudah bolong, menampakkan jemari kaki.

Tema pekan orientasi mahasiswa yang kami tetapkan waktu itu adalah kemiskinan. Jadi, para mahasiswa baru itu harus tampil total dengan segala atribut kemiskinan. Landasan idealisme kami sebagai senior mahasiwa ketika itu adalah supaya mereka mampu memahami kemiskinan dengan lebih baik, yang barangkali berguna bagi penerapan ilmu mereka di masa mendatang.

Ah, baru sekarang kusadari betapa muluk harapan itu. Siapa peduli tentang kemiskinan, ketika segala fasilitas kehidupan tersedia di depan mata untuk dinikmati? Lagi pula, terlalu naif mengira dapat memahami kemiskinan hanya melalui simbolisasi yang tampak di permukaan. Penyederhanaan masalah yang terlalu mudah.

Apakah cukup merasakan dasar kemiskinan hanya melalui bau sampah, baju sobek-sobek, sepatu bolong? Itu semua simbolisasi belaka. Pada kenyataannya, kemiskinan lebih dari sekadar menahan rasa lapar, ketidakmampuan untuk menentukan apakah ada sesuatu yang bisa dimakan hari ini, rasa perasaan diri yang tersingkir, karena dianggap sesuatu yang tidak ada. Atau, bahkan rasa terhina, karena dianggap sesuatu yang harus dihindari, supaya tidak menimbulkan masalah lebih lanjut.

Tapi, begitulah mahasiswa dengan segala kemudaannya. Merasa telah melakukan hal-hal besar, justru karena ketidaksadaran bahwa begitu jauh yang masih harus dipahami di dasar kehidupan. Tanpa menyadari bahwa permukaan kehidupan sama sekali bukanlah representasi yang ada di dalamnya, justru lebih merupakan kamuflase, serupa telaga yang menyimpan kedalaman tak terduga.

Begitu pun aku. Hanya dengan melihat gadis kurus dengan atri­but kemiskinan itu, aku jatuh kasihan dan merasa harus memberikan pertolongan. Lebih tepatnya diskriminasi khusus. Dan sebagai panitia tentu aku punya akses untuk itu. Lalu, tampillah aku sebagai penyelamat baginya. Suatu cara klise untuk merayu gadis belia.

Begitulah. Aku menemukan calon istriku dengan jalan yang terasa sangat mudah. Barangkali, Tuhan sangat sayang padaku, karena pada kenyataannya banyak kemudahan lain yang kutemukan dalam hidup. Jenjang pendidikan yang selesai tepat waktu, mendapatkan pekerjaan yang tepat, dengan jenjang karier menjanjikan. Barangkali, sesungguhnya hidupku telah lengkap.

Tapi, begitulah. Ketika segala sesuatu memudahkan hidup, tidak berarti hidup menjadi nyaman. Bisa jadi, yang terasa justru kedataran. Hidup menjadi terasa biasa.

Jadi, ketika kemudian muncul seseorang yang lain, itu bagaikan sebuah pensil warna, yang siap mewarnai bidang datar polos kanvas lukisanku. Ibarat pusaran angin, yang siap menggelombangkan pantai-pantai landai di sepanjang pesisir jiwaku.

Berawal dari sesuatu yang sangat biasa pada sebuah pagi yang sederhana. Pada mulanya aku hanya ingin mengucapkan salam. Bagaimanapun, dia telah menjadi penolongku. Tentu tidak pantas jika kuabaikan begitu saja. Betapapun aku layak membina hubungan baik. Tapi, ketika salam pagiku mendapatkan balasan, entah kenapa yang muncul adalah debar menggetarkan. Getaran yang membuatku ingin melakukan sesuatu yang lain.

Paket sarapan itu adalah pilihan yang asal saja, karena aku tak punya ide yang lebih baik lagi. Tapi, ketika melintas di toko bunga, anyelir merah magenta sungguh menghentikan langkahku. Helai kelopaknya yang berembun bening meneteskan bayangnya di relung benakku. Bening matanya seakan menjaga setiap langkahku untuk terus mengikutinya.

Dan tidak kuperlukan lagi segala alat bantu untuk membangunkanku di pagi hari. Bahkan, sesungguhnya, aku ingin segera pagi datang, hingga dapat dengan segera kukirim salam pagiku.

Hingga suatu pagi aku berhasil membujuknya untuk makan pagi. Pilihan menunya sungguh sangat sehat: jus buah dan salad sayuran.

”Sorry, apakah kau seorang yang khawatir soal berat badan?” tanyaku sekilas, meneliti proporsi tubuhnya. Ukuran yang proporsional kurasa.

”Begitulah,” ia mengangguk, tersipu.

”Lupakan soal diet dan kalori. Ada banyak hal lain yang lebih layak dipertimbangkan,” kataku.

”Ini jauh lebih baik daripada yang diperoleh sebagian orang,” kilahnya, bernada diplomatis.

”Maksudnya?”

”Ada banyak orang di dunia ini yang kehilangan hak mereka untuk makan dengan layak, karena tekanan kemiskinan. Sebagian lain lebih beruntung, meski tidak bisa memilih makanan yang mereka inginkan, karena tergantung ransum.” Dia menjelaskan dengan sungguh.

”Jadi, meskipun cuma ini menu sarapan pilihanku, aku layak bersyukur, karena masih bisa memilih apa yang ingin kumakan.”

Aku terkejut. Sebuah jawaban yang bagiku sangat tidak biasa.

”Kau mengingatkanku pada sesuatu. Ingat tentang paket sarapan yang kukirim dulu itu?” kutatap gadis itu dalam-dalam.

Ia mengangguk.

”Kau katakan, ada yang lebih membutuhkan?”

”Ya, dan kau berjanji akan melakukannya suatu hari nanti.”

”Dan kau berjanji akan menemaniku?”

Orien mengangguk. Matanya menyiratkan sesuatu.

”Bagaimana kalau kita melakukannya hari ini?” tantangku.

”Aku tahu sebuah tempat yang tepat.” Orien langsung setuju.

Dan, terwujudlah hari itu. Orien membawaku pada sebuah tempat. Ada banyak orang tinggal di rumah kardus di sepanjang bantaran sungai. Orien terus membawaku berjalan menyusuri jalan sempit yang makin berliku, hingga kami sampai pada sebuah pohon besar di lokasi perkuburan Cina. Begitu besar pohon itu, dengan daun rimbunnya yang memberikan keteduhan bak atap, sementara akar-akarnya menjulur ke segala arah dan menjadikan diri sebagai tempat duduk yang nyaman.

Sekelompok anak duduk pada akar pohon, tampak tekun mende­ngar­kan seseorang yang menceritakan sesuatu dengan alat peraga sederhana.

”Temanku, Bagas,” Orien menjelaskan, membaca pertanyaan yang melintas di benakku, tentang seseorang yang sedang bercerita itu.

”Bersama beberapa teman, kami membuat sebuah pendidikan alternatif di sini. Muridnya adalah penduduk sekitar, yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bersekolah formal yang lebih baik.”

”Kau juga terlibat mengajar?” aku terkejut.

”Semampuku, di sini murid dan guru sama-sama dalam proses belajar untuk menemukan metode lebih baik. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, kemampuan kami serba terbatas. Kami hanya punya energi untuk terus mempertahankan semua ini untuk jangka waktu yang entah sampai kapan.”

Aku tercenung. Aku teringat idealisme yang pernah kutanam pada masa mahasiswaku dulu, pemahaman tentang kemiskinan. Sebagai mahasiswa senior kami berusaha menanamkan empati pada para mahasiswa yunior untuk memahami kemiskinan dengan lebih baik, supaya di kemudian hari mereka bisa menerapkan kemampuan mereka mengolah kemiskinan itu. Tapi, apa yang terjadi setelah itu? Nol besar. Aku kini bahkan tidak melakukan apa pun. Aku bahkan seperti tidak pernah memiliki benih dari sesuatu yang pernah kutanamkan pada orang lain.

”Mengapa tidak kau katakan sejak awal? Mungkin, lebih berguna bila kita membawa buku bacaan atau alat tulis daripada makan­an ini,” kataku, menepis rasa bersalah sekaligus rasa malu yang mengepung benakku.

”Tidak,” Orien menggeleng menepis keraguanku. ”Kau tidak tahu, banyak di antara mereka yang mungkin tidak makan sejak semalam. Yakinlah, apa yang kau bawa untuk mereka sungguh sangat diperlukan.”

Benar. Makanan yang kami bawa, mereka terima dengan penuh suka cita. Hidangan itu mereka nikmati hingga tandas tak tersisa nasi sebutir pun. Cara mereka menikmati makanan fast food itu memunculkan rasa haru di seluruh rongga dadaku. Kucari jemari Orien.

”Ini sangat menggugah emosi,” tangannya bergerak lembut dalam genggamanku. Gerak lembut yang menjalarkan getaran aneh di sekujur benakku. Memunculkan debaran jantung yang berdentam riuh. Dengan terkejut kusadari bahwa sudah sedemikian lama tidak pernah lagi kualami debaran yang sedemikian ini. Lama sekali.

Hidupku sedemikian nyaman, segala sesuatu berjalan sesuai arah, masing-masing terletak pada tempat yang tepat, segala rencana terwujud sesuai harapan. Maka, tidak ada gejolak yang tak perlu. Alur hidup sedemikian mulus. Seharusnya, itu semua akan membuat hidupku nyaman. Seharusnya. Setidaknya, itulah yang terjadi hingga hari ini. Tapi, sekarang? Baru kusadari sekarang, ternyata itu bukanlah rasa nyaman, melainkan datar. Ya, hidupku ternyata sangat datar, bergeming, mirip sebuah garis lurus.

Lebih dari itu, hidupku ternyata serupa telaga. Tenang, diam tanpa riak, tapi menyimpan kedalaman tak terduga. Agaknya, seseorang akan terbawa oleh kedalaman tak terduga itu. Orien.

”Ingin kulakukan sesuatu untruk mereka,” kataku kemudian.

”Kau sudah mengenyangkan mereka,” bisik Orien antusias, menyiratkan kegembiraan yang tak tersembunyikan.

”Aku tidak berbakat mengajar, tapi bisa kulakukan sesuatu yang lain.”

”Apakah itu?”

”Menggembirakan mereka.”

”Oke, lakukanlah.”

Aku beranjak menghampiri Bagas, yang lalu membantuku menemukan sesuatu yang kuperlukan. Aku mencari alat musik. Yang tersedia adalah sebuah ketipung usang yang begitu dekil.

Kuamati ketipung dengan seksama. Mungkinkah alat sederhana ini masih mampu memunculkan suara yang layak dengar? Kusentuh selaput gendangnya dengan ragu, kuketuk pelan.

Sebuah suara muncul, perlahan, tapi membawa gema yang menyiratkan sesuatu. Aku tertegun. Gema itu tidak sempurna, tapi di antara segala keterbatasan yang ada, suara itu sangat berharga. Modal yang cukup bagiku.

Lalu, kumainkan jemariku, memukul ketipung dengan ketuk­an berirama, mengalirkan nada-nada yang tersusun membentuk sebuah harmoni. Lalu, begitu saja harmoni nada itu mengalun, mengikat perhatian anak-anak yang mendengarnya. Ketika Bagas melengkapi irama ketipung dengan tepuk tangan yang seirama, serentak anak-anak itu mengungkapkan antusiasmenya.

Tidak cuma bertepuk tangan, lebih dari itu, mereka juga bergo­yang, bersiul, berputar-putar, dan berbagai gerakan ekspresif lainnya. Ekspresi yang menyiratkan kegembiraan. Kami semua larut dalam suka cita itu. Sesaat melepaskan diri dari segala keterbatasan. Sesaat melepaskan semua beban yang tak pernah selesai.

Dulu aku adalah pemusik amatir. Menjadi pemain band kampus memberikan kebanggaan khusus. Kami dianggap memiliki nilai lebih daripada mahasiswa lain yang tidak jadi ’apa-apa’. Itu nilai lebih yang kuperoleh dari musik di masa lalu.

Tapi, sekarang? Baru kusadari bahwa musik memiliki nilai yang lebih daripada itu. Musik membawa sesuatu yang universal. Meniadakan kelas-kelas, strata, bahasa, ataupun perbedaan lain. Pada musik yang ada hanyalah irama, yang dinikmati bersama dan menyatukan siapa pun pendengar itu. Aku, Orien, Bagas, dan anak-anak itu, bersama larut dalam satu irama gendang suka cita.

Apa yang kulakukan untuk anak-anak itu sesungguhnya sesuatu yang sangat kecil, tidak akan berarti apa pun terhadap struktur kemiskinan di negeri ini. Tapi, bagaimanapun, bagiku ini adalah sebuah langkah awal yang layak dilanjutkan. Orien telah meng­antarkanku pada sebuah kehidupan yang telah kulupakan sekian lama. Orien membawa kesadaran baru bagiku, mengalirkan energi baru untuk mencapai sesuatu yang lebih baik, tidak hanya untuk kebaikanku semata, tapi lebih pada sesuatu yang ada di lingkaran luar hidupku, yang telah lama kuabaikan.

Sesungguhnya, aku merasa tidak sia-sia dengan apa yang kulakukan hari ini. Meski sangat sederhana, itu adalah sebuah langkah awal.

ORIEN
Kusadari ada sebuah garis batas yang menghadangku sejak awal. Ke­tika hari itu dia mencari jemariku dan mengalirkan keharuannya, kusentuh sebuah cincin dalam genggaman itu. Sebuah cincin yang menandakan ikatan suci pemakainya dengan seseorang pemilik cincin yang sama.

Tapi, apalah artinya sebuah kesadaran awal, ketika kemudian hadir kesadaran-kesadaran selanjutnya yang menenggelamkan kesadar­an awalku? Kesadaran selanjutnya itu adalah ketidakmampuanku mengingkari keinginan untuk menyandarkan diri pada punggungnya. Aku selalu merindukan punggung itu, selalu ingin bersandar di sana. Selalu. Bidang datar punggung itu memberikan banyak hal bagiku. Serupa sandaran yang memberiku kesempatan melepaskan kelelahan. Serupa benteng yang memberiku perlindungan, serupa selimut yang membungkus kedinginanku.

Sungguh tidak pernah kulupa bahwa dia adalah seorang suami yang selalu akan pulang ke rumah, tempat keluarganya menunggu. Tapi, ketika merebahkan diri di punggung itu, tak mampu kuingat apa pun, kulupakan segala batas-batas yang seharusnya mengikat langkahku. Selalu kulepaskan diri dari ikatan-ikatan yang meng­hadangku itu. Selalu kusingkirkan aral yang menghalang arahku untuk menuju punggung itu. Selalu.

Suatu kali kutemukan diriku terbangun pada sebuah dini hari, dan dia menatapku dengan mata yang begitu dalam. Serupa labirin mata itu, menyimpan banyak hal tak terduga. Ketika menyusuri tatapan itu, serasa tersesat aku di dalamnya.

”Apa yang kau lakukan?” tanyaku, saat dia tak melepaskan tatapannya.

”Aku ingin menjagamu sepanjang malam,” katanya, masih dengan tatap mata yang menyesatkan.

”Mengapa? Adakah sesuatu yang membahayakanku?”

”Tidak ada.”

”Lalu, mengapa harus menjagaku?”

”Bukan bahaya yang kukhawatirkan, lebih dari itu.”

”Apakah itu?”

”Bahwa kau akan menghilang dariku.”

”Aku tidak akan pergi ke mana pun,” kataku meyakinkan. ”Barangkali, justru kau yang akan menghilang dariku.”
Lalu, ada keheningan sesaat. Aku terkejut oleh kalimatku sendiri. Ah, mengapa harus kuucapkan kalimat itu? Kalimat yang mengingatkan pada sesuatu.

Ya, akan tiba sebuah hari saat sesuatu terjadi. Aku yang akan pergi, atau dia yang menghilang. Atau, dia pergi dan aku menghilang. Ah, apalah bedanya? Maknanya sama saja. Bahwa semua akan berakhir. Sebuah hari akan berhenti. Sesuatu akan selesai.

”Akan tiba hari itu...,” desisku kemudian, menghentikan kehe­ningan. Hening yang terasa sangat pekat, seakan menggumpalkan sesuatu yang tak tercairkan.

”Apa yang harus kulakukan untuk meniadakan hari itu?” tanyanya, seakan ingin mengenyahkan sesuatu yang tidak kami harapkan.

”Entah.” Aku menggeleng tak berdaya.

Lalu hening lagi, dengan kepekatan yang makin menggumpal. Kesenyapan mengapung di segala sudut ruang. Seakan mengam­bang­kan juga harapan-harapan samar yang membayang tipis dalam angan kami. Harapan yang selayaknya tidak kumiliki. Ah, sesungguhnya itu bukanlah harapan, lebih tepatnya adalah angan tipis yang menaburkan imaji-imaji tanpa batas.

”Bagaimana seandainya aku menginginkanmu?” katanya kemudian, tetap tanpa melepaskan aku dari tatapannya. Mata labirinnya menjebakku, makin menyesatkanku, seakan membuatku kehilang­an arah, mengacaukan kompas penunjuk langkahku.

”Begitukah?” aku berusaha berkelit, sembari mempertahankan kompas penunjuk arahku tetap berfungsi dengan normal.

”Ya.”

”Kau ingin aku menyerah padamu?”

”Sangat ingin. Kau bersedia?”

”Kau tahu apa artinya bila kita lakukan itu?”

”Apa?”

”Artinya, kita akan membayar terlalu mahal untuk perselingkuh­an ini. Aku membayar dengan kesucianku, dan kau mengorbankan kesetiaan keluargamu. Sebuah harga yang tidak sepadan.”

”Apakah itu artinya kau tidak menginginkan aku?” tanyanya. Ada nada gelisah dalam suaranya. Kegelisahan yang tergurat jelas, serupa urat darah di balik kulit ari yang tipis.

Aku terdiam sejurus. Begitupun dirinya. Terbentang keheningan di antara kami. Hening yang dingin, senyap, serupa larut malam yang pekat tanpa cahaya.

”Aku menginginkanmu, tapi takut,” kataku, nyaris tak terdengar.

”Apa yang kau takutkan?”

”Karena, aku pasti tidak akan bisa melepaskanmu dari ingatanku.”

”Sungguhkah?”

”Tidak ada seorang wanita pun di dunia ini yang sanggup melupakan pria pertama baginya,” kataku dengan getar suara yang tak tersembunyikan.

”Kalau begitu izinkan kulakukan itu. Aku ingin berada dalam ingatanmu. Selamanya.”

Tatap matamu lurus menangkapku, tidak menyisakan celah segaris pun untuk menghindar. Kau menenggelamkan aku dalam lorong labirin kerjap matamu. Langkahku makin jauh menyusup dalam labirin itu. Bukan karena tersesat, bukan karena tak berdaya meloloskan diri dari liku labirin, melainkan karena aku ingin menyesatkan diri di dalamnya. Aku telah memilih bahwa aku bersedia tenggelam bersamanya.

”Genggamlah tanganku, jangan pernah lepaskan aku,” kataku ke­mudian, menyerahkan diri dengan kesadaran penuh. Kesadaran pe­nuh yang membawa segebung keinginan serta hasrat tak terkendali.

Kemudian jemarimu merengkuh­ku, menggenggamku erat de­ngan jalinan yang seakan tak terlepaskan. Tersesatlah kami pada sebuah labi­rin tanpa pintu pelepasan. Tenggelamlah kami pada samudra tanpa dasar. Terperangkap pada larut malam tanpa cahaya.

Hari yang pudar

”Ibu, ada yang harus kukatakan,” kata Orien, menghimpun kekuatan sepenuh daya.

”Mari, duduk dekat Ibu.” Ibu meng­geser duduknya, memberi ruang bagi Orien. ”Lama kita tidak berbincang. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini, selalu pulang larut malam.”

Orien ragu menempatkan diri. Sung­guh ingin didekatkannya di­ri pa­da ibunya, mencari pelukan hangat. Tapi, keraguan itu menghadangnya. Ada sesuatu pada dirinya yang tak ter­ungkapkan, yang membentangkan jarak.

”Ada apa, Nak? Apakah kau sakit?” Ibu menatapnya lembut. ”Wajahmu pucat.”

”Aku sehat, Ibu,” Orien menepis kekhawatiran ibunya. ”Aku hanya ingin mengatakan sesuatu.”
Ibu menunggunya.

Orien menarik napas panjang, menata kalimatnya hati-hati. ”Aku akan... menikah.”

Ibu terenyak, segala gerakannya terhenti. Ditatapnya Orien.

”Sungguhkah? Telah kau temukan seseorang itu?”

”Ya.”

”Siapa?”

”Baron,” jawab Orien dengan suara nyaris tak terdengar.

”Ibu belum mengenalnya,” gumam Ibu, menyiratkan keraguan yang tak tersamarkan.

”Dia memang belum pernah datang pada Ibu.”

”Tapi, kau telah memilihnya. Yakin bahwa dia seorang yang tepat?”

Orien mengangguk ”Ya.”

”Baiklah,” kata Ibu tegas, tanpa meninggalkan kelembutan. ” Biarkan dia datang pada Ibu, layaknya seorang pria yang akan meminang anak gadis menjadi istrinya.”

Orien tercekat. Sesaat dicarinya kalimat terbaik untuk meng­ungkapkan sesuatu.

”Tapi, Ibu, dia sudah beristri.”

Serapi apa pun kalimat itu tersusun, seindah apa pun kalimat itu terbungkus, tetaplah mengungkapkan fakta yang pahit. Bahkan getir yang sangat mengejutkan. Lebih dari itu, serupa pisau tajam yang menggoreskan luka.
Ibu terpana, nyaris serupa pohon terhantam badai yang tak terduga. Badai yang tak pernah disangka akan datang.

”Ini tidak layak kau lakukan!” seru Ibu, tajam. Kemarahan meluap jelas di matanya. Bahkan, lebih dari sekadar kemarahan. Murka adalah padanan yang lebih tepat.

Di sudut ruang Orien bersimpuh tak berdaya. Kalimatnya sesungguhnya belum selesai. Dia baru menyampaikan satu hal, ada hal lain yang masih tersimpan. Tapi, seperti sudah diduga, yang satu hal ini sudah cukup untuk meluapkan kemurkaan seorang ibu. Kemurkaan yang selama ini sama sekali tidak pernah dimiliki ibunya. Lalu, apa yang akan terjadi kalau disampaikannya hal kedua? Orien tidak ingin tahu jawabannya. Sama sekali tidak sanggup.

”Ini bukan dirimu!” desis Ibu, berusaha mengendalikan diri.

Kalau bukan diriku, lalu siapa? Orien bertanya tanpa suara. Sesungguhnya itulah aku, Ibu, janin yang kau simpan dalam rongga rahimmu selama sembilan bulan. Kalau di kemudian hari aku menjelma menjadi sosok seperti yang tak kau kenal selama ini, itu hanyalah karena keterbatasanmu sebagai manusia, yang tidak selalu mampu membendung celah yang mungkin terjadi. Selalu akan ada yang lolos dari jangkauan tatap matamu, Ibu.

Aku bukan lagi janin yang bisa kau lindungi sepenuhnya dalam rahimmu. Tak akan terhindarkan, ketika aku terjangkau tangan-tangan lain yang merenggutku, dan membawaku ke dalam labirin yang kuinginkan.
Tatap mata Ibu bernyala api, tepat menyambar manik mata.

”Tidak ada satu orang pun dalam silsilah keluarga kita yang menjalani poligami. Sekadar niat pun tidak! Tapi, kau, bahkan minta izin untuk menjadi wanita kedua? Apa yang kau ajarkan pada dirimu sendiri hingga kau punya nyali untuk meminta izinku?”

Orien mematung. Diam serupa batu pualam yang tak mampu menolak untuk ditatah.

”Kau merendahkan keluargamu,” suara Ibu tersendat, kemarah­an yang menguasainya, membawa beban luka penuh darah. ”Lebih dari itu. Sesungguhnya, kau tidak hanya menjatuhkan harga diri seluruh keluarga besar ini, tapi terutama kau menjatuhkan aku. Kemarin, aku adalah ibu yang melahirkan dan mendidikmu, tapi sekarang, dunia akan melihatku sebagai wanita yang tak mampu membangun karakter yang layak untuk keturunannya. Kau membuatku menyesal telah mengalirkan darah untuk melahirkanmu!”

Orien tergugu. Segala semangat yang pernah dimilikinya luruh tak tersisa. Ia telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemarahan Ibunya. Mengira bahwa semangat yang dimilikinya akan cukup mengeliminasi segala akibat kemurkaan yang mungkin timbul. Tapi, Orien melupakan satu hal. Ia tidak pernah siap menampung tetesan darah luka Ibunya. Pendarahan yang dia bawa untuk ibunya kini, ternyata jauh lebih parah dari luka pendarahan yang dialami ibunya ketika melahirkan dulu.

Luka berdarah ibunya membawa Orien pada suatu hal, yaitu bahwa hari telah berhenti baginya. Inilah hari ketika semua pintu tertutup baginya. Tiada kunci meski telah dicari di segala arah. Dia telah kehilangan segala sesuatu.
Hanya ada satu jalan tersisa, jalan menuju pada sebuah cahaya yang pudar.

MAY
”Ada yang harus kukatakan,” kata suamiku, suatu hari. Matanya menatapku dengan gurat ekspresi yang tak tertafsirkan. Dia menunduk, menyimpan kegelisahan.

Sesuatu melintas di benakku, menghadirkan rasa tak nyaman. Barangkali, serupa aliran air yang terlalu dingin, hingga seperti jarum-jarum kecil menusuk pori-pori. Atau, sebaliknya, serupa aliran air yang terlalu panas, sehingga baranya seakan melepuhkan kulit.

”Ada apa?” kataku, sambil menggeser posisi duduk, memberinya ruang untuk berada di sampingku. Tapi, rupanya suamiku lebih memilih untuk menempatkan diri pada kursi di depanku.

Sesaat kudengar helaan napas panjang. Ada yang terasa berat pada napas itu, ada beban yang menggantung di sana. Hening. Aku menunggu dalam senyap. Lalu, ”Aku telah menyimpan seseorang,” katanya. Sangat pelan, nyaris tak terdengar.

Hening lagi. Oh, bukan hanya hening, tapi waktu seakan berhenti bagiku. Mendadak aku kehilangan segala rasa. Inikah tuli, ketika segala suara menghilang? Inikah buta, ketika segala sesuatu tak tampak? Inikah hampa, ketika segala rasa tak tercecap? Inikah mati, ketika perasaan bagai selesai?

”Siapa?” Itu suaraku. Aku mendengarnya dengan jelas, tapi seakan bukan aku yang mengucapkannya.

”Dia...,” jawaban itu tak selesai. Entah apa yang menghentikannya.

”Diakah yang membangunkanmu setiap pagi?”

”Ya.”

Dialah seseorang itu, ternyata. Seseorang yang membuat debaran jantung suamiku menghilang dariku sesekali. Dia, yang berada di balik punggung itu, yang tak kulihat tapi kurasakan kehadirannya.

” Kau mencintainya ?”

” Ya, sekaligus tetap mencintaimu ”

Tetap mencintai ? Mungkin. Barangkali. Bisa saja.

Tapi, itu bukanlah sesuatu yang utuh. Telah terbelah, telah terbagi. Entah berapa banyak manusia menerima ketidakutuhan serupa ini. Tidak hanya wanita, tidak hanya pria, tapi juga para waria. Bahkan, anak-anak tak terelakkan dari hak yang tidak utuh ini.

Tapi, tidak kuduga bahwa aku akan menjadi bagian di dalamnya. Kukira, bagian kehidupanku begitu sempurna. Aku merasa memerlukan cermin besar, jauh lebih besar dari cermin yang pernah kumiliki selama ini. Cermin yang tersedia selama ini ternyata tak cukup mampu memperlihatkan hal-hal yang seharusnya kulihat. Barangkali, ukuran dan jumlah cerminnya terlalu kecil sehingga melewatkan banyak hal dari jangkauan penglihatanku.

Barangkali, selama ini aku terlalu takabur, mengira hidupku begitu sempurna, hingga merasa tak memerlukan alat bantu apa pun untuk melakukan pemeriksaan. Kukira, segala kesempurnaan itu akan bertahan selamanya.

Ternyata, aku keliru. Ketika alat bantu telah tersedia, cermin itu tetap tak mampu menjawab pertanyaanku. Tak mampu menampak­kan apa yang kucari. Tak memperlihatkan apa yang tidak kutahu.

Aku tetap tak menemukan jawaban, bagaimana mungkin seseorang yang kukira sempurna sebagai pendamping sejatiku, ternyata sampai hati meminta izinku untuk membelah diri. Rupanya, dia telah menemukan sebuah persimpangan jalan dan ingin melalui keduanya pada saat yang sama.

Aku tidak pernah menemukan jawaban mengapa ini bisa terjadi. Ironis. Aku bahkan bisa mengetahui, ketika seorang suami menjauhi istrinya karena aroma mawar yang terlalu pekat. Tapi, kenyataannya, aku tak bisa mengetahui mengapa suamiku sendiri terbelah hatinya untuk seorang wanita lain.

Ketika seseorang kehilangan uangnya, aku bisa mengatakan padanya di mana uang itu berada. Tapi, aku tidak pernah tahu di mana suamiku menaruh sisi hatinya yang sebelah lagi. Ironis. Dulu pernah kukatakan pada seseorang yang kehilangan, bahwa kalaupun bisa menemukan kembali sesuatu yang hilang, tidak berarti bisa memilikinya kembali. Itulah yang terjadi padaku sekarang. Aku melihat di mana separuh belahan hati suamiku berada, tapi tidak berarti aku bisa meraih dan membawanya pulang kembali padaku.

Seseorang itu datang padaku suatu hari. Seorang ibu yang putus asa membawanya. “Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan,” kata ibu itu dengan rasa putus asa yang sangat. “Psikiater, dokter, pemula agama, semua telah saya datangkan untuknya. Tapi, semuanya tidak berarti.”

Aku terkejut melihat sosok itu. Seorang wanita muda yang rapuh. Ketika kusentuh jemarinya, ada yang serasa menjalariku, seakan mengalirkan sesuatu. Aku melihat cahaya hidup yang pudar. Bukan sekadar harapan yang pupus. Lebih dari itu. Aku tercekat ketika menemukan sebuah aura yang tak pernah kuharap membayang samar menyelimuti raga gadis itu. Aku tidak pernah menyukai kehadiran aura yang satu ini.

Lalu, mendadak muncul bayang seseorang, bayang yang tidak mampu kulihat selama ini. Sekejap bayang itu menampakkan sesuatu untukku, sangat sekilas untuk kemudian menghentikan ’penglihatanku’. Apa yang kulihat sangat sekejap, telah menghilang, bahkan sebelum aku sempat memahaminya.

Dan, aku terkejut, amat sangat.

Aku mengalami detik yang sangat menggoncangkan. Sungguh tidak menduga. Banyak misteri kehidupan hadir di depan mataku. Tamu-tamu datang silih berganti mengantarkan berbagai peristiwa kehidupan yang sering kali tak terduga. Banyak hal terjadi di luar jangkauan pemikiran, yang membuatku tidak memahami di kehidupan ini. Tapi, apa yang tersaji selama ini bagiku lebih banyak merupakan deretan peristiwa yang terjadi pada orang lain. Sekarang, tidak kusangka bahwa ternyata aku harus terlibat di dalamnya secara langsung, dan ikut menjadi bagian di dalamnya.

Detik yang mengguncang.

Sesungguhnya, aku tidak siap. Tidak ingin. Tidak mau. Barangkali, lebih baik bila segalanya tetap sebagai misteri. Tapi, ternyata kita tidak selalu bisa memilih. Persis seperti tunawisma yang berteduh di bawah jembatan atau tidur beratap kardus.

Andai boleh memilih, pasti akan dipilihnya sebuah dipan berkelambu. Atau, fakir miskin yang beruntung menerima bingkis­an nasi bungkus. Entah telur atau tempe, lauk yang ada di dalam bungkusan itu, maka itulah yang dimakannya dengan lahap. Meski pada saat yang sama, andai boleh memilih, ingin dikunyahnya daging yang empuk.

Tapi, pilihan tidak selalu tersedia pada saat kita menghendakinya. Itulah yang terjadi padaku ketika itu. Aku dihadapkan pada sebuah kenyataan. Misteri yang terkuak, yang harus kuselesaikan membacanya hingga tamat.
Kuhela napas panjang. Kuhirup oksigen semaksimal daya tampung paru-paruku, memanfaatkannya untuk meredakan keguncanganku. Lalu, kukuasai diriku dengan baik. Kutempatkan diriku di mana seharusnya aku berada. Aku sedang dalam posisi yang dianggap mampu ’melihat’ sesuatu dan karenanya diharapkan akan memberikan sebuah petunjuk akan adanya jalan tertentu.

Kepada ibu itu kukatakan dengan jujur, jalan yang kulihat. Jalan yang kuanggap terbaik. Lubuk hatiku yang mengatakan itu.

Sesaat kemudian ibu itu pulang dengan makin putus asa. Aku telah memberikan alternatif yang sama sekali tidak diinginkannya. Alternatif tunggal itu adalah memberi jalan pada putrinya untuk melakukan apa yang dimintanya.
Lalu, kuberikan jalan yang sama untuk suamiku. ”Aku tahu siapa wanita itu,” kataku, dengan perasaan yang tak terdeskripsikan. ”Dia adalah wanita yang pernah menjadi penolongmu, ketika kau kehilangan ponsel.”

Suamiku terenyak. ”Akhirnya, kau tahu,” bisiknya.

Ada nyeri meremang pada sudut benakku. Dengan sakit kutemukan kenyataan betapa aku telah kehilangan sebuah perasaan yang pernah kumiliki terhadapnya. Sebuah kehilangan yang membuatku mampu ’melihat’-nya.

” Ya, sekarang aku bisa melihatmu,” kataku, tanpa nada.

Senyap. Sunyi sekali. Lebih sepi dari aroma larut malam yang pekat. Barangkali, serupa inilah kesenyapan larut malam di kedalaman telaga. Tiada suara, tiada cahaya, tiada gerak. Hanya air bening yang diam. Atau, serupa itukah bening kematian?

Tatap mataku mengabur, mencoba menangkap bayang suamiku. Dia ada di depanku, sangat dekat. Jarak kami barangkali tidak lebih dari satu meter. Tapi, sesungguhnya dia begitu jauh. Jarak yang terbentang di antara kami sejauh timur dari barat, selebar utara dari selatan. Kami tak lagi saling terjangkau.

”Kembalilah padanya,” kataku.

”Tapi...,” suamiku kehilangan kata-kata.

”Segeralah, atau kau akan kehilangan dia selamanya.”

Kupalingkan wajah, kubentangkan jarak, menyembunyikan bening yang menggenang di ujung mataku. Selesai sudah. Jalinan yang pernah kuikat dengannya pada sepanjang perjalanan kini terlepas simpulnya. Rajutan mulai terlepas menjadi seuntai benang panjang. Jalinan rajutan yang pernah saling mengikat, kini hanya menjadi segaris panjang kenangan belaka.

Kukerjapkan mata, bertahan untuk melihat betapa rajutan kami terurai menjadi benang panjang kenangan. Apa yang harus kulakukan dengan kenangan itu? Haruskah kutinggalkan? Ataukah, kulupakan? Atau, justru kubawa?
Sejauh mana kenangan bisa dibawa? Sebaliknya, sejauh mana kenangan bisa dilupakan? Belum kutemukan jawabannya. Yang kutemukan adalah bahwa sebuah kenangan, meski jauh dan silam, justru akan terlihat lebih jelas ketika aku melihatnya dengan tatap mata yang mengabur oleh genangan air mata.

Aku pernah menyimpan sebuah mimpi yang sempurna. Sebuah mimpi yang terbungkus rapi dengan keindahan, yang kukira hanya akan berakhir, ketika takdir kematian datang pada waktunya. Bahkan, kukira kami akan tetap memiliki mimpi kami itu di surga nanti. Ah, adakah surga itu?

Pernah kubaca tentang John Burroughs, seorang naturalis dan esais, yang mengatakan, ”Surga yang memberikan kebahagiaan bukanlah suatu tempat, melainkan situasi diri, di dalam batin, di dalam jiwa....”

Pernah kutemukan surga itu, di dalam pelukan seseorang. Seseorang yang kukira kumiliki dengan sah, mutlak, tak tergugat. Setiap kali berada dalam pelukan itu, ketika sepasang lengannya erat mendekapku, dan detak jantungnya memenuhi relung telingaku, segala kesempurnaan ada dalam genggamanku. Kebahagiaanku penuh. Bangunan mimpiku paripurna. Telah kumiliki surga terindah.

Tapi, ternyata, surga itu tidak selamanya bagiku. Masa kepemilikanku sudah berakhir. Perjalanan kebersamaan kami telah sampai pada sebuah ujung. Aku harus berhenti dan melepaskan seseorang untuk pergi.
Sungguh pedih melepas pergi seseorang dengan cara seperti ini. Ternyata lebih melukai dibandingkan dengan perpisahan karena kematian. Serupa mimpi yang usai sebelum tidur berakhir. Serupa layang-layang yang terlepas dari benang penariknya dan melayang tak berjejak terbawa angin tak tentu arah.

Sungguh tidak pernah kukira bahwa mimpiku akan berakhir secepat ini pada sebuah padang tandus. Padang tandus yang bahkan tidak pernah terlintas dalam bayang mimpiku sekalipun. Namun, kini aku terperangkap di padang itu sendirian, berbekal mimpi retak yang nyaris tanpa harapan.

BARON
Bagaimana sebuah luka dibuat? Dengan sayatan pisau? Sabetan cemeti bergerigi? Benturan dengan benda sekeras batu? Pukulan berulang-ulang?

Ternyata, tidak kuperlukan alat bantu apa pun untuk membuat luka. Aku hanya mengucapkan beberapa patah kalimat, yang ternyata sanggup menorehkan luka lebih dalam dari segala sayatan alat-alat peluka itu.

Istriku tidak menangis. Juga tidak marah. Hanya gurat wajahnya menyiratkan sesuatu yang lebih dari amarah dan kepedihan. Entah bagaimana menarasikannya. Seribu kosakata dalam kepalaku, tak ada satu pun yang tepat untuk merepresentasikannya.

Apakah aku menyesal? Entahlah. Barangkali, akan lebih baik bila aku tetap setia pada dusta. Menyimpan dengan rapi bayang lain dalam benakku dan berdalih sedemikian rupa setiap kali kecurigaan itu muncul. Curiga yang muncul setiap kali deburan jantungku tak tergapai olehnya, karena tercuri oleh bayang lain.

Mungkin, dusta memang lebih baik. Karena, bukankah dengan begitu semuanya akan beralur normal seperti biasa? Aku hanya memerlukan persediaan alasan yang cukup. Sesuatu yang tidak sulit. Apa sulitnya membuat alasan? Alasan bisa didaur ulang berkali-kali. Bahkan, alasan basi bukan sesuatu yang haram. Sangat biasa, nyaris setiap orang pernah menyajikannya.

Jadi, mengapa kupilih kejujuran yang melukai? Karena egoistis dan serakah. Kukira kejujuran itu akan bisa membuatku memiliki orang-orang yang kuinginkan dengan seutuhnya. Perkiraan yang keliru. Bagaimana mungkin kulalui dua jalan bersimpangan pada waktu yang sama tanpa membelah diriku? Akhirnya, bukan hanya aku yang terbelah, tapi sekaligus istri dan kekasihku.

Mimpi istriku terselesaikan sebelum dini hari. Sementara kekasihku menyelesaikan hidupnya terlalu dini dengan caranya sendiri. Dan, aku tertinggal dalam kesendirian yang getir.

Di ruangan yang dingin itu kutemukan kekasihku tertidur dalam kesendirian. Hening ruangan itu, menebarkan aroma getir yang pekat pada segala sudut.

Begitu diam tidur kekasihku. Ah, dia memang selalu tenang dalam setiap tidurnya. Tidak berisik, tidak memanjakan gerak. Setiap kali melihat tidurnya, serupa berada di tepian telaga yang tenang tanpa riak. Hanya datar air yang bergeming memantulkan cahaya.

Tapi, kini bukan telaga yang tersimpan dalam tidurnya. Kini tidur itu begitu pias, pudar cahaya.

Kucari jemarinya, kubawa dalam genggamanku. Dingin jemari itu, tidak memberikan reaksi seperti yang kuharapkan. Tidak seperti saat pertama kali kugenggam di masa lalu. Ketika itu, jemari itu bergerak lembut, menyerah lunak dalam genggamanku, menghangat dengan sentuhanku.

Kini ia diam. Begitu dingin, membekukan segala harapanku.

”Jangan pergi,” kataku memohon.

Tapi, dia tidak menjawab, tak ada suara selirih pun.

”Sungguh, jangan pergi, bertahanlah untukku,” kataku lagi, masih menyimpan harapan. Harapan yang setipis kabut, namun sesungguhnya berlapis-lapis, serupa seribu tetesan hujan.

Tak ada reaksi apa pun. Dia justru makin dingin, makin mengabaikan permohonanku. Makin tidak peduli.

Ini sungguh bukan dirinya. Selama ini dia selalu menjadi yang terhangat untukku. Dia selalu ingin berada dalam pelukanku, selalu bersandar pada punggungku. Menarikan jemari lincahnya ke seluruh dataran punggungku, lekuk bahuku atau tonjolan rahangku. Ah, dia paling suka daguku yang membiru abu-abu usai bercukur. Kadang dia menjerit kecil, ketika jemarinya menemukan sisa cambang liar di daguku yang lolos dari jangkauan pisau cukurku.

Apa yang terjadi pada jemari lincah itu sekarang? Jemari itu begitu diam, bahkan dingin dengan suhu yang nyaris membekukan.

”Apa yang terjadi padamu?” tanyaku, tanpa suara.

”Marahkah kau karena aku terlambat datang padamu? Atau, kau sengaja pergi lebih dini untuk menghilang dariku?”

Aku tergugu tak berdaya, kurebahkan diri pada bahunya yang tak bergerak. Tidak dapat kuingkari kenyataan yang terhampar di depanku. Hari yang telah kami perkirakan itu datang juga. Kekasihku menghadirkan hari itu lebih dini, sama sekali di luar perkiraan. Ah, andai kau tunda keputusan untuk pergi, barangkali hari tidak akan berhenti seperti hari ini. Gumamku mengalir tanpa suara.

Dunia apakah yang telah kubawa untukmu, Kekasih? Mulanya, pasti kau kira dunia yang kubawa akan seindah anyelir merah magenta yang pernah kukirim untukmu pagi itu. Lembut dan segar dengan titik-titik embun bening pada helai kelopaknya.

Ternyata, justru kukeringkan tunas daun-daunmu, kularutkan klorofil hijaumu dan membiarkanmu meranggas, terpatah dari ranting dan kau melayang gugur sebagai daun kering terbawa angin entah ke mana. Tidak terbayangkan bahwa aku justru membawamu pada sebuah padang tandus, sendirian dan kering tanpa pengharapan.

Barangkali kehadiranku di duniamu adalah sesuatu yang keliru. Mungkin, seharusnya, aku tidak pernah ada bagimu, sehingga duniamu tetap serupa musim sepi di pagi hari sesudah hujan sepanjang malam. Dan kau tetap sebagai kupu-kupu liar beterbangan di semak mawar putih. Duniaku telah memerangkapmu.

Kukecup kening bekumu. Salam perpisahanku untuk melepas keberangkatanmu. Betapa pedih melepasmu, Kekasih. Perih menyadari ketidakmampuanku menyertai perjalananmu. Perpisahan, betapa pun rapi dan indah dibungkusnya, tetaplah menggoreskan kesedihan yang tak terukur. Perpisahan, sering kali lebih getir daripada kematian itu sendiri.

Dulu sekali, pernah terlintas di benakku bahwa kau akan menghilang dariku suatu hari. Tapi, tidak pernah terduga bahwa kau akan menghilang sedini ini, dengan cara serupa ini. Sementara masih tersisa anganku, untuk berjalan berdua denganmu dan genggam jemarimu.

Setetes air mataku jatuh, bergulir pelan di pelupuk matamu yang terpejam. Kucari dengan sia-sia bening itu dalam pejam mata yang tak akan kau biarkan terbuka lagi. Yang kau tinggalkan kenangan bening semata, membasah di segala sudut hatiku.

Pernah kumiliki sebuah mimpi yang sempurna. Di persimpangan kutemukan lagi mimpi lain dalam kesempurnaan berbeda. Kukira bisa kusimpan dua kesempurnaan dalam satu saat yang sama.

Perkiraan yang serakah, egoistis, dan keliru. Dan mimpiku berakhir pada sebuah padang tandus yang meranggas tanpa ujung. Aku sendirian membawa mimpi retakku melangkah menyelesaikan perjalanan ini. Entah di mana ujung padang tandus ini akan berakhir.

ORIEN
Sudah berakhir, sudah selesai. Aku telah mengakhiri perjalananku. Tanpa kulengkapi dengan pamit, telah kutentukan keberangkatanku. Barangkali terlalu dini, tapi inilah pilihanku. Sebotol pil tidur yang kutelan sekaligus membantu menidurkanku pada sebuah tidur panjang yang tidak akan berakhir.

”Jangan pergi.” Aku mendengar suara itu.

Alangkah indahnya kalimat itu, betapa aku selalu ingin mendengarnya. Dia mencari jemariku, menggenggamnya erat. Genggaman yang selalu kusuka. Tak pernah ingin aku melepaskan genggaman itu. Selalu ingin kubawa sentuhan itu ke mana pun aku pergi.

Disandarkannya diri pada bahuku. Perasaanku mengatakan dia sedang terbeban. Itu yang selalu terjadi ketika dia sedang memerlukan sesuatu untuk membagi bebannya. Betapa ingin aku mengambil alih beban itu, tak cuma berbagi, tapi seluruhnya utuh penuh.

Lalu, dia menangis. Air matanya menetes membasahi pelupuk mataku, berbaur dengan genangan air mata batinku. Ingin kuseka air mata itu, mengeringkannya dengan sempurna. Hingga tak seorang pun tahu, karena tak selayaknya seorang pria menangisi sesuatu.

Lebih dari itu, ingin kusimpan tetes air mata itu, karena air mata itu serupa mutiara terindah bagiku. Air mata seorang pria yang menetes untukku. Sungguh-sungguh untukku. Hanya untukku.

Tapi, tak ada apa pun yang kulakukan. Aku hanya diam bergeming. Apa daya dingin telah membekukan semua gerakku. Aku telah menjadi seorang yang tidak lagi memiliki kuasa atas diri sendiri.

Telah kulakukan sesuatu, menentukan sebuah pilihan, dan inilah pilihanku, menghentikan hariku dengan caraku sendiri.

Begitulah. Sudah berakhir, sudah selesai. Aku telah mengakhiri perjalananku, tanpa kulengkapi dengan pamit pada siapa pun, telah kutentukan keberangkatanku. Barangkali aku berangkat terlalu dini. Tapi, sesungguhnya tidak banyak waktu tersisa untukku. Setidaknya karena harus kusembunyikan sesuatu, sebelum dia menampakkan diri ketika saatnya tiba.

Sebuah pemohonanku telah merendahkan martabat keluarga besarku. Ibuku sangat terluka. Tak sanggup lagi kulihat lebih lama luka ibuku. Tapi, tak mampu pula kuelakkan bahwa aku masih menyimpan satu hal lain yang akan lebih melukainya.

Aku bukan lagi seorang bernyawa tunggal. Ada jiwa lain berdenyut dalam rongga rahimku. Jiwa ini akan terus bertumbuh mengejar hari, dan akan menampakkan diri ketika saatnya tiba. Ketika tiba saat itu, luka Ibu akan terkoyak lebih dalam lagi. Darah luka akan mengalir makin deras, tak terbendung oleh apa pun. Meskipun aku bersujud pada titik terendah sekalipun, tetap tidak akan menghentikan cucuran darah luka itu. Tidak terbayangkan olehku, apa yang akan terjadi pada Ibu. Karena itu, tidak ada pilihan lain yang lebih tepat bagiku, selain mempercepat keberangkatan ini.

Alangkah dinginnya hari. Aku sangat kedinginan. Betapa ingin aku dalam selimut pelukan Ibu, seperti yang dulu tersedia di masa kanak-kanakku. Setiap malam Ibu meneliti tidurku, memastikan selimutku tak tersibak, dan tak ada mimpi buruk menggangguku.

Tapi, kini Ibu tak lagi berada dalam jangkauanku. Telah kubentangkan jarak yang tak terjembatani. Mungkinkah sebuah doa mam­pu menjadi jembatan, atau setidaknya memperpendek jarak? Kalau ya, akankah aku terbawa dalam doamu, Ibu? Akan kutunggu doa Ibu tiap hari, akan kusimpan setiap helai benang doa itu. Satu per satu kurajut hingga suatu hari akan menjelma menjadi tali panjang yang kupakai sebagai titian untuk kembali padamu, Ibu.

Betapa ingin aku berada dalam pelukanmu, Kekasihku. Merasakan hangat napasmu membelaiku. Menikmati rengkuhan kedua lenganmu. Selalu kusadari bahwa kau bukanlah seorang yang utuh bagiku. Tapi, ketika berada dalam pelukanmu, selalu kulupakan banyak hal. Selalu hanya dirimu yang ada dalam ingatanku. Selalu.
Tapi, telah berakhir, hariku sudah berhenti. Apa yang pernah kita miliki kini kusimpan menjadi kenangan tak terlupakan bagiku. Tatap mataku mengabur oleh genangan air mata kala mengenangnya. Tapi, jejak kenangan itu justru makin membekas, karena bukankah sebuah jejak tercetak, hanya sesudah kaki melangkah pergi?
Sekarang saatnya aku pergi.

Akan ke manakah aku pergi? Apakah aku menuju surga?

Sering kudengar bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Lalu, setelah apa yang kulakukan pada ibuku, masih adakah surga itu bagiku? Bila tidak tersedia surga Ibu untukku, mungkinkah aku terbawa surgamu, Kekasih? Pada masyarakat patriarki, ada satu pengertian bahwa kaum wanita akan terbawa oleh suaminya. Swarga nunut, neraka katut. Terbawa serta bila menuju surga, dan terseret pula bila ke neraka.

Terbawakah aku pada surgamu, Kekasih? Meski aku bukanlah seseorang yang sah bagimu.

Barangkali, aku tidak terbawa surga siapa pun. Aku harus mencari surgaku sendiri. Entah di mana surga itu. Mungkinkah berada di sebuah ujung perjalanan? Tapi, perjalanan yang mana? Begitu banyak perjalanan, tidak satu pun menampakkan bayang surga itu.

Atau, barangkali, pada suatu tempat yang tak tergapai? Maka, seribu langkah pun tidak akan pernah mencapainya. Ah, di mana pun surga itu, agaknya akan terus kubawa langkahku menuju ke sana. Baiklah, akan kupersiapkan diri untuk berangkat mencari surga itu.

Ah, tunggu, dengarlah sejenak sebaris permohonanku. Wujudkanlah sebagai pengiring keberangkatanku. Genggamkanlah serumpun bunga putih pada pelukanku, sehingga tertebar wangi sebagai selimutku. Karena sesungguhnya tak mampu lagi kubersihkan diriku sendiri, sehingga tak ada lagi padaku harum wangi yang pernah kupunya.

Nyalakanlah seribu lilin putih untukku, sebagai cahaya penerang langkahku, karena jalan yang akan kutempuh pastilah serupa kegelapan yang panjang. Jagalah cahayanya agar tetap menyala, sementara akan kupergegas langkahku, sehingga aku akan tiba pada rumah cahaya tepat waktu, sebelum nyala lilin yang terakhir padam. Taburkan kelopak bunga pada setiap jalan yang kulalui. Sehingga andai aku tersesat atau kehilangan arah suatu kali nanti, akan kutemukan taburan bunga itu sebagai penunjuk jalan untuk kembali.

Kembali? Kepada siapakah aku akan kembali? Kepadamu, Ibu, atau kepadamu, Kekasihku?

Entahlah. Barangkali, tidak kepada siapa pun. Mungkin juga tidak akan pernah kutemukan jalan untuk kembali, karena embusan angin pastilah akan menghalau taburan bunga penunjuk jalan dan menerbangkannya ke segala arah sehingga tak tersisa lagi tebaran kelopak bunga yang bisa dipakai sebagai penunjuk arah.

Bila berkenan, sertailah aku dengan seribu doa. Doa penunjuk langkah, agar aku tak kehilangan jejak, entah di mana pun itu. Doa kekuatan hati, agar tak putus asa kujalani perjalanan panjang ini. Doa penghiburan, agar aku selalu jauh dari segala kesedihan.

Pernah terjalin sebuah mimpi, yang kukira akan terajut sempurna pada suatu hari. Tapi, hari itu tidak pernah kumiliki. Jalinan mimpiku terhenti pada suatu hari, berakhir pada sebuah padang tandus yang kering dan dingin. Aku tertinggal di padang itu, sendirian dengan mimpi retakku.

No comments: