12.22.2010

MOLEK DARI TEPIAN SUNGAI MUSI

Tahun 1938
Molek berdiri di depan jendela. Matanya lurus memandang air sungai yang jernih kehijauan. Di tengah, perahu penumpang dan perahu yang membawa dagangan hilir-mudik memecah air, membuat gelombang dan mengirimkannya ke tepian, tempat anak-anak ramai bermain. Beberapa orang menerobos gelombang yang datang, yang lain berlomba berenang dan menyelam, lalu menarik kaki temannya secara tiba-tiba. Suara tawa, pekik, jerit anak-anak itu terdengar, membuat suasana gembira.

Molek tersenyum, larut dalam kegembiraan. Masih dengan senyum di bibir dia berjalan menuju dapur. Di dapur dia membuka pintu di sudut dan masuk ke sebuah ruangan kosong yang sangat luas di belakang rumah.

Berhadapan dengan pintu yang tadi dibukanya, tampak pintu lain yang di baliknya terdapat sebuah dapur lagi. Dapur ini adalah dapur rumahnya. Ya, tadi sebetulnya dia berada di rumah Ujuk (paman). Rumahnya dan rumah Ujuk bersambung seperti huruf L dengan sisi sama panjang. Belakang rumah saling bertemu di ruang luas yang sengaja dikosongkan, hanya digunakan jika ada acara-acara penting, seperti pernikahan atau syukuran. Sebagai dapur besar, tempat ibu-ibu serta gadis-gadis sanak keluarga dan tetangga membantu menyiapkan aneka masakan untuk perhelatan.

Rumah ini rumah baru, terbuat dari kayu onglen dan belum lama dibangun. Caro gudang (seperti gudang) begitulah Abah (ayah) menamai rumah mereka. Tidak seindah dan serumit rumah limas yang penuh ukiran, bertingkat-tingkat dengan amben (bagian rumah yang lebih tinggi, khusus untuk orang-orang yang dihormati) dan banyak aturan bagi para penghuninya. Rumah ini lapang, bebas, dan leluasa. Siapa saja bisa berjalan keluar-masuk ke mana saja, tanpa harus selalu memerhatikan adat dan tata krama.

Molek suka kebebasan di rumahnya, namun dia sering kali menyesal mengapa Abah memilih rumah di depan yang menghadap jalan besar. Seharusnya Abah memilih bagian yang ditempati Ujuk yang bersebelahan dengan sungai. Molek sangat menyukai sungai. Sungai di waktu siang pusat kehidupan, ramai penuh gairah. Orang-orang berdagang naik perahu dan kapal berwarna-warni, lalu-lalang menyeberang dari hulu ke hilir. Anak-anak bermain dan ibu-ibu mengobrol sambil mencuci. Atau, sungai di waktu malam yang sunyi senyap, hanya suara jangkrik dan kecipak air sesekali terdengar, ditelan kegelapan dengan titik-titik kecil cahaya kuning lampu rumah dan kapal yang terpantul di kehitaman air, sungguh indah.

Melihat sungai selalu membuatnya bahagia. Terlebih lagi sekarang, sungai membuat dia mengingat betapa senangnya jadi anak-anak. Hidup bebas tanpa beban, bisa melakukan apa saja, berlari, melompat, bermain, berenang, bahkan tertawa lepas, semua yang tak bisa dilakukannya lagi sekarang.

Molek sudah menjalani tradisi mendep. Tradisi yang harus dilakukan gadis-gadis ketika dianggap sudah dewasa dan siap menikah. Mendep artinya tinggal di rumah. Jadi, gadis-gadis ini sudah tidak boleh keluar seenaknya. Dia memulainya ketika berumur dua belas dan telah berjalan empat tahun. Meski begitu, Molek masih merasa canggung. Dia sangat kehilangan semua hal yang dulu membuat hidupnya semarak.

Harum kue delapan jam menyerbu hidung. Molek mengeluarkannya hati-hati dari panggangan. Warnanya cokelat tua berkilau. Tadi pagi Mbuk (ibu) membuat kue ini sebelum berangkat ke rumah Bicik (bibi) Zainab. Dari empat puluh butir telur yang dicampur gula dan susu, lalu dikukus selama lebih dari delapan jam dan dipanggang sebentar agar warnanya lebih bagus.

Molek menyukai kue delapan jam. Lembut dan cairan manisnya melumer di dalam mulut. Tapi, yang ini tak boleh dimakan, karena akan dimasukkan ke dalam tenong (keranjang bersusun dari bambu) bersama kue-kue lain dan dibawa ke rumah Bicik Zainab besok.

Dia berhasil menahan diri untuk tidak mencuil sedikit. Ah, seandainya saja dia masih memakai blus dan rok, bukannya kebaya dan kain batik seperti sekarang. Tapi, tak apa, dia bisa mencungkil kerak-kerak kue yang menempel di jari. Bukankah Mbuk pergi? Jadi, tak ada yang akan mengomel melihat tingkah laku yang tak pantas itu, pikirnya senang.

Molek meletakkan kue di meja, membiarkannya terbuka, agar uap panas segera hilang. Dia mendengar suara-suara di depan, lalu berjalan ke ruang tamu. Pintu digedor-gedor berbarengan dengan suara orang memanggilnya. Ketika kait yang terpasang di atas dan di bawah ditarik dan pintu kayu didorong ke luar, tampak Aisyah berdiri dengan muka cemberut.

“Aku sudah lama di sini memanggil-manggil. Ke mana saja Cek (kakak perempuan) dari tadi?”

“Ay, ay cek elok dak baek marah-marah. Kagek dak ado bujang yang galak (gadis cantik tidak baik marah-marah, nanti tidak ada yang mau),” Molek membujuk, meniru Mbuk, jika salah satu gadisnya merajuk dan cemberut. “Cek tadi di rumah Ujuk. Jadi tidak mendengar suaramu. Bagaimana di rumah Bicik, apa sudah ramai?” Molek mengalihkan pembicaraan.

“Ramai sekali. Semua keluarga sudah datang. Malam ini Mbuk mau tidur di sana. Aku juga ikut menginap. Cek saja yang menunggu rumah, ya?” Raut muka Aisyah menjadi manis, ingin mengambil hati kakaknya.

Molek mengangguk, lalu duduk di samping Aisyah di kursi tamu. Tangannya mengaiskan anak-anak rambut yang keluar dari kepangan adiknya. Aisyah sibuk mengipas-ngipaskan tangan mengu­sir panas. Wajahnya yang merah tersengat matahari, pelan-pelan menampakkan warna aslinya, putih.

Aisyah baru tiga belas tahun, beda tiga tahun dari Molek. Dia baru beberapa bulan memakai kebaya, tetapi sudah banyak yang menanyakan untuk dijadikan menantu. Adiknya itu gadis impian lelaki, karena mewarisi semua keelokan Mbuk. Mata besar indah dengan bulu mata hitam lentik, hidung bangir, bibir merah delima menyiarkan kecantikan kanak-kanak yang beranjak remaja.

Molek lebih mirip Abah. Dengan tinggi badan yang mengharuskan banyak orang mendongak bila bicara dengannya, membuatnya kikuk dan sedikit membungkuk, menutupi ukuran tubuh yang menjulang. Sehingga, dia yang seharusnya tinggi semampai malah jadi bungkuk seperti udang. Ditambah warna kulit sawo matang, Molek makin tersisih dari kategori pujaan.

Sebetulnya Molek juga cantik, tapi kecantikannya jadi tidak menonjol, karena di masa itu orang memuja sosok wanita kecil mungil, berkulit putih yang memberi kesan halus, penurut, dan lemah lembut. Nyai (nenek) bahkan selalu berkata bahwa Molek adalah sebuah kesalahan. Dia seharusnya menjadi lelaki tinggi besar yang gagah dan tampan kebanggaan keluarga, diperebutkan oleh banyak keluarga terpandang untuk menjadi menantu idaman.

“Kalau mau menginap, kenapa kamu pulang?” tanya Molek. Tangannya memilin-milin ujung kebaya.

“Nyai tak punya baju salinan. Aku pulang mengambilnya.” Aisyah berdiri, berjalan ke dalam, menyendok air di guci dengan cangkir dan meminumnya.

“Hmm... enak,” desahnya, begitu air dingin membasahi kerongkongan. Aisyah melongok ke padasan (batu) di atas guci, yang airnya tinggal sedikit, sementara air di guci hampir penuh. Begitulah jika di rumah tak ada orang. Batu hitam yang menyaring air sungai itu isinya sampai menetes-netes memenuhi guci, sementara tak ada orang yang meminumnya.

Wanita-wanita di rumah ini memang sudah dari dua minggu lalu menginap di rumah Bicik Zainab yang akan menikahkan anaknya. Sementara Abah dan Kak Cak (kakak laki-laki) pergi ke Pagar Alam untuk berdagang, sekaligus memeriksa sewaan rumah dan toko.

“Cek, tadi aku melihat Mang Zein di pasar kecik (kecil). Tapi, Abah tidak ada. Bukankah mereka pergi bersama dan pulangnya juga selalu bersama-sama? Tapi, kenapa tadi hanya Mang Zein sendiri?”

“Jangan tanya aku. Aku juga tak tahu. Mungkin tadi kau salah lihat?” Molek agak bingung. Namun, sebersit rasa senang muncul.

“Ah, sepertinya tidak. Meskipun aku melihat dari jauh, aku yakin itu Mang Zein. Mungkin dia pulang lebih cepat agar bisa ikut persiapan pernikahan. Bukankah Bicik Zainab itu adiknya?”

Molek hanya mengangguk seakan tak acuh. Sebetulnya dia sibuk menekan perasaan gembira yang meluap mendengar kabar itu. Dia tak ingin Aisyah menebak rahasia hatinya yang paling dalam.

Mang Zein adalah saudara jauh Abah. Begitu jauh, hingga bisa dibilang hubungan kekeluargaan itu hampir terputus, jika saja mereka dulu tidak tinggal bersebelahan. Sebelum pindah ke rumah ini mereka bertetangga. Abah dan Mang Zein teman sepermainan sejak kecil dan tumbuh dewasa bersama-sama. Mereka sangat akrab, bahkan lebih dekat daripada saudara kandung.

Molek sangat menyukai Mang Zein. Ketika dia masih kanak-kanak, Mang Zein sering datang ke rumah membawa bonbon jeruk atau cokelat, lalu mendongeng untuk mereka tentang tiga bersaudara pungguk, bulan dan kuda. Kadang-kadang juga bewayat (mendongeng dengan lagu-laguan) tentang wanita tua dan beruk besar. Mang Zein juga sering menceritakan hal-hal menarik yang ditemuinya dalam perjalanan. Dia sangat pandai menghidupkan cerita. Dengan suara berat memikat dia menggambarkan semuanya dan membuat siapa saja yang mendengar masuk ke dalam sebuah dunia lain.

Semua anak Abah sangat dekat dengan Mang Zein. Mereka sering bercakap-cakap, bertanya atau berpendapat apa saja, tanpa takut dimarahi dan dicap kurang ajar. Sebetulnya, Abah juga terbuka dan baik. Tapi, karena beliau pendiam, kesannya menjadi angker. Sedangkan Mang Zein, dengan wajah tampannya yang selalu tersenyum dihiasi mata bersinar-sinar ramah, langsung memikat hati siapa saja.

Ketika dia dan Denti, kakaknya, mulai mendep, karena bosan, mereka lalu meminta Mang Zein membawakan buku-buku. Mang Zein mempunyai beberapa buku roman yang mengasyikkan. Denti dan Molek sangat menyukai cerita-cerita percintaan itu. Mereka ingin cepat-cepat mengetahui akhir setiap cerita, maka persediaan buku Mang Zein segera habis dibaca.

Molek yang senang membaca lalu meminta Mang Zein membawakan buku-buku pelajarannya sebagai ganti buku cerita (Mang Zein berpendidikan tinggi, pandai berbahasa Arab dan Belanda). Di buku-buku itu terdapat penggalan-penggalan cerita dunia dan pengetahuan menarik yang segera memikat Molek. Dengan tekun dia mempelajarinya. Jika tidak mengerti, dia akan menanyakannya pada Mang Zein. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam asyik membicarakan isi buku-buku itu. Molek segera menyadari bahwa dia telah mendapat terlalu banyak dan belajar terlalu jauh dari yang seharusnya diketahui seorang wanita di zamannya.

Hal itu membuat Mbuk dan Nyai kesal. Menurut mereka, wanita yang terlalu pandai akan menyusahkan suami. Mbuk lebih suka Molek belajar memasak, menjahit, atau menenun. Semua lebih berguna jika dia disunting orang. Semua yang akan membuat suaminya senang dan mertua makin sayang.

Namun, Abah lebih longgar, juga karena persahabatannya dengan Mang Zein. Maka Abah berkata, selagi Molek tidak meminta pakaian laki-laki, dia boleh melakukan apa pun yang dia mau. Tak ada yang berani menentang Abah. Mereka yang tak setuju hanya bisa mendongkol, mengeluh, dan berkata bahwa dengan kepandaiannya, Molek makin mirip laki-laki. Empat tahun ini Mbuk dan Nyai makin hari makin cemas, karena tidak ada satu pun lamaran yang datang pada Molek. Dalam hati, mereka menyalahkan Mang Zein.

“Aku akan menyiapkan baju Nyai yang akan dibawa, kata Aisyah, memutus lamunan Molek. Dia masuk ke kamar Nyai.

Sementara itu Molek melangkah ke luar. Di tengah-tengah pintu depan yang menuju ke garang (teras), dia duduk dengan nyaman. Molek tersenyum, membayangkan betapa marahnya Nyai, jika melihat dia sekarang. Kata Nyai, anak gadis yang duduk di tengah lawang (pintu) susah dapat suami. Tidak masuk tidak keluar, tidak menolak tidak juga mengiyakan. Begitulah pantangan-pantangan aneh itu makin ketat mengikat, jika menyangkut Molek. Tak boleh sedikit pun dilanggar, karena dia hampir melewati garis batas waktu.

Molek menjulurkan kedua kaki, lalu menggoyangnya ke kiri dan ke kanan dengan senang. Jika di rumah tak ada orang, dia bisa berbuat semaunya. Seandainya dia bisa melihat Mang Zein sekilas saja, hari ini akan jadi hari keberuntungannya. Molek mendengar suara bergemeratak di atas. Titik-titik hujan turun deras. Hujan panas, karena matahari bersinar terang.

Aisyah berlari keluar. “Yah, hujan, aku tidak bisa pergi.

“Ini hanya hujan panas, biasanya cepat berhenti, kata Molek.

Aisyah ikut duduk di sampingnya, mereka memandangi hujan yang turun menimpa tanah kering, menimbulkan uap tipis. Orang di jalan berlarian, berusaha secepatnya pulang atau berteduh menghindari basah. Sebuah bendi memasuki pelataran. Laki-laki yang menariknya berlari cepat-cepat seakan berlomba dengan hujan.

“Mang Zein! seru Molek, mengenali penumpang yang terburu-buru melompat turun, separuh melemparkan uang.

“Aduh, hari panas begini, tapi hujan deras, keluh Mang Zein.

Molek mengulurkan tangan, mencium tangan Mang Zein. Aisyah mengikuti teladan kakaknya. “Mbuk kalian ada? tanya Mang Zein.

“Mbuk dari tadi pagi sudah pergi ke rumah Bicik Zainab. Mari masuk dulu, Mang. Molek menunjuk pakaian Mang Zein. “Baju-nya jadi basah. Lebih baik pakai baju Abah. Kata orang, hujan panas membawa penyakit.

“Baiklah. Aku memang tidak boleh sakit dan tidak mau sakit. Aku harus membantu persiapan pernikahan Lela.

Molek masuk ke kamar Abah. Mencari-cari di gerobok (lemari) baju yang kira-kira pas untuk Mang Zein. Abah lebih pendek dan gemuk, sedangkan Mang Zein tinggi, hampir setinggi orang-orang Belanda.

Dia hanya menemukan sarung, membawanya pada Mang Zein yang menunggu di ruang tamu ditemani Aisyah. Sebetulnya Molek lebih suka melihat Mang Zein memakai celana panjang yang membuatnya kelihatan terpelajar. Tetapi, celana Abah takkan muat.

“Aku akan mencarikan bajunya. Molek berbalik ke belakang. Dia membongkar-bongkar pakaian lama Abah dan menemukan kemeja tangan pendek biru terlipat rapi di tumpukan baju.

Molek masuk ke kamar Abah mengantarkan baju. Jantungnya berdetak kencang saat melihat Mang Zein hanya memakai kaus, sibuk membetulkan lipatan kain. “Ini bajunya, Mang, Molek mengulurkan baju dengan wajah tertunduk. Untung kulitnya tidak putih. Jika Aisyah yang berdiri di sini, orang pasti akan tahu betapa malunya dia, karena mukanya langsung jadi semerah udang rebus.

Mang Zein menoleh. “Terima kasih, Molek.

Jemari Molek seakan tersengat panas, ketika tanpa sengaja saat memberikan pakaian, jemari itu bersentuhan dengan tangan Mang Zein. Dia buru-buru keluar kamar. Ah, kenapa dia sekarang jadi begini. Tapi, begitulah, keanehan ini sudah berlangsung lebih dari setahun. Pikirannya selalu tertuju pada Mang Zein dan hatinya selalu gelisah ingin bertemu. Molek ingat, sedari kecil dia sangat menyukai Mang Zein. Tapi, sekarang rasa sukanya bertambah dan berkembang menjadi perasaan suka seorang wanita pada seorang pria.

Molek menghela napas. Dia menemui Aisyah yang sedang menyiapkan kopi. “Potonglah kue dan sajikan di depan, pe&rintahnya, lalu berbalik menuju ruang tamu dan menemui Mang Zein.

“Abah-mu baru pulang lusa. Dia harus menunggu uang sewa rumah yang di Prabumulih. Orangnya minta batas waktu sampai besok pagi, jelas Mang Zein, ketika melihat Molek mendekatinya.

“Mang Zein belum pulang? tanya Molek.

“Tadinya aku mau pulang. Tapi, karena hujan, aku lebih dekat ke sini, kupikir mampir saja dulu. Sekalian melihat gadis-gadisku. Baru sebentar tidak bertemu, kalian berdua makin cantik saja, puji Mang Zein, sambil mengangguk pada Aisyah, yang meletakkan kopi dan mempersilakan minum.

“Aku punya sesuatu untuk kalian. Mang Zein mengulurkan bungkusan kertas putih. Aneka permen bermunculan dari balik kertas pembungkus. Aisyah girang.

“Lain kali aku harus ingat untuk tidak membawakan kalian bonbon lagi, kata Mang Zein, menyeruput kopinya.

“Wah, kenapa? tanya Aisyah kecewa. Matanya seperti burung nazar memandangi permen-permen itu dengan teliti, menghitung dan mencari mana yang diinginkannya. Itu bukan sikap gadis yang baik. Molek menyenggol untuk menghentikan keserakahan itu.

“Said masih bisa mendapat bonbon. Tapi, kalian berdua sudah besar dan cantik, pastilah lebih suka dibawakan pita atau renda.

“Kukira aku lebih suka ini, Aisyah menunjuk permennya. “Pita tidak bisa dimakan. Aku tak mengerti mengapa orang melarangku begini dan menyuruhku begitu. Mereka menentukan macam-macam, seakan mengerti betul apa yang kumau. Mereka memikirkan diri sendiri dan menganggap aku sama dengan mereka. Mamang tahu, selain banyak pakaian baru, aku tak suka semua yang berhubungan dengan menjadi dewasa.

Mang Zein tertawa. “Aisyah selalu bicara seenaknya. Tapi, hati-hatilah kalau didengar mbuk-mu. Bisa habis kau dimarahi.

“Tapi, apakah dewasa juga mengharuskan kita berbohong? Yang kukatakan tadi sejujurnya apa yang kurasakan. Tadinya, aku mengira akan mendapat kesenangan lain sebagai ganti hal-hal menga­syikkan, yang tak boleh lagi dilakukan, tapi apa yang kudapat? Hanya peraturan-peraturan yang makin membuatku tertekan.

Molek memandangi Aisyah yang persis dirinya dulu, sering mengeluh dan merasa tak puas. Bedanya, Aisyah berani mengungkapkan kekesalan, Molek lebih banyak memendam dalam hati.

“Sudahlah, jangan bermuka suram begitu. Suatu saat kau pasti akan mengerti. Karena, yang kau jalani ini adat yang telah berlaku lama sekali. Tak ada yang bisa mengubah. Semua orang mengalaminya, tanpa begitu banyak mengeluh seperti kamu. Apa kau mau jadi omongan dan celaan orang? Mang Zein membujuk Aisyah. “Tapi, Mamang janji, sampai kapan pun akan selalu membawakan Aisyah bonbon, karena lebih suka itu dari hadiah apa pun.

Saat itu Molek membenci Aisyah. Dia tidak suka adiknya mendapat perhatian lebih. Aisyah memang senang mencari perhatian dan dia selalu mendapatkannya. Dengan kecantikan dan kata-kata tak terduga, semua terpesona, dari saudara, tetangga, bahkan orang yang sekadar lewat di jalan, selalu saja lebih memerhatikan Aisyah. Sebetulnya, Molek tidak begitu peduli kalau itu menyangkut orang lain. Tapi, Mang Zein adalah miliknya, dia tak suka Mang Zein ikut-ikutan memerhatikan Aisyah.

Molek menggandeng Said. Kainnya berkibar-kibar ditiup angin. Molek berhati-hati memilih jalan. Di pinggir yang tidak beraspal, setelah hujan menjadi becek. Dia tidak menyukai tanah yang menempel di sandal atau air yang membasahi kaki. Said justru senang, kakinya sengaja menginjak genangan dan air terciprat ke mana-mana.

Tiba-tiba sebuah pemandangan indah melintas di samping, mengalihkan mata Molek dari kelakuan Said yang menjengkelkan. Wanita itu begitu cantik, dengan kebaya merah darah dan kain songket berwarna sama, memegangi payung kain cokelat keemasan. Dia seperti matahari menyilaukan, berjalan berlenggak-lenggok lemah gemulai, menikmati jadi pusat perhatian dan tidak peduli dengan cuaca yang muram dan lembap.

Kecantikannya tiada banding. Molek tahu siapa wanita itu. Semua orang mengenalnya, semua membicarakannya, namun tak satu pun berani menyapa. Pria membicarakan wanita itu sambil tertawa, suara mereka mengandung gairah tertentu di dalamnya. Para wanita mengelus dada dan menyumpahi, tetapi diam-diam berusaha meniru dandanannya. Molek sendiri, sering berkhayal, suatu saat bisa menjadi secantik Inten, sehingga pria impiannya terpesona dan jatuh cinta padanya.

Said menyentakkan gengaman Molek, berlari mendahului, ketika melihat tujuan sudah di depan mata. Dia bergabung dengan anak-anak kecil yang asyik bermain-main di halaman. Dia berteriak, “Cek, aku di sini saja, ya.
Molek mengangguk, lalu berjalan menaiki tangga. Langkahnya terhenti saat melihat seorang pemuda berdiri di ujung tangga sambil mengangkat kursi.

“Yusuf, sapanya, mengenali sang pemuda. “Apa kabar?

Molek berjalan masuk, menyalami orang-orang yang duduk-duduk di dalam rumah. Matanya sembunyi-sembunyi mencari sosok yang ingin dilihatnya. Yang tampak justru Aisyah sedang menyajikan kopi, teh, dan kue-kue. Dia menunggu adiknya menyelesaikan tugas, lalu menghampiri.

“Cek? Siapa yang menunggu rumah?

“Rumah kukunci. Kuncinya kutitip pada Ujuk.

Aisyah menariknya bersemangat, “Ayo, sini. Cek harus melihat kamar pengantinnya. Bagus sekali.

Molek mengikuti Aisyah yang masih memegangi nampan. Aisyah menyibakkan tirai dan menarik kakaknya naik ke kamar.

“Molek, ayo, masuk. Baru datang? Bicik Zainab memanggil.

“Saya menunggu Abah pulang. Katanya hari ini, ternyata baru besok, kata Molek, sambil mencium tangan bibinya dan tersenyum pada Lela yang sedang bepacar (mewarnai kuku tangan dan kaki dengan pewarna alami).

Molek memandangi sekeliling kamar, semua tersusun indah. Kasur tinggi tempat tidur pengantin telah dipasangi seprai kuning mengilat, pinggiran kasur dihias songket merah, dan di atas kasur tersusun bantal-bantal dari yang besar hingga yang kecil, bertumpuk-tumpuk memenuhi hampir separuh kasur. Semua terbungkus songket merah dengan kain pelangi di tengahnya. Benang emas di songket itu berkelip-kelip ditimpa cahaya.

Sepasang lemari pengantin berukir megah mengapit tempat tidur, sudah diisi hiasan keramik Cina dan bertumpuk kain songket yang tidak terkira harganya. Di depan meja rias banyak antaran dari pengantin pria. Nampan-nampan kuningan berhias kertas kuning emas dan merah berisi antaran lebih besar tampak memenuhi salah satu sudut kamar. Di situ juga terdapat bendera-bendera kecil dari kertas merah dan kuning, yang ditusukkan pada gedebong pisang, siap dibawa saat pengantin pria datang.

Seorang wanita tua yang disebut tunggu jero (perias pengantin) sedang memasang pacar di kuku tangan, kuku kaki, ruas-ruas jari, serta di pinggir telapak kaki Lela. Lela tidak boleh ke mana-mana sampai pacar itu kering dan meninggalkan warna cokelat gelap kemerahan di kulitnya. Dia harus berbaring di tikar agar tidak mengotori tempat tidur dan ambal (permadani).

“Apa kabar, Penganten?” tanya Molek, mendekati Lela.

Lela tersenyum malu-malu. Dia gadis manis berumur empat belas tahun. Seperti semua pengantin lain yang pernah dilihat Molek, tampak bahagia. Pakaian bagus, makanan dan minuman yang berlimpah, keramaian sanak keluarga sejak berbulan-bulan yang lalu, semuanya menyenangkan.

Calon suami Lela, Umar, menurut Molek agak bodoh beraut muka congkak seakan meremehkan orang lain. Wajahnya tak tampan, kakinya timpang, karena sakit sewaktu kecil. Namun, dari semua itu sikap Umar yang mau menang sendirilah yang membuat dia tak bisa membayangkan bahwa ada orang yang sudi menikah dengannya.

Molek memandangi saudaranya itu lekat-lekat, namun yang terlihat hanya sinar kebahagiaan yang memancar. Dia tak habis pikir mengapa Lela bersedia menjadi istri Umar. Tapi, begitulah, Lela gadis baik dan penurut. Tingkah lakunya santun tak tercela. Dia anak berbakti yang percaya orang tuanya akan memberikan yang terbaik untuknya.

Umar anak tunggal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Pernikahan ini menguntungkan bagi keluarga Lela, yang tak menampik untuk jadi lebih kaya, meski kini sudah kaya. Hidup Lela akan terjamin. Dia akan selalu duduk di atas amben di setiap rumah yang dikunjunginya, sebagai tamu kehormatan.

Dulu, ketika mendengar tentang perjodohan ini, Molek pernah meminta pendapat Lela. Tapi, Lela tak punya komentar apa-apa tentang calon suaminya. Mungkin karena dia tak pernah memikirkannya. Atau, dia lega karena sudah bertunangan, sehingga tak akan jadi aib keluarga sebagai perawan tua. Mungkin Lela tidak pernah membayangkan apa sesungguhnya pernikahan itu, selain dari sebuah kewajiban semua perempuan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Molek mengeluh dalam hati, kenapa ia tak bisa seperti Lela. Be-gitu sederhana dan tak berpikir macam-macam. Menjalani hidup dalam restu orang tua, bukankah akan selalu membawa selamat dan bahagia? Mengapa aku menyukai orang yang bahkan tak boleh hadir di dalam mimpi?

Lela tiba-tiba berkata, “Cek Molek menyusul, ya.”

Molek tersenyum. “Doakan saja.”

Aisyah menjawil kakaknya. “Ayo, ke belakang. Masih banyak yang harus dibantu. Sebentar lagi akan bersaji makan malam.”

Molek melihat saudara-saudaranya sibuk menyiapkan makan malam. Piring-piring berisi lauk-pauk dan sayuran berjajar panjang siap disajikan. Semua bekerja sambil bercanda, namun tetap tampak cekatan, karena ibu-ibu sedang menilai gadis-gadis itu untuk dipertimbangkan sebagai menantu.

Di sudut lain, Mbuk, Nyai, dan beberapa wanita yang lebih tua duduk berkumpul beristirahat setelah seharian memasak. Ada yang bermain cuki (seperti catur), ada yang hanya bercakap-cakap, sambil menyirih. Di depan mereka ada tepak (kotak perlengkapan menyirih) yang terbuka. Juga ada peridon kuningan yang sudah digosok mengilat. Kasihan sekali nasib peridon itu, pikir Molek. Indah, tapi hanya dijadikan tempat meludah.

“Molek, siapa yang menjaga rumah?” kata Mbuk, heran.

“Rumah kukunci, Mbuk. Kuncinya dititip ke Ujuk,” Molek menerangkan, sambil menyalami yang lain. Dari semua yang disalaminya, ada satu yang langsung membuat suasana hatinya tak enak. Dia duduk di samping Nyai.

“Kemarilah, Molek,” kata Bicik Esa, istri Mang Zein.

Molek tak bisa menolak.

“Bajumu bagus sekali,” puji Bicik Esa.

Nyai menepuk bahu Esa dan berkata, “Gadis kami ini pandai menjahit. Semua bajunya dibuat sendiri. Tisikan tangannya halus dan rapi, serapi jahitan mesin.” Nyai menarik lengan baju Molek untuk diperlihatkan pada Esa.
Kebaya itu memang salah satu baju Molek yang bagus, dari bahan paris biru muda dengan sulaman bunga-bunga kecil di seluruh permukaan. Lengannya agak melebar, berbentuk lonceng, berpinggiran renda sewarna baju.

Molek menghabiskan waktu lama dan sangat berhati-hati waktu menjahitnya. Dia sangat menyukai bahan paris itu. Terlebih lagi karena pemberian Mang Zein, sehingga jadi sangat istimewa. Dengan batik biru kehitaman motif kerak mutung yang menonjolkan keindahan kebaya itu, seharusnya memang tak ada yang bisa dikeluhkan.

“Selain pandai menjahit, masakannya pun sedap sekali. Aku sendiri yang mengajari. Jadi, kau tahulah, semua jenis masakan dia pasti bisa,” lanjut Nyai, membusungkan dada, membanggakan diri. “Dia juga tak pernah menyusahkan orang tua. Tutur bahasanya lembut, tingkah lakunya sopan. Bagaimana menurutmu, bukankah dia manis? Umurnya pun cukup untuk menjadi istri.”

Molek menunduk, meremas jemari. Dia telah mendengar hal yang sama dari mulut Nyai secara sembunyi-sembunyi, sejak beberapa tahun lalu. Dulu dia malu karena Nyai membuatnya tampak seperti barang dagangan, ditawarkan ke sana-sini, tapi tak laku juga. Tapi, hari ini perasaan malunya berlipat-lipat, karena ia mendengar dan melihat sendiri Nyai menjajakan dagangannya.

“Ah, Wak (bibi) ini, aku kan kenal si Molek dari kecil. Tak perlu dikatakan lagi, aku sudah tahu semua. Kita ini keluarga dekat.”

“Iya, tapi jangan cuma dekat. Cobalah lebih dekat lagi. Alangkah senangnya kalau kita besanan.”

Molek bergerak gelisah. Nyai sudah keterlaluan, dia telah merendahkan harga dirinya. Jika tak melihat dirinya ditolak, dia tak peduli. Tapi, kalau begini, saat itu juga dia mau memberikan apa saja agar ada yang mengajukan lamaran sehingga bisa ditolaknya (hanya dalam mimpi, karena Nyai akan menyetujui lelaki mana pun yang datang melamar, asalkan masih bernapas) untuk menunjukkan pada perempuan itu bahwa dia bukannya tak laku.
Molek makin gelisah, tak tahan ingin keluar dari daerah jual-beli ini untuk bergabung dengan gadis lain. Dengan begitu dia bisa keluar-masuk ruangan membawa makanan dan melihat Mang Zein.

"Mang Zein sudah datang?" Molek bertanya.

"Oh, mamangmu mungkin malam sekali baru ke sini."

Molek lesu. Ah, sia-sia saja dia datang. Sekarang dia tidak ingin membantu bersaji, tak ingin duduk mendengarkan bisnis pernikahan yang tak bakal jadi. Dia ingin pulang.

Molek melirik Bicik Esa dari sudut mata dengan kebencian tersembunyi. Dia tampak cantik, berkulit putih, dan perawakan kecil. Cantik seperti Mbuk, Aisyah, dan Nyai. Tetapi, cantik yang bodoh, pikir Molek. Setiap kali teman-teman Mang Zein berkunjung, dia marah-marah, mengurung diri, tidak mau keluar dari kamar. Dia tidak bisa bergaul dengan mereka yang berpendidikan tinggi, tak mengerti apa yang mereka bicarakan.

Meski berasal dari keluarga bangsawan terpandang, Bicik Esa dididik secara kolot. Dia tidak pernah sekolah, sehingga tidak bisa membaca dan menulis. Pikirannya dangkal. Dia tidak mengerti suaminya, tidak mengerti pikirannya, tidak mengerti perjuangannya. Dia hanya wanita, yang karena takdir hidup bersama Mang Zein, yang kehadirannya tak sedikit pun memberikan warna baru pada suaminya, kecuali sebagai ibu dari anak-anaknya.

Molek menggeleng. Aku tidak mau seperti dia. Saat dia melihat teman-teman sepermainannya satu per satu menikah, dia berpikir, bagaimana suaminya kelak. Dia berkhayal punya suami pintar, seperti Mang Zein. Mereka sering bertukar pikiran dan mengobrol tentang semua hal dalam kedudukan yang sama dan sederajat. Tapi, khayalan itu membuatnya tak enak hati, teringat kata-kata yang telah diajarkan dan diingatkan kepadanya sepanjang masa, bahwa suami adalah pemimpin keluarga. Pria bodoh mana yang ingin berbagi kedudukan sepenting itu dengan istrinya, pikir Molek, pahit.

"Kalau mau pulang, biar Yusuf mengantarmu," kata Bicik Esa.

"Tidak usah, saya pulang bersama Said saja," tolak Molek.

"Tidak apa. Malam-malam pulang berdua dengan Said rasanya kurang aman," wanita itu berkeras.

"Ya, Molek, lebih baik ditemani Yusuf. Apa pun bisa terjadi di zaman sekarang. Tentara Belanda dan gerilyawan makin sering saling serang. Kalau ada yang menemani, kami di sini lebih tenang," Nyai mendukung Bicik.

"Bukankah kau dan Yusuf berteman sewaktu kecil? Kalian pasti senang bisa bercakap-cakap lagi. Dengan begitu, Yusuf akan sadar bahwa kau sudah jadi gadis cantik dan pantas jadi istrinya," kata Nyai, tertawa.

Molek tersentak. Tapi, dia hanya diam. Pulang malam hari ditemani pria dewasa adalah keputusan yang bijaksana. Yusuf sendiri bukanlah pilihan buruk untuk dijadikan teman seperjalanan. Sama seperti Umar, Yusuf juga teman masa kecil Molek. Bedanya, Umar selalu ingin menang sendiri, Yusuf justru jadi kambing hitam. Jika ada yang nakal, yang tertangkap adalah Yusuf, sementara yang lain lolos. Kalau anak laki-laki mencuri kemang di kebun, entah apa yang terjadi, tapi Yusuf yang akan dimarahi. Dia juga selalu paling belakang dalam setiap permainan. Molek belum pernah melihatnya menang dalam hal apa pun.

Ketika kecil, Molek sering menemani Yusuf. Meski kasihan, Molek juga kesal melihat kelemahan Yusuf yang tak bisa membela diri. Hingga suatu hari, ketika mereka dimarahi karena ketahuan mencuri mangga muda, Molek tak tahan lagi, dia memukul Yusuf, lalu berteriak marah, bahwa Yusuf sungguh bodoh dan Molek benci orang bodoh.
Yusuf mengusap-usap pipinya yang ditampar Molek, mengerjapkan mata menahan tangis, berkata pelan, "Aku tak mau tidak jujur, kubiarkan orang tahu bahwa aku mengambil buah mereka. Biarlah mereka marah, memukuliku, atau minta ganti rugi. Dengan begitu, aku merasa adil. Kumohon mengertilah. Jangan membenciku hanya karena aku ingin jadi baik. Aku tak peduli pada orang lain, tapi aku tak sanggup bila kau menjauhiku."

"Mari kubawakan," Yusuf mengambil buntelan pakaian kotor Nyai dan Mbuk dari tangan Molek.

"Terima kasih," jawab Molek. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu, apa yang kau lakukan selama ini?" tanya Molek.

“Aku membantu Abah di toko. Kau sendiri?"

"Ah, apa lagi yang bisa kulakukan? Hanya menjahit dan memasak"

Molek mengamati Yusuf dari samping. Yusuf lebih tinggi daripadanya. "Kau makin tinggi dan tampan. Kenapa belum melamar orang? Tentunya banyak perempuan yang mau denganmu," Molek bertanya separuh bergurau.
Yusuf menggeleng, tersenyum kecil menanggapi godaan Molek. "Aku sebetulnya masih ingin melanjutkan sekolah."

"Benarkah? Hebat sekali. Senangnya kalau aku juga bisa sekolah lagi. Tapi, kenapa tak jadi?"

"Abah ingin aku membantu di toko, tak ada orang lain yang bisa mengawasi barang dan pegawai jika dia pergi. Rasanya tidak adil, kenapa dulu Abah bisa terus sekolah, tapi kini aku tidak bisa. Sepertinya, Abah hanya ingin dia sendirilah yang pintar."

"Tidak mungkin,"bela Molek cepat. "Pasti karena tak ada orang lain yang bisa dipercayai untuk mengatur pekerjaan. Kau kan anak sulung dan adikmu masih terlalu kecil untuk dilibatkan."

Mata Yusuf menerawang, menembus kegelapan, "Aku ingin lebih pintar dari Abah, jauh lebih hebat darinya. Bukankah kau menyukai orang pintar, Molek? Aku ingat kau dulu selalu membuntuti Abah ke mana pun. Memujinya setinggi langit, memandanginya dengan kagum. Jika aku lebih pandai dari Abah, apakah kau akan melakukan hal yang sama padaku? "

Yusuf berhenti di bawah lampu jalan. Mereka berpandangan. Mata hitam Yusuf bercahaya lembut, memerangkap siapa pun yang memandangnya hingga tak bisa berpaling lagi dari kelembutan itu. Tapi, Molek berhasil memalingkan wajah, tak ingin larut dalam pesonanya. Tanpa menjawab, Molek meneruskan langkah, diikuti Yusuf dalam diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Air sungai apakah selalu mengalir ke laut? Molek melemparkan sepotong ranting ke air. Ranting itu terombang-ambing, nmun pelan-pelan mengalir mengikuti tujuannya. Apakah menjadi sungai lebih menyenangkan? Menyinggahi berbagai tempat baru, bertualang. Setiap hari tak pernah sama, setiap hari penuh cerita. Atau, sesungguhnya sungai sama seperti dirinya? Yang menginginkan kebebasan, tapi tak bisa. Tujuan hidupnya sudah ditetapkan, tak bisa berubah, tak bisa menghindar, seperti sungai dan laut sebagai takdirnya.

Tak ada pilihan, tak bisa memilih. Perempuan seharusnya menikah dan menjadi ibu, itu tujuan, kewajiban, dan alasan hidup. Tadi pagi ketika mengantarkan kopi untuk Abah, bapaknya berkata, "Duduklah, Molek, ada yang mau Abah bicarakan denganmu."

Molek bertanya-tanya dalam hati, karena Abah jarang sekali bicara. Dia berusaha menebak masalah penting apa yang membuat Abah buka mulut.

"Semestinya mbuk-mu yang lebih tepat menyampaikan hal ini. Tapi, karena Mbuk masih di rumah Zainab, Abah pikir, tidak ada salahnya Abah menyampaikannya sendiri. Abah yakin kamu akan gembira."

Apa yang bisa membuatku gembira? Apakah aku boleh sekolah lagi? Molek berharap-harap cemas.

"Sewaktu Abah berdagang ke Pagar Alam, Zein dan Abah merundingkan kemungkinan perjodohan antara kau dan Yusuf. Kita masih bersaudara sehingga pernikahan ini akan lebih mempererat ikatan keluarga kita. Apalagi, kamu mengenal Yusuf sejak kecil. Bukankah dia anak baik? Tak ada cacat cela, dia calon yang tepat. Abah khawatir mengingat usiamu memasuki tujuh belas. Jika harus menunggu lebih lama, makin sulit bagimu mendapatkan jodoh."

Molek merasa kepalanya berdenyut-denyut. Dia terkejut. Di balik sikap Abah yang bebas dan maju, dia memikirkan masalah pernikahannya. Tapi, dari semua kejutan itu, yang paling memukulnya adalah kenyataan bahwa Mang Zein bahkan tak pernah menganggap dia lebih dari seorang anak.

Kerikil-kerikil kecil terlempar ke dalam air. Batu-batu itu menimbulkan bunyi dan riak-riak di sekelilingnya. Seperti riak-riak perasaan Molek yang harus bertahan di tempat terdalam, tak boleh keluar. Jika bisa, sebetulnya dia ingin protes. Namun, dia hanya diam. Seumur hidup dia diajarkan untuk menerima kata-kata orang tua. Semua itu untuk menunjukkan bakti dan terima kasih karena telah dilahirkan ke dunia. Jika tak suka, simpan saja di dalam hati, karena sepenggal kata "ahâ" saja adalah dosa baginya.

"Berapa lama lagi kamu mandi? Hari sudah gelap. Untung Aisyah pulang, kalau tidak, pastilah aku mandi malam-malam"

Sebuah suara menghentikan kegiatan Molek melempar-lempar batu. Dia menoleh, melihat kakaknya berdiri di tangga teratas. Dia bergeser memberi jalan agar Denti bisa masuk ke dalam air.

"Apa yang kamu pikirkan" tanya Denti.

Molek dan Denti hanya terpaut setahun, sedari kecil mereka selalu bersama. Baginya, Denti bukan hanya saudara lebih tua, tapi juga sahabat sehati. Mereka sering bercakap-cakap dan sangat dekat satu sama lain.

Bukannya menjawab pertanyaan Denti, Molek balik bertanya, “Cek, apakah Cek bahagia?”

"Aku bahagia," jawab Denti, singkat.

"œBetulkah?" Molek ingin menegaskan.

"Betul. Karena aku mensyukuri hidup dengan tidak meminta lebih dari yang telah kuterima, tidak bermimpi untuk mendapatkan yang tak mungkin."

Molek melempar kerikil terakhir yang ada di genggamannya. Kata-kata Denti terdengar sangat tepat dan mudah. Itulah yang seharusnya dilakukan, itulah jawaban pertanyaannya.

Dia memandangi Cek Ti menggosok kaki dengan batu apung. Kain yang dipakainya tidak menutupi tulang-tulang bahu yang bertonjolan keluar. Cek Ti sangat kurus, padahal dulu tubuhnya indah. Mungkin, karena dia sudah melahirkan dua kali dan keduanya merupakan cobaan berat. Anak pertamanya hanya bertahan dua puluh hari. Bayi itu kuning dan tidak mau menyusu. Cek Ti sangat terpukul. Dia menjadi begitu pendiam, tenggelam dalam kesedihan.

Setahun lebih sedikit anak keduanya lahir, kini berumur lima bulan, tampak gemuk, sehat, namun sebetulnya sering sakit. Menjelang magrib, bayi itu sering menangis menjerit-jerit, membuat Nyai mengunyah-ngunyah beras kunyit yang disemburkan ke bayi malang itu untuk mengusir setan pengganggu.

Molek menyepak-nyepak air dengan kakinya. Dia membayangkan Lukman, suami Cek Ti. Seharusnya, dia percaya Abah pandai memilih suami untuk anak-anaknya. Lukman tampan dari keluarga kaya dan sederajat dengan mereka. Tapi, entah mengapa, Molek melihat, sejak menikah, kakaknya tidak seperti dulu. Ada yang aneh. Entah apa yang kurang, tapi itu pasti sesuatu yang sa­ngat penting sebagai penentu kebahagiaan perkawinan. Apakah dia juga nanti sama seperti kakaknya? Tampak serasi dari luar, namun tersiksa di dalam.

Hati Molek bergejolak. Dia tak membenci Yusuf. Tapi, hatinya tak bisa menerima Yusuf sebagai suaminya. Membayangkannya saja membuat tubuhnya gemetar. Aku tak mau menikah, batinnya memberontak. Aku bukan Cek Ti yang pintar berpura-pura, padahal hanya memendam perasaan. Aku tak ingin tersia-sia, karena tak tahu untuk apa hidup di dunia ini, jika tidak untuk bahagia.

Molek menaiki tangga cepat-cepat, setengah berlari menuju rumah, menyembunyikan air mata yang mulai merebak karena putus asa. Di depan, Mbuk dan Aisyah asyik bercakap-cakap. Mereka semua lalu pergi ke pasar. Mbuk akan membeli bahan pakaian untuk baju baru Molek. Meski keluarga Yusuf belum resmi melamar, seisi rumah sudah sibuk mempersiapkan acara.

Di sebuah toko, bahan-bahan pakaian dalam aneka corak dan warna, tersusun rapi memikat mata wanita mana pun. Namun, Molek tak tertarik. Dia hanya memerhatikan Mbuk, Aisyah, dan pelayan toko memilih-milih bahan.

"Bagaimana dengan yang ini? Warna biru dihiasi keleng­kan (benang perak) di pinggirannya. Cocok sekali untuk pengantin dan warnanya biru. Bukankah kau sangat suka warna biru?"tanya Mbuk.

Molek hanya mengangguk tak tertarik. Matanya beralih memandang ke luar jendela pada orang-orang yang lalu-lalang. Sesosok bayangan melintas di depan jendela, membuat jantungnya berhenti sesaat.

"Mbuk, aku mau ke toko manisan dulu. Said minta dibelikan bonbon."Tanpa menunggu izin, Molek berjalan keluar. Dia setengah berlari memburu bayangan itu. Dia lupa pada kain batik yang membatasi langkah kakinya.

Apa yang kau lakukan? Sebuah suara bergema di kepalanya. Aku tak tahu, yang pasti aku hanya ingin bertemu dengannya. Suara lain menjawab. Lelaki yang dikejarnya berjalan sangat cepat, melintasi orang-orang yang berjalan lambat, menikmati isi toko lain yang tampak lebih cemerlang.

Molek terus mengejar, meski ada setitik kesadaran di hatinya, betapa Mbuk akan sangat marah, jika tidak menemukannya di toko manisan Baba Ahong. Dia berdoa sepenuh hati, semoga mereka masih lama di toko kain. Semoga kain-kain memikat itu bisa membingungkan Mbuk dan Aisyah.

Bayangan itu masuk ke gang kecil. Ketika Molek sampai di mulut gang, dia berhenti agak ragu. Lorong itu gelap dan Molek tidak tahu ke mana arahnya. Namun, kakinya yang tidak sejalan dengan pikiran, melangkah otomatis, bergerak sendiri ketika melihat bayangan itu nyaris tak terlihat lagi ditelan kegelapan. Setelah beberapa langkah, matanya jadi terbiasa dalam gelap, bisa melihat bahwa lorong itu terbentuk dari dinding-dinding toko.

Ketika makin dekat, dia menyadari bahwa bayangan itu jadi dua orang. Sosok satunya berbentuk siluet wanita. Mereka berdiri membelakanginya. Molek bertanya dalam hati, merasa tidak enak. Apakah dia akan mendekati dan menyapa Mang Zein? Dia bisa membayangkan reaksi lelaki itu, pastilah sangat tidak menyenangkan. Tapi, dia juga ingin tahu, apa yang dikerjakannya dalam gelap di lorong sempit busuk ini bersama seorang wanita.

Molek menempel ke dinding, memasang kuping, berusaha menangkap pembicaraan. Dia berjalan sangat perlahan, tak ingin membuat kedua orang itu menyadari kehadirannya. Kini Molek mulai bisa mendengar suara Mang Zein ditimpali suara lembut seorang wanita. Siapa wanita itu dan apa yang membuat Mang Zein harus menemuinya di tempat seperti ini?

Molek makin dekat. Dia berhenti di bagian dinding yang agak menjorok ke dalam. Di situ dia bisa mendengar lebih jelas pembicaraan mereka berdua.

"Kau tetap akan pergi? Menurutmu, di sana lebih baik?" suara Mang Zein.

"Aku tak tahu. Mungkin tak lebih baik dari di sini. Tapi, kita tak akan tahu tanpa mencoba," kata wanita itu.

"Kalau begitu kapan kau berangkat?"tanya Zein lagi.

"Minggu depan. Aku tak punya penggantiku. Kukira, tak ada yang berani melakukannya. Aku juga tak bisa bertanya pada orang, risikonya terlalu besar. Itu bisa membocorkan apa yang telah kulakukan selama ini. Jadi, kau harus mencari sendiri penggantiku."

"Aku mengerti,"kata Mang Zein.

"Ini informasi terakhir. Dua hari lagi ada pasukan yang membawa pasokan senjata baru. Rutenya betul seperti yang pernah kita bicarakan kemarin. Tapi, pasukan yang mengawal kelihatannya akan lebih banyak. Jadi, berhati-hatilah. Tolong katakan pada Adenan untuk pindah secepatnya dari rumah Ujang. Ipar Ujang itu tidak dapat dipercaya. Dia sepertinya berniat membocorkan rahasia bahwa rumah kakaknya dijadikan markas kalian. Dia senang menjilat dan sedang butuh uang untuk membayar utang berjudi."

"Baik. Terima kasih banyak." Zein tersenyum hormat. "Kami semua mengucapkan selamat jalan, semoga kau beruntung di tempat baru."

Wanita itu mengangguk, "Terima kasih kembali. Sampaikan salamku pada Adenan, katakan agar dia menjaga diri baik-baik." Wanita itu berbalik arah mendekati tempat persembunyian Molek.

Molek makin menyuruk ke dinding. Percakapan itu membuatnya memahami yang sedang terjadi. Dia tahu Mang Zein sering membantu menyembunyikan para gerilyawan, sering jadi penghubung dan penyokong dana kegiatan mereka. Perjalanannya berdagang pun tak luput dari semua ini.

Pertama kali Molek mengetahui kenyataan itu, dia cemas. Bukankah itu berarti Mang Zein pejuang? Jika ketahuan bisa ditangkap, dipenjara, atau dibuang. Tapi, Mang Zein berkata tegas, "Aku akan membantu siapa saja yang memperjuangkan kemerdekaan kita. Semua pasti ada risikonya. Untuk pekerjaan semulia itu, jika tertangkap, aku sudah siap menanggungnya."

Bau harum mengalahkan bau busuk, ketika wanita itu melintas dengan cepat. Inten! Molek menutup mulut terkejut. Molek kebingungan. Ketika menoleh, Mang Zein sudah tidak ada. Dia berlari ketakutan untuk sebuah alasan bodoh. Dia merasa ada tangan-tangan terjulur keluar dari dinding-dinding gelap, mengapai-gapai mencoba menangkapnya.

Molek berhenti mengatur napas, lega saat sampai di ujung lorong. Untung, tak ada seorang pun melihat dia. Samar-samar dia melihat Inten masuk ke rumah minum De Zon.

Molek mengetuk pintu. Tidak berapa lama dia mendengar suara orang menyahut dan pintu terbuka. Seorang wanita tua memandangnya heran.

“Apakah Cek Inten ada di rumah?” tanya Molek.

Muka tua itu berubah curiga. “Awak siapa?” tanyanya.

“Saya Molek, keponakan Kemas Zein dari Kampung Dua Puluh Enam. Saya ingin menemui Cek Inten”

“Tunggulah dulu.” Wanita itu masuk, membiarkan Molek berdiri di depan pintu, memandangi ruang tamu berperabot indah.

Rumah batu ini berlantai pualam putih, seputih dindingnya yang dikapur bersih. Beratap tinggi, berjendela terbuka lebar, membawa masuk kesejukan. Ini rumah impian Molek, ketika berkhayal jadi noni Belanda berambut pirang dengan baju penuh renda, mengem­bang, menjuntai menutupi kaki. Noni cantik yang bergerak anggun di lantai dansa bersama Mang Zein kekasih tercinta.

Tak berapa lama wanita tua itu mengajaknya masuk. Bukan ke ruang tamu, melainkan masuk ke sebuah kamar tidur. Tampak Inten sedang duduk di depan meja rias. Rambut panjangnya hitam berkilat, tergerai lurus sampai nyaris menyentuh lantai. Tanpa menoleh, ia berkata, “Duduklah di ranjang.”

Molek bimbang. Semua keyakinannya seakan hilang. Dia duduk di sisi ranjang. Lewat cermin dia bisa melihat wanita itu mengamatinya, sambil tetap sibuk menggulung rambut dengan dua kawat panas untuk membentuk ikal-ikal.

“Kau cantik sekali.”

Inten mengangkat sebelah alis yang bak semut beriring itu. Dia berbalik sehingga bertatapan langsung dengan Molek. “Sekarang katakan apa yang sebetulnya kau inginkan. Jangan bergurau lagi.”

Molek menggeleng. “Aku tidak bergurau. Aku mengagumimu. Betul, menurutku, kau sungguh cantik.”

Inten tampak heran. “Siapa kau ini? Aku merasa tak mengenalmu. Tadi aku menerimamu hanya karena terkejut ada perempuan muda mengunjungiku. Selama ini aku hanya berurusan dengan laki-laki dan tamuku hanya mereka. Jadi, sekarang ceritakan siapa kau dan apa tujuanmu menemuiku.”

“Aku anak Kemas Anas. Namaku Nyimas Molek. Kemarin aku melihat kau bertemu Kiagus Zein, dia mamangku.”
Inten tertawa. “Oh, kau calon menantu Zein itu?”

Molek terkejut. “Kau sudah tahu? Bagaimana mungkin? Padahal, kami belum resmi menerima lamaran.”

“Hanya orang buta tuli saja yang belum mengetahui kabar itu. Seluruh kampung sudah membicarakannya. Apakah Zein yang menyuruhmu kemari? Apa dia sudah gila? Tak ada perempuan baik-baik yang datang ke sini. Jadi, cepatlah pulang sebelum ada yang melihat kedatanganmu.”

Molek menggeleng. “Tak ada yang menyuruhku ke sini. Aku suka sekali melihat penampilanmu, sungguh pantas. Aku ingin sekali bisa berdandan secantik itu. Maukah kau mengajariku?”

Inten menatap Molek heran. Gadis yang aneh. Selama ini tak ada seorang pun wanita yang memujinya. Kaum sejenisnya mema-lingkan muka, mencemooh jika bertemu dengannya. Dia perempuan simpanan Belanda, manusia rendahan.

“Kau Molek, ’kan? Kau juga sangat molek.”

Molek tersenyum. “Nama itu sebetulnya tidak cocok untukku. Seharusnya adikkulah yang diberi nama Molek. Kau pernah melihat adikku? Dia sungguh cantik, meskipun tidak secantik dirimu.”

Mereka berpandangan, lalu sama-sama tersenyum. “Kemarilah,” panggil Inten, menyuruh Molek mendekat ke kursinya.

Molek melihat sekilas bayangannya di kaca, lalu menatap Inten yang telah berdiri di belakang.

“Aku tidak tahu kenapa aku melakukan ini, tapi aku akan memperlihatkan padamu bahwa nama Molek betul-betul pantas untukmu.”

Inten mengurai rambut Molek yang tebal ikal, panjang melebihi pinggul. “Ah, rambut yang sungguh indah. Jika punya rambut seperti ini, aku tak perlu menghabiskan berjam-jam mengeriting rambut untuk mendapatkan ombak-ombak tebal di bagian depan.”

Molek diam. Dalam hati ingin memercayai kata-kata Inten. Tapi, dia tidak berharap banyak. Karena, menjadi saudara Aisyah dan Denti selama ini telah membuatnya sadar bahwa dia bukan apa-apa.

Dia memerhatikan tangan-tangan Inten yang menyisir rambut. Tangan itu berjari lentik dan indah. Sebuah pertanyaan mendesak-desak di pikirannya. “Kau begitu cantik. Tapi, kenapa kau jadi seperti ini? Maksudku, kenapa kau tidak menikah saja? Dengan keelokanmu, pasti banyak lelaki baik-baik yang ingin menikah denganmu.” Molek bertanya, lalu menutup mulut dengan tangan. “Maaf, maaf, aku bertanya macam-macam. Ah, betapa lancangnya aku ini.” Molek membalikkan badan memegangi tangan Inten.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Ayo, menghadap ke kaca lagi. Aku belum selesai menyanggul rambutmu.”

Molek menurut. Tapi, kini ada kebisuan tak nyaman di antara mereka, membuat hatinya jadi makin tak enak.
“Apakah kau mau mendengar ceritaku?” tanya Inten.

Ada sebersit rasa heran dalam diri Inten, kenapa dia ingin bercerita pada gadis yang datang tak diundang ini, yang tanpa ujung pangkal meminta diajari berdandan. Dia tak habis pikir, kenapa dia mau menuruti keinginannya.

“Aku tahu apa yang dipikirkan orang saat melihatku. Sebetulnya aku juga tak ingin seperti ini. Seadainya bisa memilih, aku lebih suka menikah dengan lelaki baik-baik, menjadi istri sah, mengurus mertua dan anak-anak. Tapi, aku tak punya pilihan. Aku terlahir dari keluarga bangsawan. Sayangnya, kami sangat miskin.”

Molek pernah mendengar bahwa Inten bergelar raden ayu. Tapi, masyarakat berpura-pura tidak tahu atau lupa, karena menganggap kelakuan Inten tak pantas untuk kehormatan setinggi itu.

“Ketika aku berumur tiga tahun, Mbuk meninggal dan saat ber­umur lima belas Abah pun meninggal. Aku hanya hidup bersama Wak Uti, ayuk (kakak perempuan) Abah, di kolong rumah orang yang tadinya rumah kami. Kami sering hanya makan sekali sehari. Itu pun jika orang kaya di atas memberi nasi. Tadinya mereka kasihan, sering memberi sisa makanan. Namun, lama-kelamaan mereka sebal dan berpikir, daripada diberikan pada kami, lebih baik untuk menggemukkan ayam peliharaan.

”Apakah kau tahu, betapa tak adilnya masyarakat pada anak perempuan yatim piatu. Bukannya aku ingin bermalas-malasan dan menggantungkan hidup dari belas kasihan orang, tapi tidak ada yang bisa kukerjakan untuk mencari nafkah. Satu-satunya hal yang paling mungkin adalah menikah. Tapi, tidak ada yang menginginkanku sebagai menantu, meski aku bergelar baik. Pertama, karena anak-anak yang lahir selalu mengikuti garis ayahnya, dan gelarku takkan memperbaiki status keturunan berikutnya. Jadi, percuma saja. Kedua, pernikahan yang diatur harus selalu menguntungkan.”

”Suatu malam aku berjalan ke sana kemari tak tentu arah, perutku melilit, kepalaku pusing karena kelaparan. Aku mulai berpikir, mengapa aku tidak mati saja. Jika mati, tentunya takkan merasa lapar lagi. Mungkin, aku bisa bertemu Abah dan Mbuk. Betapa aku merindukan mereka dan juga kesal karena mereka meninggalkanku sendirian. Untuk apa aku mereka hadirkan di dunia jika hanya untuk dilupakan dan ditinggalkan.

”Ketika sedang memikirkan Abah dan Mbuk itulah, tiba-tiba seorang opsir mendekati. Kukira, dia baru pulang dari rumah minum, karena tampak mabuk. Dia berdiri di hadapanku, melihat air mata bercampur debu yang mengotori mukaku, menanyakan mengapa aku menangis. Meski takut, kuceritakan bahwa aku belum makan dan mengulurkan tangan, berharap dia mau memberi uang. Lelaki itu menghapus air mataku, lalu mengajakku ke suatu tempat, berjanji memberi uang jika aku mau melakukan keinginannya.

”Begitulah, meskipun aku menangis, merintih kesakitan dan ter-noda, aku betul-betul mendapat uang malam itu. Uang yang menurutku sangat banyak, karena cukup untuk makan dua hari. Aku berjalan terseok-seok, pulang ke rumah, mulai memahami bahwa itulah satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia ini, tanpa orang tua di sisiku.”

Kisah itu menyedihkan. Namun, Inten menceritakannya dengan nada biasa saja. Meski begitu, Molek merasakan dadanya sesak.

“Malam itu sungguh mengerikan. Tapi, aku tak menyesal. Pria itu memang rusak, tapi setidaknya dia mengulurkan tangannya padaku, sementara mereka yang terhormat malah berpaling, membuangku.”

“Kau sungguh kuat. Meski sulit, kau tidak menyerah. Kukira kau lebih hebat daripada wanita-wanita sok suci lain, yang hanya duduk-duduk dan mencela orang. Kau seorang pejuang,” kata Molek.

“Kau sungguh bermulut manis, pandai menyenangkan hati orang.” Inten senang sekali, berpikir-pikir apakah seperti ini rasanya punya saudara perempuan. Bisa diajak bicara dan selalu siap menghibur.

“Kau tahu Adenan?” tanya Inten.

Molek mengangguk. Meski tak mengenal langsung, seluruh pen-juru kota tahu nama itu. Dia pejuang besar pemimpin gerilyawan yang dicari Belanda.

“Dia kakakku. Nyaris tak ada orang yang tahu, karena sejak kecil dia diambil oleh teman Abah yang tidak punya anak. Abah ingin anak laki-lakinya bersekolah agar bisa hidup lebih baik. Begitulah untungnya laki-laki, jadi lebih berharga dibandingkan perempuan. Meski-pun sejak itu kami tak pernah bertemu, aku tahu dia kakakku.”

Inten mengambil mawar dan kenanga yang telah disiapkan di meja rias, lalu menyelipkannya di rambut. “Senang rasanya mengetahui di dunia ini kau tidak sendirian. Dia, satu dari dua orang kerabat yang kumiliki dan aku menyayanginya. Meski aku tidak tahu, apakah dia juga menyayangiku dan menganggapku adik, mengingat aku manusia paling hina. Aku hanya ingin menjaga dan membantunya. Aku tak ingin kehilangan dia. Untuk itulah aku jadi mata-mata, meski kepalaku jadi taruhan. Kau lihat, Molek, aku ini hanya mau melindungi kepentinganku. Aku tak pernah punya alasan mulia seperti kemerdekaan negara ini. Jadi, aku bukan pejuang. Adenan, Zein, dan teman-teman merekalah yang pejuang.

“Lihatlah ke cermin,” kata Inten.

Molek memandang bayangannya di cermin. Dia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. Bibir lebar yang tak disukainya itu kini sempurna dengan warna merah. Dia sering bermimpi memiliki bibir mungil seperti milik Aisyah. Kini dia tahu bah­wa bibirnya punya keindahan tersendiri, tampak penuh dan sensual. Celak hitam membuat matanya tampak besar, bening, dan tajam. Model rambut belah tengah berponi dengan ombak-ombak tebal di kedua sisi terasa pas membingkai wajah ovalnya. Dia tampak menarik dalam versi lain. Bukan kecantikan lembut rembulan, namun kecantikan menggairahkan.

“Kini kau yakin bahwa kau cantik?” Inten tersenyum.

“Ini seperti bukan aku,” kata Molek, tak percaya.

“Itu kau yang selama ini tersembunyi.”

“Terima kasih. Ini semua berkat kau. Kau sungguh baik. Bi-sakah kita berteman?” tanya Molek yang langsung dijawabnya sendiri, “Ah, tapi kau akan pergi, bukan? Jadi, percuma saja.”

“Itu permintaan yang aneh. Seumur hidup aku belum pernah mendengarnya.” Kini Inten duduk, meneruskan menggulung rambutnya sendiri. “Aku tak punya teman perempuan. Tapi, sepertinya senang sekali, ya.”

Molek mengawasi penampilan Inten. “Kenapa kau ingin pergi dari sini? Kau mencintai Tuan Hansen, sehingga mau meninggalkan tanah leluhur?”

Inten menggeleng. “Kita baru bertemu, tapi pertanyaanmu banyak. Harusnya kau tahu, ada hal yang tak bisa ditanyakan, karena terlalu pribadi.”

Molek tergagap, “Maaf, aku….”

Inten tersenyum. “Kukira, aku tidak seberuntung itu hingga bisa merasakan cinta. Hansen sangat baik. Dia melindungi dan memberi semua yang kubutuhkan. Keluarganya jauh di Belanda dan dia kesepian. Aku bisa menghibur dan membuatnya gembira. Kukira hubungan kami saling menguntungkan.”

”Wanita seperti aku ini harus pandai berhitung. Karena kami punya waktu, waktu yang tidak lama. Jadi, selagi di puncak ambillah banyak-banyak, selagi masih ada kesempatan, manfaatkan sebaik-baiknya. Karena, aku harus menyimpan untuk hari tua. Jika masaku sudah selesai, aku akan sendiri lagi, takkan ada seorang pun yang dengan sukarela merawatku. Saat ini Hansen bisa memberi segalanya. Seleraku sangat tinggi. Hanya pejabat penting seperti Hansen yang bisa memenuhinya.”

Inten mengubah raut mukanya menjadi serius. “Kau sangat beruntung, Molek. Kau akan menikah dengan lelaki baik, lalu membentuk keluarga yang selalu menjaga, merawat, dan berada di sisimu sepanjang hidup. Hidupmu akan bahagia. Aku bisa membayangkannya. Lupakan masalahmu, dan bersyukurlah dengan jalan yang sudah dipilihkan, karena itu jalan yang mulus dan indah.”

Molek memalingkan muka, menatap lurus-lurus bayangannya di cermin. Ia hanya ingin mengenal wanita yang bisa bicara begitu setara, tampak sangat istimewa dan dihormati oleh Zein. Karena, ia ingin jadi wanita seperti itu.

Molek berbaring di atas ranjang, matanya memandang langit di luar jendela. Warnanya kelabu. Pasti sebentar lagi hari akan hujan. Rumah begitu sepi, dia tidak mendengar suara siapa pun. Semua orang pasti sedang di toko, karena besok Abah berangkat berdagang. Semua sibuk mempersiapkan keberangkatan Abah. Nyai yang setiap hari biasanya menenun pun kini sedang ke pasar membeli ikan untuk membuat makanan kesukaan anaknya.

Tinggal dia sendiri. Abah melarangnya ke luar rumah. Tak lama setelah kepulangannya dari rumah Inten, Abah juga pulang. Abah begitu marah. Molek belum pernah melihat kemarahan sehebat itu.

“Apa yang kau cari di rumah perempuan itu? Apa kau sudah gila? Apa kau tidak tahu akibat yang ditimbulkannya? Sekarang seluruh kampung sedang membicarakan kelakuanmu. Padahal, kau sudah bertunangan. Entah apakah Zein masih mau mengambilmu menjadi menantu.”

“Apa salahnya pergi ke sana?” bisik Molek.

Suara Abah menggelegar. “Lihat sekarang! Penampilanmu sudah sama dengan perempuan itu. Kau mau jadi seperti dia?”

Ketika pulang dari rumah Inten, dia sengaja tidak menghapus dandanannya. Molek senang melihat banyak laki-laki melihatnya dengan kagum.

“Apa salahnya? Dia wanita hebat.”

Rasa sakit menyengat. Molek terjatuh ke belakang, tangannya memegangi pipi yang panas. Mbuk menjerit, Nyai berteriak, “Sudahlah, Anas!”

“Katakan pada anak kurang ajar itu, jika ingin menjadi manusia rusak, dia bisa pergi dari rumah ini. Jangan pernah kembali atau menyebut kami di sini keluarganya lagi. Tapi, kalau dia masih mau hidup lurus, mulai sekarang dia tak boleh keluar rumah untuk alasan apa pun!” teriak Abah pada Mbuk.

Molek mengelus pipi, rasa pedih masih tertinggal setiap kali dia ingat kejadian itu. Meski lebamnya sudah berkurang, sakit yang timbul karena dia telah melukai hati Abah tetap bertahan. Dia malu karena bersikap kurang ajar. Dia sungguh tak ingin menjadi anak durhaka.

Pintu kamar terbuka. Molek mengawasi lesu. Biasanya Nyai atau Mbuk datang membawa makanan dan minuman untuknya.

“Cek Ti,” katanya heran, melihat kakaknya.

Denti duduk di pinggir tempat tidur, menatap adiknya yang makin kurus. Molek berpikir, apakah dia harus menanyai kakaknya, dari mana saja hingga tak pernah datang menemuinya. Sudah lima hari dia mendekam di kamar, tak sekali pun Denti muncul. Abah hanya melarangnya keluar rumah, tapi Molek menghukum diri dengan tidak keluar kamar. Seisi rumah sudah bergantian mengunjunginya. Hanya Denti yang tidak pernah.

“Apa kau tak bisa menjadi anak baik?” tanya Denti.

“Apa Cek Ti ingin aku mati? Jika aku dipaksa kawin dengan Yusuf, Cek akan melihat aku mati. Aku tak ingin hidup dengan orang yang tidak kucintai. Abah dan Mbuk takkan mengerti.” Air mata Molek yang tertahan sekarang tumpah bersama emosinya yang tak terbendung lagi.

Kakaknya memandangi pintu. Dia sangat mengerti. Dia, Molek, dan Aisyah punya sifat yang sama. Bedanya hanya pada takaran. Seluruh sifat Abah yang pendiam namun sangat keras kepala diwariskan pada Molek, sementara dia dan Aisyah punya separuh warisan Mbuk yang lebih terbuka dan suka mengalah.

Besok Abah berangkat. Sorenya, jika kau mau, kubantu kau menemui Mang Zein. Entah apa yang akan terjadi nanti. Karena itu, pikirlah matang-matang. Aku tak bisa menasihati macam-macam, tapi ingatlah, sekali kau keluar menemui Mang Zein dan mengatakan semuanya, keadaan takkan pernah sama lagi. Baik buruknya pikirlah sendiri. Besok katakan keputusanmu.

Denti berdiri hendak pergi tanpa menunggu jawaban Molek.

“Cek Ti,” Molek memanggilnya.
Denti terus berjalan, tak ingin mendengar apa pun dan tak ingin berkata lebih dari yang sudah dikatakannya. Dia tak ingin Molek menyalahkannya suatu hari nanti. Tiba-tiba Denti menghentikan langkah. Tanpa menoleh dia berkata, “Aku sudah bertemu Inten dan menceritakan masalahmu. Dia bersedia mengatur pertemuanmu dengan Mang Zein di rumahnya.”

Molek makin terkejut. “Cek Ti,” panggilnya lagi.

“Aku tak bisa lama-lama, nanti ada yang curiga.”

Denti mendorong pintu, bersandar di dinding, menghela napas sedih dan berpikir bahwa dia telah mencelakakan adiknya. Tapi, setidaknya Molek tetap hidup dan bisa menunjukkan kepadanya apakah jalan yang dipilihnya selama ini sesuatu yang benar atau sesuatu yang seharusnya disesali.

Zein mengelus-elus dagunya yang tercukur rapi. Kebiasaan itu selalu dilakukan jika sedang bingung. Di hadapannya duduk seorang gadis yang begitu dikenalnya, namun hari ini tampak sangat berbeda. Gadis itu sangat cantik dan pelan-pelan telah menyusupkan perasaan ganjil saat menatapnya.

Dalam benaknya, Molek hanya seorang anak kecil yang mengulum permen, dengan gembira mengikutinya ke sana kemari, menuntut diceritakan sesuatu yang menarik. Meski dia sadar Molek berubah, Zein tidak benar-benar memikirkannya. Sekarang dia benar-benar dibuat terkejut.

“Minumlah dulu, Mang,” Molek mengulurkan cangkir teh.

Zein memandangi jari-jari lentik yang memegangi tatakan cangkir. Seharusnya jari itu memakai tanggai (kuku palsu untuk menari) dan menari. Pastilah halus dan gemulai. Dada Zein berdesir ketika tangannya secara tak sengaja menyentuh jemari itu. Apa yang sedang kurasakan? Zein membatin marah. Terkutuklah dia karena memikirkan Molek sebagai seorang wanita.

Tadi, dia datang dengan keinginan menasihati Molek dan membawanya pulang. Tapi, setelah tiba di sini, dia seakan tersihir. Molek seperti orang lain. Dalam sekejap dia berubah menjadi kupu-kupu cantik.

“Dari dulu aku tahu, hanya Mang Zein yang paling mengerti aku. Mamang mengajari aku banyak hal, mengisi pikiranku, dan mewarnai hidupku. Cek Ti mengatai aku gila. Mungkin benar. Tapi, kukira Mamang akan mengerti. Aku tak bisa menerima yang lain. Aku hanya bisa memikirkan seorang saja.”

Pipi Molek bersemu, karena dia merasa malu. Tapi, dia harus mengatakannya. Molek tidak menyadari, hari itu, dari ujung rambut hingga ujung kaki, dia tampil bersinar sehingga Zein terpesona. Lelaki itu tidak menyadari kecemasan hati Molek. Di matanya, Molek sangat dewasa dan matang, karena berani membicarakan masalah hati. Sesuatu yang belum pernah dibahasnya dengan wanita mana pun.

“Yusuf sangat baik, tak ada cacat cela. Tapi, aku tak bisa menerimanya. Aku tidak bisa mencintainya, karena dalam hatiku sudah ada orang lain yang diam-diam kucintai sejak lama. Dia mengisi hati dan mimpi-mimpiku. Tapi, rupanya perasaanku tak berbalas. Atau, mungkin, karena dia tak tahu perasaanku ini? Yang pasti, hatiku sekarang sakit dan sedih, karena orang yang kusukai itu malah ingin menikahkan aku dengan anaknya. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan bahwa aku lebih menyukai dia daripada anaknya.”

Zein membeku. Kata-kata itu seakan diteriakkan di dekat gendang telinganya. Tanpa sadar Molek menggenggam tangan Zein, menempelkannya ke pipi dan berkata, “Tolong jangan marah padaku, jangan membenciku. Aku sudah cukup menderita. Aku tak tahu bagaimana mengendalikan perasaan ini. Tolonglah jangan salahkan aku, karena aku juga tak mengerti kenapa perasaan ini bisa tumbuh di hati.”

“Ini keterlaluan. Kenapa kau undang aku untuk mendengarkan kegilaanmu. Kau anakku. Selamanya tetap seperti itu.”

Molek menggenggam erat tangan Zein. Rasa takut kehilangan memenuhi pikiran dan meluncur dari kedua matanya dalam bentuk buliran air. “Aku tak pernah menganggapmu sebagai orang tuaku. Aku tak tahu kenapa aku tak pernah bisa menganggapmu sama seperti Abah. Bagiku kau seorang lelaki dan aku perempuan. Salahkah antara lelaki dan perempuan saling mencintai?”

Zein tak bergerak. Wanita di depannya ini bukan anaknya lagi. Dia wanita dewasa yang setara dengannya.

“Aku… aku ingin… bisakah aku...,” Molek tersendat-sendat dan dengan susah payah berkata, “aku ingin menjadi istrimu.”

Zein terkejut. “Itu tidak mungkin, kau sudah gila.”

Ia menarik tangannya, melangkah keluar dipandangi oleh Molek yang berlinangan air mata. Zein terguncang. Namun, di dalam hatinya ada hal lain yang berkecamuk lebih hebat. Sebuah hasrat dari nalurinya sebagai lelaki.

Air mata Molek membasahi bantalan kursi yang dipeluknya. Apa yang kucari, apa yang kupikirkan? Kenapa aku begitu mudah memutuskan bahwa dia pasti menerimaku? Kenapa aku begitu naif? Sekarang dia pergi. Keputusanku itu bahkan membuatku kehilangan dia untuk selamanya.

Apakah aku lebih baik pulang dan menikah dengan Yusuf? Tidak, tidak bisa. Aku tak bisa menikah tanpa cinta. Abah mungkin telah mendengar keberadaannya di sini. Dia tak bisa pulang. Abah yang memegang teguh kehormatan pasti sudah mencoretnya dari daftar nama keluarga sekarang.

Molek merasa ada orang yang mengusap kepalanya. Inten duduk di sebelah. “Maaf, aku sudah membuat ribut di rumahmu. Kau mau ke mana?”

“Ada pesta. Aku akan ke sana sebentar lagi.”

Molek duduk. “Ajaklah aku ke sana.”

“Kau sudah tidak waras, ya. Cepat pulang! Jika ada yang melihatmu di sini, aku takut membayangkan apa yang akan terjadi.”

Molek menggeleng. “Aku tak akan pulang lagi ke rumah. Ku-mohon, ajaklah aku ke sana.”

“Sadarlah, Molek. Jangan main-main dengan hidup. Aku akan menyuruh Wak Uti menemanimu. Ingat, hidup ini hanya sementara. Jadi, jangan kau isi dengan penyesalan. Kau masih muda. Masih banyak kebahagiaan yang akan kau temui nanti. Ini bukan akhir segalanya.”

“Tapi, aku tak mempunyai harapan lagi.”

Inten merapikan kainnya. “Begini, sekarang aku sedang terburu-buru. Jadi, tak punya waktu banyak untuk menasihatimu. Aku hanya bisa bilang, pikirkanlah baik-baik. Nasibmu ada di tanganmu sendiri. Sekarang tidurlah. Hari ini kau terlalu lelah. Besok pagi saat kau bangun dan bisa berpikir jernih, kita akan membicarakannya lagi.” Inten lalu melenggang pergi meninggalkan Molek yang mengawasinya dari atas tempat tidur.

Zein menuruni bendi dengan ragu-ragu. Dia mengutuki mulutnya yang berteriak menyuruh berhenti di kamar bola (gedung tempat pembesar Belanda mengadakan pesta). Dia pernah datang ke tempat ini. Tempat yang penuh kegembiraan. Orang tertawa, berdansa, makan, minum, menikmati dunia.

Dia masih ragu-ragu berdiri di depan pintu. Saat membulatkan tekad untuk berbalik arah, dia melihat orang yang ingin dilihatnya sedang tertawa gembira dikelilingi banyak lelaki. Sosok tubuhnya indah, terbungkus baju biru bersulam benang perak.

Zein menghampiri. “Molek, aku ingin bicara denganmu.”

“Hei, jangan seenaknya. Hari ini aku sedang berpesta. Kalau kau mau dihibur, kau harus mengantre dan menunggu giliranmu,” kata lelaki yang berdiri di samping Molek.

Zein menatap lelaki itu marah. Molek memegang tangan lelaki di sampingnya. “Dia saudaraku. Jangan salah paham. Dia mungkin membawa kabar dari rumah. Izinkan aku berbicara dengannya. Kau jangan marah. Aku janji hanya sebentar dan segera kembali untukmu.”

“Baiklah, tapi jangan terlalu lama.”

“Tidak akan,” jawab Molek, meyakinkan.

Molek berjalan mendahului Zein keluar ruangan. Mereka terus berjalan dalam diam, lalu berbelok ke samping kamar bola yang agak gelap dan sepi. Setelah yakin mereka hanya berdua, Molek mengulurkan tangan menyalami Zein. “Apa kabar, Mang?” tanya Molek.

Dia takut dan malu mengingat kejadian terakhir saat mereka bertemu. Dia juga gembira, karena Zein masih mau menemuinya. “Sudah lama kita tidak bertemu. Mungkin sudah tiga bulan lebih. Bagaimana perjalanannya? Apakah Abah juga sudah pulang? Apa Abah sehat?”

“Mengapa kau begitu tenang?” kata Zein, marah. Tangannya terkepal memukul dinding batu.

Molek terpekik, memegangi tangan yang memar dan memerah. Dia mengeluarkan saputangan dari balik setagen dan membalut tangan Zein. “Mengapa kau menyakiti dirimu seperti ini?”

Zein mencengkeram bahu Molek dan mengguncangnya keras. “Kau yang mengapa? Mengapa kau melakukan ini? Aku mendengar semuanya. Tentang kecantikanmu, kepandaianmu yang memikat banyak pria. Bahkan, wali kota senang bercakap-cakap denganmu. Mengapa kau menyiksaku seperti ini? Setiap kali mendengar berita tentangmu, dada ini menjadi sakit. Seakan ada seribu jarum yang menusuk-nusuk. Aku tak bisa tidur. Tak bisa berpikir yang lain selain dirimu. Kau memenuhi kepalaku, menutupi mata ke mana pun aku memandang. Aku sudah tak kuat lagi mendengar dan melihat kau bersama lelaki-lelaki itu. Kau hanya milikku. Aku tak ingin membaginya.”

Zein menatap Molek lekat-lekat. “Kita akan menikah dan aku akan menyembunyikanmu hanya untukku. Kau tahu bahwa kau hanya milikku.”

“Terima kasih. Aku… aku sangat bahagia.” Tangan Molek bergetar ketika menyentuh wajah yang dirindukannya itu. Mata tajam dengan alis tegas, hidung mancung, dan dagu berbelah. Kini dia bisa menyentuhnya.

Zein menarik Molek, memeluknya erat, ”Aku akan menemui Anas besok dan melamarmu.”

Molek membeku. Dia seakan disentakkan kembali ke bumi, terjatuh keras. Dia menjauhkan diri. “Tidak. Itu tidak bisa. Aku sudah keluar dari rumah. Aku sudah membuang diriku sendiri.” Molek mundur dan berbalik. “Aku memang ingin jadi istrimu, tapi sudah terlambat. Waktu sudah tak bisa diputar ulang. Aku tak berhak mendapat kehormatan itu.”

Molek tak bisa membayangkan reaksi Abah. Dia takut memikirkan Yusuf dan keluarga besar Zein. Jika Zein menikah lagi dengan wanita baik-baik dari keluarga biasa, pasti bisa diterima. Tapi, mengambil perempuan nakal yang pernah bertunangan dengan anaknya, pasti akan ada badai, kebencian, dan kemarahan. Dia tak ingin Zein terlibat masalah, kehilangan persahabatan dan rasa hormat dari orang sekitarnya.

“Maafkan aku. Aku mencintaimu, tapi aku tak bisa menjadi istrimu. Aku harus pergi. Jika kau mau menerima hubungan diam-diam, datanglah padaku, kapan pun kau mau. Aku akan selalu menunggumu.”

“Aku akan membantu Adenan langsung di lapangan.”

Molek mengangguk setuju.

Zein tampak heran. “Kenapa kau tidak melarangku?”

Molek menggeleng. “Sedari dulu aku tahu kau seorang pejuang yang berani melakukan apa pun demi cita-cita muliamu. Aku tak akan menghalangi.”

“Tapi, kita tak bisa bertemu seperti ini lagi, Zein membantah tak puas. Mungkinkah Molek tak peduli pada keselamatannya? Bukankah ada banyak lelaki yang mengelilingi, memberi perhatian dan cinta tak terbatas untuknya. Jadi, apalah artinya jika harus kehilangan satu.

“Kita pasti bisa bertemu lagi. Jangan khawatir, aku tetap mencintaimu.”

Molek tak ingin begitu tenang. Dia ingin memeluk Zein dan melarangnya pergi. Tapi, dia harus penuh pengertian, mendukung Zein dan menjadi kebalikan dari istrinya di rumah. Dia harus tampak dewasa, matang, lembut, dan membawa ketenteraman. Itu semua agar Zein kembali padanya. Agar Zein terus teringat padanya. Dengan Zein, dia harus selalu menggunakan akal sehat, meskipun hatinya tidak terima. Begitulah nasihat Inten kepada Molek agar bisa memenangkan hati lelaki ini.

Zein meraih tangan Molek. Dia tak ingin membahas sesuatu yang mungkin menyebabkan hatinya sakit. Karena itulah dia ingin pergi dan berjuang bersama Adenan. Dia ingin melarikan diri dari semua masalah ini. Betapa dia benci jika membayangkan Molek bersama lelaki lain, terutama Kapten Beaur yang kabarnya sangat mencintai Molek dan bermaksud menjadikannya istri.

Harum mawar makin kuat. Zein menunduk, menatap barisan bulu mata lentik dan berusaha tersenyum.
Molek menyandarkan kepala di dada lelaki itu.

“Apa itu kalung baru?” tanya Zein, saat melihat sekilas sinar kemilau di balik kebaya Molek.

Molek mengeluarkan sebentuk kalung yang tadi tampak tidak terlalu jelas karena tertutup kerah bajunya. Semalam Kapten Beaur datang dengan tangan tersembunyi di belakang. Mata birunya bersinar-sinar penuh semangat, ketika dia menyuruh Molek menebak apa yang dibawanya.

“Apakah itu bunga? Bunga mawar merah harum untuk menghias rambutku?” Molek pura-pura menebak, padahal dia tahu betul barang itu pasti perhiasan. Selama ini Kapten Beaur membanjirinya dengan itu.

“Mawar memang selalu membuatmu lebih cantik. Tapi, ini bukan mawar, ini lebih istimewa.”

“Apa itu?” tanya Molek, seakan sangat antusias.

Kapten Beaur mengulurkan sebuah kotak. “Ini agar kau bertambah cantik. Bukan karena kemilaunya. Kau jauh lebih menyilaukan dari itu. Tapi, karena kebahagiaan yang memancar dari wajahmu, karena tahu aku mempersembahkannya sebagai tanda cintaku padamu.”

Ketika Molek membuka tutup kotak, matanya menatap sebentuk kalung yang berkilau ditimpa cahaya. Kalung emas itu terdiri dari dua rantai emas, yang di sepanjang rantainya bergantungan burung-burungan berhias intan. Di bagian tengah ada liontin besar berukir bunga, juga dihiasi intan. Kalung yang sungguh indah, orang menamainya kalung anak ayam.

Molek tahu, kalung ini bukan kalung sembarang. Hanya keluarga bangsawan yang sangat kayalah yang memilikinya. Molek ingat Nyai mempunyai satu kalung anak ayam, warisan keluarga besar. Semua anggota keluarga boleh meminjamnya untuk dipakai. Nyai hanya menyimpan dan merawatnya.

“Apakah kau juga mencintaiku?” tanya Beaur.

Molek memandang mata biru yang membuatnya tenang dan nyaman. Hati Molek melembut. Dia mengangguk. Kapten Beaur seperti pria dalam khayalannya dulu, pintar, cerdas, menghormati dan memperlakukannya sederajat. Mereka sering berbicara bersama dan Molek menyukainya.

Molek meraba kalungnya.

“Aku benci kalung itu.”

Molek terkejut melihat api yang membakar di mata Zein. “Jangan marah. Aku akan melepasnya. Aku tadi lupa hingga terus memakainya.”

“Kau tak pernah membiarkanku memberikan sesuatu padamu, tapi kau memamerkan perhiasan yang diberikan pemujamu itu. Apa maksudmu? Apa kau tidak tahu hatiku sakit melihat benda-benda itu di tubuhmu?”

Emosi Molek kini tersulut seperti sepercik api yang jatuh ke padang rumput kering, berkobar begitu cepat. “Seharusnya kau mengerti. Itulah perbedaanmu dengan lelaki lain. Kau bukan mereka yang harus memberikan sesuatu padaku untuk menarik perhatianku. Karena, hanya kau yang bisa memberikan kebahagiaan yang lebih berharga dari perhiasan apa pun. Jika kau memberiku sesuatu, maka tak ada bedanya kau dengan lelaki lain. Atau, bagimu aku hanya wanita penghibur yang bisa kau beli dengan uang?”

Molek membuka kait kalungnya. Dihempaskannya kalung itu ke lantai. Beberapa butir intan terlepas dari tempatnya. Zein memungutinya.

“Maafkan aku,” katanya menyesal.

“Buang saja,” bentak Molek.

“Sudahlah maafkan aku,” kata Zein memberikan kalung itu pada Molek. “Aku berjanji tak akan berpikir macam-macam lagi. Jadi, jangan marah.”

“Aku tak ingin lagi melihat kalung itu, jadi buanglah, Molek berkeras. Diambilnya napas panjang untuk mengurangi nyeri hatinya. Kenapa mereka sering sekali saling melukai, meski tak berniat menyakiti. Bukankah kami sama-sama saling mencintai? Mestinya kami sangat bahagia, tapi kenapa makin hari kebersamaan ini makin melelahkan? Kenapa bersama Zein tidak semudah yang dibayangkannya? Bersamanya dia seperti digulung ombak besar yang kadang mengempasnya ke puncak kebahagiaan atau ke puncak kesedihan. Apakah mencintai seseorang itu tak mudah? Atau, karena ini cinta terlarang?

“Tapi, kalung ini sangat mahal. Bagaimana kau menghadapi Beaur jika mengetahui kalung ini tak ada. Dia bisa marah. Kau akan celaka.”

“Jangan khawatir. Dia tak pernah marah padaku.”

Tahun 1941
Molek berlari keluar rumah. Rambutnya terurai panjang tak disanggul. Hari ini dia tak memedulikan penampilan yang biasanya selalu apik. Selama ini tak pernah dia keluar rumah tanpa memastikan dandanannya rapi dan bergaya. Tapi, tidak sekarang, saat hatinya dicengkeram ketakutan.

Di depan pintu pagar, sebuah mobil berhenti. Molek berlari me­nyongsong diikuti pembantunya. “Apa yang terjadi?” tanyanya, panik.

Wakil kepala opsir membiarkan pembantu Molek membukakan pintu baginya, lalu berkata tenang, “Kami sudah mendapat perintah membakar kampung dua puluh enam.”

“Tidak,” jerit Molek, ketakutan. Dia ingin berlari, tapi tangan Van Houven memegangi lengannya.

“Maafkan saya, tapi Anda tidak boleh ke sana. Di sana sangat berbahaya.” Van Houven mengamati wajah cantik yang kini bersimbah air mata. Betapa eloknya, bahkan dengan wajah basah seperti ini. Sebentar lagi wanita ini pasti akan menimbulkan pertikaian untuk memperebutkannya.

“Tapi, di sana ada keluargaku,” Molek membantah, sambil terisak. Bagaimana dengan Abah, Mbuk, dan Nyai yang sudah tua? Dia seakan melihat Nyai di tengah kobaran api, juga Denti yang berlarian, sambil berteriak-teriak memanggil–manggil anaknya. Apakah mereka semua selamat?

Molek tak kuasa berdiri. Badannya lemah hingga terjatuh ke tanah. Kepalanya tertunduk dan tubuhnya berguncang oleh tangis yang hebat.

Van Houven berjongkok di depannya. “Jangan takut, Nyonya. Sebelum kampung dua puluh enam dibakar, kami sudah mengungsikan orang-orang. Kami tidak mengganggu rakyat biasa. Yang kami cari adalah tentara pemberontak. Sejak Kapten Beaur terbunuh di situ, kami sudah menjaga ketat kampung dua puluh enam, karena kami mendapat informasi bahwa pasukan Zein bersembunyi di sana. Tapi, kami yakin bisa menangkap mereka.”

Tangis Molek menjadi. Ini pasti ganjaran atas dosa yang telah dibuatnya. Orang-orang yang tidak bersalah menderita karena dia. Dia telah memberitahu Zein bahwa persembunyiannya sudah diketahui dan Beaur memimpin pasukan berangkat untuk menangkapnya. Bukannya melarikan diri, Zein bersembunyi bersama pasukannya, menunggu sampai tentara pimpinan Beaur lewat, lalu menyerbu dan membunuh hampir semua pasukan, termasuk Beaur.

Dada Molek seketika bertambah nyeri. Tiba-tiba dia merasakan gerakan kecil di perutnya. Dipeganginya perut itu saat Van Houven membantu berdiri.

“Bawalah nyonyamu masuk. Usahakan agar dia istirahat. Panggillah dokter untuk memeriksa kandungannya,” kata Van Houven pada pembantu Molek. Dia berbalik, tapi Molek mencengkeram kedua lengannya kuat-kuat.

“Bantulah aku. Kumohon, jika aku tak boleh ke sana, tolong pastikan keluargaku selamat. Kumohon.” Suara Molek timbul tenggelam di antara tangis.

Van Houven mengangguk.

“Berjanjilah untuk mengabari saya secepatnya, demi apa pun yang paling Anda cintai, Tuan,” kata Molek, tanpa melepaskan lengan itu. Setelah melihat Van Houven mengangguk, Molek melangkah ditopang pembantunya.

Kampung ini rata dengan tanah, kayu-kayu rumah jadi arang menghitam berserakan di mana-mana. Hanya itu bekas yang tertinggal. Meski pemandangan di sana-sini sama rata, Molek tetap tahu arah berjalan. Di tengah puing-puing kehitaman itu Molek melihat sosok yang menggetarkan hatinya. Dia berjalan pelan, menghampiri orang yang tengah mengorek-ngorek tumpukan arang hitam. Seorang wanita berdiri setengah membungkuk di sampingnya.

Molek berhenti berjalan di depan lelaki tua itu. Dia diam tak bisa mengucapkan seribu kata yang berdesakan di kepalanya. Air mata menetes melihat tangan tua itu kotor menghitam oleh debu, tanah, dan arang yang digalinya. Wanita di sampingnya membeku saat matanya mengenali Molek.

“Lihat ini, aku menemukan sesen, lihat! Mungkin di bawah ini ada lebih banyak lagi.” Lelaki itu menunjukkan sekeping uang logam yang hitam terbakar pada wanita di sampingnya. Molek melihat betapa letih dan tuanya wajah itu.

“Molek!” serunya terkejut, ketika melihat Molek. “Oh, Molek, lihat rumah kita. Rumah kita terbakar, Nak. Habis sudah, hilang semua dilalap api. Kita tak punya apa-apa lagi. Tapi, lihat ini, Abah menemukan uang,” Abah berbisik pelan, sambil menoleh ke kiri dan kanan, “Abah yakin, masih banyak uang di bawah sini. Abah akan menggali dan menemukan semuanya.”

Molek terisak. Mbuk juga terisak.

“Kenapa kalian menangis? Kau, Molek, bukankah seharusnya ada di sekolah? Kenapa di sini? Ayo, kembali ke sekolah. Abah tak suka punya anak pembolos. Atau, kau sudah pulang? Kalau begitu, cepatlah kembali ke rumah, bantulah Nyai memasak mangut ikan. Ja­­ngan langsung berenang di sungai.”

Molek menghapus air matanya. Dia telah mendengar banyak orang sakit dan terganggu jiwanya karena tak sanggup kehilangan harta benda. “Abah juga harus pulang. Mari pulang bersama kami.”

“Tapi, aku harus menggali uang. Nanti bisa ditemukan orang la­­in.” Wajah tua itu kini tampak panik dan takut.

“Biar Molek yang mencari. Abah pulang saja, mangut ikannya nanti dingin. Nyai akan mengomel, jika harus memanasi lagi.”

“Baiklah, ayo, Mbuk, kita pulang. Memang tidak baik membiarkan nasi jadi dingin.” Abah berjalan mendahului, tapi lalu berhenti. “Tapi, kita mau pulang ke mana? Ini rumah kita. Rumah kita habis dibakar Belanda. Kita tidak punya rumah lagi. Habis sudah, habis semua.” Abah menangis seperti anak kecil. Mbuk memeganginya, berusaha menenangkan.

“Abah bisa pulang ke rumahku. Aku akan mengurus Abah.”

“Rumahmu? Apa yang kau katakan? Kau tak punya rumah,” tanya Abah.

“Aku punya rumah, Abah. Besar dan bagus. Abah pasti senang tinggal di sana. Ayo, pulang,” ajak Molek, sambil menuntun bapaknya.

Abah menyentakkan tangan Molek. Wajah tua itu tiba-tiba me­ngeras. Dalam sekejap kesadarannya telah kembali dan dia men­jadi orang yang sama dengan orang yang dulu.

“Rumah penjajah!” Matanya kini berapi-api penuh kebencian. Wajah yang tadi tampak letih dan bingung kini berubah keras dan pasti. “Pergilah. Jangan temui kami lagi. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa lupa bahwa kau bukan lagi anakku. Ayo, Mbuk, kita pulang ke tangsi.”

“Abah,” panggil Molek, menjatuhkan diri, memeluk kaki ayahnya, “Maafkan aku, Abah. Tolong maafkan aku. Aku tak tahu bagaimana caranya bisa mendapat maaf dari Abah. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta. Mohon maafkan aku. Ampuni kesalahanku. Aku merindukan kalian semua. Aku ingin sekali merawat Abah, menjaga Mbuk dan Nyai, bersama seperti dulu lagi. Kumohon izinkan aku memperbaiki kesalahanku.” Molek mencium kaki ayahnya.

Air mata Abah menitik membasahi pipi keriputnya. Dia bicara sangat perlahan, hingga hanya Molek yang bisa mendengarnya. “Dari dulu Abah sudah memaafkanmu, Nak. Tapi, kau juga harus memaafkan Abah. Karena meskipun aku memaafkanmu, kau tetap tak bisa kembali bersama kami.”

Air mata Abah menitik membasahi pipi keriputnya. Dia bicara sangat perlahan, hingga hanya Molek yang bisa mendengarnya. “Dari dulu Abah sudah memaafkanmu, Nak. Tapi, kau juga harus memaafkan Abah. Karena meskipun aku memaafkanmu, kau tetap tak bisa kembali bersama kami.”

Abah berjalan pergi meninggalkan Molek yang terduduk di tanah. Mbuk mengusap air mata, berjalan mengikuti suaminya, tidak mengucapkan apa pun. Dia sebenarnya ingin memeluk, mencium, membayar semua kerinduan pada anaknya yang selama ini tertahan. Dia ingin berteriak, memarahi suaminya, karena sifat keras kepalanya membuat derita baginya. Tapi, sampai kapan pun, dia tetap istri yang baik, seperti yang selalu diajarkan orang tuanya. Istri yang berdiri di belakang suami, mengikuti suami tanpa pertanyaan, tanpa sanggahan, meskipun hati terkadang memberontak.

Tahun 1967
Sungai Musi masih tetap mengalir ke laut, meski zaman telah berganti. Tapi, di sekitar sungai banyak yang berubah. Rumah-rumah makin bertambah. Sebuah jembatan besar berdiri megah menghubungkan hulu dan hilir. Jembatan itu seolah mengumumkan pada semua mata bahwa tujuan perjuangan telah tercapai, negara sudah merdeka. Ini adalah salah satu bukti kedaulatannya.

Molek berdiri di tepian, memandangi ombak-ombak yang dibuat angin dan perahu. Puluhan burung layang-layang asyik terbang tinggi di atas sungai yang membiaskan warna merah langit di tempat matahari terbenam. Dia mengeratkan selendang yang dipermainkan angin, menyipitkan mata, berusaha mengenali orang yang sedari tadi ditunggunya.

Seminggu yang lalu, tanpa diduga-duga Yusuf datang membawa kabar. Dia tak bisa berlama-lama, namun membuat janji bertemu Molek minggu berikutnya. Kini Molek menunggu perahu yang ditumpangi Yusuf mendekati dermaga. Dia melihat Yusuf naik ke daratan saat perahu menyandar ke tepian.

“Kau tampak letih,” kata Molek mengamati.

“Memang aku sangat capek, kemarin sibuk sekali. Rentetan acara setelah pemakaman itu begitu menyita waktu. Tapi, semua telah selesai.”

Yusuf merogoh sakunya, mengulurkan ponjen (tas kecil) tua yang terbuat dari kain biru. “Sebelum sakit, Abah menitipkan ini untuk diberikan padamu.”

Molek menarik tali pengikat ponjen, lalu mengeluarkan sebuah kotak yang sama lusuh dengan ponjen yang membungkusnya. Di dalam kotak terdapat seuntai kalung anak-anak ayam yang segera dikenalinya. Kalung itu masih sama seperti dulu, emas dan butiran intan yang menghiasi burung-burungan berkilat-kilat menyilaukan mata. Liontin berada di atasnya, terpisah dari kalung. Di tempat liontin itu seharusnya berada, digantikan sebuah bintang tanda penghargaan yang cemerlang ditimpa sinar matahari senja.

“Ini…,” Molek tak bisa meneruskan kata-katanya.

“Kata Abah, ini kalungmu. Bintang itu penghargaan yang diterimanya. Abah ingin semua menjadi milikmu.”

Sinar bintang itu seakan menusuk hatinya, luka lama terkoyak kembali. Molek tak ingin kalung ini, apalagi tanda jasanya. Dia tak ingin apa pun dari masa lalu, yang bisa mengingatkannya pada bencana yang telah dibuatnya. Dia ingat, setelah semua kejadian itu, dia tak pernah bertemu lagi dengan Zein. Molek selalu meng­hindari Zein yang jadi terkenal karena telah meng­habisi pasukan Belanda. Nama Zein begitu harum di seluruh pelosok negeri.

Sekarang, karena seuntai kalung ini, dia diingatkan pada mimpi buruknya, pada Abah yang tak sanggup hidup menanggung kesulitan bertubi-tubi, lalu menjadi gila, sakit, dan meninggal beberapa bulan setelahnya, pada Denti yang kehilangan anak satu-satunya, karena terpisah dari keluarga.

Molek sekarang seakan bisa melihat seluruh keluarganya pergi dari kampung halaman, mencari kehidupan baru, melupakan semua hal yang mengingatkan mereka pada malapetaka menyedihkan, meninggalkannya dalam hidup yang tak tertanggungkan oleh kebencian akan diri sendiri.

Hatinya sakit, mengingat Nyai yang dalam usia senjanya harus melakukan perjalanan panjang dan meninggal karena kelelahan. Itu kabar terakhir yang didengarnya. Sejak itu dia tak pernah mendengar apa pun. Dia kehilangan segala yang berarti, yang baru disadari setelah semua pergi.

Molek menggenggam kalung itu, seakan ingin meremasnya menjadi debu, dan berkata penuh emosi, “Jika hidup bisa diulang kembali, aku lebih memilih untuk menjadi istrimu.”

Yusuf merenungi ombak yang makin tinggi. Langit merah tempat matahari terbenam kini perlahan berwarna kelabu. Burung layang-layang makin berkurang. Satu per satu kembali ke sarangnya.

“Kau tak seharusnya tenggelam dalam penyesalan. Meski kejadian ini kau hindari, pasti tetap terjadi. Ini adalah cerita hidup yang sudah digariskan untukmu. Semuanya sudah ditentukan lama sekali. Meskipun hidupmu adalah pilihanmu, tapi takdirmu sudah ditentukan bagimu. Masa depanlah yang harus kau perjuangkan untuk orang yang menggantungkan hidupnya padamu. Karena sekarang, itulah alasan hidupmu.”

Molek dengan kasar menghapus air mata. Dia menyadari kebenaran kata-kata itu, namun marah karena harus mendengarnya dari Yusuf. Yusuf yang baik, Yusuf yang selalu baik. Tanpa pamit dia berbalik dan meninggalkannya.

Seorang gadis cantik, berambut kecokelatan, berkulit putih, yang sedari tadi berdiri di samping Molek dan mendengarkan pembicaraan mereka, mengikuti langkahnya. Tiba-tiba gadis itu berhenti, berpaling memandang Yusuf. Matanya yang cerdas berwarna kelabu kebiruan menyorotkan sinar bimbang. Tapi, sedetik kemudian kembali berjalan mengikuti langkah ibunya.

No comments: