12.22.2010

Namaku, Arimbi

PROLOG
Setumpuk arsip tua teronggok di atas meja tulis yang terbuat dari kayu jati yang warna peliturnya mulai pudar dimakan waktu. Sorot mata Dayu menatap tajam secarik kertas buram dalam genggamannya. Sudah tak terhitung, berapa belas kali isi surat ditatapnya, tetapi setiap kali itu pula otaknya gagal mencerna makna isi pesan surat. Secarik surat yang ditulis tangan.

Baris demi baris, goresan tinta yang warnanya mulai pudar dimakan waktu coba dipatri di benak Dayu yang masih belum hilang kalutnya. Baru dua hari ia datang di Subang. Sebuah kota kecil persinggahan yang menghubungkan kota-kota di sebelah selatan Jawa Barat dengan kota di sebelah utaranya.

Dayu mencoba meregangkan tulang punggungnya di atas kursi kerja ayahnya, menghadap sebuah meja kerja tua yang dipenuhi kenangan masa silam. Sejak pagi ia tenggelam di ruang kerja pribadi yang dulu sangat diakrabinya. Tempat di mana ayahnya banyak menghabiskan waktu selepas masa pensiun di penghujung tahun 80-an. Di ruangan berukuran dua belas meter persegi ini, Dayu kecil bisa betah berjam-jam bercengkerama dengan ayah, atau tenggelam di tengah tumpukan buku.

Ruang kerja ayahnya menjadi tempat favorit Dayu, karena di sini tersimpan ratusan bahkan ribuan buku. Ayah pernah bercerita, buku-buku tadi dikumpulkannya sejak ia masih duduk di bangku  SD hingga lulus perguruan tinggi. Koleksinya bertambah saat ayah mulai bekerja di sebuah perkebunan milik negara. yang dikumpulkan.
”Dayu harus merawat buku-buku ini, seperti benda berharga lainnya,” tutur ayah sambil mengelus rambut gadis cilik satu-satunya yang tengah duduk di atas pangkuannya. Saat itu Dayu menganggukkan kepalanya dengan pasti. Ingatan ini kembali berkelebat setelah lebih seperempat abad kemudian.

Sedari pagi wanita yang usianya sudah merambat hampir ke angka 30 ini, nyaris tidak keluar dari ruang yang merekam masa-masa indah dulu. Beberapa buku yang mulai berdebu dan berbau apak, dibukanya satu per satu. Mulai dari buku ilmu botani, kamus tebal bahasa Belanda, hingga kumpulan buku kerja dibukanya hati-hati. Sudah tak terhitung lagi, berapa buku yang sudah dibacanya, sampai akhirnya Dayu memutuskan untuk pergi menemui beberapa orang saudara dan kerabatnya di ruang keluarga, yang mencoba menghibur ibunya yang belum sepenuhnya bisa merelakan kepergian suami tercinta.

”Yu, Ayah tos ngantunkeun (Ayah sudah meninggal),” suara Ibu yang lirih nyaris tak terdengar si ujung telepon seakan menyentak konsentrasi Dayu di suatu siang, tiga hari lalu. Pesan singkat via telepon itu diterima Dayu, saat ia tengah tenggelam menyelesaikan naskah disertasinya, di sebuah perpustakaan universitas di pinggiran London. Pesan ibunya yang diterima dari telepon seluler 3.5G yang kini jadi teman setianya saat ia terpisah ribuan kilometer dari Tanah Air, seharusnya tidak mengagetkan.

Ayah memang sudah lima tahun terakhir harus berobat secara rutin ke dokter jantung. Sebagai administratur perkebunan yang membawahi ribuan karyawan, dari mulai staf di afdeling, sopir traktor pengangkut lateks hingga tukang sadap karet, Dayu kenal betul karakter ayahnya. Bram Nataatmadja dikenal sebagai pekerja keras yang tidak pernah mau kompromi dengan waktu.

Setiap pekerjaan harus diselesaikan tepat waktu. Dikenal tegas pada bawahan, namun sangat menghormati perbedaan pendapat. Ayah yang dikenang Dayu adalah sosok pemimpin yang sangat dekat dengan bawahannya. Tak heran, banyak orang sangat kehilangan di saat harus mengakhiri masa tugasnya di sebuah afdeling. Maklum tiap tiga sampai empat tahun sekali keluarga Bram yang dikaruniai tiga putra – dan kemudian seorang putri cantik – kerap berpindah tempat. Pihak direksi biasanya akan menugasi Bram ke afdeling yang dianggap memiliki reputasi buruk. Tangan dinginnya mampu menyulap sebuah perkebunan yang tadinya minim produksi menjadi mesin uang bagi perusahaan.

Tak heran bila reputasinya diakui di kalangan direksi. Namanya kerap dijadikan referensi di berbagai rapat direksi. Tanpa kecuali pucuk pimpinan pun mulai melirik prestasi Bram. Sedikitnya sebulan dua kali ia berangkat ke kantor pusat di Bandung, bertemu dengan dewan direksi, untuk mendapat laporan terkini perkembangan di daerah. Tak jarang, Bram dipanggil ke ruang direktur utama hanya untuk sebuah pertemuan empat mata.

Prestasi Bram, sejujurnya memang membanggakan para kolega dan karyawannya. Tapi, tidak sedikit yang memandangnya dengan nyinyir. Di mata mereka, Bram tidak lebih karyawan yang mencoba mengambil hati direksi dengan segala kerja kerasnya. Tapi, Bram berusaha menulikan komentar miring tadi.

Pernah memang, dari penuturan ibu dulu, karier ayahnya sempat berada di ujung tanduk. Tiba-tiba jabatannya sebagai koordinator administratur digoyang beberapa koleganya, sampai akhirnya nyaris tidak memiliki posisi jelas selama hampir dua tahun. Menghadapi situasi sulit ini, keluarga Bram harus hidup lebih prihatin. Terlebih di saat itu perekonomian negara mulai morat-marit.

Pendulum politik luar negeri Presiden Soekarno yang cenderung bergerak ke negara-negara sosialis menjadi slah satu pemicunya. Negara-negara Barat yang sangat alergi dengan siapa pun yang cenderung kekiri-kirian, selalu memberikan tekanan ekonomi. Tanpa kecuali Indonesia. Sejak saat itu, ekonomi negara morat-marit, rakyat harus berjuang hanya untuk mendapat setengah karung beras, atau sejeriken minyak tanah.

Begitu pun keluarga Bram. Dengan penurunan pangkat, belum lagi gaji bulanan yang dipangkas lebih dari setengahnya, membuat mereka harus mengetatkan ikat pinggang. Untunglah, keluarga muda ini mampu mendada cobaan demi cobaan. Meski sempat dijauhi kolega dan sahabat dekat, tapi, akhirnya reputasi Bram kembali pulih. Kariernya mulai merangkak naik, meski tidak sepesat sebelumnya. Sampai kemudian posisinya sebagai administratur kembali disandangnya.

Ketika perekonomian keluarga kembali pulih, ayahnya yang baru dikaruniai tiga putra, merindukan kehadiran seorang anak perempuan. Tidak mudah memang mewujudkan harapan ini. Bahkan sempat sekali keguguran, pasangan ini mencoba berbagai ikhtiar untuk bisa memperoleh momongan baru.

Baru di pertengahan tahun tujuh puluhan, keluarga ini dikaruniai seorang bayi mungil, perempuan! Kehadiran Idayu Nataatmadja melengkapi kebahagiaan keluarga yang kini berjumlah enam orang. Setidaknya, cerita itulah yang diperoleh Dayu, panggilan sayang kedua orang tuanya kepada Idayu dari mulut sang bunda.

Dayu sendiri merasakan kecintaan kedua orang tuanya, serta ketiga kakak lelakinya menjadi sumber inspirasi untuk bisa membalasnya melalui sikap mandiri. Dibesarkan di tengah keluarga yang mayoritas pria, menjadikannya sosok wanita yang mandiri, atau bahkan terlalu mandiri. Tak heran, meski pernah beberapa kali berkenalan dengan teman pria, tapi sejauh ini belum ada satu pun yang membuatnya nyaman menjadikan satu dari mereka sebagai sandaran ketika ia butuh tempat berlindung. Ada Tomi yang aristokrat, atau Roy yang cenderung melankolis, Budi yang cerdas tapi sedikit egois, Miko yang cuek tapi sangat perhatian, atau bahkan Pram yang santun namun sedikit misterius.

Semuanya berjuang merebut hati Dayu, primadona kampus di Universitas Padjadjaran yang dikenal cerdas, kritis, tegas tapi cenderung bimbang saat menentukan pilihan pada pria yang mungkin akan menjadi pendamping hidupnya kelak.

Kedekatan Dayu dengan ayahnya, sudah menjadi rahasia umum. Semua yang mengenal Dayu seakan mahfum bila melihat sorot mata wanita bertinggi hampir 170 centimeter ini yang menyimpan perasaan bangga, hormat sekaligus cintanya pada figur sang ayah.

Tidak heran, bila Dayu kerap kali sulit menemukan sosok pria yang punya kemiripan dengan figur ayah. Di mata wanita yang selalu menempati rangking pertama sejak di bangku SD ini, dan mendapat beasiswa sejak semester 3 hingga tuntas kuliah, figur ayah nyaris tak ada bandingannya. Seolah figur tanpa cacat.

AGENDA KERJA 1964
Saat langkah Dayu hendak beringsut keluar dari ruang kerja ayahnya, entah kenapa, langkahnya mendadak terhenti saat matanya tertuju pada punggung sebuah buku berukuran sedang, Agenda Kerdja 1964. Letaknya di antara himpitan buku teks tentang ilmu tanah berbahasa Belanda. Maklum Bram Nataatmadja, ayahnya Dayu, menguasai sedikitnya tiga bahasa asing secara aktif: Inggris, Belanda dan tentu saja Jepang. Perlahan buku berjaket kulit imitasi berwarna merah marun diambilnya dari rak buku yang menyimpan banyak cerita ini
Semula, Dayu tidak terlalu tertarik dengan buku agenda setebal centimeter ini. Setelah membolak-balik sebentar, tadinya Dayu akan mengembalikannya ke rak buku. Tiba-tiba, ”Hup!” secarik kertas putih terjatuh ke lantai dari himpitan lembaran kertas buku tua.

Setelah diamati, ternyata secarik amplop putih bergaris merah dan biru yang warnanya mulai memudar. Masih menggamit buku di tangan kiri, jemari kanan Dayu yang tampak terawat rapi berusaha menjangkau surat di lantai.

Tidak ada yang istimewa, di bagian muka tertulis jelas ”Dear Bram di Tempat,” dengan tulisan halus miring. Seakan ditulis dengan sangat hati-hati. Entah perasaan apa yang mendorong Dayu berusaha merogoh ke dalam amplop, yang jelas isinya hanya selembar kertas yang lagi-lagi warnanya putihnya sudah memudar dan mengeluarkan aroma apak.

Isi surat terbilang singkat. Seperti ungkapan perasaan yang penuh kasmaran. Mata Dayu menelusuri seiap kata, setiap baris, dan berusaha menghayati helaan nafas sang penulis.

Bandung, 1 Juli  1965

Yang terormat,
Kang Bram

Tak terasa kita sudah hampir 2 bulan tak berjumpa. Rindu membucah dalam dada tuk bersua dengan Akang. Banyak yang hal harus disampaikan. Tapi, situasi sekarang tidak memungkinkan kita sering bertemu. Dinda khawatir dengan keadaan Akang di Subang, takut terjadi apa-apa. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu apa pun.

Jangan sampai surat ini diketahui Teh Asti, ya Kang. Hubungan kita jangan sampai tercium oleh siapa pun, termasuk Teteh Asti, istri Akang.

Kalau ada waktu, secepatnya Akang segera ke Bandung, Dinda ingin segera bertemu, ada hal yang harus disampaikan. Seperti biasa, di tempat kita sering bertemu, di Jalan Tikukur.

Perlu Akang ketahui, hatiku hanya untuk Akang seorang.
Bila kita bertemu nanti, panggil saja namaku, Arimbi.

Peluk cium,
Arimbi.

Saat membaca setiap kata di surat yang ditulis dengan huruf sambung yang indah ini, nafas Dayu seakan tercekat. Hampir sekujur tubuhnya menegang di atas kusi kerja ayahnya. Seribu satu perasaan bercampur jadi satu. Kaget, geram, sekaligus remuk redam.

Bagaimana tidak, hanya dengan selembar kertas usang ini, hatinya serasa dirajam jutaan silet. Amarahnya meradang. Seluruh pikirannya kalut. Puncaknya, seakan seluruh langit runtuh menimpanya dalam kehampaan perasaan.

Setiap kali mencoba membaca tulisan yang berderet di atas kertas berukuran A5, beribu degupan memalu jantungnya. Dayu meruntuki kebodohannya. Ia menyesal harus membuka sampul surat. Hanya dalam waktu tidak kurang dari lima menit, sikap dan perasaanya pada almarhum ayahnya yang semula dipenuhi rsa hormat sekaligus cinta tanpa tepi berubah 180 derajat.

Kini, yang tersisa adalah rasa tidak percaya yang menggumpal dalam kerongkongannya. Tiba-tiba saja kecintaannya kepada ayah, sebagai figur kepala rumah tangga yang bertanggung, suami dari seorang istri yang sangat setia mentor yang senantiasa memberikan pencerahan ilmu, sekaligus sahabat yang mau berbagi cerita di kala suka dan duka sirna dalam sekejap.

”Ayah ternyata sama saja dengan pria lain, yang tidak pernah setia kepada pasangannya.”

Dayu merutuk dalam batin. Pikiran Dayu melayang ke masa-masa indah di waktu kecil dulu, menjadi ank kesayangan ayah, hingga dewasa. Gambaran ayah kini ibarat pigura pecah berkeping-keping.

Dayu hanya mampu menarik nafas dalam-dalam. Menarik dalam-dalam kepedihan dan kekecewaan hatinya.

TIKUKUR
Dayu menginjak pedal gas mobilnya hampir sampai ke dasar. Kendaraan yang disewanya untuk seminggu itu melaju kencang di atas aspal hotmix, yang membelah pekatnya malam di perbukitan kebun teh di daerah Ciater yang berhawa sejuk. Jemarinya mencengkeram kemudi, sementara irama R&B dari cakram MP3 nyaris memenuhi seisi kabin mobil. Itulah satu-satunya cara Dayu mengusir sepi.

Kelebatan sosok hitam di kanan-kiri jalan seakan menjadi penanda betapa cepatnya mobil abu-abu metalik itu menembus kabut di seputaran kaki Gunung Tangkuban Perahu. Saat kendaraan membelok ke kiri di sebuah tikungan menanjak, jantung Dayu tiba-tiba nyaris keluar dari rongga dadanya, ketika ia harus menginjak pedal rem mendadak. Ban radial beradu dengan aspal hitam menghasilkan kepulan asap berbau sangit.

Hati Dayu merutuk. Insting Dayu mengatakan, ada sekelebatan sosok hitam menyeberangi jalan secara mendadak. Langsung saja gerak refleksnya beraksi, ketika kakinya menginjak pedal rem. Dayu kaget bukan main. Ia menyangka yang melintas adalah seseorang yang mencoba menyeberang jalan. Tahunya, seekor macan kumbang hitam yang tengah mencari mangsa di malam hari. Untunglah kendaraan tidak sampai terguling ke dalam jurang di tepi kanan jalan. Posisi kendaraan berputar menghadap kembali ke arah Subang. Bahkan, bagian depan sudah berada di tepi bibir jurang.

Lepas dari kekagetannya, Dayu bersyukur karena luput dari musibah. Macan kumbang yang nyaris mencelakainya, sempat menengokkan kepalanya ke arah kendaraan yang ditumpangi Dayu. Tak lama kemudian, hewan malam itu melangkah menuju kegelapan malam.

Setelah menghidupkan kembali mesin, Dayu memutar kembali arah kendaraan menuju Bandung. Mengikuti instingnya. Mencari tahu identitas wanita bernama Arimbi, seperti yang tercantum pada surat yang ditujukannya pada Bram Nataatmadja. Ayahnya.

Kepergian Dayu kembali ke Bandung, memang tidak bisa dihalang-halangi oleh semua orang. Bahkan oleh ibunya, yang kini harus duduk di kursi roda sejak terkena stroke setahun silam. Setelah tiga hari tinggal di rumah orang tuanya, langkah Dayu tidak bisa dikekang lagi.

”Dayu, kenapa harus buru-buru pulang? Sudah nggak sayang Ibu? Ibu kesepian, Nak, masih ingin kamu temani,” pinta ibunya. Tetapi, hati Dayu yang remuk redam bergeming dengan bujukan ibunya.

”Bukan begitu, Bu, Dayu ada urusan penting di Bandung malam ini juga. Jadi harus pamit pada Ibu,” ujarnya.
Dayu merasa sangat berat harus meninggalkan ibunya saat itu. Tetapi, kekecewaan yang membuncah dalam sanubarinya seakan menjadi tembok tebal yang nyaris tak tergoyahkan. Ia sadar harus berbohong kepada wanita yang telah melahirkannya, lebih tiga puluh tahun silam.

Sekali lagi, kekecewaan pada ayahnya, yang menjadi pangkal keputusannya meninggalkan kota yang telah membesarkannya. Terbayang ibunya yang kini sangat bergantung pada perhatian kakak sulungnya, yang kebetulan memutuskan pindah berdinas di Subang. Jadi, perawatan ibunya kini sepenuhnya dipegang oleh keluarga kakaknya yang tinggal tidak jauh dari rumah peninggalan mereka.

Sebelum melepas putri tunggalnya, ibunya mencium kedua pipi Dayu. Tak lupa membisikkan pesan di telinga.
”Nak, bila menghadapi masalah atau perlu bantuan, jangan sungkan-sungkan bicara dengan Ibu.”

Dayu menangkap gelagat kecurigaan Ibu atas sikapnya. Ku Ibu didoakeun, sing lungsur-langsar (Ibu doakan supaya dimudahkan dari segala masalah), pesan ini masih ter­ngiang di gendang telinga Dayu, ketika melanjutkan perjalanan menuju Bandung.

Ada perang batin dalam diri Dayu sesaat setelah membaca surat yang terselip di dalam buku agenda ayahnya. Di satu sisi ia ingin menyampaikannya kepada ibundanya. Penasaran mencari jawaban atas pesan singkat yang ditulis Arimbi. Arimbi!

Tetapi, langkahnya surut saat melihat kondisi ibunya yang tampak tidak akan siap menghadapi kenyataan pahit ini. Jangan-jangan, bila disampaikan, malah akan memperburuk kondisi kesehatan Ibu.

Setelah stroke yang dialaminya, Ibu tidak boleh mendapat tekanan psikologis, agar tidak memperburuk kondisi fisik dan kejiwaannya. Bahkan, Dayu tidak berusaha menyampaikan masalah ini kepada saudara-saudaranya yang lain. Takut akhirnya berita ini sampai ke telinga ibunya. Bisa runyam nanti urusannya, pikir Dayu, seolah membenarkan argumennya.

Langkah Dayu menelusuri keberadaan wanita bernama Arimbi sudah mantap. Ia pikir, dengan mengetahui identitas wanita yang dipandangnya sebagai kerikil dalam hubungan Ayah dan Ibu, dan hubungannya dengan Ayah, mungkin akan mengurai teka-teki yang menggelayut dalam benaknya selama ini.

Tidak ada petunjuk lain selain sepucuk surat yang kini tersimpan dalam ransel laptop-nya. Bukti autentik affair ayahnya dengan wanita penggoda bernama Arimbi! Dayu geram memikirkan masalah yang sulit ditepis dari pikirannya. Geram terhadap kemunafikan ayahnya, yang selalu menunjukkan kehangatannya sebagai seorang suami di hadapan istri dan keempat anaknya. Jadi, selama ini ayahnya sempurna menyembunyikan perselingkuhannya dengan Arimbi. Wanita yang mengganggu keharmonisan keluarga Bram Nataatmadja.

Setibanya di Bandung, sudah hampir pukul sembilan. Perjalanan yang ditempuh lebih kurang satu jam lebih lima belas menit ini, membuat Dayu letih. Prosesi menjelang hingga setelah pemakam-an ayahnya telah menguras tenaganya. Ditambah lagi dengan beban pikiran yang mengaduk-aduk perasaannya.

Ia mencari tempat peristirahatan sementara. Dayu memilih sebuah butik hotel yang asri di Jalan Supratman. Tak jauh dari tempat ia dulu menimba ilmu antropologi. Meski bukan hotel berbintang empat, bangunan bergaya modern minimalis ini cukup nyaman. Perlu waktu untuk mendapatkan sebuah kamar dengan single bad, karena biasanya di tiap akhir pekan hunian hotel dan penginapan di Bandung selalu penuh. Tanpa kecuali di Hotel Le Caribian ini.

Setelah menunggu sepuluh menit, akhirnya Dayu mendapat kunci magnetic card, kamar bernomor 55 berada di lantai tiga. Diantar seorang bell boy berseragam hijau toska yang mencoba membantunya menarik troley berisi pakaian, langkah Dayu gontai menyusuri koridor hotel sebelum naik ke lantai tiga. Setelah memberi tip kepada pemuda yang mengaku lulusan sekolah menengah perhotelan yang senantiasa menunjukkan sikap ramah itu, Dayu memasuki kamar dengan kelopak mata yang berat.

Keesokan paginya, Dayu tersadar, ia tergolek di atas matras dengan pakaian seperti saat menyopir. Artinya, ia tidak sempat berganti pakaian saat membaringkan badannya tadi malam. Barangkali kelelahan yang teramat sangat membuatnya terlelap begitu cepat.

Alarm reguler dari telepon seluler membangunkan Dayu dari tidur yang nyaris tanpa mimpi. Jam biologis sedikit terganggu, terutama setelah mengalami jetlag setibanya dari perjalanan lintas benua empat hari silam. Telepon dari ibunya tempo hari, memaksanya untuk segera berkemas meninggalkan aktivitasnya sebagai mahasiswa program doktoral di Inggris.

Nalurinya sebagai anak membawanya untuk segera kembali sementara ke tanah leluhur. Dayu harus meminta izin kepada para promotornya, dan petugas administrasi di fakultas pascasarjana, departemen antropologi budaya. Untunglah mereka bisa memahami situasi yang tengah dihadapi Dayu. Bahkan, tidak sedikit yang menunjukkan simpatinya, seraya menguatkan Dayu agar tabah menghadapi cobaan.

Tetapi, efeknya sangat memengaruhi jam biologisnya. Perbedaan waktu lebih dari 7 jam, mau tidak mau berdampak pada metabolisme hormonal. Lengkingan alarm menyadarkannya, bahwa ia harus bersiap menghadapi aktivitas hari baru.

Setelah mandi dan salat Subuh, Dayu sempat membuka agenda harian di ponselnya. Ada sejumlah kegiatan yang ia coba batalkan. Bahkan, hampir semua kegiatan yang telah teragenda dengan baik, terpaksa harus dihapusnya.

”Sekarang aku harus fokus memecahkan teka-teki surat ini,” ujarnya dalam hati. Digenggamnya surat yang sudah puluhan tahun tersimpan rapat di balik lembaran agenda tua itu. Makin dibaca berulang kali, Dayu makin penasaran. Ia mulai mereka-reka hubungan antara Bram Nataatmadja dengan Arimbi.

”Tante Arimbi,” bisiknya lirih, menyebut nama wanita yang diselimuti misteri.

Pagi ini, Dayu bertekad akan mulai menyusuri jejak langkah ayahnya hingga akhirnya puzzle Arimbi setahap demi setahap bisa terhimpun menjadi sebuah mozaik utuh. Tetapi, harus dari mana ia melangkah? Siapa yang akan dijadikan sebagai penunjuk jalan? Serta, berapa lama waktu yang diperlukan untuk memecahkan misteri terbesar dalam hidupnya?

Makin tenggelam dalam kubangan pertanyaan, makin rumit masalah yang ia hadapi. Dayu me&rasa tengah memasuki sebuah labirin besar yang tak jelas ujung pangkalnya. Ke mana ia harus masuk, di mana pula ia harus mencari jalan keluarnya. Tetapi, di dalam dadanya sudah terpatri tekad untuk menemukan keberadaan Arimbi. Apa pun risiko yang harus ditempuh.

Setelah menyantap sarapan paginya, sepiring nasi goreng tidak pedas kesukaannya, telur mata sapi setengah matang, dan tentu saja segelas teh hangat, Dayu berkemas menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya nanti. Pakaian resminya tak lain adalah jins belel dipadu polo shirt putih. Kesan feminin terpancar kuat.

Sebelum turun ke lobi hotel, Dayu sudah menyusun rencana untuk hari itu. Dari ruang kerja ayahnya ia sengaja membawa beberapa buku dan catatan yang sekiranya diperlukan dalam memecahkan misteri ’Tante Arimbi’. Ada sejumlah nama, sahabat, mungkin kerabat almarhum ayahnya, yang boleh jadi akan menuntunnya menemukan wanita misterius itu. Nama dan alamat penting telah di-input ke dalam ponselnya. Syukurlah ia menggunakan provider telepon seluler yang menawarkan layanan GPS, sehingga memudahkannya melacak lokasi yang belum dikenalnya.

Terkadang ia terkagum-kagum pada terobosan dalam teknologi telekomunikasi dan media komunikasi massa saat ini. Betul kata pakar komunikasi yang mengisyaratkan masyarakat informasi sekarang menjadi sebuah desa global. Bahkan, internet yang dulu hanya jadi imajinasi futurolog, sekarang berubah menjadi tulang punggung informasi global yang nyaris tidak ada tandingannya. Hampir semua aktivitas Dayu tak terpisahkan dari teknologi cyber yang satu ini.

Termasuk tadi pagi, ia sudah surfing di dunia maya, mencari informasi termutakhir, mencoba kontak dengan sahabat-sahabat mayanya lewat facebook, atau sekadar mengecek e-mail yang masuk hari itu. Bahkan, ia sempat teleconference dengan promotornya di Inggris, sekadar berkonsultasi perbaikan disertasinya di beberapa bab.

Dididik di tengah kehangatan keluarga, namun dengan ketegasan sikap. Warisan inilah yang mengalir dalam darah Dayu. Ia tumbuh menjadi wanita yang mandiri, tidak lembek saat masalah menghadang. Termasuk, ketika sekarang harus menghadapi masalah terpelik dalam hidupnya.

Jalan Tikukur menjadi tujuan pertama. Butuh waktu hampir setengah jam menuju lokasi yang tertera dalam surat misterius itu. Sebenarnya kurang pas menyebutnya jalan, karena panjangnya tidak lebih dari seratus meter! Mungkin lebih cocok disebut gang, walaupun ruas Jalan Tikukur jauh lebih lebar dari gang.

Jalan dua arah ini berada di pinggir jalan protokol yang lalu lintasnya cukup padat. Tapi, saat memasuki kawasan Jalan Tikukur, suasananya tidak menunjukkan dekat sebuah jalan besar. Di kiri-kanan jalan berjejer rapi rumah berarsitektur kolonial. Cirinya terlihat dari atap yang tinggi, agar sirkulasi udara bisa lebih leluasa. Hanya satu-dua rumah yang terlihat sudah direnovasi dengan gaya arsitektur modern. Sayangnya, malah tampak asing dan tidak serasi dengan lingkungan sekitar.

Seorang petugas satpam tampak memperhatikan gerak-gerik Dayu dari kejauhan. Dari tatapannya tebersit kecurigaan bila melihat kehadiran orang asing yang masuk di daerah sekitar situ. Barangkali itu menjadi naluri sekaligus tanggung jawab baginya sebagai seorang petugas yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban. Lagi pula, bahasa tubuh wanita ini pantas menimbulkan kecurigaan. Setiap rumah yang dilewatinya selalu ia tatap baik-baik, seakan ingin menelisik ke balik setiap dindingnya.

”Selamat pagi, Neng!” sapa pria separuh baya tertuju ke Dayu. ”Ada yang bisa dibantu? Atau Eneng sedang nyari siapa?” ujar Pak Satpam, seakan tak puas dengan pertanyaan pertamanya.

Dayu terenyak atas kehadiran satpam yang berseragam putih biru ini.

”Eh, tidak, Pak!” jawabnya agak tersipu. ”Pak, punten, bisa tanya, mungkin Bapak tahu ada penghuni salah satu rumah di sini bernama Bu Arimbi?”

Satpam yang kini balik ditanya, sejenak terdiam. Otaknya sedang bekerja keras mencari jawabannya.

”Aduh Neng, maaf! Bapak nggak tahu kalau di sini ada yang namanya Bu Arimbi,” jawab Pak Satpam, masih dengan wajah diliputi kebingungan. ”Soalnya, Bapak juga baru lima tahun kerja di sini. Jadi tidak semua orang yang tinggal di jalan ini saya kenal,” ujarnya, polos.

Dayu tentu saja kecewa dengan jawaban tadi. Sedianya, ia akan mendapat jawaban yang bisa dijadikan keping pertama puzzle yang akan merangkai mozaik misteri besar yang tengah dihadapinya.

”Betul Bapak tidak kenal Bu Arimbi? Atau, mungkin Bapak lupa?” desaknya kembali. Satpam setengah baya tadi sambil menggaruk kepala berusaha berpikir lebih keras.

”Wah, nyerah, deh, Neng! Bapak betul-betul nggak tahu!” jawabnya, dengan nada pasrah. ”Mungkin ada nama lengkapnya? Soalnya, setahu Bapak di sini tidak ada yang bernama Bu Arimbi,” katanya, sambil tersenyum kecut.

”Ya, sudah, nggak apa-apa! Nuhun, ya, Pak!”

Potongan pertama puzzle itu ternyata sulit ditemukan. Dayu melanjutkan langkahnya ke ujung Jalan Tikukur. Sebelum meninggalkan kawasan itu, sekali lagi menengok jalan lengang yang penuh misteri.

OM HARDI
Hampir seharian Dayu mengelilingi kawasan seputar Jalan Tikukur. Mungkin hingga radius lebih dari 2 kilometer dari lokasi awal saat ia melakukan penelusuran. Hasilnya nihil. Penduduk setempat umumnya tidak kenal nama yang ia tanyakan. Penat dengan pencarian yang tidak membuahkan hasil itu, Dayu memacu kendaraannya ke arah Kafe Cisangkuy. Di sana ia memesan segelas yoghurt leci dan sepotong black forest. Di tempat inilah dulu ia sering hang out dengan teman-teman kuliahnya, berdiskusi atau sekadar melepas kepenatan setelah seharian kuliah.

Tempat yang masih mempertahankan cirinya seperti ia kenal dulu ini, menyimpan banyak kenangan manis. Beberapa teman pria yang pernah dekat dengannya, sering diajak ke tempat ini. Soalnya, ia tidak terlalu nyaman berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi. Kafe yang banyak dikunjungi sepanjang hari, terlebih di akhir pekan ini, jelas menjadi tempat paling aman buatnya.

Sambil menyeruput yoghurt, Dayu membuka beberapa berkas yang ia bawa dari Subang. Satu per satu ia cermati. Ada segepok foto lama, yang tersimpan rapi dalam album berukuran sedang. Selain foto keluarga, juga beberapa foto ayahnya di beberapa lokasi. Dulu, tiap kali memandangi foto lama, kenangan segera terbawa ke masa-masa indah yang sulit dilupakan.

Saat ia mulai bisa mengingat pengalaman pertamanya belajar mengemudikan sepeda roda dua dibimbing ayahnya. Masih terngiang dorongan semangat Ayah, ”Ayo, Nak, kayuh terus pedal sepedanya.”

Sejujurnya, saat itu ia sangat panik. Ternyata, mengendalikan sepeda roda dua bukan alang kepalang sulitnya. Tetapi, dorongan Ayah membuatnya tegar. ”Aku harus bisa!” batin Dayu, dalam hati.

Pompaan semangat yang tak pernah kering dari kedua orang tuanya, terutama ayahnya, menjadi energi yang besar yang membentuk sikap dan perilaku Dayu di kemudian hari. Selepas SMA yang dituntaskan tepat waktu, Dayu sempat bingung memilih jurusan di perguruan tinggi. Tetapi, berkat dorongan ayahnya akhirnya ia memilih bidang yang ia minati: antropologi.

Baginya, mempelajari bidang antropologi seperti menimba air dari sumur tanpa batas. Tak pernah kering dan tak akan habis-habisnya mendapat pengetahuan baru. Manusia, dari sudut pandang antropologi, menjadi makhluk budaya yang unik. Makhluk yang bisa mengembangkan kemampuan daya nalarnya meningkatkan peradaban dan kebudayaan.

Sejak duduk di bangku kuliah, ia melahap habis bukan saja buku-buku teks antropologi, tapi hampir semua bacaan lain. Ibarat pepatah, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Kebiasaan membaca dan mengumpulkan buku seakan mengalir deras dari kromosom ayahnya. Terlebih ketika ia melanjutkan studi S-2-nya di Inggris, di tahun kedua setelah memutuskan menjadi tenaga pengajar di almamaternya.

Profesor Budi Santoso, dosen senior yang sangat ia hormati, mengajaknya bergabung menjadi dosen. Tawaran ini langsung ia ambil, terlebih saat ayahnya mendukung keputusannya mengabdikan diri di perguruan tinggi. Dosen ini pula yang menawarkan kesempatan kepadanya untuk mengambil beasiswa dari pemerintah Inggris, bagi dosen-dosen muda yang akan menggali ilmu di negeri yang pernah menguasai lautan ini.

Hidup jauh di negeri orang memang bukan perkara gampang. Setidaknya itu juga dirasakan Dayu. Terlebih harus berjauhan dengan kedua orang tuanya. Tapi, kecintaan pada antropologi meneguhkan niatnya untuk bisa menikmati kesempatan langka ini. Sebagai mahasiswa asing, Dayu mendapat biaya untuk mencukupi kebutuhannya selama tinggal di Inggris. Belajar di negeri empat musim ada suka dukanya. Terlebih di Inggris yang kerap diselimuti awan mendung, tanpa kecuali di Birmingham.

Kota penghasil besi dan perabotan rumah tangga di sebelah barat laut London ini dipilih Dayu karena me­miliki salah satu universitas tertua di Inggris. Universitas Birmingham dipilih karena selain menawarkan program studi antropologi budaya, juga memiliki karakteristik aristokrasi yang menjadi ciri utamanya. Paduan keduanya membulatkan tekad Dayu memilih universitas yang memiliki area puluhan mungkin ratusan hektare ini.

Selama menimba ilmu di sana, Dayu melanjutkan beberapa ritual sama seperti saat kuliah di Bandung. Kebiasaannya berkutat di perpustakaan, kini dilanjutkan di Birmingham. Terlebih di perpustakaan yang memiliki jutaan koleksi buku dan arsip bersejarah ini, menjadi tempat paling pas untuk melakukan penelusuran bahan kuliah dan materi tesisnya.

Di saat liburan musim panas, Dayu melakukan tur panjang ke beberapa negara di Eropa daratan. Honorarium yang dikumpulkannya sebagai jerih payahnya menjadi tenaga pemelihara perangkat sistem informasi di perpustakaan, dan honorarium hasil tulisannnya di koran lokal, cukup jadi bekal selama perjalanan dua minggunya. Bukan hanya Prancis, Jerman, Swiss, Belgia, Italia, bahkan ia sempat menyeberang ke bekas wilayah Jerman Timur yang sejak penghujung tahun ’80-an bergabung ke Jerman Barat.

Di bekas negara blok Timur ini, Dayu menyaksikan bangunan tua yang dipertahankan keaslian arsitekturnya. Berlin, kota yang sempat terbelah dua oleh tembok tinggi itu, kini menjadi jantung perekonomian negara yang dikenal memiliki teknologi tinggi ini.

Selain mendapat kesan mendalam di Jerman, Dayu sempat terpesona oleh keindahan Pegunungan Alpen saat melintas ke Swiss. Keindahan kanal-kanal yang membelah Venesia di Italia. Terkagum-kagum melihat sisa-sisa kejayaan dinasti Islam di Spanyol yang terkenal dengan Istana Merah-nya. Serta pesona romantis Menara Eiffel saat malam tiba. Sempat terpikir mencari pria Prancis yang konon romantis sebagai pasangan hidup. Tetapi, ah, itu hanya pikiran nakalnya saat dibuai pesona Paris. ”Aku harus menyelesaikan kuliahku dulu, baru memikirkan pasangan,” pikir Dayu saat itu.

Semua kenangan indah yang terpatri dalam ingatannya saat melakukan perjalanan panjang yang ditempuhnya dengan kereta Trans Eropa, berakhir di London. Ia kembali bergegas ke Universitas Birmingham dengan metro dalam waktu sejam. Di flat-nya yang tidak terlalu luas, Dayu mulai menyiapkan agenda baru menyongsong hari-hari yang akan disibukkan dengan pembuatan makalah, presentasi, dan riset.

Dayu tersentak dari lamunannya, ketika dikejutkan tepukan keras di bahunya. ”Hayo, melamun, ya!” sergah suara cempreng yang ia kenali milik salah seorang sahabatnya dulu.

Rina? Ya, Rina! Si pemilik suara cempreng yang dulu sempat menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan Dayu. Teman satu kos, yang kemudian menikah cepat dengan tunangannya itu, kini berdiri dengan mata terbelalak di samping Dayu.

”Rina!” teriak Dayu, sambil memeluk temannya gembira meluap. Begitu juga Rina, wanita yang kini berjilbab itu memeluk erat Dayu sambil se­senggukan. Biasa, saat dua sahabat berpisah cukup lama, akan sangat terbawa suasana melankolis.

”Kamu ke mana aja, Yu?” ujar Rina, sambil menyeka air mata yang berurai di pipinya yang putih. ”Bukannya kamu sedang S-3 di Inggris? Kok, ada di Bandung, sih?” cecar Rina.

Dicecar pertanyaan bertubi-tubi, Dayu hanya bisa tersenyum kecut. Kegembiraan yang meluap menyulitkannya cepat menjawab pertanyaan tadi. Setelah kembali duduk, barulah Dayu menjelaskan.

”Sebenarnya aku memang seharusnya di Inggris, Rin! Tetapi, ayahku meninggal empat hari lalu. Ibuku yang langsung memintaku pulang.”

Rina terenyak.

”Sorry, ya, Rin, aku belum sempat memberi tahu kamu soal ini. Soalnya, aku terlalu disibukkan oleh urusan kepulanganku dari Inggris,” ujarnya kepada temannya yang mulai manyun itu. Bagaimanapun, Rina adalah teman terbaik Dayu. Rina juga sudah sangat akrab dengan keluarga Dayu. Bahkan, ibu Dayu sering memperlakukan Rina seperti anaknya sendiri. Kedekatan inilah yang mempersatukan keduanya, sampai akhirnya Rina harus menikah lebih dini hanya karena untuk memenuhi keinginan keluarganya.

”Bodohnya aku, sampai lupa ngasih tahu si Cucak Rawa ini,” rutuk Dayu dalam hati. Menyesali kealpaannya memberi tahu Rina soal kematian ayahnya.

Setelah ngobrol cukup lama, keduanya berpisah sambil menitipkan pesan agar masing-masing diberi keselamatan dan kebahagiaan.

Pertemuannya dengan Rina sedikit melegakan kepenatan batin Dayu. Tetapi, selama teka-teki Arimbi belum terpecahkan, batinnya akan terus meradang.

Entah kenapa, tiba-tiba mata Dayu tertuju pada foto lama yang memperlihatkan ayahnya sedang berkumpul di lapangan. Mungkin setelah acara tujuh belas Agustusan. Di belakang terlihat samar spanduk bertuliskan ’HUT RI ke-19’. Artinya, foto diambil pada bulan Agustus 1964, dua belas tahun sebelum ia lahir.

Mata Dayu tertuju pada sosok pria simpatik berkacamata, di sebelah ayahnya. Om Hardi! Ya, Om Hardi staf ayahnya saat bertugas di Tanggulung, afdeling yang letaknya 25 kilometer barat daya Subang. Ia masih ingat saat ayahnya melakukan napak tilas ke sana.

”Di mana Om Hardi sekarang?” ujarnya dalam hati.

Setelah berpikir keras sejenak, tangan Dayu merogoh ke dalam ransel biru tua yang tersandar di kursi samping. Diraihnya buku saku telepon yang warnanya sudah berubah jadi abu-abu tua. Mungkin dulunya berwarna hitam, pikir Dayu sesaat. Dibukanya perlahan, halaman demi halaman. Sampai akhirnya di ’S’, bola mata Dayu yang jernih menatap ke arah deretan nama di sana. Bingo! Akhirnya ia menemukan nama Soehardi. Nama lengkap Om Hardi.

Di situ tertulis alamat lengkap rumah dan nomor telepon. Bahkan, ada tulisan dengan tinta yang masih baru berisi nomor telepon Om Hardi. Segera saja jemari langsing Dayu bergerak lincah di atas keypad telepon selulernya. Dua belas digit angka telah ditekan. Perlu waktu menunggu suara dari seberang sana membalas panggilan Dayu. Detik demi detik berlalu seakan penantian berabad-abad bagi Dayu dengan nadi berdebar kencang. Sampai akhirnya....

”Halo!” terdengar suara pria lirih dari ujung sana. ”Halo! Dengan siapa, ya?” suara lirih seakan menyadarkan Dayu yang seakan melayang ketika menunggu telepon berbalas.

”Ehm, Om. Maaf mengganggu, betul ini nomor telepon Om Hardi?” tanya Dayu, diliputi rasa penasaran.

”Betul, Mbak! Saya Soehardi,” balas pria bersuara lirih. ”Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” lanjutnya kemudian.

”Betul ini Om Hardi? Saya Dayu. Idayu Nataatmadja,” jawab Dayu, dengan suara tercekat. Ia begitu gembira. Akhirnya perjalanan panjangnya mendapat titik terang pertama.

”Dayu! Apa kabar? Om senang bisa mendengar suaramu lagi. Aduh, lama sekali, ya, kita tak bertemu. Mungkin ada dua puluh tahun, ya, Om terakhir lihat kamu. Rasanya baru kemarin Om lihat kamu masih di pangkuan ayahmu. Oya, bagaimana kabar ayahmu?” tanya Om Hardi. ”Sehat-sehat saja kan beliau?” suaranya terdengar takzim, menandakan hormatnya kepada ayah Dayu.

Dayu menceritakan ayahnya yang baru saja meninggal, seraya minta maaf karena tidak ada seorang pun yang sempat memberi tahu Om Hardi. Lebih setengah jam mereka mengobrol di telepon. Sampai kemudian Dayu memutuskan datang ke rumah Om Hardi.

”Datang saja ke rumah, kami sekeluarga rindu padamu, Dayu,” tutur pria yang mungkin usianya sudah merambat ke angka tujuh puluh lima ini.

Keesokan harinya, Dayu memacu kendaraan ke arah utara Bandung. Daerah Cihideung. Kawasan perbukitan di daerah Lembang, yang dikenal sebagai objek tujuan wisata di akhir pekan. Menuju kawasan perumahan di perbukitan hijau, udara di sekitar rumah Om Hardi masih terasa fresh. Mungkin karena masih banyak ditumbuhi pepohonan, serta jauh dari kemacetan kendaraan yang jadi penyebab polusi.

Jalan aspal yang sedikit berlubang di sana-sini, hanya cukup dilalui dua kendaraan saat berpapasan. Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya kendaraan sampai di pelataran rumah Om Hardi.

Bangunan bergaya etnik ini sebenarnya tidak terlalu besar. Tetapi, karena penataan ruangnya yang cermat, seakan rumah yang didirikan di atas lahan seluas lima ratus meter persegi ini mengesankan keanggunan yang tidak dimiliki rumah-rumah di sekitarnya. Halamannya yang luas ditumbuhi aneka pepohonan buah yang ditanam di dalam pot besar. Berbagai jenis bunga tumbuh di sana, termasuk aneka jenis anggrek yang ditata rapi di dalam rumah kaca berukuran sedang.

Di beranda, Om Hardi dan Tante sudah menantinya dengan senyum sumringah. Setelah bersalaman dan saling memeluk, Dayu digiring ke ruang keluarga, yang seakan telah disiapkan menerima kedatangannya. Di meja beralaskan taplak bermotif batik, terhidang kue tradisional khas Sunda. Ada opak, wajit, dodol, rengginang, dan banyak lagi. Sebagian terhidang di atas piring besar, sebagian lagi tertata apik di dalam stoples yang terbuat dari kaca tebal.

”Gimana dengan kuliahmu, Yu?” tanya Om Hardi tiba-tiba.

Dayu kaget disodori pertanyaan yang di luar dugaannya. Bagaimana tidak, ia belum memberi tahu perihal kuliahnya di Inggris.
”Rina yang cerita pada Om,” jelasnya, sambil terkekeh, memperhatikan raut wajah Dayu yang kaget.
”Rina?” susul Dayu. Ingatannya langsung ke Rina si Cucak Rawa.

”Ya, Rina. Teman kuliahmu dulu di Unpad. Kamu lupa, ya, dia kan masih keponakan jauh Om,” jelasnya.

”Masih, Om. Sekarang saya sedang nyiapin riset untuk disertasi. Mudah-mudahan dua tahun lagi beres. Doakan saja, ya, Om, Tante,” pintanya pada tuan rumah yang sudah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya.

Ya, Dayu memerlukan figur ayah baru. Kehadiran Arimbi telah mengikis secara perlahan kekagumannya pada sang ayah.

Dari obrolannya Dayu mulai menelisik informasi tentang ayahnya, terutama di seputaran tahun 1964-1965. Percakapan berlangsung seperti halnya temu kangen antara orang tua dan anak. Tetapi, ketika secara spontan dari mulut Dayu keluar kata Tante Arimbi, mendadak ekspresi Om Hardi menegang.

”Om tahu Tante Arimbi?” ulang Dayu, berusaha mendapat jawaban dari Om Hardi.

Cukup lama Om Hardi tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

”Ayo, diminum dulu bajigurnya. Nanti keburu dingin,” Tante Mira seakan berusaha mencairkan suasanayang tiba-tiba membeku.

Tersadar bila pertanyaannya menyebabkan Om Hardi kehilangan kata-katanya, Dayu meladeni permintaan tantenya.

”Terima kasih, Tante! Kelihatannya enak. Siapa yang buat? Tante sendiri?” basa-basi itu sekan meluncur begitu saja dari mulut Dayu yang mulai merasa kikuk ditatap tajam Om Hardi. Untunglah Tante sedikit menepuk tangan kiri suaminya. Om Hardi seakan baru tersadar dari lamunannya.

”Arimbi? Tante Arimbi? Nggak pernah tahu, tuh. Om malah baru dengar sekarang,” timpal Om Hardi memecah kebekuan. Senyumnya kembali cair, meski dari sudut matanya Dayu melihat ada sesuatu yang disembunyikan.

Jangan-jangan mereka sekongkol, batin Dayu dalam hati.

Setelah bersusah payah menolak makan siang, karena alasan bertemu seorang guru besar di Unpad, akhirnya Dayu menyantap hidangan di atas meja makan. Meski menu masakan Sunda hadir lengkap di atas meja, sejujurnya selera makan Dayu sudah menguap sejak percakapan tadi.

Dayu kembali ke hotel untuk merebahkan diri di atas matras empuk di dalam kamar yang pendinginnya ia matikan. Jendela kamar dibuka lebar-lebar. Terkadang ia meradang melihat perilaku manusia yang sok modern. Sudah jelas CFC yang digunakan pendingin ruangan turut andil atas bolongnya lapisan ozon di atas kutub utara, tapi malah kian banyak orang yang memakainya. Dayu ingat betul suhu udara Bandung saat ia masih kuliah dulu. Kalau nggak pakai selimut di malam hari, dijamin esok paginya masuk angin.

Sekarang? Hawa Bandung makin panas, tak ada bedanya dengan Jakarta atau Surabaya! Gara-garanya, apa lagi kalau bukan penggundulan kawasan Bandung Utara yang semula dijadikan daerah konservasi air. Kini di daerah itu bermunculan kawasan permukiman mahal yang justru merusak lingkungan. Belum lagi meruyaknya jumlah kendaraan di kota yang semula berpenduduk kurang dari 2 juta orang ini, kini di hampir setiap rumah pasti ada kendaraan roda empat. Tidak terhitung pertumbuhan kendaraan roda empat. Ibaratnya Bandung menjadi kota padat tanpa perencanaan.

Kadang-kadang ia iri dengan kota-kota lain di luar Bandung, seperti Cirebon, Ciamis, atau Yogyakarta dan Semarang. Kok, bisa-bisanya pemerintah setempat mengelola kotanya tertata, bersih dan ramah bagi penghuninya. Apalagi, dibandingkan dengan kota-kota di Inggris, yang memang penduduknya terbatas. Tetapi, bagaimanapun Dayu masih mencintai Bandung, meski kadarnya mulai menyusut.

MEDITASI
Sambil berselonjor di atas sofa empuk, Dayu browsing di internet. Sejak kuliah di Inggris, ia hampir tidak pernah lupa membawa berbagai gadget yang memudahkannya berkomunikasi dengan dunia luar. Di ranselnya, selain smartphone dan laptop, ia selalu membawa modem. Jadi, di mana pun berada, selama masih ada sinyal telepon, ia masih bisa menggunakan internet. Karena, tidak semua tempat menyediakan fasilitas hot spot.

Di layar laptop, terlihat jendela mesin pencari Google sedang aktif. Dayu sedang menelusuri setiap kata yang berhubungan dengan Arimbi. Meski sejak kecil sering diajak menonton pertunjukan wayang golek, terutama saat musim hajat tiba, Dayu kurang suka pada salah satu kesenian tradisional Sunda yang masih hidup hingga kini. Ia tahu ada tokoh Arimbi dalam pewayangan. Tapi, hanya sebatas nama.

Setelah kuliah di antropologi, Dayu mulai tertarik. Ia mulai dipaksa menyukai seni tradisional, termasuk wayang golek. Bagaimanapun, ini merupakan akar budayanya.

Dari penelusurannya di internet, Dayu mencoba mencari tahu lebih banyak tentang tokoh Arimbi. Saat masuk ke Google, ada begitu banyak link pencarian ke nama Arimbi. Salah satunya melalui sebuah ensiklopedia maya.

Dari situs yang membahas Arimbi atau epik Mahabharata, Dayu merasa kekayaan intelektualnya tentang seni pewayangan bertambah dengan cepat. Dalam kisah kepahlawanan Mahabharata yang bermula dari India, yang kemudian diadaptasi menjadi pakem seni perwayangan, tokoh Arimbi digambarkan sebagai sosok raksasa perempuan atau rakshasi yang memiliki nama lain, yakni Hidimbi. Ia menikah dengan Bima, salah seorang tokoh Pandawa Lima, kemudian melahirkan Gatotkaca. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Hidimbi dikenal dengan sebutan Arimbi!

Dari cerita pewayangan pula dikisahkan, Dewi Arimbi yang putri mahkota kerajaan Pringgodani. Sebagai keturunan raja raksasa yang sangat berkuasa, Arimbi mewarisi sifat jujur, setia serta berbakti kepada keluarganya. Ia pun memiliki kesaktian yang ia dapatkan dari Dewi Kunti, sehingga bisa beralih wujud dari seorang raksasa menjadi putri cantik jelita.

Keteladanan dan pengorbanannya sebagai ibu dibuktikan saat ia harus membela Gatotkaca di medan Perang Bharatayuddha. Dewi Arimbi gugur di medan perang setelah anak panah milik Adipati Karna bernama Kunta Wijayandanu (Konta) menembus tubuhnya yang telah bersimbah darah. Dayu jadi teringat pada sosok perempuan raksasa hijau, Putri Fiona, dari negeri Farfaraway yang berjodoh dengan pria raksasa jorok berhati baik, Shrek. Barangkali, begitulah perwujudan Dewi Arimbi dalam bentuk budaya populer.

Menyimak kisah Dewi Arimbi yang sangat heroik, bulu-bulu halus di sekujur tubuh Dayu sempat meremang. Sebuah kisah yang sangat tragis. Tetapi, di saat bersamaan terjadi pergolakan pemikiran dan batin dalam diri Dayu. Betulkah Arimbi dalam surat yang ditujukan pada ayahnya seorang wanita iseng atau murahan, seperti yang ia persepsikan sekarang?

Terang saja, untuk menjawab pertanyaan ini bukan perkara mudah. Kemarahannya pada sosok wanita yang masih misterius masih sukar diredakan. Begitu juga perasaan bencinya pada sang ayah, yang dianggap bermain api di belakang ibunya.

Lambat laun pikiran jernih coba dihimpunnya. Selain salat, Dayu terbiasa mempraktikkan yoga untuk melatih fisik sekaligus konsentrasinya. Terlebih di saat sedang diimpit banyak masalah. Kedua cara itu ia lakukan saling mengisi. Tanpa kecuali di kamar hotel, saat Dayu mulai meregangkan seluruh persendiaan, otot-ototnya, mengatur setiap tarikan dan embusan napasnya. Terakhir, dengan teknik relaksasi, ia mulai memusatkan pikirannya, mencoba menjauhkan pikiran negatif, seraya menangkap energi negatif di sekitarnya.

Hampir satu jam olah fisik dan jiwa itu mulai menenangkan pikiran Dayu. Ia bertekad untuk berpikir lebih jernih sekarang. Menjauhkan segala prasangka buruk yang sejauh ini mulai merongrong ketenangan jiwanya. Dayu mencoba memetakan setiap persoalan, setiap pertanyaan, dan segala kemungkinan yang berkorelasi langsung atau tidak dengan kasus Arimbi. Kadang-kadang ia merasa jadi orang bodoh hanya karena secarik surat. Padahal, saat ini ia tengah berjuang meraih impiannya menjadi doktor untuk ilmu antropologi budaya. Menjadi seorang ilmuwan yang senantiasa mengedepankan rasio ketimbang rasa.

ARIMBI
Ada perasaan bersalah yang menggelayuti hati Dayu. Perasaan bersalah terhadap ayahnya, mungkin juga Arimbi, wanita yang tidak ketahuan rimbanya itu. Di saat pikirannya tengah berkecamuk, menganalisis masalah yang tengah dihadapinya, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.

Sigap Dayu meraih telepon yang tak jauh dari sofa.

”Malam, Dayu!” terdengar suara yang sudah akrab di telinganya. Suara Om Hardi.

”Malam, Om! Ada apa Om, kok, tumben telepon saya?” timpal Dayu, dengan alis berkerut.

”Maaf, apa telepon ini tidak mengganggu kamu?” ujarnya, membalas pertanyaan Dayu.

”Oh, enggak, Om. Nggak!” buru-buru Dayu menimpali Om Hardi.

”Kalau tidak keberatan, dan ada waktu, Om mau ketemu kamu besok. Bisa?” pinta Om Hardi dengan nada harap.

”Ketemu?” jawab Dayu. ”Eh, tentu bisa Om. Di mana? Jam berapa?”

Akhirnya, setelah sepakat, pembicaraan keduanya berakhir.

Malam itu, mata Dayu nyaris tidak bisa dipicingkan barang sekejap. Pikirannya berkelana liar, ada apa gerangan Om Hardi mengajak ketemu? Adakah hal yang ingin disampaikan kepadanya? Atau, jangan-jangan rahasia tentang ayahnya... dan Arimbi? Entahlah!

Yang jelas, setelah lelah menebak-nebak, Dayu terlelap saat jarum jam menunjuk ke angka 04.00.
Dering alarm yang keluar dari telepon genggam sontak membangunkan Dayu dari tidur lelapnya. Dilihatnya, jam di dinding baru menunjuk angka 05.00. Artinya, ia baru terlelap satu jam. Barangkali tidurnya berkualitas, waktu sesingkat itu cukup membuat Dayu merasa segar memulai aktivitas hari itu.

Di sebuah kafe, Braga Permai, yang mungkin usianya sudah hampir sama tuanya dengan Om Hardi, yang terselip di antara bangunan lain di pinggir ruas Jalan Braga yang tersohor,  Dayu melangkahkan kakinya ke dalam ruangan.

Di dalam, Om Hardi seperti biasa menyambutnya dengan senyum lebar. Kali ini Om Hardi datang sendiri. Tante Mira sedang ada arisan keluarga, begitu kata Om Hardi kepada Dayu. Suatu waktu, aku pun pasti akan seusia dengan mereka, keluh Dayu dalam hati.

Setelah Om Hardi memesan kue kesukaannya, onde-onde, dan segelas teh hangat, sementara Dayu memilih tiramisu dan segelas jus jeruk, mereka mulai membuka pembicaraan ringan.

”Om, sebenarnya kabar apa yang akan disampaikan?” pancing Dayu, memulai percakapan.

Om Hardi yang tadi hanya bercerita tentang hari-hari setelah masa pensiunnya, menarik napas panjang.

”Seberapa penting, sih, kabar yang akan disampaikan? Apakah ada sangkut pautnya dengan almarhum Ayah? Atau...?”

Belum tuntas kalimat Dayu meluncur dari mulutnya, Om Hardi langsung memotong berondongan pertanyaan Dayu.

”Jujur saja, Dayu, Om sendiri bimbang menyampaikan hal ini kepadamu,” kata Om Hardi, sambil mengingsutkan badannya ke sandaran kursi.

”Tapi, Om harus lakukan ini, meski harus melanggar sumpah. Ini tentang ayahmu, juga rahasia Arimbi yang kamu tanyakan kemarin.”

Dayu tidak menyangka Om Hardi bicara to the point. Sebelumnya ia hanya mampu menduga. Tapi, akhirnya informasi yang ia nantikan keluar juga dari sahabat ayahnya.

”Kemarin Om harus menjelaskan hal ini pada Tante. Jangankan Dayu, Tante pun tidak tahu masalah ini. Hampir-hampir saja menyulut pertengkaran. Untung Tante lebih sabar daripada Om,” jelas Om Hardi, seakan memberi prolog.

”Setelah kamu pulang dari rumah Om, akhirnya Om membeberkan cerita yang selama ini harus kami tutup rapat-rapat.”

Aneh, makin Om Hardi berkata-kata, justru Dayu makin bi­ngung. Ke mana arah pembicaraan ini? Seakan tahu dengan kebingungan Dayu, Om Hardi sedikit menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.

”Ok. Om harus tegaskan bahwa kamu tidak perlu menaruh prasangka buruk kepada almarhum ayahmu! Sebaliknya, berbaik sangkalah kepada beliau, terlebih Pak Bram telah mendahului kita. Jangan terprovokasi oleh surat itu.”

Wah, celaka! Om Hardi tahu rahasiaku, gumam Dayu yang merasa seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen dari stoples.

”Tapi, dari mana Om tahu aku menyimpan surat?” tanya Dayu, dengan nada menyelidik.

”Dayu, kayak Om nggak pernah punya masalah saja,” ujar Om Hardi, kembali menyunggingkan senyumnya.

”Setelah Om menjelaskan kepada Tante, dia menganjurkan Om supaya menelepon ibumu di Subang. Om menjelaskan semuanya pada ibumu. Meski pada awalnya beliau kaget, akhirnya beliau paham, kok. Malah, ibumu minta agar Om segera menjelaskan masalah ini padamu,” tuntas Om Hardi.

Akhirnya, teka-teki misterius itu lambat laun terungkap. Om Hardi beberapa kali menggeser posisi duduknya, sebelum bercerita panjang lebar tentang misteri secarik surat yang terselip di buku agenda kerja Bram Nataatmadja.

Sepulang dari kafe, hati Dayu benar-benar plong. Beban pikiran yang selama beberapa hari menggelayuti kepalanya, lambat laun hilang. Om Hardi berpesan agar Dayu cepat menyelesaikan kuliahnya di Inggris. Dayu sempat sungkem sebelum berpisah di tepi jalan, menuju kendaraan masing-masing.

Di perjalanan, berulang kali Dayu merutuki sikapnya yang ceroboh. Terutama gegabah dalam memberi penilaian. Terlebih pada ayahnya yang selama ini ia idolakan. Nama Arimbi sesekali berkelebat dalam benaknya. Hanya senyum terkulum yang menandakan penyesalan atas kebodohannya.

Di atas pesawat yang akan membawanya kembali ke Birmingham, Dayu sempat menatap lekat daratan yang sayup-sayup hilang tertutup awan. Penerbangan Jakarta-London nonstop tanpa transit itu, berangkat pukul 07.00 pagi. Mungkin cukup waktu baginya beristirahat sebelum memulai kembali aktivitas di Universitas Birmingham nanti.

Sebelum memejamkan matanya, lintasan peristiwa seakan berkelebat dalam ingatannya. Ingatannya tentang kota kelahirannya, Subang, saat ia berpamitan kemarin kepada ibunya. Setelah sungkem dan mencium kedua pipi ibunya, Dayu minta dimaafkan atas segala kesalahan selama ini. Terutama, telah berprasangka buruk kepada almarhum ayahnya. Tetapi, seakan tidak menghiraukan, ibunya hanya melemparkan senyum yang dalam, seraya berkomat-kamit mendoakan keselamatan putri tunggalnya yang akan terbang ke tempat yang jauh.

Kelebatan peristiwa masa lalu muncul kembali, teringat cerita Om Hardi saat di kafe tempo hari. Ternyata, selama ini ada hubungan rahasia antara ayahnya dengan Om Hardi. Peristiwa yang telah lawas itu menguatkan persahabatan dua anak manusia saat ditimpa prahara.

Konon, Bram Nataatmadja yang kariernya sedang berkibar saat itu menjadi sasaran empuk bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan kesempatan. Dari pengakuan Om Hardi, Dayu kian mengagumi ayahnya, yang ternyata manusia istimewa, karena rela meninggalkan status dan fasilitas yang disandangnya saat itu.

Di saat karier ayahnya mulai mencorong, beberapa koleganya dari afdeling lain bersekongkol untuk menjatuhkannya. Persoalannya, ketegasan dan kelurusan Bram dianggap kerikil yang akan mengganggu aksi mereka menggerogoti uang perusahaan.

Kerapnya Bram dipanggil ke kantor pusat di Bandung, ternyata berkaitan dengan upayanya membongkar kasus korupsi yang mulai menggerogoti perusahaan. Banyak administratur yang serakah, mulai melakukan praktik kecurangan. Pengambil-alihan aset perusahaan, pembukuan ganda, dan berbagai praktik kecurangan lainnya yang lambat laun mengganggu kinerja perusahaan.

Beruntung Bram memiliki sahabat dan kolega yang masih lurus. Soehardi. Dari Om Hardi, ayah Dayu memperoleh data-data penting yang dapat dijadikan bukti keterlibatan beberapa koleganya yang melakukan praktik korupsi.

Untuk menyamarkan hubungan khusus itu, mereka memilih cara yang kurang lazim. Mereka akan saling bertukar informasi dan data di suatu tempat yang dirahasiakan. Bisa di Subang, kadang-kadang di Bandung. Untuk itu, mereka menggunakan media surat, namun dengan nama samaran untuk mengelabui siapa pun yang membaca isi surat.

Bram terinspirasi oleh kisah kepahlawanan Bima dan Dewi Arimbi. Nama itulah yang dipilih keduanya. Ayahnya sering kali menggunakan nama Bima, saat berkirim surat ke Om Hardi. Sebaliknya, Om Hardi memakai panggilan Arimbi, agar terkesan surat cinta dua orang yang tengah kasmaran. Sebenarnya, ada banyak surat yang dibuat keduanya, tetapi setelah surat diterima, biasanya langsung dibakar hingga jadi abu.

Kekecualian, ada masing-masing secarik surat dari keduanya yang tetap disimpan, sebagai bukti. Salah satunya yang ditemukan Dayu di kamar kerja ayahnya di Subang.

Dari cerita Om Hardi, kisah keduanya membongkar kasus korupsi di tubuh perusahaan ibarat kisah spionase yang harus diselimuti rahasia. Sebab, mereka tidak pernah tahu, siapa kawan siapa lawan. Terbukti, saat keduanya kurang berhati-hati, kolega mereka yang mulai mencium gerak-gerik keduanya mulai merancang rencana jahat.

Kedekatan Bram dengan atasannya, direktur utama, dimanfaatkan oleh para koleganya. Kebetulan, sang big boss yang mencoba menelusuri kasus korupsi ketahuan menjalin hubungan khusus dengan seorang perempuan muda. Diembuskanlah fitnah keji, seakan-akan yang melakukan korupsi justru Bram Nataatmadja. Bram tidak sadar, staf keuangan yang semula berada di belakangnya, justru ikut berperan menjatuhkannya, karena diiming-imingi jabatan lebih tinggi oleh pada administratur korup.

Direktur utama yang tadinya membela Bram, karena ancaman surat kaleng yang akan membongkar perselingkuhannya dengan seorang wanita penghibur, akhirnya memilih mengorbankan Bram.

Mendengar kisah Om Hardi, hati Dayu geram. Terutama, dengan keserakahan teman-teman ayahnya yang seakan sahabat sejati, saat bertemu di rapat bulanan.

Ketika ditawari oleh para koleganya agar Bram turut ’menjarah’ kekayaan perusahaan, jawabannya tegas, ”Tidak!” Jawaban itulah yang kemudian menjatuhkan Bram dari posisi koordinator administratur menjadi staf biasa. Bram dikabarkan terlalu dekat dengan buruh yang pro PKI. Sontak, posisi Bram terjun bebas. Bukan itu saja, ia pun harus berurusan dengan pihak berwajib yang tengah getol menyaring orang-orang yang ditengarai memiliki kedekatan dengan partai Komunis.

Sayang, di saat-saat kejatuhan ayahnya, Dayu belum lahir, jadi tidak ikut merasakan langsung surutnya sumber penghasilan ayahnya. Tetapi, di saat-saat kritis sekalipun tidak ada kata kompromi bagi Bram untuk terjerumus melakukan korupsi. Karena integritas moralnya, sedikit demi sedikit sokongan simpati mengalir ke Bram, baik yang terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.

Yang pasti, Om Hardi tetap memberikan bukti-bukti yang sekiranya bermanfaat bagi Bram seandainya waktunya tiba. Om Hardi mengakui bahwa ia tak punya cukup keberanian menjadi pembisik kepada direktur utama. Tetapi, ia yakin, Bram punya kemampuan untuk itu.

Sampai akhirnya, beberapa tahun sejak peristiwa itu, ketika karyawan dari lapisan bawah dan menengah mulai muak dengan praktik korupsi yang mulai menggerogoti perusahaan, Bram menjadi penyambung lidah yang ditunggu-tunggu.

Dengan setumpuk dokumen yang bisa menyeret siapa pun ke depan meja hijau, ia menyampaikan bukti kecurangan koleganya di depan dewan direksi. Memang sebagian direktur juga ada yang terlibat dalam praktik haram itu, tetapi direktur utama yang baru termasuk pemimpin yang menginginkan perusahaannya maju, dan terutama bebas dari praktik korupsi.

Lewat pengakuan di bawah sumpah, didukung dokumen serta kesaksian karyawan lain yang menginginkan perubahan, perjuangan Bram akhirnya membuahkan hasil. Belasan orang dari dewan direksi, administratur hingga mandor kebun berhasil digiring ke meja hijau.

Selain mendapat rehabilitasi nama baik, hak-hak politiknya dipulihkan. Posisi Bram pun kembali menjadi koordinator administratur perkebunan, yang ditugasi membenahi sistem manajemen keuangan.

Begitu juga dengan Om Hardi, atas dukungan dan jasa baiknya selama ini, Bram mempromosikannya sebagai administratur di sebuah perkebunan cokelat.

Sebuah akhir kisah yang indah.

Dayu kian bangga menjadi putri tunggal Bram Nataatmadja.

Lamat-lamat terdengar dentingan piano Diana Krall di kabin kelas bisnis pesawat yang membawa Dayu kembali ke Inggris. Saat itu mungkin ia sudah dibuai mimpi indah. Mimpi tentang Dewi Arimbi yang memiliki kesaktian bisa berubah wujud menjadi perempuan cantik.

”Panggil namaku Arimbi!” bisik perempuan buruk rupa berhati mulia di telinga Dayu.

No comments: