12.22.2010

Nyanyi Sunyi Celah Tebing

Pantai Lovina, September 1994
Sesosok tubuh terempas dalam genangan berpasir. Pantai Bali Utara yang sesungguhnya berombak tenang seketika gempar. Para nelayan yang tadinya bergegas menarik perahunya untuk menjala ikan, menghentikan langkah. Remang subuh tidak menghalangi mata mereka yang awas, untuk mengetahui sosok tubuh yang tak dikenal itu.

Tubuh itu adalah tubuh seorang bocah berkulit cokelat. Seluruh wajah dan tubuhnya bersemu kebiru-biruan. Ada darah yang mengental di sudut bibir dan kakinya. Tampaknya tubuh mungil itu telah dihantam dengan semena-mena. Tubuh itu pasti telah menjadi mayat, jauh sebelum hantaman terakhir menghajarnya.

Para nelayan menggunakan sauhnya untuk mengangkat tubuh itu. Mengangkatnya dari genangan air. Wajah tanpa dosa itu perlahan-lahan dibersihkan dari lumpur dan pasir. Terdengar gumaman bersuara dengung. Nada-nada prihatin. Nada-nada marah. Nada-nada khawatir. Anak siapakah gerangan yang bernasib demikian malang? Mudah-mudahan bukan sanak saudara.

Kulkul (kentongan) seketika dipukul bertalu-talu. Bergelombang warga pesisir pantai berdatangan. Suara dan nada terus saja bergema tanpa putus-putusnya. Seperti tak habis-habisnya kata-kata untuk mempertanyakan. Barangkali karena pemandangan itu terlalu tak mengenakkan hati. Terlalu melukai jiwa. Terlalu menyedot rasa ingin tahu.
Saat tak putus-putusnya pertanyaan, dua orang pria berseragam polisi tergopoh-gopoh datang. Sejenak keduanya memeriksa mayat bocah itu.

“Kami harus membawanya ke rumah sakit untuk diotopsi,” kata salah satu polisi yang berkumis tebal kepada nelayan yang masih melongo.

Mereka masih tetap bergeming, ketika dua polisi itu perlahan mengangkut mayat itu dengan mobil pick up. Sebuah terpal digunakan untuk menutupi tubuh si bocah. Kerumunan baru bubar setelah mobil pick up itu membentuk sebuah titik di kejauhan. Terdengar suara denging tawon, saat para nelayan itu berjalan menuju perahunya masing-masing.

Tampak Siring, Januari 1994
Siang memanggang bumi, saat Lily tiba di kawasan wisata Candi Tebing Gunung Kawi, Gianyar. Lily mengirup napas dalam-dalam, merasakan aroma segar di paru-parunya. Aroma tanah terasa sangat nikmat. Barangkali semalam telah turun hujan ringan di tempat ini. Hampir dua pekan berada di Bali, Lily selalu melakukan ritual yang sama sebelum memulai liputannya.

Mengunjungi Candi Tebing Gunung Kawi membuat Lily merasa dibawa ke masa lalu. Candi yang dipahat di tebing-tebing itu terlihat begitu misterius dan angkuh. Lily sudah merasakan aromanya, ketika ia berjalan menuruni ratusan undakan menuju ke bagian dalam candi. Lily berjalan dengan langkah tenang, sambil menenteng kameranya. Senandung kecil terdengar dari bibir mungilnya. Turis-turis yang berwisata kelihatan cukup ramai. Dari yang berambut pirang sampai dengan yang berkulit kuning.

Liputan yang harus dilakukan Lily kali ini tergolong ringan, lebih seperti jalan-jalan. Sangat kontras dengan liputan rutinnya selama lima tahun terakhir. Selama lima tahun lamanya ia berkutat dengan liku-liku peristiwa politik di Jakarta. Selama itu, Lily hampir tidak pernah mengambil cuti tahunannya. Lily juga jarang sakit. Jadi, dialah yang paling sering muncul di kantor, bahkan saat libur. Redaktur koran Memoar, Mas Tony, sering geleng-geleng kepala melihat Lily.

Lily enggan pulang beberapa tahun ini. Terutama setelah putus dari Rafa, kekasihnya. Nama yang masih terlalu dalam tertancap di benak Lily. Rafa meninggalkannya demi sebuah cinta lain. Alasannya, karena Lily terlalu sibuk dengan dunianya sebagai wartawan.

“Aku bukan pacarmu, Ly. Koran itulah pacarmu,” kata Rafa.

Lily hanya ternganga dan kehilangan kata-kata saat itu. Benarkah ia telah begitu sibuk, sampai-sampai Rafa berkata begitu. Ah, sudahlah, barangkali itu hanya alasan Rafa untuk meninggalkannya. Lily mengembuskan napasnya kuat-kuat, berusaha membuang sakit hati yang masih tersisa di dadanya. Ia berusaha kembali memfokuskan diri pada liputannya.

Pekan lalu, tiba-tiba saja Mas Tony memanggilnya dan menyo­dorkan tiket pulang pergi Jakarta-Bali.

“Buat kamu, liputan di sana. Proyek promosi wisata, sekaligus jalan-jalan. Aku takut, suatu saat kamu digiring ke rumah sakit jiwa, kalau tidak pernah libur,” katanyanyengir. Lily cemberut.

Enak saja redaktur satu itu menuduhnya akan gila. Tapi, tidak apa-apalah. Lily senang mendapat kesempatan ini. Dengan begitu ia bisa jalan-jalan gratis dengan liputan yang tergolong ringan. Lily hanya harus meliput sejumlah tempat wisata yang mulai berkembang, namun belum seramai tempat-tempat wisata yang sudah top. Ada sepuluh objek wisata yang harus ia liput, tersebar di berbagai kabupaten di Bali. Lily harus membuat tulisan ringan mengenai tempat-tempat wisata itu, ditambah foto-foto kawasan wisata tersebut. Gunung Kawi adalah tempat wisata terakhir yang harus ia liput.

Lily sedang melangkah perlahan menuruni anak tangga yang berkelok-kelok ke bawah, saat dari belakang terdengar suara orang berlari yang makin dekat. Dua langkah kaki yang saling berkejaran. Ketika menoleh, Lily terkesiap, seorang bocah laki-laki hampir saja menabraknya. Wajah bocah itu tinggal beberapa senti saja dari wajahnya. Lily merutuk dalam hati pada kenakalan bocah itu. Untunglah, bocah itu sigap melompat ke samping, kemudian meneruskan la-rinya. Jika tidak, pastinya Lily sudah jatuh berguling-guling.

Lily cepat-cepat menyingkir, karena beberapa saat setelah si bocah laki-laki, seorang bocah perempuan berlari kencang mengejarnya. Wajah si bocah perempuan tampak memerah dan terengah. Kedua bocah itu tentulah tinggal di kawasan ini. Jika tidak, tidak mungkin balapan lari di tangga seterjal ini. Lily meneruskan langkah, sambil terus merapatkan tubuhnya ke bagian pinggir. Ia khawatir ada gerombolan bocah lain yang berlarian di sana.

“Bagus, Ly, fotomu asyik-asyik. Tapi, kayaknya masih ada yang kurang?” kata Mas Noch, redakturnya, lewat telepon.

“Yang mana Mas?”

“Ada beberapa gambar bagus yang kamu dapat dari Gunung Kawi. Tapi, beberapa di antaranya buram, karena kameranya ber­gerak. Kamu bisa ambil ulang?”

“Bukankah masih banyak foto yang lain, dari objek wisata lain, masih belum cukup?”

“Aku suka sekali beberapa foto itu. Foto itu akan jadi foto utama di halaman depan koran akhir pekan. Masih ada waktu, kamu bisa ambil ulang?”

“Bisa, Mas. Besok pagi saya ke sana lagi.”

Keesokan harinya, Lily hanya membawa satu ransel kecil ke Candi Tebing Gunung Kawi. Maklum, hanya beberapa foto yang ia perlukan untuk memenuhi permintaan Mas Noch. Dengan bersiul, Lily mengamati kawasan itu. Indah dan nyaman. Juga seperti mengandung aroma magis. Pahatan-pahatan yang demikian tua masih terpatri di tebing-tebing. Pahatan yang kabarnya dibuat pada abad 11 Masehi. Ratusan tahun menjadi saksi sejarah peradaban manusia.

Lily masih bersiul, saat kameranya menjepret beberapa bagian di kawasan candi tebing itu. Lily berpikir untuk mengambil gambar lebih banyak dari yang diminta redakturnya. Menarik juga buat koleksi pribadi.

Ia bergegas memacu mobilnya ke kantor, ingin segera menyelesaikan tugas Mas Noch, agar bisa segera menyelesaikan seluruh tulisannya tentang semua kawasan wisata. Sambil menyelesaikan tulisannya, Lily meneliti satu per satu foto hasil jepretannya. Puas ia akan hasil jepretannya kali ini. Mas Noch pasti memujinya kali ini.

Di foto kelima belas, Lily mengamati foto sungai Pakerisan yang tampak agak seram. Sungai Pakerisan adalah sungai yang membelah Candi Tebing Gunung Kawi menjadi dua bagian, yaitu gugusan candi bagian barat dan candi bagian timur. Batu-batu besar bergelimpangan begitu saja sepanjang sungai. Air sungai terpaksa mengalah harus meliuk-liuk di antara batu-batu besar itu. Pohon beringin yang rimbun, berebut menjuntaikan sulurnya ke sungai membuat sungai makin gelap, walaupun di siang hari. Belum lagi rumpun pohon pisang yang tumbuh di sepanjang sungai.

Di tengah suasana seramnya, ada foto seorang bocah berjongkok di pinggir sungai. Tangannya memegang benda kecil berbentuk memanjang. Rambutnya dikucir dua dan diikat tinggi. Lily menekan tombol zoom di keyboard komputernya. Bocah itu ternyata seorang gadis kecil berkulit cokelat. Kacamata mungil bertengger di matanya. Lily tidak bisa melihat lebih jelas lagi, karena bocah itu terlalu jauh dari fokus kameranya. Siapa bocah itu, Lily merasa pernah melihatnya. Tapi, ia betul-betul lupa di mana.

Seorang Bocah Menghilang Misterius di Gunung Kawi.
Headline koran lokal itu menarik perhatian Lily. Baru kemarin ia berada di Gunung Kawi, dan hari ini ia baru mengetahui sebuah peristiwa besar terjadi di sana. Lily merasa telah menjelajahi seluruh kawasan itu kemarin, namun ia sama sekali tidak merasakan sesuatu yang janggal.

Lily mengamati dengan seksama wajah bocah yang dinyatakan hilang secara misterius itu. Seorang bocah laki-laki yang tampan dengan mata bulatnya. Alisnya tebal dan kulit yang berwarna cokelat tanah. Lily yakin, bila bocah itu telah tumbuh menjadi pria dewasa, ia pastilah pria yang sangat tampan dan gagah.

Lily merasa wajah bocah itu mengingatkannya pada wajah sese-orang yang dikenalnya. Namun, Lily tidak mampu mengingatnya.

Sebuah pesan pendek masuk ke handphone Lily.

‘Ly, sekalian kamu liput hilangnya seorang anak secara misterius di Gunung Kawi. Sepertinya menarik.’ SMS dari Mas Tony.

‘Tapi Mas, besok pagi saya sudah harus balik ke Jakarta.‘

Lily memencet tombol send di handphone-nya.

‘Tetap tinggal dulu. Proyek kamu sepertinya diperpanjang. Biro Bali kekurangan orang. Kamu mungkin agak lama di sana. Kamu tidak keberatan kan? Pos kamu di politik sementara diisi wartawan baru!’

Tinggal lebih lama di Bali? Ia tidak tahu harus gembira atau kesal dengan kebijakan ini. Di Jakarta ia punya banyak teman nongkrong, tapi ia juga tidak punya kekasih. Bosan juga di kota yang selalu berderap begitu cepat. Dua pekan di Bali, Lily merasakan ritme hidupnya berubah. Hari-hari berjalan lebih lambat dan ia bisa mengirup udara lebih pelan. Mungkin memang saatnya ia pindah kota. Saatnya ia mencari kekasih di kota baru.

Kekasih baru di Bali? Lily hanya terkekeh kecil dalam hati. Gu­yon dalam benak itu seketika surut saat ia ingat tugasnya meliput ke Gunung Kawi. Meliput bocah yang hilang misterius? Bulu kuduk Lily meremang. Setiap kali ke kawasan Candi Tebing itu, Lily merasa sebagian jiwanya tersedot. Ada rasa tak nyaman dan cemas yang seketika mengisi benaknya.

Dan, bocah itu…. Ya ampun…. Lily menepuk dahinya dengan keras, sampai ia sendiri merasa kesakitan. Lily ingat tentang bocah yang hilang itu. Bocah itulah yang hampir bertabrakan dengannya, ketika pertama kali meliput di Gunung Kawi. Bocah itulah yang berlarian dengan seorang bocah perempuan di belakangnya. Ya, betul. Lily memang masih dapat mengingat wajah bocah itu, karena wajah bocah itu hanya beberapa senti saja dari wajahnya.

Perasaan Lily terasa makin runyam. Namun, ia juga penasaran. Bagaimana mungkin bocah yang terlihat begitu gembira dan sehat menghilang begitu saja? Tawa riang kedua bocah itu bahkan masih menggema di telinganya.
Lily membaca ulang seluruh isi berita di koran lokal itu. Ia ingin mengerti betul duduk permasalahannya sebelum meliput ke sana.

I Wayan Raka (11 tahun) adalah anak yatim piatu yang tinggal di kawasan wisata Gunung Kawi. Ia bersama adik perempuannya, Ni Luh Made Naka (11 tahun), sehari-harinya bekerja sebagai pemahat kayu. Hasil pahatan mereka kemudian dijual kepada para wisatawan yang berkunjung ke Gunung Kawi. Sampai saat ini, polisi belum menemukan satu jejak pun tentang hilangnya Raka. Satu-satunya informasi yang diperoleh polisi adalah terakhir kali Raka bermain di salah satu pelataran Candi Tebing Gunung Kawi. Dan, di tempat tersebut tidak ditemukan satu pun bukti yang bisa menjadi petunjuk untuk mengetahui penyebab hilangnya Raka.

Ke Gunung Kawi lagi. Lily merasa, terlalu banyak kebetulan yang selalu memaksanya kembali. Bukannya tak suka tempat ini. Tapi, ya, itu, bawah sadar Lily berkata, kompleks candi ini menyimpan banyak rahasia. Entah apa.

Lily melihat banyak orang berkerumun di rumah mungil di tengah persawahan itu. Mereka berpakaian adat Bali. Memakai selempang kain batik di kepala, kain kotak-kotak hitam putih di kaki. Semua pria. Sebagian memanggul gamelan dan bersiap-siap di de-pan rumah. Sebagian lain membawa kentongan atau obor. Hari telah beranjak senja. Mereka sepertinya sedang bersiap-siap berjalan dalam kelompok, namun seperti sedang menunggu sesu­atu yang belum siap di dalam rumah.

Lily memasuki rumah dengan ragu. Di dalam rumah rupanya juga penuh. Para wanita berkumpul di sini dengan berbagai rangkaian janur di tangan. Dupa mengepul memberi aroma magis. Lily melihat seorang wanita tua, dengan mata bengkak, duduk terenyak di salah satu balai-balai.

“Anak itu begitu baik. Ke mana dia!” Hanya itu kata yang keluar dari mulut wanita tua itu, yang ternyata adalah neneknya.

“Adiknya sampai menangis terus. Dua anak kembar itu memang susah dipisahkan. Sampai sekarang Luh Nake, belum mau makan. Dadong (saya) jadi khawatir sekali.”

Wanita tua itu terus bercerita tentang kedua cucunya, sambil sesekali mengusap air mata. Lily hanya mengangguk-angguk, sambil sesekali menyambung pertanyaan. Raka menghilang di sore hari, mungkin beberapa jam saja setelah hampir bertabrakan dengan Lily.

Sudah dua hari berturut-turut pencarian dilakukan oleh masyarakat Banjar Penake untuk berusaha menemukan Raka. Masyarakat memukulkan gong dan kentongan untuk mengusir makhluk halus, yang mungkin menyembunyikan Raka. Namun, hasilnya nihil. Anak itu seperti hilang tertelan kabut perbukitan yang turun di sore hari.

Lily melihat bocah berkucir itu berjongkok di pinggir sungai. Sungai dengan bebatuan yang membelah gugusan candi menjadi dua bagian. Gambar itu sepertinya tidak asing. Bocah itu seperti pernah dilihatnya dalam posisi yang sama sebelumnya.

Lily bergerak mendekat, melangkahkan sepatunya, menginjak rerumputan yang basah. Hantaman sepatu Lily ke tanah dan rerum-putan yang terpaksa menyibak, membuat bocah itu cepat mengetahui kehadirannya. Naka menoleh, memandang Lily sejenak, kemudian kembali khusyuk dengan aktivitas sebelumnya. Lily tahu akan sulit mengajak Naka bicara. Ia sekilas telah melihat sembapnya mata anak itu.

Dengan hati-hati Lily menyapa, mencoba mengajak anak itu bicara. Dugaan Lily meleset. Dengan lelehan air di matanya, anak itu menjawab setiap pertanyaan yang Lily ajukan. Dengan suara sengau ia ceritakan tentang Raka. Bagaimana anak itu hilang sore itu.

“Siang itu, saat tiang (saya) dan Bli Raka saling mengejar, kami sedang menuju ke pelataran candi dengan lima gugusan. Bli Raka mengolok-olok tiang ditaksir seorang teman sekolah. Tiang gemas dan mengejarnya. Kami bermain-main sebentar di pelataran itu, sampai tiang lihat, sudah jam dua siang. Tiang harus membantu Dadong (nenek), karena hari itu adalah Kajeng Kliwon. Tiang harus membantunya membuat sesajen. Tiang mengajak Bli Raka pulang, namun dia menolak. Dia masih ingin main di situ dengan membawa serulingnya. Dia juga membawa sepotong kayu yang sudah dipahat sebagian.

“Tiang sudah memperingatkannya, Kak Lily. Hari itu Kajeng Kliwon. Jangan main di sembarang tempat, apalagi hari sudah makin sore. Sore adalah waktunya remang-remang, saat kekuatan hitam mencari mangsa. Tapi, Bli Raka berkeras. Siang itu, tiang lihat suasana ramai. Rombongan turis ada di banyak tempat. Beberapa turis laki-laki berambut pirang sedang berada di pelataran tempat Bli Raka memahat. Mereka sedang berteduh dan bercakap-cakap.

“Tiang sangat kaget, bagaimana Bli Raka bisa hilang, padahal Gunung Kawi dari dulu sangat aman. Tidak pernah ada penjahat yang berkeliaran. Apakah betul Bli Raka disembunyikan makhluk halus? Tiang harus segera menemukannya, Kak. Karena itu tiap hari tiang membuat surat untuknya, yang tiang hanyutkan melalui Sungai Pakerisan. Semoga Bli Raka membacanya agar segera bisa menemukan jalan pulang.”

Surat? Lily mengerti dan sekaligus ingat. Salah satu gambar Naka kemarin terekam kameranya. Anak itu rupanya sedang menghanyutkan salah satu surat yang ditujukan kepada Raka. Lily bisa melihat cekung lingkar mata Naka. Sepotong perasaan Lily ikut hanyut dalam duka Naka. Namun, Lily tidak hendak menghibur-nya. Anak itu pasti sudah mendengar segudang kata-kata bijak. Lily yakin itu tidak banyak manfaatnya.

Lily yang merasakan perutnya mulai keroncongan, mengajak Naka makan, sekaligus berkeliling dengan mobilnya. Lily tidak menyangka anak itu langsung mengiyakan, saat ia menambahi dengan embel-embel, sambil berusaha menemukan Raka. Mereka pun berkeliling sekitar kawasan Kecamatan Tampak Siring. Naka banyak bercerita tentang masa-masa menyenangkan yang ia alami bersama Raka. Ba-gaimana Raka menjadi kakak yang selalu melindungi saat kedua-nya menjadi sebatang kara. Kepelikan telah banyak dialami Naka di usianya yang masih sangat kecil. Baru sebelas tahun. Naka belum lagi menamatkan sekolah dasarnya.

I Wayan Raka selalu meniup serulingnya dan memperde­ngar-kan suara merdunya ke telinga Luh Naka. Ia gemar bercerita dengan suara yang terdengar serak. Naka selalu menganggap Raka adalah idolanya. Bila punya kekasih kelak, ia ingin dia seperti Raka. Yang membelai kepalanya bila malam tiba. Yang pagi-pagi telah membangunkannya dengan sepotong pisang goreng, walaupun Na-ka tidak tahu apakah Raka telah mengambil bagiannya. Bersama Raka, Naka tidak pernah kelaparan. Walaupun saat orang tuanya masih hidup, mereka sudah miskin. Apalagi, tangan-tangan kecil itu sekarang harus menjadi tulang punggung hidup mereka. Mereka menjual pahatan-pahatan yang mereka hasilkan untuk bisa terus bersekolah.

Naka ingat betul, saat kedua orang tuanya meninggal. Meme-Bapa (bapak-ibu) terlindas truk, sepulang berjualan pahatan di Denpasar. Sepekan lamanya, ia dan Raka seperti orang linglung. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Malam-malam dilalui Naka sambil menahan lapar. Hanya cerita Rakalah yang membuatnya tertidur. Bila Naka tak juga kunjung bisa terlelap, Raka mulai meniup serulingnya. Alunannya yang mengambang di udara mengantar Naka terlelap. Suara seruling yang panjang dan lirih selalu membuat Naka mudah diantar ke alam mimpinya. Naka selalu merasa seruling itu bercerita, cerita yang tidak sama setiap malamnya. Cerita yang membuat Naka hanyut tiap mendengarnya.

Suatu kali, Naka ingin melihat wajah kakaknya yang sedang meniup seruling. Naka duduk di pangkuan Raka dan memandangnya dari bawah dagu. Naka merasa Raka sangat tampan dengan dagu cokelat dan hidungnya yang panjang. Ia setampan pangeran, putra mahkota para raja. Namun, di pipi cokelat itu ada dua tetes air mengalir yang berebut mencapai ujung bibir Raka.

Saat Naka menanyainya, Raka hanya bergegas mengusapnya dan mengatakan hanya menikmati suara seruling itu.

“Seruling ini bagi Bli adalah Meme-Bapa yang menyanyikan gending untuk menidurkan kita berdua. Agar tertidur pulas dan mimpi indah.” Begitu jawab Bli Raka saat itu.

Saat yang paling disukai Naka adalah bila Raka mengajaknya bermain di pelataran gugusan lima candi di Gunung Kawi. Mereka tak pernah bosan bermain di sana. Di sanalah Raka selalu bercerita tentang kisah raja-raja yang memimpin Bali di masa lalu. Tentang keluarga kerajaan dari Dinasti Warmadewa yang dimakamkan di sana. Raka akan bercerita tentang sebuah puri yang kini didiami putra ketiga Raja Udayana, Anak Wungsu. Puri dengan ratusan dayang-dayang, ribuan prajurit yang menjaga kerajaan dari ancaman musuh.

Naka kadangkala melongok ke dalam deretan candi makam keluarga kerajaan itu. Ia ingin mengintip, sungguhkah Raja dan para dayang-dayangnya berdiam di sana. Sekali waktu ia ingin bermain ke sana. Raka menanggapi keinginan Naka hanya dengan tersenyum.

Awal pekan, minggu ketiga Januari 1994
Lily menyerahkan koran itu kepada Naka.

“Lihat foto kamu dan Raka di sana!”

Naka menerimanya, meneliti tulisan itu. Wajahnya berubah cerah.

“Kira-kira ada nggak, ya, yang bisa membantu menemukan Bli Raka dengan foto ini?” tanyanya, gamang.

“Koran ini dibaca banyak orang, Naka. Ribuan, bahkan mungkin ratusan ribu. Kita berharap saja, ada yang menemukan Raka dan memberi tahu kamu.”

Lily melihat mata Naka berbinar-binar. Harapan untuk segera menemukan kakak kembarnya meluap. Naka membaca dengan teliti, baris demi baris kata yang tercetak. Ia seperti tersedot hanyut dalam kekaguman.

Sebenarnya, Lily sangat dibuat penasaran oleh peristiwa ini. Lily merasa sangat tidak puas hanya bisa menceritakan kronologi peristiwa, tanpa bisa menemukan titik terang. Lily merasa gamang hanya menuliskan hal yang sama dengan yang dituliskan wartawan-wartawan lain. Ia kesal, ia dan para wartawan pada banyak peristiwa hanya bisa menjadi pewarta, bukan penemu fakta. Mereka menjadi pewarta banjir, pewarta longsor, menceritakan kronologi, menceritakan penderitaan korban. Tapi, kapankah mereka bisa menjadi penemu fakta?

Lima tahun menjadi wartawan politik di Jakarta, Lily berikhtiar tak cuma menjadi pewarta, apalagi pencatat, wartawan yang hanya melakukan tuntutan atasan tanpa usaha untuk memberi lebih. Untuk liputan-liputan politik, Lily merasa cukup puas dengan berita-berita yang ia gali. Cukup puas karena berita itu tidak kering dan datar. Cukup puas karena ada data-data pendukung yang kuat di sana. Namun sekarang, Lily berhadapan dengan kasus yang sama sekali baru. Kasus kriminal bahkan mungkin semi-mistis. Bisakah ia menghasilkan berita bernilai kali ini?

Lily tahu, tidak mudah baginya atau wartawan lain menjadi detektif. Namun, ia sangat menyesal, bila kedatangannya dan wartawan lain ternyata hanya bikin repot korban. Bikin repot Naka dan keluarganya. Harus melayani bermacam-macam pertanyaan, kemudian mereka pergi tanpa bekas. Bukankah begitu perilaku wartawan dalam berbagai liputan bencana? Lily tidak mau Naka hanya menjadi objek liputannya saja.

Lily kembali mengarahkan pandangannya pada Naka, setelah sempat terbuai dalam lamunan. Anak itu masih sibuk membaca tulisan Lily. Lily menyerahkan dua edisi Koran Memoar pada Naka. Edisi lama memuat feature Lily tentang objek wisata Gunung Kawi.

“Kamu suka buku cerita bergambar tidak?” tanya Lily, sejenak berusaha mengalihkan Naka dari keseriusannya membaca Koran Memoar.

“Naka belum pernah punya. Yang seperti apa, Kak?”

“Seperti ini?” Lily menyodorkan tiga buku cerita bergambar kepada Naka. “Ada dongeng Putih Salju, Legenda Tangkuban Perahu, dan Cinderella”

“Gambarnya bagus-bagus. Naka suka,” kata Naka, dengan cepat membolak-balik buku bergambar yang diberi Lily.

“Kamu sudah pintar membaca, kamu mungkin sudah bosan buku bergambar, ya!” kata Lily, seperti pada dirinya sendiri. Seketika ia menyadari kebodohannya memberi Naka buku-buku bergambar, yang seharusnya untuk anak-anak TK.

“Tidak, Kak, saya suka. Sewaktu kecil, Naka belum pernah punya. Teman-teman Naka pernah cerita punya buku cerita bergambar. Mungkin ini yang mereka maksud, ya, Kak?”

Lily mengangguk. Kembali rasa iba itu menyelinap. Naka tidak pernah meminta apa pun padanya. Juga tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Ia gadis yang berani dan tegar. Walaupun sekarang hatinya sedang patah, Naka tidak pernah merengek-rengek, mengiba-iba berusaha mendapatkan belas kasihnya. Tapi, entah mengapa, hati Lily amat gampang pedih hanya mendengar penuturan Naka yang polos.

“Kak Lily, terima kasih, ya. Kak Lily baik sekali sama Naka!” Ucapan Naka membuat Lily terenyak.

Lily merasa belum melakukan apa pun untuk bocah itu. Namun, bocah itu menganggap Lily sudah sangat baik kepadanya. Anak yang polos. Dan, yang membuat Lily terpukau adalah mata itu. Mata Naka yang memancarkan sinar bintang paling terang dengan seribu kurcaci bermanik-manik di sana. Anak itu sedang sangat berbahagia.

Denpasar, awal Maret 1994
Dua bulan berlalu. Lily masih terus memperpanjang tugasnya di Bali. Ia diperbantukan di Biro Bali, yang saat ini hanya diisi dua wartawan. Satu orang kepala biro dan satu wartawan lapangan. Desas-desus mengatakan, Lily akan sepenuhnya dipindahkan ke Bali dalam waktu yang cukup lama. Setahun, dua tahun, bahkan mungkin lebih.

Lily hampir melupakan pertemuannya dengan Naka dan misteri hilangnya Raka. Ia tak bisa memberi lebih pada liputannya kali ini. Lily putus asa, sehingga tak ingin menemui Naka. Ia takut bocah itu menanyakan kabar Raka dari foto yang dimuat di Koran Memoar.

Sampai hari ini, belum satu pun kabar ia dengar. Tidak ada yang menghubungi untuk memberi sebuah informasi. Berharap pada polisi pun percuma. Kesimpulannya masih sama. Hilang tanpa jejak. Polisi malah ikut-ikutan percaya, barangkali bocah itu memang menghilang secara gaib. Huh…! Lily percaya bentuk-bentuk kegaiban, namun ia juga percaya gaib tak semudah itu menyedot seorang anak manusia ke dunianya, tanpa angin tanpa hujan. Lily lebih percaya, kegagalan menemukan jejak, tidak lain karena kemalasan. Kemalasan mengumpulkan fakta-fakta. Kemalasan merangkai dan menyimpulkannya. Lily kesal, karena ia hanya bisa menunggu.

Namun, semalam tiba-tiba ia teringat mata Naka. Mata yang berbinar saat Lily membawakan buku-buku cerita bergambar, membawakan baju seragam baru. Binarnya begitu terang. Lily menjadi sadar, bahwa ada hal lain yang bisa ia lakukan, selain mencoba mencari Raka. Yang lebih penting adalah bagaimana menemani Naka melewati masa sulitnya. Menemani Naka yang kehilangan pegangan.

Lily memutuskan kembali mengunjungi Naka. Bukan hanya mengunjungi, namun juga bertanggung jawab atas hidupnya. Lily ingin membantu Naka melewati hari-harinya yang gamang tanpa kakaknya. Lily berharap ia bisa.

Saat pagi tiba, Lily bergegas menyetir mobil ke rumah Naka. Se-tengah jam kemudian Lily sudah berada di jalan setapak menuju rumah Naka yang dikelilingi sawah menghijau. Rumah itu terlihat tenang di bawah rimbun pohon jambu yang menaunginya. Terdengar suara berdengung di dalam rumah, saat Lily ada tepat di pintu gerbang rumah Naka. Beberapa orang sedang berbicara atau barangkali berembuk di dalam.

Lily benar. Di salah satu balai-balai rumah Naka yang disebut bale dangin (bagian rumah di sebelah timur, mempunyai kegunaan khusus untuk upacara kematian), terlihat seorang pria muda. Pria itu mengenakan udeng dan kamen, pakaian adat semiformal. Ia Cakra. Lily sudah beberapa kali bercakap-cakap dengannya. Ada nenek Naka di sana, dan seorang pria paruh baya yang Lily kenal bernama Made Gemet. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya serius.

Saat Lily terlihat mendekat, ketiganya menoleh. Dari nenek Naka, Lily tahu bahwa kondisi Naka makin parah. Hari ini ia tidak mau makan sejak pagi. Tak sebutir nasi pun mau dimakannya. Ia hanya melamun atau menulis surat-surat. Rupanya, Naka makin tak bisa menerima kehilangan Raka. Nenek Naka yang kebingungan, menelepon Cakra untuk berusaha membujuknya.

Namun, beberapa jam mencoba mengajaknya bicara, ia gagal. Naka marah pada Cakra, karena jarang sekali mengunjunginya. Cakra pergi entah ke mana. Cakra tidak pernah ada saat ia dibutuhkan. Padahal, pekan-pekan sebelumnya ia rajin datang. Meniup serulingnya. Juga cerita-ceritanya. Rupanya, Cakralah yang meng-ajarkan cerita pada Raka, sehingga Naka sangat menyukainya. Naka hanya diam, ketika Cakra mencoba mengajaknya bicara.

Menemui Naka di kamarnya membuat Lily terkesiap. Anak ini makin kurus. Pipinya menjadi kempot dan tulangnya kelihatan. Padahal, Naka yang pernah ia temui pertama kali adalah Naka yang tembem, Naka yang pipinya merah dadu. Naka dengan kaki lincah dan tatapan cemerlang.

Lily menyesal sekali telah meninggalkan anak itu selama tiga pekan ini. Ia mengutuki diri karena pernah berniat melupakan saja Naka dan masalahnya. Kalau saja ia datang lebih sering, Naka pasti lebih sering menampakkan binar matanya yang paling terang.

“Hai, Naka!” sapa Lily, hati-hati.

Naka menoleh dengan sinar mata redupnya. Kemudian kembali memandangi kertas di depannya.

“Naka mau buku cerita bergambar lagi tidak? Kakak bawa yang ada cerita kakak-beradiknya. Pernah dengar cerita Tunggeng-Laka (cerita rakyat asal Bali tentang kesengsaraan sepasang anak kembar yang yatim piatu)? Nah, itu sudah dibuat buku bergambarnya. Mau lihat?” Lily mencoba membujuk Naka dengan suara lembutnya.

“Mengapa Kak Lily lama sekali tidak datang. Kak Lily janji sering-sering menjenguk Naka. Kakak bohong. Kakak juga menghilang!” kata Naka, ketus.

Lily belum pernah mendengar Naka berkata sekeras dan setajam itu. Lily merasakan hatinya kecut. Ia merasa amat malu. Lily hanya diam karena terlalu bingung harus mengatakan apa. Ia hanya mengelus-elus kepala Lily dan mengusap-usap punggungnya. Sementara mata itu masih memandangnya tajam.

“Kak Lily sama dengan semua orang. Tidak betah bersama Naka. Juga Bli Cakra. Semuanya. Semuanya tidak ingin bersama Naka.”

Lily tidak menyangka ia telah menjadi orang yang berarti buat Naka, padahal belum banyak hal yang dilakukannya.

“Tidak, Naka. Semua orang bukan tidak betah bersamamu. Kak Lily, nenekmu, Cakra, sangat suka bersama Naka. Juga Raka, kakakmu. Kalau bisa, pasti ia sangat ingin bersamamu. Namun, ia tidak bisa, karena takdir memisahkan kalian. Jangan menyalahkan dirimu atas semua kejadian ini. Semua orang mencintai anak sebaik dan serajin Naka. Kamu salah menilai dirimu!” Lily tidak tahu apakah yang diucapkannya benar atau tidak. Ia berharap Naka bisa memahaminya.

Lily melihat genangan air berebut keluar dari kelopak mata Naka. Air itu kemudian meluap dan mengalir deras di kedua pipinya. Naka memeluk Lily erat dan menangis dengan suara keras. Guncangan di dadanya memukul-mukul dada Lily. Lily mengelus-elus punggung Naka dan merasakan hatinya hanyut.

Saat tangisnya mereda, Lily berusaha membujuknya untuk makan. Lily menunjukkan dua gaun baru untuk Naka. Dua gaun feminin. Lily mengatakan, gaun itu akan menjadikan Naka seorang putri. Putri yang dikagumi dunia. Meskipun masih berurai air mata, Naka tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Mata cemerlang itu kembali dilihat Lily.

“Semua untuk tiang, Kak?” tanyanya, dengan mata cerah.

Anggukan Lily membuat mata itu makin berkilau-kilau. Seharusnya Lily sadar, pemberian-pemberian kecilnya sangat berarti buat Naka. Dalam hati Lily berjanji takkan membiarkan anak ini kembali tergulung dalam kesedihan. Sekali ini Lily ingin berbuat sesuatu untuk orang lain, untuk Naka.

Denpasar, April 1994
Lily resmi dipindahkan ke Bali. Ia hanya sempat pulang seminggu untuk mengemasi barang-barangnya. Lily merasa heran atas kebijakan redaksi ini. Mengapa begitu mudah memindahkannya ke Bali. Wartawan sehebat Lily. Yang kerap menghasilkan tulisan-tulisan besar.

Lily terkenal sebagai wartawan yang sangat berani. Ia ba­nyak mengulas carut marutnya pengelolaan keuangan negara, bagaimana kebocoran uang negara bisa terjadi begitu mudah, terjadi di semua lini dan melibatkan pejabat negara secara sistematis. Dokumen-dokumen penting sering bocor ke tangan Lily melalui informan-informannya. Banyak pejabat yang kebakaran jenggot karena berita-berita Lily. Untunglah, sampai saat ini, belum satu pun yang berhasil menggunakan cara-cara keras untuk membungkam Lily.

Dan, sekarang ia begitu mudah dipindahkan ke Bali, setelah lima tahun menjadi ‘penguasa’ berita-berita korupsi. Dan, pos Lily begitu saja diserahkan kepada wartawan baru. Wartawan yang sama sekali buta seluk-beluk jaringan informasi di sana. Lily ingat, beberapa bulan belakangan ini Mas Tony sering menanyakan, kapan Lily mengambil cutinya. Padahal, sebelumnya, ia dan Mas Noch selalu keberatan kalau Lily ingin cuti.

Kehilangan Lily berarti kehilangan berita-berita besar yang men­dongkrak oplah Memoar. Mengapa sekarang mereka malah cen­derung mau menyingkirkan Lily? Lily mengibas-ngibaskan tangannya. Berusaha menghalau kecurigaan yang tiba-tiba menggumpal di kepalanya.

Ah, sudahlah, aku tidak mau ambil pusing. Di Bali pun aku bisa berkarya. Begitu pikirnya. Lily sendiri mulai terpikat pada Bali. Sejak peristiwa di Gunung Kawi yang menyeretnya dekat dengan keluarga Naka, juga seorang pemuda Bali bernama Cakra. Perkenalan Lily dengan keluarga ini membuat Lily terbius untuk selalu merasa betah. Ia selalu ingin berkunjung sesering mungkin. Mengunjungi Naka dan mengajaknya bercerita. Turut serta mengayam sesajen dan makan masakan nenek Naka.

Lily merasa menemukan rumah baru yang begitu permai, begitu nyaman. Seperti berkunjung ke sebuah negeri khayalan yang hanya ada dalam dongeng-dongeng. Setiap kali mengunjungi rumah Naka, Lily merasa tiba-tiba waktu bergerak lambat. Pohon-pohon juga bergoyang lebih pelan, angin bertiup lebih lembut. Matahari yang bergerak seolah berjingkat-jingkat, seperti tidak ingin mengu­sik keasyikan keluarga ini bekerja.

Dan, aroma itu…. Aroma yang membuat Lily bisa mengenali rumah itu, seperti ia mengenali keringatnya sendiri. Aroma daun-daunan layu, aroma bunga-bunga yang membusuk dari sisa canang sari (salah satu bentuk sesajen) yang berserakan di halaman. Aroma tanah basah yang sangit. Bila suatu saat punya rumah dan membangun keluarga, Lily ingin menciptakan aroma itu di rumahnya. Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan tinggal di rumah dengan aroma itu.

Sekarang Lily makin sering menghabiskan waktu dengan Naka. Sejak ia berhasil membujuk Naka menyudahi mogok makannya, Lily berjanji tidak akan pernah mengacuhkan Naka lagi. Rupanya niat itu pulalah yang tertanam di benak Cakra. Ia tidak ingin mengecewakan Naka untuk kedua kalinya. Cakra…I Gede Cakra lengkapnya. Pria tipikal Bali yang terkesan kuno.

Pria itu sering menggunakan kain yang ujungnya dilipat meruncing, bila berkunjung ke rumah Naka. Kain kusut yang sering membuatnya tampak kumal. Kain kusut yang juga sering digunakan keluarga Naka. Mereka selalu bermain dengan warna cokelat dan abu-abu. Membuat gambar-gambar yang tertangkap lensa mata Lily adalah gambar-gambar muram seperti dalam film-film lama. Bila ia berada di tengah-tengah keluarga ini, ia benar-benar menjadi kontras, karena Lily sering mengenakan baju-baju berwarna cerah.

Lily, Naka, dan Cakra sering pergi bertiga. Pergi bersama dengan mobil Lily. Lalu, Naka akan terlihat melongo mengamati benda-benda bergerak cepat dari dalam mobil. Kemewahan yang belum pernah ia nikmati sebelumnya. Naka masih sering melemparkan surat-surat untuk mencari Raka. Naka tidak pernah menyerah. Anak itu juga sangat menyukai saat-saat Lily mengajaknya mencicipi berbagai jenis makanan baru di restoran. Sukacita seorang bocah yang bermimpi memiliki orang tua yang lengkap.

Lily tahu, Naka memang sengaja membuat ketiganya sering pergi bersama-sama. Dan, ia selalu tampak ingin bermanja kepada Lily dan Cakra. Memimpikan keduanya adalah keluarganya. Orang tua sekaligus kakaknya. Lily tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti anak itu, paling tidak untuk sementara ini.

Gunung Kawi, Mei 1994
Lily menyebut pria berkulit cokelat yang baru dikenalnya sebagai tetua adat. Bagaimana tidak, Cakra bisa dibilang sangat kuper. Cakra seperti baru pulang dari tapanya selama bertahun-tahun. Ia seperti hilang ingatan terhadap dunia sekitarnya. Ia belum pernah menonton film Hollywood mana pun, ia tak mengenal satu pun aktor Hollywood, apalagi penyanyi-penyanyi dunia yang digandrungi anak muda zaman ini. Ia juga tak acuh pada buku-buku bestseller yang bertebaran di toko-toko buku ternama.

Sempat suatu kali dengan gemas Lily bertanya, “Kamu ke mana saja, Cakra? Nggak pernah baca buku atau nonton film?”

Cakra dengan serius menjawab, “Kamu jangan begitu, dong. Jelas aku terpelajar dan berpengetahuan. Mau coba? Cuma, jangan ban-dingkan dengan pacar-pacarmu dulu!”

Cakra tidak omong kosong. Ia jelas berpengetahuan. Sejarah benda-benda kuno di Bali dihafalnya dengan fasih. Cerita tempat-tempat wisata di Bali dipahaminya mendalam. Tak heran ia bisa menjelaskan dengan sangat detil bila ada yang bertanya. Terutama turis-turis. Mereka sangat puas dengan penjelasan Cakra ketika ia mengantar mereka. Lily pernah mendengar salah seorang turis me-mujinya. Saya belum pernah ketemu guide sebagus kamu. Kamu arkeolog?

Cakra memang kuliah di Arkeologi, walaupun telah sembilan tahun belum juga lulus. Itu pula yang mendekatkan Cakra dengan Naka-Raka. Ia kerap bercerita tentang sejarah makam-makam raja Dinasti Warmadewa yang dimakamkan di kawasan Gunung Kawi. Cerita ini membuat Naka-Raka takjub. Cerita tentang Raja Anak Wungsu bersama permaisurinya yang dimakamkan di sana. Anak Wungsu adalah putera ketiga Raja Udayana. Ia berhasil memerintah Bali hingga menuju kemakmurannya. Itu yang pernah dicerita-kan Cakra padanya tentang sejarah tempat itu.

Namun yang membuat berdecak, memberi acungan dua jempol adalah kemampuan Cakra menyanyikan kidung. Pernah terbayang laki-laki muda jaman ini fasih menembang? Lily benar-benar tidak menyangka laki-laki yang lebih mirip laki-laki berandalan macam Cakra memiliki suara yang begitu merdu. Lily memergokinya suatu kali di rumah Cakra. Laki-laki itu memegang lontar di tangan dan menyanyikannya dengan suara panjang-pendek. Beberapa orang mendengarkan suara Cakra dengan seksama. Ia rupanya mengajari mereka. Luar biasa. Murid-murid Cakra ada yang berumur dua kali umurnya. Layak bila Lily menggodanya sebagai tetua adat. Ia memang tokoh penting dalam adat di masyarakat Banjar Senggu, dimana Cakra dilahirkan. Ia kerap menjadi pemimpin rapat-rapat adat dengan bahasa yang terdengar pelan dan berwibawa. Ia membuat para peserta rapat adat, dari bapak-bapak, ibu-ibu hingga remaja tekun mendengarkan kata-katanya. Lily pun dibuat terpesona dan tersihir. Cakra menjadi idola dalam masyarakatnya. Tidak heran banyak gadis-gadis remaja yang jatuh hati padanya. Ibu-ibu yang getol menjodohkan anaknya dengan Cakra. Apalagi dengan wajah se-charming itu. Lily mengutuki dirinya yang sering diam-diam menikmati wajah Cakra. Menikmati senyum dan suaranya yang terdengar amat menawan. Ah…

Pantai Lebih, Juni 1994
Pagi yang cerah di Pantai Lebih. Inilah kali pertama Lily dan Cakra benar-benar sengaja pergi bersama, tanpa Naka. Cakra menawarkan sebuah date yang romantis. Makan sate ikan di sebuah restoran pinggir pantai yang nyaman. Lily menanggapi dengan ringan tawaran itu. Toh sekalipun tampak seperti laki-laki berandalan, Cakra sesungguhnya laki-laki yang baik hati.

Lily dan Cakra sedang menikmati keindahan laut sambil mengunyah gurihnya sate ikan yang dicampur dengan kelapa parut saat terdengar sayup-sayup suara gamelan di kejauhan. Lily melihat sebuah rombongan yang berjumlah sekitar seratus orang berjalan berjalan dengan langkah-langkah panjang. Kain-kain yang melilit kaki berkibar-kibar; kebaya warna warni berkilat-kilat diterpa sinar matahari yang mulai meninggi. Mereka adalah rombongan melasti, jelas Cakra. Mereka ke laut untuk membersihkan alat-alat upacara.

Suara gamelan bergerak semakin dekat. Rombongan itu sesaat lagi akan melewati tempat Lily dan Cakra berdiam menikmati soft drink mereka. Entah mengapa pada detik itu baik Lily maupun Cakra serentak saling memandang, pada detik yang sama rombongan itu melintasi mereka. Ada yang terasa meloncat dari dada mereka. Tanpa dikomando, keduanya memandangi rombongan itu bergerak semakin jauh, hingga bayangannya semakin kecil mendekati bibir pantai.

Masih terlihat sepasang dewa yang diusung rombongan itu. Satu-nya berperawakan besar, berpenampilan garang dan berkulit hitam. Satunya lagi berkulit putih, bermata sipit dengan kepala yang berhiaskan mahkota bunga. Sepasang dewa yang dipuja itu sangat menarik perhatian Lily karena belum pernah ia saksikan pada berba-gai pura yang dikunjunginya bersama Cakra. Mengapa dewa yang dipuja itu harus sepasang, laki-laki dan perempuan?

Itu barong landung. Jelas Cakra tanpa diminta. Dan Cakrapun bercerita tentang kisah awal mula Barong Landung.
Konon Barong Landung berasal dari kisah cinta salah satu Raja Bali di masa lalu yang bernama Sri Jaya Pangus. Sri Jaya Pangus yang legam, tinggi dan besar mengawini pada putri elok, putih dan bermata kecil dari negeri Cina bernama Kang Cing Wei. Tak ayal, sang raja mendapat tuduhan telah melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu.

Pendeta istana, Mpu Siwa Gama tidak memberikan berkatnya, lalu menciptakan hujan terus menerus hingga seluruh kerajaan tenggelam. Sang raja kemudian memindahkan kerajaannya ke tempat lain, kini dikenal dengan nama Balingkang dan raja kemudian dijuluki sebagai Dalem Balingkang.

Karena lama mereka tidak mempunyai keturunan, raja pun pergi ke Gunung Batur, memohon kepada dewa di sana agar dianugerahi anak. Namun celakanya, dalam perjalanannya ia bertemu dengan Dewi Danu yang jelita. Ia pun terpikat, kawin, dan melahirkan seorang anak lelaki yang sangat kesohor hingga kini, Maya Danawa. Sementara itu, Kang Cing Wei yang lama menunggu suaminya pulang, mulai gelisah. Ia bertekad menyusul ke Gunung Batur. Namun di sana, di tengah hutan belantara, ia terkejut manakala menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit. Dewi Danu dengan marah berapi-api menuduh sang raja telah membohongi dirinya karena sebelumnya mengaku sebagai perjaka. Dengan kekuatan gaibnya, Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei dilenyapkan dari muka bumi ini. Oleh rakyat yang mencintainya, kedua suami istri –Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei– itu lalu di-buatkan patung yang dikenal dengan nama Stasura dan Bhati Mandul. Patung inilah kemudian berkembang menjadi Barong Landung.

Barong Landung. Kisah cinta perempuan dari Negeri Cina dengan seorang Raja Bali. Lily mengguman dalam hati. Apakah antara dirinya dengan Cakra pun akan ada kisah cinta? Antara seorang perempuan keturunan seperti dirinya dengan seorang pemuda Bali. What a coinsidence. Jauh di lubuk hatinya Lily merasa ada sesuatu yang ganjil antara dia, Cakra dan sepasang dewa yang disebut seba­gai Ba-rong Landung itu. Rasa yang sepertinya sudah lama bercokol diam-diam di hatinya. Rasa yang tidak pernah bisa ia mengerti


Denpasar, Juli 1994
Laba-laba. Lily merasa kembali terjebak dalam sarang laba-laba yang mengurungnya dari segala penjuru. Seperti di Jakarta, pekerjaannya sebagai wartawan di Bali pun telah merampas sebagian besar waktunya. Mungkin karena Lily ingin selalu total dalam pekerjaannya. Makanya, waktu pun menjadi harga mati yang harus siap ia korbankan.
Lily semakin sibuk dengan pekerjaannya yang sepertinya ingin menumpas habis seluruh waktu yang ia punya. Pagi, siang, petang, dan malam berlari meninggalkan Lily jauh di belakang. Kesibukan yang menumpuk membuat Lily tidak lagi mempunyai waktu untuk mengunjungi Naka dan keluarganya. Sesuatu yang tiap malam ia sesali, namun Lily tidak berdaya. Dan Cakra, seperti semakin melarutkan hidupnya dalam kubangan besar. Kunjungan laki-laki itu yang semakin sering ke kantornya.

Dengan Cakralah Lily menghabiskan sisa malamnya setelah pekerjaannya rampung. Pembicaraan panjang dengan Cakra membuat Lily merasa hidupnya penuh, membuatnya menindas diam-diam rasa bersalahnya pada Naka. Sebuah tanggungjawab yang belum tuntas ia lakukan. Menemukan Raka dan mengobati luka di hati Naka. Ektase dengan pekerjaan dan Cakra, membuat Lily memilih memuaskan egonya. Melupakan Naka. Melupakan keluarganya. Walau rasa bersalah sesekali berbisik ke hatinya bila hening datang.

Pantai Sanur, Agustus 1994. Saat bulat Bulan Pernama
Hari ini adalah hari perayaan. Itu yang disepakati Lily dan Cakra. Mungkin karena keduanya sama-sama direjam gundah. Susah hati dan lelah. Cakra baru saja menghadiri pernikahan ketiga Bapa-nya. Sakit hati Cakra semakin menghitam. Bapa bertambah jauh darinya… Ia semakin tidak menjadi keluarga Cakra. Cakra semakin sendiri dalam hidupnya. Sementara Lily baru menerima undangan pernikahan dari mantan pacarnya. Rafa. Cinta mereka sudah lama berakhir, namun entah mengapa hatinya terasa patah menerima undangan itu.

“Kamu ingat Barong Landung, Ly?”

“Yang kita lihat di Pantai Lebih kan?”

“Kalau kita menikah, kita akan menjadi Barong Landung abad 21, he he!”

“Dan akhirnya kita sama-sama lenyap dari muka bumi, heh? Aku nggak mau ah. Lagipula kata siapa kita akan menikah.”

“Malam ini kita kan sama-sama menjadi orang yang kecewa, apa salahnya memadukan kekecewaan, ha ha ha?”

“Ngomongmu tambah ngawur, Cakra. Mending kamu diem aja kalau lagi setengah mabuk begitu!’’ Lily menepuk-nepuk jidat Cakra. Sementara laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak. Tawa yang begitu kentara menerbitkan aroma getir. Getir yang juga te­ngah meruyak di hati Lily. Perasaan senasib memang sangat mudah membuat siapapun menjadi dekat.

Dua botol bir besar teronggok diantara kaki mereka yang menatap lurus lautan yang gelap. Pantai Sanur begitu lengang malam itu. Cakra dengan keberandalannya menyeret Lily menerobos pinggir pantai yang menjadi area hotel. Di Pantai Sanur itu, hampir tidak ada lagi tempat bagi masyarakat umum untuk menikmati keindah­an pantai. Hampir semua lahan telah dikavling oleh hotel-hotel yang berjajar sepanjang pantai Sanur.

Lily melirik jam tangannya. Hampir jam dua. Tak seorangpun memilih menikmati pantai di malam selarut itu. Di hamparan pantai yang begitu luas, hanya ada Lily dan Cakra. Satpam hotel Rama, pemilik kavling pantai itu sudah lama terdengar dengkurnya. Malam yang senyap hanya menyisakan suara jangkrik dan suara-suara binatang malam. Suara hembus nafas dan detak jarum jam terdengar lirih di telinga keduanya.

Entah sudah berapa lama Lily dan Cakra terdiam. Mata keduanya memandang lurus bulan yang bulat di ufuk timur. Indah sekali. Sinarnya yang temaram terasa begitu nyaman. Seperti sinar mata Ibu yang membelai kepala anaknya agar segera tertidur.

Beberapa saat, Cakra mengalihkan pandang kepada Lily. Diam-diam ia takjub pada perasaannya sendiri. Entah mengapa ia merasa Lily tidak ubahnya bulan purnama, atau bulan purnama tak ubahnya Lily. Menikmati temaram sinar purnama entah mengapa sama rasanya dengan membaui aroma tubuh Lily. Aroma yang ingin semakin ia dekatkan ke hidungnya agar ia bisa menghirupnya dalam-dalam.

Cakra tidak bisa mengendalikan perasaannya. Dengan keinginan yang begitu kuat di hatinya, ia merentangkan tangan dan memeluk Lily erat. Ia jatuhkan kepalanya di dada Lily diiringi suara isak yang terdengar lirih. Lily terkesiap dengan gerakan Cakra yang begitu tiba-tiba. Ia tidak menyangka laki-laki itu akan memeluknya, dan lebih terkejut lagi dengan isak yang terdengar. Isak laki-laki sekeras dan seberandalan Cakra.

Lily tidak tahu harus berbuat apa. Sebagian hatinya memerintahnya untuk diam saja. Tidak menolak dan melepaskan pelukan Cakra. Lily menikmati aliran kenyamanan yang ia rasakan dari pelukan Cakra. Lily memejamkan matanya, menikmati basuhan sejuk di dinding-dinding hatinya. Rasa pahit dan getir yang tadi-nya begitu meruyak perlahan-lahan menipis dari rongga dadanya. Lily merasa tubuhnya meleleh perlahan-lahan. Lelehan yang semakin lama membentuk sebuah genangan. Genangan yang menganaksungai, menghayutkan dan merendam impuls-impuls syaraf, hingga basah kuyup dan hilang rasa.

Merangkai Ibu. Cakra tercenung. Ia seperti ingin terdiam seharian hari ini. Entah mengapa ia ingin meraba-raba seluruh jiwanya. Mendengarkan setiap suara tubuhnya. Ombak-ombak kecil pada aliran darahnya. Geliat-geliat samar pada jaringan kulitnya. Entah mengapa seluruh tubuhnya seperti bergerak-gerak, namun teramat pelan dan ringan. Seperti suara seorang bocah yang berbisik kepada ibunya. Bhatin Cakra menjadi kuyup oleh suara-suara tubuhnya. Ia tidak kuasa untuk beranjak meninggalkannya. Barangkali karena ia terlalu asyik; terlalu takjub.

Ingatan Cakra melayang pada sesosok perempuan. Perempuan yang melahirkannya. Ibunya. Yang kini sudah hidup dengan keluarga barunya. Tiba-tiba hati Cakra merasa rindu. Merindukan perempuan bernama Ibu. Ibu yang sungguh diinginkan Cakra.

Ibu adalah sosok yang selalu membuat hati Cakra melolong perih. Tiap malam perempuan itu ia inginkah hadir. Hadir untuk menyapanya. Hadir untuk menarik selimut Cakra yang terlepas berantakan ketika ia tidur. Ia ingin Ibunya tersenyum padanya. Senyum bangga karena anak laki-lakinya telah besar dan berhasil dalam hidupnya. Cakra merindukan senyum bangga itu untuk membuatnya tidur lelap dengan senyum di bibir. Namun apa daya, perempuan itu tidak pernah hadir. Tak pernah ada untuknya.

Perempuan yang melahirkannya terlalu sibuk dengan percintaannya dari satu laki-laki ke laki-laki lain. Haruskah Cakra mem-bencinya? Bukankah ia hanya seorang perempuan biasa yang ber-usaha memperjuangkan kebahagiaanya. Berusaha menemukan kebahagiaan itu bahkan hingga ke ujung dunia. Dan Cakra… Ia hadir begitu saja ke dunia. Siapakah yang wajib mencintainya? Menjadi bahagia karena keberadaannya? Ibu tidak bahagia dengan kehadirannya. Mungkin ia bukanlah anak laki-laki yang menyenangkan bukan anak laki-laki yang diinginkan Ibu hadir ke dunia untuknya. Cakra berjanji tidak akan menyalahkan ibunya atas jiwanya yang meranggas. Ia biarkan haus itu terus ada. Ia biarkan sampai kerongkongannya semerah darah.

Cakra bermimpi Tuhan akan menjatuhkan seorang Ibu untuknya. Seorang Ibu yang dijatuhkan begitu saja di rumahnya. Ia adalah perempuan yang mengerti Cakra lebih dari siapapun. Ia yang akan selalu membela Cakra walaupun ia berbuat kesalahan-kesalahan. Ia yang selalu menghibur Cakra bila hatinya gundah.

Ingatan Cakra melayang pada Lily. Perempuan yang dipeluknya semalam dan entah mengapa dengan cengengnya ia menangis. Seperti apakah sesungguhnya perasaannya pada perempuan itu. Apakah Lily hanyalah teman baik semata-mata atau mungkin kekasih semata-mata? Perempuan yang sementara saja mengisi hari-harinya. Beberapa bulan atau barangkali beberapa tahun? Dan setelah itu Cakra akan berpindah ke perempuan-perempuan berikutnya. Melanjutkan pertualangannya yang tidak pernah berakhir. Menikmati percintaan-percintaan dan selamanya menghindari terbentuknya keluarga.

Tiba-tiba dadanya bergemuruh oleh hangat yang perlahan menjalari seluruh aliran darahnya. Ingatannya sekejap demi sekejap merangkai gambar. Gambar yang semakin utuh dan jelas. Kebersamaannya bersama Lily. Di bawah terang purnama. Berselimut malam yang senyap; beralas pasir yang basah oleh embun. Saat yang begitu larut dan bergemuruh. Lebur dalam ekstase atau kemabukannya. Sehingga sebagian kesadarannya mati?

Cakra sekali ini betul-betul tercenung. Ia terpekur diam. Sekaligus memerintah seluruh suara dan gerakan di jaringan tubuhnya terdiam. Saat itulah ia menemukan sesuatu dalam dirinya. Ia tidak mendengar lagi lolongan hatinya. Luka semerah darah di kerongkongannya tiba-tiba saja lenyap. Hati itu sekarang bertumbuh menjadi rumpun-rumpun yang gemuk. Setiap detik tangkainya mengembangkan kuncup-kuncup baru.

Lily adalah Ibu yang dikirim Tuhan untuknya. Perempuan yang membuat ia merasa penting dan berharga. Perempuan yang selalu membuat ia mengungkapkan perasaannya. Bersama Lily, obrolan menjadi sangat panjang seperti tidak bisa diakhiri. Perempuan itulah yang ingin dimilikinya; sepenuhnya; seluruhnya; selamanya.

Galeri Ubud, Awal September 1994
“Bagaimana kalau kita menikah?”

Lily melongo mendengar pertanyaan yang begitu saja dilontarkan Cakra. Laki-laki ini masih saja slengek-an, ringan dan seenaknya. Bagaimana mungkin masalah pernikahan ia ucapkan seringan itu, santai, seperti obrolan di warung kopi. Seketika ingatan Lily melayang pada peristiwa di Sanur. Peristiwa yang terus membuntutinya akhir-akhir ini.

Ingatan akan malam itu hadir sepenggal demi sepenggal. Saat suasana senyap. Saat Lily memeluk laki-laki itu. Mendengarkan detak jantung Cakra yang bergerak tak seirama dengan detak jantungnya. Berusaha mengambil separuh energi dari Cakra. Berbagi isak yang tumpah membasahi pakaian. Saat kesenyapan makin menjadi. Dan Lily merasa lenyap. Berpindah ke alam lain. Ke bawah sadar yang justru semakin mengeras, mengambil peran dan mendominasi.

Lily masih ingat rasa itu. Rasa yang ia rayakan malam itu. Rasa penuh. Rasa seimbang dan tenang. Seluruh kepenatan hidupnya selama 29 tahun tiba-tiba luruh malam itu. Saat seluruh syaraf tubuhnya beristirahat dengan damai. Lily belum pernah merasakan tidur seindah itu. Tidur dengan belaian lembut di sekujur jiwa­nya. Lily kini tersadar. Malam itu adalah malam terindah dalam hidupnya. Malam yang ingin ia gandakan hingga berjuta-juta ba­nyaknya. Sehingga semua malam adalah malam itu.

Bisakah ia miliki malam itu setiap malam jika menikahi Cakra? Apakah ia sungguh telah jatuh cinta pada laki-laki itu? Laki-laki berkulit coklat dan berambut gondrong itu. Laki-laki berahang tegak dan bermata kucing itu. Laki-laki yang sangat menawan. Yang telah ia sukai pertama kali bertemu. Yang telah memancing nafsunya saat laki-laki itu tersenyum. Yang terus menggodanya dengan kata-kata nakalnya. Sebagai perempuan biasa, ia pasti menyukai Cakra.

Benarkah ia mencintai Cakra? Menginginkan pria itu menjadi teman hidupnya? Jika mendengar kata hati, ia mungkin bersedia menjadi pacar Cakra. Namun, menikah dengannya?

“Kau tidak dilarang untuk menolak menikah denganku, Ly. Jangan bingung begitu,” cetus Cakra.

“Aku justru heran mengapa kau tiba-tiba mengajakku menikah. Habis kena angin apa kamu?”

“Aku mencintaimu, Ly. Menginginkanmu. Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin kau menjadi istriku yang ada di antara aku tertidur dan bangun.”

“Bukankah kau tidak ingin beristri? Kapan kau berubah?”

“Aku tidak merasa berubah, Ly. Kalaupun ya, aku tidak tahu pasti sejak kapan. Yang bisa kumengerti adalah aku menemukan rasa baru di hatiku. Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin menjadikanmu istriku. Itu saja!”

Bagi Lily, mengenal Cakra adalah keajaiban. Semuanya berjalan seperti air bah yang tidak sanggup dibendungnya. Begitu bebas. Begitu sulit dikendalikan. Tapi, menikah dengan laki-laki itu, dalam waktu secepat ini, Lily harus bertanya ulang pada hatinya.

Gunung Kawi, Agustus 1994
Tahukah kau rasanya kehilangan orang yang memelukmu tiap malam?
Tahukah kau rasanya kehilangan tangan yang bisa kau sentuh tiap malam?
Andai kau tahu rasanya sendirian dalam hari-hari yang panjang.
Hari-hari yang tidak punya akhir.
Apakah yang akan kau lakukan  selain mengembalikan yang pernah kau miliki. Ia yang dapat kau peluk. Ia yang mengelus kepalamu.
Katakan apa yang harus dilakukan, bila ia satu-satunya pilihan?

Bagi Naka, Raka satu-satunya dunia yang aman. Dunia yang nyaman. Dunia di mana ia ingin terus berada di dalamnya. Dunia yang tak memberinya rasa takut. Dunia yang tak pernah mengancam. Ia tidak dapat melanjutkan hidupnya tanpa dunia itu.

Naka tidak punya pilihan lain, mencoba menjalani hidup tanpa Raka, atau mengembalikan Raka padanya. Jalan pertama telah dicobanya berhari-hari, berminggu-minggu, sekarang menjadi berbulan-bulan. Naka telah mencoba mendengarkan nasihat semua orang. Nasihat Dadong. Nasihat Kak Lily dan Bli Cakra. Sejauh ini Naka merasa gagal. Ia merasa masih terlalu merindukan Raka. Masih memimpikan Raka kembali dan mengembalikan dunianya.

Naka memilih jalan tengah. Ia mencoba untuk melupakan Raka, sekaligus berusaha mengembalikannya. Ia masih sering menanyakan kepada Lily, apakah ada kabar dari orang yang mengenal Raka. Ia juga meminta Cakra memasang foto Raka di tiap galerinya. Ia masih melemparkan surat-surat di sembarang tempat untuk bisa mencari Raka. Ia juga meminta tolong Lily memasang iklan tentang Raka. Naka tidak mau berhenti mencarinya. Sekaligus berusaha melupakannya. Bisakah? Naka masih sangat ragu.

Gunung Kawi, September 1994
Naka dan Raka berbaring dengan tubuh menggigil. Bubungan atap rumah yang disergap hujan deras membawa hawa dingin. Naka mengetatkan pelukannya pada Raka. Bibir keduanya telah biru pucat. Genangan air hujan yang menganak sungai belum ada tanda-tanda akan surut. Air makin ganas, bergerak dalam gelombang yang beringas. Makin lama makin besar. Meloncat-loncat berusaha mencapai tempat Naka dan Raka berada.

Sementara petir dan kilat terus mengamuk di langit. Alam seperti tak peduli pada sepasang bocah kembar yang mencoba bertahan. Kampung itu telah hampir menjadi danau cokelat yang luas. Beberapa kepala masih tampak di atap rumah. Mempertahankan sisa tenaga untuk terus bertahan hidup. Sisanya lenyap entah ke mana. Suara ribut dan panik yang terdengar sore tadi, tidak lagi terdengar. Apakah mereka telah berhasil mencapai tempat tinggi dan mendapat segelas susu hangat. Atau, mereka telah hanyut dan tenggelam dalam lautan cokelat banjir.

Air cokelat telah menyentuh bibir atap tempat Naka dan Raka berada. Air mata Naka meleleh. Naka menjerit ketika air mulai menjilat kakinya yang berselonjor. Jerit Naka makin keras, ketika sapuan air membawa serta sandal kiri Naka yang tak terpasang sempurna. Raka berusaha meraih sandal Naka, namun air bergerak terlalu cepat. Raka memaksakan diri terus mengejarnya. Naka menjerit menahan gerakan Raka. Namun, kaki Raka telanjur menginjak pinggir atap, membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Dengan sekuat tenaga, Naka berusaha menarik tubuh Raka. Namun, tubuh Raka lebih berat. Kaki Raka yang bertengger di pinggir atap tak ayal membuatnya terjerembab ke dalam danau yang dalam. Naka berteriak memanggil Raka. Ia amat marah akan kenekatan Raka.

Air matanya telah menganak sungai mencari tubuh Raka yang hilang dalam genangan cokelat. Tubuh kecil itu lenyap begitu saja. Naka berteriak sekeras-kerasnya memanggil Raka. Tak terdengar jawaban. Juga tak terlihat gerakan Raka yang mencoba bertahan dari tenggelam. Tubuh Raka hilang begitu saja. Naka menangis sekeras-kerasnya hingga suaranya serak. 

Naka terbangun dalam peluh yang deras di wajah dan tubuhnya. Saat membuka mata, ia sempat mendengar suaranya yang memanggil Raka. Oh, Hyang Widhi, betapa rindunya tiang pada Bli Raka. Wajah Raka seperti terus mengikutinya. Wajah itu terlihat sedih dan muram. Bila melihatnya, Naka sangat ingin memeluk Raka. Menyentuh wajahnya, menanyakan kesedihannya.

Raka  makin sering hadir dalam mimpi Naka. Naka ingat ia pernah bermimpi Raka pulang ke rumah dan langsung menjenguk Naka di kamarnya. Naka bermimpi Raka telah kembali dari hilangnya. Ia kembali dengan segudang cerita menarik mengenai petualangannya. Naka mendengarkan dengan tawa riang. Naka amat kecewa ketika terbangun, ternyata ia hanya bermimpi. Kali lain, ia dengar suara Raka memanggil-manggilnya. Suara empasan angin pada rumpun bambu membawa serta lirih suara Raka. Desau angin di antara pohon jambu di halaman menghamburkan bau Raka. Sayup-sayup seruling ia dengar hampir tiap malam. Dari tempat yang amat jauh. Jauh sekali.

Naka hanya melihat kegelapan yang amat pekat. Pada saat itu di kejauhan, Naka hanya bisa melihat kilat pahatan tebing yang dipantulkan cahaya bulan. Tempat bermainnya bersama Raka. Tempat Raka bercerita tentang kemegahan dinasti Warmadewa yang mendiami kompleks itu. Tempat Naka suka memandangnya dalam-dalam, mengintip kemeriahan di dalamnya.

Bahkan pada suatu siang yang terik, Naka pernah melihat gambar Raka dengan tubuh-tubuh berdarah. Gambar itu hadir begitu saja, seperti lukisan yang disodorkan di depan mukanya. Naka menjerit ketakutan sehingga janur di tangannya terjatuh. Dadong memandang Naka heran sekaligus menambah kemuraman di wajahnya. Barangkali Dadong makin putus asa dengan keadaan Naka.

Naka makin perih. Perih oleh rasa kangen yang berkarat di kepalanya. Mengapa kita ditakdirkan begitu saling mencintai, untuk dipisahkan, Bli Raka. Naka tidak dapat menahankan hatinya yang  makin pekat oleh rindu. Begitu pekat hingga berdarah-darah.

Dalam hening yang paling sepi, Naka hanya bisa menghibur hati­nya dengan menulis surat untuk Raka. Surat yang makin bertumpuk hingga menjadi gunung di kamar Naka. Waktu sembilan bulan telah membuatnya amat letih. Kamar itu, kamar milik Naka, masih sunyi. 

Naka ingat pada Lily, pada Cakra, yang sempat ingin dimilikinya sebagai keluarga. Ke manakah mereka? Kembali melupakannya seperti hari-hari lalu? Naka berjanji tidak akan meminta mereka lagi menemaninya. Takkan memaksa mereka menjadi temannya. Naka tahu ia harus sendiri memperjuangkan hidupnya.

Naka tahu, ha­nya Raka teman dan keluarganya. Hanya Raka yang siap mengerahkan semua daya untuknya. Hanya ia yang menjaga Naka dari rasa lapar, haus, dan sepi. Hanya Raka jodohnya sejati. Hanya Raka kecintaannya. Hanya Raka.

Gunung Kawi, awal Oktober 1994
Suara gong kebyar terdengar mengeras dan Naka mendekat. Pakaian kebesaran telah dipakai Naka. Ambed keemasan dan kain gemerlapan. Kepalanya memakai mahkota kecil dengan bunga yang bersusun-susun, seperti penari Legong Keraton. Raja Kerajaan Bali telah memanggilnya dan memintanya menghadap. Raja ingin bertemu dan bercakap-cakap. Dialah Raja Anak Wungsu yang gagah dan berwibawa. Kumis tipis menghiasi bibirnya yang tipis. Ampok-ampok, gelungan, dan seluruh pakaian kebesarannya digunakan.

Ia begitu gagah. Di kanannya, duduk dengan tenang permaisuri dengan parasnya yang elok. Permaisuri menyambut Naka dengan senyuman saat kakinya melangkah satu-satu di undakan puri. Gong yang tadinya ditabuh rancak, sejenak beralih ke tabuh lelambatan, yang biasanya digunakan untuk mengiringi upacara di pura-pura.

Beberapa jengkal dari kaki Raja, Naka duduk bersimpuh. Menghaturkan sembah dengan kedua tangan dirapatkan di depan hidung. Raja Anak Wungsu memintanya menurunkan sembah.

“Aku melihatmu selalu saja murung, Naka. Padahal, kamu selalu sangat cerah. Ada apa, Anakku?”

“Ya, Ratu, bukankah Ratu telah mengetahui kepedihan tiang. Raka, kakak tiang, hilang. Sudah berbulan-bulan tiang menunggu, namun belum ada kabarnya. Kiranya Ratu dapat membantu?”

“Raka... Raka.... Ya, aku akan mencoba mencarinya. Sepertinya ada salah satu prajurit dan abdi puri yang pernah melihatnya. Kakakmu adalah anak laki-laki yang gemar meniup seruling itu. Kabar itu pernah terdengar luas di seluruh negeri.”

“Benarkah Ratu? Kiranya tiang dapat bertemu dengannya?”

“Tunggu sebentar, Naka. Aku harus tanyakan dulu ke beberapa pengawalku. Sebentar lagi aku kembali.”

Raja Anak Wungsu beranjak dari singgasananya dan menghampiri satu pasukan prajurit yang berdiri di halaman puri. Sang Raja tampak bercakap-cakap dengan para prajurit itu. Tak lama, Raja sudah kembali menaiki undak dan duduk di singgasananya.

Naka kembali menghaturkan sembahnya, sambil menunggu Raja menyampaikan informasi yang didapatnya.

“Benar Naka, anak itu bernama Raka. Ia tinggal di suatu pedesaan di pesisir wilayah kerajaanku. Suara serulingnya yang terdengar sedih dan menyayat, mengundang warga desa berkunjung dan memberikan sedekah. Dengan cara itulah Raka menghidupi diri. Pada semua orang yang ia temui, ia mengatakan sedang mendendangkan nyanyian itu untuk adiknya terkasih. Engkau Naka. Ia berharap engkau bisa mendengar sayup-sayup suara seruling yang ia mainkankan tiap malam untuk membuatmu tertidur.”

Naka bahagia. Sebentar lagi ia akan bertemu Raka.

“Izinkan, Ratu, izinkan tiang bertemu dengannya!”

“Tidak bisa, Naka, duniamu dan kerajaanku berbeda. Kamu tidak bisa bertemu kakakmu. Aku hanya mengabarkan ia baik-baik saja dan terus memikirkanmu. Raka hanya ingin melihatmu berhenti menangis dan kembali cerah seperti dulu. Raka mengatakan telah menerima surat-suratmu, namun tidak sempat membalasnya. Ia hanya memintamu mencari suara seruling di malam hari dan tertidur lelap setiap malam. Itu saja. Sekarang kembalilah.”

“Tidak Ratu, tiang tidak akan pulang. Tiang ingin bertemu Bli Raka, tiang sudah sangat kangen padanya. Tunjukkanlah kemurahan hati Ratu. Antarkan tiang ke pedesaan pesisir tempat Raka tinggal. Tiang ingin turut tinggal di sana.”

“Jangan bandel, Naka, kembalilah ke rumahmu!”

“Tiang akan duduk memohon dan menghaturkan sembah sampai Ratu mengabulkan permohonan tiang!”

Raja menghela napas panjang. “Aku tidak bisa membantumu, Naka. Aku tidak bisa melawan takdir hidup!”

Naka tetap bergeming dengan kata-kata Raja. Ia menegakkan kakinya dan membentuk simpuh tinggi. Setelah itu Naka hanya diam, dengan air mata yang tidak meleleh satu-satu di pipinya. Para patih dan pengawal di Bale Pesamuhan itu memandang tingkah Naka dengan iba. Permaisuri menoleh ke arah Raja dengan tatapan berharap. Permaisuri ingin mengabulkan keinginan Naka.

“Apa yang dapat aku lakukan, Adinda, tak mungkin mempertemukan Naka di dunianya dengan Raka.”

“Kau bisa gunakan kesaktianmu yang mahatinggi untuk mengabulkannya. Kedua bocah kembar itu tidak bisa dipisahkan. Di masa lalu mereka dipandang jodoh sejati, bahkan dinikahkan. Bagaimana anak ini dapat hidup tanpa kakak kembarnya?”

“Aku tak tahu, bisakah aku membelokkan mekanisme alam!”

Denpasar, Kantor Memoar
Kabar yang ia dengar pagi tadi memaksa Lily bergegas menuju Gunung Kawi. Ia ditelepon dari Wi Made Gemet yang mengatakan Naka hilang. Apa lagi ini? Mereka belum menemukan Raka, kini Naka hilang. Ke mana dia? Apakah nekat menceburkan diri ke Sungai Pakerisan? Atau, ia pergi dengan kendaraan umum untuk mencari ke mana pun, dan akhirnya kesasar? Atau, ia diculik?

Lily menjemput Cakra di galerinya di Ubud. Cakra tak kalah panik. Mereka merasa bersalah, karena berbulan-bulan tidak memerhatikan anak itu. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka berdua. Tentu anak itu makin kehilangan pegangan.

Lily melihat kerumunan warga desa di rumah nenek Naka. Semerbak dupa tercium dari para wanita yang membawa sesajen. Mereka meletakkan sesajen kecil di setiap sudut halaman rumah. Nenek Naka duduk tersandar di salah satu tiang Bale Dangin. Kedatangan Lily dan Cakra membuatnya bangun dan memeluk Lily.

“Tolong Nak Lily, cari dua cucu saya. Tolong Cakra, kamu kehilangan dua adikmu!”

“Bagaimana awalnya Naka hilang, Dong?” tanyanya

“Semalam ia masih tidur di kamarnya. Tidak ke mana-mana. Subuh tadi, saat Dadong membangunkannya, ia tidak ada.”

“Apa sudah dicari ke tempat-tempat ia biasa main. Bisa saja dia tidak bisa tidur tadi malam, lalu subuh-subuh ke luar rumah untuk main. Coba saja dicari di candi. Ia suka ke sana.”

“Sudah, Gemet sudah mencarinya ke mana-mana. Tapi, kita masih terus coba lagi. Warga Banjar Penake sudah mencari di setiap sudut, dan memanggil-manggil namanya.”

Esoknya masyarakat Banjar Penake mencari dengan membawa obor dan gamelan, juga berbagai benda berbunyi keras untuk mengusir makhluk halus. Pencarian hingga tengah malam gagal. Beberapa tukang tenung dan balian dimintai keterangan untuk mencari Naka. Mereka menyebutkan beberapa petunjuk. Naka sedang menemui kakaknya. Namun, tak jelas apa yang dimaksud.

Sepekan pencarian, kasus diserahkan kepada polisi. Lily dan Cakra hanya bisa melongo. Mengapa kawasan ini begitu gaib? Punya kemampuan menelan bocah-bocah, menghilangkan mereka tanpa jejak. Lily yang semula tak percaya pada makhluk halus penghuni rumpun bambu, menjadi bimbang. Mungkinkah keduanya diculik makhluk halus. Mereka dikembalikan saat dewasa, atau tidak sama sekali. Itu cerita yang ia dengar dari warga desa.

Denpasar, April 2000
Sebuah Kabar dari Bali Utara. Lily terbangun dengan tergagap. Suara telepon di meja terdengar menghantam-hantam telinga. Lily baru terlelap beberapa saat di meja komputernya. Pukul 20.00. Lily mengangkat telepon.

Redakturnya di Jakarta menugaskan Lily meliput ke Lovina, Bali Utara. Polisi malam ini akan menggerebek jaringan pedofil internasional yang sedang berpesta di sana. Lily menelepon polisi kenalannya. Lily beruntung, karena termasuk salah satu orang yang turut serta dalam penyergapan. Tim lainnya telah siap di lokasi.

Pukul 12 lewat 15 menit tengah malam, Lily tiba di lokasi. Rumah sederhana di kebun kelapa kini menjadi pusat perhatian polisi. Lily masih dilarang mendekat agar tidak mengganggu operasi. Lily mematikan telepon genggam. Ia tahu kabar ini sudah menyebar di Jakarta, dan pasti banyak wartawan menelepon untuk memastikan.

Tak berapa lama polisi kenalannya mendekat. Operasi baru saja berjalan. Lily berlari ke arah rumah itu. Puluhan polisi mengepung rumah itu. Pertengkaran dan suara gaduh terdengar. Ada lima pria asing di dalam dan sepertinya mereka memang sedang berpesta. Aroma alkohol masih tercium keras. Kelima pria itu kini dalam kondisi terborgol. Wajah mereka terlihat kecut sekaligus geram.

Lily memainkan kameranya memotret setiap kejadian. Di tempat itu sejumlah anak berusia sepuluh atau belasan tampak linglung. Umumnya mereka bertelanjang dada. Dari dalam ruangan terdengar suara polisi dan anak-anak yang bercakap-cakap. Wajah mereka kuyu dan ciut. Lily juga ciut membayangkan tingkah para pedofil ini menjerat anak-anak. Apalagi, mereka sampai sempat berpesta. Bukan diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Itu artinya selama ini mereka telah mendapat ruang gerak yang begitu bebas.

Polisi masih terus memeriksa. Lily meneliti satu demi satu benda berserak yang ada di ruangan. Lily menemukan tumpukan video compact disc. Pada gambar sampulnya tampak foto sepuluhan anak laki-laki bergandengan tangan. Mereka bertelanjang dada dan tertawa ceria. Sepintas VCD ini mirip VCD pendidikan tentang perdamaian atau ilmu pengetahuan. Lily mengambil satu dan memasukkannya ke dalam ransel. Ia yakin VCD ini bukan VCD biasa.

Satu per satu pria asing yang telah terborgol digiring polisi ke dalam mobil. Menyusul sembilan bocah yang sudah berpakaian lengkap. Lily mendekati salah satu yang tampak paling tegar. Kabarnya, dia yang membocorkan pesta ini kepada polisi.

Dari bibirnya meluncur mengenai awal mula pesta di rumah ini. Anak-anak ini adalah anak miskin dari perkampungan pesisir Pantai Lovina. Sebagian didatangkan dari kabupaten lain. Mereka amat mudah terbujuk oleh iming-iming uang dan hadiah. Ironisnya, para pengidap pedofil inilah yang membiayai sekolah mereka. Segala kebutuhan mereka, mulai dari makanan enak, mainan, baju, sampai perlengkapan sekolah dipenuhi. Syaratnya satu: mereka harus patuh dan tidak boleh melawan. Jika melawan, para pengidap pedofil itu tidak segan-segan berbuat kejam. Beberapa anak hilang tanpa ketahuan rimbanya.

Kantor Memoar, Pukul 05.00 WITA Usai Penggerebekan
Menyaksikan gambar dari VCD itu membuat Lily terenyak. Gambar-gambar itu memuaskan imajinasi para pedofil. Lily berusaha menahan perutnya yang mual dan dadanya yang sesak. Lebih daripada itu, yang membuat jantungnya berdetak keras adalah wajah salah satu pemeran dalam VCD itu. Wajah yang sangat ia kenal. Raka. Namun, Lily tidak ingin memercayainya.

Butir-butir air bening, mengaliri pipi Lily. Di hati kecilnya tersimpan harapan bahwa itu bukan Raka. Walaupun wajah itu sangat mirip dengan foto yang disimpannya. Namun, ia sangat ingin menemukan Raka. Siapa tahu penemuan Raka adalah titik terang untuk menemukan Naka.

Denpasar, Minggu Kedua April 2000
Kabar dari Denpasar. Lily baru akan menutup layar komputernya, ketika telepon di meja berdering. Dari Pak Yanto, kenalannya yang seorang polisi. Ia ingin menunjukkan sesuatu.

Tiba di ruangannya, Pak Yanto mengambil tumpukan kertas di meja dan mengajak Lily duduk di sofa.

“Saya sepertinya menemukan anak laki-laki yang kamu cari? Ini file tahun 1994. Seorang anak ditemukan tewas di pesisir pantai. Tubuhnya penuh benturan benda tumpul. Selama enam tahun polisi berusaha mencari identitasnya, tapi gagal. Penyelidikan waktu itu memang tidak dikaitkan dengan kemungkinan anak ini menjadi korban fedofil.”
Lily memerhatikan foto itu. Dadanya seketika sesak.

“Anak ini sulit sekali dicari identitasnya, karena tak seorang pun di sekitar lokasi yang pernah mengenalnya. Namun, temuan video terakhir di lokasi penggerebekan menunjukkan anak ini mirip salah satu gambar. Bagaimana menurutmu?”

Figur bocah dalam foto itu memang sangat mirip Raka. Tingginya, kulitnya, dan celana merah hatinya. Celana itu pula yang dipakai bocah yang terekam gambarnya di video itu. Tubuh itu sepertinya memang milik Raka. Tapi, Lily tak ingin meyakininya.

“Anak ini sudah dikubur di Buleleng. Tubuhnya pasti sudah tinggal belulang. Saya punya foto-fotonya yang lebih lengkap dan jelas. Juga hasil autopsinya pada saat itu. Mungkin bisa kau ajak suamimu untuk melihatnya besok. Seperti ceritamu, kedua anak kembar itu adalah teman suamimu!”

Lily meninggalkan ruangan dengan tergesa. Jika benar Raka telah tewas, itulah kenyataan yang harus diterima. Dengan foto-foto close up itu, Cakra memastikan bahwa itu Raka. Cakra menangis meraung-raung. Baginya, Raka telah menjadi adik kandungnya.

Gunung Kawi, Juni 2000
Pedih dan perih selalu menghinggapi benak Lily dan Cakra setiap kali berkunjung ke Gunung Kawi. Bayangan sepasang bocah kembar selalu memenuhi benak mereka. Tubuh Raka yang berdarah-darah, wajah Naka yang berurai air mata. Luka itu terasa mengiris jauh ke dalam dada.

Lily selalu tidak bisa menahan air matanya meleleh setiap kali mengingat Naka. Bocah yang begitu mencintai kakaknya. Yang demi bersatu dengannya, rela turut dalam kematian tragis yang dialami kakaknya. Lily ingin menangis sekeras-kerasnya. Ia sangat menyesal membiarkan Naka sendirian; meratapi sepi yang tidak bertepi. Ia menyesal tak bisa selalu ada untuk bocah itu. Lily merasa sangat egois. Ia tenggelam dalam masalahnya bersama Cakra.

Andai saja ia terus menemani Naka. Andai saja ia terus tinggal di rumah itu. Andai ia dan Cakra benar-benar menjadi pengganti ayah-ibu seperti yang diinginkan Naka, anak itu tentu tak bernasib setragis ini. Naka akan lebih kuat menghadapi kehilangan kakaknya. Ia akan bisa tersenyum lebih sering, lebih bahagia.

Lily mengutuki dirinya. Ia salah satu yang membuat Naka hilang dan… meninggal. Ia tahu Naka menyukainya, tapi tidak memedulikan harapan gadis kecil itu. Lily merasakan dadanya sesak seperti dihantam palu-godam berton-ton. Ia mengempaskan tangan gadis kecil yang sangat mengharapkannya.

Setahun setelah hilangnya Naka, Lily melangsungkan pernikahan dengan Cakra. Setahun kemudian nenek Naka meninggal. Lily dan Cakra yang membiayai seluruh prosesi pemakaman sampai dengan upacara ngaben. Usai pemakaman, keduanya tinggal di rumah Naka. Mereka tinggal dengan pria sebatang kara bernama Made Gemet, satu-satunya penghuni tersisa di rumah itu.

Hari-hari Lily dan Cakra kini lebih banyak dihabiskan di Gunung Kawi. Tempat ini seperti tidak habis-habisnya memberi takjub. Setiap pagi Lily tidak pernah melewatkan ritual rutinnya. Menghaturkan sesajen ke Gunung Kawi, sambil mendengarkan lengking tawa yang membelah kesunyian pagi. Suara tawa yang memantul di antara tebing. Lily merasakan suara-suara itu begitu nyata Bahkan, kadang hingga bergema di seluruh jantungnya.

Saat itulah Lily menyapa sepasang kembar Naka dan Raka. Ia yakin keduanya menghuni relung-relung tebing, memperdengarkan tawa riang setiap saat, merayakan setiap detik kebersamaan mereka. Barangkali juga menghibur hati Lily yang selalu berdarah setiap mengunjungi Gunung Kawi. Bahwa ia dan Cakra seharusnya berhenti menyesal; berhenti merasa bersalah. Menyadari sepenuhnya bahwa segalanya tiada lain karma.

Pembersihan Sungai Pakerisan berbuah penemuan menggemparkan. Sesosok mayat ditemukan di bawah batu di hilir sungai. Mayat itu telah berubah menjadi rangka. Hanya pakaian yang dikenakan dan tas berbahan plastik yang melekat di tubuhnya yang bisa dipergunakan untuk mengenali sosok mayat tersebut. Keluarga korban mengenali mayat tersebut sebagai seorang gadis kecil, berusia 11 tahun bernama Naka, yang hilang di kawasan itu lima tahun yang lalu….

No comments: