12.22.2010

Opera Rumah Singgah

Perairan Pulau Putri, April 2007
“Bagaimana? Semua beres?”

“Beres, bos!”

“Rute clear? Patroli aman?”

“Aman, bos!”

“Kalau begitu, kita berangkat sekarang! Jangan buang waktu lagi!” Pria yang dipanggil bos itu lalu melompat bangkit dari duduknya, melempar rokok yang baru terbakar separuh dan dalam sekejap menghilang di balik badan kapal.

“Ayo, semua! Kita bergerak sekarang! Jangan ada yang berlengah-lengah!” seru seorang pria bertubuh gendut sambil bertepuk tangan, pada segerombolan pria dan wanita yang duduk mencangkung di atas tanah berumput sambil mengepit koper dan tas besar mereka. Rata-rata terlihat masih berusia muda, mungkin baru sekitar dua puluhan tahun, dan sebagian besarnya adalah wanita. Suasana yang mencekam, dan bunyi perintah yang keras, membuat masing-masing bangkit dan bergerak dengan raut wajah yang menegang dan mulut terkunci rapat.

Gadis yang berjalan paling depan dari rombongan itu, seketika bergidik, ketika langkahnya memasuki lambung kapal. Di dalam kapal kayu itu, sama sekali tak dilihatnya ada barisan kursi penumpang ataupun sekadar matras tipis untuk tempat merebahkan diri, selain hanya terdapat sehelai perlak plastik pengalas lantai yang digelar sekadarnya. Sampah bekas kaleng minuman dan puntung rokok tampak berserakan di sana-sini. Bau busuk dan lembap menguar hampir di setiap sudut. Kapasitas ruang itu sendiri, sama sekali tak sebanding dengan jumlah mereka yang hampir mencapai enam puluh orang.

Gadis itu cepat-cepat mengambil tempat paling pojok. Lalu duduk sambil mengepit erat tas nilon hitamnya dengan kedua lututnya yang menekuk. Benar saja. Sejumlah penumpang yang masuk paling akhir terpaksa harus berdiri berdesakan. Gadis itu menghela napas lega. Ia sejenak melongokkan kepala pada lubang jendela yang terbuka. Terpa sejuk angin malam seketika menikam wajah dan meriap-riapkan helai rambutnya. Tak ada pemandangan apa pun yang bisa dinikmatinya. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah lautan lepas tak berbatas dan kesunyian yang menegakkan bulu roma.

Memorinya sesaat bergerak mundur. Perjalanannya malam ini, sesungguhnya telah sejak lama ia nantikan. Berbulan-bulan sudah ia memanjatkan doa, mengharap gilirannya diberangkatkan akan segera tiba. Namun, tak pernah sekali pun terlintas di benaknya, bahwa perjalanannya akan ditempuh dengan cara yang aneh dan menegangkan seperti ini.

Pagi-pagi sekali Bang Yose, salah satu penjaga di tempat penampungan, memerintahkan mereka untuk segera bersiap-siap, karena malam ini juga rombongan akan segera diberangkatkan menuju Pasir Gudang. Gadis itu spontan terheran, saat dua unit bus datang menjemput mereka beberapa jam yang lalu. Masih adakah kapal yang menuju Pasir Gudang di tengah malam buta begini? Bahkan, ruko-ruko di sekeliling ‘asrama’ yang selama beberapa bulan ini mereka tempati, semuanya sudah benar-benar sepi, ketika bus yang mereka naiki bergerak menuju pelabuhan.

Suasana di sekitar pelabuhan pun tak kalah mencengangkan. Seumur-umur, baru kali ini ia menjumpai dermaga yang letaknya sangat terpencil, sunyi, dan nyaris tak menunjukkan tanda-tanda aktivitas pelabuhan sebagaimana lazimnya. Pos pemeriksaan dokumen dan paspor untuk calon penumpang yang akan berangkat ke luar negeri pun tak terlihat sama sekali. Yang lebih mengherankan lagi, di beberapa sudut temaram di sekitar kawasan pelabuhan, samar terlihat bayang-bayang orang-orang berlainan jenis yang sedang bergumul, bermesraan, sesekali ditingkahi tawa cekikikan.

Kapal mulai bergerak melaju. Menyusuri pekatnya malam dan keheningan yang meraja. Tiba-tiba gadis itu merasa sesuatu yang menyesakkan menyerang bagian perut bawahnya. Ups! Kenapa pula ia mendadak ingin ke kamar kecil? Ia celingukan, bertanya pada penumpang di kiri dan kanannya di mana toilet berada, yang hanya dijawab dengan gelengan. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk berdiri dan berjalan perlahan. Ia tak ingin menambah runyam suasana dan menanggung malu tak terhingga, jika harus telanjur basah di ruangan yang dijejali penumpang seperti ikan sarden itu.

“Hei, kau mau ke mana?” sebuah bentakan mampir ke telinganya ketika langkahnya sampai di buritan kapal. “Aku… cari toilet,” jawabnya gugup. “Di sebelah sana! Hati-hati jalannya! Penerangan minim sekali di sana!” Gadis itu hanya mengangguk, lupa mengucapkan terima kasih.

Ia lalu menuju ke arah yang ditunjukkan pria yang berdiri di atas buritan kapal itu. Dilangkahkannya kaki dengan ekstra hati-hati di atas kapal yang mulai berayun oleh gelombang, sampai akhirnya ia menemukan sebuah ruang bertutup selembar papan usang bertuliskan ’WC’, yang terletak agak menjorok di sisi kiri kapal. ’Pintu’ yang hanya dipaku sekadarnya itu langsung oleng, ketika ia mendorongnya.

Pria itu benar. Di sekitar tempat itu suasana sangat gelap. Hanya ada sebuah bola lampu yang mengeluarkan cahaya redup berwarna kuning terpasang di atas pintu WC. Sedangkan di dalamnya, sama sekali tak ada lampu yang menerangi, selain hanya mengandalkan cahaya bola lampu dan sinar bulan, yang masuk melalui celah-celah lubang angin di dinding WC yang berbau pesing.

“Celaka, Bang! Ada patroli mendadak!

Ia yang baru saja mengancingkan ritsleting celana jinsnya segera berdiri dan merapatkan telinganya ke dinding WC sambil menyandarkan kedua telapak tangannya pada dinding itu. Ayunan gelombang membuatnya harus ekstra menahan keseimbangan.

“Dari mana kau tahu?”

“Darman barusan mengirim pesan! Menurutnya, dua kapal patroli sudah memasuki perairan ini.”

“Sialan! Di mana ceruk terdekat?” suara pria itu panik.

“Masih jauh, Bang.”

“Kalau begitu, cepat kau hubungi Roeslan, secepatnya suruh dia bawa sampan ke sini!”

“Tapi, Bang….”

“Apa lagi?” suara pria itu tambah tak sabar. Lawan bicaranya justru lebih panik. “Kita terlambat! Itu… mereka! Kapal patroli Lanal, Bang!”

“Gawat! Ayo, matikan semua penerangan, cepat!”

Suasana mendadak sunyi. Gadis itu tak mendengar lagi suara apa pun. Perlahan ia keluar, dan mendapati bahwa sekelilingnya ternyata sudah benar-benar gelap! Ia berjongkok. Meraba dek kapal. Lalu akhirnya memutuskan untuk berjalan dengan merangkak. Kegelapan itu terlalu pekat untuk disusuri.

Samar-samar dari kejauhan terlihat sebuah kapal mendekat. Dua orang pria berdiri di haluan kapal. Salah satu dari mereka mengangkat tangannya dan seperti mengacungkan sesuatu. Gadis itu belum menyadari benar apa yang terjadi, ketika tiba-tiba suasana di dalam kapal mulai gaduh.

“Ayo, semua terjun! Terjun cepat!” sebuah perintah keras terdengar disusul jeritan-jeritan panik dan suara benda tercebur ke air.

“Hei, kau! Tunggu apa lagi? Ayo, terjun!” Gadis itu mendongak. Pria yang menegurnya tadi kini berdiri tepat di hadapannya.

“Tapi....”

“Pokoknya kau terjun cepat! Atau, kau mau kepalamu ditembak, heh?” Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Ia limbung. Dan, di detik berikutnya, ia merasakan tubuhnya sudah terempas ke dalam air. Ia gelagapan. Berusaha menggapai permukaan.

Baloi Centre, Februari 2007
Rianty membanting dua buah modul tebal miliknya ke atas meja, yang menimbulkan suara debam lumayan keras. Untung saja kelas sudah berakhir, jadi tak ada yang menangkap suara yang mewakili kekesalannya itu. Ini adalah minggu keempat ia berdiri di ruang kelas ini, mengajar bahasa Inggris kepada puluhan calon TKI yang menunggu jadwal keberangkatan.

Dalam satu hari ia harus mengajar dalam dua shift. Pagi dan sore hari, dengan jumlah murid pada setiap shift-nya sekitar tiga puluhan orang. Gaji yang dijanjikan oleh PT Angkasa kepadanya, sebagai pengajar sekaligus mentor para calon tenaga kerja itu, memang tak sebaik yang diharapkan. Namun, perusahaan cukup bertoleransi untuk memberinya kebebasan untuk bekerja di tempat lain di luar shift, sepanjang ia bisa hadir tepat waktu sesuai jadwalnya bertatap muka. Dan, sejauh ini, kebijakan itu sudah cukup menenangkan baginya yang belum lagi genap sebulan mengajar.

Namun, hari ini, entah kenapa, ia tak dapat mengawal kesal. Hampir sebulan berlalu tanpa ada kemajuan berarti dari murid-muridnya, belum lagi tuntutan Hendrik, atasannya di divisi SDM, agar para calon TKI itu sudah benar-benar siap ‘bicara’, saat mereka diberangkatkan ke negara tujuan. Bagaimana bisa dalam waktu relatif singkat menyulap mereka menjadi lancar bicara atau paling tidak mengerti secara pasif, sedangkan hampir separuh dari mereka sama sekali tak bisa membaca dan menulis?

Ingatannya melayang pada selembar ijazah yang berstempel merek sebuah lembaga kursus bahasa asing ternama di tanah air. Selembar ijazah berstandar internasional yang dihiasi deret angka excellence itu seakan tak berarti apa-apa, jika dibandingkan dengan hasil mengajarnya, yang sampai saat ini belum juga menunjukkan tanda-tanda perkembangan menggembirakan. Sebagian besar murid lebih betah menatapnya hilir mudik di depan kelas daripada menulis di kertas, terpatah-patah meniru setiap conversation yang diajarkannya. Pada umumnya lupa jika diminta mengulangnya kembali di pertemuan berikut.

Kadang-kadang ia berpikir, seandainya boleh memilih, kenapa dulu negara ini harus dijajah oleh Belanda dan Jepang, yang tak meninggalkan warisan berharga selain budaya korupsi, penjilat, dan adu domba. Kenapa tidak dijajah Inggris, sehingga sejak dini generasi mereka sudah terbiasa menggunakan dwi bahasa dan untuk berkomunikasi dengan bahasa internasional itu tak lagi menjadi persoalan?

“Teacher, excuse me.” Rianty mengangkat kepalanya. Seorang gadis bermata bulat berdiri di depannya. Di tangannya tergenggam sebuah buku bergambar.

“Yes, can I help you, Miss…?”

“Surti,” gadis itu menjawab singkat. “May I sit down, Teacher?” tanyanya, terpatah-patah.

Rianty mengangguk, “Yes, please.” Ia memang selalu menekankan pada para muridnya untuk berani bicara, tanpa perlu memikirkan apakah yang mereka ucapkan sudah benar atau belum.

“Kalau bicaranya campur dengan bahasa Indonesia, boleh, Teacher?” Rianty mengangguk lagi. “Of course. It doesn’t matter.”

Surti lalu duduk di hadapannya, menyodorkan buku yang digenggamnya dan menunjuk pada gambar di dalamnya. “Teacher, would you tell me, e... yang mana freezer, yang mana refrigerator?” tanyanya, tersipu.

Rianty meraih pena, lalu menunjuk ke arah gambar yang dimaksud dan menerangkan fungsi masing-masing benda itu.

“Jadi, kalau nanti majikan saya menyuruh menyimpan sausage, it means, e... saya harus menyimpannya di dalam... freezer. Is it right, Teacher?” Surti kembali tersipu.

“Yes. Exactly,” jawab Rianty, tegas.

“Thanks, Teacher,” kali ini Surti tak hanya tersipu, namun juga tersenyum puas, dan Rianty dapat melihat betapa dalam lesung pipi gadis itu, membuat wajahnya makin elok dipandang. “Kalau besok-besok saya menemui Teacher di luar kelas, seperti sekarang ini, boleh, Teacher?”

“Of course, Surti. Saya justru akan merasa senang sekali.”

“Thanks, Teacher. Saya permisi.” Surti mengangguk sopan sebelum berlalu, diiringi tatap Rianty padanya yang dibaluri rasa kagum.

Sejak saat itu, kehadiran Surti yang selalu menemuinya setiap usai jam pelajaran, perlahan-lahan mulai mengikis kekesalan Rianty dan tekanan di dadanya, setiap kali harus berdiri di depan kelas. Paling tidak, respons Surti yang selalu bersemangat mengulang kembali setiap materi yang diajarkan dan bertanya tentang kosakata baru yang diperolehnya dengan sangat antusias, membuat Rianty mulai membangun rasa percaya diri.

“Melihat dari wajahmu, sepertinya kamu masih muda sekali. Berapa, sih, umur kamu?” tanya Rianty suatu hari, usai memeriksa writing task yang diberikannya di kelas pagi.

“Sixteen, Teacher,” jawaban Surti membuat Rianty terbelalak.

“Are you sure?”

Surti mengangguk.

Rianty menatap heran. “Surti, bukankah peraturan tidak membenarkan calon tenaga kerja yang masih di bawah umur? Lantas, bagaimana kamu bisa sampai di sini?”

Bola mata Surti yang bulat dan kekanakan sejenak berputar-putar. Ada rona gugup yang tak dapat ia sembunyikan. “Tapi, Teacher janji nggak bilang sama bos, ya, kalau saya masih enam belas?”

Rianty berpikir sesaat. “Oke, saya janji. Asal, kamu mau cerita pada saya, bagaimana caranya kamu bisa lolos sampai kemari!”

“Begini, Teacher. Dulu, Mbak yang ngajakin saya kemari, yang ngurusin semua dokumen saya, dia juga yang nyuruh saya jangan bilang ke siapa-siapa tentang usia saya. Karena, kalau ketahuan, enggak boleh kerja.” Surti menunduk sambil memilin-milin ujung bajunya. “Saya pengen bantu Mbok, Teacher. Mbok saya sudah tua, sering sakit-sakitan, adik saya ada tiga, masih kecil semua. Bapak sudah lama meninggal.”

Jawaban klise. Rianty menggumam dalam hati. Tetapi, sorot mata polos gadis itu meyakinkan dirinya bahwa Surti bicara jujur.

“Kamu lulus sekolah apa?”

“SMP, Teacher.”

“Tidak melanjutkan?”

Surti menggeleng.

Dan, kamu pasti akan mengatakan bahwa kesulitan biayalah yang menjadi penyebab utamanya. Isi benak Rianty kembali urun komentar. Namun, gadis itu hanya membisu.

“Surti, kalau misalnya, kamu nggak usah jadi TKW, tetapi bekerja dengan saya, kamu mau?” Ide itu tiba-tiba saja melintas di kepala Rianty.

Surti mengangkat wajahnya. “Bekerja apa, Teacher?”

“Apa saja sesuai kemampuan kamu. Yang jelas, saya akan usahakan membantu kamu untuk bisa sekolah lagi.”

Mata Surti yang bulat tambah membesar. “Are you sure, Teacher?”

Rianty tersenyum kecil. Mengagumi daya tangkap gadis ini terhadap kalimatnya beberapa menit lalu, untuk kemudian menggunakannya pada situasi yang tepat.

“Very sure, Surti.”

Gadis itu kembali menatapnya dengan raut bingung.

“Kamu gadis cerdas. Kemauan kamu juga keras. Sayang kalau sampai harus berhenti sekolah. Kalau kamu bisa lulus dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Insya Allah kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik, tanpa harus jauh-jauh ke negeri orang,” ucapan Rianty terputus, ketika mendengar bunyi langkah sepatu Hendrik yang sudah sangat dikenalnya, berjalan ke arah kelas.

“Kamu pikirkan dulu tawaran saya. Urusan dengan Mr. Hendrik, nanti saya yang akan bicarakan.” Rianty mengedipkan sebelah matanya sebelum akhirnya berlalu dengan bergegas. Sementara itu, Surti masih duduk termenung di kursinya. Menatap kepergian Rianty dengan raut bertambah bingung.

Kampung Air Lingka, awal Mei 2007
Gadis itu membuka mata. Bekerjap-kerjap perlahan. Sampai bayang-bayang samar di depannya mulai terlihat jelas. Seorang pria bertelanjang dada tampak sedang melipat jalanya, di dalam sebuah kamar sempit yang penuh dengan tumpukan baju kotor di sana-sini.

“Ini... di mana?” Ia bertanya lirih. Tangannya spontan memegang bagian belakang kepalanya yang terasa amat nyeri.

Pria bertelanjang dada itu menjawab acuh tak acuh. “Kau terdampar di pantai. Kulihat dadamu masih bergelombang, tandanya kau masih hidup. Jadi, kubawa kau kemari.”

Pria itu lalu berdiri. Mengambil sebungkus nasi yang teronggok di antara tumpukan baju, dan menyodorkannya pada gadis itu yang berbaring di sebuah tempat tidur papan tanpa alas. “Nih, makan! Kau siapa? Kenapa sampai terdampar?”

Gadis itu berusaha duduk. Memegang bagian yang sama di kepalanya yang tiba-tiba saja berdenyut keras. Ada tonjolan yang terasa membengkak di situ. Siapa? Oh! Ia langsung panik! Ya. Siapa namanya? Kenapa ia sampai tak tahu? Terdampar? Oh! Ya. Kenapa sampai terdampar?

Pria itu mengerutkan dahinya. Raut gadis di depannya mendadak berubah, seperti orang linglung. “Kau kenapa?”

“Aku… tak ingat apa-apa.”

“Juga namamu?”

Gadis itu mengangguk bingung.

“Ya, sudah. Mungkin saja besok-besok kau akan ingat kembali. Sekarang kupanggil kau, eng, Imah. Ya, Imah. Daripada aku harus memanggilmu ’hei’ atau ’hoi’, seperti tinggal di hutan saja.”

Gadis itu kembali menggerakkan kepalanya ke bawah. Ia duduk perlahan-lahan, lalu melepas karet pengikat nasi bungkus tanpa mengucap sepatah kata, dan mulai mengunyah. Tampak sekali bahwa ia sudah benar-benar lapar.

Pintu di sudut kamar terbuka. Seorang pria yang juga bertelanjang dada, namun terlihat dua kali lebih muda, sejenak tertegun. Tatapannya terhujam pada gadis yang sedang mengunyah nasinya dengan lahap. Bola matanya bergerak ke arah pria di sampingnya, yang menjawab isyarat mata itu dengan menyilangkan telunjuknya ke dahi. Gadis itu hanya memandang sekilas, lalu melanjutkan santapnya, seakan tak mengerti akan bahaya baru yang sedang mengintainya.

Kedua pria bertelanjang dada itu menatap tajam ke satu titik pandang, sambil tersenyum menyeringai. Lalu saling melempar isyarat mata. Hampir serentak.

Baloi Centre, April 2007
”Teacher, tunggu.”

Rianty menoleh. Seorang wanita dengan rambut diikat ekor kuda terengah-engah menyusulnya.

”Ada apa?”

”Surat dari Surti, untuk Teacher,” jawabnya, sambil menyodorkan sehelai kertas putih yang terlipat.

“Mana Surti?”

“Sudah berangkat, Teacher,”

Mata Rianty spontan terbelalak. “Berangkat? Kapan?”

“Kemarin malam, Teacher.”

Rianty terdiam. Tercenung sesaat, sampai tak menyadari kapan wanita itu pamit dan berlalu.

Maafkan saya, Teacher. Saya memutuskan untuk tetap pergi. Saya tidak mau menyusahkan Teacher. Terima kasih banyak atas kebaikan Teacher pada saya selama ini. Surti.

Rianty melipat kertas itu. Lalu meremasnya. Dirasakannya satu tarikan napasnya yang dalam penuh kecewa. Kenapa gadis itu tetap nekat berangkat? Kakinya belum lagi sempat beranjak, ketika sebuah pesan masuk menggetarkan ponselnya. Dari Meinar.

Ada operasi tadi mlm. 10 orang terjaring. 5 org prp, skrg ada di sini. Bgm Surti?

Kekecewaannya sejenak menepi. Ia menulis balasan singkat.

Aku ke sn skrg. Surti sdh prg.

Pesan terkirim. Sepasang langkahnya bergegas menuju pelataran parkir. Seiring detak napasnya yang mulai tak teratur.

Garut, awal 2007
Udara pagi menerpa wajah Rianty yang telanjang, sama sekali belum terjamah bedak atau pemulas wajah apa pun. Sejuk dirasakannya langsung merasuk ke pori-pori. Memberinya sensasi kenyamanan melebihi oxygen facial yang kerap dilakukannya, demi menjaga kekencangan kulit wajah di usia nyaris menyentuh angka tiga puluh.

Ia membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, menghirup napas dalam-dalam, seakan tak rela berbagi kesejukan itu dengan makhluk lain di sekitarnya. Sudah lama sekali ia tak berinteraksi dengan udara terbuka sesejuk hawa pendingin ruangan ini, berada di tengah kebun sayur di pedesaan yang nyaris bebas polutan, sejak ia memutuskan untuk merantau ke kota Batam yang bermandikan terik matahari, lima tahun lalu.

“Masuk dulu, Neng, nanti tehnya keburu dingin, suara lembut Bik Parni membuat Rianty mengurungkan niatnya untuk merentangkan kembali kedua tangannya, berkhayal seperti perling yang mengepakkan sayap, terbang riang menelusuri kebun sayur. Sebaliknya, ia pura-pura meregangkan otot sambil menarik kedua lengannya, lalu berbalik, menyeret kakinya masuk ke rumah sederhana itu.

Wanita paruh baya itu masih seperti dulu. Hanya gurat ketuaan di sudut matanya saja yang bertambah banyak. Senyumnya pun masih seperti waktu itu. Senyum ramah yang paling tak bisa ia lupakan kala berpamitan untuk berangkat ke Batam, lima tahun lalu. Dan, tiga bulan setelah itu, Mama mengabarinya bahwa Bik Parni sudah berhenti. Suaminya meninggal, dan ia memutuskan untuk mudik, mengurusi kebun sayur peninggalan almarhum suaminya, serta anak perempuan satu-satunya yang sudah beranjak remaja.

“Bibi, kok, repot-repot, sih? Saya kan cuma sebentar. Nanti siang juga saya sudah pulang ke Bandung, dan besok pagi sudah berangkat kembali ke Batam.

“Duh, terima kasih, ya, Neng, udah sudi mengunjungi Bibi. Tadinya Bibi kira Neng sudah lupa atuh sama Bibi. Maklum, udah lama nggak ketemu, Neng mah tambah geulis aja, puji Bi Parni.

“Ah, Bibi bisa saja, tukas Rianty.

Ia lalu menyeruput tehnya pelan-pelan, sambil menikmati sedapnya daun teh seduh beraroma melati, yang tak akan pernah dijumpainya di Batam, kota metropolitan yang penuh sesak dengan produk impor negara tetangga, dengan segala kompleksitasnya yang beberapa tahun ini telah menyatu dengan denyut nadi rutinitasnya.

Sejenak ia menikmati metamorfosis hidup yang tersaji lewat foto-foto keluarga berbingkai plastik sederhana yang tergantung di dinding, ketika cangkir teh yang isinya tinggal separuh itu perlahan ia turunkan. “Itu Tary? tanyanya, sambil menunjuk ke arah foto seorang gadis berambut ikal.

Bi Parni mengangguk.

“Tambah cantik saja. Sekarang ada di mana, Bi? tanya Rianty.

Tak disangka raut wajah tua itu sontak berubah. Senyumnya luluh lantak, berganti muram.

“Ada apa, Bi? Maaf….

“Enggak apa-apa, kok, Neng, potong Bik Parni cepat. Tatapannya lurus pada wajah anak bekas majikannya itu. Setengah gelisah.

“Neng, sebelumnya, saya minta maaf sama Eneng, ujarnya lirih.

“Ada apa, Bik? Alis Rianty bertaut heran.

“Saya mau minta tolong sama Eneng, kalau nggak nyusahin Eneng.

“Kalau saya bisa bantu, akan saya usahakan. Mau minta tolong apa?

Tatap mata Bik Parni tambah sendu. Segunung rindu yang berbaur cemas seakan berebut meloncat keluar dari bola matanya. Saya mau minta tolong, untuk mencari Tary, Neng! Dia pergi setahun lalu, katanya ditawari kerja di luar negeri..., kalimat Bik Parni terputus. Kapal pertahanannya keburu pecah. Dan, isak tangisnya mengalir deras.

Rumah Singgah Puan Kelana, April 2007
Rianty menatap lekat-lekat satu per satu wajah lima orang wanita itu, sambil sesekali melihat foto yang ada di genggamannya. Sekali lagi. Kali ini lebih seksama. Lalu akhirnya menggeleng.

“Ternyata dugaanku benar, bukan? Kau bekerja di sana untuk mencari seseorang. Siapa, sih, dia? tanya Zokh yang menemaninya siang itu, sambil mengetuk-ngetuk meja dengan raut muka masam.

“Anak Bi Parni. Semoga kau belum lupa. Tary sudah setahun lebih berangkat ke kota ini, diajak seseorang untuk menjadi TKW, tetapi sampai sekarang belum ada kabarnya lagi.

Zokh menggelengkan kepala. Rautnya tambah menekuk. “Kau ini memang kurang kerjaan! Kau pikir gampang nyari calon TKW yang sudah setahun menghilang? Kalau nasibnya baik, mung­kin saat ini ia sudah menghirup udara pendingin ruangan apartemen bertingkat sambil mendorong vacuum cleaner. Tetapi, kalau tidak?

Sejenak keheningan menggantung. Seiring kalimat Zokh yang tak berujung. Membuat kegelisahan Rianty menggunung. Sepasang mata hitamnya yang biasanya berbinar cemerlang itu tampak muram, hela napasnya pun terdengar dalam. Semua bahasa tubuh yang mencerminkan galau hati pemiliknya itu, mau tak mau mengusik rasa simpati pria itu. Ia menurunkan nada suaranya. “Kau sudah cek di imigrasi? Disnaker?

Rianty mengangguk. “Semuanya sudah, tetapi hasilnya nihil! Tidak ada wajah dan identitas gadis itu. Rumah singgah ini sebenarnya adalah harapan terbesarku. Sejujurnya, aku memang tak pernah berharap buruk, membayangkan bahwa gadis itu harus tersangkut masalah, lalu akhirnya terdampar di sini. Tetapi, kemungkinan itu tetap ada, bukan?

Zokh mengangguk tanpa suara. Angguk yang semata untuk menenangkan. Keheningan sekali lagi tercipta. Sampai akhirnya terpecah oleh sebuah suara cempreng dan sosok pemiliknya yang jangkung muncul di ruangan itu. “Gimana, Ri? Dia ada?

Rianty menggeleng malas.

“Kok, hanya Rianty, sih, yang kau sapa? Zokh mengedipkan sebelah mata pada Meinar, nama gadis jangkung itu.

Meinar paham arti kedip mata Zokh. Bukan sekali ini ia menangkap kekecewaan Rianty kala tak berhasil menemukan jejak Tary. Terdengar tawa Meinar setengah meledek. Memecah sunyi. “Sori, nggak ngeh ternyata ada kamu! Kukira tadi Rianty sedang ngobrol sama Mang Udin.

Zokh pura-pura kaget. “Jadi, kau kira aku tukang kebun?

Tawa Meinar tambah berderai. Menyembulkan baris giginya yang rapi. “Habisnya, kamu juga, sih! Kapan, sih, kamu mau tampil rapi? Padahal, kalau sedikit dipermak, Rianty pasti nggak akan meng­anggap kamu sebelah mata.

“Apa? dahi Rianty mengernyit. Tak menyadari bahwa pancingan kedua orang itu mengena.

Dan, Meinar tersenyum jail. “Bukannya dulu kamu pernah bilang, seandainya saja ibumu dan ibunya nggak ditakdirkan berasal dari satu rahim, kamu akan….

Sebuah bantal kursi keburu membungkam mulut Meinar sebelum ia menuntaskan godaannya.

“Eh, kau mau ke mana? seru Zokh pada Rianty.

“Ke toilet, mau ikut? tukasnya, cuek. Tetapi, Rianty sama sekali tak menuju toilet. Ia hanya merasa perlu menyingkir sejenak. Degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat, tak dapat ia kuasai. Wajahnya pun terasa hangat. Atau jangan-jangan, pipinya sudah merona? Kenapa? Karena Zokh? Ah. Ia memejamkan mata. Susah payah meredakan gemuruh di dadanya. Tuhan telah menetapkan pria itu sebagai saudara sepupunya. Dan, pria itu juga telah menjadi teman sepermainannya sejak kecil. Dengan kata lain, keakraban mereka telah seperti saudara kandung. Jadi, mengapa kini harus ada resonansi hati yang bergetar aneh setiap kali harus berdekatan dengan pria itu?

Kampung Air Lingka, Juni 2007
Gadis itu mengintip dari balik semak. Tatapannya lekat tertuju pada sebuah pick up yang parkir di tepi jalan. Kira-kira dua puluh lima meter dari pantai. Mungkin sekitar sepuluh meter dari tempatnya merunduk dan bersembunyi. Ia sudah sering melihat kehadiran pick up berwarna biru tua itu, bahkan sudah hafal dengan jadwalnya. Yang setiap tiga hari sekali datang untuk mengambil ikan dan kerang hasil tangkapan nelayan, untuk kemudian membawanya ke meja transaksi di pasar-pasar tradisional di pinggir kota.

Ia melihat sekeliling dengan lebih waspada. Memastikan suasana telah cukup aman. Sampai ia yakin benar bahwa tak ada orang di sekitar situ, yang mencurigai gerak-geriknya. Napasnya memburu. Saat ia berlari dengan merunduk dalam gelap. Jaraknya dengan pick up itu kian dekat. Ia berhenti dan tiarap, ketika dua orang pria menaikkan beberapa buah kotak oranye ke bak belakang pick up, lalu menutupnya dengan terpal.

Kedua pria itu bergerak ke bagian depan, masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Sesaat kemudian terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan. Ya, ini saatnya! Gadis itu berlari dengan tetap merunduk, menuju ke arah belakang, lalu sekuat tenaga memanjat dan melompat ke dalam bak pick up, serta secepat kilat menutup tubuhnya dengan terpal. Dadanya sempat membentur sudut salah satu kotak. Terasa nyeri, yang membuat tarikan napasnya tertahan. Namun, ia tak peduli. Rasa nyeri itu belum seberapa, dibandingkan keperihan yang masih menggelayuti dada dan sekujur tubuhnya.

Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan suara yang hampir keluar dari rongga tenggorokan, saat sekelebat bayang-bayang cengkeraman tangan-tangan berbau amis itu muncul kembali, menyeret ingatannya pada malam-malam jahanam itu, yang harus dilewatinya dengan napas terbekap dan cucuran air mata, hingga gelap berganti pagi.

Perlahan pick up bergerak. Lalu melaju.

Rumah Singgah Puan Kelana, awal Mei 2007
“Ri, kita ke RSU sekarang! Ada berita penting!”

“Penting apa?” Rianty bertanya bingung. Meinar berjalan tergesa menuju sedan. Dua orang gadis bertampang lugu dan kusut mengekorinya, lalu dengan kikuk memasuki pintu belakang mobil ketika Meinar membukakannya.

“Ada apa?” kejar Rianty penasaran. Ia bahkan belum mematikan mesin sepeda motor dan melepas helm.

“Sebuah kapal kayu terjaring dalam operasi patroli Lanal. Beberapa orang ditahan, termasuk penumpang dan ABK. Mereka ternyata rombongan calon tenaga kerja yang akan diselundupkan ke Pasir Gudang. Dua belas orang dititipkan di sini, setelah pemeriksaan dokumen mereka beres,” ucap Meinar beruntun, seperti laporan reporter berita kriminal di televisi. Mata dan gerak jempolnya terarah ke belakang, mengisyaratkan bahwa dua gadis yang duduk meringkuk di jok belakang adalah di antara mereka yang dititipkan itu.

“Lalu, kita ke rumah sakit, untuk apa?” Meinar memutar kunci dan menginjak pedal gas perlahan. Menimbulkan suara deru yang halus. “Tary termasuk salah satu calon TKW yang akan diberangkatkan malam itu! Mbak berdua ini mengenalinya! Tetapi….”

“Tetapi, apa, Mei?” tengkuk Rianty mulai menegang. Ia memang selalu mengalami bermacam reaksi tubuh yang tak menyenangkan setiap kali harus berurusan dengan pencarian Tary.

“Ketika kapal kepergok patroli, penumpang diperintahkan untuk terjun. Tak semuanya bersedia, beberapa nekat meloncat, karena takut ditembak. Tadi pagi Mas Khrisna memberi tahuku, di perairan sekitar area patroli itu ditemukan beberapa mayat mengapung. Dan, sekarang mayat-mayat itu sudah diautopsi di RSOB.”

Tak menunggu kata-kata Meinar selanjutnya, Rianty segera menggerakkan motor. Kalimat terakhir Meinar itu telah menjalarkan ketegangan tak hanya di sekujur tubuhnya, melainkan juga telah menyusup sampai ke miliaran neuron di kepalanya. “Aku langsung ke sana.”

Rianty terdiam. Menyandarkan tubuhnya ke kursi setengah mengempas. Informasi yang diduganya akan mengarah pada titik terang justru makin samar. Mungkinkah mayat wanita yang mengenakan celana jins dan baju putih itu adalah Tary? Sedangkan kedua rekan seperjalanannya saja sulit untuk mengenali, apalagi dirinya yang hanya bermodal selembar foto?

Meinar menepuk bahunya. “Ri, sebaiknya kita pulang dulu. Mbak-mbak ini perlu istirahat. Besok kamu datang lagi ke rumah singgah, kita sama-sama mencari informasi. Kamu sendiri pasti juga sudah lelah, ’kan?”

Rianty mengangguk pelan. ”Ya. Kamu duluan saja. Aku mau menenangkan diri sebentar. Kepalaku agak pusing.”

”Kita ke kafetaria sebentar? Untuk secangkir kopi?” ajak Meinar.

Rianty menggeleng. ”Tak usah. Sudah larut. Kasihan mbak-mbak itu.”

Ia lalu merebahkan kepalanya yang terasa berat. Membiarkan pikirannya menerawang dan mengembara. Sejenak masuk kembali ke kamar jenazah. Kondisi mayat-mayat yang mengenaskan itu, kembali berseliweran di pelupuk matanya. Sesaat isi perutnya bergolak. Rasa ngeri, mual, iba, dan kecewa yang bercampur aduk menjadi satu, membuat lahir batinnya mendadak terasa letih.

Entah kapan ia bisa seperti Meinar, sahabat karib sekaligus pengelola rumah singgah Puan Kelana itu. Berhadapan dengan kasus demi kasus yang menimpa wanita-wanita yang dititipkan di rumah singgah, sama sekali tak terlihat mempengaruhi psikisnya. Bahkan, penampilannya tetap riang dan modis. Padahal, yang selalu dihadapinya adalah para wanita yang membawa jiwa-jiwa yang terluka dan pasrah, bahkan tak sedikit pula yang telah mengalami trauma cukup parah.

Mungkin saja, karena sejak awal Meinar telah berkomitmen sungguh-sungguh terhadap upaya perlindungan kaum wanita yang terenggut hak-hak asasinya. Terlecehkan harga dirinya. Semua bentuk pelayanan dan perlindungan yang diberikan di rumah singgah itu, baik melalui berbagai bentuk konseling dan advokasi, juga pembinaan mental dan rohani, bagi para korban yang dititipkan di sana, sudah seperti oase di tengah sahara. Memberi setetes kesegaran dan harapan, untuk mereka memulihkan trauma psikis dan kepercayaan diri.

“Hei, malam-malam duduk melamun! Betah amat di depan kamar mayat!” suara bariton itu menyentak sunyi.
Rianty tergagap. Matanya mengedar pandang. Tak ada siapa-siapa di situ. Hanya dirinya dan makhluk menyebalkan itu, yang entah kapan munculnya dan tahu-tahu saja telah berdiri di situ.

“Mana Meinar?”

“Dia sudah pulang dari tadi. Aku berpapasan dengannya di pintu gerbang. Meinar menyuruhku untuk cepat kemari. Dia takut kau kesurupan arwah, katanya sejak keluar dari kamar mayat tadi kau bengong terus. Mereka pamit pun kau tak acuh.”

Rianty tercenung. Meinar sudah lama pergi? Ke mana saja pikirannya mengembara barusan?

“Bengong lagi!” sergah Zokh, sambil menepuk sandaran kursi. ”Yuk, kita pulang sekarang. Kelamaan di sini kau bisa benar-benar kesurupan! Mana kunci? Biar aku yang bawa. Kondisimu terlihat sangat memprihatinkan.”

Ah, kapan Zokh bisa bersikap lebih manis dan gentle padanya? Rianty melirik sekilas. Pada bidang dada kekar di balik balutan T-shirt yang menyembul di balik jaket kulit itu. Ah. Resonansi aneh itu muncul lagi. Menggetarkan alam khayalnya dengan dorongan keinginan yang begitu kuat untuk merebahkan kepalanya di dada itu, melepas sejenak penat jiwa dan pikirannya yang terasa luar biasa mumet hari ini. Tetapi, apa yang akan muncul di kepala Zokh, jika ia melakukan itu? Melempar berpuluh guyon dan ledekan, seperti yang selama ini mewarnai hari-hari mereka? Atau, malah memeluknya kuat-kuat sampai tubuh dan batinnya terasa lebih hangat?

“Kau lihat-lihat terus dari tadi? Ngaku aja, deh, kalau memang naksir! Nggak perlu malu-malu begitu!”

Mata Rianty membola. Bertubi-tubi cubitan kecil yang tajam cepat dilancarkannya sebelum Zokh keburu meneruskan niatnya untuk tertawa dan menggoda. Huh! Tak sadar Rianty mengeluh di dalam hati. Sampai kapan pola interaksinya dengan Zokh tetap bertahan seperti ini? Sejujurnya, ia menginginkan sesuatu yang lebih. Lebih membuatnya merasa nyaman dan dibutuhkan saat berada di sisi pria itu.

Juni 2007
“Apa lagi menu hari ini, Mei?” ujar Rianty, sambil merebahkan kepalanya di jok kursi mobil Meinar. Selama beberapa minggu ini, di luar shift-nya mengajar, ia memang mengisi waktunya dengan menjadi relawan pendamping di rumah singgah, yang jumlah penghuninya kian hari terus saja bertambah.

Para tenaga kerja wanita ilegal korban trafficking adalah mereka yang menduduki jumlah peringkat teratas. Sebagian dari mereka ditemukan saat razia dan patroli laut, saat penggerebekan di rumah prostitusi, kafe, dan panti pijat, juga terdapat puluhan pekerja yang dipulangkan dari negara tujuan, saat ditemukan aparat setempat tanpa membawa dokumen lengkap dengan stempel ’pendatang haram’. Selain itu, masih ada sejumlah penghuni lain yang merupakan korban kekerasan rumah tangga ataupun yang melarikan diri dari germo.

Tak jarang ia merasa prihatin, senewen, sedih, juga geram. Mengapa makhluk Tuhan yang paling dimuliakan itu justru sering kali menjadi sasaran empuk kejahatan? Mengapa sosok berjasa yang telah melahirkan miliaran manusia di bumi ini harus selalu jadi korban? Bahkan, tak jarang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat? Jangan-jangan sebaris kata bijak yang mengatakan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu sudah tak lagi menggetarkan kalbu, tak lagi cukup menggugah nurani. Atau, barangkali saja redaksi kalimat yang disitir dari hadis nabi itu perlu ditambah dengan makna yang lebih luas, bahwa melecehkan kaum yang dianggap lemah itu sama artinya dengan mengantarkan sebelah kaki mereka ke neraka!

Tawa lepas Meinar seketika memecah kerak-kerak es yang membeku di kepala Rianty, membuat sederet pertanyaan retorik yang tersimpan di dalamnya meleleh dan terserak sebelum sempat ia luapkan. Ah, Rianty menggeleng heran. Sahabatnya ini masih saja bisa tertawa, meski sekeliling pinggangnya selalu dililit benalu trauma wanita-wanita dan pesakitan.

“Menu kita siang ini sudah terhidang di Poltabes Barelang. Mbak Wina meneleponku tadi pagi. Seorang gadis tanpa identitas dan lupa ingatan diantar seorang penduduk ke kantor polisi. Kabarnya, ia melarikan diri dari sekapan nelayan, dan Mbak Wina memintaku untuk sementara waktu menampung wanita itu di rumah singgah,” jawab Meinar, tenang.

Rianty mengernyitkan kening. “Dan kamu menyanggupi? Mei, kalau begini terus-menerus, dalam waktu dekat Puan Kelana akan mengalami peningkatan multifungsi! Bukan lagi sekadar penampungan sementara, tetapi sekaligus rumah sakit jiwa!”

Tawa Meinar kembali meledak. “Ha... ha... ha..., kok, kamu yang senewen, sih? Aku yang pontang-panting setiap hari saja masih bisa hidup tenang dan tidur nyenyak, kok! Asalkan kita ikhlas and enjoy your job! Everything will be over. Easy, right?”

Jawaban lepas Meinar yang seolah tanpa beban membuat Rianty mendelik gemas. “Enjoy katamu? Setiap hari menghadapi makhluk yang sejenis denganmu datang dengan berurai air mata, tubuh penuh luka dan lebam, belum lagi yang kerjaannya ngomong sendiri melulu, yang memekik-mekik histeris, kamu masih bisa bilang enjoy?”

Meinar menginjak pedal rem dan kopling bersamaan di perem­patan lampu merah, lalu menukar persneling. Sejenak menoleh pada sahabatnya, layaknya seorang ibu yang sedang menenangkan putrinya yang baru ditinggal pacar. “Menghadapi orang-orang yang datang dengan setumpuk persoalan, kita tidak boleh panik, apalagi ikut emosional, Ri. Justru kitalah harus membuat mereka merasa nyaman. Karena, dunia akan tersenyum, jika kau tersenyum. Sebaliknya, ia akan bermuram durja, jika kau berduka. Jadi, legakanlah mereka dengan senyum tulus dan kata-kata penguat. Bukan dengan tampang stres apalagi merengut, seperti kamu sekarang ini. Beban mereka bukannya berkurang, malah makin tertekan. Ya, ‘kan?”

Rianty hanya merespons kalimat puitis Meinar dengan memajukan bibirnya. Meinar memang pintar menyusun kata, juga menata emosi, tak seperti dirinya, yang gampang panik dan mengeluh. Sering bertindak spontan, tanpa terlebih dulu berpikir matang.

Tak terasa sedan Meinar telah mendarat di pelataran parkir ge­dung Poltabes. “Kamu nggak turun?” tanya Meinar.
“Aku di sini saja.”

Meinar mengedipkan sebelah matanya. ”Kamu masih enggan bertemu Mas Alan. Ya, ’kan? Ternyata susah sekali melenyapkan bayang-bayang Zokh, ya?”

Rianty tak menjawab. Hanya mengacungkan tinjunya pada Meinar yang berlalu dengan tertawa-tawa. Zokh? Ah. Dia lagi. Kenapa harus nama itu yang selalu muncul di angannya setiap kali ia membayangkan sosok pria? Bahkan, sosok Alan Dharmawan, anggota SatReskrim yang putih dan gagah itu pun tak cukup kuat menggeser wajah Zokh.
Hmm, apa, sih, kelebihan Zokh? Ia memang tak setampan Alan, tetapi sikapnya yang supel dan rada nyentrik telah cukup menghasilkan track record berupa sederet wanita yang patah hati, karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Entah kenapa, sampai hari ini Zokh masih betah dengan kesendirian. Masih saja asyik menekuni hobi fotografinya dan sesekali menggarap orderan video shooting.
Sepanjang yang ia tahu, satu-satunya wanita yang selalu menempel erat di sisi Zokh adalah dirinya! Tak ada yang lain. Namun, itu tak sama dengan lekatnya prangko pada amplop, melainkan lebih mirip Tom and Jerry! Selalu saling adu mulut, adu pendapat, dan tak jarang berakhir dengan saling ledek dan saling kejar. Tak ubahnya seperti masa kanak-kanak dahulu. Entah sampai kapan mozaik kepolosan masa kecil itu akan berubah wujud. Seperti apa yang diinginkannya dan dirajutnya dalam mimpi yang kini justru terasa kian jauh meninggalkannya.
Huss! Rianty menghalau bayang Zokh dan kelebat angan romantis itu, ketika tiga orang wanita berjalan menuju parkiran. Meinar, Mbak Wina dalam balutan seragam polwannya, dan seorang wanita yang berdiri di tengah, diapit Meinar dan Mbak Wina. Wajahnya tak terlalu jelas terlihat, tertutup oleh rambut ikalnya yang menjuntai sebagian dan selendang yang disampirkan sekadarnya.
Rianty turun dari mobil, ketika ketiga wanita itu telah tiba di dekat mobil Meinar. Ia mengangguk ramah pada Mbak Wina, polwan yang selama ini menjadi mitra kerja rumah singgah.
”Imah. Kenalkan, ini Rianty, sahabat saya,” ujar Meinar.
Wanita yang berdiri di tengah itu lalu mengulurkan tangan, meng­ucap singkat namanya, “Imah.” Dan... Ya, Tuhan, Rianty kontan terenyak. Ia bahkan lupa mengangkat tangannya, ketika wanita itu mengangkat wajahnya yang tertunduk.
“Tary!” pekik Rianty tak tertahan. Meinar dan Mbak Wina saling pandang. Imah menatap bingung. Tary? Wanita cantik ini memanggilnya Tary? Matanya menerawang, memandang wajah Rianty dengan pikiran kosong dan raut bingung. Nama itu, seperti tak asing di telinganya. Sebuah nama dari lorong waktu masa lalu, yang seolah memanggil memorinya untuk menyusuri dan memungut keping demi keping peristiwa yang telah tercecer jauh. Namun, ia sama sekali tak ingat. Peristiwa apa itu? Siapa Tary?
Meinar mencolek punggung tangan Rianty. Membisikkan sesuatu. Membuat gadis itu seketika tercekat. Seorang wanita tanpa identitas dan lupa ingatan... Ah, ia hampir saja lupa. Meinar telah memberitahunya di mobil tadi. Sungguh ia tak menyangka, bahwa wanita lupa ingatan itu adalah anak Bik Parni!

”Bagaimana, Mei?” tanya Rianty, sambil ekor matanya melirik pada Tary yang sedang diajak berbincang oleh seorang psikiater. Ekspresi gadis itu masih sama seperti sebelumnya, sinar matanya kosong, sesekali nanar, sesekali menerawang, dan kondisi psikisnya pun masih sangat labil. Ada kalanya Tary terlihat tegar, dan mampu dengan lancar bercerita tentang apa yang telah ia alami sepanjang ingatannya. Namun, di menit berikutnya, ia sudah kembali mela­mun dan tak mau bicara sepatah pun.

Meinar mengedikkan bahu. ”Belum ada kemajuan. Memori terakhirnya adalah ketika ia berada di gubuk nelayan yang telah menolongnya. Nama Imah itu juga, menurutnya, diberikan oleh nelayan itu. Tetapi, mereka malah berbuat tidak senonoh! Tary dipaksa melayani dua nelayan anak beranak itu setiap malam, bergantian! Benar-benar biadab!” desis Meinar, geram.

Rianty menghela napas iba. Tercenung sesaat. Doa dan harapnya selama ini untuk menemukan Tary, telah didengar dan dikabulkan Tuhan. Tinggal selangkah lagi janjinya pada Bik Parni akan lunas. Tetapi, mendadak jantungnya berdebar. Mengembalikan seorang anak dalam kondisi amnesia dan telah terenggut kehormatannya, bagaimana caranya? Sanggupkah ia mengatakan kebenaran pahit itu pada Bik Parni? Mampukah ia berdiri tegak, menghibur menguatkan hati seorang ibu yang telah lama kehilangan jejak putri satu-satunya? Melihat kondisi Tary saat ini saja jiwanya ikut terguncang?

Sebagian orang heran akan sikapnya, yang seolah terlalu memikirkan nasib Bik Parni dan keluarganya. Namun, bagi Rianty, Bik Parni lebih dari sekadar pembantu. Wanita yang telah belasan tahun mengabdi pada keluarganya itu adalah wanita yang telah mengasuhnya sejak bayi, dan selalu memperlakukannya dengan sangat baik, tak ubahnya anak kandung sendiri.

”Mei, bisakah Tary disembuhkan terlebih dulu sebelum kita mengembalikannya pada Bik Parni?”

Meinar menggeleng. ”Maaf, Ri. Rumah singgah hanya disediakan untuk tempat berteduh dan berlindung sementara, sebelum akhirnya mereka dipulangkan ke kampung halaman atau pihak keluarganya. Jadi, dalam kasus Tary, kita tetap akan memberlakukan perlakuan yang sama. Terlebih lagi, proses pemulihan seorang penderita amnesia, butuh waktu yang cukup lama.”

”Tidak ada keringanan sama sekali?”

Meinar menghela napas. ”Paling-paling kita hanya bisa menangguhkan waktu kepulangan, tapi tidak untuk menahannya berlama-lama di sini.”

Hening beberapa saat, sampai akhirnya terpecah oleh suara Meinar yang berusaha meyakinkan Rianty, ”Apa yang telah dilakukan Tary membuktikan keberanian dan kekuatan tekad gadis itu, Ri. Sebagian orang yang mengalami nasib seperti Tary, mungkin akan mengalami trauma dan depresi berat. Tetapi, Tary justru nekat meloloskan diri dari sekapan pria-pria berengsek itu! Kalau ternyata ia sanggup melakukan hal yang hebat, kenapa kamu tidak?”

Ruangan itu tambah sepi. Tary telah dipapah masuk ke kamar, didampingi oleh psikiater yang menemaninya tadi. Meinar kembali melanjutkan kalimatnya yang sejenak terputus. ”Selama ini, keluarga yang mengalami peristiwa pahit seperti Tary, umumnya ikhlas menerima dalam kondisi apa pun, asalkan anggota keluarga mereka kembali dengan selamat. Mereka lebih memilih bersikap pasrah, nrimo. Menganggap bahwa kembalinya anggota keluarga mereka lebih berharga dari permata. Bahkan, kebanyakan mereka mencabut kembali laporan tindak kekerasan ataupun penipuan yang sebelumnya telah kita mediasi untuk diproses secara hukum. Jadi, menurutku, Bik Parni akan menerima Tary dengan hati terbuka. Percayalah, Ri.”

”Yah, semoga saja,” gumam Rianty, lirih. Semoga saja, dirinya sanggup menyelesaikan janji itu.

Pagi menyapa bumi. Sinar mentari masih malu-malu menampakkan wujudnya pada bumi, dan separuh jasad rembulan masih terlihat jelas bertengger di langit, seolah belum rela pamit pada mentari.

Rianty meluncur dengan sepeda motornya menuju Baloi Centre lebih awal pagi ini. Jalan raya utama yang biasa dilewatinya untuk menuju ke tempat kerjanya itu, masih terlihat sepi. Surat permohonan cuti telah selesai diurusnya dan hari ini ia akan langsung menemui Hendrik, atasannya, untuk berpamitan.

Ia tak ingin menunda waktu, karena sore ini juga ia akan terbang ke Bandung, demi menunaikan janjinya, mengantarkan Tary pulang ke pangkuan ibunya. Seminggu lalu, ia telah mengabarkan keberadaan Tary pada Bik Parni, juga rencana kepulangan Tary, melalui sepucuk surat yang dikirimkannya melalui alamat kepala desa tempat Bik Parni bermukim. Namun, sampai hari ini, ia masih belum berani membayangkan bagaimana reaksi Bik Parni, ketika menerima kabar itu.

Ia baru saja memperlambat laju motornya beberapa meter setelah memasuki pintu gerbang kawasan ruko, ketika matanya tertumbuk pada police line yang melingkari ruko berlantai tiga yang selama ini menjadi kantor pusat PT Angkasa. Beberapa polisi berseragam tampak berlalu-lalang. Masyarakat yang tinggal di sekitar ruko pun tak biasanya sepagi ini telah menyemut, mengerumuni ruko bercat dinding abu-abu itu.

Ia menepikan motor agak menjauh, menghindari kerumunan, lalu meraih ponsel di saku celananya. Benda kecil itu langsung berbunyi nyaring sesaat setelah ia mengaktifkannya. Nama Moza, rekan sesama pengajar di PT Angkasa, muncul di LCD.

”Halo, Ri! Ke mana saja, sih, kamu? Kuhubungi berkali-kali nggak aktif melulu!” Moza langsung mencecar.

”Sorry, Za. Low bat. Baru ku-charge tadi pagi. Apa yang terjadi dengan Angkasa? Aku baru saja tiba, nih!”

”Kamu di mana?”

”Dekat kedai kopi Sederhana. Memangnya kenapa?”

”Baguslah. Sebaiknya jangan sampai ketahuan polisi kalau kita be­kerja di Angkasa, nanti malah kita yang dicecar, dimintai keterangan tentang Angkasa,” Moza berhenti sejenak.

”Tadi malam ada warga di sekitar ruko yang melapor ke polisi. Mereka melihat sesuatu yang mencurigakan dari arah ruko tempat penampungan milik PT Angkasa. Ada yang mengulur-ulurkan tangan dari balik jendela. Ada yang memanggil-manggil. Bahkan, ada yang mencampakkan kertas yang isinya minta pertolongan. Kudengar dini hari tadi polisi menggerebek ruko itu. Sekarang para penghuninya sementara waktu diamankan di kantor polisi. Pak Hendrik dan Pak Budiman juga ikut digiring. Karena, dari pengakuan para penghuni ruko itu, mereka telah dikurung di sana selama berbulan-bulan tanpa perlakuan yang manusiawi.”

”What? Tapi... Angkasa kan agen resmi? Selama ini kita juga tidak pernah mencium sesuatu yang mencurigakan, bukan?”

Terdengar helaan napas Moza. ”Agennya, sih, resmi. Mungkin saja oknum pengelola penampungan yang telah menyalahgunakan wewenang. Sebaiknya, buat waktu ini kita menyingkir dulu, deh! Jangan sampai berurusan dengan polisi. Yang penting kita saling kontak saja, kalau ada perkembangan terbaru.”

”Ya. Terima kasih banyak, Za. Aku pergi dulu.” Rianty menyimpan kembali ponselnya setelah hubungan terputus. Ia lalu mengarahkan motornya ke jalan raya, melesat menuju rumah singgah.

”Ri, sini!”

Rianty menoleh. Meinar melambai padanya. Aroma wangi lavender langsung tercium, ketika ia masuk ke ruang kerja Meinar.

”Info apa yang dapat kamu berikan padaku tentang Angkasa? Terus terang aku belum tahu banyak,” tanya Rianty, langsung menuju pokok pembicaraan. Ia yakin Meinar telah mengetahuinya. Ia tidak ingin lagi menjadi orang yang telat informasi setelah semalaman tak mengetahui apa yang telah terjadi pada Angkasa sampai Moza menghubunginya.

”Sebagian dokumen TKW yang ditampung itu telah dipalsukan. Dicurigai ada beberapa oknum di Angkasa yang menempuh jalur belakang, dengan mencari dan menampung calon-calon tenaga kerja untuk dipekerjakan di tempat-tempat ’rawan’, karena imbalan yang mereka peroleh dari sektor ini lumayan besar.”

Rianty terenyak. Tak menyangka bahwa tempatnya bekerja selama ini, yang dari permukaan terlihat ’aman’, legal dan profesional, ternyata masih tak luput dari tikus-tikus rakus yang lebih tergiur pada pekerjaan nista yang menjanjikan keuntungan berlipat. Alangkah naifnya ia selama ini! Sampai-sampai tak mengetahui bahwa di ruko bertingkat tiga yang hanya berjarak sepuluh meter di belakang kantor utama PT Angkasa itu telah dijadikan tempat penyekapan selama berbulan-bulan!

Huh! Tak sadar ia mendengus keras. Mengapa permasalahan ini sedemikian rumit? Sampai kapan benang kusut bisnis haram ini harus terus berpintal dan tak kunjung terurai?

”Sudah, jangan terlalu dipikirin,” kata Meinar, mengibaskan tangannya, seakan tahu apa yang sedang memenuhi benak Rianty. ”Perkara PT Angkasa sudah memasuki wilayah hukum. Jadi itu sudah menjadi urusan pihak berwajib. Tentang para TKW ilegal itu juga sudah kita koordinasikan dengan Disnaker dan pihak kepolisian, setelah urusan pemeriksaan dokumen mereka beres, seperti biasa, mereka akan diinapkan di sini sebelum dipulangkan.”

”Sekarang ikut aku!”

”Ke mana?” Rianty mendongak pada Meinar yang sudah berdiri dan memoles bedak di wajahnya dengan gerak cepat.

”Ke Pelabuhan. Kita akan menjemput seorang wanita perkasa, yang telah membebaskan diri dari penyiksaan majikannya dengan cara meloloskan diri dari jendela apartemen.”

Meinar menyerahkan sebuah surat kabar lokal ke atas meja.

Seorang PRT asal NTB (16 th), sempat gelantungan sekitar 30 menit dari sebuah apartemen lt. 12 di Selangor, Senin pagi, ketika akan melarikan diri. Ia kabur dari rumah majikan lewat sebuah jendela dengan cara meluncur menggunakan baju-baju yang dirangkai, lalu diikat pada kusen jendela apartemen, karena tidak tahan disiksa majikan perempuannya dan nyaris saja diperkosa oleh anak majikannya.

Mata Rianty membelalak, nyaris tak berkedip, menyaksikan kronologis kejadian yang disajikan lewat foto-foto pada lembar headline itu, mulai dari sosok wanita yang bergelantungan sambil berpegang erat pada sambungan kain, lalu meluncur dan terjun, hingga akhirnya beberapa warga yang menyaksikan kejadian, spontan berlari dan berusaha menolong wanita itu.

Napas Rianty serasa tercekat. Selama ini adegan semacam itu hanya pernah disaksikannya di film-film mafia Hong Kong. Namun, kali ini, walaupun hanya lewat sederet rekaman foto, apa yang disaksikannya itu terasa begitu mencekam! Sekaligus tragis! Wanita nekat itu seakan tak peduli pada risiko apa pun, termasuk keselamatan dirinya. Bahkan, pada ajal yang kemungkinan siap menjemputnya di bawah sana!

”Mei, Meinar, di mana kamu?” Rianty celingukan, mendapati bayang Meinar yang sudah menghilang entah kapan. Terdengar bunyi mesin mobil yang distarter dan suara cempreng Meinar yang memekik nyaring, ”Cepetan, Tuan Putri! Ini bukan waktunya berdiskusi dengan hati!”

Pelabuhan internasional itu tampak lebih ramai dari biasanya. Orang-orang berseragam PNS, polisi, beberapa orang dengan badge pengenal dari sejumlah media cetak dan elektronik lokal, juga dari LSM dan yayasan sosial, memenuhi pintu masuk pelabuhan. Bahkan, satu unit mobil ambulans tampak terparkir tak jauh dari pintu masuk. Tampaknya berita kepulangan TKW yang nekat terjun itu telah tersebar di segenap penjuru kota.

Kerumunan manusia di pintu masuk itu mendadak bergerak serentak, menuju ke satu arah. Meinar menggamit tangan Rianty untuk mendekat ke arah kerumunan. ’Pahlawan’ yang ditunggu-tunggu itu telah tiba di pelabuhan.
Seorang wanita duduk di kursi roda dengan tangan dan kaki yang ditutup gips. Juga lingkar kepalanya yang dibalut perban putih. Dua pria mendampingi dan mendorong kursi rodanya. Makin dekat makin jelas bahwa bukan hanya gips dan perban, melainkan wajah dan leher wanita itu pun penuh memar biru dan luka. Rianty menajamkan penglihatannya ketika rombongan kecil itu melintas.

Rianty ternganga. Mulutnya spontan memekik, ”Surti!”

Wanita di kursi roda itu menoleh. Matanya yang lebam ber­pu­tar-putar mencari arah suara. Rianty setengah berlari menerobos kerumunan para kuli tinta yang berebut mengabadikan dari dekat sosok Surti. Sampai akhirnya langkahnya tertahan setengah meter dari Surti, oleh seorang petugas kepolisian yang spontan membentangkan tangan.

”Maaf, Bu. Nanti saja. Korban harus dibawa dulu ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik menyeluruh.” Rianty hanya bisa menghela napas, ketika rombongan itu berlalu dan Surti yang dibopong ke mobil ambulans. Sekilas dilihatnya gadis itu memalingkan wajah, mencoba menemukan dirinya di antara kerumunan. Lesung pipinya tersembul, saat berusaha mengukir seulas senyum tipis. Namun, di balik sinar matanya yang redup, tersimpan begitu banyak cerita lara.

Pagi menyapa bumi. Sinar mentari masih malu-malu menampakkan wujudnya pada bumi, dan separuh jasad rembulan masih terlihat jelas bertengger di langit, seolah belum rela pamit pada mentari.

Rianty meluncur dengan sepeda motornya menuju Baloi Centre lebih awal pagi ini. Jalan raya utama yang biasa dilewatinya menuju ke tempat kerjanya, masih sepi. Surat permohonan cuti telah selesai diurusnya. Hari ini ia akan menemui Hendrik, atasannya, untuk berpamitan.

Ia tak ingin menunda waktu. Sore ini juga ia terbang ke Bandung, menunaikan janjinya, mengantarkan Tary pulang ke pangkuan ibunya. Seminggu lalu ia telah mengabarkan keberadaan Tary pada Bik Parni, juga rencana kepulangan Tary, melalui sepucuk surat. Namun, sampai hari ini, ia belum berani membayangkan reaksi Bik Parni, ketika menerima kabar itu.

Ia memperlambat laju motornya beberapa meter ketika memasuki pintu gerbang kawasan ruko. Matanya tertumbuk pada police line yang melingkari ruko berlantai tiga, yang selama ini menjadi kantor pusat PT Angkasa. Beberapa polisi berseragam tampak berlalu-lalang. Masyarakat yang tinggal di sekitar ruko pun telah menyemut.

Ia menepikan motor agak menjauh, menghindari kerumunan, lalu meraih ponsel di saku celananya. Benda kecil itu langsung berbunyi nyaring, sesaat setelah ia mengaktifkannya. Nama Moza, rekan sesama pengajar di PT Angkasa, muncul di LCD. ”Ri, jangan sampai ketahuan polisi bahwa kita bekerja di Angkasa. Nanti malah kita yang dicecar, dimintai keterangan tentang Angkasa.” Moza berhenti sejenak.

”Tadi malam ada warga di sekitar ruko yang melapor ke polisi. Mereka melihat sesuatu yang mencurigakan dari arah ruko. Ada yang mengulurkan tangan dari balik jendela. Ada yang memanggil-manggil. Bahkan, ada yang mencampakkan kertas yang isinya minta pertolongan. Kudengar dini hari tadi polisi menggerebek ruko itu. Sekarang para penghuninya diamankan di kantor polisi. Pak Hendrik dan Pak Budiman juga ikut digiring. Karena, dari pengakuan para penghuni ruko, mereka dikurung di sana selama berbulan-bulan, tanpa perlakuan yang manusiawi.”

”Tetapi, Angkasa kan agen resmi? Selama ini kita juga nggak pernah mencium sesuatu yang mencurigakan, bukan?”

Moza menghela napas. ”Agennya, sih, resmi. Mungkin oknum pengelola penampungan menyalahgunakan wewenang. Sebaiknya kita menyingkir dulu. Jangan sampai berurusan dengan polisi.”

Rianty menyimpan kembali ponselnya setelah hubungan terputus. Ia lalu mengarahkan motornya ke jalan raya, melesat menuju rumah singgah. Meinar melambai padanya.

”Info apa yang dapat kamu berikan tentang Angkasa? Terus terang aku belum tahu banyak.” Rianty langsung ke pokok pembicaraan. Ia yakin Meinar telah mengetahuinya. Ia tak ingin lagi terlambat mendapat informasi, setelah semalaman tak mengetahui apa yang telah terjadi pada Angkasa sampai Moza menghubunginya.

”Sebagian dokumen TKW yang ditampung telah dipalsukan. Dicurigai ada oknum di Angkasa yang menempuh jalur belakang, mencari dan menampung calon tenaga kerja untuk dipekerjakan di tempat-tempat ’rawan’. Karena, imbalan yang mereka peroleh dari sektor ini lumayan besar.” Rianty terenyak. Tak menyangka bahwa tempatnya bekerja selama ini yang dari permukaan terlihat ’aman’, legal, dan profesional, ternyata masih tak luput dari tikus-tikus rakus yang lebih tergiur pada pekerjaan nista yang menjanjikan keuntungan berlipat. Alangkah naifnya ia selama ini! Sampai-sampai tak mengetahui bahwa di ruko yang hanya berjarak sepuluh meter di belakang kantornya telah dijadikan tempat penyekapan wanita!

Tak sadar ia mendengus keras. Mengapa permasalahan ini sedemikian rumit? Sampai kapan benang kusut bisnis haram ini harus terus berpintal dan tak kunjung terurai?

”Ikut aku, yuk, ke pelabuhan. Kita akan menjemput seorang wanita perkasa, yang telah membebaskan diri dari penyiksaan majikannya dengan cara meloloskan diri dari jendela apartemen.”

Rianty melongo. Meinar menyodorkan sebuah surat kabar lokal.

Seorang PRT asal NTB (16 th), sempat gelantungan sekitar 30 menit dari sebuah apartemen Lt 12 di Selangor, Senin pagi, ketika akan melarikan diri. Ia kabur dari rumah majikan lewat sebuah jendela dengan cara meluncur menggunakan baju-baju yang dirangkai, lalu diikat pada kusen jendela apartemen, karena tidak tahan disiksa majikan perempuannya dan nyaris saja diperkosa oleh anak majikannya.

Mata Rianty membelalak, menyaksikan kronologis kejadian yang disajikan lewat foto-foto pada lembar headline itu. Dari sosok seorang wanita yang bergelantungan sambil berpegang erat pada sambungan kain, lalu meluncur dan terjun, hingga akhirnya beberapa warga yang menyaksikan kejadian, spontan berlari dan berusaha menolong wanita itu.

Napas Rianty serasa tercekat. Selama ini adegan semacam itu hanya pernah disaksikannya di film-film mafia Hong Kong. Kali ini, walaupun hanya lewat sederet rekaman foto, apa yang disaksikannya itu terasa begitu mencekam! Sekaligus tragis! Wanita nekat itu seakan tak peduli pada risiko apa pun, termasuk keselamatan dirinya. Bahkan, pada ajal yang kemungkinan siap menjemputnya di bawah sana!

Pelabuhan internasional itu tampak lebih ramai dari biasa. Orang-orang berseragam PNS, polisi, beberapa orang dengan badge pengenal dari sejumlah media massa, LSM, dan yayasan sosial, memenuhi pintu masuk. Bahkan, satu unit mobil ambulans tampak terparkir tak jauh dari pintu masuk. Tampaknya, berita kepulangan TKW itu telah tersebar di segenap penjuru kota.

Kerumunan manusia di pintu masuk itu mendadak bergerak serentak, menuju satu arah. Meinar menggamit tangan Rianty. ’Pahlawan’ yang ditunggu-tunggu itu telah tiba di pelabuhan.

Seorang wanita duduk di atas kursi roda dengan tangan dan kaki dibalut gips. Juga lingkar kepalanya yang dibalut perban putih. Dua orang pria mendampingi dan mendorong kursi rodanya. Makin dekat makin jelas wajah dan leher wanita itu pun penuh bekas biru dan luka. Rianty menajamkan penglihatannya.

Ia spontan memekik, ”Surti!” Wanita di kursi roda itu menoleh. Matanya yang lebam berputar mencari arah suara. Rianty setengah berlari menerobos kerumunan para wartawan. Langkahnya tertahan oleh petugas kepolisian yang spontan membentangkan tangan.

”Maaf, Bu. Nanti saja. Korban harus dibawa dulu ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik menyeluruh.”

Sekilas dilihatnya gadis itu memalingkan wajah, mencoba menemukan dirinya di antara kerumunan. Lesung pipinya tersembul saat berusaha mengukir seulas senyum tipis. Namun, di balik sinar matanya yang redup dan suwung, tersimpan begitu banyak cerita lara.

Garut, dua hari sesudahnya...
”Bagaimana? Sudah siap?” bisik Zokh. Rianty mengangguk. Mobil yang mereka tumpangi bersama Tary dan dua orang relawan telah tiba di halaman rumah Bik Parni. ”Simpan dulu semua koleksi air matamu! Aku yakin akan banyak air mata yang tercurah di sini! Tak perlu membuatnya jadi dramatis.”

Rianty meninju pelan lengan Zokh sambil bersungut. Pria itu seperti tak pernah kehabisan kata-kata untuk memerahkan mukanya. Ia menarik napas dalam-dalam, meredam frekuensi detak jantungnya yang mulai meningkat saat kakinya turun dari mobil.

Halaman rumah yang sempit namun asri itu telah dipenuhi orang yang sudah mendengar kabar mengenai kepulangan Tary. Beberapa orang berseragam juga terlihat. Termasuk puluhan orang pers dari berbagai media. Semua seolah tak ingin ketinggalan, menyambut momen-momen pulangnya calon tenaga kerja yang bernasib tragis. Tak jauh berbeda dari saat ’penyambutan’ Surti tempo hari, kerumunan itu sontak merubung, ketika Rianty bersama rombongan kecilnya turun dari dalam mobil sambil menggandeng Tary.

Rianty merasa sedih. Haruskah wanita-wanita seperti Surti, Tary, dan puluhan wanita lainnya yang mengadu nasib di ’negeri-negeri impian’ di berbagai belahan bumi ini, nyaris mengorbankan nyawa, juga jiwa mereka, demi mendapat pengakuan, perhatian, atau justru mengundang tatap prihatin? Begitukah arti seorang pahlawan devisa, yang baru dirasa patut dibela dan dilindungi, kala fisik dan jiwanya sudah tak lagi sempurna? Apa artinya miliaran dolar yang mereka sumbangsihkan terhadap negara? Ironisnya, sampai hari ini, perhatian dan perlindungan nasib mereka masih jauh panggang dari api.

Suara isak tangis menyeruak, menuntaskan kalimat-kalimat sinis tak berjawab yang meriuhkan isi benak Rianty. Bik Parni telah berdiri di sisinya, sambil mendekap Tary dengan air mata yang deras membanjir. Sebaliknya, raut Tary justru teramat beku, dengan kedua lengannya yang terkulai di sisi tubuhnya, tak balas memeluk. Belasan kamera dengan kilatan blitz yang terarah padanya pun tak mampu mencairkan kebekuan.

”Terima kasih banyak, Neng. Bibi nggak tahu gimana bisa membalas jasa Eneng. Apa yang menimpa Tary, Bibi sudah ikhlas, Neng. Yang penting Tary sudah kembali dengan selamat. Bibi akan berusaha apa saja agar Tary bisa sembuh,” ucap Bi Parni, lirih, dengan matanya yang berkabut. Tangannya menjabat erat. Dan Rianty menggenggamnya hangat.

Dadanya bergemuruh saat ekor matanya melirik Tary. Tatap kosong yang nyaris minus ekspresi milik gadis itu, amat kontras dengan manik mata Bi Parni. Tak dipedulikannya kata-kata Zokh di mobil tadi. Air matanya perlahan ikut mengalir.

Ia lalu teringat sesuatu, merogoh beberapa kartu nama, lalu memberikannya pada Bik Parni. ”Ini alamat rumah sakit dan psikiater terkenal di Bandung, Bi. Nanti kalau Tary sudah tenang, Bibik bawa saja ke Bandung. Saya sudah memberi tahu Papa dan Mama. Mereka bersedia membantu Bibi. Tentang biaya pengobatan Tary, Bibi nggak perlu khawatir. Kami sudah mengoordinasikannya dengan LSM dan pemerintah daerah setempat.”

Isak Bik Parni bertambah kuat. Puluhan blitz kamera kembali terarah, saat Bi Parni kembali memeluk Tary, seolah tak ingin kehilangan untuk kedua kali. Rianty memicingkan matanya, ketika kilatan cahaya itu mengenainya. Hawa komersialisasi itu, membuatnya jengah.

”Apa rencanamu setelah ini, Ri?” tanya Zokh, dalam pesawat yang membawa mereka terbang kembali ke Batam.
”Bergabung dengan Meinar.”

”Kau yakin bakal sanggup? Setiap hari, setiap saat, atau bahkan setiap tarikan napasmu terus digelayuti permasalahan orang lain yang hanya berpotensi memusingkan kepala dan bikin stres? Jangan-jangan, bergabung di rumah singgah hanya akan membuatmu tambah kurus dan cepat ubanan!”

Rianty bergeming. Kali ini ia tak peduli pada kalimat sinis Zokh. ”Aku bukan sekadar berniat menjadi relawan. Minggu lalu aku mengajukan proposal pendirian kursus keterampilan dan bahasa Inggris untuk para wanita yang ditampung di rumah singgah, juga bagi yang tidak mampu. Nantinya kursus itu akan dibangun persis di sebelah rumah singgah, memanfaatkan pekarangan samping yang menganggur. Sejauh ini pemerintah daerah menyambut baik rencanaku. Tinggal menunggu realisasinya saja!”

”It sounds great!” seru Zokh. Intonasinya menyebalkan. “Aku tak bermaksud menganggap ledakan idealismemu sebelah mata. Tapi, kuharap kau berpikir jernih, sebelum memutuskan terjun bebas dalam bidang yang sama sekali nonprofit. Karena, untuk berkomitmen sungguh-sungguh, yang kau butuhkan bukan hanya dinamit untuk meledak, tetapi juga cadangan energi yang berlimpah untuk mendorong idealismemu agar mampu untuk terus bertahan dan bergerak.”

“Terima kasih, Tuan Zokh! Aku berjanji akan mempertimbangkannya.” tukasnya singkat, sambil merebahkan kepala dan memundurkan sandaran kursi.

“Hei, jangan tidur dulu, dong! Aku masih mau bicara!”

Rianty menghela napas kesal. ”Tak bisakah kita bicara setelah tiba di Batam nanti?”

Zokh menggeleng. “Sejujurnya, yang paling kukhawatirkan adalah kau akan berubah, menjadi seperti Meinar!”

Rianty menegakkan kepalanya. Apa yang dikatakan Zokh tadi? Mengkhawatirkannya? Tumben. “Apa maksudmu? Apa yang salah pada Meinar? Bukankah jarang ada wanita seperti dia, punya rasa peduli pada nasib sesama, dan mampu bersikap optimistis dalam menghadapi kesulitan orang lain?”

“Kelebihan yang justru berpotensi jadi bumerang,” tukas Zokh, dingin. “Wanita yang selama ini telah memosisikan dirinya sebagai seorang superior, memberi perlindungan dan rasa aman terhadap sesama jenisnya yang inferior, akan makin membuatnya tak tergoyahkan, selalu merasa lebih kuat, bahkan tak menutup kemungkinan bahwa ia tak merasa membutuhkan pria dalam hidupnya!” Tatapan Zokh berubah tajam. Setajam mulutnya.

Rianty terdiam.

”Atau, barangkali, ini baru dugaanku. Bisa saja Meinar justru mengalami trauma, bukan? Menghadapi para wanita korban kekerasan dan pelecehan setiap saat, lama-kelamaan akan menjungkirbalikkan kepercayaan dan pandangannya terhadap kaum pria. Kau paham maksudku, bukan?”

“Ya. Seratus persen paham,” Rianty balas menatap Zokh. Dan ia bertahan untuk tak berkedip. “Tetapi, aku bukan Meinar. Aku akan buktikan padamu bahwa aku bisa sekuat Meinar tanpa harus mengorbankan fitrah cinta dan perasaanku.”

Baloi Centre, Agustus 2008
Ponselnya memekik nyaring. Rianty menepikan motornya di pelataran parkir, tepat di sayap kanan gedung bercat kuning muda yang baru selesai dibangun dengan sebuah plang nama ’Kursus Bahasa Inggris dan Ketrampilan Puan Kelana’ terpancang di depannya.

” Neng Rianty, ini saya, Bi Parni.”

Senyum Rianty kontan mengembang. ”Halo, Bi. Apa kabar?”

”Baik-baik aja, Neng. Neng gimana?”

”Alhamdulillah sehat, Bi.”

”Bibi mau ngabarin berita gembira, Tary mah udah ingat sama Bibi. Lainnya emang dia masih lupa, Neng. Tary udah mau manggil Bibi ’ibu’, sekarang dia rajin bantuin Bibi ngurus kebun sama bikin tape.”

”Saya turut senang mendengarnya.” Tak dapat ia bayangkan bagaimana bahagianya Bik Parni saat ini. Dari nada suaranya yang meloncat-loncat dan tarikan napasnya yang megap, ia yakin kegembiraan Bi Parni lebih dari yang bisa diungkapkannya lewat kata-kata.

Betapa awal yang menyenangkan pagi ini. Mendapat kabar kemajuan tentang Tary setelah setahun berlalu, serasa meneguk suplemen penyuplai semangat dan stamina dosis tinggi sebelum ia memulai aktivitasnya pagi ini.

“Teacher, where should I put your book?” seorang gadis berlesung pipit berseragam SMU menyapanya. Tangannya menggenggam erat beberapa modul tebal berbahasa Inggris.

“Just put it on my table, Surti. What time will you go up for school?”

Gadis itu tersenyum. “I still have ten minutes to help you, Teacher.”

Rianty menggerakkan telunjuknya dan menggeleng pelan. “No, no. Left my books and go now. Otherwise you could be late.”

Lesung pipit Surti kembali tersembul. Senyum ceria gadis itu tambah memompa semangat Rianty. Tary dan Surti, dua kuntum bunga yang masih sempat terselamatkan, walaupun harus melalui liku-liku dan nasib tragis. Entah berapa banyak pula kuntum bunga yang baru merekah dan gagal diselamatkan di luar sana. Menjadi korban dari lemahnya perlindungan hukum, ketidakberdayaan ekonomi dan jaringan sindikat yang terorganisasi rapi. Entah sampai kapan pula, kuntum-kuntum bunga itu harus terus berjatuhan dan menjadi layu tanpa ada kekuatan yang sanggup untuk mencegah atau paling tidak meminimalkan jumlahnya.

Rianty menatap sekilas plang nama itu. Lalu melayangkan matanya pada dua buah ruang kelas yang masih baru, bahkan bau catnya pun masih jelas tercium. Satu ruang lagi yang terletak paling ujung baru delapan puluh persen selesai. Ruang yang rencananya akan dijadikan kelas keterampilan memasak dan menjahit. Mungkin juga ke depan ruang itu akan ditambah, mengingat dua ruang kelas keterampilan dan bahasa Inggris yang telah ada sekarang telah ramai peminat, dengan ibu-ibu rumah tangga dari golongan kurang mampu yang tinggal di sekitar rumah singgah.

Rianty menarik napas dalam-dalam. Mensyukuri karunia yang tak putus mencucurinya. Apa yang tengah ia perjuangkan saat ini, masih berupa embrio, masih terlalu dini untuk dapat memutus rantai panjang dilema itu. Paling tidak, dengan berdirinya kursus keterampilan ini, ia sudah merintis jalan pembuka.

Semua yang telah dicapainya dalam waktu relatif singkat itu, tak lantas membuatnya berpuas diri, apalagi berbangga hati. Masih berpuluh mimpi-mimpinya yang antre untuk diwujudkan. Salah satunya adalah rencananya untuk merintis usaha yang kelak dapat menampung para wanita berpendidikan rendah dan kemampuan ekonominya lemah untuk membantu mengepulkan asap dapur mereka dengan memiliki mata pencaharian.

Menurutnya, mata rantai utama penyebab muncul dan berkembangnya kasus-kasus yang menimpa kaum wanita, selain faktor rendahnya tingkat pendidikan, adalah faktor minimnya kesejahteraan. Seandainya saja perekonomian masyarakat golongan marginal membaik, dan kesempatan kerja terbuka lebih luas. Paling tidak, wanita di persada ini tak lagi tergiur mereguk dolar, ringgit, dan riyal di negeri orang, yang justru tak jarang berbuah pada derita panjang.

Namun, seperti kata Zokh, dinamitnya memang telah meledak. Namun, ia memerlukan cadangan energi yang berlimpah untuk memperjuangkan sederet obsesinya itu untuk terus meroket.

Sebuah mobil sedan berhenti di depan ruang tunggu rumah singgah, yang terletak persis bersebelahan dengan gedung kursus pendidikan itu. Seorang gadis jangkung keluar dari dalam mobil, dan seperti biasa, melangkah dengan bergegas.

”Hi, Teacher Rianty! Ready to start? Look very fresh of you this morning,” sapa sebuah suara bariton yang melongokkan kepalanya dari balik kaca mobil. Suara yang tak asing di telinganya.

“Ri, kami pergi dulu, ya. Mau nyoba kedai bubur ayam yang baru buka. Mau ikut?” ajak Meinar dari teras rumah singgah.

“Aku sudah sarapan. Lain kali saja.”

Pria di balik setir itu lalu membukakan pintu, dan Meinar menyambutnya dengan mengecup mesra dahinya. Sedan itu perlahan menjauh. Bunyi klakson terdengar dua kali sebelum akhirnya berlalu dari pandangan Rianty. Meninggalkan asap halus dari knalpot yang langsung menguap tertelan udara pagi.

Rianty mengukir senyum. Enam bulan lalu pemandangan semacam itu masih memunculkan rasa perih, gemuruh, bahkan gejolak yang membakar. Sekarang, semuanya terlihat amat biasa. Sama datarnya dengan rutinitas lalu-lalang aktivitas kendaraan di jalan raya yang saling beradu kencang. Hampir tak ada lagi gejolak yang tersisa. Ah, betapa waktu begitu singkat. Kini Rianty tak lagi meyakini kata pepatah bahwa waktulah yang mengubah segalanya. Waktu tak lebih dari suatu dimensi abstrak yang tak dapat ditarik mundur, karunia Tuhan pada hambaNya untuk berproses menjadikan diri mereka berguna, dan manusialah yang sesungguhnya bebas mengisi warna-warni yang diinginkannya pada dimensi itu.

Ia tak ingat persis awalnya dan bagaimana jalinan itu bermula. Semuanya terasa samar. Atau, mungkinkah dirinya yang terlalu naif, sehingga tak menangkap sinyal-sinyal halus yang telah sejak lama terkirim oleh genderang jiwa mereka masing-masing? Mungkin saja, segala pendapat Zokh tentang Meinar itu hanya basa-basi. Sesungguhnya dia telah lama menyimpan kekaguman pada Meinar. Kekaguman yang perlahan bertunas menjadi cinta?

Ah, apa pedulinya dengan semua itu? Toh, Meinar tak pernah memedulikan perasaannya yang selama ini hanya mengukir nama Zokh di dalamnya. Bagi Rianty, persahabatan sama agungnya dengan meletakkan kepercayaan pada posisinya yang tertinggi.

Sekali lagi, apa pedulinya? Karena hari ini, berdiri di depan sebuah kursus pendidikan dan keterampilan bermisi sosial yang dimotorinya, dengan segudang rencana-rencana masa depan yang telah tertata rapi di kepalanya dan kapan saja siap untuk diluncurkan, ia, toh, merasa tak kalah ’perkasa’ dibanding Meinar. Bahkan, barangkali saja, dirinyalah yang justru lebih tangguh! Merelakan pria yang ia cintai ke dalam pelukan sahabat karib sendiri, harus pula menyaksikan dan mencium hawa kemesraan mereka hampir setiap saat di depan mata. Bukankah itu semua adalah porsi tersulit dari keikhlasan dan kekuatan jiwa seorang wanita?

Hatimu belum akan hidup kalau belum mengalami rasa sakit. Dan sakit karena cinta akan membukakan hati, walau hati itu sekeras batu. Sebait kata bijak musisi Timur Tengah itu, barangkali benar adanya. Paling tidak, itulah yang ia rasakan kini. Kekecewaannya yang dulu pernah melesak dan menggumpal, makin lama justru makin membentuk kumparan energi yang meletupkan semangat dan obsesinya. Membuatnya selalu merasa tertantang dan penuh antusias mewujudkan mimpi-mimpinya, bahkan serpih-serpih luka lama itu pun kini telah tersapu bersih dari relung hatinya.

”Good morning, Teacher,” suara murid-muridnya serentak menyapa, ketika langkahnya tiba di pintu kelas.

”Good morning, Teacher.”

Ha? Siapa pula yang terlambat pagi ini? Bukankah ia selalu menoleransi hampir seperempat jam sebelum kelas dimulai? Tetapi, tunggu! Kerlingan jail disertai dehem sebagian muridnya yang semuanya wanita itu, juga suara yang menyusul belakangan yang terdengar dibuat-buat itu, mengisyaratkan bahwa sapa itu sama sekali bukan dari seorang muridnya yang terlambat.

Rianty menoleh. Sesosok pria dalam balutan seragam polisi berdiri bersandar pada tiang. Kedua tangannya yang dimasukkan ke saku celananya dengan sikap relaks, makin memperkuat aura ketampanan pria itu. Namun, yang terlihat pagi ini bukan hanya raut tampan itu yang telah memaku matanya, memesonanya, tetapi juga senyum tulus pada wajah bening itu, telah membangkitkan kembali spiritnya yang sejenak terusik oleh kehadiran sepasang kekasih tadi.

Rianty balas tersenyum, senyum terindahnya pagi ini. ”Good morning, Mr. Alan....”

No comments: