12.22.2010

Pilihan Senja

Ruben merancang ‘skenario gila’ yang tak bisa ditolak Senja. Berlayar dengan kapal pesiar bersama seorang pria yang tak dikenalnya!
AWALAN
Senja membuka mata. Temaram bias malam menyambutnya. Dia menghela napas panjang. Berapa lama aku tertidur? Lalu didengarnya dengkur halus di sisinya. Sesosok tubuh masih tertidur pulas. Dadanya yang terbuka tampak bergerak naik-turun, seirama alunan napasnya.

Senja menelusuri raut wajah itu. Alis matanya tebal memikat, saling bertaut pada pangkal hidung bertulang tinggi. Dan, mata yang terpejam itu, betapa menyimpan tatapan sempurna! Menabur sejuta pesona, sekaligus jerat yang tak terelakkan! Senja terpaku dalam diam. Perlahan, jemarinya membelai dahi pria di sampingnya dengan lembut.

Detik berikutnya, kelopak mata di bawah alis itu terjaga. Senja bergerak mencari tombol lampu, tapi sebuah rengkuhan menghentikan gerakan tangannya. Dalam sekejap, Senja sudah berada dalam sebuah dekapan yang kokoh.

“Jangan dinyalakan,“ bisik Ruben, merangkulnya erat, “aku masih ingin memelukmu dalam gelap.”

“Malam makin larut, sudah waktumu untuk pulang,“ bisik Senja pelan, melonggarkan pelukan.

“ Pukul berapa sekarang?” suara Ruben terdengar malas.

“Hampir tengah malam.“

Pelukan Ruben terlepas dalam satu gerakan, lalu terdengar lenguhan dalam nada penuh keluhan. “Selarut itukah?”

“Ya,“ jawab Senja, sambil menekan tombol lampu. Kali ini Ruben tak menahan gerakan tangannya. Dan, cahaya membias terang.

“Mengapa waktu berlalu begitu cepat kala bersamamu? Membuatku selalu kekurangan waktu, bagai orang yang dahaga.“

“Kalau begitu, pergilah ke kamar mandi. Hilangkan dahagamu dan mandilah yang bersih!“

“Mandi katamu? Tengah malam begini? Oh, terima kasih banyak,“ tolak Ruben mentah-mentah, sembari meraih kemeja di sandaran kursi.

“Aroma tubuhku melekat di tubuhmu,“ Senja memperingatkan. “Itu bisa memancing kecurigaan Aline.“

Gerakan Ruben yang tengah mengenakan kemeja terhenti. Ia berpikir sesaat, lalu dilepasnya kemeja itu. “Apakah semua wanita hamil seperti itu?” keluhnya. “Hidung dan telinganya mendadak berubah sedemikian peka sehingga bagaikan mengetahui semua yang kulakukan…. “

Naluri wanita. Senja berkata dalam hati. Atau naluri janin?

“Mungkin pembawaan bayi dalam kandungannya,“ tukas Senja, tanpa nada.

“Ngidam maksudmu? Bisa jadi! Aline jadi serba aneh akhir-akhir ini. Apa pun yang diinginkannya harus tersedia saat itu juga. ASAP, as soon as possible tanpa bisa ditunda lagi,“ keluh Ruben, menumpahkan emosi. “Kau tahu gaya ngidam-nya yang terbaru?”

Senja menggeleng pelan. Sebetulnya hatinya nyeri setiap kali mendengar cerita tentang Aline. “Dia ingin naik kapal pesiar ke Malaysia, melihat Malaka dan Langkawi!“

“Oh, apa susahnya? Bukankah ada banyak kapal wisata ke sana?”

“Tapi sayang, lihat apa yang akan terjadi padaku! Tiga malam empat hari aku harus mendampingi Aline di kapal! Kau kan tahu, semenjak hamil, dia rewel luar biasa ….”

“Itu kewajibanmu, bukan? Kehamilannya adalah ‘hasil karyamu’. Jadi, kenapa tidak kau coba menikmatinya sebagai bulan madu kedua?”

“Kalau boleh memilih, aku lebih suka berlayar bersamamu,“ bisik Ruben, sembari merengkuh Senja yang segera berkelit dan menepis rengkuhan pria itu.

“Sudahlah, cepat mandi, Ruben. Aline sudah menunggumu di rumah…. “

“Tunggu! Ini ide yang bagus! Aku sedang berpikir untuk membawamu serta dalam pelayaran itu,“ kata Ruben, tertawa.

“Apa?” Senja terlonjak. “Kau ingin menjadikan aku dayang-dayang Aline? Oh, please, Ruben, no way!”

“Dengarkan rencanaku,” kata Ruben, tampak berpikir keras. Sejurus kemudian ia berkata lagi, serius. “Keikutsertaanmu harus dikemas rapi. Kau bisa tampil tanpa berpotensi dicemburui istriku,“ Ruben menjelaskan penuh semangat. “Caranya, harus ada seseorang yang mendampingimu, entah sebagai tunangan, pacar, atau apalah! Pokoknya, seseorang yang berperan sebagai pasanganmu!”

“Ide gila! “dengus Senja.

“Sama sekali tidak, Senja. Ini justru ide cemerlang. Suatu permainan yang menggairahkan. Bayangkan, kita berlayar bersama, menikmati cahaya bulan purnama di laut lepas, wow!“

“Maaf, aku tidak tertarik. Lagi pula, pasti tak ada temanku yang sudi ikut berperan sebagai pelengkap penderita dalam permainan sandiwara yang kau buat! “ Senja menolak jengkel.

“Tidak masalah. Aku sudah memiliki tokoh utama untuk kamuflase itu.“

Senja tertegun. “Apa maksudmu?”

Ruben tersenyum lebar. “Tempo hari, ada seseorang yang kalah bertaruh. Dia berutang padaku dan aku tahu dia sedang tak memiliki apa pun untuk membayarnya. Jadi, pasti dia mau melakukan apa saja untuk melunasi utangnya. Apalagi mendampingi gadis secantik kamu, meskipun hanya sandiwara.“

“Ruben!”

“Jangan cemas, Senja. Kau pasti tidak akan kecewa pada penampilannya. Dia jangkung dan tampan, kok. Kalau tidak demi rencana ini terlaksana, aku juga tidak akan rela melihatmu berdampingan dengannya. Apalagi memikirkan kalian harus tidur sekamar!“ Ruben menggelengkan kepalanya.

“Cukup, Ruben! Hentikan khayalan gilamu itu!” bentak Senja, habis kesabaran. “Kau pikir aku ini apa? Menyuruhku berpasangan dengan pria yang tidak kukenal demi mendampingimu pesiar dengan istrimu?”

“Tapi Senja, aku betul-betul ingin berlayar dan bercinta denganmu di bawah cahaya bulan. Kapan lagi kita akan mendapatkan kesempatan seperti ini?” Ruben merengek manja, seperti anak kecil.

“Kita bisa melakukannya kapan-kapan, Ruben. Hanya kita berdua,“ ucap Senja, tak tega mendengar keluhan Ruben.

“Tidak mungkin, Senja. Kau kan tahu, semenjak hamil, Aline tidak mengizinkanku pergi, ke luar kota sekalipun.“

“Tapi….”

“Sudahlah, kau tak usah takut. Aktor kita ini bukan seorang pria yang berwatak nakal, apalagi terhadap wanita. Lagi pula, aku akan memberinya persyaratan yang sangat ketat, sehingga kujamin kau aman bersamanya. Dia pasti tidak berani melanggar persyaratanku. Selain itu, bukankah aku berada di kapal yang sama? Aku bisa segera berada di sisimu secepat yang kau inginkan. I will be there for you ASAP! “

“Aku…,” Senja ragu-ragu.

“Tenang saja. Besok akan kupesan tiket dan kita akan menikmati pelayaran ini bak bulan madu pengantin baru. Ya?” bujuk Ruben, dengan tatapan merajuk.

Senja mengerjapkan mata. Tatapan itu, mengapa ia selalu terjebak di dalamnya? Bagai mangsa yang terjaring laba-laba!

Hari Pertama
Seorang petugas kapal membantu Senja menemukan kamarnya. Dengan sopan diketuknya pintu sebelum membuka pintu kamar. “Sudah ada yang menunggu Ibu, silakan….”

Langkah Senja terhenti di ambang pintu. Keraguan mendadak menguasainya. Dia menyadari, bahwa ia tidak berlayar sendirian. Senja tidak menempati sebuah private room, melainkan separated room. Ya, di kapal ini, statusnya adalah menjadi ‘tunangan’ seseorang. Dan, seseorang itu sosok yang asing baginya. Sekadar namanya pun ia tak tahu. Senja sendiri merasa heran pada dirinya. Mengapa akhirnya ia mau saja berkolusi dengan Ruben, menjalankan ide gila di dalam kapal pesiar ini! Maka, ketika sosok itu muncul di depannya, Senja tertegun dalam kegamangan yang luar biasa.

Pria itu berdiri di sisi jendela. Tubuhnya jangkung seperti yang digambarkan Ruben. Rambutnya panjang menyentuh bahu. Sebuah ransel masih menggantung di pundaknya. Rupanya, meskipun sudah lama berada di kamar, dia belum juga berbenah. Apakah ia merasakan kegamangan yang sama?

Senja menarik napas, menghimpun kekuatan. Sengaja dibuatnya suara yang sedikit gaduh, seirama entakan sepatunya di dek kapal. Ternyata berhasil. Kehadirannya membuat pria itu berbalik dan menoleh kepadanya.

Mata mereka bertemu. Senja tertegun. Astaga! Mata pria itu bagai mata elang yang turun menukik ke bumi, tajam sekali! Senja mendadak jengah. Secepat kilat dikerjapkannya matanya, menghindar.

Petugas kapal menghilang di balik pintu. Pria itu segera menguasai keadaan. Dia mengulurkan tangan kepada Senja. “Namaku Benteng,” katanya, dengan suara datar

Senja menyambut salam itu dan menyebutkan namanya. Bagaikan opening credit title, pikir Senja mengomentari acara perkenalan itu. Sebelum cerita dimulai, maka disebutkan dulu satu per satu sederet nama. Pelaku, penulis cerita, sutradara….

“Aku belum berbenah. Sengaja menunggumu agar bisa memilih tempat tidur yang kau inginkan terlebih dulu,“ Benteng seolah menjelaskan, mengapa ia masih menyandang ransel di bahunya.

“Terima kasih,“ gumam Senja, canggung. Lalu ditunjuknya tempat tidur pilihannya. Sengaja dipilihnya posisi dipan yang tidak berdekatan dengan kamar mandi.

Benteng meletakkan ranselnya pada dipan yang lain. Suasana hening. Aroma kecanggungan bertebaran di seluruh ruang kamar. Terlebih lagi Senja. Tampak jelas ia salah-tingkah. Baru disadarinya ia terlibat dalam suatu permainan yang berbahaya!

Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang. Lalu terdengar suara Benteng. Pria itu tampak berhati-hati dengan ucapannya. “Bolehkah aku bertanya satu hal?” katanya, mengejutkan Senja.

“Apa?” jawab Senja, nadanya penuh waspada.

“Apakah kau betul-betul setuju dengan ide Ruben ini?”

“Kau sendiri?” Senja balik bertanya, lebih untuk melindungi diri.

“Aku tidak punya pilihan,“ kata Benteng, mengangkat bahu. “Utang judiku tidak sedikit. Jadi, ketika Ruben menawarkan hal ini sebagai alternatif pelunasan, pastilah kuterima apa pun persyaratannya.“

“Jadi, apa lagi? Lakukan saja apa yang Ruben inginkan!“

“Bagaimana denganmu?”

“Tak perlu kau pedulikan aku!“

“Tapi, aku justru harus peduli padamu…. “

“Tidak perlu!”

“Mengapa tidak? Aku perlu tahu apakah kau benar-benar menerima ide ini dengan sadar atau karena ada tekanan yang membuatmu tak punya pilihan lain? Aku tidak ingin keputusanku menerima ide ini mengondisikanmu dalam keterpaksaan untuk menerimanya.“

Senja tertegun. Kalimat itu adalah pernyataan seseorang yang peduli, yang bahkan Ruben pun tidak melakukannya.

“Kau ragu-ragu,“ lanjut Benteng, menatap Senja. “Apakah kau ingin membatalkan kesepakatan ini? Kapal belum berangkat, jadi belum terlambat bila….”

Suara sirene melengking panjang saat itu juga, menghentikan kalimat Benteng. Terlambat! Itu adalah tanda keberangkatan kapal. Detik selanjutnya, terasa kapal mulai bergerak perlahan, lalu secara bertahap kecepatan bertambah. Kapal telah melaju membelah hamparan laut. Perjalanan hari pertama sudah dimulai. Selat Malaka membentang di depan mata.

“Kau lihat?” ujar Senja datar. “Tidak ada kesempatan untuk mengubah keputusan. Kapal tidak mungkin berhenti hanya untuk menurunkan kau ataupun aku!“

“Maaf terlambat, kalau saja tadi aku lebih dini mengatakannya….”

“Ah, sudahlah,“ Senja menghentikan penyesalan pria itu.

“Kalau begitu, karena kita berdua merupakan orang asing satu sama lain, tapi harus sekamar dalam beberapa hari ini, ada baiknya kita kompromikan dulu beberapa hal. Bagaimana?” Benteng menawarkan.

“Misalnya?” Senja mengernyitkan alis.

“Kita perlu saling tahu tentang apa yang kita suka atau tidak suka. Misalnya, dalam hal kerapian, kau dan aku perlu saling menjaga kerapian itu. Setidaknya dengan tidak membiarkan pakaian kotor, makanan, atau apa saja yang tidak perlu, berserakan ke mana-mana.“

“Baik, aku setuju. Aku paling tidak suka melihat pakaian dalam bergelantungan, apalagi yang bekas pakai!“

“Sudah kusiapkan yang sekali pakai.“

“Tak boleh membawa makanan di ruang ini, mengundang semut!“

“Aku tidur dalam gelap dan tidak suka bangun pagi, jadi jangan menghidupkan lampu atau membuka tirai jendela sebelum aku bangun!“

“Jangan mendengkur “

“Kuusahakan…. “

Senja menyimpan senyum. Mana bisa? Pada pria, mendengkur lebih mirip sebagai kebiasaan atau bakat yang tidak bisa diganggu gugat. Ruben juga mendengkur, meskipun halus.

“Satu hal lagi,“ Benteng melanjutkan, “perlu kujelaskan bahwa aku pria normal, dalam arti bukan pencinta sejenis. Jadi, selama tinggal bersama dalam kamar ini, ada baiknya kita saling menjaga sikap.“

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, maaf, sebisa mungkin, tolong jangan melakukan hal-hal yang sekiranya bisa memancing imajinasiku melebar ke mana-mana…. “

“Maksudmu imajinasi seksual?”

“Ya, semacam itulah!“

Seketika itu juga mata Senja menyambar tajam. Wajahnya mengeras dengan gurat kemarahan. “Aku tahu batas-batas kewajaran,“ desisnya, marah. “Dan, aku akan berlaku dalam batas-batas itu, menurut penafsiranku. Kalau kemudian hal itu tidak sesuai dengan kehendakmu dan membuatmu menafsirkan lain, itu urusanmu sendiri! Aku tidak akan ambil peduli. Bagaimanapun, aku tidak akan tinggal diam bila kurasa penafsiranmu menggangguku!”

“Maaf, aku tidak bermaksud….”

“Jaga bicaramu!” potong Senja, tajam.

“Sebentar, aku belum selesai dengan penjelasanku,“ Benteng membela diri. “Kuutarakan hal itu karena aku perlu memperjelas posisi kita.“

“Bah, alasan!“

“Baik, terserah apa katamu!“ Benteng terlihat menahan diri. “Tapi, penilaian macam apa yang kau harapkan atas apa yang kau lakukan ini? Ruben tidak menjelaskan apa pun tentangmu. Yang kutahu hanyalah bahwa kau seorang wanita, bersedia tinggal dalam satu kamar dengan pria yang tidak kau kenal untuk menjadi ‘kekasih gelap’ Ruben yang berlayar bersama istrinya yang sedang mengandung!”

Senja terenyak. Kalimat itu bagai tamparan yang menghantam pipinya. Bahkan, tidak hanya pipi, tapi seluruh dirinya, hingga membuatnya pecah berkeping-keping. Hancur sudah harga dirinya, luluh lantak!

Senja merasa tak mampu bertahan lagi dalam situasi yang dihadapinya saat ini. Ingin dia membawa dirinya berlari menjauh. Tapi, berlari ke mana? Dia tidak tahu! Sesungguhnya, nalurinya mengatakan, ia ingin berlari dari dirinya sendiri. Sesungguhnya, ia tak sanggup melihat kenyataan itu. Ya, inilah dia dirinya sekarang: seorang ‘kekasih gelap’! Lebih dari itu, ia bahkan rela menyediakan diri untuk tidur sekamar bersama seorang pria asing yang menyamar sebagai tunangannya. Dan, semua ini hanya untuk mengiringi pelayaran wisata seorang pria yang sudah beristri! Oh, alangkah tragisnya kenyataan itu!

Senja pertama di laut lepas. Matahari bulat dengan warna merah menyala bergerak turun perlahan-lahan di kaki langit. Senja pun berpendar, berbaur cahaya kuning tembaga. Sungguh lukisan alam yang luar biasa indahnya!

Di sunset boulevard dek delapan, Senja menikmati keindahan lukisan alam itu. Angin berembus menerbangkan rambutnya yang terurai lepas. Udara dingin membelai bahunya yang terbuka. Ditautkannya kedua lengan untuk menghalau embusan dingin itu. Memang tidak banyak membantu, tapi apa lagi yang bisa dilakukan? Selendang yang tadi dipakainya, entah ada di mana. Pastilah terjatuh waktu dia berlari meninggalkan kamar tadi!

Baru saja akan dieratkannya pelukan, ketika tiba-tiba rasa hangat menghampirinya. Seseorang melingkarkan sehelai selendang pada bahunya, selendang yang baru saja dicarinya. Senja menoleh dan seketika itu pula darahnya mendidih , menggerakkannya untuk segera beranjak pergi.

“Jangan pergi,“ pinta Benteng lembut, menghadang langkahnya. “Maafkan aku…. “

Senja berpaling.

“Aku bukan seorang yang pintar merangkai kata, bukan pula orang yang mahir mengatur sikap,“ lanjut Benteng, dengan hati-hati. “Terkadang apa yang kukatakan tidak selalu sesuai dengan apa yang kumaksud. Kalimatku tadi, kutahu pastilah sangat menyakitkan. Kata-kataku tadi, tentulah tidak tepat. Tapi, sesungguhnya aku hanya ingin mengatakan, bahwa kau tidak sepatutnya mengalami situasi ini.“

“Apa yang terjadi di antara aku dan Ruben bukan urusanmu!”

“Maaf…, “ suara Benteng terdengar mengambang.

 
Ruben merancang ‘skenario gila’ yang tak bisa ditolak Senja. Berlayar dengan kapal pesiar bersama seorang pria yang tak dikenalnya!

Keheningan menyelinap. Langit senja berganti langit malam yang pekat. Sunset boulevard mulai lengang. Para penumpang yang menikmati indahnya matahari terbenam satu per satu mulai beranjak pergi. Senja membenahi letak selendangnya.
“Selendang itu tak sengaja kutemukan di lorong kabin. Malam hari udara di laut pasti dingin, jadi kupikir kau tentu memerlukannya.” Benteng mengamati gerakan Senja dengan cermat.

“Aku tidak kedinginan…. “

“Bibirmu biru.“

Senja mendengus dingin.

“Bingung juga mencarimu, kapal sedemikian besar dengan begitu banyak ruang dan penumpang. Untung saja kelasi mengatakan, bahwa di senja hari hampir semua penumpang menikmati mentari terbenam di sunset boulevard.“

“Sudahlah, hentikan basa-basimu!” hardik Senja habis sabar. “Aku akan berterima-kasih untuk selendang ini dan usahamu menemukan aku. Tapi, untuk selanjutnya kau tidak perlu mencoba berbaik hati. Kita hanyalah dua orang asing yang kebetulan sekamar, anggap saja seperti penumpang di kendaraan umum, bus, pesawat, atau apa saja, yang kebetulan setujuan tanpa harus saling kenal atau bertegur sapa. Jelas?”

Benteng tertegun. Tak menyangka reaksi Senja sekeras itu. Hati-hati diamatinya gadis itu. Betapa dingin matanya. Menusuk dengan ketajaman yang luar biasa.

“Baiklah, aku pergi, “gumamnya kemudian mengundurkan diri.

Senja berdiri kaku. Dengan ekor mata diikutinya langkah Benteng menghilang dari pandangannya.

Awal yang buruk. Hari pertama dilalui dengan pertengkaran. Padahal, masih ada beberapa hari lagi yang harus dilalui bersama!

 Malam itu Senja melewatkan makan malam. Alunan musik dari dinner lounge sempat memacu rasa laparnya, tapi keengganan untuk beranjak lebih menguasai, dan memupus selera makannya.

Sesungguhnya apa yang sudah membunuh rasa laparnya? Pertengkarannya dengan Benteng? Oh, bukan! Sesungguhnya, lebih karena keengganan untuk bertemu seseorang. Ya, ini jamuan makan malam pertama di kapal. Pastilah tidak ada seorang penumpang kapal pun yang melewatkan acara makan malam begitu saja. Apalagi, seorang istri yang hamil muda dan memang mengidam naik kapal pesiar bersama suaminya! Bisa dipastikan pasangan itu ditemukannya di sana.

Duh, sudah siapkah Senja menghadapi mereka? Tidak! Oleh karena itu, dilewatkannya santapan makan malam begitu saja. Saat menjelang dini hari, terdengar ketukan halus pada pintu kamar. Senja terjaga. Pintu kamar terbuka.

“Di mana Senja?” tanya Ruben berbisik.

“Sedang tidur, “ jawab Benteng dengan suara mengantuk “ Dia….”

Belum tuntas Benteng menyelesaikan jawabannya, Ruben menerobos masuk dan langsung menghidupkan lampu, membuat ruangan terang-benderang.

“Malam sekali kau datang,“gumam Senja, memicingkan mata menahan silau lampu.

“Sayang…, “ Ruben mengecup Senja dengan lembut. “Ayo, ikut aku!“

“Ke mana?”

“Bulan sedang purnama. Seperti yang kujanjikan, kita akan menikmati malam terindah di tengah laut bersama sinar bulan dan bintang-bintang.“

“Benarkah?”

“Tentu saja, ayo!“ Ruben meraih selendang, diselimutkannya pada bahu Senja. Dia membimbing gadis itu untuk mengikuti langkahnya.

Senja tersenyum. Sisa kantuknya habis begitu saja. Dipasrahkannya diri mengikuti langkah Ruben. Hatinya terjerat sudah! Tentu saja, wanita mana mampu mengelak dari jerat seromantis itu? Menikmati malam berdua, berteman cahaya bulan dan bintang-bintang, diiringi alunan ombak dan semilir angin laut di atas sebuah kapal mewah. Aha!

Di ujung ruangan, Benteng termangu dalam diam. Perlahan, dia mematikan lampu kamar.

Hari Kedua
Senja menikmati sarapannya pada sebuah meja di teras terbuka. Langit begitu cerah, biru bertabur awan putih, sementara laut begitu biru bening. Pasti segar andai bisa berenang di dalamnya.

“Boleh aku duduk di sini?” sebuah suara menyapa Senja.

Senja mengangkat wajah. Di depannya, Benteng menatapnya dengan mata menyiratkan harapan yang tak tersembunyikan. Astaga, betapa segar wajahnya pagi ini! Rambutnya setengah basah, dan aroma segar sabun mandi menyertainya.

“Silakan,“ kata Senja kemudian. Nadanya kaku, menyisakan kemarahan semalam.

Benteng ragu. Kekakuan suara itu terdengar jelas olehnya.

“Kau masih marah,“ kata Benteng, dengan rasa bersalah. “Memang bukan hal mudah melupakan kesalahanku semalam. Baiklah, ada baiknya aku tak menganggu selera makanmu, permisi…. “

Senja menghela napas. Memang tidak mudah melupakan kesalahan seseorang. Apalagi kelancangan Benteng semalam sungguh terlalu! Tapi, dia adalah bagian dari skenario kamuflase ini. Apa jadinya kalau orang lain atau petugas kapal, melihat mereka sebagai pasangan dalam satu kamar, tapi masing-masing makan sendirian pada meja yang berbeda? Lagi pula, pelayaran ini masih akan berlanjut beberapa hari lagi, haruskah kekakuan Senja dipertahankan selama itu?

“Tunggu,“ Senja segera menentukan sikap, dicegahnya langkah Benteng. “Duduklah, please.“

Benteng mengangkat alis, isyarat untuk memastikan. Senja mengangguk dan tersenyum mencairkan suasana. “Kau bilang tak suka bangun pagi, tapi nyatanya kau bahkan bangun lebih pagi dariku,“ sambungnya kemudian.

“Berenang,“ jawab Benteng sembari duduk. “Kau lihat, air laut begitu segar! Sungguh sayang kalau tidak dinikmati. “

Jadi dia suka berenang, pikir Senja mengamati Benteng sekilas. Pantas badannya jangkung, tegap dengan bahu yang bidang.

Benteng menuangkan krim pada kopinya. Caranya unik. Poci krim digerakkan melingkar membentuk garis putih pada kepekatan kopi. Senja melihat tidak ada sendok kecil pada tatakan cangkir, maka diulurkannya sendok pengaduk.

“Terima-kasih, tapi aku tidak mengaduk kopiku,“ Benteng menghirup kopinya dengan nikmat.

“ Mengapa ?”

“Aku suka paduan rasa kopi dan krim, tapi bukan campuran keduanya. Tanpa mengaduknya, kau bisa merasakan masing-masing perbedaan rasa pahit kopi dan gurih krim pada saat yang bersamaan secara bergantian pada lidah. Rasanya sangat unik dan selalu berbeda dari waktu ke waktu. Berbeda bila diaduk, rasanya monoton, cenderung selalu sama! “

“Ughh, kau punya cita rasa tersendiri,” Senja meneguk jusnya. “Baru kali ini kutemukan cara minum kopi seperti itu.“

“Setiap kali menikmati kopi dengan cara ini, mengingatkanku pada realitas kehidupan. Kadang pahit, kadang manis, berganti-gantian. Padaku lebih banyak pahitnya. Barangkali karena itu aku lebih menyukai kopi yang pekat. “

Senja tertegun. Nada suara Benteng sungguh menyiratkan kepahitan. Seakan ada luka yang membayang di sana. Sepahit itukah kehidupannya, hingga memaksa dirinya untuk menerima ‘skenario gila‘ ini? Lalu, aku? Baru saja Senja akan mengatakan sesuatu, ketika mendadak dia menghentikan niatnya. Pandang matanya menangkap kedua sosok yang membuat napasnya bagai berhenti sesaat.

Benteng menangkap reaksi itu dan dengan cepat diikutinya arah pandang Senja. Beberapa meter dari mereka, Ruben melangkah mendekat. Pada pelukannya, Aline bergelayut manja. Perut Aline menyembul samar, menampakkan kehamilannya.

“Hai, Benteng, kau di kapal ini juga?” sapa Ruben dengan akting sempurna. “Dengan siapa?“

Benteng terperangah. Tampak sangat tidak siap. Sungguh tidak diduganya, Ruben menyapanya di depan Aline. “Ini…,” jawabnya gugup, kehilangan kata-kata.

“Pacarmu?” Ruben membantunya. “Cantik betul. Pacar baru, ya?”

Senja melengos. Muak dan pedih mendadak bersamaan menusuk ulu hatinya.

“Kenalin, dong!“ sambung Aline tersenyum pada Senja, lalu ditepuknya pundak Benteng. “Kau tidak pernah cerita punya gadis secantik ini!“

“Namanya Senja,“ Benteng sigap menguasai keadaan dan segera melaksanakan improvisasi skenario tanpa skrip. Dibimbingnya Senja untuk berkenalan, “Senja, mereka ini temanku, Ruben dan Aline. “

Dengan kaku Senja menempatkan diri pada skenario palsu itu. Diulurkannya tangan menyambut salam mereka. Sekilas sempat dilihatnya Ruben mengedipkan mata.

“Sering berlayar?” tanya Aline masih dengan senyumnya.

“Tidak juga,“ Senja berusaha membalas senyum itu dengan susah-payah.

“Sama, dong! Ini juga pelayaran pertamaku, hadiah dari suami,” Aline mengerling manja pada Ruben. “Suatu malam aku bermimpi naik kapal pesiar dan ketika kuceritakan mimpi itu, dia langsung saja memesan tiket! Manis sekali, bukan?”

Senja nyaris tersedak. Dadanya bagai terhunjam sesuatu, sungguh amat menusuk. Benteng menangkap gelagat buruk itu, dan dengan sigap segera dilakukannya tindakan penyelamatan.

“Oh, begitu?” katanyanya untuk menutupi reaksi Senja, “Ternyata Ruben suami yang romantis, ya?”

“Kadang-kadang, tapi akhir-akhir ini dia selalu pulang larut malam. Lembur melulu!“ keluh Aline, jujur.

“Maklumlah, bos besar,“ Benteng tertawa, masih dalam upaya untuk menyelamatkan situasi. “Tapi Aline, pipimu merah betul terkena sinar matahari. Lupa membawa topi?”

“Betulkah?” Aline terkejut meraba pipinya.

“Senja juga lupa membawa topinya,“ sambung Benteng. “Ah, kalian ini bagaimana? Bukankah wanita selalu melindungi diri dari sinar matahari? Bagaimana mungkin kalian meninggalkan kamar tanpa topi?”

“Oh,ya! Aku lupa!” seru Aline.

“Senja juga. Ayo, Sayang, kuantar ke kamar mengambil topi.” Benteng menarik lembut lengan Senja, menyelamatkan gadis itu dari jebakan situasi.

“Wow, Benteng! Sayang sekali kau pada gadismu,“ goda Aline sembari melambaikan tangan. “Nanti ketemu lagi, ya?”

“Tentu,” salam Benteng sembari menjauh bersama Senja.

Di tempatnya berdiri Ruben membuang pandang. Dia sungguh tidak suka melihat Benteng membawa Senja menjauh. Sungguh tidak rela. Tapi, apa ada pilihan lain?

"Terima-kasih,” gumam Senja kemudian.
“Untuk apa?” Benteng melepaskan genggaman lembutnya pada lengan gadis itu.

“Kau telah menolongku.“

“Aku hanya menyelamatkan situasi sesaat, selanjutnya kau sendiri yang mampu menolong dirimu sendiri. “

Begitukah? Senja bertanya tanpa suara. Lalu, apa yang harus kulakukan untuk menolong diriku? Haruskah aku mengakhiri semua ini? Kalau jawabannya ya, harus dengan cara bagaimana? Semuanya terjadi begitu saja, mengalir bagai air tanpa kusadari, bahwa aliran itu menghanyutkanku begitu jauh entah ke mana!

Semuanya bermula pada suatu hari….

Senja sedang menjaga toko pernak-perniknya ketika menyadari, bahwa seorang pembeli sudah lebih dari setengah jam berputar-putar di tokonya tanpa menemukan apa pun juga untuk dibeli. Pembeli itu pria berpostur tinggi dengan pantalon rapi, ciri khas eksekutif muda. Senja mengamati. Tidak biasanya pria tipe begini ada di dalam tokonya. Pada umumnya, pelanggannya adalah ABG terutama gadis-gadis belia. Tapi, pria itu juga bukan tipe pengutil yang layak dicurigai!

“Memerlukan sesuatu?” tanya Senja kemudian mendekati tamu aneh itu.

Pria itu terkejut. “Oh, ya, ya! Aku sedang bingung sekali!“

“Ya?” Senja menunggu.

“Ibuku ulang tahun dan belum kutemukan hadiah yang bagus. “

“Apa yang disukainya ? Biasanya kaum ibu suka perhiasan…. “

“ Tidak, terima-kasih. Koleksi perhiasan Ibu ku tidak perlu ditambah lagi. “

“Jadi?”

“Aku memerlukan sesuatu yang berkesan, bisa dipakai dan akan selalu mengingatkannya padaku. “

Senja tersenyum. Itu ciri khas keinginan semua orang kala mencari kado. Pada beberapa orang, bahkan perlu ditambah beberapa hal, yaitu murah, tahan lama, dan bla…bla…bla.…

“Coba ceritakan tentang ibumu, “ pinta Senja kemudian.

“Hmm, usianya 60 tahun. Masih aktif dan sehat, meskipun ada gangguan pada punggungnya. Hobinya nonton televisi, terutama drama serial Mandarin….”

“Apa judul serial favoritnya ?”

“Entahlah, mana aku tahu, pokoknya yang sedih-sedih. “

“Tunggu sebentar!“ Senja mengisyaratkan sesuatu, lalu berkeliling sebentar mengamati koleksi tokonya. Sesaat kemudian dia kembali dengan sebuah bantal kursi mungil, bersarung katun berenda dengan sulaman bunga ungu muda.

“Seseorang yang mengalami gangguan punggung selalu memerlukan sandaran yang nyaman untuk duduk. Bantal ini bisa dipakainya bersandar sembari nonton televisi,” Senja menjelaskan sembari meraih serumpun kecil bunga lavender kering. Dirangkainya rumpun bunga itu dengan ranting kering dan diikat pita belacu warna natural. Cantik rangkaian itu, meski sederhana. Lalu disematkannya pada salah satu ujung bantal.

“Manis, bukan?” Senja memperlihatkan kreasinya. “Seingatku, pernah diputar drama serial Mandarin berjudul Lavender. Kalau ibumu menyukainya, tentu hadiah ini akan berkenan di hatinya. “

Sesaat pria itu terpaku mengamati bantal kreasi Senja, lalu katanya sembari tersenyum,” Idemu menarik sekali! Baiklah, terima-kasih banyak. Aku pilih bantal itu sebagai hadiah ulang tahun ibuku.” Wajahnya tampak gembira.

Senja membungkus rapi kado itu. Dilengkapinya dengan pita dan kartu ulang-tahun. Pria itu menuliskan sesuatu pada kartunya. Senja membacanya sekilas. Sebaris ungkapan cinta seorang anak, lalu sebuah nama. Ruben.

Esoknya, menjelang tengah hari, Ruben kembali muncul di toko Senja.

“Kau brilian, pilihanmu menjadi kado favorit Ibu, “ katanya antusias.

“Oh, ya ?” Senja tersenyum.

Pria yang kemudian dikenal Senja bernama Ruben itu mengangguk. “Ya, padahal abangku menghadiahkan satu set home theatre, tapi kata Ibu itu tidak terlalu banyak berguna ketimbang bantal pilihanku. Ha.., ha.., ha…,” Ruben tertawa lucu.

“Wah, padahal home theatre itu hadiah yang sangat bagus dan mahal! “

“Tapi, tidak mengesankan dan seromantis hadiah pilihanmu! Itu kunci utamanya! Sekarang, ayo, ikut aku!”

Senja terkejut. “Ke mana?”

“Kutraktir kau makan siang, sebagai ucapan terima-kasihku. “

“Oh, tidak perlu. Itu sudah kewajibanku, bagian dari pelayanan untuk pelanggan toko.“

“Ayolah, hanya sekadar makan siang. “

“Tapi….”

“Aku sungguh-sungguh ingin berterima-kasih. Please?” Ruben memohon.

“Maaf, aku benar-benar tidak bisa,“ Senja menolak sungkan. “Toko tak mungkin kututup tengah hari begini. “

“Kalau begitu pukul berapa kau tutup tokomu?”

“Aku…,” Senja ragu-ragu.

“Jangan tolak aku,“ Ruben mendesak. Tatap matanya merajuk, sarat harapan, “Sekali ini… saja! “

Sekali saja. Itu perjanjian awalnya. Ternyata yang ‘sekali’ itu hanyalah permulaan, yang kemudian berlanjut lagi… dan lagi…. Sesudah hari itu, candle light dinner menjadi acara rutin bagi mereka berdua melewatkan malam yang terluang. Dan, air mengalir, menghanyutkan apa yang tak berakar di tepian, dan Senja merupakan salah satunya….

“Aku bukan bujangan lagi,“ suatu hari Ruben berkata dengan kejujuran penuh. “Tapi, bukan alasan klise kalau kukatakan tidak kutemukan kebahagiaan dalam pernikahanku, seperti bahagia yang kurasa kala bersamamu. Jadi, izinkanlah aku menyimpan kebahagiaan itu. Apakah kau berkeberatan?”

Senja termangu. Bagaimana mengatakannya? Tentu saja dia berkeberatan! Status pernikahan Ruben pastilah sangat mengganggu, dan bahkan akan memunculkan suatu masalah besar. Sama sekali bukan hal yang layak untuk diabaikan! Tapi, bagaimana Senja mampu mengelak kalau ternyata dia pun mengalami kebahagiaan yang sama?

“Aha, rupanya kau bersembunyi di sini,“ sebuah bisikan menghampiri Senja, menghentikan lamunan panjang gadis itu. Dua belah lengan memeluknya dari belakang. Secepat kilat dia menoleh. Ruben mempererat pelukan dan mengecup tengkuknya.

Gadis itu jengah mendadak. Mereka ada di perpustakaan, dan ada beberapa orang di sana, yang meskipun tampak sedang membaca, bisa saja melihat apa yang mereka lakukan.

“Ruben, hentikan! Malu dilihat orang,” bisik Senja, berusaha melepaskan diri dari pelukan.

“Kalau begitu, ayo, ke kamarmu!“

“Kau gila! Ada Benteng! “

“Dia sudah ‘kukirim’ ke Games Centre,“ Ruben menarik lengan Senja untuk mengikuti langkahnya. “Aku mengantuk sekali, ingin tidur sambil memelukmu. Pasti nyaman rasanya….“

Senja menghentikan langkah. “Mengapa kau tidak tidur di kamarmu sendiri, bersama Aline?”

“Dia sedang mengikuti program spa. Baru akan selesai beberapa jam lagi. Jadi, tak usah cemas. Kita akan aman-aman saja, “ ujar Ruben menenangkan.

Senja menghela napas. Tanpa pilihan lain, diikutinya langkah Ruben, dan dipasrahkannya diri dalam pelukan pria itu.

Siang begitu panas. Matahari bersinar penuh sehingga laut bagai memantulkan cahaya. Di dalam kamar, Ruben pulas tertidur. Di sisinya, Senja menatapnya.

Apakah kau mencintaiku, Ruben? Gadis itu bertanya-tanya dalam hati. Kalau jawabannya ‘ya’, di sisi manakah kau tempatkan aku di dalam hatimu? Aku pernah membaca, Lady Di, almarhum, dalam keputusasaannya pernah mengatakan, bahwa tiga orang terlalu banyak dalam sebuah pernikahan.

Orang ketiga membuat sebuah pernikahan menjadi sesak, overload bila meminjam istilah untuk lift. Berarti harus ada salah satu yang mengundurkan diri. Dan, berdasar hukum agama, undang-undang negara, ataupun etika moral, akulah yang ‘satu’ itu! Tapi, bilamana kau harus memilih, berdasar nuranimu, siapakah yang akan kau pilih, Ruben? Akukah orangnya? Seperti yang pernah kau katakan, bahwa akulah sumber kebahagiaanmu….”

Senja menyimpan pertanyaan itu dalam benaknya dan bermaksud mencari waktu yang tepat untuk mendapatkan jawabannya. Tapi, ketika Ruben membuka mata dan meraihnya dalam pelukan, pertanyaan itu tak terbendung lagi.

“Apakah kau mencintaiku?” tanya Senja, lirih.

“Tentu, amat sangat! “Ruben menjawab dengan keyakinan penuh.

“Apakah arti cinta itu bagimu?”

“Artinya adalah, bahwa di sisimu aku selalu bahagia, kau membuatku selalu merindukanmu, dan membuatku tidak menginginkan apa pun selain dirimu. “

“Benarkah?” Senja bertanya ragu. Ditatapnya mata Ruben.

“Cintaku padamu membuatmu bagai candu bagiku,“ sambung Ruben dengan tatapan penuh cinta yang memabukkan. “Perselingkuhan kita adalah dosa besar, bagimu, bagiku. Tapi, rasa cinta ini begitu menguasaiku, tak mampu kuelakkan hingga aku mengabaikan segala akal sehat, membuang rasa dosa, hanya demi mencintaimu, duhai kekasihku…. “

Kalimat itu, oh, alangkah indahnya! Sedemikian merayu hati, melambungkan jiwa, namun sekaligus pula berlumur dosa. Benar, cinta memang bagai candu yang membius!

“Kau gelisah, Sayang, dan aku tahu apa yang menjadi bebanmu,“ Ruben membelai rambut Senja, menghirup wanginya.

“Apa ?”

“Hatimu mulai mempertanyakan arah hubungan kita. Perasaan keperempuananmu mulai menuntut sebuah pengakuan dan pengesahan. Dan ego mulai mengarahkanmu untuk tidak puas dengan sesuatu yang terbagi. “

Senja terpukau. Tepat sekali! Bagaimana mungkin Ruben bisa setepat itu membuka isi hatinya?

“Bagaimana kau tahu?”

“Hmm, wanita adalah misteri,” Ruben menatap Senja tepat di manik matanya. “Bukan hal mudah untuk memahami apa yang ada dalam hatinya, tapi dalam kondisi tertentu, khususnya urusan cinta, kalian tak ubahnya bagaikan lembaran buku yang terbuka, begitu mudah terbaca.“

“Lalu bagaimana kau memberikan jalan keluar bagi beban hatiku?” desak Senja.

Ruben berkelit mengamankan diri, jemarinya lembut membungkam bibir gadis itu. “Simpan dulu pertanyaan itu, dan jangan minta aku melakukan pilihan sekarang, Senja. Aline sedang mengandung anakku.“

“Tapi….”

“Aku mencintaimu. Hanya satu yang kuinginkan di dunia ini, yaitu mencintaimu, mencintaimu, mencintaimu…,” Lembut Ruben mengulum bibir Senja. Sedemikian lembutnya hingga membuat gadis itu bagai melayang di hamparan awan dan menembus batas langit biru. Sebongkah cinta ada dalam pelukannya!

Alarm telepon genggam mendadak berdering nyaring. Ruben menghentikan pagutannya dan kemesraan yang belum tuntas itu usai sudah. “Darling, spa-nya sudah selesai? Aku hampir beku menunggumu,“ sigap Ruben meraih ponsel dan menciptakan dusta dengan mahir. Di tempatnya berbaring, Senja menahan nyeri yang menekan ulu hatinya. Perlahan dirapikannya rambut dan bajunya. Semudah itukah dusta diciptakan? Bahkan, lebih mudah dari sekadar membalik telapak tangan. Dusta dan kebenaran ternyata sebangun dengan sisi mata uang, satu keping dengan dua sisi yang berbeda. Lalu, bagaimanakah membedakan dua sisi yang bertolak belakang itu? Manakah yang merupakan kebenaran bagiku dan bagi Aline?

“Café Gelato? Oke, aku segera ke sana! Ingat, jangan kau habiskan es krimnya, ya. Dan, jangan ke mana-mana, aku tak ingin kehilangan kalian lagi,” sambung Ruben, mesra. “Oh, ya, tentu saja “kalian”. Kau, kan tidak sendiri lagi. Sayang, ada si kecil di perutmu….”

Senja tak tahan lagi. Dibukanya pintu untuk menyelamatkan diri dari kalimat ‘mesra’ yang bukan untuknya itu. Tapi, detik berikutnya, langkahnya terhenti.

“Jangan cemburu begitu,” Ruben menghadang langkahnya. “Kalau aku bersikap mesra pada Aline, itu kulakukan demi keamanan hubungan kita. Bagimu, barangkali aku tampak mendua, tapi sesungguhnya itu hanya kamuflase. Di hatiku yang terdalam sepenuhnya hanya ada dirimu, Senja. “

Senja berpaling. Kemarahan membayang jelas pada wajahnya.

Ruben tak menyerah. Lembut dirangkumnya kedua belah pipi Senja. “Ayolah, jangan marah. Hatiku risau melihatmu sedih. Katakan apa yang harus kulakukan? Kalau kau ingin aku tetap di sini bersamamu, aku tak akan pergi. “

“Lalu, janjimu pada Aline ?” tantang Senja.

“Abaikan itu, yang terpenting adalah dirimu!”

Dusta atau kebenarankah itu? Senja menajamkan mata, dicarinya jawaban pada sepasang mata di depannya. Begitu dekat mata itu, begitu bening hingga bagai telaga yang terlihat dasarnya. Dan, yang terlihat di sana hanyalah cinta, cinta, dan cinta.

“Aku…,” Senja mendadak bimbang.

Detik itu pula terdengar ketukan, dan detik berikutnya Benteng muncul di ambang pintu. “Aline mencarimu, “ katanya singkat pada Ruben.

Ruben masih tak beranjak. “Senja ingin aku di sini,“ katanya, tanpa melepaskan tatapan.

“Oh, tidak, tidak!“ Senja melepaskan diri dari Ruben, rasa jengah menguasainya. “Pergilah…. “

“Ya? “ Ruben menegaskan.

“Pergilah, “ Senja membuang pandang.

“Nanti malam aku kembali,” bisik Ruben sembari berlalu. Lalu hening, yang tersisa hanya helaan napas panjang. Di dalam kamar, Senja dan Benteng diam mematung.

“Boleh kukatakan sesuatu?” kata Benteng hati-hati sesaat kemudian.

“Katakanlah…. “

“Apa yang kalian lakukan ini, sungguh sangat berisiko! Benar kapal ini besar, memuat lebih dari seribu penumpang, tapi terlalu kecil untuk menyembunyikan rahasia kalian. “

“Aku tahu. Itu tak perlu kau umumkan. “

“Jadi, mengapa tetap kau lakukan?”

“Menurutmu, aku harus bagaimana?”

“Keikutsertaan kita dalam kapal ini adalah satu kesalahan besar,” keluh Benteng tiba-tiba. Menghela napas panjang.

“Lebih tepatnya, keikutsertaanmu,’ tukas Senja. “Kau takut Aline menuduhmu terlibat dalam kasus ini?”

“Tidak, Senja. Aku lebih mencemaskan dirimu. “

“Mengapa ?” Senja tercengang.

Benteng menatap Senja, tepat di manik matanya. Sejurus kemudian ia berucap,”Kupikir, tak selayaknya kau menerima perlakuan seperti ini,“ gumamnya lirih, penuh penyesalan.

Senja tercenung. Seperti tersentuh sesuatu. Ya, mungkin Benteng benar! Sesungguhnya aku tak layak menerima perlakuan seperti ini. Semestinya tak kuikuti permainan gila Ruben. Tapi, mengapa aku tak mampu menolaknya? “Aline sedang hamil,“ Benteng melanjutkan, masih dengan nada hati-hati.

“Tidakkah kau berpikir, bahwa kehadiran anak-anak akan membawa banyak perubahan? Maksudku, bagaimana bila kehadiran anak itu justru akan membuat Ruben berpikir panjang untuk melanjutkan hubungan denganmu?”

“Tidak. Kau salah duga!“ Senja menggeleng penuh percaya diri. “Ruben mengatakan, justru kehadiran anak itu akan membuat kami lebih sering bertemu!“

“Mengapa?” Benteng bertanya tak mengerti.

“Anak itu tentu membuat Aline sibuk, sehingga tidak punya banyak waktu untuk peduli pada Ruben,” kata Senja dengan keyakinan penuh.

“Itu,’kan dugaanmu. Bagaimana bila anak itu mampu menyentuh emosi Ruben dan menyadarkannya, bahwa ia telah menjadi seorang ayah?”

“Mana mungkin? Ruben tidak bahagia dalam pernikahannya, anak itu akan membuat beban baru baginya! “

“Ruben bilang begitu?”

“Ya. “

“Ah, itu alasan klise, Senja! Pria paling sering menggunakan alasan klise itu untuk memanipulasi kebohongannya. Sebagai pria, aku tahu persis, 90 % dari kaumku, memanfaatkan alasan ketidakbahagiaan rumah tangga mereka untuk ‘mengesahkan’ perselingkuhannya. Meski sesungguhnya, terjadinya perselingkuhan itu lebih didominasi keinginan untuk mencari tantangan dan sensasi baru belaka. “

Senja terkejut. Inikah pengakuan jujur seorang pria, atau hasil analisa seorang pria terhadap pria lain? Sekadar analisa, atau karena ada maksud tertentu yang menyertainya?

“Kalau boleh kusarankan,“ sambung Benteng lagi “Siapkan alternatif, semacam ‘rencana B’ untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak terduga pada ‘rencana A’-mu, Senja. “

“Kupikir, kau terlalu peduli pada masalah ini,“ Senja mendadak curiga. “Apakah kau ingin menyelamatkan pernikahan Ruben? Kau berpihak pada Aline karena dia juga temanmu?”

“Aku tidak berpihak pada siapa pun,“ bantah Benteng cepat. “Dan, apakah kau pikir aku sanggup menyelamatkan pernikahan Ruben atau siapa pun? Sama sekali tidak, Senja! Kalau toh, aku berhasil mempengaruhimu untuk mengakhiri perselingkuhan ini, bukan berarti pula Ruben akan berhenti berselingkuh. Selama masih ada hasrat untuk melakukannya, peluang semacam itu akan selalu ada. “

“Jadi?”

“Aku lebih melihat bahwa apa yang terjadi pada dirimu adalah babak awal dari apa yang kualami sekarang! “

“Apa maksudmu?” Senja bertanya bingung. Mereka-reka arah pembicaraan Benteng.

“Mulanya berjudi adalah permainan belaka bagiku. Sekadar melewatkan waktu luang dan variasi dari clubbing. Tapi lebih jauh kemudian, persaingan mulai berpengaruh, memunculkan ambisi. Dan, ambisiku untuk memenangkan setiap perjudian telah ‘mendikteku’ untuk terus berjudi. Mengesampingkan akal sehatku, bahwa pada kenyataannya, aku justru makin terpuruk jatuh dalam kekalahan!”

“Ya, kusadari kemudian, ambisi memberiku harapan, bahwa pada perjudian selanjutnya aku akan menang dan bisa melunasi kekalahan sebelumnya. Tapi, nyatanya? Aku justru kalah dan kalah lagi…. “

“Sampai sekarang?”

“Itu tidak penting,“ Benteng menggeleng. “Apa yang perlu kau lihat adalah, jangan membiarkan dirimu terjatuh makin jauh. Ruben akan terus memberimu harapan dan kau akan terus terlena untuk mengikutinya.”

  Mungkinkah Benteng dan Senja mendapat kesempatan untuk menjadi ‘manusia baru’ di kemudian hari? Sampai mereka bertemu
gadis kecil Khalila….

Benteng dan Senja baru saja menyelesaikan makan malam dan sedang berjalan menikmati angin malam di dek 12, ketika terdengar suara musik di dance lounge mengalunkan lagu.

Someday over the rainbow, the blue sky…
Someday after the rain drop….

“Lagunya bagus, berdansalah denganku,“ pinta Senja, perlahan.

“Aku tak bisa berdansa,“ jawab Benteng, jujur.

“Ah, mudah, ikuti saja langkahku!“

“Nanti kakimu terinjak.“ Benteng menatapnya ragu.

Senja tersenyum. “Ayolah, Benteng,“ katanya, sembari mengulurkan tangan. Akhirnya Benteng menerima ajakan Senja untuk berdansa. Suatu hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya!

Mereka melangkah ke tengah ruangan yang menjadi arena dansa. Senja menuntun tangan kiri Benteng untuk memeluk pinggangnya, sementara jemari yang lain saling berpegangan. Kemudian diayunkannya langkah mengikuti irama lagu.

Perlahan Benteng mengikuti irama langkah gadis itu. Langkah ke depan, ke samping, ke belakang, ke samping, ke depan lagi. Mereka begitu dekat. Senja seolah berada dalam pelukan Benteng. Terasa tubuhnya begitu mungil, sehingga sesekali dahinya menyentuh dagu Benteng. Dan, setiap kali itu pula tercium wangi yang samar dari helaian rambutnya, lembut membelai seirama embusan angin.

“Kau jenius, punya bakat berdansa,“ bisik Senja, menyimpan senyum.

“Tergantung siapa dulu pengajarnya,“ sahut Benteng, membalas senyum Senja.

“Besok kapal singgah di Malaka?” Senja mengalihkan percakapan.

“Ya, ada waktu dua jam untuk berkeliling. Kau mau ikut denganku?” ajak Benteng.

“ Ke mana?”

“St. Paul’s Hill, itu tempat yang sangat menarik! Sebuah bukit dengan sisa benteng Portugis di sekelilingnya, namanya A Famosa.“

“Hanya itu?” Senja mengernyitkan alis.

“Ada juga museum, Memorial Pengisytiharan Kemerdekaan dan gereja tua St. Paul…. “

“Gereja tua?” Senja memotong cepat. Ia tampak mulai tertarik.

“Ya, gereja itu dibangun di atas bukit. Sangat inspiratif! Sebagian dindingnya sudah berlapiskan lumut, bangku-bangkunya terbuat dari kayu tua berusia puluhan tahun,” Benteng menghentikan ceritanya. Di depannya, Senja terdiam. Tatapan matanya kosong, menampakkan kesunyian yang panjang.

“Hei, kau melamun!“ Benteng menyentuh bahunya.

“Aku sudah lama tidak ke gereja,“ bisik Senja, nyaris tak terdengar. Cahaya matanya mendadak muram. Gerakannya yang semula bersemangat, menyusut perlahan.

Benteng menyadari perubahan itu. Tapi, sebelum sempat bereaksi lebih jauh, Senja sudah menyandarkan diri dalam pelukannya. Ia mendadak tampak begitu rapuh dan sendirian. Benteng menghela napas panjang. Nalurinya mengatakan, gadis itu layak untuk dilindungi. Hati-hati kemudian diterimanya gadis itu dalam pelukannya.

Mendadak kemudian sebuah dorongan kasar merenggut gadis itu dari pelukannya. Dan, sebelum Benteng sadar apa yang terjadi, sebuah pukulan keras menghantam rahangnya. Benteng terhuyung beberapa langkah dan terjatuh. Jeritan tertahan terdengar memenuhi ruangan. Iringan musik terhenti tiba-tiba.

“Bangsat!” maki Ruben, tak terkendali. Dengan marah diburunya Benteng.

“Ruben, apa yang kau lakukan?” teriak Senja, menghadang.

“Minggir!” hardik Ruben. “Seujung jari pun ia tak berhak menyentuhmu!“

“Aku yang memintanya menemaniku berdansa,“ bela Senja, mencoba meredakan kemarahan Ruben.

Berpuluh pasang mata mengawasi insiden itu. Beberapa orang tampak membantu Benteng untuk berdiri.

“Murahan! Benar-benar tidak pantas!“ Ruben masih memaki.

Senja terenyak. Tidak disangkanya Ruben akan memakinya setajam itu.

“Aku membayarmu tidak untuk melakukan ini! Aku harus memberimu pelajaran!” Kemarahan Ruben tak terkendali. Dicengkeramnya leher Benteng dan bersiap untuk menghujamkan pukulan kembali. “Jangan!“ Senja berusaha melerai.
“Biar saja, biarkan dia melakukan apa yang dia mau,“ tukas Benteng datar, sembari menyeka darah di ujung bibirnya. “Anggap saja ini bagian akhir dari skenario itu, sehingga Aline bisa melihat apa yang terjadi dan kita tidak perlu berpura-pura lagi!“
Ruben terenyak, mendadak seperti tersadar dari sesuatu. Dia mengedarkan pandangannya ke deretan ‘penonton’ di sekeliling ruangan. Tapi, sosok yang dicarinya tak ada. Selamat! Aline tidak berada di sana! Sesaat baru disadarinya, Aline tentu sudah tertidur pulas di dalam kamarnya, Junior suite balcony di dek 9. Di dalam kamar nyaman itu, bisa dipastikan Aline tidak akan bangun hingga esok pagi! Ya, mudah-mudahan begitu….
Menyadari dirinya menjadi tontonan banyak orang, Ruben menahan diri. Dilepaskannya cengkeramannya, lalu bergegas menyelamatkan diri. Ditariknya Senja untuk mengikuti langkahnya. Untuk menghindari kericuhan muncul kembali, Senja tidak membantah keinginan Ruben. Sebelum beranjak, diisyaratkannya pada Benteng untuk tidak mengikuti langkahnya.
Senja tidak sepenuhnya ingat apa yang terjadi sesudah itu. Yang tidak dilupakannya adalah bahwa Ruben marah besar dan ia harus menerima kemarahan itu tanpa syarat.
Menjelang dini hari, Senja terbangun oleh ketukan keras di pintu kamar. Setengah sadar ditemukannya dirinya tertidur di sofa. Dengan mata mengantuk ditelitinya sekeliling ruangan. Kosong, tak ada orang lain. Di mana Ruben? Oh, tentu dia sudah kembali ke kamar istrinya! Entah pukul berapa ia meninggalkan senja semalam. Lalu, Benteng?
Ketukan terdengar lagi, lebih keras. Bergegas Senja mengenakan kimono dan membuka pintu. Seorang petugas kapal menyambutnya dengan wajah cemas. “Maaf Ibu, terpaksa membangunkan Ibu dini hari begini, tapi suami Ibu…,” katanya terbata.
Suami? Senja terkejut. Nyaris digelengkannya kepala membantah petugas itu dan menyangkanya salah kamar. Tapi, detik berikutnya ingatan tentang skenario kamuflase itu membuatnya mengurungkan bantahan.
“Ya, ada apa?“ tanyanya kemudian. “Apa yang terjadi pada suami saya?”
“Hujan turun semalaman, tapi suami Ibu bersikeras tidak mau masuk ke kabin. Sejak insiden pemukulan itu, dia berada di Promenade, kehujanan sepanjang malam!“
“Di mana dia sekarang?” Senja bertanya cemas. Dia baru menyadari semalaman Benteng tidak kembali ke kamarnya.
“Medical centre…. “
Di klinik, Senja menemukan Benteng menggigil kedinginan dalam balutan selimut handuk. Diulurkan tangannya, meraba dahi pria itu. Panas tinggi!
“Dokter sudah memeriksanya, Bu, tapi Bapak tidak mau minum obat,“ petugas medis menjelaskan sembari menyerahkan sejumlah obat.
“Aku tidak sakit!“ sergah Benteng. “Aku cuma kedinginan…. “
“Suhu badanmu tinggi, itu artinya kau demam.“
“Tidak! Aku hanya….”
“Ssst, sudahlah,“ Senja menghentikan bantahan Benteng. “Sakit itu sesuatu yang alami, bisa datang pada siapa saja, dan dalam situasi apa pun. Untuk apa kau sibuk membantahnya?”
Benteng terdiam. Dia tak membantah ketika Senja memapahnya kembali ke kamar.
Di dalam kamar, Senja mengulurkan obat dan botol air mineral. “Ayo, minumlah,“ katanya lembut, tapi dengan nada tak terbantah. “Lalu buka bajumu….“

“Untuk apa?”

Senja menunjukkan obat gosok yang dibawanya. “Punggungmu perlu dioles obat ini, supaya hangat, dan membuatmu bisa beristirahat.“

“Betulkah?” Benteng ragu-ragu .“Aku tidak pernah menggunakannya.“

“Lakukan saja apa yang kukatakan. Hasilnya bisa kau lihat besok pagi!“

Benteng tak mampu membantah lagi. Perlahan dibukanya baju dan menyediakan punggungnya dengan pasrah.

Senja mengerjapkan mata mengamati punggung yang terbuka itu. Begitu bidang punggung Benteng! Dengan otot bahu yang kokoh serta garis urat yang liat, seakan menampakkan ketangguhan dan kekerasan menghadapi kehidupan. Ha, kehidupan keras macam apakah yang telah dijalaninya? Senja mengusir beribu tanya dalam benaknya. Segera dioleskannya obat penghangat pada punggung Benteng sembari dilakukannya sedikit pijatan pada bahu pria itu.

“Tak kusangka, kau pintar memijat! Nyaman sekali rasanya!“ Benteng memejamkan matanya.

“Anggap saja ini bonus dariku,“ sahut Senja, tersenyum, buru-buru menyelesaikan pijatannya. “Kalau boleh tahu, kebodohan apa yang sudah kau lakukan semalaman? Mengapa tidak masuk kamar?”

“Ada Ruben bersamamu…,“ suara Benteng terdengar geram.
“Tapi, tidak seharusnya kau berhujan-hujanan begini. Ada perpustakaan, games centre, picture house, bar, atau apa sajalah yang bisa menghindarkanmu dari terpaan air hujan!“

“Aku sedang ingin menghukum diriku sendiri,“ gumam Benteng, lebih pada dirinya sendiri.

“Untuk apa?” Senja mengernyitkan alis, tak mengerti.

“Untuk semua kesalahan yang telah kulakukan.“

“Maksudmu, kecanduanmu berjudi?”

“Ya, antara lain…. “

“Kau pikir apakah itu sebuah solusi? Apakah dengan melakukan hukuman itu, utangmu menjadi lunas?”

“Tidak juga…, “ Benteng menggelengkan kepalanya.

“Itulah!“ potong Senja, cepat.

Benteng kehilangan kata-kata. Sejurus kemudian, dihelanya napas panjang sembari membaringkan tubuh. “Barangkali aku sedang putus asa,“ gumamnya, memejamkan mata pelan-pelan.

Senja mengambil selimut untuk menutupi tubuh Benteng. “Kau pernah mengatakan padaku, hanya aku yang mampu menolong diriku sendiri, sekarang agaknya kalimat itu berbalik padamu,“ katanya, tegas.

“Seperti bumerang, senjata makan tuan.“ Benteng tersenyum pahit.

Senja menangkap kepahitan itu. Sekilas bagai bercermin. Dirasakannya kepahitan yang sama pada dirinya sendiri. “Kau sudah mengantuk. Tidurlah, Benteng,“ katanya, kemudian membenahi selimut Benteng.

“Ya….“ Benteng memejamkan mata. Ia seperti anak kecil yang amat menurut pada ibunya.

Senja mematikan lampu. Dalam gelap diamatinya tidur pria itu. Benteng benar, seperti komitmennya semula ketika akan menempati kamar ini bersama Senja. Ia tidak mendengkur!

Ya, Benteng, kita berdua adalah pecundang. Senja ‘berkata-kata’ sendiri dalam kesunyian. Aku membiarkan diri terhanyut dalam dosa perselingkuhan, sementara kau terjebak dalam perjudian demi mengejar ambisi untuk menang dan mendapatkan materi yang kau harapkan! Sekarang bagaimana caranya kita mengakhiri semua ini? Mungkinkah kita mendapatkan kesempatan? Kesempatan untuk berhenti dari semua kepahitan ini, lalu memilih jalan lain, dan menjadi sosok yang ’baru’ di kemudian hari?

Perlahan Senja menghela napas panjang. Disimpannya pertanyaan itu dalam benaknya. Dia pun memejamkan matanya. Rasanya seluruh tubuhnya lelah sekali . Di luar, langit dini hari masih gelap gulita.

HARI KETIGA
Kapal berlabuh di Bandar Malaka, sebuah kota tua berjarak 120 km di arah tenggara Kuala Lumpur. Benteng sudah mempersiapkan diri sejak pagi. Jins biru, T-shirt putih, dan sepatu kanvas. Tampak segar dan sedikit bergaya seperti ABG.

“Kau betul-betul akan pergi?” Senja meyakinkan.

“Ya, mengapa tidak?” jawab Benteng, antusias.

“Tapi, kau masih sakit…. “

“Apakah menurutmu aku masih tampak sakit?”

Senja mengangguk. “Ya, sedikit…. “

“Apakah dengan alasan sesepele itu aku harus tidur di kabin sepanjang hari, dan melewatkan kesempatan menikmati negeri jiran?”

“Tapi…,” Senja ragu-ragu.

“Ayolah,“ Benteng menarik lengan Senja. “Tidur bisa kulakukan di mana saja dan kapan saja. Sungguh bodoh bila aku harus melewatkan St Paul’s Hill hanya dengan berbaring di ranjang! “

“Yap!“ akhirnya Senja menyambut uluran tangan itu dengan semangat penuh.

Gereja tua St Paul berdiri di atas bukit. Ada banyak pepohonan hijau di sekitarnya. Teduh, menawarkan kedamaian pada setiap orang. Dinding bangunan yang sebagian besar mengelupas, menampakkan bata merah berlapis lumut alami. Di bagian dalam, terletak altar sederhana dengan lilin di beberapa sudut. Deretan bangku-bangku tua berjajar rapi, siap menyambut siapa pun yang datang.

Di bagian bawah bukit, benteng A Famosa, sisa benteng Portugis, berdiri kokoh mengelilingi gereja, seakan mengamankan dan memberi perlindungan bagi bangunan tua itu. Semuanya menjanjikan rasa damai pada setiap orang.

Senja berdiri di ambang pintu gereja. Berdiri mematung beberapa saat. “Aku ingin sendirian…, “ katanya kemudian.

“Baiklah, aku tunggu kau di benteng bawah.“ Benteng mengangguk maklum tanpa bertanya lebih jauh. Ia lalu berjalan-jalan sendiri mengitari kawasan itu. Tidak banyak turis yang datang saat itu. Hanya ada beberapa pengunjung asing, selebihnya adalah pengunjung berparas Melayu. Barangkali penduduk setempat.

Di pelataran benteng, Benteng menemukan seorang ibu sedang sibuk memperbaiki roda kereta dorong anaknya. Tapi, dari apa yang dilakukannya, terlihat bahwa ia sama sekali tidak berpengalaman. Naluri Benteng segera tergerak. “Ada yang bisa saya bantu, Ibu?” katanya, menawarkan bantuan.

“Ini roda teruk sangat, habis pule akalku,“ keluh ibu itu dengan logat Melayu yang khas.

“Akan saya coba memperbaikinya,“ Benteng mengambil alih kereta dorong itu. Ditelitinya sesaat dan ditemukannya satu sekrup pengunci roda yang terlepas. Bila sekrup penggantinya tidak ditemukan, terpaksa harus dicari alternatif lain.

“Darimane awak ni’?” tanya ibu pemilik kereta dorong itu, sembari menggendong anaknya yang masih kecil.

“Indonesia, “ Benteng menjawab pendek.

“Pelancongkah?”

“Ya,“ Benteng mengangguk.

“Dengan siape pergi?”

“Seorang teman,“ Benteng menunjuk ke arah bukit. “Dia sedang berada di sana sekarang.“

Di saat yang sama terlihat Senja menuruni tangga bukit dan berjalan mendekat ke arah mereka.

“Diakah?” tanya ibu itu, menatap Senja lebih lama.

“Ya,“ Benteng menegaskan.

“Elok kali’, tentulah bukan teman biase,“ tukas ibu itu lagi, tersenyum.

Benteng mendadak tersipu. Ia menjadi kehilangan kata-kata. Ketika langkah Senja makin mendekat, Benteng menyibukkan diri dengan kereta dorong yang sedang diperbaikinya.

“Halo,“ Senja memberi salam.

Ibu itu membalas salam Senja. “Maaf ya, awak mesti tunggu. Teman awak ni’ sedang memperbaiki kereta bayi saye.”

“Oh, tidak masalah,“ Senja tersenyum. Dibelainya anak dalam pelukan ibu itu. “Ini putri Ibu? Berapa umurnya? Cantik sekali…. “

“Baru lima belas bulan. Namanya Khalila.“ Ada nada bangga dalam suaranya.

“Ayo, Khalila, mau ikut Makcik berjalan-jalan?” ajak Senja, tertawa melihat betapa lucunya si kecil.

“Ya, dia sedang masa belajar jalan,“ sang ibu menurunkan Khalila dari pelukannya. “Tapi, anak ini teruk kali malasnya. Dia tidak mau melangkah bila tidak ada sesuatu yang menarik hatinya. Dia baru mau melangkahkan kaki dan berjalan sendiri bila menginginkan sesuatu. Akibatnya, sampai sekarang dia belum lancar berjalan sendiri!“

“Begitukah? Kalau begitu, tunggu sebentar.“ Senja beranjak dan membeli beberapa balon aneka warna. Sesaat kemudian, dengan balon itu dirayunya gadis kecil itu untuk berjalan ke arahnya.

Berhasil! Khalila kecil bersorak melihat balon warna-warni. Sigap diulurkannya tangan mencoba menjangkau balon-balon itu. Langkah kecilnya tertatih-tatih mendekati Senja. Setiap kali tangannya hampir meraih balon, Senja menjauh, sehingga memacu Khalila untuk terus melangkah mendekat. Begitu terus hingga beberapa putaran. Dan, gadis kecil itu tidak putus asa. Dengan semangat penuh terus dikejarnya Senja dan mencoba meraih balon yang diinginkannya. Ibunya dan Senja terus memanggil-manggil namanya untuk memberi semangat.

Sesaat kemudian tampak langkah gadis kecil itu makin membaik. Keseimbangannya terjaga, membuat langkah kecilnya makin mantap dan tidak goyah. Di belakangnya, sang ibu mengikuti langkah putrinya sembari bertepuk tangan gembira. Benteng mengamati adegan itu dari kejauhan. Rupanya dia sudah selesai memperbaiki kereta dorong itu.

Sebentar kemudian, Senja menghentikan langkah. Ditungguinya Khalila dengan sabar. Sigap, gadis kecil itu meraih balon impiannya dan bersorak kegirangan. Senja tertawa dan meraih gadis kecil itu dalam pelukannya.

“Saye ada kamera semula jadi. Mari saye foto kalian, nanti gambarnya bise kalian bawa pulang sebagai kenang-kenangan,“ kata ibu Khalila, meraih kamera dari dalam tasnya. Tanpa diduga ia mendorong Benteng ke arah Senja dan Khalila untuk ikut berfoto.

Dengan langkah ragu-ragu, Benteng menempatkan diri di samping Senja.

“Ah, mana boleh begitu? Kalian ini kan sepasang kekasih! Haruslah tampak mesra!” seru wanita itu.

Mendengar itu, mendadak pipi Benteng dan Senja merona dadu. Mereka tampak tersipu dan salah tingkah. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, ibu Khalila berlaku layaknya juru foto profesional. Diaturnya lengan Benteng sedemikian rupa, memeluk Senja dan Khalila. Salah tingkah keduanya makin menjadi, tapi instruksi ‘sang pengarah gaya’ sungguh tidak dapat ditolak. Mereka terpaksa pasrah mengikuti arahan ibu Khalila.

“Kalian ni’ kekasih, tapi nampak malu-malu. Aneh sekali!“ komentar ibu Khalila sembari beraksi dengan kameranya.

Beberapa saat kemudian beberapa lembar foto tercetak sempurna. Begitu bagus adegan dalam foto itu. Benteng memeluk Senja yang sedang menggendong Khalila. Ketiganya tertawa lepas menampakkah kebahagiaan, di latar belakang balon warna-warni melengkapi gambaran kebahagiaan itu.

“Foto yang bagus! Kalian nampak seperti keluarga muda yang bahagia!“ komentar ibu Khalila melihat hasil karyanya. Diambilnya sehelai foto untuk dirinya sendiri. Selebihnya diberikannya pada Senja. “Akan saya simpan sebagai kenangan, siape tahu kita boleh bersua lagi.”

“Terima kasih, “Senja menerima foto itu, tersipu.

“Kali ini bolehlah kupinjamkan Khalila-ku pada kalian, tapi suatu saat di masa nanti kalian akan berfoto dengan Khalila kalian sendiri,“ ibu Khalila mengerling penuh arti.

Senja tercenung. Kalimat itu menyentuhnya. Khalila kalian sendiri? Mungkinkah aku memiliki seorang gadis kecil dalam hidupku di masa nanti?

Mereka lalu berpisah. Ibu itu pamit dan menjauh. Dari dalam kereta dorongnya, Khalila melambai-lambaikan tangannya.

“Gadis kecil yang bersemangat,“ gumam Senja, membalas lambaian itu. Disimpannya diam-diam kesedihan berpisah dari gadis kecil itu.

“Kau yang mengubah gadis kecil itu,“ tukas Benteng, mengamati Khalila yang makin menjauh. “Bertemu denganmu, kemalasannya berubah menjadi semangat yang luar biasa!“

“Sebenarnya dia bukan anak pemalas, hanya saja dia baru mau melakukan sesuatu jika ada tujuan tertentu yang akan diraihnya. Khalila bukan tipe anak yang mau melakukan sesuatu tanpa alasan.“

“Ya, dia bukan tipe anak yang mau melakukan sesuatu dengan sia-sia. Tidak seperti kita!“

“Kita melakukan sesuatu dengan sia-sia, menjalani hidup tanpa arah…. “

“Kita tidak punya tujuan, bahkan tidak tahu apa yang sesungguhnya kita inginkan!”

“Jadi?”

“Jadi, kita ini tidak lebih pintar dari anak usia lima belas bulan!“
Keduanya berpandangan, saling mengangkat bahu, dan akhirnya tertawa terbahak bersamaan. Lebih untuk menertawakan diri sendiri. Tawa yang pahit dan getir!

Haruskah Senja dan Benteng berpisah? Padahal, masih tersisa satu bagian cerita lagi yang belum didengar Benteng….

Senja termenung sejurus lamanya. Lalu, dilihatnya dirinya sendiri. Inikah kebahagiaan yang diinginkannya? Meraih cinta dalam genggaman, tapi harus menyembunyikan diri sedemikian rupa? Ya, ya, siapkah dia menerima posisi sebagai ‘wanita kedua’ di dalam kehidupan Ruben?

Senja belum selesai dengan pertimbangan-pertimbangan itu ketika mendadak alarm kapal berbunyi nyaring. Membelah ke sunyian malam.

“Kebakaran! Ada kebakaran!” tiba-tiba terdengar teriakan seseorang, entah siapa. Detik itu juga suara-suara gaduh membuncah. Kepanikan melanda para penumpang yang secara tak terkendali bergerak untuk menyelamatkan diri masing-masing. Suasananya luar biasa kacau. Berbaur suara jeritan dan tangisan di mana-mana.

Senja terpaku. Dia belum sepenuhnya sadar pada apa yang terjadi di kapal yang mereka tumpangi, ketika dilihatnya Ruben meloncat dan melepaskan genggaman tangannya begitu saja.

“Aline!” Ruben berseru keras, dan bagai kesetanan dia segera berlari menuju ke kamarnya mencari istrinya. Sama sekali tak dipedulikannya Senja yang baru beberapa detik lalu berada dalam pelukannya.

Di kursinya, Senja duduk membeku dalam keterkejutan yang panjang. Reaksi spontan yang baru saja dilihatnya pada diri Ruben adalah realitas. Suatu kenyataan yang menghanguskan bangunan mimpi dan harapan yang selama ini disusun satu demi satu. Hangus sudah, berantakan! Apakah kapal ini akan hangus juga seperti mimpiku barusan?

“Senja….“ Sebuah tepukan di bahu mencairkan kebekuan gadis itu. Dia menoleh. Benteng berdiri di belakangnya dengan raut muka penuh kecemasan yang tak tersembunyikan. “Kau baik-baik saja?”

“Ya,“ Senja mengiakan. “Ada kebakaran?”

“Bukan,“ Benteng menggeleng. “Hanya ada sedikit asap di dapur, barangkali masakan hangus atau entah apalah, tapi rupanya seorang penumpang yang kebetulan melihat itu telanjur panik, mengaktifkan alarm. Sekarang sudah teratasi.“

Senja melihat sekelilingnya. Benar juga, situasi yang tadi begitu kacau dan hiruk-pikuk, kini telah tenang kembali, meskipun menyisakan meja dan kursi yang porak-poranda.

“Selendangmu,“ Benteng mengulurkan selendang dan mengalungkannya pada bahu Senja. “Kau selalu lupa membawanya, sementara malam begitu dingin, jadi kupikir kau pasti akan memerlukannya.“

“Terima kasih,“ bisik Senja, nyaris tanpa suara. Dia merasakan kehangatan menyentuh bahunya. Bukan karena balutan selendang itu, tapi lebih karena getar yang menyertai gerak selendang itu. “Mengapa kau selalu menemukan aku?”

Benteng terkejut. “Kau curiga aku mengikutimu?”

Senja menggeleng. Dia tidak memerlukan jawaban lebih lanjut. Dia tahu Benteng tidak melakukan itu. Kartu yang menyertai rangkaian mawar merah muda untuknya tadi, tentulah merupakan petunjuk yang jelas bagi Benteng untuk menemukannya di teras ini.

HARI KEEMPAT
“Berbahagialah orang yang bisa menangis, karena sesungguhnya dia telah berhasil melakukan satu pelepasan,“ kata Benteng, sembari menaburkan merica pada telur scramble-nya.

Ini sarapan mereka yang terakhir di atas kapal. Sore nanti kapal akan berlabuh di Singapura.

Senja mengangkat alis, “Kau menyindirku?”

“Mungkin.“ Benteng tersenyum lebar. “Nice crying!“

“Terima kasih, kau menertawakan kesedihanku.“

“Sedih? Hei, lihatlah dirimu!” Benteng menepuk jemari Senja, seakan menyadarkannya dari sesuatu. “Semalam memang kau menangis, tapi pagi ini kesedihan itu sungguh tak tersisa, bahkan bekasnya pun tak ada. Bercerminlah, dan lihat betapa cerahnya kau hari ini! Matamu begitu bercahaya, yang bahkan tak pernah kulihat sejak hari pertama kita bertemu.“

“Kau sedang berusaha menghiburku?” Senja berucap dingin.

“Tidak,“ Benteng menggeleng jujur. “Sungguh, aku melihatmu sebagai sosok yang baru hari ini!“

“Betulkah?” Senja melunak.

“Itu pendapatku. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu semalam, dan bukan hakku untuk tahu lebih jauh. Aku bukan wartawan infotainment dan kau juga bukan selebriti. Tapi, kurasa kau mengalami sesuatu yang luar biasa, semacam pelepasan seperti yang kukatakan tadi, dan itu membuatmu menjadi seseorang yang baru hari ini “

Senja menghela napas panjang. Analisis yang sangat tepat. Sedemikian mudahkah dirinya terbaca? Tapi baiklah, memang tidak ada yang perlu disembunyikan lagi di hadapan Benteng.

“Semalam aku telah mengambil keputusan,” katanya kemudian. Ia telah mengambil keputusan itu, bahwa ia ingin bersikap jujur, apa adanya. Juga terhadap Benteng.

“Tentang apa?” Benteng menunggu.

“Ruben. Aku ingin hubungan kami berakhir.”

Benteng terkejut. Gerakannya mengunyah terhenti. Dia tak menyangka Senja akan berkata selugas itu.

“Bagaimanapun, aku merasa kehilangan. Dia…,“ Senja berpaling, menyembunyikan bening di ujung matanya yang datang tiba-tiba.

“Kau mencintainya,“ Benteng mendengus.

“Ya, tapi sesudah pelepasan itu aku seperti terbebas dari sesuatu. Hatiku terasa ringan.“

“Ruben setuju?”

“Entahlah. Ini baru keputusan sepihak.“

“Bagaimana bila dia tidak mau melepaskanmu?”

“Kita akan segera mengetahuinya. Untuk itu, aku memerlukan bantuanmu.“

“Apa?”

“Siang ini juga aku harus menemui Ruben, karena itu pastikan kau bisa membebaskannya dari Aline.”

“Oh, berapa lama?”

“Kira-kira satu jam. Apakah itu cukup bagimu?“

“Baiklah, di mana kau akan menemui Ruben?”

“Tatami room, dek 8.”

“Jangan khawatir, akan kuusahakan Aline ‘sibuk’ di perpustakaan, atau paling tidak, di taman bermain anak yang berada di dek 10 dan 12. Nah, cukup jauh bukan dari kalian? “

“Baguslah! Kau berbakat juga menjadi pemandu,“ Senja berusaha tersenyum. Dia merasa berterima kasih pada Benteng.

Di ujung meja, Senja berdiam diri. Dia mencoba mempersiapkan hatinya. Betapapun keteguhan telah dimilikinya, tak bisa disangkal, pada sisi hatinya yang lain telah terjadi keguncangan yang tak terhindarkan. Sungguh bukan suatu hal yang mudah untuk mengambil keputusan itu! Berpisah dari Ruben? Duh!

Beberapa menit kemudian, pintu sorong terbuka.

Ruben berdiri di ambang pintu. Sejenak keraguan tampak menguasainya. Tersirat jelas, betapa pria itu canggung dan gugup.

“Kata Benteng, kau mencariku?” terlihat jelas Ruben menekan kegugupannya.

“Ya.“ Senja mengangguk dingin. Dan, Senja terkejut mendengar suaranya sendiri. Begitu dingin suara itu, nyaris sedingin es. Ah, mengapa jadi begini? Mengapa mereka begitu kaku satu sama lain? Ke mana perginya hari-hari berlumur madu yang mereka reguk selama ini?

“Soal semalam, maaf, aku…,” Ruben terdiam, kehilangan kata-kata.

“Sudahlah, Ruben. It’s okay. Aku tidak apa-apa,“ tukas Senja, tenang.

“Aku sedemikian gugup sehingga meninggalkanmu begitu saja,“ Ruben memaparkan pembelaan diri. “Yang terpikirkan olehku, Aline tidak bisa berenang dan dia….”

Sedang mengandung, sambung Senja dalam hati. Dan, kau tak punya waktu untuk mengetahui bahwa aku juga tak bisa berenang!

“Sudah sepatutnya kau melakukan itu,“ kata Senja dengan tenang. “Tak usah menyesali dirimu, kau telah mengambil keputusan yang tepat.“

“Tapi, aku meninggalkanmu…, “ tukas Ruben, menyesal.

“Manusia memiliki keterbatasan, kau tidak mungkin mendapatkan semua yang kau inginkan, Ruben.“

“Tapi, aku menginginkanmu lebih dari semuanya.“ Ruben meraih jemari Senja dan mengecupnya lembut.

Senja menahan diri. Disadarinya bahwa jurang menganga lebar di depannya. Sekali ia salah melangkah, habislah sudah! Kecupan itu, meski lembut menyentuh hati, bisa saja menjadi pendorong ke dalam jurang maut.

“Jangan lakukan itu.“ Senja berusaha melepaskan jemarinya.

“Mengapa?” Ruben menahan jemari itu dalam genggamannya.

“Maksudku… kita sudah selesai. Hubungan kita cukup sampai di sini saja, Ruben! “

“Tidak!” Ruben tampak jelas tidak setuju. Tanpa sadar ia mencengkeram jemari Senja dengan kuat sehingga gadis itu meringis kesakitan.

“Oh, maaf, Senja. Aku tak bermaksud menyakitimu,” kata Ruben, melepaskan genggamannya. “Aku tahu, kau patut marah atas sikapku semalam. Tapi, itu tidak cukup menjadi alasan untuk menghentikan hubungan kita. Aku mencintaimu dan karenanya aku tidak akan melepaskanmu dengan alasan apa pun!“ lanjut Ruben tegas.

“Tapi, aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi,“ Senja bersikeras.

“Mengapa?”

“Aku punya keinginan lain, tidak sekadar menjadi ‘kekasih gelap’-mu!“

“Baik. Aku akan menikahimu, Senja. “

“Tidak! Bukan itu yang kuinginkan!“

“Lalu, apa?” nada suara Ruben menjadi tak sabar.

“Cinta…. “

“Sudah berapa kali kukatakan, aku mencintaimu, Senja!”

Senja menggeleng perlahan. “Yang kau punya adalah cinta yang terbelah. Dan, itu tidak cukup untukku. Kupastikan, Aline pun demikian.“

“Kau ingin aku menceraikan Aline?”

“Tidak, karena itu pun belum cukup untukku!“

“Jadi, apa maumu sebenarnya?” Ruben nyaris kehilangan kesabaran.

“Sebenarnya adalah karena aku telah melihat dirimu dan diriku yang sesungguhnya,“ kata Senja, tetap dengan penuh ketenangan. Emosinya tampak betul-betul terkendali.

“Pada sangkamu, kau mencintaiku, tapi sesungguhnya aku hanyalah sekadar ‘tamu’ di teras hatimu. Sebagai tamu, tentulah kau perlakukan aku dengan istimewa. Dan sebagai tamu, kubawa sesuatu yang indah bagimu, sebagai variasi penyegar hidupmu. Tapi, seorang tamu tetaplah tamu. Waktuku hanya sesaat, hakku sangat terbatas. Begitu kuambil lebih dari yang sepatutnya, maka jadilah aku sebagai duri dalam daging dalam hidupmu!“

“Tidak, Senja, tidak seperti itu!“ bantah Ruben. Ia tampak mulai gusar.

“Lihatlah dirimu sendiri,“ sambung Senja, tak peduli. “Tidakkah kau sadari bahwa sesungguhnya kau mencintai Aline? Aku telah melihatnya semalam. Ketika nalurimu memilih untuk menyelamatkan Aline, sementara aku ada di sisimu. Itu sesungguhnya karena cinta pada alam bawah sadarmu yang menggerakkannya. Aline yang ada di hatimu, bukan aku…. “

“Maafkan aku, Senja. Hal itu…, ” Ruben tergugu.

  “Jangan, kau tak perlu minta maaf untuk kejujuran yang telah kau lakukan. Karena sesungguhnya, itulah keutamaan yang harus kita punya. Kejujuranmu telah menuntunku untuk tahu di mana aku seharusnya menempatkan diri.“

“Jangan terburu mengambil keputusan, Senja. Kau sedang emosi. Aku paham, kau tentu kecewa atas sikapku semalam.“

“Sungguh tidak, Ruben. Aku justru sangat rasional saat ini.“

“Senja, please, dengarkan aku…, “ Ruben memohon penuh harap.

Senja menggeleng. Sekuat tenaga ia mengeraskan hati. “Bukan hal yang mudah memang untuk melupakan kebersamaan kita,“ katanya, mempertahankan diri. “Tapi, bila diteruskan, kita akan terluka lebih dalam lagi. Dan akhirnya, akan jatuh salah satu korban.”

“Aku tak akan mampu melakukan ini…. “

“Mungkin tidak sekarang, tapi waktu akan membantumu. Apalagi nanti, sesudah anakmu lahir, dia tentu membawa kehidupan baru bagimu dan Aline. Dan setelah itu, baru kau sadari, aku telah menjadi sekadar kenang-kenangan belaka bagimu.“

“Tidak akan!” Ruben bersikeras. “Aku tidak mungkin melupakanmu!”

Senja menghela napas panjang. Ditepuknya lembut jemari Ruben di atas meja. Gerakannya lebih mirip seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya. “Terserah apa katamu. Lihat saja bagaimana waktu akan mengubahmu! “

“Aku akan tetap mencintaimu.“

“Terima kasih, tapi maaf, aku tidak bisa menyimpan cinta itu lebih lama lagi.” Senja memandang arlojinya. Batas waktu yang ditetapkan Benteng hampir berakhir.

“Waktumu sudah habis,“ katanya, mengingatkan. “Aku meminta Benteng untuk menemani Aline selama satu jam, jadi sekarang tentu dia sudah mulai gelisah mencarimu. “

“Tidak, Senja. Keputusan itu tidak datang dari hatimu!“ tolak Ruben, bertahan.

Bukankah kau pernah mengatakan akan melakukan apa pun yang kuinginkan?” tantang Senja. “Nah, sekarang, aku memintamu untuk pergi. Pergilah…. “

Tatap mata mereka bertemu. Lama. Bagai saling mempertahankan keinginan diri. Masing-masing mengeraskan hati. Beberapa detik berlalu. Pada detik berikutnya, Ruben menyerah. Dia menyadari, Senja kukuh pada keputusannya itu. Sinar mata Senja menampakkan tekad yang tak tergoyahkan. Dan, mau tidak mau, Ruben harus menghargai keputusan itu.

“Baiklah, aku pergi,“ kata Ruben kemudian, nyaris tak terdengar. Perlahan dia beranjak. Di ambang pintu langkahnya terhenti. “Bolehkah aku memelukmu, Senja?” tanyanya, tercekat.

Senja berpaling, menyembunyikan matanya yang membasah. Tidak, jangan lakukan itu, pintanya dalam hati. Atau langkahmu akan tertunda selamanya.

AKHIRAN
Senja membuka mata. Secercah cahaya matahari sore menerobos tirai jendela yang terbuka. Cahaya itu menyentuh lembut mata Senja, mengakhiri tidur siang gadis itu.

Perlahan Senja mengumpulkan kesadaran diri. Cukup lama juga dia tertidur, sekarang sudah menjelang petang. Sebentar lagi kapal akan berlabuh di pelabuhan terakhir, Singapura. Jadi, dia harus segera berkemas.

Baru saja disibakkannya selimut ketika dilihatnya ada sesuatu di atas bantal. Seikat bunga rumput dengan pita putih. Sederhana rangkaian itu, namun begitu menyentuh hati. Kelopak bunganya yang mungil tampak segar dengan percikan air. Ada sehelai kartu yang menyertainya. Senja membaca kartu itu tanpa suara.

Terima kasih.

Hari-hari bersamamu sungguh mengesankan.

Selamat tinggal.

Benteng

Senja mengedarkan pandang meneliti kamar. Segala sesuatunya telah rapi. Jadi benar, Benteng telah berkemas dan pergi. Tanpa sadar digigitnya bibir. Pedih menekan ulu hati. Lalu, entah dari mana datangnya, ada rasa kehilangan yang menyergap. Semalam rasa itu sudah melukainya, tak disangka hari ini pun ia harus kembali merasakan luka itu. Bedanya, semalam ia telah siap. Tapi, kehilangan yang sekarang ini menyerangnya, sama sekali tidak ia duga. Dia, Benteng, menorehkan luka yang baru.

Senja mengambil sesuatu dari tas. Lembar foto mereka waktu di Malaka tempo hari. Mereka bertiga di dalam foto itu. Benteng, Senja, dan Khalila. Masing-masing dengan ekspresi bahagia, tawa yang lepas. Sekilas tampak seperti sebuah keluarga muda yang sempurna. Suami, istri, dan seorang anak balita yang manis.

Senja menghela napas, menyimpan kekecewaan di lubuk hati. Pedih menekan ulu hatinya. “Kau belum mendengar impianku yang satu ini,” katanya, sendirian, “bahwa telah kumiliki satu tujuan, yaitu mewujudkan kebahagiaan seperti dalam foto ini. Aku ingin bertemu seseorang dan bersamanya menemukan Khalila-ku sendiri. Seseorang yang bersama diriku bisa saling memiliki secara utuh penuh….”

“Ya, ya, kau pergi terlalu dini, Benteng. Meninggalkan satu bagian cerita yang belum selesai. Ah, sudahlah….” Senja mengakhiri kekecewaannya. Ditumbuhkannya sedapat mungkin semangat dalam dirinya. Dengan segera ia bangkit dan berkemas. Daratan sudah dekat, di depan mata.

Antrean panjang terjadi di tangga kapal. Masing-masing penumpang ingin segera sampai di dermaga. Begitu banyak tangga tersedia, namun semuanya penuh dengan antrean yang berdesakan.

Senja menghentikan langkah. Dia tidak ingin terbawa dalam arus itu. Dia tidak harus mengejar sesuatu, masih ada banyak waktu tersisa untuk dirinya. Karena itu, segera didorongnya travel bag ke arah lain, melepaskan diri dari arus yang berdesakan itu. Dicarinya tempat leluasa untuk menikmati embusan angin laut di saat-saat terakhir.

Baru beberapa menit menikmati desiran angin, nalurinya mengatakan, bahwa ada seseorang sedang mengawasinya. Senja menoleh, mencari arah tatapan itu. Detik itu juga, Senja tertegun. Jantungnya berdesir mendadak. Perlahan, namun makin lama makin keras degubnya. Benteng berdiri di ujung koridor kapal!

“Hai, “ sapa Benteng, melangkah mendekat.

“Hai,“ balas Senja, mengendalikan desiran hati. Mereka seperti dua orang asing yang baru saling mengenal. Tiba-tiba Senja teringat sesuatu. Ditunjuknya rangkaian bunga rumput dalam genggamannya, “Bungamu, terima kasih. “

“Kau suka?”

“Ya,“ Senja mengangguk.

“Bunga sederhana,“ kata Benteng, pelan. “House keeping tak lagi punya persediaan bunga di hari terakhir pelayaran, hanya itu yang tersisa. Itu pun harus kusimpan di lemari pendingin supaya tidak layu. Jadi, jangan bandingkan dengan mawar cantik tempo hari yang kau terima dari Ruben!“

“Aku suka bunga rumput,“ Senja menghentikan kalimat Benteng, “bunga yang sederhana, tidak banyak menarik perhatian orang.“

“Benarkah?”

“Ya….“

Mata mereka bertemu sesaat lamanya. Masing-masing bagai ingin mengatakan sesuatu yang tak terungkapkan. “Kukira kau sudah turun dari kapal,“ kata Senja kemudian, mengalihkan tatapan.

“Tadinya sih, begitu. Tapi, aku berubah pikiran. Aku sengaja menunggumu,“ Benteng tidak melepaskan tatapannya.

“Oh, ya?” desiran di hati Senja makin kuat.

“Tidurmu begitu pulas, aku tak sampai hati untuk membangunkanmu. Tapi, sesudah itu, aku jadi khawatir. Bagaimana kalau kau tak terbangun dan terbawa lagi dalam pelayaran berikutnya?” Benteng tertawa kecil.

“Dan, bertemu teman sekamar yang baru?” Senja ikut tersenyum.

“Upss, jangan! Bertemu orang separah aku, satu kali cukuplah bagimu.“

“Sama, aku pun tak ingin menjalani peran separah ini lagi.“

Keduanya menyimpan senyum dan tertawa bersama. Sejurus kemudian Benteng berkata pelan, ”Tapi, aku tidak menyesal. Aku bahagia bertemu denganmu, Senja…. “

Pernyataan yang sangat mengejutkan akhirnya keluar dari mulut Benteng. Senja terpaku dalam diam. Dengan perasaan gamang, dia mendengar ucapan Benteng selanjutnya, ”Ada yang ingin kukatakan, tepatnya kuminta, kalau kau tidak berkeberatan….”

“Apa?” Senja menahan debaran hatinya.

“Foto kita di Malaka tempo hari. “

“Untuk apa?” Senja tak mampu membendung rasa ingin tahunya.

“Aku…,” kalimat Benteng terhenti. Dia tampak kesulitan mengatakan sesuatu.

“Ya?” Senja menunggu.

“Khalila…,” ucapan Benteng terhenti lagi. Ditariknya napas, berusaha keras menyusun kalimat. Perlahan kemudian dia melanjutkan kalimatnya, “Gadis kecil itu telah mengajarkan padaku arti penting sebuah tujuan. Bahwa adanya tujuan yang positif akan membuat kita melakukan hal-hal yang positif pula, membuat kita tahu apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Terus terang saja, selama ini tujuan yang kupunya tidak jelas, memberiku harapan semu…. “

“Apa tujuan barumu, Benteng?” Senja memburu. Dia jadi makin ingin tahu.

“Ah, bagaimana aku harus mengatakannya padamu? Aku khawatir kau tidak akan suka mendengarnya.“

“Mengapa?” Senja mendesak.

“Karena, mmm… apakah kau betul-betul ingin tahu?” Benteng ragu-ragu.

“Ya!”

“Sekalipun kau tidak akan suka mendengarnya?”

“Mungkin…. “

“Baiklah,“ Benteng mengangkat bahunya. “Kalaupun itu akan membuatmu marah, itu hakmu, dan aku pantas menerimanya!“

“Katakan saja, Benteng. Ayolah…, “ Senja makin penasaran.

Benteng terdiam sejenak. Ia tampak ragu. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, akhirnya keluar juga kalimat dari mulutnya, “Foto itu memberiku semacam harapan, Senja. Andai saja, ya, andai saja kutemukan seseorang seperti dalam foto itu, yang mau berbagi beban hidup dan menghadirkan Khalila-khalila kecil bagiku….”

Senja tergugu. Keharuan dan keterkejutan menyergapnya dalam waktu yang bersamaan. Harapan dan impian itu, mengapa begitu mirip? Mungkinkah foto itu penyebabnya? Atau, doa tulus dari ibu Khalila?

“Tapi, aku tahu, Senja. Aku bukan seorang pria yang terbaik untukmu. Aku tidak lebih baik dari Ruben,“ gumam Benteng perlahan, nyaris tak terdengar.

“Aku tak bisa memberikan foto itu padamu,“ Senja menggelengkan kepala dan menahan getar suaranya.

“Mengapa?” Ada sinar kekecewaan di mata Benteng.

“Karena ternyata aku memiliki impian dan harapan yang sama denganmu! “ Senja tak mampu lagi menahan getaran dan debaran hatinya.

Hening sesaat. Masing-masing kehilangan kata-kata.

“Kalau tujuan kita sama, mengapa kita tidak mencoba untuk bersama mewujudkannya, Senja?” tiba-tiba Benteng berkata lembut.

“Apa yang akan kita jalani tidak akan mudah, Benteng.“

“Ada pepatah mengatakan, seribu langkah pun tidak akan pernah sempurna bila tidak dimulai dengan langkah yang pertama, Senja.“

“Ya, betul juga. Dan, kita sudah memulainya selama empat hari,“ Senja tersenyum tipis.

“Jadi?” Mata Benteng menyinarkan asa. Dan, itu segera ditangkap Senja.
“Mari kita selesaikan langkah selanjutnya bersama-sama, Benteng. Kau dan aku, “ Senja tertawa lembut.

“Yap, kau dan aku!” Benteng ikut tertawa. Dia mengulurkan tangan dengan jemari terbuka. Senja menyambut uluran itu. Jemari mereka bersatu dalam geng gaman erat.

Antrean di tangga kapal sudah usai. Jalan menuju dermaga lapang terbuka, menyambut langkah mereka.

No comments: