12.22.2010

Pitaloka

Derit pintu terbuka. Gadis itu melemparkan ranselnya ke sofa. Tiga ekor ikan berkejaran dalam sebuah akuarium kecil berbentuk bulat. Dia menahan langkah sejenak, lalu jemarinya sibuk menjentik-jentikkan permukaan air.
Televisi dinyalakan. Siaran berita. Gadis itu berjalan ke arah bar kecil. Televisi menyiarkan demo para wanita yang memprotes maraknya sexual harassment dan pornoaksi. Terdengar suara ledakan-ledakan kecil. Tiga buah popcorn melesat terbang ke arah televisi.

Gadis bernama Lika itu duduk di depan televisi. Sambil tetap mengunyah popcorn, tak sedikit pun ia melepas pandang. Telepon berdering, setengah kesal ia menyambar gagang telepon, lalu terlibat sebuah pembicaraan serius.

Wajah para demonstran tampak makin garang, berteriak-teriak sambil mengepalkan tinju. Spanduk berbagai ukuran diacung-acungkan, menciptakan gelombang ketidakpuasan yang kian memekat. Lika terus mengunyah popcorn. Kakinya naik ke atas meja, sebuah buku jatuh tersenggol, dibiarkan begitu saja.

Di ruang redaksi majalah Srikandi, televisi menyala tanpa penonton. Tiga wartawan asyik di depan komputer masing-masing. Lika datang tergesa, menghampiri meja yang berantakan dipenuhi buku dan kliping berita koran tentang wanita. Ada yang ketinggalan.

Sekilas ia menyimak tayangan berita tentang pelecehan seksual yang dialami seorang pengasuh bayi. Lalu, ia menghampiri Edo yang berjarak tiga meja di sebelahnya. Telapak tangan Lika digo­yang-goyangkan di depan wajah pria itu, Edo tetap mengetik. Sewaktu ia beranjak dari situ, Edo sempat berpaling dan memberikan ciuman jauh. Televisi tetap menyala tanpa suara.

“Pitaloka adalah simbol perjuangan seorang wanita yang berjuang keras mempertahankan kehormatan diri dan negaranya,” ujar Sulaeman. Lika dan empat orang wanita yang ada di ruangan itu tampak serius. Indrajit dengan sepuluh orang lainnya juga tak jauh beda.

“Dua bulan lagi kita akan mementaskan Pitaloka. Saya berharap teman-teman bisa membantu Lika untuk menghidupkan karakter Pitaloka. Karena, tokoh inilah yang menjadi jiwa pementasan drama kita kali ini,” kata Sulaeman, sambil menyeruput kopinya.

“Kisah Pitaloka tak sesederhana yang kita dengar selama ini. Dimulai dari Prabu Hayam Wuruk. Ia kasmaran pada wanita cantik yang dilukis Sungging Prabangkara. Lalu, kontroversi peran Patih Gajah Mada yang dianggap mengubah skenario pernikahan agung mereka. Pitaloka akan dijadikan upeti, yang bisa diartikan sebagai tanda takluknya Kerajaan Sunda pada kebesaran Majapahit.” Sulaeman diam sesaat. “Klimaks kisah sejarah ini adalah terjadinya Perang Bubat. Namun, semua ini belum memberi informasi seutuhnya tentang siapa Pitaloka.”

Lika dan teman-temannya menyimak uraian sang sutradara. Ada yang manggut-manggut atau melirik ke arah Lika yang duduk di samping Indrajit. Ada juga yang asyik berkirim SMS. Di paling sudut ada yang menyendiri sambil menggaruk-garuk telinganya.

Usai diskusi, semua pulang, kecuali Lika dan Sulaeman.

“Tema Pitaloka yang kita pilih sangat relevan dengan banyaknya kejadian menyedihkan yang menimpa para wanita di negeri ini. Mulai dari poligami hingga pelecehan seksual. Dari fisik hingga pikiran, wanita kita masih terjajah dan dieksploitasi,” jelas Sulaeman.

Percakapan hangat yang cukup alot berlangsung di antara mereka. Kisah Pitaloka memang fenomenal untuk sebuah perlawanan wanita terhadap hegemoni kekuasaan yang masih berada di tangan kaum pria.

Senja menciptakan warna lembayung. Burung-burung gereja beterbangan pulang ke dalam kerimbunan pucuk-pucuk pohon palem raja. Mereka berkerumun. Suara cicit anak-anaknya meriapkan kehangatan.

Lika selonjoran di sofa. Terdengar ledakan-ledakan kecil dari arah dapur. Mulanya ia tenang saja, sampai tiba-tiba ledakan itu makin banyak dan suaranya makin keras ditingkahi gedombrangan tutup panci jatuh. Kaget, ia beranjak lalu bergegas membereskan benda-benda itu. Telepon berdering.

“Halo.”

“Hai, Sobat, nggak ke mana-mana kan malam ini?”

“Hmm… justru ada wawancara, nih. Satu jam lagi.”

”Aku kalah cepat! Tadinya aku mau mengajakmu makan malam.”

“Lain kali saja, ya.”

“Beneran, nih, janji, ya....”

“May be yes, may be not!”

Indrajit tertawa keras. Lika segera menyudahi percakapan tak ber­mutu itu.

“Dewi Aristia,” sambut wanita berbaju biru yang langsung menyilakan duduk. Wanita bermata tajam ini adalah ketua Solidaritas Perempuan Indonesia. Sarjana teknik mesin yang lebih suka jadi aktivis memperjuangkan hak-hak wanita.

“Dyah Andini Mandalika, panggil saja Lika,” balasnya, seraya tersenyum.

“Bisa kita mulai sekarang?” ujar wanita itu, membuka percakapan. Lika menyiapkan sebuah notes kecil.

“Banyak kasus pelecehan seksual yang luput dari perhatian kita. Atau, tepatnya, masyarakat masih belum mengenal jenis-jenis pelecehan seksual, mulai yang paling ringan hingga yang terberat,” ujar Dewi, langsung ke pokok pembicaraan.

“Sampai sejauh mana sistem hukum di negeri kita melindungi kaum wanita terhadap pelecehan seksual?”

“Kesadaran korban terhadap jenis pelecehan yang mereka alami cukup berperan. Bagaimana kasus itu terungkap dan dapat diproses secara hukum kalau sang korban bungkam? Di Barat, menyiuli wanita sudah cukup dijadikan alasan untuk menyeret seseorang ke pengadilan. Kesadaran membela diri cukup tinggi sehingga para pelaku takut pada sanksi hukum yang bisa menjeratnya.”

“Apakah hukuman bagi seseorang yang terbukti melakukan pelecehan di negeri kita lebih ringan daripada di Barat?”

“Berat atau ringannya itu relatif. Di sini termasuk delik aduan. Banyak orang yang lolos dari jerat hukum, karena korban pelecehan umumnya enggan memperkarakan masalahnya ke pengadilan. Alasannya, malu atau takut menghadapi sorotan masyarakat.“

“Apa akibatnya kalau korban enggan melaporkan perkara mereka?”

Kata Dewi, korban pelecehan seksual, terutama korban pemerkosaan yang tidak melaporkan kasusnya, membuat fenomena ini menjadi gunung es di dasar laut. Yang tampak di permukaan kelihatan kecil, tapi di dalam sangat besar. Lika mengajukan beberapa pertanyaan lagi, yang selalu dijawab Dewi dengan lugas dan tangkas.
Lika bergegas, ia harus menyerahkan hasil wawancaranya ke redaktur. Apalagi, mau dijadikan laporan utama. Huh....

Mobil Lika melaju perlahan, membelah malam. Dari balik kaca tampak lampu-lampu berkelip. Orang tampak berkerumun menunggu angkot. Di dekat billboard besar, beberapa wanita berpakaian seronok asyik mengobrol.

Lampu lalu lintas sedang merah. Tanpa sengaja Lika mengamati sebuah kejadian di kiri jalan. Sebuah mobil sedan menghampiri seorang wanita bertubuh langsing semampai. Pria yang berada dalam mobil bercakap-cakap sebentar dengannya. Lalu, dalam beberapa kejap ia sudah naik ke mobil, mereka pun berlalu menembus malam hitam yang makin pekat.

Suara Sulaeman mengiang.

“Betapa rendahnya sebagian wanita menghargai dirinya, demi lembaran uang kertas dan gaya hidup yang menjadi impiannya. Kaum pria memperlakukan tubuh mereka bagai segumpal daging yang lezat, mereka pun menikmati perlakuan itu sebagai rutinitas belaka. Tak ada cinta, tak ada kesetiaan, tak ada keluhuran kasih sayang. Yang ada hanya penjual dan pembeli. Kenikmatan semu berlumur seribu kepalsuan! Kita harus belajar dari Pitaloka yang rela mati demi harga diri!

Lika mempercepat laju mobilnya, pendaran lampu kendaraan menyeruak malam.

Lampu sorot besar dimatikan, tinggal cahaya obor menyala bergoyang-goyang dipermainkan angin. Sulaeman bertepuk tangan memanggil para pemain.

“Harga diri! Kita bicara soal harga diri yang dipermasalahkan Pitaloka. Bayangkan dirimu berada di lapangan Bubat, kamu satu-satunya yang belum mati di tengah ratusan mayat yang bergelimpangan. Apa yang akan kamu lakukan? suara Sulaeman menggelegar.

“Tarik napas, buang! Ini bukan sekadar masalah harga diri lagi, tapi eksistensi sebuah negara dipertaruhkan.
Dalam hening, semua terdiam. Merasakan getaran angin dalam sebuah siklus keteraturan yang meneratas lepas dan bias.

“Oke, mari memejamkan mata, tarik napas, tahan perlahan, buang! Tarik napas lagi. Konsentrasi... konsentrasi...! ucap Sulaeman, setengah berteriak.

Para pemain mengikuti aba-aba Sulaeman, suaranya turun naik, terkadang datar, keras lalu melunak, lembut, terkadang mengentak. Semua terpusat menatap pria separuh baya itu. Cambang yang mulai memutih di kedua sisi wajahnya membuatnya terkesan flamboyan.

Senja pun karam, suara serangga malam mulai bersahutan. Latihan usai, para pemain bangkit dari duduknya. Lampu-lampu dipadamkan, tinggal cahaya obor menyalakan kerlapnya.

Lika sedang asyik mengetik. Suasana ruang redaksi yang ramai tidak membuyarkan konsentrasinya. Seorang office boy datang menghampiri.

“Maaf, Mbak, mengganggu. Mbak dipanggil Bapak Willy.

Lika menghentikan pekerjaannya sejenak, mengucapkan terima kasih, lalu bergegas menggerakkan mouse dan menekan tombol ’save’.

Tak lama kemudian ia berada dalam sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Ada atmosfer kehangatan yang begitu pekat di sini. Seorang pria separuh baya, tampak sedang membolak-balik majalah Srikandi edisi terbaru. Diam-diam Lika memerhatikan atasannya. Mungkin Pak Willy seusia dengan ayahnya. Lika tercekat sesaat. Aku tak boleh terlalu sentimentil, ayahku hanya sebuah nama yang terkubur dalam lubuk hatiku.

“Kelihatannya Mbak Lika punya ketertarikan yang cukup kuat pada masalah wanita. Dalam feature ini ulasanmu cukup menggigit. Mata Pak Willy menyimpan senyum. Lika menahan napas. Ia kira Pak Willy akan menyampaikan sesuatu yang serius atau sebuah teguran atas kinerjanya. Ternyata....

“Terima kasih, Pak. Ya, itu juga karena isu tentang kesetaraan wanita sedang jadi wacana akhir-akhir ini.

“Coba Mbak cari referensi sebanyak mungkin, agar tulisanmu makin bernas. Jangan lupa, Surat-Surat Kartini adalah menu utama yang harus dikuasai.

“Baik, Pak Willy, Surat Kartini nanti saya cari di perpustakaan. Saya hanya punya yang ditulis Pramudya Ananta Toer.

“Saya punya yang lebih lengkap, nanti saya bawakan. Pak Willy meneguk kopinya. “Ada kasus menarik tentang lady parking. Sebuah gagasan agar kaum wanita memiliki area parkir tersendiri di tempat-tempat umum. Coba Mbak gali, masyarakat setuju tidak dengan lady parking ini. Kejar opini mereka, apa nilai positif dan negatif-nya bagi eksistensi kaum wanita.

Lika kembali ke mejanya. Pak Willy memang simpatik dan begitu kebapakan. Dalam hal-hal bersifat formal dia tegas dan praktis, tapi di saat tertentu ia adalah teman diskusi yang akrab, yang mengabaikan batasan antara atasan dan bawahan. Lika dan para wartawan lain merasa nyaman karena Pak Willy juga seorang motivator yang membebaskan mereka berekspresi dan menghasilkan karya terbaik.

Hari menuju ke malam. Suasana ruang redaksi makin sepi, di sebelah sana beberapa wartawan masih bertahan menyelesaikan pekerjaan mereka. Tinggal bunyi musik dan suara tuts keyboard Lika.

Malam baru saja beranjak, belum ada bulan. Teater terbuka Gedung Kesenian itu hanya diterangi nyala obor yang simpang siur dipermainkan angin. Sulaeman marah-marah karena Lika tampil buruk.

“Coba jaga ritme permainan kamu, jangan kedodoran seperti itu!! Sebelumnya, kamu bermain cukup bagus, tapi kali ini anjlok banget. Pemain lain bisa terpengaruh oleh permainanmu.”

Lika diam, dibiarkannya Sulaeman mengeluarkan unek-uneknya. Setelah pemain lain pulang, Lika dan Indrajit harus tetap tinggal.

“Kamu punya masalah yang mengganggu konsentrasimu?”

Lika menatap Sulaeman dalam-dalam, lalu menggelengkan kepala.

“Tidak juga, Pak, mungkin saya terlalu capek. Seminggu terakhir ini banyak deadline yang harus saya kejar.”

“Latihan kemarin lupa dialog dan salah gerak. Sekarang lebih kacau dari yang kemarin.”

Sejurus Sulaeman diam, sebelum meneruskan kata-katanya. “Kalau begini terus, lebih baik pemeran Pitaloka diganti.”

“Saya janji, Pak, latihan berikutnya akan lebih baik.”

Sulaeman beralih pada Indrajit, memberikan beberapa pengarahan. Indrajit menyimak baik-baik ucapan sang sutradara. Mereka pun pamit. Lika pulang jalan kaki, menembus kegelapan malam di antara pohon-pohon yang menaungi jalan.

“Mobilmu ke mana?” Indrajit menjejeri langkah Lika.

“Di bengkel.”

Lika mempercepat langkahnya. Indrajit tak peduli.

“Kamu pergi duluan, deh,” usir Lika.

Senyum di wajah Indrajit segera lenyap tanpa bekas, ia lalu memacu mobilnya. Debu pun beterbangan. Lika melenggang bebas, menikmati suasana perjalanannya. Di kejauhan, Bandung di malam hari menciptakan pemandangan yang memukau. Kerlip lampu yang menyimpan keindahan.

Sambil berjalan pelan, suara Sulaeman masih tersimpan dalam benak Lika.

“Coba resapi karakter Pitaloka. Dia wanita yang kuat, pantang menyerah dan punya prinsip yang kukuh. Di zamannya, dia figur putri mahkota yang dicintai rakyatnya. Bukan hanya cantik secara fisik, dia juga memahami masalah kenegaraan. Hayam Wuruk membutuhkan seorang permaisuri yang cakap untuk mendampinginya memerintah kerajaan sebesar Majapahit.”

Malam makin larut, Lika mempercepat langkahnya.

“Di zaman modern seperti ini, masih banyak wanita yang belum mengenal jati dirinya sendiri, memahami hakikat perannya dalam kehidupan. Sudah baca tulisan Daoed Joesoef, Kyoiku Mama? Ia mengulas pentingnya peran seorang ibu dalam menciptakan kinerja rakyat Jepang, sampai negaranya menjadi raksasa ekonomi yang diperhitungkan dunia.”

Siang itu, di ruangan Pak Willy, Lika menyerahkan naskah berikut CD-nya. Pak Willy melihat sekilas.

“Nanti saya periksa,” ujarnya cepat.

Dia menyilakan duduk, lalu menyodorkan dua buah buku. Satu buku kecil, Kekerasan terhadap Perempuan, dan satu lagi, Feminist Thought. Lika segera menyambutnya, membuka satu dan melihat daftar isinya.

“Hmm... isinya boleh juga. Bapak sudah baca?”

“Isinya bagus. Karya Rosemarie Putnam Tong itu mengulas pemikiran feminisme lengkap dengan sejarahnya. Bawalah kalau mau pinjam!”

Lika menyimpan kedua buku itu di bibir meja. Lalu, mereka terlibat percakapan yang mengasyikkan. Pak Willy selalu menemukan topik pembicaraan yang enak diperbincangkan. Hal yang paling sederhana pun bisa jadi bahan kajian yang bernilai. Seandainya ayahku seperti dia, Lika membatin. Ada rasa rindu berbaur perasaan-perasaan nyeri yang menikam. Aku tak pernah menyukai pria yang melukai hati ibuku, tapi kuakui kadang-kadang aku menginginkan kehadirannya.

Terdengar suara ketukan di pintu. Edo masuk, menyerahkan setumpuk naskah pada Pak Willy. Lika beranjak dari duduknya.

“Saya pamit dulu, Pak.”

“Kenapa cepat-cepat? Masih banyak topik yang menarik untuk kita bahas.”

“Ini, saya mau latihan teater.”

“Kapan dipentaskan? Apa lakonnya ?” tanya Pak Willy antusias.

“Masih lama, Pak. Sekitar dua bulan lagi. Kami akan mementaskan Pitaloka.”

“Pitaloka memang tokoh yang heroik, saya suka karakternya.”

Musik gamelan bertempo cepat mengalun. Sulaeman sibuk memberi arahan ke sana-sini. Adegan peperangan antara pasukan Kerajaan Sunda dan Majapahit yang tidak seimbang berlangsung seru. Teriakan dan gemerincing keris beradu kujang atau perisai memekakkan telinga. Sambil tetap mengamati latihan, Sulaeman berjalan ke arah Lika, lalu berdiri di sebelahnya.

“Indrajit tak datang hari ini, ayahnya sakit”

“Masuk rumah sakit?”

“Kakinya keseleo. Agak parah, sih, Indrajit mengantarnya untuk diurut.”

Mata mereka tak pernah lepas dari adegan perang yang sedang berlangsung.

“Panas banget, ya, hari ini....”

“Kayaknya mau hujan kalau panas begini.” Sulaeman meneguk botol air mineral.

“Saya punya referensi baru, nih, Pak. Atasan saya meminjamkan buku ini.” Lika mengeluarkan kedua buku itu dari tasnya. Sulaeman melambaikan tangan ke arah panggung, memberi isyarat agar latihan break dulu.

“Kelihatannya dia pro gerakan feminis, ya?”

“Mungkin juga, hal itu sempat melintas dalam benak saya. Dia pria tapi menjadi pemimpin redaksi majalah wanita. Sebuah kontradiksi yang unik.”

“Sekarang banyak pria yang berpikir feminis, mengapa tidak?”

“Ada aliran feminis yang masih percaya pada lembaga perkawinan dan berusaha berbagi peran gender secara adil. Seorang feminis bernama Aquarini bilang, menjadi feminis adalah suatu proses panjang yang muncul dari berbagai rasa sakit dan kepahitan, serta ketimpangan yang berlangsung di dalam tatanan masyarakat baik di ranah publik maupun domestik,” ujar Sulaeman, lalu mengembuskan nafas panjang. “Sekelompok pria berusaha memahami dan berempati terhadap pemikiran-pemikiran ini.”

“Kalau begitu, Bapak termasuk penganut feminisme?”

Sulaeman tersenyum, sambil mengembuskan asap rokoknya.

“Bisa jadi. Kaum pria kan bisa saja jadi feminis!”

Giliran Lika yang tersenyum, sesimpul. Gerimis datang, makin kerap. Para penabuh gamelan bergegas mengangkut peralatan musik ke ruang tertutup. Begitu juga para pemain teater yang sedang break.

Dari balik jendela tampak hujan gerimis yang kian lebat mengikis malam. Lika duduk di depan televisi dengan semangkuk penuh... lagi-lagi... popcorn.

“Situasi ekonomi, beban hidup yang tinggi, wanita sebagai komoditas. Keadaan ini terbawa ke rumah. Ini mendorong terjadinya kekerasan terhadap wanita di rumah,” kata presenter talk show di televisi.

Lika meraih segelas air putih. Tenggorokannya yang kering menjadi lebih nyaman dan dingin. Peristiwa sebulan yang lalu melintas dalam benaknya.

Pagi itu di ruang bagian keuangan, tampak wajah-wajah sumringah dengan senyum ceria. Sisanya wajah setengah lega berbaur lesu karena harus rela menyisihkan sekian persen gajinya untuk membayar utang. Jangan-jangan ada yang gajinya minus? Di sela-sela kesibukan itu, Lika sempat menangkap adegan tak enak dipandang.

Tak jauh dari pintu, di sebuah sudut yang tak begitu terjangkau pandang, seorang pria kurus berkacamata tebal melakukan gerakan-gerakan erotis. Di depannya, gadis petugas resepsionis berdiri terpana. Pria itu melengkungkan kedua tangannya, seolah-olah sedang memeluk seseorang sambil menyorongkan mulutnya yang menge­cup-ngecup. Dia pura-pura mencium gadis itu. Gadis itu diam saja. Hanya menepis tangan si pria dan tersenyum hambar.

Lika menghampiri mereka, lalu berkacak pinggang, mengernyitkan dahi, menatap pria itu tajam.

“Kamu bisa bersikap lebih sopan?” ujarnya, geram. ”Ini kantor! Nggak enak dilihat banyak orang. Kamu bisa menghargai wanita, ’kan?”

“Iya... ya... Mbak, maaf saya hanya bergurau....” Pria itu gelagapan.

“Bercanda, ya, bercanda, tapi yang sopan, dong. Apalagi, di depan umum,” Lika berpaling ke arah gadis itu.

“Dik, jangan mau diperlakukan seperti tadi. Ini pelecehan seksual. Disiuli saja sudah termasuk pelecehan. Kenapa Adik diam saja? Kalau dia berani berlaku tidak senonoh lagi, tampar saja.”

Semua pandangan tertuju pada Lika. Adegan satu scene itu membias, terlindas adegan rutin yang biasa terjadi saat para pekerja gajian, mengais rezeki dari perasan keringat dan pikiran selama sebulan penuh. Mereka lakukan semua itu demi keluarga atau sekadar menghidupi diri sendiri. Bila semuanya direnggut, adalah tekanan ekonomi yang bisa memperburuk situasi atau yang tak kita inginkan.

Sore itu Indrajit, Lika, dan para pemain lain duduk lesehan melingkar. Dua remaja datang membawa nampan yang penuh dengan makanan dan minuman.

“Oke, kita break dulu sebelum masuk ke sesi berikut.”

Sulaeman mengamati Lika yang sedang sibuk sendirian. Gadis itu sedang berusaha menusukkan sedotan pada tutup gelas plastik air mineral.

“Sini saya bantu.”

“Makasih. Katanya, wanita harus mandiri?” goda Lika.

“Begitu, ya? Bukan perkara kayak gini, dong? Mandiri itu bisa eksis menjadi diri sendiri, tidak tergantung pada pria. Bisa menunjukkan bahwa dirinya punya kekuatan untuk menata hidupnya sendiri.”

“Ini kan salah satunya. Sedotan ini harus bisa menembus tutup gelas plastik ini. Saya akan berusaha dan harus berhasil melakukannya.”

Sulaeman tertawa, mengambil gelas lain dan langsung menusuknya.

“Sudahlah, minum yang ini. Dari tadi berkutat terus dengan sedotan itu. Kamu haus banget, ’kan? Wanita harus belajar dari pria tentang bagaimana teknik menusukkan sedotan!”

Lika menolak, lalu mencari sedotan lain yang lebih tajam. Mencoba menusuk dan berhasil.

“Saya bukan wanita independen kalau untuk minum saja harus ada pertolongan kaum pria. Pria juga harus belajar menerima kemandirian wanita.”

“Belajar menerima, saling mengisi. Begitu kan maksudmu?”

Lika hanya tersenyum dan menatap Sulaeman.

“Pitaloka itu cantik dan mungkin senyumannya semanis senyummu. Dia cerdas dan punya sikap yang jelas sebagai wanita. Apalagi, di zamannya, wanita cenderung diperlakukan tak lebih dari pemuas hasrat kaum pria. Cuma jadi pelengkap, jadi penyem­purna pandangan sempit para penganut paham patriar­ki, yang merasa bahwa pria adalah makhluk yang paling kuat. Dominasi yang menyesatkan banyak orang untuk berpikir bah­wa para pria berhak menguasai wanita dan nasibnya berada dalam genggam­an mereka.”

“Saya pikir, di zamannya Pitaloka, wanita masih mendapat keleluasaan untuk menunjukkan kemampuan dirinya. Bahkan sebelumnya, ibunda Hayam Wuruk, Tribuana Tunggadewi, jadi pemimpin negara. Mereka meretas dominasi kaum pria untuk menjadi raja. Artinya, emansipasi sudah ada jauh sebelum Kartini hadir di bumi ini.”

“Seorang raja bisa punya selir lebih dari 50 orang. Ini jelas-jelas sudah membuktikan bahwa mereka dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan seksual sang raja. Mereka tugasnya cuma melayani raja, bersolek, beranak. Tak ada pekerjaan lain yang bisa mengaktualisasi mereka.”

“Oke, kalau kita pandang dari sudut itu. Di sisi lain, poligami sang raja melindungi wanita juga….”

“Jadi kamu setuju poligami?” tukas Sulaeman.

“Nggak juga, saya lebih suka poliandri!”

Sulaeman terbahak. Angin bertiup agak kencang. Lika merapatkan jaketnya.

“Coba saja kalau raja itu sembarangan berhubungan dengan wanita. Kasihan, ’kan? Mereka benar-benar hanya pemuas nafsu, tanpa kejelasan status jadi istri atau selir. Anak hasil perbuatan haram itu akan ada di mana-mana. Bagaimana kalau mereka sudah dewasa berebut takhta. Pasti makin ribet, ’kan? Tapi, kalau terkoordinasi begitu, raja tidak sembarangan pilih wanita dan secara politik lebih aman. Lagi pula, keturunan raja jadi jelas, dari selir yang mana. Dan, masalah pewarisan takhta, sudah ada aturannya sendiri.”

“Memangnya kamu mau jadi selir raja atau istri kedua?”

“Jelas tidak, dong. Saya berusaha objektif. Dalam konteks seperti itu mungkin poligami masih bisa diterima. Musuh nomor satu kaum wanita mungkin poligami, ya? Atau, segala macam yang berhubungan dengan soal kesetiaan kaum pria. Kartini saja tidak berdaya saat suaminya menikah lagi.”

“Ketidakseimbangan peran antara pria dan wanita akan menjadi PR yang tak pernah selesai. Ketimpangan itu selalu saja terjadi. Sementara emansipasi dide­ngungkan dan kaum feminis bangkit, ada bagian lain di dunia ini yang tetap patuh pada paradigma yang menganggap kaum wanita warga kelas dua.”

Gerimis malam terlihat jelas tersorot lampu. Lurus menghunus serupa jarum, berpen­daran tersentuh cahaya. Lika mereguk isi gelas plastiknya hingga tandas. Angin berderai mempermainkan gerimis yang tak juga usai.


Wawancara berlangsung lesehan di salah satu sudut ruang pameran. Firman Shabri, seorang pematung terkenal, duduk bersila di depan Lika. Ada beberapa pengunjung. Dua orang murid Firman sedang membuat patung dari tanah liat ditemani anak lelakinya yang berumur 20-an.

“Dalam pameran tunggal kali ini, Anda masih mengusung tema wanita. Mengapa Anda sering menjadikan wanita sebagai tema sentral dari karya-karya Anda?”

Firman berpikir sesaat sambil mengelus-elus kumisnya yang lebat.

“Wanita identik dengan keindahan, suatu inspirasi yang tak ada habisnya bagi saya.”

“Anda juga melihat sisi lain dari wanita?”

Firman menatap lekat. Ada keliaran yang tersembunyikan di dalam matanya.

“Saya suka wanita yang cerdas dan sensual seperti Anda.”

Lika merasa jengah dengan ucapan dan tatapan pria itu.

“Maksud saya, adakah sesuatu yang patut dicermati dalam sosok wanita, selain keindahan fisik dan pesona ragawi?”

“Ya, seperti saya bilang barusan, cerdas!” matanya tak lepas memandang Lika. “Wanita cerdas menumbuhkan sensasi sendiri untuk dituangkan dalam sebuah karya. Bagaimana kita menafsirkan peran wanita dalam masyarakat yang masih berpandangan sempit tentang wanita. Saya ingin memberi penafsiran yang lebih bernas tentang wanita. Ada kekuatan tersembunyi di balik lekuk indah tubuhnya. Seperti Anda, misalnya.”

Sambil bicara, Firman menyentuh lengan Lika. Halus Lika menjauhkan tangannya dari jangkauan pria itu. Firman penasaran, tubuhnya bergerak maju. Lika bergeser, mundur.

“Apakah Anda memilih tema lain untuk karya patung Anda dan mengapa cenderung menggunakan media logam?”

“Tidak, saya fanatik memilih figur wanita sebagai inspirasi terbesar karya saya. Hasil penafsiran dan kontemplasi saya tentang kehidupan dimanifestasikan dalam sosok wanita. Saya akan tetap konsisten dengan hal ini,” Firman menghela napas sesaat. “Media logam saya gunakan karena media ini yang paling tepat untuk menerjemahkan unsur-unsur kekuatan wanita dalam karya saya.”

“Anda bicara bahwa wanita mempunyai nilai-nilai yang lebih esensial dari sekadar pesona ragawi, tetapi karya-karya Anda belum menyentuh hal tersebut. Anda lebih mengedepankan unsur erotisme dan eksploitasi lekuk tubuh wanita, daripada unsur lain yang memperjelas eksistensi wanita. Mengapa demikian?”

“Bila Anda seorang pria, tentu saja tidak akan bertanya seperti itu. Anda akan satu pemikiran dengan saya.”

“Sebaliknya, bila Anda bisa berempati terhadap wanita, Anda tentu akan lebih bisa menghargai sesuatu yang lebih berarti dari sudut pandang berkesenian Anda,” sanggah Lika, cepat.

“Saya hanya memanipulasi pandangan saya agar menghasilkan sebuah karya yang komunikatif. Ah, kecerdasan Anda membuat saya makin bergairah,” ujar Firman, sambil menyentuh punggung tangan Lika.
Lika tersentak, lalu duduk mundur. Firman maju dan mencoba memegang lengan Lika. Lika mundur, Firman mendekat lagi. Lika mencoba bersikap profesional dan mengabaikan keisengan Firman.

“Komunikatif macam apa yang Anda maksud di sini?”

“Seperti yang sedang kita lakukan. Sayang, kita terlambat bertemu, kalau saya masih muda tentu Anda tak akan menolak saya.”

Firman mencolek lengan Lika, gadis itu terkesiap. Mereka saling bertatapan. Waktu bagai sekam yang siap meletupkan bara.

“Kalau Anda mencolek lagi, saya tampar,” ancam Lika.

Pria itu tersenyum mengejek.

“Hmm... saya suka wanita galak, membuat saya lebih terangsang. Pukul saja keras-keras, dulu saya pernah jadi petinju, kok.”

Firman mencolek pinggang Lika, refleks Lika menampar pria itu dengan sangat keras, lalu berdiri. Firman tersungkur, kacamatanya terjatuh, Lika memungutnya. Wajah Firman merah padam, dia sama sekali tak menyangka Lika akan melakukan tindakan secepat itu.

“Saya bilang, jangan sentuh saya,” sergah Lika. “Saya menghormati Anda sebagai seniman senior dan narasumber saya, tapi jangan coba-coba melakukan hal tidak sopan seperti ini.”

Firman bergerak mundur, perlahan, mengangkat kedua tangannya. Anak Firman yang sedari tadi terpana akhirnya bangkit menghampiri mereka.

“Jangan dekat-dekat,” bentak Lika kasar. Pemuda itu mengurungkan niatnya.

“Maaf. Saya mohon maaf, saya hanya bercanda....”

“Bercanda Anda sudah kelewatan.”

Firman bergerak mundur, Lika menahan langkahnya sambil membuang napas. Seorang satpam melintas tidak jauh dari mereka.

“Saya bisa melaporkan perbuatan Anda pada polisi dan wajah Anda akan menghiasi semua koran yang terbit di kota ini. Anda memang berada di waktu yang tepat, saat kasus pelecehan seksual sedang jadi sorotan masyarakat....” Suara Lika pelan dan tajam.

Sekelompok anak sekolah bergerombol memasuki ruang pameran. Lika berbaur dengan mereka, meninggalkan Firman Shabri yang masih kehilangan kata-kata untuk bicara.

Latihan sudah dari tadi selesai. Lika duduk sendirian, sambil menikmati pemandangan Bandung menjelang malam. Lampu-lampu mengerlip nyala, rumah dan gedung-gedung samar bentuk. Hanya berupa siluet yang saling menumpuk, kota ini sudah makin sesak, Lika menghela napas. Ia merenungi beberapa kejadian yang dialaminya. Keberadaan kaum wanita di zaman serba canggih seperti ini, belum juga menjadi lebih baik.

Sulaeman duduk di sebelah Lika.

“Belum pulang? Tumben, biasanya pulang cepat, apalagi kalau dikejar deadline, itu kaki seperti punya roda.”

“Ah, sedang ingin santai, pekerjaan saya sudah beres.”

“Santai atau santai? Wajahmu tegang begitu.”

Lika tersipu. Sulaeman sibuk mencari korek api di saku kemeja dan celananya. Tidak ada. Lika tersenyum lega, untuk beberapa saat ia akan terbebas dari asap rokok.

“Senang, ya, saya tak bisa merokok? Punya sesuatu yang menarik untuk diceritakan?”

Pancingan Sulaeman mengena. Lika membuka mulutnya.

“Apa yang dilakukan Pitaloka di akhir adegan memang mewakili ketidakberdayaan kaum wanita untuk mempertahankan eksistensinya....”

“Dikatakan tidak berdaya bisa saja, mungkin yang lebih tepat itu sebuah perlawanan secara parsial, tapi bicara global. Meski semua itu harus dia bayar dengan nyawanya sendiri, itu menjadi simbol abadi perlawanan kaum wanita terhadap dominasi kaum Adam dan otoritas politik yang tidak mengenal kesetaraan gender.”

“Saat melihat kenyataan bahwa dengan mudahnya pria merendahkan kaum wanita, memperlakukan kami layaknya sebuah benda pencipta kesenangan, saya merasa sia-sia, karena saya sama tidak berdayanya dengan mereka. Saya ingin seperti Kartini, Pitaloka, atau siapa pun yang berpikir bahwa wanita bukan sekadar benda bernyawa yang bisa diperlakukan sesukanya.”

“Kalau tidak salah dengar, saya menangkap kegetiran yang sangat. Seakan-akan kamu menjadi bagian dari ketidakberdayaan itu.”

“Lebih tepat lagi, jadi korban!”

Sulaeman tercekat dan berkata dengan nada khawatir. “Tapi, kamu tidak apa-apa, ’kan...?”

Lika menggeleng pelan. “Orang itu mencolek pinggang saya, lalu saya tampar dia dengan keras!”

“Hmm... syukurlah kalau begitu.”

Lika menceritakan apa yang ia lakukan terhadap pria yang mengganggu gadis resepsionis di kantornya. Sulaeman terbahak. Malam makin pekat. Suara serangga malam makin kerap.

Seperti orang lapar melihat makanan, mata Lika menyambar buku-buku yang terpajang rapi. Toko buku itu tak seramai biasanya. Musik instrumentalia lembut mengalun. Seorang satpam berbaju preman bolak-balik mengitari rak buku, seakan-akan mencari sesuatu yang tidak ada. Lika menarik sebuah buku. Ada tangan lain mengambil judul yang sama.

Sambil membolak-balik halaman buku, pemilik tangan itu bersuara. “Hmm... kamu mau jadi feminis?”

“Memangnya, kalau membaca buku feminis, otomatis pemikir­annya jadi feminis juga?”

Orang itu menoleh. Lika berusaha menyimpan rasa kagetnya, tak menyangka kalau pemilik tangan itu Indrajit.

“Sedikitnya, pasti ada pengaruhnya bagi yang membaca.”

“Cuma mencari referensi, kok, agar menjiwai apa dan bagaimana kaumku. Sekadar tambahan untuk menjiwai karakter Pitaloka.”

“Kenapa tidak membaca novel trilogi-nya Tasaro. Judulnya Pitaloka juga. Kukira itu yang lebih pas, lebih Timur daripada produk Barat yang kau baca.”

Mata Lika membesar. “Kamu pernah baca? Buku baru, ya?”

“Pinjam teman. Sudah lama juga, yang sekarang cetakan ke-....”

Lika langsung beranjak ke komputer database buku, meninggalkan Indrajit yang belum menyelesaikan kalimatnya. Lalu dia memanggil petugas untuk membantu mencari buku itu.

Tak lama kemudian, Lika muncul menenteng dua buah buku.

“Terima kasih, ya, informasinya. Biar cuma novel kesatu dan keti­ga, lumayan aku jadi punya bahan.”

“Nanti kutanya temanku, mungkin dia masih menyimpannya.”

Lika tersenyum, menatap Indrajit.

“Terima kasih banget, ini sudah lebih dari cukup.”

Indrajit menikmati senyum Lika yang baru kali ini ditujukan padanya. Senyum paling indah dari gadis manis yang selama ini sering bersikap judes dan galak pada pria bernama Indrajit. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas yang sudah di depan mata.

“Sudah makan siang belum? Kita makan, yuk.”

Lika mengiakan. Tumben. Indrajit tak dapat menyembunyikan kegirangannya. Dan, siang itu menjadi sangat sejuk, meski di luar mentari garang dengan panasnya yang terik. Jalanan hiruk pikuk terperangkap kemacetan yang membosankan.

Ruang redaksi riuh seperti biasa. Malam akan menjadi panjang karena hari ini deadline. Beberapa orang menyeduh kopi pelawan kantuk. Belum lima menit Lika duduk, Pak Willy sudah ada di hadapannya. Mata pria tua itu begitu tajam, seakan memaksa Lika untuk bicara apa saja yang ingin didengarnya.

“Kenapa tidak cerita soal Firman Shabri itu pada saya?”

Lika tercekat. “Maksud Bapak hasil wawancara dengan pematung itu?”

“Apa yang kau alami, seharusnya diceritakan padaku!”

Lika mulai menangkap arah pembicaraan Pak Willy. Matanya nanar, mencari seseorang. Siapa lagi kalau bukan Edo yang membocorkan cerita itu, karena hanya pada Edo, Lika bercerita. Tapi, anak itu tak kelihatan batang hidungnya. Pak Willy memberi isyarat agar Lika ikut ke ruangannya.

“Seharusnya kau menceritakan kejadian itu, minimal kepada saya sebagai atasanmu, karena kejadiannya saat kau bertugas.”

“Saya mohon maaf, Pak.”

“Apa yang sering kita bicarakan belakangan ini ternyata menimpa dirimu. Ironis.” Pak Willy membuka tutup termos kecil.

“Tapi, kamu baik-baik saja, ’kan?” ujarnya, dalam kekhawatiran seorang ayah. “Biasanya suka teh manis, saya buatkan, ya?”

Lika hendak mencegah, tapi tangan kokoh itu sudah bergerak cepat. Mereka mengobrol sambil menikmati hangatnya teh tubruk ala Pak Willy.

“Insiden itu tidak serta-merta menciptakan stereotip bahwa semua pria mempunyai karakter yang tidak terpuji.”

Pak Willy mengaduk tehnya pelan-pelan. Lika memerhatikan dengan saksama bagaimana pria yang baik dan sabar itu menyeruput teh yang masih agak panas. Bunyi seruputan yang khas terdengar. Pak Willy sangat menikmatinya, Lika tersenyum. Tak mau kalah, ia pun meniru. Hmm.... ada kenikmatan yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata dan ini adalah sesuatu yang sangat sederhana.

“Mungkin kau sering menemukan orang-orang atau kejadian yang tak jauh berbeda. Tapi, tak perlu khawatir, masih banyak pria sopan dan bermoral yang memperlakukan wanita dengan santun dan penuh penghormatan.”

Lika tak menanggapi kata-kata Pak Willy. Ia sibuk dengan aktivitas barunya, dengan seruputan yang terdengar lebih keras bila bibirnya menyentuh tepian cangkir. Giliran Pak Willy yang memerhatikan kelakuan Lika. Merasa diperhatikan, pipi Lika agak memerah.

“Kau tetap wanita, Lika, suatu saat membutuhkan seseorang untuk melindungimu.” Suara Pak Willy mengalir sejuk.

“Jangan lupa, perasaan-perasaan itu akan muncul dengan sendirinya, bila kau menemukan orang yang tepat. Perasaan itu takkan mampu kau hindari.”

“Saya mengerti dengan apa yang Bapak sebut perasaan itu.” Lika membetulkan letak duduknya. “Mungkin Bapak benar, tapi saya belum memikirkannya. Saya hanya membiarkan hidup ini mengalir apa adanya.”

“Belajarlah menerima seseorang,” ujar Pak Willy, tanpa basa-basi. “Tak ada sa­lahnya mulai menaruh harapan pada orang yang patut kau percayai.”

“Wah, jangan-jangan Pak Willy mau menjodohkan putra Bapak dengan saya!” Lika berusaha mencairkan suasana.

“Ah, anak saya perempuan semua....”

“Mungkin itu yang menjadikan Bapak lebih bisa memahami wanita.”

Lika meraih gelas teh manisnya, meneguk sedikit, sambil memandang ke arah Pak Willy. Pria itu menatap lurus, kembali ke topik pembicaraan semula.

“Saya memahami perasaanmu, tapi kita tak bisa membiarkan rasa kehilangan itu merajai kita. Ada yang lebih berharga daripada semua kenangan itu, yaitu apa yang ada di depan langkahmu.”

Lika mengerti, yang dimaksud Pak Willy itu adalah almarhum kekasihnya. Tapi, dia tak perlu tahu bahwa Lika juga kehilangan figur seorang ayah selama empat perlima masa hidupnya. Sejak ayah Lika meninggalkan mereka dengan segenap goresan luka yang belum pernah pulih hingga saat ini.

Bekas jahitan di wajah ibuku sudah cukup bercerita tentang apa yang terjadi semasa aku masih balita.

Hari Minggu, Lika bangun agak siang. Lampu ruang tengah apartemennya masih menyala, televisi pun masih bersuara. Sisa popcorn tadi malam tak berubah sedikit pun posisinya. Lika menggeliat. Perasaan sunyi tiba-tiba menyelinap di hati.

Ia melenguh dalam hati. Rasanya pagi ini capek banget. Hari berganti seperti daun-daun gugur, tanggal dan tak bisa tumbuh lagi.

Hmm.... sudah lama aku tak menelepon Bunda.

Ia beranjak dari sofa, membuka jendela lalu berjalan ke teras. Silau cahaya matahari membuatnya spontan memejamkan mata. Jalan raya di bawah sana masih sepi. Satu dua mobil melintas, beberapa orang jogging di trotoar.

Titik-titik embun sudah lama membias, seperti juga hari-hari dalam hidupku membias lepas tanpa terasa. Apa yang kucari selama ini? Ah... kenapa aku jadi sentimentil seperti ini.

Kemarin Shinta memberi kabar, anak pertamanya lahir. Laki-laki. Suaranya begitu ceria seakan dunia berada dalam genggamannya.

”Kapan kamu nyusul?” tanya Shinta, di sela-sela tawa renyahnya.

Lika tiba-tiba menjadi gagap, ada satu relung kehidupan yang belum juga dijamahnya.

Lika menghela napas. Ia tak boleh larut dalam situasi seperti ini. Jendela dibiarkan terbuka lebar. Televisi dimatikan, berganti alunan musik instrumentalia. Ia duduk bersila, memejamkan mata. Mengosongkan isi benak yang bergerumun. Mengatur helaan napas dan membiarkannya mengalir dalam setiap milimeter rentang tubuhnya.

Di benaknya melintas serpihan ke­nangan yang terkadang masih merajai benaknya. Kekasihnya yang kini entah berada di mana, hilang bersama pesawat yang ditumpanginya dua tahun silam.

Masa berkabung itu terlalu panjang, aku harus menata hari yang baru dan belajar menerima seseorang mengisi hari-hari berikutnya.

Aliran udara itu terdorong keluar. Bersama kenangan yang sudah selayaknya pupus bersama waktu. Lika menarik napas, mengumpulkan segala yang menggumpal dalam dada dan isi kepala. Membiarkan semua menjalari setiap milimeter tubuhnya, membiarkan bersenyawa dengan udara. Lalu diembuskannya, dibiarkan udara itu mengalir keluar melalui rongga mulutnya.

Sulaeman memberi aba-aba. Lika konsentrasi penuh. Latihan berjalan lancar, Sulaeman tersenyum dan mengacungkan jempol. Saat break, Lika dan Indrajit terlibat percakapan hangat dengan Sulaeman.

“Kamu benar-benar Pitaloka, deh, sekarang,” puji Indrajit, spontan.

Sulaeman tak berkomentar banyak. Bagi Lika, acungan jempol pelatihnya usai latihan tadi cukup mewakili apa yang ingin disampaikan pria separuh baya itu.

“Kamu perlu menjaga intensitas penjiwaanmu. Jangan sampai kehilangan irama permainanmu yang sudah mengalir itu.”

Sulaeman bergegas pulang. Tinggal Lika dan Indrajit. Tak ada satu pun kata yang terucap di antara mereka, sampai Sulaeman tak kelihatan punggungnya. Sampai beberapa saat kemudian.

“Kamu sudah sarapan?” suara Indrajit memecah kebekuan. Lika mengernyitkan alisnya.

“Makan siang maksudmu? Lagi pula, ini, kan, sudah sore, sebentar lagi gelap.”

“Ya, cuma tanya saja, sih, biar ada bahan pembicaraan.” Indrajit tersenyum, matanya menatap dalam.

“Ngomong-ngomong suatu saat kalau kita menikah gimana ?”

Gadis itu sama sekali tak menyangka kalimat akan meluncur begitu saja dari bibir pria di sampingnya. Beberapa jenak Lika tak mampu bersuara, sampai sebuah kekuatan terhimpun untuk mengucapkan beberapa patah kata.

“Tidak mungkin kau jadi kekasihku, apalagi menikahiku.”

Giliran Indrajit yang terkesiap, semesta kekecewaan mulai hinggap meruap di wajahnya.

“Kenapa?”

“Incest...,” ucap Lika, singkat.

Wajah Indrajit makin tak keruan, kakinya gelisah digoyangkan ke atas dan ke bawah berulang-ulang.

“Maksudmu...?”

Lika menghadapkan wajahnya pada Indrajit, matanya bersinar jenaka.

“Kau kan ayahku!”

Indrajit tersenyum garing, berusaha menahan perasaannya yang dikelabui.

“Oke, Pitaloka, aku ayahmu. Mulai saat ini kularang kau berpacaran dengan pria mana pun selain pemain teater yang pengusaha itu.”

Tawa Lika pecah, mimik wajah Indrajit tampak sangat lucu di matanya.

“Maksudmu, Indrajit? Pria yang hobinya makan?”

Kebekuan itu mencair, tawa mereka berderai lepas. Indrajit menikmati keceriaan yang mulai hadir di antara mereka. Meski Lika tak menjawab lamarannya tadi, ia berpikir itu soal nanti. Nikmati saja apa yang terjadi saat ini!

Pementasan teater Pitaloka mulai gencar dipublikasikan. Meski pementasannya masih sebulan lagi, tim publikasi sudah mulai merancang spanduk-spanduk yang akan dipampang di seantero kota.

Acara tumpengan yang dilanjutkan jumpa pers digelar di teater terbuka Gedung Kesenian. Usai selamatan yang dihadiri produser, latihan berjalan seperti biasa. Beberapa stasiun televisi membuat liputan langsung. Berlatih di bawah sorot kamera membuat para pemain punya energi berlebih untuk tampil sebaik mungkin.

Hari berikutnya wajah mereka menghiasi lembaran budaya media massa. Edo menurunkan artikel feature-nya di majalah Srikandi. Menurut Edo, Kelompok Teater Bulan Persegi menghidupkan kembali sosok Dyah Pitaloka untuk menggugat eksistensi wanita di zaman yang masih patriarkat ini.

Dunia memang milik pria. Sejak Adam diciptakan, wanita dianggap simbol kelemahan yang menjerumuskan kaum pria. Memperdayakan para pria demi memuaskan keinginannya. Makhluk cantik itu memiliki daya persuasif yang membuat para pria melanggar sebuah tatanan yang harus ditaati, membuat mereka larut dalam sebuah dikotomi yang sempurna untuk menempatkan wanita pada sisi terpuruk yang paling buruk. Lalu, kenapa pria diciptakan sebagai makhluk perkasa yang tidak tahan godaan?

Waktu pementasan makin dekat. Lika memusatkan segenap perhatiannya. Bagaimanapun, ini sebuah kepercayaan besar yang diberikan pada dirinya. Menjadi pemeran utama sebuah pementasan teater bukan hal baru, tapi kali ini Lika merasa ada sesuatu yang menggerakkan dirinya untuk tampil semaksimal mungkin, sebisa dia lakukan.

Pitaloka memberi napas yang berbeda. Ia merasa ada sebuah perjuangan di dalamnya, suatu pencerahan yang dapat mengukuhkan eksistensi wanita untuk tampil menjadi dirinya sendiri di tengah arus globalisasi yang sudah merebak ke segala penjuru hati dan pemikiran.

Tulisan Edo dan para budayawan di media massa menjadi promosi gratis yang kian mendongkrak popularitas pementasan Pitaloka. Dua minggu sebelum hari pementasan, 75% tiket sudah terjual. Di rubrik Surat Pembaca sebuah harian, seorang penggemar teater menganjurkan agar Pitaloka tidak hanya dipentaskan dua kali dalam satu hari saja.

Kritikus teater terkenal, Arthur, dalam ulasannya menyebutkan banyak orang menantikan pementasan teater yang digarap serius seperti Pitaloka. Ia menulis, masyarakat berharap banyak agar pementasan ini memberi napas baru bagi perkembangan teater di tanah air. Sebuah paradigma baru yang akan memotivasi para pekerja teater untuk menghasilkan karya yang menggali budaya tradisional.

Empat orang tukang memasang billboard besar di halaman luar Gedung Kesenian, depan pintu masuk. Rentangan pipa-pipa besi saling bersilang itu, menjadi penyangga yang kokoh. Diperlukan angin sekaliber badai untuk merobohkannya.

Lika tersenyum sendirian, jemarinya bergerak menarik rem tangan. Dari kejauhan billboard itu tampak mencolok. Didominasi warna merah dengan latar siluet adegan perang antara pasukan Kerajaan Sunda dan laskar Kerajaan Majapahit, poster raksasa itu seakan sebuah magnet yang menarik rasa ingin tahu siapa pun yang melihatnya.

Di billboard, Lika melihat dirinya berkostum seorang putri kerajaan enam abad yang silam. Tak ada yang aneh di situ, seakan ia sudah sangat familiar dengan atribut seperti itu. Jangan-jangan dia reinkarnasi Dyah Pitaloka? Ah, segera ditepiskannya pikiran yang mulai meruak tak kenal ujung.

Aku tidak percaya reinkarnasi itu ada!

Para pemain sibuk mencoba kostum. Ada yang kedodoran atau kekecilan. Sesekali terdengar suara cekikikan, melihat penampilan temannya yang tampak lucu. Mereka jadi asing dengan penampilannya sendiri. Tapi, itulah risiko memerankan orang lain, harus menanggalkan segenap identitas diri untuk masuk ke dalam ’baju’ seseorang, sekaligus menjiwai pribadi dan pemikirannya.

Di ruang ganti, Lika mematut-matut diri di depan cermin besar yang berukuran lebih tinggi dari ukuran tubuhnya. Tidak ada satu alasan pun yang dapat menolak bahwa ia melihat sesosok wanita lain. Namun, ia bersikeras, dengan kostum seperti ini atau pakaian abad milenium pun ia tetap seorang wanita bernama Lika.

Tapi, jangan-jangan reinkarnasi itu benar-benar ada!

Lika menggumam sendirian. Bulu kuduknya serasa merinding. Ia menatap matanya sendiri.

Suara orang datang membuka pintu, membuyarkan percakapan batinnya. Lika menoleh sesaat ke arah pintu. Astaga, aku lupa menguncinya! Belum habis rasa kaget itu, seraut wajah muncul. Mata itu begitu lekat memandang. Senyumnya yang ia kenal, membuat Lika sedikit lega.

“Ini ruang ganti wanita, ngapain ke sini?”

Senyum itu kian melebar. “Ini, tolong kasih tanda, gelang di pangkal tanganku kebesaran.”

Lika mengambil peniti lalu menyematkannya, menandai ukuran lingkar lengan Indrajit yang sebenarnya. Tanpa sadar Lika membenahi kemben yang agak longgar. Ternyata gerakan itu tak luput dari perhatian Indrajit.

“Kenapa? Perlu aku kasih tanda dengan peniti supaya lebih pas?” Indrajit mendekat, jarak mereka begitu dekat. Lika tak menanggapi. Didorongnya dada Indrajit dengan lembut ke arah pintu.

Tengah malam Lika terbangun. Badannya berkeringat. Jarum jam menunjuk angka dua. Rasanya aku bermimpi, tak berbentuk. Abstrak. Tapi, semua itu jelas sebuah mimpi. Lantas, kenapa aku bangun berkeringat seperti ini, mimpi burukkah? Atau, mimpi indah yang tak terdeteksi? Yang hanya dapat dirasakan dan diterjemahkan alam bawah sadarku.

Rasa lapar menyengat lambungnya. Lika melangkah terpatah ke ruang tengah. Popcorn habis. Biskuit bersaput cokelat ada beberapa, lumayan. Segelas susu hangat dengan cepat terhidang di depannya. Televisi tak punya sinyal lagi. Satu hari alias dua puluh empat jam berlalu tanpa menyisakan sesuatu yang bisa dinikmati kemudian.

Kecipak air di akuarium membuat Lika menoleh. Ikan-ikan itu, kapan mereka tidur? Mata-mata yang lucu itu selalu terbuka, tak ada seorang pun yang pernah memergoki mereka menutup kelopak matanya. Apakah mereka bermimpi juga?

Lika masih berusaha mengingat mimpi itu, tapi tak pernah berhasil. Mimpi buram yang tak terbaca. Yang jelas, ada rasa lelah begitu menyita. Sebuah ketakberdayaan yang azali. Suara kecipak air mengembalikan Lika pada dunia nyata. Jangan biarkan mimpi mengalahkan kemurnian hidup yang perlu dijalani setiap titik prosesnya.

Dibasuhnya wajahnya dengan air hangat. Rasa segar mulai mengalir, mengenyahkan segenap rasa kantuk yang menggayut. Lika tepekur di depan komputer, jemarinya bergerak menuangkan segala yang ada dalam benak. Apa saja, ia mengosongkan seluruh isi pikirannya. Nama Indrajit terketik beberapa kali. Mengapa Indrajit?

Hari itu tampang Indrajit kelihatan serius.

“Nanti pulang latihan, kamu ikut aku, ya?”

“Tak bisa Ndra, hari ini deadline,” sekilas Lika menangkap aroma kekecewaan di wajah Indrajit. “Aku punya sesuatu. Sangat rahasia, jangan bilang siapa-siapa! Bapakku punya kerisnya Pitaloka, asli!”

“Ah, bagaimana ayahmu bisa mendapatkan keris itu?”

“Kamu lupa, ya, bapakku arkeolog. Dia punya seribu kemungkinan untuk mendapatkan benda-benda seperti itu! Usahakan datang, ya, mumpung masih ada. Kalau dibawa bapakku lagi, otomatis peluang emas ini hilang!”

Rumah itu terlalu besar untuk dihuni dua orang pria lajang seperti Indrajit dan ayahnya. Sunyi dan lengang menjadi unsur yang paling dominan. Halamannya luas ditanami aneka pohon buah-buahan. Ada jambu bangkok, mangga, rambutan, bahkan durian.

“Rasanya seperti di rumah nenek...” ungkap Lika polos, saat Indrajit mematikan mesin mobilnya.

“Kenapa?”

“Suasananya sejuk sekali. Jadi ingin bikin rujak.” Mata Lika menyapu sekelilingnya. “Tapi, masih ada buah yang kurang. Duku dan bangkuang.”

Indrajit tersenyum lunak. Dibawanya Lika ke ruang tamu yang dindingnya penuh foto. Lalu, ia masuk ke dalam dan kembali lagi dengan dua gelas minuman dingin.

“Hmm... segar. Aku baru tahu bahwa mentimun bisa dibikin minuman seperti ini.”

“Tidak susah membuatnya. Pakai ketimun yang sedang, jangan terlalu tua. Dibuang bijinya, lalu dirajang kasar,” tutur Indrajit antusias. “Pakai gula putih cair yang sebelumnya direbus dengan pandan dan sedikit vanila. Supaya air gula tidak keruh, selagi merebus, masukkan putih telur mentah. Tidak bakal amis, kok. Nanti busa dan kotorannya akan terangkat ke permukaan.”

“Kok, kamu tahu cara membuatnya?” Lika takjub.

“Ini kesukaan almarhum ibuku. Kamu harus bisa bikin ini.”

“Kenapa harus?”

“Kata ibuku, calon menantu memang harus bisa.”

“Kamu, kok, yakin banget, aku bakal menikah dengan kamu?”

Lika tertawa renyah, lalu mengalihkan perhatiannya pada foto-foto yang tersusun rapi di dinding. Indrajit kecil sangat mudah dikenali lewat senyumnya yang khas. Di beberapa foto, ia tak pernah jauh dari sisi sang bunda. Ibunya memang cantik, anggun layaknya putri-putri keraton. Rambutnya yang hitam lebat kadang dibiarkan terurai. Ayah Indrajit lebih ganteng daripada anaknya.

“Bapakku mirip Indiana Jones, kan?” tanya Indrajit, yang muncul dengan segelas es ketimun. Gelasnya yang berembun menawarkan kesegaran oase di tengah kemarau panjang.

“Iya, bapaknya ganteng, ibunya anggun seperti putri keraton, anaknya, kok, parah seperti ini. Jangan-jangan tertukar sama anak orang lain waktu di rumah sakit.”

“Nggak mungkin. Aku lahir di rumah Eyang. Tetangga juga tidak ada yang punya bayi sebesar aku. Jadi, tidak mungkin aku tertukar,” Indrajit menengadahkan kedua belah tangannya ke samping sambil mengangkat bahu dengan mimik wajah jenaka. “Apa susah­nya mengakui dan belajar menerima kenyataan bahwa yang di depanmu ini punya wajah di atas rata-rata....”

Lika tertawa tertahan. “Maksudmu spesies terakhir dari makhluk langka yang nyaris punah?”

Indrajit tersenyum masam.

Seorang pria separuh baya menghampiri mereka. Pamitan. Indrajit merogoh sakunya. Diselipkannya sejumlah uang ke tangan yang sudah mulai keriput dimakan usia. Wajah pria itu tampak kegirangan.

“Dia tak menginap di sini ?”

“Biasanya, nginap. Tapi, hari ini aku suruh pulang. Biar Pak Giyo mengajak jalan-jalan cucunya yang baru datang dari kampung.”

Suara buah jambu yang berjatuhan diterpa angin, terdengar jelas. Udara dingin menyelinap dari balik daun jendela yang terbuka tak terlalu lebar.

“Lalu, mana keris Pitaloka yang ingin kau tunjukkan?”

Indrajit beranjak dari duduknya. Mengajak Lika ke ruang sebelah yang lebih luas. Sebuah grand piano tampak megah di dekat jendela. Beberapa lukisan lama yang masih terawat baik menghiasi sisi-sisi dindingnya. Sebuah lemari kaca berisi benda-benda kuno yang disusun rapi mirip museum. Beberapa catatan di kertas karton kecil yang dilaminating tergeletak begitu saja. Ada juga karton yang diberi benang, lalu diikatkan pada benda-benda itu.

“Ini ruang kerja bapakku.” Ia mengambil sebuah kotak kayu berpelitur warna mahoni, membukanya perlahan dan sangat hati-hati.

“Kamu bisa main piano?”

“Sedikit, yang pandai main ibuku, bapakku lebih lumayan dibanding aku.” Indrajit mengangsurkan sebilah kujang kecil yang beberapa senti lebih panjang dari telunjuk orang dewasa.

“Bentuk kujang atau keris seperti ini disebut juga patrem, dipakai sebagai senjata rahasia para wanita di zaman dulu untuk melindungi dirinya. Ada yang terbuat dari emas, besi, dan kuningan tergantung strata sosial. Mereka menyimpannya di tempat-tempat tersembunyi yang strategis, diselipkan di stagen misalnya,” tutur Indrajit. Ditariknya hulu kujang kecil itu kemudian disimpan di telapak tangan Lika.

“Coba hirup...,” ujarnya. Lika menuruti kata-kata Indrajit.

“Wangi. Aku, kok, jadi merinding, ya?”

“Itu karena kamu terlalu menghayati momen ini dan pemilik kujang ini bukan hal yang baru bagimu. Kamu sudah menjiwai sosoknya.”

Suara Indrajit rasanya terdengar jauh, seperti berada dalam dimensi lain. Ada perasaan melambung yang membuat Lika serasa tak berpijak di atas tanah. Seribu bayangan bercampur adegan peperangan melintas berkali-kali dalam benaknya. Mungkin Indrajit benar, aku terlalu merasa terlibat dengan tokoh yang kuperankan.

“Aku pulang, ya, sudah malam,” tukas Lika, setelah mereka terlibat percakapan ke sana kemari. Menyimak segala cerita tentang koleksi benda-benda kuno ayahnya. Dia begitu fasih menceritakannya seakan seorang arkeolog yang menemukan benda-benda bersejarah itu.

“Baru pukul delapan. Pulangnya pasti kuantar.”

Indrajit menatap lekat. Lika balas menatap, mencoba mencari tahu apa yang ada dalam benak pria itu. Indrajit bergerak mundur, menjauh. Lika menghela napas.

Pria itu berjalan ke arah piano.

“Kamu tidak boleh pulang sebelum mendengar lagu ini,” senyum itu tak lepas dari bibirnya.

Sebuah lagu mengalun. Lika memusatkan pendengarannya. Lagu itu sepertinya sudah kukenal. Indah dan riang.

“Naik-naik ke puncak gunung. Bravo, bagus sekali,” teriak Lika spontan, sambil bertepuk tangan. Indrajit mengakhiri lagunya. Ia segera berdiri menghormat layaknya seorang maestro yang mendapat standing applaus usai pertunjukan.

“Kok, bisa berubah begitu? Tapi, aku tetap bisa mengenali lagu yang kamu mainkan?”

“Namanya juga improvisasi.”

Indrajit duduk di samping Lika. Wanita muda itu menatap penuh kekaguman. Ada energi keterpanaan yang sukar diterjemahkan dengan kata. Indrajit melekatkan tatapnya. Lika balas menatap. Sampai suatu ketika bibir mereka saling bertaut. Lika balas memagut. Indrajit memperlakukannya dengan sangat lembut.

Kecupan Indrajit tak berhenti sampai di situ. Dikecupnya mata yang separuh terkatup. Dikecupnya rambut hitam yang wangi itu. Dikecupnya bagian belakang telinga Lika, sampai ia kegelian. Dikecupnya apa yang bisa ia kecup sepenuh perasaan yang sudah kian panas menjadi bara.

Lika berusaha mengelak, tapi tenaganya rasa terkuras habis. Ada segenap rasa yang menolak, ada pula separuh rasa ingin menyambut. Lika tersentak. Menyergah tubuh Indrajit yang menyergapnya. Keris itu!

Ia mencoba bergeser sedikit ke ujung sofa, agar keris kecil itu tergapai tangan. Berulang kali ia menggapai, sia-sia juga yang tercapai. Indrajit menciumi pangkal le­ngannya, naik ke bahu yang terbuka. Bajunya sudah tak keruan, tapi Lika tak berhasil melepaskan diri. Sekuat tenaga ia menarik kemeja Indrajit sampai robek. Habislah tenaga terakhir yang ia miliki. Rasa lemas kian meraja, berganti seratus kepasrahan yang tak juga usai.

Malam yang belum terlalu malam menjadi sangat hitam, melebihi segala jenis kelam. Begitu nyeri tanpa terperi! Tetesan bening air mata yang jatuh bergulir tak putus-putusnya menambah rasa perih yang merajai sekujur tubuhnya. Aku seperti seekor cacing yang terkulai tak berdaya di ujung paruh burung gereja. Menggelepar, bagai benda tak berharga tanpa guna.

“Aku akan segera menikahimu usai pementasan drama kita,” bisik Indrajit. Pria yang merampas tanpa belas itu bangkit. Memainkan lagi pianonya.

Semalaman Lika mengetik artikel opininya. Mengetik dan terus mengetik. Buku-buku bergeletakan di sofa, tempat tidur sampai ke kamar mandi. Remah-remah popcorn bertebaran. Air di akuarium tampak keruh, ikan-ikannya berenang pelan tanpa gairah.

Pagi harinya, ia berendam. Membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam luapan busa yang berlimpah. Rasa segar memang ada, tapi aroma tubuh Indrajit seakan tak mau hilang walau berbotol-botol bathfoam ia tuangkan. Padahal, peristiwa itu berlangsung tiga hari yang lalu. Mengapa wangi tubuhnya masih tercium ujung hidungku?

Lika bangkit, diraihnya tape kecil dari sisi wastafel. Sebuah lagu mengalun, tapi kenapa nada-nada itu serasa mengiris batinnya, perih. Tape dimatikan, kasetnya diganti. Lagu berikutnya masih serupa pisau, tajam dan menguak luka. Kaset diganti lagi, dua kali. Jenis lagu apa pun, yang dinamis, instrumental, jazz, semua sama: nada itu tak pernah berubah, penuh sayatan-sayatan luka yang terluka lagi.

Sore ini mereka akan latihan, Lika tak ingin membayangkan apa yang akan terjadi bila ia bertemu Indrajit. Sebelumnya, telepon tak pernah ia angkat, SMS-nya tak juga dibalas. Ketukan berulang, panggilan penuh sayang dan rasa khawatir di pintu apartemennya, tak pernah digubris.

Seberat apa pun beban yang membe­lenggu pikirannya, Lika tak ingin pementasan teater itu urung dipertunjukkan. Banyak orang yang menaruh harapan di situ, mempertaruhkan karier dan kemampuan. Memperjuangkan sebuah lahan hidup dalam bidang kesenian yang kerap dianggap lahan kering. Wajah Sulaeman membayang, seluruh pemain yang hampir semuanya bertumpu pada bakat dan keahliannya berperan, menjadi gelembung-gelembung sabun yang memenuhi isi kepalanya.

Lika meraih handuk, lalu membungkus tubuhnya. Sebagian kulit kaki dan telapak tangannya memutih, karena kelamaan berendam. Di depan kaca, dengan sangat masygul ia menatapi sekujur tubuhnya.

Di atas teater terbuka, langit murung mengelabu. Kalau saja teater ini terletak di tepi pantai, Lika akan berlari sekuatnya menuju ombak yang bergelombang. Akan dibiarkan ombak itu membawa dirinya ke mana pun ia pergi. Menuju dasar samudra, menjelajahi lautan lima benua atau tersedot pusaran air yang tak berujung. Kalau saja ia bertemu kekasihnya, rasa kehilangan itu akan sirna. Rasa hina itu akan karam bersama ombak.

Tapi, ini dunia nyata. Di hadapannya berdiri seorang pria bernama Indrajit, pria yang membuatnya tersiksa setiap bangun pagi.

“Ayo, kita ulang lagi adegan tadi, ini latihan terakhir sebelum gladi resik lusa nanti!” suara Sulaeman yang khas, berat dan sedikit serak, mengusik lamunannya. Mereka mengulang adegan itu, lebih dari satu kali. Pikiran dan konsentrasi Lika terbelah.

“Lika aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku, aku akan segera menikahimu. Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu,” bisik Indrajit cepat, mencuri kesempatan dalam kesempitan. Tanpa diduga Lika menampar Indrajit keras-keras. Indrajit kaget, di depannya Lika tersenyum, sangat sinis. Semua terkesiap.

“Cut! Sebentar, tak ada adegan menampar dalam skenario!”

Sulaeman memberi isyarat agar Lika mengikuti dirinya. Latihan tetap berlangsung tanpa Lika.

Di ruangan kerja Sulaeman yang berantakan, Lika terduduk lesu.

“Kamu kenapa? Ada masalah?”

Lika tak menjawab, menatap Sulaeman dalam-dalam, matanya menyimpan kegetiran yang sangat.

“Kamu punya masalah dengan Indrajit?”

Ia mengangguk berat, suaranya lirih. “Masalah pribadi, Pak.”

“Apa pun masalahnya saya tidak akan bertanya. Biar kalian yang menyelesaikannya sendiri. Pisahkan masalah pribadi kalian dengan tokoh yang kalian perankan,” suara Sulaeman lembut dan berwibawa. “Waktu pertunjukan kita tinggal dalam hitungan jam dan detik. Bersikaplah profesional.”

Lika menekuri lantai. Matanya serasa perih. Tapi, ada yang lebih perih lagi di bagian lain, dan tak mungkin Lika menceritakannya pada Sulaeman.

Semua kursi sudah terisi, penonton gelisah menunggu waktu bergulir. Ini pertunjukan yang kedua, siang tadi pementasan drama Pitaloka berlangsung mulus. Banyak penonton yang tidak kebagian karcis dan pulang menahan kecewa. Bagi para wartawan ini sebuah berita, bagi tim publikasi Kelompok Teater Bulan Persegi, ini sebuah promosi mujarab.

Di belakang panggung Sulaeman memimpin doa bersama. Para pemain tampil lengkap dengan kostumnya masing-masing. Layar terbuka, suara gamelan yang dinamis pelan-pelan merasuki panggung. Adegan demi adegan berlalu tanpa cela, penonton terpaku di tempat duduknya.

Iring-iringan calon pengantin dari Kerajaan Sunda tiba di alun-alun Bubat, di sebelah utara ibu kota Majapahit. Mereka bermalam dalam tenda-tenda besar di sana. Melepaskan penat, sambil menyiapkan diri untuk sebuah pernikahan agung, yang diharapkan dapat mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Kerajaan Sunda dan Majapahit. Mereka mempunyai leluhur yang sama yaitu Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit yang masih keturunan Sunda.

Para pengagung Kerajaan Sunda sempat mengungkapkan rasa herannya, karena mereka ditempatkan di pesanggrahan berupa perkemahan, bukan di keraton sebagaimana mestinya. Melihat keadaan ini, Prabu Maharaja Linggabuana segera mengutus salah seorang perwira angkatan perang Kerajaan Sunda ke Keraton Majapahit yang diterima oleh Mahapatih Gajah Mada.

Gajah Mada menegaskan, pernikahan akan tetap dilaksanakan, tapi posisi putri Dyah Pitaloka sebagai istri persembahan, menjadi upeti sebagai tanda takluknya Kerajaan Sunda. Sang Patih mengabaikan janji Prabu Hayam Wuruk yang akan menjadikan Pitaloka sebagai permaisuri.

Tentu saja utusan Prabu Linggabuana kaget dan berselisih kata dengan Sang Mahapatih. Secara tegas utusan menolak keinginan tersebut. Bagi Gajah Mada yang haus perang, penolakan ini ditafsirkan sebagai tantangan untuk berperang. Gajah Mada segera menyiapkan pasukannya, sang utusan pulang dengan hati geram.

Walau jumlah pasukannya kalah besar, Maharaja Prabu Linggabuana tetap menghunus perang. Gajah Mada mengerahkan pasukannya, pertempuran hebat tak dapat dielakkan lagi. Rombongan Kerajaan Sunda yang berjumlah sembilan puluh delapan orang semuanya ikut bertempur. Denting keris beradu kujang dan ringkik kuda bergema bersahut-sahutan. Suara teriakan dua pasukan yang berseteru, membuat miris hati siapa saja yang mendengarnya. Jerit kematian maratan langit.

Jumlah pasukan yang tidak seimbang menjadikan perang berlangsung cepat. Menjelang tengah hari peperangan itu sudah usai. Sejauh mata memandang, hanya tubuh-tubuh terkapar bergelimang darah segar. Pitaloka terduduk lunglai, tak jauh dari jasad sang ayahanda. Langit siang memerah, udara terasa panas bagai bara yang tersekam.

Mahapatih menghampiri putri cantik yang diberi julukan wajra atau permata atas pesona kecantikannya yang memukau banyak orang. Ketenaran yang bergema sampai ke negeri lain, bahkan sampai Majapahit. Kini wajah yang cantik itu bersaput duka, selaksa luka yang tiada terperi. Mahapatih mengulurkan tangannya, agar sang putri bangkit dan berkenan melanjutkan perjalanannya ke keraton Majapahit.

Sang putri segera menepiskan lengan kokoh pria bertubuh tinggi besar itu. Sekilas terlihat bekas goresan di pangkal lengan dan dada sebelah kirinya.

Aku berhasil melukainya dalam pertarungan sengit satu jam yang lalu. Racun itu akan menggerogoti tubuhnya perlahanlahan sampai ajal menjemputnya!

Tak mungkin aku melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Kalaupun aku tetap melangsungkan pernikahanku sungguh tak ada guna. Menikahi raja dari seorang patih yang menghabisi Maharaja dan pasukan kerajaanku. Adakah itu wujud dari kesetiaanku pada negara?

Sang putri meraih sebilah patrem yang terselip di balik stagen. Gajah Mada sekuat tenaga berusaha mencegahnya, tapi ia kalah cepat. Pitaloka menusuk lambungnya sendiri. Segera ia menjadi limbung, mengerang sakit bukan kepalang. Kemudian jatuh tersuruk di antara tubuh para pengawalnya yang bergeletak. Darah mengalir, merah dan basah. Suara gamelan dan lengking suling yang halus menyayat memenuhi gedung. Layar ditutup. Tepuk tangan penonton membahana.

Layar dibuka kembali, semua pemain dan sutradara tampil ke depan, memberi hormat kepada penonton. Tepukan itu makin bergema. Layar ditutup. Penonton masih enggan beranjak, dan masih memberi tepukannya. Indrajit celingukan, matanya nanar mencari-cari Lika. Dia tak ada di antara mereka.

Sebuah pikiran buruk melintas, tapi Indrajit berusaha keras menghalaunya. Ia bergegas memburu ke arah panggung. Di depan properti tenda kerajaan, sesosok tubuh masih dalam posisi semula.

“Ka... Lika... kamu sedang main-main ‘kan?”

Tak ada jawaban, di sana orang masih bertepuk tangan

“Lika? Pertunjukan ini sudah selesai, aku akan segera meme­nuhi janjiku.”

Yang dipanggil tetap tak menjawab. Indrajit meraba wajah itu, dingin. Matanya mulai berkaca-kaca. Dirabanya bagian perut Lika. Seharusnya ada kantung darah buatan di sini, tapi sama sekali tak ada. Masih belum percaya, Indrajit mencari patrem. Benda tajam itu ada dalam genggaman yang sudah terlepas.

Indrajit menguncang-guncang tubuh wanita yang dipuja sekaligus dihinakannya. Sia-sia. Ia pun berteriak memanggil nama kekasihnya. Teriakan itu tenggelam dalam suara tepuk tangan yang kian samar. Makin samar, sampai kemudian hilang tak berbekas.

Di luar, malam makin karam, tak ada bulan apalagi bintang. Gerimis tipis serupa jarum menghujan, berpendaran tersentuh cahaya lampu. Kuning keemasan. Wangi tanah lekap tercium, gelisah di antara basahnya rerumputan. Gerimis kian menikam, menghujam malam dengan segenap kekelamannya. Tak ada lagi kata yang dapat menafsirkan risau pepohonan yang kehilangan bunga, sebelum diciptakan.

No comments: