12.22.2010

Prahara

Cerita fiksi itu sengaja dibuat Bagas untuk mengingatkan Citra, mantan kekasihnya. Tapi, bagaimana mungkin kisah tragis dalam fiksi itu bisa menjadi nyata?
ulan pernah membayangkan punya menantu perempuan asing. Bayangan itu muncul karena anaknya, Bagas, menyukai lagu-lagu The Beatles sejak kecil dan tertarik pada hal-hal yang berbau Barat. Bayangan itu belum juga terwujud karena sampai sekarang Bagas belum menikah.

Yang mengganggu pikiran Wulan, kini Bagas sudah menjadi kolumnis gosip terkenal di majalan Cineast. Anaknya itu dekat dengan para selebriti hebat. Ia jadi khawatir jika Bagas menjalin hubungan cinta dengan salah satu artis itu. Terutama jika artis itu yang bernama Citra.

Di satu sisi ia selalu berharap Bagas segera menikah. Di sisi lain kekhawatiran itu diam-diam menggerogoti kesehatan jantungnya.

Citra dan Jacky merupakan dua bintang film yang sedang populer. Di dalam limosin mewah itu keduanya sempat berbeda pendapat tentang perjalanan yang mereka tempuh ini.

“Karena aku bisa mendesak penulis itu,” kata Citra. Ia sudah terbiasa mendapatkan apa saja yang dia inginkan, termasuk sesuatu yang tidak masuk akal. Herannya, keinginannya selalu terkabul, karena orang mau saja mewujudkannya, meski harus jungkir-balik sekalipun.

“Bagas pasti mau membuat tulisan tentang aku dari sisi berbeda. Pasti dia tidak mau menulis hal yang sama dengan wartawan lain.”

Bagas sama terkenalnya dengan Citra. Ia memulai kariernya sebagai reporter. Namun, berkat kepiawaiannya menulis dan mencari informasi akurat, banyak orang yang menyukai tulisannya, hingga kariernya terus menanjak.

Jacky beranggapan permintaan Citra itu tak mungkin dipenuhi. “Lagi pula, Bagas akan menyebarluaskan permintaan kita itu ke teman-temannya. Lalu, hubungan kita berdua malah akan semakin terbuka.”

Tapi, Jacky tak kuasa menghalangi Citra. Ia tetap kalah pamor, kalah wibawa, dan ia juga takut kehilangan Citra.

Rumah Bagas berada di bagian yang lebih tinggi daripada rumah penduduk sekitarnya di kawasan Ciganjur. Seluruh bangunannya terbuat dari kayu. Modelnya setengah panggung, agak terpencil dari rumah lain, dikelilingi kebun bunga dan buah-buahan.

Mobil mewah warna hitam milik Citra menyusuri jalan masuk pekarangan luas di bukit kecil itu. Beberapa bintang film dan penyanyi, dan banyak orang kaya, memilih tinggal di sini. Alasannya karena dekat dengan pusat kota, tetapi cukup tenang dan hijau. Alasan lain, tak mudah dijangkau para wartawan, yang tulen maupun yang gadungan.

“Kupikir, rumah seorang penulis terletak di pinggir kali, terbuat dari bambu,” komentar Jacky, sambil memperlambat mobil. Ucapannya sama sekali tidak kedengaran sinis. Ia tampak berdecak kagum.

Citra bercerita sekilas tentang Bagas. “Perjuangannya sudah berlangsung sepuluh tahun lebih.”

Citra memang tahu banyak tentang Bagas. Diam-diam wanita cantik, kaya, dan terkenal itu bersyukur karena hanya sedikit orang yang tahu bagaimana dia bisa tahu banyak tentang penulis itu. Sudah setengah bulan dia meminta waktu Bagas, tapi tak pernah berhasil. Bagas selalu beralasan terlalu sibuk.

Dunia memang sedang terbalik. Biasanya, wartawan atau penulis yang merengek-rengek minta waktu selebriti. Kini, sebaliknya.

Sekali lagi Citra menyimak dandanannya melalui cermin. Dia kerjap-kerjapkan matanya. Dia mainkan bibirnya yang merah menyala.

“Lihat, penampilannya cuma begitu!” serunya, ketika melihat Bagas di depan. Pria itu duduk menyandar pada bangku kayu bulat, mengenakan sarung dan kaus oblong. Sejumlah buku, koran, dan majalah bertebaran di meja pendek di dekatnya. Dengan notebook Bagas menggarap naskahnya.

“Wah, benar-benar suatu kehormatan!” kata Bagas, setelah menyilakan kedua tamunya duduk di balok-balok kayu besar yang mengelilingi meja rendah. Dengan susah-payah ia menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Apa yang bisa aku bantu untuk para selebriti yang tak perlu KTP untuk memasuki seluruh gedung di Jakarta ini?”

Citra dan Jacky tertawa ringan. Sambutan Bagas langsung meredakan keraguan dan ketegangan Jacky.

“Oke, jadi, apa yang bisa aku bantu?”

Bagas menyingkirkan majalah, buku, koran, dan notebook-nya dari meja untuk menaruh minuman dan makanan kecil kiriman ibunya. Dua hari lalu kiriman itu datang, disertai sepucuk surat. Ibunya secara terselubung meminta Bagas segera pulang ke Gunung Madu. Bagas tahu, ibunya akan kembali memintanya untuk segera menikah.

Citra mengerling pada Jacky, memintanya agar bicara.

“Kami ingin Mas Bagas menulis artikel tentang Citra.”

“Wah... wah... ini jelas salah alamat!”

“Enggak, Mas,” kata Citra, setelah mengembuskan asap rokok impor dari sela bibirnya. Ia merasa kata pembuka Jacky barusan terlalu gamblang, tapi kurang mengena.

Citra mengamati wajah Bagas. Jantungnya berdetak lebih cepat. Kamu masih seperti dulu juga, pikirnya. Ia cepat-cepat berbicara sebelum pikirannya berlarut-larut. “Saya mungkin memang populer. Tapi, sebagai manusia, kami juga menghadapi masalah. Sama seperti orang lain.”

Bagas mendengar. Perhatiannya diarahkan pada setiap kata yang diucapkan Citra. Terkadang, ia sadar sedang berhadapan dengan Citra. Pada detik-detik tertentu ia melihat Citra sebagai sosok wanita yang dulu sangat dikenalnya, yang sangat dipujanya, dan kemudian sangat dibencinya. Tapi, pada saat-saat lain dia merasa seperti sedang menonton film yang dibintangi Citra.

Citra melanjutkan, “Tidak perlu aku tutupi, Mas. Di balik kegemerlapan ini, perkawinanku tidak berhasil. Aku katakan tidak berhasil karena belum gagal sepenuhnya.”

“Eits, maaf, Citra, aku bukan penasihat perkawinan!” kata Bagas, berusaha mengundang tawa.

“Aku tidak pernah mencintai suamiku.”

Bagaikan sebuah palu yang dihantamkan ke meja, ucapan Citra seakan mengunci pikiran dan mulut mereka. Untuk beberapa detik gemerisik daun terdengar begitu jelas. Dan, embusan angin yang begitu perlahan terasa merayapi tubuh.

“Aku sudah banyak membacanya di koran dan majalah hiburan soal kamu dan suami. Tapi, kenapa kalian ke sini?”

“Ayolah, Dad,” kata Citra pada Jacky.

Dad! Sebuah tusukan tajam mengenai ulu hati Bagas. Cara dan nada panggilan itu membuktikan kebenaran gosip tabloid bahwa Citra berselingkuh dengan Jacky. Di sisi lain, Bagas juga mendengar gosip tentang Ferdy, suami Citra yang seorang pengusaha besar, berhubungan dekat dengan aktris film lain.

Jacky berdiri. “Kalian bicara berdua sajalah. Mas Bagas, aku sangat mengharapkan pandangan-pandangan yang berguna untuk kami berdua. Nanti aku dengarkan dari Cici saja. Atau, aku baca di majalah Cineast. Satu jam lagi aku akan kembali.”
Cici! Jacky pun menggunakan panggilan sayang Cici untuk Citra. Nama itu segera mengingatkan Bagas pada peristiwa 10 tahun lalu ketika mendengar kabar Cici, kekasihnya, penari paling cantik dan kondang di Gunung Madu, akan menikah dengan Ferdy, pemuda yang lebih kaya dan hebat, putra mantan bupati.

“Mas Bagas,” panggil Citra, menggeser duduknya lebih dekat dengan Bagas, setelah Jacky pergi. Bagas tak sempat lagi meneruskan kenangan pahitnya. Waktu 10 tahun rasanya terlalu lama untuk mempertemukan mereka kembali.

“Citra....”

“Cici, Mas. Panggil aku Cici. Citra itu cuma bayangan. Persis sebagaimana artinya citra. Bayangan.”

“Apa pun, Ci, kamu sudah jadi milik orang lain.”

“Aku minta maaf, Mas.”

“Aku sudah lama melupakan sesuatu yang terjadi di antara kita, Citra. Jadi, jangan diungkit-ungkit lagi.”

“Aku nggak pernah bahagia, Mas. Baik dengan suami yang tidak pernah aku cintai, maupun dengan popularitas yang dilebih-lebihkan ini. Semuanya semu.”

Bagas menatap tajam sepasang mata jernih di depannya. Mata yang dulu selalu mengerlingnya dari lantai latihan tari maupun panggung pertunjukan.

“Jacky tahu kita pernah berteman?” tanya Bagas.

Citra menggeleng.

“Mas boleh percaya, boleh tidak. Aku cuma berteman dengan Jacky. Tidak lebih dari itu. Aku berniat memanasi hati Mas Ferdy, lelaki yang tak pernah aku cintai. Tidak pernah.”

Bagas diam.

“Kamu tahu, kenapa aku dulu memaksa pindah ke Jakarta dan menjadi artis?”

Bagas menggeleng.

“Aku ingin mencari kamu, Mas. Supaya terus berdekatan dengan kamu. Tapi, aku tahu, kamu tak mau aku dekati lagi. Bahkan, ketika kamu jadi jurnalis, tak pernah sekali pun menulis tentang aku. Jangankan menulis, menemui pun tidak mau. Aku paham, kamu marah.”

Bagas berusaha memotong, tetapi Citra tak bisa dihentikan.

“Biarkan aku melepas unek-unek supaya lega, supaya kamu juga tahu, cintaku padamu tetap seperti dulu. Bahkan bertambah tebal.”

Jelas tidak masuk akal. Mereka telah 10 tahun berpisah, sejak Cici menikah. Mereka telah menempuh jalan hidup masing-masing. Meski hidup satu kota, mereka tak pernah berhubungan melalui apa pun.

Cici meneruskan, “Dan, aku telah membuktikan sampai hari ini, setidaknya sampai saat ini, aku tetap Cici yang dulu. Hanya sayang, aku sudah berstatus istri orang. Tapi, suami itu tidak pernah aku cintai dan tak akan pernah memiliki aku seutuhnya.”

Semua itu cuma rangkaian kata-kata. Kalaupun mengandung kebenaran, faktanya Cici adalah istri Ferdy. Itu sudah cukup untuk menghalangi segala jenis usaha perwujudan cinta dan keinginan Bagas. Kekasih yang telah pergi dengan orang lain bisa saja terus menjadi kenanganmu. Tetapi, keinginan untuk mencumbu, apalagi memiliki, harus segera kaubunuh bahkan sebelum bertumbuh dan meliar.

“Percayalah, Mas, aku tidak pernah mencintai Ferdy.”

Pengakuan Citra itu membuat Bagas linglung. Lalu, harus bagaimana?

Gunung Madu, sebuah desa yang tenang di tepi kota kabupaten di Jawa Tengah. Tak banyak kejadian luar biasa. Karena itu, sejak Tanti sering mengunjungi Wulan untuk mengobrol di serambi depan, orang Gunung Madu membicarakan keakraban mereka.

Wulan pensiunan guru. Dulu suaminya kepala desa. Tanti seorang mahasiswi cantik yang sedang mengadakan penelitian. Belakangan ini keduanya boleh dibilang tokoh yang menarik untuk dibicarakan. Tentu saja orang-orang langsung menghubungkan Tanti dengan Bagas. Mereka berharap Bagas memperistri Tanti. Dan, itu membuat kesal beberapa orang.
Yang paling kesal adalah Uren Brewok. Duda cerai tiga kali yang sangat terkenal sebagai jawara itu sampai gembar-gembor kepada setiap orang yang dijumpai. Dia bilang, tidak mungkin Bagas memperistri Tanti. Sebab, dia akan bertindak lebih dulu.

Tak lupa juga ia sebarkan lagi kisah yang terjadi 10 tahun lalu, ketika Bagas minggat setelah menyewakan sawah orang tuanya. Bagas minggat karena patah hati dan tak sanggup melihat pernikahan Cici dan Ferdy. Tujuan Uren Brewok jelas: ingin menjatuhkan nama baik Bagas agar Tanti menjauhi Bagas.

Bagi Wulan, tersiarnya berita yang menghubung-hubungkan Bagas dengan Tanti itu memang mengganggu pikiran. Terutama karena belum ada kepastian, baik dari Bagas maupun Tanti. Ia jadi khawatir kejadian 10 tahun lalu akan terulang kembali. Ketika itu, kebanggaan dan harapannya berkembang karena akan bermenantukan Cici. Itu berarti ia akan besanan dengan Wahono, pegawai kabupaten yang dihormati. Namun, semua itu berbalik menjadi kekecewaan.

Sekarang Wulan berharap Tanti menjadi istri Bagas. Tapi, ia khawatir, harapan yang sudah menjadi pembicaraan orang ini buyar lagi. Ia tahu Uren Brewok jatuh hati pada Tanti. Dan, duda tua itu terkenal nekat.

Menjelang tengah malam, naskah serial Bagasantara karya Bagas muncul di layar komputer redaksi majalah Cineast. Anggota redaksi segera membaca, tak sabar untuk mendiskusikannya. Tentu saja, mereka juga tak sabar menunggu reaksi pertama pembaca.

Dalam serial itu diceritakan Bagasantara yang terkejut mendapati seonggok benda dalam karung beras di halaman rumahnya. Kiriman paling spektakuler pernah diterima tokoh Bagasantara itu. Bukan hanya mayat dalam karung yang membuat Bagasantara tercekat, melainkan wajah mayat itu yang ia kenal betul, yaitu Nila, penyanyi muda yang populer.

“Naskah ini kita tunda! Bagas telah keluar jalur. Ini melenceng dari kesepakatan kita! Penggemar Bagasantara bisa marah karena tokohnya berubah karakter.”

Di ruang kerjanya, Alex, redaktur senior, membaca ulang naskah di layar komputer. Begitu selesai, ia mengangkat gagang telepon. “Hubungi Bagas segera. Minta dia kirim naskah yang lebih lunak. Yang lebih aman. Yang ini terlalu vulgar.”

Kamar itu terletak di lantai dua. Bukan kamar yang luas untuk ukuran dua artis terkenal di Jakarta, bahkan Indonesia. Tapi, ini Australia. Segalanya jauh lebih mahal daripada Jakarta. Di sini, di Sydney, tak ada yang mengenal Citra dan Jacky. Jadi, untuk apa mempertahankan gengsi dan menginap di sebuah hotel megah?

Citra dan Jacky sudah berada di kamar hotel ketika membaca bagian akhir serial terbaru Bagasantara.

“Bagas menyindir kita,” kata Jacky.

Citra tak menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya lebih dalam. Jacky tak berani mengganggunya dengan komentar lain. Angannya melambung tinggi untuk bisa bermain dalam satu film dengan Citra.

“Sejak dulu dia paling pandai bermain dengan kata-kata seperti ini,” ujar Citra, makin gagal menutupi rahasia kisah lamanya.

Jacky memandang Citra dengan tatapan tak mengerti. “Sejak dulu? Kamu bilang, kalian cuma satu kota dan tidak pernah berhubungan?”

Citra kelepasan bicara. Namun, ia memang pintar berakting hingga dengan mudah ia meralat. “Maksudku, sejak tulisannya muncul di koran, dia terkenal suka bermain dengan kata-kata.”

“Kamu tidak bisa memperkirakan siapa yang dimaksud Bagas dengan Nila ini?” tanya Jacky.

“Apakah aku yang dia maksud? Jadi, aku akan senasib dengan Nila? Tewas secara tragis dan dilemparkan ke emperan rumah? Oke, seandainya tulisan ini menyindir atau malah memperkirakan aku akan senasib dengan Nila, lalu bagaimana langkah kita?”

Jacky mengempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Tak pernah terpikir sebelumnya ada kasus dramatis seperti yang menimpa Nila. Tiba-tiba ia bangkit, mengejutkan Citra.

“Bagas justru membantu kita. Mengingatkan kita!”

“Mengingatkan apa?”

“Supaya kita lebih berhati-hati. Sebab, bisa saja terjadi sesuatu yang tidak pernah kita pikirkan!”

Wajah Citra segera muram. Keceriaannya hilang. Ia masih perlu waktu untuk memahami sindiran Bagas.

Tanti bersimpuh di kaki Wulan. Tangisnya tertahan.

“Ada apa, Cantik?” tanya Wulan.

“Saya diancam lagi oleh Pak Uren Brewok, Bu.”

Wulan mengelus rambut Tanti dengan penuh kasih sayang. Sebagaimana dulu ia mengelus rambut Harini dan Bagas ketika kedua anaknya itu dalam kesusahan.

“Apa tidak lebih baik kamu laporkan pada Pak Kades saja?”

“Saya malu, Bu. Takut kalau Pak Kades memanggil Pak Uren. Nanti malah jadi urusan. Semua orang jadi tahu.”

“Ya, tapi sayangnya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lain kalau masih ada Pak Joyo. Atau, masalah bisa jadi cepat beres kalau Bagas ada di sini.”

“Kalau Ibu tidak keberatan....”

Tanti tidak menyelesaikan kalimatnya. Namun, Wulan menangkap isyarat bahwa Tanti malu untuk menyampaikan padanya agar mengundang Bagas ke Gunung Madu. Wulan telah kaya pengalaman. Bertahun-tahun menghadapi murid di kelas dan di luar kelas. Ia telah piawai membaca wajah, tingkah laku, dan suara orang lain.

“Apa perlu Ibu panggil Bagas supaya pulang?”

Tanti sedikit mendongak. Mengawasi wajah Wulan. Dengan ekor matanya, Wulan dapat membaca pandangan Tanti yang bimbang.

Tanti jelas tak akan mengaku sudah punya kekasih di Yogya, yaitu Heru, yang sedang menyelesaikan kuliahnya.
Kedekatannya dengan Wulan bertujuan untuk menimbulkan kesan pada penduduk Gunung Madu bahwa dia akan menjadi istri Bagas. Juga agar Uren tidak mendekatinya. Bagaimanapun, dia risi terus dikejar oleh pria seusia bapaknya. Tapi, di luar itu semua, ia sedang menjalankan sebuah misi khusus.

Bagas tertawa panjang di pesawat telepon. Tepat pukul sembilan tadi ibunya menelepon. Di seberang, ibunya melanjutkan kritikannya atas serial terbaru Bagasantara.

“Pokoknya, nggak lucu. Nggak logis. Apa mungkin ada penggemar artis sampai senekat itu? Tapi, terus terang, Ibu jadi geregetan.”

“Ya, Bu, terima kasih. Redaksi Cineast pun mulanya keberatan. Tapi, saya ngotot agar dimuat. Kalau tidak, saya tidak mau kirim artikel lagi.”

“Tapi, bukan berarti kamu kehabisan cerita, ‘kan?”

“Bisa juga. Tapi, terus terang, cerita itu saya buat untuk Citra.” “Jangan main-main kamu, Bagas!” Seketika suara perempuan tua itu bergetar hebat. “Kamu cepat pulang ke Gunung Madu. Daripada kamu mengganggu istri orang, lebih baik aku jodohkan dengan Tanti!”

Wulan menyimpulkan, sikap Tanti yang manja padanya menunjukkan gadis itu belum punya kekasih. Pertanyaan Tanti tentang Bagas bisa diartikan bahwa ia tertarik pada Bagas. Karena itu, tanpa ragu ia menjodohkan Bagas dan Tanti.

“Siapa lagi yang Ibu calonkan untuk saya?” tanya Bagas.

“Mahasiswi yang sedang melakukan penelitian di Gunung Madu.”

“Ini perintah atau....”

“Terserah. Lebih cepat kamu pulang, lebih baik.”

Sekali lagi Bagas tertawa. Wulan tahu, Bagas masih mencintai Citra. Namun, ia tak ingin anaknya membuat dosa besar dan menjadi gunjingan orang sedesa, bahkan se-Indonesia. Kalau itu terjadi, akan sangat memalukan. Getar dalam dadanya bertambah kencang.

Bagas menghubungi redaksi majalah Cineast, berpesan pada sekretaris redaksi, bahwa dalam sepekan ini ia tak mau diganggu karena sedang mencari bahan tulisan eksklusif. Padahal, sebenarnya ia ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ia akan segera pulang.

Sesungguhnya, ia sendiri tidak terkejut oleh permintaan ibunya. Meski ia tak tahu siapa itu Tanti. Cuma, yang mengejutkan kali ini, Wulan menyebut nama. Nada suaranya pun yakin. Pasti Tanti cocok dengan ibunya.

“Kalau boleh tahu, aku bisa menghubungi kamu di mana?” tanya Linda, si sekretaris redaksi.

“Kalau penting sekali, silakan hubungi saya lewat ponsel.”

“Redaksi memerlukan kemunculanmu di kantor hari ini. Tadi, beberapa anggota redaksi setuju mengundang kamu hari ini.”

“Ada apa? Apakah penting?”

“Soal kematian seperti yang menimpa Nila.”

Bagas terduduk. “Siapa? Artis?”

“Ya, Citra. Tapi, belum dikonfirmasi.”

Bagas bengong. Ia seperti telah kehilangan semua daya hidup.

Tanti mengenakan T-shirt ketat dan rok pendek. Tas tangan tersampir di pundak kanan. Ia berdiri di tepi jalan depan rumah dinas Kades Gunung Madu, di bawah keteduhan pohon. Beberapa pemuda bersepeda motor memperlambat kendaraannya dan menawarkan boncengan. Semuanya ditolak dengan halus.

“Saya naik angkot saja. Cuma mau ke kantor kecamatan, kok,” katanya. Namun, angkot yang ditunggu tak juga lewat. Tiba-tiba motor yang dikendarai Uren Brewok berhenti di dekatnya.

“Ayo, saya antar!” seru Uren Brewok dengan senyum lebar, setelah memastikan di sekitar mereka tak ada orang yang memerhatikan.

“Maaf, Pak Uren, saya tidak bisa.”

“Takut ketahuan Bu Wulan?”

“Bukan begitu. Lagi pula, kenapa mesti takut?”

“Lalu, kenapa menolak setiap kali saya ingin mengantar?”

Tanti serba salah. Kesempatan ini digunakan Uren Brewok untuk menjambret tas Tanti dan bergerak menjauh. Mau tak mau Tanti mengejar. Sampai beberapa orang menyaksikan Tanti mengejar-ngejar dan pada akhirnya membonceng Uren Brewok.

Kabar tentang Tanti cepat sekali tersiar, ke seluruh Gunung Madu. Bahkan, sebelum tengah hari sudah sampai ke Jakarta.

Wulan segera menelepon Bagas yang tengah mengikuti rapat redaksi Cineast dan dengan tidak sabar menceritakan kejadian tentang Tanti. Mendengar suara ibunya yang gugup, Bagas berdiri, memberi isyarat untuk keluar sebentar, lalu beranjak meninggalkan ruang rapat. Rapat terhenti seketika. Semua orang memandang Bagas dengan penuh ingin tahu. Hampir semua menduga hal yang sama, yaitu Bagas memperoleh informasi lengkap dari sumber khusus tentang kematian Citra.

Kemunculan kembali Bagas ke ruang rapat nyaris menghentikan napas semua peserta rapat. Mereka menunggu dengan penuh harap.

“Nggak ada apa-apa. Cuma kabar dari kampung. Calon istri saya diculik orang.”

Baru kali ini mereka mendengar kata ‘calon istri’ dari Bagas. Dan, pernyataan itu diucapkan dengan serius. Seingat mereka, Bagas tidak pernah mau menanggapi dengan serius jika ditanya mengenai calon istri. Baru dalam rapat tadi Bagas agak terbuka mengenai masalah pribadinya, tentang hubungannya dulu dengan Citra.

“Aku sendiri belum pernah bertemu calon istriku. Itu kemauan ibuku. Kali ini dia agak memaksa. Ya... itu gara-gara Ibu tahu bahwa Citra sempat mampir ke rumah bersama Jacky.”

Semua mata menatap Bagas dengan penuh rasa ingin tahu.

“Saya akui, ketika Citra datang ke rumah beberapa hari lalu, hati saya bergejolak lagi,” kata Bagas.

Beberapa jurnalis bersuit menggoda. Bagas tetap tenang. “Kalian boleh percaya, bolah tidak. Tetapi, aku mampu mengendalikan diri. Aku sadar, dia istri orang. Aku yakin, kalian semua setuju bahwa aku tidak boleh mengganggu rumah tangga orang, sekalipun rumah tangga itu dalam keadaan yang tidak bahagia. Kita mendengar hubungan Citra dengan Jacky yang sangat erat. Kita pun mendengar suami Citra punya hubungan khusus dengan bintang film lain.”

“Sekarang, kalau kamu memang punya kesadaran seperti tadi, kenapa menulis soal kasus Nila?” tanya Alex.

“Karena saya ingin Citra sadar. Supaya Jacky juga sadar. Supaya suami Citra sadar dan kembali membina rumah tangganya dengan Citra.”

“Mungkin, kamu menaruh dendam pada mereka bertiga. Lalu, kamu lampiaskan dengan menyindir atau mengejek mereka lewat tulisan.”

“Sama sekali tidak. Saya benar-benar cuma mau mengingatkan.”

“Kalau begitu, semua sumber informasi kita tidak ada yang bisa menunjukkan fakta yang positif tentang kematian Citra. Saya putuskan, masalah ini kita tunda untuk....”

“Maaf, Pak, sebelum Pak Alex memutuskan, saya ingin mengajak Bapak dan teman-teman mendapat kepastian bahwa kabar yang kita terima subuh tadi hanya gosip murahan,” seru Tiara, salah seorang jurnalis.

“Begitu informasi itu positif, tanpa menunggu perintah saya lagi, segera aktifkan tim yang tadi pagi terbentuk. Oke, selamat siang,” kata Alex, menutup pertemuan.

Berita kematian Citra membuat gempar penggemarnya. Bagas pun dituduh terkait dengan kematian bintang terkenal itu.

Bagas memperlambat mobilnya ketika memasuki kota Sokaraja di sebelah timur Purwokerto. Lepas tengah hari tadi ia berangkat dari kantor, istirahat sebentar di Cirebon, dan kini tengah mencari, sambil mengingat-ingat rumah makan getuk goreng yang pernah disinggahi bersama Cici, sebelas tahun silam.

Cukup banyak perubahan dalam kurun waktu itu. Satu yang tidak berubah, toko-toko getuk goreng dan lukisan pemandangan yang khas itu tetap ramai dikunjungi pembeli. Bagas menghentikan mobilnya. Turun dengan ragu dan memastikan rumah makan inilah yang dia kunjungi bersama Cici, ketika mereka nekat kabur dari sekolah dan berboncengan sepeda motor tak tentu arah.

“Silakan, Pak, mau makan di sini atau untuk oleh-oleh?” Gadis cantik putri pemilik rumah makan menyapanya dengan dialek khas Banyumas.

“Ya, terima kasih. Saya mau dua-duanya.”

Secangkir kopi dengan butiran-butiran kasar mengambang segera mengalihkan perhatian Bagas dari acara musik di televisi. Ia baru akan menghirup kopinya ketika tiba-tiba siaran terhenti dan muncul pemberitahuan bahwa siaran musik dijeda. Lalu, seorang penyiar wanita muncul dalam siaran langsung.

Naluri Bagas mengatakan, berita itu menarik perhatian dan penting. Ketika melihat foto Citra ditempatkan di sudut layar, dadanya berdegup kencang.

“Artis film dan sinetron terkenal, Citra, siang tadi diberitakan tewas dalam sebuah kecelakaan. Sumber-sumber yang berhasil kami hubungi mengatakan, saat ini Citra terlibat dalam persiapan pembuatan film Pelarian dari Jawa.”

Beberapa pelayan yang sedang bekerja menghentikan kegiatannya, bergabung dengan beberapa pengunjung, menyimak siaran itu. Semuanya terkejut dan penuh ingin tahu. Bagas mengurut keningnya.

“Seorang sumber yang dekat dengan Citra mengatakan, kematian itu terjadi di lokasi syuting film. Menurut informasi, kemungkinan besar Citra melakukan bunuh diri dan bukan kecelakaan. Sumber lain menyebutkan, kematian Citra ada hubungannya dengan keretakan rumah tangganya, di samping munculnya orang ketiga.”

Beberapa cuplikan adegan film dan sinetron yang dibintangi Citra ditayangkan sebagai visualisasi narasi penyiar.

“Kemunculan orang ketiga ini sudah diketahui kalangan dekat. Sumber lain mengatakan, kematian Citra mungkin ada kaitannya dengan pemuatan serial Bagasantara oleh majalah Cineast pekan ini. Dalam artikel tersebut, tokoh Bagasantara digambarkan memperoleh kiriman jenazah penyanyi terkenal bernama Nila. Beberapa hari yang lalu Citra dan pria teman dekatnya, menemui kolumnis gosip terkenal Bagas untuk suatu keperluan yang belum diketahui....”

Bagas tercenung. Kenapa bisa begini? Ia tidak memercayai satu pun informasi dari televisi itu.

Raungan sirine ambulans, yang dilarikan dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit, memekakkan telinga. Sebagian besar penduduk Desa Gunung Madu sudah bisa menduga siapa yang diangkut ke rumah sakit. Siapa lagi kalau bukan Wulan. Berita yang mengaitkan Bagas dengan berita kematian Citra menggemparkan Gunung Madu.

Penduduk berdatangan ke rumah Wulan. Dalam sekejap rumah besar di tepi jalan raya itu dijejali puluhan orang. Semuanya ingin tahu keadaan Wulan. Beberapa wanita lari tergopoh-gopoh sambil menahan tangis. Bagi mereka, Wulan adalah wanita sempurna. Mereka pernah menyerahkan anak-anak mereka untuk dididik oleh Wulan di sekolah.

Dulu, sebagai istri kepala desa, bertahun-tahun Wulan menaruh perhatian besar dan sungguh-sungguh untuk kemajuan dan kesejahteraan penduduk. Sampai kini, ketika Pak Joyo tiada, Wulan tetap menjadi tempat mengadu, mencari tahu, dan memperoleh nasihat.

“Ada apa ini? Kalian tidak percaya bahwa aku masih sehat?”

Suara Wulan. Kemunculannya di depan kerumunan orang cukup mengejutkan. Wulan segar-bugar, muncul ditemani anak dan menantunya, Harini dan Prasojo. Dua cucu kembar Wulan, Andana dan Andini, juga bersama mereka.

“Terima kasih, kalian mau menengok aku,” kata Wulan.

“Itu kewajiban kami, Bu! Kami gembira Bu Wulan tidak apa-apa.”

“Kalian pikir, aku ini gampang pingsan hanya karena lihat berita?”

“Tapi, kan Mas Bagas....”

“Memang, nama Bagas disebut. Kalaupun dia terlibat, itu urusannya sendiri. Bagas kan sudah dewasa.”

Wulan mengedarkan pandangannya. “Sudah, jangan banyak bicara. Ayo, cepat masuk. Bertamu, kok, di halaman begini. Apa mau demonstrasi? Wong Pak Joyo sudah nggak ada?”

Beberapa orang tertawa. Yang lain bergerak masuk ke pendopo. Wulan masuk ke rumah samping, ditemani anak, menantu, dan dua cucunya dan meminta beberapa orang untuk membuat minuman.

Dalam perjalanan ke rumah samping, Wulan memeluk Harini. Ia terharu sekali. Tak mampu menyelesaikan kata-kata. Tangisnya tak bisa dibendung. Harini meminta dua anaknya agar membantu memapah Wulan, dan meminta suaminya membukakan pintu.

Andana dan Andini juga terharu. Mereka sempat khawatir neneknya tak kuat mendengar berita yang amat mengejutkan itu. Mereka, dan juga Harini, terharu karena melihat usahanya yang begitu kuat untuk menunjukkan kepada penduduk bahwa dirinya cukup kuat untuk mendengar berita sedahsyat gempa itu.

Sebenarnya, Wulan terpukul sekali. Sama seperti mereka yang terenyak di kursi masing-masing ketika menyimak berita itu. Namun, Wulan ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa dia cukup tegar. Meski dadanya berguncang hebat, ia mampu meyakinkan keluarga dan para tetangga bahwa dia tidak terguncang.

Selagi puluhan orang bicara tak tentu arah di pendopo Wulan, tak jauh dari situ, rumah dinas kades juga dipenuhi orang. Mereka membicarakan beberapa nama secara bergantian. Kacau, seru, heran, bingung, gemas, marah, simpati, sekaligus kasihan.

Mereka menyebut Bagas sebagai pemuda Gunung Madu yang sukses setelah lama menghilang dan berjuang. Sukses itu setelah tindakan dan kepergiannya menggemparkan desa dengan menggadaikan sawah orang tua lalu minggat. Mereka telah melupakan, tepatnya memaafkan, kenakalan-kenakalan Bagas. Kini mereka memuji Bagas sebagai pemuda yang pantas dibanggakan dan teladani. Sehingga, tidak seorang pun yang percaya Bagas terlibat dalam kasus terbunuhnya Citra.
Lalu, mereka menyebut Cici, sesekali Citra, sebagai wanita dari desa tetangga yang cantik dan terkenal. Cici, putri Wahono yang dihormati. Semua menyebut nama itu dengan nada kasihan.

Mereka juga menyebut Uren Brewok dengan jengkel dan gemas. Lantas, mereka menyebut nama Tanti dengan simpati dan kasihan. Pembicaraan itu cukup seru. Ada yang yakin bahwa Tanti berhasil diperkosa Uren. Ada yang bilang, Tanti cuma kaget, tetapi untuk menenangkannya perlu dirawat di rumah sakit. Informasi yang simpang siur.

Mereka tidak sempat menyaksikan Tanti dilarikan ambulas ke rumah sakit, diantar keluarga kades dan beberapa pamong.
“Belum ada kabar dari rumah sakit?” Seseorang bertanya di antara pembicaraan yang tak jelas. Tak ada yang menjawab.

Langkah kaki Bagas beradu dengan detak jantungnya. Lorong rumah sakit umum daerah ini terasa begitu panjang. Napasnya memburu. Keringat membanjir di sekujur tubuh. Penasaran, heran, bingung, dan khawatir campur-aduk jadi satu. Petugas bilang, tidak ada pasien bernama Ibu Wulan.

“Ada pasien wanita dari Gunung Madu yang baru masuk. Tapi, bukan Bu Wulan,” kata petugas tadi.

“Baik, saya mau menengok dia.”

Kerumunan orang di gerbang Desa Gunung Madu tadi telah menggerakkan Bagas ke rumah sakit. Orang-orang yang dijumpai kaget dan bingung. Mulanya, tidak seorang pun berani bicara. Akhirnya, ada juga yang mengatakan bahwa ada ambulans membawa ibunya ke rumah sakit. Tanpa pikir panjang Bagas memutar mobil dan melarikannya ke rumah sakit.

Di depan kamar perawatan, Bagas bertemu Kades Gunung Madu. Beberapa pemuda serta pamong desa bergerombol dekat situ. Mereka saling pandang sejenak.
“Begini, Nak,” kata Kades, lalu menarik tangan Bagas menjauh. Bagas menurut, tapi detak jantungnya tambah mengeras. Ia khawatir sekali akan keadaan ibunya. “Kalau Bapak boleh tahu, apa betul Nak Bagas sudah kenal Nak Tanti?”

“Maksudnya?”

Kades dengan singkat menceritakan gosip yang beredar. Banyak penduduk yang percaya bahwa Bagas adalah calon suami Tanti.

“Maaf, lho, Nak Bagas, masalahnya, sore tadi Nak Tanti mengaku pada saya bahwa sebenarnya dia sudah punya tunangan di Yogya.”

Bagas tak mengerti. “Maaf, Pak, bisa dijelaskan dengan cepat?”

“Saya paham, Nak Bagas tidak sabaran. Begini, yang sakit dan dirawat itu Nak Tanti, bukan Bu Wulan,” kata Kades.

Lega sekali dada Bagas.

“Kami menemukan Nak Tanti tergeletak di tepi desa. Dia shock, tapi mengaku tidak sempat diapa-apakan oleh Uren karena keburu kita pergoki. Sore tadi, entah kenapa tiba-tiba dia pingsan.”

Sama sekali tak ada yang jelas bagi Bagas. Semua membingungkan. Informasi itu datang silang-menyilang, seakan tak berhubungan, saling tumpuk. Dan, dia harus menyerap seketika, secepatnya.

“Nak Bagas ingin menengok dan berkenalan dengan Nak Tanti?”

Ada keinginan untuk menolak ajakan itu, tapi Bagas penasaran. Belum sempat ia menjawab, Kades sudah menuntunnya masuk kamar pasien.

“Menurut dokter, Nak Tanti hanya shock. Sudah diberi penenang,” kata Bu Kades.

Bagas menarik napas dalam-dalam. Matanya dengan cepat memandangi wajah Tanti yang tenang. Dalam pengaruh obat penenang, wajah itu begitu lembut. Bagian tubuh yang lain tertutup rapat kain selimut.

“Baik Pak, Bu, saya kira, saya bisa melanjutkan perjalanan,” kata Bagas, setelah merasa puas memandangi wajah Tanti.
Puas? Secara jujur Bagas mengaku belum. Tetapi, ia sadar, tak ada alasan untuk berlama-lama di sini. Tak ada alasan untuk sekadar menyentuh atau mengusap wajah itu.

Tambah berat saja rasanya kepala Bagas. Bagaimana harus mengatakan pada ibunya, keluarganya, dan para tetangga mengenai berita televisi yang melibatkannya tadi? Sejauh ini dia pun belum memperoleh informasi mengenai kematian Citra. Benarkah Citra sudah meninggal?

Rumah Wahono, yang besar dan berpekarangan luas, terang-benderang. Puluhan orang memenuhi pendopo terbuka bergaya rumah bupati zaman dulu. Tetangga, kerabat dekat dan jauh, dan pegawai. Semua dalam keadaan bingung dan cemas. Di sana-sini ada yang kasak-kusuk. Belasan pelajar penggemar Citra bergerombol di sudut halaman.

Di mana-mana terdapat makanan dan minuman. Beberapa pemilik toko mengirim kue dan minuman dalam jumlah besar. Semua itu menunjukkan posisi Wahono yang tetap dihormati, meski sudah pensiun.

Beberapa polisi berpakaian dinas datang dengan mobil. Orang-orang segera memberi jalan untuk masuk ke rumah belakang.
“Saya sendiri bingung. Tetapi, sebaiknya kita menunggu kabar yang pasti,” kata Wahono.

“Kami sudah mengadakan kontak dengan Jakarta. Mereka minta kami untuk terus memonitor keadaan dan perkembangan di sini. Kalau Bapak tidak berkeberatan, kami akan menempatkan beberapa petugas di sini, sampai semuanya jadi jelas,” kata Komandan Polisi.

Tuan rumah tak bisa menolak. Padahal, dalam hatinya ia keberatan sekali. Lebih tepatnya, ia malu menjadi perhatian orang banyak dengan cara yang demikian. Wahono lebih senang jika mereka pergi. Bagaimanapun, kedatangan mereka tidak terlepas dari pembicaraan tentang Cici yang membawa aib keluarga.

Untuk kesekian kalinya Wahono menyesal telah menjodohkan Cici dengan Ferdy. Ia sering mendengar orang memuji ketenaran Cici. Bersamaan dengan itu orang-orang sering bertanya mengenai keadaan rumah tangga Cici dan Ferdy. Koran dan majalah terlalu sering mengaitkan kesuksesan Cici dengan keretakan rumah tangganya. Sukses Cici selalu berdampingan dengan berita penyelewengan Ferdy. Berita sukses Cici hampir selalu dikaitkan kemesraannya dengan Jacky.

“Bapak jangan mudah percaya. Beginilah dunia artis. Kadang-kadang digunjingkan,” kata Cici, saat ia pulang bersama Ferdy. Mereka berdua kelihatan mesra. Tapi, sebagai orang tua, Wahono bisa membaca, kemesraan itu cuma semu.

Ferdy malah tertawa jika diajak bicara mengenai rumah tangganya.

“Namanya juga Jakarta, Pak. Tidak di dunia artis, tidak di dunia bisnis. Semua orang selalu mencari peluang untuk ngrasani saingannya. Kalau bisa, malah menjatuhkan.”

Mendengar keterangan dari mereka, yang kentara sekali berusaha menutupi penyelewengan mereka, Wahono dan istrinya hanya bisa mengelus dada. Sebab, keretakan rumah tangga Cici dan Ferdy tetap saja tak bisa ditutupi dengan rapat. Hanya semalam setelah mereka kumpul di rumah Wahono, esoknya Cici dan Ferdy pergi sendiri-sendiri, menemui teman masing-masing. Baru kumpul lagi ketika akan berangkat ke Jakarta. Hampir selalu begitu.

Wulan tertawa ringan, lalu berkata kepada Bagas, Harini, Prasojo, dan kedua cucunya. Hampir tengah malam.

“Yang ngomong dan menjodohkan kamu dengan Tanti kan orang lain. Bukan aku,” kata Wulan.

“Sikap Ibu terhadap Tanti itu, lho, yang membuat orang-orang menganggap begitu,” kata Bagas.

Mereka berkumpul di halaman belakang yang diterangi lampu taman, dalam suasana gembira. Gembira? Tidak juga. Sebab, di hati Wulan terselip penyesalan, karena Tanti ternyata sudah punya tunangan, batal jadi menantunya. Padahal, ia telah begitu dekat dengan gadis itu, dan berharap terlalu jauh. Ia malah sempat mengemukakan keinginannya kepada Bagas.

“Apa salahnya, sih, Gas? Tanti cantik. Dia sering ke sini. Dia juga yang sering bermanja-manja pada Ibu,” kata Harini.

Harini juga kecewa setelah mendengar bahwa Tanti sudah punya calon suami. Diam-diam ia makin kagum pada ibunya. Ia tak bisa membayangkan jika menjadi ibunya. Sudah begitu cocok dan berharap bermenantukan Tanti, ternyata selama ini diperdaya belaka. Ternyata, Tanti bermanja pada ibunya, semata-mata agar Uren Brewok menjauhinya.

“Seharusnya, Ibu mendatangi Tanti dan mencakar mukanya biar tidak cantik lagi,” kata Harini pada akhirnya.

Ia tak tahan mengikuti pembicaraan mereka yang penuh tawa, mendengar ibunya sesekali memuji kecantikan Tanti. Ucapan Harini yang ketus seketika itu menghentikan gurauan mereka. Kedua anaknya langsung mengkeret. Prasojo memberi isyarat agar kedua anak itu menyingkir.

“Lho, kamu kenapa, Har?” tanya Wulan.

“Ibu jangan pura-pura. Ibu kecewa sama sikap Tanti, ‘kan?”

“Kenapa kecewa?”

Sebelum Harini menjawab, Prasojo ikut menyingkir. Kini, tinggal Harini, Wulan, dan Bagas.

“Ibu sudah berharap dia jadi istri Bagas.”

“Nanti dulu, tho, Mbak. Aku kan belum menyetujui.”

“Boleh saja kamu ngomong begitu. Belum ketemu, sih. Coba kalau lihat orangnya. Lain.”

Bagas masih merahasiakan kedatangannya ke rumah sakit.

“Harini, kamu kenapa?” kata ibunya, lembut dan pelan.

“Saya pantas kecewa. Setidaknya, saya terhina oleh perlakuan dia yang mempermalukan ibu saya! Dia pura-pura akrab dengan Ibu supaya dijauhi Uren Brewok. Kalau tahu begini, kenapa tidak kita biarkan saja Uren Brewok bertindak.”

“Maaf, Mbak Har, kan tidak ada salahnya Ibu menerima dia dengan baik?” kata Bagas.

“Kamu nggak tahu perasaan orang serumah ini. Kamu nggak tahu, sebenarnya, Ibu pun kecewa sekali.”

Wulan memandangi kedua anaknya bergantian.

Bagas berkata pelan, “Sekarang, Ibu terbuka saja pada kami berdua. Kami, toh, sudah dewasa.”

Wulan menunduk. “Bagas, Ibu sama dengan Mbak Har. Sudah cocok dan berharap Tanti jadi istrimu. Semua orang Gunung Madu senang kamu memperistri dia. Kecuali, Uren Brewok.”

Sesaat Wulan berhenti. Dadanya sesak. Bagas dan Harini menunduk. Menunggu. “Kita bicara yang lain saja.”

Bagas melirik kakaknya, lalu mencuri pandang pada ibunya. “Saya minta maaf kalau Ibu dan Mbak Har....”

Wulan memberi isyarat agar Bagas berhenti bicara. “Aku mengaku kecewa. Baik, kalau pengakuan itu penting untuk kamu, Har. Tapi, untuk apa memperpanjang kekecewaan dan membiarkan diri kita terbawa oleh harapan kosong? Tak ada gunanya. Sebaiknya, kejadian ini bisa jadi pelajaran untuk ibumu yang sudah tua ini.”

Ia menarik napas, lalu melanjutkan, “Dalam hidup ini banyak pelajaran. Almarhum bapakmu saja mau belajar dari kesalahan-kesalahannya. Karena itu, kesalahan yang sudah kita perbuat, atau dilakukan bapakmu, jangan dianggap kesalahan semata-mata. Memang, cita-cita Bagas jadi penerbang tidak kesampaian.”

Andini muncul di pintu, ingin menyampaikan kabar penting. Tapi, sebelum bicara, Harini memberi isyarat agar diam.

“Mungkin, memang sudah digariskan begitu oleh Allah. Telah digariskan untuk kamu menjadi penulis seperti sekarang. Bukan jadi ahli hukum seperti kemauan bapakmu atau penerbang seperti kamu cita-citakan. Kuasa Allah telah terbukti. Tanpa keberanianmu melawan kemauan almarhum, mana mungkin kamu bisa seperti ini.”

Andini ingin sekali bicara. Tapi, ia khawatir ucapannya akan mengganggu.

“Aku yakin, Allah juga telah menggariskan pertemuanku dengan Tanti. Tapi, barangkali, pertemuan itu memang hanya untuk sementara. Kalau itu sudah menjadi kehendak-Nya, kenapa kita harus marah, kecewa, apalagi mendendam? Ya, sudah, kita jalani saja. Sambil ikhtiar.”

“Om,” kata Andini pada akhirnya. Ia sudah tidak sabaran untuk menyampaikan kabar. Wulan menunduk. Bagas memandangi keponakannya. Andini memberi isyarat dan berbisik, “Ada telepon buat Om Bagas.”

Andini menunggu sesaat, lalu beranjak pergi. Wulan tetap menunduk. Bagas dan Harini saling berpandangan. Wulan menasihati, “Kuingatkan kamu lagi, Bagas. Jangan libatkan dirimu dalam urusan Cici. Pengalaman pahit yang sudah kita peroleh terlalu banyak.”

Bagas menarik napas dalam-dalam.

Wajah Wahono tegang. “Bapak tidak salah dengar, Ci?” Suara di seberang sana sangat dikenalinya.

“Benar, Pak. Ini Cici. Baru saja saya ditelepon teman di Jakarta. Dia menceritakan tentang berita itu. Jangan gampang percaya sama berita begitu, Pak.”

“Jadi, kamu baik-baik saja? Di mana kamu sekarang?”

Di ujung telepon yang lain, Citra menjawab, “Saya di Australia. Memang benar, saya dan teman-teman sedang mengadakan persiapan pembuatan film.”

Cici berdiri dekat pagar Sydney Opera House. Sambil bicara lewat ponsel, matanya menikmati pemandangan malam ke arah jembatan di seberang sana. Lampu-lampu mobil melintas jembatan dan di kolongnya sebuah boat melintas lambat.

“Sama suami kamu?” tanya Wahono.

“Tidak, Pak. Karier kami kan berbeda. Dia sibuk dengan bisnisnya.”

“Polisi berjaga-jaga di sini. Karena, Bagas ada di Gunung Madu.”

“Apa hubungannya?”

“Berita televisi itu mengaitkan kamu dengan tulisan Bagas dan pertemuan kalian sebelumnya.”

“Saya memang bertemu dia sebelum berangkat. Saya datang bersama teman. Tidak ada salahnya kan mengunjungi teman lama? Jadi, tolong sampaikan pada Pak polisi, berita bohong itu tidak ada kaitannya dengan Bagas,” kata Cici.

“Mumpung ibumu sedang pergi, Bapak ingin tanya, bagaimana sebenarnya rumah tanggamu, Ci? Apa benar yang ditulis di koran dan disiarkan di televisi itu?”

“Saya tidak mau menutupi lagi. Memang, tidak salah yang ditulis koran, tabloid, dan majalah itu. Semuanya benar. Juga berita penyelewengan Ferdy dan seorang artis. Apa boleh buat, Pak, sejak semula saya sudah tidak suka pada Ferdy. Tapi, Bapak dan Ibu memaksa. Cici tidak mau mengungkit dan menyalahkan Bapak dan Ibu. Sepuluh tahun Cici mencoba mempertahankan rumah tangga. Cici sudah mencoba menunjukkan bakti kepada orang tua. Tapi, kini Cici sudah tidak tahan. Cici sudah dewasa, Pak. Sudah waktunya menentukan sikap.

“Mungkin saja Cici salah karena tidak pernah mencintai Ferdy. Bahkan, menyukainya pun tidak pernah. Mungkin, karena itu, dia lari dan kawin dengan artis lain untuk melampiaskan dendamnya. Cici tegaskan, dia sudah menikah dengan artis itu. Cici tidak pernah memberi tahu Bapak dan Ibu karena ingin menjaga nama baiknya. Menjaga nama baik Bapak dan Ibu.

“Tapi, sekarang apa yang mesti dijaga? Semuanya sudah telanjur. Cici minta maaf kalau keputusan ini menyakiti hati Bapak dan Ibu. Sepuluh tahun Cici tersiksa. Tapi, Cici bersyukur, dalam ketersiksaan itu Cici tetap berhasil mempertahankan kesucian! Cici sudah bertekad, Pak, kesucian ini hanya untuk laki-laki yang Cici cintai. Cici tidak berharap lagi memperoleh cinta itu, tetapi Cici bahagia bisa mempertahankan kesucian.”

Cici berhenti bicara karena terengah-engah. Dadanya lega. Plong. Ia puas sekali karena bisa mengungkapkan isi hati dan perasaannya.

Di ruang keluarga, Wahono jatuh terkulai.

Di lorong yang menghubungkan rumah utama dan ruang keluarga, Andini membisiki Bagas. “Tadi Bunga telepon Ndini.”

Bagas bingung. “Siapa dia?”

“Teman satu sekolah. Lain kelas. Yang ini serius, Om.”

“Kamu mau punya calon tante teman satu sekolah?”

Beberapa kali Andini memang menyampaikan salam teman-temannya untuk Bagas. Andini juga menambahkan, mereka cantik-cantik dan belum punya pacar.

“Bunga ini cantik, Om. Dan, belum punya pacar. Cantiknya mirip sekali dengan Citra. Soalnya, dia memang keponakannya.”

Debar jantung Bagas mengeras. Bukan karena mendengar kecantikan Bunga, melainkan karena ada hubungan Bunga dengan Citra.

“Masih ada yang harus Om dengarkan, Anak Manis?”

“Masih. Bunga ingin bicara pada Om Bagas.”


Kali ini Bagas tak mengerti. Andini pun cuma angkat bahu. Udara mengalir tak habis-habisnya. Mengalirkan kesejukan gunung setelah merambahi lereng dan hutan rimbun. Angin yang terus berlalu di atas permukaan kolam renang membuat Bagas sudah merasa segar bahkan sebelum terjun ke kolam berair jernih itu.

“Om nggak mau berenang?”

Bunga. Sepasang mata gadis ini mengingatkannya pada Cici. Bagas duduk gelisah, serba salah, bingung harus bagaimana. Sejak tadi, sejak di rumah makan paling terkenal di dekat kabupaten. Pertemuan di rumah makan itu atas permintaan Bunga. Tetapi, karena dia baru kenal Bunga, dan banyak anak muda yang mengenali mereka, Bagas mengajaknya pergi. Kolam renang, jauh di atas kota, jadi pilihan mereka.

Bagas belum tahu maksud Bunga mengajaknya bertemu. Ia gelisah karena merasa begitu terkenal di sekitar sini sehingga segala gerak-geriknya akan mudah tersiar dan terdengar sampai ke rumah.

Sudah dua kali Bunga menyeberangi kolam.

“Ayo, dong, Om!” bujuk Bunga.

Bagas makin tak mengerti, apa yang diinginkan Bunga. Menggantikan posisi Cici? Ah, ini keterlaluan. Tapi, bukankah banyak kejadian di dunia ini yang keterlaluan, yang sering kali sama sekali tak terduga? Bukankah pernikahan Cici yang menggemparkan itu juga peristiwa yang keterlaluan? Seorang pegawai kabupaten, bersepakat dengan mantan bupati, menikahkan anak mereka. Bukankah itu kejadian yang keterlaluan?

Byur! Tubuh Bagas meluncur dan tercebur ke kolam oleh tarikan Bunga yang begitu kuat. Bunga berenang menjauh sambil tertawa. Apa maksudnya? Bagas tak bisa mengelak. Kelelakiannya tergugah. Tapi, dia harus bertahan. Bertahan untuk menempatkan diri sebagai orang baru, jauh lebih tua dari Bunga, dan harus bertahan dari perbuatan yang bisa membuat kegemparan.

Setelah dua kali mengelilingi kolam bersama, dengan napas terengah-engah, Bagas menarik Bunga keluar kolam.

“Kamu mengingatkanku pada tantemu,” kata Bagas di kafetaria, setelah membilas badan dengan air yang mengalir langsung dari sumbernya.

“Nah, itu yang Bunga tunggu dari tadi. Bahkan, dari kemarin. Jadi, Om Bagas masih ingat pada Tante Cici, ‘kan?”

“Sekadar ingat, ya. Tapi, Om sadar, dia sudah jadi milik orang lain.”

“Sayangnya, Tante Cici tidak pernah merasa memiliki orang itu. Begitu katanya. Itulah yang harus Bunga sampaikan pada Om.”

Bagas memandangi Bunga, ingin tahu sekali.

“Sayangnya, juga kata Tante Cici, Om Bagas tidak pernah percaya.”

“Tidak ada alasan untuk percaya.”

“Sebentar, Om. Sebelum Om Bagas bicara dan membantah, lebih baik Bunga katakan saja apa yang harus Bunga sampaikan. Tante bilang, Om Bagas harus mempertimbangkan kabar terbaru yang sudah tersiar itu.”

“Kabar apa?”

“Maaf, Om. Bunga memang masih SMA. Tapi, Bunga dipercaya Tante karena tidak seorang pun yang dipercaya untuk menyampaikan kabar ini. Yang ingin Bunga sampaikan soal rencana Tante pisah dari Om Ferdy.”

“Kamu terlalu kecil untuk bisa mengerti. Aku nggak mau dengar.”

“Tante sudah mengira begitu. Kata Tante, Om Bagas orangnya keras kepala. Karena itulah, Tante tetap mencintai Om. Katanya, hanya Om yang dia cintai. Tidak ada laki-laki lain. Tidak Om Ferdy, tidak Om Jacky. Tidak siapa pun.”

“Terserah kalian.”

“Tolong Om dengar, Tante sudah mengajukan gugatan cerai.”

Bagas diam.

“Tokoh Bagasantara adalah teroris favorit Bunga. Bunga tak pernah lupa pada serial yang awalnya begini, ‘Ada hal yang membuat wanita merasa sangat kehilangan dan menyesal, tetapi hal yang sama bisa pula membuat mereka merasa lebih lengkap dan bahagia’. Bunga setuju banget pada ucapan itu. Ternyata, Tante Cici pun setuju banget. Dan, menurutnya, Tante memang kehilangan status sebagai gadis. Tapi, selama sepuluh tahun, dia berhasil menjaga kesuciannya.”

Bagas terperangah.

“Karena itu, kata Tante Cici lagi, yang membuat Eyang jatuh pingsan semalam, Om Ferdy frustrasi karena tidak berhasil menghilangkan hal pertama dari Tante Cici. Sampai sekarang. Karena itu, mereka tidak bisa punya keturunan. Karena itu, Om Ferdy selingkuh dengan artis lain.”

Bagas bungkam.

“Yang penting dan harus Bunga katakan cuma itu.”

Bunga memungut tasnya dari bawah meja dan siap pergi. Kelebatan Bunga membuat Bagas terpaku sesaat.

  Setiap orang tua pasti ingin melihat perkawinan anaknya bahagia. Jadi, tidak salah jika ada orang tua yang berusaha menjodohkan anaknya. Tapi, apakah ucapan seorang ibu selalu benar?

Air mata Wulan mengalir deras. Menjelang pagi, ia tak bisa tidur. Kejadian-kejadian dan kabar datang silih-berganti dalam beberapa hari ini. Semuanya sangat mengejutkan. Tak cukup enak didengar oleh telinganya yang kian tua.
Tanti. Pertama-tama gadis itu mengisyaratkan harapan terlalu tinggi. Ternyata, ia hanya dijadikan tempat berlindung. Tapi, ia tak menyesal karena berhasil melindungi gadis itu. Dadanya yang sempat sakit karena dibohongi Tanti, kini perlahan mulai lega.

Pada akhirnya Wulan makin meyakini bahwa Bagas sampai saat ini masih menyisakan cinta pertamanya dan menutup pintu bagi gadis lain. Keyakinannya makin besar ketika beberapa perkenalannya dengan gadis lain berakhir dengan persahabatan biasa.

Cici, Citra, adalah orang berikut yang dipikirkan Wulan. ”Kalau benar rumah tangganya tidak bahagia, Tuhan, berilah mereka kebahagiaan. Kalau Bagas harus menanggung sakit hati berkepanjangan, bukalah mata hatinya. Berilah pasangan hidup yang rela menemaninya dalam suka dan duka.”

Suara langkah perlahan, yang terhenti di luar kamar, menghentikan doa Wulan. Ia usap mukanya, air matanya. Dadanya berguncang keras melihat jendela kamarnya dengan paksa dibuka dari luar. Lehernya seperti tersumbat. Tubuhnya tak bisa digerakkan, ketika muncul dua wajah pria bertopeng.

”Si... siapa...?”

Wulan tak sempat menyelesaikan kata-katanya. Dua sosok pria bergerak masuk dengan cepat. Dengan cekatan dan kekerasan, kedua pria itu meringkus tubuh Wulan. Secepat itu pula Wulan tak sadarkan diri.

Kedua pria itu bergerak dengan cepat, nyaris tanpa suara, mengaduk-aduk seisi lemari dan seisi kamar. Tapi, mereka kecewa karena tak mendapati barang yang dicari.

Sementara Wulan berada di rumah sakit karena shock, polisi, yang dipimpin perwira muda Ismono, memeriksa kamar Wulan dan seluruh penjuru rumah. Bagas dan kedua keponakannya menjadi penunjuk jalan di dalam rumah. Andini sibuk menjawab pertanyaan polisi. Sementara Bagas terlalu sibuk dengan pikirannya yang bercabang-cabang.

”Terima kasih karena Mas Bagas, Dik Ndini, dan Dik Ndana, telah membantu petugas. Kami akan menganalisis hasil penyidikan di kantor. Tapi, kami mohon bantuannya lagi jika petugas memerlukan,” kata Ismono, ketika mengakhiri penyidikan dan berniat pamit.

”Terima kasih banyak,” kata Bagas, sambil menutup pintu pagar.

Hari pertama Wulan masuk rumah sakit, ia menerima karangan bunga dari keluarga Wahono. Sekarang bunga itu sudah hampir kering. Namun, tak ada yang berani memindahkannya dari ruang tamu. Atas permintaan Wulan ketika di rumah sakit, karangan bunga itu dibawa pulang. Kini, ketika Wulan sudah sehat kembali, karangan bunga itu tak boleh disingkirkan.

”Bukan bunganya yang penting, tapi niatnya,” kata Wulan, ketika bersiap meninggalkan rumah sakit beberapa hari yang lalu.
Baik Harini maupun Bagas keberatan. ”Siapa tahu pengiriman bunga ini cuma basa-basi?”

”Harini, siapa yang tahu apakah bunga itu dikirim dengan niat baik atau tidak? Kita kan tidak akan pernah tahu yang sesungguhnya. Tapi, apa pun niat di balik pengiriman bunga ini, kita harus menunjukkan kepada kerabat kita, kepada para tetangga, bahwa kita ini orang kecil yang berjiwa besar. Dengan menerima kiriman ini, dengan membawa pulang bunga ini, kita telah menunjukkan bahwa kita berjiwa besar.”

”Saya nggak ngerti, Bu.”

”Mungkin, karena jiwamu belum besar, Har. Mungkin. Aku tidak tahu. Tetapi, kalau kamu bisa bercermin, kiriman bunga dari keluarga Wahono ini menandakan pengakuan mereka bahwa kita berjiwa besar. Sebaliknya, kalau mereka menilai kita berjiwa kerdil, untuk apa mereka mengirim bunga?”

Harini, Bagas, Prasojo, dan si kembar, makin memahami jalan pikiran Wulan. Makin banyak mereka memetik pelajaran hidup. Bukan dengan menolak atau secepatnya menyingkirkan pemberian orang yang pernah menyakiti kita. Bukan memperpanjang permusuhan agar hati kita puas, melainkan dengan menerima dan menempatkan pemberian itu secara khusus.

Sebenarnya, Bagas makin tersiksa dengan adanya karangan bunga tersebut. Makin tersiksa karena bunga itu terus-menerus mengingatkannya pada Cici. Pesan Cici yang disampaikan melalui Bunga, keponakan Cici, juga terus menerornya.

Karangan bunga itu mengingatkannya pada kawin paksa yang dilakukan Wahono, yang secara sepihak memutus cintanya dengan Cici. Tapi, benarkah ucapan Cici yang disampaikan lewat Bunga?

”Selagi kalian tidak menunggu di rumah sakit, Pak Wahono dan Bu Wahono datang menjengukku,” kata Wulan.

Semua yang mendengar diam, ingin mendengar lanjutannya.

”Mereka diantar Ismono.”

”Mereka bilang apa, Bu?” tanya Bagas.

”Bagas... Bagas.... Kalau kamu tidak berada di depanku, aku tidak percaya bahwa kamulah yang menulis serial Bagasantara itu. Anakku ternyata tak sebijaksana, sesabar, dan sepintar Bagasantara. Atau, jangan-jangan, memang bukan kamu yang menulis?”

Harini dan Prasojo tersenyum. Andana dan Andini menutup mulut mereka dengan tangan agar tawanya tak terdengar. Bagas memelototi kedua keponakannya.

”Bunga sudah menyampaikan pesan Cici padamu kan, Bagas?”

Andini terkejut. Lebih-lebih Bagas. Yang lain tak mengerti arah pembicaraan itu. Bagaimana mungkin ibunya tahu peran Bunga?

”Tidak baik berbohong atau mengelak. Memang, ada kalanya berat untuk jujur. Contohnya, Tanti. Dia lebih memilih mengelak dan berpura-pura. Untuk sementara memang menyenangkan. Tapi, akibatnya kan kacau begini. Uren Brewok sampai masuk tahanan. Anak buahnya nekat ngobrak-ngabrik kamarku, cuma buat menemukan foto Tanti. Kamu harus belajar dari kesalahan orang lain, Bagas. Juga kalian yang lain.”

Tawa dan senyum mereka sirna. Semuanya mendengarkan dan memerhatikan ibu mereka dengan penuh perhatian. Mereka menanti kata-kata, keputusan, kabar, atau apa pun yang mengejutkan.

”Cici boleh saja bangga berhasil mempertahankan diri selama sepuluh tahun dari jamahan suaminya. Itu haknya,” kata Wulan, lalu berhenti. Ia mengamati si kembar. ”Har, Pras, kalau kamu beranggapan si kembar belum waktunya mendengar omonganku, suruh mereka menyingkir. Tapi, kalau kalian menganggap mereka perlu memperoleh pelajaran hidup dari neneknya yang sudah tua ini, biarkan mereka di sini.”

Prasojo dan Harini saling pandang. Andini dan Andana khawatir sekali kalau harus meninggalkan pembicaraan yang menarik ini. Prasojo dan Harini kembali memerhatikan ke arah Wulan. Si kembar merasa lega boleh tinggal dan mendengarkan.

Wulan melanjutkan bicara, ”Ibu dan almarhum bapakmu tidak pernah memaksa anak-anaknya harus kawin dengan siapa. Bukan karena aku dan bapakmu merasakan sendiri dinikahkan oleh orang tua, tanpa meminta persetujuan kami lebih dulu. Aku dan bapakmu tidak mendendam karena kami nyatanya bahagia. Sudah ribuan kali orang bercerita, orang zaman dulu menikahkan anaknya tanpa harus bertanya kepada yang akan berumah tangga. Begitu juga yang dialami Wahono. Mereka merasakan menikah atas keinginan orang tua.

”Tidak sepenuhnya salah kalau mereka memaksa menikahkan Cici dan Ferdy, tanpa minta persetujuan calon pengantin. Kenapa mereka tidak sepenuhnya salah? Karena, sebagai orang tua, mereka punya cita-cita. Punya keinginan. Punya kekhawatiran. Cita-cita atau keinginan mereka adalah agar anak-anaknya bahagia dalam berumah tangga. Kekhawatiran mereka adalah kalau rumah tangga anaknya berantakan atau tidak bahagia. Karena itu, mereka mencari dan menentukan pilihan berdasarkan perhitungan-perhitungan.

”Menurut perhitungan, Ferdy dan Cici jelas akan bahagia. Yang satu tampan, lainnya cantik. Yang satu putra mantan bupati, lainnya putri pegawai kabupaten. Yang satu kaya, yang lain berada. Yang satu berpendidikan tinggi, yang lain lulusan SMA. Coba lihat, di mana kelemahannya sebelum kalian tahu rumah tangga mereka pada akhirnya berantakan?”

Bagas tak mengerti, bagaimana mungkin ibunya, yang selama beberapa hari berada di rumah sakit, dan setelah pulang hanya diam di rumah, bisa memperoleh banyak informasi?

”Aku tidak pernah memaksa kalian menikah dengan pilihanku. Tapi, wajar saja kan jika aku ingin punya menantu yang cocok dengan anakku? Tapi, siapa yang cocok jadi pendamping anakku, aku memang tidak pernah tahu sebelumnya. Karena itu, wajar kalau aku mau mengenalkan Bagas pada Tanti. Juga pada putrinya Pak Mantri Polisi, yang sarjana pertanian itu. Atau, pada Rini, yang masih kerabat jauh kita? Tapi, aku tidak pernah memaksa kan, Bagas?”

”Saya minta maaf karena belum memenuhi keinginan Ibu.”

”Aku ingatkan kalian semua, jodoh atau pasangan hidup itu boleh kita upayakan. Kalau zaman dulu orang mengadakan kawin paksa, itu termasuk upaya. Tetapi, yang paling menentukan kan Allah. Jadi, kalau kamu belum berjodoh sampai sekarang, jangan merasa bersalah dan menganggap perlu minta maaf sama Ibu.

”Kalau kamu tetap mencintai Cici, sedangkan Cici itu sudah menjadi istri orang, itu baru salah. Kecuali, kalau dia sudah tidak bersuami lagi.”

”Saya tidak paham arah pembicaraan Ibu,” kata Bagas.

”Sejak tadi kamu tidak paham. Itu karena pikiranmu terus terganggu. Kamu terganggu oleh berita tentang Cici, ‘kan? Mengaku sajalah. Tapi, kamu perlu mengakui bahwa dia itu istri orang lain. Setidaknya belum bercerai. Boleh saja dia merasa bangga bisa mempertahankan kesuciannya untuk menunjukkan cintanya padamu. Tapi, Ibu juga punya hak menilai. Makanya, dengarkan kata penghulu waktu menikahkan pasangan calon suami-istri.

”Coba simak dan pelajari. Penghulu memang hanya petugas dari kantor urusan agama. Tetapi, yang diucapkan adalah hukum. Artinya, kalau pernikahan telah disahkan, perempuan mempunyai hak dan kewajiban sebagai istri. Begitu juga dengan laki-laki. Nah, sekarang kamu pikir. Kalau ada perempuan yang sudah sah menikah dengan laki-laki, tetapi dia tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri, apa yang terjadi?

”Bagas, kamu pintar, sukses, dan terpandang. Jangan melanggar hukum. Kamu bisa saja mencintai Cici dan Cici tetap mencintai kamu. Selama ini kalian mungkin tak pernah melakukan tindakan yang menurut kalian melanggar hukum. Kalian hanya bertemu untuk bicara. Tetapi, bagaimana pun, tetap ada yang tahu.

”Baik, Ibu sudah bicara panjang lebar. Semua ini bisa kalian jadikan bekal untuk masa depan atau bahkan kalian tolak sama sekali. Aku tidak memaksa. Kegagalan di masa lalu bisa jadi pelajaran yang baik, kalau kita bisa melihatnya dengan jernih. Untuk bisa melihat dengan jernih, caranya mudah saja. Sering-seringlah berkaca. Berkaca diri.”

Wulan berdiri, meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya, tanpa bicara lagi. Harini bertanya, berbisik pada Bagas, ”Jadi, kamu akan kembali pada Cici?”

Bagas hanya menunduk. Tiba-tiba ibunya keluar dari kamarnya, di ambang pintu ia bicara, ”Ingat, Bagas, semua orang yang mengenal Cici sebagai Citra, sudah tahu bahwa ia berhubungan dengan Jacky. Ke mana-mana berdua. Ke Australia pun berdua. Ibu tahu itu. Ibu tidak habis pikir, masa ada wanita yang terus-menerus menyakiti hati suaminya, tapi wanita itu tidak bisa kamu lupakan.”

Semua tercengang. Bagas tercenung.

Tiara percaya pada intuisinya. Walaupun baru dua tahun menjadi reporter di majalah Cineast, walaupun tidak pernah mendapat penugasan yang berbahaya, dia telah terlatih menggunakan intuisinya sebagai kelengkapan berburu berita.

Sejak kemarin ia memaksa untuk menyusul Bagas supaya bisa menulis berita-berita di seputar Bagas. Untuk melengkapi berita Cineast yang akan menangkis tuduhan dan gosip bahwa majalah tersebut bekerja sama dengan produser dalam mempromosikan film Escape from Java, dengan jalan memuat tulisan Bagas mengenai kasus kematian artis Nila.

  Ia sama sekali tidak menyesal memaksakan diri sampai Alex menyetujui penugasannya. Ia tidak menyesal karena, begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta, ia mencium bau berita panas.

Beberapa petugas bandara berkerumun dan berbisik-bisik. Di antara kerumunan itu tersebut nama Cici. Tiara lantas bergegas ke kerumunan di bagian lain. Dalam sekejap ia melihat Cici dikerubuti remaja yang bertanya macam-macam. Sebagian dari mereka meminta tanda tangan. Dalam sekejap Tiara mendapat informasi bahwa Cici baru saja mendarat dari Australia dan akan melanjutkan penerbangan ke Yogya.

”Tolong bantu saya Mbak, tempat duduk sebelah Cici,” katanya, kepada petugas ketika check in.

”Tapi, dia di kelas bisnis. Atau, Anda mau tukar tiketnya?”

Tanpa berpikir panjang, ia mengeluarkan sebagian uang saku dan biaya hotel untuk mengganti tiket ekonomi ke kelas bisnis.

”Kalau begitu, saya akan urus penukaran tiket ke bisnis. Tolong, kursi saya dekat Cici.”

Tetapi, rencana Tiara itu hanya bisa tersusun rapi di dalam benaknya. Praktiknya tidak sesederhana itu. Waktu penerbangan sudah sangat mepet. Tiara tidak punya waktu untuk menukar tiket. Dengan berat hati ia masuk ke kabin ekonomi.

Seperti biasa, kelas bisnis memang tidak penuh. Di sinilah keberuntungan berpihak pada Tiara. Ia cukup berbasa-basi dengan awak kabin setelah pintu ditutup dan menyatakan niatnya wawancara dengan Cici. Setelah selesai ia akan kembali ke kursinya.

Setelah berkutat lebih sepuluh menit untuk membuka mulut Citra, Tiara merasa lega begitu Citra berkata, ”Tapi, jangan salah kutip, ya? Maklum, saya kan sedang jadi sorotan. Sudah begitu, banyak jurnalis yang salah tulis.”

”Baik, saya janji,” kata Tiara, sembari menyalakan alat perekam mini dan meletakkannya di sandaran tangan dekat Citra. Cukup dekat ke sumber suara, tetapi tidak terlalu mencolok dan menjadi perhatian penumpang lain. ”Pertama-tama, saya ingin mengetahui rencana produksi film Escape from Java.”

Citra membenarkan letak duduknya. Kali ini ia sangat terganggu dan membenci alat perekam milik jurnalis, tetapi ia belum tahu harus diapakan alat perekam suara itu. “Saya senang dan tertarik sekali pada skenarionya. Mungkin, artis lain akan menganggap film itu penuh tantangan. Saya tidak berani mengatakan begitu. Karena, Anda sendiri tahu, akting saya tidak pernah mendapat pujian dari pers, apalagi kritikus. Walaupun koran dan tabloid belum lama ini menobatkan saya sebagai aktris terlaris, tapi Anda kan tahu, tidak pernah ada juri festival yang melirik saya.”

Tiara menangkap ungkapan bermakna ganda. Cici telah menghunus pisau bermata dua. Dia harus berhati-hati. Cici seolah merendahkan dirinya karena tidak pernah dilirik juri festival. Tepatnya, tidak satu pun penampilan Cici di film dan sinetron pernah memperoleh penghargaan. Sekadar nominasi pun belum. Tapi, di sisi lain, Tiara menangkap isyarat bahwa Cici ingin menunjukkan bahwa ia tak boleh dilirik sebelah mata.

”Menariknya di mana?” tanya Tiara. Ia belum memperoleh banyak informasi mengenai film Escape from Java itu sehingga ia belum bisa menghimpun pertanyaan yang lebih rinci dan kritis.

”Pertama, dari segi karakter. Semua tokoh, bahkan sampai yang terkecil sekali pun, dibuat begitu variatif. Latar belakangnya jelas. Cita-cita atau bahkan kekecewaan yang pernah dialami pun jelas. Kejelasan karakter ini penting sekali. Karena, menarik tidaknya film, antara lain bertumpu pada karakter pelakunya. Bukan hanya protagonis atau antagonis, putih atau hitam, melainkan segi manusianya. Keinginannya, masalahnya, konfliknya, hambatan yang dialami, semuanya ditata dengan sangat baik.

”Dengan karakter yang jelas itu, cerita pun jadi kuat. Semua karakter mendukung kekuatan cerita. Itu penting karena film pada mulanya adalah cerita, yang dikembangkan dan dibebani ide.”

”Mengenai peran yang akan Anda bawakan?”

”Tour guide. Tepatnya, pemandu wisata yang cantik dan pintar. Ia menguasai beberapa bahasa asing. Meski sudah berumur, ia belum juga menikah. Sesekali ia menjadi dosen tamu di jurusan pariwisata dan dia punya keberanian yang luar biasa. Karena itu, ketika turis yang dipandunya terjebak dalam kerusuhan di Pulau Jawa, dia bukan hanya berusaha menyelamatkan mereka, tetapi berani memulangkan para turis itu lewat pelayaran dengan kapal kecil.”

“Baik. Maaf, berikutnya pertanyaan agak pribadi.”

“Saya kurang suka mendengar pertanyaan seputar masalah pribadi.”

“Saya hanya meminta konfirmasi.”

“Soal apa?”

“Rencana Anda mengajukan gugatan cerai.”

Citra menyandarkan tubuhnya dalam-dalam. Menarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya pelan-pelan. Ia baru bicara dengan ayahnya melalui telepon. Rencana itu pun ia katakan karena menduga berbagai koran dan tabloid sudah memuatnya.
Tiara mengetahuinya bukan dari koran, melainkan langsung dari Bagas. Seluruh staf Cineast mengetahuinya. Hanya, mereka tak segera menurunkannya menjadi berita, karena belum ada sumber yang bisa dikutip. Citra tak bisa dihubungi. Ferdy menghilang. Tidak salah jika Tiara menyebutnya konfirmasi karena pertanyaannya memang bersifat mengecek.

Citra menduga, berita gugatan itu sudah beredar. Itu kecerobohannya. Dan, lebih ceroboh lagi ketika dia membuka mulut kepada Tiara. “Saya akui, selama ini rumah tangga kami tidak bahagia. Mungkin, karena kami tidak memperoleh keturunan. Mungkin juga karena faktor lain. Misalnya, saya sibuk, suami saya juga sibuk. Kami jadi sulit bertemu.”

“Kapan Anda mengajukan gugatan?”

“Setelah berembuk dengan keluarga. Mungkin, pekan depan.”

“Bukan karena ada pihak ketiga?”

“Saya tidak akan mengatakannya kepada Anda.”

“Belum lama ini Anda berkunjung ke rumah Mas Bagas. Ada apa?”

“Mas Bagas adalah kawan lama saya. Eh, tapi maaf, informasi yang baru saja saya berikan itu off the rocord, oke?”

Tiara mengangguk.

“Saya berkunjung ke rumahnya untuk mencari pandangan-pandangan baru dari dia. Sebagai penulis yang sukses, pendapatnya saya perlukan.”

”Di Jakarta santer dibicarakan, kedatangan Anda itu ada kaitannya dengan rencana pembuatan film tadi.”

”Betul.”

”Sejauh mana keterlibatan Mas Bagas?”

”Tulisan dia mengenai pramugari itu mengilhami saya.”

”Lalu, mengenai kabar kematian Anda, maaf, dihubungkan dengan promosi film itu?”

”Dalam hal ini saya membantah. Saya dan kru inti yang berada di Australia juga kaget. Wong masih segar-bugar, kok, dikabarkan meninggal. Ini pasti ada yang merekayasa. Saya tidak suka cara promosi seperti itu. Anda bisa bayangkan, betapa panik keluarga saya.”

”Anda belum pernah membantah tentang hal ini.”

“Tadinya, saya pikir, nanti saja ketika di Jakarta. Atau, mungkin mengadakan konferensi pers di Yogya. Saya sudah memperoleh izin dari produser. Oke, pertanyaan terakhir?”

“Saya tidak menyebutnya pertanyaan terakhir karena saya yakin lain waktu kita akan bertemu lagi.”

Citra tersenyum. ”Saya setuju. Silakan.”

“Pernah ada pasangan yang menikah bukan karena cinta.”

“Maksud Anda, dipaksa kawin?”

”Ya, karena pertimbangan hubungan bisnis. Lima tahun mereka berumah tangga, akur-akur saja. Tetapi, tidak dikaruniai momongan.”
”Anda bukan ingin menyindir saya, ‘kan?”

”Tidak bermaksud begitu. Tapi, kalau kejadiannya mirip, saya minta maaf.”

”Teruskan. Saya tidak tersinggung, kok.”

”Di tahun keenam, mereka berpisah secara baik-baik. Alasannya, karena tidak memperoleh keturunan. Lalu, masing-masing menikah lagi dengan orang berbeda. Belum satu tahun, kedua pasangan itu sama-sama memperoleh keturunan. Rupanya, selama enam tahun pasangan tadi memang menjaga jarak agar tidak memperoleh keturunan. Saya ingin tanggapan Anda.”

Sebelum menjawab, Citra membuka tas, mengeluarkan permen, dan membaginya untuk Tiara. Sesaat kemudian, dengan nada lebih pelan, ia berkata, ”Pertama-tama, saya sendiri heran. Begitu banyak kejadian yang terkadang sulit untuk kita terima. Tetapi, kejadian itu mungkin saja terjadi.

”Kedua, saya kira, karena kedua belah pihak sengaja mempertahankan diri. Maksudnya, menunjukkan kepada orang yang pernah memaksanya menikah bahwa mereka tidak saling mencintai. Ini suatu bentuk pemberontakan.

”Ketiga, mungkin suami-istri itu sama-sama sepakat untuk mengakhiri perkawinan mereka di tahun keenam, untuk memulai perkawinan dengan orang yang memang mereka cintai. Artinya, selama enam tahun mereka bertahan dan tetap mencintai kekasih masing-masing. Bagaimana, oke?”

”Misalnya, salah satu pasangan yang dikawinkan secara paksa itu Anda, apakah tindakan seperti itu yang Anda pilih?”

”Anda mengenal Bagas secara pribadi?”

Tiara mengangguk.

”Tolong, sampaikan salam saya.”

”Akan saya sampaikan.”

”Dan, katakan padanya, besok lagi jangan membuka rahasia orang kepada orang lain.”

”Akan saya sampaikan, tapi saya belum paham maksudnya.”

”Anda pernah mendengar informasi eksklusif soal saya dari Bagas?”

”Secara eksklusif, tidak. Tetapi, dalam percakapan beberapa orang, ya.”

”Anda beruntung sekali bisa satu pesawat dengan saya.”

”Bahkan, seluruh penumpang dan kru pesawat ini beruntung karena satu penerbangan dengan bintang film dan sinetron yang cantik dan terkenal.”

”Anda pandai memuji. Tapi, Anda beruntung karena berteman dengan Mas Bagas sebelum mewawancarai saya. Terlalu banyak bahan yang tidak dimiliki jurnalis lain, tapi Anda miliki.”

”Lebih beruntung karena Anda terbuka menjawab pertanyaan.”

Mereka tertawa.

Pesawat mendarat dengan mulus. Dalam kesibukan penumpang bersiap dan berbenah barang bawaan untuk turun, Citra memutuskan untuk bertindak. Dengan tangan sedikit gemetar, tapi cekatan, dia mengambil alat perekam dari dalam tas Tiara dan cepat-cepat ia masukkan ke tasnya. Ia laksanakan niatnya sejak pertama kali Tiara mengeluarkan alat perekam itu, dan niat itu makin kuat begitu mendengar pertanyaan yang makin memojokkan.

  Bagas kecewa. Justru saat dia memutuskan untuk mengabaikan larangan ibunya, dia mengalami hal-hal di luar dugaan.

syuting film Escape from Java menyita perhatian puluhan wartawan media cetak dan infotainment. Begitu banyak berita besar yang menyertai pembuatan film beranggaran sepuluh miliar rupiah itu.

Sampai kini berita gugatan cerai Citra kepada Ferdy, yang dilanjutkan dengan sidang kilat, yang seolah-olah disembunyikan, diliput puluhan media. Malam sebelumnya, Gunawan, sang produser film, menghubungi seorang jurnalis. Dan, dalam sekejap pesan melalui udara meluncur bertubi-tubi, sehingga keesokan paginya ruang pengadilan disesaki jurnalis dengan berbagai alat perekam suara dan gambar.

Kini, nyaris tak ada yang tertutup lagi. Termasuk hubungan Bagas dan Citra yang tak pernah dibantah. Itu makin menaikkan tiras Cineast. Sekaligus memperuncing hubungan Bagas dengan Wulan.

“Matikan, cepat matikan!”

Teriakan Wulan membuat tangan Prasojo sampai gemetar ketika menekan remote control pesawat televisi. Malam ini di ruang keluarga, Wulan bersama Harini, Prasojo, dan si kembar, menyaksikan televisi ketika tiba-tiba muncul wajah Citra yang memberi pernyataan dari lokasi syuting. Wulan sempat melihat gambar ratusan orang menonton syuting di Jalan Malioboro.

Harini memberi isyarat kepada kedua anak kembarnya untuk menyingkir. Lalu, ia mendekati ibunya, yang duduk menyandar dalam-dalam dengan mata terpejam.

“Ibu nggak apa-apa?”

Wulan tak menjawab.

“Mas, tolong, Mas. Cepat siapkan mobil!”

Andini dan Andana muncul lagi. Mereka membantu Harini mengangkat tubuh sang nenek keluar. Wulan tak sadarkan diri. Persis seperti ketika dibawa ke rumah sakit tempo hari akibat masuknya dua lelaki ke kamarnya.

Dokter Hendry yang dulu menangani Wulan di rumah sakit, dengan nada prihatin mengatakan kepada Harini dan Prasojo, “Ibu memerlukan istirahat cukup. Jangan khawatir, kami sudah membentuk tim khusus.”

Jantung Wulan memang jadi agak terganggu setiap kali mendengar nama Citra, sejak kepulangan Bagas tempo hari, sejak berita tentang Citra, Bagas, Ferdy, dan Jacky silang-menyilang di koran dan majalah. Harini dan Prasojo sudah bekerja sama dengan dua anak mereka untuk menjauhkan Wulan dari koran. Terutama yang memuat berita tentang Citra.

Tetapi, televisi sulit dibendung dan selalu tak terduga. Begitu melihat wajah Citra, ingatan Wulan langsung kembali ke pembicaraannya dengan Bagas beberapa pekan silam.

“Saya sudah memahami semua yang Ibu katakan mengenai Cici. Tapi, kalau boleh jujur, terus terang saya sulit melupakan dia.”

“Sulit bukan berarti tidak bisa, ‘kan?”

“Saya sudah mencoba, Bu. Saya minta Ibu juga memahami....”

“Kalau kamu minta Ibu untuk memahami jalan pikiran dan tindakan yang jelas-jelas keliru, melanggar hukum, mengabaikan etika, dan merendahkan martabat sendiri, pasti Ibu keberatan.”

Wulan tersadar. Dokter Hendry segera mendekat.

“Jangan katakan pada siapa pun bahwa aku sakit,” kata Wulan.

“Ibu tidak sakit. Hanya perlu istirahat.”

“Apa bedanya?”

“Maaf, Bu, Ibu memang hanya perlu istirahat. Tapi, kalau Ibu tidak keberatan, ada beberapa teman dan kerabat Ibu yang ingin menjenguk Ibu.”

Wulan mengangguk.

Kerabat dekat dan jauh, tetangga dekat dan jauh, kades, pamong desa, guru-guru SDN Gunung Madu, pensiunan guru, satu per satu menyalami Wulan. Dengan senyum penuh khawatir, Dokter Hendry dan perawat terus mengawasi.

“Keluarga Wahono boleh masuk tidak?” bisik Harini pada Dokter Hendry.

“Ibu tidak boleh terguncang sedikit pun.”

“Tapi, Ibu sudah memaafkan Pak Wahono dan keluarganya, kecuali Cici.”

“Saya tetap khawatir, mereka mengingatkan Ibu pada Cici.”

Dokter Hendry memandang sekilas ke arah Wulan, yang tersenyum menerima tamu yang masuk bergantian.

“Ada apa?” tanya Wulan.

“Maaf, Bu, ada tamu khusus yang ingin menjenguk Ibu. Mbak Har minta pertimbangan, Ibu boleh menerima Pak dan Bu Wahono apa tidak?”

Wulan segera berusaha duduk. “Suruh mereka masuk. Kalian ini bagaimana, sih? Ayo, cepat, suruh mereka masuk.”

Harini sangat terharu melihat ibunya benar-benar kuat, benar-benar telah memaafkan pasangan Wahono.

“Saya sekeluarga minta maaf yang sebesar-besarnya.”

“Pak Wahono tidak melakukan kesalahan terhadap saya.”

“Tapi, Bu Wulan sempat repot karena kami.”

“Apanya yang repot? Kalau saya sakit, ya, wajar. Wong saya memang sudah tua. Tapi, saya nggak sakit, kok.”

Lalu, mereka terdiam. Dokter Hendry pun merasa serba salah untuk ‘menengahi’. Suasana jadi kaku.

Di teras kamar Wulan, Harini dan Prasojo berbicara serius.

“Menurut saya, lebih baik dihubungi segera.”

Prasojo segera menjadi pusat perhatian. Sejak tadi tidak satu pun yang berani mengusulkan untuk menghubungi Bagas di Jakarta, setidaknya mengabari kalau ibunya sakit lagi.

“Kamu yang menghubungi Bagas, ya, Mas. Katakan saja Ibu sakit, dan perlu istirahat beberapa hari. Tidak usah meminta dia pulang.”

Suami istri Wahono keluar dari kamar perawatan Wulan. Dalam dua kali pertemuan di kamar yang sama, mereka tidak pernah sekali pun menyebut Cici. Mereka tidak pernah menyebut kawin paksa Cici dan Ferdy. Tak sekali pun terucap nama, peristiwa, keputusan mereka, dan juga akibatnya.

Semua sudah terwakili oleh saling jabat tangan, saling pandang, saling senyum, dan saling sapa yang amat hemat kata-kata. Persoalan yang begitu besar, keputusan yang berbuntut panjang dan ruwet, telah membuat mereka terlalu berat untuk mengatakannya dengan terbuka. Namun, dua kali pertemuan yang penuh persaudaraan itu menunjukkan bahwa persoalan lama telah selesai. Mereka telah saling memahami, mengerti, dan memaafkan.

Kini, muncul persoalan baru. Cici telah resmi berpisah dari Ferdy. Perpisahan yang sangat memukul batin Wahono dan keluarganya. Lalu, Cici dan Bagas menunjukkan tanda-tanda akan bersatu kembali dengan cinta mereka yang nyatanya tak pernah padam. Tak ada keberanian dari pihak Wahono untuk memulai pembicaraan tentang masalah itu. Begitu juga dengan Wulan.

Bagas mengabaikan batas kecepatan maksimum. Ia mempertahankan injakan kakinya pada pedal gas. Sedannya melaju di jalan tol Jakarta-Cikampek pada kecepatan 120 kilometer per jam. Masih cukup aman dan stabil untuk mobilnya, tetapi jelas kecepatan itu telah melampaui batas yang diperbolehkan. Matahari bersinar terang, dan arus kendaraan yang tak begitu ramai, membuat Bagas cukup leluasa melajukan kendaraannya.

“Bagas, kamu tidak harus pulang.”

Kata-kata itu malah membuat Bagas segera melarikan mobilnya ke Gunung Madu. Dia pikir, ibunya dalam keadaan gawat. Tapi, kakaknya tak mau mengejutkan. Sejak saat itu keinginannya untuk mengontak ponsel Cici makin besar. Bersamaan itu pula keraguannya menumpuk.

Apa yang harus dikatakannya pada Cici? Mengajak ke Gunung Madu menengok ibunya? Untuk berbasa-basi memang bisa. Tapi, bagaimana kalau Cici menyetujui, sedangkan ibunya begitu alergi mendengar nama Cici?

Mobil terus melaju. Pikiran Bagas melingkar-lingkar. Ia lalu mengambil ponsel dan menghubungi Cici.

“Cici?” tanya Bagas, tak sabaran, begitu mendengar suara lembut.

“Maaf, Pak, bukan. Mbak Cici sedang syuting. Ada yang bisa saya bantu? Saya sekretarisnya.”

Bagas berusaha mengubah suaranya. Ya, tiba-tiba terpikir untuk menggoda Cici dengan menggunakan suara Ferdy. Mungkin, di sana akan timbul kekacauan. Mungkin, Cici akan merebut telepon genggamnya dan menembakkan kata-kata tak beraturan karena merasa terganggu oleh telepon mantan suaminya. Mungkin. Bisa jadi Cici segera memutus hubungan karena tak mau lagi berhubungan dengan Ferdy.

Ia pun segera mengubah suaranya. Entah mirip dengan suara Ferdy atau tidak. Lagi pula, ia tidak hafal karakter suara Ferdy.

“Tolong, sampaikan, Ferdy ingin bicara sebentar.”

“Oh, Bapak. Nanti saya sampaikan agar Mbak Cici menghubungi Bapak.”

Semakin keras degup jantung Bagas. Jadi, perceraian itu cuma di pengadilan? Di atas kertas? Selanjutnya mereka tetap leluasa berhubungan?

“Biar saya saja yang menghubunginya.”

“Sebentar, Pak. Sepertinya, Mbak Cici sudah selesai.”

Bagas ingin memutus hubungan. Ia nyaris tak tahan menghadapi situasi yang sama sekali bertentangan dengan yang dia perkirakan. Tapi, di pihak lain, ucapan ibunya yang telah berkali-kali ia renungkan membuat ia berpikiran lebih jernih. Jika hubungan telepon diputus, berarti informasi yang sangat penting ini akan hilang begitu saja. Padahal, kalau ia lebih tenang sedikit saja dan lebih bijaksana, bukan tidak mungkin informasi lain yang lebih besar akan diperoleh. Hatinya memang panas.
Dia harus bertahan. Dengan begitu ia akan tahu lebih banyak tentang hubungan Cici dan Ferdy.

“Ngomong-ngomong, bagaimana suasana di sana?” Bagas mencoba bicara dengan tenang, mempertahankan suara pertama tadi, dengan sedikit menutupi ponsel menggunakan ujung jari agar kejelasan suara aslinya berubah.

“Masih seperti waktu tadi. Ini Mbak Cici, Pak.”

“Ada apa lagi, Mas?” tanya Cici di seberang sana. Kali ini Bagas berpikir cukup lama untuk mencari kata yang tepat.

Di depan hanggar pesawat terbang kawasan Adisucipto, Yogya, Cici menjepit telepon genggamnya dengan pipi dan pundak. Kedua tangannya sibuk membolak-balik majalah Cineast terbaru. Santai sekali. Wajah dan sikapnya tidak menunjukkan kelelahan, padahal sejak dini hari tadi dia sudah berada di lokasi. Sudah berulang kali beraksi di depan kamera, sudah berlembar-lembar kuitansi pengeluaran dan cek dia periksa dan paraf secara sembunyi-sembunyi.

Di lapangan, Cici hanya dikenal sebagai pemain. Hampir seluruh kru dan pemain menganggap kehadirannya di sini cuma sebagai pemain. Hanya sedikit yang tahu bahwa lebih dari separuh biaya produksi berasal dari sakunya dan membiarkan Gunawan bertindak sebagai produser. Segala pengeluaran harus dia ketahui.

“Ada apa, sih, Mas? Masih kangen?” tanyanya, sambil lalu.

“Hmm,” sahut Bagas.

“Sudah sampai di mana, Mas?”

“Jalan.”

Bagas menjawab pertanyaan Cici seadanya. Dahi Cici sampai berkerut karena heran. Lawan bicaranya menjawab tak jelas. Ini pasti bukan Ferdy!

“Tanti, benar yang menelepon ini Mas Ferdy?”

“Benar, Mbak. Ada apa?” Tanti, orang yang tiga bulan terakhir ini cukup dekat dengan Cici, sudah mengenal Cici luar dalam. Hanya dengan melihat tatapan mata Cici yang sedikit menyala atau kerutan tipis di dahi, dia bisa menduga apa yang dipikirkan oleh Cici. Dia telah menjalankan tugas dari Cici dengan baik ketika menyamar sebagai peneliti di Gunung Madu.
“Coba sekarang kamu telepon Ferdy,” kata Cici. “Lain kali, lebih teliti kalau menerima telepon. Jangan ceroboh. Aku curiga bukan Ferdy yang menelepon. Mungkin, jurnalis yang mau mencari keterangan.”

Sementara itu mobil Bagas telah keluar dari gerbang tol Cikampek. Ia berhenti di tepi jalan, di keteduhan pohon. Ia sandarkan tubuhnya dalam-dalam pada sandaran kursi yang dia dorong jauh ke belakang.

“Benar kata Ibu, Cici tidak bisa dipercaya. Ternyata, dia masih berhubungan dengan mantan suaminya,” katanya, pada diri sendiri. Ia terpukul sekali. Justru pada saat dia memutuskan untuk menghubungi Cici, memutuskan untuk mengabaikan nasihat dan larangan ibunya, yang dia hadapi benar-benar di luar dugaan. Ia kecewa dan marah sekali. Ia teringat bagian nasihat ibunya yang panjang lebar sebelum ia kembali ke Jakarta.

“Baik, Bagas. Kalau kamu tetap mencitai dia dan dia pun begitu, apakah yang jadi persyaratan hanyalah kesuciannya? Kesucian yang dia simbolkan tidak pernah berhubungan intim dengan laki-laki?”

“Saya tidak pernah membayangkan sampai sejauh itu.”

“Lalu, sejauh mana yang kamu bayangkan?”

Bagas pura-pura sibuk mengemasi bajunya.

“Bagas, Ibu bilang, Ibu tidak pernah memaksa anaknya kawin dengan siapa.”

“Tapi, Ibu melarang saya menikah dengan Cici.”

“Ibu tidak akan melarangmu. Ibu sudah putuskan. Tak akan melarang. Karena, kekuatanku melarang rencana dan tindakanmu sudah tak ada lagi. Kamu sudah dewasa. Artinya, kamu sudah bisa berkaca, sekaligus mengukur dan menimbang dengan baik. Kamu sudah cukup punya bekal pengetahuan dan pengalaman untuk menimbang mana yang baik dan yang buruk. Lagi pula, Ibu sudah tua. Kekuatan fisik Ibu sudah tidak seperti dulu lagi.”

“Saya tidak mengerti maksud Ibu.”

“Kamu tahu dan mengerti. Cuma, kamu menutup pengetahuanmu dengan pikiran yang tidak keruan. Kamu tahu orang setua dan serapuh Ibu tidak lagi memiliki kekuatan menghadapi persoalan-persoalan berat.”

“Ibu jangan berkata begitu.”

“Kamu bisa melarang Ibu. Tetapi, keadaan tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Ketuaan dan kerapuhan tidak bisa dikekang sepenuhnya. Ibu bicara apa adanya. Kamu harus menerima kenyataan alam ini. Ibu sudah tua.”

“Ibu menakut-nakuti saya.”

“Ketakutan milik semua orang. Ibu juga punya rasa takut. Tapi, masalahnya, takut apa, takut kepada siapa, takut dalam bentuk yang bagaimana. Kamu takut Ibu mati mendadak mendengar kamu nekat kawin dengan Cici?”

  “Maaf, Bu, maafkan Bagas kalau terus-menerus merepotkan Ibu, membuat Ibu khawatir, malu....”

“Ibu juga pernah bangga pada kamu. Bangga karena kamu berusaha menegakkan prinsip. Biarpun terkadang lebih banyak keras kepalanya, tetapi kamu sudah berhasil. Kamu bisa menemukan jalanmu dan sukses. Ibu bangga.”

Dering telepon genggam mengejutkan dan membuyarkan kenangan Bagas. Ia ambil telepon genggamnya di saku jaket, ketika tiba-tiba ketakutan mendengar berita buruk menyeruak. Jangan-jangan kabar buruk dari Gunung Madu. Dadanya berdegup lebih keras lagi. Cepat ia matikan ponsel, menyalakan mesin mobil, memutar, lalu masuk kembali gerbang tol Cikampek, mengarahkan mobilnya ke Bandara Soekarno-Hatta. Ia akan terbang ke Yogya dan melanjutkan perjalanan ke Gunung Madu dengan taksi.
|
Belasan karangan bunga diturunkan ke halaman rumah Wulan yang penuh sesak. Anak-anak berseragam sekolah berkerumun. Ambulans masuk perlahan-lahan. Beberapa orang bergegas menyongsong ke pintu belakang. Dokter Hendry yang pertama turun. Diikuti Prasojo dan Harini, lalu si kembar.

Air mata Wulan menitik dalam kegembiraan tak terkira.

“Ibu harus banyak istirahat,” kata Dokter Hendry, ketika membantu Wulan naik tempat tidur.

“Aku heran dengan dokter sekarang. Orang sakit, kok, obatnya cuma disuruh istirahat, istirahat, dan istirahat.”

Dokter Hendry dan Prasojo tertawa ringan. Tanpa bicara lagi mereka melangkah keluar, membiarkan Wulan beristirahat.

Dalam kesendiriannya di kamar, Wulan merasa ada sesuatu yang kurang. Ia ingin sekali tangan Bagas membelai rambutnya. Lalu, membenarkan letak selimutnya. Wulan tidak meminta agar Bagas dikabari bahwa ia sakit untuk menunjukkan ia cukup kuat bertahan tanpa Bagas. Agaknya, Harini dan Prasojo bisa memahami keinginannya. Agaknya, mereka pun berpihak padanya. Ia merasa ada permusuhan dalam keluarga ini. Bagas dimusuhi oleh semua orang.

Timbulnya permusuhan ini malah membebani pikiran Wulan. Semalam ia mulai menyadari. Tak ada gunanya mengembangkan permusuhan. Lebih dari itu, tak ada manfaatnya membenci Cici. Ia merasa bersalah karena telah membiarkan kebencian bersarang di tubuhnya. Membenci orang yang belum tentu bersalah. Ya, bukankah Cici tidak pernah berbuat salah padanya? Kenapa ia membenci Cici? Justru rasa bersalah yang meringankan beban pikirannya. Yang dengan segera menolong jantungnya bekerja dengan normal kembali.

Ia tidak setuju jika Bagas menikahi Cici. Tetapi, di pihak lain ia telah mau mengerti dan secara tidak langsung memaafkan keluarga Wahono. Ia mengakui, ketidakkonsistenannya dalam bersikap itulah yang membuatnya sakit. Bukan tidak mungkin Bagas juga akan memusuhinya.

Cici tak mau orang tahu tentang rahasianya. Rahasia bahwa dia ikut membiayai produksi Escape from Java. Rahasia itu perlu dijaga karena ia tidak mau dicecar pemberitaan yang memojokkan. Jangan-jangan akan timbul tudingan bahwa dia sengaja menuntut cerai dari Ferdy untuk memperoleh uang itu. Atau, jangan-jangan karena penggunaan uang itulah mereka bercerai.
Perceraian mereka telah sah. Tetapi, hubungan mereka tidak terputus. Sebelum Bagas menelepon Cici, Ferdy baru saja meninggalkan lokasi syuting. Cici tidak merahasiakan pertemuan itu dari rekan-rekannya. Ia yakin semua kru dan pemain film akan merahasiakannya demi kelangsungan produksi. Meski, tak tertutup kemungkinan ada kru yang membocorkannya pada wartawan. Citra tahu itu.

Bahwa Bagas segera tahu keberadaan Ferdy di lokasi, dan segera menjatuhkan penilaian negatif terhadap Citra, itu sama sekali bukan kesalahan Tanti. Kebocoran itu terjadi semata-mata karena keisengan Bagas. Keisengan yang mengakibatkan kecemburuan dan kemarahan luar biasa. Justru karena itu, dalam perjalanan ke Bandara Soekarno-Hatta Bagas segera menghubungi Ismono di kantor polisi Gunung Madu.

“Ya, Bunga terkenal cantik di sini. Saya tahu, tapi tidak kenal. Apa yang bisa saya bantu, Mas Bagas?”

“Is, ini soal pribadi. Tapi, kupikir kamu bisa bantu.”

“Sejauh tidak melanggar hukum.”

“Sedikit menyerempet, tidak sampai melanggar.”

Bagas menceritakan pertemuannya dengan Bunga di kolam renang. Lalu, katanya, “Dia dipercaya menyampaikan pesan yang mestinya sangat rahasia.”

“Tapi, nyatanya tidak jadi rahasia lagi, Mas. Karena, Bu Wulan mendengar langsung dari Bunga. Entah bagaimana caranya.”

Bagas baru paham kenapa ibunya mengetahui pesan Cici kepadanya. “Kamu jangan kalah hebat dari ibuku, Is! Yang jelas Bunga dipercaya Cici. Aku yakin, masih banyak informasi mengenai Cici yang diketahui Bunga. Ini benar-benar soal pribadi, Is. Kamu boleh menolak, kalau permintaanku ini membahayakan posisimu.”

Mendarat di Bandara Adisucipto dan sembunyi-sembunyi mengintip lokasi syuting, Bagas melihat Tanti begitu dekat dan akrab dengan Cici. Namun, keberadaan orang asing, bukan orang film maupun petugas bandara, di lokasi syuting mudah dikenali. Tanti yang pertama kali mengenali Bagas.

Merah-padam wajah Tanti mendapati Bagas di lokasi. Tercekat kerongkongannya ketika Bagas berbincang dengan Cici yang juga serba salah.

“Sendiri saja, Mas?” tanyanya.

“Dengan teman. Tapi, dia tak tahan panas, jadi pulang lebih dulu.”

“Tidak tahan panas?”

“Ya, dekat dengan artis terkenal kan panas,” kata Bagas. Dadanya bergejolak hebat. Ia kecewa dan marah sekali karena merasa dibohongi. Dibohongi? Bagas lekas memutar otak. Berkaca, seperti dikatakan ibunya. Ya, kenapa dia harus kecewa dan marah? Atau, karena Cici pernah menyampaikan pesan khusus lewat Bunga dan dengan sendirinya berhak atas Cici?

“Aku sudah merenungkan pesan kamu lewat Bunga.”

Bagas menarik tangan Cici agar menjauh dari kru dan pemain lain. Hati Cici berbunga.

“Ibu juga mendengar pesan kamu lewat Bunga.”

Sebelum penerbangan ke Yogya tadi, dalam waktu singkat Ismono sudah mendapat informasi. Katanya, Bunga membicarakan banyak hal mengenai Cici kepada ibunya karena merasa cemburu. Bunga khawatir, Bagas yang diam-diam dicintainya akan direbut kembali oleh tantenya.

“Cici yang salah atas semuanya, Mas. Cici mengirim Tanti ke Gunung Madu karena ingin tahu apakah Mas Bagas sudah mempunyai calon istri. Itu karena Cici mencintai Mas. Sungguh. Cici juga ingin tahu bagaimana Bu Wulan menilai Cici. Itu saja. Tapi, kalau sampai ada kejadian yang tidak diharapkan, Cici minta maaf.”

Bagas mengawasi wajah Cici dengan lebih seksama. Makin Cici membuka mulut, dia makin tak mengerti jalan pikirannya.

“Mas Bagas marah?”

“Mulanya begitu. Juga cemburu. Pada akhirnya aku menyadari, kamu dan Ferdy sebenarnya tak bisa berpisah begitu saja. Secara resmi, sebagai suami- istri, kalian memang telah berpisah. Tapi, dalam hubungan bisnis kalian tidak bisa putus begitu saja.”

“Apa maksudnya, Mas?”

“Siapa sebenarnya yang membiayai produksi film ini?”

“Mas Bagas sudah tahu?”

“Pada akhirnya semua orang akan tahu. Mengenai pembagian harta kalian. Mengenai kesepakatan bisnis kalian. Juga soal Tanti di Gunung Madu. Sekarang terungkap dengan sendirinya. Makin terbuka di sini, di depan mata kepalaku sendiri. Ibuku nyaris jadi korban kepandaian dia bersandiwara.”

“Mas telah menuduh. Sayangnya, tuduhan itu salah alamat!”

“Tak ada gunanya menuduh kamu. Aku bukan pejabat pengadilan atau kejaksaan atau polisi. Kamu tidak sadar, keponakanmu, yang mestinya juga menjadi keponakanku, diam-diam jatuh cinta padaku. Dia khawatir kamu akan merampas aku. Dia buka semua informasi tentang kamu kepada Ibu. Dia bangkitkan kemarahan dan kebencian Ibu kepadamu.”

“Mas!” Cici memegang erat tangan Bagas.

“Ibu selalu mengingatkanku agar tidak mendekatimu, agar tidak percaya tentang kesucian yang selama ini kamu pertahankan. Kamu tahu, ibuku sadar, tak ada lagi alasan untuk membencimu. Tak ada alasan yang menghalangiku untuk menikahimu.”

Pegangan tangan Cici makin keras.

“Dengan restu Ibu, saat ini juga aku bisa menikahimu.”

Tangis Cici meledak. Tak kuasa membendung kebahagiaan yang meluap. Tapi, Bagas dengan halus, pelahan, menolak tubuh Cici dan berkata pelan, “Sayang, sayang sekali, permainanmu dengan mantan suamimu belum berakhir.”

Cici memandangi Bagas dengan air mata mengalir deras.

“Untuk apa dia ke sini menemuimu, kalau hubungan kalian telah putus?”

“Sungguh, Mas, dia hanya teman. Dia ke sini cuma mampir.”

“Aku pun ke sini cuma mampir, dalam perjalanan ke Gunung Madu, menjenguk Ibu yang mulai sehat. Aku tak ingin menyakiti hatinya lagi. Selamat siang.”

Dengan mantap Bagas meninggalkan lokasi syuting. Ia tinggalkan Cici yang tak tahu harus berbuat apa. Cici berdiri kaku, persis seperti pertama kali menghadapi kamera film beberapa tahun lalu.

karangan bunga yang mulai layu di halaman menyentak dada Bagas. Dengan bantingan keras ia tutup pintu taksi, lalu berlari masuk. Di ruang tengah, Bagas berhenti. Tak ada siapa pun.

“Ibu...,” panggilnya, dalam kebingungan. Pintu kamar Wulan terbuka. Bagas tersentak melihat Bunga yang sedang berjalan pelan dan menunduk. Mengenakan celana panjang dan kaus yang agak ketat, Bunga seperti bunga yang nyaris mekar.

Bagas salah tingkah. Lalu, dengan langkah tergesa memasuki kamar ibunya, disaksikan Bunga dengan tatapan rindu dan cemburu. Bagas mendapati ibunya duduk menghadap jendela, menyisir pelan rambutnya yang terurai. Ia dekati ibunya, ia belai rambut memutih yang terurai itu.

“Ibu....”

Tenang, tanpa menoleh, Wulan menjawab, “Aku percaya padamu. Aku percaya kamulah yang menulis Bagasantara.”

Wulan memutar badannya perlahan, ganti mengelus rambut Bagas. “Dan, aku ingin kehilangan anakku untuk selamanya kalau kehilangan itu karena kamu memperistri wanita yang menjadi jodohmu, siapa pun dia.”

Bagas sungkem. Lama, ia mencium kaki ibunya. Ia tahan agar air matanya tidak keluar. Ketika bendungan itu hancur, terharu, bahagia, ia berdiri. Tanpa pamit, ia meninggalkan kamar sambil menghapus air matanya.

Di kamar tengah Bagas mendapati Bunga sedang berjalan mondar-mandir. Gelisah. Menunduk. Bagas mendekatinya, bertanya dengan suara agak bergetar, “Satu pertanyaan yang harus kamu jawab, Bunga. Kenapa Cici, atau Ferdy, mengeluarkan uang begitu banyak untuk membuat film?”

Bunga menoleh pelan, mengamati wajah Bagas. “Bunga tak tahu kenapa Om Bagas bertanya soal itu. Kenapa tidak bertanya kenapa Bunga membeberkan semuanya pada Bu Wulan?”

Bagas tambah tak mengerti. Ketika ingin memegang tangan Bunga, Bunga menarik tangannya disertai mimik wajah serius, lalu keluar. Bagas segera mengejarnya ketika Andini muncul dan mencoba menghalanginya.

“Ingat Om, dia masih anak-anak. Ibarat bunga, mekar pun belum,” lanjut Andini. Bagas merasa serba salah.

“Benar kata Ndini,” terdengar ucapan ibunya.

Bagas lalu masuk ke kamar ibunya.

“Biarkan kuncup bunga bermekaran. Kamu ingat lanjutannya?” tanya ibunya.

“Ya, Bu,” sahut Bagas, sambil tersenyum.

“Kamu kan yang menulis puisi itu?”

“Ya, Bu.”

“Waktu patah hati dengan Cici dulu?”

“Ya, Bu.”

“Rupanya, bunga yang baru akan mekar itu ikut cemburu, ya, Bagas?”

Bagas tersenyum. Ia teringat puisi yang saat itu mewakili gejolak hatinya

Biarkan bunga-bunga bermekaran
Bersembulan warna
Menebarkan aroma
Biarkan kuncup-kuncup cemburu

Bagas memandang ibunya sekejap, lalu memandang Andini, lalu lari keluar. Hatinya sudah mantap untuk mengejar Bunga.

No comments: