12.22.2010

PULANG

Meiska selalu merindukan kabut pagi. Kabut pagi yang menghubungkan kekinian dengan masa lalunya, desanya, ayam-ayamnya, simbok-nya. Tapi, Meiska selalu gagap dengan waktu. Karenanya, dicobanya mencari sisa-sisa kabut pagi, meski mentari telah lingsir ke arah barat.

Siang itu, kembali Meiska melakukan rutinitasnya setelah bangun tidur, memburu kabut pagi yang masih tersisa. Hati-hati ditapakinya jalan menurun menuju danau. Sepenggal jalan setapak itu terasa licin siang ini. Tadi pagi hujan deras mengguyur seluruh wilayah Sentani, membuat segalanya menjadi basah. Hujan juga turut membasahi jalan setapak yang keseluruhannya berupa tanah lempung kemerahan. Demi menjaga keselamatannya sendiri, diangkatnya dasternya sampai ke lutut, sementara tangannya yang lain mencengkeram juluran cabang mengkudu yang menjorok turun sampai ke tepi jalan setapak.

Danau sepi siang itu. Sedemikian sepinya, sehingga seolah-olah hanya dirinya makhluk hidup di danau yang membentang panjang hingga menembus dua kabupaten. Angin barat bertiup lembut menimbulkan riak-riak halus di seluruh permukaan danau. Meiska menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap nyanyian alam yang terpantul dari perjalanan sang bayu melintasi pokok pohon sagu, pucuk-pucuk daun bambu, dan meliuk tipis menyentuh padang ilalang di wilayah lain di seberang danau menimbulkan suara ’woooo’ yang luar biasa halusnya.

Pelan tapi pasti, disusurinya jalan berbatu menyisir tepian danau menuju ceruk di sisi kanan dari jalan setapak. Meiska suka ceruk itu. Tempatnya sedemikian elok, melengkung, dengan rerimbunan pohon beringin di atasnya. Membuat siapa pun yang beraktivitas di sekitar ceruk, tak tertangkap oleh mata orang-orang di atasnya.

Meiska mencoba meyakinkan dirinya sekali lagi, menengok ke segala arah, memastikan tak ada seorang pun di danau, sebelum akhirnya mencopot dasternya.

Setelah menyampirkan daster dan handuknya di juluran cabang ketapang, ia mencelupkan kedua kaki ke kehangatan air, lalu turun perlahan, mencari tempat landai di dasar danau yang bisa dijejaknya. Air pelan-pelan menelan tubuh mulusnya, menyisakan wajahnya yang sibuk menatap dengan rakus seluruh kekayaan danau.

Sejak menjadi salah satu penghuni lokalisasi ini, tak sekali pun Meiska bosan pada danau ini. Ia suka ceruk ini, mandi paginya yang kelewat siang dan nyanyian alam yang selalu menyuguhkan melodi berbeda
setiap hari.

Meiska mencoba merebut diri sejatinya dengan rutinitas ini. Saat berada di ceruk ia bukanlah Meiska sang primadona, tetapi gadis cilik yang mencoba menelusuri dengan mata jernihnya anak-anak ayamnya pergi mengekor sang induk menembus kabut pagi atau melihat simbok-nya sibuk merawat pohon-pohon apel mereka.

Saat ini telinganya mencoba menangkap suara yang sangat diakrabinya bertahun-tahun lalu, rekaman suara dari masa kecilnya, suara ’krrr... krrr...’ dari induk ayam, memanggil anak-anaknya terkasih. Tapi, hari kelewat siang. Mentari telah lingsir ke arah barat, membentuk bayangan tipis yang condong ke sisi sama.
Sudah barang tentu tak tersisa kabut apa pun baginya.

Setengah putus asa diturunkannya seluruh tubuhnya ke kedalaman, menyelam di kehangatan air, menangkap ketiadaan bunyi yang menyuguhkan kedamaian yang lain. Saat timbul kembali, matanya menangkap sorot mata laki-laki tengah menatapnya. Mata bulat jernih milik laki-laki asing itu menyorotkan kekagetan yang sangat.

Meiska terkejut. Laki-laki itu sama terkejutnya dengan sang primadona. Sedetik kemudian laki-laki itu menurunkan matanya, menutup sesuatu yang terlihat seperti kotak abu-abu, memasukkannya ke dalam tas plastik hitam, dan segera berlalu dari sana. Meiska, didorong oleh keterkejutan dan keheranan, berusaha mengejarnya. Tak pernah terjadi ada laki-laki lari terbirit-birit, ketika bersua dengan pekerja seks komersial sepertinya di tempat semacam ini. Segera disusurinya jalan yang barusan ditapakinya, mencoba mengejar sosok asing itu.

“Hei… tunggu!”

Pria asing itu tak mengacuhkannya. Ia pergi sambil mendekap tas plastik hitamnya erat-erat di dadanya.
Meiska terus memanggilnya. ”Hei... hei... tunggu... tunggu sebentar!”

Laki-laki itu tak berniat menghentikan langkah.

Saat sampai di atas, di dataran luas tempat lokalisasi itu berdiri, tak didapatinya sosok yang dicarinya. Sosok laki-laki muda dengan mata terkejut yang misterius itu seolah-olah raib ditelan bumi. Justru yang tampak adalah sorot mata kagum tiga laki-laki pedagang bakso dan mi goreng yang tengah sibuk menyiapkan dagangannya di salah satu sudut kompleks.  

Meiska tersadar akan keberadaannya. Di satu sisi, ia tahu entah telah berapa banyak laki-laki yang menikmati tubuhnya dan hafal setiap bagiannya. Tapi, momen ini adalah bagian dari upacara. Bagian dari kesendiriannya yang paling pribadi. Ia tak ingin siapa pun menikmati dirinya dan tubuhnya, meski tanpa disengaja.

Dipelototinya mereka. Rasa kesal yang sangat mendesak-desak di dalam dadanya, “Apa lihat-lihat!?”

Ketiganya kaget. Tidak biasanya seorang pekerja seks komersial marah ketika diperhatikan. Tapi, mereka tahu betul Meiska dan kebiasaan ganjilnya. Maklum, mereka pun telah menjadi bagian tak terpisahkan dari danau dan lokalisasi ini. Entah kenapa, menangkap aura mistis gadis muda itu, ketiganya memalingkan wajah dan dengan salah tingkah kembali menyibukkan diri ke pekerjaan semula.

Meiska kembali ke danau, terpeleset sedikit di jalan setapak menurun, menimbulkan garis-garis merah di salah satu bagian pahanya. Tapi, ia tak peduli. Sampai di ceruk, diambilnya handuknya. Dengan sembarangan dikeringkannya tubuhnya, memakai kembali dasternya dan berjalan cepat ke rumah besar.

Ia berpapasan dengan Vero yang tengah menenteng seekor cakalang besar menuju dapur. Meiska menyusulnya. Sesungguhnya di luar jam operasional, rumah-rumah di tempat lokalisasi yang tersebar merata di wilayah ini, tak ubahnya seperti tempat tinggal para perumah tangga pada umumnya. Vero, sahabatnya seprofesi, mulai sibuk dengan kebiasaannya yang lain selepas bangun tidur. Memasak.

Vero terlihat berantakan siang itu. Rambutnya awut-awutan.

T-shirt tipisnya melorot menampakkan sebagian besar buah dadanya. Celana pendeknya sama kusutnya dengan rambutnya dan terpasang miring pada pinggangnya yang tak bisa dikatakan langsing itu. Melihatnya seperti ini, apa bedanya Vero dengan ibu rumah tangga jorok lainnya yang sedang sibuk memasak di dapur?

Kemarin pagi ia sudah berpesan pada Yitno, si pedagang ikan, untuk membawakannya seekor cakalang. Ia ingin mengolah cakalang ini dengan bumbu woku khas daerahnya. Vero meletakkan ikan segar itu di baskom, meraih pisau besar dari dinding dan segera berjongkok di lantai.

Meiska mengekornya dan ikut-ikutan berjongkok di sampingnya. Disentuhnya cakalang itu dengan telunjuknya. Dagingnya kenyal. Dibukanya salah satu bagian kepalanya. Insangnya terlihat merah segar, menandakan ikan itu baru ditangkap nelayan semalam.

“Ko (kamu) kenal laki-laki…,” Meiska berhenti, tergagap. Ingin ia menambahkan keterangan yang ini, “Laki-laki dengan mata terkejut, tetapi teduh….” Tapi, kalimat terakhir ini hanya berputar-putar di otaknya.

“Apa? Laki-laki mana? Ada banyak laki-laki di sini mulai dari yang godek, gendut, sampai yang kerempeng.”

“Laki-laki...,” Meiska berhenti lagi. Sulit memang mendeskripsikan sosok laki-laki asing yang telah menggetarkan hatinya dalam kata-kata. ”Trada (tidak), ah….”

Vero mengangkat bahu. Sudah terlalu banyak laki-laki yang melintas dalam hidupnya untuk sekadar memperhatikan satu laki-laki. Ia segera kembali pada ikannya.

Meiska tak ingin mendesak terlalu jauh. Ia memutuskan lebih baik membantu Vero memasak daripada memikirkan laki-laki yang belum jelas jati dirinya. Ia segera meraih bumbu-bumbu segar. Bukan sekali ini Vero memasak berbagai jenis ikan dengan bumbu woku. Meiska hafal itu dan paham setiap bumbu dan takaran yang biasa dipakai Vero.

Ia menyisihkan seikat kemangi, segenggam cabai merah dan cabai rawit dengan ukuran sama. Diraupnya bawang merah dalam genggaman besar-besar dan sepotong besar jahe. Sesaat matanya menyisir bumbu-bumbu yang lain: batang sereh, bawang prei, buah tomat, dan lemon cui. Memandangi lemon cui yang berwarna kuning segar segera terbit air liurnya.

“Sa (saya) ikut, ya, ehm… biasa… biayanya tong (kita) bagi dua.”

Tujuh tahun hidup bersama membuat kebiasaan makan Meiska berubah. Telah lama ia tergila-gila pada aroma sereh dan pedas cabai di setiap masakan yang disantapnya.

Vero hanya menghitung harga ikan. “Yo… ikannya tujuh puluh lima ribu satu ekor. Bagi dua?”

Meiska mengangguk.

”Tong pu (punya) minyak goreng masih adakah?”

Vero menunduk melihat ke kolong meja. Didapatinya jerigen lima literan yang masih terisi seperempatnya. ”Ada, masih sisa sadikit. Masih cukup. Besok jo (baru) tong beli itu minyak.”

“Meis,” suara yang begitu mereka akrabi memanggilnya. Itu suara sang bos, Bari. “Ko di mana?”

“Ada apa, Kaka (kakak)?” sahut Meiska, dengan suara lantang.

Tak berapa lama muncul si empunya suara. “Ada yang cari ko. Dong (dia) menunggu di kamar.”

Kedua gadis muda itu saling pandang. Heran.

Protes Meiska, “Masih sore… masih terang... kenapa su (sudah) ada yang lapar…?”

“Sudahlah… temui saja.”

Vero menyuruh pergi Meiska dengan matanya. “Biar sa mamasak sendiri. Ko pergi sana. Layani itu tamu.”
Meiska bangkit malas-malasan dan berjalan menuju kamarnya.

“Nona….”

Meiska mengubah diri tepat di saat yang diperlukan. Dengan senyum terkembang, senyum manis penjaja cinta profesional, disambutnya laki-laki gendut yang tengah berbaring santai di kasurnya. “Bapa Gunung… baru tibakah?”

“Yo… Pakai pesawat siang,” balas laki-laki berperut tambun itu, sambil merengkuh Meiska dalam pelukannya.

”Sa rindu. Su lama Bapak tra tengok sa.”

”Yo... kah?”

”Kapan sa bohong?”

Meiska ingin cepat-cepat. Ia segera berbaring di samping si gendut. Tak lama tangannya segera terulur ke arah yang dituju. Dengan gerakan terlatih dibukanya kancing-kancing baju safari pejabat pegunungan itu dan meloloskannya dari kedua tangannya. Setelahnya diraihnya ikat pinggang pria yang telah memeliharanya sejak dua tahun terakhir ini. Dengan tekanan lembut di kedua tombol kunci si gesper terbuka dan tinggal menarik sisanya.

“Kenapa buru-buru… tong bicara-bicara dulukah?”

Bapak Gunung punya kebiasaan yang sangat dihafal Meiska. Mengagumi tubuhnya. Ia suka memandang berlama-lama tubuh gadis muda itu dan menyentuhnya pelan-pelan. Kegiatan ini dilakukannya sepenuh hati dengan ketelitian ekstra, seolah menikmati porselin Cina tempo doeloe.

Meiska bergeming. Rasa lapar dan tatapan terkejut yang menyejukkan dari laki-laki asing di danau barusan telah mengusiknya. “Sa terlalu rindu.”

“Ya... ya... Bapak su dengar tadi,” bisik Bapak Gunung dengan tatapan rindu.

Tak ada yang bisa menahan pesona Meiska. Dalam sekejap pejabat paruh baya itu telah tenggelam dalam pesonanya. Setelahnya, yang bisa dilakukannya hanyalah berjuang memuaskan dirinya sendiri. Meiska sudah siap. Ia sudah terbiasa.

Di saat-saat semacam ini, Meiska selalu ’terbang’ ke rumah nenek moyangnya. Ke haribaan mbah buyutnya, nenek ibunya, yang telah lama berpulang. Meiska ingat benar peristiwanya. Ketika itu pagi, saat si burik, ayamnya, sakit, dan Mbah Buyut terpaksa menyembelihnya. Meiska menghampirinya, ketika Mbah Buyut sedang mengeluarkan dengan hati-hati seluruh jeroan ayam di sudut dapur.

Mbah Buyut mengangkat si burik, mantan si burik, dan menunjukkannya kepada Meiska, “Lihat, Nduk… kita semua seperti ini. Kita punya ini,” jelas wanita sepuh itu sambil mengelus tubuh si ayam, “Ini tubuh.”

Mbah buyut menunjuk dirinya sendiri. ”Ini tubuh juga.”

Meiska menatap mbah buyutnya, mencoba memahami maksudnya. Mbah Buyut menunjuk dirinya dengan telunjuknya yang telah melengkung karena usia. ”Ini juga tubuh. Tubuhmu.”

Setelahnya dimasukkannya tangannya ke dalam perut si ayam dan sekali sentak dikeluarkannya seluruh jeroannya, “Kita juga punya ini. Jeroan… tapi maksud Mbah, jeroan yang tidak kelihatan.”

“Aku juga punya jeroan, Mbah?”

“Tentu. Setiap orang punya.”

“Jeroan yang tidak kelihatan,“ gumam Meiska, terheran-heran sambil mengamati jeroan si burik yang terlihat kemerahan berlumur darah.

Meiska tak mengerti maksudnya. Ia masih terlalu kecil ketika itu. Tapi, seluruh gerak-gerik mbah buyutnya dan sorot mata yang dipancarkannya membuat gadis cilik itu merasa tenang. Teduh. Luar biasa teduh. ”Kamu bisa membuat jeroan-mu marah atau diam sepanjang kamu mau, Nduk.”

Bertahun-tahun telah lewat, Meiska terus menyimpan kenangan itu dalam-dalam. Di saat-saat yang paling tidak disukainya, seperti saat ini, ia memanggil kembali kenangannya dan memutar ulang kata-kata mbah buyutnya, “Kamu bisa membuat jeroan-mu diam. Hening. Kalau kamu mau.”

“Ko (kamu), bau. Sana… mandi lagi, sudah.”

“Aduh… Ver.  Nanti dululah. Sa (saya) lapar, eee.”

Meiska tidak peduli. Disendoknya penuh-penuh nasi putih hangat ke dalam piringnya dan diambilnya sepotong besar cakalang woku yang baru selesai dimasak Vero. Perutnya lapar .

“Ko  tahu… ada tukang bakso baru. Ganteng.”

Meiska menghentikan kunyahannya.

“Ko su (kamu sudah) kenal?”

Vero menggeleng. “Cuma lihat. Tadi dong (dia) lewat sini.”

Radar ingin tahu Meiska menyala makin nyaring. Ingin ia bertanya apakah laki-laki itu, si tukang bakso, sama dengan laki-laki yang baru dilihatnya di danau. Tapi, Meiska mengurungkan niatnya. Meiska sadar, Vero tak tahu laki-laki itu.

“Ganteng gitu, kalau dia pejabat sudah sa goda, ha…ha...ha….”

Meiska mengernyitkan alis. Sepintas. Ia tak heran dengan komentar sahabatnya. Ia tahu betul, matre adalah sifat hampir seluruh teman seprofesinya.

Meiska menatap lurus-lurus laki-laki muda yang sedang sibuk dengan mangkok-mangkok baksonya. Meiska ingat laki-laki ini. Ingat dengan tatapannya yang teduh. “Ko (kamu) yang di danau tadi siang, to?”   

“Maaf aku baru tahu kalau Mbak… teman-teman bilang harus hati-hati ke danau kalau siang.”

Indra pendengaran Meiska bergetar. Laki-laki ini menyebut kata “mbak” dan bukan “nona” atau “ade” (adik) kepadanya. Benar-benar orang baru. Dan dialeknya itu, lho,….Jawaaaaaaaa banget. Tebakan Meiska jitu. “Baru datang, ya? Dari Jawa, ya. Aku yo wong Jowo, lho.”

Anton mendesah. Senang. Bagaimana pun sangat lega rasanya bisa menjumpai teman ‘sekampung halaman’ di tempat sejauh Papua. Matanya mendelik, menunjukkan kelegaan. Gumamnya, “Dari Jawa juga...”

“...Malang. Desaku di sekitar Malang Utara.”

Anton mengangguk-angguk.

“Namaku Meiska.”

Anton merekam namanya dalam diam.

Meiska menatapnya sekali lagi. Ia ingin mendengar laki-laki itu memperkenalkan dirinya sendiri. Tapi laki-laki itu tetap diam. Meiska tak hendak mendesak.

SEJAK SAAT ITU MEISKA punya kebiasaan baru, diam-diam mencari dan menemui Anton yang suka juga menyendiri di danau selewat siang. Seperti juga siang itu. Meiska berenang diam-diam, berusaha meredam suara sekecil apa pun. Diseberanginya ceruk itu menuju ke rerimbunan rumpun bambu, tempat biasanya Anton berada. Meiska tak mencopot dasternya. Entah kenapa, berhadapan dengan laki-laki muda bermata teduh itu, timbul rasa malunya.

“Aha…!” teriak Meiska, saat muncul dari permukaan air. Ia mencoba mengejutkan dan menangkap basah Anton yang sedang sibuk dengan kotak abu-abunya.

Pemuda itu luar biasa kaget. Sejak Meiska sering muncul tiba-tiba, Anton jadi suka berpindah-pindah tempat menyendiri, berharap tak bersua dengan gadis muda yang menggelitik hatinya itu. Ia pun mulai memasang kewaspadaan baru untuk tak begitu gampang ditemukan. Tapi, Meiska telah lama berubah menjadi gadis yang gesit dan gampang menyelinap, pun di kedalaman danau. Tak sulit baginya menemukan Anton.

Melihat si gadis muncul tiba-tiba, Anton segera menutupi kotak abu-abunya dengan plastik hitam yang selalu dibawanya “Bikin kaget saja, Dek.”

Meiska tertawa. Ada sesuatu dari laki-laki muda ini yang membuat Meiska merasa aman berada di dekatnya. Anton tak seperti laki-laki lain yang biasanya dengan sengaja menatapnya dengan sorot mata lapar. Kebiasaannya yang suka menyendiri dan sikap anehnya yang begitu rapat menyimpan kotak abu-abunya membuat hati Meiska tergelitik. Di antara sekian banyak daya tarik yang ada padanya, Meiska sangat menyukai sorot matanya. Pemuda ini memiliki sorot mata teduh seperti yang dipunyai mbah buyutnya.

“Mas… kenapa, sih, Sampean (kamu) jauh-jauh merantau ke Papua?” tanya Meiska, beberapa saat setelah duduk di samping Anton. Ditekuknya lulutnya dan ditatanya sedemikian rupa daster basahnya untuk menyamarkan lekuk tubuhnya.

Anton melengos, mencoba menghindar dari menjawab pertanyaan ini. Beberapa saat kemudian ditatapnya Meiska. Sejak awal ingin ia bertanya mengapa juga gadis secantik ini sampai tersasar ke lokalisasi di Papua? Kesempatan ini akhirnya tiba. Meiska yang membuka jalan baginya.

“Sampean (kamu) juga, Dek, kenapa merantau jauh ke sini?” Anton berusaha menghindari kata pekerja seks komersial.

Kali ini Meiska yang melengos. Matanya menerawang jauh ke depan. Alam raya terpampang di depannya. Coba ditelurusinya danau perawan yang sejak bertahun-tahun begitu diakrabinya. Meiska menarik napas panjang. Ingin ia melupakan masa lalunya. Penggalan kisah indah masa kecilnya adalah milik pribadinya yang paling dalam. Kini pertanyaan lembut laki-laki muda ini justru mengusik ketenangannya. Apa yang tersisa dari masa lalunya?

Ia ingat benar saat itu. Simbok-nya yang terbiasa berangkat pagi-pagi ke kebun apel, tak beranjak dari ranjangnya. Ia tak hendak ke sana hari ini. Juga esok dan esoknya lagi. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya dengan sepenggal kebun apel kecil di sebuah desa kecil di wilayah Malang yang menjadi tumpuan hidup keluarga.

Musim lalu ia telah meminjam dana untuk membeli obat-obatan bagi pohon apel-pohon apelnya pada seorang rentenir. Betapa sintingnya ketika ia mendapati barang-barang yang sangat dibutuhkannya itu melonjak tinggi harganya. Padahal, pohon apel tak akan bertahan hidup tanpa benda-benda ajaib itu. Betapa lebih sintingnya lagi, ketika didapatinya harga jual apel anjlok di pasaran. Kejadian berikut sudah bisa diduga, keluarga sederhana ini terbelit utang mencekik yang sulit terbayarkan.

“Nggak ke kebun, Mbok?”

Simbok hanya mengelus rambut anak gadisnya dengan wajah mendung. Inilah awal yang membuat gadis ini memutuskan merantau ke Surabaya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Bila kemudian kesasar sampai Papua, ini cerita lain lagi yang merupakan rangkaian panjang kisah klise para gadis seperti dirinya yang terdampar di tempat seperti ini.

“Ini karena Parmin,” jawab Meiska ketus, saat akhirnya terlempar ke kekinian. Teringat ia akan kakak temannya sesama pembantu, yang menawarinya pekerjaan sebagai pelayan toko di Makassar.

Bujuk Parmin kala itu, ”Gajinya satu juta. Lumayan, ’kan?”

Meiska tergiur. Gaji itu empat kali lebih besar daripada gajinya sebagai pembantu. Ia segera mengatakan ’ya’ atas tawaran Parmin. Sementara Parmin tak menyia-nyiakan kesempatan dengan segera mengontak Bari.
Tapi, Makassar hanyalah nama khayalan, karena di tiket kapal yang dipegangnya, tertera tulisan Sorong. Meiska tak punya wawasan apa pun tentang Sorong. Dalam bayangannya, Sorong adalah nama lain Makassar. Lalu, ia mendapati dirinya terdampar di sebuah kelab malam bersama dua gadis sebaya sesama pembantu, setelah kapal merapat di Sorong. Belakangan baru disadarinya Sorong adalah sebuah kota besar terbarat di Papua. Kapan itu? Meiska tak ingat lagi dan tak ingin mencatat peristiwa apa pun setelahnya.

“Parmin? Kenalan Adek?”

Meiska mengangguk.

“Meiska….” Suara yang sangat diakrabinya memanggilnya. Itu suara serak Vero dari atas. “Meis….”

Meiska mendongakkan kepala. Tak terlihat sosok Vero dari bawah sini. Tapi, suaranya menggema sampai ke kuping dua manusia di bibir danau itu. “Sampean dicariin, Dek.”

“Yo…. sa di sini, ada apa?”

“Dicari Kaka Bari.”

“Huh,” dengus Meiska, sebal. ”Ada perlu apa lagi orang itu.”

Tak urung ia beranjak juga. Tak ada seorang ’anak asuh’ pun yang bisa dan berani melawan perintah mucikarinya. Diseberanginya lagi penggal danau menuju jalan setapak yang menjadi penghubung danau dengan kompleks lokalisasinya.

”Capat (cepat) e!”

Teriak Meiska, “Sa… datang.”

“Ko dari mana? Mandi-mandi lagi di danau? Ingat... terlalu lama berendam di air bikin telinga rusak,” semprot Bari.

Meiska diam saja. Ia tak hendak berbantahan dengan sang mucikari, ketika laki-laki bertubuh gempal ini sedang kesal.

“Bapa Gunung tadi telepon…. Dong mau ke sini. Jadi ko dandan yang cantik dan jangan bertemu tamu lain,” sambung laki-laki itu, sambil beranjak pergi. Saat sampai di pintu keluar ia berhenti dan membalikkan badan. Ia melihat sembilan gadis di bawah asuhannya yang sedang duduk-duduk di ruang tamu. Ditatapnya mereka dengan sorot mata garang, “Kamorang, (kalian) masih ingat Sarce, toh. Pengorbanan yang sia-sia karena cinta.  Jangan lagi ulangi perbuatan anak itu.”

Siapa yang tidak kenal Sarce. Gadis manis asal Minahasa itu memutuskan untuk jadi istri baik-baik seorang sopir taksi antarkota. Satu setengah tahun kemudian ia kembali dengan anak di gendongan. Si sopir taksi main mata dengan gadis muda perantau baru. Sarce cemburu berat dan memohon untuk kembali ke kompleks. Bari tak berniat menerimanya kembali melihat tubuh subur Sarce dengan lambaian lemak di perut dan lengan atasnya.

Meiska tak setuju dengan pendapat itu. Dalam kasus Sarce, ini karena suaminya saja yang tetap hidung belang setelah menikah.

“Ko… ko… ko...,” Bari masih belum puas juga rupanya. Ia berkacak pinggang kini. Rupanya laki-laki tinggi besar itu sedang gusar. Tudingnya kepada para gadis itu, “Para perantau itu kenapa mau jauh-jauh kemari? Kenapa?”

Meiska mendesah, “Taratau.”

Vero mengangkat bahu. Yang lain diam. Mereka tahu benar Bari sedang kesal hati dan tak ingin mendapat masalah karenanya.

“Karena terpaksa. Karena kalah bersaing dengan orang-orang bermutu di daerah masing-masing,” sahut Bari, ketus.

Bari ingat dengan dirinya sendiri. Sebagai centeng kelas kambing di sebuah lokalisasi di Surabaya, kedudukannya selalu terancam. Inilah sebabnya ia mau saja merantau jauh-jauh dan menjadi penguasa tunggal di kompleks lokalisasi di Papua. Pada akhirnya ia berhasil membangun kerajaan kecil dengan sejumlah mucikari yunior di bawah asuhannya.

“Juga tukang bakso itu.”

Pipi Meiska memerah ketika jati diri Anton disebut-sebut. Ingin ia menyahut. Tapi diurungkannya niatnya, begitu melihat sorot mata liar Bari.

“Ko, pacaran deng (dengan) Antonkah?” tanya Vero, habis Bari berlalu.

Pacaran? Kata apa itu? Tapi, Meiska mengakui bahwa dirinya merasakan getar-getar yang aneh, ketika berdekatan dengan satu-satunya laki-laki yang sejauh ini tidak berniat menjamah tubuhnya. “Taratau.”

“Bagaimana taratau. Setiap hari kalian  ketemu di danau.”

Meiska mengangkat bahu dan berlalu meninggalkan rasa penasaran yang sangat di benak teman-temannya.

“Tong su jatuh cinta, tho,” komentar seorang gadis, entah siapa.

”Hak asasi itu.”

“Betul... tapi Anton itu cuma pembantu tukang bakso. Jadi dong semiskin-miskinnya laki-laki. Sa tra suka begitu.”

Meiska berenang diam-diam. Di akhir ceruk ia menarik napas dalam-dalam, menyelam dan melesat naik dengan luwes ke bawah rerimbunan pohon bambu. Sesaat kemudian Meiska membuka matanya dan tertegun. Tempat itu kosong. Tak dijumpainya sosok yang dicarinya. Ini kali kesekian sejak pertemuan terakhir mereka dan Anton tak berada di sana. Meiska mendesah resah. Ia berenang kembali ke ceruk, naik ke permukaan dan berjalan ke daratan. Kali ini tujuannya jelas menuju ke tempat tinggal para pedagang.

Tak boleh ada satu pun manusia yang meremehkan para pedagang. Berkat para pedaganglah nadi kehidupan berdenyut. Para pedagang menyusup ke mana-mana, ke daerah rawan, ke medan perang, dan ke kompleks-kompleks lokalisasi. Juga di sini.

Entah sejak kapan para pedagang itu ada. Bisa jadi mereka ada bersamaan dengan berdirinya lokalisasi ini. Mereka datang dari berbagai tempat di Indonesia. Meski memiliki beragam dialek bahasa dan kebiasaan hidup berbeda, semuanya berjuang demi tujuan yang sama: mengumpulkan rupiah untuk hidup.

“O… lihat siapa yang datang,” celetuk seorang laki-laki yang sedang tidur-tiduran santai di sudut barak.
“Mimpi apa tong semalam, ditengok bidadari?” katanya lagi.

Meiska tak peduli. Ia terlalu sering mendengar komentar nakal sehingga kupingnya sudah terbiasa.
Disapunya barak dengan matanya. Tak didapatinya sosok yang dicarinya. Meiska keluar. Diputarinya barak menuju ke lapak-lapak pedagang berada.

Meiska bersua Sule di Lorong. Sule kaget dan mencoba menghindar dengan pura-pura tak tahu kehadirannya. Sesaat Sule hendak berbalik, tapi sudah terlambat.

“Pak,” gamit Meiska, menghentikan Sule yang tengah memanggul sekarung tepung tapioka. Laki-laki paruh baya ini adalah majikan Anton. “Bapak lihat Antonkah?’

Sule memandang Meiska dengan mimik ngeri, “O… eh....”

Meiska mengernyitkan kening, mencoba memahami jawaban Sule yang terdengar samar-samar. Sule balik menatapnya. Tertampak olehnya wajah rindu Meiska yang coba ditutup-tutupinya. Sule pernah muda dan pernah merasakan jatuh cinta. Timbul rasa kasihan Sule kepadanya.

Di sisi lain, Meiska merasa sehati dengan Sule, karena berasal dari Jawa. Tak peduli bahwa Meiska datang dari Malang dan Sule berasal dari wilayah bernama Banyumas yang bahasa dan dialeknya sudah sangat berbeda. Sehingga, dalam keseharian keduanya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia agar bisa saling mengerti. Solidaritas kedaerahan itu begitu terasa bagi para perantau seperti mereka di daerah ini.
Hati Sule luruh. Akhirnya ia menunjuk ke satu arah, “Di sana.”

Maka, di sinilah Meiska. Duduk tepekur di bangku panjang, di balik barak para pedagang, menunggui Anton yang sedang sibuk membanting-banting adonan bakal butiran bakso. Meiska menunggu saat yang tepat untuk bicara.

Setelah menunggu beberapa waktu, kesempatan itu akhirnya tiba. “Mas ndak ke danau lagi?”

“Ndak sempat, Dek. Mas Sule banyak pesanan.”

Hening yang membekukan. Anton kembali pada pekerjaannya, mengangkat adonan bakso yang sebagian besarnya adalah kanji basah berbumbu dan membantingnya ke dalam baskom berulang-ulang. Baskom itu melenting ke atas sebelum berdebam turun menimbulkan suara ribut.

Anton tahu, di kotanya para pedagang bakso tak lagi membuat adonan dengan cara semacam ini. Ada sejumlah pengusaha penggilingan daging di sana. Ke sanalah para pedagang bakso itu menuju.

“Sampai kapan?”

“Hah?’

“Pesanannya… sampai kapan?”

Anton menghentikan pekerjaannya. Keringat menetes dari keningnya, punggungnya. Tetesan keringat yang lain mengalir turun dari pucuk hidungnya. Laki-laki ini benar-benar banjir keringat, yang mampu melelehkan hati Meiska.

Tanpa menatap, Meiska mendengar suaranya. Rendah. Ragu-ragu,  “Ndak tahu aku… coba Adek tanya langsung ke Mas Sule. Dia yang tahu.”

Meiska menyerah. Kesan dingin yang menguar dari ucapan Anton, menyurutkan hati Meiska. Ia segera berdiri dan berlalu. Setindak dua tindak Meiska berhenti dan menoleh, “Kalau sudah ndak… eh... Mas masih mau ke danau? Maksudnya kalau sudah ndak repot?”

Anton mengangguk. Gamang.

Hari menjelang pagi, ketika Sule membuka realitas yang lain. Ini tentang Meiska. Di pagi buta itu Sule bertutur dalam bisik, dibarengi rasa ngeri yang terpendam. Bahwa Meiska itu tambang uang terbesar Bari. Kehadiran Bapa Gunung adalah salah satu dampaknya. Karena, bukan Bapa Gunung satu-satunya pemuja Meiska.

Bapa Gunung, pejabat teras tertinggi di salah satu pedalaman Papua, terhitung sebagai pelanggan boros. Ia sering membawa oleh-oleh apa saja di akhir lawatannya ke berbagai kota besar di Indonesia.

Ini cerita basi sebenarnya. Tapi, dampaknya nyata. Bari kecipratan rezeki tentu. Salah satunya? Pesta. Bapa Gunung kerap membawa serombongan pejabat untuk berpesta. Semua terlibat dan ikut kecipratan rezeki: Bari, para gadis yang lain, dan para pedagang. Sejujurnya, pesta itu membuahkan hasil berlimpah hanya dalam semalam ke berbagai pihak.

Sule menengadahkan wajahnya ke langit-langit kamar. Ia termasuk beruntung, karena bisa menyewa ruang sempit yang bisa dipakai berdua dengan Anton. Sehingga, ia bisa terhindar tidur di barak berbau apak bersama pedagang lain. Di pagi buta ini ancaman Bari terdengar nyata baginya.“Ton… kalau bisa, kamu hindari Meiska.”

Suara bergetar Sule membuat bergidik seluruh tubuh Anton. Ia perantau baru. Sementara tempat ini begitu asing baginya. Tempat ini, sebagaimana lokalisasi lain di seluruh dunia, punya nilai-nilainya sendiri di luar nilai-nilai orang normal. Sampai saat ini Anton tak tahu persis sejauh mana keabnormalan itu berlaku.

Anton mengangguk dalam gelap.

Sule tahu betul kegusaran Bari. PSK yang sedang jatuh cinta bisa merusak keseimbangan. Kalau jatuh cinta pada langganan kaya, masih wajar.  Tapi, jatuh cinta pada laki-laki miskin semacam pembantu tukang bakso yang tak akan mengalirkan fulus, sungguh itu kesalahan yang tidak bisa ditoleransi.

Dalam kasus Meiska, dampaknya jelas. Mulai muncul dalam dirinya rasa malas melayani para pelanggan. Ini sudah terjadi. Sudah dua kali Meiska mangkir menemui Bapa Gunung dengan alasan sedang datang bulan dan sakit kepala. Akibatnya jelas. Pemasukan menurun. Tak heran bila Bari kerap marah-marah akhir-akhir ini.

Sule membayangkan ngerinya bila terusir dari tempat ini. Berjualan di sini bisa mendatangkan keuntungan dua kali lipat dibanding di luar kompleks. “Kalau bisa, ndak usah ke danau dulu.”

Anton terkesima dalam gelap. Muncul rasa penasarannya. Selain Sule, siapa lagi yang tahu kebiasaan-kebiasaannya?

Suara merdu Once, vokalis grup band Dewa, dari compact disk, membahana memenuhi rumah besar. Ini Jumat malam. Jam di dinding menunjuk angka sebelas lebih empat puluh lima menit. Sebagian besar tamu belum beranjak pulang. Malam masih terlalu awal bagi mereka. Meiska menggeser sedikit duduknya, menjauh dari Bapa Gunung yang sedari tadi mendekapnya.

“Bapa ada bawa oleh-oleh dari Jakarta,” bisik Bapa Gunung.

“Oya… apa itu, Bapa?” Mata Meiska berbinar mendengar kata ’oleh-oleh. Jujur Meiska mengakui, selain uang dan benda-benda, tak ada lagi yang menarik pada diri laki-laki ini.

“Tutup mata.”

”Jangan begitulah, Bapa.”

”Ayolah... ini spesial, Nona.”

Meiska menutup matanya. Riang. Sambil memendam penasaran yang sangat akan oleh-oleh yang akan didapatnya. Meiska tahu betul kebiasaan Bapa Gunung. Bila hendak memberikan hadiah yang sangat khusus, ia selalu meminta Meiska menutup mata terlebih dulu.

Setelah yakin perintahnya dituruti, Bapa Gunung merogoh saku celana dan menarik keluar sebuah kotak kecil berwarna merah cerah. Dengan gerakan lambat disorongkannya kotak merah itu ke dalam genggaman Meiska. Kemudian bisiknya di telinga  gadis itu, “Nah… sekarang Nona boleh buka mata.”

Pelan Meiska membuka mata. Diangkatnya tangannya. Terkesima. Tertampak olehnya kotak merah cerah berukuran sedang yang baru diberikan Bapa Gunung kepadanya. Dengan hati-hati dibukanya tutup kotak itu. Sesaat Meiska tergagap, “Oh….”

“Bagaimana?” Bapa gunung menanti komentarnya.

Di telapak tangannya terlihat sebuah jam tangan yang luar biasa indah. Ini sejenis jam tangan yang biasa dilihatnya diiklankan di televisi. Meiska tahu itu karena beberapa kali melihat iklannya.

Sekali lagi Meiska mengamati hadiahnya dan tak habis dibuat kagum karenanya. Ia duduk terenyak di sofa. Meiska tahu benar harga jam tangan ini. Puluhan juta rupiah. Maklum, di setiap bagiannya tertata rapi kristal-kristal swarovsky yang cantik. Meiska menarik napas panjang. Baru sekali ini ia memperoleh hadiah sedemikian besar.

Meiska berteriak girang. Beberapa gadis yang berkumpul di ruang tamu melirik hadiah mewah di tangan Meiska. Timbul rasa iri dalam diri mereka atas keberuntungan yang selalu datang padanya.

Sebagian dari mereka telah lama bermimpi bisa mendapatkan keberuntungan yang sama. Hanya, mereka sadar betul, dibandingkan Meiska, mereka kalah jauh. Singkat kata, dibanding Meiska, mereka hanya kelas teri.

Bapa Gunung merasakan kegembiraan itu. ”Nona suka?”

”Suka sekali. Ini luar biasa indah, Bapa.”

Anton menahan napasnya melihat itu. Sudah sering ia masuk ke berbagai wisma-wisma di kompleks lokalisasi itu. Tapi, melihat dengan mata kepalanya sendiri pujaan hatinya berdekatan dengan pria lain, darah mudanya mendidih.

Buru-buru diangkatnya mangkuk-mangkuk bakso yang telah tandas isinya dari atas meja. Ditumpuknya mangkuk-mangkuk itu di atas nampan yang tadi dibawanya. Segera diraihnya botol-botol kecap dan saus. Ditumpuknya juga di samping mangkuk dan segera berlalu dari sana. Sedetik kemudian ia telah terbebas dari neraka itu. Di luar segera saja gelap malam menelannya. Hanya cahaya lampu di lapak-lapak para pedagang yang menyala terus hampir sepanjang malam menjadi penunjuk arah ke mana seharusnya ia menuju.

Anton berjalan bagai terbang. Ingin ia berlalu dari tempat itu, dari Meiska sang pengkhianat, dari Sule dan dari dunia.

“Mas…,” seseorang memanggil. ”Mas....”

Gemuruh di dada Anton menutup indra pendengarannya. Ia tak menyurutkan langkahnya.

“Mas Anton… tunggu.”

Meiska berlari cepat mengejar Anton, menggamit tangannya. Napasnya memburu. Saat yang digamit bergeming, Meiska berlari ke depan mencoba meredam langkah Anton.  “Mas… maaf… maaf.”

Anton mengernyitkan kening. Wajah pucat Meiska terpantul cahaya rembulan. Riasan tebalnya tak bisa menutupi kegundahan hatinya. Melihat itu Anton terenyuh. Kesadarannya tiba-tiba mengalir kembali ke dalam dirinya. Sejak awal ia tahu betul pekerjaan gadis ini. Mengapakah kini kecemburuan mampu mencuri kesadarannya membuat dirinya diombang-ambingkan rasa marah?

Anton melunak. Ia menyurutkan langkah. “Ada apa?”

Meiska kehilangan kata.

Anton menunggu.

Sesaat di ruang tamu rumah besar ia terkesiap melihat kemunculan pemuda itu. Kemunculan tiba-tiba setelah setengah bulan berlalu di tempat yang tak diduganya. Meiska bisa menangkap kemarahan Anton, ketika melihatnya bersama Bapa Gunung. Karenanya, ia minta izin keluar sebentar. Ingin ia menjernihkan apa yang terjadi. Kalau bisa.

Bapa Gunung sempat terheran-heran melihat gadis itu lari keluar halaman.

Saat akhirnya pemuda yang dirindukannya itu benar-benar di hadapannya, Meiska justru kehilangan kata. Saat akhirnya bisa menguasai diri, Meiska berbicara sekadar untuk mengeluarkan jejalan rasa yang menyesakkan dada. “Aku mau ke danau pagi-pagi. Mas bisa?” Kepada Anton, Meiska selalu menggunakan dialek lokal daerahnya.

Kesadaran Anton kini pulih sepenuhnya. Teringat ia akan cerita Sule. Akan anak-anaknya yang masih keci-kecil yang ditinggalkannya di sebuah kampung miskin di Wonosari, Gunung Kidul, dan istri Sule yang pasti tengah bergulat dengan ladang tandus mereka.

“Aku ndak bisa, Meis.”

“Kenapa ndak bisa, Mas?” Meiska berkeras. Secara otomatis Meiska menggunakan logat Jawa-nya kembali, ketika berbicara dengan orang sesama sukunya.

Anton bungkam. Sungguh tidak tepat menceritakan ancaman itu kepada gadis ini. Biarlah ini jadi rahasia Sule dan Anton saja. Tapi, tak ada yang bisa dirahasiakan di kompleks ini. Segala gerak-gerik dan intrik bisa dibaca dengan jelas. Juga oleh gadis cantik berwajah dewi ini.

“Ini karena Kaka Bari, ’kan?”

Anton memilih tetap bungkam.

”Kaka Bari mengancam Mas?

Anton tak ingin berkomentar.

“Mas… jangan takut… Kaka Bari pasti sudah tidur saat kita ke danau.”

Anton menggeleng-gelengkan kepala. Pantulan cahaya bulan memperjelas kernyit di hidungnya dan ketegasan sikapnya. Ini berbeda benar dengan deraan rindu di wajah Meiska.

“Aku tunggu di tempat biasa. Pukul lima,” putus Meiska akhirnya, sambil berlari kembali ke rumah besar.

Vero menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap suara sekecil apa pun di pagi buta itu. Tak lama terdengar suara kunci diputar perlahan dan derit pintu dibuka dari arah kamar Meiska. Pelan-pelan ia beranjak turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamarnya sendiri. Mengintip.

Dari kamar yang lain muncul Meiska dengan dandanan lengkap dan baju yang dipakainya sejak semalam. Terlihat Meiska berjingkat, menapak pelan-pelan menyusuri lorong menuju dapur, memutar kuncinya, membuka pintu dapur, menutupnya kembali dan keluar menembus dingin pagi.

Vero mendesah. Seperti perintah Bari, ia harus mengawasi Meiska dan mencegahnya melakukan hal-hal yang tidak perlu. Tidak hanya itu, ia juga harus melaporkan gerak-geriknya yang aneh kapan saja. Vero tahu, tidak biasanya Meiska kelayapan di pagi buta. Seperti juga dirinya, subuh adalah awal tidur sebagian besar penghuni kompleks.

Vero menguap menutup pintu kamarnya dan membaringkan diri kembali ke tempat tidur. Sebelum jatuh ke alam tidur, Vero menggumam sebal, “Orang mo pacaran saja tra boleh. Aneh.”

Kabut pagi menyelimuti seluruh permukaan danau, membuat bumi terasa basah dan segar. Di ufuk timur semburat pertama sinar mentari mulai muncul ke alam raya. Sinarnya membentuk seleret panjang cahaya jingga sampai ke angkasa.

Meiska membeliakkan mata. Inilah kabut pagi yang coba dicarinya selama ribuan hari di waktu-waktu yang salah. Kini seluruh jagat raya menyajikan keindahannya sendiri, putih, kelabu, dingin sekaligus menenteramkan. Meiska bernapas dalam-dalam, mencoba merasai kesegaran pagi. Di sebelahnya duduk Anton yang mencakung dengan canggung.

Meiska menyapu wajah pemuda itu. Tampak olehnya keseluruhan sosok Anton. Begitu muda, tampan, tegas sekaligus lembut. Belum pernah dalam hidupnya ia merasakan kerinduan yang memabukkan seperti saat ini. ”Mas sedang mikir apa?”

Anton menunduk. Diamatinya wajah Meiska yang tengah bersandar di bahunya. Rasa letih yang sangat terekam pada matanya. Anton tahu betul, demi saat ini, gadis muda ini rela memundurkan waktu tidurnya. Pagi adalah malam yang kelewat larut bagi Meiska.

“Ndak kangen rumah, Meis?”

Meiska mendesah. Ingatannya segera melayang pulang dan mendarat pada sepetak kebun apel milik bapak dan simbok-nya. Saat kedua orang tuanya belum terjerat utang, kebun apel itu terlihat hijau sempurna. Itu menggambarkan optimisme dan keriangan keluarga sederhana ini. Meiska suka memandangi buah-buah apel bergelantungan di cabang-cabang pohon. Air liurnya keluar saat mengingat gerumbul buah apel Ana yang berwarna merah cerah, tapi rasanya luar biasa asam.

Rasa rindu memenuhi dadanya. Rindu akan kampung halaman dan seluruh isinya. ”Kangen tentu.”

Anton menguatkan hati. Sejak awal kedatangannya ke tempat ini, ingin ia menyampaikan yang satu ini. Puluhan hari telah berlalu. Ia belum mendapatkan kesempatan. Kini kesempatan itu datang tiba-tiba. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

“Ndak pingin pulang?”

Meiska terkesiap. Ditegakkannya tubuhnya. Ditatapnya wajah Anton lekat-lekat. Ada kesungguhan dalam kata-katanya. Meiska segera memalingkan wajah. Disapunya seluruh danau. Kabut pelan-pelan naik membuat bukit di seberang menjadi terlihat hijau kekuningan.

“Pulang?”

”Ya. Pulang.”

”Entahlah, Mas,” jawab Meiska gagap.

”Ini persoalan niat, Meis. Kalau kamu sungguh-sungguh menginginkannya, kamu pasti bisa pulang.”

Rasa ngeri menjalari dada gadis ini. Tujuh tahun bukan waktu yang pendek untuk dilalui. Entah kenapa, setelah sekian waktu Meiska mulai mencintai tempat ini. Meiska merenung dalam-dalam.

Vero heran melihat hasil kerja Meiska terhadap cakalang asap yang tengah disuwir-suwirnya. Cakalang yang telah diasap itu seharusnya disuwir-suwir, disobek-sobek, kasar, sebesar kelingking orang dewasa. Seharusnya Meiska tahu itu. Tapi, lihatlah hasil kerjanya kali ini. Meiska terus menyuwir lagi, lagi, dan lagi sampai suwiran itu menjadi luar biasa halusnya. Meski tidak berkenan, Vero membiarkan saja kerja amburadul itu. Vero tahu benar, bila sedang gundah, segala sesuatunya berakhir dengan chaos bagi Meiska.

“Ver....”

“He-em.”

“Pernah terpikir untuk pulang?”

Vero menatap sahabatnya penuh kasih. Tujuh tahun bersama, sejak dari Sorong dulu, membuat keduanya bagai dua saudara sejiwa. Pulang, bagi wanita seperti mereka, bisa bermakna ganda. Pulang bisa berarti benar-benar pulang ke rumah orang tua di kampung halaman. Tapi, pulang pun bisa berarti berhenti dari pekerjaan maksiat ini.

Vero mencoba menebak maksud pertanyaan Meiska dengan makna yang kedua. Dalam kasus dirinya, ia
belum nenemukan cantelan yang tepat untuk ’pulang’.

“Kenapa? Ada yang su ajak ko untuk kawinkah?”

Meiska menengadah, menatap langit-langit dapur yang menghitam karena jelaga. Pikirannya kembali menerawang ke pinggir danau. Kalau saja Anton menanyakan itu, dengan senang hati ia akan pulang, apa pun risikonya. Tapi, Anton, seingat Meiska, hanya membicarakan pulang, pulang yang sebenar-benarnya pulang alias kembali ke rumah bapak dan simbok-nya.

Meiska menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Maksudnya apa? Bolom (belum) ada yang ajak ko kawin?”

Meiska menengadahkan kepala, menatap Vero dengan wajah lugu. Kemudian, jawabnya lirih, “Sa tra tau.”

”Bagaimana tra tau mo bicara pulang?”

Meiska kembali menggelengkan kepala. Kesedihan kini memenuhi dadanya.

Vero berpikir keras. Bila demikian faktanya, pulang yang semacam ini sungguh berisiko. Pulang berarti menjadi pengangguran yang punya potensi kembali ke kehidupan miskin melarat di kampung halaman. Tapi, pikiran terakhir ini tak hendak dibaginya dengan Meiska. Melihat wajah berantakan sahabatnya, realitas
sekecil apa pun yang coba didesakkan padanya akan membuat hati gadis ini hancur berkeping-keping.

“Sudah… tra usah pikir macam-macam. Bawa sini itu cakalang... eee… ko su bikin cakalang jadi bubur.”
Bagai robot Meiska mengangkat wadah berisi suwiran cakalang dan mengangsurkannya kepada Vero. Setelahnya ia kembali duduk di depan pintu masuk ke dunianya yang lain. Vero hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat itu.

“Halo, Nona-Nona… sedang mamasak-kah?” Tiba-tiba Bari sudah muncul di dapur. Dihampirinya Vero yang sedang bersiap menggoreng suwiran cakalang.

“Su tau ada mamasak, pakai tanya-tanya.”

“Ah, cuma tanya saja, kenapa tra boleh,” jawab Bari, seenaknya.

Bari tahu benar kekesalan Vero atas keisengannya. Tapi, apa pedulinya. Bagaimanapun, Vero adalah sebagian dari harta bendanya. Dilongoknya isi wadah yang tengah dipegang Vero. Ada suwiran cakalang asap di sana. Ia pasti akan memasak cakalang bumbu rica-rica. Segera terbit air liur Bari. Cakalang masak rica-rica adalah salah satu makanan kegemarannya,

“Nanti boleh rasa-rasa sadikit?”

Vero mendelik. Tak sudi ia berbagi makanan dengan laki-laki itu. “Ko kaluar… ini tempat khusus wanita.”

“Jadi sa tra bisa minta sadikit?”

“Enak saja.”

Bari mengernyitkan kening sebelum akhirnya ngeloyor pergi dengan hati kesal. Sudah beberapa minggu ini baik Vero maupun Meiska bertingkah aneh-aneh. Ini sungguh mengesalkan hatinya. Sebagai preman profesional, tak hendak ia berpangku tangan. Ia sudah melakukan penyelidikan seksama. Mengerahkan orang-orangnya. Anehnya, ujung-ujungnya bermuara pada Anton.

Ia tahu, ada ketidakseimbangan yang terbangun sejak kehadiran pemuda itu. Ada sesuatu yang aneh pada pemuda itu. Insting kriminalnya mulai mengendus sesuatu yang lain di balik kehadiran pemuda yang mulai digila-gilai anak asuhannya. Di matanya, Anton terlalu bersih dan santun untuk sekadar menjadi pembantu tukang bakso.

Di sisi lain, Vero mencoba menetralisasi rasa kesalnya. Meski sadar menjadi bagian kerajaan Bari, kedua gadis muda ini tetap menyimpan dendam atas preman asal Banyuwangi ini. Vero punya lukanya sendiri. Demikian juga Meiska. Dulu, di Sorong, Barilah yang merenggut kegadisan Meiska, kemudian menjual kembali ’kemurnian’ Meiska dengan harga tinggi kepada seorang pria tua mabuk dari pedalaman. Setelahnya, Vero mendapati wajah ketakutan, nelangsa dan putus asa Meiska. Ini gambaran wajahnya sendiri setahun sebelumnya di tempat yang sama.

Vero mengamati lorong rumah tempat Bari barusan melintas. Ia mengawasi dengan teliti, memastikan tak ada seorang pun di sana. Kemudian dihampirinya Meiska yang masih duduk tepekur di depan pintu.

“Ko ditunggu Anton di tempat biasa. Pukul sembilan malam ini.”

“Apa?” Meiska hanya menangkap separuh penjelasan itu.

”Ssst... jangan keras-keras ko bicara. Nanti ada yang dengar.”

Sambil meredam gejolak di dadanya, Meiska bertanya lagi, “Anton mo ketemu sa? Kenapa dong ingin ketemu?”

“Mana sa tau… Anton cuma pesan itu.”

Meiska belum pernah ke danau malam-malam. Tapi, tak ada yang ditakutkannya untuk ke sana. Terutama, bila untuk menemui Anton. Dengan hati-hati ditapakinya jalan menurun menuju danau. Ia telah terbiasa menapaki jalan ini. Sehingga, telapak kakinya bagai memiliki mata tersendiri.

“Meis…,” bisik seseorang, ketika terdengar langkah kaki mendekat.

“Mas Anton?” balas Meiska lega, saat mengenali suara itu.

Cahaya bulan menerangi seluruh permukaan danau. Seleret cahayanya yang putih pucat jatuh di sisi barat danau membentuk tangga cahaya ibarat jalan turun para bidadari surga. Kekinian yang tersaji terasa lain, syahdu, hening, damai.

Meiska menjatuhkan dirinya dalam pelukan Anton. Segera hidung mungilnya menangkap bau yang lain. Bau yang coba diresapinya dengan keseluruhan jiwanya. Bau jantan pria.

Ditatapnya wajah pria ini. Belum pernah ia merasakan cinta yang begitu besar yang mampu memorak-porandakan hatinya. Biasanya, dialah yang memorak-porandakan hati pria.

Anton meraih Meiska. Memeluknya erat. Melepaskan kerinduan yang menyesakkan dadanya. Sesaat kemudian ia teringat akan tujuan utamanya memanggil gadis ini malam-malam ke danau. Ia melonggarkan dekapannya. Setelahnya sebelah tangannya merogoh kantong celana, mengaduk-aduk sebentar dan menarik sesuatu dari sana. Kemudian coba ditengadahkannya wajah Meiska. Sesaat ditatapnya mata jernih itu.

“Meis… aku ingin kamu pulang.”

Meiska mematung. Tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Coba ditatapnya mata Anton. Tapi, mata itu hanya memancarkan satu hal: kesungguhan. Meiska menarik napas panjang, bingung dan resah. Belum pernah dalam hidupnya ada seseorang yang memberinya perhatian berlimpah. Ini benar-benar jalan menuju surga yang penuh onak dan duri. Jalan ini sungguh membahagiakan sekaligus menakutkan baginya.

“Ini…,” kata Anton, sambil mengangsurkan lembaran kertas dan menjejalkannya ke tangan Meiska.

Meiska mengangkat tangannya. Bingung. “Apa ini?”

“Tiket.”

Meiska mengamati bundel kertas di tangannya. Jawabnya nanar, ”Oya...

ini tiket.”

”Pulanglah,” tegas Anton. ”Seminggu dari sekarang.”

”Pulang, ya?”

Anton melihat keraguan pada diri gadis itu. “Aku ingin kamu pulang.”

Meiska menatap nanar tiket kapal penumpang yang akan membawanya ke Jawa. Wajahnya pias. Lintasan-lintasan pikiran membuat kepalanya pusing. Setelah tersadar kembali ditatapnya Anton dengan pikiran kalut. “Bagaimana ini? Kenapa harus terburu-buru?”

“Bagaimana apanya? Kamu sudah terlalu lama di sini, Meis. Mas tahu itu.”

Meiska tetap memendam kebingungan yang sangat. Telapak tangannya dingin. Hatinya sama dinginnya. Ternyata janji kebebasan sedemikian menakutkannya.

Anton ingin menepis keraguan gadis itu. ”Percayalah, Meis... pulanglah. Ini kapal penumpang satu-satunya sampai enam bulan ke depan yang berangkat di pagi hari. Ingat baik-baik, Meis. Aku tak mungkin selamanya berada di kompleks. Aku khawatir….”

Meiska menengadahkan wajah berucap seperti gumaman dalam tidur, ”Aku… aku… bagaimana aku bisa pulang seperti ini? Apa kata Bapak dan Simbok?”

”Kenapa dengan bapak dan simbok-mu?” tanya Anton, tak mengerti.

”Lihatlah wajahku… aku ndak punya alis.”

Anton menatap Meiska dengan kebingungan yang lain. Ditelitinya wajah gadis itu. Ada dua alis bagus di sana yang berasal dari hasil ukiran pensil alis sebuah tangan terampil. Saat itu Anton baru tersadar para PSK di kompleks itu umumnya tak beralis. Tapi, apa hubungannya tak beralis dengan keengganan gadis ini untuk diselamatkan?

“Bapak dan Simbok akan menerimamu apa adanya, Meis. Dengan atau tanpa alis.”

”Dulu alisku bagus.”

”Aku percaya.”

Meiska memeluk kembali Anton. Didekatkannya wajahnya ke dada pemuda itu. Pelan tapi pasti kegairahan Anton bangkit. Belum pernah dalam hidupnya ia merasai pelukan sehangat dan sepasrah ini dari seorang wanita muda. Dengan canggung diciumnya bibir kekasihnya itu.

Meiska meresapi setiap kehangatan yang mengalir dari bibir Anton. Belum pernah dirasakannya ciuman yang begitu memabukkan. Ia bagai meneguk sari madu murni. Begitu segar dan manis.  Ingin Meiska tidur bersama Anton. Mencoba merasainya. Meiska membayangkan, tidur bersama orang yang dikasihi akan lain rasanya. Terlebih di tempat semacam ini, di alam terbuka disinari cahaya redup rembulan dan ribuan gemintang.

Tapi, Anton tak ingin lebih jauh lagi. Otaknya terlalu tegang memikirkan rencana kebebasan gadis muda ini, sehingga tak ada ruang baginya untuk seks.

Tangan Anton mengelus rambut Meiska pelan dan lembut seperti memberi perlindungan. Meiska terlelap dalam keterpesonaan yang sangat. Elusan tangan itu mengingatkannya pada elusan tangan mbah buyutnya. Meiska tersedu.

Keduanya bagai hanyut dalam mimpi dan tersadar kembali oleh sebuah suara.

“Meiska…,” seseorang memanggil dari atas. Hati-hati.

Keduanya menajamkan pendengaran. Mengasah kewaspadaan.

Suara di atas memanggil lagi. “Meiska… Meis… ko di manakah?”

Itu suara yang sangat dikenalnya. Suara panik Vero. “Ya… sa di sini.”

“Capat ko naik. Bari su cari-cari ko. Dong ada marah-marah.”

Meiska buru-buru bangkit, menggenggam erat tiket yang barusan diberikan Anton kepadanya dan menyusupkannya ke balik baju dalamnya. Demi menjaga segala kemungkinan, segera setelah sampai di tanah datar, ia berlari secepatnya memutar menuju dapur rumah besar. Ketika berlari di bawah siraman cahaya bulan, tertangkap olehnya sosok tinggi besar Bari yang tengah berkacak pinggang di teras depan.

Napasnya serasa akan putus, ketika sampai di halaman. Sambil mengatur napas, ia berkata ketus, “Kaka cari sa-kah? Ada perlu apa?

Bari berbalik. Ia menangkap napas panjang pendek gadis itu. Alisnya berkernyit heran. “Ada perlu apa ko bilang? Ko su tau, ada banyak tamu. Ko menghilang ke mana?

“Menghilang ke mana? Sa tra ke mana-mana.

Tra ke mana-mana apa? Ko tra ada di ruang tamu.

Sa pipis.

“Pipis apa? Sa su cari ko sampai ke kamar mandi, ko tra ada di sana.

Meiska pucat. Rasa panik yang sangat mendera dadanya membuat keberaniannya muncul. Kemudian sahutnya lagi, nekat, sembarangan, “Sa mo pipis di bulan atau di kutub, terserah sa. Kenapa Kaka ada urus orang pipis?

Segera Meiska melenggang menuju sofa besar di ruang tamu, tempat beberapa laki-laki telah menunggunya. Segera setelah duduk dirabanya jeans pendeknya. Dirasainya jejalan tiket di dalam sana. Ia mendorongnya sedikit, meyakinkan diri bahwa tiket itu tetap tersimpan rapi.

Bari marah benar. Belum pernah dirinya dibohongi sekaligus dikurangajari oleh anak buahnya semacam itu. Bila menuruti kata hati, ingin benar ia menyeret gadis itu membawanya ke kamar mana saja.

Sekali dua kali memang Bari pernah mendesakkan keinginannya. Tentu ia berhasil. Tapi, Meiska segera melakukan aksi mogok setelahnya. Seminggu penuh ia mengaku sakit. Ketika akhirnya Bari menjenguknya, didapatinya bau bawang merah dan minyak tawon memenuhi kamar gadis berwajah bidadari itu.

Sedemikian rupa sandiwara itu berlangsung, sampai Bapa Gunung yang sibuk membawa sebuah dus besar terbungkus kertas kado merah muda pun, ditolaknya. Bari merasa rugi mendapati kenyataan demikian. Kini, ia tak hendak menentang keras gadis itu. Bari berlalu sambil mengakui kekalahannya untuk sementara waktu.

Pagi menjelang siang kala kapal penumpang Lambelu meniup peluit untuk ketiga kalinya. Para penumpang terakhir buru-buru naik ke atas kapal. Sebaliknya, sebagian pengantar yang masih tersisa di atas kapal buru-buru turun ke dermaga.

Wisnu menjengukkan kepalanya ke bawah. Di bawah, di dermaga, dilihatnya Anton yang tengah menatap nanar gerbang keluar-masuk penumpang. Ia bersikap sedemikian rupa, seolah tak hendak beranjak dari sana.
Wisnu berteriak dari buritan kapal, “Anton… naik cepat. Tangga mau diangkat.

Telinga Anton tuli.

Beberapa petugas pelabuhan berjalan cepat menuju pinggir dermaga, untuk menyingkirkan tangga penghubung. Saat melintasi pemuda itu, mereka terheran-heran mendapati seorang calon penumpang seperti enggan naik ke atas kapal. “Nyong… (panggilan kepada anak muda) ko mo berangkatkah? Tong mo angkat ini tangga.

Anton menyerah kini. Tak guna lagi menyembunyikan jati diri. Dikeluarkannya laptop-nya dan dibuangnya tas plastik hitam yang sejak awal masa tinggalnya di kompleks telah mampu menyembunyikan benda berjubah abu-abu itu dari penglihatan semua orang. Sambil menenteng laptop, ditapakinya tangga kapal yang akan membawanya ke Jawa. Ia adalah penumpang terakhir yang naik ke atas kapal pagi itu.

Kapal bertolak perlahan meninggalkan pelabuhan Jayapura. Di dermaga para penumpang melambai-lambaikan tangan memberi salam terakhir kepada sanak atau kenalan. Tapi, hati Anton beku. Tak mampu direkamnya kemeriahan pagi itu.

Anton menarik napas panjang dan berat. Tak ada yang bisa dilakukannya kini, kecuali menerima kenyataan. Angin bertiup lembut. Baunya amis sekaligus segar. Ingat benar dirinya akan angin segar yang sama yang pernah dinikmatinya bersama Meiska di tepi danau.

Siang itu Meiska menatapnya sedemikian rupa, seolah belum pernah melihat wajah segar seorang laki-laki muda. Panggil aku Wening, Mas.

Namamu itu?

Ya... Mbah Buyut yang memberikan nama. Nama itu diambil dari namanya, Weningsari. Biar aku bisa halus dan diam seperti dirinya.

Wening, Anton merekam nama itu sepenuh hatinya.

Sesaat terdengar dering nyaring di ponselnya. Anton sedang malas berhubungan dengan siapa pun saat ini. Ponsel itu terus menjerit-jerit, sampai akhirnya berhenti dengan sendirinya. Sesaat kemudian terdengar dering di ponsel Wisnu.

“Halo… ya, beres, Mas, jawab

Wisnu, atas panggilan telepon Anggar Wibisono, wakil pimpinan sebuah

LSM yang tengah menyelidiki women trafficking di Indonesia, khususnya di kawasan timur semacam Papua. Entah pertanyaan apa lagi yang diajukan Anggar, karena Wisnu segera sibuk ber-’ya’ dan
ber-’beres’ melalui ponselnya.

“Dia baik-baik saja, Mas… ponselnya aktif, kok. Tadi barusan bunyi. Diam sejenak. Kemudian jawab Wisnu lagi, Nggak tahu, ya, Mas. Tempat kami berbeda, sih. Anton di Sentani… di Tanjung. Saya di Hamadi Pantai. Jarak kami tiga puluh lima kilometerlah.

Anton melirik. Ia tahu benar topik yang sedang dibicarakan Wisnu. Tapi, semangatnya telah runtuh untuk melayani siapa pun. Pikirannya menerawang ke mana-mana, sesak dan penat. Ia masih tak percaya kekasihnya telah mengkhianatinya. Bila mengingat segalanya, juga keyakinan yang dipompakannya, rasanya mustahil bila gadis itu tega memalingkan hati.

“Yah… ada keterlibatan aparatlah, Mas. Jelas terbaca ini. Wong akses masuknya cuma dua, bandara dan pelabuhan. Jadi, sebenarnya lebih bisa dan lebih gampang dideteksi, suara Wisnu lagi.

Angin laut bertiup lembut. Burung-burung camar terbang di udara. Ikan-ikan kecil berlompatan riang di permukaan laut. Laut biru jernih tampak di mana-mana, dari buritan juga dari anjungan. Semua orang menyambut keberangkatan kapal dengan riang. Semua orang?

Ya… Mas mau bicara langsung?

Wisnu menjauhkan ponselnya dan mengangsurkannya kepada Anton. Tapi, uluran tangannya terhenti di udara. Belum pernah dilihatnya wajah rekan kerjanya seberantakan itu. Segera diurungkannya niatnya semula.

“O… anu… bagaimana kalau sebentar lagi Mas telepon? Ya... saya sampaikan nanti.

Kapal penumpang Lambelu langsung meluncur membelah Teluk Humbolt menuju laut lepas. Di salah satu sudut pelabuhan, seorang laki-laki tinggi besar menggeram senang. Dikeluarkannya segepok uang dan diangsurkannya kepada seorang pria berseragam. Setelahnya ia beranjak, memasuki sebuah ruangan, dan menarik seorang wanita muda berwajah bagai bidadari yang tengah terkulai lemas dengan sisa air mata di wajahnya.

“Ayo, pulang,“ kata si tinggi besar sambil menyeret si bidadari muda keluar wilayah pelabuhan.

No comments: