12.22.2010

Pulung

Waktu itu bulan Juni. Ketika tanpa sengaja aku menemukan foto-foto lama keluargaku. Warnanya sudah sedikit kekuningan, karena lembar-lembar itu telah usang. Seingatku, terakhir melihatnya ketika aku masih di bangku SD. Setelah itu, entah di mana Ibu menyimpan, aku tak pernah tahu. Ternyata, setumpuk itu tersimpan dalam lemari kayu tua yang sangat jarang dibuka.

Waktu pertama membukanya kembali setelah bertahun terlupakan, aku tersenyum sendiri. Semua masih seperti dulu, ada foto ketika Romo dan Ibu menikah. Upacara panggih yang terkesan sakral, lalu upacara tumplak punjen, karena Ibu adalah anak ragil, bungsu.

Lalu, foto-foto yang kutemukan itu menyedotku pada masa lalu. Masa ketika keluargaku mulai terbentuk. Pada album hijau ada foto-foto, ketika Mas Wisnu Wardhana, kakak tertuaku, lahir. Romo duduk di kursi menggendong bayi mungil dikelilingi para abdi yang duduk bersila di tikar memanjatkan doa-doa. Pula ada foto Mas Wisnu pada upacara tedhak siten. Adat keraton, ketika pertama kali seorang anak menginjakkan kaki di tanah. Dan, masih banyak foto-foto yang menceritakan bagaimana Mas Wisnu tumbuh.

Lalu, di album cokelat ada foto-foto Mas Indra Prabangkara, kakak kedua. Sama seperti foto-foto Mas Wisnu, foto Mas Indra juga lengkap ketika lahir hingga masa-masa pertumbuhan. Bahkan, yang ini lebih lengkap. Ada foto ketika Romo membawa payung dan menggendong gentong kecil yang berisi ari-ari Mas Indra untuk dikubur di samping kiri pintu utama.

Lalu, yang terakhir adalah album merah yang berisi foto-fotoku. Koleksi di album ini lebih banyak dari album-album yang lain. Jumlahnya hampir dua kali lipat. Bahkan, foto tedhak siten lebih komplet dari yang lain. Wajahku bulat dengan mata bersinar-sinar duduk di dalam kurungan ayam dengan bebera&pa mainan terserak. Tetapi, tanganku memegang sempoa kayu berwarna cokelat tua. Memang, dari ketiga anak Romo dan Ibu, foto-fotokulah yang paling banyak. Tetapi, ada yang kurang. Karena, aku tak mendapati foto kelahiranku. Tak ada foto, ketika Romo menggendongku lalu dikelilingi para abdi dalem yang memanjatkan doa-doa. Tak ada foto Romo menggendong gentong kecil yang berisi ari-ariku untuk dikubur. Kubolak-balik tetap saja tak kutemukan foto itu.

Hal itu membuatku mengerutkan kening. Ke mana foto kelahiranku disimpan Romo atau Ibu. Tak mungkin aku bertanya pada mereka, karena Romo telah meninggal sejak aku berusia 13 tahun dan Ibu menyusulnya pada musim hujan empat tahun lalu.

Ketiga album itu tetap kusimpan dan rawat baik-baik, seperti kurawat benda-benda lain peninggalan keluarga tumenggungan ini. Jika ada waktu longgar, sesekali aku melihat kembali foto-foto itu.

Sebagai seorang tumenggung di Keraton Surakarta, Romo cukup sukses secara materi. Itu tak lepas dari usaha dan jerih payah Ibu yang sanggup meneruskan usaha pembatikan di lingkungan keraton ini. Meski banyak pengusaha batik di Kampung Kauman, Romo dan Ibu tetap sanggup bersaing. Ibu yang menggantikan mertuanya, nenekku, membuka kios di Pasar Klewer, yang akhirnya diwariskan padaku, putri bungsu tumenggungan. Satu-satunya anak perempuan yang dimiliki Romo dan Ibu.

Sejak kecil Ibu sudah mengajarku dan mengenalkan aku pada batik. Aku sering pergi ke kebon belakang tempat para pembatik dan tukang-tukang cap bekerja. Dengan menggunakan canting, kain-kain putih itu dilukis dengan cairan hitam yang menguarkan bau sengak. Kemudian kain itu diwarnai, lalu dicuci pada air mendidih agar malam, lilin perintang pada batik itu, hilang, sehingga menampakkan motif yang indah hasil karya orang-orang kebon.

Kadang-kadang, sepulang sekolah, aku naik becak menyusul Ibu yang berdagang di Pasar Klewer. Sebuah tempat ketika seorang wanita menjadi lain. Ketika di rumah, mereka adalah janda, istri, atau ibu, di Pasar Klewer, mereka adalah direktur. Menunjukkan kemampuan hebatnya, ketika mengambil keputusan-keputusan final saat menjual atau membeli. Baik batik atau berlian. Dan, teman-teman Ibu sesama pedagang yang mampir ke kios akan mencolek pipiku karena gemas, sambil berkata, “Juragan cilik sudah makan apa belum?”

“Sudah, dua kali!” jawabku, dengan gembira. Lalu, teman Ibu akan mengelus rambut dan juga mencium pipiku. Kadang-kadang mereka membelikanku semar mendem, makanan dari ketan yang diberi saus santan kental. Atau, mereka belikan aku permen atau es sirop. Semua ingatan itu terekam baik dalam benakku.

Dan sekarang, akulah yang melanjutkan usaha batik sejak Ibu meninggal. Banyak kesulitan kuhadapi, meskipun sejak kuliah aku sudah membantu menjalankan usaha ini. Mengatur para pembatik, juga tukang cap dan pekerja-pekerja lain yang berhubungan dengan batik. Pada saat seperti itulah aku makin mengakui betapa luar biasa ibuku. Karena, bukan hanya mengatur gaji buruh dan belanja perlengkapan batik, tetapi juga menentukan jenis batik apa yang harus lebih banyak diproses, berapa kodi pekerja harus membuat batik kawung, ratu ratih, sekar jagad, parang barong, parang klitik atau bledak. Ibu harus memahami pasar yang persaingannya begitu keras.

Beruntung pada masa remajaku, aku sering menunggui Pak Minto yang meneliti hasil batikan, kalau-kalau ada yang perlu diperbaiki. Aku suka melihat dan mengajak ngobrol Yu Warti atau Yu Muji, ketika mereka sedang membatik. Kuamati baik-baik, ketika mereka memonyongkan bibir meniup carat canting sebelum melukis kain. Tak kusangka bahwa ternyata akulah yang meneruskan bekerja sama dengan mereka.

Dan tahun lalu, ketika aku memutuskan untuk membuat Rumah Batik di sebelah utara garasi, aku mulai menata ulang rumah utama dan beberapa ruang, yang banyak berisi benda-benda kuno milik keluarga. Mas Wisnu dan Mas Indra tak keberatan, setelah aku memberi alasan, bahwa jika tetap di Pasar Klewer, lingkup ruang gerakku sangat kurang. Profesionalitas dan kreativitasku tak mungkin bisa tertampung pada kios yang luasnya sama dengan luas kamar mandi tumenggungan. Tak ada ruang untuk display. Sehingga, beberapa kenalanku malas datang, karena di Pasar Klewer terlalu berjubel.

Itulah alasan yang membuat kedua kakakku sangat mendukung keputusanku untuk pembangunan Rumah Batik. Bahkan, mereka bersedia membantu mendanainya. Pada saat itulah, pada saat aku menata ulang barang-barang keluarga itulah, aku menemukan foto-foto yang kini terhampar di meja kerjaku.

Aku masih memandangi dua foto kelahiran dan tiga foto tedhak siten. Masih tetap bertanya-tanya ke manakah foto kelahiranku? Sungguh aku ingin tahu, seperti apa saat pertama aku menghirup udara. Mungkin seperti kedua kakakku yang telanjang masih berlumur cairan dari rahim ibu, bayi mungil itu tengah menangkap udara. Tangannya menggapai-gapai lucu sekali. Tak jarang aku menitikkan air mata, jika terus memandanginya.

Gorden cokelat muda motif lokcan di sebelah kananku berkibar-kibar pelan oleh embusan angin yang menerobos dari jendela samping. Sehingga, kamar ini menjadi lebih semilir. Memang, daun jendela kubiarkan tetap terbuka, meski malam merambat datang. Pada saat perenungan itu, aku dikagetkan suara ketukan dari luar.

“Mbak Rintan, sudah malam, mengapa tak keluar? Simbok sudah sediakan air panas untuk mandi.”

“Ya, Mbok. Sebentar lagi,” jawabku, tanpa beranjak dari kursi.

“Nanti airnya keburu dingin.”

“Baiklah, saya akan mandi sekarang, Mbok.”

Dengan malas aku beranjak, tak ingin mengecewakan Mbok Yekti yang telah susah payah memasak air untukku.
Bukan hanya itu, ketika aku bersiap ke kamar mandi, ternyata ia pun sudah menyiapkan teh panas di meja depan televisi. Aku menyeruput sedikit, merasakan nikmatnya teh buatan Mbok Yekti. Wanita sepuh itu telah berpuluh tahun mengabdi di sini. Sejak Mas Wisnu lahir hingga beranak dua. Tentu ia lebih mengenal rumah ini daripada aku. Betapa aku terharu waktu itu. Pada hari ketika Ibu meninggal, ia terus di sampingku. Menjagai dan menghiburku. Dan betapa meluap terima kasihku, karena ia tetap bersedia tinggal di sini. Ia kasihan padaku, karena hanya seorang diri menghuni rumah besar ini.

Tempat inilah yang mempertemukan jodohnya, sekaligus membuatnya menjadi janda. Suaminya tukang setor dagangan batik yang dihasilkan rumah ini. Lalu jatuh cinta pada penjaga kios Pasar Klewer. Mungkin ia kawin lari dengan wanita itu. Karena, menurut Mbok Yekti, ia tak pernah pulang lagi setelah kedoknya diketahui ibuku.

Mbok Yekti seperti menggantikan ibuku, meringankan kerepotanku dan membantu menyiapkan segala keperluanku. Sering, karena kesibukan yang menumpuk, aku lupa memberinya uang belanja, tapi ia tak pernah meminta. Baginya, tetap diizinkan tinggal di rumah ini dan mengurusku, itu sudah sangat membahagiakannya. Begitu katanya, ketika suatu hari aku memintanya supaya mengingatkan, jika aku lupa memberi uang belanja.

Aku sering memergoki ia memandangku lama, ketika duduk sambil nyakrik, memilah-milah batik menurut motif yang diproduksi di rumah ini. Atau, ketika aku melepas penat dengan nonton televisi.

Ketika aku bertanya apa yang sedang ia pikirkan tentang aku, ia hanya menjawab, “Den Rintan hebat. Den Rintan adalah pahlawan bagi buruh-buruh batik di rumah ini. Karena, Den Rintan ternyata mewarisi bakat Ndoro Puteri. Makanya, tidak heran, kalau buruh-buruh di kebon sangat hormat dan sayang pada Den Rintan.”

“Begitu, ya, Mbok?”

“Iya. Masih ingat dulu waktu Ndoro Puteri bicara, bahwa Den Rintan ujian, Pakde Karto dan Pakde Marji puasa Senin-Kamis, nyenyuwun, mohon pada Gusti Allah supaya Den Rintan sukses. Kemarin, sewaktu Den Rintan meresmikan Rumah Batik, seluruh kebon mengadakan doa pada malam sebelumnya. Supaya usaha yang dirintis Den Rintan berjalan dengan baik. Rezekinya lancar. Karena, lancar bagi Den Rintan artinya juga lancar bagi para buruh itu.”

“Ah, Mbok. Mana bisa saya hidup tanpa pakde-pakde dan mbokde itu. Jelas saya tidak mungkin bisa hidup tanpa Yu Par atau yu-yu yang lain.”

“Itulah! Seperti yang Simbok bilang. Den Rintan hebat.”

“Mbok, dari tadi, kok, manggilnya pa­kai ‘Den’ terus. Kan sudah saya katakan berkali-kali, panggil saya Mbak, atau Rintan saja. Jangan pakai ‘Den’!”

“Baiklah. Tetapi, Simbok memanggil begitu karena Den Rintan keturunan Kanjeng Tumenggung Rekso Darmo.”

“Tumenggung juga manusia biasa. Nyatanya Romo bisa meninggal. Romo punya kelemahan. Bahkan, Mas Wisnu bilang, Romo meninggal karena ternyata Romo mengidap penyakit....”

“Sudah... sudah, Den Rintan. Tak perlu diingat lagi!”

“Ah, Simbok ini. Kalau masih memanggil ‘Den’, saya tidak akan meladeni.”

“Iya. Mbak Rintan, baiklah. Tetapi, harusnya Mbak Rintan percaya bahwa Ndoro Kakung....”

“Saya tetap saja ingat. Sebab, kata Mas Wisnu, Romo sakit karena banyak berhubungan dengan bermacam wanita.” Aku memotong kalimat Simbok. Wanita sepuh itu menunduk dalam. Lalu kemudian memandangku lagi dengan lembut.

“Ah, Ndoro Kakung itu priayi yang baik, Mbak Rintan.”

“Tetapi, mengapa tega berhubungan dengan wanita lain? Tanpa memedulikan perasaan Ibu?”

“Sudahlah, Mbak Rintan. Tidak usah mengungkit lagi. Ndoro Kakung dan Ndoro Puteri sudah tenang di alam sana.”

Mbok Yekti akan terus menenangkan perasaanku. Ia memang suka mengingat dan mengucapkan betapa baik Romo dan Ibu.

Tetapi, suatu hari, ketika aku berbaring di sofa karena kelelahan setelah seharian bekerja di Rumah Batik, Simbok datang memijit kakiku. Seperti biasa, ia akan menceritakan banyak hal. Mendongeng tentang desanya, tentang zaman Londo atau tentang kenakalan kakak-kakakku semasa kecil. Lalu, seperti mendapat kesempatan, aku memintanya bercerita, bagaimana suasana ketika aku dilahirkan.

“Maafkan Simbok, Mbak Rintan. Rasanya Simbok sudah lupa. Semuanya lupa bagaimana Mbak Rintan ketika lahir. Apalagi, soal Den Bagus Wisnu dan Den Bagus Indra lahir. Maklum, sudah tua. Pikun.” Ia berkata sedikit gugup. Mbok Yekti lalu bergegas ke belakang dengan alasan mau memanasi sayur. Aku menjadi gelisah. Seolah ia enggan kuajak ngobrol lagi. Padahal, aku tahu betul, tentu banyak yang dia ingat tentang rumah ini.

Aku akui, memang perasaanku terganggu, ketika suatu sore Bagas datang ke rumah saat aku sedang membersihkan album-album itu dengan kemoceng. Bagas menyempatkan membuka-buka, lantas kami berdua membuka-buka dan membahas foto-foto itu. Ia banyak komentar tentang masa kecil kami. Namun, ketika ia tak mendapati foto kelahiranku, ia menggoda dengan berkata, “Jangan-jangan kamu bukan anak Romo dan Ibu. Jangan-jangan kamu anak pungut, Rintan.”

“Kalau ternyata iya, bagaimana?”

“Aku tidak jadi meminangmu,” katanya, sambil tertawa.

Aku tahu ia hanya menggoda, namun kalimat itu sangat manjur, membuatku ingin mencari foto kelahiranku. Tapi, satu-satunya orang yang tinggal di rumah ini, yang tahu banyak tentang keluarga ini, sudah mengaku pikun, meski usianya belum genap enam puluh tahun.

Berbeda dari Bagas, kekasihku itu tak pernah lagi mengingat, apalagi mengungkit soal foto. Sebenarnya, aku tahu Bagas biasa bercanda, meskipun kesehariannya selalu dipaksa berpikir serius. Sebagai seorang manajer di developer perumahan, ia dituntut inovatif dan sanggup bersaing. Tetapi, perkataannya sore itu, entah mengapa, tak bisa kuanggap canda saja. Sehingga, aku masih sering terganggu dengan kalimatnya. Ia tak jadi meminangku, seandainya aku hanya anak pungut keluarga tumenggungan. Ketika sekali lagi aku membicarakan tentang itu, ia kaget.

“Bagaimana mungkin hanya karena kalimat candaku itu kamu begitu resah, Rintan? Mestinya kamu pikir, bisa saja saat kamu lahir tukang foto yang dipanggil Romo berhalangan datang. Atau, tukang foto itu datang tapi hasilnya rusak. Sudah! Tak ada gunanya kamu memikirkan itu. Asal kamu tahu, Rintan, seandainya benar kamu bukan anak kandung Romo-Ibu, aku tetap mencintaimu. Tetap menikah denganmu dan akan memiliki anak-anak dari rahimmu. Maafkan aku kemarin bercanda. Aku tidak bermaksud serius, aku hanya bercanda. Mulai sekarang kamu tidak perlu memikirkan lagi. Oke?”

Aku mengangguk. Resahku berangsur hilang.

Memang, selain Mbok Yekti dan kedua kakakku, Bagaslah orang yang mendukungku. Yang selalu menaruh perhatian kepadaku. Dulu, ketika aku membangun rumah batik yang kunamai Putri Kencana ini, ia banyak memberikan waktunya untuk mengurus tukang, memantau pembangunan. Bahkan, ketika aku membutuhkan dana mendesak, ia merelakan tabungannya.

Hubungan selama tiga tahun yang telah terjalin, tepatnya setahun sepeninggal Ibu, membuatku kembali mendapatkan kemanjaan. Aku begitu percaya padanya dan rasanya tak mungkin aku jatuh cinta lagi selain dia. Sepertinya aku sudah hentikan langkah, karena telah menemukan yang kucari. Dia anak sulung, sedangkan aku bungsu. Mbok Yekti bilang, menurut hitungan Jawa, itu sangat klop. Cocok! Ya! Aku memang merasa cocok dengan Bagas.

Tetapi, suatu hari pendapatku tentang hubungan kami berubah. Sebenarnya, aku takut mengatakan, tetapi harus kuakui bahwa aku jatuh cinta lagi.

Awalnya hanya pertemuan biasa. Aku mengenalnya, ketika ia datang mengantarkan turis asing berkunjung di rumah batikku. Saat itu menjelang malam. Lampu-lampu jalanan sudah dinyalakan. Ia bersama tamunya tampak lelah dalam balutan kaus oblong. Seperti kebanyakan pemandu, penampilannya biasa saja. Jauh dari necis, tetapi secara keseluruhan ia adalah pria yang menarik. Ketika berbicara, bahasa Inggris-nya begitu fasih dan enak didengar.

Aku mengamati mereka berdua. Sekilas ia menolehku. Jika melihat cara dia memandang, barangkali ia menyangka aku pengunjung juga. Ia masih berbincang dengan kawan turisnya, saat aku datang mendekat.

“Ada yang bisa saya bantu? aku bertanya. Ia menatapku dan turis itu juga memandangku. Ada senyum tipis di garis bibirnya.

“Terima kasih. Apakah saya bisa bertemu dengan pemilik rumah batik Putri Kencana ini?

“Saya sendiri pemiliknya.

“Oh, kebetulan sekali! katanya, senang. “Namaku Pulung. Lalu ia memperkenalkan kawan turisnya. “Dia Fritz, kawan saya dari Belanda. Moyangnya orang Indonesia. Dulu juga perajin batik dan sekarang ia ingin melihat-lihat kreasi batik yang dulu pernah ditekuni moyangnya di kota ini.

“Oh! Menarik sekali.

“Tolong, Ibu...?

“Rintan. Nama saya Rintan, kataku, mengenalkan diri.

“Begini, Ibu Rintan, saya kurang menguasai batik dan segala keunikannya. Tolong bantu saya memberi informasi untuk Fritz.

Dengan senang hati aku menjawab banyak pertanyaan pria itu dan teman turisnya. Dari cara bertanya, mereka sepertinya memiliki keingintahuan besar tentang batik. Maka kujelaskan tentang proses pembuatan batik yang sangat makan waktu. Tentu saja proses itu kuhafal di luar kepala.

“Kalau yang ini motif mega mendung. Ia menyimpan sejarah dan riwayat. Merupakan perkawinan dua budaya. Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Campa dari Cina. Jadi mega mendung lahir dari dua perbedaan yang disatukan. Mereka masih berjalan pelan mengikutiku.

“Baik, Ibu Rintan. Sekarang, tamu saya ini ada keperluan. Ia ingin meminang gadis Indonesia, dan ia ingin mengenakan batik saat acara nanti. Bisakah bantu kami memilihkan mana yang tepat?

“Satriyo manah. Ambil untuk acara penyerahan peningset. Batik itu menggambarkan bahwa seorang lelaki telah berhasil memanah hati gadis pujaannya. Atau... wahyu tumurun. Dikenakan pada acara midodareni, malam menjelang pernikahan. Dan jadikan itu pengingat, kenang-kenangan. Wahyu tumurun adalah wahyu yang turun dari Yang Mahakuasa kepada dua hati yang akan disatukan.

Mereka tampak puas dengan penjelasanku tentang dua jenis batik yang kusodorkan. Hasilnya, kedua motif itu pindah dari lemari kayuku ke tangan Fritz.

“Ibu Rintan, bolehkah saya meminta kartu nama Anda?

“Tentu saja boleh, kataku mengangguk, dan mengambil selembar kartu nama motif kawung warna cokelat tua.

Tak kusangka, kejadian itu begitu membekas. Sepanjang sisa waktu, selepas pertemuan sore itu, aku banyak melamunkan seorang lelaki bernama Pulung. Aku tak tahu, apakah aku sedang mengalami kebosanan menjalani hubungan dengan Bagas, atau memang ia terlalu menarik sehingga hatiku tertawan. Diam-diam aku berharap ia kembali mendapatkan kerepotan tentang batik sehingga ia meneleponku dan kami bisa bertemu. Tetapi, ketika aku disibukkan lagi dengan banyak urusan dan pesanan, aku mulai melupakan tentang pertemuan sore itu. Namun, justru pada saat aku mulai lupa, Pulung meneleponku, ketika aku dalam perjalanan pulang dari rumah Bagas.

“Bu Rintan, saya ingin berbincang sedikit tentang batik. Kapan Anda punya waktu longgar?

“Jumat malam. Saya ada waktu.

“Waduh! Hari itu saya yang agak kerepotan. Bagaimana kalau Sabtu malam?

Aku terdiam

“Maaf, rasanya saya salah menawar hari. Tentu hari itu adalah hari untuk keluarga Anda. Suami dan anak-anak.

“Saya belum bersuami dan belum memiliki anak.

“Ah, kalau begitu berarti waktu itu untuk kekasih Anda. Maaf. Mungkin hari Minggu saja?

“Baiklah. Saya setuju.

Dan, hari Minggu yang kami rencanakan itu adalah lusa. Dua hari mendatang aku akan bertemu kembali dengan Pulung. Aku tak akan katakan itu pada Bagas, karena pertemuan kami adalah pertemuan bisnis, meskipun sebenarnya aku menginginkan lebih dari itu. Lebih dari pertemuan biasa.

Hari ini aku benar-benar lelah. Pekerjaan begitu menumpuk. Mengatur pesanan kawan yang tinggal di luar Jawa. Juga menyiapkan beberapa potong yang akan dibawa kakak Bagas ke Singapura. Sehingga, selepas isya, aku baru bisa pulang.

Usai mandi, Mbok Yekti sudah selesai menata meja makan. Aku mengerutkan kening karena melihat banyak sekali yang tertata di sana. Melihatku diam memaku, Mbok Yekti hanya tersenyum.

“Mbok, makanan sebanyak itu, siapa yang akan menghabiskan?

“Ya, mana Simbok tahu, ini semua kan Mas Bagas yang nyuruh.

“Ngapain dia menyuruh menyiapkan makanan sebanyak itu? Tanpa kompromi lagi! kataku, sedikit dongkol, sambil berlalu ke kamar. Ketika aku sibuk memilih-milih kaus, Mbok Yekti mengetuk pintu lagi.

“Mbak, sudah ditunggu Mas Bagas.

“Biar, Mbok. Suruh dia makan dulu semua yang ia pesankan pada Simbok!

“Jangan begitu, tho, Mbak. Mbak Rintan jangan menyulitkan Simbok.

“Siapa yang menyulitkan? Ya, sudah, Simbok makan berdua sana dengan Bagas!

Hening. Tak ada jawaban. Ketika aku menunggu beberapa menit tetap tak ada suara, aku membuka pintu kamar.
Astaga! Di ruang makan telah berkumpul kedua kakakku beserta keluarganya. Juga Bagas. Ketika melihatku keluar, mereka serentak menyanyikan Happy Birthday. Aku terharu.

“Rintan, selamat ulang tahun. Bagus menciumku, lalu membuka bungkusan itu. Ah, cantik sekali! Sebuah bros perak berbentuk canting. Air mataku hampir saja menetes, ketika Bagas menyematkannya di kausku.

“Terima kasih, Bagas.

“Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan, Rintan, sampai kau lupa tanggal lahirmu sendiri, Bagas berbisik sambil menepuk pipiku. Tak urung kalimatnya membuatku kembali teringat akan raibnya foto kelahiran. Yah, 28 tahun lalu, mestinya ada tukang foto yang mengabadikan saat pertama aku hadir di dalam luasnya dunia.

Aku berjalan mendekat pada kakak-kakakku. Satu per satu mereka menyalami dan mengucapkan selamat ulang tahun. Tetapi, ketika tiba waktu aku menerima jabat tangan Mbak Sita, kakak ipar, ia geleng-geleng kepala. Sepertinya prihatin memandangku. Tetapi, Yosa keponakanku, langsung nyeletuk, “Tante Rintan, kok, bajunya jelek, katanya.

“Maaf, Sayang, Tante....

“Iya, Dik Rintan. Ganti baju sana! Biar serasi dengan Bagas!

“Maaf, Mbak Ambar, Mbak Sita. Saya benar-benar lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun saya.

Karena kakak-kakak ipar terus mendesak, akhirnya aku ganti baju juga. Meski kami hanya makan sup jagung, bakmi, dan nasi goreng spesial masakan Mbok Yekti, kami serasa makan di restoran. Malam itu di rumah sangat ramai, meriah, dan semua itu membuatku sungguh berterima kasih pada keluargaku. Aku bersyukur memiliki keluarga yang sangat perhatian. Dan tentu saja terima kasih itu juga kuberikan pada Mbok Yekti. Juga Bagas. Bagas yang sering mengajak Mbok Yekti bersekongkol untuk memberi kejutan padaku. Aku yakin ini semua memang idenya.

Bagas... andai kau tahu bahwa besok aku akan menemui seseorang yang tanpa kusangka telah melahirkan cintaku. Andai kau tahu....

“Ayo, pokoknya semua masakan Simbok harus dihabiskan, Mbok Yekti sibuk melihat siapa tahu ada yang perlu ditambah.


Hingga jauh malam, di rumah masih ramai.

“Bagas, kapan kalian akan menikah? Jangan terlalu lama menunda!” Mas Wisnu membuka pembicaraan tentang hubunganku dengan Bagas.

“Ah, itu, sih, terserah Rintan maunya kapan, Mas.”

“Terlalu lama pacaran tidak baik. Kalau kalian sudah merasa saling cocok, tunggu apa lagi?”

“Bagaimana, Dik Rintan?” Mbak Sita menatapku.

“Iya, pasti kami akan pikirkan.”

“Jangan cuma dipikir saja!” Mas Indra menyahut. Mereka tak tahu bahwa saat ini hatiku sedang tertawan oleh seseorang hanya dengan pandangan pertama. Perjumpaan yang hanya beberapa menit saja.
Tanpa terasa, malam sudah menunjuk pukul sepuluh. Kakak-kakaku pulang karena anak-anak sudah mengantuk, tetapi Bagas masih tinggal.

“Rintan, bapak dan ibuku ingin bertemu kamu besok, kamu bisa ke sana, ’kan?”

“Besok? Bagaimana kalau lusa? Karena aku telanjur ada janji dengan rekan yang membutuhkan batik bukan hanya sekadar barang, tetapi juga beberapa penjelasan.”

“Rintan, jika menuruti pekerjaan, tak akan ada habisnya. Terus terang, Ibu sudah ingin kita segera menikah.” Aku diam. Sebenarnya aku tahu maksud pembicaraan ini. Tetapi... Pulung....

“Ya, sudah, lusa juga tidak apa-apa.”

“Terima kasih untuk pengertianmu, Bagas.”

“Jam berapa kamu janjian dengan rekanmu?”

“Sore. Dia akan menelepon memastikan kedatangan.”

Bagas hanya manggut-manggut. Dan, aku berjuang menyembunyikan debar dan bayangan Pulung.

“Bagas, sudah larut malam. Aku lelah. Bisakah...?”

“Oke... oke... aku akan pulang sekarang. Terima kasih. Selamat malam.” Ia menciumku.

“Terima kasih kadonya,” kataku.

Ia hanya mengangguk dan berlalu.

Semenjak siang hatiku diserang gelisah. Ada rasa takut kalau-kalau Pulung menggagalkan pertemuan. Semua bisa saja terjadi. Atau, tiba-tiba aku yang harus menggagalkan, entah karena apa. Tetapi, daripada aku terbawa gelisah tak menentu, sebaiknya aku merencanakan lokasi, seandainya Pulung meminta ngobrol di luar. Bukan di rumah batik ini.

Ternyata dugaanku benar. Ketika Pulung datang pada petang seperti yang dijanjikan, ia meminta ngobrol di luar.

“Kafe Alang-Alang. Tempat itu tak jauh dari sini. Bagaimana?”

“Setuju,” katanya, senang.

Kami datang ke kafe itu. Setelah memesan menu, kami langsung bicara pada pokok persoalan, yaitu menyampaikan pesanan batik dari Fritz untuk keluarga besannya. Tetapi, ternyata pembicaraan itu bukan hanya seputar batik yang sedang berjuang tetap hidup dan dicintai oleh negerinya, tetapi merembet juga tentang pengalaman-pengalaman kami yang menyenangkan dan menyedihkan. Tentang pekerjaan dan teman-teman. Tentang bioskop dan buku-buku bacaan. Lalu ketika pembicaraan merembet tentang keluarga, kuceritakan bahwa kedua orang tuaku sudah meninggal.

Tanpa sadar pembicaraan terus terseret-seret. Hingga ia menceritakan tentang maksudnya menjatuhkan pilihan pada Solo, ketika dinas pariwisata menawarkan pilihan Bali atau Solo.

“Kenapa? Begitu menarikkah Solo sehingga kamu memilihnya? Bukankah Bali begitu kuat menarik turis?”

“Justru itu kurang menantang. Karena tanpa upaya banyak, Bali sudah menarik minat. Pantainya, budaya, dan tari Pendet-nya, juga mistisnya. Tetapi, Solo, aku ingin memperkenalkan bahwa Solo pun memiliki cita rasa yang sangat berpotensi ditawarkan pada turis. Selain....”

“Selain apa?”

“Aku ingin mencari ayahku.”

“Memang ke mana ayahmu? Mengapa harus dicari?”

“Ah, sebenarnya aku sangat sungkan jika harus menceritakan hal tersebut.”

“Oke, kalau begitu tak perlu diceritakan,” kataku.

“Rintan, kamu merasakan ditunggui Ayah, meski hanya belasan tahun. Aku? Aku sama sekali tidak. Bahkan, aku tak bisa membayangkan seperti apa wajah ayahku seandainya bertemu. Tetapi, aku masih ingat saat dia datang, lalu menggendongku semasa kecil dulu.”

“Memangnya ayahmu...?”

“Pernikahan ibuku tergolong aneh, Rintan. Karena saat hari pernikahan itu, Ibu yang sudah berdandan bersanggul hanya pasrah menunggu pengantin laki-laki yang tak kunjung datang. Tetapi, ah... setelah lama ditunggu ternyata hanya beberapa utusan yang datang membawa keris sebagai pengganti pengantin laki-laki, yaitu ayahku.”

Aku terdiam. Aku tahu, Ibu pernah bercerita bahwa terkadang bila seorang bangsawan menginginkan seorang perempuan biasa, cara menikahinya hanya dengan keris, karena bangsawan merasa terlalu tinggi derajatnya untuk datang kepada keluarga pengantin perempuan. Mendengar cerita Ibu, hati kecilku geram, hanya segitukah nilai seorang perempuan yang dicintai? Hanya segitukah harkat perempuan ditandai?

Adat terkadang memang tidak adil.

“Mengapa kamu diam?”

“Ah, tidak. Saya hanya membayangkan seperti apa upacara itu.”

“Bukan upacara. Itu hanya tontonan bahwa Ibu dan keluarganya tak berdaya menghadapi laki-laki bangsawan. Yang menganggap derajatnya....”

“Tapi, akhirnya pengantin laki-laki itu datang, ’kan?” potongku.

“Iya, dong! Buktinya aku lahir.”

“Dan sekarang kamu masih lebih baik, karena kamu masih punya ibu, sedangkan aku sama sekali tak punya.”

Pulung. Baru dua kali aku bertemu, rasanya sudah mengenalnya sedemikian lama. Ia simpatik, baik, dan bersahaja. Ketika pembicaraan makin seru, ponselku berdering.

“Rintan, kamu sedang di mana? Aku sudah lama menunggumu di rumah.”

“Aku masih bersama rekan.”

“Berapa orang di sana?”

“Banyak orang,” jawabku sembarang. Buktinya, memang pengunjung kafe ini banyak, kok. Ia segera menutup telepon setelah mengatakan, “Aku menunggu sampai kau pulang.”

Ketika aku menutup telepon, Pulung menatapku sambil berkata, “Mengapa tiba-tiba murung?”

“Tidak apa-apa.”

“Maaf, siapa yang meneleponmu?”

“Kekasihku.”

“Oh, sebaiknya kita lekas pulang saja. Nanti jika ada waktu saya akan mampir ke rumah batikmu.”

“Oke. Bisa kuminta nomor teleponmu?” pintaku hati-hati. Ia menyebut beberapa digit, lalu aku pamit pulang. Tetapi, ia tak segera beranjak.

“Kamu tidak ingin pulang?”

“Aku masih ingin di sini. Menikmati malam seorang diri sambil... menyesali mengapa kamu sudah memiliki kekasih.”

“Kau ini!” aku tahu dadaku berdebar keras.

“Maaf, lupakan kalimat tadi. Saya hanya bercanda. Lupa bertanya, siapa nama kekasihmu?”

“Bagas. Bagaskoro.”

“Nama yang bagus. Pasti dia seorang laki-laki yang baik.”

“Tentu saja.”

“Penuh pengertian dan bertanggung jawab, ’kan?” Ia menatapku lekat. Aku balas menatapnya. Ada debar terasa menyambar.

“Ya. Dia seperti yang kamu katakan. Baik. Sangat baik malah.”

Ia manggut-manggut dengan mata tak lepas padaku. Sedikit senyum pahit tercetak di belah bibirnya yang cokelat.
Tanpa getar ia berkata, “Salamku untuk dia, Rintan.”

Lalu, ia melambaikan tangan.

Aku pulang dengan hati patah berkeping. Sekeping buat Pulung, keping lain telanjur terpaut pada Bagas. Sudah kuduga hari-hari selanjutnya aku kerepotan mengatasi perasaan kangen yang amat sangat. Juga menghadapi desakan Bagas dan ibunya yang terus meminta kepastian tentang pernikahan. Tak kusangka hariku demikian rumit. Aku tahu, kerumitan itu bersumber pada hati. Pada keinginan.

Rasanya akhir-akhir ini aku memiliki kebiasaan baru. Waktu longgar yang biasa kupakai membaca majalah atau menonton TV, sekarang kugunakan duduk-duduk saja di beranda atau di pendapa. Memikirkan perjalanan hidup yang rasanya kini sampai pada persimpangan. Aku harus memilih dan menerima apa pun konsekuensinya.

Begitu juga dengan petang ini. Ketika aku duduk memangku tangan, membiarkan pikiran berkelana, Mbok Yekti datang membawakan teh panas dan emping melinjo manis kegemaranku.

“Mbak Rintan, maaf, Simbok mengganggu. Cuma mau bilang, persediaan beras hanya tinggal untuk besok,” katanya, sambil meletakkan nampan di meja.

“Astaga! Mbok, maaf, saya sampai lupa soal-soal begitu. Saya terlalu bergantung pada Simbok sehingga tak pernah memikirkan semua itu. Saya juga lupa belum memberi uang belanja buat Simbok.”

“Sudah, kok, Mbak Rintan.”

“Kapan?”

“Hmm... memang bukan Mbak Rintan yang memberi, tetapi Mas Bagas. Dia sangat maklum kalau Mbak Rintan lupa. Tetapi, kalau soal beras habis, Simbok tidak berani bilang pada Mas Bagas.”

Aku terenyak. Ah, Bagas, Bagas yang kuabaikan ternyata begitu perhatian hingga persoalan kecil....

“Mbak Rintan, Simbok mengamati akhir-akhir ini Mbak Rintan murung terus. Dan....”

“Kenapa, Mbok?”

“Mbak Rintan makin kelihatan kurus, tidak mengurus badan. Lihat saja! Ini sudah hampir pukul delapan malam, Mbak Rintan belum mandi. Iya, tho?”

Aku hanya tersenyum.

“Itu! Mata Mbak Rintan tampak cekung. Sepertinya tidur selalu larut malam. Kerja, ya, kerja, Mbak. Tetapi, harus tetap cantik. Atau....”

“Apa lagi? Simbok sukanya bikin tanda tanya terus.”

“Mbak Rintan pusing memikirkan hari pernikahan? Simbok mengerti, karena Mbak Rintan harus mengurusnya sendiri. Andai saja Simbok bisa membantu.”

“Ah, Simbok sudah sangat membantu, kok. Saya tak bisa membayangkan seandainya di rumah ini tidak ditemani Simbok.”

“Tapi, Mbak Rintan itu pintar dan mandiri. Tentu Ndoro Kakung dan Ndoro Putri, kalau masih ada, pasti bangga pada anak bungsu tumenggungan ini.”

“Mbok..., saya sedang bingung.”

“Memang apa yang dibingung­kan, Mbak?”

“Simbok pernah jatuh cinta?”

“Tidak.”

“Ha? Pasti bohong!”

“Tidak. Simbok tidak bohong. Simbok tidak pernah berani naksir orang. Mbak Rintan ini bertanya, kok, aneh.”

“Iya. Kalau menurut Simbok, bagaimana seandainya saya sudah punya kekasih, lalu jatuh cinta lagi pada lelaki lain?”

“Jangan, Mbak!”

“Kenapa?”

“Kasihan yang ditinggal. Kasihan Mas Bagas. Pasti nanti Mas Bagas akan sedih dan merana seperti saya. Mbak Rintan tahu kan dulu suami Simbok lari dengan wanita lain?”

“Sakit, ya, Mbok?”

“Suuaakit sekali, Mbak. Apa, sih, kurangnya Mas Bagas?”

“Dia sangat baik. Cuma....”

“Sudah! Pokoknya kalau Mbak Rintan meninggalkan Mas Bagas, Simbok mau pulang ke desa saja.”

“Ha...ha... ha... kenapa? Katanya, tidak mau pulang ke desa. Mau­nya di sini sampai tua. Bagaimana ini?”

“Ya... Simbok tidak tega pada Mas Bagas.”

Wanita sepuh ini tampak sungguh-sungguh. Sebab, ia berkata demikian sambil menahan air mata yang hampir menitik di sudut mata tuanya yang keriput.

“Ya, sudah, Simbok istirahat dulu, ya! Ini uang untuk beli beras.”

Ia beranjak. Menerima uang dari tanganku dan berlalu.

“Mbok....”

Mbok Yekti menghentikan langkah mendengar panggilanku.

“Jangan katakan apa-apa pada Bagas atau kakak-kakak.”

“Baik. Asalkan Mbak Rintan tidak jadi jatuh cinta lagi.”

Aku tersenyum dengan kalimat itu. Dengan persyaratan yang sungguh lucu didengar. Begitu sederhana pikiran Mbok Yekti. Memaknai jatuh cinta dengan demikian lugu.

Tetapi, pesan atau tepatnya permintaan Mbok Yekti, ternyata sulit sekali kuturuti. Nyatanya, aku dan Pulung malah saling menelepon dan mengirim pesan. Bahkan, kami berani pergi berdua. Aku tahu, Bagas menangkap gelagat itu. Sering kudapati ia sudah duduk di pendapa, ketika aku pulang dari Rumah Batik. Seolah ia menepis ketakutannya sendiri bahwa aku akan berkhianat.

Maafkan aku, Bagas, jeritku dalam hati.

Begitu kuatnya sosok Pulung, begitu menarik jalan hidupnya. Begitu mengharukan kisah hidup keluarganya. Sehingga, aku sangat ingin berkenalan dengan seorang wanita yang pernah menikah dengan keris dan dari rahimnya telah lahir seorang pria yang memukau, memikat, dan menjeratku sedemikian rupa. Masih begitu jelas dalam ingatanku, bagaimana mata itu menatap kala berkata, “Rintan, bibir dan matamu mirip sekali dengan ibuku. Kau cantik sekali. Sungguh berat untuk mengakui dan percaya bahwa kau sudah memiliki kekasih. Aku cemburu.”

Tetapi, kenyataan bahwa aku telah memiliki kekasih, tak membuat kami putus komunikasi. Bahkan, kami makin sering menelepon. Pada malam kesekian, ketika aku dan Pulung berbincang di telepon, saling menceritakan hari kami masing-masing, ia terus bercerita seperti biasa: sangat menarik. Lalu, Pulung kaget saat mendengar permintaanku untuk boleh menemui ibunya, yang menurutnya ia adalah wanita paling perkasa dan tangguh.

“Apa yang ingin kau dapatkan dari ibuku, Rintan?”

“Aku ingin sekadar berkenalan dan berbincang. Boleh, ‘kan? Aku ingin membuktikan omonganmu bahwa mataku mirip ibumu.”

Akhirnya ia memang mengizinkan. Setelah sejam berkereta Pramex jurusan Solo-Yogyakarta, aku dan Pulung naik andong hingga sampai di rumahnya. Wanita itu kurus, kecil, namun kecantikan khas Jawa-nya masih tersisa pada wajahnya. Ah, seandainya ibuku masih hidup, barangkali sudah setua wanita ini. Hanya, tentu keadaan akan sangat jauh berbeda, karena secara materi ibuku tak kekurangan. Sedangkan wanita ini? Ia hanya memiliki Pulung seorang.

“Silakan istirahat dulu. Biar Ibu siapkan makan siang seada­nya.”

Wanita itu ramah, namun pandangannya dingin. Seolah menyembunyikan luka yang amat perih.

“Nak Rintan asli Solo, ya?” dia bertanya usai menyiapkan makanan.

“Ya, Bu.”

“Pulung sering bercerita tentang Nak Rintan.”

Aku tersenyum saja. Tak tahu harus berkata apa.

“Nak Rintan tinggal di mana?”

“Di Kauman. Dekat keraton.”

Wanita itu manggut-manggut. Sisa waktu siang itu banyak aku habiskan berbincang dengan Pulung, karena ibunya sudah menyibukkan diri di dalam.

Pada suatu malam, Pulung meneleponku. Memberi kabar bahwa ibunya sakit. Aku sangat ingin datang berkunjung dan menengok keadaannya. Sekalipun, barangkali, tak ada yang bisa aku lakukan, aku ingin menengoknya. Tetapi, tak kukatakan pada Mbok Yekti atau Bagas bahwa kepergianku ke Yogya bukan untuk urusan bisnis.
Ketika aku sampai di rumahnya, aku melihat wanita itu hanya berbaring di kasur dengan mata terpejam. Selimut menutup tubuhnya hingga dada. Aku datang mendekat, menjamah kaki dan membetulkan selimutnya yang tersingkap pada kakinya. Pulung hanya menatapku.

“Ada Rintan datang mengunjungi Ibu,” bisik Pulung, seraya mendekat ke telinga ibunya.

Tetapi, wanita itu bergeming. Hanya membuka mata sebentar, lalu menutup lagi. Aku menghela napas. Teringat saat-saat terakhir ibuku membelai rambutku. Mengusap-usap punggung tanganku, sebelum akhirnya meninggalkan dunia menyusul Romo.

“Mengapa diam, Rintan?” Pulung menepuk punggungku.

“Mengapa tidak kau bawa ibumu ke rumah sakit?”

“Ia tidak mau.”

“Kau harus memaksanya!”

“Ya. Biasanya, kalau ia demam hanya satu dua hari saja.”

Aku mengangguk, lalu mengalihkan pandang pada dinding-dinding kamar. Ruang tidur ini sangat sederhana, namun rapi. Tak ada perabotan mewah. Hanya ada satu almari yang pada tutupnya terpasang cermin. Lalu di sudut ruang terletak sepasang meja dan kursi. Pada dinding sebelah kiri ada beberapa foto tertempel di sana. Ketika aku mendekat untuk melihat koleksi foto itu, alangkah terkejutnya aku, ketika melihat seorang laki-laki yang menggendong bayi itu sangat mirip dengan laki-laki yang menggendong bayi kakak-kakakku ketika lahir.

“Ada apa, Rintan?” Pulung bertanya saat melihatku mematung.

“Ah, tidak. Aku hanya ingin melihat foto-foto ini.”

“Itu ayahku. Yang digendong itu aku,” katanya, seraya menunjuk satu foto dalam pigura kayu.

“Yang ini?”

“Itu adikku.”

Aku menoleh ke arahnya sebentar. Ada yang aneh dari nada suaranya. Dan, entah karena ada kekuatan apa, hatiku memerintahkan tangan untuk mencuri foto itu. Aku memasukkan ke dalam tas, ketika Pulung kembali ke pembaringan ibunya, lalu mengusap peluh pada dahi kusut itu. Benakku terus terisi berbagai macam pertanyaan. Kuharap Pulung tak tahu bahwa salah satu foto keluarganya hilang.

Selepas hari itu, pada waktu istirahat aku suka memandangi lama foto curian itu, lalu membanding-bandingkan dengan foto kelahiran kakak-kakakku. Aku tak mengerti, bagaimana bisa Pulung mengatakan bahwa ini adalah foto adiknya. Bukankah ia anak semata wayang? Belum pernah sekali pun ia menceritakan tentang saudaranya. Begitu kuat pertanyaan itu, sehingga aku ingin menghubungi dan menanyakannya.

“Bagaimana kabar Ibu, Pulung? Sudah baik?”

“Lumayan. Sudah mau makan dan duduk, meski cuma sebentar.”

“Syukurlah, aku senang mendengarnya.”

“Kau baik, Rintan. Kau begitu peduli pada ibuku.”

“Oh, iya. Sekalian aku mau bertanya tentang foto yang ada di kamar ibumu. Hmm....”

“Mengapa kau peduli pada foto itu? Adakah yang menarik?”

“Aku hanya ingin tahu cerita tentang adikmu yang kau sebut, ketika aku bertanya tentang foto kelahiran kemarin. Karena, rasanya kamu tak pernah menceritakannya bahwa kau punya adik. Di mana dia? Kau tak ingin mengenalkannya padaku?”

“Oh, itu. Kemarin ibuku kebingungan, mengapa salah satu fotonya ada yang hilang. Ia mencari dan bertanya padaku apakah aku memindahkan foto itu. Asal tahu saja, ibuku sering berlama-lama memandangi foto itu.”
Aku kaget bukan main. Dihantui rasa bersalah dan malu karena kelakuanku.

“Pulung, maaf. Maaf, aku... aku... aku telah mencuri foto itu.”

“Ha...ha... ha... kamu lucu sekali. Apa gunanya foto itu. Kau ini!! Ibuku senewen mencari, ternyata kau yang mengambil. Untuk apa?”

“Ah, tidak. Ya, baiklah, aku akan kembalikan. Tetapi....”

“Tetapi apa?”

“Tetapi, kamu tak pernah cerita di mana adikmu berada.”

“Ia ikut ayahku.”

“Oh... itukah sebabnya kamu terus mencari ayahmu?”

“Ya. Atas permintaan ibuku, aku harus mencarinya. Supaya ia bisa melihat anaknya, meski hanya sebentar saja. Ibu merindukannya.”

“Oh, kalau begitu aku maklum mengapa foto ini sangat berarti bagi ibumu, maafkan aku!”

“Ha... ha... ha... kau selalu menyenangkan, Rintan. Kau wanita aneh, tetapi menarik. Tak heran kekasihmu sangat sayang padamu.”

Malam itu aku tak bisa tidur. Tindakan mencuri foto itu membuatku malu. Dan, cerita Pulung tentang keluarganya, membuatku risau. Tentu aku tak akan risau, andai pria yang ada di foto ini tidak sama dengan pria yang menggendong Mas Wisnu dan Mas Indra. Tentu aku tak akan risau, andai saja foto kelahiranku ada di dalam kumpulan foto-foto masa kecilku.

Sore ini aku begitu sibuk di rumah batik. Naning, orang kepercayaan yang kuserahi mengelola dan memimpin para pramuniaga, sedang menghadiri pesta pernikahan kerabatnya. Aku sendiri yang kemudian turun mengatur semuanya.

Pukul setengah delapan, aku baru pulang. Mbok Yekti sedang duduk terkantuk-kantuk di dapur. Melihatku datang, wajahnya tampak lega dan senang. Ia memegang gelas teh sebentar, lalu menoleh ke arahku, “Belum menjadi dingin, Mbak Rintan.”

“Terima kasih, Mbok. Capai menunggu saya?”

“Ah, Simbok khawatir mengapa Mbak Rintan belum pulang.”

“Banyak pekerjaan, Mbok.”

“Berarti, Mbak Rintan lebih capai daripada Simbok. Lekaslah mandi dan istirahat!”

Aku mengangguk mengiyakan. Usai mandi dan beberes, aku rebahan di kasur. Kembali kegelisahan tentang Pulung dan Bagas menggerogotiku. Kembali foto yang kucuri itu mengganggu benak. Besok aku berencana ke rumah Pulung di Yogya untuk mengembalikan foto itu. Tetapi....

Ketukan Mbok Yekti yang menyuruhku segera makan, tak kuperhatikan. Hingga akhirnya ketika ketukannya tak ada jawaban, Mbok Yekti nekat membuka pintu dan melongo mendapati aku yang diam sambil memandangi foto. Aku menolehnya.

“Maaf, Mbak. Simbok kira....”

“Tak apa. Masuklah, Mbok.”

“Ah, tidak. Simbok hanya memastikan Mbak Rintan baik-baik saja dan sekarang sudah waktunya makan malam.”

“Baik saya akan makan, tetapi boleh saya bertanya, Mbok?”

“Apa, Mbak?”

“Kemarilah!”

“Mbok, maukah besok Simbok menemani saya pergi?”

“Ke mana, Mbak?”

“Ke Yogya. Ke rumah Pulung. Lelaki yang telah membuat saya jatuh hati. Saya kemarin ke sana. Menengok ibunya yang sedang sakit.”

“Astaga!”

“Kenapa, Mbok?”

Tiba-tiba ia murung. Lalu beranjak hendak pergi. Aku menahannya.

“Mbok! Kenapa, Mbok?”

“Mbak Rintan sudah mengingkari permintaan Simbok. Ternyata Mbak Rintan nekat jatuh cinta lagi. Simbok akan bersiap pulang ke desa saja.”

“Jangan, Mbok! Dengar dulu cerita saya!”

“Tidak, Mbak. Simbok tetap akan pergi....”

Mbok Yekti berjalan cepat. Ia meninggalkan kamarku dengan tergesa. Sejenak aku termangu. Aku merasa dungu dan kalah. Tak mungkin aku menyalahkan dia yang sudah telanjur sayang pada Bagas, sehingga tidak sanggup melihat Bagas tertolak olehku. Tetapi, sungguh mati, aku tak bisa pungkiri bahwa hatiku benar-benar terpaut pada Pulung. Dan, foto itu... sungguh membingungkanku.

Aku duduk lunglai di kasur, tak tahu harus berbuat apa. Pipiku tanpa terasa basah oleh air mata. Air mata untuk Bagas, untuk Pulung, untuk Mbok Yekti, dan untuk diriku sendiri. Foto di tanganku tampak buram oleh air mata. Seburam hatiku.

Aku keluar kamar dan berjalan ke meja makan. Tak ada nafsu. Teh yang terhidang sudah dingin. Sedingin hatiku. Sayup-sayup kudengar suara mobil masuk pekarangan. Aku tahu, itu pasti mobil Bagas. Aku malas menyambut sehingga tetap diam menghadapi meja makan. Kulihat jam dinding menunjuk pukul setengah sembilan.
Ia masuk dengan wajah ceria. Namun, tiba-tiba kaget saat melihatku berantakan. Ia mendekat dan membelai rambutku.

“Ada apa, Rintan?”

“Bagas, Mbok Yekti memutuskan pulang ke desa selamanya.”

“Oh! Mengapa begitu? Apa sebabnya? Bukankah ia sudah memutuskan untuk tetap tinggal di sini?”

“Karena... karena....”

“Karena apa?” Ia tampak tak sabar.

“Karena aku melanggar persyaratannya.”

“Persyaratan apa? Aneh-aneh saja!”

“Aku... aku... dilarang jatuh cinta lagi. Tetapi, aku nekat.”

“Apa?! Rintan, kau?”

“Maafkan aku, Bagas.”

Ia jatuh terduduk di hadapanku. Wajahnya yang tadi ceria kini berubah muram dan tegang. Aku tahu, ada marah di wajahnya. Mendung segera menyelimuti dan mendung itu, akulah yang mendatangkan.

“Sudah sejak lama aku menduganya, Rintan. Tetapi, tak kusangka kau benar-benar....” Setitik air mata membasah di matanya. Ia berusaha menahan. “Siapa lelaki itu, Rintan?”

“Pulung. Orang Yogya. Dalam segala hal, dia sangat jauh jika dibanding kamu. Tetapi, hatiku... hatiku....”

“Cukup! Cukup! Aku tak ingin mendengar,” katanya, seraya beranjak pergi. Aku diam tak menahannya. Beberapa menit kemudian kembali kudengar suara mesin mobil dihidupkan. Dan, suara itu lama-kelamaan hilang dari pekarangan. Aku kembali terkungkung sepi.

Dari sekian pikiran yang menggelayut di benakku, hanya satu yang ingin segera aku lakukan. Meminta Mbok Yekti menunda pulang. Aku melangkah ke kamarnya. Mencoba membuka pintu yang ternyata tak terkunci. Wanita sepuh itu tidak main-main. Ia sedang melipat baju-bajunya, lalu memasukkan ke dalam tas.

Tiba-tiba, air mataku berderai. Aku hanya bersandar di pintu tanpa sanggup berkata-kata. Bayangan sepi segera melintas. Bukan karena aku tak sanggup mengerjakan tugas-tugas rumah. Bukan aku tak bisa makan tanpa dia. Tetapi, wanita itu, aku tak mungkin membiarkannya pergi, setelah begitu banyak perannya di rumah ini. Membesarkan dan mengasuh kami, anak-anak tumenggungan, sementara Ibu berdagang di Pasar Klewer. Memandikan dan menyuapi kami, menyetrika baju-baju dan seragam sekolah kami. Ia mengabdi dan terus mengabdi melebihi tukang-tukang cap dan para pembatik di kebon.

Aku menangis. Menangis. Hingga aku sanggup bicara, meski sesekali masih terisak.

“Mbok, silakan Simbok pergi, jika itu memang Simbok ingin­kan. Tetapi, tolong dengar dan jawab dulu pertanyaanku.” Ia hanya mendongak, lalu melanjutkan melipat baju.

“Baru saja Bagas datang dan aku sudah katakan bahwa aku jatuh cinta pada pria lain.” Kutunggu reaksinya, tak ada.

“Mbok, entah mengapa, aku begitu terpaut pada pria itu. Aku tak tahu apa yang membuatku bisa begitu. Mula-mula ia datang membeli kain batik untuk teman turisnya. Lalu kami bertemu dan kami saling bercerita tentang banyak hal. Saat ini ia sedang mencari ayahnya yang pergi membawa adiknya. Konon, katanya, ayah yang ia cari itu adalah bangsawan yang dulu mengirim keris, benda bisu yang menggantikan kehadirannya selaku pengantin laki-laki bagi ibunya. Suatu hari saya ke rumahnya untuk menemui wanita itu. Benar kata Pulung. Bahwa mataku mirip mata ibunya, bibirku mirip bibir ibunya. Yang paling menyesakkan, aku melihat dua foto kelahiran. Dan, laki-laki itu rasanya mirip dengan lelaki yang memangku Mas Wisnu dan Mas Indra.”

Sampai di sini aku menggigit bibir karena tak sanggup melanjutkan. Mbok Yekti berhenti melipat baju. Bibirnya bergerak-gerak serupa membaca mantra.

“Lalu?” ia bertanya.

Suaranya bergetar.
“Lalu aku mencuri foto itu.”

“Di mana sekarang foto itu, Mbak Rintan?”

Aku keluar mengambilnya, lalu kuberikan pada Mbok Yekti.

“Gusti Allah! Maha besar Gusti Allah,” katanya.

“Kenapa, Mbok? Sepertinya Simbok pernah melihat foto ini?”

“Apakah benar laki-laki yang... yang... dicintai Mbak Rintan adalah anak dari lelaki yang ada di foto ini?”

“Ya, memang benar. Kenapa, Mbok bingung?”

“Wanita yang melahirkan bayi ini mestinya bernama Rahayu.”

“Astaga! Apa benar? Saya tidak tahu siapa nama wanita itu. Tetapi, siapa dia, Mbok?”

“Rahayu. Nama itu artinya Rah yang Ayu. Darah yang cantik. Itu kata Ndoro Kakung.” Mbok Yekti terdiam. Pandangannya beralih pada ruang kosong. Entah mata itu menjemput apa. Aku tak bisa menduga.

“Mbok?”

“Simbok pernah menemui wanita itu.”

Tiba-tiba ia telungkup dan menangis memeluk bantal. Aku bingung dibuatnya. Tetapi, aku terus berusaha menenangkan. Hingga kalimat mengerikan itu tiba-tiba menyelusup di telingaku.

“Gusti Allah Maha Besar. Mungkin saat ini memang sudah waktunya rahasia itu harus terungkap. Mbak Rintan, sebenarnya, foto yang selalu Mbak Rintan cari telah ketemu. Foto ini adalah foto kelahiran Mbak Rintan.”

“Dan, Ibu yang membesarkan aku?”

“Memang benar, Ndoro Putri bukan ibu kandung Mbak Rintan,” katanya, pelan.

Aku mulai terisak. Tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. I­ngin rasanya aku segera ke Yogya, memeluk wanita renta yang berbaring di kasurnya yang dingin dan membawanya ke sini. Di pembaringan yang nyaman dan hangat. Ingin aku memeluk Pulung. Tak kusangka, cinta yang merengkuhku adalah cinta karena aku dan dia adalah sedarah. Dalam keadaan seperti ini aku mengaku kalah. Kalah oleh persyaratan Mbok Yekti bahwa aku tak semestinya meninggalkan Bagas. Tetapi, telanjur. Telanjur ia tahu bahwa aku telah berkhianat.

“Mbok, ternyata aku telah merampas kebun dan segala yang telah dihasilkan. Kepiawaian mengurus batik. Segala fasilitas rumah ini. Mengapa baru sekarang aku mengetahuinya, Mbok?” tanyaku, dalam tangis.

“Ndoro Putri yang menghendaki. Dan memaksa Ndoro Kakung untuk mengambil anak perempuan hasil kawin si­rinya dengan Rahayu. Ndoro Putri sangat ingin memiliki anak perempuan. Yang nantinya akan melanjutkan usaha batik di ndalem ini. Karena kedua anak yang telah dimiliki semua laki-laki. Sedangkan untuk memiliki anak lagi sudah tak mungkin, karena rahim Ndoro Putri sudah diangkat.”

“Begitukah?”

“Ndoro Putri tidak bersalah!”

“Mengapa Romo tega membiarkan wanita Rahayu itu hidup melarat? Dan sekarang ini tengah sakit?” Tangisku meledak.

“Tidak, Mbak Rintan. Wanita mana pun tak akan rela membagi suaminya dengan wanita lain. Tentu hatinya akan terluka, seperti Simbok juga terluka.”

Aku terus terisak di pangkuan Mbok Yekti, dan terus mendengar wanita sepuh itu berkata-kata.

“Waktu itu bulan Juli. Ndoro Kakung tak pernah pulang sehingga Ndoro Putri begitu menderita. Itu terus berlangsung hingga bertahun-tahun. Mas Wisnu sudah TK dan Mas Indra baru tiga tahun. Dari pengakuan Ndoro Kakung sendiri, Ndoro Putri jadi tahu bahwa suaminya telah menikah siri dengan wanita lain. Simbok kemudian ditugasi oleh Ndoro Putri untuk mencari tahu wanita itu. Ternyata, ia tinggal di pinggir kota, tengah menggendong anak laki-laki yang usianya mungkin sama dengan Mas Indra,” kata Mbok Yekti, dengan suara tertahan.

Hening kemudian. Hanya terdengar suara Mbok Yekti mencoba menahan isak. Aku menangis di pangkuannya. Kurasakan tangan Mbok Yekti mengelus rambutku.

“Tak ada yang bisa dilakukan Ndoro Putri, selain menunggu suami kembali pulang dengan segala penyesalan. Tetapi, ternyata harapan itu teramat jauh. Kesedihan Ndoro Putri makin sempurna, ketika dokter mengharuskan rahimnya diangkat. Namun, ketika Ndoro Kakung mengatakan bahwa ia memiliki anak perempuan dari istri muda itu, Ndoro Putri marah dan geram, hingga akhirnya Ndoro Putri bicara dan berkeluh kesah pada romonya. Beliau memerintahkan Ndoro Kakung untuk mengambil anak perempuan itu supaya diasuh dan dimiliki Ndoro Putri. Saya yang menjemput bayi itu. Nama bayi perempuan itu adalah Intan. Tetapi, Ndoro Putri menggantinya dengan Rintan.”

“Simbok?”

“Ya. Rahayu menangis. Tapi, Ndoro Kakung tetap mengambil bayi itu dan menyerahkan pada Simbok. Lalu, kami pergi. Tetapi, entahlah, sejak kapan wanita itu pindah ke kota lain.”

Kini aku menangis bukan lagi di pangkuan Simbok, tapi dalam pelukannya yang rapuh. Aku merasakan cinta dan kasihnya. Tak akan pernah kulupa sayang dan perhatiannya kepadaku.

“Mbok, tak kusangka laki-laki yang merebut hatiku itu adalah kakak kandungku.”

“Gusti Allah telah mempertemukan garis darah itu. Dosa Simbok pada wanita itu, kini terlihat makin nyata.”

“Simbok... Simbok tidak berdosa. Simbok hanya memberikan bakti kepada ibu dan romoku.”

“Sekarang sudah saatnya Mas Wisnu dan Mas Indra tahu. Kenalkan laki-laki dan ibunya itu pada mereka. Kenalkan juga pada Simbok.”

“Oh, ternyata wanita lemah itu ibu kandungku. Akan kubawa dia tinggal di rumah ini. Aku akan merawatnya. Aku telah utang cinta padanya. Bagaimana menurut Simbok?” Masih bersimbah air mata, aku meminta persetujuan wanita sepuh itu. Ia mengangguk.

Hari ini, aku telah siap lebih awal. Aku akan pergi ke Yogya untuk mengembalikan foto yang kemarin aku janjikan dan akan mengatakan sebuah kebenaran. Sebuah rahasia yang sekian tahun terpendam dengan rapi. Kubayangkan, apa yang akan dikatakan Pulung dan ibunya, ketika tahu bahwa akulah bayi perempuan yang terenggut itu.

Wanita itu masih berbaring lemah. Apa yang dikatakan Pulung ternyata bohong. Ia bilang ibunya sudah lumayan baik, tetapi yang kulihat sungguh membuatku nelangsa. Pulung menunggui di sisi pembaringan. Wajahnya kusut. Ia bangkit berdiri, ketika aku masuk diantar seorang wanita setengah baya yang membantu menjagai dan merawat ibunya. Tak tahan oleh perasaan yang mengimpit, aku langsung menangis dan menubruk wanita itu.

“Rintan,” Pulung mengguncang punggungku, tetapi justru membuat tangisku makin menjadi.

“Ibu... aku anak perempuanmu.” Suaraku serak, dadaku serasa hampir meledak. Ia membuka mata dan menatapku lama.

“Aku anak perempuanmu. Aku anak perempuan Rahayu yang menikah dengan keris Tumenggung Rekso Darmo.”

“Kau tahu nama ibuku?” Sekali lagi Pulung mengguncang bahuku. Aku tak mau melepas pelukanku pada wanita itu.

“Ibu, Namaku sebenarnya adalah Intan. Anakmu.”

“Intaaann...,” suara lirih wanita yang berbaring itu membungkam kami. Ia berusaha bangkit. Tangan kami segera menangkapnya.

“Ibu,” sebutku sekali lagi.

“Kau?”

“Ya. Aku Intan, anak Ibu yang dilarikan romoku untuk diberikan kepada ibuku, 28 tahun lalu.”

Perempuan itu langsung meraihku dan kami satu dalam pelukan. Isak dan air mata kami menyatu. Pulung membisu. Sepertinya ia belum sadar betul apa yang tengah terjadi.

Aku membaringkan Ibu kembali. Kukeluarkan foto yang pernah kucuri.

“Ibu mencari ini?”

Ia mengangguk. Tetapi, matanya tak melepasku barang sedetik. Seolah ia telah membaca sejarah dan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Bibirnya bergerak-gerak, entah apa yang ia gumamkan. Tangannya menggenggam lemah tangan kiriku.

“Bagaimana bisa?” Pulung meraih foto itu. Aku terisak. Memeluk Ibu sekali lagi, lalu keluar kamar. Pulung menyusulku.

“Pulung,” kataku, begitu aku meletakkan tubuh ke kursi. Suaraku terbata. Lalu ia melingkarkan tangannya pada bahuku.

“Rintan.”

“Intan.”

“Bagiku Rintan atau Intan sama saja. Ternyata aku telah jatuh cinta pada adik kandungku. Hidup ini sungguh aneh. Ternyata harapan Ibu untuk bertemu dengan putrinya telah terwujud. Sungguh sulit kupercaya ini.”

“Pulung, cintai aku. Jangan benci aku karena telah membiarkan kakaknya dan ibunya menjadi begini. Bahkan, nyaris tak kupercaya bahwa sebenarnya putra Romo bukan hanya Mas Bayu dan Mas Indra, tetapi Mas Pulung juga.”

“Bukan salahmu, Rintan. Selama bertahun aku selalu bertanya-tanya pada Tuhan. Mengapa Ia buat aku dan ibuku menjadi begini menderita. Tak bisa merasakan kasih sayang ayah dan suami. Harus terpisah dari adik dan anak perempuan. Tetapi, kini....” Pulung memelukku. Erat, erat sekali.

“Rintan, mengapa kamu datang sendiri?”

“Sudah pernah kukatakan, Romo dan Ibu sudah meninggal. Sedangkan Mas Wisnu dan Mas Indra, mereka belum tahu semuanya. Aku berencana memberi tahu, setelah bertemu dengan Ibu dan kamu.”

“Ternyata aku memiliki dua saudara laki-laki. Seperti apakah wajah mereka?”

“Mereka tampan sepertimu.”

“Dan mestinya kamu ditemani calon adik iparku.”

Aku menunduk sedih. Hatiku teriris tatkala mengingat terakhir Bagas datang ke rumah.

“Rintan, mengapa diam?”

“Aku telanjur mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta lagi pada seorang pria. Dan, kukatakan lelaki itu adalah Pulung.”

“Oh! Begitukah? Kau nekat sekali!! Aku tak menyangka.”

“Dan sekarang ia pergi meninggalkan aku.”

“Jangan khawatir, aku harus menemuinya. Aku akan datang dan memberi penjelasan.”

“Bila jodoh, tak akan ke mana. Sekarang aku sedang memikirkan untuk membawa Ibu ke Solo. Akan kuminta ia tinggal di rumahku.”

“Kurasa ia tak akan mau.”

“Kalau tak mau, berarti aku harus tinggal di rumah ini.”

“Tidak boleh!”

“Kau kakak yang jahat.”

“Kakak-kakakmu yang lain tak akan mengizinkan. Bukan hanya aku.”

“Aku akan memaksa.”

“Jika Ibu bersedia kau bawa, belum tentu kakak-kakakmu mau menerima. Ia bukan ibu kandung mereka.”

“Dalam banyak hal, mereka selalu kalah denganku. Akan kusuruh mereka memilih: aku pergi atau mereka mengizinkan.”

“Kamu kepala batu.”

“Tetapi kamu mengaku jatuh cinta padaku, ‘kan?”

“Mana nomor telepon kekasihmu? Siapa namanya? Bagas... Bagaskoro. Nama yang bagus.”

Pulung tidak membual. Ia langsung menghubungi nomor telepon Bagas, namun tak pernah aktif. Ketika aku menghubungi telepon rumahnya, ternyata Pak Atmo, sopirnya, mengatakan bahwa ia sedang pergi ke suatu tempat yang tak boleh dikatakan.

Ketakutanku menjadi kenyataan. Bahwa apa yang diharapkan Mbok Yekti dan Pulung tak teraih. Berkali aku bertanya pada sopirnya. Tetapi, ia tak pernah memberi keterangan yang berarti selain, “Pak Bagas akan menemui seseorang di luar negeri. Mungkin kawan barunya. Belum tahu kapan pulang.”

Sopir itu sepertinya tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Bagas. Karena, ia sering mengantar kami, jika bepergian. Tak menutup kemungkinan ia juga tahu aku telah berkhianat mencintai pria lain. Sehingga, ia tak rela, jika majikannya disakiti.

Aku yang telah memulai penderitaannya, maka aku pula yang harus menebus dan menanggungnya. Sehingga, ketika kurasa perjalananku dengan Bagas menemui jalan buntu, aku mendatangi sopirnya dan meminta maaf atas perlakuanku pada Bagas. Lalu, aku menceritakan kejadian sesungguhnya. Hanya itu. Karena aku sudah mulai disibukkan oleh kondisi kesehatan Ibu yang memburuk.

Ibu tetap menolak kubawa pulang ke rumah Solo, meski aku sudah meyakinkan bahwa ia pun wanita tercinta bagi Tumenggung Rekso Darmo, romoku. Betapapun aku membujuk, Ibu tetap menolak. Namun, aku lega, karena ia menurut, saat aku membawanya ke rumah sakit untuk dirawat di rumah sakit di Solo, bukan Yogya. Supaya aku bisa berdekatan dengannya.

Tak kusangka bahwa ternyata hari itu adalah hari terakhir aku melihatnya. Aku baru saja selesai memimpin rapat penting di rumah batik, ketika Pulung tiba-tiba meneleponku.

“Ibu memanggil-manggil namamu. Sepertinya Ibu akan pulang sekarang.” Hanya itu yang ia katakan. Tanpa mandi terlebih dulu, aku mengajak Mbok Yekti ke rumah sakit, dan segera menghubungi Mas Wisnu dan Mas Indra. Setiba di rumah sakit aku langsung ke bangsal Ibu. Benar kata Pulung. Ia sedang menyebut-nyebut nama Intan.

“Ini saya, Ibu. Ibu memanggil saya?”

Ia menggapaikan tangannya dan kusambut. Dingin dan beku. Sepertinya ada banyak yang ingin ia katakan, tetapi tak sanggup. Aku memeluknya. Dan itulah pelukan terakhir kali.

Tepat ketika suster penjaga menarik kain putih dan menutup seluruh tubuh Ibu, Mas Wisnu datang bersama Mas Indra. Dan, di belakangnya menyusul Pak Atmo, dan astaga! Aku tertegun. Lelaki itu bergegas mendekatiku dan memelukku.

“Aku turut berduka cita, Rintan.”

“Bagas, maafkan aku.”

“Rintan, aku menyesal tak sempat bicara dengan ibumu. Menyesal karena belum sempat memintamu darinya. Sekarang terlambat.”

Waktu-waktu berikutnya adalah kesibukan. Kesibukan menyiapkan upacara pemakaman. Sehingga, di antara kami tak sempat berkisah satu sama lain. Tetapi, yang pasti aku melihat Pak Atmo sangat sibuk mengatur mobil jenazah dan segala peranti yang harus dibawa ke pemakaman. Bagas dan Pulung duduk berdampingan. Berjajar dengan Mas Wisnu dan Mas Indra.

Aku duduk berjajar dengan Mbok Yekti, serta kakak-kakak iparku. Barangkali mereka belum tahu betul siapa dan seperti apa wanita yang berbaring di dalam peti yang ditutup kain putih itu. Tetapi, aku merasakan dukacita mendalam melingkupi rumah ini. Entah karena wanita yang meninggal itu, atau karena perjalanan keluarga besarku.

Di sisi tanah merah yang menggunduk, bunga-bunga yang tertabur di atasnya masih begitu segar. Sesegar ingat­anku tentang hari-hari terakhir bersama seseorang yang berbaring di dalam sana. Juga tentang kemarahan Bagas akan pengakuanku. Tentang Mbok Yekti ketika menuturkan siapa sebenarnya aku. Dan aku tertunduk kala mengingat pertama kali Pulung datang pada suatu sore bersama seorang turis.

Kini ada dua lelaki berdiri di sebelahku. Seorang memeluk bahuku, seorang lagi memeluk pinggangku.
Gerimis datang, kembang kemboja putih jatuh tepat di depan kami. Kudengar Bagas berkata pelan, seolah enggan memecah keheningan.

“Pulung, di depan makam ibumu. Di hadapanmu. Aku meminta Rintan untuk kau izinkan menikah denganku.”

“Sedari awal aku tahu kaulah yang terbaik baginya. Ambillah! Aku yakin Ibu merestuinya.” Aku makin menunduk.
Pulung, tanpa kau datang sore itu, tentu selamanya aku tak akan pernah tahu sejarah hidupku, tak tahu riwayat yang tersimpan dalam keluarga besarku. Tanpa kau datang, aku tak akan pernah tahu sejarah wanita-wanita yang membentuk aku.

“Kita akan langsung ke makam Romo dan Ibu.” Dengan suara serak, Pulung berbisik di telingaku.

No comments: