12.22.2010

Rafiq & Sari

Dengan khusyuk Rafiq bin Rifai melakukan salam. Setiap kali ia sembahyang, ia mencoba melakukannya dengan afdal. Ia bukan seseorang yang sekadar membaca dan hanyut dalam irama bacaan. Ya, ia dapat hanyut, tapi hati dan pikirannya selalu ada dalam keseimbangan. Baginya, agama bukan sederet aturan, hierarki hukum, atau cerita keajaiban, yang merupakan bukti keberadaan dan ke-besaran Tuhan, serta kebenaran nabi-nabi-Nya. Bagi Rafiq, agama adalah jalan cinta, tetapi cinta yang berimbang dengan rasio.

Dalam hal ini ia berbeda dari kedua orang tua dan kakak-kakaknya. Bagi mereka, agama nyaris sama dengan ibadah. Mereka sebetulnya tidak tahu banyak tentang sejarah agama mereka, perubahan penafsiran, pengertian, dan pandangan dalam ruang dan waktu. Mereka berpegang pada ajaran ulama yang mereka kenal dan kagumi. Bagi mereka, ruang dan waktu adalah hal yang sangat solid, sangat nyata, sangat jelas, dan tidak perlu dipertanyakan.

Rafiq, putra bungsu keluarga Rifai, adalah anak yang dibanggakan, sekaligus dikhawatirkan orang tua. Berkat didikan dan teladan kedua orang tuanya, pengusaha yang berhasil dan terhormat dalam lingkungan mereka, agama adalah segalanya bagi Rafiq. Ia hanya ingin menjadi orang yang saleh. Sewaktu SMA, Rafiq ingin jadi seniman. Tapi, orang tuanya tidak setuju.

“Pemusik? penyair? Tidak bisa! Anak kita tidak boleh jadi orang urakan, gondrong, pemain band yang tampil dan bergaul dengan penyanyi-penyanyi yang mempertontonkan auratnya di depan umum, dan bangga kalau skandal perselingkuhan mereka dibeberkan media. Rafiq tidak boleh menggoyang pinggul di pub dan diskotek, menenggak ekstasi, kemudian melakukan seks pranikah, lalu terkena penyakit AIDS, kemudian mati dan masuk neraka.”

Rafiq harus jadi pengusaha seperti bapaknya, atau pamong seperti kakeknya almarhum, atau insinyur seperti Taufiq, abangnya, atau dokter, seperti Fatimah, kakak perempuannya. Tentu, lebih sempurna lagi kalau jadi ulama, seperti paman tertuanya, kakak ayahnya. KH Ali Rahmat bukan hanya ulama, tetapi juga terkenal sebagai dai yang kondang.

Rafiq lalu memilih bidang matematika, disiplin ilmu yang banyak dikuasai oleh mereka yang berbakat musik (yang pada dasarnya adalah matematika yang dibunyikan). Kalau kehendaknya untuk jadi seniman tidak dihargai, paling tidak pilihan kedua harus diambil oleh dirinya. Dan, jadilah ia mahasiswa yang brilian dalam maematika, yang sering memublikasikan tulisan di majalah ilmiah fakultasnya. Kekhususannya adalah merumuskan kembali berbagai rumusan baku dengan lebih anggun. Baginya, matematika adalah kesenian, yang memperlihatkan bahwa alam raya pun adalah karya seni.

Dalam matematika, Rafiq melihat kemurnian zat, kejelasan jagat raya, dan keanggunan ciptaan. Baginya, alam adalah angka, tetapi bukan sekadar angka, jumlah, besaran. Jauh daripada itu. Lama-kelamaan, Rafiq menjadi filsuf, yang mampu berpikir sangat abstrak, melampaui wujud yang ditangkap panca indranya, termasuk indra yang mengirim dan menerima isyarat bahasa. Ia mengerti, ayat bukan cakupan bahasa yang dibatasi konsep budaya.
Rafiq bersahabat dengan Wahyudi, yang sama sekali tidak disukai orang tuanya. Jika Rafiq melihat Tuhan melalui ciptaan-Nya, Wahyudi adalah seorang materialis sejati. Bukan berarti ia percaya bahwa materi hanyalah materi. Ia menganggap, alam mempunyai kepintaran, yang mengikut suatu rancangan pintar, sehingga menghasilkan manusia, yang otaknya adalah struktur paling rumit dalam jagat raya. Dan, melalui mata dan pikiran, manusia memandang alam dan mencoba memahami dirinya.

Wahyudi gemar berjudi. Ia berjudi dengan tangan dan otak yang dingin, menggunakan perhitungan kemungkinan dan penguasaan diri yang ketat, dan hasilnya sangat memuaskan. Ia gemar berjudi di tempat-tempat yang berbahaya, karena di sana ia melihat kreativitas ciptaan berkembang. Wahyudi juga suka minum. Makin pusing, ia makin menikmati hidupnya karena unsur ketidakpastian selalu menyediakan kejutan-kejutan yang menyenangkan. Kalau malamnya ia minum dan berjudi, lalu keesokan harinya menemukan dirinya di pinggir jalan dengan kantong kosong, tanpa dompet, arloji, atau sepatu, tak masalah. Ia tidak merasa bersalah atau berdosa.

“Di, ingat Tuhan, dong!”

“Maksudmu, Pencipta langit dan bumi?”

“Ya, yang mana lagi?”

“Fiq, kita adalah pencipta kita sendiri. Manusia adalah hasil jumlah semua yang dilakukan, dirasakan, dipikirkan! Dan, proses penciptaan diri ini hanya dapat kita lakukan dengan hidup, mereguk kehidupan sepuas-puasnya, memasuki setiap jalan dan gang buntu.”

“Lalu, melanggar setiap peraturan dan larangan, mengalami setiap kecelakaan dan kesialan, begitu?”

“Dalam hidup, semua akan dialami, keberuntungan dan kesialan.”

“Tapi, kesialan tidak perlu dicari, ‘kan?”

“Dia akan mencari dan menemukan kita. Fiq, orang tuamu kaya dan tanpa cacat. Kamu baik, tampan, dan saleh. Kamu hidup di zaman yang baik. Tapi, tidak ada jaminan bahwa zaman tak akan berubah, revolusi tidak akan pecah, Pulau Jawa tidak akan tenggelam di bawah laut, suatu mutasi virus flu tidak akan membunuh setengah penduduk bumi. Kalau itu terjadi, kamu bingung. Lalu, sehari-hari kamu hanya akan bertanya, ‘Mengapa, Tuhan? Mengapa? Apa dosa kami?’ Sedangkan aku dan orang sejenisku akan cepat menyesuaikan diri, lalu membangun dunia baru, mitos baru.”

“Agama baru, nabi baru, Wahyudi Sudrajat. Iya?”

Wahyudi terkekeh. “Aku tidak mau terjebak menjawabnya. Pokoknya, aku bisa menikmati hidup. Dan, kalaupun celaka, akan kunikmati kecelakaan itu. Sementara itu, siang-malam kamu menyiksa diri, mempertanyakan mengapa dunia kacau, lalu mati-matian berusaha melawan kekacauan itu dengan merapikan hidupmu. Kamu pikir, kalau kamu tidak sembahyang subuh, matahari tidak akan terbit?”

“Bisanya kamu menyindir saja, Di. Coba kamu sembahyang. Kamu pikir, aku tidak bahagia? Aku khawatir terus? Aku sekeluarga bahagia. Sembahyang itu nikmat, mensyukuri kemurahan Tuhan. Dan, aku yakin, kamu tidak akan bicara seperti ini, pada saat kamu mengalami siksa kubur yang paling menyakitkan!”

“Sekarang, kamu merasa lebih baik dari aku, dan mengancamku dengan siksa kubur, seolah kamu malaikat?”

“Aku hanya memperingatkan!”

“Aku akan disiksa karena hidup seenaknya dan kamu akan disiksa karena menyombongkan diri!”

Suatu malam, Wahyudi datang ke rumah Rafiq. Ia mabuk, tetapi tidak oleh alkohol. Ia mabuk politik. Ia baru pulang dari rapat dewan yang merencanakan demo besar-besaran untuk menghadang sidang umum. Bagi Wahyudi, kegiatan politik adalah bagaikan permainan catur melawan seorang grand master, yang menerapkan ilmu drunken master dalam menjalankan bi­dak-bidaknya. Sewaktu ia menyeberangi ruang tamu di rumah keluarga Rifai menuju kamar Rafiq, orang tua Rafiq memandangnya tidak senang.

“Seharusnya kita berbicara dengan Rafiq,” kata ayahnya. “Wahyudi tidak baik pengaruhnya bagi anak kita. Mengapa Rafiq tidak bisa mencari pergaulan yang lebih baik? Mereka berdua saja bagaikan kekasih. Untung saya tahu, Wahyudi itu punya banyak kekasih. Kalau tidak, saya bisa curiga. Tapi, bisa saja ia termasuk biseksual. Mengapa Rafiq belum menunjukkan bahwa ia pria sejati? Bagaimana, Bu? Saya mulai khawatir.”

“Ah, jangan terlalu khawatir, Pak!”

Ibu Rifai adalah wanita pengusaha yang lembut. Ia menjalankan usaha katering di rumah sendiri, melayani pesta dan pertemuan elite. Bagian belakang rumah mereka selalu ramai. Dari garasi samping, mobil keluar-masuk membawa bahan dan pesanan. Ia merasa agak kesepian setelah dua anak tertuanya menikah dan keluar dari rumah. Sekarang ia memandang suaminya dengan mata besar. Wajahnya yang dibingkai kerudung masih tampak cantik.

“Bagi Rafiq, studi dan agama adalah segalanya. Itu yang kita inginkan, bukan? Tapi, ia jadi banyak menyendiri, kurang bergaul. Sepertinya, itu harga yang harus kita bayar. Dan, pada saatnya ia akan membuka diri. Tentang Wahyudi, saya tidak tahu. Mungkin, Rafiq mempunyai pengaruh baik pada Wahyudi. Kalau begitu, itu harus kita syukuri. Anak kita akan dapat pahala.”

“Mungkin, benar. Dua bulan lagi puasa. Bagaimana kalau kita mengundang Pak Kiai sekeluarga untuk berbuka. Bapak tahu kan maksud saya?”

“Bapaknya Aisya.”

“Benar. Saya rasa, Pak Kiai akan mengerti. Tapi, itu Rafiq dan Wahyudi keluar bersama. Mau ke mana mereka?”
Kedua anak muda berjalan santai ke tempat orang tua Rafiq duduk di bangku panjang, sambil menonton televisi.

“Bapak, Ibu, saya minta izin untuk ikut Wahyudi ikut rapat dewan. Wahyudi bilang, kita semua harus bertanggung jawab atas wujud dan masa depan bangsa kita. Jangan hanya menikmati hasil perjuangan orang lain!”

Pak Rifai termenung. Ia tidak suka dikuliahi anaknya tentang tanggung jawab warga negara. Ia tidak suka Rafiq terlibat politik. Tapi, ia tidak tahu bagaimana melarang Rafiq, karena ia tidak biasa melarangnya. Bukan karena ia memanjakan, tapi karena Rafiq tidak pernah melakukan apa-apa yang harus dilarang. Dengan wajah minta bantuan, ia memandang istrinya.

Bu Rifai mengambil keputusan. “Silakan, tapi jangan naik motor. Pakai saja mobil Ibu. Jangan pulang terlalu malam.”

Rafiq mencium tangan kedua orang tuanya. Wahyudi merasa setengah iri melihat hubungan baik antara Rafiq dan orang tuanya. Ia sendiri jauh dari orang tuanya, dan lebih dekat dengan pamannya, yang memperlakukannya sebagai teman.

Namun, keinginan Wahyudi untuk mengajak Rafiq ikut berdemonstrasi tak membuahkan hasil. Rafiq menganggap bahwa demo tanpa henti itu merusak perekonomian dan menyengsarakan rakyat. Akibatnya, Rafiq pun menjadi bahan olokan teman-teman Wahyudi.

Mobil yang mereka tumpangi, yang disetir oleh Wahyudi, kembali meluncur di jalan-jalan Jakarta yang lengang. Wahyudi dan Rafiq terhanyut dalam lamunan masing-masing. Wahyudi tidak suka Rafiq diolok, ia sayang dan menghormati Rafiq. Ia memandang ke arah Rafiq, yang sedang melamun di sampingnya. Ia ingin membuat Rafiq terkejut.

“Rafiq,” katanya, “aku ingin memperlihatkan hal lain padamu. Suatu soal, suatu teka-teki. Aku akan minta kamu memecahkan soal itu. Kamu mengatakan, keadaan dapat diperbaiki dengan dakwah, bukan? Apa pendapatmu tentang pelacuran, perjudian, dan bermabukan?”

Rafiq memandang Wahyudi dengan heran. “Mau apa lagi kamu, Yud? Yang kamu sebut itu adalah dosa. Mau mengajak aku berdosa?”

“Bukan, Fiq. Aku ingin memperlihatkan suatu masalah sosial padamu. Bukan suatu masalah ilmu pasti. Ayo, sudah waktunya kamu keluar dari kenaifanmu!” kata Wahyudi. “Soalnya, aku ingin bisa diskusi denganmu tentang hal yang lebih rumit daripada ilmu pasti. Aku ingin bisa berdiskusi denganmu tentang yang tidak pasti!”

Lalu, Wahyudi membelokkan mobil dan menancap gas. Setelah beberapa lama mobil meluncur di jalan yang makin ramai, tibalah mereka di suatu tempat. Di sini tidak terlihat suasana tegang, tidak seperti rapat dewan tadi. Keramaiannya mengingatkan Rafiq pada pasar malam. Taksi diparkir berjajar di pinggir jalan. Orang ramai lalu-lalang. Warung-warung masih buka, meskipun jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Wahyudi memarkir mobil di pinggir jalan, mengajak Rafiq turun. “Selamat datang di serambi neraka,” kata Wahyudi, santai. “Banyak yang bilang, di sini tempatnya orang mendapatkan jodoh!”

Ia memerhatikan Rafiq untuk melihat, apakah temannya itu akan kaget. Tapi, ia kecewa. Raut wajah Rafiq biasa saja. Berdampingan kedua sahabat itu menuruni jalan sempit yang becek, di samping kali berair hitam, berminyak, dan berbau.

Kerumunan manusia serba-rupa mendesak masuk suatu kampung buruk, melalui rumah-rumah batu bata dan batako, rumah kayu. Ada rumah yang sebagian bertumpu di atas tonggak di atas kali, ada yang dibangun menempel di pinggiran, seolah tanpa aturan. Tapi, tempat itu terang benderang, karena lampu menyala di mana-mana: lampu neon, lampu pijar, lampu halogen. Musik pop, rock, dan dangdut memekakkan telinga Rafiq.

Mata Rafiq makin membelalak saat pandangannya tertumbuk pada adegan-adegan yang tidak pernah dapat ia bayangkan. Puluhan pria berdesakan di sekitar meja, yang ditutup berbagai angka dan tanda dalam gambar kotak. Tangan mereka penuh lembaran uang. Dalam kotak-kotak di meja, uang menumpuk dalam berbagai pecahan. Rafiq menduga, tumpukan itu bernilai jutaan. Di balik tiap meja, duduk bandar-bandar, yang terus-menerus mengatur para penjudi untuk memutar dadu dalam mangkuk, membukanya, mengumpulkan jutaan rupiah dari meja, lalu memilah, menghitungnya, dan mengembalikan sebagian ke pemasang yang kebetulan menang.

“Fiq, banyak orang tidak tahu, seseorang dapat menang dengan teratur asal ia mengerti perhitungan kemungkinan. Bandar selalu menang karena penjudi ketagihan psikologis. Mereka tidak berjudi untuk menang, tapi untuk berjudi. Tapi, kalau ingin menang, ada aturannya. Pertama…,” kata Wahyudi.

“Sudah!” Rafiq hampir berteriak. “Aku tidak mau tahu! Apakah ini yang kamu kerjakan selagi menghilang berhari-hari? Bukankah judi dilarang?”

Wahyudi tersenyum puas melihat temannya kaget. “Ini belum apa-apa, Fiq. Nanti ada lagi yang akan membuatmu pingsan berdiri!”

Sesuai janjinya, dalam beberapa saat lagi Rafiq benar tertegun. Dari tempat terang benderang, mereka memasuki gang gelap, dan tiba di suatu lapangan kecil dikelilingi rumah-rumah yang reot, tapi penuh sesak oleh manusia. Di sana puluhan wanita berjalan-jalan, berdiri, dan duduk-duduk. Ada yang belasan tahun, ada yang kelihatan sudah berkepala tiga. Riasan menor membuat wajah-wajah mereka kelihatan pucat dalam sinar remang-remang.

Rafiq berdiri. Ia tercenung melihat wanita-wanita itu berpakaian seronok: rok mini, baju ketat, yang memperlihatkan perut atau belahan dada mereka. Tanpa disadari ia memegang tangan Wahyudi erat-erat. Bagi Rafiq, kedekatan fisik dengan sesama jenis, termasuk mencium pipi, adalah wajar, dan kedekatan fisik dengan lawan jenis yang bukan muhrim adalah haram. Bagi Wahyudi, kedekatan fisik pada sesama jenis hanya mungkin dalam olahraga, dan mencium pipi sesama pria berbau homo. Sebaliknya, memegang tangan atau mencium pipi lawan jenis, biarpun bukan muhrim, adalah biasa.

Tiba-tiba seorang wanita setengah baya menghampiri mereka. Ia pendek, gemuk, berias menor. Ia bercelana pendek dan berbaju ketat, seperti layaknya anak muda. Ia menuju Wahyudi, yang secara sembunyi-sembunyi menunjuk ke arah Rafiq. Wanita itu mendekati Rafiq, yang mengamati gerak-geriknya dengan khawatir, lalu memegang lengan Rafiq, seolah-olah Rafiq adalah suami atau anak laki-lakinya. Sekujur badan Rafiq menjadi tegang.

“Aduh, cakepnya!” kata wanita itu dengan suara yang dibuat-buat. “Cari apa, Sayang?”

Rafiq ingin melepaskan tangannya dan lari. Tapi, ia dididik dengan baik. Ia tidak tahu cara tidak sopan dalam memperlakukan wanita. Ia panik. Lidahnya kelu, matanya mencari jalan keluar, lalu ia memandang Wahyudi dengan memelas. “Wahyudi, apa-apaan ini?”

Wahyudi menyembunyikan tawanya dan menarik Rafiq keluar dari cengkeraman halus wanita tadi. “Mungkin, lain kali saja, Mbak!”

“Ah, dasar!” kata wanita itu, mengumpat. “Kalau tidak punya uang, bilang terus terang, dong!”

“Yud, pulang, Yud!” pinta Rafiq. “Mau apa kita di sini?”

“Fiq, aku mau memberi teka-teki. Sudah lupa? Kamu bicara tentang hidup dan bagaimana seharusnya hidup, tapi kamu tidak tahu caranya hidup. Sekarang, aku tunjukkan cara menikmati hidup!”

“Teka-tekinya?”

“Sifat teka-teki adalah teka-teki. Maksudku, bukan teka-teki anak-anak. Maksudku, teka-teki bagi pemikir. Kita tidak harus hidup seperti katak di bawah tempurung, ‘kan,” kata Wahyudi.

Wahyudi lalu membimbing Rafiq keluar-masuk beberapa gang kumuh, sampai mereka tiba di suatu rumah besar bertingkat di pinggir kali. Rafiq melihat seperti ada pesta di dalam rumah itu. Sejumlah pria dan wanita duduk-duduk mendengar musik. Meja-meja penuh botol dan gelas. Berbeda dari tempat sebelumnya, semua wanita di ruangan itu muda, menarik, dan seksi. Ada yang menari, ada yang duduk menempel dengan tamu pria, dan ada yang bertugas sebagai pelayan, membawa bir ke sana kemari.

Wahyudi menarik Rafiq ke satu bangku dan mereka duduk di sana. “Fiq, aku akan meninggalkan kamu selama satu jam. Kamu di sini saja, jangan ke mana-mana, nanti tersesat dan bisa-bisa dirampok. Nikmati saja musik, pesanlah minum, pelajari apa yang kamu lihat. Dalam satu jam aku kembali dan akan bertanya padamu apa arti semua ini.”

“Kamu yang akan bertanya?”

“Ya. Setelah itu, kamu boleh bertanya. Sampai nanti!”

“Wahyudi, masa aku di sini terus? Ini kan tempat orang!”

“Ini tempat umum, seperti restoran dan hotel. Pokoknya, pesan sesuatu. Aku pergi dulu.” Dan Wahyudi menyelinap dalam gelap, meninggalkan Rafiq sendiri. Sesaat ia berhenti dan melihat ke belakang, ragu-ragu. Tapi, ia mengatakan pada dirinya sendiri, “Dia shock, tapi tidak akan tergelincir. Orang lain mungkin tergelincir, tapi Rafiq tidak. Ia naif, tapi tidak lemah.”

Rafiq duduk diam, hampir tidak berani bergerak, takut ada yang memerhatikan. Ia juga tidak berani memerhatikan orang-orang di sekelilingnya, tidak berani memandang wanita-wanita cantik di sekitarnya.

Tanpa ia sadari, ia diperhatikan seseorang, yang bukan tamu di sana. Tingginya sedang. Dari garis wajahnya, sepertinya ia berdarah campuran. Ia setengah baya, tapi kelihatan muda. Agak gemuk, tapi tegap. Badannya tidak bagus, tapi ia bergerak dengan yakin. Di kedua lengan bawahnya terdapat tato kelabang yang melingkar sampai pergelangannya. Ia tampan untuk pria seumurnya. Matanya bergeser ke kiri ke kanan dengan tidak tenang. Tapi, mata itu sekarang tertuju kepada Rafiq, tanpa berkedip. Mata itu bagaikan radar, menelanjangi Rafiq di otak laki-laki itu.

“Hmm, anak orang kaya. Ia kelihatan tidak berpengalaman, dan ketakutan ditinggal temannya. Pria itu berjalan santai menuju Rafiq, yang sedang kebingungan, lalu menegurnya ramah.

“Malam, Mas, sedang apa?”

Rafiq merasa panas dan dingin, peluhnya mulai membasahi bajunya. “Sedang menunggu teman!”

“Oh. Mau minum, Mas?”

“Boleh. Ada minuman ringan?”

“Tunggu sebentar!”

Pria itu meninggalkan Rafiq dan membuka pintu satu kamar. Ia masuk sebentar dan keluar dengan seorang gadis muda. Ia membimbing gadis itu ke arah Rafiq dan mendorongnya dengan pelan, tapi terlihat memaksa, sehingga gadis itu terduduk di samping Rafiq. Rafiq kaget dan marah. Ia merasa dipaksa, dijebak, lalu duduk dengan setengah membelakangi gadis itu.

Dengan ragu si gadis mengulurkan tangannya. “Saya Sari.”

Rafiq tidak menyambut tangan itu. Ia hanya mengangguk hormat dengan lirikan cepat ke arah Sari. “Nama saya Rafiq,” katanya, lalu diam.

Beberapa lama Rafiq dan Sari duduk dengan sikap sama, di ujung bangku dengan kepala menunduk, tanpa bergerak, tanpa berkata apa-apa. Pria yang tadi menegur Rafiq lewat, lalu berkata pelan, “Sari!”

Gadis itu tersentak dan mengangkat kepalanya, memandang pemuda di sebelahnya. Ia melihat wajah yang kurus dengan tulang pipi tinggi, tapi diperhalus ekspresi yang lembut, rambut tebal hitam dan alis tebal, di atas mata yang tunduk, memerhatikan permukaan meja kaca, seolah di sana terdapat jawaban atas semua teka-teki kehidupan. Hidung pemuda itu lurus dan melengkung. Bibirnya melengkung manis. Bibir itu bergetar, seolah pemiliknya ketakutan. Bibir atasnya mengilap karena butir-butir peluh disorot cahaya lampu disko. Badan pemuda itu atletis, tapi tampak tegang. Tangannya berbentuk indah, tapi kuat. Tangan seorang pemusik, seorang seniman, saling memegang erat-erat, seolah ia sedang sembahyang. Secara keseluruhan, ia sangat tampan.

Ragu-ragu Sari mengulurkan tangan, meletakkannya di paha Rafiq, yang tersentak seperti teraliri listrik. Sari cepat-cepat menarik tangannya kembali.

“Minum, Mas?”

Dengan pelan Rafiq mengangkat kepala dan memandang ke arah Sari. Sari melihat bahwa bola matanya besar dan jernih, tapi warna irisnya coklat kekuningan dengan lingkaran lebih gelap, sehingga pandangannya berkesan tajam, bagaikan mata elang. Tapi, ekspresi wajahnya lembut, meski gelisah.

Rafiq melihat seorang gadis remaja, yang umurnya paling baru belasan tahun. Rambut hitam gelap jatuh sekitar kepala. Bahu dan leher jenjangnya bersinar diterpa cahaya lampu. Lengannya yang telanjang juga bersinar. Bentuk badannya terlihat jelas, meski tertutup gaun panjang, yang terbuka di bagian dada dan terbelah tinggi di paha.

Apa yang diperlihatkan belahan-belahan itu adalah karya seni, dan Rafiq mulai gemetar. Ia lalu memerhatikan wajah ayu si gadis, dan ia kaget. Wajah lonjong yang seolah diciptakan untuk membingkai sepasang mata berbentuk biji kenari, bagaikan kolam dalam bayangan hutan, gelap dan jernih. Di atasnya, sepasang alis melengkung dengan halus. Hidung gadis itu lurus. Yang ia lihat nyaris sempurna. Tapi, wajah itu sayu.

Tuhanku, pikir Rafiq, aku berhadapan dengan seorang wanita malam. Seorang yang tidak punya kehormatan dan martabat, tidak punya malu, dan menyerahkan dirinya kepada siapa saja untuk uang. Tapi, mengapa ia muda dan jelita? Mengapa ia ada di sini? Mengapa ia da­tang kepada saya dan menawarkan minum? Bukankah iblis buruk rupanya? Dan, mengapa gadis ini kelihatan seperti mau menangis dan malu-malu?

Rafiq lalu berdoa dalam hati. Ya, Allah, jauhkan saya dari marabahaya, jauhkan saya dari setan yang dirajam, selamatkan saya dari godaan. Tapi, sambil berdoa, matanya tidak lepas dari wajah yang ayu dan sayu gadis itu. Pikirannya bagaikan daun kering ditiup angin, beterbangan ke segala penjuru.

Gadis itu tertunduk bingung di bawah pandangan elang Rafiq. “Mengapa melihatku terus, Mas,” katanya, tersipu-sipu. “Mau bir?” ia melanjutkan.

Rafiq mengangguk tanpa mendengar apa yang dikatakan. Sari dengan lega bangun untuk mengambil bir. Karena Rafiq tidak berpengalaman, ia tidak bertanya hitam atau putih, tapi langsung menerima botol bir hitam dari bar yang langsung dibuka. Sari kembali dengan membawa botol dan gelas, lalu menuangkannya untuk Rafiq.

Untuk menutupi perasaannya, Rafiq mengambil seteguk besar dari apa yang ia kira minuman ringan dan langsung batuk. Bir dan buih menyemprot dari mulut dan hidungnya. Ia batuk tiada henti, lalu ia merasa seolah semua orang di ruangan itu memerhatikannya. Ia begitu malu sampai keringatnya mengalir.

Sari menepuk punggung Rafiq, lalu tertawa sesaat, memperlihatkan dua barisan gigi yang bak mutiara. Kembali Rafiq bertanya pada dirinya, apa yang dilakukan gadis secantik itu di sini.

Untuk menutup malunya, Rafiq minum beberapa teguk lagi. Tiba-tiba ia sadar, ia sedang melanggar suatu aturan. Namun, pada saat yang sama, ia juga sadar, rasa minuman itu tidak seburuk yang ia pikirkan. Itu kembali membingungkannya.

Sari melihat sekeliling, menggigit bibir, dan kembali menghadap Rafiq.

“Ke kamar, Mas? Biar bisa ngobrol.”

Tenggorokan Rafiq kering. Ia mencoba mengatakan sesuatu, tapi lidahnya seperti menempel pada langit-langit. Sari mengangkat botol dan gelas bir, lalu berdiri. Rafiq tidak ingin berdiri, tapi sifat sopan memaksanya untuk tidak bertindak kasar. Ia menatap Sari, yang kelihatan ‘tersesat’.

Rafiq tiba-tiba dibakar suatu dorongan untuk ingin tahu, apa rahasia Sari sehingga ia bisa terdampar di tempat ini. Mendadak ia ingat teka-teki yang dibicarakan Wahyudi. Bagaimana bila Wahyudi benar, bahwa ia memang katak di bawah tempurung? Suka bicara tentang masyarakat ideal, tapi tidak tahu yang sebenarnya terjadi. Jangan-jangan, Wahyudi ada di belakang kejadian ini.

Lalu, Rafiq mengambil keputusan. Ia ingin tahu tentang Sari, ingin memecahkan teka-teki itu. Ia tidak ingin bila nanti Wahyudi bertanya, ia hanya mengatakan bahwa ia tidak melakukan apa-apa, duduk bagai patung. Ia ingin mengatakan, meskipun dikelilingi wanita cantik, ia tetap tidak terpengaruh.

Kalau sandiwara ini memang Wahyudi yang menyutradai, ia aman. Ia mengikuti Sari ke bagian belakang rumah itu, melewati pintu terali besi tebal, dengan gerendel besi tebal yang digantungi kunci besar, naik tangga, masuk gang dengan pintu-pintu di kiri kanan, dan masuk sebuah kamar.

Jelas bahwa kamar itu kamar seorang wanita. Motif seprai bu­nga-bunga, boneka beruang berjejer di atasnya, foto-foto bintang India, dan beberapa foto diri. Rafiq memandang jejeran boneka beruang dengan bingung. Sewaktu naik tangga, ia mempersiapkan diri masuk ke kamar, seperti digambarkan dalam film yang menggambarkan kamar seorang wanita malam, serba merah.

Rafiq tidak tahu harus melakukan apa. Sari duduk di tempat tidur. Gerakan tangannya mengundang Rafiq duduk di samping-nya. Kemudian, mereka berdua berdiam diri. Rafiq meneguk bir-nya, lalu merasakan otaknya dibungkus lapisan kapas. Ia menghela napas, meluruskan punggungnya, melemaskan semua ototnya yang tegang. Apa yang kulakukan di sini?

Rafiq mendeham, membersihkan kerongkongannya. Setelah yakin ia dapat bicara, ia mulai bicara, “Berapa umurmu, Sari?”

“Tujuh belas.”

“Ya, Allah! Mengapa kamu berada di sini?”

“Saya dijual!”

“Apa? Dijual? Bagaimana mungkin? Bagaimana sampai di sini?”

“Diajak teman.”

“Diajak apa?”

“Bekerja. Katanya, bekerja di toko.”

“Siapa teman itu?”

“Tetangga di kampung.”

“Lalu?”

“Saya dijual ke bosnya.” Wajah Sari seperti kesakitan. “Keperawanan saya dijual dua juta rupiah.”

Rafiq merasa suatu kemarahan mulai membakar dadanya. Tanpa terasa ia telah menghabiskan birnya. “Mengapa kamu tidak pulang saja?”

“Tidak bisa.”

“Mengapa tidak bisa?”

“Saya utang pada Iwan, pemilik tempat ini.”

“Kamu dijebak dan dijual, tapi masih merasa berutang? Tinggalkan tempat ini. Kembalilah ke tempat orang tuamu.”

“Tidak bisa.”

“Mengapa tidak bisa?”

“Orang tua saya punya utang pada tetangga yang membawa saya ke sini. Saya di sini cari uang. Bapak saya sakit dan meminjam uang untuk obat.”

Rafiq mengangkat tangannya dengan gerakan putus asa. “Kamu pasti bohong. Ini lebih gila daripada cerita sinetron!”

Sari memandang wajah Rafiq yang merah padam. Tiba-tiba Sari merasakan kesakitan yang amat menusuk hati. Tubuhnya gemetar dan wajahnya bagaikan kertas yang diremas. Air matanya mengalir deras, badannya terguncang oleh isakan tertahan. Ia memegang rambutnya dengan kedua tangan dan dengan sekuat tenaga berusaha untuk tidak berteriak.

Rafiq kaget bukan main. Tanpa sadar, nalurinya menembus segala ajaran yang ia dapatkan tentang tata cara pergaulan sesuai ajaran agama. Ia menangkap gadis histeris itu dalam dekapannya, membuainya dalam suatu gerakan yang naluriah, bagai membuai anak kecil yang sedih. Ia meletakkan wajah Sari ke bahunya. Serta-merta Sari memeluknya dan menangis dalam pelukan pemuda yang baru ia kenal, sampai air matanya tak bersisa.

“Maaf, maaf, Sari,” gumam Rafiq. “Maafkan saya karena tidak percaya padamu. Seharusnya, saya terima bahwa kehidupan nyata melebihi cerita sinetron mana pun. Saya memang hanya tahu sinetron. Tapi, tempat ini nyata. Dan, kurasa, ceritamu juga nyata. Maafkan saya.”

Isak Sari berhenti sesaat. Kemudian ia menyadari sedang didekap seorang pemuda tampan, seperti yang sering ia mimpikan. Tidak di sini, tidak sekarang. Pemuda itu akan pergi, hanya meninggalkan kenangan yang menyakitkan. Ia melepaskan diri dari pelukan Rafiq, mengambil tisu basah, dan mulai mengompres matanya.

“Sari,” Rafiq berkata lembut, “mengapa tidak ke polisi?”

Sari memandangnya sedih. Tetap cantik dengan mata sembap.

“Saya tidak bisa keluar. Kalau malam, pintu kamar saya dikunci dari luar. Pintu terali di tangga dikunci. Pintu kamar depan dikunci. Penjaga tidur di sana! Lagi pula, saya belum pegang cukup banyak uang. Tetangga saya akan datang menagih karena Bapak masih berutang.”

“Berapa?”

“Lima juta.”

“Tuhanku, lima juta itu kan harga motor bekas, harga televisi di masa krisis, gaji sebulan eksekutif papan bawah di Jakarta. Hanya untuk itu kamu di sini? Saya bisa memberi kamu lima juta!”

Sari memandangnya dalam diam, tidak berani beharap.

“Sari, saya akan tebus kamu! Saya pulang dulu dan besok akan ke sini lagi membawa uang. Ini, kartu nama saya. Kalau ada apa-apa, telepon saya!”

Rafiq melirik jam tangannya dan terkejut. Hampir dua jam lewat sejak ia ditinggal Wahyudi. “Sari, saya harus turun, ditunggu teman. Pokoknya, kamu akan saya tebus!” Lalu, Rafiq berdiri dengan bersemangat.

“Mas,” kata Sari tersipu-sipu, “bayar kamarnya dulu.”

Rafiq mengernyit. “Berapa?”

“Saya disuruh minta tiga ratus. Biasanya, sih, lima puluh.”

“Kenapa saya dimintai tiga ratus?”

“Iwan bilang, Mas anak orang kaya,” Sari menunduk malu.

Rafiq tertegun, tapi memahaminya. Ia mengeluarkan dompet. Di dalamnya hanya ada seratus ribu dan uang kecil. Tapi, ada dua kartu kredit. Ia mengangkat bahu, memberikan lembaran seratus itu pada Sari. ”Biar saya bicara pada Iwan,” katanya, lalu membuka pintu dan melangkah keluar.

Ketika menemukan Iwan, Rafiq langsung meradang, “Kamu perusak masyarakat, penjajah dalam arti yang sebenarnya. Di luar sana sedang terjadi reformasi, di sini saya lihat orang seperti kamu....”

Kata-katanya terpotong karena Iwan menarik bajunya. “Sudah, jangan berkhotbah disini. Bayar saja, lalu silakan pergi!”

Rafiq mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman lawannya begitu kuat. Setelah Rafiq diam, ia baru dilepaskan. “Bayar!” kata Iwan.

Rafiq mengeluarkan kartu kreditnya. “Pakai ini saja dulu. Besok saya tebus Sari. Akan kubawa pulang ke rumah orang tuanya. Lima juta, ‘kan?”

“Jangan macam-macam, saya tidak terima kartu. Tunai! Dan, jangan pikir kamu bisa membeli Sari. Seratus juta pun tidak saya berikan!”

Kedua orang itu kini menjadi pusat perhatian. Sejumlah wanita bergerombol menonton. Beberapa tamu segera membayar minuman dan pergi.

“Cepat bayar. Atau, berikan arlojimu. Atau, kalungmu!”

“Tidak bisa. Arloji ini pemberian orang tua. Kalung ini bertuliskan nama Allah dan Nabi-Nya. Saya tidak akan biarkan kamu mengotorinya! Saya akan bayar segera. Dan, saya punya uang untuk mendapatkan Sari. Kamu akan dapatkan uang lima juta milikmu!”

Iwan tersentak. Sesaat ia memelototi Rafiq dengan mata meme-rah. Lalu, tiba-tiba ia meninju ulu hati Rafiq, yang merasa se-perti ada bola api meledak di dadanya. Rafiq tidak bisa bernapas. Perkelahian pun tak dapat dihindari lagi. Rafiq nyaris tak berdaya, karena Iwan memanggil dua penjaga tempat itu, untuk mengeroyok Rafiq. Untung saja, Wahyudi, yang sudah menunggu Rafiq, mendengar keributan itu. Segera saja ia membantu Rafiq, menye-retnya keluar, dan mereka pun secepat kilat melarikan diri. Tapi, tangan-tangan kekar gesit menangkap mereka.

“Apa?” Pak Rivai berteriak di pesawat telepon. “Saya tidak salah dengar? Bapak bilang, anak saya ditangkap karena apa? Ke kompleks pelacuran dan tidak mau bayar? Mabuk, mengamuk, dan melukai orang? Tidak mungkin, Bapak keliru, itu tidak mungkin anak saya!”

Namun, setelah berapa lama mendengar penjelasan lawan bicaranya, Pak Rivai meletakkan gagang telepon. Dengan dua ta­ngan memegang kepala, ia berdiri, menengadah ke langit-langit. Istrinya, yang turun dari tangga, dan melihat suaminya seperti itu, segera berlari menubruknya. “Ada apa? Ada apa?”

Pelan Pak Rivai memutar kepalanya, memandang istrinya. “Saya baru ditelepon polisi. Rafiq ditahan. Bu, ini sukar dipercaya. Rafiq ditangkap di kompleks pelacuran. Kata polisi, tuduhannya, ia tidak mau bayar.”

“Masya Allah!”

“Lalu, setelah ditagih, Rafiq memaki-maki mucikarinya, menye­rang, dan menganiayanya!”

“Itu tidak mungkin! Tidak mungkin!”

“Ketika pihak keamanan akan mencegah, ia menyerang orang-orang yang mau melerai. Kata polisi, ada yang patah tangannya, tertusuk perutnya, tersayat urat nadi pergelangannya, patah rusuknya. Lalu, ia lari. Dan, sambil lari, ia merusak semuanya. Ia pun melawan polisi yang hendak menangkapnya.”

“Ya, Tuhan. Itu bukan Rafiq. Itu pasti Wahyudi!”

“Menurut polisi, ada yang mengatakan dua orang. Tapi, Rafiq mengaku, ia melakukan semua itu sendiri. Dan, yang bersamanya hanya orang lewat yang membantu setelah melihat ia dianiaya.”

Telepon tiba-tiba berdering. Pak Rivai menjawab, “Salamulaikum.”

“Alaikumsalam. Ini Wahyudi.”

“Wahyudi? Kamu apakan anak kami!”

“Itu yang ingin saya jelaskan....”

“Tidak usah menjelaskan apa-apa. Jangan berani ke sini lagi. Ja­ngan berani menelepon lagi. Jangan berani bergaul dengan Ra­fiq lagi. Kalau ada yang harus dijelaskan, biar Rafiq yang menjelaskan. Apa pun yang dikatakan iblis adalah kebohongan!” Pak Rivai membanting gagang telepon.

Pak Rivai duduk di bangku kayu, berhadapan dengan putranya. Jika sebelumnya ia berniat marah, kini luluh hatinya melihat wajah anaknya yang babak belur dan biru lebam. Seumur hidup ia belum pernah melayangkan tangan pada anaknya. Itu tidak pernah dibutuhkan. Rafiq memang keras kepala sedari kecil. Tapi, ia tidak pernah memakai kekerasan, tidak pernah berkelahi.

“Rafiq,” kata ayahnya, lembut, “apa yang terjadi? Katakan bahwa bukan anak bapak yang membabi buta di tempat itu. Katakan bahwa yang mengajakmu ke sana adalah Wahyudi!”

“Pak, Bapak tahu, saya tidak bisa berbohong. Saya memang dibawa ke sana oleh Wahyudi. Dan, Wahyudi yang melukai centeng-centeng itu. Tapi, Wahyudi tidak bersalah. Ia mengajak saya ke sana karena menganggap saya naif. Saya pernah mengatakan, dengan dakwah, masyarakat akan lebih baik. Ia menantang saya untuk berpikir lebih jauh. Pak, saya melihat perbudakan di tengah kota Jakarta. Ia ingin memberi saya teka-teki. Semalaman dan seharian ini saya memikirkannya. Saya rasa, mata saya kini terbuka.”

“Tapi, kalau ia hanya memperlihatkan sesuatu, mengapa kamu babak belur? Mengapa kamu dibilang tidak mau bayar?” Pak Rivai terbata suaranya.

“Semua salah saya, Pak. Wahyudi tidak pantas mendapatkan kesulitan karena kejadian ini. Maksudnya baik. Saya yang terlalu naif.”

Bapak dan anak itu berpandangan. Pak Rivai tahu, anaknya tidak mungkin berbohong. Ia sadar, saat itu anaknya telah kehilangan kepolosannya di tempat itu, meskipun tidak kehilangan keperawanan. Dan, karena ia begitu lama dilindungi, apa yang ia alami itu menadi peristiwa besar baginya.

“Nak, Bapak tidak menyalahkan kamu. Bapak mengerti.”

“Kalau begitu, mohon Bapak tidak menyalahkan Wahyudi!”

Pak Rivai memandang ke dalam mata anaknya yang bengkak, tapi bersinar cemerlang, setajam pandangan elang. Ia sadar, anaknya akan jadi pria berwatak keras. Keras dalam arti tidak akan melenceng dari jalan yang lurus. Bukan karena fanatik, bukan karena sok, karena itu sudah sifatnya. Tidak berarti ia akan kasar dan kejam, ia tetap akan membungkuk untuk menyelamatkan cacing dan semut. Pak Rivai mulai ketakutan akan kehilangan anaknya. “Baik. Secara pribadi, Bapak tetap tidak suka kamu berteman dengan Wahyudi. Tapi, Bapak menghormati loyalitas dan kemauanmu.”

Rafiq mencium tangan bapaknya, yang sesaat mengelus kepala Rafiq. Pak Rivai lalu beranjak, dan membicarakan perkara itu dengan polisi, membebaskan anaknya dengan caranya sendiri.

Sari mencoba mengubur kepalanya di bantal agar tidak mendengar gedoran di pintu. Matanya bengkak dan perih. Ia tidak mempunyai air mata lagi. Pertama kalinya dalam dua bulan yang serasa dua tahun, seorang pria bersikap baik padanya, sopan dan penuh hormat.

Kehidupan Sari berubah setelah ia ke Jakarta. Sari masih i­ngat kegembiraannya sewaktu diajak Bu Yati ke kota ini. Sari baru lulus SMEA dan masih melayang di atas awan kecil. Ia gadis pertama di desanya yang berhasil lulus. Hampir semua temannya berhenti SMP dan kebanyakan sudah menikah. Tapi, ayah Sari tidak mau Sari seperti yang lain.

“Sari, mungkin tetangga mengatakan, untuk apa menyekolahkan anak perempuan. Mereka, toh, nanti menikah. Apa lagi Sariku yang cantik. Bagimu, mendapatkan suami orang berada mungkin bak membalik tangan, tinggal pilih. Tapi, Bapak ini guru. Malu, dong, kalau anak guru tidak sampai selesai sekolah. Tapi, ada yang lebih penting. Kecantikanmu itu anugerah dan bahaya besar. Mengapa mereka suka padamu? Karena kecantikanmu yang setipis kulit saja? Atau, karena kamu Sariku? Dyah Permata Sariku?”

“Ah, Bapak ngomong apa, sih?”

“Sari, dengar baik-baik. Kecantikan itu bisa merupakan ba­la, sumber kecelakaan. Kalau Sinta tidak cantik, Rahwana tidak akan menculiknya dan perang tidak akan terjadi. Rama mendapatkan kembali Sinta. Tapi, dalam setiap perang, rakyat kecil yang jadi korban. Kalau Ken Dedes tidak cantik, kutukan keris Empu Gandring tidak akan terjadi.”

“Ah, jadi, wanita salah karena cantik?”

“Bukan, pria yang salah, karena menganggap kecantikan itu penting, memujanya bagai berhala. Sehingga, untuk itu, mereka mau mengorbankan banyak hal. Tapi, masalahnya bukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Kamu begitu cantik, sehingga ayah lain akan melihatmu sebagai modal untuk menjamin masa depannya. Bapak tentu mengharapkan menantu yang bobot, bebet, dan bibitnya baik. Tapi, Bapak takut melihat sikap orang terhadapmu. Orang berlaku tidak wajar terhadapmu. Pria yang jauh lebih tua lupa diri dan datang merayu. Teman pria sebayamu takut padamu, teman perempuan mencemburuimu. Akhirnya, kamu sendiri tidak tahu bagaimana pergaulan wajar. Kamu bagai kunang-kunang dalam gelap. Yang dilihat orang hanya sinarmu. Yang kamu lihat hanya orang yang melihat sinarmu.”

“Pusing saya kalau Bapak ngomong begitu.”

“Lebih baik pusing sekarang daripada nanti. Bagaimanapun, sekolah yang rajin. Jangan pacaran. Biarkan orang bilang bapakmu kuno. Pentingkan kemampuan untuk mandiri daripada bergantung pada siapa pun.”

“Tidak boleh bergantung pada suami?”

“Boleh. Semoga kalau kamu menikah nanti, pernikahanmu akan langgeng dan berbahagia sampai akhir.”

“Amin.”

“Semua orang yang cerai, pada awalnya bersumpah sehidup semati. Sumpah itu diucapkan sejujurnya, dengan emosi meluap. Tapi, hiduplah yang akan menguji kita!”

Namun, bapak Sari sakit dan harus dioperasi. Dari mana uangnya? Tidak ada sawah untuk dijual karena bapak Sari bukan petani. Ia guru SD, tapi bukan kepala sekolah. Kegembiraan Sari pudar.

Lalu, muncullah Ibu Yati, seorang tetangga dekat, yang meminjamkan uang. Tentang bagaimana uang itu akan dikembalikan, ia mempunyai ide. Ia akan mengajak Sari ke Jakarta dan diberi kerja di perusahaannya. Nanti, Sarilah yang akan membayar kembali pinjaman itu. Tawaran Ibu Yati tidak ditampik. Berangkatlah Sari ke Jakarta. Betapa bangganya Sari saat itu.

Rafiq telah menembus perisai hatinya. Rafiq dengan sikap jujurnya tiba-tiba merenggut Sari dari dunianya. Rafiq menyadarkannya bahwa Iwan bukan suaminya, tapi penyiksa, musuh, perusak. Rafiq berdialog dengan hati dan perasaannya, dan Sari tahu bahwa Rafiq tidak hanya melihat wajah cantiknya, badan seksinya. Mata tajam yang memancarkan welas asih itu menembus lebih dalam, melihat ke dalam sukmanya, dan tahu apa yang ada di sana.
Berjam-jam Sari memerhatikan kartu nama Rafiq. Kartu itu sederhana, putih, dan hanya menyebutkan nama, alamat rumah, lengkap dengan nomor telepon, fax, dan alamat e-mail. Dengan bayangan wajah Rafiq di matanya, Sari ingin melawan. Ketakutannya berubah menjadi amarah.

Dua hari Sari memutar otaknya mencari jalan untuk kabur. Ia tidak berpikir bahwa janji Rafiq mungkin hanya basa-basi. Tapi, ia berjanji tidak akan menjadi beban bagi Rafiq. Ia hanya akan minta bantuan agar dapat pulang. Ia hanya ingin pergi dari tempat ini, ingin pulang, menemui ayahnya, dan menceritakan semuanya. Dan, kalau keluarganya mengusirnya, ia akan terjun ke Laut Selatan.

Hari berikutnya Sari menempatkan sepotong lilin menyala di atas potongan-potongan kertas koran di lemarinya. Dua hari, dua malam, ia berpikir dan merencanakan, dan kelihatannya ia berhasil. Pada saat orang-orang ke sana ke mari mencari air dan orang lain berkerumun menghalangi mereka, ia keluar dari kamar mandi, membawa seember air, dan memberikan ember itu kepada seorang penjaga, yang langsung membawa ember itu masuk. Sari lalu menyelip masuk kerumunan dan berhasil masuk ke dalam gang. Ia melihat ke belakang dan mulai berlari.

Tanpa diduga, ketika melihat asap dari kamar Sari, Iwan langsung sadar, dan berlari mengejarnya. Sari berlari sekuat tenaga hingga ia sampai di jalan raya. Ia berada di tengah kerumunan orang lalu-lalang. Ia tidak berani berhenti. Ia melihat sebuah bus menuju arahnya dan ia mengangkat tangannya. Bus itu berhenti, lalu Sari melompat ke dalam, dan tetap berada di bus itu sampai tiba di terminal. Dari sesama penumpang, ia tahu berapa ia harus membayar. Ia juga menanyakan alamat Rafiq yang sudah ia hapal baik-baik.

Sore pun tiba. Lelah dan lapar berubah menjadi kesakitan. Luka bakar di telapak kaki, ditambah lepuh karena sepatunya, membuat Sari seperti berjalan di atas bara menyala. Ia mulai tertatih-tatih, tapi tetap memaksa diri berjalan menuju rumah Rafiq. Sampai kegelapan datang dan Sari pingsan di tengah kerumunan. Beberapa lama ia dibiarkan, tetapi ia tetap terlihat muda dan cantik. Seperti kata bapaknya, itu anugerah dan kutukan, tergantung keadaan.

Tubuh Sari diangkat dan diletakkan di bangku sebuah warung itu. Ibu Zaidah, pemilik warung itu, membersihkan wajah Sari dan mengompres dahinya dengan air dingin sampai ia siuman. Dalam keadaan setengah sadar, Sari menggumam, “Bapak, Bapak, Sari ingin pulang!”

Ibu Zaidah lalu membuatkan Sari teh manis dan menyuapkannya pelan-pelan di antara bibir Sari. Ia tidak melihat bahwa bibir itu ranum. Ia hanya melihat bibir itu kering dan pecah. Ia tidak melihat wajah Sari cantik. Ia melihat bengkak dan memarnya. Ia tidak berpikir bahwa celana pendek Sari seksi. Ia hanya melihat bekas bekas biru tendangan di sana.

Ia lalu menutup warungnya, membersihkan badan Sari dengan lap, dan mengorbankan satu selendang tua yang ia robek-robek untuk membalut kaki Sari. Ketika siuman, Sari tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan pasrah ia menerima kebaikan Ibu Zaidah. Tapi, sewaktu Ibu Zaidah mengisi satu mangkuk dengan bubur kacang hijau, ketan hitam, dan santan yang dijual di warung itu, ia duduk tegak. Ia makan dengan lahap, menghabiskan bubur itu, sampai mengkuknya benar-benar bersih.

“Lagi?” tanya Ibu Zaidah.

“Terima kasih, Bu. Sari sudah kenyang.”

“Lari dari siapa, Sari? Dari suamimu?” Ibu Zaidah mempunyai dugaan, tapi ia tidak mau membuat Sari malu.

Sari mengangguk. “Iya, Bu.”

“Mau kembali ke kampung? Tadi Ibu membuka sepatu Sari dan melihat ada uang di situ. Cukup untuk sampai di Jawa Tengah. Tapi, kamu butuh pakaian. Bagaimana kalau kalungmu dijual pada Ibu saja?”

Sari berpikir. Pulang. Ia mau pulang. Tapi, ia tidak mau pulang dalam keadaan compang-camping, pada saat ayahnya sakit. Ia tidak ingin dikejar sampai ke rumah oleh Iwan. Sari, yang tadinya tak berdosa dan memercayai setiap orang, sekarang tahu, bahwa hidup bisa lebih kejam daripada sinetron. Bahwa, tetangga yang baik ternyata bisa menyimpan dengki di balik kemurahannya dan kekejian di balik senyumnya. Ketika Ibu Zaidah menawarkan untuk membeli kalungnya, Sari yang tadinya sudah percaya, mulai curiga.

Ia memutuskan, kalung itu lebih baik dijual di toko emas. Dan, ia ingin bertemu Rafiq dahulu, untuk melihat, apakah ia baik-baik saja, setelah disiksa dan ditangkap demi Sari, yang ia baru kenal. Yang lebih penting, ia ingin meyakinkan diri bahwa Rafiq tidak seperti laki-laki lain, yang pernah ia kenal.

“Bu,” katanya lirih. “Sari mau pulang, tapi ada teman yang ingin dikunjungi dulu. Kalung ini biar saya jual di toko mas saja.”

“Biar Ibu bantu jualkan,” kata Ibu Zaidah. “Kalau Sari tidak percaya, ikut saja. Ibu hanya mau membantu supaya Sari dapat harga yang baik. Di mana alamat temanmu itu?”

Sari menyebut alamat itu. Lalu, Ibu Zaidah memandang Sari dengan aneh. Sari mulai bertanya dalam hati. Apakah alamat itu hanya karangan belaka? Apakah alamat itu benar ada? Apakah tempat itu adalah sesuatu negara di atas angin, suatu negara entah berantah? Ia mulai khawatir. Tapi, ia sudah bertekad untuk ke sana. Kalau Rafiq bohong, pengetahuan itu sudah akan memuaskan, bahwa tidak ada laki-laki baik di dunia, kecuali ayah tercinta....

Kalung Sari terjual lumayan. Ia lalu membaginya dengan Ibu Zaidah karena merasa telah begitu ditolong. Sari menukar sepatunya dengan kain dan sepasang sandal plastik. Ia berpisah dengan Ibu Zaidah dengan memakai kaos oblong, kain panjang, dan sandal plastik. Rambutnya diikat dalam satu kepang di punggungnya. Dengan kain panjang, orang tidak melirik pahanya. Tapi, mereka melirik juga. Soalnya, di Jakarta, gadis remaja jarang berpakaian seperti itu.

Sari turun dan naik bus sesuai petunjuk Ibu Zaidah. Lalu, ia menemukan sebuah rumah berpagar putih tinggi. Di atas pagar terdapat nomor yang sesuai dengan nomor yang diingatnya. Ada papan nama bertuliskan ‘H. M. Rivai’ di situ. Sari tahu, ia telah menemukan alamat yang benar.

Lama Sari berdiri, dengan hati berdebar, dengan napas sesak, dengan pikiran yang galau. Berdiri di jalan yang tidak terlalu lebar. Tidak seorang pun kelihatan di luar. Ia memerhatikan pagar bercat putih. Ujung tajam di atasnya bagai ujung-ujung tombak yang berseru, “Jangan masuk!” Setelah beberapa lama, Sari menekan bel dan menunggu.

Di sela-sela pagar muncul seorang wanita setengah baya. Wanita itu tidak membukakan pagar, tapi memerhatikan Sari dengan air muka tidak ramah.

“Cari siapa?”

Beberapa detik berlalu dan Sari berjuang untuk mendapatkan suaranya. “Bu, apakah ini rumah Mas Rafiq bin Rivai?”

“Ya. Ada yang mau disampaikan?”

“Bisa bertemu?”

“Den Rafiq tidak ada!”

Jantung Sari seolah berhenti berdetak. “Masih ditahan?”

“Ditahan? Kamu siapa, sih?”

“Saya Sari, teman Mas Rafiq.”

“Den Rafiq tidak ada!”

“Ada di mana?

“Tidak tahu!”

“Kapan kembali?”

“Tidak tahu. Pokoknya kalau ada pesan, saya sampaikan”. Suara wanita itu semakin tidak sabar dan ketus. Sari tahu, tidak ada gunanya ia mendesak.

“Tolong bilang dicari Sari!”

“Baik.” Lalu, wanita itu menghilang dari pandangan.

Sari menyeberang jalan dan duduk di atas pinggir jembatan di atas got kering yang ada di kiri kanan jalan. Ia akan menunggu. Matahari hangat di kulitnya. Lelah karena perjalanan, ia me-ngantuk, dan hampir tertidur. Ia terbangun karena mendengar suara mobil. Apakah itu Rafiq?

Namun, ketika melihat mobil itu, Sari langsung dengan panik. Ia menjatuhkan diri ke dalam got. Ia mengenali mobil putih itu. Apa yang membedakannya dari mobil putih lain, Sari tidak dapat je­laskan. Tapi, seumur hidup ia tidak akan melupakan mobil putih itu.

Iwan memarkir mobil dekat pintu rumah itu, mencocokkan alamat dengan nomor dan nama di pintu, kemudian memandang rumah megah itu. Kalau Sari ada di dalam sana, paling tidak ia dilindungi satpam. Ia memutuskan untuk berhati-hati. Ia baru akan bertindak setelah tahu lebih banyak. Dan, ia akan membayar seseorang untuk mengawasi tempat ini. Seorang tukang becak, seorang tukang roti, nanti akan dipikirkan. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, karena Iwan yakin ia diawasi dari suatu tempat tersembunyi, ia menyalakan mesin mobilnya dan dengan pelan menuju jalan besar.

Hari makin panas, kemudian menjadi sejuk, kemudian pelan menjadi gelap. Lampu jalan dinyalakan. Sari mengintip, berharap Rafiq cepat tiba di rumah. Lama menunggu, ia mendengar mobil berhenti di depan pintu rumah itu. Ia mengintip, tapi hari sudah gelap. Pintu besar dibuka dan ia mengenali sosok Rafiq di balik setir mobilnya. Sari melompat bangkit dan berlari ke arah mobil itu dengan panik. Panik karena takut bahwa sopir mobil putih masih berada di sekitar sana dan mengintip. Panik karena takut Rafiq akan hilang di balik pintu angker, yang akan menutup. Panik karena takut ia tidak akan punya keberanian untuk menekan bel sekali lagi. Takut jika Rafiq akan menyangkal telah mengenalnya. Saat itu Rafiq memundurkan mobilnya untuk masuk ke halaman, dan buk! Sari terempas.

Rafiq kaget bukan main. Ia turun dan berjalan ke belakang mobil. Seorang wanita muda pingsan di belakang mobilnya. Ia panik, takut kalau dalam sekejap puluhan orang akan keluar rumah, dan ia harus berurusan dengan polisi lagi, kedua kali dalam hidupnya setelah peristiwa mengenaskan malam itu. Maka itu, ia kembali mengambil kunci, dengan cepat membuka pintu belakang mobil, mengangkat Sari ke dalam mobil.

Lalu, Rafiq masuk rumah dengan jantung berdebar. Ia merasa seperti penjahat yang menutupi kejahatannya. “Oh, Tuhan, tolonglah hamba!” ia berseru. Ia masuk ke garasi, keluar, dan menutup pintu. Orang tuanya belum pulang. Rafiq lalu mengangkat Sari ke dalam, menaiki tangga, masuk ke kamarnya, meletakkan Sari di tempat tidurnya. Mengunci pintu, menarik napas panjang, memegang tiang kelambu, karena lututnya terasa lemas.

Sedetik kemudian ia tertegun, seolah petir menyambarnya. Ia mengenali Sari. Wajah yang cantik dan pucat pasi, dengan darah membasahi dahi dan rambutnya. Baru Rafiq sadar, darah juga membasahi lengan bajunya, bantalnya, spreinya, dan lantainya. Dan, di saat itu pintu kamar diketuk.

Secepat kilat Rafiq menutup Sari dengan selimut dan membuka pintu. Ternyata, hanya Jum yang membawa bohlam. Matanya langsung menuju lengan baju Rafiq dan titik-titik darah di lantai. Rafiq tertawa dengan suara seperti dicekik. “Oh, tadi tersangkut pagar. Tidak apa-apa, tidak dalam. Jum, tolong bersihkan. Jangan bilang siapa-siapa, ya. Nanti mereka khawatir. Bersihkan sebelum ada yang lihat, ya, Jum!”

“Ya, Den.”

Rafiq mengunci pintu dan membuka selimut yang menyembunyikan Sari. Hatinya galau. Ia sudah berbohong. Apa yang akan dikatakan kepada orang tuanya nanti? Bahwa ia ketemu Sari di tempat tidak terpuji dan memberinya kartu namanya? Menjanjikannya ia boleh datang? Bahwa tidak terjadi apa-apa antara mereka? Bahwa selama setengah jam mereka berdua di kamar tertutup dan tidak terjadi apa-apa selain saling memandang dan bercerita? Setelah ia dengan susah payah meyakinkan ayahnya bahwa ia hanya ikut-ikutan saja tersesat ke tempat itu karena dibawa teman?

Rafiq mendesah, sambil memandang Sari. “Ya, Allah, kalau ini cobaan atas hambamu karena telah berani menginjak tempat terlarang, saya terima. Dan, saya harus keluar dari cobaan ini. Biar iblis membawa wanita ini ke sini, ia tidak lebih berdosa dari saya, ia diperalat untuk cobaan ini!”

Rafiq mengamati luka di kepala Sari, lalu mengambil perban dan menutupnya. Ia menduga, kedatangan Sari dikarenakan sesuatu yang sangat pribadi dan merupakan lanjutan dari sesuatu yang ia mulai dan belum selesaikan. Lalu? Ia mengangkat bahunya dan memantapkan itikadnya. Ia akan merawat luka Sari dan besok akan menyelundupkannya keluar rumah, entah untuk perawatan lebih jauh atau memulangkan ke desanya. Sesaat ia ketakutan, bagaimana kalau luka itu berbahaya

Napas Sari tidak dalam dan cepat, tapi teratur. Kulitnya dingin. Wajah pucat. Rafiq membuka sandal Sari. “Ya, Tuhan,” gumamnya. Ia mengambil satu kesimpulan, Sari telah berjalan jauh dengan kaki yang luka. Ia mengambil waslap dari kamar mandi dan dengan sabun antiseptik, ia membersihkan kaki mungil itu. Memerhatikan kaki itu dengan teliti, tertegun, kemudian geram. Ia mengerti, kaki itu pernah disunduk rokok!

Rafiq mengambil keputusan. Kalau basah, sekalian mandi. Ia telah berjanji dan janji itu kini ditagih. Ia membuka pakaian Sari yang kotor, memandikan badan yang lunglai itu, mengenakan piyama sutranya pada Sari. Ia ke dapur, mengambil semangkuk sup dan beberapa potong roti, kembali ke kamarnya, lalu meletakkan sup dan roti di samping tempat tidur.

Malam itu Rafiq begadang. Ia tidak dapat tidur memikirkan keadaannya. Ia yang selalu menghindar dari setiap godaan, tiba-tiba membawa masuk seorang wanita muda ke kamarnya. Dan, ia tahu, berada di satu ruangan tertutup dengan lawan jenis secara teknis sudah zinah namanya. Ia lalu menelanjangi dan memandikan wanita itu. “Ya, Tuhan, mengapa saya tidak merasa berdosa karena melakukan ini, tapi tetap merasa berdosa karena tidak merasa berdosa? Mengapa harus begini rumit?”

Menyerah, ia duduk di kursi memandang Sari dengan pikiran dan perasaan kacau. Tiba-tiba ia merasa sesak karena ketakutan. “Apa yang terjadi? Kalau ini cobaan, apakah saya dicoba karena melakukan sesuatu atau saya dicoba untuk melakukan sesuatu? Yang jelas, saya memberi kartu nama bukan karena ingin berzinah. Saya membawanya masuk bukan karena ingin berzinah. Saya merawatnya bukan karena ingin berzinah. Tapi, sekarang bagaimana? Baik, saya harus memberi tahu Bapak dan Ibu.”

Tapi, ia lalu tertidur di kursinya. Sempat bangun untuk salat subuh, lalu melanjutkan tidur di bangku panjang. Sewaktu ia bangun, orang tuanya sudah meninggalkan rumah. Ia tidak punya pilihan, ia harus memandikan Sari, dan mendudukkannya di toilet, dengan harapan itu membantu. Lalu, ia mengembalikan Sari ke tempat tidurnya, dan turun untuk mengambil makanan. Rafiq memberi instruksi kepada pembantu untuk tidak masuk kamarnya. Kalaupun heran, para pembantu tidak mengatakan apa-apa. Biarpun keheranan, mereka jadi agak curiga melihat Rafiq membuat sup instan.

“Masalah lagi!” gerutu Rafiq. “Bagaimana membawa anak itu keluar tanpa ketahuan 3 pembantu? Mengapa harus ada banyak pembantu di rumah ini?”

Ketika Rafiq berada di lantai bawah, Sari tersadar. Ia seperti diserbu trauma masa lalu. Ingatan semua kejadian yang menimpanya membuatnya panik. Ia melihat pintu terbuka dan keluar ke balkon. Tanpa ragu, ia memanjat pagar balkon, melompati pagar, dan tiba di rumah sebelah. Melihat pakaiannya sobek karena tersangkut paku, Sari mengambil kain yang sedang dijemur, lalu melihat sekelilling, mencari jalan keluar.

Ia kaget setengah mati mendengar teriakan, “Maling, maling!”, dan baru sadar bahwa dialah yang dimaksud, setelah seorang wanita berteriak sambil menudingnya. Berdetik-detik ia berdiri tanpa bisa bergerak. Lalu, ia berlari kencang keluar dari rumah itu. Namun, ketika tiba di depan pagar rumah itu, Iwan sudah berada di depannya, sambil menyeringai lebar.

Sari berbalik, lari masuk ke rumah Rafiq. Pembantu di rumah Rafiq mendengar teriakan pembantu sebelah dan ingin melihat apa yang terjadi. Sari menabrak pembantu wanita Rafiq hingga terjatuh. Rafiq tertegun melihat Sari berlari masuk diikuti Iwan. Tanpa banyak berpikir, Rafiq mengambil vas kesayangan ibunya dan melemparnya ke kepala Iwan, yang langsung terhuyung. Rafiq menangkap tangan Sari dan menariknya ke tangga, naik, masuk kamarnya, dan mengunci pintu.

Tiba-tiba Iwan tersadar bahwa ia berada di dalam rumah orang. Ia segera keluar, naik ke dalam mobil putihnya, lalu pergi. Sementara itu, Rafiq dan Sari di kamar berpelukan hingga polisi datang. Tak lama, orang tua Rafiq, yang ditelepon oleh pembantu, datang. Mereka menemukan sejumlah polisi dan pembantu tetangga di rumahnya, pecahan vas dan percikan darah di karpet yang mahal. Mereka mendengar laporan, “Ada pencuri wanita gila masuk rumah tetangga dan mencuri jemuran, tapi kepergok dan melarikan diri. Ia lari masuk rumah ini karena dikejar seseorang. Tapi, Den Rafiq memecahkan vas di kepala orang itu, dan membawa wanita gila itu ke kamarnya. Lalu, ia mengunci pintu dan tidak mau keluar.”

“Lalu, ke mana orang yang kepalanya dilempar vas?”

“Sudah pergi.”

“Nah, itulah anak kita!” kata Pak Rivai pada istrinya. “Ia tidak tega melihat pencuri ditangkap dan dipukuli. Apalagi, dia wanita. Ingat peristiwa kemarin, saat ia membela seorang wanita malam? Sekarang ia pasti shock. Coba saya lihat keadaannya. Pak polisi, silakan duduk. Biar saya tanyakan anak saya, apa yang sebenarnya terjadi.”

Pak Rifai naik ke kamar Rafiq dan mengetuk pintu. “Rafiq, ini Bapak! Buka pintunya!”

Rafiq membuka pintu dan melihat bapaknya seperti melihat hantu. Di belakang Rafiq, Sari duduk di tempat tidur, masih terisak-isak. Pak Rivai tertegun. Apa pun yang terjadi, masalahnya lebih rumit dari yang diperkirakan. Pak Rivai memandang istrinya yang ikut masuk.

“Bu, tolong Ibu temani dulu petugas kepolisian yang ada di bawah. Saya ingin bicara dengan Rafiq.”

Bu Rivai melempar pandangan ke arah Sari bagaikan tusukan belati. Ia meninggalkan kamar tanpa mengatakan apa pun. Pak Rivai berdiri memandang anaknya, sampai kepalanya sedikit dingin.

“Rafiq, apa yang terjadi?”

“Bapak, ini Sari yang saya ceritakan.”

“Sudah berapa lama Sari ada di sini?”

“Satu malam.”

“Lalu, mengapa ia dibilang mencuri pakaian di sebelah?”

“Tidak tahu.”

“Lalu, mengapa kamu melempar vas?”

“Yang saya lempar adalah orang yang memukuli saya.”

“Yang datang untuk mengambil wanita itu kembali?” suara Pak Rivai mulai meninggi. “Jadi, benar yang dituduhkan kemarin itu? Beraninya kamu! Diam-diam Bapak memelihara anak munafik, ya! Itu hasil didikan Bapak selama ini? Di rumah ini, di bawah atap ini, terjadi perzinahan. Anak Bapak yang pura-pura alim telah menodai rumah ini, di bawah ayat-ayat yang kamu gantung di tembok, lalu kamu lecehkan!”

Tak tahan lagi, Pak Rivai menampar wajah Rafiq berkali-kali, sambil setengah berteriak: “Seolah itu tidak cukup, kamu sekarang membuat malu! Polisi masuk rumah, pembantu tetangga masuk rumah!”

Kata-katanya langsung disambung Ibu Rivai, yang menuding Sari, “Keluar kamu! Keluar! Beraninya kamu merusak anak saya! Keluar!”

Sari bangun dan dengan muka tunduk berjalan keluar. Ketika ia melewati ibu Rivai, ia dijambak dan tubuhnya diguncang, sambil disumpahi. Sari berteriak kesakitan. Rafiq menangkap tangan ibunya. “Bu, jangan! Jangan! Ia tidak bersalah. Ibu tidak tahu apa yang terjadi!”

Kemarahan Pak Rivai menjadi. Dengan kasar ia menarik tangan Rafiq. “Anak durhaka! Sekarang berani melawan orang tua? Sudah gila kamu!?”

Rafiq menangkap Sari yang sudah akan berlari keluar. Ia menghadap bapaknya, sambil menangis: “Pak, Bu, dengar. Saya mem­beri Sari kartu nama, mengatakan saya akan membantunya. Ia ke sini karena disiksa, karena putus asa, dan ia hanya menagih janji”.

“Janji? Janji apa?”

“Janji saya untuk membantunya. Tapi, saat ia tiba di sini saya menabraknya dan ia pingsan. Karena panik, saya membawanya masuk, lalu tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan.”

“Bohong!”

“Demi Allah!”

“Jangan menyebut nama Allah, pezinah!”

“Baik, saya sudah berzinah!”

“Ya, Allah, ya, Tuhan, ia mengaku!”

“Bukan seperti yang Bapak pikir. Saya tidak melakukan itu. Tapi, saya telah bermalam dengan wanita yang bukan muhrim dalam satu ruangan, di bawah satu atap. Apa pun alasannya, saya mengaku bersalah dan telah mempermalukan Bapak dan Ibu. Saya bersedia menghapus aib itu!”

“Bagaimana lagi? Biarpun kamu memohon ampun seribu kali, aib sudah telanjur terjadi!”
“Saya tidak memohon ampun. Saya akan menikahi Sari.”

Bapak dan Ibu Rivai berdiri bagai tersambar petir. Keduanya pucat. Ibu Rivai jatuh terduduk lunglai di kursi. Pak Rivai mengambil napas panjang, menutup matanya, dan berdoa, “Ya, Tuhan, jangan biarkan ini terjadi. Tenangkan hati hamba supaya dapat menyelesaikan ini dengan kepala dingin. Lalu, ia membuka matanya. “Tidak! katanya, tegas. “Tidak!

Rafiq tertunduk. “Saya dikatakan berzina. Maka, saya harus menikahi wanita ini agar tidak mendapatkan kutukan Allah.”

“Rafiq, ia wanita malam.”

“Bapak, jangan menyebut calon istri saya wanita malam.”

“Tapi, ia pelacur!”

“Bapak, lebih besar pahalanya jika menyelamatkan wanita yang jatuh daripada menikahi seorang perawan.”

“Saya tidak akan biarkan itu terjadi! Kalau mau mempermalukan keluarga, anggap saja bukan keluarga! Bawa dia jauh-jauh dari sini.”

“Bapak, saya tahu, apa pun yang saya katakan saat ini, Bapak tidak akan percaya dan tidak akan terima. Jadi, saya akan membawa dia jauh-jauh dari sini, menikahinya di hadapan Allah, demi berbuat yang benar.”
Rafiq memegang tangan Sari dan menariknya keluar dari kamar. “Rafiq!” teriak ibunya. “Kamu sudah gila? Mau meninggalkan Ibu demi dia?”

“Saya tidak meninggalkan Ibu,” kata Rafiq. Meskipun ia bicara tegas, ia merasa seperti membacakan vonis matinya sendiri. “Tapi, saya membawa aib dari hadapan Ibu dan Bapak, sampai Tuhan dan waktu berkenan menerangi kami semua dengan cahaya kebijakan-Nya. Saya sudah berjanji, bukan pada seorang pelacur, tapi pada seorang anak manusia dan makhluk Allah. Dengan berbuat yang saya yakini, saya menghormati Bapak dan Ibu yang telah memberi saya kehidupan dan bimbingan. Tuhan tidak melakukan sesuatu tanpa maksud, Ibu. Sekarang, saya harus menyerahkan tindakan saya kepada Tuhan.”

Sari ingin berteriak, “Jangan! Jangan lakukan ini demi saya. Ini bukan yang saya maksud dan saya ingini!” Tapi, setelah semua kejadian itu, ia seperti kehilangan semangat dan kemauan. Ia terisak-isak, sehingga tidak dapat bicara. Ia membiarkan dirinya dituntun.

Ibu Rivai ingin sekali menahan Rafiq.

“Bu,” kata Pak Rivai. “Biarkan!”

“Teganya kamu!”

“Bukan masalah tega, Bu. Saya tadi sudah mengusirnya. Saya tidak dapat menjilat ludah kembali. Saya salah karena emosi, padahal saya yang harus lebih dewasa dan berpikir jernih. Biarkan mereka pergi! Saya yakin, Rafiq tidak bodoh. Kalau kita lanjutkan, akan tambah rumit. Mungkin, ia memang tidak bohong. Tapi, ia menjadi korban kekerasan hatinya. Kalau ia tidak berbohong, Tuhan akan mengembalikannya pada kita. Ia akan kembali dan berpikir. Ia akan menceraikan wanita itu pada waktunya. Ia akan dewasa.”

“Kalau tidak diceraikan?”

“Rafiq bukan anak durhaka, Bu. Sudah, saya juga pusing! Ia juga anak saya. Saya juga tidak suka, tapi sekarang sudah terjadi seperti ini. Kita bukan satu-satunya orang tua yang mengalami ini. Anak muda bisa berdosa dan bisa keluar rumah dengan iktikad tidak kembali. Tapi, Rafiq akan kembali, dan akan menceraikan wanita itu. Itu pun kalau jadi menikah. Sekarang kita harus menghadapi polisi-polisi dan tetangga kita.”

Rafiq menarik Sari keluar melalui orang-orang yang berkumpul di ruang bawah, yang ikut nguping pembicaraan yang setengah diteriakkan di kamar atas. Mereka menatap Rafiq dan Sari seperti melihat makhluk dari planet lain. Wajah-wajah mereka seperti sapuan bentuk-bentuk tak jelas, seperti dalam kabut. Rafiq berjalan seperti robot, seperti dalam mimpi, otaknya berhenti berpikir. Ia keluar, berjalan sepanjang jalan di depan rumah. Sampai jalan besar, ia memanggil taksi, memberinya satu alamat, lalu turun di depan rumah kos.

“Wahyudi ada?”

”Oh, tidak ada. Keluar kota, katanya.”

Rafiq termenung. “Sari, saya tidak membawa dompet dan handphone. Taksi belum dibayar. Dan, kamu memakai piyama. Lalu, itu kain siapa?

Sari lalu berbicara dengan sopir taksi, menjelaskan hal yang Rafiq tak akan mungkin bisa menjelaskan. Mereka lalu dibawa ke toko mas sehingga Sari bisa menjual anting-anting dan gelangnya. Kecantikan, pembawaan, dan ada Rafiq di sisinya, membuat ia tidak dicurigai. Mereka kemudian bisa membayar taksi, serta membeli baju dan sepatu untuk Sari.

“Sekarang ke mana, Mas?” tanya Sari.

“Ke Solo,” kata Rafiq.

Sejak meninggalkan rumah, kedua anak manusia itu seperti bergerak dalam mimpi buruk, sambil berharap akan segera ba­ngun dan tersenyum melihat sinar pagi. Dan, mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap satu sama lain. Tapi, dari waktu ke waktu mereka sadar bahwa mimpi itu tidak akan lewat, dan kini mereka merasakan akibatnya.

Dengan kereta mereka menuju Solo. Makin jauh dari Jakarta, tapi makin dekat ke kampung Sari. Rafiq berpikir, apakah ia sudah diuji dan dijebak? Lalu, dengan menikahi Sari, apakah ia berarti sudah meluruskan kesalahannya dan mendapatkan pahala? Kalau sesederhana itu, mengapa ia sekarang berada di lantai kereta api? Lalu, dengan melawan orang tua, apa yang ia peroleh? Kutukan atau pahala? Ia jadi amat pusing memikirkan itu semua, terombang-ambing.

Rafiq melihat Sari di sampingnya, seperti untuk pertama kalinya. Wajah yang diam dan setetes air mata berkilat di pelupuk, sebelum mengalir turun ke arah pipi. Serta merta Rafiq menghapus tetes itu. Ia melihat tubuh Sari gemetaran. Rafiq memeluk Sari dan ta­ngan Sari melingkari badan Rafiq. Sari menenggelamkan wajahnya di bahu Rafiq, menangis tanpa suara.

Sejak meninggalkan tempat Rafiq, Sari hampir tidak bicara. Hanya seperlunya saja. Ia sadar bahwa ia diselamatkan. Apakah Rafiq akan mengembalikannya ke orang tuanya, lalu meninggalkan ia di sana? Mungkin. Ia bila akan menikahinya. Tapi, itu bukan sesuatu yang nyata.

Sari tiba-tiba meronta, mencoba melepaskan diri dari pelukan Rafiq. Hatinya berteriak. Saya pelacur, wanita tuna susila! Mengapa kamu memeluk saya seolah saya wanita baik-baik? Mengapa membela saya? Mengapa meninggalkan rumah dan mengantar saya, tidur di sini di lantai kereta? Sandiwara apa ini?

Suatu keputusasaan kembali menyelimutinya dan ia membiarkan dirinya ditarik kembali ke pelukan Rafiq. Sekarang, di sini, saya bersama penyelamatku yang baik. Kalau ia akan meninggalkanku, itu tidak membuatnya bukan penyelamatku. Tentu saja, ia akan meninggalkanku. Tapi, ia sudah melawan orang tuanya, demi saya. Besok saya akan kembali ke Bapak. Ya, Tuhanku, bagaimana saya harus bercerita kepada Bapak?

Rafiq mengambil napas dalam, mengosongkan batin dari semua kerusuhan, dibantu kelelahannya. Dan, ia hanya berdua dengan Sari di tempat yang mirip kereta api, tapi sebenarnya bagian dari surga. Ia bersama seorang gadis cantik, ia telah menyelamatkannya, ia telah berbuat sesuatu yang baik dan berani. Bapaknya pasti akan dapat mengerti setelah tidak emosi lagi.

Sepasang anak manusia tidur berpelukan di antara koran tua, botol air kosong dan kulit buah, di antara kaki penumpang, dilangkahi penjual tahu dan mainan anak-anak. Kereta terus berjalan menembus malam.

Mereka terbangun di pagi hari. Perasaan Sari gembira dan khawatir. Ia akan segera melihat bapaknya. Ya, ada bekas luka dan orang bisa saja bergunjing. Tapi, ia telah meninggalkan neraka. Dan, ia tidak datang sendiri. Sayang, ia harus menjelaskan bahwa pemuda ganteng itu bukan tunangannya.

“Sari, ayo, kita makan pagi dulu.”

|Mereka duduk di warung, memesan kopi dan teh, dan menikmati pisang goreng. Setelah itu mereka beli sabun, odol dan sikat gigi, dan mandi di kamar mandi umum. Setelah itu, semangat muda mereka menyala kembali.

“Ri, kenapa, sih, harus kabur ke rumah sebelah?”
Sari cekikian, tapi lalu serius. “Saya benar-benar bingung karena tiba-tiba berada di kamar orang. Mas, mengapa menolong Sari?”

“Sari, siapa pun yang sempat akan melakukannya.”

Lama mereka diam, sampai mereka sadar bahwa mereka sudah terlalu lama duduk di warung itu.

“Ke terminal, Mas? Mau ngantar Sari kan? Ke rumah Sari?”

“Tapi, apa kata orang tuamu nanti?”

“Tidak apa-apa. Mas dari perusahaan Sari dan mengantar karena kebetulan Sari seorang diri. Lalu, Mas pulang ke Jakarta, minta maaf kepada orang tua Mas, cium tangan mereka. Sari akan minta maaf pada Bapak. Lalu, kita lupakan semua kejadian ini.”

Tiba-tiba Rafiq tersipu-sipu. “Maunya begitu, Sari?”

“Sari tidak tahu. Sari sudah keluar dari neraka. Tapi, Sari takut orang tahu. Lagipula, utang Bapak kan belum lunas. Bagaimana kalau Bu Yati menagih?”

Rafiq malah kelihatan jadi bersemangat. “Itu bukan masalah kecil, Sari. Jadi, masih banyak yang harus dilakukan. Tapi, sekarang ikut saya dulu.”

“Ke mana?”

“Menemui seseorang. Tapi, Sari, kita perlu belanja lagi. Kamu perlu pakaian yang lain.”

Dengan sisa penjualan perhiasan, Sari masih bisa membeli satu pasang baju muslim, untuknya dan untuk Rafiq. Di pinggiran kota Solo, Rafiq pernah tinggal di sebuah pesantren. Sekarang, Rafiq mengajak Sari ke sana, ke sebuah rumah besar di kompleks, tempat KH Abdul Rauf, guru dan panutan Rafiq.

Menemui kiainya, Rafiq mencium tangannya penuh hormat. Sesuai yang diinstruksikan Rafiq, Sari memberi hormat, tanpa menyentuh. Abdul Rauf langsung mengerti bahwa Rafiq membawa suatu persoalan dan persoalan itu bernama Sari. Dengan ramah diajaknya kedua anak muda itu duduk di permadani di sudut kamar. Setelah teh dihidangkan dan mereka mengobrol, Abdul Rauf tiba-tiba bertanya, sambil memandang Rafiq tajam, “Nak Rafiq, ada tujuan apa menemui saya dan apa hubunganmu dengan Dik Sari ini?”

“Nikahkan kami, Pak Kiai.”

“Oh, begitu. Cerita apa ini? Kawin lari?”

Rafiq lalu menceritakan apa yang terjadi. Sari duduk dengan kepala tunduk, keringat dingin mengucur. Ia sangat takut pada Pak Kiai, biarpun ia ramah. Ia merasa, di mata Pak Kiai, ia bukan apa-apa, suatu aib yang tidak pada tempatnya berada di situ, pusat pendidikan agama, yang sarat dengan lambang-lambang religius.

Abdul Rauf mendengar dengan sabar. Beberapa lama ia memandang kedua anak muda di hadapannya itu. Ia sudah banyak makan asam garam kehidupan, ilmu dan penghayatan agamanya mendalam.

“Nak Rafiq, kamu pergi dari sini membawa ilmu. Sekarang kembali ke sini membawa pelarian. Rafiq, kamu tahu siapa yang kamu bawa itu?

“Saya tahu, Pak Kiai”.

“Dik Sari dari tadi diam saja. Apakah Nak Rafiq bercerita jujur?”

“Pak Kiai, semuanya benar.” Air matanya mengalir. “Dan, Mas Rafiq menyelamatkan saya. Tapi, saya tidak tahu akan diajak ke sini. Saya kira akan dibawa kembali ke desa saja.”

“Mungkin, Nak Rafiq pikir, masalahnya sederhana. Nikahkan saya. Begitu saja? Bagaimana dengan orang tuamu? Lalu, siapa wali calon istrimu? Kamu tidak berpikir panjang. Bukan begini caranya. Saya tidak akan melanggar kehendak bapakmu. Saya kenal bapakmu dengan baik dan ini bukan main-main. Kamu tidak bisa mengambil keputusan begitu saja bahwa kamu harus menikah karena telah berzina. Itu semua bukan alasan harus menikah tanpa restu orang tua. Nak Rafiq, tolong antar Dik Sari ke desanya.”

Rafiq tertegun. Wajahnya merah padam. Ia tidak berpikir akan dinikahkan begitu saja. Tapi, yang ia harapkan adalah sedikit simpati, pendapat, dan nasihat yang mendukung. Sesuatu yang bisa membuat orang mengerti, mengapa ia sampai melawan orang tuanya. Paling sedikit, akan didengar dengan penuh perhatian, khususnya oleh kiai yang sudah dianggap bapak keduanya. Ia sudah meyakinkan dirinya bahwa yang diperbuatnya itu baik. Tapi, ia butuh konfirmasi.

Ia minta diri dan keluar diikuti Sari, yang ikut terpukul. Sari juga merasa bahwa yang ia boleh harapkan adalah simpati, setelah sekian lama membawa citra diri yang sangat negatif. Rafiq membuatnya berharap bahwa ia boleh memandang diri bukan sebagai wanita yang jatuh, tapi korban penipuan dan perbudakan, korban penganiayaan. Sekarang, ia kembali ragu-ragu.

“Serangan jantung?”

Sari mengempaskan diri di kursi panjang, tempat bapaknya biasa duduk kalau sedang santai. Ia merasa seperti tenggelam makin dalam, hingga tidak bisa bernapas lagi. Ia menggelepar dalam kegelap­an. Tapi, kesadaran tidak meninggalkannya. Pecahlah dari kerongkong­an Sari suatu lolongan panjang, melengking, menusuk kalbu, bagai pisau yang diputar dalam luka. Rafiq bergidik dan ia menubruk Sari, pertahanan terakhirnya ambruk. Ia memeluknya erat-erat. “Sari, Sari, mengapa tidak ada habisnya penderitaanmu?”

Sari menangis meraung-raung, lalu tiba-tiba terdiam, badannya lemas, dan tanpa daya ia terletak di pelukan Rafiq. Rafiq meng­usap kepala dan wajah Sari. Tetangga yang tadinya berdatangan dan melihat kemesraan Sari dan Rafiq, satu per satu meninggalkan mereka berdua di rumah yang kosong. Tinggal Pak Warno dan istrinya, Mawar, bibi Sari yang paling muda, yang dalam dua minggu terakhir menempati rumah itu. Setelah jelas bahwa Sari sedang berada di luar jangkauan, mereka pun memutuskan bahwa ia lebih baik didampingi Rafiq. Mereka menjelaskan pada Rafiq siapa mereka, alamat mereka, kemudian meninggalkan kedua anak manusia itu sendiri.
Malam itu Rafiq tidur di samping Sari. Malam itu adalah malam kedukaan dan malam ketakutan. Rafiq mulai takut bahwa Sari telah kehilangan akalnya. Ia tidak tidur, tetapi memandang dengan mata kosong. Rafiq juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Akhirnya, ia tertidur di samping Sari.

Keesokan harinya Sari berangsur-angsur pulih. Ia tidak mengatakan apa pun. Makan dan minum kalau disuruh. Berjalan kalau dituntun. Tapi, ia sadar apa yang terjadi sekitarnya, siapa yang bicara padanya, dan apa yang dikatakan. Keluarga dan tetangga berdatangan. Mereka menuntunnya ke makam bapaknya. Rafiq di sampingnya bagaikan bayangan. Lama Sari bersimpuh di makam, tempat ibu bapaknya berdampingan.

Rafiq akhirnya diwawancara para sesepuh kampung. Dan, hari itu Rafiq belajar untuk berbohong, demi Sari. Ia bercerita, ia bekerja di perusahaan tempat Sari bekerja. Mereka sepakat mau menikah dan mereka pulang untuk meminta restu bapak Sari.

Keputusan para sesepuh menggembirakan. Rafiq dan Sari akan langsung dinikahkan. Biar arwah pak guru bisa tenang, karena semua orang tahu betapa ia mencintai anak semata wayangnya. Demi Sari, yang membutuhkan pegangan. Kemesraan yang diperlihatkan Rafiq dan penyerahan Sari kepadanya diartikan dalam satu hal. Kalau belum dilakukan, sebentar lagi akan dilakukan. Bagaimana pun, mereka sudah bermalam berdua di rumah itu.

Kedua kalinya Rafiq berbohong, mengatakan bahwa orang tuanya ada di Padang. Rafiq tidak berdaya menghadapi satu desa yang sudah sepakat melakukan yang terbaik bagi pak guru almarhum dan anaknya tersayang. Ia merasakan, kalau ia menolak dengan tegas, orang akan mulai curiga, akan mulai bertanya-tanya, dan akan mulai menyelidik. Maka, ia menyerah. Demi nama baik Sari. Demi nama baik pak guru.

Sari seperti bangun dari mimpi dan menjadi dirinya kembali. Ia bersimpuh di pangkuan Rafiq. “Mas, maafkan Sari. Sejak meninggalkan rumah ini, saya kehilangan diri saya. Apa yang terjadi, bertentangan dengan kehendak saya. Hanya satu hal saya lakukan atas kemauan sendiri, melarikan diri dan datang padamu. Kalau itu tidak terjadi dan saya tidak dibawa ke dalam, kalau saya tidak panik dan lari ke kebun tetangga....”

“Andaikan ini dan andaikan itu. Kalau saya tidak ikut Wah­yudi malam itu, kalau saya menolak masuk kamarmu, kalau saya tidak membawamu masuk, tapi membawamu ke rumah sakit.... Tapi, lalu apa?”

“Akibatnya, kamu dikawinkan dengan saya, seorang pelacur!”

Mata Rafiq berkilat, ia pun mulai merasa menjadi dirinya kembali. “Sari, kamu menjadi korban perbudakan, penyiksaan, dan pemerkosaan. Pelacur adalah orang yang menjual diri dan kapan kamu jual dirimu? Kamu dijual. Dan, waktu kamu memutuskan untuk melarikan diri, Tuhan menolongmu karena pelarianmu membuat pantas untuk mendapatkan pertolongan. Saya hanya menjadi alat-Nya untuk itu.”

“Tidak, Mas. Mas lebih dari alat.”

“Sari, untuk menjadi alat, saya juga mendapat hadiah. Kamu!”

Mereka saling berpandangan. Tiba-tiba Rafiq mulai tertawa, makin lama makin keras. “Ha... ha... ha.... Apa kata Wahyudi kalau mendengar cerita ini? Saya diajak oleh masyarakat satu desa dengan setengah paksa. Kita jadi Tuan dan Nyonya Rivai. Ha... ha...ha.... Bapak dan Ibu Rivai di desa yang saya baru tahu keberadaannya beberapa hari lalu. Di rumah yang boleh disebut rumah sendiri. Tidak pernah berpacaran, tiba-tiba punya istri. Ingin lihat wajah Pak Kiai kalau ia tahu apa yang terjadi....”

Mau tidak mau Sari tertawa juga. Ketegangan, kesedihan, kebingungan, dan kegalauan kedua anak muda itu terlepas menjadi derai tertawa, hingga mereka lemas. Malam telah tiba. Karena Rafiq kelihatannya tidak tahu apa yang harus ia lakukan, Sari menarik tangannya, membuka bajunya, menuntunnya ke kamar mandi. Rafiq membiarkan semua itu terjadi. Dimandikan, dipakaikan sarung, dibimbing ke kamar tidur.

Sari tahu, malam pengantin itu harus menutup tabir atas masa lalunya. Ia harus dapat menutup matanya dan gunung yang menjulang, jurang yang menganga itu harus dilewati dengan terbang tinggi berbekal sayap cinta.

Mereka berdua lalu pindah dari desa Sari, menuju sebuah pesantren milik KH Farouk al Kabuli, yang juga pernah dikenal Rafiq. Tapi, Rafiq resah. Ia sangat rindu pada orang tuanya. Cara ia meninggalkan rumah dengan marah, rasanya bertentangan dengan hati dan ajaran agama. Sementara Sari kelihatan bahagia. Ia cepat terbiasa dengan busana muslim yang ia harus kenakan di lingkung­an pesantren. Ia rajin mengaji dan belajar salat dari Rafiq.

Namun, menurut pandangan Rafiq, bagi Sari itu lebih merupakan penyesuaian sosial daripada batin. Namun, ia tidak terge­rak untuk mengajari Sari tentang Islam yang lebih mendalam, karena ia sendiri merasa kehilangan sesuatu. Ia tahu, semua pe­nga­laman hidup telah mengubahnya.

Rafiq lalu menghadap Pak Kiai, menjelaskan bahwa ia ingin waktu untuk berpikir, mencerna, dan mengendapkan pengelamannya. Ia ingin memperkenalkan Sari pada orang tuanya. Ia ingin dimaafkan. Setelah itu, ia akan mengambil keputusan lebih jauh. Mungkin saja ia akan kembali ke pesantren. Entahlah. Tapi, Pak Kiai menanggapi hal itu dengan baik. Ia menyarankan agar Rafiq membangun pesantren di pulau lain.

Bagaimana orang tuanya tidak akan memaafkannya kalau Rafiq datang sebagai kiai? Kalau Sari ternyata sudah bertobat total dan membawa bayi mungil untuk diletakkan di pelukan ibunda?

Begitu pintar dan berapi-api Pak Kiai berbicara, hingga Rafiq tidak berdaya dan mengiyakannya. Maka, pada suatu sore yang cerah, ia dan Sari diantar ke stasiun bus, menuju pulau itu, untuk memulai kehidupan baru sebagai pembina pesantren baru.

Musim hujan baru berlalu, cuaca kering, tapi bumi hijau. Rafiq duduk di bangku di depan rumah mereka yang agak terpisah dari kompleks pesantren, memandang langit yang memerah menjelang senja. Angin bertiup, sejuk. Suara-suara siang hari memudar, angin terkadang membawa suara dari desa di seberang lembah. Suara seseorang memanggil, suara anak menangis sesaat, suara mengeluh seekor sapi, keheningan untuk beberapa lama. Sayup-sayup suaru motor memecahkan kesunyian, menghilang. Akhirnya, angin pun seolah tidur di pelukan lembah. Sari keluar dari rumah membawa secangkir teh.

“Sari,” suara Rafiq lembut, “anak-anak sudah tidur?”

“Sudah.”

“Kemari Sari.”

Sari duduk dekat Rafiq dan meletakkan kepalanya di dada Rafiq. Ia tidak memakai jilbabnya. Rambut panjangnya yang hitam mengilap bagai aliran air terurai melewati bahunya. Dengan pelan tangan Rafiq mengelus rambut itu.

“Bahagia, Sari?”

“Ya.”

Lama mereka diam. Bulan meninggi di langit dan masih pucat. Tapi, dengan pelan menjadi terang setelah langit menjadi semakin gelap. Di barat, awan tampak diterangi oleh sinar matahari terakhir. Tanpa kata-kata, Rafiq dan Sari menikmati kedamaian petang dan kedekatan mereka.

No comments: