12.22.2010

RAHASIA DIRI

Cantik, muda, dan cerdas. Kesan ini terlihat pada Vivi Natali. Berbekal segala kesempurnaan fisik dan kepandaian, jalannya di dunia entertainment makin mulus. Ia bukan artis sinetron yang hanya muncul sesekali saja sebagai bintang figuran. Nama Vivi memiliki nilai jual yang tinggi. Kemampuan aktingnya tidak diragukan. Ia mampu menyihir penonton untuk tidak beranjak dari layar televisi.

Setelah dirinya berhasil meraih predikat Pemeran Wanita Terbaik di sejumlah ajang penghargaan, namanya makin melambung sehingga jadi rebutan banyak produser sinetron. Tak peduli berapa pun harga yang diminta Vivi untuk setiap episodenya, pasti akan dikabulkan. Karena, namanya sudah menjadi jaminan bahwa sinetron yang dibintanginya akan sukses.

Di usianya yang tergolong masih belia, hidup Vivi sudah bergelimang harta. Sebut saja 2 rumah mewah di kawasan elite Jakarta yang jika ditaksir harganya di atas 3 miliar, beberapa mobil mewah, deposito, dan investasi berupa tanah. Kerja kerasnya selama 10 tahun di dunia hiburan membuahkan hasil yang menakjubkan.

Padahal, ketika masih duduk di bangku SMP, Vi hanyalah seorang gadis dari keluarga sederhana. Selama ini ia tinggal bersama Henny, ibunya, yang bekerja sebagai penjahit. Sedangkan ayahnya tidak jelas keberadaannya. Karena, sejak terlahir ke dunia, Vi tidak pernah mengenal sosok seorang ayah dalam kehidupannya.

“Ma, hmm… apakah saya punya papa?” tanyanya suatu hari dengan takut-takut.

Henny, yang saat itu sedang membuat pola pakaian, berhenti sebentar, lalu menengok sekilas ke arah putrinya. “Punya,” jawabnya singkat. Kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya

“Kalau punya, kenapa saya tidak pernah melihatnya?” protes Vivi.

“Papamu pergi berlayar jauh ke luar negeri,” jawab Henny, tak acuh.

“Luar negeri?” tanya Vivi, takjub.

Benarkah ayahnya seorang pelaut? Berarti, ia anak orang kaya. Karena, pelaut kan uangnya banyak. Tapi, mengapa sampai saat ini ibunya masih banting tulang menjahit hingga larut malam demi mendapatkan uang? Lalu, dikemanakan uang yang dari ayahnya?

“Ma, kalau Papa seorang pelaut, mengapa Mama masih bersusah payah mencari uang? Bukankah Papa mengirim uang setiap bulan?” tanya Vivi, menyelidik.

“Sudahlah, Vi, Mama lelah. Besok saja kita ngobrol lagi. Mama ngantuk! Sekarang, kamu tutup gorden, periksa pintu, apakah sudah terkunci semua. Akhir-akhir ini di daerah kita banyak maling!” ujar Henny, sambil menguap.
Begitulah. Henny selalu menghindar setiap kali putri semata wayangnya bertanya tentang keberadaan ayahnya, Bram. Cerita kelamnya itu sudah lama dikubur dalam-dalam. Untuk mengingatnya saja, ia merasa sakit hati, sedih, dan kecewa, apalagi untuk menceritakan kepada putrinya. Ah… bukanlah hal yang mudah. Perlu persiapan mental. Membuka aib masa lalu sama saja dengan menelanjangi dirinya. Belum tentu Vivi bisa terima penjelasan tentang mengapa mereka hanya hidup berdua saja.

Sering kali, perasaan berdosa menyelimuti hatinya. Rasanya, ia tidak tega untuk selalu berbohong dan menghindar setiap kali Vivi menanyakan ayahnya. Tapi, apa mau dikata, ketika itu Vivi masih terlalu muda untuk mengetahui persoalan orang dewasa.

Henny takut, jiwa putrinya akan terguncang, jika ia tahu siapa dirinya, ayahnya, dan wanita lain dalam kehidupan ayahnya, yang telah merusak kebahagiaan Henny. Sekitar 10 tahun lalu, Henny meninggalkan Medan, kota tempat ia tinggal bersama Bram, suaminya. Namun, sejak kehidupannya hancur, ia meninggalkan kota itu dan merantau ke Jakarta. Sedangkan Vivi, Henny baru berani mengambilnya dari rumah kakaknya, ketika ia sudah mendapat pekerjaan tetap sebagai penjahit di perusahaan konfeksi.

“Benar kamu sudah mempunyai pekerjaan tetap di Jakarta?” tanya Kak Uli, ketika Henny mengutarakan maksudnya untuk mengambil putrinya yang sejak bayi ia titipkan.

“Benar, Kak. Aku sekarang bekerja di perusahaan konfeksi,” ujar Henny.

“Tapi, apa gajimu bisa untuk menghidupi kalian berdua? Ingat, Hen, hidup di Jakarta itu susah. Apalagi, kalau penghasilan kamu pas-pasan. Cobalah pikirkan kembali keputusanmu itu!”

“Kak, aku berterima kasih selama ini Kakak bersedia merawat Vivi dengan penuh kasih sayang. Namun, untuk menebus dosaku selama ini, yang telah menelantarkannya, izinkan aku untuk membesarkannya. Bisa atau tidak bisa, aku harus bertahan hidup di Jakarta. Aku yakin, kalau ada kemauan, pasti Tuhan membukakan jalan. Yakinlah, Kak, aku tidak akan menelantarkan darah dagingku sendiri!”

Walaupun berat, Uli akhirnya melepaskan Vivi, yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri, untuk diasuh oleh ibu kandungnya.

“Hen, jaga Vivi! Jangan biarkan ia bergaul dengan sembarang orang. Ingat! Jakarta itu rawan! Jika salah pergaulan, ia bisa terjerumus. Aku ingin Vivi punya masa depan. Menjadi orang yang bisa dibanggakan. Setelah kau melangkahkan kaki dari kota ini, lupakan semua kehidupan kelam yang pernah kau lalui. Biarlah itu menjadi buku hitammu. Harapan Kakak, kau dan Vivi bisa hidup bahagia,” kata Kak Uli, panjang lebar.

“Terima kasih, Kak. Doakan aku berhasil dengan kehidupan baruku.”

Suara Vivi membuyarkan lamunan Henny. “Ma, sudah rapi. Semua pintu sudah dikunci. Kok, Mama bengong?”

“Tidak, Sayang…. Ya, sudah, kalau semua sudah beres, kita sekarang tidur, yuk!” ajak Henny, sambil menggandeng Vivi menuju kamar.


Ponsel Vivi berdering keras saat ia sedang bersantai membaca skenario, yang baru diterimanya dari produser.

“Vivi, ya? Ini aku, Tumpak. Aku ingin wawancara dengan Anda besok. Ada waktu?”

“Hmm… Tumpak? Dari majalah Wanita, ya?”

Vivi coba mengingat-ingat. Selama ini ia cukup selektif dalam hal wawancara. Ia tidak mau sembarangan menerima wawancara dari media. Bukan karena sombong. Tapi, ia tidak mau karier yang sudah dirintisnya dari bawah hancur karena pemberitaan media yang simpang siur.

“Betul,” kata Tumpak.

“Ya, ya, aku ingat sekarang,” suara Vivi terdengar riang.

Hubungan Vivi dengan Tumpak sudah terjalin cukup baik. Untuk Tumpak, Vivi tidak pernah pelit berbagi cerita. Sebab, da­lam wawancara-wawancara sebelumnya, Tumpak selalu bisa mengakrabkan suasana.

“Jadi, kapan punya waktu? Besok bisa?”

“Hmm, tunggu, aku lihat agenda kerjaku dulu. Pagi ada pemotretan untuk sampul majalah, siang ada syuting sinetron, malam saja, ya.”

“Ya, ampun, padat sekali. Tapi, kalau malam, aku tidak bisa. Deadline sudah menunggu.”

“Kalau tidak bisa, ya, sudah.”

“Jangan begitu, dong, Non. Bagaimana kalau aku datang ke lokasi syuting?” pinta Tumpak.

Lama Vivi berpikir. Saat bekerja, ia ingin berkonsentrasi penuh. Ia jarang bersedia diwawancara di lokasi syuting karena akan mengganggu.

“Tapi, aku baru bisa diwawancara, kalau syutingnya sudah selesai.

“Saat break tidak boleh?” Tumpak menawar.

“Lihat nanti, ya. Asal tidak mengganggu, rasanya bisa saja.”

“Oke, aku janji tidak akan mengganggu. Terima kasih banyak, ya. Sampai jumpa besok!”

Vivi menutup ponselnya. Malam kian larut. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 24.00. Namun, matanya sulit sekali untuk dipejamkan. Jarum jam terus bergulir. Vivi menatap kembali, ke arah jam dinding. Sudah pukul 3 pagi! Mengapa aku segelisah ini? Kenapa aku tidak bisa tidur? Padahal, tadi mata ini sudah mulai redup.

Vivi kembali membaca naskah skenario dengan serius, supaya matanya lelah dan kemudian tertidur. Namun, tidak bisa juga. Apakah aku harus membangunkan Mama? Tapi, kasihan, Mama pasti sudah tertidur lelap.

Di rumahnya yang besar, Vivi hanya tinggal bersama ibu dan 2 pembantu. Semuanya perempuan. Tiba-tiba perasaannya tidak nyaman. Bulu kuduknya berdiri. Ada rasa takut menghantuinya. Vivi langsung berlari menuju kamar ibunya. “Ma, buka, Ma!” Vivi mengetuk pintu kamar Henny dengan napas tersengal.

“Ada apa, Vi?” tanya Henny, sambil membukakan pintu dengan mata tampak mengantuk. Tidak biasanya putrinya seperti ini datang ketakutan.

“Aku nggak bisa tidur, Ma. Tadi bulu kuduk Vi berdiri. Kata orang, kalau bulu kuduk berdiri, itu tandanya ada makhluk halus yang lewat,” ujar Vivi, masih dengan nada takut.

“Ah, itu hanya perasaanmu saja. Kamu mungkin lupa berdoa sebelum tidur,” kata ibunya.

Vivi tersenyum malu.

Benar saja, ketika Vivi selesai memanjatkan doa, ada rasa tenang di hatinya. Dalam dekapan sang bunda, Vivi tertidur lelap, tanpa harus dihantui perasaan takut lagi.

“Hai, Betty, apa kabar? Vivi ada di mana?” tanya Tumpak pada Betty, asisten pribadi, di lokasi syuting.

“Kamu sudah membuat janji dengan Mbak Vivi?” tanya Betty.

”Ya, pasti sudah, dong!” kata Tumpak.

“Lalu, Mbak Vi bersedia?” tanya Betty, curiga.

“Kalau dia tidak bersedia, tidak mungkin aku susah payah datang ke sini,” kata Tumpak, kesal.

“Halo, Bang Tumpak. Sudah lama menunggu?” sapa Vivi, ramah.

“Ya… cukup lama juga. Soalnya, aku malah diwawancara oleh Betty!”

”Bet, ini Bang Tumpak yang sering aku ceritakan itu. Wartawan yang punya sifat humoris yang tinggi. ” kata Vivi.
Tumpak tertawa.

“Ya, sudah, kita wawancara di rumah saja, ya, Bang. Syutingnya sudah selesai, kok.”

Bagi Tumpak, wawancara di mana saja tidak jadi masalah. Yang penting, ia bisa menggali banyak hal tentang Vivi. Jujur saja, untuk mewawancarai artis seperti Vivi bukanlah hal yang mudah. Banyak rekan sesama wartawan yang mengalami kesulitan setiap kali ingin melakukan wawancara. Banyak alasan yang dikemukakan Vivi untuk menolaknya. Makin didesak, Vivi makin mengeluarkan jurus ampuhnya, yaitu pergi dan meninggalkan senyum.

Tapi, tanpa kesulitan Tumpak begitu mudah merebut hati wanita itu sehingga ia tak pernah keberatan jika diwawancara. Tapi, baru kali ini Vivi mengajaknya wawancara di rumah.

“Bang Tumpak, perkenalkan, ini mamaku!” ujar Vivi, memperkenalkan sang mama sesampainya di rumah.

Penuh kehangatan Henny menyambut putri semata wayangnya dengan ciuman. Ini memang sebuah kebiasaan yang tak pernah ingin ia tinggalkan. Hubungan keduanya akrab. Tidak saja sebagai ibu dan anak, melainkan juga sebagai sahabat.

Setelah saling berjabat tangan, Henny mempersilakan Tumpak untuk duduk di ruang tamu, lalu ia beranjak ke ruang tengah.

”Ma, temani aku, dong,” pinta Vivi.

Agak ragu Henny menatap Tumpak. “Apa boleh?” tanyanya.

“Boleh saja, Tante. Tidak ada masalah. Apalagi, yang ingin saya diskusikan adalah perjalanan karier Vivi. Biasanya, setiap kali saya mewawancara Vivi, yang saya tanyakan hanyalah konfirmasi seputar gosip yang beredar tentangnya. Tapi, kali ini, saya ingin membuat profilnya secara lengkap,” kata Tumpak.

Henny tersenyum, sambil mengangguk.

“Jadi, sejak kapan Vivi merintis karier di dunia entertainment?” tanya Tumpak, memulai wawancaranya.

“Sejak 10 tahun lalu. Ketika itu aku masih kelas 3 SMP. Suatu hari, aku sedang jalan-jalan ke mal, lalu bertemu seseorang yang menawarkan untuk ikut model iklan. Awalnya, sih, takut. Apalagi, aku sama sekali tidak mengerti tentang hal seperti ini. Sebelum aku bisa memberi jawaban, orang itu lalu memberi kartu nama. Ketika aku tunjukkan pada Mama, Mama kemudian menelepon orang itu. Yah, akhirnya, jadi seperti ini,” kata Vivi, sambil bergelayut manja pada lengan ibunya.

“Lalu?”

‘Ketika itu, aku tidak memegang posisi sebagai peran utama. Hanya numpang lewat. Tapi, sejak itu aku mendapat beberapa tawaran untuk iklan. Setelah itu, mulai ada tawaran main sinetron.”

”Hebat sekali. Apakah perjalanannya memang semulus itu?” selidik Tumpak.

“Tidak juga. Kadang-kadang, aku menemukan kerikil-kerikil kecil!”

“Contohnya?”

“Banyak juga yang iri dan berusaha menjatuhkan karierku. Tapi, kalau ingin maju, aku harus menghadapi tantangan itu.”

“Bagaimana dengan kekasih?”

“Saat ini, aku ingin berkonsentrasi di karier. Untuk menjalin hubungan serius, aku menunggu saat yang tepat,” kata Vivi.

“Atau, jangan-jangan, calon kekasih Vivi diseleksi ketat oleh Tante?” tanya Tumpak pada Henny.

“Sejauh ini Tante memberikan kebebasan penuh pada Vivi untuk menentukan pilihan hidupnya. Tante hanya berpesan agar ia mencari pria yang baik, penuh tanggung jawab, dan tidak materialistis!”

Ya, Henny memang memberikan kebebasan pada putrinya untuk menentukan pasangan hidup. Hanya, masa kelam yang dulu pernah dialaminya membuat Henny begitu selektif pada setiap teman pria Vivi. Karena, dulu, gara-gara suaminya terjerat cinta Mira, seorang wanita kaya yang baru bercerai, Bram rela meninggalkan dirinya, yang saat itu tengah hamil muda.

Penderitaan Henny tidak sampai di situ. Mira masih berusaha untuk melenyapkan Henny dengan cara menyewa pembunuh bayaran. Tapi, Tuhan memang baik. Henny bisa menyelamatkan nyawanya. Meskipun, untuk mempertahankan dirinya, ia harus mendekam di penjara. Karena, ia kemudian berbalik membunuh Aron, pembunuh bayaran itu.

Setelah selesai wawancara, Tumpak minta izin melihat-lihat rumah Vivi, sekaligus memotretnya. |

“Cantik sekali fotonya, Vi. Tapi, kenapa foto yang dipajang hanya foto Vivi dan Tante saja?” tanya Tumpak, ketika melihat koleksi foto Vivi dan ibunya yang tergantung cantik di dinding rumahnya yang mewah.

Vivi tersenyum. “Aku kan anak tunggal, Bang. Hmm... pasti Bang Tumpak nanti akan bertanya tentang foto papaku, ’kan? Sebelum ditanya, aku akan menjawab, papaku tidak senang difoto. Saat ini ia sedang berlayar ke luar negeri!” ujar Vivi.

Karena sudah menebak bahwa Tumpak akan menanyakan ayahnya, Vivi sudah menyiapkan jawaban. Meskipun, ia sendiri sedih karena tidak pernah mengetahui wajah ayahnya.

Henny terkesiap. Ia tidak menyangka Vivi akan berkilah seperti itu. Sebenarnya, ia tidak menghendaki putrinya berbohong. Namun, untuk menceritakan hal yang sebenarnya, Henny belum memiliki keberanian. Apa kata orang nanti ketika tahu bahwa Vivi Natali tidak pernah tahu keberadaan ayahnya, sementara ibunya adalah seorang pembunuh. Tidak! Aku tidak akan mengatakan semua ini pada Vivi. Aku tidak ingin karier anakku hancur karena aib ini. Henny berbisik dalam hati.

“Tante, kalau boleh tahu, bagaimana masa kecil Vivi?” tanya Tumpak.

Henny bingung harus bercerita apa. Karena, ia baru membesarkan Vivi setelah Vivi berusia 10 tahun.

“Sama seperti anak kecil kebanyakan. Ada nakalnya, ada lucunya. Dulu, ketika Tante masih bekerja sebagai penjahit, Vivi ikut-ikutan menjahit. Sayangnya, ia menjahit pada kebaya yang sudah siap diambil, bukan pada kain perca. Akibatnya, kebaya itu rusak, sehingga Tante harus membayar ganti rugi,” kata Henny, tertawa geli.

Vivi ikut tertawa. Ia ingat, dirinya memang nakal.

”Oke, senang sekali saya bisa ngobrol banyak dengan Vivi dan Tante. Sekarang saya potret, ya,” kata Tumpak.
Ketika difoto, tangan Henny merangkul Vivi. Rangkulan untuk melindungi putrinya tercinta. Ya, bagi Henny, Vivi adalah segala-galanya. Permata hatinya, yang setiap saat harus selalu dijaga, jangan pernah rusak atau ternoda. Ia tidak mau putrinya hancur di tangan pria. Cukup dirinya yang mengalami kehancuran.

Di sebuah teras rumah di kawasan Deli Serdang, Medan, seorang wanita setengah baya terlihat begitu serius membaca sebuah majalah. Wanita itu bernama Mira. Awalnya, ia membaca majalah hanya untuk menghilangkan kejenuhan setelah lelah merapikan rumah. Maklumlah, di rumahnya yang besar itu ia hanya tinggal seorang diri.

Troy, putra semata wayangnya dari pernikahannya dengan Toni, kini bekerja dan tinggal di Belanda. Sedangkan Bram.... Ah, pria ini sudah lama hilang dari kehidupannya. Semula, ia pikir, Bram akan menjadi suami yang setia dan bersih dari perselingkuhan. Namun, nyatanya, sama saja dengan Toni, mantan suaminya. Di rumah, Bram memang bersikap mesra. Tapi, di luar rumah, ia sama berengsek-nya. Ia juga berselingkuh.

Tentu saja, hal ini membuat Mira geram. Ia lalu memaksa Bram untuk meninggalkan rumahnya, tanpa boleh membawa harta apa pun, kecuali baju yang melekat di tubuhnya. Untunglah, semua harta kekayaan yang dimilikinya atas nama Mira. Apakah ini hukum karma? Entahlah…. Dulu, ia begitu gigih merebut Bram dari pelukan Henny, tanpa mau peduli pada keadaan Henny yang saat itu tengah hamil muda.

Helai demi helai halaman majalah dibukanya. Semula Mira tidak begitu serius membacanya. Hanya judul-judulnya saja, lalu dilewatkan ke halaman lain. Namun, ketika matanya tertuju pada halaman profil, matanya terbelalak. Lebih dari tiga kali ia memeriksa foto yang terpasang di majalah itu. Seolah tidak percaya, ia membaca artikelnya lagi berulang kali: ”Masa kecil Vivi Natali tidak dilewati dengan kebahagiaan yang sempurna. Karena, ia hidup berdua saja dengan ibunya, Henny Tiurma, yang seorang penjahit. Sementara, sang ayah, pergi berlayar dan entah kapan akan kembali.”

Hah, Vivi Natali adalah anak Henny? Wanita yang pernah menghancurkan hidupku? Rupanya, ia masih hidup. Hmm… aku tidak bisa membiarkan dirinya hidup lebih lama dan menikmati kebahagiaan. Aku harus menghancurkannya. Harus!

Amarah Mira kembali menggelora. Dadanya seakan mau meledak. Seperti sebuah film yang diputar di depan mata, ingatannya diserbu oleh cerita kelam sekitar 20 tahun lalu.

”Mengapa harus dibunuh? Bukankah kau sudah mendapatkan Bram?” tanya Aron, ketika Mira memintanya untuk membunuh Henny, istri Bram.

“Aku tidak mau ada wanita lain dalam kehidupan Bram. Kau ingat, bagaimana Toni yang dulu aku percaya sebagai seorang suami setia, ternyata ia juga sanggup melakukannya. Kau tentunya juga masih ingat, bagaimana kita bermain kucing-kucingan untuk menjebak perbuatan Toni, yang semula tidak mau mengaku?”

“Ya, ketika itu kau sampai mau bunuh diri,” ujar Aron, mengingatkan.

“Ya, waktu itu aku kalut. Aku bingung. Rasanya, hidup ini sudah tidak ada artinya. Toni yang aku percaya justru berkhianat. Bahkan, ia tega meninggalkan aku, tanpa memedulikan keadaanku dan Troy, yang waktu itu masih berumur 1 tahun. Sekarang, aku tidak mau peristiwa itu terjadi lagi dalam kehidupanku. Aku tidak mau ada wanita lain, selain aku, dalam kehidupan Bram.”

“Tapi, bukankah mereka sudah bercerai?” selidik Aron.

“Menurut Bram begitu. Tapi, sampai sekarang surat perceraian itu belum pernah aku lihat. Namun, aku tidak peduli apakah mereka sudah bercerai atau belum. Yang pasti, aku tidak mau Bram berhubungan lagi dengan mantan istrinya. Apalagi, yang aku dengar sekarang, Henny tengah hamil. Bisa-bisa, ia kembali berpaling dan meninggalkanku!”

“Hamil?” tanya Aron, terenyak. Ia harus membunuh wanita yang sedang berbadan dua?

“Kenapa? Kau takut? Kalau kau tidak mau, tidak masalah. Aku akan membayar orang lain untuk melenyapkannya. Tapi, kembalikan dulu uang yang pernah kau pinjam!” ancam Mira.

Aron bimbang. Demi bayaran berapa pun, ia tidak sanggup membunuh seorang wanita. Apalagi, wanita yang tengah mengan­dung. Tidak tega. Namun, saat ini ia membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan ibunya yang mengalami gagal ginjal. Seminggu 2 kali ibunya harus cuci darah. Itu memerlukan banyak sekali biaya. Satu-satunya orang yang bisa membantunya hanyalah Mira, karena ia memang kaya.

“Bagaimana?”

Aron mengangguk lemas. Tidak ada pilihan lain. Kondisi ibunya yang makin lemah harus segera diselamatkan. Berapa pun biayanya.

“Nah, begitu, dong! Ini uangnya. Baru sebagian. Sisanya akan aku berikan setelah kau berhasil menjalankan perintahku,” ujar Mira, sambil menyerahkan tumpukan lembaran uang ratusan ribu di atas meja.

Siang itu udara panas yang menyengat seakan membakar kota Medan. Di sebuah perumahan sederhana, Henny yang sedang mengandung 2 bulan terus menguap. Ia mengantuk. Seharian ini ia lelah. Pekerjaan merapikan rumah yang seharusnya dilakukan oleh Iroh, pembantunya, digantikannya.

Sudah seminggu Iroh minta izin pulang ke Solo untuk menjenguk orang tuanya yang sedang sakit. Rasa lelah yang menyelimutinya sejak siang membuatnya terlelap, sehingga tidak menyadari ada tamu tak diundang menyelinap masuk kamarnya.

Tuhan, ampuni hamba-Mu jika harus melakukan perbuatan keji ini. Namun, tidak ada jalan lain yang harus aku lakukan untuk menolong ibuku. Aron membatin. Dadanya sesak. Ia merasa tak sanggup, tapi ia harus melakukannya! Demi nyawa ibunya.

“Si… siapa kamu?” tanya Henny, ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar datang menyergapnya. Tiba-tiba saja tubuhnya diempaskan berulang kali. Bagian belakang kepalanya membentur dinding. Darah segar mengalir dari kepalanya. Matanya berkunang-kunang. Pandangannya buram. Ia baru menyadari bahwa maut akan segera mengintai nyawanya, jika ia tidak segera bertindak cepat.

Saat itu yang ada dalam benaknya adalah menyelamatkan diri. Sebelum ia membunuhku, aku dulu yang harus membunuhnya. Henny membatin. Setengah sadar, tangannya meraih laci meja di sebelah tempat tidur. Sebuah gunting teraba olehnya. Tanpa pikir panjang, ia menusukkan gunting itu ke tubuh pria tak dikenalnya. Berkali-kali. Yang ia tahu, ia harus selamat, agar bayinya juga selamat.

Suara gaduh dan teriakan minta tolong mengundang warga sekitar datang ke rumah Henny.

“Bu Henny!” jerit Irma, tetangga sebelah rumahnya, histeris. Sebuah pemandangan yang mengerikan. Di depannya dua manusia tergeletak dalam keadaan sekarat. Henny dan pria yang menyerangnya terkulai lemah dengan tubuh bersimbah darah.

Dalam kebingungan, Irma membawa Henny dan Aron ke rumah sakit. Keduanya mendapat penanganan yang sama di Unit Gawat Darurat. Peristiwa sangat menggeparkan itu mengundang polisi untuk menggali lebih lanjut motif di balik peristiwa pembunuhan itu.

Sadar bahwa hidupnya tak lama lagi akan berakhir, sadar bahwa tak ada gunanya berbohong, Aron menceritakan keadaan sebenarnya.

“Saya hanya disuruh untuk membunuh Ibu Henny. Sebenarnya, saya tidak tega, karena saya tahu saat ini ia sedang hamil!” suara Aron terdengar lemah, di antara tarikan napasnya yang tersengal.

“Siapa yang menyuruhmu?” polisi itu membentak.

“Ibu Mira, istri muda Pak Bram, suami Bu Henny!”

“Alamatnya di mana?”

Aron pun memberikan kartu nama Mira. Untunglah, nyawa Henny dan bayi yang dikandungnya selamat. Setelah kondisi tubuhnya berangsur baik, Henny diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Namun, proses hukum tetap berjalan. Apa pun alasannya, ia telah melenyapkan satu nyawa, walaupun saat itu nyawanya juga tengah terancam. Karena menjadi otak rencana pembunuhan, Mira juga ikut mendekam di penjara.

Henny divonis 8 tahun penjara. Jauh lebih ringan dari keputusan hakim yang semula memutuskan 15 tahun penjara. Itu pun dirasakannya berat sekali. Sel penjara itu sangat menyiksanya. Tiga kali Henny berusaha bunuh diri, namun selalu gagal karena ketahuan oleh penghuni lain. Bayi mungil yang dilahirkan Henny terpaksa dititipkan pada Uli, kakak tertua Henny.

Keluar dari penjara, Henny minta izin pada kakaknya untuk mencoba mencari pekerjaan di Jakarta. Setelah berhasil mendapatkan pekerjaan yang layak, barulah Henny berani mengambil Vivi dan merawatnya sendiri. Selama dalam pengasuhan Uli, Vivi sering bertanya tentang keberadaan mamanya. Uli hanya mengatakan bahwa mamanya akan segera pulang, meski Uli sendiri tak tahu kapan pastinya.

“Majalah Wanita? Apakah saya bisa bicara dengan Tumpak?” tanya Mira.

Inilah kesempatanku menghancurkanmu, Henny. Jangan kira setelah kamu bebas mengirup udara segar, kamu akan berbahagia. Sekarang kamu bahagia. Tapi, besok, kehancuran karier anakmu siap menanti. Aku akan membuka semua aib masa lalumu! Mira berbisik dalam hati.

Setelah disambungkan dengan Tumpak, Mira mulai menjalankan strateginya. “Bapak Tumpak, saya ingin memberikan informasi penting untuk Anda,” suara Mira terdengar bersemangat.

“Informasi penting?”

“Ya, saya baru saja membaca tulisan Anda tentang kisah sukses Vivi Natali. Anda tahu siapa Vivi dan Henny sebenarnya?”

“Yang saya tahu, Vivi anak tunggal. Ibunya dulunya seorang penjahit dan ayahnya pelaut,” jawab Tumpak.

“Anda percaya?”

“Mengapa tidak? Masa, sih, seorang artis seperti Vivi bisa membohongi publik. Kalau ia berani melakukannya, ini akan merusak reputasinya.”

“Bohong besar jika dikatakan bahwa ayahnya seorang pelaut. Karena, Bram, ayahnya Vivi, dulunya adalah suami saya. Semenjak berpisah dari saya, ia jadi pengangguran, luntang-lantung entah di mana.”

“Lalu, apa hubungannya dengan Henny?” tanya Tumpak, bingung.

“Henny adalah istri pertama Bram. Setelah bercerai dari Henny, Bram menikah dengan saya.”

“Berarti, Anda adalah ibu tiri Vivi?” kata Tumpak, menyimpulkan.

“Oh, tidak. Justru saya tidak pernah tinggal serumah dengan Vivi. Karena, Vivi itu lahir di penjara.”

Tumpak terdiam. Bagaimana mungkin Vivi Natali lahir di penjara?

“Maaf, apa sebenarnya tujuan Anda memberikan informasi ini? Jangan-jangan, Anda hanya mencari sensasi agar ikut terkenal,” Tumpak menebak.

“Untuk apa saya mencari sensasi? Saya justru ingin meng­ungkapkan fakta sebenarnya. Karena, Henny Tiurma adalah pembunuh. Ia membunuh Aron!”

“Siapa Aron?”

“Anda bisa berkunjung ke tempat tinggal saya di Medan. Saya akan memberikan informasi yang lebih jelas tentang Henny dan hubungannya dengan saya. Kapan Anda bisa datang?”

“Secepatnya!” kata Tumpak, sambil berpikir keras.

“Baik, saya tunggu,” suara Mira terdengar ramah. Keme­nang­an besar sebentar lagi akan digenggamnya. Dendam puluhan tahun yang selama ini dipendamnya sebentar lagi akan terwujud.

Henny Tiurma seorang pembunuh? Rasanya tak masuk akal. Penampilannya yang keibuan dan tutur katanya yang lemah lembut sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia seorang pembunuh. Pembunuh berdarah dinginkah? Tapi, apa benar?

Tapi, wanita itu tampak begitu meyakinkan saat bercerita tentang ibu dari Vivi Natali. Tumpak bimbang. Jika semua yang dikatakan wanita itu memang benar, apakah aku harus menuliskannya juga? Lalu, bagaimana dengan karier Vivi yang saat ini sedang berada di puncak? Pasti popularitasnya akan hancur. Vivi yang dulu disanjung-sanjung akan dicibir oleh publik. Tak ada seorang pun yang mau memintanya sebagai bintang iklan atau tampil sebagai presenter televisi. Vivi akan terempas dari kehidup-an glamor karena kehidupan kelam orang tuanya terungkap oleh media massa.

Namun, jika tidak berani mengungkapkan kebenaran itu, itu artinya ia juga membohongi publik. Tapi, ah, itu kan baru katanya saja. Siapa tahu, apa yang dikatakan wanita itu hanya isapan jempol belaka. Meski masih meragukan keterangan wanita itu, Tumpak akhirnya berangkat ke Medan, dengan persetujuan atasannya. Ia disambut dengan ramah oleh Mira.

Tanpa ada rasa malu, Mira menceritakan runtutan peristiwa, dimulai dari awal mula ketertarikannya pada Bram, keberhasil­annya merebut Bram dari tangan Henny, dan rencana gilanya membayar Aron untuk membunuh Henny.

“Jadi, Anda juga ikut dihukum?” tanya Tumpak.

“Ya, begitulah. Padahal, saya sudah membayar pengacara terkenal di kota ini. Tapi, tetap saja saya tidak bisa bebas dari jeratan hukum. Jika yang meninggal adalah Henny, pasti lain ceritanya. Saya tidak mungkin mendekam di balik jeruji penjara,” ujar Mira, tanpa merasa bersalah.

“Terima kasih atas keterangan Anda, Bu Mira!”

“Wawancara ini pasti akan dimuat di majalah, ’kan?” tanya Mira. Ia berharap semua masyarakat mengetahui sisi kelam kehidupan Vivi Natali. Mira sangat ingin melihat kehancuran Henny dan anaknya.

“Saya belum tahu, Bu. Semua akan saya diskusikan dulu dengan tim redaksi, apakah tulisan ini layak muat atau tidak.”

“Saya yakin, jika tulisan ini dimuat, oplah majalah Anda akan meningkat. Tentunya, perusahaan tempat Anda bekerja akan untung.”

Tumpak berusaha tersenyum. Walaupun, ia tak habis pikir, mengapa wanita itu tidak memiliki rasa malu saat mengungkapkan sisi kelam kehidupannya. Apalagi, ia merupakan otak pembunuhan tersebut. Rupanya, dendam mengalahkan segalanya. Meski nantinya pembaca akan mencibir dan memandangnya rendah, Mira tak peduli.

Benar yang dikatakan Mira. Ketika Wanita mengungkapkan sisi kelam Vivi Natali, oplahnya meningkat tajam. Pembaca dibuat terenyak dengan pemberitaan tersebut. Vivi, yang selama ini jauh dari pemberitaan miring dan kerap mendapat pujian, tiba-tiba muncul dengan berita menghebohkan.

Bisa dibayangkan, betapa geramnya Vivi ketika membaca artikel itu. Ia tidak bisa menerima berita yang menyudutkan dirinya dan orang yang dicintainya. Ia tidak percaya bahwa ibunya berani melakukan hal itu. Seperti Tumpak, ia sempat memikirkan suatu hal. Jangan-jangan, wanita itu mencari sensasi agar bisa ikut terkenal.

Berbeda dari reaksi Vivi, Henny justru hanya bisa terdiam. Ia tidak menyangka, rahasia yang selama ini ditutupnya rapat-rapat, akhirnya dibongkar juga oleh musuh yang tidak pernah ia maafkan. Henny menyesali diri. Mengapa Vivi harus mendengarkannya dari orang lain, bukan dari dirinya langsung. Mungkin, seandainya ia berterus terang sejak awal, kejadiannya tidak seperti ini. Tapi, apa mau dikata, semua itu sudah terjadi di luar dugaannya.

Seandainya Vivi bukan selebritis, tanggapan orang mungkin tak sedahsyat itu. Tapi, putrinya adalah seorang artis papan atas, yang sangat terkenal. Media telah membawa cerita kelam itu ke permukaan, dan Henny tidak bisa membela diri.

Sejak berita itu menjadi pembicaraan masyarakat, Vivi seperti ditelan bumi. Sulit sekali menghubunginya. Ponselnya selalu tidak aktif. Ia benar-benar mengunci dirinya untuk tidak memberikan komentar apa pun.

“Mbak, lebih baik Mbak mengadakan konferensi pers,” usul Betty.

“Untuk apa?”

“Untuk menjelaskan permasalahannya pada publik sehingga Mbak tidak dikejar-kejar. Kan nggak nyaman, Mbak, melihat wartawan setiap hari menunggu di depan rumah. Kasihan kan mereka, Mbak.”

“Kasihan? Siapa suruh mereka menunggu? Dengar, ya, Bet, aku tidak mau memberikan komentar apa pun sebelum masalah ini jelas. Lagi pula, kamu lihat kan, semua media menyudutkan aku dan Mama. Mereka tidak mau memahami perasaanku,” kata Vivi, sengit.

“Tapi, sampai kapan Mbak menutup diri?”

“Aku tidak tahu sampai kapan. Yang jelas, saat ini aku belum siap berhadapan dengan wartawan. Aku tidak tahu harus berbicara apa. Aku shocked Bet, shocked!”

Kalau sudah begitu, Betty tidak bisa memaksa. Hanya, ia tidak tega melihat kerumunan wartawan yang sejak pagi hingga malam ’patroli’ di depan rumah. Sebenarnya, Vivi tidak nyaman dengan situasi ini. Berhari-hari ia mengurung diri, menghindari kejaran wartawan. Sampai setelah seminggu, Vivi tak betah berdiam diri terus di rumah. Ketika ia akhirnya memberanikan diri keluar rumah, para wartawan masih setia menunggunya.

“Vi, bagaimana komentar Anda tentang pemberitaan di media massa belakangan ini?” tanya seorang wartawan, ketika Vivi berjalan menuju garasi.

Vivi hanya menyunggingkan senyum dan berkata, “No comment. Maaf, saya tidak mau diganggu. Terima kasih!” Itu saja yang keluar dari bibir mungilnya. Selebihnya, ia menancap gas mobilnya, meng­hilang entah ke mana.

Para wartawan tidak kehabisan akal. Mereka mencari keberadaan Vivi, sampai ke hotel yang sering dikunjungi Vivi di daerah Puncak. Semua karyawan hotel menggelengkan kepala.

“Ibu Vivi sudah lama tidak ke sini!” ungkap salah seorang pegawai hotel. Entah benar atau tidak, yang pasti, keberadaan Vivi sulit dilacak. Demikian juga dengan Henny, ibunya. Sejak berita miring yang melibatkan dirinya diungkap di media massa, ia ikut menghilang. Lalu, ke mana Henny?

“Ma, katakan dengan jujur, cerita itu tidak benar. ’kan?” tanya Vivi, sambil berharap bahwa cerita itu hanya khayalan wanita yang bernama Mira, untuk mencari sensasi. Mereka bersembunyi di sebuah rumah peristirahatan.
Henny diam. Matanya menerawang. Peristiwa kelam itu kembali menghiasi memorinya. Ya, mungkin inilah takdir hidup. Dulu. ia hidup susah dan telantar. Tapi, berkat putrinya, ia bisa menikmati hidup yang lebih layak. Sekarang, saat ia menikmati kebahagiaan itu, sosok Mira yang bengis dan kejam hadir kembali. Seperti sebuah bom, Mira kembali memorak-porandakan kebahagiaan Henny.

Dulu, ketika ia masih hidup bersama Bram, Mira merampas kebahagiaannya. Kini, kebahagiaannya dengan Vivi kembali direnggut. Ya, ia dulu memang pernah membunuh. Tapi, hal itu dilakukannya untuk membela diri.

Seandainya Henny yang terbunuh, pasti Aron juga akan mendekam di penjara. Saat itu, posisi Henny terpojok. Hanya ada dua pilihan. Ia dan bayinya terbunuh atau Aron yang harus mati. Ia sendiri tidak pernah tahu bahwa ia memiliki keberanian untuk menusukkan gunting ke tubuh Aron, bahkan sampai berulang kali.

“Jadi, berita itu benar, Ma?” Vivi menerka sikap diam ibunya.

“Seandainya benar…,” suara Henny mengambang. Baru kali ini ia berani membuka suara.

“Tidak! Mama kejam! Kejam! Mengapa Mama menghancurkan karier yang dengan susah payah saya rintis? Mengapa Mama tidak bercerita sejak awal? Mengapa Vivi harus mendengarnya dari orang lain? Mengapa, Ma?” tanya Vivi.

Baru kali ini ia bersuara keras pada ibunya. Sebagai anak, ia selalu sopan. Karena, ibunya adalah satu-satunya orang yang ia kasihi, tempat ia berlindung dan berbagi rasa. Tapi, sekarang sosok ibu yang selama ini dipandangnya dengan penuh rasa hormat, berubah total. Ia begitu membencinya, meskipun Henny menyesali perbuatan masa silamnya.

“Maafkan Mama, Nak! Semua itu Mama perbuat untuk membela diri,” tutur Henny, penuh sesal.

“Bukan pembunuhan itu yang saya sesali. Karena, saya pun tidak akan terlahir ke dunia ini kalau Mama tidak menye­la­matkan diri dengan membunuh bajingan itu. Tapi, mengapa selama ini Mama selalu menutup-nutupi tentang Papa? Mama selalu berkelit setiap kali saya tanya. Dan, yang sangat saya sesali, saya justru mendapat informasi ini dari media, bukan dari Mama. Mau ditaruh di mana muka ini, Ma? Di kemanakan?!”

Henny hanya diam. Putri yang dikandungnya selama 9 bulan di penjara itu mampu membentak, bahkan memojokkan dirinya. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata, mengalir deras. Dadanya sesak menahan kekecewaan dan penyesalan diri.

Sudah dua minggu ini hubungan antara Vivi dan ibunya terjalin tidak harmonis. Rumah yang senantiasa dipenuhi gelak-canda ibu dan anak ini terasa sepi. Henny, yang senantiasa diliputi perasaan bersalah, berusaha untuk mengajak bicara atau mengalihkan pembicaraan ke hal lain, agar suasana rumah tidak terasa tegang. Namun, sepertinya, Vivi menyim­pan kekecewaan yang dalam sehingga ia sulit memaafkan ibunya. Vivi selalu mengelak diajak bicara. Bahkan, sudah 2 hari ini, ia tidak pulang ke rumah.

Henny pun mengambil keputusan terpahit. Ia meninggalkan rumah, saat seluruh penghuni rumah tertidur lelap.

Vivi, anakku sayang…
Mama memang tidak pantas menjadi mamamu. Perbuatan Mama di masa lalu sungguh memalukan, meskipun hal itu Mama lakukan untuk mempertahankan janin yang Mama kandung saat itu, yaitu dirimu. Agar kamu bahagia dan Mama tidak menjadi benalu dalam hidupmu, Mama pergi. Harapan Mama, setelah kepergian Mama, rasa benci dan amarahmu terhapuskan. Maafkan Mama, ya, Nak.

Keputusan Henny untuk pergi jauh sudah bulat. Entah ke mana. Ia belum punya tujuan. Angin malam yang menusuk hingga ke tulang tak dihiraukannya. Berbekalkan sedikit uang yang dimilikinya, Henny meninggalkan rumah mewah yang pernah ditempatinya bersama putri tercintanya. Semua tinggal kenangan. Walau berat langkahnya, ini merupakan keputusan terbaik. Sikap Vivi yang tak acuh dan selalu menghindar sudah cukup menjadi petunjuk bahwa ia harus cepat pergi dari rumah itu.

Suara gaduh terdengar di rumah Vivi. Bi Iyah dan Mbak Sum berteriak-teriak, membangunkan Vivi yang baru pulang pukul 3 dini hari, seusai syuting.

“Ada apa, sih, Bi Iyah?” tanya Vivi, sambil membuka pintu kamarnya.

“Maaf, Non. Itu... Ibu…!” suara Bi Iyah terdengar gagap.

“Ibu? Ibu kenapa?” suara Vivi tak acuh.

“Ibu tidak ada di kamarnya!”

“Sudah dicari belum? Mungkin di dapur atau kamar mandi.”

“Semua sudut sudah dicari, Non. Ibu tidak ada!” ujar Bi Iyah, gundah.

“Non Vivi, ini ada surat untuk Non. Sepertinya, dari Ibu!” seru Mbak Sum, dengan napas tersengal, sambil memberikan secarik surat yang ditulis Henny dengan gemetar.

Selesai membaca surat itu, Vivi tercenung. Akar kebencian masih tertancap tajam di hatinya dan sulit untuk dicabut. Berulang kali ia menyesali diri, mengapa ia harus terlahir ke dunia ini, kalau harus menanggung malu.

Pemberitaan di media terus menyudutkan ia dan ibunya. Media tidak pernah mengupas sisi lain, mengapa ibunya berbuat nekat.

Media benar-benar tak mempertimbangkan perasaannya. Karier Vivi benar-benar hancur. Produser tidak mau memakainya lagi, karena cerita buruk yang bertubi-tubi tentang dirinya. Kalaupun ia masih syuting, itu hanya tinggal menghabiskan sisa kontrak saja. Ada juga produser yang tanpa basa basi memutuskan kontrak sepihak dan menggantikan perannya.

Vivi tidak bisa protes. Ia teringat perbincangannya dengan Tiyo Bram, seorang produser.

“Vi, aku bisa mencetakmu menjadi artis papan atas, kalau kamu mau menuruti permintaanku!” kata Tiyo.

“Maksudnya?” tanya Vivi, tidak mengerti.

“Menjadi istri simpananku!” ujar Tiyo, enteng.

“Gila! Bapak pikir saya ini wanita murahan?”

“Tenang, Vi. Kamu tidak perlu emosi begitu. Aku kan hanya memberikan jalan. Itu pun kalau kamu mau kariermu melesat. Tapi, kalau hanya mau jadi figuran saja, itu terserah kamu. Bagaimana? Semua itu ada timbal baliknya. Kalau kamu bersedia jadi istriku, aku akan memberikan peran utama untukmu. Ini alamat apartemenku. Dengan senang hati aku menunggu kunjunganmu,” ujar Tiyo, sambil memberikan kartu namanya dan berlalu meninggalkan Vivi.

Apakah untuk menjadi seorang bintang papan atas ia harus menjual harga dirinya? Sudah 4 tahun, Vivi menjadi figuran, yang nyaris tidak pernah dilirik penonton. Padahal, ia mempunyai kemampuan akting yang bagus. Wajah cantik dan bentuk tubuh proporsional ternyata bukan faktor utama untuk bisa memuluskan langkahnya. Pesaingnya begitu banyak. Semua cantik-cantik, langsing dengan penampilan memukau. Yang lebih mengherankan, karier mereka begitu cepat meroket. Padahal, belum setahun mereka menapakkan kaki di dunia hiburan.

Mengapa nama mereka cepat melambung? Apakah karena mereka mau dijadikan simpanan produser? Ah, tapi, itu urusan mereka. Yang penting, aku tidak demikian.

Namun, harapan Vivi untuk bisa berjalan mulus, tanpa harus mengorbankan harga diri, tidak membuahkan hasil. Sulit sekali baginya untuk mendapatkan peran. Jangankan peran utama, menjadi peran pembantu saja rasanya jauh dari kenyataan.

Vivi memberanikan diri berkunjung ke apartemen Tiyo. Dengan perasaan malu, benci, muak, ia menyerahkan kegadisan yang selama ini dijaganya utuh kepada produser tua itu. Tanpa merasakan kenikmatan apa pun, Vivi mengikuti semua petunjuk yang diarahkan Tiyo, yang tidak memedulikan rintihan kesakitan dan isak tangis Vivi. Tangannya bergerilya dengan liar. Vivi hanya bisa pasrah.

“Pak Tiyo, saya perlu kejelasan. Saya tidak mau pengorbanan ini tidak ada timbal baliknya!”

“Maksudnya?”

“Anda jangan pura-pura bodoh. Saya mau melakukan ini secara kontrak selama 6 bulan. Selebihnya, saya tidak mau!” ancam Vivi. Rencana ini memang sudah dipikirnya matang-matang, meski harus ditebus dengan harga mahal.

Selama seminggu ia sudah merancang jerat apa yang pantas untuk Tiyo. Kalau ia hanya akan mendapat peran utama, dengan menjadi istri simpanan Tiyo, tentunya kerugian ada pada dirinya. Untuk itu, ia sudah menyiapkan selembar kertas kontrak bermeterai.

“Tidak masalah. Semua bisa diatur!” suara Tiyo meledek.

“Selama saya jadi istri simpanan Anda, saya tidak mau tinggal serumah. Hanya sesekali saja boleh bertemu!” lanjut Vivi.

“Seminggu 3 kali?”

“Saya tidak bisa memastikan. Yang pasti, saya tidak mau hubungan ini sampai tercium wartawan dan orang lain. Dan, yang terakhir, saya minta bagian setengah dari harta Anda untuk jadi milik saya. Bagaimana?” tantang Vivi, sambil menatap Tiyo tajam.

Tiyo yang sedang dimabuk cinta hanya mengangguk. Semua yang dikatakan Vivi tidak ada yang dibantahnya.
“Baik, itu berarti Anda menyetujui kesepakatkan di antara kita. Sekarang, Anda harus menandatangani surat ini!” Vivi pun mengajukan surat yang telah diketiknya rapi.

“Mengapa harus seresmi ini, sih?”

“Saya tidak mau Anda mengelak dari kenyataan. Jangan lupa, surat ini sah!”

Vivi senang, karena Tiyo mau menandatangani surat itu, tanpa protes.

Produser tua yang sedang kasmaran itu benar-benar memenuhi janjinya. Tanpa pikir panjang, ia memberikan setengah harta miliknya untuk Vivi. Ia juga memberikan peran utama pada Vivi. Pengorbanan Vivi tidak sia-sia. Ia berhasil menjadi artis papan atas dan mendapat kontrak eksklusif dari sebuah rumah produksi terkenal.

Dulu, ia tinggal di kontrakan kecil dan sumpek. Sekarang, ia mampu membeli rumah di kawasan elite Jakarta. Ia pun tak perlu berdesakan lagi di bus umum untuk mengikuti casting dari satu rumah produksi ke rumah produksi lain. Kini, ia sudah memiliki mobil keluaran terbaru yang nyaman.

Selama setengah tahun, tidak ada satu orang pun yang mencium hubungan gelapnya dengan Tiyo. Vivi benar-benar menutup rapat rahasia dirinya. Setiap hari ia menghitung, kapan perjanjiannya akan berakhir. Belenggu itu sangat menyiksa.

Ketika perjanjian itu berakhir, ia begitu bahagia. Batinnya berulang kali berontak. Sempat ada sesal di hatinya. Mengapa ia bisa merendahkan dirinya demi sebuah cita-cita menjadi artis terkenal? Ia benar-benar malu menatap dirinya sendiri. Untuk itu, semua rahasia dirinya ia tutup rapat. Tidak ada yang tahu, termasuk ibunya dan wartawan.

Satu lagi rahasia diri, yang tidak diketahui siapa pun, termasuk Tiyo: ia pernah melahirkan anak. Saat perjanjian menjadi istri simpanan Tiyo berakhir, Vivi sedang hamil 3 bulan. Ia sengaja merahasiakan kehamilannya itu. Karena, jika Tiyo tahu, perjanjian bisa batal. Untuk menyembunyikan kehamilannya, Vivi terpaksa berbohong pada ibunya. Ia mengatakan ada syuting di luar kota selama berbulan-bulan.

Untunglah, semua rencana yang telah dirancangnya rapi, berjalan dengan baik. Vivi melahirkan bayi perempuannya di negara tetangga, Singapura. Tidak ada seorang pun yang tahu, termasuk pers. Vivi lalu membawa bidadari kecilnya, Thalia, kembali ke Indonesia. Tanpa proses yang menyulitkan, Vivi menitipkan Thalia kecil di sebuah panti asuhan.

Awalnya, ia sempat berpikir untuk melakukan aborsi. Namun, niat itu dibatalkan. Ia takut, dosanya akan makin berat, jika ia melakukan pembunuhan terhadap janin yang dikandungnya.

Sekarang, Vivi merasa kehidupannya begitu hampa. Ia tersisih dari ingar bingar dunia hiburan yang telah membesarkan namanya. Begitu cepat! Rasanya, baru kemarin namanya terukir indah di media cetak sebagai artis paling favorit.

Sekarang, ia merasa begitu terpojok. Semua media, baik cetak maupun elektronik, menyorot sisi kelam kehidupan keluarganya. Namun, ia tidak bisa mengelak. Semua yang diungkapkan media, benar adanya. Ia memang anak seorang pembunuh. Hidup ini seperti roda pedati. Kadang-kadang di atas, namun tak jarang juga berada di bawah. Dan, saat ini Vivi sedang berada di landasan terbawah. Entah kapan ia bisa memutarnya kembali untuk bisa sampai ke atas. Hanya waktu dan situasilah yang dapat mengubahnya.


“Hai, Sayang, apa kabar? Kapan pulang ke Indonesia?” suara Vivi terdengar bahagia sekali, ketika menerima telepon dari kekasihnya, Troy.

“Sabar, dong! Mungkin bulan depan aku pulang. Bagaimana, Mama sehat?” tanya Troy, menanyakan keadaan Henny.

“Hmm, sehat,” Vivi berdusta.

“Kok, jawabnya ragu, sih? Ada yang disembunyikan, ya?” tanya Troy.

“Ah, tidak. Semua baik-baik saja. Honey, jangan lupa bawakan cokelat, ya,” ujar Vivi, mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau hubungannya yang sedang tidak harmonis dengan ibunya terbaca oleh Troy.

Walaupun selama ini Troy belum mengenal Henny secara lang­sung, hanya melalui telepon, hubungan mereka sudah cukup akrab. Setiap kali menelepon, Troy menyempatkan diri untuk bicara dengan Henny.

Awalnya, Henny kurang setuju pada hubungan Vivi dan Troy.

“Apakah tidak ada pria lain selain dia, Vi?”

“Kenapa Ma?”

“Mama khawatir, kamu hanya dipermainkan. Apalagi, jarak kalian berjauhan sehingga jarang bertemu!”

“Mama tidak usah khawatir. Saya yakin, Troy memiliki pribadi yang baik. Sepertinya, ia tidak seburuk yang Mama bayangkan,” bela Vivi.

“Dari mana kamu tahu?”

“Dari e-mail yang ia kirim. Selain cara berbicaranya santun, tidak ada rayuan gombal.”

“Ya, semoga saja ia memang baik,” kata Henny, berharap.

Kisah asmara Vivi dan Troy sudah berjalan hampir setahun. Yang mengetahuinya hanya Henny. Pada Troy, Vivi tidak memperkenalkan diri sebagai artis. Ia mengaku, dirinya adalah seorang mahasiswi S-2. Lagi pula, ia yakin, dirinya hanya dikenal di Indonesia. Di negeri Kincir Angin sana, siapalah yang mengenal Vivi Natali. Mereka berkenalan melalui sebuah klub sahabat pena di internet.

“Mama mana, Vi?”

“Hmm, Mama....,” Vivi kebingungan hendak menjawab apa.

”Kenapa bingung? Sebenarnya, ada apa? Sejak tadi, setiap kali aku bertanya tentang Mama, pasti kamu kebingungan. Sedang bertengkar, ya?”

“Enggak, kok! Hubungan kami baik-baik saja. Hanya, Mama sedang kurang enak badan. Sekarang sedang tidur. Atau, mau aku bangunkan?” Vivi mengarang cerita bohong. Harapannya, Troy tidak meminta untuk berbicara dengan ibunya.

“Tidak usah. Sampaikan saja salamku pada beliau. Semoga cepat sembuh. Sudah 3 kali aku berkunjung, tapi tidak pernah bertemu. Mudah-mudahan bulan depan aku bisa bertemu Mama,” kata Troy.

Setelah saling mengucapkan salam perpisahan, tiba-tiba Vivi merasa dadanya sesak. Tangisan penyesalan atas sikap kasar yang dilakukannya selama ini pada sang bunda kembali teringat. Bagaimana bisa ia mendiamkan ibunya berhari-hari?

“Ma, saya minta maaf atas sikap kasar saya kemarin. Ma, saya kangen. Tapi, di mana Mama sekarang? Di mana?” ucapnya, pelan.

Oh, Tuhan, bantu aku menemukan Mama. Lindungi Mama. Jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya. Tuhan, ampuni aku yang telah berdosa padanya. Izinkan aku bertemu dengannya!

Sudah berminggu-minggu Vivi mencari Henny. Ia sudah meng-hubungi teman-teman ibunya, sanak saudara yang biasa didatangi ibunya, bahkan sampai ke rumah sakit. Kekhawatiran Vivi makin menjadi ketika membaca satu kalimat di koran harian: Ditemukan mayat tanpa busana di semak-semak. Ciri yang digambarkan sama persis dengan kondisi ibunya. Usia sekitar 50 tahun, berambut ikal pendek, kulit kuning langsat, dan tinggi kira-kira 155 cm.

Detak jantungnya hampir saja berhenti, ketika ia melihat lang­sung mayat yang terbujur kaku di kamar mayat sebuah rumah sakit di Jakarta. Wajahnya hampir sama dengan ibunya. Tapi, bukan, itu bukan ibunya. Ibunya memiliki tahi lalat di hidung dan dagu. Wanita itu tidak.

Vivi kebingungan, mau mencari ibunya ke mana lagi. Semua tempat sudah ditelusuri. Ia juga sudah melaporkan kasus kehilangan ini ke kepolisian. Tapi, hasilnya nihil.

Apakah Mama menyimpan dendam padaku dan sudah tidak lagi menganggap aku sebagai anaknya? Mengapa ia tidak mau pulang?

Di tengah kebingungan, Vivi teringat akan Tante Uli, kakak ibunya, yang tinggal di Medan. Mungkinkah Mama sekarang berada di Medan? Tapi, mungkinkah ia pergi sejauh itu? Tapi, siapa tahu….

“Selamat malam, Tante Uli. Ini Vivi. Apa kabar, Tante?” tanya Vivi.

”Oh, kamu. Ada apa kamu telepon ke sini?” kata Uli, dingin.

“Tante, apakah Mama di sana?” suara Vivi tersendat, sedikit takut.

“Kalau ada, kenapa?” ujar Uli, tetap dingin.

“Saya mau menjemput Mama!”

“Menjemput? Tidak bisa! Tante tidak mengizinkan kamu menjemput mamamu sebelum kamu minta maaf padanya. Bagaimana kamu tega membiarkan mamamu pergi dari rumah? Kamu tidak tahu kan apa yang terjadi selanjutnya?”

“Selanjutnya? Maksud Tante?”

“Mamamu mengalami kecelakaan ketika baru tiba di Medan. Ia ditabrak mobil yang melaju kencang. Sialnya, si pengendara kabur. Untunglah, di dompetnya ada nomor teleponku. Mamamu sempat koma.”

”Mengapa Tante tidak memberitahukan?”

“Apa perlunya? Setelah siuman, mamamu berpesan agar tidak menghubungimu. Karena, ia tidak mau disakiti lagi olehmu!” ujar Uli, tegas.

Vivi menarik napas panjang. “Jadi, bagaimana keadaan Mama sekarang?”

Desah napas Uli terdengar berat, seperti ada beban yang mengimpit dan sulit dikatakan.

“Mamamu…,” Uli tak melanjutkan kata-katanya.

“Tante, ada apa dengan Mama? Tante, saya memang salah. Saya memvonis Mama bersalah, tanpa mau mendengarkan alasan apa pun. Saat itu, Vi kalut dan bingung. Semua media massa memojokkan saya. Mereka tidak memedulikan kondisi saya sama sekali. Tante, izinkan saya bertemu dan memohon ampun pada Mama,” pinta Vivi.

“Saat ini kesehatan mamamu sudah pulih, meski kadang-kadang Tante sering mendapati ia menangis dan memanggil-manggil namamu. Tapi, akibat kecelakaan itu, kaki kanannya diamputasi. Inilah yang sempat membuatnya depresi. Dan, ia sempat nekat ingin bunuh diri!”

Rumah di Jl. Kakatua 19, Deli Serdang, Medan, terlihat lengang. Sebuah taksi berhenti tepat di depan gerbang berwarna cokelat perak.

“Terima kasih, Pak! Kembaliannya ambil saja!”

“Sebanyak ini?” tanya sopir taksi, kaget. Selama menjadi sopir taksi, ia belum pernah mendapat tip sebesar itu. Penumpangnya mengangguk.

Seorang pria gagah turun dari taksi dan masuk ke rumah itu.

“Mama! Mama!” ia memanggil ibunya dari depan pintu gerbang.

Tak ada tanda-tanda pintu gerbang akan dibuka, ia berteriak lagi. Namun, beberapa menit menunggu, tak juga ada yang muncul. Ia lalu mencoba menghubungi ponsel ibunya. Setelah beberapa kali dering, barulah diangkat.

“Kok, baru diangkat teleponnya, Ma!”

“Hei, Troy. Maaf, Mama agak tidak enak badan. Setelah minum obat baru bisa tidur.”

”Ma, Troy ada di luar. Dari tadi sudah teriak-teriak panggil Mama, tapi tidak ada yang membukakan pintu.”

Mira mengintip jendela ruang tamu. Setelah melihat siapa yang berdiri di balik pagar, ia bergegas menuju pintu gerbang.

“Kok, tidak bilang kalau mau pulang?” kata Mira, sambil menggandeng Troy masuk ke rumah. Ia ambilkan minuman dingin, lalu duduk di sebelah Troy, yang sedang beristirahat di ruang keluarga.

”Kamu sehat, Nak? Waduh… anak Mama makin tampan saja. Hmm… jangan-jangan di sana sudah punya kekasih,” kata Mira.

“Memang sudah!” jawab Troy, mantap. ”Tapi, dia orang Jakarta, kok. Dia cantik dan pintar. Pokoknya, Mama pasti akan bangga punya menantu seperti dia,” kata Troy, bangga.

“Mama jadi penasaran. Ada fotonya nggak?”

“Mama lebih baik langsung berkenalan dengan orangnya. Ia baik sekali. Rencananya, minggu ini saya akan ke Jakarta untuk melamarnya.”

“Hebat, datang-datang memberikan kejutan. Tapi, Mama juga punya kabar gembira untukmu!”

“Kabar gembira? Tanah Mama sudah terjual?” Troy menerka.

“Bukan itu. Ini tentang sakit hati Mama yang sudah sembuh! Perasaan benci, dendam, dan sakit hati Mama pada Henny sudah terbalas.”

“Henny? Henny siapa, Ma?” tanya Troy, bingung.

“Mantan istri Bram, ayah tirimu. Masih ingat?”

“Ya, ingat. Tapi, ada apa dengannya?”

“Kamu ingat nggak, gara-gara dia, mamamu masuk penjara!”

“Tapi, semua itu kan karena ulah Mama juga. Mengapa Mama berencana membunuhnya? Padahal, Om Bram sudah meninggalkannya,” ujar Troy, seakan membela Henny.

“Kamu, kok, malah membela dia! Dengar, ya, Troy, Mama tidak mau ditinggalkan untuk kedua kalinya oleh pria yang Mama cintai. Kamu tentu masih ingat tingkah laku ayahmu. Katanya, ia sudah meninggalkan perempuan selingkuhannya itu. Sampai ia bersumpah untuk tidak mengulangi lagi. Nyatanya, ia masih bersama perempuan itu dan akhirnya lebih memilihnya daripada Mama. Kamu ingat, betapa Mama menderita karena ulahnya!”

Ya, Troy ingat. Masa lalu kembali membayang di pelupuk matanya. Ibunya seperti orang hilang ingatan ketika harus berpisah dari orang yang dicintainya. Ibunya secara tiba-tiba sering menangis, berteriak, tertawa, bahkan memukul-mukul tanpa sebab. Untunglah, adik ibunya dengan cepat membawa ibunya untuk menjalani perawatan.
“Mama tidak ingin Bram kembali lagi padanya!” lanjut Mira berapi-api.

“Tapi, bukankah ketika itu Om Bram mengatakan bahwa ia sudah menceraikan istrinya?”

“Katanya, begitu. Tapi, kenyataannya, setiap kali Mama ingin melihat bukti surat cerainya, ia tidak pernah bisa memberikan. Perasaan takut kehilangan orang yang Mama cintai makin menghantui. Apalagi, Mama dengar, saat itu Henny sedang berbadan dua. Mama tidak mau Bram berpaling dan meninggalkan Mama. Jadi, lebih baik dilenyapkan saja!” suara Mira terdengar ringan, tanpa beban.

“Ha? Dia sedang hamil? Mama benar-benar kejam! Apakah Mama tidak merasa berdosa ikut membunuh janin yang dikandungnya?” tanya Troy, yang tidak pernah mengi­kuti perkembangan kasus ibunya. Karena, pada saat ibunya memutuskan untuk berumah tangga dengan Bram, ia sudah berada di negeri Belanda untuk menuntut ilmu. Keluarga dari pihak ayahnya banyak yang bermukim di sana dan ingin menyekolahkannya.

“Sayangnya, Henny dan anak itu masih diizinkan meng­hirup udara dunia. Tapi, Aron malah mati terbunuh. Itulah yang membuat Mama makin membenci perempuan itu. Karena, sebelum mati, Aron buka mulut bahwa dalang pembunuhan itu adalah Mama. Troy, kamu boleh marah atau protes. Tapi, dendam ini sudah bertahun-tahun Mama pendam. Akhirnya, Mama mendapatkan saat yang tepat untuk membalasnya. Putri Henny sekarang sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan menarik. Kariernya makin berkibar di dunia hiburan. Mama sengaja membeberkan masa lalu ibunya pada media. Hasilnya, karier putrinya itu hancur,” kata Mira, sambil tertawa.

“Ma, Mama sadar atau tidak bahwa perbuatan Mama itu menghancurkan kehidupan mereka. Apa, sih, salah mereka, Ma?” tanya Troy, terheran-heran. Ia tidak menyangka ibunya sanggup melakukan semua itu

“Sangat, sangat sadar, Troy. Mama puas! Mereka semua hancur. Bicara tentang kesalahan, Mama tidak tahu siapa yang salah dalam hal ini. Tapi, gara-gara Henny, harga diri Mama hancur. Coba kamu bayangkan, semua koran memuat berita tentang seorang pengusaha cantik yang masuk penjara. Betapa malunya Mama saat itu. Sekarang, kondisi yang sama pun dirasakan oleh Henny dan anaknya. Media massa menyorot sisi kelam kehidupan Henny. Satu sama, ’kan?” ucap Mira, tersenyum puas.

Troy tidak bisa berkata-kata lagi. Suasana siang itu jadi terasa hampa.

Sore itu langit terlihat sangat gelap.

“Semoga hanya mendung saja!” kata Troy dalam hati. Sudah 2 hari ini hujan terus menguyur Me­dan. Dari pagi hingga esok pagi lagi. Troy menge­masi sejumlah perlengkapan untuk dibawa ke ru­mah sakit. Pakaian bersih, makanan, dan alat-alat mandi untuk ibunya yang kini tergolek lemah di kamar VIP sebuah rumah sakit.

Sudah dua bulan ini Mira menahan rasa sakit. Sesekali terdengar rintihan panjangnya saat sakit datang mendera. Apalagi, saat ia menggerakkan tubuhnya, meski hanya gerakan kecil.

Tiba-tiba saja kondisi tubuhnya melemah. Suatu siang, saat akan beristirahat, perut bagian bawahnya mendadak terasa sakit. Semula, Troy berpikir, sakit maag ibunya kambuh. Karena itu, ia memberikan obat maag. Namun, obat itu ternyata tidak membantu. Malah, sakit ibunya makin menjadi. Jangankan makan, minum pun sulit. Ia hampir tidak bisa menelan makanan apa pun. Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Tubuhnya yang semula segar, kini jadi terlihat sangat kurus. Troy baru diberi tahu bahwa di usus besar ibunya terdapat benjolan besar.

“Siang, Ma!” sapa Troy, sesampainya di kamar tempat Mira berbaring. Dengan penuh rasa sayang diciumnya kening sang ibu. Mira hanya menyunggingkan senyum. Mulutnya malas untuk berbicara.

“Ma, besok kemotrapi lagi, ya!” ujar Troy, mengingatkan.

Mira menggeleng. Sudah 3 kali Mira melakukan kemoterapi. Tapi, ia merasa hasilnya tidak memuaskan. Rasa sakitnya hanya berkurang sedikit.

“Kenapa, Ma? Ini kan untuk kebaikan Mama. Kata dokter, beberapa kali melakukan kemoterapi, bisa membantu pe­nyembuhan. Ayolah, Ma! Katanya Mama ingin ke Jakarta untuk melihat calon menantu. Kalau Mama sudah sehat, kita langsung melamar Vili!” ujar Troy, memberi semangat.

“Troy,” panggil Mira, lemah.

“Ya, Ma!”

“Bisakah kamu membantu Mama?”

“Mama mau jalan? Kata dokter, Mama belum boleh banyak bergerak. Usus Mama kan masih luka.”

“Bukan itu! Mama ingin bertemu dengan Bram dan Henny.”

“Om Bram dan Tante Henny? Nggak salah, Ma?” ujar Troy, terkejut.

Yang ia tahu, selama ini ibunya begitu membenci Bram dan Henny.

“Mama ingin minta maaf. Rasanya, inilah murka Tuhan pada Mama, sehingga Mama mengalami penderitaan ini,” kata Mira, menyesal. Entah mengapa, secara tiba-tiba hatinya tergerak untuk meminta maaf.

“Saya usahakan, ya, Ma! Mudah-mudahan bisa bertemu keduanya,” ucap Troy sungguh-sungguh.

Siang itu cuaca Medan begitu cerah. Seorang pria tua datang tertatih-tatih menggunakan tongkat penyangga. Bibirnya agak miring ke kiri, akibat stroke yang dialami beberapa waktu yang lalu.

“Ma, Om Bram datang!” bisik Troy, di telinga ibunya.

Saat itu Mira sedang tidur. Perlahan ia membuka mata. Samar-samar dipandangnya pria yang pernah hidup bersamanya. Sisa-sisa ketampanan Bram masih terlihat, walaupun rambut putih dan guratan keriput jelas tampak.
“Bram,” panggil Mira, lemah.

“Mira, apa yang terjadi padamu?” tanya Bram, gundah, terlihat sangat prihatin melihat kondisi Mira.

Mira berusaha untuk menyunggingkan senyum. Tapi, rasa sakit itu tiba-tiba kembali datang sehingga Mira merintih lagi.

“Mira,” Bram mengusap tangan Mira untuk memberikan kekuatan. “Sabar, ya!”

Bram tidak tahu harus berbuat apa. Menurut Troy, dokter menyatakan bahwa kondisi Mira sudah sangat parah karena mengalami berbagai komplikasi penyakit. Dokter hanya bisa mengupayakan yang terbaik.

“Bram, maafkan kesalahanku. Aku telah menghancurkanmu dan menghancurkan Henny,” ujar Mira, pelan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu,” ujar Bram.

“Henny di mana?”

Troy dan Bram saling memandang. Keduanya tidak tahu ke mana harus mencari wanita itu. Karena, sejak pergi meninggalkan Henny, Bram tidak pernah lagi menghubunginya dan tidak pernah mengikuti perkembangannya. Ia tidak tahu apakah Henny dalam keadaan sehat atau sakit. Kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap Henny rasanya sulit dimaafkan. Ketika itu, ia merasa begitu membenci Henny. Saat Henny memintanya untuk kembali, ia malah meninggalkannya. Bram tidak tahu, apakah saat itu Mira menggunakan kekuatan magis untuk menguasai dirinya, sehingga ia menurut saja apa yang diminta oleh Mira.

“Diusahakan, ya, Ma!” kata Troy, tidak yakin. Troy sendiri tidak tahu apakah bisa menemukan Henny.

Mira tersenyum. Ia sangat mengharapkan kehadiran wanita itu. Ia ingin sekali minta maaf. Kalaupun umurnya nanti tidak panjang, ia sudah siap, asalkan wanita yang pernah hancurkan, mau memaafkannya. Agar ia tenang saat pulang ke rumah Tuhan.

Memasuki halaman rumah Uli, hati Vivi tidak tenang. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa takut, sekaligus rindu ingin bertemu ibunya. Maukah Mama menjumpai dan memaafkanku? Andaikan Mama mengusirku dan tidak mau bertemu, bagaimana? Menurut Uli, ibunya sering berteriak-teriak memanggil dirinya dan mengatakan semua penderitaannya disebabkan Vivi.

Lalu, bagaimana kondisi Mama sekarang? Masihkah seperti itu? Senang berteriak-teriak? Andaikan ya, Vivi ketakutan juga. Ia masih ragu untuk masuk. Ia tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk kembali menjumpai ibunya. Namun, diketuknya juga pintu rumah Uli. Pelan sekali ia mengetuk. Tidak ada yang membuka pintu. Sekali lagi ia mengetuk pintu. Sekarang lebih keras.

“Siapa?” terdengar suara dari dalam rumah.

“Saya. Vivi.”

“Vivi?” dengan tergopoh-gopoh, Uli yang saat itu sedang menyiapkan makan untuk Henny, berjalan menuju pintu. “Vivi, akhirnya kau datang juga, Nak!” ujar Uli, sambil merangkul keponakannya, yang sudah seperti anaknya sendiri. Tidak terdengar lagi nada suara yang tinggi, seperti yang beberapa waktu lalu didengar oleh Vivi.

“Mama mana, Tante?” tanya Vivi.

Pertanyaan Vivi segera terjawab karena ia melihat ibunya yang menggunakan kursi roda, bergerak mendekatinya.

“Mama!” panggil Vivi. Ia langsung menghambur ke pelukan Henny. Sambil menangis, Vivi lalu bersimpuh di kaki ibunya.

“Ma, maafkan kesalahan saya. Gara-gara saya, Mama jadi menderita!” kata Vivi, penuh penyesalan. Air matanya mengalir deras, membasahi kain sarung yang digunakan Henny.

“Sudah lama Mama memaafkanmu, Nak!” ujar Henny, dengan lembut. Matanya berkaca-kaca. Anaknya yang beberapa saat hilang kini telah kembali. Semangat hidupnya kembali datang. Dulu ia sempat nekat ingin mengakhiri hidup, karena merasa hidupnya sudah tidak berarti. Tetapi, sekarang, Vivi sudah kembali. Mereka sudah saling menemukan.

Vivi lalu mendorong kursi roda ibunya menuju ruang tengah. “Ma, dapat salam dari Troy, calon menantu Mama!” ujar Vivi.

“Troy? Ia sudah kembali? Sudah lama Mama tidak mendengar kabarnya.”

“Troy ada di Medan, Ma. Ibunya kan tinggal di sini. Katanya, ia akan mengunjungi ibunya dulu, baru datang ke Jakarta. Coba saya hubungi dulu, ya. Siapa tahu dia masih di sini,” ujar Vivi, sambil mengambil ponselnya.

“Halo, Troy, kamu ada di mana?”

“Hei, Vi. Aku masih di Medan. Mamaku sedang dirawat di rumah sakit!” suara Troy terdengar sedih.

“Aku juga sedang di Medan. Sakit apa?” tanya Vivi.

“Nanti aku ceritakan. Atau, kamu mau datang menjenguk Mama?” tanya Troy, penuh harap.

“Oh, pasti. Aku akan ke sana.”

Troy lalu memberikan alamat rumah sakit tempat ibunya dirawat.

“Ma, saya mau ke rumah sakit. Membesuk ibunya Troy.”

“Sakit apa?” tanya Henny.

“Entahlah, Troy tidak cerita!”

“Kalau begitu, Mama ikut, supaya bisa sekalian berkenalan!” kata Henny.

“Tante juga!” sahut Uli.

Mereka bertiga pun menuju rumah sakit. Tidak sulit mencari ruangan tempat Mira dirawat. Troy yang sudah mengetahui kedatangan Vivi dan keluarganya, segera menyambut mereka.

“Troy, kenalkan, ini mamaku!” ujar Vivi.

Troy terkesiap. Ia tidak pernah tahu bahwa calon ibu mertuanya berada di kursi roda.

Seakan membaca apa yang ada dalam benak Troy, Vivi menjelaskan, “Mama mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu. Besok saja aku bercerita tentang hal itu,” kata Vivi, berbisik.

“Tante!” Troy mencium tangan Henny. “Mari, masuk!” ajak Troy.

Orang-orang yang kebetulan sedang menjenguk Mira, menatap Vivi. Mereka berbisik-bisik menyebut nama ’Vivi Natali’. Vivi mulai galau. Tapi, ia lebih galau lagi ketika melihat wanita yang sedang terbaring lemah dan pria yang berada di sampingnya. Hatinya ciut. Dunianya terasa gelap. Pikirannya kacau. Mengapa aku harus dihadapkan pada situasi seperti ini? Benarkah ia Mira, wanita yang pernah menghancurkan kariernya? Ia mengenali wajah Mira dari foto yang ditampilkan majalah Wanita, saat wanita itu membuka aibnya.

Vivi tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin berlari, namun tidak mungkin. Apa kata orang nanti. Suasana yang semula tenang pasti akan kacau. Henny juga bingung hendak mengatakan apa. Ibu dan anak itu berpandangan.

Pria itu… tidak! Apakah aku tidak salah lihat? Bukankah itu Tiyo, pria berengsek yang pernah hidup bersamanya, tanpa sebuah ikatan perkawinan? Apa hubungannya dengan Mira? Apakah pria itu masih keluarganya?

Peristiwa masa lalu kembali terbayang di pelupuk mata Vivi. Ia benar-benar muak ketika laki-laki itu memberikan senyuman padanya. Ingin sekali ia melontarkan sumpah serapah pada laki-laki itu. Namun, situasinya tidak memungkinkan. Vivi makin bingung ketika laki-laki tua itu menyapa ibunya.

“Henny.”

“Mama mengenalnya?” tanya Vivi, heran.

Mengapa ibunya mengenal pria itu? Apakah ibunya juga tahu bahwa dirinya dulu dinodai oleh laki-laki itu? Vivi makin tidak tenang. Jantungnya berdebar keras. Henny diam saja. Dipandangnya Uli, yang berada di sampingnya. Wajah Henny dan Uli terlihat tegang. Namun, tak satu pun kata yang terlontar dari bibir mereka. Ada yang tidak beres. Seperti ada rahasia yang disimpan rapat. Vivi berucap dalam hati.

Pikiran Henny juga dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah Troy anak dari Mira dan Bram? Lalu, ia nanti akan menjadi besanku? Tidak, semua ini tidak boleh terjadi. Perkawinan sedarah, walaupun lain ibu, tetap saja tidak boleh.

Yang tak kalah kagetnya atas kejadian ini adalah Mira. Selama ini ia memang menanti kehadiran Henny. Namun, ia tak pernah tahu bahwa calon menantunya adalah Vivi, orang yang kariernya pernah ia hancurkan karena sebuah dendam masa lalu.

“Ma, kenalkan, ini calon istri Troy. Vili namanya,” ujar Troy, bersemangat. Ia tidak tahu tentang gejolak perasaan yang terjadi dalam hati ibunya, Bram, Vivi, Henny, dan juga Uli.

“Vivi?”

“Vili, Ma. Bukan Vivi,” kata Troy, meralat.

“Sama saja. Itu nama kecilku. Singkatan dari Vivi Natali!” ujar Vivi, menjelaskan dengan nada datar.

Orang-orang yang sedang menjenguk tahu diri. Mereka tahu, tak sopan jika mereka mendengarkan perbincangan selanjutnya. Perlahan-lahan mereka menyingkir keluar dari kamar itu.

“Jadi, Mama mengenalnya?” tanya Troy.

“Troy, ini Vivi Natali, anak Tante Henny yang pernah Mama ceritakan. Mama malu sekali,” ujar Mira, tersedak. Tangisnya tertahan. Ia tak sanggup memandang wajah Henny dan Vivi.

“Henny, apakah kamu bersedia memaafkan aku?” kata Mira, pelan.

Henny menarik napas panjang. Dadanya sesak. Dalam benaknya, Mira selalu ia kenang sebagai seorang wanita yang tak punya hati. Ia benar-benar jahat. Kehidupannya hancur, tubuhnya jadi cacat, dan karier putrinya berantakan. Bagaimana mungkin ia bisa memaafkan wanita itu dalam sekejap?

Perasaannya bergejolak, antara ingin berusaha memaafkan dan terus menyimpan kebencian. Henny sempat menyesal, mengapa tadi harus ikut membesuk calon mertua putrinya itu. Andaikan ia berdiam diri saja di rumah, tentunya ia tidak akan segelisah ini.

Henny memandang putrinya. Vivi mengangguk. Tampaknya, ia setuju untuk memaafkan wanita yang saat itu sedang berjuang melawan maut. Mira menahan napas. Jantungnya berdebar kencang, menanti jawaban yang akan diberikan Henny.

“Mira, kami memaafkan semua kesalahanmu. Biarlah ini menjadi sisi kelam kehidupan kita yang harus dilupakan!” ujar Henny, akhirnya, yang disambut Mira dengan senyum.

Sementara itu, Bram yang berdiri di samping Mira, terus diliputi tanda tanya. Jadi, Vivi, yang pernah menjadi istri simpananku itu adalah anak Henny, istrinya terdahulu? Apakah setelah berpisah darinya, Henny menikah lagi dan memiliki anak? Atau, jangan-jangan ia darah dagingku? Tidak, tidak mungkin! Bram menatap wajah Vivi dalam-dalam. Ada kemiripan dengannya. Terutama bentuk hidung dan matanya.

Dari sorot matanya, terlihat jelas Vivi menyimpan amarah yang membara. Ia tidak rela laki-laki itu hadir dalam kehidupannya.

“Siapa laki-laki itu, Ma?” Vivi berbisik pelan. Ia masih penasaran. Mungkin, ia ayah Troy. Tapi, mengapa Troy tidak memperkenalkan padanya sejak awal?

Henny menghela napas panjang. Sudah saatnya ia mengungkapkan siapa ayah kandung Vivi sebenarnya.
“Ia ayah kandungmu. Maafkan Mama karena selama ini telah membohongimu. Mama takut, kamu tidak dapat menerima kenyataan. Namun, rasanya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuka rahasia yang selama bertahun-tahun ditutup rapat.”

“Mama tidak sedang bercanda, ’kan?” Wajah Vivi terlihat tegang. Bagaimana mungkin sosok laki-laki berengsek itu muncul sebagai ayah kandungnya?

“Tidak, Sayang, ia benar-benar ayah kandungmu, yang bertahun-tahun menghilang. Mungkin inilah cara Tuhan mempertemukan kita semua!” kata Uli, ikut menjelaskan.

Vivi ingin berontak dan berlari. Ia tidak bisa menerima laki-laki yang selama ini amat dibencinya sebagai ayahnya. Namun, tak mungkin kebencian itu diperlihatkan pada ibunya ataupun pada Troy. Ia takut, mereka akan tahu betapa kotornya dirinya.

“Jadi, dia anakku, anak kita Henny?” Suara Bram tercekat. Ia telah menghancurkan anaknya sendiri.

“Ya, Vivi anak kandungmu. Ketika kamu meninggalkanku, aku sedang mengandung anakmu. Tapi, kamu tidak pernah peduli padaku. Aku sempat mendekam di penjara dan melahirkan anak kita di sana!”

Hati Bram benar-benar hancur. Lebih hancur lagi ketika Vivi dengan terpaksa mau menjabat tangannya. Ia tahu, hati Vivi pun hancur. Andaikan di situ hanya ada dirinya dan Vivi, ingin sekali ia mengatakan, “Papa rela jika saat ini juga kau membunuh Papa, asalkan kau mau memaafkan Papa!”

Tapi, hal itu tak mungkin diucapkannya. Ia tidak ingin menyakiti perasaan Henny lagi.

“Henny, sebelum aku pergi, aku ingin anak kita dipersatukan dalam ikatan perkawinan!” pinta Mira.

“Bukankah perkawinan sedarah itu tidak boleh? Troy anakmu dari Bram, ’kan?”

Mira menggeleng. Diraihnya tangan Troy dan Vivi. “Troy adalah anakku dari Tony. Aku titipkan mereka padamu, Hen! Dan, aku ingin kau dan Bram kembali bersatu.”

Henny dan Bram saling berpandangan. Mungkinkah benang cinta yang dulu putus bisa kembali menyatu? Seberkas sinar cinta yang dulu redup kini mulai bersinar kembali. Pancaran itu terlihat dari sorot mata Henny ketika memandang Bram.

Henny tertegun. Mungkin, inilah jalan hidup yang harus ia lalui. Kembali mendapatkan cinta saat usianya sudah senja. Kebahagiaan yang luar biasa pun dirasakan oleh Uli.

Hanya Vivi yang hatinya terkoyak. Andaikan laki-laki itu tidak menghancurkannya, mungkin ia bisa menerima kehadirannya sebagai ayah dan ia rela memanggilnya dengan sebutan ’Ayah’. Vivi ingin berteriak. Ia ingin memaki, tapi tak sanggup. Ia ingin membunuh laki-laki itu, tapi tak bisa. Ia ingin menghancurkan laki-laki itu, tapi ia tak berdaya.

Ia hanya kuat menahan semua beban hidup ini karena satu alasan: ibunya. Ia tak mungkin merampas kebahagiaan sang bunda, dengan membeberkan cerita masa lalunya yang kelam. Tapi, ia tak ingin dihantui perasaan bersalah terus-menerus. Ia memantapkan hati untuk mengambil Thalia, bidadari kecilnya, dari panti asuhan.

Entah cerita apa yang akan dikarangnya tentang gadis kecil itu, agar Troy dan ibunya tak mengetahui cerita sebenarnya. Itu akan jadi rahasia hidupnya yang baru, yang tak pernah akan ia ungkapkan kepada siapa pun.

No comments: