12.22.2010

Rahasia-Rahasia

Hari Kedua
Andari kehilangan sebuah dengkur. Selama delapan belas tahun dengkur itu tak hanya menjadi irama pengantar tidur, namun juga pertanda denyut hidupnya yang teratur. Dela­pan belas tahun Andari mengawali ritual istirahat malamnya dengan memilih gaun tidur, sikat gigi, membersihkan wajah, memakai krim malam, memasang rol kain kecil-kecil di rambut, mengatur nyala lampu temaram, lalu menggumam selamat malam seperti menukar tutur. Basa-basi seperlunya saja. Beku, seperti rangka tempat tidur cokelatnya yang berpelitur. Tak ada cium, apalagi tatap menghujam bola mata yang dulu begitu menghibur. Tak sempat bertukar kata-kata pelipur, apalagi bisik-bisik mesra yang membuat malam lebur.

Sepuluh tahun ini, hanya punggung Andari dan Bekti yang bertatapan. Tak bersinggungan, hanya bersisian semalaman. Seperti saling paham, memendam gelisah dalam diam. Tak ada sapa, tak ada tanya. Buat apa bicara, bisik Andari dalam hati, kalau hanya bikin ribut.

Namun, dua hari ini Andari uring-uringan. Tak ada dengkur yang mengalahkan dering alarm, ketika matahari menembus tirai kamar. Tidurnya gelisah, karena tempat tidur terasa begitu lapang. Ini sudah keterlaluan. Bekti menghilang seperti ditelan udara berpolutan. Tak seorang pun melihat dia berkeliaran. Di rumah ini atau di luar sana, dia tak ada. Tak mungkin dia pergi menembus kegelapan seperti setan. Tanpa telepon genggam, tanpa tas, juga pakaian cadangan. Ruang kerjanya seperti tak tersentuh, rapi, tak berantakan.

Andari ingat kapan terakhir kali didengarnya dengkur itu. Malam itu saat memakai pelembap, dia teringat jadwalnya bermanikur. Ditandainya agenda, seperti merapikan deret kegiatannya yang teratur. Lalu, dirapikannya celana Bekti yang tergeletak sekenanya, sambil menyesali mengapa dia tak pernah bisa melepaskan diri dari pria yang sama.

Di kamar mandi obat kumur-kumur selalu terbuka, dan handuk tak pernah tertata rapi di tempatnya. Tetek-bengek kecil ini menodai hidupnya yang tertata, seperti bunyi dengkur mengusik mimpi indahnya. Terkadang, dia ingin pria itu pergi diam-diam saja, seperti bulan yang beranjak, saat dia belum terjaga. Tapi, sungguh, itu hanya harapan pura-pura. Dia tak pernah membayangkan ini akan terjadi juga. Dia ingin dengkur itu tetap di sana, meskipun tak ingin direngkuhnya.

Pagi kemarin, Andari merasa aneh saat terjaga. Ada yang hilang. Ternyata, dengkur itu sudah menjadi musik latar kehidupannya yang tertata.

“Masa, sih, kamu nggak lihat apa-apa, Min?”

“Betul, Bu. Saya kan jaga semalaman.”

“Jaga atau jaga? Bagaimana saya tahu kalau kamu jaga? Buktinya, Bapak keluar, kamu meleng juga.”

“Itulah yang saya heran. Kok, bisa, ya, Bu?”

“Kok, malah nanya saya? Katanya, kamu satpam profesional?”

Andari meninggalkan Samin yang termangu.

“Kamu terus terang saja sama saya, Rud!”

“Sungguh, saya nggak tahu apa-apa, Bu.”

“Saya tahu sesuatu yang kamu nggak tahu,” Andari nyaris berbisik. Diperhatikannya pemuda tanggung berambut ikal itu. Tangannya meremas-remas lap mobil yang kering dan kuyu. Andari tahu, pasti ada sesuatu yang membuat mu­kanya sepagi ini tampak layu.

“Terus-terang saja. Apa, sih, yang mau kamu sembunyikan dari saya? Toh, saya sudah tahu.”

“Maksud Ibu?”

“Kamu masih suka antar Bapak ke rumah wanita itu, ‘kan?”

“Siapa, Bu?”

“Ah, kamu masih pura-pura nggak tahu. Pasti kamu antar Bapak ke sana kemarin malam.”

“Saya tidur sepanjang malam. Nggak kelayapan. Sumpah, Bu.”

“Sumpah, sumpah! Antar saya ke rumah wanita itu nanti siang.”

“Siapa, Bu?”

“Berapa, sih, Bapak kasih kamu? Sa­ya bisa kasih kamu lebih, tahu?”

“Ah, saya betul-betul nggak tahu siapa yang Ibu maksud....”

“Ah, kamu...!”

Andari menghampiri meja makan dengan tergesa. Semua persekongkolan ini tak biasa. Selama ini, tak ada yang tersembunyi dari matanya. Tak ada yang cela, karena semua tertata. Bahwa suaminya mudah tergoda oleh wanita, bukankah semua pria itu sama? Wajar kalau itu cuma hiburan sesekali saja. Namun, menghilang tanpa jejak selama dua hari itu keterlaluan. Ini insiden yang bisa menoreh cacat, lalu mengusik karier politik dan rumah tangganya yang rapi, seperti deret kalender di buku agenda.

Andari mengunyah sarapannya. Roti bakarnya terlalu kering. Jus seledri menyentuh lidahnya dengan rasa manis yang tak biasa. Mengapa pagi ini tak sempurna? Mengapa sulit sekali meminta orang lain untuk bekerja sebaik dia?

“Miii...!”

Sosok wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh.

“Kenapa jus seledri ini diberi gula? Kenapa, sih, kamu selalu lupa?”

Mimi mengambil gelas itu tergesa. Andari mengelap serpihan roti di bibirnya yang bersepuh jingga menyala. Pagi masih muda, dan rasa laparnya lenyap seketika. Kali ini siapa? Lidya, Lisa, atau Myrna? Satu demi satu perselingkuhan Bekti diendusnya, tanpa gonjang-ganjing, tanpa prahara, seperti memunguti pakaian Bekti yang berceceran di kamarnya. Dia paham sepenuhnya bahwa pria seperti suaminya butuh cinta yang masih membara. Sesuatu yang tak dia punya.

“Aku tidak peduli kamu tidur dengan siapa, Mas. Asal jangan mengusik ketenangan rumah tangga, perusahaan, dan rencana karier kita,” katanya.

Andari menatap rumpun melati yang rimbun di luar sana. Sesungguhnya, dia ingin istirahat dari mengurusi seorang pria. Dia ingin menepi dari tetek-bengek rumah tangga, lalu mengabdi untuk dirinya sendiri. Dibukanya agenda bersampul merah hati. Hari ini dia harus membuka rapat direksi, lalu menyusul rapat dengan yayasan sosial yang mengurusi puluhan anak yatim yang ia santuni. Sore nanti, dia harus rapat dengan tim sukses untuk membahas rencana kampanyenya nanti. Dengan jadwal serapi ini, bagaimana dia mesti menyisihkan waktu untuk memikirkan seorang pria yang pergi untuk mencari hiburan sendiri?

Tangan Andari menekan-nekan tombol di telepon genggam. Sari, bisa ketemu saya lebih pagi? Saya tunggu di ruangan jam setengah delapan, ya.

Andari beranjak, merapikan blazer jingganya, sewarna bibirnya. Dulu dia selalu memulai pagi dengan bertanya pada Bekti, “Hari ini kamu ingin aku pakai baju apa?” Bekti suka warna lembut, biru langit atau cokelat tanah yang menenteramkan hati. Kini, tanya itu menjelma menjadi basa-basi konyol yang tak perlu.

Andari melirik jam tangan mewah yang melingkar di tangannya. Setengah tujuh. Dena sudah pergi ke sekolah, dan mungkin Kiran sudah pergi ke kampusnya sejak tadi. Aneh. Anak itu selalu saja pergi pagi-pagi belakangan ini. Andari memeriksa tas tangannya untuk terakhir kali. Tak ada waktu untuk berbasa-basi. Rudi menanti, asap rokoknya menari-nari. Mobil sudah dipanaskan sedari tadi. Andari teringat ucapannya pagi tadi. Apakah dia akan menyuruh Rudi untuk mengantarkannya ke rumah wanita itu siang nanti?

Ah, persetan dengan semua ini. Dia masih punya harga diri. Toh, Bekti hanya sesaat pergi. Mungkin, dia hanya jenuh dengan semua ini, seperti dirinya yang ingin menepi. Tak akan lama lagi. Dua puluh tahun dia mengenal Bekti. Suaminya itu akan tahu ke mana dia harus kembali.

“Ibu ingin saya lapor polisi? Sudah dua kali dua puluh empat jam Bapak pergi,” Sari tak mengangkat wajahnya dari buku catatan.

“Oh, tidak perlu. Pak Bekti memang suka begitu. Besok atau lusa pasti dia kembali.” Andari menyembunyikan wajahnya. Dengan gejolak hati seperti itu, sulit rasanya tampil pura-pura.

“Lalu, apa yang harus saya katakan di rapat direksi?”

“Bilang saja, Pak Bekti pergi ke luar kota, urusan mendadak.”

Andari menatap Sari yang tampak ragu.

“Jangan sampai media tahu.” Andari seperti tak mengenali suara itu, desis yang ambigu, tercekat di kerongkongannya yang terasa beku.

Sari hanya mengangguk.

“Wawancara dengan majalah itu?”

“Lima hari lagi, ‘kan?” Andari melirik kalender mejanya. Sebuah majalah wanita telah menganugerahinya predikat ‘The Woman of the Year’. Tak hanya itu, fotonya akan terpajang di sampul edisi tahunan. Foto keluarga. Ya, potret keluarga yang sesungguhnya; harmonis, romantis, akrab, berprestasi, terpandang, dengan senyum-senyum yang ramah tak berdusta.

Andari tersentak dari lamunannya. Sari menghilang di balik pintu yang tertutup tanpa suara. “Lima hari lagi, ‘kan?” Gumamnya. Ditandainya kalender dengan tinta merah. Lima hari lagi semua akan kembali seperti semula. Mereka akan berpose bersama, memasang topeng pura-pura, lalu tersenyum di depan kamera. Klik. Seluruh Indonesia akan menjadi saksi kemesraan mereka. Lihatlah, istri politisi kawakan, kandidat wali kota. Suaminya pengusaha ternama. Keluarga dermawan. Anak-anaknya cantik dan tampan. Tak hanya keluarga yang mereka tumbuhkan, namun perusahaan atas nama bersama, juga kasih sayang. Betapa beruntungnya.

“Apa rahasia sukses karier Ibu?” Andari menggambar sosok jurnalis majalah wanita itu di benaknya. Jawabnya, tentu saja keluarga. “Keluarga saya adalah suporter saya. Mereka tim sukses saya, pendukung yang tak meminta imbalan politik apa-apa.” Lalu, suaminya akan menghadiahinya kecupan di kening. Cup. I love you. Klik. Kamera akan mengabadikan cium mesra itu. Tawa spontan dan tatap mesra, basa-basi sesaat. Hanya menyapa, tak bersentuhan. Seperti punggung mereka setiap malam.

“Lima hari lagi,” gumamnya. Telepon genggam Bekti tergeletak di depannya. Oh, dia tak akan lupa. Bekti selalu menghargai janji dengan media. Dua puluh tahun, Andari tahu Bekti akan kembali pada saatnya. Bekti akan memenuhi janjinya.

Hari Ketiga
Andari melihat sekeliling, lalu mengetuk pintu apartemen itu ragu-ragu. Setelah seminggu berlalu, apakah dia marah? Andari memandang gagang pintu bergerak, terkesiap. Seraut wajah menyembul di celah pintu. Andari mendorong daun pintu tergesa. Degup di dadanya reda. Sepasang tangan kekar merengkuhnya. Andari luluh. Dibenamkannya wajahnya di dada bidang berkaus putih itu. Sejenak, dia mencium sesuatu.

“Kamu belum mandi, ya?” katanya, setengah merajuk. Dilepaskannya tubuhnya dari rengkuhan pria itu.

“Aku kangen. Sibuk mikirin kamu. Mana sempat aku mandi?”

Andari tertawa. “Gombal!” Dadanya bergemuruh lagi. Itu yang disukainya dari pria ini. Bagi Andari, dia ombak. Kata-katanya melenakan, lalu memabukkan. Menghujam, lalu mengempas. Tak ada yang terduga, semuanya tiba-tiba. Tak pernah membosankan. Tidur pria ini pun tak mendengkur. Napasnya naik-turun, berima seperti puisi. Tak seperti Bekti.

“Ke mana saja, sih, seminggu ini? Aku tunggu-tunggu teleponmu setiap hari. Hampir saja aku nekat menelepon kamu.” Pria itu memeluk pinggang Andari dari belakang, saat mereka berjalan menuju pantry.

“Kenapa? Bekti berulah lagi?”

“Dia pergi.” Andari mengeluarkan minuman dari kulkas.

“Pergi?”

“Ya. Menghilang, Tidak bilang-bilang.”

“Lalu?”

“Lalu? Aku bingung. Dia tidak biasanya begini.”

“Ah, paling-paling dia pergi dengan wanita itu lagi.”

“Sudah tiga hari.”

“Hmm, enak, dong. Kamu seharusnya senang. Aku nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi.”

Pria itu menciumi lehernya. Andari melepaskan tubuh darinya. Sejenak, matanya tertumbuk pada lukisan kanvas setengah jadi. Sosok wanita berkebaya ungu muda, namun kain batiknya belum berwarna. Andari tahu, wajah wanita itu seharusnya anggun. Namun, di tangan pria itu, senyumnya tampak genit.

“Itu aku?” Andari mendekatinya.

Pria itu tertawa. “Kamu suka?”

“Gila kamu.”

“Kenapa?”

“Kamu akan pajang ini di pameranmu nanti?”

“Kamu suka? Ini masterpiece-ku.”

“Kamu gila, Lex.”

“Kenapa? Takut tercium media?”

“Gila kamu.” Andari mendorong pria itu pelan, menyembunyikan senyum di wajahnya. “Kita tak bisa begini. Kamu tahu, media kita seperti apa. Mereka bisa saja mengarang cerita tentang kita.”

“Ah, santai aja. Tidak akan ada yang berprasangka. Semua orang tahu, kamu penyandang dana pameran ini.”
Andari berjalan menjauh. Lantai yang diinjaknya seperti bergoyang. Lukisan dirinya itu seperti tak tersenyum, tetapi menyeringai menakutkan.

“Jangan, Lex. Please... kamu tidak serius, ‘kan? Jangan mengacaukan kampanye ini. Kamu tahu apa artinya ini buatku.”

“Ah....”

“Kamu tidak paham politik, Lex....”

“Kamu yang terlalu serius. Sini, aku bikin kamu relaks....”

Andari membiarkan pria itu merengkuhnya. Mereka bertatapan, merasakan bola mata yang seperti terbakar, dirajam rindu yang menghujam.

Andari melirik kaca spion mobil sembunyi-sembunyi. Di balik kacamata hitam, binar matanya terlindung dari tatap sopir taksi. Mengapa selalu begini, sensasi ini tak pernah ia mengerti. Sewaktu kecil dulu, dia selalu ingin diizinkan naik roller coaster. Namun, papanya melarangnya dengan tatapan ngeri.

“Buat apa kita berlibur jauh-jauh ke Orlando, kalau Andari nggak boleh naik itu, Pa?” pintanya. Matanya penuh harap.

“Ini negeri orang, dan kita cuma ingin senang-senang. Papa nggak mau kamu luka. Kalau ada apa-apa, bagaimana?”

Andari menyelinap di kerumunan orang yang berpotret bersama Mickey, selagi mama-papanya sibuk menenangkan Andi yang menangis ingin naik merry-go-round berkali-kali. Andari duduk di roller coaster, tersenyum-senyum sendiri. Namun, sungguh, saat roller coaster itu meluncur, rasanya ia ingin mati oleh ketakutannya sendiri. Bagaimana kalau ia benar-benar mati?

Andari menjerit. Dilepaskannya ketegangannya. Saat orang-orang terpekik kegirangan, Andari menangis kecil. Dia ingin melompat, tapi tubuhnya terikat. Betapa aneh. Saat roller coaster berhenti, Andari tak ingin beranjak. Dia merindukan sensasi itu lagi; ketakutan, kengerian, nikmat menggelitik hingga tubuhnya meregang. Dia ingin naik roller coaster lagi, lagi, dan lagi.

Mungkin, karena itu Alex tak membuatnya jera. Hanya dia yang bisa membuatnya menjerit. Nikmat, sebab lelah terhambur dari kerongkongannya yang tersumbat. Meskipun, itu tak lama. Setelah jerit reda, Andari terempas. Sesal dan ketakutan menelannya hingga lumat.

“Aku benci... aku benci perasaan bersalah ini,” sedu Andari, di dada Alex. Alex membungkus tubuhnya dengan seprai putih, lalu membelai rambutnya yang tak lagi rapi.

“Tapi, aku ketagihan.”

Alex mengecup kening Andari.

“Kamu pikir aku tidak tersiksa? Aku capek begini, pacaran sembunyi-sembunyi, menulis banyak puisi tentang kamu, tapi ingin ketemu kamu susah setengah mati.”

Andari mengembuskan napas, berat. Di balik kaca taksi yang gelap, lalu lintas di luar tampak padat, seperti dadanya yang tercekat. Orang-orang selalu keluar gedung pada saat yang sama, lalu menyesaki jalan dengan euforia. Penat tertumpah di kios pinggir jalan hingga restoran berpendingin. Seperti dirinya saat ini. Andari mengusap peluh di dahi. Mengapa taksi berpendingin ini pengap sekali?

Andari mengerling ke kaca spion lagi. Dibenahinya kacamata hitamnya. Dari baliknya dia bisa mengerling, mereka-reka apakah sopir taksi ini mengenali wajahnya yang sering tampil di layar kaca. Dipandangnya jalanan, kemacetan yang tak juga beranjak tua. Sedangkan tahun ini usianya menginjak empat puluh lima. Namun, tubuh dan wajahnya, menurutnya, masih pantas berumur tiga puluh lima. Tak tampak di tubuhnya, sisa kepenatan seorang ibu beranak dua. Kulitnya kencang dan langsat berkat perawatan rutin dan luluran. Perutnya seperti perawan, tanpa selulit dan guratan, mulus oleh operasi kecantikan. Tubuhnya ramping terjaga, tertata seperti kehidupannya. Masih pantas bersanding dengan Alex yang masih tiga puluh dua.

“Lex, peluk aku. Aku kedinginan,” katanya. “Mungkin kamu betul, aku paranoid. Tapi, rasanya aku belum siap menghadapi pemilihan ini. Bagaimana kalau aku gagal?”

“Kenapa, sih, kamu takut setengah mati? Aku gagal berkali-kali, dan nggak pernah peduli.”

“Ini kan panggung politik, bukan pementasan seni!”

“Apa bedanya?”

Andari meraba rambutnya yang belum kering sempurna. Dia dan Alex jauh berbeda. Alex adalah ombak tak terduga, dan dia adalah karang yang tertata indah terencana. Alex meletup-letup dan dia menerima. Dia merasa utuh, karena ombak itu mengisi rongga yang selama ini menganga. Andari meraba bibirnya yang tadi dipoles tergesa. Apakah dia belahan jiwa? Mengapa bukan Bekti saja? Dia, yang menurunkan benih anak-anaknya?

“Kita tak bisa terus begini. Paling tidak, sampai beberapa bulan.”

“Kamu paranoid lagi.”

“Terserah mau bilang apa. Aku tidak mau ceroboh. Ini demi kita.”

Alex tertawa. Asap rokok melingkar terembus dari mulutnya.

“Demi kamu kali?”

“Lex, fotoku sudah dipajang di mana-mana. Dari koran sampai ke papan reklame di pinggir jalan sana. Tidak mungkin lagi aku kelayapan ke sini, menyamar jadi karyawati.”

“Iya, Bu Kandidat Wali Kota. Aku kan cuma pengamen jalanan yang menadahkan kaleng di perempatan....”

“Ah, kamu...!”

Andari melirik jam tangannya. Pukul satu tiga puluh lima.

Mengapa Alex dan bukan Bekti? Memang, dulu Bekti adalah pilihannya sendiri. Dia mati-matian meyakinkan orang tuanya bah-wa Bekti adalah pria yang dinanti. Dia mengayomi, melindungi, mengasihi sepenuh hati, dan berpendidikan tinggi. Meskipun ia tahu Andari dibesarkan dalam kelimpahan materi, Bekti bukan tipe pria yang suka mencari muka di depan calon istri. Dia bekerja keras membiayai kuliahnya sendiri. Dari tukang koran hingga kuli, semua dilakoninya dengan percaya diri.

Di matanya, Andari melihat pijakan yang kokoh, tempatnya bisa menambatkan hati. Bahkan, ketekunannya meluluhkan hati papa Andari. Tak ada cela pada diri Bekti, tak ada sama sekali. Andari hanya ingin naik roller coaster sesekali. Berdebar sesaat sebelum diisap rutini­tas lagi. Bekti tak ubahnya seperti agenda merah hati. Setia, namun terlalu berbakti. Rapi, tak ada kejutan sama sekali. Namun, Andari tak mau kehilangan agenda merah hati. Dia tak bisa hidup tanpa Bekti. Pria itu telah membuat hidupnya rapi. Alex hanya aksesori.

Taksi memasuki pelataran gedung, membuyarkan lamunan Andari.

“Langsung ke parkiran belakang, Pak,” katanya, cepat, teringat rapat yang akan dipimpinnya nanti. Halaman parkir sepi, saat Andari menapakkan kaki. Sambil melangkah cepat, dirapikannya rambut sebahunya yang bersepuh warna tembaga. Sampai kapan dia akan bertahan di roller coaster ini?

“Rud?” Pria yang tertidur di bawah pohon itu tergagap.

“Sudah, Bu?”

“Kamu sudah makan?”

Rudi mengangguk. Andari mengamati wajah pemuda yang sudah sepuluh tahun bekerja untuknya. Wajahnya pucat yang tak biasa (mungkin, hanya dia yang pura-pura tak terjadi apa-apa).

Andari memasuki mobilnya yang wangi. Digigitnya bibirnya sendiri. Di sini, semuanya terkendali. Tak ada yang menyangka dia pergi naik taksi, mengunjungi sebuah apartemen dua kilometer dari sini. Mereka hanya tahu dia rapat dengan Yayasan Melati, di lantai dua gedung mewah ini.

Mobil melaju pelan. Rudi tampak lebih pendiam. Andari meliriknya, merasa bersalah sudah tiga hari menginterogasinya.

“Sudah terima kabar dari Bapak, Rud?”

“Belum, Bu.”

Andari melayangkan matanya ke luar jendela. Kemacetan di luar masih tetap sama. Ya, ya. Dia tahu ini rumah tangga sandiwara. Bekti lebih banyak menghubungi Rudi ketimbang dia, istrinya.

Andari terkesiap saat telepon genggamnya berbunyi. Selalu begitu selama tiga hari. Namun, kali ini dari Dena, bukan Bekti yang dinanti-nanti.

“Ma?”

“Ya?”

“Dia nggak akan ikut. Boleh nggak Nana pergi besok?”

“Dena....”

“Ayolah, Ma. Mama tahu Nana sudah lama latihan untuk pendakian ini.”

Andari menarik napas. Kenapa gadisnya ini tak seperti abangnya, Kiran, yang penurut dan pendiam?

“Mama kan sudah bilang, ini bukan cuma tentang Tonny. Waktunya tidak tepat. Kamu tahu, dua hari lagi....”

“Pemotretan di majalah itu lebih penting, ya, daripada Nana?”

“Ini kan potret keluarga.”

“Iya, sih, tapi, apa tak ada yang lebih penting daripada kampanye Mama?”

“Na....”

“Kenapa Mama nggak terus terang saja sama wartawan?”

“Kamu ngomong apa, sih, Na?”

“Bilang saja Mama nggak didukung oleh keluarga. Nana nggak suka Mama mencalonkan diri jadi wali kota. Papa juga. Karena itu Papa pergi. Lalu, Mama terlalu takut untuk lapor polisi. Mama takut ketahuan wartawan, lalu karier Mama berantakan.”

“Na, nanti malam kita bicara, ya? Kamu mau dibawain apa?”

“Nggak usah. Nanti Nana kelaparan nungguin Mama pulang. Nana mau makan sama teman-teman.”

“Dena....”

“Nana bosan di rumah. Nana capek pura-pura!”

Klik.

Andari menggigit bibir. Dipergokinya Rudi sedang melirik dari kaca spion.

Oh, tentu saja itu tak benar. Bekti mendukung apa pun yang dilakukannya. Tepatnya, dia tak pernah punya waktu untuk memberi saran, apalagi mengkritiknya. Bekti tahu kehidupan mereka tak pernah bisa bersentuh, meskipun mereka selalu bersama.

Andari mengusap matanya yang basah. Bekti, Bekti. Tak ada yang bisa berbicara dengan Dena seakrab dia. Dena anak Papa. Sejak lahir, Bekti lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya. Bekti selalu menemukan cara untuk membujuknya. Dipandangnya potret Dena di dompetnya. Cemburu mencubit perih dadanya. Dena menganggap Bekti sahabatnya, sedangkan dia tak bisa menemukan damai pada sosoknya, selama delapan belas tahun mereka bersama. Aku bukan sahabat siapa-siapa. Bahkan, anak gadisku menganggap aku seterunya.

“Kamu masih kelas dua SMA, Na. Banyak anak laki-laki di luar sana. Apa, sih, istimewanya anak band yang kuliahnya bahkan tidak selesai?”

Setiap kali mendengar cerita tentang Dena dan pacarnya, Alex tertawa hingga bahunya terguncang.

“Memangnya, kamu pikir aku siapa, Yang?”

“Jangan samakan aku dengan Dena!”

“Kamu yang mirip Dena, tidak tahan rayuan puitis pria romantis!”

Andari tercenung. Sanggahan Alex tak berani dibantahnya. Tentu saja itu benar. Biar bagaimanapun, dia dan Dena tak sama. Andari tahu, kapan saat naik roller coaster dan menata hidupnya lagi. Dia tahu, kapan bekerja keras dan menghibur diri. Sedangkan dunia Dena adalah taman bermain tanpa batas. Dunia di luarnya tak tampak sama sekali.

Mas Bekti, aku cuma bermain roller coaster sesekali, lalu menepi. Apakah kamu juga sedang bermain roller coaster saat ini? Menepilah kemari. Aku memang bukan tempat singgah yang kau inginkan. Namun, di sini Dena menanti....

Andari memulas bedak di wajahnya. Hari ini bibirnya sewarna mawar merona. Disisirnya rambutnya, saat mobil memasuki pelataran gedung bertingkat dua puluh dua. Satpam membukakan pintu mobil, menghormat, dan mengucapkan selamat siang.

Semua berjalan seperti biasa, layaknya dia yang ingin lupa bahwa Bekti sedang tak ada di sana, di lantai tiga. Bukankah ini tak akan lama? Bekti akan kembali dan menyapanya. Seperti biasa, saat dia baru kembali dari luar kota. Bekti akan menepati janjinya. Tak mungkin dia meninggalkan Dena begitu saja.

Bekti
Mungkin, aku yang terlalu bodoh. Mungkin, aku memang tak romantis. Tak seharusnya aku bengong di sini sendiri, ditemani seonggok tubuh tersangkut eceng gondok di kali, yang makin menggelembung saja setiap hari.

Aku bahkan tak tahu hari apa ini. Orang-orang datang, mengamati tubuh itu diam-diam, lalu pergi, sambil berbisik-bisik. Aneh, tak ada yang kukenal. Tempat ini seperti pinggir jalan sepi, tapi tak berpolusi. Orang-orang hanya lalu-lalang, tanpa saling memerhatikan. Sunyi, tanpa ingar-bingar kendaraan. Seperti mimpi, tapi terlalu nyata. Seperti realitas jalan raya, hanya tanpa debu, kotoran, dan keributan sia-sia.

Tunggu dulu. Kenapa aku jadi seperti mengidap amnesia tiba-tiba? Aku ada di mana, dan apakah aku nyata? Aku dan tubuh telanjang dada itu seperti terpisah selaput membran tembus pandang. Siapa yang lebih nyata? Aku atau jasad membusuk yang meng­hitam oleh luka itu?

Sebenarnya, aku hanya ingin jalan-jalan sebentar. Malam itu, kuminta Rudi mengantarku ke perempatan jalan besar.

“Ke mana, Pak?” Rudi memandangku heran.

“Entahlah, Rud. Aneh, sudah beberapa hari aku tidak bisa tidur. Setelah tengah malam pasti terbangun.”

Sejujurnya, aku kerap terbangun oleh mimpiku yang aneh. Aku berjalan di antara orang-orang, seperti terseret arus yang mengerikan. Jalanan riuh, tapi seperti mati, tanpa suara apa-apa, mirip seperti tempat ini. Aneh. Siapa sangka aku akan terperangkap mimpiku sendiri saat ini, tak bisa kembali?

“Bapak mau ke mana sekarang?”

Malam itu, mobil-mobil sudah mulai menepi. Hanya satu-dua mobil berisi anak muda, melintas cepat, sambil menumpahi jalan dengan lagu yang memekakkan telinga. Aku melihat sekeliling. Satu supermarket masih buka. Beberapa taksi mangkal di depannya.

“Turunkan aku di depan supermarket itu saja.”

Aku tak mau jatuh tertidur lagi. Aku tak mau dihampiri mimpi aneh itu lagi. Aku tidak mau terperangkap mimpi dan tak bisa kembali.

“Nanti Bapak bagaimana pulangnya?”

“Aku akan pulang sebelum pagi, naik taksi. Suruh Samin siap-siap di gerbang sekitar jam empat pagi. Tapi, kamu janji....”

Rudi menatapku. Matanya memerah, entah karena kantuk, atau ketakutan dan kebingungan.

“Janji... apa pun yang terjadi, jangan bilang pada Bu Andari.”

“Baik, Pak. Nanti saya bilang pada Samin juga.”

“Bagus...!” Kutepuk pundaknya.

Rudi sudah terbiasa menuruti perintahku tanpa bertanya. Ah, Rudi yang setia. Biar bagaimanapun, aku tak bisa memercayainya. Bukan hanya sekali atau dua kali Andari menginterogasi Rudi. Karena itu, aku memilih pergi naik taksi, agar dia tak tertekan dan bimbang hati. Hanya aku yang bisa memegang rahasiaku sendiri.

Pintu mobil kututup, tapi cepat kubuka lagi. Entah kenapa, lalu aku ingin masuk mobil lagi.

“Rud...!”

Aku melompat ke dalam. “Terus jalan!”

Rudi menyetir mobil dengan bimbang. Aku tahu, benaknya menyimpan banyak pertanyaan. Sesungguhnya, aku gelisah. Malam itu aku tak punya tujuan. Tiba-tiba aku teringat Lidya, Lisa, Myrna, mereka yang berasal dari lembaran lama. Myrna pernah menggugurkan benihku yang dikandungnya. Kukatakan kepadanya, aku tak bermaksud merusak masa depannya. Kusekolahkan dia di Amerika. Menurut kabar yang kuterima, dia sudah lulus dan akan menikah dengan seorang pemuda di sana.

Lalu, Lidya. Dia mengundurkan diri dari kantorku beberapa bulan lalu. Aku sungguh menyayanginya, tapi aku tak bisa memberikan kepastian apa-apa selain cinta. Aku tak bisa menikahi wanita lain. Aku tak bisa membelah rumah-tanggaku jadi dua. Andari tak mengizinkan aku mengubah segala sesuatu yang sudah tertata.

Lisa kecewa, lalu memilih pindah ke luar kota. Katakan padaku, apakah aku rusak, pria hidung belang yang hanya ingin bersenang-senang dengan wanita mana pun? Lidya, Lisa, Myrna adalah wanita berpendidikan yang mencintaiku dengan sepenuh rasa. Mereka tak peduli jumlah perusahaan, reputasi, popularitas, dan kemapanan. Aku tak pernah menjanjikan materi, janji-janji, atau puisi gombal. Apakah aku suami kesepian?

Andari bilang, aku terlalu mudah menebar cinta. Aku ingin bilang bahwa aku hanya membagi kasih sayang. Tak semua wanita seberuntung dia. Mapan, pintar, sukses, dan berlimpah kasih sayang. Tentu saja dia tak percaya. Baginya, aku sudah mengkhianatinya. Tak dibiarkannya aku menyentuhnya. Katanya, “Aku tidak mau tertular. Siapa tahu wanita yang kamu tiduri itu menderita suatu penyakit.”

Andari... Andari.... Sesungguhnya, aku tak yakin bahwa dia adalah wanita paling suci. Tetapi, aku tak pernah punya bukti.

Mobil terus melaju mengukur jalan sepi. Aku masih tak tahu ke mana harus pergi. Lalu, aku teringat Lisa. Sedang apa dia? Tempo hari aku melihatnya di televisi, menyanyi. Kariernya makin mapan. Dia akan menjadi penyanyi terkenal. Aku tak pernah lagi mengganggunya.

Wanita-wanita itu pasti sudah tumbuh dewasa. Mereka bukan lagi gadis ingusan tanpa tujuan, yang sebentar-sebentar bertanya, “Bagaimana menurut Pak Bekti?”

Sungguh, seandainya saja Andari tahu bahwa aku hanya mengayomi gadis-gadis itu, mengukuhkan mereka sesaat, lalu membukakan jalan. Mereka bukan boneka ego kejantananku. Aku tak pernah bermain-main dengan hidup. Aku tak pernah mempermainkan wanita. Aku hanya ingin memberi. Mengasihi sesekali, untuk meneguhkan diriku sendiri. Andari terlalu mumpuni untuk kuberi. Dia bahkan tak membutuhkan apa-apa lagi dari diriku.

“Pak...? Sudah setengah dua malam,” tegur Rudi.

Aku mengembuskan napas.

“Terserah kamulah, Rud. Pergilah ke mana saja, asal jangan pulang.”

Rudi memperlambat laju mobil, dan tiba-tiba matanya yang memerah itu menggangguku. Kasihan Rudi.

“Turunkan aku di depan hotel itu, Rud.”

Rudi tak bicara apa-apa saat dia menepikan mobil.

“Tidak. Aku tidak akan menginap,” kutatap matanya. Bisa kubaca keheranan di sana. “Aku akan pulang sebelum pagi. Ingat, jangan bilang-bilang Bu Andari.”

Kubanting pintu mobil. Aku melangkah masuk, tak berbalik lagi.

Bar malam itu tampak pengap. Musik ingar-bingar tak mampu mengusir lamunan-lamunan liar. Ternyata, aku tak hanya takut mimpi. Aku takut sepi, aku takut mati. Kuteguk segelas minuman ringan, lalu pergi lagi. Di lobi, kuambil dua kuntum mawar jing-ga, warna kesukaan Andari, dan kusembunyikan di balik jaket hitamku. Sesungguhnya, aku tak suka jingga, tetapi ini akan menjadi bunga pertamaku untuknya.

Petugas hotel menawariku untuk mencarikan taksi. Aku tak menolaknya. Aku ingin segera berlari dari riuh malam dan keriuhan basa-basi, dunia yang sebelumnya kuakrabi. Lalu, aku tak ingat di penggalan jalan mana, saat taksi berhenti. Sopir taksi minta izin keluar untuk membeli rokok sebentar. Namun, tak lama kemudian, menghambur ke dalam dua pria bertubuh gempal. Satu orang menodongkan sesuatu di perutku. Putih, berkilat, dingin. Yang lain berbicara seperti berdesis, meminta dompet dan ponsel. Namun, dia tak sabar. Digerayanginya tubuhku. Teringat mawar jingga itu, aku meronta. Mereka memukulku bertubi-tubi. Lalu, aku terlontar ke lorong putih ini.

“Tragis. Tragis sekali.”

Aku mencoba tak berpaling. Suara di sampingku itu sama seperti bisik-bisik sebelumnya yang datang dan pergi.

“Kenapa kamu berakhir setragis itu, Reng?”

Aku tersentak. Di sampingku berdiri pria muda. Rambutnya ikal dan hitam. Perawakannya kecil, kulitnya gelap, dan matanya cekung tajam. Aneh, tulang pipi itu rasanya kukenal.

“Kamu ingat tidak sewaktu kita berenang di kali banjir itu? Teman-teman menantang kita untuk berenang melewati kolong jembatan. Aku mengikuti arus hingga ke mulut jembatan. Air meluap menutupi rongga di bawahnya. Saat aku bersiap-siap membenamkan kepala, kamu menarikku. Kalau mau mati muda jangan konyol, katamu. Ternyata, beberapa tahun setelah itu, kudengar kamu kabur ke Jakarta menumpang kereta. Orang-orang bilang, kamu menumpang gelap, bekalmu cuma tas plastik berisi pakaian. Kita memang sama-sama nekat. Tapi, aku bodoh, dan kamu pintar.”

Aku menatapnya, berusaha mengingat satu dari wajah-wajah yang berkelebat di masa kecil. Ya, ya, aku ingat dia.

“Kamu....”

“Kamu lupa aku, Reng? Iya, di teve dan di koran orang memanggilmu Pak Bekti. Tapi, bagiku, kamu tetap Gareng.”

“Tidak, aku tidak lupa. Kamu Topo, Sutopo, ‘kan?”

Pria itu tertawa.

“Kamu lupa, ya? Tidak apa-apa. Kamu kan orang besar. Bawah­anmu banyak. Sedangkan aku cuma jualan gado-gado di perempatan jalan. Beberapa kali aku coba mangkal di dekat kantormu, berharap kamu bisa melihatku. Tapi, aku diusir satpam. Bodohnya aku. Waktu itu, mana berani aku mengaku teman? Mana ada tukang gado-gado berteman dengan pengusaha besar?”

Aku melihat sekeliling. Jalan ini mendadak sepi, seolah semuanya menepi, meskipun hari belum tampak berganti. Di sini tak ada siang atau malam hari.

“Dulu aku suka mengeluh. Aku jenuh. Keluargaku membosankan. Istriku tak pernah memberi perhatian, terlalu capek jualan. Dulu aku suka berpikir, enak, ya, jadi kamu, punya istri secantik itu. Dulu aku ingin tukar tempat dengan kamu, Reng.”

Kutatap seonggok tubuh menggelembung itu. Perutnya menghitam oleh guratan luka. Tersembunyi di balik rumpun bambu rimbun dan ilalang, ia seperti boneka rusak yang terasing dari keramaian. Siapa yang akan percaya tubuh membusuk itu pernah punya kehidupan yang diidamkan banyak orang?

Aku berjalan menjauh. Sutopo mengikutiku. Tiba-tiba aku malas mengingat kisah-kisah dulu, yang kini terlihat bagai partikel debu. Remeh semua, tak terasa. Aku heran, mengapa Sutopo masih juga membandingkannya.

“Reng!” Sutopo menjajari langkahku. Aku berhenti, menatap matanya, yang seketika mengingatkanku pada sesuatu.

“Ah, kamu bukan Sutopo!”

Dia tertawa. “Gareng... Gareng...! Aku bukan Topo. Aku Marno, kamu lupa, ya?”

Aku ikut tertawa. ”Tidak. Aku tidak lupa!”

“Masih ingat ketika kita bertanding main bola lawan Kampung Pucung itu. Betul, ‘kan?”

Aku terdiam, mengingat-ingat.

“Kita kalah, tapi kamu yakin mereka main curang. Kamu tidak terima, lalu kamu tantang mereka berkelahi. Kamu orang paling nekat yang pernah kukenal, Reng. Kadang-kadang kamu sinting, tapi kamu tidak pernah takut melawan.”

Aku tersenyum. Mengingat masa lalu membuatku merasa perkasa.

“Itulah. Kematianmu tragis untuk orang seberani kamu, Reng,” Marno menggelengkan kepala. Kuangkat bahuku.

“Aku tidak tahu, No. Aku tidak tahu apa-apa....”

Tiba-tiba aku merasa lemah, tak lebih berdaya ketimbang seorang penjual gado-gado di sepetak pojok di kantorku.

Hari Keempat
Andari menatap punggung Rudi yang menghilang di balik pintu. Kepalanya mendadak pening. Ini tak mungkin, ini tak mungkin. Aku tahu dia mengkhianatiku selama ini, namun bukan begini. Andari membalik-balik halaman agendanya. Apa yang akan dilakukannya dengan kehidupannya yang terjalin rapi dan terkendali? Semuanya porak-poranda kini.

Andari menyangga pelipisnya dengan jemari. Peluhnya tak tertahan oleh sejuk ruangan berpendingin. Dibayangkannya Bekti mengendap-endap di balik punggungnya, sibuk dengan kehidupannya sendiri. Tidak, Andari tak merasa dikhianati. Dia hanya letih. Semua rahasia ini tersimpan rapi. Kehidupan Bekti dan kehidupannya tertata di atas jalinan rapi rahasia. Dan mereka sepakat untuk tak mengusiknya. Dia tak mengerti, mengapa Bekti meruntuhkan semua yang tertata.

“Tetapi, ini sudah empat hari, Bu. Saya khawatir ada apa-apa dengan Bapak,” kata Rudi tadi.

“Apa Bapak sudah sering membangunkan kamu dan keluar malam-malam begitu?” selidik Andari.

Rudi terdiam.

“Cuma beberapa kali,” tuturnya, setelah berpikir lama.

“Ke mana?”

“Bar, hotel, restoran.... Ibu tahu tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh Bapak. Saya tidak pernah menemani. Bapak selalu pulang naik taksi, sebelum pagi.”

“Rud, kamu bisa tidak menjaga rahasia ini?”

“Tapi, Bu. Mungkin, Bapak sedang dalam bahaya.”

“Itu urusan saya. Kamu tidak perlu tahu. Kamu tutup mulut saja. Saya akan mengurus semuanya.”

Andari memandang fotonya di atas meja. Dia dan Bekti tersenyum saling memeluk di depan air terjun Niagara. Mungkin, itu bukan cinta. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh sepasang suami-istri di depan kamera, selain berpura-pura berpelukan mesra?

Andari membanting agendanya. Mengapa dia harus mengurusi tetek-bengek rahasia ini? Mengelupasnya satu per satu seperti kulit bawang, berlapis namun memerihkan? Semuanya sia-sia. Waktu terbuang percuma.

Andari memainkan pulpennya. Dia harus melakukan sesuatu, tetapi apa? Dia tak akan membiarkan kecerobohan konyol ini terpampang di media. Bagaimana bisa suami seorang calon wali kota keluyuran tengah malam, seperti tak punya keluarga yang menaunginya? Bukankah seorang istri harus memberikan suaminya cinta sebelum mengayomi masyarakat di luar sana?

Andari memijit keningnya. Aku tak bisa, aku tak bisa. Aku bukan wanita perkasa. Aku takut gagal, aku takut kecewa. Semua citra yang kubangun terempas sia-sia.

Mengusap peluhnya, Andari berpikir cepat. Tak dibiarkannya peristiwa ini memamerkan cacat ke mana-mana. Semua harus tampil rapi sempurna. Karenanya....

Andari menekan interkom.

“Sari, sini!”

Wanita muda itu masuk tergopoh-gopoh.

“Duduklah.”

Sari mengernyitkan keningnya. Raut wanita yang sudah dianggapnya ibu itu tampak tak biasa. Sari duduk, menunggu. Selama delapan tahun bekerja di sini dia terbiasa patuh, mencatatkan kata demi kata, tanpa mengubahnya, tanpa menyela. Seolah, kata-kata itu adalah sabda, seperti mantra.

Hari kelima
Jakarta, SJ.
Suami kandidat wali kota dari partai PAS, Andari Purnarini, hilang secara misterius sejak 20 Juni lalu. Subekti Supomo, yang menjabat sebagai Direktur PT Indo Global Nusa, yang membawahi beberapa perusahaan kosmetik dan makanan ini diperkirakan meninggalkan rumah pada hari Senin pukul 7 pagi. Menurut Kapolres, Samyono, Subekti sempat terlihat menghadiri rapat direksi pada pukul 9 di Gedung Global Nusa.

Sopir Subekti mengantar majikannya itu ke kantor pukul lima sore. “Bapak berpesan tak usah dijemput, karena akan pulang naik taksi,” kata Rudi, yang telah bekerja untuk keluarga tersebut selama sepuluh tahun. Namun, Subekti tak kunjung pulang ke rumah. Anehnya, ponsel dan tas kerjanya masih tersimpan rapi di ruangannya.

Ditanya mengenai kemungkinan penculikan dengan motif politik terkait dengan pencalonan Andari sebagai wali kota, Samyono tak mau menjelaskan lebih jauh. “Jangan berspekulasi,” katanya, “kami masih mengumpulkan bukti-bukti yang berkaitan dengan peristiwa ini.”

Dugaan penculikan ini dilontarkan oleh pengurus pusat PAS, Nana Setyadi. “Andari bercerita bahwa dia menerima SMS dan surat kaleng berisi ancaman dan teror. Namun, tentu saja, hal ini kami percayakan sepenuhnya kepada penyelidikan polisi,” tambahnya.

Meskipun masih mentah, dugaan penculikan bermotif persaingan politik akan menambah kisruh perseteruan antara PAS dengan partai RPD dalam Pemilihan Kepala Daerah nanti.

Bulan Mei lalu, masyarakat dikejutkan oleh terbongkarnya kasus korupsi dalam tender pengolahan sampah yang melibatkan wali kota, Bambang Kartono, yang juga merupakan kandidat kuat RPD. Meskipun masih mengambang, mencuatnya kasus ini diduga sebagai upaya PAS untuk menjegal pencalonan kembali Bambang.

Andari Purnarini hingga saat ini menolak untuk dihubungi. Rumahnya di perumahan mewah itu tertutup rapat. “Ibu sedang pergi,” tutur satpam yang bertugas di depan pagar.

Andari menutup pintu ruangannya rapat-rapat. Dia mengembuskan napas lega. Dunia mengerut di luar sana. Dia tak bisa bergerak leluasa. Sejak kemarin televisi terus-menerus menayangkan wajah Bekti dan wajahnya. Pagi ini, wajahnya menghiasi banyak media massa. Ketua Umum PAS, Mas Sampurno, meneleponnya pagi-pagi buta.

“Wah, kamu makin ngetop, Ri. Saya rasa, perolehan poling kita bisa naik, nih, minggu ini.”

“Siapa yang mau ngetop dengan cara begini, Mas?”

Andari tak berpura-pura. Kehilangan ini tak dikehendakinya. Dia tak siap dengan simpati dan perhatian yang berlebihan, bahkan ibu dan bibinya menyempatkan diri menginap di rumahnya untuk menemaninya. Telepon rumahnya terus berdering, membuatnya sakit kepala.

“Tak semua telepon bisa diterima,” katanya kepada Mimi, sambil menyodorkan daftar nama.

Sebagian besar penelepon itu memang hanya berbasa-basi, sekadar membagi empati, wartawan yang tak tahu diri, atau mereka yang tak cukup sibuk mengurusi diri sendiri.

“Sudahlah Bu, Ari nggak apa-apa,” kata Andari semalam, saat ibunya bersikukuh tak mau pulang. “Ari baik-baik saja. Ada polisi yang mengusutnya.”

“Ya, Ibu percaya kamu. Tapi, coba lihatlah Dena....”

Andari melirik kamar Dena yang sering tertutup sejak Bekti tak ada.

“Ibu takut dia perlu teman bicara. Dia kan sahabat ayahnya.”

Andari memeriksa berkas laporan rapat semalam. Semua perhatian ini tak hanya melelahkan, namun juga merepotkan. Beberapa permintaan wawancara ditolaknya. Pertanyaan dari teman-teman, yang mengganggu rutinitas kerja, ditampiknya halus. Tak ada satu pertanyaan pun yang dijawab dengan gamblang.

Satu hal yang melegakannya, Rudi mau bekerja sama untuk merekayasa fakta.

“Tak seorang pun boleh tahu bahwa Bapak hilang saat keluyuran malam-malam. Kamu harus ingat, Bapak itu pria baik-baik, bukan suami hidung belang.”

Diajarinya Rudi mengarang cerita tentang kejadian Senin siang. Andari ingin semua terjalin rapi, seperti rencana kampanye dan rencana hidupnya yang selama ini aman terkendali. Untunglah, Rudi mengerti. Beberapa puluh juta sudah disiapkannya untuk Rudi. Andari tahu, istrinya sudah lama ingin membuka warung nasi.

“Ini bonus untuk hasil kerjamu selama ini, Rud. Tidak ada kaitannya dengan semua kejadian ini.”

Ini bukan konspirasi, batin Andari, hanya sedikit pelipur hati. Sebagai politikus, dia tahu apa yang harus dilakukannya untuk menjaga citra yang dibangunnya selama ini.

Telepon rumah berdering. Dada Andari berdegup lagi. Mimi sedang berbelanja, tak bisa mengangkat telepon. Sedikit gugup, Andari mengangkat gagang telepon, tak bersuara, hingga suara di seberang lebih dulu terdengar. “Selamat pagi, Sayang.” Dari Alex.

“Hei, bikin kaget saja. Ada apa?”

“Memangnya harus ada alasan untuk menelepon?”

”Kamu nekat, Lex. Berani-beraninya kamu menelepon aku pagi-pagi begini. Bagaimana bila yang mengangkat pembantuku? Bagaimana bila Dena yang menjawab?”

“Aku kan bisa mengaku sebagai wartawan. Kamu tak perlu takut. Begini, aku lihat wajahmu di mana-mana. Di koran, di televisi, di majalah. Aku jadi kangen setengah mati padamu. Mana mungkin kangen ini kutahan sendiri?” katanya, sambil terkekeh.

Andari menahan tawa. Untung saja di ruangan itu tak ada cermin. Dia tak mau melihat semu merah di wajahnya.

“Lex, tolong jangan hubungi aku lagi.”

“Kenapa?”

“Kamu kan tahu, polisi sedang menyelidiki kasus ini. Aku akan dipanggil sebagai saksi. Tolong, jangan persulit aku.”

Tak ada suara. Namun, Andari bisa mendengar beratnya embusan napas Alex di ujung sana.

“Aku....”

“Tolong aku, Lex....”

“Selalu aku yang berkorban untuk kamu. Coba lihat, apa yang sudah dia lakukan untuk kamu? Bikin puisi saja dia tidak mampu.”

“Lex, nanti aku telepon kamu lagi, ya?”

Klik. Gagang telepon diletakkannya.

Andari menghapus titik air di sudut mata. Dia tak ingin jadi sentimentil. Bukankah dia hanya ingin bermain-main?

Andari hendak mengangkat telepon, ketika didengarnya suara ribut-ribut di depan pintu. Dari jendela, tampak Sari sedang berkacak pinggang. Di depannya, seorang pria menenteng kamera, dan wanita berkacamata di sebelahnya, berbicara kepadanya. Kantornya terlihat rusuh seketika. Andari bergegas membuka pintu. Semua mata berpaling ke arahnya.

“Ada apa ini?”

“Mereka ngotot ingin mewawancarai Ibu. Saya sudah bilang, Ibu tak bisa ditemui tanpa membuat janji terlebih dulu.”

Andari melirik jam tangannya.

“Saya ada waktu lima belas menit. Kalian mau?”

Wartawan-wartawan itu menerobos masuk dengan senyum lebar. Sari menatapnya, heran.

Andari membiarkan mereka menyiapkan kamera. Wartawati mengambil catatannya dengan sigap, seperti tak membiarkan waktu berlalu cepat.

“Hanya sedikit pertanyaan, Bu.”

Andari meluruskan punggungnya, otaknya bekerja keras, siap melontarkan jawaban yang diplomatis.

“Apa betul ada konspirasi politik di sini?

Andari tersenyum. Seperti melihat ke dalam kotak kaca, dia bisa membaca pertanyaan yang akan dilontarkan para wartawan ini.

“Masih terlalu dini. Kami tidak ingin berprasangka dan menduga-duga. Biar polisi yang menyelidiki semuanya.”

“Bagaimana Ibu menanggapi pernyataan salah satu kader PAS, yang juga sahabat Ibu, bahwa Pak Subekti mungkin diculik, dengan motif politik terkait dengan pencalonan Ibu itu?

“Belum ada bukti yang mengarah ke sana.”

“Lalu, bagaimana dengan ancaman dan teror yang Ibu terima?”

Andari tersenyum, sambil melambaikan tangannya, “Biasalah... itu risiko pejuang keadilan seperti saya. Saya sudah terbiasa sejak dulu. Kalian kan tahu saya bagaimana.”

“Kapan terakhir kali Ibu melihat Bapak?”

Andari terdiam sesaat, lalu menunduk ke bawah. Saat memandang kamera, dikerjapkannya matanya yang memerah.

“Senin pagi kami masih menikmati sarapan bersama-sama. Kami ngobrol seperti biasa. Tak ada perbincangan yang penting. Topiknya pun ringan saja. Hanya masalah seputar anak dan liburan. Sungguh, ketika itu saya tak mendapatkan firasat apa-apa....”

Andari berhenti sejenak, menarik napas, lalu mengusap ujung matanya perlahan agar hitam maskara tak berpindah ke tisu di tangannya.

“Apa harapan Ibu terhadap peristiwa ini?”

Andari memain-mainkan tisu, lalu kembali menatap kamera.

“Sebagai seorang istri dan ibu, tentunya saya berharap suami saya kembali berkumpul di tengah keluarga seperti dulu lagi. Tak terbilang rindu kami selama ini...,” Andari lalu menunduk lagi.

Suaranya serak saat matanya kembali menatap kamera dan melanjutkan ucapannya, “Tetapi, sekali lagi, kami menyerahkan sepenuhnya kepada polisi, dan kami siap melakukan apa pun untuk membantu penyelidikan ini.”

Andari melirik jam tangannya.

“Maaf, ya, waktu saya sudah habis. Saya sudah ditunggu di ruang rapat oleh rekan-rekan kerja saya,” katanya, sambil tersenyum dan mengangkat tubuhnya dari sofa.

Lampu-lampu kamera langsung mati. Dua orang wartawan itu menjabat tangannya, mengucapkan basa-basi dan simpati. Tak hanya mereka yang tampak lega, Andari juga. Usai sudah kepura-puraan ini. Formalitas sekadar untuk menenangkan hati.

Dinyalakannya ponselnya. Ada pesan dari Alex.

Aku menunggu, Sayang. Kapan kamu akan meneleponku?

Andari menatap benda kecil merah hati hadiah ulang tahun dari Bekti tahun lalu. Dia ingin membalas pesan itu, tetapi ragu-ragu. Diletakkannya lagi ponsel itu di tas tangannya, sebelum berlalu.

Merapikan rambutnya, Andari teringat wawancaranya tadi. Sesungguhnya, dia tak pernah menikmati sarapan bersama Bekti. Memang duduk di meja yang sama, namun sarapan mereka berbeda. Andari hanya minum jus sayuran dan roti bakar tanpa isi, sedangkan Bekti harus makan mi atau nasi. Basa-basi menjadi ucapan basi, apalagi obrolan dari hati. Tak ada senyum sama sekali. Mereka hanya melakukan ritual pagi suami-istri tanpa menyelami. Itu tak salah, bukan? Tak selamanya suami-istri harus bersama.

Saat mendekati pintu lift, seorang pegawai buru-buru menekan tombol untuknya. Sebelum pintu lift terbuka, ia menyapa dengan ramah.

“Selamat pagi, Bu. Tadi pagi saya melihat berita di televisi. Saya ikut berdoa semoga Bapak cepat kembali.”
Andari tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih dengan lirih. Lift membawa tubuhnya naik. Andari merasa melayang, tubuhnya ringan. Tak ada di dunia ini yang mengerti. Tak ada sama sekali.

Bekti
Aku berdiri di depan sesuatu yang serupa jendela raksasa. Andari terbaring di sana, dibalut gaun tidur berwarna jingga. Dulu tak pernah kuperhatikan gaun tidurnya. Namun, entah mengapa, jingga itu mengingatkanku pada dua kuntum mawar yang kuselipkan di jaket hitamku. Jaket hitam itu tak lagi membungkus tubuhku. Hei, bahkan tubuhku tak setambun yang dulu. Perutku ramping, bahkan kurus kering. Kuraba rambutku. Tak ada botak di ubun-ubunku.

Kudekati ranjang di tengah ruangan itu, teringat kami sering bertengkar malam-malam. Aneh rasanya mengingat betapa per­tengkaran itu dulu sangat menyakitkan hati, sampai kami tak bicara berhari-hari. Sedangkan kini, semua masalah seperti taburan kotoran, yang meskipun porak-poranda, lumat dalam satu usapan tangan saja. Tak terasa, tak ada bekasnya.

Andari terbangun saat kuhampiri. “Mas, kamu ke mana saja?” bisiknya, seperti melihatku pulang dari rapat direksi berjam-jam lamanya.

“Maafkan aku, ya, Ri.”

Aku ingin bergerak lebih dekat, tetapi sesuatu menahanku.

Andari menggerakkan tangannya ingin menggapaiku, lalu terisak.

“Kamu mau maafkan aku kan, Ri?”

Andari terus terisak seperti dulu, waktu baru menemukan SMS mesra Lidya di ponselku. Ya, mungkin ini terdengar seperti basa-basi. Ucapan maafku kepadanya sudah berulang kali. Biarlah hanya aku yang mengerti bahwa ucapan maaf kali ini sepenuhnya terlontar dari lubuk hati.

“Sampaikan juga maafku untuk Kiran dan Dena.”

“Mas mau ke mana? Aku butuh Mas di sini....”

Andari memandangku, dan aku tercekat. Tak pernah dia memohonku seperti itu. Selama ini dia hanya minta ditemani saat wawancara, pemotretan, rapat perusahaan, dan acara-acara keluarga. Kupikir dia membutuhkanku hanya untuk menggenapkan sebuah citra keluarga. Tak pernah kutahu dia juga membutuhkanku untuk menggenapkan kehidupannya.

Kubalikkan tubuhku cepat-cepat. Aku tak tahan melihat raut mukanya yang pucat. Aku harus pergi, aku harus pergi. Namun, kuputuskan untuk berbalik yang terakhir kali, menatap wajahnya yang masih pasi. Oh, betapa raut muka itu sangat kukenali.

Tangis itu tangisnya dulu, saat kupinang dia menjadi istri. Tak kulamar dia dengan janji-janji, materi, segala yang tak kumiliki. Kukatakan kepadanya, aku hanya punya nyali. Aku tak peduli, jawabnya, dengan air mata di pipi. Kupikir, kami bisa saling menggenapkan diri. Ternyata, cinta tak cukup untuk membuat kami memberikan diri.

Kali ini aku akan pergi. Aku tak mau berbalik lagi, meski hanya sekali. Cepat-cepat kulangkahkan kaki. Entah kenapa, aku melayang, bagai berlari begitu kencang. Menyambut sesuatu yang seperti kembali hadir di sini.

Hari keenam
Andari mengunyah rotinya lambat-lambat. Ponselnya berdering berulang-ulang, tak dipedulikannya. Matahari masih sepenggalah, namun dia sudah merasa lelah. Mata­nya sembap bekas menangis semalaman, dan rambutnya masih berantakan.

Hari ini, untuk yang pertama kali, Andari tak memedulikan tentang apa yang tertulis di agenda merah hati. Dia ingin hari ini berdenyut lambat, seperti sari seledri di jusnya yang perlahan mengendap. Namun, teringat waktu yang tak bisa berpaling, dia mendecak kesal. “Tak bisa begini, terma­ngu di meja makan memikirkan mimpi,” gumamnya.

Dia beranjak, teringat air hangat di bath up yang menggenang sedari tadi. Tak pernah dia sebodoh ini, menyia-nyiakan waktu dengan mandi berendam di pagi hari. Semuanya gara-gara mimpi malam tadi.

Selama ini dia meyakini bahwa mimpi itu obsesi. Namun, yang dilihatnya semalam tak pernah dia ingini. Betapa putih wajah Bekti semalam. Tanpa semburat uban keperakan, Bekti menjelma pemuda yang dulu malu-malu menyatakan cinta. Maafkan aku, ya, Ri, kata-kata Bekti terngiang sepanjang malam tadi. Andari tak mengerti mengapa dia bisa luluh hati. Ucapan maaf itu sudah se­perti gema yang dipantulkan din­ding kamarnya berkali-kali.
Maafkan aku, ya, Ri. Bekti mencium tangannya tahun lalu, setelah dipergokinya SMS mesra Lidya itu.

Maafkan aku, ya, Ri. SMS Bekti, saat dia tahu Myrna sudah menggugurkan kandungannya.

Maafkan aku, ya, Ri, menguap seperti embun pagi, menghilang sesaat untuk kemudian hadir kembali. Nyaring tapi kosong, seperti klakson, merecoki rutinitas sehari-hari.

Tapi, ucapan maaf malam tadi, mengapa masih bersisa hingga pagi ini?

Andari mengosongkan bath up, mengunci kamar mandi, lalu melepas gaun tidurnya bergegas, seperti terenyak dari lamunan panjang. Dia harus berlari mengejar hari ini, sebelum teringat mimpi malam tadi. Tapi, mengapa pagi ini dirinya terasa ringan seperti melayang? Seperti sesuatu telah hilang. Sesuatu tak bernama yang selama ini ingin diingkari, tapi melekat di sini.

Mas Bekti, kenapa kamu siksa aku seperti ini?

Andari merasakan hangat mengguyur tubuhnya. Dia ingin gelisah tergelontor juga lewat lubang gelap di bawah sana. Udara lembap oleh uap hangat. Dinding ubin berkeringat. Dia berdiri di bath up. Ruang oval tertutup tirai biru tua terasa pengap. Andari mendadak merasa penat. Semua permainan ini, naik roller coaster berkali-kali, buat apa?

Tiba-tiba Andari ingin menangis. Tumpah air matanya, mengalir bersama guyuran air hangat.

Andari susah payah menahan air matanya selama ini. Tangis pertamanya bersama Bekti adalah ketika mereka sepakat untuk mengikat kasih. Tangis kedua tumpah saat pertama kali dipergokinya perselingkuhan Bekti. Tangis ketiga dipersembahkannya untuk jenazah papanya, yang saat-saat terakhir kematiannya tak ia temani.

“Jadi anak perempuan itu harus kuat,” kata Papa setiap kali. “Ja­ngan jadi wanita yang cengeng. Siapa yang akan menghargai wanita kalau bukan dirinya sendiri?”

Andari menghapus air matanya. Tak pernah dibiarkannya Bekti melihat air matanya lama-lama. Tak juga kali ini. Tak ada air mata yang tertumpah untuk Bekti. Tapi....

Andari mengeringkan tubuhnya, seperti membersihkan semua yang tersisa. Ponsel berdering, saat dia menyisir rambutnya.

“Bu?”

“Ya, Sari.”

“Ada tamu yang menunggu.”

“Saya tidak ada janji dengan tamu pagi ini.”

“Tapi....”

“Bilang saja saya sakit dan tidak akan ke kantor hari ini.”

Klik. Andari membanting tubuhnya di atas ranjang. Ponselnya berdering lagi. Dari Alex. Dia hanya memandangnya, kehilang­an sele­ra. Saat dering itu berhenti, diperiksanya ponselnya lagi. Ternyata inbox-nya sudah tertimbun pesan sedari tadi. Semuanya dari Alex.

Selamat pagi sayang. Alex.

Mimpi indah malam tadi? Kamu baik-baik aja, ‘kan?

Dia sudah kembali? Belum, ‘kan? Aku harap dia tak akan pernah kembali lagi, agar kamu bisa sepenuhnya kumiliki.

Andari membanting ponsel itu. Gila. Dia pikir aku akan percaya?

Di depan cermin, Andari meraba wajahnya. Pasi di sana tak secerah cahaya dari wajah Bekti malam tadi. Bibirnya tak merekah tanpa lipstik, seperti mawar pucat dari plastik. Kerut wajahnya rapi tersembunyi obat dan kosmetik. Serapi apa pun kerut mata disamarkannya, tua itu tetap terlihat. Umur tak berdusta. Apa mungkin seorang remaja terpikat wanita setua dia?

Andari memejamkan mata. Tidurnya tak pernah nyenyak empat hari ini, sejak dengkur itu tak ada. Andari ingin istirahat. Dua puluh tahun, dia menyangka tak akan menemukan belahan jiwa. Ternyata, selama ini belahan jiwa itu tak ke mana-mana. Dia di sana, menepi saja, karena Andari tak siap berbagi ruang dengannya.

Bekti
Pria itu seperti tak asing bagiku. Dia tertawa lebar. Saat mendekat, giginya tampak berbaris rapi. Dikembangkannya tangannya, seper­ti aku rindu pulang ke pelukannya.

“Bekti, akhirnya kamu pulang, Nak.”

“Bapak?”

Kukerjapkan mataku. Rasanya tak percaya pria muda ini bapakku.

“Sudah ketemu ibumu?”

Aku terperanjat melihat wanita muda di samping pria yang me­nga­ku bapakku itu. Rambutnya ikal sebahu, alisnya seperti aku.

“Akhirnya, kamu kembali, Nak,” katanya.

Aneh, matanya sayu. Ya, itu ibuku, dan pria muda itu bapakku, seperti yang kulihat di foto kelabu dulu.

Mereka membimbingku, seperti aku berumur lima tahun lagi. Mengapa perjalanan jauh ini seperti mimpi sehari?

“Bagaimana kabarmu, Bekti?” Bapak bertanya seperti tengah menyambutku pulang dari Jakarta.

“Aku....”

“Ya, ya, Bapak sudah tahu. Bapak tahu semua yang terjadi. Bapak melihatnya dari sini.”

Melihat matanya meredup, mendadak aku teringat sesuatu.

“Maafkan Bekti, Pak. Bekti tak sempat mengantar waktu Bapak pergi dulu.... Maaf, ya, Pak.”

Bapak terkekeh.

“Kau juga tidak ada di sana waktu ibumu pergi waktu itu.”

Kutundukkan mukaku dalam-dalam.

“Maksudku, ah, tentu saja kamu pemurah, Anakku. Kamu rawat makam bapak-ibumu. Entah berapa rupiah kamu habiskan untuk membuat makam seperti itu. Bapak-Ibu tidak pernah ingin punya makam sebagus itu....”

“Bukan itu, Pak....”

“Bapak sudah ikhlaskan kamu sejak kamu kabur naik kereta itu. Bapak tahu kamu akan berbakti, dengan caramu sendiri.”

Kupandang mata bapakku yang sangat muda itu.

“Lha, wong, namamu Bekti....” Dia terkekeh lagi.

Ah, Bapak. Masih saja mencoba melucu. Apa dia tak pernah tahu, leluconnya tak pernah lucu?

“Kamu ingat waktu kamu ngamuk minta ke pasar malam? Bapak sudah bilang tidak punya uang, tapi kamu terus memaksa. Lalu, kamu kabur ke langgar sehari semalam. Kamu ingat, Bekti? Bapak sampai harus memecah celengan untuk membujuk kamu pulang. Kamu tidak mau pulang, kamu cuma ingin ke pasar malam....”

Bapak terkekeh lagi. Ibu mengelus-elus rambutku, seperti sedang menghiburku, saat aku kehilangan mainanku. Ah, Bapak, apa, sih, yang lucu?

“Kalau kamu ingin sesuatu dan Bapak atau Ibu tidak bisa menurutimu, kamu pasti kabur,” tutur Ibu, sambil tak lepas memandangku. “Ibu ingat, waktu kamu kabur ke atas pohon jambu. Biar digerayangi semut, kamu tidak mau turun. Oalah, ternyata kamu minta dibelikan permen. Padahal, Ibu bilang tunggu sampai Ibu selesai masak dulu.”

Aku diam saja, mendengarkan.

“Karena itu, waktu kamu kabur naik kereta, kami tak mencoba mencegahnya. Kamu sudah dewasa, Bekti. Kamu sudah bisa bertanggung jawab atas perbuatanmu. Selain itu...,” Ibu terdiam sesa­at, matanya berkilat oleh air mata, “kami tidak mampu menuruti semua keinginanmu.”

Aku tertunduk. Ibu tak pernah berbicara seperti itu padaku.

“Sekarang, keinginan mana lagi yang belum bisa kamu dapatkan, Bekti, hingga kamu kabur begini?”

Aku tak berani menatap mata Bapak. Nada bicaranya meng­ingatkanku saat aku mencoba kabur dari rumah, lalu tercebur selokan di sawah dan tersengat lintah. Aku demam selama dua malam. Badanku meriang. Bapak tak marah. Dia hanya berkata dengan sorot matanya yang tajam, “Bekti, Bekti. Kenapa kamu tidak kapok kabur-kabur begini?”

Anakmu ini memang bandel, ya, Pak. Kusimpan rahasia seperti me­nimbun kelereng curian. Selama hidupku aku cuma menata keinginan tak terpuaskan. Karena, kalau tidak, aku akan ngambek tak keruan.

Hari ketujuh
Bekti
Andari pagi ini terlihat cantik sekali. Warna bajunya putih, dipadu rok hitam, serasi dengan warna gaun Dena yang kasual. Seharusnya, aku ada di sini, memakai kemeja putih seperti yang dipakai Kiran, juga celana hitam. Kami selalu tampil serasi dalam setiap pemotretan. Bukan hanya karena ingin kompak-kompakan, tapi karena kami tahu apa yang akan kami sajikan untuk media. Kami sudah hafal apa yang diinginkan media.

Studio sudah terang oleh lampu sorot. Kain putih menjadi latar. Seorang pengarah gaya sibuk bercakap dengan Dena, dan Andari menurut saja ketika seseorang merapikan bedaknya. Pemulas cokelat lembut membuat mata Andari dan Dena bercahaya. Namun, sungguh, aku bisa melihat sembap mata mereka. Tentu mereka tak melihatku berdiri di sini, menyaksikan mereka dan ter­senyum seorang diri. Mereka tak tahu bagaimana perasaanku terhadap mereka. Biarlah ini menjadi rahasiaku saja.

Juru foto memberi isyarat. Pengarah gaya meminta mereka untuk saling memeluk. Santai saja, katanya, anggap kamera ini tak ada. Relaks saja, tambahnya, seperti sehari-hari di ruang keluarga.

Aku tertawa mendengarnya. Di mana kami saling memeluk mesra seperti itu, kalau tidak di depan kamera?
Kudekati Andari. Kupeluk bahunya. Dia tertawa, menatap kamera. Rapi giginya, seperti biasa. Cerah, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Saat kamera terbidik, kucium dia.

“Terima kasih, Ri, sudah bersamaku selama ini,” bisikku di teli­nganya. “Terima kasih sudah menjadi seorang istri dari suami yang tak tahu diri, yang suka kabur kalau keinginannya tak terpenuhi. Begitu banyak yang kumau, hingga kehadiranmu tak kusyukuri.”

Kamera tetap membidik beberapa kali.

“I love you,” bisikku.

Andari menatap kamera, tertawa.

Andari mengembuskan napasnya, lega. Sesi pemotretan ini tak pernah dilupakannya. Bukan hanya karena Bekti tak ada di sisinya, namun karena dia sudah berhasil membujuk Dena untuk keluar dari kamarnya. Entah berapa hari Dena mengurung diri, Andari lupa. Tadi pagi Andari khawatir Dena benar-benar tak mau menemaninya hari ini. Syukurlah itu tak terjadi. Dimintanya ibunya berbicara pada Dena pagi tadi.

Di depan kaca, Andari memeriksa rambutnya. Semua rapi. Make up-nya lembut, tak terlalu mencolok untuk seorang istri yang berduka. Yang penting, kelopak matanya yang muram tersamar sapuan warna, tak tampak bekas tangisan malam tadi.

Andari memeriksa make up Dena, memastikan tak ada jejak duka di sana. Diperhatikannya putrinya itu berbincang dengan pengarah gaya. Rupanya, mereka sudah mengenal sejak lama. Lampu sorot mulai menyala. Juru foto memberi isyarat.

“Santai saja, anggap kamera ini tak ada,” kata pengarah gaya.

“Relaks, ya, seperti sehari-hari di ruang keluarga.”

Andari tersenyum mendengarnya. Kapan terakhir kali dia memeluk anak-anaknya seperti ini di rumah? Tentu saja itu sudah lama, sewaktu mereka masih balita. Sejak itu, tak pernah lagi.

Dipeluknya Dena yang tertawa, menatap kamera. Kiran berdiri di antara dia dan Dena, memeluk mereka berdua. Biasanya, Bekti akan duduk di sebelah kirinya, memeluknya. Tanpa Bekti di sisi­nya, Andari merasakan sesuatu yang tak semestinya. Tak sempurna. Tak pernah dia merasa kehilangan seperti ini. Dulu, meskipun Bekti pergi berhari-hari, tak pernah dia merasa sepi. Rasa rindu ini membuatnya bahagia.

Sayang, Mas Bekti tak pernah mengetahuinya. Biarlah ini menjadi rahasiaku saja.

Belum sempat Andari mengganti baju, Sari tergopoh-gopoh menyusulnya ke dalam studio.

“Bu, sepertinya kita harus buru-buru. Pak Samyono baru saja telepon, menanyakan Ibu.”

“Dia meninggalkan pesan?”

Sari mengangguk. Andari memberi isyarat, “Tunggu!”

Dimasukinya ruang ganti. Dena ada di sana, menyembunyikan wajahnya.

“Terima kasih, ya, Na, sudah menemani Mama,” bisiknya pada Dena yang duduk di sampingnya.
Dena diam saja.

Andari mencoba menguasai dirinya. Dia terpejam, teringat mimpi-mimpinya beberapa malam ini. Seandainya firasatnya benar....

“Ini tentang penemuan mayat di sungai yang Sari dengar tadi pagi itu, Bu. Pak Samyono minta Ibu datang ke rumah sakit untuk mengidentifikasi, apakah mayat itu betul Pak Bekti.”

Suara Sari bergetar. Andari melihat sekeliling. Untunglah, Dena tak ada di sekitarnya. Andari mengemasi tasnya, berusaha tenang, seperti tak terjadi apa-apa. Dia tahu saat ini akan tiba. Dia memahami ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya yang tertata.

No comments: