12.22.2010

Ritus Legong Menari Seperti Bidadari

Ketika muda, Biyang Ade sanggup menarikan Legong hingga menggetarkan jantung penontonnya.

Biyang Ade merupakan orang pertama di Desa Karang Sari yang pergi ke luar negeri. Bahkan, belum berusia 17 tahun ia sudah merambah Eropa, dari London sampai Moskow. Sampai sekarang di desa ini belum ada lagi yang punya kesempatan seberuntung dia. Bidan Lasti menceritakan hal ini kepada Puspa Dewi, dokter baru di Puskesmas Karang Sari.

Menurut Lasti, di usia belasan tahun, Anak Agung Ayu Made Candri, nama masa kecil Biyang Ade, adalah penari Legong terkenal. Di desa ini masih banyak yang ingat gerakan tari Biyang Ade yang sangat lincah. Bila Biyang Ade menari, orang tak lagi mendengar suara gamelan pengiring, karena pandangan mata sudah terjebak dalam gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk, tanpa sedikit pun tampak patah. Lirikan bola matanya, menggetarkan jantung penontonnya. Ekspresi wajahnya secara cepat berubah, keras, manis, lembut, sinis, mencerminkan karakter yang diceritakannya.

Bila Biyang Ade menari di depan Puri Gde Barak, rumah milik keluarga bangsawan utama di desa, sebuah panggung dibangun. Bambu menjadi tiang dan bilah kayu dijajar menjadi lantai dan dialasi tikar daun pandan baru. Tinggi panggung tak lebih sepinggang. Atap panggung dari daun kelapa yang dianyam dan hiasan janur menjuntai ke bawah. Empat petromaks dipasang di penjuru panggung. Kori agung, pintu masuk utama ke dalam puri, berbentuk kubah dan terbuat dari susunan batu bata halus dan cadas penuh relief cerita Mahabharata, menjadi latar belakang panggung. Obor bambu bersumbu kain keras menyala di beberapa bagian kori agung, apinya menjilat-jilat diterpa angin malam.

Di depan panggung, dibangun pula panggung yang lebih kecil. Belasan kursi dijajar dalam tiga deret, tempat sesepuh Puri Gde Barak duduk bersama tamu dari puri-puri terdekat yang diundang Tjokorde, tetua puri. Sementara itu, orang desa dari seluruh pelosok, duduk di tanah, menatap ke arah panggung utama dengan tertib, hampir tak bersuara. Agak jauh dari panggung, beberapa orang mengerumuni bandar judi yang duduk bersila. Mereka melempar uang ke atas terpal plastik, di mana sudah ada gambar segi tiga, empat persegi, lingkaran, atau tanda silang dengan warna yang berbeda-beda: hitam, merah, hijau, dan kuning. Menunggu keberuntungan bila bola yang dilepaskan bandar ke atas meja penuh lubang warna-warni, berhenti di gambar yang serupa dengan letak uangnya. Bila beruntung, mereka berhak atas sembilan kali lipat uang yang dipertaruhkan.

Beberapa jenis nomor tabuh sudah dimainkan sekeha gong, sebuah kumpulan pemain gamelan bernama Serat Sunia. Suaranya mengalun, lambat dan lembut. Setelah penonton penuh, tamu-tamu sudah datang hampir seluruhnya. Mulai tarian pertama, tari Kebyar Terompong, ditarikan seorang remaja putra yang didatangkan dari Tabanan. Usai tarian, di mana sang penari juga memainkan terompong —jenis gamelan yang terdiri dari sepuluh bulatan logam dengan tonjolan dan dijajar memanjang— penonton bertepuk tangan. Setelah tari Tenun dan Margapati, tari Legong Keraton yang ditunggu-tunggu siap ditampilkan.

Sudah menyebar di antara penonton bahwa Biyang Ade akan menjadi condong, penari pertama yang akan memberikan penjelasan dengan gerakan tari yang sangat abstrak, dan cerita apa yang akan dipertunjukkan. Menjadi sangat penting, karena tanpa karisma sang condong, dua penari berikutnya tak akan ada artinya.

“Umur ibuku sebaya dengannya,” ujar Lasti, menumpuk beberapa kain putih ke dalam keranjang di ujung ruangan. “Kata ibuku, sejak remaja Biyang Ade sudah menunjukkan sifat pemberontak. Bukan karena dia sudah bolak balik ke luar negeri, bukan pula karena dia putri bangsawan. Tapi, kelakuannya memang sudah begitu. Berbeda dengan putri bangsawan lainnya yang tampil lembut dan selalu tampak berkelompok. Sedangkan Biyang Ade selalu bicara tanpa mau membuat batas dengan masyarakat luar puri, bahasanya tanpa basa-basi. Kebalikannya, dia akan menampakkan muka masam bila ada orang menyapanya dengan begitu hormat.”

Setelah keranjangnya penuh, Lasti membawanya keluar. Puspa menguntitnya dari belakang. “Tapi, itu kan tahun ‘60-an, tentu Biyang Ade menemukan banyak masalah, karena sikapnya itu?” tanya Puspa sambil memutar anak kunci, kakinya menekan pintu agar kedua bilahnya benar-benar rata sehingga pintu kantor puskesmas bisa tertutup rapat. Setelah melepas anak kunci, Puspa memasukkan ke saku jas putihnya.

“Ya, seperti itu. Kata ibuku, bahkan saudara-saudara sepupunya jarang mau bicara dengannya. Cuma karena Tjokorde Puri Gde Barak adalah ayahnya, jadi tidak ada yang berani menunjukkan sikap permusuhan secara langsung.” Masih membawa keranjang penuh kain, Lasti menghampiri suaminya yang sedang menunggu di atas motor di depan halaman puskesmas yang pagarnya baru seminggu lalu dicat ulang, warna putih. Dengan sekali gerakan ke belakang, pantat Lasti sudah berada di atas sadel motor, keranjang yang ada di pangkuannya agak goyah.

“Kapan-kapan Dokter bisa bertemu ibuku dan pasti mendapat informasi lebih banyak. Aku pulang dulu. Ayo, Beli, kita pulang.”
Gas motor segera diputar suami Lasti perlahan. Walau agak bersusah payah, Lasti masih sempat mengangkat telapak tangan ke arah Puspa sebagai tanda berpisah.

Lasti, bagi Puspa, bukan saja bidan di puskesmas, tapi juga sumber data. Lasti sendiri sudah bekerja dengan 3 dokter sejak pertama kali ia ditempatkan di puskesmas, yang berdiri di desa kelahirannya. Lasti sering menjadi bahan rujukan, bila Puspa harus membuat program pelayanan kesehatan. Tentang banjar —pemerintahan tradisional di bawah desa— mana yang harus dibuatkan program tambahan makanan bergizi atau banjar mana yang penduduknya sudah lebih maju dalam mengelola kesehatan.

Puspa masuk ke dalam mobil sedan tahun ‘80-an. Seperti biasa, setiap Sabtu sore ia pulang ke Denpasar. Berkendaraan satu setengah jam ke arah selatan, tidaklah membuat lelah. Masih di jalan desa, ia harus perlahan berkendaraan, karena ibu-ibu yang sedang mengusung keranjang di atas kepalanya, penuh hasil kebun, seperti kol, tomat atau wortel, melambaikan tangannya sambil berjalan. Puspa membalas sambil tersenyum. Kadang-kadang ia juga mengeluarkan kata-kata, “Lagi panen kol, ya, Bu? Oh, ya, kapan wortelnya akan dikirim ke pasar?” Seolah-olah mengerti banyak tentang hasil perkebunan. Sering belum terjawab, mereka sudah berjarak. Setelah benar-benar di luar desa, baru Puspa menghidupkan radio mobilnya dan menambah kecepatan.

"Setiap kematian selalu ditujukan ke bangunan rumah tersebut. Sangat sulit dimengerti, kenapa hal tersebut terjadi. Bahkan, tampaknya selalu diwariskan, dari generasi yang lebih tua ke generasi berikutnya. Aku sebagai kakaknya sepertinya tidak punya kemampuan untuk menyetop hal ini sejak aku mendengar sendiri tuduhan itu dari istriku,” Agung Aji Raka menjelaskan kepada Puspa yang duduk di sampingnya. Mereka duduk di bale gede, sebuah bangunan setengah terbuka, dengan dua balai-balai terpisah, terasnya tinggi, lebih dari setengah meter, sehingga kaki Puspa yang duduk di ujungnya tidak sampai menyentuh tanah. Beberapa kali terlihat ia mengayunkan kakinya,

“Istriku menuduhnya ketika anak pertama kami tiba-tiba meninggal dunia. Demam panas pada malam itu merupakan saat terakhir anak gadis satu-satunya yang kami punyai mendahului yang lebih tua menghadap Sang Pencipta,” lanjutnya, dengan gigi gemeretak, menampakkan kegetiran hatinya.

“Sesungguhnya apa yang terjadi?” tanya Puspa. Di sebelahnya, dua perawat laki-laki yang menyertainya, tampak serius mendengar. Salah satunya, paling di luar, memegang ujung tandu lipat yang mereka bawa dari puskesmas.

“Aku sempat menanyakan kepada dokter di kota. Katanya, mungkin ada infeksi atau tetanus yang tidak kami ketahui, sehingga menimbulkan panas tinggi,” ujar Agung Aji Raka, lalu berhenti sebentar. “Namun, istriku tetap saja menuduh bahwa Biyang Ade yang melakukan pekerjaan ini dengan ilmu hitamnya,” sambungnya.

Di seberang, tak lebih dari tiga meter, berdiri sebuah bangunan 7 X 8 meter, dengan dua kamar. Satu pintunya menghadap ke selatan dan pintu lainnya ke timur. Masing-masing punya jendela kaca nako dan tirai dari kain berwarna merah hati dengan motif bunga bersahaja. Sebuah teras terbentuk di sudut, di mana kedua arah pintu bertemu, dengan sebuah tiang beton kurus dan masih terlihat belum dirapikan sejak pertama kali dibuat. Sekitar lima orang ibu muda tampak duduk di sana, salah satunya bahkan di bawah. Kakinya yang dibalut kain batik menyentuh tanah. Anak balitanya berada di dekapan lengannya, tampak ketakutan. Di teras ada tiga lagi anak yang lebih tua dan tampak bermain bersama, sambil tertawa bila salah satunya terkena lemparan bola yang terbuat dari segenggam daun yang diikat dengan karet. Ibu-ibu muda itu, walau setiap kali tampak menunduk saat mata Puspa mengarah ke arahnya, berusaha mendengarkan isi pembicaraan Puspa dengan tetua puri.

“Setiap kali aku membela adikku, setiap kali pula mendapat perlawanan secara tidak langsung. Secara diam-diam tuduhan gila itu semakin gencar.” Agung Aji Raka berkaca-kaca matanya. “Aku kakaknya, adik laki-lakiku, anak dan kemenakanku, serta putra-putra mereka tak mampu memberikan pembelaan. Perempuan yang datang ke puri, menjadi istri di sini. Seminggu, dua minggu, sudah tahu siapa musuh dalam selimut yang harus diwaspadai. Sepertinya perang dingin tersebut menjadi lagu bersama. Dari sekadar bisik-bisik antarperempuan, akhirnya jadi pembicaraan serius di ranjang masing-masing. Dan setiap laki-laki kemudian mengambil keputusan yang hampir sama dengan keinginan sang istri. Menjauhi Biyang Ade. Ya, Tuhan, itulah pertempuran tanpa pertengkaran yang terjadi bertahun-tahun ini.”

“Sudah berapa lama Biyang Ade sakit?” Puspa coba mengalihkan pembicaraan. Tangannya yang sejak tadi merogoh saku jas dinasnya, memainkan stetoskop. Ia belum punya gambaran tentang kasus yang akan ditanganinya. Baru pertama kali, selama bertugas di puskesmas, ia datang mengunjungi rumah pasien. Biasanya ia hanya bertemu di balai banjar untuk program tertentu atau di puskesmas bila ada warga yang sakit. Sabtu lalu, utusan Agung Aji Raka pagi-pagi datang ke puskesmas dan meminta dirinya datang ke puri untuk memeriksa dan kalau perlu membawa langsung Biyang Ade ke puskesmas.

“Aku tidak tahu pastinya,” Agung Aji Raka mencoba mencari jawaban ke ibu-ibu muda di seberang, dengan mengeraskan suara dan mimik muka berubah pasrah. Tanpa jawaban langsung, semua menantunya hanya mengangkat bahu dan saling lirik. Seperti risi dengan sikap mertuanya.

“Baik. Kalau demikian, aku akan membawa Biyang Ade ke puskesmas untuk diperiksa. Ayo, Putra, Nyoman, siapkan tandunya.”

“Tapi, Dokter. Saya minta maaf, Biyang Ade jangan dibawa lewat pintu depan.”

“Kami pasti tidak akan membawa lewat kori agung. Lewat pintu samping kori agung juga tidak sulit, bukan?”

“Bukan begitu, Dokter. Sudah disepakati semua laki-laki di puri ini, Biyang Ade akan pergi dengan tandu lewat belakang.”

Puspa tidak mengerti dengan sikap Agung Aji Raka yang memintanya dengan sikap penuh harapan. “Tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Lewat belakang atau depan, kalau Biyang Ade menderita penyakit menular, tentu semua orang di puri ini perlu diperiksa kesehatannya. Jadi, sama saja. Lagi pula, lewat depan akan lebih dekat, karena mobil ambulans parkir di depan puri.” Agung Aji Raka tidak punya jawaban. Namun, raut wajahnya terlihat sekali ia sedang bertahan dengan sikapnya. Puspa akhirnya melupakan idenya.

Desa Karang Sari memiliki satu jalan utama yang dipadatkan dengan aspal. Arahnya utara ke selatan, menurun dan lurus. Di kiri-kanan puluhan rumah penduduk, satu balai desa, tempat aktivitas sosial dipusatkan, dan satu Pura Desa, tempat persembahyangan utama warga. Di ujung desa, paling selatan, ada satu setra, yang berfungsi sebagai kuburan dan tempat ngaben (upacara pembakaran jenazah yang diyakini mempercepat pengembalian badan kasar ke unsur-unsur pembentuk dunia). Ada juga sebuah Pura Dalem yang masih memiliki kaitan erat dengan setra. Puskesmas terletak di utara, sudah di luar wilayah pusat permukiman, namun kini di kiri-kanan puskesmas sudah mulai tumbuh rumah petak milik warga Karang Sari yang tidak mendapat tempat di rumah keluarga besar mereka.

Puri Gde Barak terletak di tengah Desa Karang Sari. Sangat mudah dikenali karena merupakan satu-satunya rumah yang memiliki halaman luas dan menghampar ke arah luar. Sementara rumah lainnya, rata-rata pintu masuknya tepat di pinggir jalan, lebih tinggi dari permukaan jalan dan memiliki arsitektur yang serupa, terdapat teras di kiri-kanannya, tempat seisi rumah biasanya bercengkerama. Kori Agung, pintu utama Puri Gde Barak paling megah, namun bata dan cadasnya sudah mulai keropos dimakan usia, relief Mahabharatanya juga sudah mulai terkikis sehingga sulit dikenali. Sementara daun pintunya terbuat dari kayu nangka berukir, dan kini kering. Di dalam puri ada merajan, tempat suci milik keluarga. Selebihnya ada belasan bangunan yang terpisah dan memiliki berbagai macam fungsi, kebanyakan dipakai sebagai tempat tinggal keluarga, dan lainnya jadi dapur. Ada juga bale gede yang dipakai sebagai pusat upacara agama untuk pernikahan atau kematian. Selain itu, ada jineng, tempat menyimpan padi.

Di Puri Gde Barak ada tujuh keluarga inti, mereka bersaudara sepupu. Kini mereka sudah memiliki anak dan cucu, kecuali Biyang Ade yang tetap melajang. Saudara perempuan yang sudah menikah harus menetap di luar puri, di tempat suami mereka. Sementara keturunan yang sudah menikah, namun belum mendapat jatah tempat tinggal, harus membangun rumah petak di luar permukiman desa, karena sudah tidak ada lagi lokasi yang cukup lapang untuk dibangun rumah.

Biyang Ade menempati bangunan rumah panggung di sebelah utara. Terasnya menggunakan teraso kuning dengan bintik-bintik putih, agak kusam warnanya, namun bersih dan tampak licin karena baru saja dipel. Dokter Puspa melepas sepatunya di bawah anak tangga pertama. Tangganya memiliki tiga anak tangga yang cukup lebar (tiga wanita tampaknya bisa duduk bersama). Di samping pintu kamar, Sari sudah berdiri menunggu. Pembantu setia Biyang Ade itu umurnya sekitar 35 tahun, tampak bersih dibalut kain batik cokelat pudar dan kebaya kuning serta secarik kain melingkari tubuhnya yang subur. “Biyang Ade ada di dalam,” ujar Sari datar dan penuh hormat.

Puspa langsung ingat Sari, sebagai utusan Agung Aji Raka ke puskesmas. “Biyang Ade tidur?” tanya Puspa. Sari menggelengkan kepala. Puspa terus masuk melewati pintu yang memiliki dua bilah daun pintu berukir dan dilapisi prada emas. Dua tangannya mendorong kedua bilah pintu dan terdengar suara derit yang berat.

Di sudut kamar 4 X 8 meter itu, yang hanya diterangi sebuah bola lampu 25 watt, terlihat sebuah ranjang besi dicat biru muda. Di sebelahnya, sebuah lemari tua, penuh laci kecil dengan cermin setengah lingkaran. Ada juga sebuah kursi bambu dan sebuah meja yang di atasnya terdapat dua buah gelas penuh air dan sebuah baskom berisi handuk kecil putih. Di sudut timur laut, terdapat sebuah tempat suci 40 sentimeter persegi, terbuat dari kayu yang digantung di langit-langit, dengan sebuah dupa menyala di atas sesaji dari rangkaian janur dengan bunga warna-warni di atasnya, memberi bau harum ruangan tersebut. Tiga buah mahkota tari Legong terbungkus plastik transparan tergantung di sisi selatan. Di samping jendela yang berdaun pintu ganda sebuah meja rendah ditumpuk tiga keranjang dari anyaman bambu, biasanya dipakai sebagai tempat penyimpanan pakaian tari.

“Biyang Ade,” suara Puspa lemah. Namun, tidak ada jawaban dari atas ranjang.

Sari yang sejak tadi berada di belakang Puspa, maju mendekati ranjang. “Biyang, dokter sudah datang,” tangan Sari menunjuk ke arah Puspa.

Puspa mendekat. “Aku Puspa,” katanya, lalu menyodorkan tangannya, menjumput dengan lembut kedua tangan Biyang Ade yang tak memberikan reaksi sedikit pun. Seperti memungut selembar daun, tangan sawo matang terang itu tak menyalurkan rasa sama sekali. Puspa mencoba bicara lewat sorot matanya, namun Biyang Ade tidak juga memberi respons. Puspa menarik napas, masih memegang tangan Biyang Ade. Ia berkeringat dan merasa ditolak. “Saya dokter baru di puskesmas dan saya mesti memeriksa kesehatan Biyang.”

Biyang Ade menarik tangannya dari genggaman Puspa, menoleh ke arah Sari. Pembantu setia ini tanggap dan mendekatkan wajahnya. Mereka berdua tampak berbisik. Sari kembali tegak. “Biyang meminta maaf sudah menerima Dokter dalam kondisi yang tidak nyaman. Beliau setuju dirawat di puskesmas.” Sari mengakhiri kalimatnya dengan segaris senyum, dan dibalas Puspa dengan senyum yang agak dipaksakan.

Puspa memanggil perawatnya. “Hati-hati dengan tandunya.” Mereka bertiga kemudian saling membantu memindahkan tubuh Biyang Ade ke atas tandu. Sementara itu, Sari sibuk membuka pintu lemari, melongok ke dalam. Seperti bingung, ia jongkok dan melongok ke bawah ranjang. Tampaknya belum juga ditemukan yang dicarinya.

“Bagaimana kalau kita pakai payung ini saja?” Sari menunjukkan payung tradisional Bali yang biasanya digunakan di kala upacara agama. Payung itu masih kuncup, terbuat dari kain berwarna kuning dan tepiannya terajut benang dengan simpul manik-manik. Tangkainya panjang, dicat merah, yang pudar karena diserap kayunya yang masih muda. Belum dapat jawaban, Sari sudah melanjutkan, “Biyang Ade harus dipayungi, di luar sangat panas, apalagi kita harus lewat sawah.”

“Sawah?”

“Benar, Dokter, kita harus lewat sawah. Memutar, melewati sungai. Baru kita bisa muncul di selatan desa. Kita harus memutar lebih jauh, kalau tidak ingin muncul di setra,” nada bicara Sari semakin cepat. Ia gelisah.

“Biyang Ade kan sakit, kenapa, sih, semua orang begitu kejam.” Sari benar-benar marah.

“Sari…,” panggil Biyang Ade lemah dari atas tandu yang siap dibawa keluar.

“Tidak Biyang. Aku tidak marah.”

Perjalanan menuju puskesmas disaksikan belasan pasang mata. Mereka keluar dari bangunan rumah tinggal masing-masing. Bahkan, ada yang dari dapur, masih membawa perabot masak yang sedang digunakan. Beberapa anak, laki perempuan, berlari di belakang tandu. Sedikit ribut dan mereka tampaknya tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tak kalah ribut, tiga ekor anjing geladak, kurus —dua hitam dengan belang putih dan satu ekor lagi cokelat— menggonggong dari kejauhan. Hal yang selalu dilakukan bila ada orang asing masuk ke wilayah mereka. Bagi anak-anak, berlari-lari kecil di belakang nenek mereka tampaknya mengasyikkan. Ibu-ibu mereka, yang berdiri di depan rumah tinggal, berteriak cemas. Memanggil dengan suara keras sambil melambai-lambaikan tangannya. Anak-anak itu tampaknya pura-pura tak mendengar.

Pintu belakang, sebuah anyaman bambu setinggi manusia, terlihat kekar. Buru-buru Sari, dengan mengepit tangkai payung, memindahkan pintu tanpa engsel tersebut sebelum tandu mencapainya. Dan melemparkan begitu saja ke tembok yang dibuat dari tumpukan batu dengan tanah liat sebagai perekatnya.

Parit sempit, dengan lebar selangkah, membentang di balik tembok. Airnya mengalir jernih. Daun jati, daun bambu, dan pelepah pisang seperti perahu yang melaju kencang. Beberapa meter ada tempat yang lebih rendah, sehingga daun dan pelepah tersebut menghilang seketika jatuh ke bawah. Suara airnya gemericik.

Sari menarik ke atas kain yang melilit tubuh suburnya. Tangan satunya memegang erat tangkai payung. Hup… ia melompati parit begitu saja. Lalu berteriak pada perawat terdepan, “Lewat jembatan saja!” Yang dimaksud jembatan, tiga buah batang pohon segemuk lengan pria dewasa yang dipasang berdampingan, diikat tali dari kulit pohon. Perlu sekali menginjak jembatan tersebut. Cara itu membuat tandu tidak terlalu berguncang dan tetap stabil. Anak-anak berhenti di balik pintu, hanya menatap sebentar, lalu pergi dengan berlari dan berteriak tanpa makna.

Puspa berjalan paling belakang. Tak bicara, tapi pikirannya sedang mengembara tanpa arah. Mereka melewati jalan setapak, di bawah rindangnya pohon jati yang masih muda dan tanaman buah seperti nangka dan cokelat yang di sana-sini sudah tampak buahnya, walau masih sekepalan tangan. Sari berjalan di samping tandu, selalu memastikan wajah junjungan terhalang dari sinar matahari langsung, yang menelusup lewat sela-sela dedaunan. Beberapa kali ia menaik-turunkan payung, mendoyongkan ke depan, kadang-kadang ke belakang.

Setelah tegalan, hamparan sawah mulai tampak. Padi baru sebulan tumbuh, masih hijau dan tingginya rata-rata baru sepuluh sentimeter. Matahari hampir tepat di atas ubun-ubun. Sari mengeluh, tapi tak sampai mengeluarkan kata-kata. Mereka kini beriringan di pematang sawah, lebih sempit dari jalan setapak sebelumnya. Beberapa kali Sari yang tidak mengenakan alas kaki terperosok ke parit sawah di sebelahnya. Ia mengeluarkan sumpah serapah yang membuat kedua perawat laki-laki tersebut tersenyum simpul. Karena pematang becek, Dokter Puspa melepaskan sepatu kulitnya dan menentengnya, seperti pemancing yang membawa ikan hasil tangkapan.

Biyang Ade tiba-tiba berseru pada Sari, “Anak-anak melihat ke arah kita?” ia mencoba mengangkat tangannya yang lemah dan menggerak-gerakkannya.

Sari memberi respons dengan anggukan kepala. Lalu ia menoleh ke sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit kecil, yang baru saja dilewati. Banyak pohon rimbun dan sebuah tugu, tempat suci, di tempat itu, yang tampak berwarna putih redup dan polos, memiliki rongga persegi di bagian atasnya. Puspa juga tertarik, ia menoleh sebentar, tapi tidak tahu apa
fokus perhatian Sari.

Sementara itu, petani-petani yang sedang menyiangi sawah, mencabut rerumputan di seputar pokok padi, menghentikan pekerjaannya. Menegakkan tubuhnya dan memandang ke arah tandu Biyang Ade yang kini sedang melewati jalan menurun. Mereka terpana sampai ujung atas payung —terbuat dari kayu dihiasi tiga lembar aluminium tipis berbentuk daun dan memantulkan cahaya matahari— menghilang di balik hamparan sawah berundak-undak. Desa Karang Sari tidak begitu luas, sehingga asap tipis sekalipun sulit ditutupi. Karenanya, berita akan dipindahkannya Biyang Ade ke puskesmas sudah menyebar sejak kemarin. Menjadi bahan utama gunjingan seisi desa.

Melewati tepian sungai, dua perawat tersebut tampak tersengal-sengal dan minta istirahat. Ini perjalanan tugas yang paling jauh dan berat yang pernah mereka lakukan selama bekerja di Puskesmas Karang Sari. Sedikit pun mereka tak berpikir bahwa mereka harus berjalan jauh siang ini. Tandu ditidurkan di atas batu hitam besar di tepi sungai. Kedua ujungnya tetap dipegang kuat-kuat.

Sari menyeka keringat yang muncul di wajah Biyang Ade dengan secarik kain. Ia tahu, junjungannya tersenyum untuk menutup sedih.

Puspa bicara kepada perawatnya, “Sopir kita sudah diberi tahu Agung Aji Raka ke selatan. Jadi, setibanya di selatan setra, mobil ambulans sudah menunggu.” Puspa mencoba membesarkan hati anak buahnya, ia juga merasa bersalah karena semuanya jadi di luar rencana. Ia enggan bicara kepada Biyang Ade karena merasa tidak diterima. Namun, sebagai dokter, ia merasa perlu mengukur tekanan nadi pasiennya, walau dengan cara manual: memegang nadi pergelangan tangan Biyang Ade dan menghitung denyutan jantungnya. Hasilnya tak ia utarakan kepada siapa pun.

Kembali melewati pematang sawah, agak berat, karena jalannya terus menanjak. Namun, tak ada rintangan yang berarti. Benar, setibanya di selatan setra, mobil ambulans sudah menunggu. Sopirnya segera membuka pintu belakang dan dari gerakan mereka tampak mereka ingin sesegera mungkin tiba di puskesmas.

Seperti lepas dari lubang jarum, Puspa merasa menemukan tantangan. Antara rasa lega dan penasaran berkecamuk jadi satu. Semua anak buahnya di puskesmas dikerahkan untuk mengurusi perawatan Biyang Ade. Bagian administrasi segera menyediakan blangko laporan pasien, mengisi biodata Biyang Ade dan segera menyerahkan ke atasannya. Dua perawat wanita membersihkan tubuh Biyang Ade dengan air hangat. Sari yang sudah kembali dari Puri Gde Barak dengan tergopoh-gopoh, membawa satu tas besar pakaian junjungannya dan membantu mengganti pakaian. Lasti mengukur tekanan darah dan suhu tubuh pasien istimewa mereka hari itu. Berbicara sebentar tentang hasilnya ke Puspa.

Puspa melanjutkan pemeriksaan dengan seksama di seluruh tubuh pasiennya, kembali bicara dengan Lasti dan memintanya menyediakan beberapa jenis obat. “Pastikan beliau meminumnya. Bila masih sulit berkomunikasi, Sari aku pikir bisa membantu.”

Puspa duduk di bangku teras tunggu puskesmas, sebuah bangku panjang terbuat dari dua bilah papan untuk sandaran dan empat bilah papan lebih tipis sebagai alasnya. Dicat putih dan sandarannya menempel ke dinding. Dari bangku tersebut bisa terlihat pintu masuk puskesmas dan pucuk-pucuk pohon kelapa. Di seberang puskesmas hamparan sawah menurun sampai di pinggir sungai dan memang banyak tumbuh pohon kelapa yang sangat tinggi di seberang sungai. Sehingga, dari puskesmas hanya terlihat pucuknya saja. Sudah tidak ada lagi penduduk yang datang berobat, karena hari sudah semakin sore. Di ruang perawatan, masih ada lima pasien, ditunggu keluarganya di balik tembok ruangan. Dua-tiga orang dari mereka terdengar bicara pelan.

Puspa teringat, perasaan yang sama pernah muncul saat ia ditugaskan di Puskesmas Liquisa, Timor Timur. Walau ada larangan bagi dokter puskesmas, ia berangkat juga ke hutan mengobati beberapa pejuang kemerdekaan Timor Leste yang terluka dan sakit tipus, tanpa ancaman. Akibatnya, ia diinterogasi intel berjam-jam. “Aku bukan tentara, bukan politikus. Aku dokter. Tugasku membantu menyelamatkan jiwa manusia.”

Biyang Ade dituduh gila karena sering menari sendiri di tengah sawah di bawah pohon beringin.

Tapi, Anda kan bisa membawanya ke rumah sakit kabupaten.”
“Ya, namun itu bukan kewenanganku! Aku ini dokter, tugasku mengobati orang sakit, apa itu pemberontak, tentara, milisi, atau orang biasa.” Puspa berhenti sejenak dan mulai dengan nada lebih datar, “Tugas kalian memerangi, tapi jangan paksa aku memenangkan perang ini dengan cara menolak menolong mereka.”

“Ok,” kata perwira intelijen itu merendah, “Tapi... Dokter, Anda kan bisa menunjukkan posisi mereka?”

Diminta seperti itu, Puspa tetap bersikukuh, “Aku ingatkan sekali lagi, aku bukan mata-mata tentara. Jadi, aku tidak punya kewajiban menunjukkan di mana mereka berada. Aku datang ke sini bukan ditugaskan untuk berperang. Aku melayani siapa saja yang perlu dokter dan puskesmas ini.”

Sejak saat itu Puspa selalu dikuntit intel. Ia tak ambil peduli. Namun, belum sempat lagi ia menolong pejuang kemerdekaan, Timor Timur keburu merdeka lewat jajak pendapat yang kontroversial. Puspa harus mengemas semua barangnya dan meninggalkan tempat kerjanya, diiringi tangis penduduk setempat. “Negara kita boleh berpisah, tapi hati kita tetap satu.” Sebait ucapan perpisahan yang masih bisa dilontarkan Puspa.

Sari melintas, Puspa memanggilnya, “Tolong ke sini sebentar, Sari.”
Sari mendekat, duduk di ujung bangku. Dua telapak tangannya dipertemukan di dada. Tubuhnya diayun ke depan, “Ada apa, Ibu Dokter?”

“Mendekatlah.”

Sari menggeser pantatnya, masih dengan posisi hormat.

“Tak perlu terlalu begitu dengan aku. Biasa saja.”

“Maaf, Ibu Dokter.”

Puspa tersenyum. “Tadi Biyang Ade sempat menyebut anak-anak. Aku tak melihat seorang pun di sawah, kecuali anak-anak yang mengikuti kita di Puri.”

“Mereka wong samar.”

“Wong samar?” Kata itu selintas sempat diingatnya. Namun, kemudian lupa kapan ia sempat mendengar istilah itu sebelumnya.

“Mereka tinggal di Dukuh Bingin,” Sari menunggu reaksi lawan bicaranya. Ia ragu-ragu apakah harus menyampaikan hal tersebut lebih banyak.

“Bicaralah, aku mau mendengarnya,” Puspa meminta, sepertinya ia bisa membaca pikiran Sari.

“Dukuh Bingin, nama bukit kecil di tengah sawah. Di sana terdapat satu pohon beringin yang cukup rindang. Walau tidak ada yang pernah terlihat menyapu, tanah di bawahnya selalu tampak bersih dan daun beringin yang berguguran selalu disisihkan di tepi bukit. Biyang Ade pada waktu tertentu selalu datang ke sana.”

“Untuk apa?” Puspa semakin tertarik.

“Junjunganku datang untuk mengajar tari.”

“Mengajar tari. Jadi, anak-anak desa datang ke sana untuk belajar menari? Pasti tari Legong yang diajarkan Biyang Ade,” Puspa mencoba menebak. Nadanya semangat.

Sari agak tersentak. “Benar, Biyang Ade mengajar tari Legong. Tapi, bukan untuk anak-anak desa. Biyang Ade mengajar anak-anak wong samar. Ada Sandat, Jepun, dan Jempiring. Mereka anak-anak yang sangat pintar,” jelas Sari yakin.

“Sari sudah pernah bertemu mereka?”

“Belum.” Sari terlihat tertekan. “Mereka wong samar, hanya Biyang Ade yang tahu wajahnya.”

“Lalu bagaimana tahu anak-anak itu pintar menari?”

“Biyang Ade mengatakan. Sejak pertama kali jadi pelayannya, aku sudah sering diajak ke Dukuh Bingin. Mulanya takut. Saat itu sore dan di sawah sepi sekali karena musim panen sudah lewat seminggu dan sawah sudah usai dicangkul. Menunggu batang padi yang ditinggal di sawah membusuk, baru petani datang lagi untuk membuat sawah lebih rata dan siap ditanami. Aku duduk di akar beringin yang menyembul dari bawah tanah. Biyang Ade mulai bicara pada mereka, ia menyebut nama Sandat, Jepun, dan Jempiring. Memberi tahu ketiganya bahwa aku pelayan baru, karena pelayan sebelumnya pulang ke kampungnya untuk menikah. Itu lima belas tahun lalu.” Sari melirik Puspa, ia tidak yakin dokter puskesmas ini akan percaya pada ceritanya.

“Teruskan, aku percaya ceritamu,” sekali lagi Puspa mencoba menebak jalan pikiran Sari.

“Setelah itu, mereka mulai belajar menari. Biyang Ade memandunya dengan melantunkan suara gamelan.” Sari menirukannya, namun suaranya sumbang, membuat ia sendiri tertawa malu. “Biyang selalu berteriak bila ada yang salah, kurang lemas, atau terlalu lincah. Lalu Biyang akan memperagakannya, dua tangannya dibuka. ‘Seperti ini yang benar, Sandat. Jempiring, ekspresi wajahmu harus lebih tegas. Tubuhmu kurang jatuh ke bawah, Jepun, pantatmu dipertahankan pada posisi ini sebelum berputar. Jangan sampai diketawai Sari,’ begitu yang sering diucapkannya. Tapi, terkadang pujian juga terlontar.” Cara Sari bercerita sangat lepas dan bebas. Tangan dan gerakan kepalanya dipakai membantu menjelaskan.

“Lalu apakah kau tidak bingung melihat Biyang Ade menari seorang sendiri?”

“Mulanya ya. Lama-lama aku jadi terbiasa. Bahkan, mulai bisa memperkirakan seperti apa rupa Sandat, Jempiring, atau Jepun. Walau Biyang tidak menyebut nama, aku tahu siapa yang sedang diajak bicara. Yang paling pintar menari adalah Jempiring, dan Jepun paling bandel, paling sering membantah. Kalau Sandat lebih pendiam dan punya lirikan mata paling tegas. Bola matanya bulat dan besar, sehingga saat ia melakukan lirikan mata, seperti kelereng hitam, bergulir ke kiri-ke kanan.”

Puspa semakin tidak mengerti, bagaimana Sari bisa membuat gambaran ketiga murid Biyang Ade yang tidak pernah dilihatnya langsung. Ia mengernyitkan alisnya, namun semakin tertarik pada cerita Sari.

“Lima belas tahun, tentu waktu yang cukup lama buat aku mengenal mereka. Walau tak pernah aku lihat dan tak pernah dengar suaranya. Dari cara Biyang Ade bergerak, bicara, membuka tangannya, menggerakkan kaki, marah, sedih, dan tersenyum di Dukuh Bingin, aku selalu bisa merasakan kehadiran ketiga anak-anak itu,” jelas Sari berusaha meyakinkan Puspa.

“Setiap tahun, pada bulan purnama kelima, mereka akan menari. Menurut Biyang Ade, Dukuh Bingin akan terang benderang dan ramai. Semua yang dilihatnya diceritakan secara langsung: penari dari tempat yang jauh, penabuh dan jumlah gamelan. Tentu, yang paling disukai adalah setiap gerakan ketiga penarinya. Biyang Ade sering sedikit membentak bila dilihatnya aku terkantuk-kantuk, ‘Awas, obormu!’ Aku memang selalu membawa obor minyak tanah dalam tabung bambu, bersumbu kain bekas gombal yang dijemur kering sebelum dipakai. Setelah matahari menghilang di sela-sela pohon kelapa, kami berdua berjalan beriring ke Dukuh Bingin. Aku di belakang, Biyang Ade di depan, melewati tegalan dan melintasi pematang sawah.”

Sari pulang untuk mandi dan sembahyang di beberapa pura, mohon kesembuhan junjungannya. Puspa segera menemui Lasti di ruang bidan, dua perawat yang duduk di sana segera keluar. “Suamiku cemas, semua orang di desa membicarakan Biyang Ade sejak kemarin.” Lasti mendahului sebelum Puspa menyeret kursi di seberang mejanya.

“Kenapa cemas?” Puspa menjatuhkan pantatnya di alas kursi.

“Karena Biyang Ade ada di sini dan dia tak disukai warga desa.”

“Kecemasan suamimu terlalu tidak beralasan. Kau juga terlihat cemas. Cuma mesti diingat, kita ini pelayan kemanusiaan. Tugas kita membantu siapa saja, maka cobalah tutup telinga,” nasihat Puspa. “Ingat tidak, kau sempat menyebut-nyebut wong samar?”

Lasti kaget, ia sudah lupa pernah mengatakan hal tersebut.

“Sari mengatakan tentang wong samar. Katanya, Biyang Ade mengajari mereka tari Legong.”

Lasti bangkit dari tempat duduknya, menuju lemari dan mengeluarkan sebuah buku panjang. Ia kembali ke kursinya dan meletakkan buku itu terbuka di atas meja, mengambil pulpen dan mulai menulis beberapa hal menyangkut tugas yang telah dikerjakan. “Kata sejumlah orang di desa, Biyang Ade punya kesaktian.” Ia mendongak dan menunggu reaksi Puspa, namun tidak diperolehnya. “Semacam ilmu hitam sehingga bisa bicara dengan wong samar, makhluk yang hidup bukan di dunia kita dan tinggal di persawahan atau sungai yang keramat. Semacam peri, kalau di cerita dongeng.” Lasti menelan ludahnya, lalu kembali melanjutkan, “Namun, ada juga yang menilai Biyang Ade sebenarnya gila. Setiap sore datang ke Dukuh Bingin, menari sendiri sementara Sari duduk melongo. Ada saja penduduk desa yang memergoki, namun tak pernah ada yang langsung bicara pada mereka. Paling hal ini kemudian menjadi bahan pembicaraan yang sebentar saja sudah hilang. Diganti topik yang lebih mengasyikkan.”

Rumah dinas dokter tidak begitu besar. Berdiri 100 meter ke arah utara dari Puskesmas Karang Sari. Hamparan sawah memisahkannya. Ada empat kamar dan sebuah garasi, tempat Puspa memarkir mobilnya. Selama di desa, ia selalu menggunakan mobil dinas puskesmas yang sekaligus berfungsi sebagai ambulans. Setiap hari Selasa ada program pos pelayanan terpadu di desa-desa di sebelah utara Karang Sari, sementara di desa selatan pada hari Jumat.

Pagi itu, seperti biasa, Puspa langsung dijemput di rumah dinas. Satu orang perawat wanita, muda, dan mengenakan seragam perawat yang putih bersih dan cerah. Terlihat segar dan melempar senyum ke arahnya. Srinadi, begitu nama yang tersemat di seragamnya. Dia membuka pintu, melompat keluar dan menarik daun pintunya lebih lebar, sekali lagi melempar senyum ke arah Puspa yang bergegas naik ke atas mobil dan duduk di tengah, sambil memangku tas obat.

Mereka bertiga di kursi depan, berdesak-desakan. Mobil ambulans bergerak ringkih. Jalan menuju desa-desa di utara menanjak dan aspalnya sudah banyak mengelupas, batunya bertebaran ke mana-mana. Sopir puskesmas, Dewa Susila, terlihat piawai menghindari lubang dan sangat hafal dengan medan yang harus dilalui, sehingga mobil ambulans terlihat sebentar melaju ke kanan, sebentar ke kiri. Hanya sekali-sekali berpapasan dengan mobil lain dari arah utara yang tampaknya turun ke kota membawa hasil bumi. Kini mobil melewati kebun jeruk yang sudah mulai matang. Bulatan buah jeruk warna kuning tersebut terlihat seperti digantung begitu saja di ranting yang masih memiliki sedikit daun berwarna hijau.

Srinadi membuka catatan, menyebutkan nama desa yang akan dikunjungi, membacakan jumlah imunisasi yang akan dilakukan di desa-desa tersebut, termasuk beberapa pasien yang sempat dirawat inap di puskesmas, yang harus mendapat kontrol kesehatan lagi. Puspa mendengar, tapi tidak terlalu menyimak. Pikirannya lebih memilih Biyang Ade. Sekali-sekali ia menoleh ke arah kebun jeruk yang mereka lalui. Melihat Puspa sepertinya tertarik dengan kebun jeruk, Dewa Susila melontarkan komentar, “Para petani sedang cemas. Kalau hujan turun sebelum jeruk siap panen, mereka akan rugi besar. Jeruk akan berguguran sebelum waktunya. Walau bisa saja dipungut, saudagar jeruk tahu dan pasti menurunkan harga belinya.”

Puspa membalas dengan komentar singkat, “O....”

Sesampai di balai desa, petugas pelayanan terpadu yang direkrut dari desa setempat sudah menghampiri ambulans, membantu membawa sekotak besar peralatan dari pintu belakang ambulans. Dewa Susila mengeluarkan kasur busa dan sebuah bantal. Balai desa yang berbentuk limas dan beratap alang-alang itu tidak begitu luas. Mereka meletakkan semua peralatan di balai-balai beralaskan puluhan bilah bambu. Sekitar dua puluh warga desa, beberapa di antaranya menggendong bayi, duduk dengan tertib di atas kursi yang diatur berderet-deret.

Petugas pelayanan terpadu menyebut beberapa nama. Satu per satu warga yang dipanggil maju dan menyerahkan sebuah kartu kesehatan warna merah pada Srinadi yang segera mencatatnya di atas meja tanpa alas. Saat diserahkan kepada Puspa, ia menambahkan dengan beberapa komentar secara lisan. Pasien yang memerlukan tindakan langsung dibaringkan di atas kasur busa. Selesai pemeriksaan, Puspa menulis beberapa catatan di kartu merah tersebut dan mengembalikan pada pasiennya. Setelah semua pemeriksaan selesai, petugas pelayanan terpadu tersebut kembali menyebut nama.
Kini Puspa duduk di sebelah Srinadi. Pasien yang dipanggil duduk di kursi depan meja mereka dan menyerahkan kartu merahnya. Puspa membaca catatan yang dibuat sebelumnya. Dan bila perlu obat, ia minta Srinadi menyiapkan. Selebihnya, nasihat hidup sehat selalu terlontar dari mulutnya. Pagi ini, ada tiga desa yang harus dikunjungi. Puspa berharap, sebelum siang sudah selesai.

Sekembalinya dari desa-desa di utara, Puspa menyempatkan makan siang di rumah dinas. Srinadi dan Dewa Susila langsung menuju puskesmas dan kembali ke rumah masing-masing untuk makan siang. Puspa makan masakannya sendiri, terdiri dari sayur yang ditanam petani setempat dan ikan asin yang tak pernah dilupakannya. Pembantunya menemani makan. Puspa selalu bangun dini hari dan menyempatkan masak. Pembantunya bangun lebih cepat dan biasanya menunggu para petani yang membawa sayur ke kota. Ia memanggil satu dua petani dan meminta satu dua ikat sayur yang dipesan majikannya. Para petani itu selalu menolak menerima uang dan hanya tersenyum di tengah gelap.

Masih dengan pakaian yang dipakainya sejak pagi, Puspa jalan kaki ke puskesmas. Di halaman depan puskesmas ia tak menemukan satu sepeda motor pun. Sedikit tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, ia menengok jam tangannya. "Baru pukul 13.05!" serunya dalam hati. Ia juga tak mendengar suara berisik penduduk desa yang sedang menunggu untuk periksa kesehatan. Kebiasaan warga desa mulai berobat pukul 10.00, setelah mereka datang dari pasar dan sekitar pukul 15.00 puskesmas baru sepi. Puspa mempercepat langkahnya menuju ruang perawatan, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Melihat Puspa datang, Lasti menghambur dari ruang klinik, mengikuti langkah Puspa tanpa bicara. Puspa membuka pintu ruang perawatan, ia terkejut dan tidak jadi masuk ke dalam.

"Mereka sudah pulang," ujar Lasti.

"Pulang?" Puspa memandang ke sekeliling puskesmas.

"Benar mereka sudah pulang."

"Kan belum satu pun yang harus pulang hari ini?" Puspa berbalik dan kembali membuka pintu ruang perawatan. Hanya dua orang yang tampak di dalam. Biyang Ade terbaring di atas salah satu ranjang dan Sari duduk di kursi di samping ranjang, terkantuk-kantuk. Tangannya dengan lemah mengibas-ngibaskan sebuah kepas ke atas tubuh Biyang Ade.

Puspa menutup pintu dengan perlahan,"Lasti, ayo, ke ruanganku."

Di ruangan dokter yang dipenuhi bau obat, Puspa duduk tidak tenang. Lasti di seberang meja, sudah lima menit berhenti memberi penjelasan tentang apa yang terjadi.

"Bagaimana kunjungan warga ke klinik?"
"Mereka juga tak ada yang datang sejak pagi," suara Lasti pelan, hampir tak terdengar.

"Lasti kan bisa cari tahu, kenapa bisa begitu. Kenapa pasien rawat inap memutuskan pulang dan warga tak ada yang berobat ke klinik?" suara Puspa getir, antara marah dan kecewa.

"Semua karena Biyang Ade," sahutnya, suaranya benar-benar rendah. Dilihatnya Puspa memberi respons lewat mukanya bahwa ia tak mendengar. Lasti lebih mendekatkan wajahnya, "Biyang Ade yang membuat mereka takut," volume suaranya belum berubah.

"Apa yang ditakutkan?" suara Puspa menggelegar. "Apa Biyang Ade mengancam mereka?"

"Dokter, jangan terlalu keras,"Lasti mengingatkan.

"Apa kau juga merasa takut, Lasti?"

"Bukan begitu. Tidak enak kalau Biyang Ade mendengarnya. Beliau tidak mengancam siapa pun, malah baru siang ini tampak bicara dengan Sari. Kalau pulang nanti, saya mau mencari tahu dari warga desa."

"Kenapa tidak sekarang. Kita tampaknya tidak punya pekerjaan siang ini," ujar Puspa kesal.

Tak seorang pun pasien di puskesmas itu yang sudi berdekatan dengan Biyang Ade.

Puspa masuk ke ruang perawatan dengan wajah muram. Mendekati ranjang yang ditempati Biyang Ade. Dilihatnya Sari sudah betul-betul tertidur, kepalanya terkulai di sisi ranjang. Lengan kanannya menyilang pinggang junjungannya, sedangkan kipas cendananya masih dipegang erat.

“Dokter Puspa…,” Biyang Ade menyapa.

Puspa terkejut, terbata-bata ia membalas, “Ya, Biyang, ada apa?”

Biyang Ade bergerak mengulurkan tangannya, tapi tertahan lengan Sari. Pelayan setia itu kaget dan terbangun. Betapa terkejutnya ia, karena melihat Puspa sudah di hadapannya. Puspa tersenyum melihat adegan itu. Ia juga melihat Biyang Ade tersenyum.

“Ayo, sana, cuci muka dulu. Seharusnya kau tunggui aku tidur, ini, kok, malah kau ikut tidur,” omel Biyang Ade.

Sari tak berkomentar, ia tinggalkan kipas cendana di atas ranjang dan bergegas ke luar ruang perawatan.

Puspa menyeret sedikit kursi yang tadi diduduki Sari. Ia kemudian duduk, dan merasa pantatnya hangat. “Bagaimana kondisi Biyang? Apakah sudah terasa segar hari ini?”

Biyang Ade ingin menarik kembali sikap terbukanya. Seperti kura-kura ingin menyelamatkan diri, berusaha menarik kepala ke dalam cangkang tubuhnya. Namun, ia urungkan niatnya. “Baik. Aku bisa tidur nyenyak hari ini. Tubuhku juga sudah mulai terasa enak. Cuma, kalau mau bangun, dunia ini masih seperti berputar. Langit-langit seperti mau runtuh dan aku segera mual. Tadi Sari mau membantu aku duduk, tapi aku tidak kuat, terpejam juga masih terasa.”

Melihat kemajuan Biyang Ade, Puspa merasa lega. Ia perhatikan betul mimik bibir Biyang Ade yang mulai merah merekah, ia membayangkan bibir itu menari saat usianya belasan tahun. Namun, emosi yang belum bisa dikendalikan membuat pikirannya jauh mengembara. Bagaimana kalau bibir itu adalah bibir penganut ilmu hitam, benar-benar bisa ilmu leak, bisa menjadi raksasa, bertaring dan lidahnya memanjang.

“Dokter sedang banyak pikiran, ya?” tebak Biyang Ade. Mematahkan lamunan Puspa yang sudah semakin jauh.

“Panggil saja saya Puspa,” kata itu malah keluar secara spontan. Menyadari sikapnya yang mudah ditebak, Puspa mencoba mencari jawaban yang lebih tepat. “Tidak begitu banyak yang harus saya pikirkan.”

“Aku tahu Dokter memikirkan aku, dan ke mana semua pasien pergi.”

“Sekali lagi, tolong panggil aku Puspa, setidak-tidaknya kalau kita berdua.” Puspa sedikit kesal. “Saya hanya berusaha Biyang cepat sembuh. Dan kalau semua pasien pergi, tentu itu prestasi bagi puskesmas ini. Semakin sedikit pasien, semakin bagus kondisi kesehatan masyarakatnya, bukan?” ujarnya semakin ngawur. Ia tidak tahu kenapa bicara dengan Biyang Ade membuat dirinya tak lagi pintar bercakap-cakap. Seperti saat dirinya bicara dengan nenek dan ayah-ibunya, selalu saja dirinya merasa berada di bawah tekanan. Namun, karena sang nenek lebih banyak mengasuhnya —ibunya bercerai dan menikah lagi dengan seorang pelaut dan tinggal di Sumatra, sementara sang ayah menikah lagi dengan seorang wanita muda— membuat Puspa lebih memilih tinggal bersama sang nenek, yang menempanya untuk selalu mandiri dan berani melawan. Walau selalu kalah berdebat, termasuk saat ia sudah jadi dokter.

“Aku tahu Puspa kecewa dengan keadaan ini,” Biyang Ade bicara sangat tenang. “Semua pasien pulang karena ada aku di sini. Semua berpikir, kalau mereka dirawat di sampingku, bukan kesembuhan yang akan mereka peroleh, tapi petaka.” Mata Biyang Ade berkaca-kaca. “Jadi, izinkan aku pulang dan keadaan kembali seperti sedia kala.”

“Tidak. Saya dokter, tugas saya merawat orang sakit. Selama saya masih bisa mengusahakan kesembuhan, akan saya rawat di sini. Kalau mereka pulang dan tidak percaya kepada saya, apa yang bisa saya lakukan? Bagi saya, Biyang Ade belum saatnya diizinkan pulang. Biyang Ade di sini dulu, biar saya panggil Sari dan perawat menyiapkan air untuk mandi.” Puspa bergegas keluar. Ia tarik napas panjang dan berharap air matanya tidak tumpah. Ia berhasil, keluar dari ruang perawat dan memanggil Sari yang duduk di kursi tunggu. “Sari, dipanggil Biyang Ade!” suaranya meninggi.

Lasti datang dibonceng suaminya. Setelah sang suami pulang, Lasti menuju dapur dan membuat teh untuk dirinya. Setelah itu, mereka terlibat pembicaraan serius. Umur Lasti tiga tahun lebih tua dari Puspa, putranya dua dan sudah duduk di bangku sekolah dasar. Dibandingkan Bidan Dayu Murti, Puspa lebih mampu berkomunikasi dalam banyak hal dengan Lasti. Dayu Murti adalah bidan pertama di Puskesmas Karang Sari. Wanita setengah baya itu sudah mendekati masa pensiun. Bagi Puspa, ibu beberapa anak tersebut terlalu berlebihan dalam menghormati atasan, sehingga Puspa risi dan sulit mengutarakan permasalahan, kecuali tugas-tugas rutin puskesmas.

“Selama ini Sari adalah mata dunia dari Biyang Ade,” Lasti memulai laporannya. “Secara tidak langsung Sari juga menjadi jendela bagi masyarakat untuk mengetahui tingkah laku Biyang Ade.”

Menurut Lasti, apa yang dilihat Sari di lingkungannya, apa yang dibicarakan tentang diri Biyang Ade di warung tempatnya membeli kebutuhan pokok, pasti disampaikan pada junjungannya. Demikian pula warga masyarakat yang bertemu Sari, pasti memancing informasi. “Apa benar junjunganmu itu penari Legong yang hebat. Dan sampai sekarang masih mengajar wong samar?”

Sari menjawab, “Ya, benar.”

“Jadi, benar juga dia ratunya leak?”

“Tidak benar. Kalian jangan memfitnah.”

“Tapi, sebulan lalu, di Puri Gde Barak ada lagi yang mati tiba-tiba.”

“Mati kan bukan urusan Biyang Ade,” ujar Sari jengkel. “Kalau kau masih juga tidak bisa menahan mulut besarmu, biar Biyang Ade mengirim cetik, biar mati berdiri kau.”

Jadi, kemarahan Sari yang lugu itu, sering diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat. Lasti menjelaskan bahwa cetik, berupa serbuk racun yang dikirim lewat kekuatan ilmu hitam, sering diucapkan Sari kalau sedang emosi. “Warga menanggapinya sebagai kebenaran dan menyebarkan gosip itu ke mana-mana. Sari pasti akan melapor dengan siapa dirinya bertengkar. Walau secara pergaulan Sari sering ribut, bahkan terkesan tidak diterima, dia cukup banyak tahu asal usul dan latar belakang lawan debatnya. Kalau sudah emosi, Sari sering bilang, ‘Kamu sudah dicatat Biyang Ade, umurmu tinggal sebentar.’ Pernah kejadian, seorang ibu yang ditakut-takuti seperti itu, seminggu kemudian mendadak meninggal. Cerita ini selalu diulang-ulang kalau gosip tentang Biyang Ade sedang panas-panasnya.”

“Kalau begitu beralasan kenapa semua kematian di Puri Gde Barak selalu ditujukan kepada Biyang Ade? Apa benar Biyang Ade bisa ilmu leak?” tanya Puspa menyelidik.

“Aku tidak tahu,” Lasti berusaha bertahan.

“Secara pribadi, kau percaya?”

“Ya.”

Keduanya terdiam dalam waktu yang cukup lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Setelah menyeruput sisa teh di gelasnya, Puspa bertanya, “Kalau begitu, kita mesti memulangkan Biyang Ade?”

Lasti tidak menjawab, ia menggigit bibirnya dengan lembut. Ia punya jawaban, tapi enggan disampaikan. “Terserah Dokter saja.”

Pukul 08.00 malam Puspa datang ke puskesmas. Ia mendorong gerbang puskesmas, suaranya ribut. Tiga orang langsung keluar dari ruang klinik, Bidan Dayu Murti dan dua perawat laki-laki.

“Dokter,” ujar Bidan Murti, “ada apa, Dokter?”

“Kalian istirahat saja. Aku mau bicara dengan Biyang Ade.”

“Oh, ya, beliau belum tidur.”

Puspa masuk ke dalam ruang perawatan. Dilihatnya Biyang Ade duduk dengan sandaran tumpukan bantal.

“Ada apa, Puspa?”

“Saya mau belajar tari Legong.”

“Jangan bercanda.”

“Benar, Biyang. Saat kecil, saat di Jakarta, aku sempat belajar tari Bali. Belum sempat pentas, Ayah pindah kerja. Jadi, tidak tahu rasanya bagaimana menari di depan banyak orang.”

Biyang Ade menggeser tubuhnya ke atas dengan kedua tangannya menekan tempat tidur. Puspa ingin menolong, tapi Biyang Ade memperlihatkan mimik tidak berkenan. “Sekarang semakin banyak orang ingin belajar menari. Tapi sayangnya, mereka ingin cepat bisa, cepat pentas di hotel dan terkenal,” ujar Biyang Ade kecewa. “Bukan aku tidak setuju kalau Puspa belajar menari.” Biyang Ade menyentuh tangan Puspa yang menempel di tepi ranjang. Saat beradu muka, Biyang Ade tersenyum. “Menari Legong itu bukan sekadar bisa agem.” Ia membuka kedua belah tangannya, kedua sikunya sejajar dengan bahu dan pergelangan tangan ditekuk ke depan, sementara jari-jari tangan menghadap ke atas. “Atau seledet.” Matanya yang besar terbuka penuh, bola matanya seperti kelereng yang bergulir dari kiri ke kanan.

Puspa terpana menyaksikan Biyang Ade bicara tentang gerakan pokok tari Legong sambil memperagakannya dengan tangan dan ekspresi wajahnya.

Seperti ada aliran energi merasukinya, sekali lagi Biyang Ade menggeser tubuhnya ke atas, setengah punggungnya kini tak lagi bersandar ke bantal.

“Penari sekarang agem-nya lemah. Memang terlihat benar posisi tangannya, tapi itu kebanyakan posisi yang ditanamkan gurunya. Posisi agem harus sesuai dengan ukuran tubuh diri sendiri. Guru bisa saja mengajar, tapi sang murid harus tahu mencari pose terbaiknya. Penyebabnya, karena diajar dengan hitungan dan bukan lantunan suara gamelan. Penari sekarang takut mengubah apa yang sudah dibentuk sang guru, mereka akan terus saja menari sambil berhitung. Satu, dua, tiga, empat. Satu, dua, tiga, empat. Lima, enam, tujuh, delapan.” Mimik muka Biyang Ade tampak lucu.

“Sekarang sulit sekali aku temukan guru tari yang mampu memainkan gamelan. Jangankan itu, mereka tidak lagi tahu menyuarakan gamelan saat mengajar tari dengan mulutnya. Mereka pilih mudahnya: satu, dua, tiga, empat, berputar ke kiri. Satu, dua, tiga, empat seledet kanan. Bagaimanapun melagukannya, hitungan itu tetap saja monoton iramanya. Sedangkan nada gamelan adalah sebuah patokan gerakan yang harmonis, ada pembeda antara nada yang satu dengan nada yang lain, membentuk sebuah irama yang tersusun rapi dan akan tertanam dalam ingatan penari sejak pertama belajar tari.”

Biyang Ade minta diambilkan air minum yang terletak di atas meja bercat biru muda. Usai minum ia meneruskan pendapatnya, “Akibatnya, kalau mereka pentas di depan umum. Antara nada gamelan dengan gerakan tari sering tidak harmonis. Seharusnya penari menari di atas nada gamelan dan penabuh gamelan juga memukul gamelan mengikuti penari, sehingga ada hubungan yang erat. Kalau mereka cuma ingat satu, dua, tiga, empat, bagaimana mereka bisa menari di atas nada. Akhirnya seperti air dan minyak, mereka memang ada bersama, cuma tidak menyatu.”

Menurut Biyang Ade, kelemahan ini terjadi karena sejak kecil bukan diajar menjadi penari, tapi cuma menjadi peniru gerakan tari. Seharusnya menari itu di hati. Hati yang akan menggerakkan tangan, kaki, maupun mata. “Cuma tubuh harus dilatih sejak kecil. Dibentuk lewat latihan keras. Tidak seperti sekarang, ditekuk sedikit saja, anak-anak itu sudah menangis. Orang tuanya datang marah-marah, ha… ha… ha.…”

Biyang Ade bercerita bagaimana gurunya dulu membentuk dirinya. “Ida Bagus Gedir namanya. Sangat terkenal. Selain galak, ia juga tampan dan berwibawa. Ia tidak mau menerima murid, tapi mencari anak-anak untuk dilatih. Tidak sedikit murid-muridnya kabur, cuma satu dua yang bisa bertahan. Tubuh ini rasanya dipatah-patahkan, kedua tangannya menelusup di kedua lenganku. Dadaku disuruh membusung. Kalau belum sesuai dengan keinginannya. siku kakinya menekan tengah punggungku.” Ia menekuk sikunya dan menekan ke atas. Selimut putih bergaris-garis hitam yang menyelimuti dirinya ikut terdorong ke atas.

“Berhari-hari latihan seperti itu. Membosankan memang. Setelah tubuh lemas, baru diajar menari. Guru dulu membiarkan kita menari sesuai kata hati. Mereka hanya memberikan pakemnya saja, memberikan patokan yang utama, kalau tari Legong Lasem begini, lebih lembut karena menceritakan putri raja dan seorang pangeran. Berbeda dengan tari Legong Jobog, karena ceritanya perang antara raja kera Subali dan Sugriwa, karakter harus keras. Sekarang kasihan, anak-anak menari, tapi tidak tahu cerita apa yang ditarikan. Kalaupun tahu, mereka tidak tahu beda Subali dan Sugriwa. Itu karena gurunya sendiri tak tahu ceritanya.”

Puspa tercenung, bagaimana Biyang Ade tahu begitu banyak perkembangan tari Bali saat ini di masyarakat, sementara ia dikucilkan dari pergaulan. Cuma, ia merasa tidak etis menanyakan hal tersebut.

“Kata guruku, tari Legong diturunkan bidadari lewat mimpi seorang raja. Lalu raja mencari guru-guru tari yang paling pintar saat itu untuk mewujudkan apa yang ada dalam mimpinya, termasuk busana. Penarinya dilatih secara keras, berhari-hari, agar mampu melakukan gerakan sulit, bergoyang meliuk-liuk seperti rumput di parit diterpa arus air.” Biyang Ade berhenti sebentar, ia melihat tangan Puspa terulur ke wajahnya dan menyeka keringat yang menempel di dahi dan pelipisnya.

“Puspa baik sekali.” Biyang Ade tersenyum sebentar. “Makanya, kalau mau menari Legong, pertama mohon pada dewa-dewi agar disertai. Lalu pusatkan semua di hati. Dengarkan suara gamelan dan biarkan semua energi berlalu dari hati menuju ke semua organ tubuh. Jangan pernah menahan, biarkan semua lepas. Biarkan tubuh bergetar. Ketika jadi gerakan jangan dinilai, lupakan semuanya. Bergeraklah terus dan terus. Suara gamelan bukan sekadar mengiringi, tapi menyertai, nadanya kawan seiring gerakan tubuh. Putarlah kipas sebagai organ tubuh terakhir, biarkan energi yang bergerak dari hati mencapai ujung-ujung kipas. Seperti yang dilakukan bidadari saat menari.” Biyang Ade bicara sambil matanya terpejam. Seolah-olah melihat sebuah tarian dalam kegelapan dan melaporkan pandangan matanya ke Puspa, dengan suara yang jelas dan tegas.
Usai perbincangan itu, Puspa memilih segera kembali ke rumah dinas.

Sampai hari ketiga Biyang Ade dirawat, tak seorang warga pun datang untuk menjalani pemeriksaan kesehatan atau perawatan. Menurut Lasti, pasien yang kabur dari perawatan puskesmas beberapa hari lalu kini sudah berada di rumah sakit kabupaten, dikirim keluarganya. Sepi, kecuali staf puskesmas yang hilir mudik. Puspa memerintahkan mereka yang bertugas pagi mencuci semua peralatan, termasuk kain tirai dan membersihkan kaca jendela. Menjemur kasur serta mengepel lantai dan membersihkan semua debu dari sela-sela perabotan di semua ruangan. “Sekarang saatnya kita membersihkannya, kapan lagi,” ujar Puspa.

Petugas malam hari, yang harus bekerja sejak pukul 4.00 sore disuruh menyetrika tirai yang sudah kering. Merapikan buku inventaris dan mengecek semua barang yang tertulis di sana. “Sekarang kesempatan mengerjakan segala sesuatu yang selama ini terlupakan.”

Senja hari, Biyang Ade duduk di teras depan puskesmas. Kondisinya sudah pulih. Ia sudah mampu berjalan sendiri, tidak lagi dipapah Sari atau perawat kalau ingin berjalan-jalan di seputar puskesmas. Mengenakan kebaya brokat hijau redup dan kain batik cokelat gelap. Semuanya membalut bentuk tubuh Biyang Ade yang terawat. Rambutnya yang sebahu diikat karet, bunga cempaka kuning terjerat di sana. Wajahnya sudah lebih cerah dari hari sebelumnya. Namun, Biyang Ade belum diperbolehkan pulang. Sementara Puspa duduk di sebelahnya, mengenakan gaun panjang warna merah gelap bergambar bunga kecil-kecil hampir sewarna. Cahaya langit memerah, matahari dipastikan baru saja menghilang di balik garis horizon.

“Mengapa Biyang Ade tidak mengajar?”

“Mengajar?”

“Ya, mengajar tari? Tari Legong mungkin.”

Lama Biyang Ade tidak menjawab. “Aku dilarang mengajar,” keluhnya.

“Dilarang? Siapa yang melarang?”

“Pemerintah.”

“Pemerintah melarang Biyang Ade? Kok, bisa?”

“Aku sudah sempat mengajar anak-anak di sini menari. Bahkan, banyak anak desa lainnya mau datang untuk belajar menari.”

“Mungkin karena Biyang keras?” tanya Puspa menyelidik.

Kembali Biyang Ade diam, lama sekali. Puspa gelisah, ia takut telah menyinggung perasaan Biyang Ade. Sejurus dilihatnya mata Biyang Ade menerawang jauh. Suara serangga di rerimbunan pohon menjadi jelas kedengarannya, suaranya seperti gergaji mesin. Bila suara serangga hilang, berarti malam sudah benar-benar hadir. Puspa berencana mengajak Biyang Ade ke ruang perawatan.

“Bukan. Karena aku bergabung dengan sekeha Janger Pucuk Merah.”

“Sekeha Janger Pucuk Merah?” Puspa semakin tidak mengerti.

“Umurmu berapa sekarang?”

“Hampir tiga puluh tahun.”

“Berarti kau belum lahir. Saat itu, banyak sekeha —kumpulan penari dan penabuh— dibentuk. Penari terbaik direkrut untuk menjadi penari Janger. Tarian yang disukai semua orang kala itu. Kita tidak hanya menari, tapi juga bernyanyi bersama. Sembilan remaja putra berbaris di sisi kiri dan sembilan remaja putri berbaris di sampingnya, bersamaan memasuki panggung. Lalu duduk berhadap-hadapan. Remaja putra bersila. Pakaiannya berkilau karena bajunya ditempeli pecahan cermin, berwarna-warni, memakai destar dari kulit yang dicat perada keemasan dan kembang sepatu merah diselipi di daun telinga. Mereka menyampaikan rasa ingin berkenalan lewat lagu. Kami, remaja putri, membalas, bertumpu di atas lutut, kami menggerakkan tubuh ke kiri ke kanan, seperti alang-alang ditiup angin. Sebuah kipas kain berwarna merah dengan motif perada hijau kami pegang, kadang ke atas tak jarang di depan dada. Mahkota tari yang kami pakai memiliki banyak ujung, menjulang ke atas. Setiap ujungnya, dari bawah dipenuhi bunga dari kertas warna-warni. Kipas kami tutup, lalu diarahkan ke penari pria di hadapan. Kami membalasnya: setengah bercanda menilai lancang rayuan tersebut.” Biyang Ade menyanyikan satu bait lagu cinta yang biasanya dinyanyikan penari Janger wanita. Suaranya merdu. “Saling balas terus terjadi, penonton tertawa kalau lirik lagu balasan mengena di hati mereka. Sampai akhirnya kami bersama saling berkenalan. Lalu menari berpasang-pasangan di akhir tarian.”

Merasakan emosi Biyang Ade yang tidak stabil, kadang jatuh ke dalam kebisuan dan cenderung menarik diri. Satu saat bergairah dan sangat ekspresif saat bicara, membuat Puspa berpikir dirinya harus semakin berhati-hati. Nyanyian serangga juga sudah menghilang. “Mari kita bicara di kamar, Biyang.”

“Di sini saja. Kalau Puspa tidak keberatan. Sudah lama aku tak bisa menyaksikan bintang dengan tenang, tanpa dimata-matai.”

“Hem….”

“Aku mau bergabung dengan sekeha Janger Pucuk Merah, bukan karena partai. Aku tidak tahu politik. Tapi, karena melihat sekeha itu yang paling serius berlatih; memiliki pencipta lagu yang pintar, memiliki pencipta busana yang mampu membuat kita menjadi indah dilihat, memiliki penabuh gamelan yang tidak bosan-bosannya berlatih setiap hari, pagi dan sore. Setiap pentas, jantung ini terasa akan meledak. Penonton datang dari seluruh pelosok memenuhi lapangan desa, mengelu-elukan kami saat muncul di atas panggung. Aku selalu muncul paling depan. Mereka meneriakkan namaku, juga nama Putu Jaya.”

“Putu Jaya? Siapa dia?” tanya Puspa, merasa ada rasa khusus pada nada Biyang Ade saat menyebut Putu Jaya.

“Lelaki yang tampan. Pimpinan sekeha sering mengatakan aku dan dia pasangan serasi yang bisa diteladani, karena aku wanita bangsawan dan Putu Jaya rakyat biasa, membunuh perbedaan kelas sosial. Beli Jaya, begitu aku memanggilnya. Walau aku selalu diingatkan pimpinan sekeha agar memanggil dia ‘Kawan Jaya’. Aku selalu menolaknya, apa salahnya aku memanggil dia Beli Jaya, dia kan umurnya dua tahun lebih tua dan masih tetangga desa denganku.”

“Biyang suka dengannya?”

“Ya.”

Kembali Biyang Ade terdiam, kini dalam waktu yang lebih lama. Puspa gelisah. Namun, ia tak tega beranjak dan mengajak Biyang Ade ke dalam.

“Setelah ada berita tentang pembunuhan sejumlah jenderal di Jakarta, Putu Jaya hilang tak jelas rimbanya. Katanya, dia diambil di rumahnya dan tidak pernah kembali sampai sekarang. Dua tahun kemudian keluarganya membuat upacara ngaben, walau jenazahnya belum pernah ditemukan. Aku tidak berani datang, dan menangis hampir sehari di rumah.”

“Karena itu Biyang tak menikah?”

“Salah satunya. Sebulan kemudian ada petugas pemerintah dari kabupaten. Mereka menemui aku di balai desa saat mengajar anak-anak. Menyuruh aku saat itu juga berhenti mengajar dan pulang. Aku pulang dan menangis ketakutan. Sejak saat itu, semua orang yang aku kenal tak mau bicara dengan diriku. Keluarga juga menyalahkan aku, karena selama sehari mereka diperiksa petugas kepolisian dari kabupaten, dibentak-bentak dan dicaci-maki. Hanya Beli Agung Raka yang masih mau berbicara. Namun, setelah aku sempat bersilang pendapat dengan istrinya, Beli Agung selalu menghindar saat aku ajak bicara. Ayahku meninggal tak lama kemudian, menyusul Ibu yang sudah berpulang saat aku kecil.”

“Kenapa Biyang Ade tidak mencari pengganti Putu Jaya?”

“Bagaimana bisa. Walau Putu Jaya cinta pertamaku, aku masih ingin punya suami dan anak. Aku ini seperti anjing kudisan, ke mana pergi, semua mata memandang jijik. Aku tahu mereka membicarakan diriku, tapi tak berani mengusir secara langsung. Keluarga puri juga ikut-ikutan, aku dilarang keluar-masuk lewat pintu depan. Bahkan, istri kakakku berani melontarkan pendapatnya di rapat keluarga, kewibawaan puri jangan sampai tercemar karena aku. Syukur dia mendapat pahala dari karmanya. Dia sudah bertahun-tahun tak bisa keluar rumah. Jangankan lewat pintu depan, lewat belakang saja tak mampu. Kedua kakinya lumpuh. Namun, dia masih bisa juga menyebar kedengkian: penyebab kelumpuhannya ditimpakan padaku. Katanya karena kesaktian ilmu leak-ku, dia tak bisa menggerakkan kedua kakinya. Ilmu leak apa? Aku ini hanya bisa menari. Sampai sekarang, demi Ida Sang Hyang Widhi —Tuhan Yang Mahaesa— belum pernah aku belajar ilmu hitam.”

Puspa terlihat lega. Terasa sekali ia menarik napas panjang.

  Dokter Puspa terpana. Dari sumber cahaya kilat tiga gadis muncul berbusana tari Legong.

Aku tak bisa bekerja. Untung ada sawah warisan beberapa petak yang menjadi bagianku. Selama tak menikah, itu akan tetap jadi hakku. Secara turun-temurun sawah itu dikerjakan keluarga Sari. Saat Sari besar, aku minta pada keluarganya agar dia diperbolehkan tinggal bersamaku. Kalau harga gabah lebih mahal, kita dapat uang lebih banyak. Aku ajak Sari ke kota membeli pakaian dan busana tari. Beberapa tahun ini, aku selalu menabung, dan kalau ada pesta kesenian di Denpasar aku pergi bersama Sari. Seminggu di sana, menyewa penginapan murah. Setiap hari pergi ke art centre, siang dan malam menonton semua tarian.”

“Kalau anak-anak yang Biyang ajar di Dukuh Bingin?”

Biyang Ade tidak langsung menjawab. Ia menyelidik, “Pasti Sari yang menceritakannya?”

Didesak begitu, Puspa hanya mengangguk lemah.

“Anak-anak itu aku kenal lama sebelum Sari tinggal bersamaku. Kesepian membuat aku tidak saja menangis di rumah, tapi juga saat berjalan di pematang sawah atau saat aku menyepi di sungai. Anak-anak itu datang bermain di sampingku dengan ceria. Mulanya aku tidak hirau kehadiran mereka, aku mengira anak desa. Mereka Jempiring, Sandat, dan Jepun, nama-nama bunga yang aku sukai. Mereka melarang aku menangis dan mengajak ke Dukuh Bingin. Di sana mereka minta diajar menari dan aku ajar mereka tari Legong. Mereka mau belajar serius dan tidak banyak mengeluh kalau aku keras kepada mereka.”

Pagi sekali sopir puskesmas, Dewa Susila, sudah menunggu Puspa di teras rumah dinas. Kedatangannya membawa pesan agar Puspa membatalkan kunjungan ke pos pelayanan di desa-desa selatan Karang Sari, karena kepala dinas kesehatan kabupaten akan datang. Puspa tidak menghiraukan pesan itu, ia minta Dewa segera berangkat dan mampir sebentar di puskesmas menjemput perawat yang bertugas. Dari atas mobil ambulans, Puspa memanggil seorang perawat yang tidak ikut dengannya, “Katakan saja ke Bidan Lasti, kalau tamunya sudah datang suruh menunggu, sampai aku kembali dari pos pelayanan terpadu.”

Di desa-desa yang dikunjungi, warga yang ingin berobat lumayan banyak. Puspa bekerja cepat. Bayi didahulukan, lalu anak-anak, kemudian wanita hamil, baru kemudian warga masyarakat lainnya. Ia waswas juga. Pikirnya, kepala dinas kesehatan datang tiba-tiba tentu ada hal penting. Setelah dua desa didatangi, Puspa memutuskan kembali ke puskesmas. Ia berniat mengirim Lasti ke desa paling selatan. Bidan satu itu beberapa kali menggantikannya kalau kebetulan ia ada pertemuan di kantor kesehatan kabupaten.

Kepala dinas kesehatan, Manuaba namanya. Sudah berada di dalam kantor puskesmas bersama Kepala Desa Karang Sari, Ngurah Kajar. Mereka duduk di sofa kulit imitasi panjang berwarna hitam. Dan saat Puspa masuk, masih berbincang-bincang serius.

Puspa menarik sofa yang lebih kecil, agak jauh ke belakang. Lalu menghempaskan pantatnya. Ia seperti tentara yang baru datang dari medan tempur dan duduk menunggu dianugerahi medali.

“Dokter Puspa, apa yang sudah kau lakukan?” tanya Manuaba yang memiliki gelar master dalam bidang kesehatan masyarakat itu.

“Maksud Dokter?”

“Tidak ada warga yang datang ke klinik. Dan juga tidak ada pasien yang berani rawat inap,” Manuaba langsung ke persoalan.

“Ada, Dok. Bisa dilihat di ruang perawatan,” ujar Puspa jengah.

“Dia bukan pasien,” tegas Manuaba sambil melirik kepala desa. “Semua perawat, bidan, dan bapak kepala desa sudah aku tanyai. Sejak Agung Ayu Candri dirawat di sini, semua pasien kabur. Warga juga tidak berani datang berobat. Bagaimana kita bisa membuat laporan ke negara donor, kalau program kesehatan masyarakat di sini macet. Maka kau mesti mempercepat kepulangannya.”

Puspa menggigit bibirnya. Mencoba menahan emosi. Ia bicara dengan awalan yang sengaja dibuat sangat lembut, “Biyang Ade akan pulang bukan karena aku, tapi karena kemajuan kesehatannya. Kalau dia cukup sehat, pasti aku sarankan pulang. Tapi, belum hari ini, mungkin dua tiga hari lagi.”

Manuaba menyandarkan punggungnya ke sofa, dan membiarkan perut buncitnya seperti hendak melarikan diri dari jebakan kancing baju safarinya, “Tapi, pasien lain kau biarkan pulang.”

“Dok, itu hak mereka,” suara Puspa semakin lantang. “Aku tidak bisa melarang mereka pulang. Walau sebenarnya dari kemajuan kesehatannya, belum pantas dirawat di rumah.”

“Kalau begitu, sebaiknya kau kirim saja ke rumah sakit di kota. Dia tidak ada di sini dan warga berani datang ke puskesmas.”

“Hasil pemeriksaan menunjukkan kemajuan. Sebagai dokternya, aku punya tanggung jawab. Aku akan memutuskan, apakah dia perlu mendapat perawatan di rumah sakit atau dikonsultasikan dengan dokter spesialis.”

“Ya. Ke spesialis jiwa. Aku rasa tepat,” Manuaba mengakhiri kalimatnya dengan menarik otot bibirnya ke atas, seperti mencibir.

“Dia tidak gila,” bantah Puspa.

“Dia gila. Kata kepala desa, selama ini dia sering bicara sendiri, sering menari di tengah sawah dan seolah-olah sedang mengajar tari. Dia menarik diri dari kehidupan bermasyarakat, dengan keluarganya saja tidak mau bicara. Benar kan, Bapak Kepala Desa?”

Ngurah Kajar hanya mengangguk. Tubuhnya kurus dan tinggi, rambutnya disisir rapi, mengenakan baju cokelat, dan simbol jabatan tergantung di dada kanannya.

“Tidak, Biyang Ade tidak gila. Yang gila masyarakat di sini. Mereka selama ini menyingkirkan Biyang Ade, benar kan, Bapak Kepala Desa?” kini gantian Puspa yang mencari pembenar.

Kepala desa setengah baya itu tidak mengangguk atau menggeleng. Ia tampak terdesak. “Warga mulai resah. Mereka sudah mulai berbisik-bisik tentang Agung Ayu Candri.”

“Sudah bukan zamannya lagi bisik-bisik menjadi keresahan,” sindir Puspa. Ia kesal tidak mendapat jawaban.

“Tapi, aku tidak bisa menjamin kalau warga marah. Karena hak mereka mendapat pelayanan kesehatan hilang!” Ngurah menarik alisnya, nada bicaranya menekan. “Dokter selama ini sudah diterima baik di sini. Aku sayangkan kalau dibenci warga karena melindungi orang yang paling dimusuhi.”

Selama ini Puspa belum pernah silang kata dengan Ngurah Kajar, bahkan hubungan mereka cukup baik. Setiap program kesehatan di Desa Karang Sari, Puspa selalu merasa dibantu, bahkan istri Ngurah Kajar sering datang ke rumah dinas mendiskusikan program tanaman obat. “Aku tidak merasa melindungi. Biyang Ade adalah pasien di puskesmas ini dan aku selalu memberi pelayanan sama terhadap semua pasien. Masalah kemarahan warga itu tugas Bapak meredakannya. Juga melindungi semua warga, termasuk Biyang Ade, bukan?”

Manuaba menengahi, punggungnya diangkat dan tampak basah oleh keringat, “Kalau begitu, aku perintahkan saja untuk memulangkannya.”

“Tidak bisa. Aku tidak mau melanggar sumpah. Selama aku masih di sini dan memimpin puskesmas ini, aku tidak akan memulangkan Biyang Ade sampai kondisinya memungkinkan untuk dirawat di rumah.”

“Kalau begitu, aku segera tarik Puspa ke dinas kesehatan!” Manuaba membentak.

“Sekarang juga aku siap dicopot. Aku kan anak buah. Asal dicantumkan alasan pemutasian secara jujur.”

Akhirnya pembicaraan panas tersebut tidak ada kata sepakatnya. Dokter Manuaba memutuskan kembali ke kota dan Ngurah Kajar ikut juga pulang dengan sorot mata tajam.

Biyang Ade mohon, besok malam ketiga muridnya diizinkan menari di puskesmas. Puspa terkejut, tapi mengizinkannya juga. Menurut Biyang Ade, besok malam bulan purnama kelima dalam kalender Bali. “Bulan akan muncul secara penuh. Saat itu semua wong samar akan mempertunjukkan kebolehannya sampai pagi di Dukuh Bingin. Tapi, karena aku sakit, mereka ingin menari di sini dan hanya tari Legong.”

Setibanya di rumah, Puspa menelepon dosennya di fakultas kedokteran, seorang dokter spesialis jiwa yang sangat tidak disukainya. Karena dosennya, menurut Puspa, telah mencampurkan hal-hal yang bersifat ilmiah dengan kesimpulan-kesimpulan tradisional yang sulit dicari kebenaran logikanya. Walau demikian, Puspa merasa lega karena bisa mendapat nilai memuaskan, sekalipun ia dengan segala upaya berusaha memisahkan antara persoalan kuliah dan masalah prinsip.

“Jangan cepat ambil kesimpulan pasien mengalami skizofrenia, berkepribadian ganda, seperti ahli-ahli Barat menyimpulkan,” suara di seberang telepon lugas. “Kebudayaan Bali mengenal adanya wong samar, makhluk yang hidup di dunia berbeda pada kurun waktu yang sama dengan manusia. Orang-orang tertentu bisa melihat dan bahkan bergaul secara akrab.” Suara di seberang berhenti. Terdengar suara berisik, tampaknya mengambil sesuatu. “Memberikan obat penenang bukan jalan keluar yang baik. Selama pergaulannya masih positif dan tidak mengganggu orang lain, biarkan saja. Siapa tahu itu berkah yang diberikan Tuhan, karena tidak semua orang punya kelebihan semacam itu.” Kini terdengar suara lembaran kertas bergesekan. “Menurut jurnal kesehatan dunia terakhir, beberapa negara sudah melupakan pemberian obat penenang bagi kasus-kasus seperti itu. Sebentar aku baca: termasuk Amerika dan Inggris.”

“Dok, Biyang Ade tidak mengganggu siapa pun juga. Aku pikir wong samar muncul dalam benaknya karena dia kesepian dan dikucilkan. Sedangkan dia punya banyak obsesi yang belum tercapai. Cuma, masyarakat susah menerima kenyataan ini dan menganggapnya gila.”

“Karena itu, tugasmu adalah menyembuhkan masyarakat. Dalam arti, mereka diberi penyuluhan sehingga menyadari kondisinya. Masyarakat bisa menerima hal tersebut sebagai kewajaran dan pasienmu juga sadar bahwa itu tidak terjadi pada semua orang. Semakin sedikit pertentangan masalah ini, aku pikir semua pihak akan bisa hidup lebih wajar. Karena, dalam laporan jurnal ini, kasus yang ditangani dengan cara pemberian obat penenang hanya berhasil di bawah 10 persen. Sedangkan sisanya, masih mengalami hal yang sama, bahkan semakin beragam karakternya. Jadi sia-sia, membuat diagnosis gila, karena menyembuhkannya, bila disimpulkan menghilangkan karakter imajinasi, sangat sulit.”

Puspa memerintahkan, enam ranjang beserta kursi dan mejanya di ruang perawatan dikeluarkan. Lantainya dipel sampai benar-benar bersih. Hanya ranjang yang dipakai Biyang Ade tetap di ruang perawatan, itu pun sudah digeser menempel tembok. Dua kursi sofa dari kantornya dibawa masuk. Tak satu alasan pun disampaikan kepada anak buahnya atas perubahan tersebut.

Malamnya, Lasti seharusnya bertugas. Karena ada upacara adat di rumahnya, ia diizinkan libur. Dua perawat laki-laki yang bertugas malam juga disuruh pulang. “Biar aku saja di sini. Dan lagi tidak ada pasien yang akan kita urus, bukan?” Dua perawat itu pulang dengan segudang pertanyaan, tapi mereka enggan menanyakan pada atasannya.

Sari sejak sore hari sudah menyiapkan sesaji, rangkaian janur, yang di atasnya dipenuhi bunga kemboja, cempaka, sandat, dan bunga kertas merah serta irisan daun pandan, ditetesi minyak wangi yang banyak dijual di pasar. Di beberapa tempat suci di puskesmas ia juga sudah menghaturkan sebagian sesaji tersebut. Bau dupa cendana terbakar yang diletakkan pada setiap bagian sesaji mengubah nuansa puskesmas, dari bau obat-obatan, menjadi harum menyengat.

Mendekati tengah malam, di dalam ruang perawatan terasa gerah, walau dua bilah daun pintunya dibuka. Biyang Ade berbaring, tapi tidak tidur. Sari duduk di sofa dan diam. Sekali-sekali ia mengganti dupa yang telah mati, membakar dupa baru, meletakkannya di atas sesaji, sambil telapak tangan kanannya digerakkan ke kiri-kanan dalam posisi berdiri yang khusyuk. Di sampingnya Puspa sedang membaca buku teks psikologi tentang kepribadian ganda, seperti mahasiswa yang dikejar ujian, sementara bahan masih dangkal, lebih banyak bingungnya dibandingkan ilmu yang melekat dalam otaknya. Angin semilir terasa masuk ke ruangan, semakin lama semakin cepat. Tiba-tiba hujan turun deras, seperti ribuan galon ditumpahkan begitu saja dari langit. Disusul petir saling menyambar, suaranya menggelegar, kilatannya membuat bumi terang benderang.

Biyang Ade turun dari ranjangnya dan duduk di sofa panjang di sebelah Puspa. “Mereka segera datang. Aku tidak mau dilihat terbaring di ranjang. Agar mereka tidak sedih.”

Puspa berniat menutup pintu karena percikan air hujan sudah masuk ke dalam ruang perawatan, tapi dilarang Biyang Ade dengan meremas lengan Puspa agak keras. Tiba-tiba muncul sebuah kilatan yang sangat terang, tapi petir tidak menyusulnya. Puspa menoleh ke luar. Dari sumber cahaya itu tiga gadis muncul berbusana tari Legong, dua berwarna hijau dan satu merah. “Aku bisa melihatnya!” seru Puspa heran. Sekali lagi tangannya diremas Biyang Ade. Rasa gentar muncul berselimut ketabahan hati.

Ketiga penari itu masuk ke dalam, tidak basah oleh air hujan yang terus mengucur deras. Di belakangnya, belasan laki-laki muda membawa gamelan. Jas mereka putih, memakai kain berwarna merah dengan pelapis kain kuning emas. Mengenakan destar, ikat kepala biru pekat dengan perada merah dan kuning. Tak ada yang bicara di antara mereka, karena terlihat sibuk menyiapkan gamelan, lalu duduk bersila di belakang gamelan.

  Biyang Ade memanggil ketiga penari agar mendekat. “Ini Dokter Puspa yang sangat baik pada Biyang. Ini Jempiring.”

Penari yang mengenakan busana merah gemerlapan dan hiasan leher dari kulit yang dicat perada emas dan pecahan cermin kecil-kecil berbentuk air mata serta manik-manik tersebut, mengulurkan tangan ke arah Puspa. Tubuhnya langsing, pinggangnya terlihat jelas, pantatnya subur dan ketat dibalut kain dengan motif bunga yang dicat juga dengan perada kuning emas. Masih belum lepas dari keanehan yang dialami, Puspa meraih tangan tersebut dan menjabatnya. Terasa ringan.

“Ini Sandat.”

Puspa menyalami penari berikutnya. Hiasan wajahnya sangat rapi, bibirnya dipoles merah, alisnya digaris hitam lebih tebal dari alis aslinya dan di ujung luar meninggi. Kelopak matanya biru tebal dan bulu mata buatan dipasang melengkung ke atas. Di bawah matanya diperjelas dengan garis tebal hitam. Satu garis hitam mengecil ke atas di tengah dahinya dan titik putih di bagian bawah.

“Ini Jepun.”

Jepun memiliki senyum yang manis, walau bibirnya tidak dipoles semerah Sandat atau Jempiring. Matanya nakal dan bola matanya persis kelereng, bergerak ke kiri ke kanan. Seperti yang lain, ia juga memakai gelungan, mahkota penari yang memiliki dua menara yang dibangun dari bunga kemboja yang ditancapkan pada sebuah besi tipis sehingga kalau kepala bergoyang, kedua menara yang disebut ongar-ongar ini bergoyang berkali-kali. Bagian depan yang menempel di dahi atas, disebut petitis, terbuat dari kulit dicat perada emas. Dan dihiasi pecahan cermin bermotif air mata dan manik-manik. Di bagian depannya, kiri-kanan, terdapat dua buah lenter, hiasan yang menjuntai, ujungnya terbuat dari simpul benang merah.

Hujan mereda, hanya air cucuran atap yang terdengar menetes, jatuh ke atas permukaan air yang menggenangi halaman puskesmas. Suaranya terdengar bagaikan tetabuhan yang dimainkan banyak orang. Di kejauhan terdengar kodok juga bernyanyi, entah untuk siapa.

Jempiring, Sandat, Jepun duduk bersimpuh di depan penabuh gamelan. Penabuh paling depan mulai memukul bilah-bilah logam gamelannya, menghasilkan irama dalam tempo lambat. Diikuti pukulan pada gamelan lainnya dan kemudian irama gamelan semakin cepat, Jempiring yang mengenakan busana merah berdiri dan bersiap-siap membuka tangannya.

“Jempiring jadi condong. Ia penari pembuka, akan menjelaskan dengan gerakan tarian bahwa seorang pangeran bernama Lasem sedang mencari calon istri,” jelas Biyang Ade.

Jempiring sudah mulai menari, gerakannya luwes dan lemas. Dia berputar harmonis, sekali-sekali tubuhnya seperti alang-alang ditiup angin dan kali lain dia seperti anak kucing berlari ke sana kemari dalam lingkaran terbatas. “Seorang pelayan, gerakannya harus tegas dan cepat,” komentar Biyang Ade.

Jempiring mengeluarkan dua kipas, yang memakai bambu sebagai kerangkanya dan dilapisi kain merah, dari lipatan busananya. Menyerahkan pada Sandat dan Jepun, yang kemudian menari bersama. “Tahap ini menceritakan upaya Lasem merayu Putri Rangkesari untuk diperistri. Gerakannya lebih lembut, karena memunculkan sosok putri raja dan seorang bangsawan, tentu beda dengan seorang pelayan seperti pada karakter condong. Putri Rangkesari akhirnya menyetujui keinginan Lasem, asal mau berperang melawan Panji. Prabu Lasem berangkat berperang melewati hutan belantara,” jelas Biyang Ade.

Sandat kemudian duduk. Jempiring kembali menari, kali ini ia mengenakan sayap dan berperan sebagai seekor burung gagak. “Burung gagak ini memuntahkan darah di hadapan Lasem dan pertanda buruk bagi perjalanan perangnya. Aku tidak tahu kenapa ceritanya hanya sampai di sini. Karena, cerita lengkapnya Lasem akhirnya tewas saat berperang melawan pasukan Panji yang dibantu Prabu Melayu.”

Usai menari, Jempiring, Sandat, dan Jepun pergi. Menghilang dalam gelap diikuti lelaki penabuh gamelan, yang tampak ringan membawa gamelan yang cukup berat sendiri-sendiri. Ruangan perawatan kosong dan hening. Sari sudah lama tertidur lelap di sandaran sofa.

“Mereka tidak nyata, Biyang,” Puspa mengingatkan.

“Mereka nyata, Puspa,” Biyang Ade menekan lembut punggung tangan Puspa yang bertumpu di pinggiran sofa. “Cuma, mereka datang dari dunia lain. Bahagialah karena kau diberi kesempatan lebih luas untuk mengenal ciptaan Tuhan,” ujar Biyang Ade tersenyum.

Belum sempat Puspa kembali ke rumah dinas, sebuah sepeda motor berhenti di depan puskesmas. Pengendaranya berteriak minta tolong. Puspa menghambur membuka gerbang. Pengendaranya lelaki muda, sekujur tubuhnya basah. “Istri saya mau melahirkan…!” serunya. Istrinya duduk di belakang, bersandar ke punggung suaminya. Hampir tidak bergerak, cuma terdengar menggigil.

“Sari, cepat tolong! Sari, cepat keluar!” Puspa berteriak.

Sari berlari ke luar, bertelanjang kaki, melewati genangan air di halaman puskesmas. Biyang Ade juga keluar dari ruang perawatan, namun tak mendekat ke pintu gerbang. Puspa dibantu Sari menurunkan wanita hamil itu, sekitar dua puluh tahun umurnya. Memapahnya ke ruang perawatan. Bibir wanita itu bergetar karena kedinginan.

“Biyang, tolong ranjangnya didorong ke tengah.”

Biyang Ade segera memindahkan ranjangnya ke tengah. Mereka membaringkan wanita itu di atas ranjang.

Suaminya mengikuti, ia berkata terbata-bata, “Saya rencananya membawa ke kota. Tapi, jembatan di desa selatan putus diterjang air bah.”

“Tidak apa, kami di sini bisa menanganinya. Sekarang Bapak cari buah kelapa gading di depan puskesmas, untuk tempat ari-ari. Sari, tolong kau ambil air hangat dari dalam termos di dapur, sambil buat air panas yang baru. Biyang, bisa membantu saya memegangi tubuh ibu ini?”

Biyang Ade mengangguk. Segera ia memilih posisi di belakang wanita muda itu. Memegangi wanita yang tampak semakin lemas tersebut. “Ayo, kuatkan dirimu, anakmu segera lahir,” bisik Biyang Ade ke telinga wanita yang mengenakan baju kaus bergambar artis itu.

Puspa keluar sebentar, kemudian datang dengan setumpuk kain. Lalu ia melepas semua kain pembalut wanita hamil tersebut, termasuk baju kausnya. Sari yang sudah datang membawa air, membantu membasuh tubuh wanita itu dengan air hangat.

Wanita itu kemudian diberikan satu pasang pakaian untuk pasien milik puskesmas dan dihangatkan dengan selimut tebal. Ia pun segera lelap tertidur. Suaminya datang dengan sebuah kelapa gading yang isinya sudah dikeluarkan. Tampaknya ia sudah susah payah memanjat pohon, dada bajunya yang basah tampak kotor karena kulit pohon kelapa menempel.

“Ini pakaian kering. Kau bisa menggantinya di kamar mandi.” Puspa menyodorkan sepasang pakaian, dan membuntuti laki-laki itu. Di luar ia sekali lagi menyapa dan mengingatkan, “Aku mohon Bapak nanti tidak merasa cemas dengan kehadiran Biyang Ade. Dia bisa membantu dan sama sekali bukan ratu ilmu hitam. Saya minta Bapak tidak perlu menunjukkan rasa permusuhan. Setuju?”

Lelaki itu mengangguk dan pergi ke kamar mandi.

Puspa keluar. Ingin sekali ia berteriak. Hujan sudah tidak ada sama sekali, mendung sudah tersibak sejak tadi. Bulan penuh bercahaya di barat, melahirkan lingkaran awan di sekelilingnya. Saat matanya memandang ke arah jalan, terlihat olehnya banyak obor bergerak menuju ke arahnya. “Ada apa lagi ini?” pikirnya.

Ternyata warga desa. “Keluarkan Biyang Ade!” teriak mereka. “Seret ratu leak, karena sudah menyebar wabah,” sahut yang lain.

Dalam sekejap halaman puskesmas sudah dipenuhi warga desa, laki-perempuan. Mereka tidak peduli halaman puskesmas becek. Karena bekas sawah, kalau sudah digenangi air cepat menjadi lumpur. Di antaranya anak-anak yang menangis ketakutan di gendongan ibunya.

“Ada apa ini?” Puspa datang menyongsong, sinar obor membantu ia memastikan siapa saja yang datang.

“Biyang Ade sudah mulai menyebar wabah. Istri Pastika sakit tiba-tiba dan kini dibawa ke rumah sakit di kota.”

“Pastika?” suara Puspa datar. “Pastika, ayo, keluar!” teriaknya.

Laki-laki yang baru saja jadi ayah itu muncul. Ia terlihat lugu sekali. “Anakku sudah lahir selamat. Perempuan. Istriku sehat dan kini sedang tidur bersama sang bayi.”

“Sekarang kau selamat, tapi siapa yang akan menjaga setelah ini. Ingat, matahari belum terbit, apa juga bisa terjadi,” suara dari kerumunan warga desa, sepertinya dikenal Puspa.

“Kaukah itu, Ngurah Kajar?!” Biyang Ade muncul, bahunya ringkih dibalut selendang kuning tipis. Kedua tangannya memegang kedua ujungnya dan menyilangkannya di dada. “Kenapa kau tidak berada di depan? Kabarnya kau sekarang kepala desa, menggantikan bapakmu.”

Ngurah Kajar seperti menghilang. Namun, ternyata ia mendekat, menyelusup, melewati warga yang saling berimpitan.

“Ini aku, Biyang Ade. Pasti banyak yang belum pernah melihat wajahku. Walau aku tahu, kalian pasti lebih banyak tahu tentang diriku, dibandingkan aku sendiri. Tapi, biarkan aku menyelesaikan masalahku dengan Ngurah Kajar. Masalah kita, yang sudah puluhan tahun. Setelah itu, terserah kalian.” Suara Biyang Ade sangat tenang.

“Aku di sini, Ayu Candri,” Ngurah Kajar memanggil nama kecil Biyang Ade, masih berdiri di antara kerumunan warga. Ia mengenakan ikat kepala batik. Dari ketinggian tempat Biyang Ade berdiri, bisa dilihat tengah kepalanya yang botak memantulkan sinar yang berasal dari nyala obor.

“Ternyata hasrat cintamu belum juga hilang padaku,” ujar Biyang Ade tanpa beban. Warga mendengar dengan seksama. “Ke mana saja aku pergi, kau masih mengejar. Hanya ke Puri Gde Barak kau takut datang, bukan?”

“Apa yang kau katakan, Ayu Candri!” Ngurah Kajar marah.

“Tentang hubungan kita. Masa kau pungkiri di depan wargamu sendiri. Di depan orang-orang yang patuh padamu dan mau bangun sepagi ini diajak mengganyang aku.”

Ngurah Kajar tak terlihat berniat membalas.

“Untuk mendapatkan aku, kau tega memasukkan Putu Jaya dalam daftar orang komunis. Sehingga, ia dibawa pergi dan tak pernah kembali. Kau tahu betul, aku dan Putu Jaya dan semua penari Janger hanyalah seniman. Yang kita tahu cuma menari dan menghibur. Sedangkan kau, pengurus partai, bukan? Untuk menghapus noda komunismu, kau telah memfitnah banyak orang di desa. Untuk menyelamatkan lehermu, kau sumbangkan leher kawan-kawan setiamu yang tidak berdosa. Semua itu kau bisa lakukan, berkat bantuan bapakmu yang kala itu berkuasa. Termasuk menyingkirkan aku dari pergaulan, agar tidak ada yang buka mulut.”

Warga mulai berbisik-bisik. Melontarkan komentarnya pada kawan di sebelahnya.

“Aku berterima kasih karena tidak masuk daftar pengurus partai yang kau buat. Sehingga, sampai saat ini masih hidup dan berada di hadapanmu. Tapi, ternyata itu cuma akal bulusmu. Ingat, kau berkali-kali datang mau mengawini aku, termasuk saat kau sudah beristri, kau minta aku jadi istri kedua.” Biyang Ade berhenti sebentar, ia merasa seperti sedang bicara pada massanya, seperti yang diingatnya saat pimpinan partai-partai bicara muluk-muluk di depan calon pemilihnya, setelah puas menonton tari Janger. “Tidak puas dengan penolakanku, kau kejar aku sampai di pinggir sungai. Kau hampir memperkosaku. Kalau saja tidak ada wong samar yang menghajarmu sampai hampir pincang, aku pasti ternoda dan menanggung aib seumur hidup. Karena itu, kau membenci semua wong samar dan ingin menghancurkan Dukuh Bingin.”

Satu per satu warga pulang, gerakan nyala apinya tak lagi menakutkan. Sebentar saja halaman kembali sepi dan Ngurah Kajar ikut menghilang.

Biyang Ade tampak menahan geram. “Dia itu belut, licin. Tadi berlagak kesatria, sekarang pengecut. Menghadapi aku saja takut.”

Puspa tak sampai hati melihat Biyang Ade emosi. Ia memeluk dan membawanya ke dalam ruang perawatan. Memintanya duduk di sofa.

“Biyang, lupakan itu semua.” Kemudian ia meminta tolong pada Pastika dan Sari untuk memasukkan ranjang ke ruang perawatan.

“Mulai besok, puskesmas pasti ramai lagi.”

No comments: