12.22.2010

ROTI BUAYA

Semilir angin meriapkan aroma yang sangat kukenal, wangi masa lalu. Tanpa dapat kucegah, kubiarkan langkahku bergulir menyusuri trotoar. Berkelit dari sesaknya pedagang kaki lima yang menyita tiga perempat lebar jalan, yang semestinya milik para pejalan kaki. Sebuah mobil sedan biru metalik nyaris menyenggolku. Nyaris pula kulontarkan serapah, yang kemudian kutelan kembali karena pengemudinya seorang wanita muda yang tampak gugup dan pipinya merona. Paras wajahnya yang enak dipandang mampu menebus kekesalanku.

Aku berhenti di depan sebuah bangunan, cahaya matahari memantul dari  dinding kaca tebal yang masih terpancang di situ. Lima belas tahun sudah, tapi tempat ini tak begitu banyak berubah. Lapangan parkir di sebelah kiri yang salah satu sudutnya diisi satu gerobak tukang bakso dan kios pedagang koran, kini menjadi sebuah toko tekstil yang menjual kain meteran eksklusif. Toko tekstil dan bangunan tadi dipisahkan oleh sebuah gang kecil yang berfungsi menjadi tempat masuknya mobil yang hendak parkir di area belakang. Gardu penjaga parkir menempel pada dinding samping bangunan itu.

Perlahan aku mendekat, dari balik kaca etalase tampak bermacam-macam kue dan roti ditata sedemikian rupa. Mengundang selera siapa saja, bahkan orang yang sudah kenyang sekalipun.

Tapi, aku lebih tertarik pada bayanganku sendiri. Seorang pria berusia dua puluh enam tahun, berkemeja kotak-kotak biru tua. Jeans biru pekat dan ransel hitam berisi laptop mampu menyamarkan tubuhku yang jangkung dan agak kurus. Model rambutku masih seperti yang dulu. Lurus tebal dengan belahan samping yang kini kubiarkan menjadi baur, tak terlalu jelas garis batasnya. Tak ubahnya garis waktu yang terkadang bertemu, membiarkan siapa pun mencairkan batas antara kenangan, harapan, atau sekadar keinginan-keinginan semu yang membuat hidup menjadi lebih berwarna. 

Sebentuk roti nyaris tertutupi kue-kue yang lebih semarak warnanya. Bentuk yang tak asing lagi bagiku! Aku mendekat, kulekatkan tanganku ke dinding kaca. Embusan napasku meriapkan titik-titik embun yang membentuk beberapa bayangan wajah lain. Lima pemuda cilik dan hari-hari penuh warna. Bayanganku tiba-tiba berubah, jadi anak laki-laki sebaya mereka. Berkaus biru langit, celana pendek merah dengan senyum yang tak pernah lekang oleh kata menyerah.

Lima belas tahun yang lampau, hampir setiap hari aku singgah di toko roti dekat perempatan itu. Hanya untuk memandangi sesosok benda yang sering kali jadi bagian dari mimpi-mimpiku. Mungkin benda itu tak ada artinya bagi orang lain, tapi kebalikannya bagi diriku. Hampir semua orang tahu, benda berekor itu selalu jadi primadona dalam pesta khitanan di kampung kami, yang letaknya di pinggir kota.

Ya, siapa pun tahu, benda itu namanya roti buaya. Roti istimewa yang sengaja dibentuk mirip hewan reptilia bermulut panjang dengan gigi-giginya yang runcing. Toko roti itu menjual tiga jenis roti buaya. Paling kecil panjangnya 45 cm, harganya Rp45.000. Lalu yang ukuran sedang itu 70 cm, harganya Rp65.000. Yang paling mahal tentu saja yang paling besar, harganya Rp85.000. Panjangnya 95 cm, hampir satu meter!

Roti buaya paling besar itulah yang ditampilkan dalam pesta khitanan Satria, temanku yang sangat beruntung. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya dua puluh! Belum lagi pertunjukan kesenian yang sengaja didatangkan dari Garut. Tamu yang diundang lebih dari lima ratus orang. Termasuk beberapa pengusaha terkenal, sahabat ayah Satria. Keesokan harinya, kemeriahan pesta itu menjadi buah bibir penduduk kampung. Termasuk kami berlima, teman sepermainan Satria. 

“Sekarang, Satria lagi ngapain, ya?” celetuk Catur, yang baru berusia delapan tahun, paling muda di antara kami. Saat itu aku masih berumur sebelas tahun.

“Paling sedang menghitung uang panyecep. Pasti dia dapat uang banyak!” timpal Amin.

“Wah, itu sudah pasti! Kalian lihat tidak waktu Pak Camat memasukkan amplop…? Mmm… segini, nih, tebalnya!” ujarku. Jempol dan telunjukku membentuk jarak kira-kira ketebalan amplop. Mungkin, amplop itu lebih tebal daripada jemariku yang kurus.

“Ah... paling juga uang seratusan baru!” kata Catur. Yang lain riuh menimpali.

“Kalau seratus ribuan, kaya banget, dong, Pak Camat. Lebih kaya dari bapaknya Satria yang punya perkebunan teh!”

“Iya, mobilnya saja dua. Kata Satria, mereka masih punya beberapa mobil lagi yang disimpan di rumah mereka yang lain.”

“Enak, ya, jadi orang kaya…!”

“Tapi, belum tentu mereka bahagia! Saudara ibuku kaya, tapi anaknya masuk penjara karena kecanduan obat terlarang!”

“Ah, kamu, ngomongnya sok dewasa! Mendingan kita taruhan, yuk. Kita tebak berapa isi amplop dari Pak Camat! Jawabannya nanti kita tanya sama Satria, siapa yang paling mendekati jumlah itu, dia yang menang!”

“Yang menang hadiahnya apa?”

“Pokoknya, kita harus menyerahkan benda milik kita yang paling berharga!”

Kami terdiam. Berpikir keras.

“Aku mau kasih dua ekor hamster kesayanganku!”

“Aku mah si Popo saja, kelinci yang baru dibelikan ayahku….”

“Aku punya tiga ekor ikan cupang yang keren, tapi jangan lupa dikasih makan, ya!”

“Mainan tetris punyaku boleh, deh, diambil!”

Kami sama-sama berkhayal jadi pemenang taruhan. Tentu saja, memiliki benda-benda istimewa itu berarti seorang juara dan membuatnya jadi yang paling keren di antara mereka. Tapi, apa kata Amin tadi? Harus dikasih makan? Wah, bikin repot juga, ya! Juara, sih, juara… uang jajan tiap hari bisa amblas kalau dipakai buat beli makanan hewan-hewan itu!

Dudi yang sedari tadi diam saja, akhirnya bersuara juga. 

“Benar, nih, kita mau taruhan? Kalau aku kalah, ambil, deh, sepedaku!”

Kami saling berpandangan. Dudi

nekat! Taruhannya kelewat besar. Sepeda gunung warna biru metalik itu harganya sangat mahal. Dibeli dari semua uang panyecep khitanan Dudi. Itu pun masih kurang, karena ayah Dudi masih menambahnya.

“Ya, serius! Sekarang kita sebut saja, jumlah tebakan kita!”

“Oke, tapi jangan menyesal, ya, kalau kalian kalah! Aku bisa saja bilang taruhannya sepedaku, soalnya aku pasti menang!”

“Jangan sombong dulu. Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu sudah tahu jawabannya dari Satria!”

“Ya, nggak, dong, kalian semua lupa, ya? Waktu aku disunat, Pak Camat kasih amplop yang tebal banget. Isinya lima puluh lembar uang seribuan baru. Jadi, pasti aku bisa menerka lebih baik daripada kalian!” ujar Dudi, polos.

Kami tertawa. Dudi paling tua umurnya di antara kami, hampir empat belas tahun, hanya beberapa bulan lebih tua dari Satria.  Satria dan Dudi sama-sama kelas satu SMP. Sudah sebesar ini Dudi pintar-pintar bodoh. Seharusnya apa yang dia ketahui dirahasiakan dulu. Sebutkan saja tebakannya, tanpa mengatakan dari mana dia tahu jawabannya. 

“Ya, sudah, karena Dudi sudah tahu duluan, kita batalkan saja taruhan ini!” kata Amin.

“Ya… ya! Kata Pak Ustaz, taruhan itu dosa, lho!” timpal Catur. 

“Tapi, belum tentu jumlah uangnya sama dengan yang di amplop Satria,” sela Bagas.

“Memang, sih, tapi aku masih ingat tebalnya amplop Pak Camat waktu Dudi disunat, kurang lebih sama dengan yang aku lihat kemarin!” 

Akhirnya kami bubar. Dua ekor hamster yang lucu dan gesit, seekor kelinci gembul,  tiga ekor ikan cupang keren yang doyan makan, tetris, dan tentu saja sebuah sepeda gunung biru metalik, mau tidak mau menggelinding keluar dari benak kami.

Kuletakkan ember hitam di sisi sumur. Tong penampung air minum di rumah hampir penuh. Kalau urusan mengisi bak mandi, itu bagian Abah. Jam sepuluh malam nanti beliau pulang kerja. Setelah istirahat sebentar, biasanya langsung menimba air. Kami sengaja memilih waktu malam hari, karena ada beberapa keluarga lain yang memanfaatkan air sumur itu sepanjang pagi hingga sore. Malam hari airnya lebih jernih, karena yang menimba tidak terlalu banyak. Jadi, batu-batu kecil dan pasir di dasar sumur sudah mengendap.

Kata Abah, sumur itu sudah ada sejak zaman Belanda. Tapi, airnya tak pernah surut, meski di musim kemarau. Abah lebih suka memakai air sumur daripada air ledeng yang bau kaporit dan mahal. Air sumur juga rasanya lebih enak, manis dan legit. Tidak percaya?

Sesosok bayangan hitam mendekat. Aku tercekat. Hening menyeruak. Bunyi air menetes dari ember karet hitam yang menggantung di kerekan, terdengar begitu jelas. Aku cepat-cepat meraih emberku yang sudah terisi penuh. Bayangan itu menarik-narik kemejaku. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku.

“Dito! Kenapa kamu ketakutan begitu?”

Suara yang kukenal. Bagas. Hhhh… aku menghela napas lega.

“Kukira kamu hantu!”

“Dasar penakut!”

Aku mencoba tertawa. Lambat laun rasa takutku sirna. Aku tersenyum. Pemuda cilik di hadapanku, hanya satu jengkal lebih pendek dariku. Badannya kecil, tapi pipinya agak gembul. Senyumnya yang renyah seakan tak pernah lepas dari wajahnya. Alisnya tebal dan hitam, tapi matanya yang sejuk dan jenaka membuat ia selalu kelihatan menyenangkan. Bagas orangnya lucu dan suka bercanda. Karena itu, aku lebih dekat padanya dibanding teman-teman yang lainnya. Bukan cuma bersahabat, tapi rumah kami pun berdekatan. Hanya berjarak dua rumah diselangi kebun Pak Budi yang luas.

“To, kamu sudah tahu? Si Angga katanya mau disunat bulan depan!”

“Si Angga yang anaknya Pak Lurah atau yang anaknya Pak Surip?”

“Ya, pasti Pak Lurah, dong, kalau Pak Surip, mah, bisa-bisa tahun depan….”

Aku tersenyum tipis. Kami tahu benar, kehidupan Pak Surip dan keluarganya sangat sederhana. Pak Surip kerja di rumah sakit, jadi satpam. Anaknya empat orang. Abah saja yang punya dua orang anak, sudah kerepotan. Abah penjaga pintu kereta di perlintasan dekat Bank Indonesia, gaji Abah memang tidak sebanyak Pak Lurah, tapi masih cukuplah.

Setahun sekali, Abah dan Ibu mengajak aku bersama adikku, Dita, pelesir ke kebun binatang. Betapa senangnya kami, ketika sebuah perusahaan susu instan mengajak semua keluarga penjaga pintu kereta di kota ini, bertamasya ke Dunia Fantasi. Inilah tempat wisata terjauh yang pernah kami kunjungi. Namun sayang, saat perusahaan itu mengadakan sunatan massal, aku terlambat mendaftar.  

Dita sakit! Abah dan Ibu sempat panik. Pagi-pagi sekali mereka bergegas ke puskesmas. Ah, gara-gara panik, mereka datang kepagian karena puskesmas itu baru buka pukul tujuh pagi. Sementara kedua orang tuaku sibuk mengurusi Dita, aku tetap berangkat sekolah. Konsentrasiku di kelas selalu buyar, karena pikiranku selalu melayang ke rumah. Khawatir berbaur rasa takut kalau terjadi apa-apa pada adikku yang semata wayang itu. Ajakan bermain dari teman-teman kutolak. Aku harus segera bergegas pulang! Roti buaya yang biasa kusambangi nyaris tiap hari pun, kuabaikan.

Baru saja bernapas lega, melihat adikku sudah tidur melingkar di kasur kapuk kami yang sudah tipis, aku menangkap wajah kusut masai ibuku. Jauh lebih kusut dibanding sebelum pergi ke puskesmas.

“Dokter bilang adikmu mungkin kena demam berdarah. Untuk memastikannya dia harus periksa darah di laboratorium. Abah sedang mencari pinjaman ke Wak Narti….”

“Wak Narti kan pelit, Bu…,” ucapku, lugas. Ibu mencoba tersenyum, dia memeras handuk kecil dan meletakkannya di dahi Dita.

“Mudah-mudahan Abah berhasil dan uangnya tidak kurang…!” Ibu masih mencoba tersenyum sekali lagi. Senyum yang kering dan pedih.

Ibu tidak mengatakannya secara langsung, tapi aku tahu dari gerak matanya yang sekali-sekali mengarah pada rak baju tempatku menaruh celengan Spiderman. Bukan sekali ini saja Ibu meminjam isi celenganku. Waktu Ibu kredit panci di Mang Apep, Ibu pinjam celenganku. Terus, buat menambah uang muka sekolah TK Dita. Belum lagi, ketika pelek sepeda Abah perlu diganti, tak urung pula celengan itu dikosongkan. Aku melangkah perlahan sekali ke arah rak.

Rak kayu tanpa pintu itu hanya ditutupi kain lusuh. Selembar kain yang ujungnya diberi lipatan, tempat sebatang bambu kecil agar bisa merentang dari satu paku ke paku lainnya, yang masing-masing berada di kedua sisi rak bagian paling atas.

“Nanti Ibu bayar, Nak, Sabtu depan!”

Ibu sudah hampir lima tahun bekerja sebagai buruh cuci pakaian di rumah Ko Halim, orang kaya pemilik pabrik tahu di tepian jalan besar itu. Gaji Ibu memang tidak terlalu besar. Per minggunya, Ibu mendapat Rp50.000. Jumlah yang lumayan besar untuk membantu perekonomian keluarga kami. Ko Halim orangnya cukup dermawan, dia suka memberi bonus kalau sedang girang hati. Kadang-kadang istrinya pun memberi Ibu baju bekas yang layak pakai. Aku dan Dita malah dibelikan seragam sekolah. Tentu saja, Ibu senang karena uang untuk membeli baju bisa dialihkan untuk membeli keperluan lain yang lebih penting.

Aku menghela napas. Celengan Spiderman itu kutatap sekali lagi. Kugoyangkan pelan-pelan. Suara uang logam beradu dengan kaleng terdengar nyaring. Uang yang kukumpulkan sedikit demi sedikit, hasil keringatku menyemir sepatu di masjid besar itu, sebentar lagi berpindah tempat.

Baru sekali Ibu mengganti isi celenganku, itu pun kemudian dipinjam kembali. Sekarang, ketika jumlahnya diperkirakan cukup untuk membeli satu buah roti buaya, uang ini harus kurelakan untuk adikku. Sudah berapa buah roti buaya yang lepas dari genggaman tanganku? Aku tak dapat menyembunyikan rasa kecewa yang selama ini kusimpan dalam diam. Tapi, perasaan tersebut segera pupus, ketika menatap adikku yang terbaring lemah. Wajahnya memerah karena demam. Matanya yang kuyu, sedari tadi masih terpejam rapat. Biasanya, dari bibir mungilnya terlontar celoteh riang yang meruapkan keceriaan di rumah kami. Rumah yang hangat, meski angin dan bocoran air tak bosannya singgah di situ.

Kabar baik itu disampaikan Ibu ketika Abah baru saja pulang. Hasil pemeriksaan laboratorium Dita cukup bagus, bukan gejala tifus atau demam berdarah, tapi hanya demam biasa yang kalau dibiarkan bisa jadi lebih parah. Untung saja cepat-cepat dibawa ke puskesmas. 

Abah senang, yang penting Dita tidak terjangkit demam berdarah. Bila ini benar-benar terjadi, Abah tak tahu harus berbuat apa. Dokter pasti  menganjurkan Dita diopname, yang otomatis memerlukan biaya besar. Utang Abah di koperasi tempatnya bekerja masih menumpuk. Prosesnya akan menjadi lama dan berbelit kalau mau berutang lagi. Abah tak dapat menunggu terlalu lama karena Dita butuh pertolongan segera, ini berarti biaya rumah sakit harus secepatnya dibayar. Mungkin saja Ibu bisa meminjam uang pada Ko Halim, tapi apa tidak malu kalau terlalu sering berutang?

Untungnya semua itu tidak terjadi. Dita sembuh. Kelincahan dan celoteh adikku mewarnai hari-hari kami yang sempat hilang. Suasana rumah pun kembali seperti semula, hangat dan ceria. Meski keluarga kami serba pas-pasan, selalu saja ada hal-hal yang membuat kami bersyukur. Memang, Abah hanya seorang pegawai kecil yang baru saja diangkat jadi pegawai tetap. Tapi, Abah seorang pekerja keras dan giat agar kehidupan keluarga kami menjadi lebih baik.

Bila kebagian jaga malam, siangnya Abah nyambi jadi petugas parkir. Waktu yang seharusnya digunakan Abah untuk istirahat, dipergunakan untuk bekerja pula. Otomatis aku jarang bertemu ayahku. Kami jarang mengobrol, apalagi Abah termasuk agak pendiam. Tapi, aku tahu betul, betapa Abah menyayangi kami semua. Mata Abah sudah terlalu banyak bercerita padaku, sehingga aku tidak merasa kesulitan untuk menafsirkannya.

Sehari-harinya Abah bertugas sebagai penjaga pintu perlintasan kereta api. Ia seorang pegawai yang tekun, cermat, dan rajin. Aku bangga mempunyai ayah seperti Abah. Lewat kepolosan kanak-kanakku, terkadang aku berpikir, kalau sudah dewasa nanti ingin seperti ayahku.

Tapi Abah tak menyetujui keinginanku. “Tanggung jawab dan risikonya terlalu besar, Nak, dan tidak semua orang akan menghargai pekerjaan dan pengorbananmu. Abah memang bertanggung jawab mengatur agar lintasan kereta yang Abah jaga itu aman dan tertib, baik untuk kereta, orang, atau kendaraan pengguna jalan. Bila Abah lalai, nyawa orang banyak taruhannya. Tugas utama Abah berhubungan dengan keselamatan semua penumpang kereta api yang melintas dalam wilayah kerja Abah. Namun tidak semua orang mengerti. Masih saja ada orang yang mencoba menerobos palang pintu kereta. Mereka mengabaikan keselamatannya sendiri. Seharusnya mereka mengerti, Abah saja peduli pada keselamatan mereka, tapi mengapa mereka begitu?”

Mataku membesar. “Mana Dito tahu, Bah!” ujarku, polos. Abah tertawa, mengacak-acak rambutku dengan gemas.

“Abah tidak bertanya padamu. Abah hanya mempertanyakan perilaku orang-orang yang tidak sayang kepada dirinya sendiri. Kelak kau akan mengerti, betapa berharganya kehidupan ini!” ujar Abah, sambil tersenyum. “Abah hanya ingin Dito sekolah setinggi mungkin, agar mendapat pekerjaan yang lebih baik dari Abah.  Ini cita-cita Abah.”

“Abah mau tahu cita-cita Dito?”

“Ya…?!”

“Dito ingin disunat, lalu kita bikin kenduri…. Kita undang tetangga yang dekat-dekat rumah kita saja!”

Abah terdiam sesaat. “Itu bukan cita-cita, Nak, cuma keinginan biasa dan memang kewajiban kita untuk melaksanakannya!”

“Tapi, kapan, Bah?” kejarku, naïf.

Mata Abah berubah murung. Sebuah jawaban yang membuat aku berhenti mendesak ayahku.

Aku paham, mencoba untuk mengerti, namun sesuatu yang mendesak dalam pikiran kanak-kanakku membuat aku tak kuasa untuk meredamnya. Keinginan yang sudah lama menggumpal akhirnya terungkap juga. Ya, meski belum juga terwujud, sedikitnya aku sudah mengatakan semua itu kepada Abah. Abah tak berusaha memberi harapan, dia hanya mengusap-usap kepalaku. Beberapa saat kami terbungkam oleh pikiran kami masing-masing. Sampai kemudian aku beranjak, pergi tidur dan merangkai mimpi yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sepulang sekolah, aku sengaja lewat di depan toko roti dekat perempatan itu. Sekadar lewat dan tak bermaksud singgah seperti biasanya, aku harus segera pulang karena ditugasi Ibu menjaga adikku. Sepupu Ibu sakit keras dan Ibu harus segera menengoknya.

Sambil bergegas, hidungku masih sempat menangkap aroma khas dari arah toko roti itu. Wangi kue terburaikan angin, lindap menyelinapi indra penciuman siapa saja. Aku hafal benar, ini wangi roti buaya yang paling besar dan banyak cokelatnya. Aku menahan langkah, membiarkan diriku menghirup aroma lezat yang sedikit berlemak. Apa yang menjadikan roti buaya begitu istimewa bagiku? Bukankah hanya roti biasa yang menjadi berbeda karena bentuknya yang unik? Hanya roti biasa yang menjadi istimewa karena dijadikan semacam simbol yang entah apa maknanya. Aku tak peduli. Aku tidak tahu mengapa harus roti buaya yang dipajang, bila pesta khitanan berlangsung. Mengapa bukan roti berbentuk kuda atau burung garuda?

Aku masih ingat cerita Bagas di pinggir sumur beberapa malam yang lalu. Kami sering bertemu di situ. Sambil menimba air, ada saja yang kami perbincangkan.

“Kata Umi, orang Betawi asli menganggap buaya itu lambang kesetiaan. Setiap buaya jantan yang sudah dewasa cuma punya betina satu ekor….”

“Tapi, kenapa Pak Lurah yang beristri dua itu sering disebut ‘buaya darat’? Hampir semua ibu-ibu di kampung kita bilang begitu!” tanyaku, serius.

“Mungkin, buaya yang hidup di darat istrinya lebih dari satu, seperti Pak Lurah itu!” jawab Bagas, tak kalah serius.

“Memang buaya ada yang tinggal di darat?”

“Ya, Pak Lurah itu….”

“Hussh….!! Jangan keras-keras! Kalau kedengaran orang, nanti dia lapor Pak Lurah....”

“He...he...he… aku tidak takut! Katakan saja, ibu-ibu mengganti nama Pak Lurah dengan buaya darat!”

Kami berdua cekikikan. Lalu bergiliran memperagakan Pak Lurah jika sudah tua dan pensiun. Buaya terkenal karena giginya yang runcing dan sabetan ekornya yang dahsyat. Coba bayangkan, buaya darat ompong berjalan terseok-seok pakai tongkat. Tubuh ringkih itu dipapah kedua istrinya pada sisi kanan kirinya. Alangkah sengsaranya nasib pensiunan buaya darat!

Lalu kami mengganti topik cerita dengan cerita lain yang tak kalah menarik.

“Satria sudah jadi pria sejati… dia memang hebat!” kataku, mirip iklan rokok. Aku tak dapat menyembunyikan kekagumanku. “Sudah disunat dan dirayakan besar-besaran, sekarang dia bisa bawa mobil juga!”

“Masih belajar, To! Belum mahir benar. Bisa-bisa anak itu jadi  makin sombong!”

Dalam hati kubenarkan ucapan Bagas. Belakangan ini Satria berubah sikap. Sejak ia disunat, hubungan kami kian renggang. Jarang Satria mau kumpul-kumpul lagi dengan kami. Maunya bergaul dengan anak-anak yang lebih besar, anak SMA. Padahal, anak itu baru berumur 13 tahun dan masih duduk di kelas
satu SMP.

Lagak dan gayanya sekarang kerap membuat diriku dan kawan-kawan lainnya mual dan sebal. Coba bayangkan! Bukan hanya kelakuannya yang berubah, suaranya pun jadi sember seperti kaleng pecah. Belum lagi model rambutnya yang pakai jeli, ditata model ayam tersiram air yang disekap satu bulan dalam kurungan.

Bagas meraih ember kosong dari tanganku, lalu membiarkannya meluncur masuk ke dalam sumur. Pegangan ember  itu diikat oleh seutas tali besar  yang terbuat dari ban bekas. Tali melingkari kerekan timba yang digantungkan pada sebilah besi melintang sekitar dua meter di atas sumur. Besi itu disangga oleh dua buah tiang beton yang berdiri tegak pada kedua belah sisi sumur. Ujung tali yang lainnya, diikatkan pada selingkar kawat beton yang sengaja ditanam pada dinding luar sumur pojok sebelah kiri.

Setelah ember itu terisi penuh, Bagas segera menarik tali ke atas, lalu memindahkan isinya ke dalam ember besar miliknya. Butuh satu ember timba lagi kalau ingin membuat embernya penuh. Sesudah penuh, baru dibawa ke rumahnya.

“Kamu sudah ketemu Dudi?”

Bagas mengangguk seraya meletakkan embernya yang sudah kosong. Dudi sempat tidak masuk sekolah satu hari karena asmanya kumat gara-gara peristiwa itu. Kebetulan mereka beda kelas, jadi bertemu hanya pada waktu bermain saja.

“Ngeri, ya, kalau Dudi benar-benar tenggelam. Untung Pak Surip lewat, jadi ketahuan dan cepat tertolong!”

“Padahal, dia paling jago berenang di antara kita, kok, bisa tenggelam juga, ya?” ujar Bagas, sambil menatapku.

“Dia bilang kakinya kram, dan ini membuatnya panik. Kebetulan arus sungai sedang deras.  Dia makin panik, lalu terseret arus,” ujarku, setengah berteori. “Jangan-jangan hantu sungai itu yang menarik kakinya, supaya dia tenggelam!”

“Ah, jangan menduga macam-macam, hantu air sudah lama pensiun karena keracunan sabun cuci!”

Aku mencoba tertawa mendengar lelucon Bagas. Tapi, tawaku kering dan seratus persen garing. Hening tiba-tiba menyela. Kami sama-sama diam tak bersuara, hanya titik air dari ember timba menetes ke dalam sumur yang menimbulkan gaung. Tiba-tiba terdengar kecipak air dari dalam sumur, bunyinya keras dan jelas. Suara cecak jatuh? Pasti bukan, karena sebelumnya kami tidak melihat seekor cecak pun melintas di bibir sumur. Tikus? Lebih tidak mungkin lagi! Aku dan Bagas saling berpandangan.

“Hantu air?” ujar kami, nyaris berbarengan. Kami segera beranjak dari situ, dengan pikiran diselubungi rasa takut yang tak mudah ditepiskan. Malam makin larut. Di langit tak ada bulan, apalagi bintang. Beberapa malam berikutnya, aku dan Bagas sengaja menimba air sama-sama. Saling menunggu bila yang satu menimba, bahkan saling mengantar ke rumah masing-masing hanya untuk mencurahkan isi ember!

Baru beberapa hari kemudian misteri hantu air itu terpecahkan. Suara misterius itu ternyata berasal dari kecipak ikan yang sengaja Pak Surip simpan di dalam sumur.

“Di sumur itu banyak jentik-jentik nyamuk, biar semuanya dimakan ikan. Daripada kita digigit nyamuk demam berdarah, lebih baik kita pelihara ikan, bukan?” kata Pak Surip, sambil mengangkat ember.

Aku dan Bagas sama-sama menghela napas. Lega. Ketakutan kami selama berhari-hari itu benar-benar sebuah kebodohan! Gumpalan rasa takut yang kini buyar berganti  tawa masam. Kami berdua sepakat merahasiakan kisah ini. Tentu saja, lebih baik kami sendiri yang menertawakan kebodohan itu, daripada ditertawakan dan diledek berhari-hari oleh teman-teman kami yang usil.

Sore itu, kebetulan aku dan Bagas bertemu Satria. Ditemani sopir ayahnya yang mengajarinya cara menyetir mobil, Satria tampak serius mengikuti aba-aba sang guru. Perlahan ia mengendarai mobil sedannya yang mengilap karena sering dicuci. Aku sempat membandingkannya dengan angkot milik Wak Narti. Tentu
saja beda jauh, seperti kupu-kupu dan kumbang kelapa!

Saat melintas di depan kami, Satria

sengaja mengeluarkan kepalanya dari balik kaca kemudi.

“Hoii... Dito! Bagas! Ayo, ikut sini!” Satria menghentikan mobilnya pas di depan kami.

Aku dan Bagas saling pandang. Sebelum keheranan kami terhapus, Satria sudah keburu turun. Dia tampak gagah dengan kaus bertuliskan lambang Manchester United, klub sepak bola favoritnya. Sekilas dia seperti anak SMA. Mungkin, tak ada yang mengira bila Satria masih kelas satu SMP dan baru dikhitan bulan kemarin! Segera dia menggamit kami. Mulanya aku dan Bagas menolak ajakan pemuda cilik itu, tapi akhirnya  kami manut juga diajak Satria naik ke mobilnya. Lagi pula, sekali-sekali mencoba sedan mentereng, tak ada salahnya, bukan?

Sayangnya, ucapan Satria tak seempuk jok kursi mobilnya. Di kursi belakang, aku acap kali saling lirik dengan Bagas sebagai reaksi atas kata-kata Satria yang kedengarannya narsis dan sok dewasa. Sopir ayah Satria tak terlalu memperhatikan apa yang diucapkan anak majikannya. Dia lebih asyik memperhatikan jalan dan siap-siap menarik rem tangan kalau-kalau terjadi sesuatu. 

“Sekarang orang tuaku menganggap aku sudah bukan anak-anak lagi! Biasanya, kalau anak laki-laki yang sudah disunat, badannya akan bertambah tinggi dan besar.  Aku sudah remaja, tinggi badanku bertambah. Makanya, aku diizinkan belajar menyetir mobil….!” kata Satria. Kedua cuping hidungnya mengembang, dari seukuran biji salak menjadi sebesar mangga, masih untung tak sebesar duren.

Aku dan Bagas sama sekali tak berminat menimpali perkataan teman kami yang satu ini. Kami lebih suka mengamati cara Satria mengemudikan mobil yang kelihatannya sudah mulai mahir. Tak ada masalah dalam mengoper dan menginjak pedal kopling. Satria hanya perlu latihan menginjak rem agar lebih halus dan tidak mengentak. Gurunya berulang kali mengingatkan dia setiap kali mengerem kendaraannya.

Hari makin sore. Setelah puas berkeliling, Satria memacu laju mobilnya ke arah tempat kami tadi bertemu. Ia menginjak pedal rem tiba-tiba. Aku dan Bagas terlonjak dan nyaris kepalaku menyentuh atap mobil. Satria tertawa menyeringai.   

“Kalian ingin bisa menyetir seperti aku?” tanya pemuda cilik itu. Kami berdua mengangguk polos.

“Cepatlah kalian disunat supaya tidak jadi anak kecil terus!” kata Satria, sambil tertawa lebar. Tawa yang lebih mirip seringai kucing garong di depan dua ekor tikus kecil. “Kalau tidak mau jadi anak laki-laki, pakai saja rok dan main boneka tiap hari!” ejeknya lagi.  

Aku dan Bagas seakan sepakat untuk tidak meladeni perkataan Satria. Percuma, kalau dilawan malah akan lebih banyak lagi kata-kata buruk terlontar dari bibir si besar kepala itu. Daripada makin sakit hati, lebih baik diam dan selanjutnya tidak usah berteman lagi. Kami berdua heran, kawan yang satu ini benar-benar jadi berubah, bukan Satria yang selama ini kami kenal!

Sampai mobil Satria hilang dari pandangan, kata-kata Satria yang menyebalkan masih tetap terngiang di telinga kami.

“Tahu begitu, aku tak akan sudi ikut naik mobil si besar mulut itu!” gerutuku.

“Iya, mentang-mentang sudah disunat dan badannya tumbuh lebih cepat daripada kita,” kata Bagas, merasa senasib. Meski ia sudah ikut khitanan massal yang diadakan Koran Pelita hampir setahun lalu, perawakannya tetap saja kecil dan kurus. Bertambah tinggi sedikit mungkin saja, tapi belum ada perubahan yang cukup berarti. Kami memang beda jauh dari Satria, yang makanannya pasti lebih bergizi, apalagi dia juga punya bakat tinggi besar seperti bapaknya.

Aku menghela napas. Semua temanku sudah dikhitan, termasuk Catur yang baru berusia delapan tahun dan paling kecil di antara kami. Aku tahu, sebetulnya masalah yang kuhadapi ini sangat sederhana. Kalau mau dikhitan di puskesmas, hanya memerlukan uang sekitar Rp75.000-Rp100.000 saja. Bahkan, bila tak mampu membayar, tinggal bikin surat keterangan tidak mampu dari RT/RW yang ditandatangani Pak Lurah. Kalau tidak, rajin-rajinlah mencari informasi, siapa tahu ada yang mau menyelenggarakan khitanan massal.

“Sudahlah, To, daripada kamu diejek terus karena belum disunat, lebih baik ke puskesmas saja. Kata Pak Ustaz, yang penting niatnya, bukan selamatannya!” ucap Bagas.

“Ya, tapi aku akan lebih giat menyemir sepatu supaya bisa menabung untuk membeli roti buaya…!” jawabku, dengan penuh kesungguhan.

Kami sudah sampai di depan rumah Bagas, ia bergegas masuk. Tinggal diriku berjalan sendirian. Senja makin karam. Langit meredupkan warna jingga menjadi warna lain yang lebih gelap. Sebentar lagi hari akan segera menjadi malam. Kupercepat langkahku.

Tempat tidur kayu itu berderit-derit, tak sanggup menahan beban ketika aku melemparkan tubuhku. Sudah berulang kali Ibu memperingatkan, jangan mengempaskan tubuh tiba-tiba ke situ. Sambungan kayunya yang sudah longgar akan menimbulkan suara berderit yang tidak enak didengar. Meski sering diperbaiki Abah, tempat tidur itu masih tetap mempertahankan kereyotannya. Aku menghela napas panjang. Kubiarkan diriku tenggelam di kasur kapuk yang sudah bergumpal dan banyak yang lepas benang-benangnya. Benang yang membentuk tonjolan persegi empat  di sekujur kasur.

Ucapan Satria sore tadi masih melekat dalam benakku. Memang benar, di antara teman-temannya, hanya aku yang belum disunat. Amin, Dudi, Catur, Bagas, semuanya sudah. Kalau saja Ibu tidak selalu meminta isi celenganku, tentu aku sudah disunat. Mungkin uangnya hanya cukup untuk ongkos khitan di puskesmas dan membeli roti buaya yang paling kecil tiga buah. Selebihnya, aku sama sekali tidak terlalu berharap, karena uang Abah selalu tidak cukup. Jangankan mengadakan kenduri khitanan, membayar buku paket di sekolah saja sering terlambat.

Kadang-kadang aku membiarkan diriku berkhayal, seperti sekarang. Membayangkan diriku memakai kain sarung polekat, baju koko sewaan yang bersulam benang keemasan. Kopiahnya tentu saja warnanya senada dengan sarung dan baju yang dikenakan. Layaknya pangeran, aku akan dipersilakan memilih, naik sisingaan yang ditandu dua orang atau naik jampana yang berukir naga. Jampana adalah sejenis tandu --terbuat dari kayu jati berukir indah-- yang digunakan kaum bangsawan atau keluarga raja zaman dahulu.

Tentu saja aku memilih naik sisingaan, karena terlihat lebih keren dan gagah. Arak-arakan dimulai dari tepi jalan besar. Empat orang penari bersama kuda lumpingnya berada di depan, membuka jalan. Tiga pemuda cilik membawa nampan berisi roti buaya yang dibiarkan terbuka begitu saja. Roti buaya yang paling besar dengan gigi-gigi runcing dan ekornya yang melengkung kuat. Dengan begitu, aku tak perlu lagi berdiri di depan kaca etalase toko roti itu, sekadar mengagumi roti buaya dan hanya berkutat dengan keinginan yang tak juga terwujud.

Suara gamelan terdengar makin jelas. Sampai di lapangan voli, tak jauh dari rumahku, keempat penari itu melenggak-lenggok mengikuti irama gamelan. Alangkah meriahnya! Tamu pun akan berdatangan, memberi selamat kepadaku yang didampingi Abah dan Ibu yang berpakaian rapi dan tersenyum bangga. Aku duduk di kursi berukir, beralaskan beludru hitam. Rasanya ingin terus duduk nyaman seperti ini, menjadi raja kecil yang diperhatikan banyak orang. Tapi, bila kuingat rasa sakit yang kualami tadi pagi, sudah selayaknya kuakui bahwa dikhitan cukup sekali seumur hidup!

Tak jauh dariku, ada meja kecil yang diberi taplak batik prada. Di atasnya tersaji sepiring nasi kuning berbentuk kerucut. Satu bekakak ayam yang sudah kumakan sebagian, berada di sebelahnya. Inilah menu sarapan paling istimewa dalam hidupku. Satu ayam utuh yang biasanya dimakan beramai-ramai, boleh kusantap sendirian. Belum lagi sebutir telur dan nasi ketan putih sebesar kepalan tangan yang ditusuk gagang sate, sudah kuhabiskan, sebelum aku pergi ke puskesmas.

Bagian paling menyenangkan dari prosesi ini adalah saat para tamu menyelipkan amplop ke dalam sebuah tempat berbentuk silinder setinggi enam puluh sentimeter. Tempat itu terbuat dari anyaman bambu berselubung kain satin merah yang pinggirannya dihiasi bordiran bermotif bunga matahari. Tutupnya diberi lubang persegi di tengahnya, untuk memasukkan amplop. Makin banyak tamu yang datang, makin banyak pula amplop yang akan mengisi tempat itu. Inilah yang dinanti-nantikan semua anak laki-laki yang dikhitan. Uang panyecep, begitu istilahnya, dianggap sebagai pereda rasa sakit yang dialami para anak laki-laki saat dikhitan. Sedikitnya dapat mengalihkan perhatian mereka untuk melupakan kejadian yang sempat membuat mereka takut dan nyeri.

Biasanya, setiap kali tamu memasukkan amplop panyecep, para pangeran sehari itu akan menghitung dalam benaknya berapa kira-kira jumlah uang yang bakal diperoleh. Cukupkah untuk membeli sepeda baru, setumpuk komik, dan games yang seru? Ada pula yang berpikir membeli beberapa ekor kambing atau sapi untuk menambah penghasilan keluarganya. Tentu saja tak ada yang berpikir ingin menukar uang itu dengan seekor kucing persia atau satu kotak besar koleksi boneka Barbie!

Sayup suara Ibu memanggil. Aku membalikkan tubuhku menghadap dinding. Sia-sia aku mencoba kembali larut dalam khayalan, coba menciptakan bagian yang tak sempat kuselesaikan karena mendadak buyar gara-gara panggilan Ibu. Sekarang mau apa lagi? Kenyataan selalu berhasil mengembalikan kita  pada dunia yang sesungguhnya.

“Cepatlah ambil air di sumur, lalu kerjakan PR-mu!” kata Ibu, singkat dan lugas, tapi butuh waktu lebih dari satu jam untuk melakukan apa yang dikatakannya.

Dita sudah tertidur, tapi Ibu masih mengipasinya. Malam ini memang udara terasa panas, tapi masih lebih adem daripada siang tadi. Berita di televisi mengabarkan suhu kota kami akan mencapai 33 derajat Celsius. Kenaikan suhu ini diduga sebagai akibat masa transisi dari musim kemarau ke musim penghujan.

Dita makin lelap, keringat di dahinya tak sebanyak tadi. Boneka Barbie itu masih lekap dalam pelukannya. Boneka bekas yang tangannya tinggal sebelah, yang sudah dibuang anak Ko Halim ke tempat sampah, yang lantas dipungut Ibu. Dita sangat senang mendapatkannya. Boneka itu selalu menemaninya sepanjang hari, bahkan saat tidur pun ia bawa.

Aku memandangnya lekat. Adik perempuanku yang cantik. Kulitnya agak gelap seperti Abah, tapi matanya lembut seperti Ibu. Meski jarang bermain bersama adik semata wayang ini, aku sangat sayang padanya. Selain ke sekolah, hari-hariku memang lebih banyak diisi dengan bermain bersama teman-temanku atau mencari uang tambahan. Dita masih terlalu kecil untuk dibawa bermain bersama kami. Lagi pula, mana mau teman-temanku diajak bermain boneka. Ya, boneka Barbie bertangan satu itu menjadi mainan kesayangannya. Primadona di antara mainan-mainan lusuh dan boneka kucel yang tersimpan rapi dalam sebuah keranjang plastik.

Cepat-cepat kupalingkan wajahku. Ada rasa haru menyelinap di dadaku. Rasanya ingin aku masuk ke dalam mimpi adikku dan mengetahui apa yang diinginkannya. Sebuah boneka Barbie? Mungkin saja. Buku cerita dan kue tart berlumur cokelat dan dipenuhi buah stroberi segar? Mungkin saja begitu, sama seperti aku yang memimpikan roti buaya. Kuraih ember. Dalam hati aku berjanji, mulai besok aku akan berjuang lebih keras agar bisa mendapatkan uang untuk membeli sebuah boneka Barbie yang utuh dan lengkap kedua tangannya.

Setiap orang mempunyai mimpi dan siapa pun akan berusaha agar mimpi itu terwujud. Kadang-kadang bukan tangan kita sendiri yang mewujudkannya, bisa saja tangan orang lain yang membantu kita meraih impian. Tentu saja kita tak perlu menunggu bantuan orang lain, biarkan waktu mengalir bersama kesungguhan yang sedang kita lakukan.

Bermimpi itu sangat manusiawi, semua orang berhak memilikinya tanpa membedakan warna kulit atau kelas sosial. Lalu, mungkin saja kita akan bertanya, apakah seekor buaya atau tikus dapur mempunyai mimpi?

Yang pasti, aku memimpikan roti buaya yang jaraknya hanya sekitar tiga meter dari diriku. Dibatasi dinding kaca yang tebal dan bening, roti bertaring itu serasa berada di kutub utara. Hmm… kelihatannya, semua rotinya baru. Baru diangkat dari oven, tampak hangat dan masih empuk. Aku yakin, roti yang ada di etasale kemarin sudah habis diborong orang. Siapa pun yang membeli, alangkah beruntungnya anak itu. Pasti dia anak orang kaya karena perlu banyak uang untuk memborong semua roti buaya yang dipajang di etalase toko.

Dua roti buaya ukuran paling besar baru saja diletakkan. Aku memandang takjub, yang sebelah kiri giginya tampak runcing dan kuat. Seandainya dia hidup, tentu sangat menakutkan! Dia akan menjadi buaya yang kuat dan paling jagoan.

Pandanganku beralih pada roti buaya yang satunya lagi. Wah… yang ini model baru! Duri-duri di punggungnya terbuat dari cokelat pekat yang padat. Rasanya pasti manis dan enak. Aku tak sabar menunggu, masih ada tempat yang kosong untuk dua atau tiga roti buaya lagi. Siapa tahu bentuknya lebih bagus!
Aku menaiki undakan, telapak tanganku menempel pada kaca yang lama-kelamaan berembun karena embusan udara dari hidungku. Aku ingin melihat roti buaya yang baru datang lebih jelas. Belum juga keinginanku terkabul, sebuah suara yang cukup keras memaksaku menoleh ke belakang.

“Hei, jangan dekat-dekat! Nanti kacanya kotor! bentak pelayan toko.

Aku cepat-cepat menarik tanganku. Orang itu kelihatan berang. Sehelai kain lap dan semprotan cairan pembersih kaca, ia acungkan ke arah diriku.

“Pergi sana, anak nakal! usirnya.

Aku segera beranjak dari situ, tapi tak terlalu jauh. Bersembunyi di balik mobil warna silver. Orang itu mengomel sambil membersihkan kaca bekas tangan dan  embusan napasku barusan. Tak lama kemudian, setelah orang itu pergi, aku kembali ke tempatku semula. Hmm… kaca etalase jadi lebih bersih sekarang dan roti-roti itu kelihatan lebih jelas. Bau cairan pembersih kaca terasa segar, wangi stroberi. Roti buaya rasa stroberi, mengapa tidak? Daripada isinya polos, lebih baik ada isinya, bukan?

Ah… sedapnya!

Keesokan harinya aku berada di tempat yang sama. Sama sekali tidak kapok atas kejadian kemarin dan tidak takut diusir lagi oleh pelayan toko yang galak dan judes itu. Aku melihat bayangan diriku di kaca. Seorang anak laki-laki berkaus biru langit dengan celana pendek merah. Rambutku yang lurus pendek itu tertutup topi hitam kebesaran milik Abah. Aku tersenyum pada diriku sendiri.

Hari ini, hari Jumat, berarti pulang sekolah lebih awal dari biasanya. Aku senang, karena berarti akan lebih banyak waktu untuk menyemir sepatu di pelataran masjid. Kotak berisi semir dan peralatan lainnya sudah kusiapkan sejak pagi tadi. Lengkap. Tas sekolah kutitipkan di tempat penitipan sepatu, sesudah itu baru aku mulai beraksi.

Tidak semua jemaah menitipkan sepatu di tempat penitipan. Banyak yang meletakkan sepatunya begitu saja di depan teras masjid. Apalagi hari Jumat, jemaah yang datang lebih banyak dari hari biasa karena mereka mengikuti salat Jumat. Biasanya, banyak jemaah yang enggan antre di tempat penitipan sepatu, jadi mereka menyimpan sepatunya di depan teras. Pucuk dicinta ulam tiba! Inilah saat yang tepat bagiku menyemir sepatu-sepatu itu. Tidak semua orang yang disemir sepatunya memberi uang lelah. Tetapi, orang yang dermawan biasanya akan celingukan mencari orang yang sudah membuat sepatunya mengilap, lalu memberi uang sekadarnya.

Ketika salat Jumat dimulai, aku segera menghentikan pekerjaanku dan bergabung dengan para jemaah. Usai salat, aku pun duduk di teras, menunggu para pemilik sepatu.  Ada lima penyemir sepatu yang biasa mangkal di masjid itu, dua pria dewasa dan tiga orang anak seumurku.

Tiap Jumat, tiga pemuda cilik ini bergiliran menangguk rezeki di tiga lokasi, yaitu teras samping kiri dan kanan serta teras pintu utama masjid. Lokasi favorit tentu saja yang di bagian depan. Siapa yang datang paling awal, dialah yang mendapatkan lokasi ini. Di sini sepatunya lebih banyak, otomatis peluang mendapatkan konsumen pun lebih besar. Sedangkan lokasi yang di dekat toilet dikuasai petugas cleaning service. Menyemir sepatu menjadi usaha sampingannya sambil menjaga toilet.

Aku berhasil mengumpulkan uang sebanyak dua puluh empat ribu lima ratus rupiah. Tak percuma rasanya, menangguk rezeki di pelataran masjid. Banyak sandal atau sepatu kulit yang bagus dan mahal digeletakkan begitu saja di depan teras masjid. Kalau dijual, tentu akan menghasilkan uang lebih besar dari upah menyemir sepatu.

Untunglah pikiran kotor itu tak pernah merasuki benakku. Kepercayaan dan kejujuran  itu mahal harganya dan kedua hal tersebut sama nilainya dengan harga diri dan kehormatan kita. Aku masih ingat, dengan bahasa sederhana, Ibu berusaha menjelaskan hal yang tak mudah kucerna itu menjadi larut dalam pemikiranku yang naif.

Kulipat rapi dan kusimpan baik-baik uang itu dalam saku kemeja putihku. Ada rasa takut uang itu hilang atau terjatuh. Jam istirahat nanti, sudah bulat niatku membeli boneka Barbie di emperan depan sekolah. Tentu saja, bukan boneka Barbie asli yang harganya puluhan kali lipat dari boneka Barbie made in Ciparay itu.

Tapi, pasti adikku akan bergirang hati kalau kubelikan boneka yang mirip dengan boneka kesayangannya. Aku berharap Dita belum tahu mana boneka yang asli atau palsu. Aku sempat khawatir, maklum anak-anak kecil zaman milenium ini sudah tahu barang bagus orang tuanya. Dito kecil pun terobsesi dengan roti itu. Bahkan dia rela bekerja menyemir sepatu untuk mengumpulkan uang agar bisa dipakai pesta khitanan dan membeli roti buaya.

Setiap orang mempunyai mimpi dan siapa pun akan berusaha agar mimpi itu terwujud. Kadang-kadang bukan tangan kita sendiri yang mewujudkannya, bisa saja tangan orang lain yang membantu kita meraih impian. Tentu saja kita tak perlu menunggu bantuan orang lain, biarkan waktu mengalir bersama kesungguhan yang sedang kita lakukan.

Bermimpi membawa boneka yang lebih bagus dari sebelumnya.

Sepulang sekolah, keinginanku ini terkabul. Kuminta ia memilihkan sebuah boneka Barbie yang paling cantik untuk adikku. Kusadari benar, aku bukanlah pemilih yang baik dalam soal boneka. Aku seorang calon pria sejati yang tidak piawai bermain boneka Barbie. Tapi, bila boneka itu berbentuk buaya, singa atau beruang besar yang bisa diajak berkelahi, mungkin sebuah pengecualian. Siapa yang tidak setuju?

Sambil berjalan pelan melintasi kebun kosong di samping sekolahku, hati-hati kusimpan boneka Barbie yang sudah terbungkus rapi itu ke dalam ransel. Dita pasti sangat gembira dan aku merasa  berhasil sebagai seorang kakak yang mampu membelikan boneka idaman si adik dari hasil jerih payahnya sendiri. Boneka Barbie yang lengkap kedua tangannya, ditambah bonus cermin plastik dan sebuah sisir boneka kecil warna pink.

Baru saja hendak kubuka ritsleting ranselku, sepasang tangan kekar menghentikan gerakan tanganku.  Aku menoleh. Satria! Tanpa kuduga tangan itu merenggut boneka Barbie adikku dari dalam ransel.

“Laki-laki, kok, main boneka?” ejeknya, sambil memain-mainkan boneka itu seperti wayang golek.

Aku terkesiap, spontan kurebut boneka itu. Satria menguatkan cengkeramannya. Beberapa saat terjadi adegan tarik-menarik memperebutkan boneka itu. Kulonggarkan genggamanku, aku takut boneka itu rusak atau bajunya sobek. Namun, keadaan ini dimanfaatkan Satria. Secepat roket ia merenggut boneka itu dari peganganku, dan berhasil! Boneka itu lepas dari peganganku.

Takkan kubiarkan ia berlalu begitu saja, kutarik ransel Satria. Ia menoleh, pandangannya melecehkan. Kubalas tatapannya dengan kegeraman yang membuncah. Tali ransel itu kutarik sekuat tenaga. Ada benda yang jatuh. Sebungkus rokok! Satria merasa tertangkap basah.

Beberapa anak mulai datang merubung. Membuat Satria makin bersemangat mengejekku. “Betul kan apa kataku, kamu memang bukan laki-laki. Belum disunat, hobinya main boneka!”

Anak-anak yang merubung kami mulai bersuit-suit. Belum sempat Satria meneruskan ejekannya, sudah kutendang kakinya. Tubuhnya limbung sesaat, tapi mulutnya masih juga kesat.

“Jangan suka sok jagoan! Pergilah ke ibumu, ganti bajumu dengan rok!” teriak Satria yang langsung disoraki.

“Kembalikan boneka itu, aku membelinya buat adikku!”

“Nih! Ambil saja kalau kau bisa!” Satria mengulurkan boneka itu.

Aku tahu, takkan semudah itu ia menyerahkannya padaku. Pasti sebuah siasat tengah dipersiapkannya. Tanpa pikir panjang lagi, kutubruk perutnya. Kami jatuh.

“Memangnya kamu bisa berkelahi, hei, anak bawang!”

“Tentu saja aku tak perlu matian-matian seperti kamu, membuktikan diri bahwa kamu pria sejati dengan
merokok!” sindirku.

“Yang banci itu kamu Dito, bukan aku!”

“Nama kamu saja Satria, tapi kamu pengecut! Mana ada kesatria yang melawan anak kecil, apalagi merampok boneka!”

Satria menyarangkan sebuah pukulan yang nyaris mengenai bahuku. Merasa tak berhasil, dia memukulkan boneka Barbie itu ke arah wajahku. Aku berkelit cepat, sambil berusaha merampasnya dari cengkeraman Satria. Tiba-tiba ia melemparkan boneka Barbie itu ke arah parit depan pagar sekolahku. Aku segera bangkit memburunya. Tapi sayang, boneka itu mendarat di dasar parit berlumpur. Bentuknya sudah tidak keruan, bau dan basah. Kuambil boneka itu, lalu kulemparkan ke arah Satria. Dia marah bukan main, aku pun meradang.
Kami berdiri berhadap-hadapan, tak seorang pun dari anak-anak itu berusaha memisahkan perkelahian kami karena enggan kehilangan sebuah tontonan gratis. Tapi, tiba-tiba keinginan mereka itu dihapuskan oleh bentakan yang cukup keras. Seorang guru menyudahi pertikaian kami. Aku dan Satria dipaksa bersalaman, walau hati masih menyemaikan rasa geram.  Penonton bubar.

Aku berutang dua ribu rupiah pada penjual boneka Barbie itu. Setelah kenyang dinasihati guru yang melerai perkelahianku dengan Satria, kubeli satu boneka lagi. Sisa uangku sepuluh ribu lima ratus rupiah, yang seribu lima ratus kubelikan semangkuk mi tanpa bakso. Kuurungkan pula niatku menabung. Biar sajalah, yang penting Dita mendapatkan boneka idamannya.

Dita menatap boneka Barbie itu dengan mata berbinar-binar. Aku tersenyum pahit, bau parit masih melekat di bajuku. Tapi, Dita tak segan memelukku dan mengucapkan terima kasih. Ibu tak banyak bicara melihat penampilanku yang kusut masai. Sobek kecil di bagian lengan atas dan percikan noda di seragamku, cukup memberi gambaran apa yang sudah aku lakukan.

Hatiku tak serta-merta menjadi tenteram melihat reaksi Ibu yang terlampau tenang. Kupikir bukan karena aku membawakan boneka Barbie untuk adikku hingga ia merasa terhibur dan enggan memarahiku, tapi mungkin Ibu sedang kecapaian sepulang bekerja dan tak ingin ambil pusing. Paling dia akan bercerita sedikit tentang kejadian hari ini kepada Abah nanti malam, dan inilah hal yang kutakutkan! 

Dugaanku benar. Malam harinya Abah memanggilku. Kuceritakan semua kejadian tadi siang apa adanya. Abah menghirup kopinya dalam-dalam. Tak sepatah kata pun ia berucap dan ini merupakan siksaan bagiku. Sambil mengurai ketegangan, kucoba mengingat adegan iklan produk margarin yang menampilkan kebijakan seorang ibu saat menghadapi anak laki-lakinya berkelahi karena membela adik perempuannya. “Berkelahi memang bukan hal yang baik, tapi membela adik yang diganggu temanmu itu hal terpuji,” katanya.

Abah bukan sosok ibu-ibu dalam iklan itu, yang bisa bicara manis melihat anaknya babak belur. Bagi Abah, berkelahi harus jelas alasannya, bukan asal baku hantam. “Abah pernah jadi anak laki-laki sepertimu, dan Abah juga pernah berkelahi, tapi bukan semata-mata karena emosi. Ada yang Abah bela, ada yang Abah pertahankan.”

Tempo hari, Abah nyaris memukuli diriku gara-gara aku nekat jadi polisi cepek dekat lintasan kereta api, dua blok dari tempat Abah bekerja. Abah marah besar, karena aku telah melakukan kesalahan fatal dan memalukan. Dia seorang penjaga pintu lintasan kereta yang berusaha menaati peraturan demi keselamatan masyarakat. Sementara itu aku, anaknya, memanfaatkan kepadatan lalu lintas di sekitar lintasan kereta api untuk menangguk beberapa keping uang logam.

Kejadian itu membuatku kapok dan memaksaku belajar bertanya kepada Abah tentang segala hal penting yang akan kulakukan.

Kopi Abah tinggal sedikit lagi. Aku masih duduk tepekur di hadapannya. Abah menatap tajam padaku. Aku menunduk, merasa bersalah. Lalu dia bersuara pelan.

“Abah tidak marah atas kelakuanmu hari ini, kamu memang anak laki-laki Abah. Kamu sudah membuktikan bahwa kadang-kadang kita harus bertahan dan berani melawan orang-orang yang mencoba menganiaya kita. Selama kita tidak mencuri atau merugikan orang lain, kamu harus berani menunjukkan bahwa kita pun mampu melakukan hal-hal yang terhormat, meski apa yang kita lakukan dinilai hina bagi sebagian orang….”

Aku tahu, aku memang anak laki-laki Abah. Tapi, ucapan Abah pada malam itu memberikan makna lain yang lebih dalam. Kebanggaan seorang ayah yang membuatku merasa jadi pria sejati. Aku tak harus berlaku seperti Satria, bersikeras membuktikan bahwa ia seorang laki-laki dengan berbagai cara. Rokok itu salah satu buktinya. Pergaulan Satria dengan teman-teman SMP-nya membuat ia ingin diakui sebagai anggota dari kelompok barunya itu. Bukan laki-laki kalau tidak merokok.

Satu hal yang masih bisa kumengerti adalah kata-kata Satria tentang eksistensi pria melalui prosesi khitanan. Barangkali Satria benar, karena saat dikhitan seorang anak laki-laki harus membuktikan keberaniannya menghadapi rasa sakit serta menaklukkan segenap ketakutannya. Aku mencoba memahami alasan lain yang berhubungan dengan alasan religi ataupun alasan kesehatan. Tapi, ada alasan yang lebih dominan dalam kenaifan kanak-kanakku. Mungkin semacam embrio dari alasan prestise yang diidolakan orang-orang dewasa. Roti buaya, kenduri, gotong singa, setumpuk uang panyecep, adalah simbol kebutuhan akan sebuah pengakuan eksistensi seorang anak laki-laki yang lambat laun berproses menjadi lelaki sejati.

Aku tak perlu merasa minder dengan atribut-atribut simbol yang dicanangkan Satria, yang latar belakang keluarganya serba berkecukupan. Tak ada kepuasan yang memuncak saat berhasil mencapai sesuatu yang diidamkan. Pria sejati adalah pejuang yang tangguh. Justru itulah, seharusnya aku berbangga hati karena sebagai anak laki-laki aku bekerja keras untuk mewujudkan semua mimpiku. Aku tidak sendiri, teman-temanku juga melakukan hal yang sama, meski tujuannya berbeda. Tujuan boleh beda, yang penting tidak berbuat dosa atau mencuri mangga tetangga!

Kami berempat: aku, Bagas, Amin, dan Catur, sepakat bertemu di sini. Di kebun kosong dekat rumah Bagas. Hanya Dudi yang tak bisa datang, dia sekolah siang. Kalau Satria jangan diharap, dia sudah berada di dunia lain yang tidak kami kenal. Tas sekolah kami titipkan di rumah Bagas. Rencananya, Paman Amin akan mengedrop keranjang plastik berisi cireng mentah yang akan kami jual di kompleks pertokoan Jalan Setiabudhi. Cireng alias aci digoreng adalah penganan yang terbuat dari aci atau tepung kanji yang diuleni kemudian diberi bumbu. Setelah digoreng hingga matang, cireng dapat dinikmati dengan cabe rawit, sambal dan saus tomat, atau sambal kacang.

Kami mendapatkan keuntungan lima ratus rupiah dari sebungkus cireng yang dijual empat ribu rupiah. Satu bungkus berisi sepuluh cireng mentah. Bila beruntung, ada juga pembeli yang baik hati. Seorang ibu membeli tiga bungkus cireng seharga lima belas ribu rupiah dan kembaliannya diberikan kepada Catur. Bagas juga mengalami hal yang tak jauh berbeda. Tentu saja, yang lain pun ingin seperti mereka, bertemu ‘peri cireng’ yang melebihkan harga.

Kami tidak peduli bila ada orang yang berpikir, bahwa kami lebih banyak memakai waktu untuk bermain dan mencari uang. Bermain adalah sebuah alasan karena kami tak mau kehilangan masa kanak-kanak yang hanya sekali seumur hidup. Hal ini dilakukan karena kami terlalu kenyang berpikir serius tentang bagaimana mewujudkan keinginan-keinginan duniawi tanpa membebani orang tua. Tentu saja bukan hal tabu memiliki keinginan-keinginan itu karena kami tinggal di dunia. Barangkali, bila kami berada di matahari akan disebut keinginan matahariawi bila kami penduduk planet Mars maka disebut keinginan marsiawi.

Adalah hal yang manusiawi pula bila kami berempat bukan murid istimewa yang berlumur pujian. Bukan pula si jenius pencipta nilai atau anak ajaib yang memukau. Cukuplah setiap tahun naik kelas dan rapor tak ada angka merah. Cukuplah bersekolah demi sehelai ijazah. Selebihnya, itu anugerah!

Malam itu celengan Spiderman kutimang, isinya bergoyang lambat.  Terasa padat. Tak percuma kerja kerasku selama ini. Aku tersenyum lebar sendirian. Tapi, senyum itu segera pupus karena Ibu datang menghampiri. Dia selalu tahu kapan isi celengan ini penuh dan bisa ‘dipinjam’ dengan berbagai alasan yang menyiratkan suatu keharusan. Lekap kugenggam kaleng berharga itu, sambil mencari kata untuk bertahan, bila Ibu menghendaki isinya.

“Uangmu barangkali cukup bila digabungkan dengan gaji Abah….”  

Dadaku terasa sempit, kehilangan udara. Kutatap Ibu dengan pikiran kacau. Dia malah tersenyum. Sepucuk amplop putih dia sodorkan kepadaku. Tiba-tiba aku menjadi orang bodoh karena sama sekali tidak mengetahui maksud Ibu berlaku demikian.

“Kenapa, Nak? Bukannya senang, kok, malah melongo begitu?” Senyum Ibu menyisakan rasa penasaran dalam hatiku.

“Ibu mau pinjam isi celengan ini?” tanyaku, setengah hati.

Ibu tertawa renyah, tawa yang jarang kudengar.

“Tidak, Nak, justru Ibu ingin isi celenganmu digabungkan dengan gaji Abah supaya kita bisa melaksanakan kenduri,” kata Ibu, sumringah. “Ayahmu mendapat gaji ketiga belas!”

Pikiran kanak-kanakku masih belum bisa mencerna perkataan Ibu. Kubiarkan dia melanjutkan kata-katanya.

“Ayah dapat tambahan uang dari kantornya yang besarnya sama dengan satu bulan gaji. Nah, Ibu dan Abah ingin agar uang ini dipakai untuk biaya kenduri khitananmu. Tak usahlah ke dokter praktik yang mahal, ke puskesmas saja, yang penting selamat!”

“Khitanan…?” Dadaku tiba-tiba membesar, kebanyakan udara yang membuatku merasa melambung. “Benar, Bu?”

Ibu mengangguk. Aku benar-benar terbang sekarang! Kucium tangan Ibu, khidmat, penuh rasa terima kasih. Sayang Abah belum pulang, sehingga aku tak dapat meluapkan rasa bahagiaku dengan sempurna. Semalaman aku tak bisa tidur, ingin segera kukabarkan rencana akbar ini kepada teman-temanku.

Bagas tertegun sewaktu kukabarkan berita gembira ini. Matanya yang bulat berkaca-kaca. Ia menepuk bahuku dan tersenyum bangga. Kami berjalan beriringan menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya kami membicarakan kenduri yang akan segera dilaksanakan. Ia pun berjanji akan membantuku meminjam kamera kepada saudaranya.

Kabar itu tersebar cepat, bukan hanya di antara kami berlima, tapi teman-teman sekolah pun mulai tahu. Aku mendadak jadi selebritas kelas lokal yang mabuk popularitas. Dua minggu lagi, kenduri berlangsung. Sederhana, tanpa atraksi kesenian tradisional yang megah. Tak ada gotong singa atau jampana. Abah akan menggendongku dari jalan besar sampai ke rumah, dan itu jauh lebih berarti bagiku!

Setiap jam, setiap malam, setiap hari adalah masa-masa menunggu yang mendebarkan. Impianku sebentar lagi terwujud, bukankah berarti aku sama seperti anak yang lain? Anak laki-laki normal, pemuda cilik yang akan segera beranjak remaja. Aku tak tahu seperti apa nanti kenduri itu, Abah dan Ibu yang mengatur segalanya. Aku tinggal duduk, disunat, dan menerima uang panyecep.

Namun, apa mau dikata, semua harapanku buyar seketika. Kehadiran Pak Surip, tetanggaku, membuat hari itu menjadi hari yang paling aneh dalam hidupku. Setelah ia bertemu guru piket, aku dipanggil ke ruang guru. Pak Surip tak banyak bicara, ia hanya menatapku dengan pandangan prihatin dan membawa pesan dari ibuku. Aku harus segera pulang. Pikiranku kacau, aku tak ingin menduga atau berprasangka. Suatu hal buruk mungkin terjadi. Abah! Jangan-jangan Abah sakit parah atau Abah…  meninggal?

Aku meracau dalam hati. Pak Surip memacu motornya. Helm yang biasa dipakai istrinya memang kebesaran, hingga harus kupegang erat-erat, sementara tangan yang satunya mencengkeram ikat pinggang besar milik tetanggaku yang baik hati ini. Ternyata, Pak Surip tidak membawaku pulang ke rumah atau ke rumah sakit, tapi ke kantor polisi! Aku lega, artinya Abah sehat. Tapi, hatiku makin bertanya-tanya, ada apakah gerangan?

“Ayahmu di dalam, dia sedang mengobrol dengan polisi,” kata Pak Surip, seakan tahu isi benakku. Singkat, padat, tapi tak jelas.

Tentu saja aku bukan anak ingusan yang percaya begitu saja pada kata-katanya. Sebentar lagi aku masuk SMP, bila Abah mampu membiayai sekolahku dan aku berharap demikian. Mungkin Pak Surip tak punya kata lain yang lebih pantas dalam menjelaskan keadaan ayahku. Hanya karena Abah mengobrol dengan polisi, mengapa Pak Surip sampai tergopoh-gopoh menjemput aku ke sekolah?

Abah ditahan polisi akibat kecelakaan kereta api yang terjadi tadi pagi di wilayah kerjanya. Begitu kata Ibu, sambil memelukku. Bahu seragamku agak basah terkena air matanya yang tak putus berderai. Pagi yang kusut, harapan yang terburaikan. Ibu memelukku lagi. Matanya yang basah, bicara lebih banyak.

Ibu sengaja memanggilku karena Dita rewel dan perlu ada orang yang menjaganya. Adikku memang agak pemalu, dia tak mau ditemani orang yang tak begitu dikenalnya. Percakapan kami terhenti. Beberapa wartawan menghampiri Ibu. Lampu kamera televisi membuatku silau. Dalam sekejap, mereka mengerubungi Ibu dengan beragam pertanyaan yang beruntun. Pandanganku terhalang seorang wartawan laki-laki bertubuh menjulang. Kulindungi Dita dari desakan mereka yang ingin menyodorkan mikrofon atau tape recorder sedekat-dekatnya ke wajah Ibu.

Cepat-cepat Pak Surip merengkuh pundakku dan segera membawa kami keluar dari kerumunan itu. Susah payah Dita mengikuti langkahnya yang lebar. Seorang reporter, wanita, yang ikut berkerumun, berpaling ke arah kami. Dia tak melepas pandang sedikit pun dariku. Matanya yang bulat tampak berbinar. Segaris senyum menghiasi wajah yang cerlang.

Sekali lagi Pak Surip membuyarkan kesenanganku, ia menarik tanganku. Dita pun digendongnya agar kami lebih cepat berlalu dari situ. Di kantin, Pak Surip memesan dua mangkuk mi bakso. Dia sendiri hanya memesan segelas kopi.

Seorang polisi datang dan duduk di sebelah Pak Surip. Rupanya, sekarang waktu istirahat, polisi itu memesan soto ayam. Entah bagaimana, mereka terlibat percakapan tentang kecelakaan tadi pagi. Pukul 05.10 terjadi kecelakaan hebat di pintu lintasan kereta api tempat Abah bertugas. Kusimak perbincangan mereka. Sebuah mobil tiba-tiba menerobos palang kereta. Pada saat bersamaan, datang kereta api Sanjaya dari arah timur. Tabrakan tak dapat dihindarkan lagi. Mobil sedan yang dikendarai anak muda bernama Indra Riswanto itu rusak berat. Tiga orang luka berat, pengemudinya tewas saat itu juga. Indra anak pejabat terkenal, Haidar Riswanto, karena itu beritanya diliput wartawan dari berbagai media. Abah dimintai keterangan oleh polisi. Dia menjadi tersangka utama kasus kecelakaan itu. Dia terancam ditahan dan diadili akibat keteledorannya.

Kehidupan keluarga kami berubaH seratus delapan puluh derajat. Di bawah lampu kamera dan liputan media cetak, gerak-gerik kami senantiasa diawasi. Aku sempat berpapasan dengan reporter cantik itu di gerbang kantor polisi. Dia melambai padaku, kujawab dengan senyuman sekilas, lalu bergegas. Setelah bertemu Ibu, aku menuju kantin, membelikan Dita makanan ringan kesukaannya. Rupanya, reporter cantik itu mengikuti aku, lalu menyapaku ramah.

“Hai, saya Marissa. Siapa namamu, Dik?”

Aku tercekat. Kantong kresek kecil berisi camilan, nyaris lepas dari genggamanku. Tangannya terulur. Mau tak mau aku membalas jabatan tangannya. Kusebut namaku dengan suara bergetar.   

“Boleh kita ngobrol sebentar?”

“Tapi, saya harus minta izin Ibu dulu…,” ujarku, setengah gugup.

Dia mengangguk dan membiarkan aku mendekati Ibu dan Dita. Aku bercakap-cakap dengan ibuku sebentar, lalu kembali menemui reporter itu.

Tiba-tiba HP Marissa berdering. Dia memberi isyarat agar aku menunggu.

“Ya, Mbak, kita harus bikin berita yang berimbang. Ini sudah mulai trial by the press! Media mengadili dia. Posisi penjaga pintu kereta itu kurang menguntungkan, terlepas dari bersalah atau tidak….” Marissa diam beberapa saat, menyimak lawan bicaranya. Lalu bicara lagi.

“Saya setuju. Hmm…. kita perlu bikin feature yang menyentuh tentang kehidupan para penjaga pintu kereta. Betul kita bagi tugas saja. Saya sekarang bersama anaknya Pak Asep.  Ya…ya…  segera!”

Matanya beralih padaku, lalu dia melambai pada temannya yang membawa kamera. Ia memegang mikrofon dan menghadapkan wajahnya pada kamera.    

 “Pemirsa FajarTV, Anda masih bersama Marissa Hermawan. Kali ini kita berbincang-bincang sejenak dengan Radityo, putra sulung Asep Suhandi, penjaga pintu lintasan kereta api. Kasus Asep Suhandi mencuat karena berkaitan dengan tewasnya Indra Riswanto dalam sebuah tabrakan kereta api. Mari kita jumpai Radityo yang biasa dipanggil Dito.” Reporter cantik itu menghampiriku.

“Radityo, nama yang bagus. Siapa yang memberi nama sebagus itu, Dik?”

“Eyang kakung dari Purwokerto.”

Aku tampak sedikit tegang. Mikrofon yang diacungkan ke arah wajahku lebih mirip sebuah granat yang sudah ditarik pemicu ledaknya. Keringat membasahi kerah bajuku. Reporter itu bertanya lagi, beberapa pertanyaan kujawab apa adanya. Dia acap kali tertawa mendengar jawabanku yang lugu dan spontan.    

“Cita-cita Dito mau jadi apa?”

“Di… disunat…!” ujarku, gugup. Tapi, itulah jawabanku yang paling jujur.

Marissa tersenyum, bulu matanya yang lentik berkedip.  

“Roti buayanya nggak perlu banyak-banyak. Dua yang besar sudah cukup atau empat yang  paling kecil,” kataku, mengalir begitu saja.

Di akhir wawancara, aku berkata, Abah pernah melarangku mengikuti jejaknya.

“Abah tidak setuju kalau Dito bercita-cita jadi penjaga pintu kereta. Dia ingin Dito sekolah setinggi mungkin supaya dapat pekerjaan yang lebih baik….”

Marissa tersenyum puas. Beban yang memberati kepalaku serasa lepas. Dia membaur-baurkan rambutku yang sudah dua hari tak sempat dicuci. Aku khawatir, bau rambutku akan menempel di telapak tangannya yang halus.

“Bagus, Dito, bagus! Jawabanmu cerdas dan sangat alami. Semoga banyak orang bersimpati pada keluargamu, pada profesi ayahmu!”

Kami baru saja tiba di rumah, ketika hasil wawancara tadi ditayangkan dalam berita sore. Aku menyaksikannya dengan hati kebat-kebit, takut ada kata-kata yang salah ucap. Sedangkan Ibu, berusaha lebih santai, menyimak perbincanganku dengan Marissa. Sebersit harap muncul dalam benakku, mudah-mudahan Abah menonton berita yang sama. Tapi, mungkinkah itu? Abah sedang diawasi dengan ketat, segala keterangan yang diucapkannya punya dua peluang: menjadi terdakwa atau orang yang bebas.

Bila kemudian banyak orang bersimpati kepada keluarga kami, seperti kata Marissa, apakah itu berarti akan membebaskan Abah? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban, karena perhatianku segera beralih ke televisi. Tayangan berikutnya muncul, Marissa tampil di depan palang pintu kereta api.

“Pemirsa, terima kasih, Anda tetap bersama kami. Saya, Marissa Hermawan, mengajak Anda mengintip kesibukan penjaga pintu perlintasan kereta api di Jalan Cikudapateuh.”

Kamera mengikuti langkah Marissa. Ia berada dalam sebuah ruangan 2 x 2 meter yang disesaki panel pengatur pintu otomatis dan sebuah kotak kayu besar yang berfungsi sebagai meja. Beberapa buah rambu tergeletak di situ. Pos jaga itu dilengkapi toilet kecil berukuran 1 x 2 meter. Marissa melongokkan kepalanya sedikit. Sebuah pompa air tua bercat hijau ada di situ, disertai ember dan sebuah gayung yang sudah tidak ketahuan lagi warnanya.

Kamera beralih. Sebuah kursi plastik lusuh tampak di sudut. Sebuah jam bulat menempel di dinding, di bagian bawahnya terpampang peraturan kerja yang dilaminasi. Satu poster besar bergambar yang warnanya mulai luntur, mendominasi dinding. Poster prosedur pengamanan pintu lintasan kereta api.

Telepon yang dilengkapi panel aluminium berisi tombol-tombol tampak menempel pada dinding dekat jendela. Ya, dua buah jendela kaca besar berada di sisi kiri dan kanan, memudahkan petugas melihat situasi pintu lintasan dan mengawasi arah datangnya kereta api. Mereka pun terlibat percakapan yang mengulas suka-duka penjaga pintu lintasan kereta api.

Aku menggigit bibir. Andai petugas itu Abah, tentu adikku akan melonjak-lonjak kegirangan dan keesokan harinya penampilan Abah menjadi bahan pembicaraan teman-temanku atau mungkin orang-orang sekampung. Tapi, apa mau dikata, bukan begitu kenyataannya.

Suara Marissa mengudara. “Kasus Asep Suhandi membuka mata kita, ada sisi kehidupan yang luput dari perhatian. Kehidupan para penjaga pintu lintasan kereta api  yang serba kekurangan, tak mengurangi semangat kerja mereka. Ribuan bahkan jutaan nyawa tergantung pada ketelitian dan kedisiplinannya dalam bekerja. Ini sebuah pengabdian.”

Kamera menyoroti petugas berseragam abu-abu kusam itu. Dia menuturkan, waktu kerja mereka dibagi dalam tiga shift. Masing-masing delapan jam. Rata-rata mereka mengatur sekitar 30 kereta api yang melintasi wilayahnya.  Bila ada kereta yang akan lewat, genta penjaga berbunyi. Isyarat awal sudah diberikan, orang-orang memperlambat laju kendaraannya. Bila kereta sudah tampak dari kejauhan, petugas segera membunyikan alarm dan perlahan-lahan menurunkan palang pintu kereta otomatis. Sementara itu, rekaman suara berisi anjuran agar menaati rambu-rambu perlintasan diperdengarkan.

“Begitulah, Pemirsa, selama para pengguna jalan bersikap tertib, petugas lintasan dan masinis menjalani tugasnya dengan baik, peluang terjadinya kecelakaaan dapat diperkecil,” pungkas Marissa.

Layar televisi masih menampilkan adegan kilas balik yang menceritakan kegiatan sehari-hari penjaga pintu lintasan itu, mulai dari berangkat kerja hingga pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarganya.

Usai menimba air sumur, televisi masih menayangkan diskusi tentang kasus kecelakaan kereta api dan peran vital para penjaga pintu kereta. Beberapa tokoh yang berkaitan tampil, baik dari PT Kereta Api Indonesia, Lembaga Konsumen, pengacara LBH, maupun Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Mereka terlibat perbincangan seru yang diwarnai perdebatan-perdebatan kecil.

Aku tidak menyimak diskusi itu sampai tuntas, rasa kantuk keburu menyergapku. Sebelum tertidur pulas, hatiku merasa puas. Marissa bersama rekan-rekannya sangat gigih mengajak masyarakat mencermati kasus yang menimpa Abah dan anak pejabat itu secara objektif, dari berbagai sudut pandang. Sedikitnya aku merasa terhibur, upaya tim Marissa dapat mengimbangi pemberitaan infotainment yang berlarat-larat dan berusaha membentuk opini publik yang memihak kubu Indra Riswanto.

Pagi kumulai dengan doa, siangnya Tuhan menjawab doaku dalam kecepatan yang sangat menakjubkan. Abah dibebaskan dari segala tuduhan! Polisi dan KNKT menemukan bukti, tabrakan itu terjadi karena Indra Riswanto nekat menerobos palang pintu lintasan kereta api. Indra baru pulang dari sebuah pesta dan dalam
keadaan mabuk.

Mobil yang dikendarai Indra Riswanto melaju kencang menabrak palang kereta yang sudah menutup lintasan. Kereta dari arah timur melaju dengan kecepatan 60 km per jam. Masinis sempat berusaha menghentikan keretanya, namun jarak mobil terlampau dekat. Benturan yang sangat keras pun terjadi. Tak terelakkan lagi, mobil Indra terseret beberapa ratus meter dari posisi semula. Pemuda itu tewas seketika, tiga orang temannya masuk ICU.

Ibu memelukku kuat-kuat. Dita kebingungan melihat Marissa dan teman satu timnya bersorak-sorai. Beberapa jenak, halaman kantor polisi ingar-bingar seperti bazar 17 Agustusan. Aku benar-benar terkesima. Batalnya kenduri dan habisnya isi celengan Spiderman serta gaji ketiga belas Abah yang bersisa sedikit, untuk biaya hidup kami selama Abah ditahan, bukan hal yang bisa membuatku terpuruk. Tapi, yang jauh lebih penting, Abah tak jadi masuk penjara! Kehilangan Abah selama beberapa hari sudahlah cukup. Dia sumber semangat hidup kami. Keadaan sesulit apa pun dapat kami lalui, bila dia tetap bersama kami.

Roda nasib bergulir lebih cepat dari yang terbayangkan. Penampilanku di televisi tempo hari berbuah manis, Aku mendapat beasiswa sampai ke perguruan tinggi dari sebuah perusahaan mainan anak-anak. Sebuah yayasan budaya menawarkan sebuah pesta khitanan adat yang dimeriahkan berbagai atraksi kesenian tradisional. Kenduri besar itu akan dijadikan film dokumenter untuk kepentingan Dinas Pariwisata. Aku memaksa diriku untuk percaya, ketika lebih dari delapan roti buaya ukuran paling besar tersaji di rumahku!

Marissa Hermawan hadir dalam pesta besar itu. Aku merasa sangat berterima kasih padanya. Dia seorang jurnalis yang teguh pendiriannya, tak mau mengikuti arus. Meski media massa cenderung memanjakan masyarakat dengan hal-hal yang konsumtif, keberpihakan, dan mengedepankan unsur hiburan tanpa belenggu etika, Marissa mencoba menayangkan liputan yang menyentuh rasa kemanusiaan. Rasa yang tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan tertentu, tapi sesuatu yang manusiawi, sesuatu yang  sebetulnya mengendap dalam hati nurani semua orang.

Marissa telah melakukan hal yang sangat berharga bagiku, bagi hidupku. Dia membuat alam bawah sadarku tergerak mengikuti jejaknya.

Lima belas tahun kemudian….
Aku masih berdiri di depan dinding kaca yang tebal, dengan embun yang terembus dari hidungku, yang membentuk bayanganku sendiri. Kuraih tali ransel hitamku yang berisi laptop dari undakan etalase. Tak ada pelayan toko yang mengusirku, agar menjauh dari etalase yang bening dan selalu wangi.

Pintu kaca kudorong perlahan, aroma kue mengepungku dari segala penjuru. Kupanggil pelayan, kupilih satu buah roti buaya yang paling besar. Lalu aku bergegas ke kasir. Roti buaya itu mulai kehilangan pengagumnya, terselip di antara kue-kue yang menawan. Tapi, bagiku dia sebuah monumen, sebuah monumen! 

No comments: