12.22.2010

Sabtu di Ujung Kontradiksi

Mimpi-mimpi aneh selalu hadir dalam tidur Kania. Hingga mengganggu pekerjaannya di kantor, bahkan membuat Kania memutuskan berhenti bekerja!

Kota Manado
Sabtu subuh, minggu pertama Desember 2002

Kania
Posisi tubuh saya telentang dengan kepala dan mata terpaku ke arah atas. Kedua tangan saya merapat dengan eratnya di samping tubuh. Kedua kaki saya terbujur kaku. Tubuh saya bagaikan mayat, tak bergerak sama sekali. Yang bisa saya lakukan hanyalah menatapi langit-langit ruangan.

Dalam ketidakberdayaan untuk bergerak, saya merasa ada sesuatu menyentuh kulit tangan saya. Saya tidak tahu ‘benda’ apakah gerangan itu. Masih dalam kebingungan mereka-reka, saya merasakan kini kulit kaki saya juga disentuh oleh ‘benda’ yang sama!

Tapi kali ini bukan hanya di sentuh, tetapi ada sedikit usapan terasa di sana. Saya mencoba untuk menundukkan kepala guna melihat ‘benda’ apa itu yang telah menyentuh bagian-bagian dari tubuh saya. Tapi, walaupun dengan usaha yang maksimal, saya tetap tidak bisa menundukkan kepala. Posisi kepala saya tetap saja menengadah ke atas.

Tiba-tiba lagi saya merasakan ada embusan di dekat leher saya. Embusan yang semula terasa seperti angin lembut itu perlahan-lahan berubah menjadi satu dengusan. Yang ternyata, dari suaranya, saya menyadari bahwa itu adalah dengus napas manusia! Makin lama dengus itu menjadi makin tak beraturan. Sekonyong-konyong saya didera rasa takut yang amat sangat. Saya merasa, ada bahaya yang tengah menghampiri saya!

Dengusan napas itu terdengar makin keras dan ‘benda’ yang sedari tadi membuat saya bingung itu ternyata adalah telapak tangan seseorang, yang kini saya rasakan tengah menggerayangi seluruh tubuhsaya dengan brutalnya!

Saya mencoba meronta, namun tak ada daya sama sekali. Seluruh organ tubuh saya hanya diam, tidak memberikan perlawanan. Setetes air mata mulai mengambang di pelupuk mata. Saya benci suasana ini! Mengapa di saat saya seharusnya meronta dan melawan justru kelumpuhan yang saya alami?

Saya tidak ingin kehilangan kehormatan dengan cara seperti ini. Menyakitkan sekali! Tapi, apalah daya saya untuk melawan sosok manusia yang sedang dilanda nafsu binatang ini? Saya benci mendengar dengusan napasnya! Dan, saya benci sekali merasakan telapak tangannya yang kasar itu menyentuh kulit saya!

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saya merasa ada sebuah kekuatan yang datang dalam diri saya. Kekuatan yang membuat saya bisa menggerakkan tulang-tulang rahang dan bibir saya. Kesempatan ini saya pergunakan untuk berteriak sekuat tenaga meminta tolong. Namun, kemudian timbul keraguan dalam hati, adakah orang yang mendengarkan teriakan saya?

Seandainya tidak ada, apakah itu berarti saya hanya bisa diam saja dan menerima perkosaan atas diri saya? Namun, saya mencoba untuk tidak berputus asa. Saya berusaha lagi mencoba menggerak-gerakkan kepala, tangan, dan kaki. Tapi, hasilnya nihil! Semuanya tetap kaku. Sehingga, akhirnya saya pun putus asa.

Tapi, tiba-tiba sebuah suara terdengar menghardik saya, "Ayo, bangun!" Sekali lagi suara itu berkata, "Ayo, bangun!" Dan, sebuah entakan keras serta kasar membuka dengan paksa tirai di kamar tidur saya. Cahaya matahari pagi dari balik jendela sangat menyilaukan pandangan mata.

"Ayo, bangun, pemalas!" katanya lagi, sambil menarik lengan saya. "Kamu sudah terlambat. Sudah pukul delapan!" ucapnya, seraya menunjuk jam dinding yang ada di dalam kamar.

Perlahan saya beringsut-ingsut bangun dan membuka selimut. Ya, Tuhan, ternyata saya bermimpi lagi! Entah sudah yang keberapa kalinya mimpi itu datang mengganggu tidur saya dan selalu dengan suasana yang mencekam serta ketakutan yang sama. Dan, anehnya saya selalu diselamatkan, atau lebih tepatnya terselamatkan karena kehadiran Kenny, saudara kembar saya. Rasanya saya ingin bercerita padanya perihal mimpi-mimpi itu. Tapi, saya khawatir dia menertawakan saya. Dia pasti menuduh saya terlalu banyak nonton film horor sebelum tidur!

Ah, saya tidak punya waktu memikirkan mimpi itu. Saya harus bersiap-siap berangkat ke kantor. Saya menoleh menatap jam dinding yang masih dengan setia berputar itu. Benar, sudah pukul delapan!

Kenny
Terengah-engah saya berlari di antara kerumunan manusia. Sesekali saya menolehkan kepala untuk melihat apa gerangan yang sedang dilakukan oleh manusia-manusia itu. Ah, mereka tidak melakukan apa-apa! Mereka hanya diam mematung dan menatap saya dengan pandangan mata tak berkedip. Membuat saya benar-benar bingung.

Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Mengapa saya berlari-lari dan mengapa ada begitu banyak orang yang menonton saya? Ada di manakah saya? Saya tidak tahu jawabnya….

Yang saya lihat hanyalah sebuah koridor panjang berwarna putih. Koridor itu sepertinya tak berujung dan tak berpangkal. Saya hanya berlari di sepanjang koridor. Saya mencoba merasakan, bagaimana perasaan saya saat ini. Apakah saya sedang merasa ketakutan, sedih, atau bahagia? Tapi, saya tidak menemukan bagaimana bentuk perasaan saya!

Saya didera rasa bingung yang amat sangat. Tapi, saya tidak mampu lagi berpikir. Kaki-kaki saya hanya berlari, berlari, dan berlari. Saya tidak merasakan lelah sama sekali. Tiba-tiba saya melihat ada sebuah bayangan tidak jauh di depan saya. Sepertinya itu adalah bayangan manusia. Namun, saya tidak bisa melihat sosoknya dengan jelas.

Saya mempercepat lari untuk menghampiri bayangan itu. Makin dekat saya dengannya, saya merasakan ada sesuatu yang kuat menarik saya ke arahnya. Sehingga saya berpikir, bahwa bayangan ini pasti memiliki arti yang besar bagi saya. Karena kekuatan magnetnya begitu luar biasa terhadap diri saya! Satu jengkal sudah kini tubuh saya di hadapannya. Dan, saya melihat ternyata bayangan manusia itu adalah … Kania, saudara kembar saya!

Dia menatap lurus ke arah saya, dan saya bisa melihat, bahwa ia sedang menangis. Air matanya jatuh menetes dari pelupuk mata dan mengalir ke wajahnya yang bersih. Segera saya berlari memeluknya. Tak ada isakan tangis dari bibirnya. Dia hanya meneteskan air mata. Lalu saya bertanya padanya, "Ada apa?"

Dia hanya diam membisu, tak menjawab pertanyaan saya. Tiba-tiba tangannya menarik tangan saya. Lalu dia berlari dan menyeret saya yang masih dalam keadaan bingung. Berdua kami berlarian di sepanjang koridor panjang itu. Kania tetap tidak berbicara sepatah kata pun. Hanya saja, saya merasakan genggaman tangannya makin erat di tangan saya.

Saya terus mengikuti kemauannya untuk berlari. Saya berpikir, dia pasti punya alasan yang jelas atas tindakannya itu. Saya berharap sekali agar koridor ini memiliki ujung. Supaya kami dapat menyudahi semua kebingungan ini.

Keinginan saya terwujud. Akhirnya kami sampai di satu tempat yang lapang. Tampaknya tempat ini merupakan ujung dari koridor itu. Serempak saya dan Kania menghentikan langkah kami. Saya melihat ada banyak orang berkerumun di sana. Dan, di tengah kerumunan manusia itu, saya melihat ada sebuah tempat tidur berbantal putih yang ditutupi dengan kain seprai berwarna putih.

Saya melihat ada sesosok tubuh terbaring di atasnya. Saya berusaha untuk melihat dengan jelas, sosok siapakah itu -- yang sedang dikerumuni oleh banyak manusia. Namun, saya terhalang oleh mereka. Saya pun mencoba menerobos masuk ke kerumunan itu.

Tapi, di tengah perjuangan usaha saya, rasanya ada sesuatu yang hilang dari saya. Ya, ampun, Kania! Di manakah dia? Tangannya sudah terlepas dari genggaman tangan saya. Ah, kapan hal itu terjadi? Akhirnya saya melepaskan diri keluar dari kerumunan orang banyak itu. Saya harus menemukan saudara kembar saya!

Saya berteriak sekuat-kuatnya memanggil nama Kania. Tapi, suara saya hilang di tengah hiruk-pikuknya suara manusia yang berada di sana. Saya berlarian ke sana kemari mencarinya, tapi tak jua saya melihat bayangannya.

Akhirnya saya terduduk di lantai karena kelelahan. Peluh bercucuran dengan derasnya. Saya membersihkan wajah saya yang basah oleh keringat dengan kedua telapak tangan. Dan, saya merasakan bahwa saya menangis!

Saya menangis bukan karena cengeng. Saya menangis karena kecerobohan saya, sehingga harus kehilangan saudara kembar saya. Kania. Di mana saya harus mencarinya? Ia hilang seperti ditelan bumi! Saya sungguh tidak ingin kehilangan dia. Hanya dia satu-satunya saudara saya….

Sebuah suara getaran yang keras mengagetkan saya. Saya tersentak dan tersadar, bahwa itu adalah suara ponsel yang saya letakkan di atas meja di samping tempat tidur. Saya menghapus peluh yang menetes di dahi. Tergesa, saya lalu bangun dan duduk di atas ranjang. Mimpi itu datang lagi! Duh, serasa begitu nyata!

Entah sudah berapa kali mimpi itu mengganggu tidur saya. Ingin rasanya saya menceritakan pada Kania. Tapi, saya khawatir dia menertawakan saya. Dia tentu berkata, "Makanya, kalau mau tidur jangan kebanyakan nonton film horor. Akhirnya kamu dikejar-kejar mimpi buruk!"

Sabtu, minggu pertama Desember 2002
"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi! Ini bukan untuk kali pertama saya menegur kamu dengan keras!"

"Nah, betul, ’kan?" saya berucap dalam hati. Kali ini, pasti sudah tidak ada lagi kata maaf dari wanita yang duduk di hadapan saya ini. Tapi, siapa yang harus saya persalahkan? Diri saya sendirikah? Saya juga sebenarnya tidak menginginkan kondisi seperti ini menimpa saya. Tapi, saya benar-benar tidak punya kemampuan untuk melawan kekuatan mimpi itu!

"Kenapa kamu diam?" hardiknya lagi. Bicaralah, apa yang sebenarnya menjadi keinginan kamu! Apa kamu sudah bosan bekerja di sini?"

"Tidak, Bu," ucap saya, sambil menggelengkan kepala.

"Lalu, mau kamu apa?"

"Sekali lagi saya minta maaf, Bu. Saya berjanji kejadian ini tidak akan terulang lagi."

"Oke, ini peringatan terakhir untuk kamu! Saya sudah tidak mau mendengar alasan apa pun mengenai keterlambatan dirimu. Kamu mengerti? Hari ini kamu tidak perlu berangkat menemui klien. Saya sudah menyerahkan tugas itu pada Wiem. Dia yang mengambil-alih pekerjaan kamu hari ini. Tapi, tugas kamulah untuk menyelesaikan laporan selanjutnya. Besok pagi sudah harus ada di meja saya!"

"Baik, Bu," ucap saya, walaupun dalam hati saya sempat bertanya, ‘Besok kan hari Minggu? Apa tidak lebih baik diselesaikan lusa saja?’ Tapi, pertanyaan itu cukup tersimpan buat saya. Mungkin saja perempuan ini memang berniat memberi tugas tambahan bagi saya dan datang khusus besok pagi hanya untuk memeriksa hasil pekerjaan saya. Tapi, apa pun alasannya, memang sudah sepantasnya saya mendapatkan ‘hadiah spesial’ ini sebagai upah atas keterlambatan saya. Ughh, bakalan lembur lagi!

Tiga bulan sudah tepatnya saya dihantui oleh mimpi tentang pemerkosaan itu. Dan, berarti sudah yang kesekian kalinya saya terjebak dalam kondisi yang membuat saya begitu tertekan. Selalu terlambat datang ke kantor, dimarahi oleh pimpinan, belum lagi harus menghadapi sikap permusuhan dari teman-teman yang mungkin sudah muak melihat keterlambatan saya.

Beberapa tenggat yang menyangkut laporan dan kontrak kerja tidak bisa saya selesaikan tepat pada waktunya. Sehingga, kerap kali membuat saya harus membawa pulang pekerjaan kantor ke rumah. Belum lagi tugas saya yang harus lari pontang-panting ke sana kemari untuk mengikuti berbagai pertemuan….

Ha, benar-benar kacau! Saya amat merindukan saat-saat di mana saya mampu hidup normal seperti orang lain. Tapi, mimpi itu sudah merampas seluruh pikiran dan kehidupan saya! Ya, haruskah saya pergi menemui seorang psikiater?

Plok! Tiba-tiba setumpuk kertas mendarat dengan keras di meja saya. Saya menoleh pada si pelemparnya. Belum satu kata patah pun keluar dari mulut saya, si pelempar malah menghadiahi saya dengan kata-kata yang bikin telinga yang mendengarnya mau pecah.

"Nih, kerjaan kamu! Tinggal terima beres!"

Kata-kata itu diucapkan jauh dari pelan, sehingga bisa dikatakan, seisi ruangan kantor pasti mendengarnya. Seketika emosi saya terpancing mendengar ucapannya itu. Apa haknya bicara seperti itu pada saya? Bagaimanapun kesalnya, tidak pantas rasanya dia bersikap seperti itu. Toh, status saya di kantor ini masih atasannya!

"Wiem, apa tidak ada cara yang lebih baik untuk meletakkan kertas-kertas ini selain melemparnya ke atas meja saya?" Saya berusaha menekan emosi yang ingin memuncak. Apalagi yang ditanya hanya diam saja, seolah-olah tidak mendengar.

 
"Dan, satu lagi, ya," lanjut saya, "kalau bicara itu sebaiknya dipikir dulu! Kalau kamu tidak rela melakukan pekerjaan ini, seharusnya tadi pagi kamu tolak saja! Kamu kan bisa bikin alasan yang masuk akal untuk menolaknya!"

"Hei, seharusnya kamu yang berpikir!" Wiem membalas ucapan saya. "Apa kamu tidak menyadari kebiasaan burukmu itu sudah membuat orang lain susah? Apa kamu tidak berpikir, kamu selalu mengorbankan orang lain akibat tindakanmu?"

"Wiem, tolong dengarkan baik-baik, ya!" saya menyela ucapannya sebelum dia memuntahkan mitraliur lebih banyak lagi. "Pertama, saya berterima kasih untuk kebaikan kamu hari ini pada saya. Dan, yang kedua, saya tidak pernah bermaksud untuk mengorbankan orang lain demi kepentingan saya…."

"Ah, sudahlah!" ucapnya, memotong kata-kata saya. "Selalu saja kamu bikin orang lain ketiban sial. Tapi, untuk urusan nama baik di hadapan pimpinan, tetap kamu yang mendapatkan!"

"Wiem, sebaiknya sekarang juga kamu keluar dari ruangan saya!" Saya tak dapat menahan diri untuk tidak mengusirnya. Laki-laki itu melengos berlalu dari hadapan saya tanpa penyesalan di wajahnya. Tidak ada gunanya ‘perang mulut’ dengan Wiem. Saya kenal betul sifatnya yang meledak-ledak itu. Percuma bicara dengannya kalau sifat buruknya itu sedang menguasai dirinya. Paling-paling hanya sakit hati yang bakal saya terima!

Tapi, kalau dipikir-pikir, rasanya tidak pantas dia bicara seperti itu terhadap saya. Apalagi mengungkit-ungkit nama baik yang bakal saya dapatkan karena jerih payahnya. Sungguh mengesankan, bahwa saya adalah orang yang selalu memanfaatkan orang lain demi nama baik saya semata. Kotor sekali apa yang ada dalam pikirannya!

Apa dia tidak pernah mengingat-ingat bagaimana usaha saya selama ini untuk menolongnya? Saya banyak membantu menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan, saya tak segan menutupi segala kekurangan dan kesalahannya di kantor. Dan, parahnya lagi, begitu banyak waktu saya yang terbuang hanya untuk menjalin persahabatan dengannya.

Saya rela mendengarkan keluh-kesahnya dan berusaha membantunya untuk keluar dari permasalahan yang kerap kali menimpanya hanya karena sifat temperamentalnya itu. Dan, kini, apa yang saya dapatkan dari seseorang yang mengaku sebagai sahabat saya? Menyakitkan sekali!

"Keterlaluan kamu!" sayup-sayup saya dengar suara Jane dari balik ruang kerja saya. "Tidak pantas kamu bicara seperti itu! Apa tidak ada kata-kata yang lebih halus? Kania itu atasan kita, Wiem."

"Tolong jangan ikut campur, Jane! Ini urusan aku dan Kania. Jangan kamu bawa-bawa statusmu sebagai calon adik iparnya di sini!"

"Dengar baik-baik, ya, Wiem. Jangan sekali-kali kamu campur-adukkan antara hubungan saya dan Kenny dengan urusan di kantor ini!"

Sekilas mendengar pembicaraan antara Jane dan Wiem, perasaan saya sedikit lebih nyaman. Ternyata, bukan hanya saya seorang yang merasa kesal terhadap sikap Wim. Saya yakin, Jane mengungkapkan pembelaannya terhadap saya memang bukan karena hubungannya dengan Kenny, tapi lebih pada sikap profesional yang memang seharusnya tercipta dalam suatu lingkungan kerja. Bukannya bicara keras-keras dengan bahasa yang hanya pantas didengar di dalam pasar! Ughh!

Dering telepon yang tiba-tiba menghentikan sejenak entakan jemari saya di atas tuts-tuts keyboard pada komputer.

"Ya, halo…."

"Kania, kamu masih di kantor?" suara Kenny terdengar di seberang telepon.

"Ya, saya masih menyelesaikan beberapa laporan."

"Sudah malam, lho, Kania. Nanti kamu sakit …."

Saya mengintip dari balik tirai jendela kantor. Wah, tak terasa rupanya di luar sudah gelap, tapi pekerjaan saya belum rampung! "Tanggung, nih, Ken. Satu jam lagi juga selesai…."

"Kalau begitu, saya mau keluar dulu."

"Dengan Jane?"

"Ya. Memangnya kenapa?"

"Bilang sama Jane, terima kasih untuk pembelaannya siang tadi terhadap saya."

"Ada masalah apa?" Suara Kenny terdengar sedikit bingung.

"Kamu tanyakan langsung saja sama dia. Kepanjangan kalau saya ceritakan di telepon."

"Oke, saya jalan dulu. Kamu mau titip sesuatu?"

"No, thank you."

Bergegas saya menyelesaikan pekerjaan. Tepat satu jam seperti yang saya perkirakan. Saya lalu meletakkan file pekerjaan saya dengan rapi di atas meja pimpinan. Dengan tubuh yang terasa penat, saya keluar dari gedung kantor menuju pelataran parkir. Di sekeliling saya tampak gelap. Hanya mobil saya satu-satunya yang tersisa di pelataran parkir.

Saya menengadah menatap langit yang menghitam tanpa bintang. Ya, Tuhan, saya benar-benar kemalaman! Cepat-cepat saya larikan mobil. Baru saja saya menginjakkan kaki di teras rumah, ternyata saya disambut bencana baru lagi. Wiem! Huh, mau apa dia di sini?

"Selamat malam, Kania. Sudah lama saya menunggumu."

"Menunggu saya? Untuk apa?"

"Saya… saya… mau minta maaf."

"Apa perlu, Wiem? Rasanya tidak ada lagi persoalan di antara kita, ’kan?"

"Please, Kania. Saya menyesal. Sungguh tidak sepantasnya saya bicara seperti itu sama kamu di kantor. Maafkan saya, ya…."

Saya menatapnya sesaat. Apa masih perlu saya memaafkan dia? Apa masih ada artinya sebuah persahabatan setelah mendengarkan sendiri kata-kata yang terucap dari mulutnya siang tadi? Rasanya terlalu dipaksakan kalau saya harus melupakan kejadian itu begitu cepat. Saya akan membohongi hati nurani saya sendiri. Butuh waktu untuk melupakannya dan kemudian memaafkan laki-laki ini!

"Mungkin saya bisa memaafkan kamu, Wiem. Tapi, tidak sekarang."

"Kenapa, Kania?"

"Karena saya sudah tahu siapa kamu yang sebenarnya. Kamu tidak tulus. Tuduhan kamu menyakitkan hati saya. Saya rela kalau kamu memang menginginkan predikat sebagai ‘the best employee’. Bahkan, saya juga rela jika kamu menginginkan posisi saya. Dan, kamu tidak perlu susah-susah untuk mendapatkannya. Saya berani jamin, kamu akan mendapatkannya dalam waktu dekat!"

"Lho, maksud kamu apa?"

"Kamu sudah tahu maksud saya!"

"Kania, tolong jangan berpikiran sejauh itu. Demi Tuhan, saya tidak sekotor yang kamu pikirkan. Tadi siang, saya hanya terlalu capek, sehingga saya tidak bisa menguasai diri dan mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya saya tudingkan pada kamu. Saya benar-benar menyesal dan ingin minta maaf."

"Sudahlah, Wiem. Saya lelah sekali. Selamat malam."

Sabtu, Minggu terakhir Desember 2002
"Saya mengundurkan diri."

"Kamu yakin?"

"Ya."

"Tidak dipikirkan lagi?

"Saya sudah memikirkannya. Dan, saya ingin segera mengundurkan diri."

Saya tidak bisa bekerja di satu tempat dengan tingkat tekanan yang bisa membuat saya gila. Mungkin semuanya bermuara pada diri saya sendiri. Tapi, untuk saat ini, saya tidak mampu mengatasinya lagi. Mungkin sebaiknya untuk sementara waktu saya harus menjauhkan diri dari segala bentuk rutinitas yang benar-benar membuat saya begitu tertekan.

Persahabatan saya yang kandas dengan Wiem juga menjadi salah satu pemicunya. Semenjak pertemuan malam itu di rumah saya, sikapnya berubah. Dia terlihat sangat menjaga jarak dengan saya. Tapi, acapkali saya menangkap sinar kesedihan di sorot matanya setiap kali kami beradu pandang.

Namun, saya tidak ingin terperangkap lagi dalam perasaan sentimental. Saya tidak ingin terjebak lebih lama dalam situasi ini. Keputusan saya sudah bulat. Saya mau menenangkan pikiran dan pulang ke rumah Papa di Tondano.

"Mencari pekerjaan yang sesuai itu sulit, Kania!"

"Saya tahu itu!"

"Lalu, kenapa kamu lakukan?"

"Saya capek, Ken. Saya mau pulang. Saya sudah rindu sama Papa."

"Oke, saya paham. Tapi, bukan berarti kamu harus berhenti bekerja, ’kan?"

Kenny memandang wajah Kania. Tampak terpancar beban berat di sana. Hanya, dia tidak memahaminya. Walaupun mereka bersaudara kembar, bukan berarti semua masalah pribadi Kania, ia ketahui. Namun, ia bisa merasakan, bahwa ada sesuatu yang begitu mengganggu pikiran Kania. Tetapi, apa?

"Boleh saya bertanya sesuatu?"

"Ya?"

"Kamu ada masalah berat, Kania?"

Dan, sebuah gelengan kepala diterima Kenny sebagai jawaban. Berarti percuma untuk bertanya lagi. Kania tidak akan berbicara sepatah kata pun kalau hatinya sedang tidak mau membicarakannya.

"Kalau begitu, kapan kamu berangkat?"

"Secepatnya."

"Iya, secepatnya itu kapan? Biar saya minta izin untuk mengambil cuti dua sampai tiga hari agar bisa menemani kamu pulang."

"Benar mau menemani saya, Ken?"

Kenny mengangguk. Dan, melihat anggukan kepala yang mantap dari saudara kembarnya, Kania tersenyum. Hatinya merasa aman.

"Lusa, ya, Ken. Kita berangkat sama-sama. Papa pasti gembira!"

Kota Tondano
Masa-masa sendiri, Januari-Februari 2003

Saya merapatkan baju hangat untuk menghindari dinginnya udara di sekeliling danau. Semenjak kepulangan saya ke rumah Papa, hampir setiap hari saya menghabiskan waktu di danau ini. Selain letaknya yang tak terlalu jauh dari rumah, danau ini memiliki pemandangan yang begitu indah. Dipenuhi pohon-pohon besar dan suara merdu burung-burung, riak air danau yang terdengar memecahkan keheningan membuatnya menjadi tempat favorit saya untuk menghabiskan waktu.

Saya menebarkan pandangan ke permukaan danau dan menghirup dalam-dalam udara di sekelilingnya. Tanpa ragu saya lalu menjatuhkan tubuh di atas rumput hijau yang tebal. Hmmm, nikmat sekali rasanya hidup seperti ini! Terkadang, kesendirian memang menjadi teman yang paling menyenangkan!

Tiba-tiba teriakan dari sekumpulan burung begitu memekakkan telinga. Saya memalingkan wajah untuk melihat apa yang menjadi penyebabnya. Tampak oleh saya di kejauhan --di tengah-tengah danau-- seperti ada seseorang di atas sebuah sampan, sedang sibuk menghalau burung-burung itu.

Kenapa ia melakukan hal itu? Bukankah burung-burung danau ini sama sekali tidak mengganggu manusia? Apakah orang itu merasa terganggu dengan kehadiran mereka? Sungguh aneh!

Ketika mendengar Kenny akan melamar Jane, Kania tak bisa menutupi kesedihannya. Ia takut kehilangan saudara kembarnya itu.

Saya memicingkan mata demi melihat siapa gerangan orang di atas sampan itu. Tapi, saya tidak bisa mengenalinya karena ia memakai sebuah topi lebar untuk menutupi sebagian wajahnya. Tapi, apa peduli saya, bukankah saya tidak mengenal orang-orang di sini — kecuali mereka yang bekerja menggarap lahan pertanian Papa? Saya kembali membaca sehingga saya tidak menyadari telah tertidur di bawah sebuah pohon besar berhamparkan permadani rumput yang lembut.

Kenikmatan tidur saya tiba-tiba terganggu oleh guncangan yang saya rasakan pada kedua pundak saya. “Bangun, Kania! Sudah sore!”

Saya mengusap kedua mata dan melihat Tante Tien, tukang masak di rumah Papa, tengah berjongkok di samping saya. “Sudah berapa kali Tante bilang, jangan sampai ketiduran di sini. Kita tidak pernah tahu kalau ada orang yang bermaksud jahat padamu, Kania!”

“Ya, ya! Ini kali terakhir, Tante!” ujar saya, sembari melirik jam di pergelangan tangan. Ya, ampun, sudah hampir magrib! Pamali kata orang kalau ketiduran sampai magrib begini! Bisa-bisa kesambet setan! Ah, saya menatap malu pada Tante Tien. “Tante sudah mau pulang?”

“Ya, anak Tante di rumah pasti bingung, tidak biasanya sore begini Tante belum berada di rumah.”

“Maaf, Tante. Pasti gara-gara menunggu saya pulang, ’kan? Memangnya Papa tidak ada di rumah?”

“Tadi sore sepertinya papa kamu sedang tidak enak badan. Sore-sore sudah tidur. Tante tidak berani membangunkannya. Jadi, Tante susul Kania ke sini.”

“Ayo, kita pulang sekarang, Tante! Sakit apa, sih, Papa? Tadi pagi Papa kelihatan baik-baik saja….”

Berdua kami berjalan menyusuri tepi danau yang makin dingin udaranya. Kasihan Tante Tien, pasti dia lelah sekali bekerja seharian, ditambah lagi harus berjalan jauh di tengah udara yang tidak bersahabat. Umurnya kan sudah enam puluhan! Ia sudah lama bekerja di rumah Papa. Seingat saya, bahkan saat saya dan Kenny masih kanak-kanak, Tante Tien sudah bekerja di tempat kami. Dia begitu keibuan dan amat mengabdi pada keluarga kami. Dan, saya sudah menganggapnya seperti orang tua sendiri.

Akhirnya sampai juga kami di tepi jalan besar. Saya menolehkan kepala sekali lagi untuk menatap danau yang sudah berwarna hampir kehitaman itu. Sampai besok, ucap saya dalam hati. Namun, sesaat saya tertegun, di antara bayang-bayang senja, saya menangkap ada sesuatu yang ganjil di tengah danau. Seseorang dengan sampannya itu ternyata masih ada di sana!

Apa yang sedang dia lakukan? Apakah tubuhnya tidak menggigil kedinginan diterpa angin kencang? Ataukah, jangan-jangan, seperti yang dikatakan Tante Tien, dia orang jahat yang bermaksud mengamat-amati saya? Bergidik saya membayangkan kemungkinan itu! Mungkin ada benarnya kata Tante Tien! Saya harus lebih berhati-hati. Ya, untuk sementara waktu sebaiknya saya tidak datang ke danau itu lagi!

Semenjak hari itu, saya membuang jauh-jauh rasa rindu saya untuk mengunjungi danau. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk menemani Papa yang kondisi kesehatannya kurang baik. Sebetulnya saya heran melihat Papa yang tiba-tiba menjadi pendiam, enggan keluar rumah. Katanya, kepalanya pusing, perutnya sakit, dan masih ‘segudang’ lagi keluhannya yang setiap hari berubah-ubah!

Apa mungkin karena usianya yang makin tua, sehingga Papa membutuhkan lebih banyak perhatian? Tapi, apa pun alasannya, saya merasa berbahagia, karena justru saya berada di dekatnya di saat Papa dalam keadaan seperti ini. Deringan suara telepon tiba-tiba membuyarkan lamunan saya.

“Ke, tolong angkat teleponnya!” saya berteriak pada Keke (panggilan untuk anak perempuan di Manado), salah seorang cucu Tante Tien yang juga bekerja di rumah kami. Ternyata telepon itu untuk saya, dari Kenny, saudara kembar saya! Kebetulan sekali, pikir saya. Saya kangen kepadanya! Segera saya sambut telepon wireless yang disodorkan Keke.

“Halo, Kenny. Apa kabar?”

“Saya baik-baik saja. Kok, nggak pernah telepon, sih? Apa saja yang kamu kerjakan sehingga mengirim kabar saja tidak sempat?”

“Maafkan saya, Ken. Bukannya bermaksud melupakan kamu, tapi saya sedang benar-benar menikmati hidup menjadi pengangguran,” tawa saya di ujung telepon disambut gerutuan Kenny.

“Hei, apa enaknya menganggur? Lama-lama otak kamu bisa jadi buntu, tahu! Oh, ya, Kania! Saya ada kabar gembira buat kamu dan Papa!”

“Apa?”

“Saya mau pulang dalam waktu dekat. Mungkin saya tinggal di sana untuk beberapa hari.”

“Lho, kamu kan baru ambil cuti? Sekarang mau libur lagi? Jangan-jangan mau mengikuti jejak saya, ya?”

“Maaf, Kania, saya kan bukan kamu! Ssst, sebenarnya saya… hmm….”

“Ada apa ,sih? Kamu, kok, jadi sok misterius begitu?”

“Saya mau melamar Jane….”

“Apa? Kamu serius, Ken?”

“Ya, pertengahan Maret ini saya akan melamarnya. Sebelumnya, please, tolong sampaikan berita gembira ini kepada Papa, ya, Kania. Jangan lupa!”

Berita gembira? Haruskah saya merasa gembira dengan berita itu? Lamaran? Itu berarti tidak lama lagi mereka segera menikah. Dan, saya harus bersiap-siap kehilangan Kenny! Lalu, siapa yang akan menjadi tempat saya untuk berbagi nanti? Saya tidak punya siapa-siapa selain dia! Saya tidak punya pacar maupun sahabat! Ya, sejak Wiem sudah mengecewakan hati saya….

Sedangkan Mama…. Ah, rasanya saya hampir melupakan wajahnya! Mama meninggal saat saya dan Kenny berusia hampir lima tahun. Tiba-tiba, saya merasa rindu sekali padanya. Setiba Kenny di sini, saya akan mengajaknya mengunjungi makam Mama.

Pertengahan Maret 2003
Satu permainan kursi goyang

Persiapan lamaran sudah rampung. Tidak banyak yang harus diurus dan saya sendiri tidak banyak memberikan pendapat dalam hal ini. Saya bisa melihat bahwa Kenny sangat bahagia dan Papa pun demikian. Dalam beberapa bulan ke depan saudara kembar saya akan menikah dan bisa jadi tahun depan Papa segera menimang cucu. Duh, kedengarannya cukup membahagiakan. Tapi, tidak bagi saya!

Justru saya merasakan adanya kehampaan. Saya tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Sebenarnya, secara pribadi, saya menyetujui hubungan Kenny dan Jane. Saya dan Jane pernah bekerja di kantor yang sama. Jadi, saya mengenal Jane dengan baik. Tapi, terus terang saja, saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat saya harus menerima kenyataan ini: pada akhirnya mereka menikah. Itu artinya, saya harus siap menerima kenyataan, bahwa Kenny bukan lagi seutuhnya menjadi bagian dalam hidup saya! Saudara kembar saya akan membina keluarga baru!

Tapi, saya tidak ingin merusak suasana bahagia itu dengan perasaan konyol yang menghinggapi diri saya. Untuk menghilangkan suntuk, saya sengaja memilih ruangan di atas loteng yang tenang. Bagaimanapun, saya membutuhkan ketenangan diri. Apalagi terdengar oleh saya, sayup-sayup tawa mereka di lantai bawah. Ada beberapa keluarga kami yang menginap malam ini di rumah. Rencananya besok pagi kami akan berangkat bersama ke rumah orang tua Jane di Manado untuk mengadakan lamaran.

Suasana di loteng tenang sekali, meskipun udaranya terasa jauh lebih dingin menusuk tulang. Sengaja saya memilih duduk di dekat jendela supaya bisa memandangi langit hitam yang disinari oleh cahaya bintang. Sesekali saya ayunkan kursi goyang yang saya duduki dengan sedikit keras. Entakannya menimbulkan sensasi yang luar biasa dalam diri saya. Saya merasakan adanya kenyamanan yang sangat. Sepertinya, saya terbawa kembali ke dalam dunia masa kecil.

Waktu itu, saya dan Kenny selalu berebutan ingin duduk di atas kursi ini. Kerap kali kami menggoyangkannya terlalu keras, sehingga kerap kali pula membuat kami hampir terjatuh. Dalam suasana seperti itu, kami saling menertawakan salah seorang dari kami yang akan terjatuh. Kami bermain dan tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut. Kalau sudah gaduh seperti itu, pastilah Papa atau Mama yang akan berteriak dari bawah memarahi kami! Itulah saat-saat paling menjengkelkan, karena kami harus menyudahi permainan kursi goyang. Dan, kami harus menunggu beberapa hari lagi untuk mengulanginya kembali. Ah, menyenangkan sekali!

Tapi, saat ini, semua hanya menjadi kenangan manis dalam ingatan saya. Kenny sudah tidak mungkin lagi berebutan dengan saya, menaiki kursi goyang ini. Dan, sudah tentu tidak ada lagi teriakan Papa dan Mama. Sudah tidak ada lagi tawa di antara saya dan Kenny. Yang ada dan tengah saya rasakan saat ini hanyalah sepasang tangan yang kuat menutupi seluruh mulut saya!

Saya berusaha menolehkan kepala, tapi tangan itu terlalu kuat memeluk saya. Saya meronta-ronta di atas kursi goyang yang sudah kehilangan ayunannya yang mengasyikkan. Rupanya, ada beberapa pasang tangan lagi yang telah menahannya. Kedua tangan saya dicengkeram dengan kasar, sementara dari arah kaki, sudah ada tangan lain yang mencoba menggerayangi betis saya.
Sekuat tenaga saya berupaya melepaskan diri. Kaki saya berulang kali menendang wajah makhluk yang saat itu berada tepat di dekat kaki saya. Ternyata tindakan saya membuahkan hasil! Kejadian satu detik itu membuat makhluk lain yang membungkam mulut saya, mengendurkan tangannya.

Kesempatan itu saya pakai untuk menggigit sekeras mungkin! Rupanya saya berhasil karena dia berteriak kesakitan. Maka kesempatan itu saya pakai untuk berteriak sekuat-kuatnya meminta tolong. Tapi, sepertinya tidak ada yang mendengarkan teriakan saya. Saya masih merasakan ada banyak tangan lagi yang memegang kepala, pundak, dan tangan saya. Hingga akhirnya saya hanya bisa menangis….

Sebuah tamparan yang cukup keras saya rasakan mendarat di pipi saya!

“Kania, Kania!” suara Kenny terdengar begitu dekat. Sesaat saya melupakan rasa sakit yang saya rasakan akibat tamparannya. Saya mencoba membuka kedua mata saya. Tampak Kenny telah berada di samping saya! Saya memeluknya seketika dan menangis sejadi-jadinya!

“Mimpi itu, Ken! Mimpi itu!”

“Sudah, Kania. Sudahlah, kamu tenang dulu. Sebaiknya kamu pindah ke tempat tidur. Nanti baru kamu ceritakan tentang mimpi burukmu itu,” ucapnya seraya menuntun saya meninggalkan kursi goyang, untuk berbaring di ranjang. Baru tampak oleh saya, Papa dan seluruh keluarga juga berkumpul di dalam kamar. Kemudian satu per satu mereka meninggalkan saya, hanya Kenny dan Papa yang masih berada di samping saya. Papa tidak berkata apa-apa, ia hanya mengusap-usap kepala saya dengan lembut.

“Kamu merasa lebih nyaman?” Kenny membelai tangan saya. “Maaf, ya. Saya terpaksa menampar kamu,” katanya lagi. “Tadi kamu histeris dan meronta-ronta di kursi goyang. Hampir saja kamu terjungkal! Untung saya dan Papa segera datang melihat apa yang terjadi!”

“Pemerkosaan itu….”

“Pemerkosaan?” Kenny mengulangi kata-kata saya dengan heran.

Ya, saya menganggukkan kepala, kemudian menatap Kenny dan Papa bergantian.

“Kamu tidak pernah menceritakannya pada saya!”

“Saya pikir, semuanya bisa hilang perlahan-lahan. Tapi, kenyataannya makin lama mimpi itu sepertinya begitu nyata! Saya takut sekali, Kenny! Saya takut, Papa….”

Kenny menatap Papa. Tapi, Papa tidak berkata sepatah kata pun.

“Sudahlah, sebaiknya sekarang kamu beristirahat,” ucap Kenny. “Besok kita cari jalan keluar yang terbaik supaya kamu bisa lepas dari mimpi itu, ya?”

“Saya tidak mau dibawa ke psikiater, kalau itu yang kamu maksudkan sebagai jalan keluar. Saya tidak gila!”

“Hei, siapa yang mau membawa kamu ke sana? Kamu kan belum menceritakan sejak kapan mimpi itu datang mengganggu kamu. Yang jelas, bersama-sama kita mencari tahu penyebabnya!”

“Tapi… kamu mau kan Ken, menemani saya tidur malam ini? Saya takut sekali….”

Saya lega melihat senyum Kenny. Sorot matanya menyatakan bahwa ia menyanggupi permintaan saya. Ah, bagaimana kalau ia sudah menikah dengan Jane? Apakah ia masih punya waktu untuk berada di samping saya seperti sekarang ini?

Satu pertemuan
Acara lamaran berlangsung meriah. Ternyata keluarga Jane tidak hanya mengundang keluarga besar mereka, tapi juga mengundang beberapa teman dekat mereka. Namun, suasana menyenangkan itu tidak berlangsung lama bagi saya. Kehadiran Wiem yang sama sekali tidak saya duga, menjadi penyebabnya!

Saya bertanya-tanya dalam hati, siapa yang sebenarnya mengundang laki-laki itu. Kenny atau Jane? Kalau Kenny yang mengundang, apa maksudnya? Tapi, kalau Jane yang mengundang, jahat sekali dia! Bukankah dia pun mengetahui peristiwa di kantor waktu itu, dan menyadari betul bahwa saya masih marah dan kecewa pada lelaki yang bernama Wiem itu!

Saya melihatnya celingukan ke sana kemari untuk mencari-cari keberadaan saya. Dan, tidak sulit baginya untuk menemukan saya, walaupun saya sudah berusaha sedapat mungkin menghindarinya.

“Apa kabar, Kania,” sapanya, menghampiri saya. “Kenny yang mengundang saya kemari,” ia menjelaskan pertanyaan di benak saya. “Masih marah pada saya?” tanyanya kemudian. Mungkin karena ia melihat saya membisu seribu bahasa.

“Bukan urusan kamu lagi!”

“Oh, jelas itu masih ada urusannya dengan saya, Kania. Kamu kan sahabat saya.”

“Itu cerita lalu….”

“Untuk kamu mungkin begitu. Tapi, tidak bagi saya.”

“Mau kamu sebenarnya apa, sih?” saya mulai emosi mendengar basa-basinya yang menyebalkan di telinga saya. “Bukannya kamu sudah berhasil mendapatkan apa yang kamu inginkan? Atau kamu masih belum puas karena saya belum mengucapkan selamat pada kamu atas keberhasilanmu menggantikan posisi saya di kantor?”

“Wah, kamu salah duga, Kania! Semenjak kamu mengundurkan diri, saya juga keluar dari kantor itu. Apakah Jane tidak pernah menceritakannya pada kamu?”

Untuk sesaat saya terperangah mendengarkan jawabannya. Jadi, dugaan saya selama ini kepadanya hanyalah sebuah kesalahan?

“Jane memang tidak pernah menceritakan itu pada saya. Karena kami memang tidak pernah bertemu setelah itu. Lalu, kenapa sikap kamu berubah, Wim? Sejak malam itu kamu datang ke rumah saya, kamu seolah menjaga jarak dan amat membenci saya….”

“Saya tidak pernah membenci kamu, Kania. Itu hanya perasaan kamu saja.”

“Tidak, Wiem. Saya tidak pernah salah dengan perasaan saya. Kamu banyak berubah beberapa bulan terakhir. Kamu bukan Wiem yang saya kenal dulu. Kamu sering uring-uringan, bahkan marah-marah pada saya tanpa sebab. Dan, puncaknya waktu itu, kamu memaki saya dengan kata-kata yang tidak bisa saya lupakan sampai sekarang….”

“Please, Kania. Jangan ingatkan saya lagi pada masalah itu! Saya mengakui, bahwa saat itu saya jahat sekali pada kamu. Saya sangat menyesal dan saya sudah berusaha untuk minta maaf pada kamu. Tapi, kamu malah mengambil keputusan memusuhi saya dan mengundurkan diri dari kantor. Ah, apa yang bisa saya lakukan untuk membuat kamu percaya lagi pada saya, kania?”

“Tidak ada, Wiem. Tidak ada yang harus kamu perbuat lagi. Saya sudah memaafkan kamu sekarang. Tapi, jangan minta lebih dari itu. Biarkan saya dengan kehidupan saya sekarang.”

“Tapi, saya tidak bisa….”

“Maksud kamu?” Saya menatap laki-laki itu heran. Tiba-tiba Wiem tampak salah tingkah.

“Saya… saya… menyayangi kamu, Kania! Hmmm, maksud saya, persahabatan kita selama tiga tahun ini, membuat saya menyadari bahwa ternyata kamu adalah yang terbaik dalam hidup saya!”

Saya memandang Wiem dengan takjub. Ia melanjutkan ucapannya dengan berhati-hati, ”Saya telah melakukan sesuatu yang bodoh dalam hidup saya, Kania. Makin saya mencoba menghindari kamu, makin saya tidak bisa melupakan persahabatan yang sudah terjalin di antara kita selama ini. Kamu sudah begitu baik dan pengertian. Jadi, pada kesempatan yang berbahagia ini, saya benar-benar minta maaf, Kania. Saya minta kesediaan kamu supaya kita bisa tetap seperti dulu lagi.”

Saya bingung. Perasaan saya kacau-balau. Apakah ucapan laki-laki di hadapan saya ini benar-benar tulus tidak dibuat-buat? Ataukah, ini hanya sebuah perangkap yang sengaja dipasang Wiem sekadar memainkan emosi saya?

Saya berusaha mencari-cari antara kebenaran dan kebohongan di matanya. Tapi, sorot mata Wiem tampak begitu tulus. Di dalam hati, diam-diam saya merindukan tatapan mata itu! Mungkin benar ucapan Wiem. Selama tiga tahun terakhir ini, persahabatan kami sebenarnya lebih dari sekadar sebuah persahabatan. Jauh di dalam lubuk hati, saya mengakui, bahwa Wiem adalah orang kedua setelah Kenny yang sangat dekat dengan kehidupan saya. Kami tidak saling mencintai, tapi kami saling menyayangi. Itulah yang saya rasakan.

“Maafkan saya, Wiem. Maafkan kekerasan hati saya. Sekarang saya siap menjadi Kania yang dulu lagi. Oke, kita bersahabat!” Saya mengulurkan tangan, menjabat tangan Wiem yang tampak tersenyum bahagia.

“Terima kasih, Kania. Kapan-kapan boleh saya menjenguk kamu di sini?” tanyanya kemudian.

Saya mengangguk. “Tentu saja, Wiem. Saya tunggu, lho!” jawab saya, lembut.

Satu pembicaraan
“Wiem, dia bicara seperti itu kepada saya….”

“Saya sudah tahu.”

“Lho?”

“Ya, sebelumnya dia datang menemui saya dan berbicara mengenai penyesalannya terhadap kamu. Dia juga mengatakan bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Awalnya saya mengira, dia mencintai kamu! Tapi ternyata, saya salah. Itulah sebabnya, Kania, mengapa saya mengundang dia hari ini. Saya ingin kalian bisa bertemu dan berbicara dari hati ke hati. Nah, sekarang sudah berkurang kan satu musuh kamu di dunia yang indah ini?

“Sembarangan kalau ngomong, memangnya saya punya musuh berapa?”

“Eh, mana saya tahu? Setahu saya, kamu kan orangnya sentimental. Mudah terbawa perasaan. Salah bicara sedikit saja, kamu tersinggung. Benar, ‘kan?”

Yang ditanya cuma manyun, membuat Kenny tertawa. “Ya, sudahlah, nggak usah manyun begitu! Nah, sampai kapan kamu mau tinggal di sini? Apa tidak berencana mencari pekerjaan lagi?”

“Kalau kamu benar-benar sayang sama saudaramu ini, bantu cari informasi, dong!”

“Jadi kamu siap bekerja lagi?” Kania tersenyum pada Kenny. Namun, sesaat kemudian, keningnya berkerut, seolah ada beban berat di pundaknya. “Saya mau berbagi cerita sama kamu, Ken!” bisiknya, ” tentang mimpi-mimpi yang mengganggu saya….”

“Kalau begitu, kita cari tempat yang enak buat ngobrol. Di bawah pohon besar itu saja!” ujar Kenny, seraya menunjuk sebuah pohon besar di tepi danau.

Ketika mendengar Kenny akan melamar Jane, Kania tak bisa menutupi kesedihannya. Ia takut kehilangan saudara kembarnya itu.

Beriringan mereka menuju ke sana. Setelah mendapat tempat duduk yang nyaman, Kenny menyodorkan sebuah bungkusan pada saudara kembarnya. “Ini, tadi pagi saya minta tolong Tante Tien menyiapkannya khusus untuk kamu!”

Kania membuka bungkusan kertas roti itu dan menatap isinya dengan girang.

“Kok, kamu tahu saya lagi kepingin makan panada (sejenis pastel yang isinya ikan tuna panggang, kue khas Manado)?”

“Eit, jangan lupa, kita ini kembar! Sebagian dari dirimu ada pada saya, begitupun sebaliknya….”

“Ya dan tidak.”

“Lho, kok?”

“Ya, kenyataannya memang seperti itu. Tidak semua yang menjadi keinginan saya bisa kamu maklumi dan kamu penuhi.”

“Aduh, tolonglah saya, Kania. Sesungguhnya kamu bicara tentang acara lamaran saya, ’kan? Saya mengerti apa yang menjadi ganjalan dalam hati kamu. Tanpa harus kamu ucapkan, saya mengerti benar bagaimana perasaan kamu. Tapi, apa kamu tidak kasihan pada Jane? Coba kamu pikirkan, sudah berapa tahun saya jalan sama dia. Dan, saya tahu, kamu menyukai dia. Kalian cocok satu sama lainnya. Jadi, apa lagi? Atau, saya harus menunggu sampai kamu mendapatkan….”

“Ah, sudahlah, tak perlu kita bahas masalah ini. Kamu tak perlu bertanya-tanya lagi, kenapa, mengapa, dan apa yang salah? Yang penting kamu senang, saya juga ikut senang.”

“Benar, ya, Kania?”

Kania mengangguk membenarkan, walaupun dalam hati ia belum sepenuhnya rela. Namun, ia tidak ingin membuat saudaranya merasa kecewa karena sikapnya yang kekanak-kanakan.

“Saya mau cerita soal mimpi itu, Kenny,” ucapnya kemudian, teringat pada misinya semula datang ke danau ini bersama Kenny.

“Saya sudah siap mendengarkannya, Kania,” balas Kenny.

“Ya, berawal dari enam bulan yang lalu, saya selalu dihantui mimpi buruk tentang pemerkosaan terhadap diri saya! Dan, setiap kali saya terjebak di dalamnya, saya selalu mengalami kesulitan untuk melawannya. Seketika saja tubuh saya menjadi tak berdaya. Saya tidak punya kekuatan sama sekali. Tapi, mimpi saya yang terakhir ini agak aneh. Saya bisa melawan mereka, bahkan samar-samar saya bisa melihat wajah-wajah mereka. Saya hampir mengalahkan mereka, Ken!”

Kenny mendengarkan cerita Kania dengan kening berkerut. Matanya menatap serius pada saudara kembarnya.

“Apa yang kamu pikirkan, Ken?”

“Cerita kamu agak aneh!”

“Maksud kamu?”

“Tadi kamu bilang, mimpi itu datang sekitar enam bulan yang lalu?”

“Ya, benar. Memangnya kenapa?”

“Sebenarnya saya juga mengalami mimpi-mimpi yang menakutkan. Tapi, bukan tentang pemerkosaan. Dan, hal itu pun berawal dari enam bulan yang lalu. Aneh, ya?”

“Kamu juga bermimpi?“ Kania menatap Kenny, terbelalak. “Apa mimpi kamu, Ken?”

“Saya selalu terjebak dalam satu koridor panjang berwarna putih. Banyak orang-orang yang berdiri menatap saya dan anehnya saya selalu bertemu dengan kamu di sana. Tapi, yang membuat saya begitu ketakutan adalah setiap kali saya bertemu dengan kamu, setelah itu saya juga harus kehilangan kamu! Dan, tidak itu saja, saya melihat ada seseorang terbaring di sebuah tempat tidur. Saya tidak bisa melihat wajahnya, karena banyak orang yang berkumpul mengerumuninya.”

Dua saudara itu saling terdiam. Dalam pikiran keduanya, mereka berusaha menghubungkan dan merangkaikan kedua mimpi itu.

“Jangan-jangan ini tentang saya, Ken!” celetuk Kania.

“Saya tidak yakin….”

“Kenapa?”

“Karena, perasaan saya mengatakan, orang yang berada di atas tempat tidur itu bukan kamu!”

“Lalu, siapa?”

”Mana saya tahu? Tapi, kalau dihubungkan dengan mimpi kamu, sepertinya tidak lama lagi saya pasti bisa melihat wajah orang itu! Karena, kata kamu tadi, kamu sudah bisa melihat wajah orang-orang yang ingin memperkosa kamu. Itu artinya saya pun bisa melihat siapa orang yang selama ini tidak bisa saya lihat itu!”

“Kamu benar. Tapi, seandainya wajah itu adalah saya, berarti ini pertanda saya akan mendapatkan bencana.”

“Tidak, Kania. Kamu harus percaya pada saya. Perasaan saya kuat sekali mengatakan bahwa itu bukan kamu! Saya bisa merasakan hal itu!” Kenny meraih tangan Kania dan menggenggamnya erat, untuk memberikan keyakinan pada saudara kembarnya yang sedang gundah itu.

“Saya takut, Ken….”

“Kamu tidak boleh takut. Ada saya dan Papa yang selalu menjaga kamu.”

Kania mengangguk lemah. Sesungguhnya ia merasa amat takut, tapi paling tidak sekarang Kenny sudah tahu muara ketakutannya itu. Kenny akan membantu dirinya untuk menjadi lebih kuat.

“Oh, ya, Ken! Beberapa waktu lalu, saat saya sendirian di danau ini, saya melihat ada seseorang yang mengamat-amati saya dari tengah danau. Dia seolah sengaja menunggui saya sampai Tante Tien datang menjemput saya,” ucap Kania tiba-tiba. Ia teringat, ia pernah merasa diserang rasa takut yang luar biasa melihat orang aneh di atas sampan itu.

“Ah, kamu ini! Pasti kamu menghubung-hubungkan mimpi kamu dengan orang itu! Siapa tahu, dia juga punya keinginan sama dengan kamu. Menyendiri di sini untuk membuang semua kesuntukannya. Sudahlah, jangan paranoid begitu. Tidak baik buat kamu. Kita pulang, yuk! Hari sudah sore. Besok jadi ke makam Mama, ’kan?”

“Ya, Tante Tien sudah menyiapkan bunga melati untuk kita bawa ke makam Mama besok.” Kania lalu menggandeng saudaranya. Mereka meninggalkan danau yang airnya sudah mulai tampak menghitam, tanpa menyadari bahwa sepasang mata tengah mengamati mereka dari balik pohon-pohon besar!

Kota Manado
Masa-masa membahagiakan di bulan April — Mei 2003
Seorang sobat lama

Kantor baru. Suasana baru. Wajah-wajah baru. Terlalu cepat rasanya keberuntungan ini datang pada saya semenjak keputusan tolol yang saya ambil. Dan, ironisnya, itu terjadi hanya karena perasaan-perasaan konyol saya terhadap Wiem dan suasana di tempat kerja. Padahal, kalau mau dipikir dan diucapkan dengan jujur, seharusnya saya menyalahkan diri sendiri. Saya tidak mampu mengontrol emosi! Atau tepatnya, mimpi-mimpi itu telah berhasil menguasai pikiran saya. Menguasai diri saya!

Tapi, sekarang saya merasa ada kekuatan baru sejak percakapan terakhir dengan Kenny mengenai mimpi-mimpi itu. Kenny memberikan keberanian pada saya untuk menghadapinya. Kami sudah berjanji untuk memecahkan masalah ini bersama-sama. Saya yakin sekali, suatu waktu mimpi-mimpi itu pasti berakhir. Dan, kami berdua akan menemukan titik terang sebagai jawabannya.

Untuk saat ini, tidak ada hal lain yang begitu saya inginkan selain berkonsentrasi penuh pada pekerjaan. Saya tidak ingin mengulangi kebodohan untuk kedua kali. Saya tidak ingin termakan oleh sesuatu yang ternyata hanya merampas hidup saya. Apalagi saat ini ada seseorang yang membuat hidup saya kembali bergairah. Hubungan saya dengannya pun makin hari makin dekat.

Namanya Jonathan. Jo, panggilannya. Sebenarnya, sudah lama saya mengenal pria itu. Dia salah seorang rekan kerja Kenny di kantornya yang lama, tempat Kenny untuk kali pertama memulai kariernya sebagai seorang konsultan interior desain. Mereka bertemu di sana, bekerja bersama, dan akhirnya menjadi teman dekat. Tapi, beberapa tahun kemudian, Jonathan mendapatkan beasiswa untuk mengambil masternya di Melbourne. Dan, sekarang ia telah kembali lagi ke Manado.

“Kejutan!” teriaknya penuh kegembiraan, ketika suatu hari dia berdiri di hadapan saya yang tengah membukakan pintu atas kedatangannya. Saat itu saya hanya terbengong, kaget. Pertemuan yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Dia kemudian menepuk lembut pipi saya seraya berkata, “Hei, ini saya, Jo. Lupa?”

Akhirnya kami pun larut dalam percakapan panjang. Jo begitu menyenangkan. Dia tidak berubah. Kami membicarakan banyak hal seputar kepergiannya ke Melbourne. Saya tidak mengetahui bahwa sebenarnya dia sudah kembali sejak tiga bulan yang lalu, karena waktu itu saya masih tinggal di rumah Papa. Rupanya, Kenny sengaja merahasiakan kedatangan Jo pada saya!

Mengapa dia tidak sempat hadir pada acara lamaran Kenny, Jo menceritakan bahwa kesehatan ibunya tidak begitu baik sehingga harus diopname di rumah sakit. “Aku harus menunggui Mama di rumah sakit sehingga tidak dapat datang ke acara Kenny.” Pantas saja pertemuan di antara kami terus tertunda. Tapi, sejak itu, hubungan saya dan Jo menjadi lebih dekat.

Saya melirik ke arah jarum jam di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul 18.25. Setumpuk berkas masih menggunung di atas meja. Pukul berapa saya bisa pulang kalau harus menyelesaikannya sekarang? Satu jam lagi Jo menjemput saya dan Kenny untuk makan malam bersama! Ada sesuatu yang spesial, katanya. Saya tidak ingin kehilangan kesempatan yang spesial itu!

Entahlah, segala sesuatu yang berhubungan dengannya terasa begitu spesial. Saya juga tidak mengerti mengapa perasaan itu timbul. Tengah jatuh cintakah saya? Saya juga tidak begitu yakin, karena dulu saya juga pernah memiliki perasaan ini kepadanya. Tapi, semuanya hilang seiring dengan kepergiannya. Lagi pula, Jo tidak pernah mengatakan apa-apa pada saya. Tapi, apa pun itu, saya harus pulang sekarang. Pekerjaan bisa saya lanjutkan nanti malam di rumah. Bergegas saya lalu membereskan meja, meraup tumpukan berkas, dan melarikan mobil secepat mungkin, agar tidak terlambat sampai di rumah.

“Maaf, saya membuat kamu harus menunggu lama,” ucap saya pada Jo. Dia memang sudah lebih dulu berada di rumah sebelum saya datang. Itulah salah satu kelebihannya, Jo selalu tepat waktu.

“Ah, tidak apa-apa. Bukan salah kamu. Saya saja yang terlalu cepat datangnya.”

“Kalau begitu, kita bisa jalan sekarang. Saya sudah siap. Kenny mana, Jo?”

“Kenny sudah jalan duluan. Katanya dia mau jemput Jane. Jadi, kita ketemu di tempat makan.”

Sebuah garis terbentuk di tengah kening saya. Tidak biasanya Kenny pergi begitu saja tanpa pemberitahuan. Jangan-jangan ini ide gilanya supaya saya bisa berdua saja dengan Jo. Tapi, apa salahnya? Ini kan hal yang biasa. Saya saja yang terlalu mendramatisasi keadaan!

Keheningan sesaat melanda di antara kami. Saya tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba bibir saya menjadi berat. Untuk mengatasi keresahan, saya mencoba menikmati alunan musik yang terdengar di dalam mobil. Tapi, makin saya mencoba untuk menikmatinya, musik itu makin terdengar bagai suara parau di telinga saya.

“Kamu sedang tidak enak badan, ya?” ucap Jo tiba-tiba, membuat saya betul-betul mendadak menjadi tidak sehat.

“Ah, tidak apa-apa. Saya baik-baik saja, kok!” saya menjawab sekenanya.

“Tapi, saya perhatikan, sepertinya kamu tidak merasa nyaman?” tanyanya lagi.

“Mungkin saya hanya sedikit lelah,” saya berbohong lagi.

“Maaf, mungkin waktunya kurang tepat untuk mengajak kamu keluar malam ini. Apalagi besok masih hari kerja.”

“Ah, tidak juga. Saya tidak apa-apa, Jo.”

“Janji, ya, kalau kamu sakit, bilang sama saya.”

Saya hanya mengangguk.

“Jo, sebenarnya ada apa, sih, kamu mengundang kami malam ini?” tanya saya kemudian.

“Kamu lupa, ya?”

Saya bingung pada pertanyaannya. Lupa? Memangnya siapa yang pernah memberi tahu saya apa yang menjadikan malam ini sebagai malam yang spesial buatnya?

“Saya benar-benar tidak tahu,” jawab saya.

“Sebenarnya, sih, saya malu kalau terlalu membesar-besarkan apa yang menjadi sebab saya mengundang kalian malam ini. Saya hanya ingin berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang dekat dengan saya. Hari ini adalah….”

  “Ya, ampun, Jo! Ini hari ulang tahun kamu, ya? Selamat, deh, buat kamu…,” ujar saya, begitu menyadari bahwa pada tanggal yang sama beberapa tahun yang lalu kami bertiga pernah merayakannya juga.

“Terima kasih, Kania. Ternyata kamu masih ingat.”

“Sekali lagi, selamat, Jo. Sorry, nggak bisa kasih apa-apa sama kamu malam ini. Menyusul saja, ya.”

“Ah, tidak perlu kado, Kania. Ditemani seperti ini saja sudah sangat membahagiakan buat saya. Oh, ya, boleh saya bertanya sesuatu padamu?” Jo tersenyum dan untuk sesaat ia tampak ragu. ”Tapi, kamu jangan marah, ya?”

Saya bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang akan ia tanyakan pada saya? Dan, kenapa saya harus marah?

“Apa itu, Jo?” saya bertanya, penasaran.

“Sebenarnya saya khawatir padamu. Sering kali saya melihat kamu tampak lelah, seperti malam ini. Apa kamu masih sering diganggu mimpi-mimpi buruk?”

Seketika sebuah dentuman berat terasa memukul dada saya. Ini pasti ulah Kenny! Tega sekali dia menceritakan masalah pribadi saya kepada orang lain!

“Antarkan saya pulang, Jo. Sekarang!” kata saya tiba-tiba, tak dapat menahan kegeraman dan rasa malu yang datang begitu saja tak diundang.

“Kania, kamu marah?” Jo tercengang melihat reaksi saya yang tidak diduganya.

“Saya mau pulang, Jo. Sekarang!”

Pria itu langsung menepikan mobilnya.

“Apa-apaan kamu, Jo! Saya mau pulang!” teriak saya. Dada saya terasa begitu sesak. Sepertinya saya telah dipermalukan dengan cara yang tidak hormat. Lebih-lebih di hadapan Jo, pria yang sempat mengusik perasaan saya. Saya benar-benar merasa rikuh sekali!

“Kania, dengarkan penjelasan saya dulu.”

“Tidak ada yang perlu saya dengar dari kamu! Saya mau pulang!”

“Saya harus bicara pada kamu, Kania.”

“Buat apa? Agar membuat saya malu? Kamu belum cukup puas mempermalukan saya, Jo?” kali ini saya tak bisa membendung isak tangis yang memenuhi dada.

“Kania, saya minta maaf. Saya benar-benar tidak punya maksud seperti itu!”

“Lalu apa maksud kamu mencampuri urusan saya?”

Dengan gerakan yang begitu cepat dan tak terelakkan, pria itu lalu memeluk saya dengan eratnya. “Saya mencintai kamu, Kania,” ucapnya, di tengah tangisan saya. “Maafkan saya. Saya cuma ingin menolong kamu. Saya tidak ingin kamu terluka.”

Mencintai saya? Pengakuannya itu membuat saya terenyak. Segala bentuk perasaan berkecamuk di dalam hati saya. Malu, terhina, tapi juga… bahagia. Berada dalam pelukan Jo ada perasaan nyaman yang luar biasa. Terlebih ketika ia memegang kedua pipi saya dan menghapus dengan lembut sisa-sisa air mata yang masih menggantung di pelupuk mata.

Seorang saudara
“Tidak seharusnya kamu ceritakan hal itu pada, Jo, Kenny!”

“Oke, saya mengaku salah, kalau memang itu kamu anggap sebagai satu kesalahan. Maafkan saya, Kania.”

“Saya malu, Ken….”

“Kamu tidak perlu malu, Kania. Jonathan mencintai kamu. Dia akan selalu menjaga kamu. Saya pikir, dia calon suami yang tepat buat kamu!”

“Hubungan saya dan Jo masih baru. Saya belum mengenal pribadinya dengan baik. Tak usah berpikir jauh dulu, Kenny.”

“Saya yang menjamin ketulusan hatinya,” kalimat yang diucapkan Kenny terdengar mantap.

“Hei, berani sekali kamu berkata seperti itu?” saya membelalakkan mata kepada Kenny yang disambut dengan tawanya.

“Percayalah, Kania. Sebenarnya saya yang mengatur semua ini untuk kamu. Kamu masih ingat kan saat-saat saya dan Jo satu kantor dulu?” Kenny memulai penjelasannya.

“Sudah lama sebenarnya dia mengutarakan perasaannya dan keinginannya untuk menjalin hubungan dengan kamu. Tapi, saat itu ada sedikit keraguan dalam hati saya tentang kesungguhannya terhadap kamu. Karena, saya tahu dia akan berangkat ke Melbourne untuk mengambil masternya. Saat itu yang saya pikirkan hanya kamu. Saya tidak ingin kamu dikecewakan, Kania. Saya tidak bisa menjamin, apakah dia bisa setia begitu berpisah jauh dari kamu. Saya harus membuktikan dulu sampai sejauh mana kesungguhan cintanya terhadap kamu.”

Saya terdiam mendengarkan penuturan Kenny. Selama ini Kenny tak pernah bercerita apa-apa tentang Jo. Pandai betul dia merahasiakan ‘misi rahasianya’!

“Jadi, selama dua tahun dia melanjutkan studi di Melbourne, kami tetap berhubungan baik,” lanjut Kenny.

“Sebentar, Ken,” ujar saya, memotong pembicaraan. “Saya tidak pernah mengangkat telepon darinya di rumah. Jadi, bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa kalian secara intensif tetap berhubungan?”

“Telepon kan bukan hanya ada di rumah ini, Kania. Di kantor saya juga ada. Dan, apa gunanya diciptakan teknologi ber-SMS, kalau tidak dimanfaatkan? Jadi, setiap kali kami berhubungan, yang dia minta pada saya hanya satu, yaitu tetap menjaga kamu. Karena, dia akan kembali ke sini untuk kamu!”

“Itulah sebabnya, mengapa saya tidak pernah bertanya pada kamu mengapa kamu tidak mencari seorang kekasih, atau menyarankan kamu untuk mencarinya. Karena, pada dasarnya, saya ingin kamu menjalin hubungan itu dengan Jo. Tapi, bukan berarti saya menghalangi niat kamu, jika kamu menemukan orang lain yang lebih tepat, Kania.”

Kenny terdiam sesaat dan menarik napas panjang, “Ketika saya melihat hubungan kamu dan Wiem sangat dekat, saya sempat berpikir di antara kalian sudah terjalin hubungan asmara. Tapi, lama-lama saya bisa merasakan, ternyata dugaan saya itu salah. Saya tidak melihat adanya tanda-tanda ke arah sana.”

“Eh, tapi, seandainya kalian saling mencintai pun, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Itu hak kalian. Saya melihat, Wiem cukup baik untuk kamu, walaupun terkadang dia sering membuat kamu jengkel. Itu juga seperti yang kamu katakan pada saya. Tapi, saya pikir, terkadang yang namanya cinta itu sering kali membuat seseorang bersikap berlebihan terhadap pasangannya. Over protective, istilahnya. Benar tidak, Kania?”

Saya hanya mengangkat bahu.

“Hei, kok, pertanyaan saya tidak dijawab?”

“Kamu ini apa-apaan, sih, Ken. Kamu bicara seolah-olah Wiem itu kekasih saya….”

Kenny tersenyum. “Sebenarnya saya kagum pada Wiem. Dia baik, perhatiannya pada kita besar, itu yang membuat saya salut padanya. Tapi, sepertinya Jo lebih tepat untuk kamu. Cintanya sudah teruji.”

“Kamu ini, mentang-mentang Jo sahabat kamu, dibela-belain seperti itu!”

“Itu memang kenyataan. Jo tidak akan pernah membentak kamu, seperti yang biasa dilakukan Wiem kalau kalian bertengkar. Saya tahu sekali bagaimana karakternya. Saya yakin, pilihan saya tidak salah. Percaya pada saya Kania, kamu tidak akan pernah menyesal.”

Saya menatap wajah Kenny sembari berkata, “Mengapa kamu lakukan semua ini untuk saya?”

“Karena saya sangat menyayangi kamu. Saya ingin menjaga kamu seumur hidup saya. Karena hanya kamulah saudara saya satu-satunya di dunia ini.”

Saya terharu. Saya menggenggam erat tangan Kenny, dan berkata dengan lirih, “Terima kasih, Kenny. Kamu benar-benar kakak saya yang sangat baik!”

Kota Tondano
Bulan Juni 2003
Dua laki-laki
Keduanya tampak kikuk pada pertemuan pertama mereka. Maklum, Papa belum pernah didatangi seorang laki-laki muda yang berniat untuk menjadi menantunya. Dan, bagi Jo, ini adalah pengalaman pertamanya berhadapan dengan seseorang yang kelak disapanya dengan sebutan ‘Papa’.

Saya tersenyum geli melihat tingkah laku dua orang laki-laki itu. Mereka duduk diam di teras rumah, sama-sama bingung untuk memulai percakapan. Akhirnya saya memecahkan kebisuan di antara mereka. “Makan malam sudah siap. Ayo, kita makan bersama!”

Di ruang makan, kami duduk bertiga dan mulai menyantap sup kacang merah yang lezat buatan Tante Tien.

“Pa, maksud Jo datang ke sini selain ingin berkenalan dengan Papa, ia juga ingin sekali menikmati indahnya alam di sekitar rumah kita,” saya membuka topik pembicaraan.

“Betul, Oom! Saya dengar dari Kania, di sini pemandangannya indah dan udaranya sejuk sekali. Terus terang saja, saya juga belum pernah melihat rumah panggung sebagus ini, kayu-kayunya kokoh sekali!” Jo memuji keindahan rumah tinggal Papa.

“Ya, begitulah suasana di sini. Banyak orang yang menyukainya. Rumah ini adalah warisan keluarga. Hanya sedikit yang direnovasi. Ruang-ruangnya yang luas memang diatur sedemikian rupa agar bisa dipakai acara reuni keluarga besar,” tutur Papa, bangga.

Rumah panggung kami berlantai dua. Di lantai satu, terdapat ruang tamu merangkap ruang keluarga yang amat luas. Sementara ruang makan terletak di samping rumah bersebelahan dengan halaman belakang, dapur besar, dan beberapa kamar tidur. Tentunya kamar tidur untuk Papa letaknya ada di lantai satu, karena kondisi kesehatan Papa yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk naik-turun tangga.

“Kamar di atas sudah disiapkan?” tanya Papa, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan saya. “Jo tidur di sana saja. Hitung-hitung tetirah menghilangkan stres dari pekerjaan yang menumpuk.”

“Ah, Papa tahu saja! Saya sudah minta tolong pada Keke untuk membereskannya, kok. Sebuah termos berisi kopi panas, kegemaran Jo, juga sudah siap saji. Tinggal diminum di kala udara dingin.”

“Hmmm, Kania benar-benar calon istri yang baik ya, Oom?” Jo tak segan menggoda saya di depan Papa. Mungkin ia bisa merasakan, Papa pun menyukainya. Ya, mungkin benar apa yang dikatakan Kenny, pilihan hatinya untuk saudara kembarnya ini tidak salah!

Satu jawaban
Saya meminta Jo untuk tidur lebih cepat. Saya tahu dia pasti sangat lelah, karena pulang kantor kami langsung berangkat ke sini. Dan, saya sudah memutuskan untuk menceritakan masalah saya pada Papa malam ini. Saya tidak ingin menundanya lagi Saya takut, besok saya sudah tidak punya keberanian lagi untuk menceritakan padanya.

“Pa, boleh saya temani Papa minum kopi di sini?” tanya saya. Kebiasaan Papa menghabiskan malamnya dengan bermalas-malasan duduk di ruang tengah sambil minum kopi adalah kesempatan yang paling tepat, pikir saya.

“Tadi Papa kan sudah bilang sama kamu, tidak ada jatah kopi lagi untuk Papa malam ini. Nanti Tante Tien bisa marah, lho!”

“Secangkir teh pahit saja kalau begitu, Pa?”

Setelah Papa mengangguk, bergegas saya ke dapur dan menyiapkan secangkir teh untuk Papa dan secangkir kopi untuk saya. “Ini tehnya Pa, saya buatkan tidak terlalu panas untuk Papa.”

Papa menyeruput teh buatan saya dan kemudian berkata, ”Kamu sendiri tidak ingin tidur lebih cepat? Tadi pulang kantor kalian langsung berangkat kemari, ’kan? Pasti kalian lelah sekali!”

“Ya.Tapi, saya belum mengantuk, Pa….”

Papa tersenyum menatap saya. “Bagaimana dengan pekerjaan baru kamu? Menyenangkan?”

Saya menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan Papa.

“Kamu serius berhubungan dengan Jonathan, Kania?”

Agak malu, saya mengangguk. “Hmmm, kalau menurut Papa sendiri, bagaimana?”

“Papa lihat, Jo lelaki yang sopan. Bagaimana dengan pekerjaannya?”

“Kalau soal yang itu, Papa tidak perlu khawatir. Dijamin saya tidak akan menderita,” ucap saya, sembari tersenyum menggoda Papa. “Dia kan teman baik Kenny!”

Papa manggut-manggut saja, tersenyum menatap saya.

“Pa, sebenarnya ada hal lain yang saya ingin bicarakan pada Papa.”

Papa menatap saya sedikit heran. “Masalah apa?” tanyanya.

Dengan sedikit terbata-bata saya mulai menceritakan mimpi-mimpi saya dan juga mimpi-mimpi Kenny pada Papa. Bagaimana kami berdua dihantui mimpi-mimpi aneh. Bagaimana pemerkosaan itu sering kali terjadi dalam tidur saya, bagaimana saya pun selalu hadir dan menghilang dalam mimpi Kenny. Bagaimana saya selalu diselamatkan Kenny, bagaimana mimpi itu perlahan-lahan menggiring kami pada satu kondisi yang makin jelas. Sepertinya kami berdua mengalami satu kondisi yang sama di saat kami sedang berada di alam mimpi, yaitu … kami sama-sama tertekan!

Papa mendengarkan dengan seksama, dan saya melihat ada suatu perubahan yang aneh pada raut wajahnya.

“Apa ada sesuatu yang Papa ketahui?” tanya saya, cemas.

“Papa tidak tahu apa-apa, dan Papa tidak mengerti makna dari mimpi-mimpi kalian itu,” ucapnya terbata, membuat saya kecewa.

“Benar Papa tidak tahu apa-apa?” saya bertanya lagi untuk meyakinkan jawabannya karena Papa kelihatan ragu. Rasanya ada sesuatu yang coba disembunyikan Papa.

“Sudahlah, Kania. Kamu harus segera tidur. Oh, ya, jangan lupa telepon Kenny besok pagi. Minta dia pulang segera.” Hanya itu yang Papa katakan.

Melihat wajahnya yang serius, saya tidak berani membantah lagi. Apa maksud Papa untuk menyuruh Kenny segera pulang ke rumah? Apakah ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpi buruk kami yang baru saya ceritakan pada Papa?

Mimpi-mimpi buruk Kania rupanya ada hubungan erat dengan trauma masa kecilnya. Kisah pilu yang pernah terjadi pada ibunya di masa lalu!

Sabtu pagi di danau
Sendirian, saya menatapi air danau yang beriak tenang. Udara di sekeliling masih sangat dingin. Saya melemparkan pandangan sejauh pikiran yang menerawang tak keruan. Mungkin, saya memang harus berobat kalau tidak ingin menjadi gila! Rasa-rasanya sudah tidak ada jalan keluar lain. Kasihan Jo. Kenapa dia harus mencintai saya dan ikut terlibat di dalam permasalahan ini? Akan berkurangkah rasa cintanya jika ternyata saya tidak bisa sembuh?

Ah, saya tidak ingin berandai-andai tentang kemungkinan itu. Saya harus menyiapkan mental terhadap kemungkinan itu. Toh, ini bukan salahnya. Saya yang salah, mengapa mau menerima cintanya dalam kondisi seperti ini.

Udara sekeliling makin menggigit sampai ke tulang-tulang. Saya menggigil menahan dingin. Cuaca pagi ini sangat aneh. Danau tampak terlalu tenang tanpa ada suara burung-burung. Angin berembus sangat dingin tanpa suara. Pohon-pohon berdiri mematung, menyaksikan saya yang berdiri menatapi mereka. Dan, tiba-tiba sebuah tangan menarik tangan saya dengan kasar.

“Cepat Kania, kita harus pergi dari sini! Ayo, ikut saya!” pemilik tangan itu berkata sembari menarik tangan saya. “Dia akan membunuh kamu. Bahkan, dia telah membakar rumah panggung Papa kamu! Ayo, cepat, Kania! Kekasihmu itu akan membunuh kamu!”

Sabtu pagi, sepanjang jalan Manado – Tondano
Kenny melarikan mobilnya seperti orang kerasukan. Dia harus bergegas, kalau tidak semuanya terlambat! Ia mencoba menghubungi rumah di Tondano, tapi telepon selulernya terkena blank spot. Setiap kali keadaan genting, selalu saja ada masalah!

Kenny mencoba menenangkan pikirannya. Dia harus tenang. Dia harus selamat sampai ke rumah. Mudah-mudahan Kania masih ada di rumah. Kenny khawatir kalau dia sudah pergi ke danau. Karena, di sanalah tempat yang paling mudah untuk menenggelamkan dirinya. Membunuhnya. “Oh, Tuhan, tolonglah Kania! Tolonglah ia agar terhindar dari maut yang mengintainya!”

Sabtu pagi, di rumah panggung
“Bapak, bangun, Pak!” Tante Tien berusaha menggedor keras-keras pintu kamar tidur majikannya.

Laki-laki tua yang menjadi majikannya itu terbangun dengan marah. Ia membuka pintu kamar dengan mata yang masih setengah tertutup rapat. “Ada apa ini? Mengapa kamu membangunkan saya pagi-pagi begini!” bentaknya.

“Maaf, Pak. Saya baru saja membersihkan salah satu kamar di lantai atas. Dan, saya melihat Kania sedang berada di danau!” ucapnya, resah.

“Bukankah Kania terbiasa pergi ke sana? Pagi-pagi begini, hmm, memangnya pukul berapa sekarang?”

“Ini masih terlalu pagi untuk pergi ke danau, Pak! Dan, ia bersama seseorang! Kalau saya tidak salah lihat, orang itu sedang menarik-narik tangannya, tampaknya memaksa naik ke perahu bermotor! Mereka pergi ke tengah danau, Pak! Saya tidak kenal orang itu…,“ Tante Tien bercerita dengan wajah pucat.

Ah, mungkin Kania mengajak kekasihnya, Jo, pergi ke sana. Tentu saja Tien belum mengenalnya, karena kemarin ia pamit pulang lebih cepat. Laki-laki tua itu berpikir sejenak. “Sudahlah, kamu kembali bekerja saja. Tidak usah cemas, itu tentu Kania dan Jonathan, kekasihnya. Kamu belum mengenalnya kemarin, ’kan? Ketika mereka datang, kamu sudah pulang.”

“Baik, Pak.” Tante Tien mengangguk dengan wajah ragu. Entah mengapa, hatinya merasa sangat tidak enak.

Di rumah panggung, beberapa saat kemudian

Kenny memarkir kendaraannya terburu-buru. Orang pertama yang dijumpainya adalah Tante Tien yang sedang menyiapkan sarapan pagi di meja makan. “Selamat pagi, Tante. Kok, sepi?” sapanya pada perempuan tua itu.

“Oh, Kenny! Selamat pagi. Bagaimana kabarmu, baik?” Tante Tien terkejut, tak menyangka Kenny datang berkunjung. “Papamu sudah bangun, sedang minum kopi di teras belakang….”

“Kania dan Jo?”

Tante Tien sedikit bingung mendengar nama yang disebutkan Kenny belakangan. Jo, siapa? Rasanya ia belum pernah mendengar nama itu!

“Kania sedang pergi ke danau. Kalau… Jo, saya tidak kenal, maaf.”

“Oh, Tante tentu belum bertemu dengan Jonathan! Baik, saya temui Papa dulu,” Kenny lalu bergegas menghampiri ayahnya yang tampak gembira melihatnya datang.

“Hai, Kenny, pagi sekali sudah sampai di sini? Pasti Kania meneleponmu malam-malam, ya. Padahal, Papa sudah bilang padanya supaya pagi ini saja menghubungi kamu.”

“Kania belum menghubungi saya, kok, Pa. Saya saja yang berinisiatif untuk datang kemari pagi-pagi. Saya harus bertemu Kania, Pa. Ada hal penting yang harus segera saya bicarakan dengannya, dan juga Papa. Kata Tante Tien, Kania sedang pergi ke danau. Biar saya susul dia sekarang.”

“Kamu tidak perlu menyusulnya, Ken. Sebentar lagi Kania juga pulang….”

”Kania dalam bahaya, Pa!” kalimat yang diucapkan Kenny seperti keluar dari kerongkongan yang tercekik.

“Bahaya? Apa maksud kamu?” Papa terkejut. Tiba-tiba dia teringat penuturan Tien pagi tadi. Ah, benarkah Kania dalam bahaya?

“Pa, subuh tadi saya mendapat telepon dari seseorang. Dia mengancam saya! Dia berniat menghabisi saya dan Kania! Katanya, Kania yang pertama….”

“Betulkah yang kamu ucapkan itu?”

“Kenapa saya harus bohong, Pa? Bukankah semua ini karena… Papa?”

“Kenny!”

“Papa tak usah bersandiwara lagi. Jangan menutupinya lagi dari saya! Apa semua bukti-bukti ini tidak cukup?” Kenny menyerahkan setumpuk koran tua ke hadapan Papa yang tampak sangat terkejut.

Laki-laki tua itu tidak habis mengerti dari mana Kenny mendapatkan semua bukti-bukti masa lalu yang ingin dilupakannya itu. Bukankah ia telah menguburkannya, seiring dengan kematian istrinya? Laki-laki itu tertunduk diam, lidahnya terasa kelu. Seluruh sendinya terasa lemas.

“Dan, satu hal lagi yang perlu Papa ketahui! Anak dari hasil pemerkosaan itulah yang saat ini sedang mengancam nyawa Kania!”

“Apa?” Papa terbelalak menatap Kenny.

“Ya, Pa, saudara sedarah kami sendiri yang ingin menghabisi nyawa kami! Karena Papa tidak pernah mau mengakui keberadaannya selama ini! Karena Papa tidak mengizinkannya untuk menjadi saudara kami! Padahal, itulah yang dia butuhkan selama ini, pengakuan dari saya dan Kania. Pengakuan dari Papa sebagai ayahnya!”

“Lihatlah kini, apa perbuatan Papa? Papa sudah berusaha membuang dirinya dan melenyapkannya dari pikiran Papa. Bahkan, Papa juga berniat untuk melenyapkannya, bukan?”

“Dia bukan anak Papa, Kenny!”

“Saya tahu itu, Pa. Tapi, dia, saya, dan Kania lahir dari rahim yang sama!”

“Kalian tidak sama, Ken! Dia adalah anak dari hasil pemerkosaan yang sampai detik ini pun tidak pernah diketahui siapa bapaknya!”

“Tapi, dia adalah anak Mama, Pa. Saudara saya dan juga Kania!”

“Tidak bisa! Papa tetap tidak pernah mengakui keberadaannya. Dia tidak sepadan untuk menjadi saudaramu dan Kania. Kamu paham itu! Tidak sepantasnya seseorang yang mengaku saudara lalu berniat membunuh!”

“Tapi, itu semua karena sikap Papa! Perlakuan yang diterimanya membuat dia ‘sakit’. Ya, sakit jiwa, seperti… Mama! Setelah Papa membuang bayi itu, Mama lalu menjadi gila…. ”

“Dugaanmu salah, Kenny! Mamamu justru sakit-sakitan sejak peristiwa pemerkosaan itu! Dan, maksud Papa membuang bayi itu, tak lain agar Mama melupakan aib yang menimpanya. Papa ingin agar kita bisa menjadi ‘keluarga baru’ tanpa adanya anak yang tak diinginkan itu! Dia hanya membawa petaka di keluarga kita. Dan, nyatanya Papa tidak salah duga! Bencana itu kini tiba!”

Saat yang sama, di tengah danau
Mesin perahu motor itu berhenti mendadak dan kami terombang-ambing di tengah danau. “Kamu paham sekarang, Kania? Kita lahir dari rahim yang sama! Saya, kamu, dan Kenny adalah anak-anak Mama. Nah, apakah kamu bisa menerima kenyataan ini?”

Ketakutan yang luar biasa berbaur jadi satu di dalam diri saya. Jadi, inilah makna dari mimpi-mimpi buruk saya dan Kenny selama ini! Rupanya, Mama sendiri yang menginginkan agar masa lalu keluarga kami terkuak. Mimpi subuh pagi tadi sudah cukup memberikan jawaban atas pertanyaan saya selama ini!

Bukan saya yang menjadi korban pemerkosaan. Tapi… Mama! Sayalah orangnya yang bisa melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana peristiwa keji itu terjadi. Dan, orang di hadapan saya sekarang ini adalah korban dari kemalangan itu! Duhai, pedih nian nasibnya!

“Kania,” ucapnya sekali lagi, “kamu takut, ya? Tapi, kamu memang penakut! Saya sudah hafal betul sifat kamu. Wajar kan jika seorang saudara tahu betul hal itu? Dan, wajar juga bukan, jika seorang saudara selalu ingin dekat dengan saudaranya yang lain? Kamu tahu, Kania, sebenarnya saya sering kali iri melihat kedekatan kamu dan Kenny?”

“Ya, menyenangkan sekali rasanya memiliki orang-orang yang dekat dengan kita. Terkadang, jika kita sedang bersama, rasa iri itu seketika lenyap dari diri saya. Yang ada hanya rasa bahagia karena kita bertiga menjadi satu. Namun, di lain waktu, ketika saya melihat dan menyaksikan bagaimana kalian berdua saling berbagi dan saling menyayangi, saya betul-betul muak! Saya tidak rela kalian memiliki kebersamaan yang tidak pernah saya dapatkan!”

“Papa kalian yang sombong itu tidak pernah menginginkan saya menjadi bagian dari hidup kalian! Bahkan, si tua bangka itu tega ingin menghabisi saya!” teriaknya, penuh dendam membara. Saya menangkap kemarahan dan kekecewaan yang terpendam lama.

“Jadi, saya pikir,” lanjutnya lagi, “sebelum dia lebih dahulu melaksanakan niatnya, lebih baik saya yang bertindak. Kamu tak perlu khawatir, Kania. Tidak lama lagi kita bertiga berkumpul dengan Mama. Saya akan menenggelamkan kamu di danau ini, di tempat kesayanganmu ini….”

Saudara saya itu terus berbicara. Sesaat ia tertawa dan sedetik kemudian ia menangis. Begitu terus berganti-ganti, sehingga saya tahu pasti kondisi kejiwaannya amat labil. Katanya, yang membuat saya bergidik, setelah menenggelamkan saya di tengah danau ini, ia akan membakar rumah panggung kami! Dan, ia menyebut-nyebut nama Kenny!

Saya harus bertindak cepat! Dan, tanpa menunggu lagi, secepat kilat saya menyambar sebuah kayuh yang tergeletak di perahu. Sekuat tenaga saya mengayunkan kayuh itu ke wajahnya, sehingga ia kehilangan keseimbangan, dan terjungkal ke dalam danau! Lalu, saya mencoba menghidupkan mesin. Beruntung saya ‘tidak buta’ menjalankan perahu bermotor seperti ini. Tapi, ughh, saya merasakan jari-jari saya begitu kaku dan gemetar!

Tuhan, tolong saya! Saya menjerit dalam hati. Saya bersyukur, doa saya dikabulkan-Nya. Mesin menyala dan perahu mulai berjalan pelan. Namun, tiba-tiba tampak oleh saya, kepala orang itu menyembul dari permukaan air! Tangannya berusaha menggapai badan perahu dan ia berhasil! Sekali lagi saya buru-buru meraih kayuh dan memukulkannya lebih kuat lagi ke arah tangan dan kepalanya sehingga ia kembali tenggelam untuk kedua kalinya!
Sabtu menjelang magrib
Kania berbaring di tempat tidur, dikelilingi orang-orang yang dicintainya: Papa, Kenny, Jo, dan Tante Tien. Ia bisa melihat senyuman mereka. Tapi, tiba-tiba ia teringat seseorang, “Bagaimana… Wiem? Bagaimana keadaannya?” tanyanya, terbata-bata.

“Dia selamat, Kania. Kami sudah membawanya ke rumah sakit jiwa,” Papa menjawab, menghela napas panjang. Untuk sedetik, Kania melihatnya jauh lebih tua dari sebelumnya. Kelelahan yang luar biasa terbayang di wajah Papa.

“Kasihan, sepertinya ia mengalami gangguan jiwa yang permanen. Ah, sudahlah. Yang jelas, Wiem tidak akan mengganggu kita lagi, Kania,” Kenny menjelaskan lebih lanjut.

“Maafkan Papa, ternyata tindakan keras Papa selama ini terhadap Wiem berakibat buruk pada kalian! Pemerkosaan keji yang dialami Mama dan sakit mental yang diidapnya, membuat Papa tidak ingin mengingat kejadian masa lalu yang mengerikan itu. Terlebih kematian Mama setelah ia melahirkan Wiem, anak dari hasil pemerkosaan itu… membuat Papa hampir-hampir tak kuat menanggung beban!”

“Tapi, bagaimanapun, Papa mencoba bertahan. Semata-mata hanya demi kalian. Papa tidak ingin Kenny dan Kania menjadi korban perasaan yang menanggung derita keluarga kita di masa lalu. Papa sungguh-sungguh tidak ingin hidup kalian menjadi hancur berantakan setelah mengetahui adanya peristiwa mengerikan itu!”

Semua yang ada di dalam kamar terdiam. Sejenak Papa menarik napas panjang. “Papa tidak sanggup memelihara anak itu! Papa tidak kuat melihat wajahnya! Dia memang tidak berdosa, tapi Papa tidak bisa melawan hati nurani Papa sendiri. Hati Papa sudah sangat hancur melihat kondisi Mama kalian,” ucap laki-laki tua itu, dengan mata berkaca-kaca dan suara yang terdengar agak parau, menahan tangis.

“Dan, setelah Papa berhasil melupakan semua kenangan buruk itu, tiba-tiba seseorang menelepon Papa, dan mengaku bahwa dialah anak yang telah Papa buang itu! Dia meminta pengakuan, bahwa dia adalah saudara kalian! Dan, yang membuat Papa benar-benar kaget, ternyata selama beberapa tahun ini dia sudah begitu dekat dengan kalian. Rupanya, selama ini Wiem berusaha keras melacak asal-usulnya, sehingga akhirnya ia berhasil menemukan kita….”

Kota Tondano
Sabtu tengah malam, Juni 1975
Di atas loteng, di rumah panggung
Kania kecil terbangun dari tidurnya yang gelisah. Ia menggigil kedinginan, membuatnya ingin menangis. Dia menyibakkan selimut dan menoleh ke sampingnya. Kenny, saudara kembarnya, tertidur lelap. Kania ingin mengajak Kenny pindah ke kamar Mama yang terletak di atas loteng. Tapi, Kania mengurungkan niatnya mengganggu tidur Kenny.

Gadis kecil itu meninggalkan kamar tidurnya, dan berjalan mengendap-endap di sepanjang rumah panggung yang berlantai kayu itu. Langkahnya yang ringan hampir-hampir tak terdengar. Akhirnya ia sampai di ujung tangga paling atas dan hanya tinggal beberapa meter lagi menuju kamar mamanya. Ia sudah membayangkan nyamannya masuk ke dalam selimut besar milik Mama dan tidur di dalam pelukannya yang hangat.

Tapi, sesuatu yang aneh sedang terjadi! Pintu kamar tidur Mama terkuak lebar! Tidak biasanya Mama tidur dengan membiarkan pintu kamar terbuka seperti itu, atau jangan-jangan Papa sudah pulang? Kania kecil merasa heran. Tidak biasanya Papa pulang malam-malam seperti ini! Kata Tante Tien kan, besok pagi Papa baru datang dari Manado! Pekerjaan Papa masih banyak sehingga tidak bisa pulang cepat-cepat. Itu juga kata Tante Tien!

Gadis kecil itu berjingkat-jingkat masuk ke dalam kamar Mama. Ia tidak ingin membuat Papa terkejut dengan kedatangannya. Tapi, apa yang dilihatnya di kamar itu? Mata bulatnya terbelalak kaget. Tidak ada Papa di sana! Hanya ada empat orang laki-laki yang tak dikenalnya! Masing-masing sedang membekap mulut Mama, memegang kedua kaki, dan juga tangannya! Dan, yang seorang lagi, oh, apa yang tengah dilakukannya terhadap Mama?

Suara-suara erangan, suara-suara gaduh yang pelan, bercampur-baur dengan rontaan Mama yang sama sekali tak berdaya melepaskan diri! Keempat laki-laki itu tampak beringas dipenuhi nafsu binatangnya. Membuat langkah Kania kecil surut dan tubuhnya makin menggigil hebat di tempat persembunyiannya, di balik sebuah lemari besar.

Ia sungguh tidak mengerti apa yang sedang terjadi atas diri mamanya, tapi bagaimanapun ia bisa merasakan, bahwa orang-orang itu adalah orang jahat yang sedang mengganggu Mama. Itulah sebabnya, mengapa Kania kecil hanya bisa meringkuk terpaku dan tak berkedip tanpa daya menyaksikan semua kebiadaban itu!

Di sepanjang koridor rumah sakit

Kenny kecil berjalan cepat, hampir berlari. Dia mengikuti langkah-langkah kaki Papa yang ia rasakan terlalu lebar itu. Sepanjang koridor ia melihat banyak orang memandangi dirinya. Mereka saling berbisik-bisik. Rupanya peristiwa mengenaskan itu telah menjadi buah bibir masyarakat. Mereka datang beramai-ramai ke rumah sakit, hanya untuk menyaksikan seperti apa wajah si korban, dan bagaimana keadaaan suami dan anak-anaknya.

Koran daerah telah mengekspos berita itu sedemikian rupa menjadi berita hangat yang aktual. Bocah itu tidak mengerti, bahwa hari itu, keluarganya telah menjadi tontonan yang menarik sebagai salah satu drama tragedi kehidupan manusia!

Kenny mempercepat langkahnya, ia tertinggal jauh di belakang papanya. Ia merasa koridor putih itu terlalu panjang, tiada berakhir. Namun, ia tetap membawa lari kaki-kaki kecilnya, kalau tidak ingin tertinggal jauh di belakang Papa. Hingga tiba-tiba ia sampai di satu tempat yang luas dan lapang. Sepertinya inilah ujung dari koridor itu, di mana banyak sekali kamar yang bersekat-sekat.

Di salah satu kamar itu, Kenny melihat ada seseorang yang sedang terbaring di atas sebuah tempat tidur, dikelilingi banyak orang, laki-laki dan perempuan berpakaian putih. Mereka adalah dokter dan suster rumah sakit. Kenny mengikuti Papa yang menerobos masuk ke dalam kerumunan itu.

Begitu sampai di sisi tempat tidur, ia berusaha menjinjitkan kedua kakinya yang kecil untuk melihat siapakah gerangan orang yang tengah berbaring di atasnya dan menjadi pusat perhatian itu. Tapi, pandangannya terhalang oleh tangan-tangan orang dewasa yang sedang mengerumuni sosok yang terbaring itu. Sebelum sempat melihat wajahnya, tiba-tiba Kenny merasakan tubuhnya digendong Papa dan berbalik menjauh dari orang banyak itu.

“Siapa itu, Pa?” tanyanya, penasaran, tapi papanya hanya membisu. Kenny berusaha menolehkan kepalanya ke arah tempat tidur untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya. Dan, sekilas ia bisa melihat wajah orang yang terbaring itu: tak lain dan tak bukan adalah… mamanya sendiri! Bocah itu tidak mengerti mengapa Mama terbaring diam di sana. Kenny belum cukup mengerti, ibunya mengalami trauma fisik dan psikis yang sangat berat akibat peristiwa mengerikan yang dialaminya!

Kenny meronta dalam pelukan Papa dan berteriak-teriak memanggil Mama, namun ia dipaksa untuk keluar dari ruangan itu. Lalu, ia seperti tersadar dan mencari sesuatu. “Papa!” jeritnya tiba-tiba, ”mana Kania? Di mana Kania?” Rupanya Kenny teringat pada saudara kembarnya yang semalam juga dibawa pergi dari rumah bersama-sama dengan Mama. Dan, ia menyadari, Kania tidak bersama-sama dengan Mama!

Papa kemudian mengajak anak laki-lakinya menuju ke sebuah ruangan yang letaknya tidak jauh dari ruangan tempat Mama dibaringkan. Mereka melihat sesosok tubuh kecil tengah berbaring di atas tempat tidur. Papa kemudian membawa anak laki-lakinya ke sana dan mendudukkannya di atas tempat tidur, di samping tubuh kecil yang ternyata adalah Kania yang sedang dicari-cari Kenny!

Kenny melihat kedua bola mata Kania terpaku ke atas plafon rumah sakit yang berwarna putih. Kedua kakinya terbujur kaku dan kedua tangannya merapat erat di sisi tubuhnya. Tetesan air mata tampak mengalir di pipinya yang ranum. Kania bukan lagi saudara perempuannya yang ceria! Dan, Kenny berpaling kebingungan melihat papanya yang juga tengah menangis! Apa yang sebetulnya sedang terjadi?

"Saya sudah sembuh total, Jo!” Saya menjerit kegirangan. Ucapan selamat dari psikiater yang akhirnya jadi juga saya datangi, menenangkan jiwa saya.

“Papa dan Kenny pasti senang mendengarnya. Jadi, mimpi buruk itu sudah mengucapkan ‘selamat tinggal’ kepadamu, Kania?” Jonathan tersenyum menggoda. Ia pasti senang melihat binar-binar di mata saya.

“Oh, sudah pasti, Jo!” Saya mengangguk yakin. ”Pengakuan itu akhirnya telah menyembuhkan saya,” kata saya lagi.

“Pengakuan dari Wiem?”

“Bukan.”

“Lalu?”

“Pengakuan dari diri saya sendiri, Jo. Selama ini rupanya pikiran saya selalu berusaha mengingkari apa yang pernah saya lihat di masa kecil dulu. Memori di otak saya berusaha keras ingin melupakan peristiwa itu. Tapi, makin saya ingin melupakan kekejian dan ketakutan yang pernah saya alami, alam bawah sadar saya justru bangkit, muncul ke permukaan, dan membuka kembali semua kenangan pahit itu!”

“Ya, bagaimanapun pahitnya, saya merasa Mama menginginkan inilah yang terbaik terjadi di dalam diri saya. Saya harus mengakui kenyataan terjadinya pemerkosaan yang berlangsung di depan mata saya. Saya pun menyadari, bahwa ternyata masih ada seorang lagi yang menjadi korban dan sangat menderita. Bahkan, mungkin, penderitaan yang dialaminya jauh lebih besar daripada yang saya alami selama ini. Ya, dia adalah Wiem, saudara saya sendiri, Jo,” saya bertutur pelan-pelan, mencoba merenungi semua kejadian yang telah saya alami.

“Satu hal yang harus saya dan Kenny akui, bahwa ternyata ada sesuatu kekuatan ikatan batin di antara kami bertiga. Di saat Wiem menemukan kebenaran asal-usulnya —yang menjadi keinginan kuat dalam dirinya untuk mendapatkan pengakuan dari kami berdua— ternyata di saat-saat itulah mimpi-mimpi selalu datang pada saya dan Kenny!”

“Kini semua beban itu sudah lenyap, Jo.” Saya tersenyum. “Saya merasa sangat bahagia karena sudah berhasil mengungkap misteri dari mimpi-mimpi saya. Dan, sungguh! Saya tidak pernah membenci Wiem atas apa yang pernah ia lakukan pada saya. Saya menyadari, sebenarnya dia pun sangat menyayangi saya dan Kenny. Buktinya, dia berencana untuk mati bersama-sama dengan kami, demi bisa berkumpul bersama dengan Mama!”

ìHhh, benar-benar edan! Tapi, Wiem agaknya tidak punya pilihan lain. Dia sudah sangat lama merindukan arti kebersamaan sebuah keluarga yang dia pikir tidak bisa ia dapatkan di dunia ini, sehingga ia nekat melakukan ide gilanya itu.”

Jo mendengarkan dengan sabar semua penuturan saya. Ia menggenggam erat-erat tangan saya. Ada kehangatan dan perlindungan yang saya rasakan.

“Sudah cukup mimpi-mimpi buruk itu menyiksamu, Kania. Bersiap-siaplah kini menjelang mimpi-mimpi yang indah. Bersama saya…,” bisiknya, lembut sekali.

Saya terperangah menatap Jo. Ah, ternyata dia romantis juga! Diam-diam saya berterima kasih pada Kenny. Dia memang tidak salah pilih!

No comments: