12.22.2010

Titi Wangsa

Sudah lebih dari setengah jam Alexandra menunggu di stasiun kereta monorail ini. Namun, sosok yang ditunggunya belum juga muncul. Dalam kesunyian, tanpa gemuruh roda kereta dan suara langkah kaki penumpang, detak jarum jam yang tergantung di dekat peron pembelian karcis, terdengar jelas seperti detak jantungnya, yang terdengar mengentak.

Menit-menit telah berlalu dan ia tetap saja membeku dalam ketidakpastian. Begitupun ketika kereta-kereta telah datang-pergi, dan ia tetap sendiri mendekap hampa hati yang kian tak terperi.

Mungkin aku sudah gila mengharapkan pria seperti Nicholas akan datang dan menepati janjinya, pikir Alex. Nicholas pasti sama seperti pria-pria yang dikenalnya selama ini, yang tak pernah punya nyali untuk kembali. Padahal, cinta sudah di depan mata.

Dihelanya napas panjang, berusaha mengusir pengap yang datang menyergap. Pikirannya sebagai wanita muda yang kerap menemui kegagalan, melayang-layang tak keruan. Mungkinkah ia selamanya tak akan menikmati cinta sejati? Mungkinkah, entah untuk kali keberapa, lagi-lagi dia kalah di medan pertempuran cinta? Dia se-lalu mengibaratkan cinta sebagai sebuah medan pertempuran. Dan, di medan pertempuran itu, ia selalu berada di pihak yang kalah. Ia selalu gagal mempertahankan pria-pria yang dicintainya. Apakah sekarang juga akan berakhir seperti itu lagi?

Ia sudah berusaha melupakan sakit hatinya dan menganggap bahwa akhir seluruh kisah itu tak selalu sama. Namun, bila nyatanya dia selalu menjumpai akhir yang sama, maka masih mungkinkah mempertahankan setitik asa di dalam dada sana?

Namun, entah bagaimana, jauh di lubuk hatinya ada sejumput keyakinan bahwa Nicholas akan menepati janjinya. Pikiran dan hatinya saling bertolak belakang, seperti dua pemain anggar yang saling berusaha menjatuhkan satu sama lain.

Wahai hati, tidurlah dari pikiran! Sebab pikiran adalah perangkap hati! Ia seperti mendengar Jalaluddin Rumi berteriak memberi peringat­an. Maka, dipejamkannya mata untuk mengistirahatkan pikirannya yang mengembara ke mana-mana.

Gemuruh kereta kembali memecah kesunyian stasiun. Alexandra membuka mata dan menatap nanar ular besi di depannya. Sebentar lagi, pintu-pintu akan terbuka secara otomatis dan memuntahkan para penumpang di dalamnya. Sekali ini, jika ia tak menemukan Nicholas, maka ia akan pulang ke hotel dan melupakan seluruh omong kosong di antara mereka berdua. Matanya terasa panas saat ia menatap penuh asa ke pintu kereta. Mereka telah berjanji untuk bertemu di tempat ini untuk satu alasan yang sama: cinta.

Enam Bulan Yang Lalu
Samar-samar dering telepon menyeruak masuk ke mimpinya, seperti bau harum masakan Ibu, yang selalu membangunkannya di pagi hari. Ia selalu terbangun dari mimpi yang sama. Mimpi tentang kontak tembak antara pasukan militer dan gerombolan pemberontak. Dia terjebak di tengah-tengah kontak tembak antara pihak militer dengan beberapa orang pemberontak bersenjata AK-47. Ia berusaha keras melepaskan diri dari bayang-bayang mengerikan itu. Ia terbangun, berkeringat, dan linglung sesaat.

Oh, pukul berapa ini? Tetapi, bukankah dia tak mengenal waktu? Yang dia tahu hanyalah satu episode telah berlalu. Dia hidup dari hari ke hari tanpa sempat memikirkan pukul berapa dan tanggal berapa sekarang. Hidup hanya dari satu tugas ke tugas lain. Begitu selesai satu tugas, maka sudah menunggu tugas berikutnya. Bukan dia yang berkuasa atas hidupnya, melainkan sang komandan yang selalu menelepon setiap saat, mirip yang dilakukan ibunya.

Diraihnya telepon yang masih berdering. “Halo?” sapanya.

“Nicholas!” suara sang komandan terdengar menggelegar bak ledakan bom berbahan dasar C4 di seberang sana. Di kegelapan, dari deretan stereo set miliknya, samar terlihat pantulan angka digital berwarna merah, menunjukkan angka 06.00 WIB. Angka-angka yang tak lagi penting untuk seorang abdi negara seperti dirinya. Karena, angka yang harus diingat hanyalah deretan pasal-pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

“Siap, Ndan!”

Ia baru sempat tidur dua jam, karena menyelesaikan laporan sebuah peristiwa kriminal. Sungguh melelahkan.

“Oh, syukurlah! Bangun dan laksanakan tugas, Nak! Jangan bercinta terus dengan sembarang wanita! Tubuhmu bisa membusuk!”

Ya, ia memang telah lama membusuk oleh berbagai persoalan yang menumpuk.

“Siap, laksanakan tugas!” ujarnya, berusaha mengusir kantuk yang masih melekat di pelupuk matanya. Ingin sekali ia bisa sehari saja tidur nyenyak, tanpa terganggu oleh suara apa pun.

“Nicholas, kamu sudah tahu? Semalam ada pencurian di Museum Kota. Pergilah ke sana sekarang, selagi nyamuk-nyamuk pers belum mengendus peristiwa ini!” kata sang komandan lagi.

Museum Kota hanyalah salah satu dari tiga museum yang ada di kota ini. Ketiganya berada di bawah pengelolaan yayasan. Seingat Nicholas, Museum Kota bukanlah museum besar dengan sistem pengamanan canggih seperti Museum Louvre di Prancis. Sebaliknya, Museum Kota hanyalah sebuah museum kecil, penuh sesak oleh buku-buku dan artefak kuno serta berdebu.

Letaknya di pinggir jalan raya utama yang membelah kota. Lokasinya sangat strategis sebenarnya. Namun, entah kenapa, dari tahun ke tahun pengunjungnya tak pernah bertambah. Selalu sepi di hari biasa dan ramai di musim liburan. Banyak yang berpendapat, museum bukan tempat menarik untuk dikunjungi dan dilihat. Apalagi, isinya hanya peninggalan-peninggalan yang sudah berumur ratusan tahun hingga berabad-abad.

Ya, segala sesuatu yang sudah berumur biasanya memang kurang menarik, karena dianggap kuno, ketinggalan zaman, dan membosankan. Semua hal. Tak hanya museum, manusia pun demikian. Lihatlah gadis-gadis sekarang! Mereka lebih menyukai pria-pria muda yang masih penuh energi. Sementara, pria-pria tua hanya menanti di pojokan, menunggu satu dari mereka yang tak kebagian pria muda, untuk memungutnya.

Dia pernah mendengar percakapan seperti itu di lift salah satu pusat perbelanjaan. Tiga orang remaja putri, tiga wajah belia dengan mata berbinar, tengah cekikikan, sambil menyedot minuman. Berbincang penuh semangat tentang seorang pengunjung berpe-rut gendut.

“Mau, Sis?” tanya salah satu dari mereka sambil melirik pengunjung berperut gendut yang turun dari lift.
Kedua temannya tertawa.

“Ih… nggaklah! Apa enaknya punya pacar tua? Bisa ikutan tua!”

“Iya… pokoknya enggak banget!”

Mendadak ia merasa sangat tua, sekalipun usianya baru 27 tahun. Hatinya mencelos dan refleks ia pun makin menepi ke sudut lift.

Lagi-lagi pikirannya melantur ke mana-mana. Setelah menyesap secangkir kopi instan untuk membuatnya terjaga, Nicholas pun segera melesat pergi. Saat tiba di lokasi, halaman museum sudah penuh manusia, tak ubahnya arena pasar malam. Ada dua unit mobil patroli, beberapa mobil milik stasiun radio lokal dan koran lokal serta satu mobil milik Unit Pengolah TKP dengan tulisan besar-besar berwarna kuning mencolok.

Beberapa petugas penyidik dibantu anjing pelacak sibuk mengendus ke sana kemari, mencari sesuatu yang bisa dijadikan barang bukti. Sebagian lagi sibuk membungkuk-bungkuk, mengoleskan bubuk sidik jari dan memotret di sana-sini. Lampu blitz dari kamera mereka bekerjapan bak kembang api.

“Pagi, Ndan!” Ipda Sunyoto dari kantor kepolisian setempat, meng­hampiri, memberi hormat sebelum menjabat tangannya hangat. Sang Ipda lebih senior dari segi usia dan masa kerja. Namun, karena dari sisi kepangkatan lebih tinggi Nicholas, maka mau tak mau dia harus memberikan hormat pada pria yang lebih cocok menjadi anaknya itu.

“Pagi, Pak. Apa yang hilang, Pak?”

“Dua buah patung. Lebih tepatnya, kepala patung, Ndan.”

“Siapa yang mengetahui peristiwa ini kali pertama?”

“Itu, Pak Yadi, Ndan. Dia tukang kebun di museum ini. Tadi pagi, saat hendak membersihkan halaman museum, dia melihat kedua patung di teras museum sudah tak berkepala lagi,” ujar Ipda Sunyoto, menjelaskan. Ia menggerakkan leher ke arah seorang pria yang berdiri dekat mobil patroli, ditemani dua petugas yang sibuk mencatat sesuatu di buku.

“Memangnya patung itu sengaja diletakkan di teras museum?” tanyanya, heran.

Betapa cerobohnya orang-orang ini memperlakukan artefak kuno! Nicholas membatin, kesal.

“Ya. Katanya, memang sejak dulu di situ dan tak pernah terjadi apa-apa.”

Nicholas manggut-manggut, tetap tak mengerti dengan jalan pikiran pengelola museum, yang meletakkan kedua artefak kuno di teras museum tanpa pengawasan dan pengamanan apa pun. Mereka tak bisa menghargai peninggalan kuno, menganggap bahwa benda serupa patung itu tak bakal menarik perhatian orang. Atau, mereka ini memang benar-benar tak mengetahui bahwa benda-benda kuno itu bisa menjadikan seseorang menjadi jutawan mendadak, bila menjualnya ke pasar dunia?

Dari dulu di situ dan tak pernah terjadi apa-apa.

Nicholas menggeleng, merasa geli dengan pola pikir kebanyakan orang, yang selalu menganggap kejahatan tak mungkin menimpa mereka. Padahal, kejahatan acap terjadi karena kelengahan para korban! Saat korban terlena, saat itulah penjahat akan beraksi. Karena itu, benar sekali petuah dari pujanggawan Ranggawarsita. Wong urip iku kudu tansah eling lan waspada. Artinya kurang lebih adalah orang harus senantiasa ingat dan waspada!

“Pagi, Komandan! Tumben turun ke TKP?” sebuah suara menyadarkan lamunannya.

Nicholas menoleh dan menemukan seraut wajah yang sudah tak asing lagi. Wanita itu lagi. Alexandra, reporter dari harian lokal yang cukup ternama, sekaligus dosennya di kelas hukum yang ia ikuti setiap malam. Makin hari ia makin cantik saja.

Hei, kenapa dia jadi begitu perhatian pada Alexandra? Apa, sih, keistimewaan seorang Alexandra? Toh, dia seperti wartawan kebanyakan yang sering ditemuinya di kantor polisi. Hobi mengendus ke sana kemari dan ribut bertanya ini-itu.

Tetapi… oh, tidak! Hati kecilnya yang lain membantah. Dia tak seperti kebanyakan wanita, Nicky! Dia cantik, cerdas, misterius dan telah membiusmu! Ya, rasanya sulit sekali percaya pada penglihatannya setiap malam di kelas hukum yang diikutinya. Di pagi hari, ia hanyalah seorang Alexandra yang tampil apa adanya. Hanya mengenakan celana jins, kemeja putih, dan sepatu kets.

Tapi… di malam hari? Dia menjelma menjadi sosok ibu dosen cantik yang memakai high heels, mengenakan setelan apik dan bicara berapi-api, menularkan ilmunya kepada para mahasiswa yang hanya melongo mengagumi sang dosen. Sungguh transformasi yang mengagumkan, seperti perubahan seorang upik abu yang kotor dan berjelaga menjadi Cinderella yang begitu bersinar.

“Sudah menemukan sesuatu?” tanya Nicholas, susah payah meng­hapus gambaran seorang dosen cantik dari kepalanya.

Sejak kapan dia jadi begitu perhatian pada Alexandra?

Alex mengangkat bahu tak acuh. “Tergantung dari sudut pandang mana pertanyaan itu. Kalau dari sudut pandang seorang reporter, kurasa apa yang kutemukan pagi ini sudah cukup layak disajikan kepada para pembaca. Tetapi, bila dari sudut pandang penyidik, yah...,” ia mengangkat bahu lagi.

Wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. Tanpa menunggu kelan­jutan kalimat itu pun, Nicholas sudah dapat meraba maksudnya.

“Sudah bicara dengan Pak Yadi?”

“Sudah. Kau mau aku melaporkan temuanku padamu? Maaf, tidak ada ketentuan hukum yang mengatur seorang reporter harus melaporkan temuannya di lapangan kepada penyidik, kecuali ada surat perintah yang memintaku bersaksi,” kata Alex, sambil tersenyum.

“Aku hanya bertanya, bukan menyuruhmu!” balas Nicholas, dengan nada lembut.

“Ya, sudah. Sebaiknya, kau tanyai Pak Yadi selagi ingatannya masih segar!”

Pak Yadi adalah sosok seorang pria bertubuh mungil, sedikit bungkuk, dan rambutnya telah memutih semua. Nicholas menaksir, usia pria itu lebih dari setengah abad. Mereka duduk mengobrol ditemani secangkir teh hangat, sekadar untuk mengusir penat yang tiba-tiba menyergap di awal hari itu.

“Sudah lama bekerja di museum ini, Pak?” tanya Nicholas, memulai investigasinya dengan gaya yang lebih manusiawi.

“Wah… sudah lama, Pak. Sejak saya masih muda pun, saya sering bantu-bantu almarhum bapak saya di sini. Dulu saya narik becak, tapi setelah Bapak meninggal dunia dan saya sudah tak kuat narik lagi, maka saya menggantikan posisi Bapak sebagai tukang bersih-bersih di sini,” jelas Pak Yadi, panjang lebar.

“Berarti, Bapak tahu persis koleksi museum ini?”

“Bisa dibilang begitu.” Pria tua itu mengangguk.

Entah bagaimana, instingnya membisikkan bahwa pria itu tahu lebih banyak tentang kondisi museum, termasuk rahasia-rahasia kotor para pengurus di dalamnya. Tapi, itu nanti. Yang terpenting sekarang mencari tahu kronologi kejadian.

“Bisa ceritakan, Pak, bagaimana Bapak bisa tahu kedua benda itu telah hilang dari teras museum?”

“Yah, pagi ini seperti biasa, saya datang pukul 05.30. Istri saya buka warung di seberang jalan itu, Pak. Jadi, tiap pagi saya bantu dia. Kalau sudah selesai, saya baru pergi ke museum untuk bersih-bersih. Sebenarnya, sampah di tempat ini tak begitu banyak seperti yang Bapak lihat. Paling-paling hanya membersihkan daun-daun kering atau rumput kering. Tapi, kalau Senin pagi seperti ini, agak beda, Pak,” kata Pak Yadi, panjang lebar.

“Bedanya?’

“Bila Senin pagi seperti ini, saya harus kerja ekstra Pak. Soalnya, sampahnya lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa. Maklum, bila malam Minggu, halaman museum ini sering digunakan sebagai tempat nongkrong muda-mudi. Dan, mereka suka buang sampah sembarangan, seperti minuman kaleng atau puntung rokok.”

Nicholas kaget mendengar fakta mengejutkan itu. Bagaimana mungkin pihak pengelola membiarkan museum bebas terekspos dan bahkan menjadi area publik? Padahal, museum ini menyimpan ratusan bahkan mungkin ribuan peninggalan kuno bernilai ratusan juta.

Nicholas mengedarkan pandang ke area seputar museum. Memang tak ada pintu gerbang yang bisa memisahkan museum dari area publik di luar sana. Museum ini dibangun di area terbuka yang langsung berbatasan dengan jalan raya. Tak heran bila masyarakat kerap memanfaatkan halaman museum yang luas sebagai tempat nongkrong, sebab mereka bisa bebas keluar-masuk!

“Hmmm... riskan sekali,” gumam Nicholas, sambil menyeruput teh hangatnya.

Baru ia sadari, bangunan warung tenda tempat mereka me­ngobrol sekarang ini pun masih berada di satu kompleks dengan museum!

Bisa-bisanya sebuah museum yang menyimpan peninggalan kuno dibiarkan bebas terekspos seperti ini! Pikir Nicholas, gemas.

“Selanjutnya bagaimana, Pak?”

“Biasanya saya mulai menyapu dari teras museum terlebih dulu. Setelah itu, baru menyapu halaman dan mencabuti rumput kering kalau ada. Nah, pagi ini, saya juga memulai rutinitas seperti biasa. Saya menyapu teras mulai dari sisi timur, sisi yang berseberangan dengan lokasi kedua patung itu.”

Nicholas mengangguk, bisa membayangkan bagaimana pria tua itu menyapu teras museum yang tak seberapa luas dengan sapu. Debu-debu beterbangan ke udara, seperti tahun-tahun kehidupan yang telah berlalu meninggalkannya.

“Mendekati teras sisi barat museum, barulah saya melihat kejanggalan itu. Kedua patung itu….”

“Patung apa, Pak? Rama dan Sinta?”

“Bukan, Pak. Rama dan Sinta hanya ada di pewayangan, jarang berwujud patung. Patung itu Agastya dan Nandiswara,” tukas Pak Yadi cepat, seraya menatapnya keheranan, seolah dia makhluk paling bodoh di muka bumi ini. “Kedua patung itu masih di sana, tetapi tanpa kepala.”

“Tanpa kepala?” ulang Nicholas takjub. Si pencuri ini gila atau bagaimana, bisa-bisanya hanya mencuri sepotong kepala patung?!

“Ya. Bapak nanti bisa lihat sendiri di sana. Saat tahu kepala patung itu hilang, saya langsung lapor ke pos polisi di sana itu. Kebetulan, pos polisi hanya berjarak 200 meter dari museum.”

“Seingat Bapak, ada keanehan atau tidak pada hari Minggu?”

“Pada hari Minggu itu, museum tutup seperti biasa, yaitu pukul 16.00. Pengunjung lumayan banyak. Tapi, tak ada yang janggal. Biasanya yang menutup museum itu Mas Antok.”

“Mas Antok? Ada berapa pegawai yang setiap hari datang ke museum, Pak?”

“Yang resmi hanya tiga orang. Bapak Kartoyo, kepala museum ini. Ada Mas Antok, asistennya Bapak Kartoyo. Mas Erik, yang suka jelasin ke pengunjung. Kadang-kadang ada mahasiswa magang yang ikut bantu-bantu di museum.”

Alexandra menelusuri kembali catatan yang disimpannya di laptop. Temuannya kemarin benar-benar menarik hatinya. Kemarin dia telah bicara dengan sang kurator museum, Erik. Erik telah menjelaskan seluruh fakta tentang museum, meli­puti pengelolaan, struktur organisasi, dan seluruh aset yang dimiliki oleh museum.

Rasanya, tidak ada yang salah, kecuali fakta bahwa museum sudah kali kedua ini mengalami pencurian. Usaha pencurian pertama terjadi sekitar tiga tahun lalu, namun gagal. Para pencuri meninggalkan barang-barang curiannya –patung Agastya dan Nandiswara– teronggok begitu saja di halaman samping museum. Mungkinkah seseorang memergoki mereka? Atau, karena kele-lahan menggotong patung-patung itu, akhirnya sang pencuri menyerah? Tak ada yang tahu pasti. Baru pada aksi kedua ini, sang pencuri berhasil menggondol kepala patung Agastya dan Nandiswara.

Buuum! Seseorang menjatuhkan setumpuk buku di depannya. Alex terlonjak kaget. Nicholas. Pria itu tersenyum lebar padanya. Alex menggelengkan kepala. Ke mana pun dia melangkah, ia selalu bertemu pria itu. Seluruh data tentang pria itu telah ada di tangannya. Penyidik muda berpenampilan memesona, yang baru bertugas selama enam bulan di kota ini. Lulusan terbaik dari Akademi Kepolisian dan tengah berancang-ancang untuk meneruskan sekolah lagi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

Sambil menunggu masa kuliahnya dimulai, dia mengambil kelas malam di fakultas hukum, tempat Alex mengajar paruh waktu selama ini. Tak ada catatan kriminal yang bisa merusak reputasinya sebagai abdi negara, kecuali gemar membuat patah hati kaum hawa.

“Selamat siang, Bu Dosen! Tak kusangka kita akan bertemu di perpustakaan fakultas hukum ini. Sedang mencari bahan tulisan untuk tugas S-3?” Ia menyapa dengan ramah dan tanpa menunggu dipersilakan, langsung duduk di depan Alex.

“Kau sengaja mengikutiku?” Alex tak dapat menyembunyikan kecurigaannya. Masih terbayang kejadian dua pekan lalu, saat ia mencari keterangan tentang kedua patung itu di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Yogyakarta. Tiba-tiba pria itu muncul di pintu masuk, tepat saat dia berencana pergi ke Candi Prambanan, yang lokasinya hanya beberapa ratus meter dari kantor itu.

“Hai, Alex! Mau ke mana?” sapa Nicholas, kala itu.

“Candi Prambanan.”

“Mau apa ke Prambanan?” tanya Nicholas.

“Kamu ingin melihat seperti apa Arca Agastya dan Nandiswara?”

“Ya.”

“Kalau begitu, ayo, ke Candi Prambanan. Di sana juga ada arca yang sama persis dengan arca yang hilang dari museum.”

Sekarang, dia bertemu lagi dengan pria itu. Suatu kebetulan yang menjengkelkan. Hey, kalau jengkel, mengapa ada rasa bahagia membuncah di dadanya? Sejak kapan ia telah terpesona oleh pria itu?

“Jangan-jangan kamu memasang alat pelacak di benda-benda milikku!” protes Alex.

Nicholas tertawa. “Itu hanya ada di film-film tentang spionase, Nona. Kurasa, hatikulah yang telah menuntunku kemari dan… voila! Aku menemukanmu di sini.”

Alarm dalam hatinya berdering. Hati-hati, Alex. Pria ini manis, cerdas, tapi juga bisa membunuhmu dengan racunnya.

“Baiklah. Apa yang kau cari di sini?”

“Aku hanya mengikuti tulisanmu di tajuk rencana hari ini. Sebuah ulasan tentang benda cagar budaya dari sisi hukum. Menarik sekali,” ujar Nicholas.

Hati Alex langsung mencelos, sungguh pujian yang tulus.

“Terima kasih. Aku hanya mengulas kasus tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,” balas Alex, tak dapat menyembunyikan rasa senang yang membuncah di hatinya.

Bertahun-tahun ia bekerja keras, menghasilkan tulisan berkualitas, menjadikannya sekadar rutinitas. Tak pernah ada yang menganggap hal itu sebagai sesuatu hal yang istimewa. Seluruh jajaran redaktur di kantornya bisa menghasilkan tajuk rencana sebagus itu.

“Tidakkah terlalu riskan membiarkan kepemilikan dan pengelolaan benda cagar budaya berada di tangan perseorangan atau yayasan? Kamu tahu, Museum Kota juga berada di bawah yayasan?”

“Ya. Memang, sangat riskan. Apalagi, banyak di antara masyarakat yang tak mengetahui tentang aspek hukum dalam pengelolaan maupun kepemilikan benda-benda cagar budaya. Kamu masih ingat peristiwa beberapa waktu lalu, ketika benda-benda cagar budaya dari masa kerajaan Hindu dari Indonesia, tiba-tiba muncul di Balai Lelang Christie’s? Herannya, negara sama sekali tak mengetahui ada benda-benda seperti itu. Menyedihkan sekali, bukan?”

“Ya. Semudah itukah mengalihkan hak kepemilikan benda cagar budaya?”

“Tak semudah itu, Nicholas. Memang, benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan, sepanjang tetap memerhatikan fungsi sosial dan tak bertentangan dengan undang-undang. Hanya, di Pasal 15 Ayat 2 diatur secara jelas larangan-larangan untuk memindahkan, merusak, membawa benda cagar budaya ke luar wilayah RI, hingga memperdagangkannya, seperti yang terjadi pada peristiwa lelang itu.”

“Lantas bagaimana dengan peristiwa pencurian di Museum Kota? Aku tidak berpikir, para pencuri itu hanya orang iseng yang ingin menghiasi halaman rumah dengan Arca Agastya dan Nandiswara.”

Alexandra tertawa. Pria ini punya selera humor bagus. Alex percaya, setiap aspek dalam diri manusia –termasuk kecerdasan- bisa direkayasa, kecuali satu, yaitu selera humor yang bagus. Tak semua orang bisa merekayasa selera humor mereka agar bisa mengeluarkan lelucon yang lucu, tapi tetap terdengar cerdas di telinga orang lain.

“Memang tidak. Buat apa susah-susah menggotong benda seberat itu, kalau hanya ingin menjadikannya pajangan di halaman rumah?” Alex menggeleng, tampangnya berubah serius. “Aku tak akan heran bila tiba-tiba saja, entah kapan, kedua patung itu akan muncul di Balai Lelang atau semacamnya. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi.”

“Atau, berada di tangan kolektor, penawar tertinggi. Mungkinkah?” mata cokelat Nicholas menyapu penuh rasa ingin tahu.

“Mungkin saja. Di luar sana ada begitu banyak orang yang cukup gila dan punya cukup banyak uang untuk membeli benda-benda cagar budaya. Mereka rela menghabiskan uang puluhan juta bahkan ratusan juta, demi memperoleh benda-benda itu.”

“Tetapi, bukankah sebenarnya pengalihan hak kepemilikan itu sah-sah saja dilakukan? Setahuku, hal itu juga diperbolehkan dalam UU No. 5 Tahun 1992 itu,” ujar Nicholas lagi.

Pria ini seperti punya segudang pertanyaan di kepalanya! Tiba-tiba Alex merasa seperti mahasiswa yang tengah menghadapi ujian skripsi.

“Ya. Asalkan yang bersangkutan melaporkan pengalihan hak tersebut kepada negara. Bila tidak melapor, maka dianggap telah melakukan tindak pidana pelanggaran, seperti yang tercantum di Pasal 28 UU Nomor 5 Tahun 1992. Sebab, pada dasarnya semua benda cagar budaya itu dikuasai negara.”

“Tetapi, bukankah pengalihan hak itu banyak bentuknya? Bisa diwariskan, diberikan, dihibahkan, atau….”

“Diperdagangkan. Bisa saja,” tukas Alex, takjub pada kecepatan pria ini mempelajari hal baru yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. Mereka saling tatap, dicekam oleh kengerian yang sama.

“Kau tahu, Nicholas, dalam hukum dikenal istilah pasal karet, yaitu pasal yang memiliki celah untuk bisa dimainkan?”

“Ya.”

“Kurasa, undang-undang ini begitu. Masih banyak celah di dalamnya.”

Nicholas mengangguk. Mereka berdua lagi-lagi saling tatap, saling memuja. Alex tidak mau terperangkap dalam atmosfer yang membius itu. Maka, ditutupnya laptop hingga menimbulkan bunyi cukup keras dan mengejutkan makhluk memesona di depannya.

“Well, kurasa kau akan bisa mengikuti kelas hukumku nanti malam dengan sangat baik, Nicholas. Sebab, aku akan membahas cagar budaya dan kau telah memperoleh lebih dari setengah materi yang akan kusampaikan di depan kelas!” ujarnya, lantang.

Pria itu tertawa. “Kalau begitu, aku murid yang beruntung.”

“Kurasa begitu,” angguk Alex. Kecuali jika kau diam-diam sengaja mengikutiku, imbuhnya, dalam hati.

“Hanya, aku belum tahu…,” ujar Nicholas lagi. Kalimatnya terpenggal oleh bunyi telepon seluler. Sesaat, pria itu disibukkan oleh teleponnya. “Ya, sebentar. Nanti aku ke sana. Aku sedang ada urus-an,” ujarnya kepada si penelepon, sebelum memutus sambungan.

“Hanya, aku belum tahu, karena kau belum pernah membahasnya di kelasmu,” ujarnya, melanjutkan kalimat yang terpenggal tadi.

“Apa itu?”

“Adakah hukum yang mengatur hubungan antara dosen dengan mahasiswanya di luar jam kuliah?”

“Kenapa?”

“Sebab, aku sedang kelaparan dan ingin mengajakmu makan siang. Tapi, aku takut, ajakanku itu bertentangan dengan hukum.”

Alexandra tertawa. Cara yang manis untuk mengajak makan siang seorang wanita! Kadang ia lupa, Nicholas bukan pemuda ingusan, meskipun usia Nicholas terpaut lima tahun lebih muda darinya.

Nicholas bukan anak kemarin sore, Alex! Lihat catatan percintaannya. Sudah banyak wanita yang dibuatnya menderita! Lihat seberapa sering telepon selulernya berdering dan selalu telepon dari wanita! Hmm, ia ingin membuat Nicholas menderita sedikit agar dia belajar bahwa pengorbanan itu diperlukan demi memperoleh sesuatu.

“Memang belum ada aturan hukum yang baku tentang itu,” ia mendengar suaranya sendiri berkata, memecah keheningan. “Maaf, aku sedang dikejar deadline. Aku harus kembali ke kantor,” ujarnya lagi, seraya melirik arloji di pergelangan tangan, supaya lebih meya-kinkan Nicholas bahwa ia terburu-buru.

Ada gurat kekecewaan di sepasang mata cokelat Nicholas. Hanya sekilas. Detik berikutnya, sepasang mata itu kembali berbinar. “Baiklah. Tetapi, kapan-kapan, kuharap kau mau menemaniku makan siang,” kata Nicholas, dengan ekspresi seorang anak yang tengah merajuk agar permintaannya dituruti.

Alexandra hanya mengangkat bahu, sambil melempar senyum termanisnya, sebelum pergi meninggalkan pria itu sendiri.

Alex didera rasa putus asa, karena sikap tak kooperatif dari pihak museum. Tak ada hal baru yang bisa disuguhkannya kepada pembaca. Sejak kali pertama mengendus peristiwa ini, Alex bertekad untuk terus mengikuti kasus pencurian di Museum Kota. Ia merasa sudah menjadi kewajibannya menjalankan fungsi kontrol sosial. Namun, pihak yayasan memintanya untuk melupakan masalah itu.

Melupakan? Bagaimana ia bisa melupakan begitu saja? Sebab, ini tak hanya menyangkut aset museum. Melainkan, sudah menyangkut aset negara yang harus dijaga dan dipelihara sebaik mungkin.

“Tidak ada yang menarik di sini,” begitu ungkapan singkat Mas Antok, beberapa waktu lalu, kala ia berbincang dengan pria itu.

Ya, pada umumnya orang-orang beranggapan bahwa pekerjaan menjadi penjaga museum sepertinya pekerjaan yang sangat membosankan dan tak ada yang menarik. Tapi, benarkah begitu? Tidak. Tak banyak yang tahu bahwa penjaga museum sebenarnya pekerjaan yang menarik dan justru memiliki godaan yang lebih berat dibandingkan profesi apa pun di dunia ini! Sebab, mereka harus menjaga benda-benda yang kelihatannya kuno dan tak bernilai itu. Tapi, di satu sisi mereka juga harus melawan tawaran dari berbagai pihak untuk mencuri benda-benda tersebut.

Seperti pengakuan Malika, salah seorang karyawan magang di Museum Kota. Beberapa waktu lalu ia sempat berbincang dengan mantan pemagang di Museum Kota tersebut dan mendengar sebuah kisah yang sangat mengejutkan. Pengakuan Malika merupakan cerminan bahwa godaan yang harus dihadapi pegawai museum, tidaklah mudah. Gadis belia itu mengaku, selama menjadi karyawan magang di Museum Kota, ia acap mendapat tawaran untuk mencuri benda-benda kuno koleksi museum.

“Awalnya mereka datang sebagai pengunjung museum. Berkeliling dan melihat-lihat koleksi museum. Setelah itu, minta berkenalan dan minta nomor telepon seluler saya. Tak sedikit yang kemudian menelepon dan menawari saya uang puluhan juta untuk sebuah koleksi yang disimpan di Museum Kota. Saya sering kali mendapat tawaran seperti itu. Tapi, saya tak tertarik. Sebab, saya sangat mencintai benda-benda kuno itu,” ujar Malika.

Alex yakin bukan hanya Malika yang mendapat tawaran semacam itu. Ia yakin, hampir semua pegawai museum itu pernah mendapat tawaran serupa. Dan, ia telah menemui mereka satu per satu. Kenyataannya, hanya Malika yang mengakui. Sisanya, tak ada yang secara terang-terangan mengakui.

“Ah, tak ada yang menarik dari koleksi kami ini. Jangankan membeli benda-benda koleksi museum dengan harga puluhan juta, membeli karcis masuk museum seharga Rp5.000 saja, banyak yang keberatan, kok,” kilah Mas Antok, saat Alex menanyakan pertanyaan yang sama.

Kalimat-kalimat itu terus terngiang hingga ia tiba di kantor Nicholas. Ia mendengar pihak kepolisian telah menetapkan tersangka atas kasus pencurian di Musem Kota. Ia melangkah cepat melewati deretan ruang kerja. Ruang kerja Nicholas ada di ujung lorong. Tak seperti bayangannya selama ini tentang sebuah ruang kerja seorang abdi negara, ruang kerja Nicholas terlihat modern, nyaman, dan penuh bertumpuk buku-buku tentang hukum. Rasanya seluruh buku itu bisa menenggelamkan ruang kerjanya. Nicholas tak ada di balik meja kerjanya. Ke mana dia?

“Pak, Kapten Nicholas di mana, ya?” tanya Alex pada salah satu petugas yang melintas di dekatnya.

“Sedang latihan di lapangan belakang, Bu,” jawab petugas itu, sambil berlalu.

Alex pun melangkah cepat menyusuri lorong-lorong. Ia sudah terbiasa keluar-masuk kantor ini untuk mencari berita, sehingga ia tahu persis seluk-beluk kantor ini. Suasana kantor sudah sepi pada pukul 14.00 seperti sekarang ini. Di belakang kantor ada sebuah lapangan yang sangat luas. Para abdi negara sering mempergunakan lapangan itu untuk berbagai kegiatan, mulai dari latihan bela diri sampai melatih anjing pelacak, semua dilakukan di lapangan tersebut.

Siang itu, lapangan terlihat sepi. Hanya ada sosok Nicholas yang tengah latihan menembak di area latihan menembak jarak jauh. Alex hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, melihat pria itu latihan menembak di bawah terik matahari siang. Ia membiarkan pria itu menyelesaikan satu tembakan, sebelum menyapanya.

“Tembakan yang bagus, Kapten!” puji Alex tulus.

Nicholas menoleh. Matanya berbinar. “Kamu terlambat satu jam dari waktu yang kau janjikan. Kurasa sekarang sudah agak lewat dari waktu makan siang,” ujarnya memprotes, tapi tak ada kemarahan.

“Maaf, ada beberapa hal yang harus kuselesaikan. Sepertinya ada hal baru. Sudah mewawancarai karyawan di Museum Kota?”

Sepasang mata cokelat Nicholas menyipit. Entah karena silau terkena matahari siang, entah karena terpengaruh pertanyaan, Alex tak dapat memastikan.

“Sudah. Tentu saja, sudah semua, Tuan Putri. Kenapa?”

“Tahukah kamu, bahwa sebagian besar dari mereka mengaku sering mendapat tawaran untuk mencuri benda-benda koleksi museum dan mereka akan mendapat imbalan yang lumayan besar untuk itu? Tapi, kurasa, temuan ini agak terlambat, karena pihak kepolisian telah menetapkan tersangka. Bukan begitu?”

“Ya,” ada keraguan dalam nada suara Nicholas.

“Dengar, Nicholas, pencurian benda-benda kuno seperti itu biasanya melibatkan orang dalam. Sebab, hanya mereka yang tahu persis ada benda seperti yang diminati pembeli, berikut lokasi penyimpanannya. Orang awam seperti aku dan kamu tak mungkin tahu. Bahkan, kita tak pernah tahu bahwa museum yang dari luar terlihat kumuh itu, mungkin menyimpan segudang harta karun yang nilainya bisa untuk melunasi utang negara kita,” ujar Alex, panjang lebar.

Alex menatap pria jangkung di hadapannya, sibuk mengira-ngira apakah yang tengah bermain-main di dalam pikirannya. Nicholas terlihat lebih pendiam dari biasanya. Adakah gerangan yang dipikirkannya? Kenapa dia latihan menembak di siang bolong seperti ini? Apakah dia tengah berusaha melampiaskan kegusaran hatinya melalui olahraga satu ini?

Ah, kenapa aku memikirkannya? Alex menggelengkan kepala.

“Sudahlah, sepertinya, pikiranmu tidak sedang ke kasus itu. Kita bisa bicarakan hal ini kali lain. Oke?” ujar Alex.
Mata Nicholas kembali berbinar. “Baiklah. Sebenarnya polisi belum menetapkan tersangka. Mau mencoba menembakkan pistol ini?” ujarnya sembari mengang­surkan pistol di tangannya.

Alex meringis, menatap ragu ke pistol di tangan Nicholas.

“Tidak apa-apa. Ini peluru kosong, kok.”

“Selama ini aku hanya memegang jenis pistol ini untuk perma-inan air softgun,” ujar Alex, seolah meminta pengertian Nicholas.

“Hei, aku malah tidak tahu! Ternyata kau sudah familiar dengan benda ini!” seru Nicholas, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Sepasang matanya membola.

“Tapi, aku belum pernah menembak jarak jauh. Lagi pula, sebetulnya, jenis pistol ini agak terlalu maskulin untukku. Apakah aku harus berdiri begini?” sahut Alex dengan wajah tersipu.

Entah kenapa ia tak ingin Nicholas mengetahui sisi lain Alex yang sangat maskulin untuk ukuran seorang wanita. Alex mengambil posisi berdiri dengan tangan teracung memegang pistol.

“Ya, seperti itu. Sebentar,” suara Nicholas terdengar dari balik bahunya. Sesaat ia merasakan kehadiran pria itu di belakangnya. Suara dan desah napasnya terasa membelai telinga. “Rentangkan kakimu sedikit. Pegang pistol. Kunci pengaman sudah dilepas?” tanya Nicholas. Tangannya membetulkan posisi tangan Alex.

“Ya.”

“Oke, sekarang bidik sasaran dan tarik pelatuknya,” ujarnya, seraya menarik tangannya dari tangan Alex yang teracung.

Alex membidik sasaran dan melepaskan tembakan. Terdengar letusan keras, tubuhnya terentak ke belakang. Tapi, ia tak terjatuh, karena ada tubuh Nicholas di belakangnya.

Alex berbalik. “Bagaimana?” Ia meminta pendapat Nicholas.

“Bagus. Tembakanmu lumayan bagus. Sedikit meleset dari titik sasaran. Tapi, untuk seorang pemula, not bad,” puji Nicholas.

Alex tersenyum, tak dapat menyembunyikan rasa bangga yang membuncah di dadanya.

Mereka bertatapan. Baru sekali ini mereka berdiri begitu dekat dan ia bisa leluasa mengagumi keelokan wajah Nicholas. Tangan Nicholas terulur, mengusap keringat, sekaligus merapikan poni di dahi Alex. Sementara sepasang mata cokelat itu menyapu matanya. Sesaat, ia mengira pria itu akan mendekat dan mencium bibirnya….

“Alex, aku ingin bertanya padamu. Jika engkau dihadapkan pada dua pilihan yang saling bertolak belakang, manakah yang akan kau pilih? Rasiomu atau suara hati kecilmu?” kata Nicholas tiba-tiba, tanpa memberi kesempatan Alexandra bersuara.

“Tergantung sekompleks apa masalahnya. Tapi, biasanya, pikiran hanya bisa menilai benar atau salah. Karena itu, aku lebih banyak mendengarkan suara hati kecilku.”

“Jika menyangkut cinta, manakah yang lebih kau kedepankan? Rasio atau hati kecilmu?” Kembali mata cokelat itu menyapu penuh rasa ingin tahu.

Alexandra tak mengerti hendak ke mana arah pembicaraan Nicho­las itu. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia dapat meraba bahwa Nicholas tengah berada dalam kebimbangan.

“Cinta? Setahuku, cinta itu memiliki dua unsur, yaitu rasio dan kata hati, yang harus dipenuhi. Sebab, bila hanya mengandalkan salah satu dari kedua unsur tersebut, bisa fatal akibatnya. Maka, ketika mencintai seseorang, kita tetap harus mempergunakan kedua unsur itu.”

“Jawabanmu normatif sekali, Nona!” ledek Nicholas.

“Aku belum selesai. Idealnya, seperti itu. Tetapi, nyatanya, aku tidak pernah bisa begitu. Aku selalu mengikuti kata hatiku dan jarang memakai rasioku. Akibatnya, yah… berkali-kali patah hati dan tertipu pria!” ujar Alex. Ingatannya melayang pada kisah cintanya yang telah berlalu.

“Alex, tahukah kamu bila hatiku telah terpaut padamu? Namun, rasioku melarangku, sebab…,” Nicholas memenggal kalimatnya sesaat. Ia terlihat berat untuk mengucapkannya. “Sebab, aku sudah punya tunangan di Jakarta. Ini pasti terdengar konyol dan gombal sekali di telingamu. Tapi, harus kuakui, nyatanya aku tidak mencintainya. Aku menerimanya menjadi tunanganku hanya karena pertimbangan-pertimbangan rasional semata. Karena dia anak atasanku dan ketika itu, aku pikir, tak ada salahnya belajar mencintai seseorang. Nyatanya, aku tak bisa.”

Alexandra terdiam mendengar pengakuan Nicholas barusan.

“Makin kulawan perasaan ini, justru tumbuh makin kuat. Beri aku waktu untuk menyelesaikannya. Oke?” suara Nicholas terde­ngar bak gemirisik dedaunan yang tertiup angin di telinganya.

“Nicholas, kau tak harus melakukannya. Biarkan aku yang pergi dari kehidupanmu,” kata Alex, menggeleng.
Entah mengapa mendadak ada rasa nyeri di dalam dadanya.Seperti ada sebuah paku raksasa yang dihujamkan ke hatinya.

Mereka saling tatap dalam hening.

“Bagaimana bila aku tak mengizinkanmu pergi dari hidupku?” bisik Nicholas. Kalimatnya mengapung di udara, di antara mereka berdua. Alex membiarkan bisikan itu menelusup ke dalam hatinya, memberinya rasa nyaman yang aneh.

Beberapa hari terakhir ini, ada bagian dari dirinya yang terasa kosong dan meninggalkan lubang sangat dalam, seperti bekas lubang galian pipa PDAM. Alex mengetuk-ngetukkan pensilnya di meja, sementara layar komputer di depannya masih kosong. Ia tak tahu hendak menuliskan apa di layar seputih kertas itu. Padahal, sore nanti, tajuk rencana itu sudah harus jadi. Semua terasa bagaikan mimpi. Semua kebahagiaan yang dihadirkan Nicholas terasa seperti hujan yang begitu singkat, tapi terasa sangat membekas, di tengah musim kemarau yang menyengat.
“Kau tidak sedang terlibat masalah hukum, bukan?” sebuah suara menariknya kembali ke dunia nyata.

Alex mengangkat kepalanya dari layar komputernya dan menemukan seraut wajah cantik milik Nadya tengah menatapnya dari balik sekat meja kerja.

“Astaga, tidak tentu saja. Kenapa?” Alex balik bertanya.

“Kalau tidak, kenapa ada polisi rajin mencarimu?”

“Polisi?” Alex mengernyitkan kening.

“Itu… di lobi. Dia menunggumu dari tadi. Berhari-hari ini dia mencarimu, Alex, dan kau berlagak seperti buronan yang mati-matian menghindari pertemuan dengannya. Seandainya aku tahu ada penyidik setampan dia, mungkin dari dulu aku sudah jadi perampok bank atau residivis kambuhan, agar setiap hari bisa bertemu dengannya di kantor polisi!” kata Nadya.

“Astaga, Nadya!” Alex memelototkan matanya ke sahabatnya. Nadya tertawa terkikik.

“Kalau begitu, cepat temui dia, Nona Sok Sibuk! Belum pernah aku melihat seorang pria begitu kebingungan seperti dia. Sebetulnya, ada apa, Alex? Kenapa tiba-tiba kau menghindarinya setengah mati?”

Alex menghela napas. Ceritanya terlalu panjang, Nad, hatinya berbisik lirih. Seluruh peristiwa itu berputar kembali di benaknya. Dari kencan-kencan manis yang tak terlupakan, percakapan-percakapan panjang dan lama di antara mereka, lalu… mendadak, bum! Semuanya itu mendadak terenggut begitu saja oleh pengakuan Nicholas tentang tunangannya di Jakarta sana.

Betapa ironisnya hidup ini. Setiap hari, setiap waktu, pria itu sela­lu bersamanya, berbagi suka-duka, berbagi cerita dan harapan. Namun, suatu saat nanti -entah kapan- pria itu akan kembali ke Jakarta untuk menjemput putri impiannya dan melupakan seluruh momen manisnya bersama Alex. Sungguh menyakitkan, karena selama ini ia menganggap dirinyalah yang menjadi putri impian Nicholas!

Bagaimana mungkin seorang pria bisa mendua dengan semudah itu? Saat menghabiskan waktu bersama Alex, dia menunjukkan cinta yang begitu besar. Namun, Alex juga percaya, saat bersama wanita itu, Nicholas juga akan menunjukkan cinta yang sama besarnya pula. Lantas, apa arti semua kata-kata cinta itu selama ini?

Kata-kata hanyalah sekadar kata-kata tanpa makna, bila tak ada tindakan nyata, Alex…. Hati kecilnya mengingatkan.

“Alex,” Nadya mengguncang lengan Alex.

Mata sahabatnya itu terlihat berkaca-kaca. Seumur hidupnya, belum pernah ia melihat Alex sesedih itu. Mereka memiliki kepribadian yang saling bertolak belakang. Dia lebih pendiam dan serius, sementara Alex tak pernah terlihat murung. Bila sekarang Alex terlihat sangat sedih, pasti ada sesuatu yang benar-benar tak beres. Ia sering mengkhawatirkan sahabatnya itu.

Kadang-kadang Nadya khawatir Alex tak cukup menarik perhatian kaum adam. Buktinya, sampai usianya memasuki kepala tiga, Alex masih saja melajang. Padahal, sebenarnya Alex sangat cantik dan baik hati. Ia tak hanya menjadi reporter, tetapi juga sibuk mengajar dan sesekali menjadi relawan di panti jompo. Dan sekarang, makhluk menakjubkan itu tengah berduka.

Rasanya seluruh alam juga ikut bersedih bersamanya. Mendung tebal menggayuti langit di luar sana. Konon, kata orang, ketika hujan turun berarti para bidadari di surga tengah meneteskan air mata. Dan sekarang, salah satu bidadari itu tengah bersiap menitikkan air mata!

“Pernahkah kau merasakan cinta dan kebencian kepada seseorang yang begitu besar di saat bersamaan?” tanya Alex, pelan.

“Cinta dan benci itu batasnya memang sangat tipis, Alex. Lihat saja para selebriti kita. Ketika cinta masih terasa sepanas bara api, mereka tak segan-segan menunjukkan kemesraan di depan publik. Tetapi, saat masalah melanda, begitu cinta di antara mereka mulai memudar, mereka berubah menjadi dua seteru yang saling menghujat,” kata Nadya, sok filosofis.

Alex menghela napas. “Kau benar, Nadya. Cinta hanyalah sekadar kata-kata, jika tak ada tindakan nyata,” gumam Alex, lirih.

“Siapa yang kau maksud? Nicholas? Bila menyangkut dia, aku yakin dia mencintaimu dengan segenap jiwa raganya, Alex. Lihat matanya, betapa dia sangat memujamu, Alex!” kata Nadya.

Ia pernah satu kali menemani Alex makan siang bersama Nicholas. Dan, ia dapat merasakan daya tarik di antara keduanya yang sangat besar.

“Kalau dia mencintaiku, maka dia tidak akan mendustaiku, Nadya! Semestinya dia mengatakan dari awal tentang fakta yang sebenarnya, bahwa dia sudah punya tunangan di Jakarta!”

“Mungkin dia sendiri juga sedang bingung menghadapi situasi ini, Alex. Cobalah berada di posisinya. Bersabarlah. Berilah waktu bagi Nicholas untuk menyelesaikan satu per satu.”

“Tetapi, entah kenapa, aku merasa telah dipermainkan olehnya. Aku tidak bisa menerima itu. Namun, di sisi lain, aku juga menginginkan Nicholas!”

“Itu wajar, Alex. Mungkin sebenarnya dia tidak bermaksud mempermainkanmu. Dia sedang bingung dengan situasi yang dihadapinya. Buktinya, dia berhari-hari mencarimu, meneleponmu, dan melimpahimu dengan bunga. Apakah itu bukan sebuah bukti bahwa dia tak berniat setitik pun untuk mempermainkan perasaanmu?”

Alex terdiam. Nadya benar. Setelah peristiwa itu, dia mati-matian menghindari Nicholas. Selama beberapa saat Nicholas juga menghilang, namun tak berapa lama dia muncul lagi dan melimpahinya dengan berjuta bentuk perhatian.

“Ayolah, Alex, jadilah wanita dewasa. Jangan terus-terusan ngambek seperti ini. Temui dia, bicaralah dengannya. Biarkan dia tahu perasaanmu. Begitu pula sebaliknya. Biarkan dia bicara dan menjelaskan semuanya. Sebab, kalau kau terus-menerus bertahan dalam kemarahan seperti ini, tanpa mendengar penjelasan apa pun darinya, kau hanya akan bermain-main dengan pikiran-pikiranmu sendiri. Padahal, pikiran-pikiranmu itu belum tentu benar. Oke?”

“Baiklah,” sahut Alex. Ia merapikan pakaiannya.

“Dia bilang ingin melihat foto-fotomu di Candi Prambanan kemarin. Katanya, dia masih belum puas melihat arca Agastya dan Nandiswara. Jadi, sebaiknya kau siapkan foto-foto yang dia maksud&kan itu,” kata Nadya, mengingatkan.

Alex mengambil flash disk-nya. Foto kedua arca itu telah ia pindahkan dari kamera ke flash disk. “Aku pergi dulu, ujarnya.

Nadya tersenyum. “Kau sudah berhasil membuatnya tergila-gila padamu, Nona Sok Sibuk! Syukurilah itu!” teriak Nadya.

“Aku tidak mengerti dengan semua ini,” ujarnya, ketika sudah sampai di depan Nicholas. Ia sengaja menghindari kontak mata.

Alex mengangsurkan koran hari ini yang berisi berita tentang penetapan Pak Yadi sebagai tersangka pencuri kedua arca milik Museum Kota. Nicholas membaca sekilas.

“Ada saksi yang melihat dia mengangkut patung itu,” sahut Nicholas, tak bersemangat. Ia datang menemui Alex bukan untuk membicarakan berita headline di koran hari ini.

“Mengangkut belum tentu mencuri. Bisa saja dia mengangkut patung itu untuk dikembalikan ke lokasi semula, yaitu di teras museum. Dia pria lugu dan sangat berdedikasi pada benda-benda di museum itu. Waktu itu, mungkin dia heran kenapa patung-patung itu tiba-tiab tergeletak di halaman samping dan bukannya di teras museum, tempat semestinya?”

Nicholas terdiam.

“Kurasa polisi harus mewawancarai Antok. Pria itu baru 5 tahun menjadi asisten kepala museum. Menurut keterangan yang kuperoleh, yayasan tidak mengangkatnya menjadi karyawan, sebab yayasan sedang kesulitan finansial. Otomatis yang menggaji dia adalah kepala museum, itu pun jumlahnya tak seberapa. Tapi, lihatlah, dalam kurun waktu lima tahun itu, aset pribadinya membengkak luar biasa. Dia punya rumah mewah, punya tanah di mana-mana dan mobil baru. Dari mana dia dapatkan itu semua?”

“Dia punya pekerjaan sampingan mungkin?” balas Nicholas.

“Ya. Dia punya warung kecil-kecilan di desanya sana. Tapi, warung itu baru berdiri tiga tahun lalu. Dan, mustahil bisa balik modal dalam waktu tiga tahun, mengingat lokasinya yang berada di tengah-tengah permukiman penduduk kelas bawah!”

“Jadi, maumu bagaimana? Menangkap dia?”

“Bukan begitu. Kumpulkan bukti sebanyak-banyaknya untuk menjerat dia, baru tangkaplah dia!”

“Kau sudah mengarahkanku pada seseorang. Dalam dunia hukum, dikenal istilah asas praduga tak bersalah,” Nicholas mengomel.

“Kita tetap boleh menaruh curiga pada seseorang, kok, asalkan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah.”
Hening.

“Kau benar-benar tak mau membicarakan masalah kita, Alex?”

“Apa perlunya?” Alex balik bertanya.

“Kau tidak ingin mengetahui perasaanku dan apa yang terjadi sesungguhnya?”

Alexandra menghela napas.

“Tolong, Alex, jangan menghindariku terus-menerus, seolah aku ini penderita flu burung yang patut dihindari. Situasinya sangat rumit. Aku tidak mencintainya. Kami dijodohkan dan dia anak atasanku.”

“Ya, berarti kau harus menikahinya, sebab dia anak atasanmu!” cibir Alex.

“Alex, berarti aku harus mengabaikan perasaanku? Hati kecilku? Kau sendiri yang bilang bahwa untuk urusan cinta, kita tetap harus memerhatikan suara hati dan rasio, tidak boleh timpang sebelah.”

Alexandra mengangkat bahu. “Banyak orang bisa melakukannya, menikah tanpa landasan cinta. Toh, mereka baik-baik saja.”

“Apakah kau tahu pasti mereka bahagia atau tidak? Tidak tahu, bukan? Kau ingin aku seperti itu?”

Alexandra mengangkat bahu lagi. Separuh hatinya menjerit pilu. Jangan lakukan itu, Nicholas!

Alex melirik arlojinya. “Aku harus pergi mengejar pesawat pukul 10.00,” ujarnya, pendek.

“Pergi?”

“Ya. Aku sudah mengambil cuti dan memesan tiket pesawat.”

“Ke mana?”

“Malaysia.”

“Ya, Tuhan, jauh sekali. Mau apa kau ke sana?” Ada nada kehilangan dalam suara Nicholas.

“Kalau kau masih berminat mengungkap kasus ini, temui aku di sini, Nicholas,” ujar Alex, seraya mengangsurkan secarik kertas.

Nicholas membaca tulisan di kertas itu. Alexandra menunggu.

“Hanya untuk kasus ini? Bagaimana dengan hubungan kita? Kau tidak ingin melanjutkannya?”

Alex menghela napas. “Kalau kau mau datang menemuiku, berarti kau sudah punya keputusan. Bila tidak, maka berarti lupakan semua,” ujar Alex, tegas.

Nicholas menyisipkan kertas yang diberikan Alex ke saku jaketnya. Wanita ini sudah gila! Tetapi, ia pasti lebih gila lagi, karena sejak awal selalu memercayai semua omongan Alex, yang belum terbukti kebenarannya. Meskipun di belakang hari barulah terbukti bahwa Alex tidak pernah sembarang bicara. Ia terpaksa harus mengakui ketajaman insting Alex.

Bagaimana mungkin ia bisa berurusan dengan Alex? Padahal, sebelum mengenal Alex, hidupnya baik-baik saja. Namun, sejak Alexandra hadir, hidupnya langsung terjungkir-balik tak keruan. Lihatlah yang dilakukan Alex dalam kehidupannya. Alex telah berhasil memorak-porandakan hati dan seluruh akal sehatnya.

Berhari-hari ia berusaha menghalau Alex dari pikirannya. Namun, makin kuat dia mengelak, makin kuat pula rasa rindu pada Alex itu mencekam hatinya. Bermalam-malam dia habiskan untuk berpikir, menimbang, dan merenung, hingga ia sampai pada satu kesimpulan. Hatinya telah memilih Alex dan dia akan mengakhiri pertunangannya. Ia belum mengatakan hal itu pada seluruh keluarga besarnya. Mungkin ia memang sudah kehilangan akal sehatnya dan semua itu gara-gara Alex!

Pesawat yang ditumpanginya mendarat dengan mulus di Kuala Lumpur International Airport. Sinar matahari yang hangat menyambutnya, saat ia menjejakkan kaki kembali di tanah. Kakinya menapak ringan. Satu lagi kasus kriminal berhasil dituntaskannya. Pihak kepolisian telah menetapkan tersangka pencurian arca Agastya dan Nandiswara.

Seperti dugaan Alex, pelakunya Mas Antok. Orang kepercayaan sang ketua yayasan itu ternyata justru menjadi duri dalam sekam di tubuh museum. Secara berkala, ia rajin menyelundupkan benda-benda koleksi ke luar dari museum. Berawal dari naskah kuno. Karena jumlah naskah kuno sangat banyak dan tak terinventaris dengan baik, maka aksinya itu tak ketahuan. Selanjutnya, makin lama aksi pencuriannya meningkat, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Puncaknya adalah raibnya arca Agastya dan Nandiswara ini.

Nicholas menghela napas. Ingatannya melayang kembali pada Alex. Sekalipun Alex masih marah padanya, wanita itu masih rajin mengiriminya e-mail dan bercerita tentang setiap perkembangan yang berhasil dicapainya. Menurut Alex, ia sudah berhasil melacak kedua patung itu. Salah satu temannya dari Harian Bernama telah membantu upaya pencarian kedua patung itu.

“Aku mendengar kabar dari seorang kolektor, bahwa patung-patung itu telah keluar dari wilayah RI dan telah sampai di Malaysia. Karena itu, aku harus pergi ke Malaysia,” begitu tulis Alex dalam email-nya. “Aku tidak mau mendengar berita saat kedua patung itu tiba-tiba muncul di balai lelang. Karena itu, aku harus menjemput mereka segera di Malaysia, sebelum mereka dibawa ke luar!”

Nicholas tersenyum. Sekalipun dalam kondisi marah, Alex masih memiliki selera humor yang bagus. Itulah yang dia sukai dalam diri Alex. Sesulit apa pun keadaan yang dihadapinya, wanita itu tak pernah berkeluh kesah. Sebaliknya, ia selalu menjadikannya bahan banyolan yang lucu.

Di tanah asing ini, Nicholas tak perlu takut bakal tersesat. Sebab, Alex sudah menjelaskan semua. Jadi, ia tak perlu bertanya ke sana-kemari. Dia tinggal mengikuti semua petunjuk Alex. Dari bandara internasional ia naik bus menuju KL Sentral. Dari sana nanti, ia harus berganti kereta monorail untuk menemui Alex di Stasiun Titi Wangsa. Ia hanya membawa tas ransel, sebab ia memang tak berniat berlama-lama di Kuala Lumpur. Ia hanya ingin menjemput dan meminang Alex.

Nicholas tersenyum. Pelan, meraba kotak terbungkus beludru lembut di saku kemejanya. Ia sudah mantap dengan keputusannya. Cincin ini akan menjadi bukti rasa cintanya pada Alex. Tetapi, tiba-tiba senyumnya raib dari wajahnya. Nicholas mengusap matanya berkali-kali. Ia tak yakin pada pengelihatannya sendiri. Tapi, sosok yang dilihatnya itu bukan fatamorgana.

Ia melangkah menghampiri sosok yang masih asyik melihat-lihat jadwal penerbangan itu.

Tiga jam sebelumnya…
Alex menghela napas, menikmati keindahan yang terbentang di depan matanya. Ketika kali pertama menginjakkan kaki di Kuala Lumpur dua tahun lalu, Alex langsung jatuh hati pada kota ini. Dan kini, dia kembali lagi. Bukan untuk liburan, melainkan untuk sebuah urusan menyangkut aset bangsa yang harus diselamatkan. Alex suka Kuala Lumpur karena kota ini sangat modern, namun tenang dan tak sepadat Jakarta.

Rasanya seperti berada di kota Solo, namun dalam versi yang lebih modern, pikir Alex.

Kereta monorail yang membawanya dari Stasiun Bukit Bintang menuju Stasiun Titi Wangsa, melaju tenang, nyaris tanpa suara. Boleh dibilang kereta lumayan sepi penumpang, mungkin karena bertepatan dengan jam kantoran. Tak tampak rombongan pekerja ataupun anak sekolah di dalam kereta. Hanya dia dan beberapa turis Jepang. Kereta terus bergerak, membelah belantara hutan beton.

Sesekali, dia dapat melihat menara kembar Petronas mengintip dari sela-sela gedung pencakar langit lainnya.
Alex menghela napas panjang. Kenangan tentang masa lalunya yang pahit, melintas lagi di benaknya. Seperti menara kembar Petronas yang selintas-selintas terlihat dari balik gedung-gedung pencakar langit lainnya itu, begitu juga kenangannya tentang pria itu. Pria yang pernah menorehkan sejumput luka di hatinya dua tahun lalu.
“Maafkan aku, Alex, aku tak bisa meneruskan hubungan ini. Karena terlalu banyak perbedaan di antara kita,” begitu ucapan pria itu.

Perbedaan yang menjadi alasan, padahal Alex tahu pasti wanita lainlah yang telah hadir mengusik kebersamaan mereka. Kini luka dan ketakutan terluka lagi itu, masih ada. Namun, Alex sadar, bila ia ingin menemukan cinta, maka ia tak boleh selalu terpaku pada masa lalu. Bila ingin menemukan cinta, maka dia harus menceburkan diri sepenuhnya ke dalam lautan cinta! Oh, lagi-lagi ia terpengaruh pemikiran Jalaluddin Rumi. Ia tersenyum sendiri.

Kereta sudah memasuki Stasiun Titi Wangsa. Alex berdiri, menepis remah-remah roti dari celana jinsnya, seperti menepis serpihan-serpihan kenangan yang menyakitkan dari hidupnya. Ia pun turun dengan mantap. Panas matahari langsung membakar kulitnya, saat ia melangkah menyusuri jalan untuk mencari alamat yang tertera di kertas yang dibawanya. Dia memperoleh alamat itu dari temannya, seorang wartawan harian Bernama Malaysia.
“Kamu coba datang saja ke toko milik teman saya ini. Dia bisa bantu kamu,” begitu pesan temannya itu lewat e-mail.

Setelah berjalan beberapa blok, plus berkali-kali berhenti untuk melihat peta, akhirnya ia menemukan toko yang dimaksud. Sebuah toko kecil, menyelip di antara bangunan-bangunan tinggi menjulang. Letaknya juga tak terlalu strategis, di dalam perkampungan padat penduduk. Tanpa ragu, ia langsung mendorong pintu yang menimbulkan bunyi bergemerincing. Agaknya, sang pemilik toko sengaja menempatkan lonceng di atas pintu masuk.

“Halo, ada orang?” sapa Alex dalam bahasa Inggris.

Sekilas, ia melihat benda-benda kuno yang dipajang di toko itu. Seorang pria tua tergopoh-gopoh keluar dari balik pintu hubung. Agaknya, toko ini punya dua ruangan.

“Ya, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, dalam bahasa Inggris yang lumayan fasih.

Oh, syukurlah! Temannya di harian Bernama pernah bercerita bahwa orang Malaysia tak begitu fasih berbahasa Inggris. Mereka lebih suka mempergunakan bahasa Melayu. Tetapi, meski satu rumpun dengan Indonesia, bahasa Indonesia yang mereka pergunakan agak sulit dipahami oleh orang Indonesia.

“Saya Alexandra dari Indonesia,” kata Alex, sambil mengulurkan tangan.

“Oh! Alex! Ya… Tuan dari Bernama itu sudah bercerita tentang Anda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab pria itu, sambil melompat ke sisi Alex dan mengambil sikap sebagai kurator, yang siap memberikan keterangan tentang benda-benda kuno tersebut.

“Saya dengar, Anda punya barang yang saya cari,” ujarnya singkat.

Mata pria itu langsung berbinar. “Wah, Anda punya selera yang bagus terhadap benda-benda kuno!”

Kemudian ia membimbing Alex ke salah satu sudut toko. Di situ berdiri patung Agastya. “Ini patung Agastya. Ia bentuk lain dari Siwa…,” pria itu nyerocos menjelaskan Arca Agastya yang terpajang di lemari pajangan.

Dalam mitologi Hindu, Agastya dianggap sebagai pendeta yang menyebarkan agama Hindu di India Selatan. Karena jasanya itulah, dia dianggap sebagai salah satu aspek dari Dewa Siwa Mahayogi. Bentuk arcanya, Agastya digambarkan berdiri, bertangan dua, dan berjanggut panjang. Dalam konstelasi arca pada candi Hindu, Agastya diletakkan pada salah satu sisi ruang candi utama. Ia seperti mendengar suara pegawai dari Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang bersemangat menjelaskan patung Agastya di Candi Prambanan beberapa waktu lalu.

Tapi, patung di toko itu, berbeda dari patung koleksi Museum Kota. Setidaknya, patung di toko itu punya badan, bukan hanya berwujud kepala, seperti benda yang hilang dari Museum Kota. Tetapi, bisa juga sama. Bisa saja, pencurinya memesankan tubuh patung itu kepada pemahat.

Pertanyaan Nicholas yang sangat naif kembali terngiang. “Kenapa hanya kepala Agastya dan Nandiswara yang dicuri dari Museum Kota?”

“Kamu tahu kenapa?” ulang Alex, melemparkan tatapan lembut kepada pria yang telah membuat hatinya meleleh itu.

Nicholas menggeleng.

“Kamu pernah pergi ke Candi Borobudur atau candi-candi lain di negeri ini? Coba amati, beberapa patung telah hilang kepalanya. Kenapa? Yang jelas, bukan karena kepala-kepala itu terlepas dan menggelinding entah ke mana.”

“Lantas, kenapa?” ulang Nicholas, naif.

“Karena, aspek yang paling penting dan berharga dari sebuah patung adalah…kepalanya. Itulah sebabnya, banyak arca di candi-candi Indonesia kehilangan kepalanya. Di masa penjajahan Belanda, pemerintah Belanda juga kerap menjadikan kepala patung-patung itu sebagai suvenir kepada negara sahabat. Maka, tak heran bila banyak pencuri yang hanya mengambil kepala patung. Mereka tak perlu susah-susah menggotong seluruh tubuh patung yang berat. Cukup kepala, sudah laku dijual,” jelas Alex panjang lebar.

Alex mengamati Arca Agastya dengan hati bertanya-tanya, kenapa seluruh orang menginginkannya? Apakah keistimewaannya, sehingga seluruh orang sepertinya rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya? Sayangnya, ia tak dikaruniai bakat untuk menaksir keaslian patung itu yang diklaim berasal dari abad ke-7 SM. Sebab, bisa saja, arca Agastya itu buatan zaman sekarang.

“Bagaimana dengan Nandiswara? Anda punya?” tanya Alex.

Pria itu kembali manggut-manggut.

“Saya punya semua yang Anda inginkan, Nona. Sebenarnya, kedua patung ini sudah diminati orang. Tetapi, kelihatannya Anda berminat sekali dan sangat mengerti tentang patung-patung ini. Rasanya, saya lebih suka melepaskannya buat Anda, kalau harganya cocok,” ujar pria itu.

Alex menghela napas. “Sir, bisakah Anda menahan selama beberapa saat kedua patung itu untuk saya? Saya janji akan kembali lagi,” ujar Alex, mantap. Ia tak bisa memastikan apakah patung-patung di toko itu benar merupakan koleksi Museum Kota yang raib enam bulan lalu. Ia harus kembali ke tempat ini dengan ahli yang bisa menaksir dan petugas kepolisian, mungkin, untuk masalah penyitaan. Ia tak berani masuk terlalu dalam, karena sudah memasuki wilayah hukum antarnegara.

“Well, karena saya sudah kenal baik dengan tuan dari Bernama itu, bolehlah. Tapi, jangan terlalu lama. Sebab, banyak yang berminat.”

Alex mengangguk. “Saya janji secepatnya kembali ke sini! Saya tinggalkan ini dulu sebagai jaminan. Tapi, saya juga minta bukti penerimaan dari Anda. Oke?” Ia menyerahkan selembar cek. Pria itu mengangguk dan membuatkan kuitansi untuknya.

Ia melirik arlojinya. Sudah waktunya ia kembali ke Stasiun Titi Wangsa. “Terima kasih atas waktunya, Sir. Senang bertemu Anda,” ujarnya, seraya menjabat tangan pria itu.

Setengah berlari Alex meninggalkan toko itu menuju Stasiun Kereta Monorail Titi Wangsa. Panas matahari yang menyengat dan asap kendaraan, tak lagi dihiraukannya. Ia yakin Nicholas akan datang. Ia yakin Nicholas telah sampai pada satu keputusan. Sebab, ia tak ingin lagi dipermainkan. Bila Nicholas menginginkan dan mencintainya, maka dia harus menunjukkannya lewat perbuatan, bukan sekadar kata-kata tanpa makna.

Ia berlari melompati anak tangga menuju Stasiun Titi Wangsa.

Waktu Sekarang
Waktu terasa berputar dengan cepat. Tiba-tiba saja jarum di arlojinya telah menunjukkan pukul 13.00 waktu Malaysia. Ia sudah terlambat setengah jam dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu Alexandra. Sementara kereta monorail yang ditumpanginya seolah tak cukup kencang berlari mengejar sang waktu.

Semua ini gara-gara Keisha, wanita yang dilihatnya sedang asyik melihat-lihat jadwal penerbangan bersama seorang pria. Wanita yang sudah dua tahun ini mengenakan cincin pertunangan darinya. Gara-gara terlibat pertengkaran kecil dengan Keisha, Nicholas tertinggal kereta yang seharusnya dinaikinya. Terpaksa ia menunggu kereta berikutnya. Masih segar terbayang di ingatannya ekspresi keterkejutan di mata Keisha, saat Nicholas menghampiri dan menyapanya.

“Nicholas? Apa yang kau lakukan di sini?” desah Keisha.

“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu!” balas Nicholas, seraya melirik pria di samping Keisha. Pria itu terlihat bergerak gelisah, merasa tak nyaman dengan situasi tersebut.

“Aku sedang liburan, sambil menunggu masa kuliahku mulai lagi,” jelas Keisha.

Well... well, sungguh mengejutkan! Tunanganku tengah menikmati libur musim panasnya di Malaysia dan ia sama sekali tak bercerita kepadaku! Nicholas membatin, sembari sibuk mengira-ngira, sudah berapa lama Keisha menjalin hubungan dengan pria tersebut. Namun, entah kenapa, ada perasaan lega dalam hatinya. Ternyata, bukan hanya dia yang menginginkan terlepas dari ikatan tersebut.

“Lantas, siapa dia?” tanyanya, tak dapat menyembunyikan rasa kesalnya, lantaran telah dibohongi Keisha.

“Dia….”

“Siapa dia, Keish? Pria iseng yang mengganggumu?” Pria di samping Keisha langsung maju.

Nicholas mengangkat bahu. “Kurasa, Andalah yang mengganggu kami berdua.”

“Sebentar, Lud!” ujar Keisha pada pria itu.

Keisha menyeret Nicholas menjauh. “Aku tidak bahagia dengan ini semua, Nicholas. Aku sudah punya pilihan sendiri, tapi Papa selalu memaksakan kehendaknya. Bisakah kita hentikan ini semua?” ujarnya, dengan mata penuh permohonan.

“Kita bicarakan masalah ini di Jakarta saja, oke? Masa liburan musim panasmu masih panjang, bukan? Kurasa kau masih sempat mampir sebentar ke Jakarta, sebelum kembali ke London.”

“Ya. Tapi, aku takut mengatakannya. Bagaimana dengan Papa dan Mama?”

Air mata terlihat menggenangi kedua matanya. Keisha sangat cantik, sebenarnya. Hati pria mana pun pasti akan luluh jika melihatnya, terutama jika ia menangis seperti itu.

“Jangan takut, Keish. Aku akan datang dan menjelaskan semuanya pada Papa, tanpa menyinggung insiden ini,” hibur Nicholas.

“Terima kasih, Nicky. Kau sangat baik. Kuharap, kau baik-baik saja dan segera menemukan pengganti yang lebih baik.”

“Terima kasih. Aku baik-baik saja, Keish. Jangan khawatirkan aku. Tapi, sekarang aku harus pergi, karena ada urusan yang sangat penting,” ujarnya tergesa, tiba-tiba ingat Alex yang pasti sudah gelisah menunggunya di Stasiun Titi Wangsa. “Selamat tinggal. Selamat bersenang-senang!”

Nicholas melambaikan tangan dan melompat masuk ke bus yang akan membawanya ke KL Sentral. Dari sana nanti, dia masih harus berganti kereta monorail menuju Stasiun Titi Wangsa untuk menjemput putri impiannya.
Dan sekarang, dia duduk sendiri di dalam kereta yang membelah hutan beton. Sibuk memikirkan Keisha dan Alexandra, dua wanita yang hadir mengisi hidupnya dengan cara yang sungguh sangat berbeda. Keisha selalu manja dan menuntut perhatian berlebih. Itulah yang membuatnya merasa sangat dibutuhkan oleh wanita itu. Sementara, Alexandra sangat mandiri, sedikit tak acuh dan dingin. Kadang-kadang, ia tak yakin apakah Alex menginginkan dan membutuhkan kehadirannya?

Namun, hatinya telah memilih Alex. Ia tak dapat mengingkari hati kecilnya. Ia tak bahagia bila sehari saja tak mendengar suara Alex atau menatap ekspresi wajahnya kala ia menjelaskan sesuatu dengan bersemangat.
Ia bisa saja berkilah bahwa Alex hanyalah batu sandungan kecil dalam hubungan percintaanya dengan Keisha. Namun, nyatanya itu tak benar. Berhari-hari ia berusaha melupakan Alex dan menepiskan Alex dari pikirannya. Tapi, makin ia menolak Alex, hati kecilnya makin tak bahagia. Ia membutuhkan Alex lebih dari apa pun di dunia ini.
Ya, hanya bersama Alex ia bisa bebas bercerita apa saja, kenyamanan yang selama ini tak pernah diperolehnya dari Keisha. Bersama Alex, ia seperti menemukan teman diskusi yang tepat. Buktinya, mereka selalu betah ngobrol berjam-jam dan seperti tak ada habis-habisnya topik yang mereka obrolkan. Seperti bendungan ambrol, obrolan mereka mengalir deras.

Kereta yang ditumpanginya telah sampai di Stasiun Titi Wangsa. Nicholas berdiri dan bersiap melompat turun. Pintu-pintu terbuka secara otomatis. Ia dan beberapa penumpang melompat turun. Tak berapa lama, pintu di belakangnya kembali menutup dan kereta itu bergerak pergi meninggalkannya.

Nicholas mencari sosok yang dicintainya. Di mana dia? Mungkinkah sudah terlambat baginya untuk mengungkapkan semua isi hatinya? Nicholas mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru stasiun. Dan... itu dia! Ia melihat kelebat tubuh Alex di antara tubuh para penumpang yang tengah berjalan menuruni tangga, menuju pintu keluar. Nicholas berlari secepat kakinya bisa melangkah.

“Alex!” ia berteriak, sambil melompati dua anak tangga sekaligus.

Oh, syukurlah, Alex mendengar teriakannya. Wanita itu menghenti-kan langkah dan menunggunya di ujung anak tangga, membiarkan o-rang-orang melewatinya.

Dengan satu lompatan, Nicholas mendarat tepat di depannya. “Oh, syukurlah aku bisa menemukanmu!” ujarnya, penuh rasa syukur.

Senang rasanya bisa melihat Alex kembali, sekalipun wajah cantik itu terlihat lelah dan marah.

“Kau terlambat 30 menit, Nicholas. Kupikir, kau tidak datang dan melupakan semuanya!”

“Bila aku sudah berjanji datang, maka aku pasti datang, Alex, sekalipun mungkin kau memintaku untuk menemuimu di ujung dunia sana! Maaf, aku terlambat. Aku sempat tertahan di bandara. Tapi, sekarang semua sudah beres.”

“Ada apa? Barang bawaanmu tertahan di bandara?” ada nada cemas di suara Alex.

“Oh, bukan itu. Masalah lain. Nanti saja aku ceritakan.”

“Baiklah. Aku sudah menemukan kedua arca itu. Tapi, aku tak bisa membawanya pulang, karena berada di luar kewenanganku. Kamu harus mengupayakan kerja sama dengan Polis Diraja Malaysia untuk mendapatkan kembali kedua arca itu. Oke?”

“Kurasa, itu bisa diatur, Tuan Putri!” kata Nicholas, mengangguk. “Sekarang, bagaimana dengan kita? Kau masih marah padaku?”

Alex mengangkat bahu. “Tergantung.”

“Tergantung apa?’

“Tergantung dari seberapa besar usahamu….”

“Apakah kedatanganku di sini, tepat di depanmu, bukan merupakan bukti bahwa aku sepenuh hati mencintaimu dan aku tidak membohongimu?” tanya Nicholas, seraya mengamati sepasang mata cokelat Alex. Sepasang mata yang dinaungi bulu mata lebat dan lentik. Sungguh sangat cantik!

“Itu saja tidak cukup, Nicholas. Kau harus membuktikan melalui tindakan dan usaha yang lebih keras lagi.”
“Baiklah. Bagaimana dengan ini?” Nicholas mengeluarkan kotak beledu dari saku jaketnya dan membukanya. “Maukah kau menerima cintaku, Alexandra?” ujarnya.

Alex terbelalak.
Tapi, reaksi yang ditunjukkan Alex, sungguh di luar dugaan Nicholas. Alex justru mengambil kotak itu dan menutupnya rapat-rapat. “Simpan benda ini, Nicholas. Aku tak butuh limpahan hadiah dan materi. Aku hanya ingin bukti berupa tindakan nyata!” ujarnya tegas, seraya mengangsurkan kembali kotak itu ke tangan Nicholas.
“Baiklah,” kata Nicholas. Heran, dia tidak sakit hati oleh kata-kata Alex. Mungkin, ia sudah terbiasa dengan keterusterangan Alex. “Sekarang, ke mana kita?” tanyanya riang.

“Cari makan dan sesudah itu, kembali ke Bukit Bintang, mencarikan penginapan untukmu. Nanti malam, kita bisa jalan-jalan, mengukur kaki lima sepanjang Bukit Bintang.”

“Sepertinya, kau sudah punya banyak rencana di kepalamu!” ledek Nicholas, sambil mengacak rambut Alex dengan gemas.

Alex tersenyum. Bergandengan tangan, mereka menuruni tangga menuju pintu keluar. “Kita pasti seperti sepasang arca Agastya dan Nandiswara, ya,” kata Nicholas tiba-tiba.

“Astaga… Nicholas!” Alex menghentikan langkah dan berbalik menatap Nicholas. Sepasang matanya menghujam tajam ke mata Nicholas. “Kau tentu tak berpikir Agastya dan Nandiswara sebagai sepasang kekasih, bukan? Sebab, Agastya adalah penyebar agama atau pendeta dan Nandiswara adalah penjaga pintu. Mereka bukan sepasang kekasih seperti Rama dan Shinta!” kata Alex, gemas.

“Oh, ya? Aku baru tahu sekarang! Kupikir mereka adalah sepasang kekasih seperti Rama dan Shinta!” ujar Nicholas, naif.

Alex menggeleng-gelengkan kepala, tak dapat menyembunyikan rasa gelinya. Mereka saling melempar tatapan yang penuh makna.

No comments: