12.22.2010

Tambatan Hati

Langkahku terhenti. Dari geladak, sejenak melepas pandang, mengagumi keindahan alam sekitar pelabuhan Bau–Bau. Laut biru dikelilingi perbukitan hijau dengan tebaran rumah beratap seng. Atap–atap menyilaukan yang memantulkan cahaya mentari jelang siang. Kecintaan pada laut tidak menyisakan kejenuhan dalam mengisi kesendirianku menuju Pulau Buton.

Aku melangkah turun dari atas kapal. Menapaki anak tangga besi yang sudah kehitaman termakan karat. Sambaran angin seketika membuyarkan rambutku yang sesekali menghambat pandang. Hingga aku tidak melihat senyum Tante Liyan menyambut di kejauhan.

“Lea, apa kabar?” Dekapan hangat tubuh Tante Liyan membuatku sekian detik tak berkutik.

“Baik, Tante,” senyumku mengembang. Bahagia melihat rautnya ceria di tubuh yang mulai melar.

“Mana saja barangmu? Biar La Gani yang membawanya ke mobil. Hanya satu koper kecil ini?”

Satu koper ukuran kecil bagiku sudah cukup untuk berlibur selama seminggu. Memuat sejumlah baju, berupa beberapa T-shirt ketat, celana jins, baju renang, dan gaun pesta. Ditambah sepasang sandal karet untuk di rumah. Selebihnya adalah perlengkapan mandi, kamera saku, dan sebuah novel untuk mengusir sepi perjalanan.

Dalam mobil Tante Liyan, aku memandang alam lepas di balik jendela. Tampak asing setelah sekian lama tidak berkunjung ke sini. Sebuah pulau kecil di tenggara Sulawesi. Jalanan kota terlihat lengang, hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain. Melintasi jejeran rumah sederhana berpagar kayu yang sebagian besar sudah lapuk. Menyusuri sisi lapangan sepak bola, yang dikelilingi pepohonan cemara. Perhatianku tertuju pada rumah besar bercat putih bertiang bendera merah-putih.

“Itu rumah bupati. Kalau benderanya terpasang, berarti dia sedang ada di tempat,” Tante Liyan menjelaskan.
Di Jakarta aku tidak tertarik dengan apa pun yang menyangkut sosok-sosok pejabat. Bahkan, tidak peduli bila berpapasan dengan gubernur atau menteri sekalipun. Jakarta adalah kota yang keras. Kebanyakan penduduknya berjuang untuk bertahan hidup. Hingga tidaklah dirasa penting siapa pun yang memerintah, asalkan dapur senantiasa mengepul.

Keindahaan alam Buton sudah lumayan menghibur resah hati yang terbawa dari Jakarta. Namun, tiba-tiba ingatanku melambung pada sosok pria yang kubenci sepenuh hati.

“Mungkin, aku memang bukan pria yang sempurna. Tapi, aku adalah pria yang baik.” Suara pria itu seakan terngiang jelas di telinga.

“Ya, memang. Cukup baik untuk menjadi seorang penipu! Kalau dulu aku tahu kamu sudah beristri, mana mungkin mau berpacaran denganmu? Seperti tidak ada pria lain aja!”

“Lea, kamu kan tahu bahwa pernikahan kami karena perjodohan. Aku sama sekali tidak mencintai istriku, hanya ingin membahagiakan ibuku.”

“Salah sendiri!”

“Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa cinta butuh pengorbanan.

Bagaimanapun aku masih mengharapkanmu, karena aku sangat mencintaimu, Lea. Kita bisa menikah secara diam-diam.”

“Kamu pikir aku sudi menikah dengan pria penipu macam kamu! Pria yang memperalat cinta untuk memperdayai wanita. Mulai detik ini kita tidak usah lagi bertemu!”

Terbayang pertemuan terakhirku dengan Farhan, pria yang membohongiku selama hampir setahun. Kami berpisah di sebuah kafe di pusat kota. Sebagai sekretaris di sebuah perusahaan retail, penghasilanku memang cukup untuk menikmati gemerlap dunia kota. Bersama teman-teman kerap melanglang buana, dari kafe ke kafe selepas kerja.

Pergaulan membuatku mengenal banyak pria dan berkencan tanpa beban, layaknya sosok wanita bebas metropolis. Sampai suatu ketika, entah mengapa, aku bisa kepincut pada Farhan, seorang pria eksekutif yang kukenal di salah satu kafe. Pria yang ternyata bukanlah jodohku. Setelah tak sengaja memergokinya di sebuah mal bersama anak dan istri.

“Bagaimana, apa kamu senang selama perjalanan?” suara lembut Tante Liyan membuyar lamunan.

“Ya, lumayan. Kapalnya singgah di beberapa pelabuhan. Pemandangan lautnya indah.”

Semoga Tante Liyan tidak memperhatikan. Betapa hampanya hatiku. Farhan semula adalah pria tambatan hati. Candanya melipur jiwa di kala duka menerpa. Kejenuhan bekerja selalu sirna kala bersama. Namun, ternyata segalanya terpaksa berakhir dengan menyakitkan. Sebagai wanita kota yang mandiri, sangatlah bodoh bila aku sudi menerima tawarannya untuk menikah. Sungguh penghinaan menjadi istri kedua!

Mobil meluncur di jalan berkelok yang menanjak di tepi jurang. Rumah Tante Liyan terletak di pinggir kota, di atas bukit berpanorama laut. Kubuka kaca jendela, membiarkan rambut kembali dikibarkan angin laut. Memandang hamparan laut biru beriak di bawah tebing. Riak yang terpantul sinar mentari itu menimbulkan kilauan bagai tebaran berlian di atas kain satin biru mengilat.

“Kalau lama di sini, kulitmu bisa hitam,” celetuknya.

“Lautnya benar-benar indah! Rasanya ingin sekali terjun berenang,” sahutku girang.

Mobil berhenti di depan pagar tinggi sebuah rumah besar bercat kuning menghadap laut. Terbayang betapa menyenangkan ngopi sore, sembari memandang ke laut lepas.

Tante Liyan adalah wanita karier yang sukses. Tampak dari rumahnya yang besar berperabotan indah. Tanpa anak, Tante Liyan hanya ditemani dua pembantu, Wa Siu dan Wa Dia.

Sebuah kamar telah disiapkan untukku menginap dengan jendela menghadap ke laut. Tentu saja lebih menghibur dibanding pemandangan beton rumah tetangga dari jendela kamarku di Jakarta. Tubuhku terempas di atas tempat tidur. Membiarkan sejenak terguncang di kasur empuk berlapis kain motif kembang.

“Lea, ayo, kita makan,” wajah Tante Liyan tersembul di balik pintu. Tanpa menunggu lama, aku segera menyusulnya ke ruang makan. Tampak hidangan laut menghampar di atas meja panjang. Sejumlah ikan gemuk berminyak yang terkulai di piring besar. Cumi-cumi segar dengan saus kecokelatan, segerombol udang berbumbu, dan semangkuk sambal dengan jeruk nipis. Sementara di ujung terdapat gundukan nasi putih mengepul. Menggiurkan! Tapi, makanan apa itu yang berbentuk kerucut di sudut?

“Ini kasuami, terbuat dari singkong. Makanan khas daerah sini. Enak juga dimakan dengan ikan.”

Aku hanya tersenyum. Sepertinya aneh bila singkong menjadi pengganti nasi.

“Wah, kalau begini terus, aku bisa gemuk!” entah sudah sendok keberapa aku menambah nasi. Menghabiskan sepotong utuh ikan goreng, udang, dan cumi–cumi. Membuat perut ini sedikit mem­buncit.

“Kapan lagi makan ikan segar? Mumpung ada di Buton,” Tante Liyan tertawa sambil mencuci tangannya dalam mangkuk berisi air. Kulihat piringnya sudah licin hanya menyisakan kepala dari makhluk-makhluk laut.

Untuk menghilangkan kenyang di perut, aku menyibukkan diri di kamar membenahi barang bawaan. Mengeluarkan perlengkapan mandi, sandal, dan handphone. Ya, ampun, aku nyaris lupa mengaktifkan kembali. Di kapal sengaja dimatikan. Percuma, tidak bisa menangkap sinyal. Pasti sudah banyak pesan yang tertunda selama perjalanan. Namun, saat kuaktifkan, handphone itu tetap tidak bisa menangkap sinyal. Aneh!

Tanpa handphone, rasanya seperti buronan yang kabur. Benar seperti kata Dita, sahabatku, tempo hari.

“Gila, mau kabur jangan jauh-jauh, dong!” Dita cemberut. Sementara asap rokok diembus keras, mengepul di sela rambutnya yang kemilau. “Kenapa, sih, hanya karena frustrasi, kamu jadi begini!”

“Dengar, ya, aku sama sekali nggak frustrasi! Aku pergi karena butuh ketenangan. Lagi pula, aku sedang jenuh kerja."

“Lea, apa kamu sedang tidur?” suara Tante Liyan di balik pintu menyentakku dari lamunan.

“Kalau kamu tidak capek, kita bisa jalan–jalan ke kota.”

Kali ini aku yang menyetir mobil, meluncur berdua Tante Liyan. Jalanan masih silau oleh terik mentari siang. Tante Liyan duduk tenang menyebar pandang. Sekilas aku memikirkan adik bungsu Mama ini. Usianya sudah kepala lima. Namun, wajahnya masih cantik dan terlihat bergaya. Mengenakan blus ketat dari bahan kaus bercorak abstrak dilengkapi kacamata hitam bergagang penyu.

Tergiang kata-kata Mama. “Lebih baik kamu berlibur di Buton. Sekaligus menengok Tante Liyan. Kasihan dia, sudah lama tidak ada yang datang berkunjung.”

Mendadak aku merasa iba pada Tante Liyan. Kalau saja dia menurut pada Eyang untuk tidak menikah dengan Om Sidi, tentu tidak akan hidup sendiri di pulau ini. Entah mengapa, pria asal Buton itu yang dipilih Tante Liyan. Ia begitu mencintai La ode Rasidi, hingga rela menikah tanpa kehadiran Eyang. Terakhir, aku dengar Tante Liyan tidak mendapat jatah warisan tanah yang ditinggalkan Eyang di Solo.

Pasti wanita itu kerap kesepian tanpa anak. Sejak suaminya meninggal sepuluh tahun lalu, Tante Liyan sepertinya tidak berniat menikah lagi. Lebih memilih menjanda dan bekerja. Perjuangan yang tidak sia-sia. Setelah sukses sebagai pemborong untuk pembangunan daerah, Tante Liyan dipercaya masyarakat Buton menjadi anggota dewan tingkat dua daerah. Kini hidup nyaman di rumah lumayan megah, lengkap dengan mobil dan sopir yang siap mengantar ke mana saja.

Mengitari kota Bau-Bau dengan panorama alam laut sungguh menyenangkan. Berbeda dari alam Jakarta yang sumpek dan hanya indah oleh panorama lampu dan beragam gedung megah. Keindahan yang semu, sama seperti cinta seorang pria.

Kami melintasi rumah-rumah sederhana, aneka hotel melati yang sepi, bangunan instansi bercat kusam, dan deretan pertokoan sederhana bercat hijau dan kuning. Di atas pintu-pintu terdapat patung nanas menggelantung.

“Nanas adalah simbol daerah sini,” kata Tante Liyan, seolah membaca benakku, tanpa menjelaskan lebih lanjut, mengapa jenis buah itu menjadi simbol.

Menyetir di kota kecil harus lebih pelan, karena banyak persimpangan. Namun, yang menyebalkan adalah ojek-ojek melesat tak beraturan. Mereka seenaknya menyeruduk tanpa menoleh kanan-kiri. Hingga kerap memaksaku mengerem mendadak.

“Maklum, mereka tidak mengerti peraturan. Mengebut tanpa perhitungan. Tante sudah pernah membahas ini bersama anggota dewan, tapi belum ada tanggapan untuk pengadaan lampu merah.”

Mobil perlahan menyusuri jalan pertokoan. Melintasi beragam toko dan sejumlah restoran.

“Mari kita berhenti di depan restoran itu. Panas–panas seperti ini sangat nikmat makan es pisang ijo.

Sebuah restoran kecil dan sedikit kumuh tidak terlalu padat pengunjung. Seorang wanita Tionghoa ramah menyapa Tante Liyan.

“Dengan siapa, Bu Liyan?

“Ini keponakan dari Jakarta.

Aku tersenyum. Duduk menunggu di depan meja berlapis plastik. Tanganku merogoh saku jins. Mengeluarkan handphone. Ada sinyal!

“Rumah Tante di atas bukit, jadi sulit menangkap sinyal. Tante Liyan tersenyum, mendengar keluhanku.

“Jadi, aku bisa pakai handphone hanya di kota?

Betapa menyedihkan! Aku merasa sedikit terisolasi di pulau ini.

Bunyi SMS masuk bersahutan. Kebanyakan dari teman kantor yang menodong oleh-oleh. Hanya Dita yang menanyakan kabarku, termasuk masalah pria.

Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya datang dua mangkuk besar es pisang ijo, berupa sepotong pisang rebus yang dilapisi tepung beras berwarna hijau. Cukup menyegarkan dengan serutan es batu yang dilumuri sirop merah dan susu kental manis. Tapi, sejujurnya, masih kalah enak dibanding es teler.

Setelah kenyang, kami meluncur pulang. Melintasi pertokoan yang sudah mulai sibuk berbenah.

“Toko di sini kebanyakan cuma sampai sore. Hanya supermarket yang buka sampai malam. Nanti malam kita bisa ke supermarket. Siapa tahu kamu mau membeli camilan.

Ya, aku memang ingin membeli sesuatu, setoples kopi instan! Sebab, aku tidak mungkin memulai pagi tanpa kopi.
Mentari sudah tidak terlalu terik menjelang sore. Namun, pantulannya masih memberi tebaran kilau bersama alunan ombak bergulung.

“Kalau mau, nanti malam kita bisa kembali ke kota dan membeli kue–kue yang mulai dijajakan sore di sepanjang tepi laut itu.

Entah mengapa selalu saja makanan yang ada di benak Tante Liyan. Apakah dia merasa aku terlalu kurus? Kalau begini terus, aku bisa cepat menjadi gemuk!

“Lea, coba kita mampir sebentar di toko roti itu! Tante mau beli roti tawar untuk sarapan kita besok.

Aku duduk di teras depan, memandang bentangan laut menjelang senja. Mendengar deburan ombak menerjang tebing. Seliweran burung-burung laut memberi keceriaan alam. Sampan kurus nelayan sesekali melintas, mengiris laut tenang dan meninggalkan jejak panjang di belakang.

Sesekali kuteguk secangkir teh hangat. Semilir angin kemudian membawa terbang ingatanku pada Jakarta. Membangkitkan nyeri di hati yang belum juga sembuh. Sudah tiga bulan berlalu, bayangan Farhan terus saja menghantui. Melayang-layang bersama cinta dan harapan yang sempat terbangun hampir setahun.

“Kalau mau, besok sore kita mandi di pantai. Aku tersentak. Sejak kapan Tante Liyan berada di teras? Tiba-tiba sudah duduk di kursi belakang dekat pintu. Apakah dia sempat melihatku melamun?

Terlintas dalam bayangan pantai indah berlaut jernih bersama hamparan hijau rumput laut di bawahnya. Sungguh indah!

Tiba-tiba sebuah ojek berhenti di depan rumah. Tampak seorang wanita meloncat turun dan tergesa membayar. Sekilas memandang ke arah kami, sebelum berjalan menuju rumah sebelah.

“Itu Wa Tia, tetangga sebelah. Mungkin sepantaran kamu. Nanti Tante kenalkan.

Tak lama aku dan Tante Liyan tergopoh berjalan. Melintasi halaman depan yang sedikit gelap tertutup rindang pepohonan. Menuju sebuah rumah setengah papan bercat kusam.

“Assalamu’alaikum, seruan Tante Liyan mengundang jawaban dari dalam. Tersembul sosok wanita yang kulihat barusan.

“Wa Tia, ini kenalkan, keponakan Tante dari Jakarta.

Wa Tia tersenyum ramah, sembari mengulurkan tangannya yang besar dan agak kasar. Wajahnya hitam manis dengan rambut ikal tebal. Matanya yang hitam bulat terlihat berbinar.

“Wah, sekarang Tante sudah ada teman di rumah.

“Iya, untuk sementara waktu. Karena dia hanya cuti berlibur, suara Tante Liyan terdengar getir, menyirat kesedihan. Aku terenyuh. Membayangkan sepinya hidup sendiri di pulau ini. Padahal, Tante Liyan bisa menikah lagi. Atau, setidaknya, kembali dan berkumpul bersama keluarga besar di Jakarta.

Sebagai mahasiswi di sekolah tinggi calon guru, Wa Tia mampu berbicara dalam bahasa Indonesia dengan baik. Tutur katanya sopan dan tak banyak basa–basi. Kami mengobrol sejenak di bangku luas dari bambu tepat di bawah pohon.

Wa Tia memiliki tiga adik lelaki. Ayahnya seorang nelayan yang hidupnya hanya bergantung dari hasil tangkapan ikan. Adik-adiknya sering kali membantu menjaring ikan di waktu subuh. Sementara Wa Tia hanya di rumah, membantu ibunya memasak dan berbenah. Namun, Wa Tia merasa sangat bersyukur, orang tuanya masih mampu membiayai kuliah, termasuk sekolah bagi ketiga adiknya.

Kumandang azan magrib memutuskan perbincangan. Aku dan Tante Liyan bergegas pulang. “Besok sore kami mau berenang di pantai. Kamu ikut, ya? ajakku, sebelum pulang.

Malam bertabur bintang, aku sudah kembali duduk melamun di teras depan. Memandang alam laut gelap dengan taburan titik cahaya yang berasal dari lampu perahu para nelayan. Angin dingin sesekali menyergap tubuhku yang sedikit tak berdaya. Kekenyangan setelah makan malam, melahap ikan gemuk bersambal jeruk yang sedap.

Tiba–tiba raut Farhan muncul dari kegelapan malam. Merusak keindahan alam berbintang. Sialn! Aku harus melupakannya. Harus! Aku beranjak dan menemui Tante Liyan yang serius menonton telenovela.

Bau-bau di waktu malam sungguh menakjubkan. Tebaran rumah-rumah di perbukitan tampak bagai kerlip bintang yang mengepung laut hitam. Laut tampak berkilau, terpantul cahaya kapal dan perahu nelayan. Melintasi jalanan kota di malam hari lebih menyenangkan. Lebih indah daripada kilauan warna-warni lampu taman kota di Jakarta.

Sebuah supermarket kecil tampak ramai oleh pengunjung. Namun, tidak banyak mobil yang terparkir. Tante Liyan membeli sekaleng permen mint, beberapa batang cokelat mete, sekotak besar susu kalsium, dan empat kaleng minuman ringan.

Keluar dari supermarket, kami menyusuri jalan di tepi laut. Melintasi rentetan gerobak jajanan yang semarak dengan lampu petromaks.

“Kita berhenti dulu. Biar Tante turun membeli sukun goreng.

Mobil menepi. Tante Liyan bergegas turun. Tak lama, Tante Liyan datang dengan sebuah kantong hitam. Lalu, tiba di rumah, kami berdua duduk memandang laut di teras rumah. Di meja teras terdapat piring berisi potongan sukun goreng dengan mangkuk berisi sambal. Ternyata masyarakat di sana gemar memakan segala gorengan, termasuk pisang goreng, dengan sambal terasi. Sungguh aneh!

“Tante dengar, kamu sudah putus dari pacarmu.

Detak jantungku terhenti sesaat. Tentunya kabar ini didapat dari Mama. Mereka terkadang saling bertukar kabar melalui telepon.

“Ya, beberapa bulan lalu.

“Mengapa putus? Tante pikir, kamu sudah serius.

“Ya, mungkin belum jodoh. Kami tidak ada kecocokan, mendadak aku seakan melihat wajah Farhan menyeringai di antara gelap laut malam.

“Besok atau lusa kita bisa pergi ke ‘orang pintar’. Tanya-anya mengenai jodoh.

Kalau bukan tanteku sendiri, pasti tawaku sudah terlepas menyebar di laut bebas. Di zaman globalisasi ini, masih saja ada orang percaya dukun! Terlebih bagi Tante Liyan yang berpendidikan. Membuatku teringat pada Dita. Dengan koleksi segudang orang pintar. Dari dukun sampai kiai. Namun, tidak satu pun mendatangkan jodohnya.

“Bagaimana? Kalau mau, biar La Gani yang menyetir siang, setelah Tante pulang. Tempatnya jauh, melewati hutan dan naik-turun bukit.

“Terserah Tante. Tapi, lebih baik lusa, karena besok sore kita mau berenang. Supaya nggak capek. Aku senang melihat binar di wajahnya.

Aku terbangun oleh suara raungan panjang yang menggema di kejauhan. Sesaat kemudian aku pun sadar bahwa itu hanyalah suara klakson kapal yang datang-pergi di pelabuhan.

Keluar dari kamar, aku melihat Tante Liyan duduk di teras depan, memandang laut, sembari minum segelas susu. Bersantai di hari Minggu. Setelah membuat kopi di mug besar, aku duduk menemaninya.

“Pagi ini Tante mau ke pasar diantar La Gani. Kamu mau ikut?

Sejenak aku berpikir, membayangkan pasar becek yang panas dengan kios-kios yang semrawut. Namun, ada sedikit rasa penasaran untuk melihat situasi pasar tradisional di pulau ini.

“Oke, aku ikut.

Pasar Wameo, nama pasar yang kubaca di plang pelataran parkir. Setelah mobil terparkir, aku segera meloncat turun. Membuka payung dan melenggang di sisi Tante Liyan. Sementara Wa Siu, sang pembantu, berjalan di belakang membawa sebuah keranjang besar.

Hari masih pagi, namun terik terasa menyengat kulit. Maklum, pasar ini tepat di tepi laut. Aroma asin airnya sudah tercium di kala melangkah masuk menyusuri deretan kios.

Seekor ikan pari besar tergeletak menarik perhatianku. Ikan jenis ini terakhir kulihat di arena Sea World, Ancol, sebagai ikan yang menarik untuk ditonton anak-anak. Lucunya, di sini ikan itu menjadi santapan penduduk! Yang tak kalah menarik adalah kala melihat seekor ikan tuna sebesar paha orang dewasa. Di Jakarta, hanya kutemukan ikan ini dalam potongan kecil-kecil di supermarket.

Kami segera pulang setelah Tante Liyan membeli aneka sayuran dan seekor ikan kakap lumayan besar, hingga ekornya terlihat menyembul di keranjang belanja Wa Siu. Walau angin laut memberi sejuk, keringat masih saja mengucur membasahi kening dan melengketi tubuh.

Seperti biasa, setelah kenyang makan, aku duduk di teras memandang laut. Sesekali meneguk sekaleng minuman dingin, memberi sejuk di siang panas. Sementara, Tante Liyan serius di muka televisi. Menonton telenovela sembari berselonjor di sofa panjang.

Panas mentari memantul di permukaan laut biru. Suara deburnya seakan ilustrasi musik yang melengkapi keindahan alam itu. Membawaku melayang dengan kenangan indah di masa lalu bersama Farhan.

“Lea! suara Wa Tia mengejutkan aku yang mulai hanyut dalam lamunan. Wanita itu berdiri di luar pagar, baru pulang kuliah. Tangannya mendekap sebuah map. Wa Tia terlihat ceria dengan kaus ketat warna merah dan jeans biru tua yang juga ketat. Menonjolkan lekuk tubuhnya yang sedikit montok. Lipstik merah tua tampak mencolok di bibirnya yang tebal. Dandanan yang agak berlebihan di siang yang panas!

Aku tergesa menghampiri. “Kamu ada acara siang ini?

Wa Tia menggeleng.

“Mau nggak temani aku jalan–jalan?

“Ke mana?

“Ke mana saja.

“Boleh. Tapi, saya harus pulang sebentar. Menyiapkan makan siang. Wa Tia setengah berlari ke rumahnya. Aku pun bergegas masuk kamar, sejenak melumuri kulit dengan sunblock, sebelum menyambar kunci mobil di meja kecil. Tidak lupa membawa kamera saku.

Mobil meluncur di jalan mengilat terpantul terik mentari siang. Aku menyetir perlahan menuruni tebing menuju kota. Wa Tia di sebelahku tampak santai menikmati pemandangan.

“Enaknya kita ke mana?” aku memecah keheningan.

“Kalau kamu suka sejarah, di dekat sini ada rumah adat Buton.”

“Oke, kita ke sana. Arahnya ke mana?”

“Lurus saja, nanti di depan belok kiri.”

Memasuki gerbang rumah adat, mobil menanjak lambat melintasi pekarangan teduh yang rimbun pepohonan. Tampak rumah panggung bercat biru dari kayu yang besar menjulang. Seluruh bangunan terbuat dari kayu jati tua dan tebal bertingkat empat. Dikelilingi jendela–jendela besar berkisi kayu. Atapnya terbuat dari seng yang sudah rusak termakan karat.

Mobil terparkir di samping rumah, bernaung pohon. Sebelum masuk aku sempat memotret rumah itu dari berbagai sudut, kemudian menapaki tangga kayu besar menuju pintu depan yang terbuka lebar.

“Assalamu’alaikum,” sapa Wa Tia. Tidak ada sahutan.

Aku melongok ke dalam, tampak ruangan besar, seperti sebuah ruang tamu berkursi kayu model kuno. Angin menyerbu dari sela kisi jendela–jendela besar di sana.

Seorang wanita setengah baya sekonyong muncul. Berkulit hitam dengan rambut keriting, mengenakan kaus dan rok kembang usang.

“Saya antar teman dari Jakarta, mau melihat–lihat.”

Wa Tia melepas sandal, melangkah masuk.

Wanita itu menyingkir, membiarkan kami masuk. Wa Tia becerita tentang sejarah mengenai rumah adat bernama Malige ini. Rumah ini dahulu adalah istana Sultan Hamidi dengan tiga orang istri. Namun, istri pertamanya atau yang dikenal sebagai permaisuri, tinggal sendirian di istana kecil di atas bukit. Di sini kedua istri dan seluruh anaknya tinggal bersama dengan damai.

Di kamar tidur sultan terdapat dipan besar dari kayu jati kehitaman. Seperti sebuah boks bayi yang sangat luas. Ada pula ruang tempat menyimpan segala pernak–pernik kerajaan, seperti lemari kaca dan meja rias antik dari kayu. Yang menarik adalah jubah putih kusam yang tergantung dalam lemari itu. Jubah yang dipakai sultan kala pelantikan. Beberapa foto hitam putih berbingkai terpajang di dinding kayu. Termasuk foto sultan mengenakan jubah itu.

Menuju ke belakang terdapat sebuah teras sempit yang mengarah ke halaman samping. Di sana terdapat tangga kayu menuju paviliun di bawah, yang ternyata sebuah dapur. Terbayang betapa sibuknya tempat itu di masa lalu. Memasak untuk dua keluarga besar!

Aku dan Wa Tia mulai menapaki tangga kayu menuju lantai dua. Tampak sebuah ruangan besar menyeramkan. Agak gelap dan lembap, sedikit membuatku bergidik. Empat belas bilik berpintu kecil yang terdapat di sisi kanan-kiri ruangan, konon adalah kamar anak–anak sultan.

Berlanjut ke lantai tiga, kami kembali menapaki lantai kayu. Berbeda dari ruangan di lantai dua, ruangan di lantai ini lebih terang dan hangat. Sinar mentari masuk dari segala penjuru lewat kisi beberapa jendela besar. Aku mendekati jendela, melihat panorama pelabuhan kota Buton dengan alam bebukitan yang indah. Dalam ruang itu terdapat sebuah rak buku. Aku melihat deretan buku tua berdebu. Beberapa sudah rusak termakan rayap. Kebanyakan adalah novel berbahasa Jerman dan Inggris. Buku yang dahulu biasa dibaca anak-anak sultan sebelum tidur.

“Mari kita turun.”

Wa Tia mendadak meraih sebelah tanganku. Aku menurut, walau masih ingin melihat sisa lantai di atas. Perlahan kami turun dan melewati ruangan demi ruangan, hingga tiba di lantai bawah. Wanita penjaga rumah sudah menunggu.

“Sudah semua dilihat?” wanita itu mengamati kami.

“Ya, terima kasih. Sebentar lagi kami pulang. Agak seram di atas.”

“Memang rumah ini sudah tua dan banyak penghuninya.” Wanita itu tersenyum. “Banyak anggota keluarga sultan yang meninggal dan disemayamkan di sini. Kadang, ada yang bisa melihat mereka muncul.”

Sebetulnya, aku tidak terlalu percaya pada hantu. Namun, di lantai dua tadi aku merasa aneh.

“Tadi saya merasa ada yang mengawasi di atas,” kata Wa Tia, setelah kembali dalam mobil yang perlahan meninggalkan pelataran. Kuamati wajahnya yang terlihat tegang.

Sebetulnya aku pun merasakan keanehan itu di kamar anak–anak sultan, yang kebanyakan sudah meninggal. Jangan–jangan penjaga itu benar.

“Sekarang kita ke mana?”

“Kalau kamu mau, kita bisa melihat Keraton yang dikelilingi benteng zaman perang. Tapi, agak jauh, di atas bukit sana.”

Aku melirik jam tangan, sudah hampir setengah empat.

“Mungkin lain kali aja, takut terlalu sore. Sebentar lagi aku harus pulang, bersiap untuk pergi berenang.”

Tante Liyan sudah siap. Duduk menunggu di teras depan. Aku memarkir mobil di muka gerbang. Wa Tia bergegas turun dan sekilas melambai pada Tante, sebelum berjalan menuju rumahnya untuk mengambil perlengkapan renang.

La Gani membawa kami melaju di jalan panjang bersemak. Melintasi perkampungan nelayan dengan pemandangan bukit dan laut yang indah di sore cerah.

Tante Liyan duduk di depan, sesekali mengobrol dengan La Gani. Sementara Wa Tia terdiam di sisiku, memandang jendela. Entah apa yang dipikirnya, apakah dia sedang memikirkan kekasihnya? Usianya sudah kepala tiga, sama denganku. Sudah lumrah untuk menikah. Sungguh aneh, bila wanita daerah seumurnya masih lajang. Jangan–jangan kami senasib, selalu gagal saat berurusan dengan pria!

Bentangan laut luas dan biru berkilau membuatku lupa diri. Tanpa menunggu lama aku langsung membuka pakaian yang melapisi baju renang. Lantas, menyebur dalam kehangatan air berpasir putih.

Di sela berenang aku dan Wa Tia sesekali mengobrol.

“Bohong! Masa kamu belum punya pacar?” tanya Wa Tia, sambil melotot. Matanya yang merah kemasukan air, membuat wajahnya terlihat sedikit menyeramkan.

“Belum lama putus,” aku menjawab singkat. “Kamu sendiri? Kenapa kamu belum menikah? Setahuku wanita di daerah lebih cepat menikah. Berbeda dari wanita di kota besar, terutama Jakarta.”

Wa Tia tergelak. Lama menunggu tawanya reda hingga napasnya agak tersengal. “Mungkin kamu pikir saya wanita tidak laku, ya? Apakah aneh bila wanita ingin menikah dengan pria yang benar-benar dicintainya.”

“Maksudmu, kamu belum menemukan pria yang kamu cintai?” aku mengerenyit. Sepintas kutangkap nanar di mata bulatnya.

Wa Tia menggeleng dan berkata pelan. “Saya masih menunggu.”

“Aku yakin kamu pasti bisa cepat mendapat pacar. Karena, kamu wanita berpendidikan dan lumayan seksi….”
Wa Tia kembali tergelak. Kemudian menyiprati wajahku sebelum berenang menjauh. Aku segera mengejarnya. Kami sempat saling kejar dan tertawa girang di antara gulungan ombak. Sementara Tante Liyan sudah berenang di tengah lautan bagai lumba–lumba.

Senja menjemput mentari yang perlahan lenyap di balik awan. Menyisakan awan jingga berarak. Kami sudah bersiap meninggalkan pantai. Aku sudah duduk di dalam mobil, menghindar dari dinginnya angin laut. Wa Tia sibuk menyisir rambut ikalnya yang kusut. Kulihat Tante Liyan sigap mengemasi barang, dibantu La Gani.

Tak lama, mobil kembali melintasi jalanan panjang bersemak, perkampungan nelayan, bukit dan laut yang bernuansa jingga. Semilir angin yang masuk melalui sela jendela membuatku menggigil.

“Supaya badan hangat, Tante traktir kalian makan nyuk nyang.”

Kami lalu masuk sebuah restoran nyaman di jejeran ruko. Dindingnya masih bersih dengan meja dan bangku–bangku yang masih tampak baru.

Dalam sekejap, semangkuk nyuk nyang tandas tak bersisa. Bagiku, makanan ini mirip dengan bakwan atau bakso berkuah bening. Hanya, bedanya dimakan bersama semacam lontong berbentuk gepeng. Memang pas untuk mengusir dingin.

Segerombolan pria berpakaian rapi masuk melintasi meja kami. Kulihat Wa Tia mencuri pandang pada seseorang di antara mereka.

Tante berdehem. “Sudah? Ayo, kita pergi sekarang.” Entah mengapa, Tante Liyan seakan tidak senang melihat kehadiran para pria tadi.

“Tadi ada La Joni dan teman–temannya,” kata La Gani pada Tante Liyan, ketika kami sudah kembali meluncur di jalan.

“Ya, biar saja. Dia tidak akan tenang hidupnya dengan politik busuknya itu,” Tante Liyan mencibir.

“Tapi, saya dengar, dia orang kedua dalam pencalonan anggota DPR di tingkat satu.”

“Semoga saja tidak jadi. Baru calon saja sudah tambah istri.”

Rupanya, Tante Liyan sangat menentang poligami. Tentunya ia tidak akan setuju mengenai hubunganku dengan Farhan. Aku cepat–cepat menepis bayang pria yang mulai hadir menguasai benak. Kulirik Wa Tia, dia sepertinya sedang melamun. Apakah melamunkan salah satu pria di restoran tadi?

Segerombolan pria eksekutif tadi mengingatkan aku pada Jakarta. Pada teman–teman pria yang biasa kujumpai di kafe. Mereka memang terlihat menarik dengan dasi–dasi yang terjulur. Sosok yang ternyata diminati pula oleh wanita seperti Wa Tia. Semoga saja dia tidak tertipu oleh penampilan yang membungkus kebusukan hati mereka. Ah, mengapa aku menjadi benci kepada mereka?

Hari menjelang sore kala tubuhku oleng ke kanan–kiri dalam mobil yang melaju di jalan berkelok. Di sisiku La Gani tampak bersemangat menyetir di antara bebukitan. Kali ini Tante Liyan duduk di belakang, membiarkan aku di depan, bebas memandang alam hutan. Kami sedang menuju rumah seorang dukun di pelosok pulau.

Beberapa kali mobil melintasi aneka perkampungan petani dan nelayan, melalui beragam rumah panggung dari kayu, beberapa masjid kecil dan kantor–kantor lurah. Namun, yang mengesankan adalah ketika mobil melaju di tepi tebing dengan hamparan laut biru di bawah. Kemudian mobil melintasi padang bertanah hitam luas bertepi laut. Menurut Tante Liyan, tempat itu merupakan tambang aspal yang memopulerkan pulau ini. Sesekali kepalaku keluar jendela, sekadar memotret panorama laut.

Setelah dua jam berlalu, mobil memasuki perkampungan nela­yan sunyi di tepi laut. Mobil berhenti di sebuah rumah panggung kayu agak kumuh. Aku menyusul Tante Liyan, merangkak susah payah naik di tangga kayu. Di dalam rumah kami bertemu seorang pria berambut keriting dengan kulit kehitaman. Giginya yang putih terlihat kontras di balik senyuman.

“Tunggu sebentar, bapak saya baru turun dari kebun.”

Setelah beberapa saat menunggu, muncul seorang bapak tua bertubuh kurus yang juga berkulit kehitaman. Terbalut singlet dan celana hitam yang sudah tampak kumal. Kemdian bapak tua itu duduk meringkuk di salah satu sudut ruang. Tante Liyan mendekat, berbincang tanpa canggung. Sementara pria keriting itu bertugas sebagai penerjemah. Tak lama, Tante Liyan melambai ke arahku agar mendekat.

“Tolong keponakan saya dilihat, ya, Pak, apakah jodohnya sudah dekat.”

Aku menatap pria tua yang tidak sekali pun melihat ke mataku. Mulutnya komat–kamit, seperti berdoa. Tiba–tiba bapak tua itu berkata dalam bahasa yang aneh.

“Ada. Tapi, bukan orang Buton,” anaknya menjelaskan. Terlihat sedikit kekecewaan di raut Tante Liyan. Aku maklum.

“Siapa jodohnya? Orang mana? Kapan menikah?” bertubi pertanyaan Tante membuat mulut bapak tua itu kian sibuk berkomat–kamit.

“Ada seorang pria dikelilingi oleh banyak air.”

“Air?” Tante Liyan mengernyit.

“Ya, air yang sangat luas. Tapi, dia akan membawa gadis ini ke sebuah tempat yang jauh di daerah timur.”
Aku mencoba menyimak ramalan bapak yang terkesan aneh dan membingungkan. Bagaikan cerita misteri tak terpecahkan. Tante Liyan terlihat berpikir, “Jadi, keponakan saya ini akan menikah dengan pria itu?”

“Tidak lama lagi,” jawab pria itu sambil menyeringai.

Setelah menyelipkan lembaran uang lima puluh ribuan, Tante Liyan beringsut menuruni tangga kayu. Aku sekilas mengucapkan terima kasih kala menyalami bapak dan anaknya sebelum menyu­sul ke mobil.

Dalam perjalanan pulang, Tante Liyan lebih banyak diam. Sementara aku mencoba melupakan perkataan dukun tadi. Untuk apa percaya sesuatu yang belum tentu benar terjadi. Jodoh tetap di tangan Tuhan!

“Lea, sepertinya tantemu ada maksud mengenalkan temannya,” Wa Tia setengah berbisik, setelah kami duduk di teras memandang lautan.

Tante Liyan melempar senyum. “Tante mau istirahat,” katanya, sebelum masuk ke kamar.

Wa Tia mencuri pandang. Aku hanya diam.

“Lea, apa kamu belum mau punya suami?”

Aku menoleh. “Jelas mau!”

“Walaupun pilihan orang lain?”

“Ya, jelas enggak!”

Wa Tia terdiam sesaat, seperti berpikir. Kemudian menatapku lekat, menyambung “Kalau orang tuamu memaksamu menikah dengan pria pilihannya, apa kamu berani menolak?”

“Kalau nggak cinta, ya, tolak!”

“Tapi, apa kamu tidak kasihan? Mereka pasti kecewa sekali.”

Aku mendesah. “Sebetulnya, lebih baik jika kita punya pilihan sendiri. Jadi, orang tua tak kecewa. Yang penting, anaknya menikah.”

Wa Tia mendekat. Berbicara di sebelah telingaku. “Apa kamu ingat, ketika kita sedang makan nyuk nyang, segerombolan pria masuk ke restoran.”

“Ya! Pasti salah satunya kamu taksir, ya? Ngaku saja!” aku menggoda.

Wajah Wa Tia merona malu. “Namanya La Dori. Dia hanya pegawai bank rendahan. Tak sekaya La Darumba, pengusaha kapal kayu.”

“Apa orang tuamu tahu?”

Wa Tia menggeleng. “Lea, kami adalah keluarga miskin. Tentu orang tua saya lebih memilih La Darumba yang kaya. Supaya kami tidak perlu lagi saban hari makan ikan.”

Dadaku sesak. Ternyata, kemiskinanlah yang membunuh naruni, hingga tega menjual anak sendiri. Dan, menjadi istri muda tentu saja bukanlah sebuah cita–cita.

“Kamu harus bisa menolak orang tuamu. Karena kamulah yang menikah, yang akan menderita nanti.”

Wa Tia sejenak termanggu. Matanya memandang sendu pada laut biru. Agak menyesal aku membuatnya sedih.

Tante Liyan duduk diam memandang laut. Entah apa yang menjadi lamunannya. Aku pun hanya diam. Usai makan malam, kami memang terbiasa duduk di teras depan, kekenyangan.

“Bagaimana, kamu senang berkenalan dengan La Radi?”

Sudah kuduga, Tante Liyan menyimpan rasa penasaran. “Ya, sepertinya Pak Radi baik.”

“Kamu tidak perlu memanggil Pak, dia masih bujangan.” Tante Liyan tersenyum. Aku hanya diam. Ada sedikit rasa sebal menye­ruak dada.

“Sebagai pegawai negeri, sebenarnya La Radi sudah mapan. Punya rumah dan jabatan. Kemungkinan tahun depan dicalonkan menjadi bupati.”

“Mengapa sampai sekarang dia belum juga menikah? Pasti banyak wanita di pulau ini yang mau menjadi istrinya.”

Sejenak Tante Liyan menghela napas. “Tante sudah lama kenal dia. Dulu kabarnya dia pernah patah hati, karena calonnya tidak disetujui oleh ibunya. Sekarang dia sedang mencari istri, supaya layak mencalonkan diri jadi bupati.”

“Memangnya sulit mencari istri? Dia kan banyak uang.”

“Dia mencari sosok yang terpelajar.”

“Banyak juga wanita terpelajar di sini. Wa Tia, misalnya.”

“Tapi, harus berstatus sosial yang baik. Setidaknya, dari keturun­an baik-baik.”

“Maksud Tante, wanita itu harus dari kalangan atas?”


“Ya, supaya bisa membawa diri. Pantas menjadi istri pejabat.”

Mendadak aku merasa muak.

“Tante rasa, kamu wanita yang pantas.”

Benarkah? Aku tersenyum kecut. Sebagai wanita kota, aku tidak tertarik pada segala hal yang berbau feodal. Bagiku, La Radi adalah sosok pria arogan yang lebih memikirkan bungkus wanita dibanding hati wanita itu sendiri. Pantas saja dia tidak laku-laku!

“Besok lusa Tante akan undang dia kemari lagi. Tante akan memasak sup makaroni.”

Aku hanya diam. Namun, merasa terenyuh dengan upaya Tante Liyan. Mungkin, dia berpikir, aku akan bahagia dengan kehadiran pria. Ya, asal jangan pria seperti La Radi.

Dering telepon membuat Tante Liyan tergopoh masuk. Ter­dengar sejenak bincang yang terdengar sayup di luar. Tak lama Tante Liyan kembali. Rautnya sedikit tegang.

“Ada apa, Tante?”

“Tidak ada apa-apa. Hanya teman sesama anggota dewan.”

“Pasti ada kabar buruk. Wajah Tante kusut.”

Tante Liyan tertawa. Bahunya terguncang bagai perahu nelayan terombang–ambing diterjang ombak.

“Ya, memang ada kabar yang tak sedap.” Tante Liyan menarik napas. “Dalam pemilihan tahun ini, rencananya Tante dicalonkan partai untuk menjadi anggota dewan tingkat satu daerah. Tapi, Tante harus melobi sejumlah orang.”

“Itu wajar. Politik memang penuh permainan.”

“Ya, tapi yang tidak wajar, Tante harus menyiapkan uang sebesar lima puluh juta untuk melobi mereka!”

Aku terbelalak. “Untuk apa uang sebanyak itu?”

Tante Liyan mencibir. “Untuk dibagi–bagi!”

“Tante mau?”

“Tante harus pikir–pikir. Kalau memang itu dapat menjamin Tante berhasil, Tante mau saja.”

“Jadi, Tante mau menyogok?”

“Lea, kamu bilang politik itu permainan. Tante pun harus ikut dalam permainan ini.”

Sudah kuduga. Perjuangan keras telah mengubah hidupnya menjadi wanita sukses seperti sekarang. Bukan mustahil bila nanti Tante Liyan akan terpilih karena semangatnya itu.

“Besok siang Tante akan coba tanya ke orang pintar. Kamu ikut, ya. Temani Tante.”

Terbayang suatu perjalanan panjang melewati hutan dan bebukitan. Seorang bapak tua meringkuk di rumah kayu dengan mulut komat–kamit. Ada rasa penasaran, kira–kira apa jawaban untuk Tante Liyan besok.

Aku mencoba tidur. Namun, tidak bisa. Suara ombak memecah tebing terasa mengganggu kali ini. Bagai suara sekelompok orang meraung–raung diterpa derita. Aku sedikit bergidik. Mengapa malam ini terasa sulit untuk lelap. Tiba–tiba dari atas atap terdengar suara gemuruh seperti benda jatuh.

Gedubrak!

Aku melompat dan memasang telinga. Apakah ada pencuri di rumah ini? Terdengar pintu kamar Tante Liyan terkuak. Aku segera berlari keluar kamar.

“Tenang saja, Lea. Mungkin ada ranting pohon tumbang menimpa atap. Di luar angin sangat kencang,” kata Tante Liyan, seraya melangkah kembali masuk kamar.

Di dalam kamar, untuk beberapa saat aku gelisah. Tubuhku bolak-balik tak menentu, hingga akhirnya terkulai lelap menjelang pagi.

“Lea, bangun! Ada Wa Tia mencarimu.” Suara Tante Liyan membangunkan tidur. Aku tersentak. Ada apa Wa Tia datang pagi–pagi? Bukankah dia harus pergi kuliah?

Dengan mata masih mengantuk aku terhuyung menuju ruang tamu. Rambutku menjuntai kusut tak beraturan.

“Maaf, kalau saya mengganggu. Wa Tia menyambut di teras depan.

“Ada apa?” Aku menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap. Aliran hangat seketika menjalari tubuh, mengurangi dinginnya udara pagi. Pagi yang bernuansa biru dengan laut berselaput kabut. Seperti kelabu di mata Wa Tia.

“Saya kemungkinan berhenti kuliah.” Wajah Wa Tia berubah menjadi sendu.

“Kenapa?” tanyaku, kaget.

“Orang tua saya tidak akan membiayai kuliah, kalau saya tidak menikah dengan La Darumba secepatnya. Saya tidak punya uang untuk membayar semester depan. Hari ini adalah batas pembayaran. Saya bingung tidak bisa membayar. Lea, kalau boleh, aku mau pinjam uang.”

Aku termanggu. Sebetulnya, aku bisa saja menolong Wa Tia dengan uang dari tabungan. Namun, apakah itu adalah suatu penyelesaian?

“Kalau begitu, tunggu sebentar. Aku mandi dulu.” Entah mengapa aku tidak tega melihat mata bulat itu meredup.

Tidak berapa lama, kami sudah dalam perjalanan menuju kota. Duduk di jok belakang mobil kijang.

“Kalian mau diantar ke mana?” tanya Tante Liyan, dengan tatapan sedikit curiga.

“Wa Tia mengajakku melihat–lihat kampusnya. Tapi, aku mau mampir sebentar di bank.”

“La Gani, kita antar mereka dulu.”

Sebuah wartel berada tepat di sebelah bank. Aku melangkah masuk ke dalam sebuah bilik ATM. Sementara Wa Tia menunggu di depan wartel. Beberapa menit kemudian kami duduk di bangku panjang tepi laut tidak jauh dari wartel. Memandang kesibukan di sekitar. Kapal motor berseliweran membawa penumpang menyeberang pulau. Pegawai negeri, anak-anak sekolah dan mereka yang keluar pagi mencari rezeki.

Sekilas aku menoleh ke kanan-kiri, sebelum mengeluarkan lembar­an uang dari dalam dompet.

“Apakah ini cukup untuk membayar semester?” aku menyerahkan lima lembar uang seratus ribu.

Wa Tia menggigit bibir dan mengangguk. “Tapi, bagaimana saya bisa cepat mengganti uangmu? Kamu akan pulang beberapa hari lagi, ’kan?”

“Jangan dipikir. Aku hanya ingin membantu. Sungguh.” Aku mencoba meyakinkan, walau sebetulnya aku ragu. Mungkin ini hanya memanjakan egoku. Tidak sudi melihat ketidakberdayaan kaumku yang terpaksa menyerah atas kekuasaan pria. Uang adalah sebentuk perjuangan untuk melawan kesemena-menaan itu.

Tangan Wa Tia gemetar saat memasukkan uang ke dalam tasnya.

“Kenapa kamu mau menolong saya?” kata Wa Tia.

“Kamu adalah temanku.”

“Hanya karena itu?”

“Kenapa? Kamu tidak percaya? Aku cuma tidak ingin kamu sampai berhenti kuliah gara–gara menolak nafsu pria.”

“Hanya karena itu?”

“Ya! Kamu tidak percaya?”

“Maaf, saya… saya hanya tidak menyangka kamu bisa sangat baik. Kita belum lama berteman.”

Kami terdiam memandang ke laut lepas yang semarak oleh kapal motor aneka warna. Di antara mobil, motor, dan becak yang kian ramai memenuhi jalan.

“Lebih baik kamu sekarang ke kampus dan membayar uang semester itu.”

“Kamu bagaimana? Pulang dengan apa?”

Aku mengibas tangan. “Aku bisa pulang sendiri, kok.”

“Kamu bisa naik ojek sampai di rumah. Hanya tiga ribu. Jangan mau kalau diminta lebih.”

Ini pertama kali aku berjalan di kota Bau-Bau sendiri. Aku sempat mampir di wartel, menelepon Mama. Sekadar mendengar suaranya yang riang menyambut. Namun, yang membuatku senang adalah mengobrol dengan Dita, yang sangat antusias mendengar ceritaku. Aku bercerita mengenai La Radi yang menyebalkan. Seperti biasa, dia menasihati agar aku bisa membuka hati. Ya, tapi bukan untuk pria feodal itu!

Aku menebar pandang ke alam sekitar laut yang sibuk di lepas pagi. Melewati beberapa meja tempat penjual kasuami di tepi jalan. Makanan kegemaran Tante Liyan itu bagaikan gunung–gunung kecil di hamparan meja. Namun, aku lebih berminat pada sekelompok kue pastel hangat dengan saus sambal asam. Membelinya beberapa potong untuk mengemil di teras nanti.

Aku melangkah ringan menuju gerombolan ojek di persimpangan. Sebuah mobil hitam berpelat merah tiba-tiba mendekat.

“Lea! Kamu mau menumpang?” wajah seorang pria tersembul di jendela.

La Radi. Aku tergesa berjalan.

“Terima kasih. Aku sedang jalan–jalan.”

“Biar saya antar.”

“Tidak usah. Aku sudah lama tidak olahraga.”

Mobil itu menepi, kemudian berhenti di depanku. La Radi meloncat dari mobil dan setengah berlari ke arahku. Ia terlihat tegap berseragam lengkap. Rambutnya tersisir rapi dengan minyak rambut menyengat hidung.

“Kamu hendak jalan–jalan ke mana?”

“Iseng saja. Kamu tidak ke kantor?”

“Ya, sebentar lagi. Apa kamu tidak takut pulang sendiri?”

“Aku hanya perlu naik ojek dan bayar tiga ribu.” Tergesa aku berlalu. Meninggalkan pria itu termanggu di belakangku.

“Tadi pagi, kenapa kamu jalan–jalan sendiri? Ke mana Wa Tia?” tanya Tante Liyan, saat kami sudah melaju di jalan berhutan. Siang ini aku menemani Tante Liyan menemui dukun langganannya itu.

“Setelah melihat kampus, aku pulang, karena Wa Tia kuliah.”

Dasar bawel! Pasti La Radi mengadu pada Tante Liyan.

“Kenapa kamu tidak mau diantar pulang oleh La Radi?”

“Ah, Tante, aku mau jalan–jalan dulu. Lagi pula, dia harus segera berangkat kerja.”

Aku sempat melihat sekilas senyuman di bibir La Gani. Entah apa yang dipikirkannya. Apakah dia senang dengan perjodohan ini?

“Nanti malam La Radi mengundang kita makan malam di restoran Cina pinggir laut.”

Aku diam. Pandanganku tertuju pada rumah-rumah reyot sebuah perkampungan di luar jendela. Seharusnya mereka yang perlu dipikirkan Tante Liyan. Sebagai anggota dewan, tentu tugasnya adalah menyejahterakan masyarakat, bukan menjodohkan pejabat!

Dalam sebuah ruang berdinding papan, aku duduk berselonjor. Mengamati Tante Liyan yang serius berbicara pada bapak tua yang meringkuk di sudut. Sementara anaknya sibuk menerjemahkan. Mereka berbicara seputar orang–orang yang terlibat dalam pemilihan.

“Minum air ini untuk menjaga diri dari serangan orang-orang yang ingin bersaing.” Tangannya yang kehitaman menyodorkan sebotol air mineral.

Tante Liyan menyimpan botol itu ke dalam tas. Kemudian, menyisipkan selembar uang seratus ribu ke jemari keriput bapak tua, sembari berpamitan.

Aku menunduk, sambil mengaduk isi piring. Sejumput mi bersiram saus dengan potongan udang gemuk di atasnya. Hidangan lezat ini tidak lagi mengundang selera dengan kehadiran La Radi di sisiku.

“Kamu makan sedikit sekali. Biasanya kamu suka mi siram seafood,” kata Tante Liyan, memandang curiga.

“Apa kamu sakit?” kali ini La Radi bersuara.

Aku menggeleng. “Hanya sedikit mengantuk.”

“Kalau begitu, sebentar lagi kita pulang.” Tante Liyan mengelap bibirnya dengan serbet.

Ada perasaan bersalah. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan Tante Liyan. Namun, pria ini telanjur membuatku muak.

La Radi sekilas mengamati. Entah apa yang ada di benaknya. Mendadak aku teringat perkataan Tante Liyan mengenai tradisi masyarakat pulau ini, yang gemar memakai jasa dukun. Walau tidak terlalu percaya, hal itu membuatku berhati-hati dalam bertingkah laku. Tidak boleh berbuat kasar terhadap siapa pun di sini. Terlebih pada La Radi, yang memiliki banyak uang, sehingga bisa saja membayar dukun tercanggih daerah ini untuk mengirim guna-guna.

Ingatanku kembali pada peristiwa malam lalu. Suara benda jatuh menimpa atap membuatku teringat pula pada ucapan Dita. Bunyi semacam itu dianggapnya sebagai serangan gaib dari dukun santet. Aku langsung bergidik. Tetapi, kalau benar bunyi itu adalah santet, siapa yang diserang? Aku tidak merasa menyakiti La Radi. Belum...

“Lea, ayo, kita pulang.” Tante Liyan sudah berdiri di sisiku. Aku melihat La Radi berada di depan meja kasir.

“Ada apa, Lea? Kamu sakit? Tante Liyan menatapku. Kami sudah berada di rumah. Duduk di ruang tengah menonton televisi.

“Aku nggak sakit, Tante. Hanya mengantuk.” Aku melihat bersit kecewa di sudut matanya.

Tante Liyan mendesah. “Seharusnya, Tante tidak menerima ajak­an La Radi tadi.”

Bagus! Akhirnya Tante sadar bahwa aku tidak menyukainya.

“Sebetulnya bisa di lain waktu, karena kamu pasti kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh tadi siang.”

Aku mendesah. Ternyata, ia belum bisa membaca gelagatku.

Tiba-tiba kami terkejut mendengar suara ribut–ribut di sebelah. Suara pria berteriak–teriak.

“Jangan-jangan ayahnya Wa Tia mengamuk.” Tante Liyan bergegas keluar, menguping di tembok pembatas. Aku mengikuti.

“Kalau kamu tidak mau menikah, kamu pergi saja dari rumah!”

Aku dan Tante Liyan saling pandang. Sebetulnya, aku tidak terlalu kaget, setelah Wa Tia menceritakan sebelumnya.

“Tia! Hendak ke mana kamu?” suara seorang wanita menjerit.

“Biar saja! Dia tidak akan bisa hidup di luar!”

Dari kegelapan tampak bayangan wanita melintas depan gerbang.

“Ssst.. itu pasti Wa Tia,” Tante Liyan berbisik. “Mau ke mana dia malam–malam begini.”

Aku tergesa menuju gerbang.

“Wa Tia!” seruku, setengah berbisik.

Wanita itu seketika berhenti. Perlahan mendekati. Tampak raut Wa Tia pucat dengan mata bulat yang berkilat. Memendam amarah. Sementara tangannya mencengkeram tas besar dari kain.

“Lea, saya diusir dari rumah,” suaranya gemetar, “saya dipaksa menikah dengan La Darumba.”

“Ayo, masuklah ke dalam.” Tante Liyan mendekat. Tangannya membuka gembok di gerbang.

Suasana malam kian mencekam, kala kami bertiga duduk diam di ruang tengah. “Saya bingung, Tante. Tidak tahu akan tinggal di mana,” Wa Tia tertunduk lesu.

Aku memandang Tante Liyan yang diam membisu.

“Sebetulnya, Tante ingin sekali membantu, tapi tidak ingin terlibat masalah ini. Tante tidak ingin merusak hubungan dengan keluargamu. Orang tuamu selama ini baik terhadap Tante.”

“Saya mengerti, Tante. Tapi, saya tetap tidak mau menikah dengan pria pilihan Ayah.” Wa Tia mulai terisak.

Tante Liyan mengusap punggungnya.

“Sabar. Kita sedang berusaha mencari jalan keluar.”

“Saya tidak ingin menyusahkan Tante, terutama Lea yang sudah banyak menolong saya.”

Sekilas Tante Liyan menoleh heran padaku.

“Lebih baik saya menginap di rumah teman kuliah.” Wa Tia beranjak. Meraih tas besarnya.

“Wa Tia, tunggu! Ini masih malam. Tidak baik jalan sendirian,” kata Tante Liyan, berusaha mencegah.

“Ya, kamu bisa tidur malam ini di kamarku,” aku menambahkan.

“Terima kasih. Kalian baik sekali.” Wajah Wa Tia berubah cerah.

Aku terbangun setelah mendengar bunyi barang jatuh di atap. Wa Tia sudah terbangun lebih dulu. Terduduk diam di sisiku, mencoba mendengarkan.

“Apa itu?” kataku, setengah berbisik.

“Ssst....”

Terdengar pintu kamar Tante Liyan terkuak.

“Tante Liyan terbangun,” bisik Wa Tia.

Aku melangkah keluar kamar. Tampak Tante Liyan mondar–mandir di ruang tengah. Raut mukanya panik.

“Ada apa, Tante?” aku mendekat.

Tante Liyan tidak menjawab. Duduk di sofa dengan napas naik–turun tidak teratur.

“Tante kenapa?” Aku duduk di sisinya.

“Ini aneh. Sudah dua kali terjadi. Mungkin ada yang mau menyerang Tante.”

“Siapa yang menyerang Tante?”

“Entahlah, Lea. Tante takut ada orang yang ingin menyingkirkan Tante dari ajang pemilihan.”

Wa Tia perlahan menghampiri.

“Jangan–jangan itu santet dari La Darumba!”

“Mana mungkin. Bunyi itu tepat di atas atap rumah ini.”

“Tapi, bisa saja dari atap rumah saya. Karena, sore tadi saya menolak lamaran La Darumba.”

Setengah mati aku menahan tawa melihat perdebatan aneh di era modern ini.

“Entahlah. Mungkin saja itu kiriman untukmu.” Tante Liyan beranjak. “Tapi, bagi Tante, ini bukan kejadian pertama kali. Tante hanya takut ada yang tidak suka Tante menang di pemilihan, sehingga ingin menyingkirkan Tante dengan cara apa pun.”

Wa Tia mendekat. “Biasanya, kalau sampai diketahui orang, serangan santet itu gagal.”

“Jadi, kita nggak boleh tidur?” tanyaku.

“Boleh saja. Hanya perlu waspada dan berdoa.”

Berdoa? Apa tidak salah dengar? Setahuku, percaya pada dukun itu seperti tidak percaya Tuhan. Aku memang bukan manusia suci, tapi masih percaya kekuasaan Tuhan. Termasuk masalah jodoh. Tuhan telah menolongku terlepas dari pria penipu macam Farhan. Mungkin saja Dia sudah menyediakan pria terbaik sebagai suamiku kelak. Semoga saja bukan La Radi.

Rasanya, liburanku sepi tanpa Wa Tia, satu–satunya temanku di pulau ini. Entah di mana dia sekarang. Sampai kapan harus menginap di rumah orang. Hanya karena tak menurut untuk menikah dengan seorang pria tua. Aku menghela napas. Sudah hampir seminggu berlalu. Sudah harus kembali ke Jakarta. Aku enggan meninggalkan Buton. Aku masih betah. Senang bisa menemani Tante Liyan yang kesepian, senang bisa mengenal Wa Tia yang baik.

“Lea!” seseorang memanggil. Tampak La Radi berdiri di gerbang. Pria itu masih berseragam, membawa sebuah kantong plastik hitam, entah berisi apa.

“Ini buat tantemu. Simpan baik–baik.”

“Terima kasih.” Aku menerima, berharap pria itu segera pergi.

“Lea, nanti malam kamu ada acara?”

Ooh... ini yang aku takuti. Pasti dia ingin mengajak pergi. Ingin rasanya berbohong dan menolaknya. Namun, bayangan Tante Liyan membuatku kasihan. Aku lantas menggeleng.

“Berarti, kamu tidak berkeberatan jika nanti malam saya jemput untuk pergi makan.”

“Oke. Aku tunggu.”

“Saya akan jemput jam tujuh.” La Radi tersenyum, sebelum berjalan riang menuju mobilnya.

Aku kembali duduk di teras. Sekilas melongok ke dalam kantong plastik hitam pemberian La Radi. Tampak sebuah kotak dari kertas yang tertutup rapat. Aku membayangkan isinya adalah sekotak cokelat kesukaan Tante Liyan. Maklum, perutku sudah terasa lapar. Wangi ikan bakar sudah tercium sejak satu jam lalu. Namun, mengapa sudah lewat pukul dua, Tante Liyan belum juga pulang dari kantor?

Sebuah mobil berwarna marun berhenti tepat di depan gerbang. La Gani meloncat turun dan tergesa menghampiri.

“Tadi La Radi singgah?”

“Ya.” Aku mengangguk, sambil melirik ke arah mobil yang dibiarkan terparkir di luar gerbang.

“Ada titipan untuk Ibu Liyan?”

“Ya, itu.” Aku menunjuk dengan dagu ke sebuah kantong plastik hitam di atas meja teras.

La Gani langsung menyambarnya.

“Tunggu! Itu untuk Tante Liyan.” Aku segera merebut benda itu.

“Lea, Tante di sini!”

Tampak olehku kepala Tante Liyan melongok ke luar jendela.

“Tante buru–buru, Lea. Tante ada janji. Kamu makan saja, jangan tunggu Tante.”

Sekilas aku melambai pada Tante Liyan dalam mobil, yang kemudian melesat pergi. Sepertinya Tante terburu–buru. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Membuat aku makin penasaran pada isi kantong plastik itu. Tentu bukan cokelat!

Sore sudah mengganti hari. Namun, Tante Liyan belum juga kembali. Untuk menghindari kejenuhan, aku turun ke laut depan rumah. Duduk di sebuah batu karang besar. Menikmati alam sore yang indah berlaut biru cerah. Mengamati sampan anak–anak nelayan yang melintas seliweran. Suara mereka sahut–menyahut di antara jeritan burung laut. Kembali aku teringat pada Wa Tia. Sedang apa dia sore ini? Semoga saja ayahnya mau mengerti dan membiarkan Wa Tia kembali ke rumah.

Laut tak lagi biru. Azan magrib berkumandang di kejauhan. Aku tersentak beranjak. Berjalan menuju rumah.
Tante Liyan sudah menunggu. Rautnya terlihat tegang.

“Syukurlah kamu sudah pulang.”

“Tante sudah lama pulang?”

“Sejam lalu. Dari mana saja kamu?”

“Dari bawah tebing. Memangnya kenapa?”

Tante tersenyum kecut. “Tante pikir, kamu pergi jauh. Karena, kamu akan dijemput sebentar lagi oleh La Radi. Baru saja dia menelepon.”

Oh, itu sebabnya Tante Liyan terlihat tegang. Rupanya, ia khawatir aku terlambat tiba di rumah dan membiarkan pria pilihannya itu lama menunggu.

“Aku nggak mau pergi,” kataku, sedikit ketus.

Tante Liyan terenyak. Manatapku seakan tak percaya.

“Ada apa, Lea? Mengapa kamu berubah pikiran.”

Aku masuk ke dalam rumah. Tante Liyan membuntuti.

“Tante, Lea sedang nggak mood.” Tubuhku terempas di atas sofa ruang tengah. Tante Liyan duduk di sisiku.

“Kamu tidak bisa membatalkan begitu saja. Kamu harus menghormati La Radi.” Suara Tante Liyan meninggi.

“Aku menghormatinya. Aku bisa meneleponnya sekarang dan minta maaf.”

“Tidak semudah itu, Lea.”

“Kenapa? Apakah Tante keberatan kalau kali ini aku menolaknya?” Kini suaraku yang meninggi.

Kulihat wajah Tante Liyan memerah. Bibirnya sedikit tergetar menahan amarah. Aku mereda.

“Maaf, Tante. Aku nggak bermaksud kurang ajar. Tapi… sebetulnya Lea sama sekali tidak suka padanya.”

Tante Liyan menghela napas. Kedua matanya meredup. Menyimpan kesedihan. Aku merasa bersalah.

“Kenapa kamu baru bilang sekarang? Semula Tante berharap kamu bisa berjodoh dengan La Radi. Agar bisa menetap di Buton, menemani Tante.”

Aku memeluk Tante Liyan.

“Maaf, Tante. Lea tidak bermaksud mengecewakan Tante. Tapi, Lea tidak bisa terus–menerus membohongi diri.”

Tante Liyan mengusap matanya yang sudah mulai basah.

“Lea, apa kamu mau menolong Tante sekali ini saja?”

Aku mengangguk.

“Malam ini kamu pergi dengan La Radi.”

Sungguh! Aku benar–benar tidak mengerti Tante Liyan. Apa belum sadar bahwa aku sudah tidak bisa berpura–pura menyukai pria itu. Mengapa Tante takut mengecewakan dia? Apakah Tante mempunyai utang budi? Kalau bukan karena kasihan, aku tidak sudi menuruti kemauan Tante Liyan.

Malam terasa makin dingin di dalam sebuah resto sedikit mewah. Namun, dibandingkan dinginnya AC ruangan, masih lebih dingin sikapku pada pria di hadapanku.

“Kamu seperti tidak berselera makan malam ini?”

Memang! Karena terpaksa pergi denganmu. Aku menggerutu dalam hati.

“Maaf jika restoran ini tidak semewah restoran di Jakarta.”

Dasar bodoh! Apakah ia tidak merasa, sikapku selalu begini saat bersamanya?

“Lea, sebaiknya kamu berterus–terang saja.”

Aku menatapnya heran.

“Apa maksud kamu?”

La Radi terdiam sejenak. “Saya tahu, kamu tidak menyukai saya.”

Aku tersentak. La Radi tersenyum lembut.

“Jangan takut, saya tidak akan memberi tahu Tante Liyan.”

Aku menganga.

“Kamu pasti menyayanginya. Tidak mau mengecewakan dan membuatnya sedih.”

Sungguh, sama sekali tidak menyangka, perkataan itu bisa keluar dari bibir La Radi. Pria sombong dan feodal, yang bisa semena–mena dengan uang dan jabatan. Jangan-jangan, selama ini aku salah menilainya.

“Saya akan bilang pada Tante Liyan, bahwa saya tidak cocok denganmu.” La Radi menyeringai.

Entah mengapa, kali ini aku merasa senang bersamanya.

“Tapi, apa kita masih bisa berteman?” tanyanya, pelan.

Aku memberikan senyum terhangat yang seketika mengenyahkan dingin.

Di salah satu warung jagung rebus yang berjejer di sisi tebing, aku dan Tante Liyan menikmati sore. Melahap jagung bakar, sembari memandang lepas ke laut biru indah di bawah.

Aku terdiam. Mendengarkan segala pengakuan Tante Liyan. Mengetahui utang budinya pada La Radi, yang selama ini mendukung karier politiknya itu. Termasuk, menerima pinjaman uang tiga puluh juta, yang kuterima kemarin dalam kantong plastik hitam. Uang tambahan yang dipakai Tante Liyan untuk melobi pengu­rus partai di tingkat pusat.

“Tante menjualku pada La Radi?” suaraku memecah keheningan.

Tante Liyan menggeleng keras. “Tentu saja tidak! Tante hanya merasa tidak enak, setelah dia berbaik hati membantu Tante. Tante minta maaf kalau kamu merasa dimanfaatkan. Tapi, syukurlah, La Radi tidak merasa cocok denganmu. Sehingga, Tante tidak membuat dia kecewa jika kamu sampai menolaknya.”

Dalam hati aku tertawa. Ini merupakan sebuah rahasia antara aku dan La Radi. Kini kami telah berteman baik. Dan, bisa dibayangkan betapa kagetnya Tante Liyan, ketika La Radi menjemputku untuk makan malam.

“Lea, kenapa kamu mau menerima ajakan La Radi?” Wajah Tante Liyan bingung mengamatiku berdandan di muka cermin.

“Tenang. Kebetulan, mood-ku sedang bagus,” jawabku, enteng.

“Tante mau dibawakan makanan?” tanyaku, di balik gerbang.

“Tidak perlu repot. Selamat makan.” Tante Liyan melepas kepergian kami, masih dengan wajah bingung.

Malam indah bertabur bintang. Di atas laut hitam bertebar cahaya lampu aneka warna. Kali ini aku memaksa La Radi untuk makan di sebuah warung tepi laut. Rasanya nikmat melahap ikan bakar, sembari memandang laut indah kemilau. Semula La Radi terlihat kikuk, tidak terbiasa makan di warung tenda. Kepalanya celingak–celinguk sebelum masuk, seakan takut dikenali orang. Semilir angin laut membuatku lahap menyantap ikan sunu besar kemerahan yang dibakar, lengkap dengan sepiring nasi hangat dan sambal tomat.

“Lea.”

Aku menoleh kaget, mencari suara yang begitu kukenal.

“Wa Tia!” Aku beranjak, berjalan ke arah sahabat yang sangat kurindu. Seketika orang–orang memandang. La Radi tampak salah tingkah, malu menjadi pusat perhatian. Dasar pejabat!

“Bagaimana kabarmu?” tanyaku, setelah Wa Tia bergabung di meja kami, dan mulai menyantap pesanannya.
Wa Tia tidak segera menjawab. Mulutnya penuh dengan makanan. Baru dua hari keluar rumah, tubuh Wa Tia sudah sedikit menyusut. Wajahnya pun terlihat menciut, membuat mata bulatnya kian menonjol.

“Sekarang kamu tinggal di mana?”

“Biarkan dia makan dengan tenang.” La Radi menyenggolku. Pria itu ternyata mengamati Wa Tia, yang seperti tidak makan berhari–hari.

“Maaf, saya lapar sekali. Dari pagi belum makan nasi.” Wa Tia tersipu, sambil mengelap bibirnya yang tebal. Tampak lebih tebal akibat kepedasan sambal. “Saya tadi dari wartel dan tidak sengaja melihatmu turun dari mobil. Sekarang saya tinggal di rumah teman. Rencananya, besok saya akan menyeberang pulau, tinggal bersama seorang tante.”

“Sampai kapan kamu meninggalkan rumah?”

“Sampai ayah sadar, dia tak boleh menjual anaknya demi harta.”

“Dia kabur dari rumah?” tanya La Radi, setengah berbisik di telingaku.

“Ya. Dia menolak dijodohkan dengan pria beristri. Sayang, Tante Liyan tidak bisa membantu, karena tidak ingin merusak hubungan dengan tetangga.”

“Saya bersyukur, tantemu tidak menampung saya. Karena, saya dengar, La Darumba mengutus preman untuk mencari saya dan akan memulangkan saya secara paksa ke rumah orang tua. Lea, terus terang, saya takut.”

“Jangan khawatir. Berdoalah. Semoga kamu bisa selamat dan hidup tenang bersama tantemu.” Aku mencoba menghibur.

“Sekarang kamu mau ke mana? Mau diantar pulang?” La Radi melirik arlojinya.

“Terima kasih. Beruntung saya datang ke kota malam ini. Sudah ditraktir, diantar pulang pula!” Mata Wa Tia berbinar memandang aku dan La Radi silih berganti.

Mobil berpelat merah itu terguncang di jalan rusak bergelombang. Menuju ke sebuah permukiman sedikit jauh di tepi kota. Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah kayu beratap reyot. Setelah Wa Tia turun, tergesa aku mengambil uang dalam dompet. Hanya tersisa dua lembar lima puluh ribuan. Aku lupa, baru besok aku berencana mengambil uang untuk membayar tiket kapal dan belanja oleh–oleh. Tiba–tiba La Radi menyisipkan tiga lembar ratusan ribu di tanganku. Aku terkejut.

“Terima kasih. Kamu baik banget!” bisikku, seraya melipat lembaran uang itu dan meloncat turun dari mobil, mengejar Wa Tia.

“Lea, terima kasih. Kamu sudah banyak menolong saya.” Wa Tia terisak memelukku. “Selamat jalan, saya harap kamu bisa kembali berlibur ke sini.”

“Sampai jumpa, Wa Tia. Semoga keadaan kembali seperti semula. Terima kasih telah menjadi temanku selama di sini.” Suaraku sedikit bergetar. Menyelipkan uang ke dalam genggamannya. “Ini sekadar ongkos.”

“Wah, banyak sekali!” Wa Tia melotot.

“Simpan untuk keperluanmu sampai kamu bisa pulang ke rumah.”

Kembali Wa Tia memelukku. Kali ini teramat keras sampai sesak dadaku dibuatnya. Ia melirik ke mobil, melihat La Radi duduk mengamati kami.

“Semoga kamu menikah dengan orang Buton, supaya kita bisa terus berteman,” bisiknya, sebelum berpisah.
Aku hanya tersenyum.

Hari ini terakhir aku menikmati alam siang kota Bau–Bau. Menyu­suri tepi laut biru menyilaukan dengan kilatan mentari dan pantulan dari atap seng rumah–rumah. Malam ini aku sudah harus berangkat dengan kapal menuju Jakarta. Aku diantar La Gani mengambil tiket dan berbelanja oleh–oleh. Tidak lupa mampir ke supermarket, sekadar membeli bekal untuk di kapal. Belanja sekotak biskuit, sekantong keripik, dua botol air mineral, dan selusin kopi intan sachet. Tidak ketinggalan sebuah majalah wanita terbitan terakhir.

“Kapan kembali berlibur ke Buton?” tanya La Gani, usai belanja.

“Mungkin masih lama. Cutiku sudah habis tahun ini.”

“Sering–seringlah datang, temani tantemu.”

Aku hanya diam. Teringat perpisahanku dengan La Radi semalam. Pria itu pun mengharapkan aku bisa datang kembali. Walaupun sikapnya sangat manis, tidak lantas membuatku jatuh cinta. Sungguh, aku merasa sulit mencintai, semenjak putus dari Farhan.

Farhan? Hei, mengapa aku baru teringat padanya sekarang? Apakah aku sudah bisa melupakannya? Di lubuk terdalam, kini aku tidak lagi mendendam. Waktu ternyata mampu mengubah segalanya. Kini aku menyadari, Farhan tidaklah seburuk yang kukira. Dia adalah korban dari situasi. Seperti aku yang sebelumnya sempat berkorban rasa, tidak ingin mengecewakan Tante Liyan. Sungguh kasihan Farhan yang telah berkorban demi ibunya.

Sore menjelang, aku sudah selesai berkemas. Koper kecilku sudah siap di depan pintu kamar. Namun, Tante Liyan belum kunjung pulang hingga senja menghilang. Jadilah aku makan malam sendiri, menyantap ikan segar untuk terakhir kali. Namun, kali ini aku tidak bisa lahap makan.

“Maaf, Lea, Tante ada rapat tadi.” Tante Liyan tiba-tiba muncul di ambang pintu. “Kamu sudah makan? Sebentar lagi kita berangkat ke pelabuhan.”

Entah mengapa, mendadak aku merasa sedih. Mungkin sedih meninggalkan Buton.

“La Radi tadi titip salam untukmu,” kata Tante Liyan, saat kami meluncur di jalan menuju pelabuhan. Melewati tebing dan jalan berliku. Melintas depan rumah Bupati dan jejeran pertokoan tutup.

“Salam kembali,” sahutku riang, membuat Tante Liyan mengernyit. “Semoga Tante sukses di pemilihan nanti.” Aku melepas pelukan Tante Liyan. Kami berada di depan pintu kabin. Klakson kapal sudah meraung dua kali.

“Salam untuk mamamu dan keluarga di Jakarta.” Suara Tante Liyan tersendat, seakan menahan tangis.

“Tante, jangan sedih. Tante bisa datang ke Jakarta. Sudah lama Tante tidak datang. Kami semua kangen pada tante.”

Tante Liyan tersenyum. “Ya, sudah lama Tante tidak pulang. Semoga dalam waktu dekat kamu mene-mukan jodohmu, sehingga Tante mempunyai alasan untuk datang ke Jakarta.”

“Doakan saja, Tante.”

Aku berdiri di pagar kapal, melambai pada Tante Liyan yang tergesa menuruni tangga. Terdengar raungan klakson kapal tiga kali. Tak lama, perlahan kapal bergerak menjauhi pelabuhan. Sedikit demi sedikit aneka cahaya lampu mengecil dan menjadi titik–titik laksana taburan bintang warna–warni, hingga hilang dalam gelap malam dan pekat laut.

Sama seperti saat datang, kali ini aku pun menempati sebuah kabin kelas satu. Namun, di luar musim li-buran, penumpang kapal tidak banyak, hingga kembali aku menguasai dua dipan yang tersedia. Dalam sepi perjalanan aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan menonton televisi dan membaca majalah. Keluar kabin hanya untuk makan di restorasi dan melihat sunset di buritan. Terasa menyenangkan, tanpa seorang pun mengganggu. Gangguan yang kudapat hanya ketukan di pintu kala petugas memeriksa tiket selepas berlabuh atau menerima segelas teh di sore hari.

Malam ini aku gelisah. Tidak enak tidur. Televisi sudah lama mati. Namun, aku belum juga terbuai mimpi. Aneh, seperti ada sesuatu yang mengusik benakku. Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi? Ingatanku tiba–tiba memunculkan wajah cokelat bermata bulat. Mengapa aku teringat padanya? Wa Tia tentu sudah bersama tantenya di pulau seberang. Besok aku akan menelepon Tante Liyan dari wartel pelabuhan saat kapal singgah, tekadku sebelum akhirnya terlelap.

Kapal sudah sejak tadi bersandar di pelabuhan Makassar. Selepas makan siang, aku bergegas turun mencari wartel di area pelabuhan. Tak lama aku sudah duduk di salah satu bilik wartel, menunggu sahutan Tante Liyan di seberang sana.

“Halo?”

“Tante, ini Lea. Sekarang sudah sampai Makassar.”

“Syukurlah kamu menelepon. Ada yang ingin Tante sampaikan.”

Perasaanku berubah resah.

“Ada apa, Tante? Apa ada kabar buruk?”

Sejenak Tante Liyan terdiam. Lalu, berbicara dengan suara gemetar. “Tante baru tahu saat semalam sepulang dari pelabuhan. Wa Tia ditemukan telah meninggal kemarin sore. Mayatnya tenggelam di laut dekat Pulau Raha.”

Mendadak tubuhku terasa lemas tak berdaya. Ternyata ini yang meresahkan aku semalam.

“Mengapa bisa tenggelam, Tante?”

“Kemarin siang Wa Tia dikejar oleh suruhan La Darumba di kapal penyeberangan. Kemungkinan dia jatuh dan terbawa ombak kencang. Mayatnya ditemukan mengambang di waktu sore.”

Aku menghentikan percakapan. Tak kuasa menahan lelehan air mata. Tergesa aku keluar dari bilik. Tidak sengaja menabrak seorang pria yang sedang mengantre di balik pintu.

“Maaf,” kataku, seraya menghapus sisa air mata.

Pria itu sekilas memandang heran. Mungkin, dipikirnya aku baru putus dari kekasihku. Dalam kabin aku masih mengenang Wa Tia. Teringat pertemuan terakhir malam itu. Terakhir melihat mata bulatnya yang ceria. Berharap uang yang kuberikan dapat membuatnya bertahan dan membawa sekadar harapan.

Sore menjelang senja, seperti biasa aku jalan–jalan di buritan. Semoga keindahan sunset bisa memulihkan kesedihan. Tubuhku bersandar di pagar. Menikmati nuansa laut yang sudah kemerahan. Tiba–tiba seorang pria mendekat. Pria yang tadi berpapasan di wartel!

“Hai.” Pria itu tersenyum menyapa. Aku baru menyadari wajahnya lumayan tampan. Kulitnya bersih dan giginya tampak putih di balik senyuman.

Aku tersenyum, mencoba ramah. Sepertinya, pria ini cukup sopan. Tubuhnya yang tinggi tampak santai namun rapi, dengan kemeja flannel berpadu jeans biru. Rambutnya sedikit ikal, semrawut diterpa angin laut.

“Kamu sendirian?”

Aku mengangguk.

“Kenalkan, nama saya Ryan.”

“Lea.” Aku menerima uluran tangannya. Sejenak merasakan jemarinya yang halus di telapak.

“Maaf, sebetulnya saya tidak ingin mencampuri. Tapi, sepertinya kamu sedang bersedih.”

Aku menunduk, menahan desakan di dada. Ingin rasanya berbagi dengan seseorang. Rasanya, Ryan bisa menjadi teman curhat yang baik.

“Apakah kamu mau berbagi kesedihan itu denganku?” Suaranya lembut, memberi keteduhan.

Aku menceritakan tragedi yang menimpa Wa Tia. Ryan menatapku, mendengarkan. Saat mentari mulai menghilang di balik horizon, menyisakan laut jingga di belakang tubuh tegapnya, tiba–tiba aku teringat pada sesuatu. Sesuatu yang menyadarkan aku pada sosok pria di hadapanku. Tubuh Ryan yang berdiri membelakangi lautan. Ya, dia seorang pria yang dikelilingi banyak air, seperti perkataan dukun waktu itu! Jangan-jangan....

Ryan tak mengeluarkan banyak kata untuk menghiburku. Tapi, itu sudah cukup. Aku memang tak membutuhkan penghiburan apa pun. Ryan yang kemudian bercerita sedikit tentang hidupnya. Dia seorang dokter muda. Kedatangannya ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan adik perempuannya. Walau sudah hampir kepala empat, Ryan belum menikah. Bahkan sengaja menerima tugas kedokteran di Ambon untuk menghindar perjodohan orang tua.

“Lea, kalau boleh bertanya, mengapa sampai sekarang kamu masih sendiri? Apakah kamu belum mau menikah?”

“Mungkin memang belum dapat jodoh,” jawabku.

“Apa kamu percaya jodoh?”

Sejenak aku diam, menghindar dari kedalaman tatapannya yang terasa menghanyutkan.

“Aku percaya, jodoh ada di tangan Tuhan,” sahutku kemudian.

“Apa kamu percaya bahwa Tuhan akan memberikan jodohmu lewat suatu pertanda.”

“Maksudmu?”

“Ya, bisa saja, Tuhan memberi tahu jodoh kita lewat sebuah mimpi, misalnya. Dulu saya pernah bermimpi, bertemu dengan seorang wanita di seberang lautan. Mungkin saja, dia jodoh saya.”

Aku serius mendengarkan, Ryan menatapku sejenak sebelum melanjutkan perkataan. “Percaya tidak, wanita itu berambut panjang dan memakai kaus ketat, sama seperti kamu.”

Aku tersentak. Laksana diterkam ombak laut yang ganas. Hatiku bertanya-tanya, apakah pria ini memang jodohku? Benarkah dukun itu mendapat pertanda dari Tuhan atau hanya kebetulan semata? Entahlah, aku sungguh tidak mengerti.

1 comment:

oepay said...

ini original km yg buat yah? tp byk yg copas di blog. trus di femina online juga ada di cerbernya, tp koq penulisnya bukan nama kamu? saya yakin ini kamu yg buat karena kemiripan latar belakang cerita dengan bio data di profile blog kamu. tapi plagiator di majalah online itu, kenapa ngga kamu gubris? maaf yah, saya hanya sekedar mencari jawaban rasa penasaran saja. makasih. . :)